BAB I PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG Luka (vulnus) adalah diskontinuitas dengan ciri-ciri hilang atau rusaknya sebagian dari jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti trauma benda tajam/tumpul, zat kimia, perubahan suhu, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Barbul et al., 2010). Jenis-jenis luka yaitu Vulnus Laceratum (laserasi/robek), Vulnus Excoriasi (luka lecet), Vulnus Punctum (luka tusuk), Vulnus Contussum (luka kontusio), Vulnus Scissum/Insivum (luka sayat), Vulnus Schlopetorum (luka tembak), Vulnus Morsum (luka gigitan), Vulnus Perforatum (luka tembus), Vulnus Amputatum (luka terpotong), Vulnus Combustion (luka bakar). Luka sayat dapat ditemukan pada luka insisi akibat pembedahan, kesembuhannya lebih cepat dan sedikit jaringan nekrosis pada tepi-tepi luka keadaan (Balqis dkk, 2016; Munilson dkk, 2015 dan TBMM, 2002). Umumnya penanganan luka secara medis dengan memberikan obat komersial untuk menekan rasa sakit. Damhoeri (2011) melaporkan pengobatan luka dengan menggunakan obat komersial (betadin) tidak terbentuk sempurna permukaan luka seperti semula (permukaan luka yang tidak sembuh tidak sejajar dengan jaringan sekitarnya). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini ternyata belum dapat menggeser begitu saja obat tradisional, tetapi keduanya dapat berdampingan dan saling melengkapi. Namun, kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai berbagai jenis tumbuhan yang dapat dipakai secara tradisional untuk pengobatan penyakit tertentu masih menjadi masalah. Perkembangan obat modern berkembang cukup pesat, namun potensi obat tradisional yang berasal dari tumbuhan masih tetap tinggi. Hal ini dikarenakan obat tradisional dapat diramu sendiri dan bahan baku tidak perlu diimpor. Efektivitas dan keamaanan penggunaan obat tradisional masih diperlukan penelitian ilmiah secara menyeluruh agar pembuatan obat tradisional terstandar dan tidak menyebabkan efek samping
Hazard lingkungan kerja (environmental hazard) dapat berupa faktor lingkungan kerja yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja yaitu faktor fisik, faktor biologi, faktor faal ergonomi serta faktor psikososial. Salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi kesehatan pekerja adalah faktor lingkungan fisik yaitu ventilasi, kelembababan, suhu, pencahayaan, dan debu. Kasus gangguan paru yang disebabkan oleh paparan debu banyak ditemukan di Indonesia, berbagai faktor dalam timbulnya gangguan saluran nafas akibat debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimia serta lama paparan, beberapa faktor dari karakteristi pekerja juga juga dapat mempengaruhi keadaan paru diantaranya, kebiasaan merokok, kebiasaan memakai alat pelindung diri, kebiasaan olah raga dll (karbella 2011). Infeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pemapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, prevalensi Inpeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA) sebesar 25,0% . Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar prevalensi insiden Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada tahun 2014 sebesar 27,8% urutan pertama dari 10 besar penyakit terbanyak di kabupaten Kampar ( Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, 2014). Berdasakan fenomena diatas maka periu dikaji bagaimana pengaruh paparan asap dan penggunaan APD dengan kejadian ISPA pada pegawai dapur RS Ibnu Sina. Untuk memberikan informasi yang jelas tentang hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian ini.
II. TUJUAN
l) Tujuan Umum Penulis mampu membuat penanganan pada pasien dengan luka iris yang merupakan Penyakit Trauma dari tempat bekerja. 2) Tujuan Khusus Penulis diharapkan dapat: a. Memahami tentang penyakit Luka Iris ( definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologis, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan pengobatan pada kasus Luka Iris). b. Memahami Penyakit Akibat Kerja
III. MANFAAT Setelah membaca makalah tentang ISPA ini diharapkan dapat memberikan manfaat: a. Mahasiswa mampu memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologis, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan pengobatan pada kasus ISPA. b. Mahasiswa mampu memahami penanganan pada pasien dengan ISPA. c. Mahasiswa mampu memahami penanganan Penyakit Akibat Kerja. LAPORAN KASUS DAN LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI
I.
ANAMNESIS A. Anamnesis Klinis 1) IdentitasPasien -
Nama
: Tn. Br
-
Alamat
: Jl. cendrawasih No. 4
-
Umur
: 25 tahun
-
Tempat/tanggal lahir
: bone, 17 Agustus 1993
-
Kedudukan keluarga
: anak ke 4
-
Jenis kelamin
: Laki-laki
-
Agama
: Islam
-
Pendidikan terakhir
: SMA
-
Pekerjaan
: Pegawai Dapur di RM. Begos
-
Status pernikahan
: belum menikah
-
Tanggal pemeriksaan
: 14 januari 2019
2) Keluhan utama Luka iris
3) Riwayat perjalanan penyakit sekarang: Luka iris pada jari telunjuk tangan kiri yang di terjadi pada saat memotong daging ikan di tempat bekerja, keluar darah akibat luka iris yang tanpa sengaja melukai jari telunjuk dengan ukuran 1-2 cm dan dalm 2-4 mm menembus kulit terluar. 4) Anamnesis Sistemik Riwayat pengobatan : Pasien belum pemah berobat sebelumnya. Riwayat penyakit terdahulu : Pasien sebelumnya pemah mengalami keluhan yang sama Riwayat atopi : Riwayat alergi : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi Riwayat sosial : Pasien menyangkal kebiasaan minum alkohol atau mengkonsumsi narkoba dan obat-obatan untuk waktu yang lama. Pasien mengaku merokok sebanyak 5-6 batang per hari. Anamnesis Okupasi 1. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan
bahan/material yang digunakan
tempat kerja (perusahaan)
RM. Bebek Goreng Pegawai Dapur Pisau, Bahan makanan minyak Sulawsei RS Bebek goreng, air, Goreng bumbu dapur Sulawesi
Masa kerja (dalam bulan / tahun) 4 tahun
2. Uraian tugas Pasien adalah pegawai di dapur RM. Bebek Goreng Sulawesi bertugas sebagai tukang masak. Bekerja 7 hari dalam seminggu, bekerja dari jam 09.00 - 17.00 atau sekitar 8 jam dalam sehari dengan waktu istirahat yang tidak tentu.
Uraian Tugas Rutin (Shift pagi) Jam 05.00
Bangun tidur, sholat, mandi, sarapan
Jam 08.30
Berangkat ke tempat kerja
Jam 09.00
Mulai melakukan pekerjaan
Jam 17.00
Pulang ke rumah
Jam 17.00- 22.00
Berkumpul dengan keluarga
Jam 22.00
Istirahat (tidur)
Tidur Jam 22.00
Bangun, sholat, mandi, sarapan Jam 05.00 – 08.30
Berkumpul dengan keluarga Jam 19.30 - 22.00
Sholat, makan malam Jam 18.00 – 19.30
Berangkat ke tempat kerja Jam 08.30
Tiba ditempat kerja, dan memulai pekerjaan Jam 09.00
Membereskan rumah, mandi Jam 17.00 – 16.00
Pulang kerumah Jam 17.00
3. Bahaya Potensial Urutan kegiatan
Memasak
Bahaya Potensial Fisik
Kimia
Suhu ruangan yang panas, bising
Asap
Biologi Bakteri, virus, parasite, dan jamur
Gangguan kesehatan yang mungkin
Risiko kecela kaan kerja
Posisi kerja yang Jarang Varises, membungkuk berinteraksi ISPA, LBP, Tangan bagian sesama stress ulna dan radial pegawai dehidrasi deviasi, dapur pergelangan memutar, lengan terangkat >45o , leher fleksi>30o ,membungkuk >20o, lutut menyentuh lantai
Luka bakar
Ergonomi
Psiko
4. Hubungan pekerjaan dengan penyakit yang dialami (gejala / keluhan yang ada) Pasien mengalami keluhan batuk. Pasien memiliki riwayat keluhan yang sama sebelumnya. Pasien merupakan pegawai yang bertugas memasak di dapur RM. Bebek Goreng Sulawesi yang setiap harinya terpapar faktor kimia dengan bahan gas yaitu asap dalam ruangan dapur yang tidak memiliki ventilasi. Pada saat melakukan pekerjaan pasien tidak menggunakan masker sebagai bagian dari APD saat bekerja.
5. Body Discomfort Map
Keterangan : 1. Tanyakan kepada pekerja atau pekerja dapat mengisi sendiri 2. Isilah : keluhan yang sering dirasakan oleh pekerja dengan memberti tanda/mengarsir bagian- bagian sesuai dengan gangguan muskulo skeletal yang dirasakan pekerja Tanda pada gambar area yang dirasakan : Kesemutan = x x x Pegal-pegal = / / / / / Baal = v v v Nyeri = ////////
Gatal
=
II. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda Vital a. Nadi
:
84x/menit
b. Pernafasan
: 20x//menit
c. Tekanan Darah (duduk) : 110/70 mmHg d. Suhu Badan : 36,7oC
2. Status Gizi a. b.
Tinggi Badan Lingkar perut
: 165 cm : 78 cm
Berat Badan
:
56 Kg
c IMT = 20,57 kg/m2 d. Bentuk badan : Astenikus
3. Tingkat Kesadaran dan keadaan umum a.Kesadaran : b. Tampak kesakitan : c. Gangguan saat berjalan :
Piknikus
Keterangan
Compos Mentis Tidak
Ya
tidak
Ya
4. Kelenjar Getah Bening Konsistensi a. Leher : b. Submandibula c. Ketiak : d. Inguinal
Atletikus
Kesadaran menurun
jumlah, Ukuran, Perlekatan, Normal Normal Normal Normal
5. Mata
Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal
mata kanan
mata-kiri
Ket a.
Persepsi Warna
Normal
b. c.
Kelopak Mata Konjungtiva
Normal Normal
d.Kesegarisan / gerak bola mata e. Sklera f. Lensa mata g. B ulu Mata h.
Penglihatan 3 dimensi
Buta Warna Parsial Buta Warna Total Tidak Normal Hiperemis Sekret Pucat Pterigium
Normal
Normal Normal tidak keruh Normal
Strabismus Ikterik Keruh Tidak Normal
Normal Normal tidak keruh Normal
Strabismus Ikterik Keruh Tidak Normal
Normal
Tidak Normal
Normal
Tidak Normal
Normal Normal
Buta Warna Parsial Buta Warna Total Tidak Normal Hiperemis Sekret Pucat Pterigium
i. Visus mata : tanpa koreksi : Dengan koreksi: 6.Telinga
Telinga kanan Normal Normal tidak ada
a. b.
Daun Telinga Liang Telinga - Serumen
c.
Membrana Timpani
Intak
d. e. f. g. h.
Test berbisik Test Garpu tala
Normal Normal
Rinne Weber Swabach Lain – lain ……….
Tidak Normal Tidak Normal ada serumen Menyumbat (prop) Tidak intak lainnya…… Tidak Normal Tidak Normal
Telinga kiri Normal Normal tidak ada Intak Normal Normal
7. Hidung a. b. c. d. e.
Meatus Nasi Septum Nasi Konka Nasal Nyeri Ketok Sinus maksilar Penciuman : normal
8. Gigi dan Gusi
Normal Normal Normal Normal
Tidak Normal Deviasi ke ........ Udem warna merah lubang hidung normal Nyeri tekan positif di ……..
Tidak Normal Tidak Normal ada serumen Menyumbat (prop) Tidak intak lainnya sulit dinilai Tidak Normal Tidak Normal
9. Tenggorokan a. Pharynx b.
Tonsil :
c. d.
Palatum Lain- lain
Normal Ukuran
Hiperemis
Kanan : To T1 T2 T3 Normal □ Hiperemis Normal
c.
Keterangan Terbatas Tidak Normal Bruit Tidak Normal Deviasi
Keterangan Simetris Normal
Asimetris Tidak Normal
Tumor : Ukuran Letak Konsistensi
Lain – lain
12. Paru- Paru dan Jantung Keterangan a. Palpasi
b.
Kiri : To T1 T2 T3 Normal □Hiperemi
Tidak Normal
10. Leher a. Gerakan leher Normal b. Kelenjar Thyroid Normal c. Pulsasi Carotis Normal d. Tekanan Vena Jugularis Normal e. Trachea Normal f. Lain-lain : ….. Spurling test : tidak ada kelainan 11. Dada a. Bentuk b. Mammae
Granulasi
Perkusi
Normal Kanan
Tidak Normal Kiri
Sonor Redup Hipersonor
Sonor Redup Hipersonor
Iktus Kordis : Normal Batas Jantung : Normal c. Auskultasi : - bunyi napas - Bunyi Napas tambahan - Bunyi
Tidak Normal , sebutkan ............. Tidak Normal , sebutkan ………
Vesikular Bronchovesikular tak ada Ronkhi Wheezing
Vesikular Bronchovesikular tak ada Ronkhi Wheezing
Normal
Sebutkan ....
Tidak Normal
Jantung 13. Abdomen Keterangan a. Inspeksi b. Perkusi c. Auskultasi:
Bising Usus
Normal Timpani Normal
Tidak Normal Redup Tidak Normal Teraba…….jbpx ……jbac Teraba shoeffne …..
d.
Hati
Normal
e.
Limpa
Normal-
f.
Ginjal
Kanan ; Normal Tidak Normal
Kiri : Normal Tidak Normal
Kanan ; Normal Tidak Normal
Kiri : Normal Tidak Normal
Kanan ; Normal Tidak Normal
Kiri : Normal Tidak Normal
g.
Ballotement
h.
Nyeri costo vertebrae
memanjang
14. Genitourinaria a. Kandung Kemih b. Anus/Rektum/Perianal c Genitalia Eksternal d. Prostat (khusus Pria)
Normal Normal
Tidak Normal Tidak Normal
Normal
Tidak Normal
Normal
Tidak Normal Kanan
15a.Tulang / sendi Ekstremitas atas - Gerakan - Tulang - Sensibilitas - Oedema - Varises - Kekuatan otot - vaskularisasi - kelainan Kuku jari
Kiri
Normal Normal baik tidak ada tidak ada 5/5/5/5 baik
tidak normal tidak normal tidak baik ada ada
tidak ada
ada
tidak baik
Normal Normal baik tidak ada tidak ada 5/5/5/5 baik tidak ada
tidak normal tidak normal tidak baik ada ada tidak baik ada
Pemeriksaan Khusus : Tes Range of Motion : (+)
Kanan 15b.Tulang / Sendi Ekstremitas bawah - Gerakan - Kekuatan otot - Tulang - Sensibilitas - Oedema - Varises - vaskularisasi - kelainan Kuku jari Pemeriksaan khusus : Tes Range of Motion: (+) Tes Strength: a. Heel walking: (+) Tes Patrick: (+) Tes Kontra patrick : (+) 15c. Otot motoric 1. Trofi
Normal 5/5/5/5 Normal baik tidak ada tidak ada baik tidak ada
Kiri
tidak normal tidak normal tidak baik ada ada tidak baik ada
b. Toe walking: (+)
Normal 5/5/5/5 Normal baik tidak ada tidak ada baik tidak ada
tidak normal tidak baik ada ada tidak baik ada
c. Resistes great toe dorsoflexion: (+)
Normal
Tidak Normal
Normal
2. Tonus
Normal
Tidak Normal
Normal
3. Kekuatan (Fs motorik)
5/5/5/5
16. Refleks a. Refleks Fisiologis patella, lainnya ......... b Refleks Patologis: Babinsky
tidak normal
Tidak Normal Tidak Normal
5/5/5/5
kanan Normal negatif
Tidak Normal Positif
Gerakan abnormal : tidak ada tic ataxia lainya .. kiri Normal negatif
Tidak Normal Positif
lainnya ………
d. Knee jerk/ankle jerk: (+) e. Straight leg raise: (+) 17. Kulit Lokasi nya a. Kulit b. Selaput Lendir c. Kuku d. Lain – lain ……… 18. Status Lokalis:
Efloresensi Normal Normal Normal
Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal
dan
III.
RESUME KELAINAN YANG DIDAPAT: Searang laki-laki beusia 35 tahun, bekerja sebagai pegawai dapur di RM. Bebek
Goreng Sulawesi sebagai tukang masak, mengeluhkan batuk yang dialami sejak kurang lebih 2 hari yang lalu , lendir (+), warna kekuning-kuningan, pilek (+) sejak 2 hari yang lalu. Riwayat demam (+) dirasakan 3 hari yang lalu, tidak terus - menerus, memberat pada malam hari. Sakit kepala (+), nafsu makan di rasakan berkurang. BAB = biasa, BAK = lancar. Sehari-hari pasien bekerja sebagai pegawai dapur di RM. Bebek Goreng Sulawesi. Setiap hari pasien bekerja tanpa menggunakan masker dalam waktu yang lama. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 110/70 N: 84x/mnt, R:20x/menit, S: 36,9° C. Pemeriksaan fisis lainnya dalam keadaan normal.
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada.
V.
DIAGNOSIS KERJA : ISPA
VI.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL : Bronchitis
VII.
DIAGNOSIS OKUPASI
Langkah 1. Diagnosis Klinis Dasar diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, body map, brief survey)
:
Diagnosis Pertama ISPA Searang laki-laki berusia 35 tahun, bekerja sebagai pegawai dapur di RM. Bebek Goreng Sulawesi, mengeluhkan batuk yang dialami sejak kurang lebih 2 hari yang lalu , lendir (+), warna kekuning-kuningan, pilek (+) sejak 2 hari yang lalu. Riwayat demam (+) dirasakan 3 hari
yang lalu, tidak terus - menerus, memberat pada malam hari. Sakit kepala (+), nafsu makan di rasakan berkurang. BAB = biasa, BAK =lancar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 110/70 N: 84x/mnt, R:20x/menit, S: 36,9° C. Pemeriksaan fisis lainnya dalam keadaan normal. Setiap harinya pasien bekerja sebagai tukang masak di RM. Bebek Goreng Sulawesi. Pada saat melakukan pekerjaannya pasien tidak menggunakan masker sebagai alat pelindung diri dalam waktu yang lama sehingga sering terpapar faktor kimia dari bahan gas yaitu asap. Ventilasi pada mangan dapur juga tidak ada sehingga sangat mengganggu aliran udara pada saluran pemafasan maupun pertukaran udara di ruangan tersebut 2. Pajanan di tempat kerja Fisik Kimia Biologi Ergonomi
Psikososial 3 . Evidence Based (sebutkan secara teoritis) pajanan di tempat kerja yang menyebabkan diagnosis klinis di langkah 1. Dasar teorinya apa?
Suhu ruangan yang panas, bising Asap Mikroorganisme yaitu bakteri, virus, parasite, dan jamur Bekerja dengan gerakan repetitive, berdiri lama pergelangan tangan fleksi, bagian ulna dan radial deviasi, pergelangan memutar, dan full extended, jari- jari fleksi >45odan ekstensi >45o lengan terangkat >45o, leher fleksi>30o , bahu terangkat, ekstensi kepala >20o Jarang berinteraksi sesama pegawai dapur Hubungan antara Paparan Asap di Lingkungan Tempat Kerja dan Penggunaan APD Masker terhadap Kejadian Ispa Pada Pegawai Dapur RM. Bebek Goreng Sulawesi Menurut Suma'mur 1998 menyatakan ada Lima faktor lingkungan kerja yang mempengaruhi keselamatan dan kesehatan pekerja: Faktor fisik, faktor biologi, faktor faal ergonomi serta faktor psikososial. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan pekerja adalah faktor lingkungan fisik yaitu ventilasi, kelembababan, suhu, pencahayaan, debu. Kasus gangguan paru yang disebabkan oleh paparan debu banyak ditemukan di Indonesia, berbagai faktor dalam timbulnya gangguan saluran nafas akibat debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimia serta lama paparan, beberapa faktor dari karakteristi pekerja juga juga dapat mempengaruhi
keadaan paru diantaranya, kebiasaan merokok, kebiasaan memakai alat pelindung diri, kebiasaan olah raga dll (karbella 2011). Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan Bapelkes Sulawesi Selatan pada tahun 1999 terhadap 200 tenaga kerja diperoleh hasil 45% responden yang mengalami retriksi, 1% responden mengalami obstruktive, 1% responden gabungan restriktif dan obstruktif. (Irga, 2009) Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, prevalensi hipeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA) sebesar 25,0% . Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar prevalensi insiden Infeksi saluran pemapasan akut (ISPA) pada tahun 2014 sebesar 27,8% urutan pertama dari 10 besar penyakit terbanyak di kabupaten Kampar ( Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, 2014 ). Diambil dari Jurnal FK Universitas Riau. Analisis Pengaruh Kepadatan Debu dan Penggunaan APD Pekerja Pabrik Pakan Ikan Terhadap Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pabrik Pakan Ikan di Kecamatan XIII Koto Kampar. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada di negara maju dan berkembang. Hal ini karena karena tingginya angka kesakitan dan kematian akibat ISPA pada balita. Menurut laporan WHO, angka kesakitan akibat infeksi saluran pernapasan akut mencapai 8,2%. Kunjungan kesehatan akibat infeksi saluran pernapasan akut dilaporkan sebanyak 20% di negara berkembang. Di Indonesia, infeksi saluran pernapasan akut akut menempati urutan pertama pada tahun 2008, 2009, dan 2010 dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Indonesia. Menurut hasil Riskesdes 2007 proporsi kematian balita karena pneumonia menempati urutan kedua (13,2%) setelah diare. Dalam perjalannya, penyakit infeksi saluran pernapasan akut dipengaruhi oleh berbagai macam factor resiko. Secara umum terdapat tiga factor resiko terjadinya ISPA, yaitu factor lingkungan, factor individu serta farkor prilaku. Jenis penelitian ini adalah studi analitik dengan desain cross sectional untuk mengetahui hubungan lingkungan fisik berupa
ventilasi, pencahayaan alami, kelembaban rumah dan kepadatan hunian rumah serta tindakan pendudukan berupa kebiasaan merokok, kebiasaan buka jendela dan penggunaan bahan bakar rumah tangga dengan kejadia ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Kota Tangah kota Padang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara menggunakan quisioner dengan sampel sebanya 106 pada tahun 2013 yang di kumpulkan secara ramndom sampling. Data yang dikumpukan dianalisis secara univariat menggunakan statistik deskriptif dan bivariate menggunakan uji chi square dengan derajat kemaknaan p<0,05 dan Coefficient contingency 0,2 < Cc < 1,0. Dari hasil analisis statistik untuk hubunganantara penggunaan bahan bakar rumah tanggadengan kejadian ISPA pada balita di wilayah
kerja Puskesmas
Lubuk
Buaya
didapatkan
nilai
p<0.05(0.027) dan nilai Cc = 0.210. Hal ini berarti terdapat hubungan yang lemah antara penggunaan bahan bakar rumah tangga berupa bahan bakar tradisional yakni kayu bakar dengan kejadian ISPA pada balita. Bahan bakar rumah tangga yang berasal dari kayu / tradisonal akan menghasilkan asap yang lebih banyak daripada bahan bakar modern seperti kompor minyak ataupun kompor gas. Hal ini akan mempengaruhi kondisi udara dalam rumah. Asap yang berasal dari hasil pembakaran kayu mengandung banyak karbon monoksida. Bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas. Hubungan Lingkungan Fisik dan Tidakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wiliayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya tahun 2013. 4. Apakah pajanan cukup Masa kerja Jumlah jam terpajan/ hari Pemakaian APD Konsentrasi pajanan Lainnnya........... Kesimpulan jumlah pajanan dan dasar perhitungannya
Ya 4 tahun 9 jam Sepatu, celemek Sulit dinilai -
5. Apa ada faktor individu yang berpengaruh thd timbulnya diagnosis klinis? Bila ada, sebutkan. 6 . Apa terpajan bahaya potensial yang sama spt di langkah 3 luar tempat kerja? Bila ada, sebutkan 7 . Diagnosis Okupasi Apa diagnosis klinis initermsk penyakit akibat kerja? Bukan penyakit akibat kerja (diperberat oleh pekerjaan/ bukan sama sekali PAK)_ Butuh pemeriksaan lbh lanjut)?
Ada, yaitu lingkungan disekitar rumahnya yang merupakan kepadatan penduduk dan lingkungan yang kurang bersih karena saluran air (got) yang kotor. Tidak ada
ISPA dan merupakan Penyakit Diperberat Oleh Kerja
VIII. KATEGORI KESEHATAN Kesehatan baik (sehat untuk bekerja = physical fitness)
IX.
PROGNOSIS
klinik : ad vitam
:bonam
ad sanasionam
: bonam
ad fungsionam
: bonam
Okupasi (bila ada d/ okupasi) : bonam
X.
No
PERMASALAHAN PASIEN & RENCANA PENATALAKSANAAN Jenis
Rencana Tindakan (materi & metoda); Tatalaksana
permasalahan
medikamentosa; non medika mentosa(nutrisi,
Target Hasil yang
Medis & non
olahraga, konseling dan OKUPASI)
waktu diharapkan
medis dll)
1.
ISPA dan Okupasi: Penyakit Akibat - Eliminasi: sulit dilakukan Kerja - Subsitusi: sulit dilakukan
Segera Keluhan berkurang
-
Isolasi : sulit dilakukan
-
Engineering control: tidak memungkinkan
-
Administrative control: memberikan edukasi ke management agar dilakukan rotasi kerja
-
APD: diperlukan penggunaan masker saat bekerja
Terapi Medikamentosa: -
Cefadroksil 500 mg 2 x l
-
Ambroxol 3x1
-
Vitamin C 1x1
Terapi non medikamentosa Five level of prefentif: 1. Promosi kesehatan -
Memberikan
edukasi
tentang
menjaga
kepada
pasien
tentang
kebersihan diri -
Menjelaskan penyakitnya
2. Spesifik protection -
Menggunakan masker saat bekerja
3. Early diagnositic -
Melakukan check up rutin 6 bulan sekali
4. Disability limitation -
Memberi tahu pasien untuk minum obat secara teratur
5. Rehabilitasi
Persetujuan Pembimbing Pembimbing : Dr.dr.H. Sultan Buraena, MS,Sp.OK
Tanda Tangan :
Nama Jelas Tanggal
: Muhammad Auliarahman Haq : 16 April 2017
BAB III PEMBAHASAN
DEFINISI Infeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran pemapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu.1
INSIDEN ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pemapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak.1 Populasi yang memiliki risiko tertinggi kematian akibat penyakit pemapasan adalah pada usia muda dan usia lanjut, serta orang dengan penunman kekebalan tubuh. Sementara infeksi saluran pemapasan atas sering terjadi namun tidak berbahaya, infeksi saluran pemapasan bawah lebih sering menyebabkan kematian.2 Insiden dari infeksi saluran pemapasan akut pada anak-anak di bawah 5 tahun diperkirakan 29 % dan 5 % kejadian pada anak-anak di negara beikembang dan industry. Kebanyakan kasus terjadi di India (43 juta kasus), Cina (21 juta kasus). Pakistan (10 juta kasus), Bangladesh, Indonesia dan Nigeria (masingmasing 56 kasus). 21 % dari seluruh kematian pada anak-anak di bawah lima tahun disebabkan oleh
pneumonia, yang diperkirakan dari sedap 1000 kelahiran hidup, 12-20 akan meninggal sebelum umur lima tahun.2,3 Menurut Depanemen kesehartan Republik Indonesia pada akhit tahun 2000, diperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama infeksi saluran pemapasan akut di Indonesia mencapoai 6 kasus di antara 1000 bayi dan balita.1
ETIOLOGI Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pemapasan bawah, dan Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab paling umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh bakteri. Laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Makasar) didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut Klebsiella pneumoniae 45,18%, Streptococcus pneumoniae 14,04 %, Streptococcus viridans9,21 %, Staphylococcus aureus 9 %, Pseudomonas aeruginosa 8,56 %, Streptococcus haemoliticus 7.89 %, Enterobacter 5,26 %, dan Pseudomonas spp 0,9 %.Laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Makasar) didapatkan hasil pemeriksaan sputum sebagai berikut Klebsiella pneumoniae
45,18%,
Streptococcus
pneumoniae
14,04
%,
Streptococcus
viridans9,21%, Staphylococcus aureus 9 %, Pseudomonas aeruginosa 8,56 %, Streptococcus haemoliticus 7.89 %, Enterobacter 5,26 %, dan Pseiidomonas spp 0,9 % .Namun demikian, patogen yang paling sering menyebabkan ISPA adalah vims, atau infeksi gabungan virus-bakteri. Respiratory Synctial Virus (RSV) mempakan penyebab penyakit yang serius pada anak-anak. Selain pada anak-anak, RSV juga memiliki peranan penting penyebab penyakit pada orang tua dan orang dewasa. Hampir semua
infeksi RSV simptomatik dan cenderung menyebabkan morbiditas dan mortalitas serta penggunaan pelayanan kesehatan.2,4
FAKTOR RESIKO Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan: 1. kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperatur); 2. ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi); 3. faktor pejamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum; dan karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi (misalnya, gen penyandi toksin), dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran inokulum).1
Faktor pejamu yang spesifik juga mempengaruhi risiko infeksi dengan mikroba spesifik. Misabya perokok dan penderita PPOK lebih memiliki risiko tinggi terinfeksi oleh S.pneumoniae, H.influenzae, Moraxella catarrhalis, dan Legionella.5
KLASIFIKASI ISPA Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut: 1. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing).
2. Pneumonia, terbagi dua yaitu community acquired pneumonia (pneumonia komunitas) dan hospital acquired pneumonia (pneumonia nosokomial) 3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia. 6
GEJALA KLINIK Gejalanya meliputi demam, batuk, dan seringjuga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak napas, mengi, atau kesulitan bcmapas. Infeksi saluran pemapasan akut dapat terjadi dengan berbagai gejala klinis. Gejala klinik yang membedakan apakah penyebab dari (ISPA adalah vims atau bakteri sulit dibedakan.6,7
PENGOBATAN 1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya. 2. Pneumonia: diberi obat sesuai dengan organism penyebab. 3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotic, terapinya berupa terapi simptomatik.
Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein.dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Uji klinik dari manfaat Zinc, Vitamin C, dan terapi alternative Iain tidak mempunyai manfaat yang konsisten untuk terapi.6,7
Pemberian antibiotik yang tidak sesuai untuk infeksi saluran pemapasan akut dapat menyebabkan peningkatan prevalensi dari resistensi antibiotic. Lebih dari setengah dari selumh pemberian resep antibiotic untuk ISPA tidak perlu karena infeksi ini lebih sering disebabkan oleh virus dan tidak memerlukan antibiotik. Mengetahui apakah ISPA yang teijadi ini karena infeksi bakteri atau virus sangatlah penting untuk menentukan jenis pengobatan yang akan diberikan nantinya.8
Sebelum hasil kultur keluar, maka antibiotic yang dapat diberikan adalah antibiotic spectrum luas, yang kemudian sesuai hasil kultur diubah menjadi kltur sempit Lama pemberian terapi ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau bakteriemi, beratnya penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi diberikan selama 7-10 hari. Ketentuan untuk memberikan makrolid pada pasien pneumonia komunitas berat di daerah Asia perlu penditian lebih lanjut. Penelitian di Malaysia terhadap pasien pneumonia komuniatas yang diberikan makrolod dan tidak diberika makrolid tidak didapatkan perbedaan manfaat yang bermakna.Hal ini berkaitan dengan perbedaan jenis dan kepekaan patogen penyebab pneumonia komunitas.10
PENCEGAHAN Landasan pencegahan dan pengendalian infeksi untuk perawatan pasien ISPA meliputi pengenalan pasien secara dini dan cepat, pelaksanaan tindakan pengendalian infeksi rutin untuk semua pasien , tmdakan pencegahan tambahan pada pasien tertentu (misalnya, berdasarkan diagnosis presumtif), dan pembangunan prasarana pencegahan
dan pengendalian infeksi bagi fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendukung kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi. Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan umumnya didasarkan pada jenis pengendalian berikut ini: 1
1. Reduksi dan Eliminasi Pasien yang terinfeksi merupakan sumber utama patogen di fasilitas pelayanan kesehatan dan penyebaran agen infeksius dari sumbernya harus dikurangi/dihilangkan. Contoh pengurangan dan penghilangan adalah promosi kebersihan pemapasan dan etika batuk dan tindakan pengobatan agar pasien tidak infeksius.8
2. Pengendalian administrarif Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan harus menjamin sumber daya yang diperlukan untuk pelaksanaan langkah pengendalian infeksi. Ini meliputi pembangunan prasarana dan kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi yang berkelanjutan, kebijakan yang jelas mengenai pengenalan dini ISPA yang dapat menimbulkan kekhawatiran, pelaksanaan langkah pengendalian infeksi yang sesuai, persediaan yang teratur dan pengorganisasian pelayanan (misalnya, pembuatan sistem klasifikasi dan penempatan pasien). Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan juga harus melakukan percncanaan staf untuk mempromosikan rasio pasien-staf yang memadai, memberikan pelatihan staf, dan mengadakan program kesehatan staf (misalnya, vaksinasi, profilaksis) untuk meningkatkan kesehatan umum petugas kesehatan. 8
3. Pengendalian lingkungan dan teknis
Pengendalian ini mencakup metode untuk mcngurangi konsentrasi aerosol pemapasan infeksius (misalnya, droplet nuklei) di udara dan mengurangi keberadaan permukaan dan benda yang terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi. Contoh pengendalian teknis primer untuk aerosol pemapasan infeksius adalah ventilasi Imgkungan yang memadai (>. 12 ACH) dan pemisahan tempat (>1 m) antar pasien. Untuk agen infeksius yang menular lewat kontak, pembersihan dan disinfeksi permukaan dan benda yang terkontaminasi merupakan metode pengendalian lingkungan yang penting. 8
4. Alat Pelindung Diri (APD) Semua strategi di atas mengurangi tapi tidak menghilangkan kemungkinan pajanan terhadap risiko biologis. Karena itu, untuk lebih mengurangi risiko ini bagi petugas kesehatan dan orang lain yang berinteraksi dengan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan, APD harus digunakan bersama dengan strategi di atas dalam situasi tertentu yang menimbulkan risiko penalaran patogen yang lebih besar. Penggunaan APD harus didefinisikan dengan kebijakan dan prosedur yang secara khusus ditujukan untuk pencegahan dan pengendalian infeksi (misalnya, kewaspadaan isolasi). Efektivitas APD tergantung pada persediaan yang memadai dan teratur, pelatihan staf yang memadai, membersihkan tangan secara benar, dan yang lebih penting, perilaku manusianya.8 Semua jenis pengendalian di atas sangat saling berkaitan. Semua jenis pengendalian tersebut harus diselaraskan untuk menciptakan budaya keselamatan keija institusi, yang menjadi landasan bagi perilaku yang aman. 8
DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pemapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.2007. 2. WHO. Acute Respiratory Infections (Update Oktober 28). [serial online]. 2015.
[cited
2017
April
5].
Available
from:
www.who.int/vaccine_rcsearch/diseases/ari/en/print.html 3. Wahyono Dj, Hapsari I, Astuti IWB. Pola Pengobatan Infeksi Saluran Napas Akk Usia Bawah Lima Tahun (Balita) Rawat Jalan di Puskesmas I Purwareja Klampok Kabupaten Banjarnegara Tahun 2004.[serial online]. 2015. [cited 2017 April 5]. Available from: http://mfi.farmasi.ugm.ac.id 4. Falsey, Ann R et al. respiratory Synctial Virus Infection in Elderly and High Risk Adults. 2015. [cited 2017 April 5].AvaiIabele from : www.nejm.org. 5. Goldman, Lee and Aussielo, Dennis. Cecil Medicine 23rd Edition.USA : Elsevier Inc. 2008. 6. Rasmaliah.
Infeksi
Saluran
Pemapasan
Akut
(ISPA)
dan
Penanggulangannya. 2015. [cited 2017 April 5].Available firom: http://library.usu.ac.id/ 7. McPhee, Stephen J and Papadakis, Maxin A. Current Medical Diagnosis & Treatment 2008. San Fransisco: McGraw Hill. Dahlan Z. Pneumonia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.