A. Teori Stabilitas Lereng Sebuah permukaan tanah yang terbuka yang berdiri membentuk sudut tertentu terhadap horisontal disebut sebuah lereng tanpa perkuatan. Lereng dapat terjadi secara ilmiah atau buatan manusia. Jika tanah tidak horisontal, suatu komponen gravitasi akan cenderung untuk menggerakkan tanah ke bawah sebagaimana secara skematik ditunjukkan dalam Gambar 1.1. Jika kompoen gravitasi cukup besar, kegagalan lereng akan terjadi, yakni massa tanah dalam zona ABCD dapat meluncur jatuh. Gaya yang meluncurkan mempengaruhi ketahanan dari kuat geser tanah sepanjang permukaan keruntuhan. Insinyur teknik sipil sering diminta untuk membuat perhitungan untuk memeriksa keamanan dari lereng alamiah, lereng galian, dan lereng timbunan. Pemeriksaan ini termasuk menentukan kekuatan geser yang terbangun sepanjang permukaan keruntuhan dan membedakannya dengan kekuatan geser tanah. Proses ini disebut analisa stabilitas lereng. Permukaan keruntuhan itu biasanya adalah permukaan kritis yang memiliki faktor keamanan minimum. Analisa stabilitas lereng adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Evaluasi variabel-variabel seperti stratifikasi tanah dan parameterparameter tanahnya bisa menjadi suatu pekerjaan yang berat. Rembesan pada lereng dan pemilihan suatu permukaan gelincir potensial menambah kompleksitas dari pemasalahan ini. 1. Faktor keamanan Tugas seorang insinyur teknik sipil dalam menganalisa stabilitas lereng adalah menentukan faktor keamanan. Secara umum, faktor keamanan didefinisikan sebagai: Fs =
τf τd
...........................(1.1)
Keterangan: Fs = Faktor keamanan τ f = Kuat geser tanah rata-rata τ d = Tegangan geser tanah rata-rata disepanjang permukaan keruntuhan potensial
Kuat geser tanah terdiri ari dua komponen, yakni kohesi dan sudut friksi atau sudut geser, dan bisa ditulis sebagai
τ = c + σ tan φ ............. Keterangan c = kohesi φ = Sudut friksi (sudut geser) σ = tegangan normal pada permukaan keruntuhan potensial 2. Analisa stabilitas lereng terhingga permukaan keruntuhan lingkaran
dengan
a. Model keruntuhan lereng terhingga secara umum, keruntuhan lereng terhingga terjadi pada salah satu dari model-model di bawah ini: 1. Ketika keruntuhan terjadi pada sebuah cara dimana permukaan gelincir berpotongan dengan lereng tepat pada atau di bawah kaki lerengnya, maka ini disebut suatu keruntuhan pada lereng (A slope failure) (gambar 1.2a). Lingkaran keruntuhan disebut sebagai suatu lingkaran kaki lereng (A toe Circle) jika ia melewati kaki lereng dan sebagai suatu lingkaran lereng (A slope Circle) jika ia melewati bagian atas kaki lereng (1.2b). Di bawah lingkup tertentu, keruntuhan lereng dangkal dapat terjadi, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar (1.2c). 2. Ketika keruntuhan terjadi pada sebuah cara dimana permukaan gelincir melewati beberapa jarak di bawah kaki lereng, maka ini disebut sebagai suatu keruntuhan dasar (A base failure) (gambar 1.2d). Lingkaran keruntuhan dalam kasus ini disebut suatu lingkaran tengah (A midpoint failure). b. Tipe prosedur-prosedur analisa stabilitas lereng prosedur-prosedur analisa stabilitas lereng yang bermacammacam secara umum dapat dibagi menjadi dua macam: 1. Prosedur Massa
Dalam kasus ini, massa tanah di atas permukaan gelincir diambil sebagai satu kesatuan. Prosedur ini berguna apabila tanah yang membentuk lereng diasumsikan homogen, walaupun ini tidak sesuai untuk lereng-lereng alami. 2. Metode irisan Dalam prosedur ini, tanah di atas permukaan gelincir dibagi menjadi beberapa buah irisan vertikal yang paralel. Stabilitas setiap irisan dihitung secara terpisah. Ini adalah teknik analisa yang ampuh dimana ketidak-homogenan tanah dan tekanan air pori dapat dipertimbangkan. Metode ini juga memperhitungkan variasi tegangan norman sepanjang permukaan keruntuhan potensial. 3. Analisa Slope menggunakan metode irisan Sangat banyak lereng-lereng alami dan banyak lereng buatan manusia terdiri lebih dari satu jenis tanah, atau propertis tanah sangat bervariasi sehingga beberapa tipe solusi elemen hingga diperlukan. Metode elemen hingga secara umum biasa digunakan untuk membagi bagian keruntuhan ke dalam suatu seri-seri irisan vertikal sebagaimana diilustrasikan pada gambar 1.3a. Lebar irisan sebaiknya kecil sehingga garis aktualnya dapat diganti oleh suatu trapezoid, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1.3b. Diasumsikan bahwa berat irisan Wi berlaku pada titik tengah area irisan. Dengan asumsi ini hubungan di bawah ini dibuat: N i = (Wi + Vi ) cos α i
Ti = (Wi + Vi ) sin α i
Fs = N i tan φ + cb = ((Wi + Vi ) cos α i tan φ + c
α i = arctan(
∆x cos α i
∆y ) ∆x
Dalam prakteknya biasa untuk mengabaikan gaya-gaya antar elemen dari Xi dan Pi. Beberapa orang telah menggunakan gayagaya ini, tapi titik aplikasi dan garis aksi dari gaya P tidak dapat ditentukan di tanah-tanah yang terstratifikasi atau di mana propertis tanah (ф, c, γ) bervariasi terhadap kedalaman tanah. Dalam kasus ini, mengenai semua yang diketahui untuk ketentuan
adalah bahwa garis aksi gaya P ada di dalam permukaan keruntuhan. Gaya vertikal bergantung pada baik P maupun propertis tanah. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa mengabaikan gaya X dan P hanya mengakibatkan penyimpangan atau galat yang kecil. Juga perlu diketahui bahwa di geliciran propertis tanah di batas lingkaran percobaan semuanya adalah dapat tepat ditentukan.—sedangkan yang ada di bagian dalam zona adalah suatu tanah yang sangat remolded dan tidak diketahui. Keseimbangan momen di sekitar titik O, menggunakan penjumlahan semua irisan yang ada di dalam lingkaran keruntuhan memberikan:
∑ RFs − ∑ R(W + V ) sin α i
i
i
=0
Momen penahan adalah F=
∑ RFs , dan faktor keamanan adalah
∑ Resisting Momen = ∑ RFs ∑ Overturning Momen ∑ R(W + V ) i
i
Eliminasi R dan substitusi untuk kuat geser Fs, menentukan F=
∑ (cb + (W + V ) cosα ∑ (W + V ) sin α i
i
i
i
i
i
tan φ )
...................(1.3)
Kita bisa menggunakan baik tegangan total maupun tegangan efektif dan dengan c dan ф yang sesuai dalam persamaan (1.3). Tegangan efektif sering secara konvensional ditentukan dengan menggunakan γ dan γ’ sebagaimana yang dipakai dalam perhitungan berat vektor W. ∆x , kita mempunyai sudut α yang menghasikan cos α i peran penting dalam persamaan (1.3). Bishop (1955) menyarankan bahwa efek dari α dapat dikurangi dengan sebuah metode alternatif , yakni metode penentuan gaya normal. Merujuk pada gambar 1.3b, ∑ Fv pada elemen (tanpa mengabaikan Xi) adalah Karena b =
Ni tan φ cbi Wi + ∆Xi = Ni cos α i + F .sin α i = Ni cos α i + + sin α i F F atau cbi sin α i Wn + ∆T − F Ni = .........................1.3.a tan φ sin α i cos α i + F karena (Wi + Vi ) cos α i dalam persamaan 1.3 adalah Ni, maka dengan substitusi N dalam persamaan tersebut menghasilkan
∑ (cb +
cbi sin α i F tan φ ) tan φ sin α i cos α i + F ( W + V ) sin ∑ i i αi
(Wi + Vi + ∆Xi) −
i
F=
∑ (cb + i
=
F tan φ (Wi + Vi + ∆Xi ) − cbi sin α i tan φ ) F cos α i + tan φ sin α i ∑ (Wi + Vi ) sin α i
∑ (cb ( F cosα i
=
=
∑
F tan φ (Wi + Vi + ∆Xi ) − cbi sin α i tan φ ) F cos α i + tan φ sin α i ∑ (Wi + Vi ) sin αi
+ tan φ sin α i ) +
(cbi ( F cos α i + tan φ sin α i ) + F tan φ (Wi + Vi + ∆Xi ) − cbi sin α i tan φ ) F cos α i + tan φ sin α ∑ (Wi + Vi ) sin αi
∑ (cb cosα i
=
i
i
+ tan φ (Wi + Vi + ∆Xi))
∑ (W + V ) sin α i
i
F F cos α i + tan φ sin α i
∆xi , ∆Xi = 0, maka cos α i
Karena bi =
1
∑ (c∆x + (Wi + Vi) tan φ ) cosα + tan φ sin α F= ∑ (W + V ) sin α i
i
i
i
i
/F
..........................(1.3b)
i
Suatu analisis iteratif diperlukan untuk menentukan F alam persamaan (1.3b) di atas, karena F terdapat di kedua sisi persamaan.
Pemrograman pada komputer akan memberikan pemecahan yang cepat setelah beberapa putaran (biasanya 2 atau 3 kali). Cara iterasinya yaitu dengan mengasumsikan F =1 (F bagian kanan persamaan) pada mulanya untuk menentukan nilai dari F sebelah kiri persamaan. Kemudian nilai ini dibandingkan dengan nilai yang diasumsikan; ini tidak memadai, diperlukan perhitungan berikutnya dengan menggunakan nilai F yang telah didapat. Proses ini diulang terus hingga nilai F paa ruas kiri dan kanan persamaan (nilai F yang ditentukan dan nilai F yang diasumsikan) sama atau hampir sama satu sama lain. Suatu program komputer harus dibuat untuk menentukan busur yang didasarkan pada koordinat titik O dan area yang memiliki koordinat-koordinat. Suatu analisis penghampiran dapat dilakukan dengan tangan. Pekerjaan secara umum terlalu prohibitive untuk iterasi atau membuat sebuah pencarian lingkaran kritis yang ekstensif.
B. Analisa Geometrik Lereng 1. Perumusan persamaan garis-garis utama Perumusan persamaan garis-garis utama perlu dilakukan untuk mendapatkan fungsi-fungsi dengan variabel independent x. Apabila kita melihat sketsa lereng sederhana, maka kita akan menemukan beberapa garis yang menggambarkan kondisi geomterik lereng tersebut. (lihat gambar 1) a. Garis pertama adalah garis lurus yang melewati kaki lereng (Y1). b. Garis berikutnya adalah garis yang mengapit sudut sehingga merupakan suatu garis miring (Y2). c. Garis ketiga adalah garis lurus yang merupakan batasan bagian atas lereng (Y3). d. Garis yang terakhir adalah garis yang merupakan bidang longsor yang membentuk garis lingkaran (Y4). Untuk mempermudah perumusan persamaan garis-garis utama tersebut, kita perlu menggunakan sistem koordinat kartesian dengan pemposisikan titik pusat absis-ordinat (0,0) pada awal garis miring (Y2) atau tepat pada perpotongan Y2 dengan Y1. (lihat gambar 2) Setelah kita memposisikan garis-garis utama ke dalam sistem koordinat kartesian maka kita mendapatkan persamaan garis-garis utama tersebut sebagaimana berikut: a. Garis Y1 merupakan garis sejajar sumbu X dan melewati titik (0,0) sehingga dapat ditentukan bahwa garis Y1 adalah garis lurus linier dengan fungsi nol atau dalam notasi matemtisnya:
Y1 = 0 ..............................................(1) b. Garis Y2 merupakan garis miring yang mengapit sudut .Garis Y2 juga melewati titik Q (0,0). Kita mengetahui bahwa garis miring memiliki bentuk persamaan sebagai berkut: Y = m (X-a) + b ..............................(2) Dimana m adalah tangen dari sudut yang diapit oleh garis miring tersebut, sedangkan a dan b masing-masing adalah koordinat x dan y dari suatu titik yang dilewati oleh garis itu. Dengan menyesuaikan sifat-sifat garis Y2 dengan persamaan (2) maka kita mendapatkan: Y2 = tan (X – 0) + (0) = tan ...............................(3)
X = X tan
c. Garis Y3 merupakan garis sejajar sumbu X dan memotong sumbu Y di h. Maka persamaan garis Y3 adalah: Y3 = h ................................(4) d. Garis Y4 adalah suatu garis lingkaran yang berpusat di O (A,B) dengan jari-jari R. Maka berdasarkan persamaan lingkaran: (X-c)2 + (Y-d)2 = R2 .........................................(4) Dimana c dan d berturut-turut adalah koordinat x dan y dari titik pusat lingkaran, sehingga kita mendapatkan persamaan garis Y4 sebagai berikut: (X - A) 2 + (Y - B) 2 = R 2 atau Y4 = B − | (R 2 − (X - A) 2 ) | .................(5)
X4 = A ± (R 2 − ( Y - B) 2 ) ....................(5.a) X4 = A − | (R 2 − (Y - B) 2 ) | ......................(5.b) X4 = A + | (R 2 − (Y - B) 2 ) | ........................(5.c) 2. Absis dan Ordinat Titik-titik potong utama
Kita sudah memiliki suatu gambaran geomtrik lereng yang telah dirumuskan dalam bentuk persamaan-persamaan garis. Dari persamaan-persamaan ini kita juga menemukan perpotonganperpotongan (interception) yang menghasilkan titik P, Q, R, S dan T (Lihat gambar 3). Untuk keperluan analisis dan pemrograman komputer, koordinat dari titik-titik perpotongan ini harus ditentukan. Cara menentukannya adalah sebagaimana berikut. a. Titik P Titik P dan titik T merupakan suatu perpotongan dari Y1 dan Y4, maka dengan mempersamakan Y1 dan Y4 dapat ditentukan koordinat titik-titik tersebut. Adapun detail analisisnya sebagai berikut. Y1 = Y4 .............................................(6) Maka, dengan mensubtitusikan persamaan (1) dan (5) ke dalam persamaan (6) kita dapatkan: 0 = B − | (R 2 − (X - A) 2 ) | ......................(6.a) dan bila persamaan (6.a) kita eliminasi secara berulang maka kita mendapatkan bahwa variavel X adalah : X = A ± (R 2 − B 2 ) ................(6.b) persamaan (6.b) ini memiliki dua nilai, yakni dalam kasus ini adalah nilai absis dari P dan T: xp = A − | (R 2 − B 2 ) |
.........................(6.c)
xt = A + | (R 2 − B 2 ) | .....................(6.d) keterangan: xp = absis P xt = absis T sedangkan ordinat dari P (yp) dan T (yt) adalah: yp = Y1 = 0 .............(6.e)
yt = Y1 = 0 ..............(6.f) b. Titik Q Titik Q merupakan perpotongan antara Y1 dengan Y2. Dengan melihat gambar 3, maka kita langsung dapat mengetahui bahwa titik Q memiliki absis 0 dan ordinat 0. c. Titik R Titik R adalah hasil dari perpotongan antara Y2 dengan Y3. Berdasarkan cara yang sama dengan a, maka kita peroleh: Y2 = Y3 ..........(7) Substituiskan persamaan (3) dan (4) ke dalam persamaan (7), maka: X tan β = h ...............(7.a) Dengan mengeliminasi tan dari sisi kiri persamaan (7.a) maka kita dapatkan nilai absis (xr) titik R: xr =
h .....................(7.b) tan β
sedangkan ordinat (yr) adalah.. yr = h ...............(7.c) d. Titik S Perpotongan Y3 dan Y4 di titik S menghasilkan absis (xs) dan ordinat (ys) dari titik S sebagaimana berikut: Y3 = Y4 ........................................(8) Substitusikan persamaan (4) dan persamaan (5) ke dalam persamaan (8), maka kita peroleh: h = B − | (R 2 − (X - A) 2 ) | ................(8.a)
dengan eliminasi yang berulang untuk memisahkan X yang merupakan absis (xr) dari R maka kita akan mendapatkan: xr = A + | (R 2 − ( h - B) 2 ) | ....................(8.b) dan ordinat (yr) adalah: yr = h ..........................(8.c). Semua titik perpotongan utama, yang terdidi dari P, Q, R, S, dan T telah kita tentukan koordinat-koordinat nya, sehingga dapatlah kita tabulasikan sebagai berikut.
3. Perumusan Berat Pias a. Persamaan Berat pias (Wi) Di dalam analisis stabilitas lereng metode irisan, masingmasing pias memiliki berat sendiri (lihat gambar 10). Dalam pembahasan ini penentuan berat masing –masing pias itu dilakukan dengan cara mengalikan berat jenis tanah pias tersebut dengan luasannya. Persamaannya adalah sebagai berikut: Wi = L i x γ i .........................(9) Keterangan: Wi = Berat pias ke-i Li = Luasan pias ke-i i = Berat jenis pias ke-i Berdasarkan persamaan (13), untuk menentukan luasan pias (Li) maka kita perlu merumuskan persamaan luasannya. Caranya sebagai berikut.
4. Persamaan Luas Pias (Li) Bishop (1955) menggunakan metode irisan dalam menganalisis stabilitas lereng. Metode ini mengasumsikan tedapat sejumlah (n ) pias dengan lebar yang sama untuk tiap pias (b) pada bidang longsor. Asumsi ini bermaksud untuk mempermudah perhitungan stabilitas lereng (Lihat gambar 4). Dengan maksud yang sama, yakni untuk mempermudah perhitungan menggunakan pemrograman, maka asumsi ini dirubah. Dalam analisa ini, geometri bidang longsor dibagi menjadi tiga bidang longsor, yakni bidang I, II dan III (Lihat gambar 5). Masingmasing bidang longsor memiliki jumlah dan lebar pias yang berbeda-beda, sesuai dengan yang kita inginkan. Tapi dianjurkan total jumlah pias tidak mencapai lebih dari 25 pias, karena akan mengurangi akurasi perhitungan (Zhang, 2000). Selanjutnya, dapat kita saksikan pada gambar 5, bahwa setiap bidang longsor memiliki luasan yang dibatasi oleh garis-garis utama. Bidang longsor I dibatasi oleh garis Y1, Y4 dan sumbu Y. Bidang longsor II dibatasi oleh garis Y2, Y4, dan sumbu Y. Sedangkan Bidang longsor III dibatasi oleh garis Y3 dan Y4. Oleh karena itu kita bisa menarik kesimpulan bahwa luasan bidang-bidang longsor tersebut merupakan fungsi integral tertentu dari persamaan-persamaan garis yang membatasinya. Jika persamaan luasan bidang longsor dapat ditentukan, maka luasan pias-pias yang terdapat pada tiap bidang longsor dengan sendirinya dapat ditentukan pula, karena pias-pias itu adalah bagian dari tiap bidang longsor. Adapun secara detail penentuan fungsi integral luasan bidang longsor adalah sebagai berikut. a. Persamaan Luas pias-pias pada bidang longsor I Persamaan luasan bidang longsor I diberi notasi L1. Dengan menentukan Persamaan luas L1, kita dapat menentukan luas piaspias di bidang longsor I. L1 dibatasi oleh Y1 dan Y4 serta sumbu Y (lihat gambar 6) dari xq sampai xp. Oleh karena itu fungsi integral yang mewakili luasan itu adalah: L1 = ∫ ( Y1 - Y4) dx .............................(9.a) Dengan substitusi persamaan (1) dan persamaan (5) ke dalam persamaan (9), maka kita dapatkan:
L1 = ∫ (0 − (B − | (R 2 − (X - A) 2 ) | ) dx
∫ ( (R − (X - A) ) - B) dx = ∫ (R − (X - A) ) dx - ∫ B dx = ∫ (R − (X - A) ) dx - BX.............................(9.b) 2
2
2
2
2
2
untuk menyelesaikan integrasi persamaan (9.b) di atas, maka perlu dimisalkan, (X-A) = R.Sin u ........................................(9.c) Sehingga, d(X-A) /dx = d (R. Sin u)/dx dx/dx = R. cos u du /dx dx = R. cos u du .......................................(9.d) Substitusikan persamaan (9.c) dan (9.d) ke dalam persamaan (9.e), maka:
∫
(R 2 − (X - A) 2 ) dx = ∫ (R 2 − ( RSin u) 2 ) R. Cos u du.
= ∫ (R 2 − (R 2 Sin 2 u )) R.Cos u du = ∫ (R 2 (1 − Sin 2 u )) R.Cos u du = ∫ (R 2 Cos 2 u ) R. Cos u du = ∫ R . Cos u .R.Cos u du = R 2 ∫ Cos 2 u du dimisalkan lagi, k = Cos u .................................. dk = - Sin u du .......................... dan dimisalkan juga, dl = Cos u du.............................. ∫ dl = ∫ Cos u du l = Sin u .......................
maka
∫ Cos
2
u du = ∫ Cos u . Cos u du = ∫ k dl ...........
dan dengan menggunakan metode integrasi parsial,
∫ k dl
= k.l - ∫ l dk ................................
..........(9.e)
kita dapatkan,
∫ Cos u du = Cos u. Sin u - ∫ Sin u (-Sin u)du = Cos u.Sin u + ∫ Sin u du ∫ Cos u du = Cos u.Sin u + ∫ (1 - Cos u) du = Cos u.Sin u + ∫ 1 du - ∫ Cos u du ∫ 2.Cos u du = Cos u.Sin u + u 2
2
2
2
2
2
∫ Cos
2
u du =
Cos u.Sin u + u ..........................................(9. f ) 2
maka kita mendapatkan nilai L1 dengan mensubstitusikan kembali semua variabel yang kita permisalkan di sebelumnya sehingga:
R 2 − (X - A) 2 (X - A) X-A R .( . + ArcSin( )) 2 R .(Cos u.Sin u + u) R R R R 2 ∫ Cos 2 u du = = 2 2 X-A R 2 − (X - A) 2 .(X - A) + R 2 ArcSin( ) R = ...........................................(9.g ) 2 2
Sehingga persamaan luasan pias di bidang longsor I adalah: Xi +1
X-A 2 2 2 R − (X - A) .(X - A) + R ArcSin( R ) L1i = − BX 2 Xi X -A ................... R 2 − (X i +1 - A) 2 .(X i +1 - A) + R 2 ArcSin( i +1 ) R = − BX i +1 2 X -A R 2 − (X i - A) 2 .(X i - A) + R 2 ArcSin( i ) R −( − BX i ) 2 (9.h) Keterangan: L1i = luasan pias ke –i pada bidang longsor I. Xi+1 = Absis pias ke i+1 Xi = Absis pias ke i Dimana, X i +1 ≤ 0 b. Persamaan Luas pias-pias pada bidang longsor II
Persamaan luasan bidang longsor II diberi notasi L2. L2 dibatasi oleh Y2 dan Y4 (lihat gambar 7) dari xr sampai xq. Oleh karena itu fungsi integral yang mewakili luasan itu adalah: L2 = ∫ (Y2 - Y4) dx .....................(10) Dengan substitusi persamaan (3) dan persamaan (5) ke dalam persamaan (9), maka kita dapatkan: L2 = ∫ (X.tanβ − ( B − | (R 2 − (X - A) 2 ) | ) dx
∫ X.tanβ dx + ∫ ( (R − (X - A) ) - B) dx = ∫ X.tanβ dx + ∫ (R − (X - A) ) dx - ∫ B dx 2
2
2
2
1 = .X 2 .tanβ + ∫ (R 2 − (X - A) 2 ) dx - BX.............................(10.a) 2 Untuk menyelesaikan integrasi yang masih terdapat pada persamaan (10.a), kita gunakan cara integrasi yang sama dengan cara penyelesaian integrasi persamaan (9.a) sehingga menghasilkan persamaan (9.l). Lalu subtitusikan persamaan (9.l) ke dalam persamaan (10.a) maka kita peroleh: 1 L2 = .X 2 .tanβ + 2 (10.b)
R 2 − (X - A) 2 .(X - A) + R 2 ArcSin( 2
X-A ) R - BX ............
sehingga luasan pias pada bidang longsor II adalah: Xi +1
X-A R 2 − (X - A) 2 .(X - A) + R 2 ArcSin( ) 1 2 R - BX L2i = .X .tanβ + 2 2 Xi X -A R 2 − (X i +1 - A) 2 .(X i +1 - A) + R 2 ArcSin( i +1 ) 1 2 R = .X i +1 .tanβ + - BX i +1 2 2 X -A R 2 − (X i - A) 2 .(X i - A) + R 2 ArcSin( i ) 1 2 R - ( .X i .tanβ + - BX i )..................(10.c) 2 2
Keterangan: L2i = luasan pias ke –i pada bidang longsor I. Xi+1 = Absis pias ke i+1 Xi = Absis pias ke i c.
Persamaan Luas pias-pias pada bidang longsor III
Pada bidang longsor III terdapat persamaan Y3 dan Y4 yang membatasi mulai dari Xs sampai dengan Xr (Lihat gambar 8). Oleh karena itu, persamaan luasan pias-pias di bidang longsor III mengikuti persamaan:
L3 = ∫ (Y3 − Y4) dx ..........................(11) Dengan substitusi persamaan (3) dan (5) ke dalam persamaan (11), maka kita perleh: L3 = ∫ (h − (B − | (R 2 − (X - A) 2 ) | ) dx
∫ h dx + ∫ ( (R − (X - A) ) - B) dx = ∫ h dx + ∫ (R − (X - A) ) dx - ∫ B dx = h.X + ∫ (R − (X - A) ) dx - BX.............................(11.a) 2
2
2
2
2
2
Untuk menyelesaikan integrasi yang masih terdapat pada persamaan (11.a), kita gunakan cara integrasi yang sama dengan cara penyelesaian integrasi persamaan (9.a) sehingga menghasilkan persamaan (9.l). Lalu subtitusikan persamaan (9.l) ke dalam persamaan (11.a) maka kita peroleh:
L3 = h.X +
R 2 − (X - A) 2 .(X - A) + R 2 ArcSin( 2
X-A ) R - BX ............(11.b)
sehingga luasan pias pada bidang longsor II adalah:
Xi +1
X-A R 2 − (X - A) 2 .( X - A) + R 2 ArcSin( ) R - BX L3i = h.X + 2 Xi X -A R 2 − (X i +1 - A) 2 .(X i +1 - A) + R 2 ArcSin( i +1 ) R = hX i +1 + - BX i +1 2 X -A R 2 − (X i - A) 2 .(X i - A) + R 2 ArcSin( i ) R - (h.X i + - BX i )..................(11.c) 2 Keterangan: L2i = luasan pias ke –i pada bidang longsor I. Xi+1 = Absis pias ke i+1 Xi = Absis pias ke i 5. Perumusan persamaan Sudut Pias a. Persamaan titik berat pias Titik berat pias merupakan titik tangkap gaya berat pias. Dalam metode irisan, titik-titik tangkap ini digunakan untuk menentukan titik potong antara garis gaya berat dengan garis lingkaran keruntuhan (lihat gambar 11). Kemudian titik-titik potong tersebut digunakan untuk menentukan sudut kemiringan titik tekan garis gaya Normal yang terjadi pada dasar pias, yang merupakan gaya kunci dalam sistem keseimbangan momen persamaan bishop. Dalam pembahasan ini, titik berat pias ditentukan dengan cara analisa geometrik. 1. Persamaan titik berat pias-pias bidang longsor I Kita ketahui bahwa titik berat pias setara dengan titik pusat luasan pias tersebut. Sedangkan persamaan luasan yang membatasi bidang longsor I adalah Y1 dan Y4. Maka persamaan titik berat pias di bidang longsor I adalah sebagai berikut: Xi +1 0
Xi =
∫ ∫ X dy.dx
Xi Y 4 Xi + i
−
∫ Y4 dx
Xi
..........(13)
Untuk menyelesaikan persamaan persamaan (5) ke dalamnya, sehingga: Xi +1
0 ∫ [ XY] Y 4 .dx
Xi =
Xi
−
Xi + i
Xi +1
=
∫ (X(0) - X(Y4)).dx
Xi
∫ Y4 dx
−
Xi + i
Xi Xi +1
=
Xi
Xi +1
∫ BX dx − ∫ X |
Xi Xi +1
Xi Xi + i
∫ B dx − ∫ |
Xi
kita
Xi +1
=
∫ X(Y4).dx
Xi Xi + i
substitusikan
Xi +1
=
∫ Y4 dx
∫ X(B- |
Xi Xi + i
∫ (B- |
Xi
R 2 − (X - A) 2 | .dx R 2 − (X - A) 2 ) | dx
Xi
R 2 − (X - A) 2 | dx
R 2 − (X - A) 2 | dx
Xi
[
=
∫ Y4 dx
(13)
1 BX 2 2
]
Xi +1 Xi
−
Xi +1
∫X|
R 2 − (X - A) 2 | dx
Xi
Xi +1
X-A | R 2 − (X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( ) R BX 2 Xi
Xi +1 1 1 2 2 = BX xi +1 − BX Xi − ∫ X | R 2 − ( X - A) 2 | dx 2 Xi 2 /
[
]
[
]
X - A | R 2 − (X xi +1 - A) 2 | .(X xi +1 - A) + R 2 ArcSin( xi +1 ) R BX xi +1 2 .........................(13.a) X xi - A 2 2 2 | R − (X xi - A) | .(X xi - A) + R ArcSin( ) R − BX xi 2 Dalam persamaan 13.a kita perlu menyelesaikan integrasi yang tersisa di dalamnya, yakni
∫X |
R 2 − (X - A) 2 | dx …………………………….(13.b)
Penyelesaiannya dapat menggunakan metode integral parsial. Caranya sebagai berikut: Misal,
| R 2 − (X - A) 2 | dx = dk
∫|
R 2 − (X - A) 2 | dx = ∫ dk
| R 2 − (X - A) 2 | .( X - A) + R 2 ArcSin( 2
X-A ) R =K
dan, X=m dx / dx= dm/dx dx = dm Sehingga, menggunakan konsep integral parsial,
∫ m dk
= m.k - ∫ k dm
maka persamaan (13.b) menjadi:
∫X | = X. −∫
R 2 − (X - A) 2 | dx = m.k - ∫ k dm | R 2 − ( X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( 2
| R 2 − (X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin(
= X.
X-A ) R
2
X-A ) R dx
| R 2 − ( X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( 2
X-A ) R − | R 2 − ( X - A) 2 | ................(13.c )
Dengan mensubstitusikan persamaan (13.c) ke persamaan (13.a), maka kita dapatkan penyelesaiannya:
dalam
[
]
[
]
1 1 2 2 2 BX xi +1 − 2 BX Xi − Xi = | R 2 − (X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( X - A ) R X. − | R 2 − (X - A) 2 2 /
xi +1 | xi
X - A | R 2 − (X xi +1 - A) 2 | .(X xi +1 - A) + R 2 ArcSin( xi +1 ) R BX xi +1 2 X xi - A 2 2 2 | R − (X xi - A) | .(X xi - A) + R ArcSin( ) R − BX xi 2
[
]
[
]
1 1 2 2 2 BX xi +1 − 2 BX Xi − X xi - A 2 2 2 | R − (X xi +1 - A) | .(X xi +1 - A) + R ArcSin( ) 2 2 R X . − | R − ( X A) | xi +1 x +i 2 = − X xi - A 2 2 2 | R − (X xi +1 - A) | .(X xi +1 - A) + R ArcSin( ) R X . − | R 2 − (X x + i - A) 2 | xi +1 2 X - A | R 2 − (X xi +1 - A) 2 | .(X xi +1 - A) + R 2 ArcSin( xi +1 ) R BX xi +1 2 / X xi - A 2 2 2 | R − (X xi - A) | .(X xi - A) + R ArcSin( ) R − BX xi 2
[
]
[
]
1 1 2 2 2 BX xi +1 − 2 BX Xi X -A | R 2 − (X xi - A) 2 | .(X xi - A) + R 2 ArcSin( xi ) R = + X xi . - | R 2 − (X xi - A) 2 | 2 X -A | R 2 − (X xi +1 - A) 2 | .(X xi +1 - A) + R 2 ArcSin( xi +1 ) 2 2 R + | R − (X xi +1 - A) | − X xi +1 . 2 X -A | R 2 − (X xi +1 - A) 2 | .(X xi +1 - A) + R 2 ArcSin( xi +1 ) R BX xi +1 2 / .........................(13.d ) | R 2 − (X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( X xi - A ) xi xi R − BX xi + 2
2. Persamaan titik berat pias bidang longsor II Garis fungsi x yang membatasi bidang longsor I adalah Y2 dan Y4. Maka persamaan titik berat pias di bidang longsor I adalah sebagai berikut: Xi +1 Y 2
Xi =
∫ ∫ X dy.dx
Xi Y 4 Xi + i
....................(13.e)
∫ (Y2 - Y4) dx
Xi
Dengan substitusi persamaan (3) dan persamaan (5) ke dalam persamaan (13.e), maka integrasi persamaan (13.e) sebagai berikut:
Xi +1
Xi +1
Y2 ∫ [ XY] Y 4 .dx
Xi =
∫ (X(Y2) - X(Y4)).dx
=
Xi Xi + i
∫ (Y2 - Y4) dx
Xi Xi + i
Xi + i
Xi
Xi
=
Xi +1
∫ X(tanβX).dx − ∫ X.(B- |
Xi
Xi Xi + i
Xi + i
∫ tanβX dx − ∫ (B- |
Xi
=
2
dx. +
Xi
Xi +1
∫ (X |
Xi Xi + i
Xi + i
∫ tanβX dx + ∫ (|
Xi
Xi Xi + i
Xi +1
∫ XY4 dx
Xi Xi + i
∫ Y2 dx − ∫ Y4 dx
Xi
Xi
R 2 − (X - A) 2 |) dx
R 2 − (X - A) 2 |) dx R 2 − (X - A) 2 | −BX) dx
R 2 − ( X - A) 2 | −B) dx
Xi
[
1 tanβX 3 3
=
∫ XY2.dx −
Xi
Xi +1
∫ tanβX
=
∫ Y2 dx − ∫ Y4 dx
Xi Xi +1
Xi +1
]
Xi +1 Xi
+
Xi +1
∫X |
Xi
R 2 − (X - A) 2 | dx −
[
1 BX 2 2
]
Xi +1 Xi Xi +1
[
1 tan βX 2 2
]
Xi +1 Xi
X-A 2 2 2 | R − (X - A) | .( X - A) + R ArcSin( R ) + − BX 2 Xi
.....(13. f )
Pada persamaan (13.f) ini masih terdapat persamaan yang belum terintegrasi, yakni persamaan yang sama dengan persamaan (13.b), sehingga dengan substitusi hasil integrasi persamaan (13.b) yakni persamaan (13.c) ke dalam persamaan (13.f) ini, maka kita dapatkan ia menjadi:
Xi +1
Xi =
=
X-A | R 2 − (X - A) 2 | .( X - A) + R 2 ArcSin( ) 1 3 R tanβX + X. 2 3 1 2 2 2 − | R − ( X - A) | − 2 BX Xi
Xi +1
X-A | R 2 − ( X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( ) 1 2 R − BX tan β X + 2 2 Xi 1 3 3 tanβX Xi +1 + X Xi +1 - A 2 2 2 | R − (X Xi +1 - A) | .( X Xi +1 - A) + R ArcSin( ) R X . Xi +1 2 1 − | R 2 − ( X 2 2 BX Xi +1 + Xi +1 - A) | − 2 1 1 2 3 2 BX Xi − 3 tanβ X Xi − X Xi - A 2 2 2 | R − ( X Xi - A) | .(X Xi - A) + R ArcSin( ) R X Xi . 2 + | R 2 − (X Xi - A) 2 |
X -A | R 2 − ( X Xi +1 - A) 2 | .(X Xi +1 - A) + R 2 ArcSin( Xi +1 ) 1 2 R tan βX Xi +1 + 2 2 − BX Xi +1 + 1 2 BX Xi − 2 tan βX Xi | R 2 − ( X - A) 2 | .(X - A) + R 2 ArcSin( X Xi - A ) Xi Xi R + 2
...........(13.g )