MAKALAH KRITIS 2 “Systemic Lupus Erythematosus”
Disusun oleh Yaniatul Afda Muzayana Adela Tria Cahyani Sisilliya Rosita Andhika Setyo B.
20151660088 20151660095 20151660111 20151660096
PROGRAM STUDI S1.KEPERWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHHAMMADIYAH SURABAYA 2018 / 2019
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis 2 sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Terima kasih kami sampaikan kepada dosen mata kuliah Keperawatan Keluarga yang telah memberikan kesempatan bagi saya untuk mengerjakan tugas makalah ini, sehingga saya menjadi lebih mengerti dan memahami tentang materi “Syndrome Lupus Erythematosus”. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini baik mendukung secara moril dan materil. Saya menyadari bahwa masih banyak kesalahan, kekurangan dan kekhilafan dalam makalah ini. Untuk itu saran dan kritik tetap saya harapkan demi perbaikan makalah ini kedepan. Akhir kata saya berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima Kasih Surabaya, 4 Oktober 2018
Penyusun
2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ……………………………………………………. i DAFTAR ISI ……………………………………………………………... ii BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………... 1 1.1
Latar Belakang ……………………………………………………. 1
1.2
Rumusan Masalah …………………………………………………. 3
1.3
Tujuan ……………………………………………………………. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………….. 4 2.1
Definisi ……………………………………………………………. 4
2.2
Etiologi ……………………………………………………………. 4
2.3
Epidemiologi ………………………………………………………. 5
2.4
Patofisiologi ………………………………………………………. 5
2.5
Klasifikasi ………………………………………………………… 5
2.6
Manifestasi Klinis ………………………………………………… 5
2.7
Pemeriksaan Penunjang …………………………………………… 6
2.8
Penatalaksanaan …,,,,,,,……………………………………………. 8
2.9
WOC ………………….…………………………………………… 9
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN …………………………………………… 12 3.1
Pengkajian …………………………………………………………. 12
3.2
Analisa Data ………………………………………………………. 17
3.3
Diagnosa Keperawatan ……………………………………………. 19
3.4
Intervensi ………………………………………………………….. 20
BAB IV TELAAH JURNAL ……………………………………………………… 25 BAB V LITERATURE REVIEW ……………………………………………….. 30 BAB VI PENUTUP ………………………………………………………………… 32 6.1
Kesimpulan ………………………………………………………... 32
3
6.2
Saran ………………………………………………………………. 32
DAFTAR PSUTAKA …………………………………………………..
33
4
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi
infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura K. DeLong, MD 2012). Para penderita lupus sering disebut dengan odapus (orang dengan lupus). Kehidupan odapus bisa berubah drastis sejak sakit lupus dan mereka merasa sangat sulit untuk mengelola penyakit ini (De Barros et al. 2012). Dalam kehidupannya, odapus akan beberapa kali mengalami suatu periode kemunculan gejala lupus yang parah (lupus flares) dan periode lainnya dimana gejalanya lebih ringan. Sebenarnya gejala lupus bisa diatasi secara efektif dengan terapi yang sudah ada sekarang, namun untuk saat ini belum ditemukan obat apapun yang dapat menyembuhkan penyakit lupus (Ferenkeh- Koroma 2012). Lupus merupakan penyakit autoimun kronis yang tanda dan gejalanya dapat menetap selama lebih dari enam minggu dan seringnya hingga beberapa tahun (Lupus Foundation of America 2012). Namun demikian, ada juga odapus yang berhasil mengendalikan gejala lupus dengan baik sehingga tampak seperti orang sehat (kategori Quiescent). Memang kemunculan gejala lupus tidak akan selalu sama antara odapus satu dengan yang lain, ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal ini. Peningkatan intensitas paparan faktor pencetus tentunya akan menyebabkan gejala lupus lebih sering muncul. Untuk mengantisipasi hal ini maka odapus perlu memiliki pengetahuan sensoris yang memadai tentang penyakit lupus dan efikasi diri yang tinggi guna memfasilitasi tindakan pencegahan paparan faktor pencetus. Namun demikian, hubungan antara faktor pencetus gejala dan perilaku pencegahan paparannya pada penderita lupus masih belum jelas. Lupus telah diderita setidaknya oleh lima juta orang di seluruh dunia. Lupus dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun 90% dari orang yang terdiagnosis lupus adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 15- 44 tahun. 70% kasus lupus berupa SLE (Systemic Lupus Erythematosus), 10% berupa CLE (Cutaneous Lupus Erythematosus), 10% berupa drug-induced lupus, dan 5%
5
lainnya berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus Foundation 2012). Di Indonesia, estimasi jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu orang, perbandingan jumlah penderita lupus pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga lupus sering disebut penyakit kaum wanita. Tren penyakit lupus di negara kita terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Yayasan Lupus Indonesia 2012; Utomo 2012). Penyebab lupus masih belum sepenuhnya dimengerti, namun beberapa ahli berpendapat bahwa penyebab lupus berasal dari beberapa faktor, yaitu: genetik, lingkungan (sinar UV, obat-obatan, infeksi, trauma/kecelakaan), faktor internal (stres emosional, stres fisik, demam, dan hormon estrogen) (Lupus Foundation of America 2012). Lupus dapat menyebabkan inflamasi dan merusak berbagai organ tubuh, seperti persendian, kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak (NIAMS 2012; Ferenkeh-Koroma 2012; Nery et al. n.d.). Gejala lupus yang paling sering dilaporkan oleh odapus adalah demam, ruam kulit karena fotosensitif, sendi yang bengkak/nyeri, kelemahan/kelelahan, dan gangguan ginjal (Gallop et al. 2012; Ferenkeh- Koroma 2012; NIAMS 2012; Nery et al. n.d.). Komplikasi renal, neurologikal, dan hematologikal adalah yang paling sering ditemukan pada odapus (Kannangara et al. 2008). Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan penggunaan dan penerimaan psikoterapi untuk orang-orang dengan berbagai masalah, beberapa terutama medis, lainnya psikologis dan lain-lain sosial. Meningkatnya kesehatan psikologis dan fisik telah membuat modifikasi perilaku yang sesuai. Saat ini intervensi psikologis sedang dipelajari sebagai intervensi yang berpotensi menguntungkan untuk pasien dengan penyakit rematik. Sebuah meta analisis dilakukan oleh Astin et al. menunjukkan bahwa intervensi psikologis pada rheumatoid arthritis memberikan perbaikan yang signifikan dalam menghilangkan rasa sakit, ketidakmampuan fungsional dan morbiditas psikologis, melebihi dan di atas itu dari intervensi medis biasa. Glombiewski et al. sama menegaskan dampak positif dari intervensi psikologis pada rasa sakit, masalah tidur, depresi, status fungsional dan berkolaborasi pada pasien dengan fibromyalgia. Namun, sampai saat ini, tidak diketahui apakah intervensi psikologis efektif untuk pasien dengan SLE karena studi yang diterbitkan untuk menyediakan pasien SLE dengan intervensi psikologis menunjukkan variabilitas yang cukup besar dalam temuan.
6
Oleh karena itu, kami pikir perlu untuk meringkas bukti yang secara khusus menguji efek intervensi psikologis pada kesehatan fisik, kesehatan psikologis dan aktivitas penyakit pada pasien dengan SLE, untuk memberikan bukti klinis terbaik untuk pengobatan secara keseluruhan.
1.2
Rumusan Masalah 1. Apa definisi Systemic Lupus Erythematosus ? 2. Bagaimana etiologi Systemic Lupus Erythematosus ? 3. Bagaimana epidemiologi Systemic Lupus Erythematosus ? 4. Bagaimana patofisiologi Systemic Lupus Erythematosus ? 5. Bagaimana klasifikasi Systemic Lupus Erythematosus ? 6. Bagaimana manifestasi klinis Systemic Lupus Erythematosus ? 7. Bagaimana pemeriksaan penunjang Systemic Lupus Erythematosus ? 8. Apa saja penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus ? 9. Bagaimana WOC Systemic Lupus Erythematosus ? 10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien
Systemic
Lupus
Erythematosus ? 11. Bagaimana telaah jurnal Systemic Lupus Erythematosus dengan intervensi psikologis ?
1.3
Tujuan 1. Mahasiswa mengetahui konsep dan proses keperawatan pada pasien Systemic Lupus Erythematosus sehingga menunjang pembelajaran kuliah 2. Mahasiswa mengetahui proses keperawatan yang benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di Rumah Sakit.
7
BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1
Definisi Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit kolagen autoimun
inflamasi yang sifatnya kronis yang disebabkan oleh gangguan pengaturan imun yang mengakibatkan produksi anti bodi yang berlebihan (Brunner & Suddarth, 2013). Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun sistemik yang ditandai dengan yemuan autoantibody pada jaringan dan kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis di berbagai sistem organ (Tanto & Liwang, 2014). Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit multisistem yang kronik, penyakit autoimun dari jaringan ikat dan pembuluh darah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada jaringan tubuh (Hockenberry & Wilson, 2009).
2.2
Etiologi Pada individu dengan predisposisi genetic terhadap SLE, timbul gangguan
toleransi sel T terhadap self-antigen. Akibatnya, terbentuk suatu sel T yang autoreaktif dan menginduksi sel B untuk memproduksi autoantibody. Pemicu gangguan toleransi ini diduga berupa hormone seks (peningkatan estrogen ditambah dengan aktivitas androgen yang tidak adekuat), sinar ultraviolet, obatobatan, dan infeksi tertentu (Tanto & Liwang, 2014). Autoantibody yang terbentuk akan menyerang nucleus, sitoplasma, permukaan sel, IgG maupun factor koagulasi (self molecules). Antibody yang spesifik ditemukan pada penderita LES adalah (anti nuclear antibody), anti dsDNA, dan anti-SM antibody. Ikatan antibody ini dengan antigenya akan membentuk kompleks imun yang beredar keseluruh tubuh dan diluar kemampuan fagosit monouklear. Adanya deposit kompleks imun akan memicu aktivasi sistem komplemen yang kemudian mengaktifkan respon inflamasi dan gangguan organ terkait (Tanto & Liwang, 2014).
8
2.3
Epidemiologi Insidens SLE pertahun di Amerika Serikat tercatat sekitar 5,1 kasus per
100.000 penduduk, sedangkan prevalensinya mencapai 52 kasus per 100.000 penduduk (laki-laki:perempuan = 9-14:1) (Tanto & Liwang, 2014).
2.4
Patofisiologi Gangguan ini muncul akibat kombinasi beberapa factor genetic, hormonal
(yang dibuktikan dengan awitan penyakit yang biasanya terjadi pada massa usia subur), dan factor lingkungan (sinar matahari, luka bakar termal). Medikasi tertentu, seperti hidralazin (Apresoline), prokainamida (Pronestyl), isoniazid atau INH (Nydrazid), klorpromazin (Thorazine), dan beberapa medikasi anti kejang, diketahui berperan menyebabkan SLE terinduksi obat atau zat kimia. Lebih khususnya, sel B dan Sel Tberperan memunculkan respons imun pada kasus SLE. Sel B berpengaruh dalam memicuawitan dan ledakan penyakit (Brunner & Suddarth, 2013).
2.5
Klasifikasi Klasifikasi SLE dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan tingkat keparahan
gejalanya: 1) Derajat ringan : tidak ditemukan gejala klinis yang mengancam nyawa: fungsi sistem organ dalam batas normal (misalnya LES dengan arthritis) 2) Derajat sedang : ditemukan lupus nefritis (kelas I dan II); trombositopenia; serositis mayor. 3) Derajat berat/ mengancam nyawa. (Tanto & Liwang, 2014). 2.6
Manifestasi Klinis 1) Muskuloskeletal : mialgia, atralgia, poliartritis yang simetris dan non erosive, deformitas tangan, miopati/ miositis, nekrosis iskemiapada tulang. 2) Kulit : butterfly rash, fenomena Raynaud (gangguan pada pembuluh darah perifer), purpura urtikaria, alopesia, fotosensitivitas, lesi membran mukosa, dan vaskulitis.
9
3) Paru : pleuritis, lupus pneumonitis, efusi pleura, emboli paru, fibrosis interstisial, hipertensi pulmonal acute respiratory distress syndrome (ARDS). 4) Kardiologi : perikarditis, efusi parakardikum, infark miokard, gagal jantung kongestif, valvulitis. 5) Ginjal : gagal ginjal, syndrome nefrotik, end-stage renal disease 6) Gastrointestinal : dyspepsia, irritablebowel syndrome (IRS), peningkatan transaminase, prankreatitis, vaskulitis mesenterika. 7) Neurologi : gangguan kognitif, gangguan mood, nyeri kepala kejang, stroke, transient ischemic attack, epilepsy, hemiparesis, meningitis aseptic, mielitis transversal, neuropati perifer, miastenia gravis, mononeuritis multipleks. 8) Hematologi limfatik : limfadenopati generalisata atau terlokalisir, splenomegali, hepatomegali, anemia aplastik, anemia penyakit kronis, anemia permisiosa, leucopenia,limfopenia, trombositopenia, anemia hemolitik, thrombosis. 9) Gejala konstitusional : malaise, penurunan berat badan, demam. (Tanto & Liwang, 2014).
2.7
Pemeriksaan Penunjang Diagnosis didasarkan pada riwayat lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes
darah , ada pemeriksaan laboratorium tunggal untuk menegakkan diagnosis SLE. Pemeriksaan darah mengungkap anemia sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis, atau leucopenia dan antibody antinuclear positif. Pemeriksaan imunologis diagnostic lainya mendukung tapi tidak membuktikan diagnosis tersebut (Brunner & Suddarth, 2013).
2.8
Penatalaksaan 1) Terapi farmakologi a. Penggunaan kortikosteroid, merupakan lini pertama pada kasus SLE. Pemilihan jenis dan dosis kortikosteroid sangat tergantung dari klinis
10
pasien. Jenis dosis ekuivalen, waktu paruh plasma, beserta efek samping yang mungkin timbul. b. Berdasarkan dosisnya, pemberian kortikosteroid dibedakan menjadi 4 derajat : 1. Dosis rendah: setara <7,5 mg prednisone/hari (diberikan pada SLE ringan) 2. Dosis sedang :setara>7,5 mg, tetapi <30 mg prednisone / hari (diberikan pada SLE ringan atau aktif) 3. Dosis tinggi : setara >30 mg tetapi >100 mg prednison / hari (diberiakn pada kasus SLE aktif) 4. Dosis sangat tinggi : setara >100 mg prednison/hari (diberikan pada SLE dengan krisis akut: vaskulitis luas, nefritis lupus, lupus serebral) 5. Terapi pulse : setara >250 mg prednisone/hari (diberikan pada SLE dengan krisis akut) 6. Pada kasus SLE derajat berat / mengancam nyawa, kortikosteroid diberikan dosis tinggi 1 mg / kgBB/ hari prednison (atau yang setara) selama 4-6 minggu, kemudian diturunkan secara bertahap. Pemberian kortikosteroid didahului oleh injeksi intravena 500 mg-1 g selama 3 hari c. Pemberian
kombinasi
obat
simtomatik,
anti
inflamasi,
dan
imunomodulator: -
Analgetik, berupa paracetamol per oral dosis 3 x 500 mg
-
Anti inflamasi, berupa OAINS dan kortikosteroid dosis rendah (misalnya setara prednisone <10 mg/hari)
-
Anti malaria, berupa klorokuin basa 3,5-4,0 mg/KgBB/hari (150300 mg/hari). Obat hidroklorokuin terbukti lebih poten namun belum tersedia di Indonesia.
d. Pada SLE derajat berat juga diberikan agen sitotoksik seperti azatioprin, siklofosfamid, siklosporin, dan mikofenolat.
11
e. Terapi suportif sesuai komplikasi organ yag terkena: jantung, paru, gastrointestinal, ginjal, neurologi, dan hematologi. Oleh sebab itu penanganan SLE dilakukan secara disiplin. 2) Terapi non-medikamentosa -
Edukasi penyakit dan konseling keluarga : penting dilakukan edukasi menyeluruh mengenai penyakit SLE. Termasuk penyuluhan terapi, beserta komplikasi yang mungkin timbul. Edukasi dilakukan pada pasien dan keluarganya disertai dengan konseling untuk memotivasi pasien dan meningkatkan dukungan keluarga untuk kesembuhan pasien
-
Program rehabilitasi : tirah baring, terapi fisik, terapi dengan modalitas, dan penggunaan ortotik. (Tanto & Liwang, 2014).
12
2.9
WOC Faktor Intrinsik : - Genetik - Hormon
Faktor Ekstrinsik : - Obat-oatan - Sinar UV
Sistem regulasi kekebalan tubuh terganggu Mengaktivasi sel T dan sel B Fungsi sel T Supressor abnormal Peningkatan produksi autoantibodi
Penumpukan kompleks imun
Kerusakan jaringan
Systemic Lupus Erythematosus
13
Muskuloskeleta ll Pembengkakan sendi Artlargia, arthrithis (sinovitis), nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak NYERI AKUT
KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT
Integume nt Adanya lesi akut pada kulit (ruam berbentuk kupukupu) pangkal hidung dan pipi Pasien merasa malu dengan kondisinya GANGGUAN CITRA TUBUH
Kerusakan jaringan kulit
Cardiac
Respirasi
Vaskuler
Perikarditis
Pleuritis
Penumpuks an cairan efusi pada perikardium
Penumpukan cairan pada pleura
Inflamasi pada arteriole terminalis
Efusi pleura Penebalan perikardium Kontraksi jantung
Ekspansi dada tidak adekuat
Lesipap uler, eritemat ous dan purpura diujung kaki, tumit dan siku
Hemato
Kegagalan sumsum tulang membentu k sel-sel darah merah
Tubuh mengalami kekurangan sel darah merah (pansitopenia)
Saraf
Gangg uan spektru m pada saraf meluas
Proses neurol ogis tergang gu
Pasien tidak familiar dengan proses
Pasien tidak mengikuti perintah
KURANG PENGETA HUAN
Depresi PENURU NAN CURAH JANTUNG
POLA NAFAS TIDAK EFEKTIF
KERUSA KAN INTEGRI TAS KULIT
Anemia ANSIETAS KELETIHAN
14
Invasi
Port de entry
Memungkinkan masuknya mikroorganisme ke tubuh
RESIKO INFEKSI
15
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1
Pengkajian
1) Identitas Umur
: biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Jenis Kelamin
: Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara wanita
dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita dalam usia produktif.
2) Riwayat Kesehatan a. Keluhan Utama Pasien mengeluhkan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut menimbulkan perubahan terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien biasanya mengeluh mudah lelah, nyeri dan kaku, tetapi respon tiap orang berbeda terhadap tanda dan gejala SLE tergantung imunitas masing-masing.
c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit dahulu walaupun tidak terlalu spesifik biasanya akan didapatkan adanya keluhan mudah lelah, nyeri, kaku, anorksia dan penurunan berat badan secara signifikan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga Pasien yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.
16
3) Pemeriksaan Fisik a. Sistem Integumen Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang bersifat irreversibel. Adanya ruam merah di wajah maupun tubuh. Pasien biasanya mengatakan kulitnya berubah menjadi kemerahan termasuk di daerah wajah
b. Kepala Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
c. Muka Pada penderita SLE adanya ruam merah tapi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
d. Telinga Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
e. Mulut Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
f. Ekstrimitas Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi. g. Paru – paru Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel fibrosis.
h. Leher Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme, intolerance glukosa.
17
i. Jantung Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis, vaskulitis. j. Gastro Intestinal Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada perut.
k. Muskuluskletal Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint swelling.
l. Sensori Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
m. Neurologis Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
4) Pola Fungsional Gordon 1. Persepsi – Manajemen Kesehatan Biasanya klien tidak sadar akan penyakitnya, meski gejala demam dirasakan klien menganggap hanya demam biasa. 2. Nutrisi – Metabolik Biasanya, penderita SLE akan banyak kehilangan berat badan karena kurang nafsu makan serta mual muntah yang dirasakan.
3. Eliminasi Secara klinis, penderita SLE akan mengalami diare.
18
4. Aktivitas – Latihan Penderita SLE biasanya mengeluhkan kelelahan serta nyeri pada bagian sendinya. Keterbatasan aktivitas untuk menghindari nyeri, sehingga pola aktivitas latihan klien terganggu. P : nyeri muncul ssat klien bekerja, Q : nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan diiris-iris, nyeriikan berkurang saat klien diberikan analgetik dan beristirahat, R : nyeri yang dirasakan dibagian sendi, S : nyeri yang dirasakan skala 4 (0-5), T : nyeri terasa selama 30-60 menit. TD : > 110-125/60-80 mmHg, Nadi : > 60-100 x/menit, Suhu : > 36-37,5C, RR : >16-20 x/ menit. 5. Istirahat – Tidur Klien dapat mengalami gangguan dalam tidur karena nyeri sendi yang dirasakannya. 6. Kognitif – Persepsi Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila terdapat lesi pada jari – jari tangannya. Pada sistem neurologis, penderita dapat mengalami depresi dan psikologis.
7. Konsep diri Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversible yang menimbulkan bekas dan warna yang buruk pada kulit, penderita SLE akan merasa terganggu dan malu dengan penampilanya. 8. Peran – Hubungan Penderita SLE tidak mampu melakukan pekerjaan seperti biasanya selama sakit, namun masih dapat berkomunikasi. 9. Seksual – Reproduksi Biasanya, penderita SLE tidak mengalami gangguan dalam aktivitas seksual dan reproduksi.
19
10. Koping – Stress Biasanya penderita mengalami depresi dengan penyakitnya dan juga stress karena nyeri yang dirasakan. Untuk menghadapi penyakitnya, klien butuh dukungan dari keluarga serta lingkungannya demi kesembuhan klien. 11. Nilai – Kepercayaan Biasanya aktivitas ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas karena nyeri yang dirasakan.
5) Pemeriksaan lain-lain: 1. Pemeriksaan darah. Gangguan pada sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (lekosit) atau trombosit (keping-keping darah yang berfungsi untuk pembekuan darah). Anemia hemolitik adalah hancurnya sel-sel darah merah sebelum waktunya (sel darah merah yang normal akan dihancurkan setelah 120 hari) dikarenakan faktor autoimun. Lekosit jumlahnya akan menurun, trombosit juga akan menurun.
2. Pemeriksaan imunologi. Pemeriksaan autoantibodi khusus yang paling sering diperiksa adalah antidsDNA. Bila anti dsDNA negatif, biasanya akan diperiksa antiSm dan biasanya imunologi pada SLE menurun. 3. ANA test. Ketentuannya: Lupus dapat didiagnosa jika minimal 4 dari 11 kriteria diatas, positif. Jika cuma satu, dua atau tiga yang positif mungkin bukan Lupus, atau mungkin awal dari Lupus. Sehingga pada keadaan ini, seseorang sebaiknya selalu kontrol untuk melihat perkembangan penyakitnya. Gejala dimasukkan sebagai criteria misalnya : panas badan, rambut rontok, kelelahan, berat badan turun dan sebagainya. Hal ini karena gejala-gejala tersebut sangat umum, dapat terjadi pada penyakit yang lain.
20
3.2
Analisa Data Analisa data
Etiologi
Masalah Keperawatan
Muskuloskeletal
Ds : -
Nyeri Akut
Klien mengatakan sering merasakan nyeri sendi
Pembengkakan sendi
dan kaku. -
P : klien mengatakan nyeri muncul saat klien bekerja
-
Q : klien mengatakan
Artlargia, arthrithis (sinovitis), nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak
nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan
Nyeri akut
diiris-iris, nyeriikan berkurang saat klien diberikan analgetik dan beristirahat -
R : klien mengatakan nyeri yang dirasakan dibagian sendi
-
S : nyeri yang dirasakan skala 4 (0-5)
-
T : klien mengatakan apabila nyeri terasa selama 30-60 menit
Do : -
Perubahan pola makan : Anoreksia
-
Perubahan posisi untuk menghindari nyeri : Keterbatasan aktivitas untuk menghindari nyeri
21
sehingga pola aktivitas latihan klien terganggu -
Perubahan parameter : TD : > 110-125/60-80 mmHg Nadi : > 60-100 x/menit Suhu : > 36-37,5C RR : >16-20 x/ menit
Integumen
Ds : -
Klien mengatakan kulitnya menjadi merah dan ada luka
Do : -
Gangguan adanya
pigmentasi kelainan
Kulit Adanya lesi akut pada kulit (ruam berbentuk kupu-kupu) pangkal hidung dan pipi
:
kulit
eritema molar -
Kerusakan Integritas
Dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan
Lesi papuler, eritematous dan purpura diujung kaki, tumit dan siku
jari jari-jari kaki dan -
Terdapat lesi mukosa
Kerusakan jaringan kulit
mulut
Ds : -
Klien mengatakan kulitnya
Kerusakan integritas kulit Penumpukan kompleks imun
Resiko Infeksi
menjadi merah dan ada luka
Do : -
Adanya lesi akut pada kulit (ruam berbentuk kupu-kupu) pangkal hidung dan pipi
Gangguan integritas kulit : adanya lesi dan ruam
Lesi papuler, eritematous dan
22
merah -
Imunosupresi : sistem
purpura diujung kaki, tumit dan siku
imun menurun Kerusakan jaringan kulit
Kerusakan integritas kulit
Invasi
Port de entry
Memungkinkan masuknya mikroorganisme ke tubuh
Resiko Infeksi 3.3
Diagnosa Keperawatan : 1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan/ agent 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit 3.
Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
23
3.4 No. 1
Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosa Keperawatan
Kriteria Hasil
Intervensi
Rasional
Nyeri akut berhubungan
Control nyeri :
Manajemen nyeri :
dengan inflamasi dan
Setelah dilakukan asuhan
1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Nyeri hampir selalu ada pada
kerusakan jaringan/ agent
keperawatan selama 3 x 24
komprehensif yang meliputi
derajat
injuring fisik
jam diharapkan pasien mampu
lokasi,
jaringan.
mengontrol nyeri dengan
onset/durai,
criteria hasil :
kualitas,
1. Mengenali kapan nyeri terjadi 2. Menggambarkan faktor penyebab 3. Melaporkan perubahan
karakteristik,
keterlibatan
frekuensi, 2. Petunjuk nonverbal ini untuk intensitas
atau
mengetahui respon nyeri dari
beratnya nyeri dan faktor
mereka
pencetus
berkomunikasi dengan efektif.
yang
2. Observasi adanya petunjuk 3. Dengan nonverbal
mengenai
ketidaknyamnan
terutama
terhadap gejala nyeri
pada mereka
pada profesional
dapat berkomunikasi secara
kesehatan
efektif.
4. Melaporkan gejala
berat
yang tidak
tidak
bisa
menggunakan
komunikasi terapeutik tenaga kesehatan pengalaman
mengerti nyeri
yang
pernah pasien rasakan dulu. 4. Menanyakan apakah pasien
3. Gunakan strategi komunikasi
mengerti kapan timbul rasa
yang tidak
terapeutik untuk mengetahui
nyeri itu dan bagaimana cara
terkontrolpada
pengalaman
mengatasi nyeri itu datang,
nyeri
dan
24
profesional kesehatan 5. Melaporkan nyeri yang terkontrol
sampaikan
penerimaan
pasien terhadap nyeri. 4. Gali
pengetahuan
kepercayaan
perlahan. dan 5. Memberitahukan pasien
mengenai nyeri. 5. Tentukan
dengan seperti itu nyeri hilang
kepada
pasien dengan rasa nyerinya pada kualitas hidup pasien
akibat
dari
seperti(tidur, nafsu makan).
pengalaman nyeri terhadap 6. Memberikan
pengertian
kualitas
dan
hidup
(misalnya:
pasien
tidur,
nafsu
terhadap
pasien
tim
kesehatan lainnya dimana rasa
makan, pengertian, perasaan
nyeri
hubungan, performa kerja
menggunakan metode yang
dan tanggung jawab peran)
dilakukan
6. Evaluasi bersama pasien dan tim
kesehatan
mengenai
lainnya,
itu
timbul
sebelumnya.sehingga
bisa
rasa
nyeri bisa berkurang
efektifitas 7. Menciptakan lingkungan yang
tindakan pengontrolan nyeri
lebih baik untuk menguran gi
yang
nyeri seperti suhu ruangan
pernah
digunakan
sebelumnya. 7. Kendalikan
yang normal dan tanpa ada faktor
kebisingan.
25
lingkungan
yang
dapat 8. Untuk
mengurangi
nyeri
mempengaruhi respon pasien
dengan berkolaborasi antara
terhadap
ketidaknyamnan
tenaga kesehatan dan pasien
(misalnya:
suhu
untuk mencapai penurunan
ruangan,
pencahayaan, suara bising).
nyeri nonfarmakologi.
8. Kolaborasi dengan pasien, 9. Menganjurkan orang
terdekat
kesehatan
dan
lainnya
memilih
tim untuk dan
mengimplementasikan tindakan
penurunan
nonfarmakologi,
beristirahat
untuk
yang
berguna
mengurangi rasa nyeri pada pasien
secara
berangsur
angsur nyeri sesuai
kebutuhan. 9. Dukung istirahat/tidur yang adekuat
untuk
membantu
penurunan nyeri. 2
Kerusakan integritas kulit Tissue integrity ; skin and berhubungan dengan lesi mucous: pada kulit
Setelah
Pressure Management: 1. Monitor kulit akan adanya
dilakukan
asuhan
kemerahan
1. Mengidentifikasi adanya tanda-tanda kerusakan
26
keperawatan selama 3 x 24 jam 2. Anjurkan pasien untuk diharapkan integritas
kerusakan kulit
membaik
dengan kriteria hasil :
menggunakan pakaian yang longgar 3. Jaga kebersihan kulit pasien
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
agar tetap bersih dan kering 4. Oleskan lotion atau
integritas kulit 2. Mmenghindari terjadinya kerusakan kulit 3. Agar resiko kerusakan integritas kulit dapat dihindari 4. Agar kerusakan tidak meluas
2. Perfusi jaringan baik
minyak/baby oil pada daerah 5. Agar pasien merasa nyaman
3. Mempu melindungi kulit
sekitar lesi
Dan
mempertahankan 5. Memandikan pasien dengan
kelembaban
kulit
dan
perawatan alami.
sabun dan air hangat 6. Mobilisasi pasien (ubah
6. Mobilisasi pasien dapat membuat pasien lebih nyaman dan mengurangi resiko kerusakan integritas kulit
posisi pasien) setiap dua jam sekali 3.
Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
Control infeksi : 1. Pertahankan tehnik isolasi Setelah dilakukan asuhan yang sesuai keperawatan selama 3 x 24 jam 2. Batasi jumlah pengunjung 3. Ajarkan cara cuci tangan diharap tidak terjadi infeksi bagi tenaga kesehatan 4. Anjurkan pasien mengenal pada pasien dengan criteria teknik mencuci tangan hasil : dengan tepat Control resiko : proses infeksi
1. Untuk meminimalkan terjadinya risiko infeksi pada pasien 2. Untuk menghindari timbulnya risiko infeksi terhadap pasien keluarga maupun pengunjung 3. Untuk meminimalisir risiko infeksi terhadap tenaga 27
1. Mencari informasi terkait kontrol infeksi 2. Mengidentifikasi faktor risiko infeksi 3. Mengidentifikasitanda dan gejala infeksi 4. Menggunakan alat pelindung diri 5. Mencuci tangan
5. Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat memasuki dan meninggalkan ruangan pasien 6. Pastikan penanganan aseptik dari semua saluran IV 7. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat 8. Dorong untuk beristirahat 9. Ajarkan pasien dan anggota keluarga mengenai bagaimana menghindari infeksi
kesehatan 4. Agar pasien mengerti cara menghindari terjadinya risiko infeksi 5. Untuk meminimalisir risiko infeksi terhadap pengunjung 6. Dengan meningkatkan intake nutrisi yang tepat bisa membantu sistem imunnya membaik dan meminimalisir risiko nutrisi 7. Agar memulihkan kondisi dari pasien tersebut dengan istitirahat yang normal 8. Memberikan penjelasan cara cuci tangan dan mengetahui bagaimana risiko infeksi bisa timbul
28
BAB IV TELAAH JURNAL Judul dan Author (penulis) Effects of psychologic al intervention s for patients with systemic lupus erythematos us: a systematic review and metaanalysis (2012)
Tujuan
Metode
Tujuan dari Systematic systematic review review ini yaitua untuk mengukur efek dari intervensi psikologis pada kesehatan psikologis, kesehatan fisik dan aktivitas penyakit pada pasien dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).
Populasi dan Sampel
Intervensi
Hasil
Kelemahan dari Artikel
Kesimpulan
Referensi sebanyak 467 yang diidentifikasi dalam penyaringan sistem review ini. 94 duplikat dikeluarkan 344 kutipan dikeluarkan setelah screening awal karena mereka tidak RCT atau mata pelajaran dan intervensi yang tidak berhubungan dengan topik ini.
Jenis intervensi adalah intervensi psikologis terhadap kondisi kontrol, yang mana intervensi psikologis ini sebagai komunikasi verbal antara terapis dan klien adalah elemen inti, atau di mana perawatan psikologis yang ditulis dalam format buku atau program komputer yang klien bekerja melalui lebih
Depresi 4 penelitian yang melibatkan 282 pasien. hasil menunjukan perbedaan yang signifikan antara dua kelompok yang mendukung intervensi psikologis. antara dua kelompok yang mendukung intervensi
Salah satu keterbatasan dari ulasan ini adalah rendahnya jumlah studi yang memenuhi syarat dan ukuran sampel kecil dalam uji coba.
Tinjauan sistematis ini memberikan ringkasan yang komprehensif dari RCT yang tersedia saat meneliti efek intervensi psikologis pada pasien dengan SLE. Temuan ini menunjukkan nilai potensial dari intervensi psikologis sebagai pengobatan tambahan
29
29 artikel teks lengkap dipertahankan untuk skrining lebih lanjut. Dari 29 studi ini, 23 dikeluarkan karena alasan duplikat, nonRCT, subjek yang terlibat tidak pasien SLE, intervensi tidak memenuhi syarat atau hasil bunga tidak dinilai.
atau kurang mandiri, tapi dengan beberapa jenis dukungan pribadi dari seorang terapis (melalui telepon, E-mail, atau sebaliknya).
psikologis. Menekankan 2 penelitian melibatkan 104 peserta. Hasil menunjukan selisih yang signifikan, yang menunjukkan bahwa intervensi psikologis mengurangi stres yang dirasakan oleh pasien SLE, dibandingkan dengan kondisi kontrol.
pada pengelolaan medis SLE. Hal ini efektif untuk pasien SLE untuk mengelola emosi negatif dan untuk mengurangi aktivitas stres dan penyakit.
Kesehatan mental 2 penelitian melibatkan
30
137 peserta. Hasil menunjukan tidak ada selisih signifikan dalam perubahan kesehatan mental antara kedua kelompok. Nyeri kesehatan fisiologis 2 penelitian melibatkan 104 pasien. Hasil menunjukan perbedaan signifikan antara kedua kelompok diamati dalam mendukung kelompok
31
intervensi psikologis. Kelelahan 2 penelitian melibatkan 151 pasien. Hasil menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Fungsi fisik 2 penelitian melibatkan 196 pasien. Hasil menunjukkan bahwa perubahan fungsi fisik tidak berbeda secara signifikan antara
32
kelompok. Aktivitas penyakit 4 penelitian melibatkan 290 pasien. Hasil menunjukkan bahwa intervensi psikologis memiliki efek pada aktivitas penyakit yang positif dibandingkan dengan kondisi control.
33
BAB V LITERATURE REVIEW Lupus eritematosus sistemik merupakan penyakit inflamasi autoimun sistemik yang ditandai dengan yemuan autoantibody pada jaringan dan kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis di berbagai sistem organ. Pada individu dengan predisposisi genetic terhadap SLE, timbul gangguan toleransi sel T terhadap self-antigen. Akibatnya, terbentuk suatu sel T yang autoreaktif dan menginduksi sel B untuk memproduksi autoantibody. Pemicu gangguan toleransi ini diduga berupa hormone seks (peningkatan estrogen ditambah dengan aktivitas androgen yang tidak adekuat), sinar ultraviolet, obatobatan, dan infeksi tertentu. Autoantibody yang terbentuk akan menyerang nucleus, sitoplasma, permukaan sel, IgG maupun factor koagulasi (self molecules). Antibody yang spesifik ditemukan pada penderita LES adalah (anti nuclear antibody), anti ds-DNA, dan anti-SM antibody. Ikatan antibody ini dengan antigenya akan membentuk kompleks imun yang beredar keseluruh tubuh dan diluar kemampuan fagosit monouklear. Saat ini tidak ada obat untuk SLE, dan kondisi ini dapat mengancam kehidupan. Baru-baru ini, kita telah melihat penurunan dramatis dalam angka kematian dari semua penyebab antara pasien dengan SLE yang dapat sebagian disebabkan kemajuan pengobatan yang menunda perkembangan penyakit dan meminimalkan kerusakan organ. Bagi banyak pasien SLE, penyakit terus memiliki dampak besar pada kehidupan sehari-hari mereka. Mereka tidak hanya mau tidak mau mengalami berbagai gejala somatik seperti sakit dan kelelahan, tetapi juga menangani eksistensial, emosional, sosial dan psikologis seperti mengurangi stres ambang batas, kecemasan, depresi dan perubahan peran sosial yang dibawa oleh penyakit mereka. Semua ini telah dikaitkan dengan penurunan produktivitas kerja dan memburukn ya gejala lupus. Meskipun demikian, pasien mungkin enggan untuk menambah analgesic lanjut, opioid dan antidepresan ke berbagai agen yang
34
diperlukan untuk manajemen dasar dari SLE. Oleh karena itu, metode nonfarmakologis mungkin menguntungkan. Dalam jurnal yang berjudul “Effects Of Psychological Interventions For Patients With Systemic Lupus Erythematosus: A Systematic Review And MetaAnalysis” meniliti tentang pemberian intervensi psikologis pada pasien SLE, dari 6 studi yang digabung ukuran sampelnya yaitu 537 peserta yang terdiagnosis SLE. Meskipun studi ini menggunakan berbagai bentuk intervensi psikologis, pelatihan terutama melibatkan beberapa kombinasi dari pendidikan pasien, relaksasi, manajemen stres atau pengajaran keterampilan koping kognitif. Juga termasuk biofeedback sebagai salah satu komponen intervensi. Program-program intervensi berkisar antara 12 hari sampai enam bulan. Format intervensi ini dilakukan secara individu dan dalam kelompok. Tujuan utama dari tinjauan sistematis ini adalah untuk memeriksa efek intervensi psikologis untuk mengurangi gejala somatik yang berkaitan dengan penyakit dan meningkatkan kesehatan psikologis pada pasien dengan SLE, karena ini adalah masalah klinis yang penting,dan hasil perawatan untuk pasien SLE. Untuk memeriksa masalah ini, ada 467 studi yang mengidentifikasi enam RCT bahwa dibandingkan intervensi psikologis untuk perawatan medis atau perhatian yang biasa kontrol. Hasil gabungan dari RCT ini menunjukkan bahwa pengurangan signifikan secara statistik signifikan ditemukan dalam kecemasan, depresi, stres dan aktivitas penyakit pada kelompok intervensi dibandingkan dengan posttreatment kelompok kontrol. Efek pada kesehatan mental, kelelahan dan fungsi fisik berada dalam arah yang diharapkan, tetapi tidak ada perbedaanperbedaan statistik signifikan yang diamati.
35
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen. Gangguan ini muncul akibat kombinasi beberapa factor genetic, hormonal (yang dibuktikan dengan awitan penyakit yang biasanya terjadi pada massa usia subur), dan factor lingkungan (sinar matahari, luka bakar termal). Secara khusus efek intervensi psikologis pada kesehatan fisik, kesehatan psikologis dan aktivitas penyakit pada pasien dengan SLE, untuk memberikan bukti klinis terbaik untuk pengobatan secara keseluruhan. 6.2 Saran Dengan adanya makalah ini mungkin bisa digunakan sebagai bagan belajar mahasiswa, Dan intervensi psikologikal ini diharap dapat digunakan untuk mengurangi sakit pada pasien SLE.
36
DAFTAR PUSTAKA Tanto , Chris dkk. 2014. Kapita Selekta : Edisi 4. Media Aesculapius. Jakarta Brunner & Suddarth. 2012. Keperawatan medical bedah : edisi 12/ EGC. Jakarta
37