Bab 1.docx

  • Uploaded by: Darul Yaqin
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,170
  • Pages: 18
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Di dunia angka kematian ibu dan bayi yang tertinggi adalah di Asia Tenggara. Laporan awal Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) 2007 menyebtkan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 248 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 kelahiran hidup. Departemen Kesehatan (Depkes) 2009 menargetkan pada tahun 2009 AKI menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup (Panggabean, 2010). Ada 3 penyebab klasik kematian

ibu

yaitu,

perdarahan,

keracunan

kehamilan dan

infeksi.

Sebenarnya ada penyebab ke 4 yaitu abortus. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% kematian ibu disebabkan oleh abortus. Komplikasi

abortus

perdarahan

atau

infeksi

dapat

menyebabkan

kematian. Itulah sebabnya mengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Panggabean, 2010). Kita

tahu

bahwa

istilah abortus dipakai untuk

menunjukkan

pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup diluar kandungan. Sampai saat ini janin yang terkecil,

yang dilaporkan dapat hidup diluar kandungan,

mempunyai

berat badan 297 gram

waktu

lahir.

Akan

tetapi,

karena

jarangnya

janin

yang

dilahirkan dengan berat badan

dibawah

500

gram

dapat

hidup

terus,

maka

abortus

ditentukan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum janin mencapai berat

500

gram

atau

kurang

dari

20 minggu.

Abortus

yang

berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan. Abortus buatan ialah pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu akibat tindakan. Abortus terapeutik ialah abortus buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Frekuensi abortus sukar ditentukan karena abortus buatan banyak tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi,

juga

karena

sebagian abortus spontan hanya disertai gejala dan tanda ringan, sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai haid

terlambat.

Diperkirakan

frekuensi

abortus

spontan

berkisar 10-15% (Fransisca, 2007). Frekuensi banyak

abortus

sukar

ditentukan

karena

abortus

buatan

tidak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi. Abortus

spontan kadang-kadang hanya disertai

gejala

dan

tanda

ringan,

sehingga pertolongan medik tidak diperlukan dan kejadian ini dianggap sebagai terlambat haid. Diperkirakan frekuensi abortus spontan berkisar

10-15%.

Frekuensi

ini

dapat

mencapai

angka

50%

bila

diperhitungkan mereka yang hamil sangat dini, terlambat haid beberapa hari, sehingga wanita itu sendiri tidak mengetahui bahwa ia sudah hamil. Di Indonesia, diperkirakan ada 5 juta kehamilan pertahun. Dengan demikian setiap tahun 500.000-750.000 abortus spontan (Azhari, 2002). Di

perkotaan

abortus

dilakukan

24-57%

oleh

dokter,16-28%

oleh

bidan/perawat, 19-25% oleh dukun dan 18-24% dilakukan sendiri. Sedangkan di pedesaan abortus dilakukan 13-26% oleh dokter, 18-26% oleh bidan/perawat, 31-47% oleh dukun dan 17-22% dilakukan sendiri. Cara

abortus

yang

dilakukan

oleh

dokter

dan bidan/perawat

adalah berturut-turut: kuret isap (91%), dilatasi dan kuretase (30%) sertas prostaglandin / suntikan (4%). Abortus yang dilakukan sendiri atau dukun memakai obat/hormon (8%), jamu/obat tradisional (33%), alat lain (17%) dan pemijatan (79%) (Azhari, 2002) Survei yang dilakukan di beberapa klinik di Jakarta, Medan, Surabaya dan Denpasar menunjukkan bahwa abortus dilakukan 89% pada

wanita

yang

sudah menikah, 11% pada wanita yang belum

menikah dengan perincian: 45% akan menikah kemudian, 55% belum ada rencana menikah. Sedangkan golongan umur mereka yang melakukan

abortus: 34% berusia antara 30-46 tahun, 51% berusia antara 20-29 tahun dan sisanya 15% berusia di bawah 20 tahun (Azhari, 2002). Insidensi abortus sulit ditentukan karena kadang-kadang seorang wanita dapat mengalami

abortus

mempunyai

gejala

tanpa

mengetahui

bahwa

ia

hamil,

tidak

yang hebat sehingga hanya dianggap sebagai

menstruasi yang terlambat (siklus memanjang). Terlebih lagi insidensi abortus

kriminalis,

sangat

sulit

ditentukan

karena

biasanya

tidakdilaporkan. Angka kejadian abortus dilaporkan oleh rumah sakit sebagai rasio dari jumlah abortus terhadap jumlah kelahiran hidup. Di

USA,

angka

kejadian

secara nasional berkisar antara 10-20%.

(Krisnandi, 2004). Maka berdasarkan latar belakang diatas,

maka tugas

grand

remedial dengan judul “Abortus”. 1.2.Tujuan 1.2.1. Untuk mengetahui terjadi ferttilisasi dan kehamilan 1.2.2. Untuk mengetahui definisi abortus 1.2.3. Untuk mengetahui dasar diagnosa abortus 1.2.4.

Untuk

mengetahui

dan

menjelaskan

abortus

baik

dari

mengenai patologi, etiologi dan kategori dan terapi abortus spontan 1.2.5. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang abortus terinduksi, baik dari segi definisi abortus elektif, teknik abortus 1.2.6. Untuk mengetahui Komplikasi abortus

BAB 2 TELAAH PUSTAKA 2.1. Fisiologi Fertilisasi dan Kehamilan 2.1.1. Fertilisasi Fertilisasi adalah penyatuan spermatozoa dan oosit sekunder untuk membentuk sel diploid – zigot yang mengandung kromosom maternal dan paternal

a. Spermatozoa.

Selama berlangsungnya

senggama, sekitar

250

sampai 400 juta sperma disemprotkanke dalam vagina saat lakilaki mengejakulasi semen 

spermatozoa,

berenang

dibantu kontraksi berasenden

dengan

muskular

kekuatannya

uterus

dan

sendiri tuba

dan

uterin,

melalui serviks, rongga uterus, dan ismus tuba

uterin menuju ampula tubal. Hanya sedikit sprema yang diejakulasi dapat mencapai oosit yang berada di salah satu ampula 

kapasitas sperma. Sewaktu dalam lingkungan cairan pada uterus dan tuba, sperma mengalami pengkondisian membran sel

dan akromosom sperma yang membuat sperma mampu

berfertlisasi 

reaksi

kromosomal.

Sperma

terkapasitasi

melepas

enzim

hidrolitik dari akromosom untuk mencerna sel korona radiate dan

zona pellucid

sperma

oosit

dan

menembus oosit.

membuka

Jika

satu

jalan

sperma

untuk

satu

menembus

membrane sel oosit, zona pellucidanya akan membuat oosit menjadi kebal terhadap sperma lain b. Oosit. Biasanya hanya satu oosit tunggal yang dilepas ovarium kedalam tuba uterin saat ovulasi 

saat

satu

sperma

menembus

membrane

sel

oosit,

zona

pellucid oosit mengalami perubahan kimia dan menjadi tidak tertembus oleh sperma lain 

oosit diaktivasi oleh penetrasi sperma untuk menyelesaikan pembelahan meiosis keduanya dan membentuk ovum dan badan polar kedua. Kromosom mendapat membran nuklear yang baru yang disebut pronukleus perempuan

c. Fusi pronukleus 

sperma

yang

menembus

membrane nuklearnya

oosit

kehilangan

menghilang.

Dengan

flagellum

dan

terbentuknya

selaput pronuklir yang baru, maka sperma berkembang menjadi pronukleus laki-laki 

pronukleus laki-laki bergerak menuju pronukleus perempuan untuk bersatu dengannya. Membran nuklear keduanya pecah, DNA-nya bereplikasi, dan kromosomnya berbaris pada bidang ekuator. Pembelahan mitosis pertama langsung terjadi



Oosit mampu menjalani fertilisasi selama 24 jam. Sperma aktif dalam saluran reproduksi perempuan selama 48 sampai 72 jam.

Dengan

senggama

demikian,

harus

agar fertilisasi

berlangsung

antara

tiga

dapat hari

terjadi, sebelum

ovulasi sampai satu hari setelah ovulasi (Sloane, 2003).

Gambar 1. Fertilisasi 2.1.2. Kehamilan 

Aspek Umum.

Kehamilan dimulai oleh fertilisasi sebuah sel telur

oleh

sperma.

sebuah

Fertilisasi

melibatkan

masa

gestasi

(perkembangan embrionik dan janin) dan secara normal diakhiri dengan partus atau kelahiran bayi 

Durasi.

Lama

kehamilan

adalah

266

hari

(38

minggu)

dari

waktu

fertilisasi sampai waktu kelahiran bayi. Karena waktu

fertilisasi yang tepat biasanya tidak diketahui,

maka

tanggal

kelahiran biasanya dihitung dari awitan periode 

menstruasi terakhir. Asumsikan siklus 28 hari, maka partus akan terjadi pada ke-280 atau 40 minggu (Sloane, 2003).

Gambar 2. Kehamilan dan Perkembangan Janin 2.2. Definisi Abortus Definisi abortus (aborsi, abortion) adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun sebelum janin mampu bertahan hidup. Definisi lain

yang

sering

digunakan adalah keluarnya janin-neonatus yang

beratnya kurang dari 500 gr (Cunningham et al, 2005). Tabel 1. Berakhirnya Kehamilan menurut Lamanya Kehamilan (Krisnandi, 2004)

2.3. Dasar Diagnosa Abortus Menurut

Chalik,TM

(1998)

dalam

penelitian

Tanjung

(2006),

untuk menduga seseorang menderita abortus dibuat beberapa kriteria, antara lain: a. terjadi keterlambatan haid b. terjadi perdarahan c. disertai sakit perut dan mules d. dapat diikuti oleh pengeluaran hasil konsepsi e. pemeriksaan tes hamil dapat masih positif atau sudah negative Selain

itu

juga

dilakukan

pemeriksaan

fisik

terhadap

wanita

dan

biasanya bervariasi, antara lain: a. pemeriksaan fisik bervariasi tergantung jumlah pendarahan b. pemeriksaan tinggi

fundus

uteri

dilakukan

dengan

memperhatikan

dan besarnya tetap dan sesuai dengan umur kehamilan,

tinggi dan besarnya sudah mengecil, fundus uteri tidak teraba diatas simfisis c. pemeriksaan dalam dilakukan

dengan memperhatikan serviks

uteri masih tertutup, serviks sudah terbuka dan dapat teraba ketuban,

hasil

konsepsi dalam kavum uteri atau pada kanalis

servikalis dan konsistensinya lunak 2.4. Abortus Spontan

Apabila abortus terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata

lain

yang

luas

digunakan

adalah

keguguran

(miscarriage)

(Cunningham et al, 2005). 2.4.1. Patologi Abortus biasanya disertai oleh peradangan ke dalam desidua basalis dan nekrosis di jaringan dekat

tempat

perdarahan. Ovum

menjadi

terlepas, dan hal ini memicu kontraksi uterus yang menyebabkan ekspulsi. Apabila kantung dibuka, biasanya dijumpai janin kecil yang mengalami maserasi dan dikelilingi oleh cairan, atau mungkin tidak

tampak

janin

didalam

kantung

dan

disebut

blighted

ovum

(Cunningham et al, 2005). Mola karneosa atau darah adalah suatu ovum yang dikelilingi oleh

kapsul bekuan

dengan

vili korionik

darah. yang

Kapsul

memiliki

ketebalan

telah berdegenerasi tersebar

bervariasi, diantaranya.

Rongga kecil di dalam yang terisi cairan tampak menggepeng dan terdistorsi akibat dinding bekuan darah lama yang tebal (Cunningham et al, 2005). Pada

abortus

tahap

lebih

lanjut,

terdapat

beberapa

kemungkinan hasil. Janin yang

tertahan

dapat

mengalami

maserasi.

Organ-organ

dalam

mengalami degenerasi dan nekrosis. Cairan amnion mungkin terserap saat janin tertekan dan mengering untuk membentuk fetus kompresus. Kadang-kadang, janin akhirnya menjadi sedemikian kering dan tertekan sehingga mirip dengan perkamen, yang disebut fetus papiresus (Cunningham et al, 2005). 2.4.2. Etiologi Lebih 80% abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah itu

angka ini cepat menurun. Kelainan komosom merupakan penyebab

pada, paling sedikit separuh dari kasus abortus dini ini, dan setelah itu insidensinya juga menurun. Risiko abortus spontan

meningkat

seiring

dengan paritas serta usia ibu dan ayah (Cunningham et al,2005). 2.4.2.1. Faktor Janin a. Perkembangan pada

zigot

abnormal.

Temuan

morfologis

tersering

abortus spontan dini adalah kelainan perkembangan zigot,

mudigah, janin bentuk awal, atau kadang-kadang plasenta. b. Abortus aneuploidi. Kelainan kromosom sering dijumpai pada mudigah dan janin awal yang mengalami abortus spontan, dan menyebabkan

banyak

atau sebagian besar abortus pada awal

kehamilan c. Trisomi

autosom

dijumpai

merupakan

pada abortus

disebabkan

oleh

kelainan

trisemester

kromosom

pertama.

tersering

Trisomi

dapat

nondisjunction tersendiri, translokasi seimbang

maternal atau paternal, atau inverse kromosom seimbang d. Monosomi

X

(45,X)

adalah

kelainan

kromosom

tersering

berikutnya dan memungkinkan lahirnya bayi perempuan hidup (sindrom

turner).

Triploidi sering dikaitkan dengan degenerasi

hidropik pada plasenta e. Kelainan struktural kromosom jarang menyebabkan abortus dan baru

teridentifikasi

setelah

dikembangkannya

teknik-teknik

pemitaan (banding). f. Abortus

euploid.

Penyebab

abortus

euploid

umumnya

tidak

diketahui, tetapi mungkin disebabkan oleh:  Kelainan genetik, misalnya mutasi tunggal atau faktor poligenik  Berbagai faktor ibu  Mungkin beberapa ayah (Cunningham et al, 2005). 2.4.2.2. Faktor Ibu Berbagai perkembangan

penyakit

medis,

kondisi

lingkungan,

dan

kelainan

diperkirakan berperan dalam abortus euploid (Cunningham et al, 2005). 2.4.2.3. Faktor Ayah Tidak

banyak diketahui tentang

faktor

ayah dalam terjadinya

abortus spontan. Yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus (Cunningham et al, 2005). 2.4.3. Kategori dan Terapi Abortus Spontan 2.4.3.1. Abortus Iminens Diagnosis abortus iminens dipikirkan apabila terjadi perdarahan atau raba (discharge) per vaginam pada paruh pertama kehamilan. Hal ini sangat sering di jumpai, dan satu dari empat atau lima wanita mengalami bercak (spotting) atau perdarahan per vaginan lebih banyak pada awal gestasi. Perdarahan abortus iminens umumnya sedikit, tetapi dapat menetap selama beberapa hari sampai beberapa minggu (Cunningham et al, 2005). Setelah konseptus meninggal, jaringan

yang keluar

harus

uterus

diperiksa

harus dikosongkan. Semua

untuk

menentukan

apakah

abortusnya telah lengkap. Kecuali apabila janin dan plasenta dapat diidentifikasi secara pasti, mungkin diperlukan kuretase. Ultrasonografi abdomen atau probe vagina dapat membantu kita dalam proses pengambilan keputusan ini. Apabila di dalam rongga uterus terdapat jaringan dalam jumlah

signifikan,

sebagian

besar

dokter

menganjurkan

kuretase.

Kehamilan ektopik harus

selalu

iminens.

Hal

dipertimbangkan

dalam

diagnosis

banding

abortus

ini terutama apabila kantung gestasi atau janin tidak

teridentifikasi. Potong beku terhadap hasil kuretase dapat membantu diagnosis (Cunningham et al, 2005). Wanita dengan abortus iminens yang D-negatif mungkin diperlukan mendapat

immunoglobulin anti-D. (Cunningham et al, 2005). 2.4.3.2. Abortus tidak Terhindarkan Abortus yang tidak terhindarkan ditandai oleh pecah ketuban yang nyata disertai pembukaan serviks. Pada keadaan ini, abortus hampir pasti terjadi. Pada pecahnya selaput ketuban yang nyata selama paruh pertama kehamilan sangat kecil. Apabila pada kehamilan

dini

terjadi

pengeluaran cairan mendadak yang mengisyaratkan pecahnya selaput ketuban

sebelum

timbul

nyeri

atau

perdarahan,

wanita

yang

bersangkutan dirawat tirah baring dan diamati kebocoran cairan lebih lanjut, perdarahan, nyeri kram, atau

demam.

Namun,

apabila

pengeluaran banyak cairan disertai atau diikuti oleh perdarahan dan nyeri, atau apabila timbul demam, abortus harus dianggap tidak dapat dihindari dan uterus dikosongkan (Cunningham et al, 2005). 2.4.3.3. Missed Abortion Hal

ini didefinisikan sebagai potensi

produk

konsepsi

yang

telah

meninggal in utero selama beberapa minggu (Cunningham et al, 2005). 2.4.3.4. Abortus Rekuren Keadaan ini didefinisikan menurut berbagai kriteria jumlah dan urutan, tetapi definisi yang mungkin paling luas diterima adalah abortus spontan berturut-turut selama tiga kali atau lebih. Pada sebagian besar kasus, abortus spontan berulang kemungkinan adalah fenomena kebetulan (Cunningham et al, 2005). 2.4.4. Prognosis Selain inkompeten,”

pada

kasus

antibodi

antifosfolipid

angka kesembuhan” setelah tiga

dan

kali abortus

serviks berturut-

turut berkisar antara 70 dan 85 persen, apapun terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi, tetapi tidak jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan kehamilan secara umum.

Namun, pernah

apabila

wanita

belum pernah

mengalami paling

sedikit

melahirkan

satu

kali

bayi

hidup dan

abortus spontan, risiko

abortus adalah 46 persen. Wanita dnegan abortus spontan tiga kali atau lebih beresiko lebih besar mengalami previa,

pelahiran preterm, plasenta

persentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan

berikutnya (Cunningham et al, 2005). 2.5. Abortus Terinduksi Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin mampu hidup (viable) (Cunningham et al, 2005). Beberapa indikasi untuk abortus terapeutik dibahas bersama penyakit yang umumnya menyebabkan tindakan tersebut perlu dilakukan. Indikasi-indikasi yang telah terbukti

adalah

dekompensatio

kordis

penyakit

jantung

persisten dengan

riwayat

dan penyakit vascular hipertensif tahap lanjut.

Yang lain adalah karsinoma serviks invasive. American

College

of

Obstetricians

and

Gynecologist

(1987)

dapat

mengancam

nyawa

menetapkan petunjuk untuk abortus terapeutik: a. Apabila wanita

berlanjutnya

kehamilan

yang bersangkutan atau menganggu kesehatan secara

serius b. Apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan atau incest c. Apabila

berlanjutnya

menyebabkan lahirnya

kehamilan bayi

dengan

kemungkinan retardasi

mental

besar atau

deformitas fisik berat (Cunningham et al, 2005).

2.5.1. Abortus Elektif (Volunter) Abortus elektif atau volunteer adalah interupsi kehamilan sebelum janin mampu hidup atas permintaan wanita yang bersangkutan, tetapi bukan atas alasan penyakit janin atau gangguan kesehatan ibu. Sebagian besar abortus yang dilakukan saat ini termasuk dalam kategori ini;

bahkan, terjadi sekitar satu abortus elektif untuk setiap tiga kelahiran hidup di amerika serikat (Cunningham et al, 2005). 2.5.2. Teknik Aborsi 2.5.2.1. Dilatasi dan Kuretase Abortus bedah dilakukan dan kemudian mengosongkan

mula-mula dengan mendilatasi serviks uterus

dengan

mengerok

isi

uterus

(kuretase tajam) secara mekanis, melakukan aspirasi vakum (kuretase isap), atau keduanya (Cunningham et al, 2005). 2.5.2.2. Dilator Higroskopik Trauma akibat dilatasi mekanik dapat dikurangi dengan menggunakan suatu alat yang secara perlahan membuka serviks. Alat ini menarik air dari jaringan serviks dan juga prainduksi.

Batang

digunakan

laminaria

untuk

pematangan

serviks

sering digunakan untuk membantu

membuka serviks (Cunningham et al, 2005). 2.5.2.3. Prostaglandin Selain menggunakan dilator higroskopik agar serviks melunak, dapat

digunakan

pesarium

(supositoria)

prostaglandin

yang

dimasukkan ke dalam vagina sampai ke serviks sekitar 3 jam sebelum upaya dilatasi dilakukan (Cunningham et al, 2005). 2.5.3. Induksi Abortus Secara Medis 2.5.3.1. Oksitosin Pemberian oksitosin dosis tinggi dalam sedikit cairan intarvena dapat menginduksi abortus pada kehamilan trisemester kedua. Salah satu regimen yang kamibuktikan efektif adalah campuran 10 ampul oksitosin 1 ml (10 IU/ml) ke dalam 1000 ml larutan ringer laktat. Larutan ini mengandung 100 mU oksitosin per ml. Infus intravena dimulai dengan kecepatan 0,5 ml/mnt (50 mU/mnt). Kecepatan infus ditambah setiap 15 sampai 30

menit

sampai

(Cunningham et al, 2005).

maksimum 2

ml/menit

(200mU/menit)

2.5.3.2. Larutan Hiperosmotik Intraamnion Agar terjadi abortus pada trisemester kedua, dapat dilakukan penyuntikan 20 sampai 25 persen salin atau urea 30 sampai 40 persen ke dalam kantung amnion untuk merangsang kontraksi uterus dan pembukaan serviks (Cunningham et al, 2005). 2.5.3.3. Prostaglandin Karena menginduksi

kekurangan

metode-metode

abortus, prostaglandin

dan

medis

lain

beragam

dalam

analognya

digunakan secara luas untuk mengakhiri kehamilan, teruatama pada trisemester kedua. Prostaglandin dapat bekerja secara efektif pada serviks dan uterus apabila: 1. Dimasukkan ke vagina sebagai supositoria atau pesarium tepat di dekat serviks 2. Diberikan sebagai gel melalui sebuah kateter ke dalam kanalis servikalis dan bagian paling bawah uterus secara ekstraovular 3. Disuntikkan intramuscular 4. Disuntikkan ke dalam kantung amnion melalui aminosentesis 5. Diminum per oral (Cunningham et al, 2005). 2.5.4. Abortus Septik Penyulit serius pada abortus umumnya terjadi akibat abortus kriminalis. Perdarahan hebat, sepsis, syok, bacterial, dan gagal ginjal akut pernah terjadi abortus legal tetapi dengan frekuensi yang jauh lebih kecil. Hasil biasanya adalah metritis, tetapi dapat juga terjadi parametritis, peritonitis, endokarditis, dan septicemia (Cunningham et al, 2005). 2.6. Komplikasi Abortus Menurut Soerjaningsih et al (1975) dalam penelitian Tanjung (2006)

wanita yang

ingin

menggugurkan

kandungan

bersedia

melakukan apa saja, agar tujuannya tercapai. Aspek lain yang perlu di perhatikan

ialah akibat

social dan emosional

yang ditimbulkan oleh

komplikasi abortus. Besarnya akibat tersebut sulit dinilai tetapi cukup berarti. Risiko komplikasi atau kematian setelah abortus legal oleh tenaga yang terlatih sangat kecil jika dibandingkan dengan abortus legal yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih.

BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan Di dunia angka kematian ibu dan bayi yang tertinggi adalah di Asia Tenggara. Laporan awal Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) 2007 menyebtkan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 248 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 kelahiran hidup. Departemen Kesehatan (Depkes) 2009 menargetkan pada tahun 2009 AKI menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 26 per 1000 kelahiran hidup (Panggabean, 2010).

Ada

3

penyebab

klasik

kematian

ibu

yaitu,

perdarahan,

keracunan kehamilan dan infeksi. Sebenarnya ada penyebab ke 4 yaitu abortus. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 15-50% oleh abortus.

kematian

ibu

disebabkan

Komplikasi abortus perdarahan atau infeksi dapat

menyebabkan kematian. Itulah sebabnya mengapa kematian ibu yang disebabkan abortus sering tidak muncul dalam laporan kematian, tapi dilaporkan sebagai perdarahan atau sepsis (Panggabean, 2010). Apabila abortus terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus, maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata

lain

yang

luas

digunakan

adalah

keguguran

(miscarriage)

(Cunningham et al, 2005). Lebih 80% abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah itu angka ini cepat menurun. Kelainan komosom merupakan penyebab pada, paling sedikit separuh dari kasus abortus dini

ini,

dan setelah itu insidensinya juga menurun. Risiko abortus

spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah (Cunningham et al,2005). Selain inkompeten,”

pada

kasus

antibodi

antifosfolipid

angka kesembuhan” setelah tiga

dan

kali abortus

serviks berturut-

turut berkisar antara 70 dan 85 persen, apapun terapinya. Yaitu, angka kematian janin akan lebih tinggi, tetapi tidak jauh lebih tinggi, dibandingkan dengan kehamilan secara umum. Namun, apabila wanita belum pernah melahirkan bayi hidup dan pernah mengalami paling sedikit satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46 persen. Wanita dnegan abortus spontan tiga kali atau lebih beresiko lebih besar mengalami pelahiran preterm, plasenta previa, persentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya (Cunningham et al, 2005). Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum

janin mampu hidup (viable) (Cunningham et al, 2005). Beberapa indikasi untuk abortus terapeutik dibahas bersama penyakit yang umumnya menyebabkan tindakan tersebut perlu dilakukan. Indikasi-indikasi yang telah terbukti adalah penyakit jantung persisten dengan

riwayat

dekompensatio kordis dan penyakit vascular hipertensif tahap lanjut (Cunningham et al, 2005). Menurut Soerjaningsih et al (1975) dalam penelitian Tanjung (2006) wanita yang ingin menggugurkan kandungan bersedia melakukan apa saja, agar tujuannya tercapai. Aspek lain yang perlu di perhatikan ialah akibat sosial dan emosional yang ditimbulkan oleh komplikasi abortus. Besarnya

akibat tersebut sulit dinilai tetapi

cukup berarti. Risiko

komplikasi atau kematian setelah abortus legal oleh tenaga yang terlatih sangat kecil jika dibandingkan dengan abortus legal yang dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih. 3.2. Saran Sebaiknya dalam kehamilan harus memiliiki rencana untuk kehamilan baik dari segi istri dan suami, setiap kehamilan juga harus memeriksa kesehatan

antara

lain pemeriksaan

Sebaliknya

pada

komplikasi

abortus.

ibu-ibu

diberikan

Sehingga

kematian bayi berkurang.

antental

care

tiap

penyuluhan mengenai

angka

kematian

ibu

bulan.

efek

dan

dan

angka

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87

More Documents from "Indrastika Wulandari"