Maaf, tapi… “Bu, kata Pak Salim, Husein pintar, bisa masuk SMA Borju itu..” “SMA Borju yang mana, Nak???” “Itu, Bu, SMA milik kakeknya Kanya.. Nggak sia-sia Husein menabug bertahun-tahun dan bekerja untuk biaya bimbel.” Bu Ratmi hanya diam. Bingung, apa yang akan dikatakan pada Husein anaknya. Ekspresi wajah Husein yang begitu cerah membuat Ibu tua itu semakin tidak tega. Wajah Bu Ratmi yang mulai menua pun menjadi keruh.. Husein tidak bodoh, ia dapat merasakan perubahan air muka ibunya. “Ibu kenapa?? Tak suka Husein masuk SMA Borju? Tenang, Bu, kata Pak Salim, Husein akan dapat beasiswa lagi. Jadi, sekolah bisa gratis..” Melihat ekspresi ibunya yang tak kunjung berubah, Husein memeluknya dengan wajah khawatir. Khawatir ibunya tidak merestui. Padahal, SMA itu sudah menjadi incarannya sejak masih duduk di bangku kelas 6 SD. Memang, biaya SMA itu mahal sekali, maka dari itu, Husein dan beberapa teman sepantarannya menyebut sekolah itu dengan nama SMA Borju. Husein lalu duduk di kursi makan. Matanya menyapu meja makan yang berantakan. Segala barang ada di situ, kecuali makanan. Bu Ratmi mengerti air muka Husein. “Ibu tidak belanja. Kemarin ibu pakai uangnya untuk bayar obat adikmu.” Husein hanya menghela nafas. Ia mengerti kondisi keluarganya. Ia menatap Neni, adiknya yang terlelap di tikar. Radang paru-paru Neni semakin parah. Di usianya yang baru menginjak 7 tahun, ia sudah harus menghadapi hidup yang keras. Tinggal di bilik sempit yang kotor dan tak terawat. Padahal dulu mereka sempat mencicipi hidup sebagai orang yang berkecukupan, bahkan melebihi tetangga sekitar. Keadaan berubah sejak ayah mereka pergi. Sejak enam tahun lalu Pak Yana, salah satu pejabat di kecamatan setempat sekaligus ayah Husein, dipenjara karena penipuan, dan memakai obat-obatan terlarang. Rumah dan barang-barang mereka pun disita untuk melunasi hutang. Kerabat-kerabat dari pihak Pak Yana pun tak mau membantu. Mereka menjauh menghindari aib. Sementar keluarga Bu
1
Ratmi entah ada di mana. Bu Ratmi memang sengaja tidak mau merepotkan, namun sekarang ia menyesal. Ia sangat butuh bantuan. Tak ada yang menopang hidup keluarga kecil Bu Ratmi. Husein amat mengerti keadaan itu. Keadaan yang berbeda sekali dengan dulu.. Di tengah lamunan Husein, Neni terbatuk. Sudah jam setengah enam pagi. Anak-anak seumur Neni seharusnya sudah masuk sekolah dasar, seperti dirinya dulu. Husein menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Terdengar suara agak ribut dari belakang rumahnya. Ia tersadar, kamar mandi umum akan segera penuh. Husein menggendong Neni keluar rumah, dan berlari menuju kamar mandi itu. “Nak, mandikan Neni agak cepat, ya, Ibu mau bawa dia lebih awal.” Sudah sebulan, Bu Ratmi bekerja sebagai pembantu di sebuah keluarga sederhana, penghasilannya pas-pasan, bahkan kurang. Sebelumnya, selama empat tahun Bu Ratmi bekerja di pasar, namun pasar tersebut terbakar. Sehingga Bu Ratmi harus mencari pekerjaan baru yang penghasilannya tidak lebih tinggi dari pekerjaan yang sebelumnya. Untunglah majikan Bu Ratmi yang sekarang sangat baik dan sering memberi mereka baju-baju bekas yang baik kondisinya. Neni selalu dibawanya bekerja, karena bilik mereka tidak terjaga. Neni tertawa saat Husein memencet hidungnya. Mereka berdua sudah mandi. Husein siap untuk sekolah, Bu Ratmi menggandeng Neni. Ada senyum yang selalu melintas di wajah Husein. Selalu, sebelum ia melangkah menuju sekolah. Namun hari ini, ada sesuatu yang mengganjal di hati Bu Ratmi. “Husein, bisa ibu bicara sebentar..? Ini soal keputusanmu masuk SMA..” Husein terpaku. Matanya menatap dalam-dalam mata ibunya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Neni hanya terdiam sembari menggigiti kuku, seolah merasakan kekalutan kakaknya. “Kenapa Bu?” Ibunya mengatur nafas. Sebentar-sebentar matanya melirik kesana kemari. Bibirya ingin mengucap kata, namun tak ada yang keluar. “Bimbel tempatmu belajar itu menjanjikan jaminan uang 100% bukan??” “Iya, Bu, uang itu didapat kalau Husein tidak lulus atau lulus dengan nilai ujian nasional di bawah target.”
2
Husein membeku setelah menjawab pertanyaan Bu Ratmi. Mulutnya sedikit terbuka. Matanya enggan berkedip sambil terus menatap ibunya. Husein anak yang cerdas. Ia langsung mengerti maksud Bu Ratmi. Jantungnya berdegup kencang. Haruskah ia tinggalkan impiannya?? Namun ia teringat hutang-hutang ibunya dan ingat Neni yang belum juga sekolah. Lama kelamaan Husein merasa sesak nafas. Lehernya tercekat. Tak tega juga ia melihat ibunya bekerja tanpa kenal waktu. Ia hanya menundukkan kepala sambil mencium tangan ibunya, lalu berlari ke sekolah. Meninggalkan Bu Ratmi yang diam-diam meneteskan air mata. Di sekolah, Husein hanya menatap langit-langit. Seolah ada jawaban untuk masalahnya di sana. Ujian nasional dari kurang empat puluh delapan jam lagi. Husein sudah mempersiapkan semua untuk ujiannya. Haruskah semua ia korbankan? Jika ia melepas semuanya, ibunya bisa membayar hutang, dan Neni bisa berobat. Namun, jika ia tetap pada keputusannya, Ia bisa tetap sekolah dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Digigitnya pensil, ia kembali berpikir. Kapan pekerjaan yang lebih baik itu datang? Ia sering mendengar berita tentang sarjana yang menganggur. Akankah itu terjadi padanya? Akankah ia kejar impiannya yang tak pasti? Atau korbankan semua untuk hari ini yang lebih baik? Hari baik yang ia yakini akan segera hilang dan pupus begitu saja. Husein merunduk, dahinya menempel pada meja. Ia memejamkan mata. Sayup-sayup, suara gurunya memudar. Siang ini panas, namun ia tetap berjalan menyusuri trotoar yang sempit. Tadi pagi Husein tertidur di kelas. Yah, suatu hal yang tidak pernah ia lakukan. Yang lebih mengherankan, Husein sama sekali tidak tertarik pada pembicaraan gurunya tentang tips menghadapi soal ujian. Padahal sebentar hari itu datang.. Ia menghitung langkahnya sendiri, sambil menimbang-nimbang keputusan yang akan dia ambil. Nafas Husein semakin cepat, pelupuk matanya berair. Ia tak sanggup berpikir lagi. Bagaimana ia akan menyelesaikan ujiannya besok? Bagaimana perjuangannya selama ini? Ibunya pernah menyuruh Husein untuk terus bersekolah sampai sarjana. Namun karena keadaan yang begini rumit, sepertinya ibunya pun sudah tak sanggup lagi menghadapi hidup yang cukup keras.
3
Ia sudah sampai pada suatu tempat yang ia sebut ‘rumah’. Dengan hatihati Husein mendorong pintu. Ia sudah tahu. Tak mungkin ada orang. Husein duduk, lalu melepas sepatunya yang sudah bolong. Ia langsung mengorek-ngorek tasnya, lalu diambilnya sebuah buku tipis. Husein membacanya sambil terisak. Ia menyadari tak ada gunanya ia belajar. Tak ada gunanya ia belajar apabila Neni digerogoti penyakitnya, takkan ada gunanya apabila itu tidak bisa membuat ibunya bangga. Lalu lintas seakan menertawainya. Klakson-klakson berbunyi tiada henti. Tak bisakah ia menggadaikan sesuatu? Tidak mungkin. Barang-barang di rumahnya sekarang hanyalah sampah. Ada kemarahan yang membakar hatinya. Namun ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Tidak mungkin ia marah pada Neni, Ibunya, Ayahnya, apalagi Tuhan. Tangannya terkepal. Ia benar-benar kalut, tenggelam dalam relung emosi yang menyakitkan. Ia merebahkan tubuhnya di atas tikar, air matanya masih mengalir. Hatinya sakit. Tiba-tiba dari wajahnya, terulas senyum. Matanya menyapu seisi rumah yang sempit itu. Ia terkekeh, namun air matanya tetap mengalir deras. Ia segera mengambil kertas dan pensil dari tasnya. Malam ini terasa sangat dingin. Bu Ratmi menggandeng Neni, menuju ke rumah. Bu Ratmi terlihat lebih baik daripada tadi pagi. Rupanya, keluarganya besok akan berkunjung untuk mengajak mereka semua pindah ke tempat yang lebih baik. Ada kakak Bu Ratmi yang bersedia menampung mereka semua di rumahnya. Mereka mengaku kehilangan jejak saat rumah Bu Ratmi disita. Untung saja majikan baru Bu Ratmi mempunyai kenalan yang tak lain adalah sepupu Ibu malang itu. Bu Ratmi sangat senang dan tidak sabar memberitahukan hal ini pada anak sulungnya. Ia mempercepat langkahnya. Sampai depan rumah, Bu Ratmi mengatakan pada Neni untuk masuk terlebih dahulu dan menyampaikan kabar baik tersebut. Neni mengangguk senang. Ia segera mendorong pintu. Memanggil-manggil nama kakaknya yang sangat ia kasihi. Namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah kertas berwarnawarni yang ditaru di atas tikar. Neni memungutnya, lalu menyerahkan pada ibunya yang juga kebingungan mencari Husein. “Apa ini, Nak?”
4
“Neni nggak tau, tapi ini kan kertasnya kakak.” Bu Ratmi segera membacanya. Tiba-tiba ia terjatuh. Jantungnya berdegup sangat cepat. Bibirnya bergerak menyerukan nama Husein, namun tak ada suara yang keluar. Keringatnya mengalir deras. Air matanya perlahan terjatuh. Neni hanya menatapnya dengan pias. “Ibu kenapa? Neni kan takut.. Kakak di mana? Katanya mau pindah ke rumah bagus? Mana kakak, Bu??” Bu Ratmi tidak menjawab apa-apa, namun kakinya dipercepat ke belakang rumahnya. Neni menangis menyaksikan kepanikan ibunya. Ia tahu sesuatu yang burruk sedang terjadi, namun ia tak tahu apa itu. Bu Ratmi menarik, lalu memeluk anak bungsunya itu dengan keras. Menyaksikan apa yang terjadi.. perlahan dibukanya surat dari Husein. Dibacanya sampai habis…
Bu, ini surat buat ibu seorang. Bu, bilang juga pada Neni kalau Husein sayang sama dia. Namun Husein bingung, harus membanggakan ibu dengan cara apa. Bu, Husein pikir Husein ini cuman merepotkan. Makanya, Husein jadikan sumur kosong di belakang rumah sebagai rumah baru Husein. Agar Ibu tidak terus‐terusan kerepotan. Kalaupun ada tetangga yang bertanya, ibu bilang saja kalau Husein ini memang sudah gila. Yang penting, Ibu tau kalau Husein itu selalu sayang sama Ibu dan Neni. Smoga Ibu nggak ikut jalan yang Husein pilih. Maaf, tapi Husein pikir ini yang terbaik untuk Husein.
Bu Ratmi masih memeluk Neni yang terkejut. Matanya masih terpaku pada sosok Husein di atas sumur, dengan kaki yang tidak berpijak, dan tali yang melengkung mengikuti bentuk lehernya. Malaikat kematian baru saja berkunjung ke tempat ini menjemput Husein dengan kasar. Husein sendiri yang mengundangnya. Meski
5
mata Husein terlihat damai, Bu Ratmi tahu sakit pasti yang dialami Husein. Air mata Bu Ratmi tidak lagi keluar, hansya tergenang di pelupuknya. Tapi kini hatinya berlubang. Husein pergi karena tidak sanggup mengabulkan permintaannyaa. Ia telah memilih jalannya. Jalan yang ia tentukan dengan penuh keegoisan dan kasih sayang.. Inilah akhirnya, Bu Ratmi masih saja membatu menyadari kenyataan yang terjadi. Perlahan, angin sepoi berbisik penuh arti pada atap seng rumah kecil itu.
6