Skripsi - Melihat Krisis Ekologis Melalui Kacamata Paus Fransiskus Dalam Ensiklik Laudato Si'.pdf

  • Uploaded by: Agustinus Rosario
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skripsi - Melihat Krisis Ekologis Melalui Kacamata Paus Fransiskus Dalam Ensiklik Laudato Si'.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 24,411
  • Pages: 120
TEO

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

SKRIPSI

Disusun Oleh : AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI

NIM: 136114014

PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

i

TEO

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu Teologi Program Studi Ilmu Teologi

Oleh : AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI NIM: 136114014

PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGI JURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017

ii

SKRIPSI

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’

Oleh : AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI NIM: 136114014

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

Dr. D. Bismoko Mahamboro

Tanggal, .................................

Pembimbing II

Dr M. Mali, CSsR

Tanggal, .................................

iii

SKRIPSI

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’ Oleh : AGUSTINUS ROSARIO DARU NELAHI NIM: 136114014

Telah dipertahankan di depan panitia penguji Pada tanggal ........................................... Dan dinyatakan memenuhi syarat Susunan panitia penguji

Nama Lengkap

Tanda Tangan

Ketua

: Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr.

............................

Sekretaris

: Alb. Bagus Laksana, SJ, Ph.D.

............................

Anggota

: Dr. D. Bismoko Mahamboro

............................

Yogyakarta, ..................................... Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Dekan,

Dr. E. Pranawa Dhatu Ms., Pr.

iv

PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul:

MELIHAT KRISIS EKOLOGIS MELALUI KACAMATA PAUS FRANSISKUS DALAM ENSIKLIK LAUDATO SI’ Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, ................................... Penulis,

Agustinus Rosario Daru Nelahi NIM: 136114014

v

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta. Ayah, Ibu, dan Adik yang senantiasa memberikan dukungan dan menjadi salah satu semangat bagi penulis dalam menyusun skripsi ini. Teman-teman angkatan tingkat IV 2016/2017 yang menjadi teman seperjuangan di Fakultas Teologi Keuskupan Agung Semarang yang memberikan kesempatan bagi penulis untuk belajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma. Kelestarian alam ciptaan.

vi

ABSTRAK

Dalam beberapa tahun terakhir ini, isu kerusakan lingkungan hidup menjadi isu yang banyak dibahas. Pemanasan global dan bencana alam yang terjadi semakin sering dan semakin hebat mendorong manusia untuk mencari tahu apa sebab di balik semua fenomena tersebut. Solusi berupa tindakan praktis pun dibuat guna mengurangi emisi karbon yang dianggap menjadi biang semua kerusakan tersebut. Namun, krisis ekologis ternyata memiliki dimensi yang lebih luas. Para warga miskin, yang merasakan dampak yang paling besar dari kerusakan lingkungan hidup, masih terabaikan. Perusahaan-perusahaan besar masih meneruskan ekploitasi mereka terhadap alam. Masih ada juga para pemimpin negara yang menolak membuat regulasi untuk menjaga kelestarian alam. Dunia membutuhkan lebih dari sekadar solusi praktis untuk menanggulangi krisis ekologis selama kepentingan politik dan ekonomi masih kuat pengaruhnya. Dalam situasi tersebut, Paus Fransiskus menawarkan sebuah solusi alternatif melalui ensiklik Laudato Si’. Melalui ensiklik ini, Paus melihat bahwa krisis ekologis terjadi karena cara pandang kita yang salah terhadap alam. Dalam kacamata Paus Fransiskus, ada sebuah kemendesakan akan sebuah spiritualitas baru untuk mendasari tindakan kita terhadap pelestarian alam. Paus Fransiskus kemudian mengusulkan sebuah solusi berupa ekologi integral: suatu cara pandang yang menyeluruh dan utuh terhadap alam.

vii

ABSTRACT

In recent years, environmental degradation issues become much discussed. Global warming and natural disasters which happened more frequently and intensely encourage people to find out what causes these phenomena. Then the practical actions to reduce carbon emissions are taken, which are considered to be the source of all the damage. However, the ecological crisis has a wider dimension. The poor, who experience the worst impact of environmental damage, have been neglected. Large companies continue their exploitation of nature. There are also country's leaders who refuse to make regulations to preserve nature. The world needs more than just practical solutions to overcome the ecological crisis since the political and economic interests still have influence on it strongly. In such situations, Pope Francis offered an alternative solution through his encyclical, Laudato Si'. Through this encyclical, the Pope saw that the ecological crisis occurs because there is a mistake on the way we look our nature. According to Pope Francis, there is an urgency of a new spirituality that underlies our actions in preserving the nature. Pope Francis then proposes a solution in the form of integral ecology: a holistic and whole perspective of nature.

viii

KATA PENGANTAR

Kerusakan alam ciptaan adalah hal nyata yang sedang terjadi di dunia sekarang ini. Adanya pemanasan global, iklim yang tidak menentu, serta anomalianomali yang terjadi di alam merupakan dampak dari kerusakan alam yang tidak dapat kita abaikan. Tidak hanya itu, dampak yang bersifat politis dan ekonomis pun kita rasakan. Kaum miskin menjadi semakin miskin dan penyalahgunaan kekuasaan secara sewenang-wenang terhadap alam menunjukkan bahwa dampak krisis ekologis yang sedang terjadi pun meluas hingga ke dimensi ekonomi dan politik. Berhadapan dengan kerusakan yang semakin masif, kita, manusia, tidak bisa lagi mengandalkan hanya solusi-solusi teknis, yang hanya menyelesaikan sedikit dari keseluruhan masalah yang terkandung dalam krisis ekologis. Dalam kondisi demikian, Paus Fransiskus hadir dengan ensikliknya, Laudato Si’. Melalui ensiklik ini, Paus memberi gambaran yang lebih luas mengenai akar krisis ekologis dan solusinya. Dengan menggunakan spiritualitas Fransiskan untuk memandang krisis ekologis, Paus menawarkan suatu ekologi yang lebih menyeluruh dan integral, bukan semata-mata solusi teknis dan praktis dalam menanggulangi krisis yang kita alami saat ini. Skripsi ini mencoba mensistemisasi pemikiran Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato Si’ dalam kerangka akarsolusi. Maka, diharapkan para pembaca dapat melihat alam ciptaan dan krisis ekologis secara baru, melalui kacamata Paus Fransiskus dalam Laudato Si’.

ix

Atas terselesainya skripsi ini, penulis hendak menghaturkan puji syukur kepada Allah Tritunggal Mahakudus —Bapa, Pencipta dan Bapa Semua Ciptaan; Putra, Pendamai dan Penebus; serta Roh Kudus, Sang Pemelihara— yang telah menginspirasi penulis untuk membuat skripsi ini serta senantiasa menyertai dalam pengerjaannya. Tak lupa penulis ingin berterimakasih kepada beberapa pihak sebagai berikut: 1.

Mgr Johannes Pujasumarta (alm), Rm. FX Sukendar, Pr, dan Mgr. Robertus Rubiyatmoko sebagai pimpinan Keuskupan Agung Semarang selama penulis menyusun skripsi ini, yang memberi kesempatan kepada penulis untuk menjalani hidup panggilan sebagai calon imam Keuskupan Agung Semarang, termasuk menjalani studi di Fakultas Teologi WedabhaktiFakultas Teologi Universitas Sanata Dharma.

2.

Rm. J. Kristanto, Pr sebagai rektor Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta yang senantiasa memberikan dukungan dalam bentuk peringatan, teguran, doa, motivasi, fasilitas, dan segala perhatian kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

3.

Rm. Matheus Purwatma, Pr sebagai wali tingkat dan pembimbing rohani penulis, yang dengan karisma kebapakannya telah meneguhkan dan memberi semangat kepada penulis untuk terus menulis, sekalipun sulit, hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

4.

Rm. Dionius Bismoko Mahamboro, Pr sebagai pembimbing pertama penulis dalam menulis skripsi ini, yang senantiasa sabar menanti kiriman naskah skripsi dari penulis, sekalipun seringkali terlambat, dan sangat teliti

x

memberikan koreksi dan masukan yang sangat berguna bagi tersusunnya skripsi ini. 5.

Teman-teman tingkat IV, baik dari Seminari Tinggi (Fr. Christian, Fr. Dhita, Fr. Willy, Fr. Andri, Fr. Dhany, Fr. Windu, dan Mas Aji) maupun dari konvik lain, yang telah berkenan menjadi teman seperjalanan yang baik bagi penulis, dengan segala suka-duka dan keluh kesahnya, dalam menyelesaikan skripsi ini.

6.

Bpk. RB Suwandi dan Bpk. Lismiyanto sebagai petugas Perpustakaan Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta, yang sangat membantu penulis dalam menemukan referensi yang berguna bagi penulisan skripsi ini.

7.

Bpk. Bernardus Budi Darmawan, Ibu Mathea Dalkiswati, dan Monica Latu Melati sebagai orangtua dan adik penulis, yang dukungan doa dan finansialnya sangat penulis rasakan sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan sangat lancar.

8.

Keluarga besar Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta beserta jajaran staf, karyawan, dan para frater, yang telah menjadi rumah dan anggota keluarga bagi penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

9.

Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang dengan keunikannya masing-masing telah mendukung penulis melalui caranya masing-masing Penulis sadar, bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka, penulis

dengan rendah hati dan terbuka menerima masukan yang membangun penulis dalam karya-karya selanjutnya. Harapan penulis, skripsi ini dapat berguna bagi

xi

mereka yang membacanya ataupun tidak, terutama bagi mereka yang terpanggil untuk bekerjasama merawat dan melestarikan keutuhan alam ciptaan.

Yogyakarta, 28 Mei 2017

Agustinus Rosario Daru Nelahi Penulis

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN SAMPUL ........................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMIBING ................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iv PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN SKRIPSI .......................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ vi ABSTRAK ............................................................................................................ vii ABSTRACT ......................................................................................................... viii KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 4 1.3 Batasan Masalah............................................................................................ 5 1.4 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 5 1.5 Metode Penulisan .......................................................................................... 5 1.6 Sistematika Penulisan ................................................................................... 6

xiii

BAB 2 AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT PAUS FRANSISKUS DALAM LAUDATO SI’ ......................................................................................................... 8 2.1 Pernyataan-pernyataan Paus mengenai Krisis Ekologi ................................. 9 2.2 Hal-hal yang Sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama ........................... 14 2.2.1 Polusi dan Perubahan Iklim ................................................................. 14 2.2.2 Masalah Air .......................................................................................... 15 2.2.3 Hilangnya Keanekaragaman Hayati ..................................................... 16 2.2.4 Penurunan Kualitas Hidup Manusia dan Kemerosotan Sosial ............. 17 2.2.5 Ketimpangan Global ............................................................................ 17 2.2.6 Tanggapan-tanggapan yang Lemah ..................................................... 18 2.2.7 Keragaman Pendapat ............................................................................ 18 2.3 Akar Manusiawi Krisis Ekologis ................................................................ 19 2.3.1 Teknologi: Kreativitas dan Kuasa ........................................................ 19 2.3.2 Globalisasi Paradigma Teknokratis...................................................... 23 2.3.3 Krisis dan Efek Antroposentrisme Modern.......................................... 26 2.3.3.1 Relativisme Praktis ........................................................................ 28 2.3.3.2 Kebutuhan untuk Melestarikan Pekerjaan ..................................... 29 2.3.3.3 Teknologi Biologis yang Baru ...................................................... 30 2.4 Kesimpulan ................................................................................................. 31 BAB 3 EKOLOGI INTEGRAL SEBAGAI SOLUSI KRISIS EKOLOGIS ........ 33 3.1 Dimensi Vertikal Ekologi Integral .............................................................. 34 xiv

3.1.1 Hakikat Manusia di Hadapan Allah: Gambar dan Rupa Allah ............ 35 3.1.2 Hakikat Alam Ciptaan di Hadapan Allah: Setara dengan Manusia Sebagai Bagian dari Kesatuan Seluruh Ciptaan ............................................ 36 3.1.3 Usaha Pendamaian antara Manusia, Alam Ciptaan, dan Allah ............ 40 3.1.3.1 Pribadi Yesus Kristus sebagai Sentral ........................................... 40 3.1.3.2 Pertobatan Ekologis....................................................................... 42 3.1.3.3 Pribadi Yesus Kristus sebagai Sentral ........................................... 44 3.2 Dimensi Horisontal Ekologi Integral .......................................................... 46 3.2.1 Ekologi Integral menurut Paus Fransiskus ........................................... 47 3.2.1.1 Ekologi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial ................................... 47 3.2.1.2 Ekologi Budaya ............................................................................. 50 3.2.1.3 Ekologi Hidup Sehari-hari ............................................................ 52 3.2.1.4 Prinsip Kesejahteraan Umum ........................................................ 53 3.2.1.5 Keadilan Antargenerasi ................................................................. 55 3.2.2 Dialog dalam Mewujudkan Ekologi Integral ....................................... 56 3.2.2.1 Dialog tentang Lingkungan dalam Politik Internasional ............... 57 3.2.2.2 Dialog untuk Kebijakan Baru Nasional dan Lokal ....................... 60 3.2.2.3 Dialog dan Transparansi dalam Pengambilan Keputusan ............. 62 3.2.2.4 Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia ... 65 3.2.2.5 Agama-agama dalam Dialog dengan Ilmu .................................... 67 3.3 Kesimpulan ................................................................................................. 68 xv

BAB 4 REFLEKSI KRITIS .................................................................................. 70 4.1 LS sebagai Dokumen Gereja ....................................................................... 71 4.1.1 Kapasitas LS sebagai Ensiklik ............................................................. 71 4.1.2 Perbandingan LS dengan dokumen Ajaran Sosial Gereja yang Lain .. 73 4.1.3 Spiritualitas Fransiskan sebagai Inti LS ............................................... 75 4.2 LS sebagai Dokumen tentang Lingkungan Hidup ...................................... 77 4.2.1 Interdisiplinaritas dan Usaha Kontekstualisasi Ajaran (Sosial) Gereja 77 4.2.2 Perbandingan dengan Dokumen Lingkungan Hidup Lain ................... 78 4.2.3 Relevansi LS bagi Warga Dunia .......................................................... 80 4.3 Kesimpulan ................................................................................................. 82 BAB 5 PENUTUP ................................................................................................ 83 5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 84 5.2 Relevansi dan Tindakan .............................................................................. 87 5.3 Refleksi ....................................................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 92 A. Dokumen ...................................................................................................... 92 B. Buku ............................................................................................................. 92 C. Artikel, Majalah, dan Koran ......................................................................... 95 D. Internet ....................................................................................................... 101

xvi

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Pada tahun 2006, sebuah film dokumenter, An Incovenient Truth dirilis. Film ini menceritakan bagaimana peran perusahaan-perusahaan besar di Amerika terhadap pencemaran lingkungan. Sesuai dengan judulnya, fakta yang dipaparkan dalam film ini membuat kenyamanan dan kemapanan dunia terusik. Pemanasan global akan makin tak terkendali dan daya rusaknya akan semakin hebat jika orang tidak mengambil tindakan secepatnya. Para pemimpin dunia terhenyak akan adanya satu masalah yang menuntut tanggapan secepatnya dan setepatnya dari seluruh warga dunia, yaitu kerusakan bumi. Setelah film An Inconvenient Truth dirilis, istilah global warming atau pemanasan global menjadi akrab bagi seluruh warga dunia. Selanjutnya, pada tahun 2016, film serupa dirilis. Film dokumenter berjudul Before The Flood menjadi sebuah proyek dari seorang aktor yang juga terkenal sebagai aktivis lingkungan hidup, Leonardo DiCaprio. Before The Flood berfokus pada usaha pencarian DiCaprio akan penyebab dan solusi dari krisis ekologis berbentuk global warming yang semakin parah di bumi. Hasil penelitiannya menunjukkan tingginya emisi karbon sebagai masalah utama krisis ekologis, yang

2

diperparah dengan kebijakan-kebijakan ekonomis. Ini merupakan hal baru yang ditawarkan oleh DiCaprio, yaitu bahwa krisis lingkungan hidup secara eksplisit dikaitkan dengan kebijakan ekonomi. “Negara-negara yang terdiri dari kepulauan kecil yang berkontribusi paling kecil pada perubahan iklim adalah yang akan merasakan dampak terburuknya,” ujar H. E. Tommy E. Remengesau Jr, presiden Republik Palau 1 , salah satu narasumber yang diwawancarai oleh DiCaprio. Memperbaiki kebijakan ekonomi dan perhatian kepada mereka yang ‘kecil’ adalah dua hal penting yang disinggung dalam Before The Flood. Inconvenient Truth dan Before The Flood hanyalah sebagian kecil dari begitu banyak contoh usaha memahami krisis ekologis. Logika yang digunakan biasanya serupa: mencari akar krisis dan berdasarkan analisis tersebut ditawarkan berbagai macam solusi. Maka kita sekarang mengenal berbagai usaha yang dilakukan,

baik

oleh

perseorangan

maupun

lembaga,

sebagai

wujud

penanggulangan atas krisis ekologis, mulai dari kantong plastik berbayar sampai gerakan Earth Hour. Berbagai organisasi pencinta lingkungan hidup juga mulai bermunculan. Batas-batas negara dan agama seakan-akan luruh di hadapan persoalan bersama yaitu keselamatan ekologis. Sayang, tidak semua gerakan membuahkan hasil yang diharapkan, karena tidak semua orang sadar bahwa krisis ekologis berdimensi global dan politis. Dalam kondisi semacam itu, Paus Fransiskus, melalui ensikliknya, Laudato Si’2 yang diterbitkan di Roma pada 18 Juni 2015 menawarkan satu alternatif cara pandang yang baru dalam menganalisis krisis ekologis. Menurut Paus Fransiskus 1

Informasi lebih lengkap mengenai Republik Palau dapat diakses melalui situs resminya, http://palaugov.pw/. 2 Dokumen Laudato Si’ yang digunakan adalah dokumen yang diterjemahkan oleh Martin Harun, OFM. Untuk selanjutnya Laudato Si’ akan disebut dengan menggunakan singkatan LS.

3

dalam ensiklik LS, krisis ekologis tidak disebabkan oleh tindakan perseorangan, melainkan melibatkan sistem berskala global. Krisis ekologis tidak hanya dialami penduduk di negara maupun kota tertentu, melainkan dialami oleh seluruh warga dunia, karena sesungguhnya seluruh bumi adalah “rumah kita bersama” dan “saudari yang berbagi hidup dengan kita” (LS 1). Paus menunjukkan bahwa krisis ekologis juga berdimensi politis, karena kita harus mengakui kalau politik internasional tunduk pada teknologi dan keuangan (LS 54). Oleh karena itu, sejauh tidak menyentuh dua dimensi tersebut, gerakan ekologis tidak akan mencapai tujuan yang diharapkan. Berhadapan dengan krisis ekologis, dunia membutuhkan solusi berupa gerakan ekologis yang integral (LS 137). Untuk itu, penulis mengangkat pemikiran Paus Fransiskus yang termuat dalam ensikliknya, LS, yang diterbitkan pada 18 Juni 2015 yang lalu. Paus Fransiskus, sebagai pemimpin tertinggi agama Katolik, beranggapan bahwa yang dibutuhkan adalah kesadaran mendasar pada asal kita bersama, pada rasa saling memiliki, dan pada masa depan yang harus dibagi dengan semua makhluk, yang memungkinkan pengembangan keyakinan, sikap, dan bentuk kehidupan yang baru (LS 202). LS disusun dengan mencoba menjawab satu pertanyaan pokok: “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada keturunan kita, kepada anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?” (LS 160). Jawaban tersebut diberikan oleh LS dengan paparannya dalam enam bab isinya: Apa yang Terjadi dengan Rumah Kita (Bab 1), Kabar Baik Penciptaan (Bab 2), Akar Manusiawi Krisis Ekologis (Bab 3), Ekologi yang Integral (Bab 4), Beberapa Pedoman untuk Orientasi dan Aksi (Bab 5), dan Pendidikan dan Spiritualitas Ekologis (Bab 6). Skripsi ini akan mencoba menerangkan pemikiran

4

Paus Fransiskus yang terdapat dalam ensiklik LS sebagai bentuk partisipasi Gereja dalam memahami penyebab dan solusi atas krisis ekologis yang terjadi di dunia dewasa ini. 1.2 Rumusan Masalah Pembicaraan mengenai solusi tidak akan lengkap tanpa pembicaraan mengenai akar masalah. Maka, pertanyaan pertama yang ingin penulis jawab melalui skripsi ini adalah apa yang menjadi akar krisis ekologis menurut Paus Fransiskus? Melalui LS Paus Fransiskus mengatakan bahwa akar krisis ekologis meliputi teknologi, globalisasi paradigma teknokrasi, dan antroposentrisme modern (LS 101-132). Akar krisis ekologis tidak lain adalah manusia sendiri, di mana “kecepatan yang sekarang dipaksakan kepadanya (bumi) oleh aktivitas manusia, berkontras dengan kelambanan alamiah evolusi biologis” (LS 18). Kehadiran manusia di dunia dengan segala kemajuannya mengancam keselamatan bumi yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kecepatan kemajuan yang dibawa oleh kegiatan manusia. Kemudian, bermula dari akar krisis yang nantinya akan dipaparkan, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan kedua: Solusi apa yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus berkenaan dengan krisis lingkungan? Jawaban atas pertanyaan ini terdapat dalam seluruh bab 4, yang diberi judul “Ekologi yang Integral”. Persoalan krisis ekologis menuntut adanya gerakan bersama, menyeluruh, dan lintas-ilmu dari semua warga bumi, terutama seluruh manusia di dunia. Krisis ekologis tak bisa lagi disempitkan menjadi masalah pelestarian lingkungan hidup dan segala macam ‘gerakan hijau’-nya, melainkan dilihat secara lebih menyeluruh dalam kaitannya dengan krisis sosial, ekonomi, politik, dan budaya, seperti yang

5

tertulis dalam LS 137, bahwa “masalah-masalah masa kini membutuhkan suatu visi yang memperhitungkan semua aspek dari krisis global... yang jelas mempunyai dimensi manusiawi dan sosial”. 1.3 Batasan Masalah Dalam skripsi ini, penulis akan membatasi permasalahan pada pemikiran Paus Fransiskus yang terdapat dalam LS. Namun, karena ada beberapa istilah baru yang digunakan Paus Fransiskus dalam LS, penulis akan menggunakan referensi pembanding lain untuk mencoba menerangkan makna dari istilah baru tersebut. 1.4 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami gagasan Paus Fransiskus yang termuat dalam LS sebagai salah satu solusi yang dapat diterapkan dalam menanggapi krisis ekologis yang terjadi di dunia sekarang ini. Penulisan skripsi ini juga merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban penulis dalam menjalani perkuliahan di Fakulktas Teologi Universitas Sanata Dharma-Fakultas Teologi Wedabhakti selama delapan semester, dan sebagai syarat untuk gelar Strata satu. 1.5 Metode Penulisan Penulis menggunakan metode studi pustaka dalam penyusunan skripsi ini. Acuan utama penulis adalah Ensiklik Paus Fransiskus, yaitu Laudato Si’. Dari acuan tersebut, penulis akan mencoba membahasakan ulang dan menganalisa pemikiran Paus Fransiskus yang termuat dalam LS dengan bantuan referensi lain sebagai pembanding, seperti komentar-komentar yang pernah dibuat berkenaan

6

dengan artikel acuan tersebut, informasi-informasi tambahan, baik itu dari internet ataupun buku-buku penunjang lain, yang dirasa bermanfaat. 1.6 Sistematika Penulisan Untuk memberikan alur serta garis besar gagasan yang akan disampaikan dalam skripsi ini, berikut penulis cantumkan sistematika penulisan skripsi ini. Bab I: PENDAHULUAN Dalam bab pertama ini, penulis mencoba memberikan gambaran latar belakang penulisan skripsi, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab pertama ini menjadi landasan bagi bagian-bagian selanjutnya. Bab II: AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT PAUS FRANSISKUS DALAM LAUDATO SI’ Dalam bab yang kedua ini penulis akan memberi uraian dan analisa mengenai akar dari krisis ekologis menurut pemikiran Paus Fransiskus. Uraian akan diawali dengan gambaran singkat mengenai perhatian Paus terhadap persoalan ekologis, dilanjutkan dengan pemaparan singkat mengenai situasi dunia saat ini dan sejauh mana situasi tersebut diindikasikan sebagai krisis ekologis. Kemudian, pembahasan akan dilakukan dengan mensistematisasi pemikiran Paus Fransiskus mengenai akar krisis ekologis yang terdapat dalam LS Bab 3 (“Akar Manusiawi Krisis Ekologis”). Bab III: EKOLOGI INTEGRAL SEBAGAI SOLUSI KRISIS EKOLOGIS Bab ketiga adalah bagian utama dari penulisan skripsi ini. Penulis pertamatama akan menjelaskan mengenai solusi krisis ekologis dari berbagai sudut pandang, sebagai usaha menjelaskan ekologi integral yang ditawarkan oleh Paus

7

Fransiskus. Pembahasan mengenai solusi akan menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan lingkungannya. Bab IV: REFLEKSI KRITIS Pada Bab IV, penulis akan memberikan tanggapan kritis berkenaan dengan LS dan segala pembahasan yang terdapat di dalamnya mengenai krisis ekologis, akar, dan solusinya, dan sejauh mana ensiklik ini berbicara bagi masyarakat luas, baik masyarakat kristiani maupun non-kristiani. Bab ini juga akan memuat beberapa catatan kritis mengenai LS. Bab V: PENUTUP Pada Bab V, penulis akan menarik kesimpulan dalam bentuk refleksi mengenai krisis ekologis, yang mencakup akar permasalahan, solusi, dan penerapan yang bisa dilakukan. Diharapkan, pada akhir skripsi ini, pembaca dapat memperoleh inspirasi baru mengenai gerakan ekologis dari gagasan Paus Fransiskus dalam LS.

8

BAB 2 AKAR KRISIS EKOLOGIS MENURUT PAUS FRANSISKUS DALAM LAUDATO SI’

Persoalan ekologi bukanlah topik yang baru untuk dibahas, baik oleh Gereja ataupun akademisi, walaupun kemendesakannya baru semakin nampak pada waktu-waktu belakangan ini. Berbagai macam disiplin ilmu telah mencoba menganalisis persoalan ini dengan perspektifnya masing-masing. Al Gore dalam film dokumenternya, An Inconvenient Truth memberikan pandangannya sebagai tokoh politik mengenai akar dan solusi dari krisis ekologis. Analisisnya membawanya pada kesimpulan bahwa pemanasan global merupakan masalah pokok yang harus diselesaikan untuk mengatasi krisis ekologis. Melengkapi pemikiran Al Gore, Leonardo DiCaprio, seorang tokoh seni, memberi pandangan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang memiliki kepentingan ekonomi yang kuat memperparah kondisi alam dengan emisi karbon. Perusahaan-perusahaan tersebut juga mempengaruhi kebijakan ekologis dengan memberi dukungan kepada tokoh-tokoh politik untuk menutupi kesalahan mereka. Jauh sebelum mereka, Lynn White, seorang ahli abad pertengahan atau medieval, pada tahun 1967 pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” yang dimuat dalam majalah Science. Dalam artikel tersebut,

9

White mencoba mencari tahu akar historis dari krisis ekologis dan menemukan bahwa Kristianitas (dan agama-agama Abrahamik) adalah agama yang paling antroposentris yang pernah dimiliki dunia 3 . Pernyataan ini tentu tidak perlu dipahami sebagai sebuah ‘serangan’ White terhadap kristianitas dan agama-agama Abrahamik, namun sebuah opini pribadi, bahwa jikalau dibandingkan dengan agama-agama lainnya, corak antroposentrik dalam Kristen dan agama Abrahamik lainnya cukup kuat. Selanjutnya, Paus Paulus VI dalam surat apostoliknya, Octogesima Adveniens memberi peringatan kepada kita bahwa “dengan eksploitasi yang menyakiti alam mereka (manusia) berpotensi menghancurkannya dan pada gilirannya akan menjadi korban kerusakan alam”4. Sementara itu, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus menyoroti masalah kekuatan pasar yang dominan yang menyebabkan negara sulit melaksanakan tugasnya dalam menjaga kelestarian alam 5 . Di tengah segala macam perspektif tersebut, Paus Fransiskus dengan LS-nya hadir untuk memberi alternatif baru untuk menganalisis persoalan krisis ekologis. 2.1 Pernyataan-pernyataan Paus mengenai Krisis Ekologi Ensiklik Laudato Si’ mempunyai subjudul “Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama”. Dari subjudul itu, tampak dua unsur yang sekiranya dapat diberi Terjemahan bebas dari kutipan “Christianity is the most anthropocentric religion the world has seen”, L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Science, Vol. 155 No. 3767 (1967):1205. 4 Terjemahan bebas dari kutipan surat apostolik Octogesima Adveniens artikel 21: “Man is suddenly becoming aware that by an ill-considered exploitation of nature he risks destroying it and becoming in his turn the victim of this degradation”, diunduh dari http://w2.vatican.va/content/ paul-vi/en/apost_letters/documents/hf_p-vi_apl_19710514_ octogesima-adveniens.html, pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB. 5 Pernyataan ini disarikan dari kutipan dari ensiklik Centesimus Annus artikel 40: “It is the task of the State to provide for the defence and preservation of common goods such as the natural and human environments, which cannot be safeguarded simply by market forces”, diunduh dari http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_01051991_ centesimus-annus.html, pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB. 3

10

perhatian lebih. Pertama, kata “perawatan”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia,

perawatan

mengandung

arti

“pemeliharaan,

penyelenggaraan,

pembelaan (orang sakit dsb.)”6. Namun, dalam Bahasa Perancis yang dijadikan acuan penerjemahan oleh Martin Harun 7 , ungkapan ini berbunyi “sauvegarde” yang dalam Bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai “to safeguard” 8 yang berarti “to provide something intended as a protection against a possible risk or danger” 9 . Di sini penulis memilih untuk menggunakan kata “perawatan” dan bukan “to safeguard” dan “sauvegarde”, karena terjemahan ini jauh lebih tepat digunakan, terutama jika dihubungkan dengan teologi LS yang menurut penulis adalah “theology of care” 10 . Maka, alih-alih “melindungi” bumi, yang lebih ditekankan oleh Paus Fransiskus adalah “merawatnya”. Dengan demikian, “perawatan” yang kita lakukan tidak perlu menunggu

sampai “rumah kita

bersama” betul-betul dalam bahaya. “Perawatan” yang dimaksud juga mengandung arti mengantisipasi bahaya yang mungkin terjadi pada “rumah kita bersama”. Mengenai unsur kedua, yaitu “rumah kita bersama”, Laudato Si’ versi Perancis menggunakan ungkapan “maison commune”. “Maison commune” — seperti terjemahan Bahasa Inggrisnya— dapat diterjemahkan sebagai “common

6

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Pada Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama hal. vi, disebutkan bahwa alasan Martin Harun menggunakan acuan Laudato Si’ dalam bahasa Perancis adalah karena“segi bentuk bahasa umumnya sangat dekat dengan versi Italia, Spanyol, dan Jerman”. Di sisi lain, versi Inggris “lebih menyapa pembaca (‘kita’), membongkar kalimat panjang, menggunakan ungkapan alternatif yang tampak lebih lazim di dunia Anglo-Saxon, memperlunak nada kritis, dan sering menggunakan idiom Inggris yang tak mudah diterjemahkan”. 8 R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978. 9 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 10 Subjudul LS dalam versi bahasa Italia yang dapat dilihat dalam laman http://w2.vatican.va/content/francesco/it/encyclicals/documents/papafrancesco_20150524_enciclica-laudato-si.html juga menggunakan kata “Sulla Cura Della Casa Commune”. 7

11

home”. Terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia adalah “rumah umum”, atau menggunakan terjemahan yang dipakai oleh Martin Harun, “rumah kita bersama”. “Maison” menurut dalam Bahasa Inggris dapat diterjemahkan sebagai “house”11, yang dapat diartikan sebagai “a building for a person or family to live in” 12 . Kita juga mengenal sinonim “house”, yaitu “home” —yang sama-sama diterjemahkan dengan kata “maison”— yang berarti “the private living quarters of a person or family13”. Satu kata lagi, yaitu “common”, dapat diartikan sebagai “belonging or relating to more than one”14. Kita dapat menggantikan kata “rumah kita bersama” dengan kata “planet bumi”. Dengan demikian, maksud dari ensiklik ini semakin jelas, yaitu membahas tentang perawatan terhadap bumi, rumah kita bersama, dan “anggota keluarga” yang memilikinya, termasuk kita, manusia. Pertanyaan logis yang muncul saat membahas mengenai subjudul Laudato Si’ adalah: “Mengapa “rumah kita bersama” perlu “dirawat”?” dan “Apa yang sedang terjadi pada “rumah kita bersama” sekarang ini?”. Jawaban dari pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan inti yang ingin dijawab oleh Laudato Si’, yaitu “Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada keturunan kita, kepada anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?” (LS 160). Namun, sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai akar krisis ekologis menurut Paus Fransiskus dalam LS, kita akan melihat secara umum bagaimana pandangan Paus Fransiskus berkaitan dengan ekologi. Topik mengenai ekologi sebenarnya bukanlah topik yang baru dalam pandangan Paus Fransiskus. Sebelum mengeluarkan LS, perhatian Paus 11

R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978. Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 13 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 14 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 12

12

Fransiskus mengenai ekologi telah muncul dalam beberapa tulisan dan khotbahnya. Ada lima tema besar yang diusung oleh Paus Fransiskus berkaitan dengan ekologi, yaitu ekologi integral, kepedulian terhadap ciptaan, perubahan iklim, budaya membuang, dan panggilan untuk membangun budaya solidaritas dan perjumpaan15. a. Ekologi Integral Ada dua poin penting dari ekologi integral menurut Paus Fransiskus, yaitu bagaimana kita berelasi dengan alam dan bagaimana kita berelasi dengan sesama kita. Ekologi yang integral berarti ada kesinambungan antara cara kita menghargai kehidupan, memperlakukan satu sama lain, mengangkat derajat orang miskin, menyusun kebijakan ekonomi, dan membangun masyarakat dengan cara kita merawat lingkungan dan sumber daya alam sebagai anugerah dari Tuhan. Hal ini nampak, misalnya dalam kutipan audiensi umum yang diberikannya pada 5 Juni 2013: “Namun, untuk ‘merawat dan melestarikan’ tidak berhenti pada hubungan kita dengan lingkungan atau hubungan manusia dengan ciptaan. Ini (merawat dan melestarikan) juga melibatkan hubungan antarmanusia”16. b. Kepedulian terhadap Ciptaan Kepedulian terhadap ciptaan menurut Paus Fransiskus tidak akan pernah dapat dilepaskan dari kepedulian dan kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Alam adalah ciptaan Tuhan yang dianugerahkan bagi kita. Maka, jika kita gagal merawat dan melestarikannya, kita berpotensi menghancurkan tanda cinta Tuhan Pembagian lima tema ini dan pembahasannya merupakan rangkuman dari artikel “Pope Francis Themes on Ecology” yang diunggah oleh USCCB (United States Conference of Catholic Bishops) dalam situs resminya, diunduh dari http://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-anddignity/environment/upload/pope-francis-encyclical-themes.pdf, pada 5 Desember 2016 pukul 9.25 WIB. Sitiran selanjutnya akan langsung menggunakan rumusan “Pope Francis Themes on Ecology”, USCCB. 16 “Pope Francis Themes on Ecology”, USCCB, 1. 15

13

kepada kita. Dan, pemanfaatan alam ciptaan haruslah demi kebaikan bersama umat manusia. Seperti nampak dalam kutipan audiensi umum yang diberikannya pada 21 Mei 2014: “Alam ciptaan bukanlah milik kita, yang bisa kita gunakan seturut kehendak kita” namun penciptaan adalah “sebuah pemberian yang indah dari Tuhan, sehingga kita merawat dan menggunakannya untuk kebaikan semua”17. c. Perubahan Iklim Hal yang paling disoroti oleh Paus Fransiskus mengenai perubahan iklim adalah dampaknya yang tidak proporsional. Mereka yang miskin dan lemah, yang menyumbang paling sedikit untuk perubahan iklim, terkena dampak yang paling besar darinya. Oleh karena itu, perubahan iklim merupakan “tanggungjawab etis dan moral yang serius”18 (Pesan Paus Fransiskus pada Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim). d. Budaya Membuang Budaya membuang merupakan bagian dari ekonomi eksklusi. Budaya ini merupakan mentalitas umum yang merasuki semua orang. Hidup manusia tidak lagi dilihat sebagai “nilai utama yang harus dijaga dan dihormati”, terlebih hidup mereka yang miskin, lemah, dan tidak berguna. Menurut Paus Fransiskus, budaya membuang paling nampak dari tidak munculnya rasa bersalah saat kita membuang makanan, sementara di bagian dunia yang lain, ada manusia yang kelaparan dan menderita malnutrisi19 (Audiensi Umum 5 Juni 2013). e. Membangun Budaya Solidaritas dan Perjumpaan

“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 1. “Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 2. 19 “Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 2. 17 18

14

Paus Fransiskus menekankan pentingnya “ambil bagian dalam aksi bersama untuk melindungi sesama dan lingkungan”, dengan “menyingkirkan kepentingankepentingan pribadi”, dan “tidak digoyahkan oleh tekanan-tekanan ekonomi dan politik” 20 . Cirinya tampak dalam “makanan yang dibagikan secara adil dan merata, tidak ada kebutuhan pribadi yang dirampas, masyarakat mampu menghargai kebutuhan anggota masyarakatnya yang paling miskin, dan ekologi manusiawi dan ekologi lingkungan bisa ‘bergandengan tangan’” 21 (Audiensi Umum 5 Juni 2013). 2.2 Hal-hal yang Sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama Dalam LS dinyatakan bahwa bahaya yang mengancam bumi bukan sesuatu yang masih harus diantisipasi, melainkan sedang terjadi. Secara khusus, dalam bab pertama, yaitu “Hal-hal yang sedang Terjadi pada Rumah Kita Bersama”, disebutkan tujuh gejala yang menunjukkan bahwa bumi yang kita tinggali sekarang sungguh berada dalam situasi krisis. Berikut ini tujuh gejala yang menjadi perhatian Paus dalam LS Bab I. 2.2.1 Polusi dan Perubahan Iklim Polusi bukanlah kata yang asing bagi manusia di zaman ini. Banyak hal dapat mengakibatkan polusi, seperti asap bahan bakar, transportasi, asap industri, limbah produksi, dan sebagainya. Menurut Paus Fransiskus dalam LS 22, masalah ini erat kaitannya dengan budaya ‘membuang’ (istilah dalam bahasa Inggris: “throwaway culture”). Budaya ‘membuang’ sendiri adalah kosakata khas Paus Fransiskus, yang juga muncul dalam dokumennya yang lain, misalnya dalam

20 21

“Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 3. “Pope Francis Theme On Ecology”, USCCB, 3.

15

seruan apostolik Evangelii Gaudium artikel 53

22

. Secara umum budaya

‘membuang’ dimengerti sebagai sebuah budaya yang lebih jauh daripada eksploitasi atau penindasan, yaitu penyingkiran, di mana mereka yang disingkirkan tidak lagi menjadi bagian, atau dieksklusikan23. Masalah polusi ini berkaitan erat dengan perubahan iklim. Dampaknya menjadi jelas dengan terjadinya kenaikan air laut karena pemanasan global dan bertambahnya kejadian cuaca ekstrem. Perubahan iklim ini merupakan masalah yang serius karena secara langsung berdampak buruk pada lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan, dan politik, serta akan dirasakan secara paling nyata oleh penduduk negara-negara berkembang. Di sisi lain, mereka yang tinggal di negara maju dan memiliki kekuatan ekonomi justru belum menganggap serius masalah ini. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk perubahan iklim memang sudah banyak dilakukan, namun masih jauh dari massal. 2.2.2 Masalah Air Masalah air merupakan masalah serius bagi Paus Fransiskus, karena “akses ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang dasariah dan universal, karena sangat menentukan untuk kelangsungan hidup manusia dan, dengan demikian, merupakan syarat untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya” (LS 30). Sayangnya, persediaan air yang dulu relatif stabil, kini di banyak tempat dieksploitasi melebihi batas. Bahkan, ditengarai ada gerakan yang

22

Evangelii Gaudium merupakan anjuran apostolik yang ditulis oleh Paus Fransiskus dan dikeluarkan pada tanggal 24 November 2013. Dokumen ini sekaligus merupakan dokumen pertama yang ditulis oleh Paus Fransiskus, dengan mengandaikan bahwa dokumen sebelumnya, Lumen Fidei masih dipengaruhi oleh pemikiran Paus Benediktus XVI. Evangelii Gaudium biasa disingkat dengan singkatan EG. 23 Kalimat ini merupakan ringkasan dari rumusan dalam EG artikel 53.

16

mengarah pada privatisasi sumber air, yang semakin menghalangi orang-orang yang tidak mampu untuk mendapatkan haknya atas air bersih. Permasalahan ketersediaan air bukan hanya soal kuantitas, melainkan juga soal kualitas. Dalam hal ini, kegiatan manusia menjadi akar krisis air. Kegiatan pertambangan, pertanian, dan industri tertentu di berbagai tempat menjadi penyebab polusi air. Air yang tidak sehat mengakibatkan penyakit-penyakit seperti disentri dan kolera berkembang, dan berdampak secara signifikan terhadap jumlah kematian bayi. 2.2.3 Hilangnya Keanekaragaman Hayati Spesies makhluk hidup mengalami ancaman yang nyata saat konsep ekonomi, perdagangan, dan produksi jangka pendek ‘memperbolehkan’ manusia untuk menjarah sumber daya bumi. Pokok permasalahannya, menurut Paus Fransiskus adalah bahwa manusia melupakan fakta bahwa masing-masing makhluk hidup “memiliki nilai dalam dirinya sendiri” (LS 33). Intervensi manusia, yang diharapkan mampu mengatasi krisis geosistem justru membuat bumi “kurang kaya dan indah”, karena seringkali dilakukan dalam konteks “kepentingan bisnis dan konsumerisme” (LS 34). Penurunan keanekaragaman hayati terjadi di semua ekosistem (hutan tropis, tempat air bawah tanah, gunung es, lautan) dan melalui berbagai kegiatan (alih fungsi hutan, penangkapan ikan besar-besaran, penggunaan racun). Analisis secara

menyeluruh

mendesak

untuk

dilakukan,

terutama

untuk

juga

memperhitungkan kelestarian keanekaragaman hayati di samping efek atas tanah, air, dan udara (LS 35).

17

2.2.4 Penurunan Kualitas Hidup Manusia dan Kemerosotan Sosial Jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah berdampak secara langsung pada penurunan kualitas hidup. Kota-kota menjadi begitu padat dan ruang terbuka serta ruang hijau menjadi semakin sempit dan terbatas. Hal ini membuat miris karena menurut Paus Fransiskus “penduduk bumi ini tidak dimaksudkan untuk hidup terhimpit oleh beton, aspal, kaca, dan logam” (LS 44). Selain penurunan kualitas hidup, terjadi pula kemerosotan sosial yang dipicu oleh berkembangnya budaya baru, yakni budaya digital. Suatu perasaan artifisial lahir, di mana perasaan ini “lebih berkaitan dengan perangkat dan penampilan di layar daripada dengan manusia dan alam” (LS 47). Perasaan artifisial dan keramaian informasi ini menenggelamkan kebijaksanaan sejati sebagai “buah refleksi, dialog, dan pertemuan antarpribadi” (LS 47). 2.2.5 Ketimpangan Global Kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat yang terjadi membuat kita bisa mengambil satu kesimpulan: krisis ekologis selalu berkaitan dengan krisis sosial, dan yang paling terkena dampaknya adalah mereka yang paling lemah di bumi. Oleh karenanya, Paus Fransiskus menegaskan bahwa ada dua jeritan perlu didengarkan secara lebih saksama: “jeritan bumi” dan “jeritan kaum miskin” (LS 49). Ironisnya, dunia justru mendengarkan mereka yang mampu dan profesional, yang tidak memiliki kontak langsung dengan permasalahan lingkungan hidup dan kemiskinan. Alih-alih mengkritik diri sendiri yang terjerat “konsumerisme ekstrem”, dunia justru “menyalahkan pertumbuhan penduduk” yang meledak di negara-negara berkembang (LS 50). Kemakmuran bagi negara-negara Utara

18

semakin diusahakan, sementara kesejahteraan negara-negara Selatan semakin dikorbankan. 2.2.6 Tanggapan-tanggapan yang Lemah Menurut Paus Fransiskus, kita, warga bumi, belum memiliki “budaya yang diperlukan untuk menghadapi krisis” seperti yang dialami bumi selama dua ratus tahun terakhir ini (LS 53). Maka dari itu, sekalipun banyak konferensi global dilakukan, belum ada solusi yang betul-betul jitu guna menanggulangi krisis. Berbagai kepentingan, terutama kepentingan ekonomi masih dengan mudah mengalahkan kesejahteraan umum. Usaha yang dilakukan di banyak tempat pun belum banyak berdampak secara global, sekalipun memberi sedikit harapan, bahwa manusia masih mampu melakukan intervensi positif. Paus Fransiskus dalam LS 53 menegaskan bahwa sangat perlu untuk menciptakan sebuah kerangka hukum yang menetapkan batas-batas mutlak dan menjamin perlindungan ekosistem, dan berlaku secara global. Kita tentu tidak mengharapkan negara saling berperang di tengah menipisnya sumber daya alam, atau melakukan kegiatan yang tanpa kita sadari menghancurkan diri kita sendiri. Satu hal yang bisa dijadikan pegangan, kita tidak bisa berbuat seolah tidak terjadi apa-apa pada rumah kita. 2.2.7 Keragaman Pendapat Berhadapan dengan krisis yang sedang terjadi, kita mesti mengakui bahwa pandangan manusia akan krisis ekologis dan sosial yang terjadi pun tidak seragam. Paus Fransiskus menunjukkan ada dua ekstrem yang berkembang saat ini. Di satu sisi, ada pihak yang “kuat mempertahankan mitos kemajuan dan

19

menegaskan bahwa masalah ekologi akan dipecahkan hanya melalui penerapan teknologi baru, tanpa perlu pertimbangan etis atau perubahan mendalam”, sementara di sisi yang lain, ada yang memandang bahwa “manusia dengan segala intervensinya hanya bisa menjadi ancaman dan membahayakan ekosistem global, dan oleh karena itu kehadirannya di planet ini harus dikurangi dan segala bentuk intervensinya terhadap alam dicegah” (LS 60). Kita mesti sadar bahwa jalan keluar yang bisa diambil tidak cuma satu. Gereja pun “tidak memiliki alasan untuk memberikan pendapat definitif” (LS 61). Yang diperlukan sekarang adalah kejujuran dalam melihat realitas dan pengharapan mengatasi krisis. Kita patut sadar, bahwa di atas segalanya, kita “telah mengecewakan harapan Allah” (LS 61). 2.3 Akar Manusiawi Krisis Ekologis Berhadapan dengan tujuh gejala krisis ekologis (dan sosial) yang terjadi di dunia, LS menawarkan beberapa hal yang dapat dikenali sebagai akar krisis. Akar-akar tersebut adalah teknologi, globalisasi paradigma teknokratis, serta krisis dan efek antroposentrisme modern. 2.3.1 Teknologi: Kreativitas dan Kuasa Teknologi sejatinya bukan hal yang buruk. Bila dirunut dari awal kemunculannya, teknologi identik dengan orang-orang dari kelas bawah, empiris, dan berorientasi pada tindakan 24 . Teknologi menjadi begitu mendominasi dan berdampak dan berdampak buruk saat bersanding dengan ilmu pengetahuan, yang bercorak aristokratis (kaum kelas atas), spekulatif, dan memiliki maksud yang

24

L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, 1204.

20

cenderung intelektual 25 . Dua hal yang sebenarnya bertolakbelakang ini, jika dicampuradukkan dalam satu payung “iptek” (ilmu pengetahuan dan teknologi) menjadi satu kajian yang menyasar seluruh kelompok masyarakat, yang diikuti dengan pemahaman yang tidak pernah menyeluruh (kaum kelas bawah akan sulit memahami gaya berpikir kelas atas, begitu juga sebaliknya), dan jika dibiarkan akan mendorong pada gaya berpikir antroposentrisme yang bercorak intelektualispraktis. Iptek inilah yang menurut penulis dimaksudkan Paus Fransiskus sebagai akar krisis ekologis dalam LS, yang juga dirujuk dalam LS 103 versi Perancis: la techno-science. Dalam LS, Paus Fransiskus menyebut dua unsur yang menyertai iptek, yaitu kreativitas dan kuasa. Kreativitas iptek nampak dalam kemampuannya “menghasilkan sarana yang sungguh berharga untuk meningkatkan kualitas hidup manusia” dan “menghasilkan hal-hal yang indah dan membantu manusia yang tenggelam dalam dunia materi untuk melompat ke dalam dunia kesenian” (LS 103). Iptek merupakan wadah yang terus ‘membesar’ bagi pemikiran manusia yang semakin berkembang. Melalui ilmu astronomi, manusia mampu mengetahui alam semesta dan teknologi memungkinkan manusia untuk menjelajahinya. Ilmu medis, misalnya, juga membuat manusia semakin mengenal anatomi tubuhnya, dan, dengan teknologi, menerapkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk kesehatannya, bahkan tidak jarang memodifikasinya. Seorang filsuf Yunani, Sokrates, pernah mengajukan tiga pertanyaan untuk menguji suatu hal. Tiga pertanyaan tersebut adalah: “Apakah sesuatu itu baik?”,

25

L. White, Jr., “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, 1204.

21

“Apakah sesuatu itu benar?”, dan “Apakah sesuatu itu berguna?” 26 . Teknologi tentu adalah sesuatu yang berguna, karena teknologi diciptakan untuk membantu pekerjaan manusia dan menyelesaikan persoalan teknis yang dialami oleh manusia. Ilmu pengetahuan juga sesuatu yang benar, karena didasarkan pada pemikiran rasional dan dilakukan dengan metode-metode yang ilmiah. Namun, sisi kebaikan dari iptek masih bisa diperdebatkan. Jika dimensi fungsional dan rasional iptek dapat dipertanggungjawabkan, tidak demikian dengan dimensi moralnya. Iptek membuat “alam kehilangan sisi konkritnya; menjadi tidak organis dan teknis, dan mengesampingkan kualitas pengalaman nyata”27. Alam semesta, termasuk manusia, dilihat hanya sebagai objek penelitian untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia yang tidak ada habisnya. Di sinilah tampak dampak buruk kreativitas dari teknologi, di mana kreativitas mendorong manusia untuk terus mencari tahu mengenai segala macam hal, dan dengan demikian menguasai segala macam hal. Di sinilah unsur kedua dari teknologi menunjukkan wajahnya: kekuasaan. Paus Fransiskus menyadari bahwa umat manusia saat ini “memiliki kekuasaan yang begitu besar atas dirinya sendiri; dan tidak ada jaminan bahwa itu akan selalu digunakan dengan baik, terutama bila kita memperhatikan bagaimana itu saat ini sedang digunakan” (LS 104). Ada sesuatu yang salah, menurut Paus Fransiskus, saat manusia yang “tidak sepenuhnya otonom” tidak memiliki “etika

26

Kisah mengenai tiga pertanyaan Sokrates ini dapat ditemukan dari banyak sumber. Salah satunya adalah http://www.thinkinghumanity.com/2014/04/socrates-the-test-of-three.html, yang dikunjungi penulis pada Rabu, 17 Mei 2017, pukul 22.01 WIB. 27 Terjemahan bebas dari kutipan “nature has lost all concreteness; having become inorganic and technical, it has lost the quality of real experience”, R. Guardini, The End of The Modern World, Sheed & Ward, London, 1957, 88.

22

yang kuat, budaya dan spiritualitas yang benar-benar menetapkan batas-batas dan mencerahkan dia untuk menahan diri” (LS 105). Salah seorang filsuf

Inggris, Francis

Bacon (1561-1623) pernah

mengatakan, “knowledge is power”28, pengetahuan adalah kekuasaan. Ungkapan ini kemudian dipertegas oleh René Descartes (1596-1650), yang menyatakan bahwa umat manusia bisa menjadi maîtres et possesseurs de la nature, penguasa dan pemilik alam 29 . Pengetahuan manusia atas alam semesta membuat mereka seakan-akan menguasainya pula. Berbicara mengenai kekuasaan, kita tentunya akrab dengan teks Kitab Suci dari Kej 1:26: “Berfirmanlah Allah” “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burungburung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”30 Ada dua kata yang bisa kita beri perhatian lebih di sini, yaitu “gambar dan rupa Kita” dan “berkuasa”. Menurut The New Interpreter’s Bible Volume I, ungkapan “gambar dan rupa” berfungsi untuk “mencerminkan sosok Tuhan pada dunia, menjadi Tuhan sebagaimana semestinya Tuhan bagi ciptaan selain manusia, dan menjadi perpanjangan kuasa Tuhan sendiri”31. Sebagai ciptaan terakhir, manusia merasa menjadi yang paling unggul dari ciptaan yang lain, yang membuat mereka berhak untuk memperlakukan ciptaan lain seturut kehendak mereka. Kata “berkuasa” bahkan lebih problematis. Kata ini menerjemahkan kata “have

28

K. Bertens, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, 283. K. Bertens, Etika, 283. 30 Ayat ini dikutip dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. Penyuntingan berupa cetak miring dilakukan oleh penulis. 31 L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, Abingdon Press, Nashville, 1994, 345. 29

23

dominion 32 ” yang dipakai dalam terjemahan Bahasa Inggris versi NRSV (The New Revised Standard Version, diterjemahkan pada tahun 1989). Sulit untuk tidak membaca ayat ini sebagai legitimasi atas eksploitasi manusia terhadap alam, sekalipun sebenarnya yang diharapkan adalah ungkapan ini dipahami sebagai “peduli, bahkan mengembangkan, bukan mengeksploitasi”33. Iptek, dalam hal ini, memiliki andil dalam mempermudah manusia untuk melanggengkan misinya untuk semakin menunjukkan kuasanya terhadap alam. Hal ini dijelaskan Paus Fransiskus dalam LS 107, yaitu bahwa “produk-produk teknologi tidak netral karena mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya hidup, dan mengarahkan peluang-peluang dalam masyarakat ke arah kepentingan kelompok-kelompok berkuasa tertentu”. Maka, selama kepentingan yang berkuasa adalah kepentingan kelompok-kelompok yang tidak memberi perhatian pada masalah ekologis, teknologi akan selalu menjadi akar krisis ekologis dan bukan solusi, karena teknologi cenderung mereduksi alam sebagai objek penelitian dan menghilangkan mistik alam. 2.3.2 Globalisasi Paradigma Teknokratis Teknokratis berasal dari kata Yunani, “techne” dan “kratia” yang berarti “seni” dan “mengatur”. Teknokrasi berarti pemerintahan yang dilakukan dengan melibatkan pakar-pakar teknik34. Jika demokrasi dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, teknokrasi memberi kesempatan tersebut kepada para teknisi. Paus Fransiskus menyebutkan ciri paradigma teknokratis ini, yaitu dengan adanya kecenderungan untuk L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, 339. L. E. Keck, Dkk. (editor), The New Interpreter’s Bible Volume I, 346.. 34 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 32 33

24

“menjadikan metode dan tujuan ilmu-ilmu teknik sebagai paradigma pemahaman yang dipaksakan bagi kehidupan individu dan cara kerja masyarakat” (LS 107). Mendunianya cara pandang teknokratis mengakibatkan manusia memandang alam hanya dari satu sudut pandang, yaitu teknis. Paradigma

teknokratis

membuat

manusia

tidak

lagi

“menghidupi

pekerjaannya, melainkan hanya menghitung kemungkinannya dan mengendalikan efeknya dengan mengambil jarak” 35 . Bila paradigma ini diterapkan pada alam, maka manusia hanya melihat alam sebagai objek untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan teknologi yang dimilikinya, manusia berusaha sedemikian rupa sehingga sumber daya alam yang ada bisa dimanfaatkan untuk menambah kekayaannya. Misalnya, manusia tahu bahwa minyak kelapa sawit adalah komoditi yang berharga. Maka, pertanyaan yang dipikirkan para pengusaha adalah bagaimana caranya bisa mendapatkan minyak kelapa sawit sebanyak-banyaknya. Kebunkebun kelapa sawit diperluas dan hutan-hutan ditebang. Alasannya sederhana, yaitu karena hutan tidak memberi mereka keuntungan sebesar yang diberikan kebun kelapa sawit kepada mereka. ‘Jeritan alam’ tidak mereka dengar karena ‘bisikan’ untuk menuruti keserakahan lebih bermakna bagi telinga mereka. Sesungguhnya, kita tak dapat memperlakukan alam sebagai barang, di mana kita merawatnya saat kita membutuhkan, namun membuangnya saat kita sudah tidak memerlukannya. Logika ‘pakai dan buang’ ini semakin menurunkan martabat ciptaan lain, yang degradasinya pun sudah terjadi saat kita mengeksploitasinya.

Terjemahan bebas dari “Man can no longer experience the work he does; he can only calculate its possibilities and control its effects from a distance”, R. Guardini, The End of The Modern World, 88. 35

25

Inilah yang terjadi apabila paradigma teknokratis sudah memasuki tahap yang paling fatal, di mana dimensi moral dihilangkan. Perkembangan

paradigma

teknokratis

tidak

dapat

dipisahkan

dari

perkembangan iptek, yang sudah dibahas dalam bagian sebelumnya. Iptek memang memungkinkan manusia untuk menguasai alam, dengan meneliti fenomena yang terjadi dan bagaimana memanfaatkannya untuk kebaikan manusia. Namun, manusia lupa bahwa tidak semuanya yang bisa dilakukan dengan kemampuan ilmiah dan teknologis boleh dilakukan juga36. Manusia jatuh karena tidak bisa membedakan “apa yang mampu dilakukan” dan “apa yang boleh dilakukan”. Pada akhirnya perkembangan teknologi dan paradigma teknokratis tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi. Sutarno dalam artikelnya, “Perkembangan Ilmu dan Perkembangan Moral Manusia” membahasakan demikian, “Lebih dari 90% dari ahli-ahli ilmu dan teknologi di seluruh dunia itu hidup dan bekerja di negara-negara yang sudah maju; bahwa lebih dari 90% kegiatan penelitian mereka itu terpusat pada hal-hal yang bersangkutan dengan negara-negara yang kaya saja dan hasilnya dilindungi secara ketat oleh proses-proses teknis dan hukum37” Paradigma teknokratis, yang merupakan ciri khas para teknisi yang bekerja di negara-negara maju, dipaksakan untuk diterapkan pada seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia. Kembali, alam menjadi korban tindakan manusia yang belum sepenuhnya dipersiapkan untuk cara pandang ini. Sejauh indikasi negara maju didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, maka kepentingan yang

36 37

K. Bertens, Etika, 288. Supardan (editor), Ilmu, Teknologi, dan Etika, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, 139.

26

berada pada posisi paling atas adalah kepentingan ekonomi. Kepentingankepentingan umum yang lebih luas dengan sendirinya diabaikan secara tidak adil. Dalam suasana paradigma teknokratis yang mendunia, menjadi jelas bahwa alam semakin terpinggirkan oleh kemajuan iptek dan pertumbuhan ekonomi. Perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan teknologi memang ada, namun usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari usaha untuk memacu ilmu dan teknologi 38 . Ironisnya, paradigma teknokratis pun diterapkan dalam gerakangerakan ekologis mengatasi krisis ekologis, sesuatu yang justru disebabkan oleh paradigma

itu

sendiri.

Akibatnya,

budaya

ekologis

direduksi

menjadi

“serangkaian jawaban mendesak dan parsial atas masalah-masalah yang sedang muncul dalam kaitan dengan kerusakan lingkungan” (LS 111). Pemanasan global diatasi dengan mengurangi AC, namun masih menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian. Menumpuknya sampah plastik yang tak terurai diatasi dengan memberlakukan kantong plastik berbayar, namun tetap menghidupkan lampu rumah semalaman. Dan, usaha menangkal paradigma teknokratis akan terus menemui jalan buntu sejauh kita tidak bisa membatasi diri pada pertanyaan “bagaimana?’, melainkan terus membarenginya dengan pertanyaan “untuk apa?39”. 2.3.3 Krisis dan Efek Antroposentrisme Modern Antroposentrisme berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, anthropos (manusia) dan kentron (pusat). Antroposentrisme berarti paham yang meyakini manusia sebagai pusat atau tujuan alam semesta40. Paham ini merupakan ekses

38

K. Bertens, Etika, 289. K. Bertens, Etika, 286. 40 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 39

27

dari biosentrisme, yakni paham yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta. Antroposentrisme tentu bukan paham yang baik, karena menganggap martabat alam ada di bawah manusia, sebagai konsekuensi dari teknokratisme. Paus Fransiskus mengkontraskan antroposentrisme ini dengan biosentrisme. Biosentrisme bukan paham yang dianjurkan, karena tidak mengakui adanya pengakuan dan penghargaan terhadap kemampuan manusia yang unik berupa pengetahuan, kehendak, kebebasan, dan tanggungjawab (LS 118). Selain mengkritik antroposentrisme dan biosentrisme, Paus Fransiskus juga mengkritik pandangan yang menomorduakan hubungan antarmanusia. Baginya, tidak mungkin untuk memulihkan relasi dengan alam dan lingkungan tanpa menyembuhkan seluruh relasi manusia yang mendasar (LS 119). Gagasan Paus Fransiskus mengenai antroposentrisme, biosentrisme, dan pandangan yang menomorduakan hubungan antarmanusia sebenarnya sederhana: manusia tidak dapat menemukan tempatnya yang benar di alam semesta (LS 115). Di sini, ciri khas antropologi Kristiani yang memandang manusia sebagai citra Allah bermakna besar. Manusia tidak bisa begitu saja mengambil jarak dari alam semesta dengan berlaku sebagai pengamat —seperti ciri khas teknokratis— melainkan hidup di tengah dan bersama ciptaan lain. Namun, sebagai ciptaan yang paling sempurna, manusia bertanggungjawab —dengan akal budi, kehendak, dan kebebasannya— terhadap keutuhan seluruh ciptaan. Segala macam pandangan yang mengarah pada ekstrem yang lain dapat dipastikan membawa dampak buruk bagi alam semesta.

28

Dalam LS Paus Fransiskus menyertakan tiga bahasan khusus menyangkut efek antroposentrisme yang meliputi relativisme praktis, kebutuhan untuk melestarikan pekerjaan, dan teknologi biologis yang baru. 2.3.3.1 Relativisme Praktis Relativisme berasal dari bahasa Latin, relativus, yang berarti “nisbi, relatif” 41 . Secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya 42 . Menurut A. Mangunhardjana, ada dua macam relativisme, yaitu relativisme etis subjektif atau analitis dan relativisme etis kultural. Relativisme etis subjektif atau analitis menilai baik-buruk dan benar-salah dengan tergantung pada orang masing-masing, sedangkan relativisme etis kultural berpandangan bahwa penilaian etis tidak sama karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya43. Kiranya dua jenis relativisme inilah yang bisa disejajarkan dengan pembedaan relativisme praktis dan relativisme doktrinal yang dibuat oleh Paus Fransiskus, dengan relativisme praktis yang dimaksud dalam LS 122 adalah relativisme subjektif. Bahaya dari relativisme praktis yang mengandaikan bahwa kebenaran tergantung dari masing-masing orang adalah tidak adanya kebenaran yang berlaku umum dan objektif. Dengan kata lain, segala macam upaya politik dan kekuatan hukum tidak akan berfungsi secara optimal karena setiap orang menganggap kepentingannya selalu di atas kepentingan lain. Logika ‘pakai dan buang’ kembali disebut oleh Paus Fransiskus di sini, sebagai akibat dari keinginan tak teratur

41

A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta, 1997, 203. A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, 203. 43 A. Mangunhardjana, Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, 203-204. 42

29

untuk mengkonsumsi lebih banyak daripada yang sebenarnya dibutuhkan (LS 123). Akar dari logika ini adalah standar ‘kebutuhan’ yang relatif, yang membuat manusia mengabaikan norma etis, sejauh dibutuhkan untuk memenuhi ataupun tidak lagi memenuhi ‘kebutuhan’-nya. 2.3.3.2 Kebutuhan untuk Melestarikan Pekerjaan Berbeda dengan efek sebelumnya yang cenderung negatif, kebutuhan untuk melestarikan pekerjaan adalah efek yang baik dari antroposentrisme modern. Mereka yang berpandangan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta akan juga berpikir bahwa kerja adalah campur tangan manusia untuk mengembangkan dunia ciptaan dengan cermat (LS 124). Di sini Paus Fransiskus mengangkat kembali refleksi mengenai kerja dari Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya, Laborem Exercens, yang menyebut kerja sebagai “sebuah kunci, mungkin kunci yang esensial untuk menjawab berbagai macam masalah sosial”44. Persoalannya, kerja kadang dipahami secara tidak tepat. Situasi ini terjadi saat kemampuan manusia untuk bermenung dan bersujud merosot (LS 127). Padahal, diharapkan melalui kerja, panggilan kodrati dan adikodrati pribadi menemukan pemenuhannya 45 . Kerja yang tidak dilengkapi dengan spiritualitas kerja membuat manusia yang bekerja kehilangan identitasnya karena seolah-olah dapat digantikan dengan mesin dan produk teknologi lain. Meluasnya paradigma teknokratis memiliki andil besar dalam hal ini.

merupakan terjemahan bebas dari kutipan ensiklik Laborem Exercens artikel 3: “a key, probably the essential key, to the whole social question”, diunduh dari http://w2.vatican.va/content/johnpaul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_14091981_laborem-exercens.html, pada 3 Desember 2016, pukul 9.45 WIB. 45 Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Penerbit Ledalero, Maumere, 2009, 70. Bandingkan juga dengan teks Kej 2:15, di mana kerja adalah perutusan Allah bagi manusia untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (dunia). 44

30

Mengingat betapa pentingnya kerja bagi manusia, usaha membantu orang miskin dengan memberi uang harus selalu menjadi “solusi sementara”, sementara tujuan utamanya adalah “memungkinkan mereka untuk hidup bermartabat melalui pekerjaan” (LS 128). Kuatnya kecenderungan yang dipicu oleh kepentingan ekonomi untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan tenaga kerja mesin mencederai martabat kerja, dan menjadi akar krisis sosial, krisis budaya, dan krisis ekologis. 2.3.3.3 Teknologi Biologis yang Baru Antroposentrisme modern yang dipadukan dengan paradigma teknokratis dan keinginan untuk mendominasi memunculkan pandangan yang berbeda terhadap ciptaan. Manusia melihat alam dan ciptaan sebagai objek penelitian yang dapat digunakan, dimodifikasi, dan diintervensi seperlunya sejauh membantu manusia untuk mencapai kesejahteraannya. Salah satunya adalah melalui penerapan teknologi biologis yang baru, yang mengundang perdebatan yang panas, mulai dari “penerimaannya dari sisi tilik moral, konsekuensikonsekuensinya bagi kesehatan manusia serta dampaknya atas lingkungan hidup dan ekonomi”46. Pada satu sisi, teknologi biologis yang baru membawa banyak kemajuan. Kemakmuran negara yang maju dalam teknologi biologis meningkat, ditunjukkan dengan kemudahan masyarakat negara tersebut untuk memperoleh obat-obatan, pangan, dan sandang 47 . Di sisi lain, teknologi biologis ditentang karena dikhawatirkan akan menyebabkan hal-hal yang mengerikan, bila masyarakat dunia tidak segera mengendalikan dan membatasi penggunaan teknologi biologis 46 47

Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 325. Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta, 2006, 67.

31

tersebut 48 . Dampaknya dapat kita lihat dan sudah terjadi, misalnya terjadinya penurunan keanekaragaman hayati49. Sulit untuk membuat penilaian umum mengenai teknologi biologis, terutama yang menyangkut modifikasi genetik (LS 133). Namun, bila kita melihatnya dalam konteks manusia yang harus melakukan campur tangan dalam usaha pelestarian alam, campur tangan manusia yang merusakkan makhlukmakhluk hidup atau lingkungan alam patut dicela, sedangkan campur tangan yang meningkatkannya patut dipuji50. Masalah teknologi biologis memang merupakan masalah lingkungan yang kompleks, dan penanganannya membutuhkan pendekatan komprehensif (LS 135). Satu hal yang patut dijadikan pegangan, bahwa teknologi yang dipisahkan dari etika tidak akan mudah untuk dapat membatasi kekuasaannya sendiri. Hal itu terjadi jika kita lupa, bahwa nilai mutlak manusia melampaui tahap perkembangannya. 2.4 Kesimpulan Paus Fransiskus memberi judul Bab 3 dalam LS “Akar Manusiawi Krisis Ekologis”. Hal ini kiranya menunjukkan bahwa akar dari krisis ekologis berpusat pada manusia, baik itu hubungan manusia dengan alam maupun hubungan antara manusia dengan sesamanya51. Secara eksplisit, Paus juga menyatakan dalam LS 101, bahwa kita perlu berfokus pada “paradigma teknokratis” dan “tempat manusia dan aktivitasnya di dunia” apabila berbicara mengenai akar manusiawi krisis ekologis. Ini menunjukkan bahwa manusialah yang bertanggungjawab atas krisis ekologis yang sekarang sedang terjadi. 48

Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 67. Bdk. pembahasan dalam skripsi ini pada hal. 14. 50 Yosef Maria Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 325. 51 Bdk. pembahasan dalam skripsi ini pada hal. 12. 49

32

Namun, Paus juga menegaskan dalam LS 69, bahwa “justru karena martabatnya yang unik dan karena diberkati dengan akal budi, manusia dipanggil untuk menghormati sesama ciptaan dengan hukum-hukumnya”. Manusia memang bertanggungjawab akan terjadinya krisis ekologis, namun kita tidak boleh lupa bahwa manusia jugalah yang bertanggungjawab untuk mengusahakan berbagai macam

tindakan

untuk

menanggulangi

krisis

yang

telah

terjadi

dan

meminimalisasi dampaknya, sehingga tidak ada lagi pihak yang dirugikan atas krisis ekologi. Kita juga tidak boleh lupa bahwa manusia adalah makhluk multidimensional dan multirelasional. Berbicara tentang manusia dan tanggungjawabnya tidak bisa lepas dari berbagai macam aspek yang melekat pada diri manusia dan hubungan yang dibangun manusia dengan entitas lain. Di sinilah tampak kebenaran dari solusi ekologi integral sebagai alternatif solusi atas krisis ekologi yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus. Tidak ada solusi tunggal yang bisa ditawarkan, sejauh manusia dipahami sebagai makhluk multidimensional dan multirelasional. Solusi yang diharapkan tentunya menyangkut aspek spiritual-religius (menyangkut hubungan

manusia

dengan

Tuhan),

aspek

sosial-ekonomi-politik-budaya

(menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya), dan aspek lingkungan hidup atau ekologis (menyangkut hubungan manusia dengan lingkungannya).

33

BAB 3 EKOLOGI INTEGRAL SEBAGAI SOLUSI KRISIS EKOLOGIS

Telah kita ketahui melalui pembahasan pada Bab 2, bahwa krisis ekologis yang terjadi di dunia pada saat ini memiliki akar yang bercabang begitu banyak dan luas, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Atas dasar penemuan ini, Paus Fransiskus menawarkan solusi ekologi yang integral sebagai solusi krisis ekologis. Penyelesaian tidak bisa lagi diharapkan hanya menyentuh satu bidang saja —misalnya lingkungan hidup— karena penyelesaian tersebut hanya menyelesaikan satu akar dari berbagai macam akar permasalahan ekologis. “Ecology” (Ing) memiliki dua arti, yaitu “the branch of biology concerned with the relation between organisms and their environment” dan “the set of relationships between an organism and its environment”52. Ekologi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos (rumah, kediaman) dan logos (ilmu)53. “Intégral” dalam Bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "integral, entire” 54 . “Integral” memiliki tiga arti 55 , yaitu (1) “necessary to complete an entity, essentially part of some whole”, (2) “forming a single unit with something else”, Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. A. Bakker, Kosmologi & Ekologi, Kanisius, Yogyakarta, 1995, 34. 54 R. Weiman, Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York, 1978. 55 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. 52 53

34

dan (3) “whole and complete”. Sementara itu, “entire” juga memiliki tiga arti56, yaitu (1) “whole and complete, absolute and unqualified”, (2) “not broken or damaged, intact”, dan (3) “with an unbroken outer edge”. Berdasarkan definisi di atas, penulis berkesimpulan bahwa ekologi yang integral berarti suatu cara pandang terhadap relasi antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang menyeluruh,

di

mana

unsur-unsur

yang terdapat

di

dalamnya

saling

mempengaruhi tanpa dapat terpisahkan satu sama lain. Mengacu pada kesimpulan Bab 2, pembahasan mengenai ekologi integral akan menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Hal ini juga dikemukakan Paus Fransiskus dalam LS 66 dengan menyebutkan bahwa tiga hubungan penting telah rusak, yaitu “hubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan bumi”. Dimensi vertikal menyangkut hubungan manusia dengan

Tuhan

(aspek

spiritual-religius),

sementara

dimensi

horisontal

menyangkut hubungan manusia dengan sesama dan alam ciptaan (aspek sosialekonomi-politik-budaya) dan dengan lingkungannya. Dengan kata lain, dimensi vertikal menyangkut aspek ilahi dari ekologi dan dimensi horisontal menyangkut aspek manusiawi dari ekologi. 3.1 Dimensi Vertikal Ekologi Integral Dimensi vertikal ekologi integral secara khusus diberi tempat oleh Paus Fransiskus dalam LS Bab 2 yang berjudul “Kabar Baik Penciptaan” dan enam subbab dalam Bab 6, yang meliputi “Pertobatan Ekologis”, “Kegembiraan dan Damai”, “Tanda-tanda Sakramental dan Istirahat yang Dirayakan”, “Allah Tritunggal dan Hubungan antara Makhluk”, “Ratu Seluruh Dunia Ciptaan”, dan 56

Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968.

35

“Melampaui Matahari”. Ekologi integral harus menyentuh dimensi vertikal ini karena “tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang dapat diabaikan, termasuk kebijaksanaan agama dengan bahasanya sendiri” (LS 63). Ada beberapa poin pokok yang bisa digunakan untuk membantu memahami ujaran Paus dalam LS berkaitan dengan hubungan manusia dengan Allah dalam kaitannya dengan ekologi integral, yaitu hakikat manusia di hadapan Allah, hakikat alam ciptaan di hadapan Allah, dan usaha perdamaian antara manusia, alam ciptaan, dan Allah. 3.1.1 Hakikat Manusia di Hadapan Allah: Gambar dan Rupa Allah Pembahasan mengenai hakikat manusia di hadapan Allah tidak pernah bisa dilepaskan dari Kitab Kejadian, yang “mengandung ajaran mendalam tentang eksistensi manusia dan realitas sejarah” (LS 66). Secara khusus, ayat dari Kej 1:2657 harus diberi perhatian lebih karena menunjukkan martabat manusia yang “diciptakan karena cinta, menurut gambar dan rupa Allah” (LS 65) dan “bukan hanya sesuatu, tetapi seseorang sehingga mampu mengenal dan menguasai dirinya sendiri serta mampu memberikan dirinya dan masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain secara bebas” 58 . Secara kronologis, penciptaan manusia pun istimewa, karena manusia adalah ciptaan terakhir, yang menjadikannya puncak

“Berfirmanlah Allah” “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”, dikutip dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. Penyuntingan berupa cetak miring dilakukan oleh penulis. 58 Terjemahan bebas dari kutipan Cathecism of The Catholic Church nomor 357: “Who is not just something, but someone. He is capable of self-knowledge, of self-possession and of freely giving himself and entering into communion with other persons”, diunduh dari http://archeparchy.ca/wcm-docs/docs/catechism-of-the-catholic-church.pdf, pada 7 Februari 2017, pukul 18.30 WIB. 57

36

atau mahkota penciptaan 59 . Namun, perlu disadari bahwa keserupaan citra manusia dengan Allah tidak menjadikan manusia Allah (LS 67). Ada dua pandangan yang berusaha menjelaskan apa artinya manusia dijadikan serupa dengan Allah60. Pandangan pertama beranggapan bahwa manusia merupakan gambar Allah dan rupa Allah karena manusia memiliki akal budi dan kehendak bebas seperti Allah. Sementara itu, pendapat kedua beranggapan bahwa manusia merupakan gambar dan rupa Allah karena ia ikut mengatur alam semesta. Dari dua pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa di hadapan Allah manusia memiliki tugas untuk ikut mencipta bersama Allah 61 . Kata “bersama” di sini menjadi penting karena pada akhirnya tugas yang diemban manusia tidak pernah dapat dipisahkan dari kehendak Allah. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia harus mengelola dan memelihara dunia yang dipercayakan kepadanya 62. Di sini hakikat manusia di hadapan Allah menjadi jelas, yaitu ciptaan yang paling mulia yang dalam melaksanakan tugasnya harus selalu berpandangan teosentris, di mana kehendak Allah menjadi yang terutama. Konsep ini sekaligus menangkal konsep antroposentrisme yang menjadi akar manusiawi krisis ekologis. 3.1.2 Hakikat Alam Ciptaan di Hadapan Allah: Setara dengan Manusia Sebagai Bagian dari Kesatuan Seluruh Ciptaan Dalam tradisi Yahudi-Kristen, kata yang sepadan dengan kata “alam” adalah kata “ciptaan”, yang memiliki arti lebih luas karena ada hubungannya

H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, Dioma, Malang, 1996, 119. 60 H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 119. 61 H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 119, sebagaimana dikutip dari Stephen Greenhalgh, “Creative Partnership in Genesis”, Scripture Bulletin Vol. XXII No.1 (1992):9-14. 62 H. Pidyarto, “Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, 120. 59

37

dengan “proyek kasih Allah di mana setiap makhluk memiliki nilai dan arti” (LS 76). Ciptaan bukan hanya sistem yang dapat dipelajari, dipahami, dan dikelola, namun, lebih daripada itu, adalah hadiah dari tangan terbuka Bapa kita semua, sebagai kenyataan yang disinari kasih yang memanggil kita ke dalam suatu persekutuan universal (LS 76). Hal ini didukung oleh ilmu kosmologi, yang melihat alam semesta sebagai pengkosmos, di mana sebutan sebagai pengkosmos itu sendiri menunjukkan bahwa “substansi-substansi duniawi bukan saja menurut salah satu segi dangkal, melainkan mengungkapkan seluruh kebertentuan mereka sebagai substansi otonom dan unik dalam kebersamaan dengan dunia seluruhnya” 63 . Kata-kata “substansi otonom dan unik” serta “kebersamaan” tersebut perlu mendapat perhatian lebih, karena menunjukkan sisi subjektif dari alam semesta, bahwa mereka bukan hanya dilihat sebagai objek, melainkan juga sebagai subjek dalam kebersamaannya dengan substansi lain, termasuk manusia. Ini berarti manusia tidak memiliki kuasa tunggal atas seluruh ciptaan, karena apapun yang terjadi atas ciptaan pasti berpengaruh pula pada kehidupan manusia. Lebih jauh, Santo Bonaventura menawarkan refleksinya terhadap alam ciptaan sebagai manifestasi kasih Allah Tritunggal, yaitu sebagai ‘saudara’ yang eksistensinya harus dihargai dan dihormati 64 . Konsekuensinya, penghormatan terhadap eksistensi dan nilai intrinsik alam ciptaan menjadi sebuah tuntutan yang fundamental, karena baik manusia maupun seluruh anasir alam diciptakan oleh Pencipta yang sama, ditebus oleh Kristus yang sama, dan akan kembali kepada

63

A. Bakker, Kosmologi & Ekologi, 54. Y. D. Udu, “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang Kristen dalam Melihat Alam”, Diskursus Vol. 37 No. 2 (2005):54. 64

38

Bapa yang satu dan sama 65 . Ide mengenai persekutuan, kebersamaan, dan kesatuan antara manusia dengan alam ciptaan inilah yang dapat menjadi salah satu kemungkinan untuk menumbuhkan dan menjaga sikap menghargai, menghormati alam ciptaan, dan tenggang rasa dalam perlakuan manusia terhadapnya 66. Paus Fransiskus mempertegas pandangan Santo Bonaventura ini dalam LS 89, di mana Paus menulis: “Karena diciptakan oleh Bapa yang sama, kita (manusia) dan semua makhluk alam semesta disatukan oleh ikatan tak kelihatan, dan membentuk semacam keluarga universal, suatu persekutuan luhur yang memenuhi kita dengan rasa hormat yang suci, lembut, dan rendah hati”. Persekutuan ini juga tidak hanya dalam tataran moral, pragmatis, utiliaris, dan hedonis, melainkan eksistensial, faktis, fenomenal, empiris, dan terutama eskatologis

67

. Perspektif ini

memungkinkan manusia untuk menghayati nilai alamiah keragaman biologis dalam konteks hubungan erat yang mengikat aneka ragam bagian ekosistem 68 . Keberadaan dan kelestarian hutan, gunung, dan ekosistem lain di dunia, sekalipun terpisahkan oleh jarak dengan demikian tidak mengurangi kepedulian kita terhadapnya, karena masing-masing ekosistem tersebut juga mempunyai peran penting dalam keseimbangan ekosistem seluruh planet bumi, tempat tinggal kita bersama. Kitab Suci Perjanjian Baru juga memberikan beberapa contoh mengenai bagaimana ciptaan juga dihargai, bahkan dipelihara oleh Sang Pencipta. Melalui sabda Yesus, kita mengimani bahwa Allah pun memelihara burung pipit (Mat Y. D. Udu, “Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang Kristen dalam Melihat Alam”, 54, sebagaimana dikutip dari Bonaventure, Breviloquium, III, c.11, 1-3, 124.. 66 A. Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2008, 22. 67 A. Woi, “Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, 22. 68 Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 320. 65

39

10:29) dan bunga (Mat 6:28-30)69. Jaminan Allah bagi burung-burung di udara maupun jaminan untuk kebutuhan manusia adalah sejajar 70 . Dari sini dapat disimpulkan bahwa manusia dan ciptaan tidak hanya ada dalam persekutuan, kesatuan, dan kebersamaan. Di hadapan Allah, manusia dan ciptaan memiliki nilai yang sama pentingnya, sehingga keduanya dipelihara oleh-Nya. Di sini semakin jelas bahwa tidak ada hierarki dalam persekutuan antara manusia dengan ciptaan, karena Allah-lah yang menjadi satu-satunya penguasa sekaligus pemelihara ciptaan. Ilmu etika memang melihat manusia memiliki nilai intrinsik paling tinggi di antara semua makhluk ciptaan di dunia ini 71 , namun hal ini tidak berarti menegasi nilai intrinsik yang terdapat pada semua makhluk ciptaan. Gagasan mengenai kesatuan antara manusia dengan ciptaan yang lain secara tegas mengkritik pandangan teknokratisme, yang juga menjadi salah satu akar manusiawi krisis ekologis. Pandangan ini memberi makna bagi keberadaan ciptaan, yang menyebabkannya tidak bisa dilihat hanya menggunakan kacamata teknis. Namun, pandangan ini juga tidak dapat dipahami sebagai biosentrisme karena yang menjadi pusat bukanlah ciptaan, melainkan Sang Pencipta itu sendiri. Alam ciptaan memang rapuh, oleh karena itu Allah mempercayakan perawatannya kepada manusia, dan menantang kita untuk menemukan jalan-jalan yang cerdas untuk mengarahkan, mengembangkan, dan membatasi kekuatan kita (LS 78). Inilah yang menjadi kunci hubungan antara alam ciptaan, manusia, dan Allah.

69

C. Dane-Drummond, Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999, 32. 70 C. Dane-Drummond, Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, 32. 71 C.B. Kusmaryanto, Bioetika, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2015, 36.

40

3.1.3 Usaha Pendamaian antara Manusia, Alam Ciptaan, dan Allah Dalam pembahasan mengenai dimensi vertikal ekologi integral, usaha pendamaian ini perlu dicantumkan, terutama karena melalui LS dan spiritualitas Fransiskan yang menjiwainya, pemahaman akan dosa diperluas. Dosa tidak hanya dipahami dalam konteks perbuatan buruk yang kita lakukan terhadap sesama manusia, melainkan diperluas dengan juga mencakup perbuatan buruk yang kita lakukan terhadap alam ciptaan. Di sini pertobatan dan pendidikan ekologis mendapat tempat dan relevansinya untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang rusak karena pengabaian terhadap kelestarian alam. 3.1.3.1 Pribadi Yesus Kristus sebagai Sentral Manusia, alam ciptaan, dan Allah bersinggungan dalam satu pribadi, yaitu Yesus Kristus. Melalui Yesus, kita mengenal status baru, yaitu hubungan kebapaan yang dimiliki Allah dengan semua makhluk (LS 96). Dengan demikian. persaudaraan antarciptaan diangkat ke tataran yang lebih tinggi, yaitu keluarga, dengan Allah sebagai Bapa. Kiranya pandangan inilah yang juga melatarbelakangi Paus Fransiskus untuk mencantumkan “Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama” sebagai subjudul LS. Sebagai sesama anggota keluarga, manusia mempunyai tanggungjawab untuk merawat bumi yang menjadi rumah yang didiaminya bersama dengan makhluk ciptaan lain sesuai dengan kehendak Allah, Sang Bapa. Keistimewaan peran Yesus Kristus ini terangkum secara indah dalam perikop Kol 1:15-23 72 terutama pada ayat 16 (“...karena di dalam Dialah telah diciptakan

“15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.17 Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.18 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama 72

41

segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia”) dan ayat 20 (“...dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus”). Dari perikop tersebut dapat disimpulkan bahwa perdamaian antara bumi dan sorga tak mungkin dapat dicapai tanpa melalui penebusan Kristus Yesus adalah tokoh sentral untuk membumikan surga dan mensurgakan bumi73. Dalam artikel yang ditulis oleh David Naugle, profesor filsafat dari Dallas Baptist University disebutkan bahwa di hadapan ciptaan, Kristus adalah sekaligus gambar Allah yang tak kelihatan, sulung dari segala ciptaan, pelaku penciptaan, dan pemelihara ciptaan74. Melalui-Nya, keseluruhan ciptaan didamaikan dengan Allah 75 . Namun, pendamaian segala sesuatu dengan Diri Kristus tidak terjadi tanpa syarat. Pendamaian yang dibawa oleh salib Kristus tersebut perlu diwartakan dan diterima dalam iman (bdk. Kol 1:23, 2:6), terwujud dalam mereka yang menjadi anggota Tubuh Mistik Kristus yaitu Gereja (bdk. Kol 1:24) yang

dalam segala sesuatu.19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,20 dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. 21 Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat,22 sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapanNya.23 Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya.” sebagaimana dikutip dari Alkitab Deuterokanonika yang diterjemahkan oleh Lembaga Alkitab Indonesia tahun 1974 dan diterbitkan oleh Lembaga Biblika Indonesia tahun 2001. 73 D. G. Hornell, “Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5 (2016):31-32. 74 D. Naugle, “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-23”, 3-8, diunduh dari http://www3.dbu.edu/naugle/pdf/Colossians1.15-23.pdf, diunduh pada 25 Maret 2017 pukul 11.12 WIB. 75 D. Naugle, “The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:15-23”, 10.

42

bertahan dalam iman (bdk. Kol 1:23) hingga mencapai kedewasaan dalam Kristus (bdk. Kol 1:28). Pendamaian tersebut dicapai melalui pertobatan ekologis76. 3.1.3.2 Pertobatan Ekologis LS teks Prancis menggunakan kata “conversion” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai pertobatan. Kata ini juga dipakai dalam bahasa Inggris dan mengandung arti sama, yaitu (1) “a converting or being converted, esp. to new beliefs or to new allegiance, e.g. from one Christian denomination to another”, (2) “a change of role, purpose, etc.”, (3) “a voluntary change of stocks and shares into others of a different kind” 77 . Kata ini dekat dengan kata “metanoia” dalam bahasa Yunani diterjemahkan “decision by the whole man to turn around”78 dan “a complete change of mind and heart away from sin and toward God”79. Pertobatan ekologis mengandaikan perubahan secara radikal dari sikap kita yang selama ini merusak alam menuju ke sikap merawat alam. Ini sesuai dengan apa yang diharapkan Paus Fransiskus dalam LS 216, “Yang penting bukanlah berbicara tentang ide-ide, tetapi terutama tentang motivasi yang lahir dari spiritualitas, dan menumbuhkan semangat pelestarian dunia”.

Kata “pendamaian” dan “pertobatan” adalah dua kata yang memiliki kedekatan makna. Sakramen tobat seringkali disebut sakramen rekonsiliasi. Sementara itu, dalam teks bahasa Inggris dari ayat Kol 1:20, digunakan kata “reconciled” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “didamaikan”. Maka, untuk menerangkan makna “Pertobatan Ekologis” yang menjadi istilah khusus Paus Fransiskus, penulis menghubungkannya dengan kata “pendamaian” sekalipun dalam teks LS bahasa Inggris dan Perancis digunakan kata “conversion” (Ing) dan “conversion” (Pra). 77 Longman’s English Larousse, Harlow & London, 1968. Sebenarnya masih ada lima arti lagi yang dicantumkan dalam kamus ini, namun kelimanya merupakan kosakata khusus dalam bidang ekonomi, logika, matematika, fisika, dan kimia. 78 http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, 1, diunduh pada 27 Februari 2017 pukul 18.30 WIB. 79 http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, 1, sebagaimana dikutip dari Jay Green, “A Concise Lexicon to the Biblical Languages”, 83. 76

43

Ada dua hal yang terkandung dalam pertobatan ekologis, yaitu visi teosentris mengenai ciptaan dan solidaritas dengan generasi yang akan datang80. Seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, visi teosentris adalah hal yang patut diusahakan dalam membangun spiritualitas yang ekologis. Kita tak lagi dapat beorientasi antroposentris atau biosentris, melainkan teosentris, di mana kehendak Tuhan, Sang Pencipta adalah pedoman bagi manusia dalam memperlakukan alam ciptaan. Visi teosentrik ini dijabarkan, salah satunya oleh Eco Learning Camp Bandung yang didirikan oleh Rm. Stanislaus Ferry Sutrisna Wijaya, Pr pada tahun 2014 dengan uraian mengenai tujuh kesadaran baru hidup ekologis, yang terdiri dari sikap berkualitas, sederhana, hemat, peduli, berbagi, bermakna, dan harapan 81 . Kemudian, solidaritas dengan generasi yang akan datang merupakan sebuah konsekuensi dari makna etimologis ekologi itu sendiri, yang merupakan bentukan dua kata Yunani, yakni oikos (rumah) dan logos (ilmu, refleksi, manajemen) 82 . Pertobatan ekologis tidak dapat dikatakan berhasil jika tidak mengakibatkan tersedianya ‘rumah’ yang layak, bukan hanya untuk generasi kita sekarang, melainkan juga untuk generasi yang akan datang. Inilah pentingnya untuk “menciptakan suatu dinamisme perubahan yang berkelanjutan, juga merupakan pertobatan komunal” (LS 219), karena pertobatan ekologis sesungguhnya tidak pernah menjadi hanya sebagai pertobatan individual. Seperti telah kita lihat, pertobatan ekologis berpangkal dari pandangan yang melihat alam ciptaan sebagai keluarga, atau setidaknya sebagai saudara. Apa yang dilakukan dalam menghayati pertobatan ekologis, yang di dalamnya mengandung F. Gions, “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 1 (2016):8. J. Dohut, “Eco Camp dan Pendidikan Nilai Berbasis Lingkungan Hidup”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5 (2016):13-14. 82 F. Gions, “Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, 8. 80 81

44

visi teosentris mengenai ciptaan dan solidaritas dengan generasi yang akan datang mempunyai semangat yang sama dengan penghayatan kita akan pertobatan yang kita lakukan atas kesalahan yang kita lakukan terhadap sesama kita. Namun, pertobatan ekologis hanya akan berada pada tataran manusiawi jika kita tidak menyadari ciri sakramental yang ada di dalamnya. Maka, pembahasan mengenai dimensi vertikal gerakan ekologis mencapai puncaknya dalam pembahasan ciri sakramental, yang berpuncak pada hubungannya dengan Sakramen Ekaristi. 3.1.3.3 Ciri Sakramental dalam Gerakan Ekologis Ciri sakramental terletak pada dua unsur yang selalu hadir bersama dan saling berhubungan dan mengandaikan, yaitu unsur ilahi dan manusiawi, di mana unsur ilahi menjadi segi isi yang disimbolkan dan unsur manusiawi menjadi menjadi simbol yang mengungkapkan unsur ilahi itu83. Maka dari itu, sakramensakramen adalah cara istimewa bagaimana “alam diangkat oleh Allah dan dijadikan perantaraan kehidupan adikodrati” (LS 235). Bila dalam sakramen “air, minyak, api, dan warna-warni diangkat dengan segala daya simbolisnya” (LS 235), segala unsur dalam alam ciptaan dapat ditransendensi menjadi lebih agung daripada apa yang ditampakkan, karena manusia dapat menemukan unsur ilahi di balik segala unsur manusiawi. Ciri sakramental ini selalu memiliki dasarnya pada sesuatu yang bersifat historis, dalam artian selalu terjadi dalam dimensi ruang dan waktu. Ciri sakramental ini berbeda dari ciri mitologis, yang menunjuk pada sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam sejarah 84 . Contoh konkretnya, sebuah pohon memiliki ciri sakramental jika dilihat sebagai karya Allah, bukan dengan

83

E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2003, 56. 84 E. Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, 57.

45

melihat ada ‘makhluk penunggu’ yang menjaganya. Kedua ciri sama-sama dapat membuat kita menghormati sebuah ciptaan, namun dalam arti yang berbeda. Tentu, yang dimaksudkan Paus Fransiskus adalah ciri yang pertama. Rekonsiliasi dengan alam ciptaan dan dengan Allah mencapai puncaknya dalam Ekaristi, yang merupakan sumber dan puncak seluruh kehidupan kristiani (Lumen Gentium 85 11). Dalam Ekaristi, kehadiran pribadi Kristus dan karya penebusan-Nya dalam kurban salib —di mana peran sentral dan unik-Nya telah dibahas dalam bagian sebelumnya— itu mengalami penampakannya yang objektif dalam kehadiran real Tubuh dan Darah-Nya dalam rupa roti dan anggur86. Dalam Ekaristi, unsur ilahi dari alam ciptaan sangat nampak, misalnya dalam mempersiapkan persembahan, kita berterimakasih kepada Pencipta untuk roti dan anggur, “hasil dari usaha manusia”, tetapi pertama-tama “hasil dari bumi” dan “pokok anggur”, anugerah Pencipta 87 . Dengan demikian, Ekaristi “menyatukan langit dan bumi” serta “merangkul dan meresapi seluruh ciptaan” (LS 236). Tak hanya dalam kaitannya dengan kelestarian alam, Ekaristi yang dirayakan pada hari Minggu, yang merupakan hari istirahat untuk memusatkan diri pada Ekaristi, “mendorong kita untuk lebih memperhatikan perlindungan alam dan kaum miskin”, karena istirahat “membuka mata kita untuk dunia yang lebih luas dan memungkinkan kita untuk mengakui hak-hak dari yang lain” (LS 237). Demikianlah, Ekaristi merupakan perayaan perdamaian dan rekonsiliasi, karena dalam perayaan tersebut setiap orang beriman diajak untuk menyadari keberadaan Allah, dalam dirinya sendiri dan alam ciptaan —termasuk perhatian kepada 85

Selanjutnya disebut LG. E. Martasudjita, Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta, 2005, 356. 87 A. Cahyono, “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5 (2016):15-16. 86

46

mereka yang terabaikan— dalam satu kesatuan relasi harmonis, yang dengan sendirinya menjauhkan kita dari sikap eksploitatif dan mengobjekkan alam ciptaan88. 3.2 Dimensi Horisontal Ekologi Integral Ekologi integral tidak cukup hanya menyangkut hubungan manusia dan alam ciptaan dengan Allah. Ekologi integral juga mencakup hal-hal praktis mengenai bagaimana tanggungjawab manusia untuk merawat alam ciptaan dilaksanakan. Di sinilah tempat dimensi horisontal ekologi integral di mana halhal teknis dan praktis mengenai perawatan bumi sebagai “rumah kita bersama” dibahas. Namun, patut dicatat bahwa pembedaan dimensi vertikal dan dimensi horisontal ekologi integral tidak berarti bahwa keduanya terpisahkan. Untuk dapat melaksanakan tanggungjawabnya dalam merawat alam, manusia perlu terlebih dahulu memiliki pandangan yang tepat mengenai hubungannya dengan alam ciptaan dan dengan Sang Pencipta, yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya. Hanya dengan demikian manusia mendapat “motivasi kuat untuk mengurus lingkungan tempatnya berada” karena “komitmen ekologis yang timbul dari keyakinan imannya” (LS 64). Seperti telah disebutkan pada awal bab, dimensi horisontal ekologi integral menyangkut secara khusus aspek manusiawi dari ekologi integral. Aspek manusiawi yang dimaksud adalah aspek sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Dimensi horisontal ekologi integral ini secara khusus dibahas oleh Paus Fransiskus dalam LS Bab 4 dan Bab 5. Untuk memahaminya, penulis menawarkan pembahasan dengan dua kata kunci yang merangkum pedoman88

A. Cahyono, “Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, 16.

47

pedoman yang terdapat dalam LS, yaitu ekologi integral yang dilaksanakan dengan mengutamakan jalan dialog. 3.2.1 Ekologi Integral menurut Paus Fransiskus Dalam Bab 4 LS, Paus Fransiskus menawarkan lima komponen yang dapat dimasukkan ke dalam pembahasan mengenai ekologi integral, yaitu ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial, ekologi budaya, ekologi hidup sehari-hari, prinsip kesejahteraan umum, dan keadilan antargenerasi. Kelima komponen ini mempunyai

dimensi

manusiawi

dan

sosial

sebagai

suatu

visi

yang

memperhitungkan semua aspek dari krisis global (LS 137). 3.2.1.1 Ekologi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial Ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial bukan sesuatu yang asing dalam istilah pembangunan, karena sejak lama telah dikenal istilah yang erat maknanya dengan

ekologi

lingkungan,

ekonomi,

dan

sosial,

yaitu

pembangunan

berkelanjutan. Inti kegiatan ekologi lingkungan, ekonomi, dan sosial adalah menjawab pertanyaan mengapa tempat tertentu tercemar dengan menjalankan suatu studi tentang cara kerja masyarakat, ekonominya, perilakunya, dan cara mereka memahami realitas (LS 139). Solusi yang dicapai kemudian diharapkan sebagai satu solusi yang komprehensif untuk memerangi kemiskinan, memulihkan martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama melestarikan alam (LS 139). Kondisi zaman sekarang sarat dengan iklim globalisasi. Perkembangan teknologi dalam bidang komunikasi dan dan transportasi membuat kita memiliki cara pandang yang baru terhadap dunia, yaitu sebagai sebuah desa global (global village) di mana semua warga dunia ini seakan-akan menjadi tetangga dalam

48

sebuah desa tradisional 89 . Situasi ini pertama-tama membawa dampak dalam hidup sosial masyarakat dunia, di mana seperti yang terjadi di desa, semua warganya terhubung dan saling mempengaruhi. Warga dunia tidak lagi bisa berpikiran bahwa apa yang terjadi di negara tempat tinggal mereka tidak akan membawa pengaruh bagi negara di belahan dunia yang lain. Suka-duka setiap warganya adalah suka-duka warga lain, baik di lain kota, lain negara, maupun lain benua. Contoh konkretnya adalah bagaimana melalui media sosial warga Indonesia dapat ikut menanggapi cuitan dari Presiden Amerika dan warga Eropa dapat mengikuti dan memberi tanggapan atas kehidupan sehari-hari Presiden Joko Widodo yang diunggah dalam akun media sosialnya. Perubahan secara sosial ini kemudian diikuti dengan perubahan dalam banyak bidang lain, seperti politik, ekonomi, dan budaya. Cara pandang ini sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi gerakan ekologis, karena kesadaran akan interkonektivitas yang ada dalam setiap individu di dunia ini akan mendorong kita untuk berhati-hati dalam memperlakukan alam, juga sebagai sarana ampuh untuk mensosialisasikan gerakan sadar lingkungan. Namun, yang terjadi dalam era globalisasi di mana suara setiap individu semestinya dapat didengarkan dan diperdengarkan ini justru adalah pengabaian satu suara, yaitu suara Bumi, yang merupakan “rumah kita bersama dan sumber segala macam kehidupan” 90 . Dalam konteks ekologis, permintaan komoditi seperti kayu dan minyak kelapa sawit yang sangat tinggi dari negara-negara maju mengakibatkan negara-negara berkembang, yang wilayahnya masih memungkinkan untuk ditanami kayu dan kelapa sawit memperluas lahan J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”, The Ecumenical Review, Vol. 63 No. 1 (2011):16. 90 J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”, 17. 89

49

produksinya hingga merusak lingkungan di sekitarnya. Maka, Moltmann menganjurkan agar manusia mengubah cara pandangnya terhadap dunia: tidak lagi melihat sebagai “dunia” melainkan sebagai “bumi”91. Pergeseran cara pandang dari “dunia” menjadi “bumi” tersebut dicontohkan Moltmann, salah satunya dari bidang ekonomi. Ada tiga tahapan yang diamati Moltmann dalam kaitannya dengan perubahan pandangan “ekonomi dunia” menjadi “ekonomi bumi”92. Pada tahap pertama, muncul perusahaan-perusahaan transnasional sebagai dampak dari tumbuhnya kesadaran akan makroekonomi. Perdagangan yang sebelumya hanya dikenal dalam lingkup dalam negeri mulai dilihat lebih luas dengan berkembangnya kebijakan impor-ekspor. Pada tahap ini, kebijakan politik cenderung tunduk pada kebijakan ekonomi. Pada tahap yang kedua, hubungan ekonomi tidak hanya dilihat sebagai hubungan antara negara yang satu dengan negara yang lain; tidak hanya sebagai hubungan negara importir dengan negara eksportir. Ekonomi nasional berpadu menjadi satu ekonomi dunia. Di sini ketidakseimbangan mulai terjadi, ketika warga dunia harus ikut membayar harga dari kerugian ekologis yang dilakukan oleh perusahaan trasnnasional. Pada tahap yang ketiga, akhirnya tumbuh kesadaran akan pentingnya “ekonomi bumi”, di mana bumi dimasukkan ke dalam faktor ekonomi. Konsekuensinya, kepentingan bumi harus ikut dijaga dan mereka yang ‘melukai’ bumi harus membayar ganti rugi. Moltmann menawarkan agar manusia belajar dari siklus bumi, di mana dimungkinkan sebuah kekuatan untuk “lahir kembali”. Globalisasi dalam ekonomi akan meningkatkan angka produksi yang akan diikuti dengan Kesimpulan pribadi penulis, bahwa dalam “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”, 17-18, Moltmann menulis perkembangan “From world politics to earth politics” dan “From a world economy to an earth economy”. 92 Bagian ini disarikan dari J. Moltmann, “A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”, 17. 91

50

meningkatnya pula angka konsumsi. Maka, karena angka produksi tidak memungkinkan untuk diturunkan, yang harus dilakukan oleh manusia adalah memanipulasi kegiatan konsumsi. Salah satu hal yang bisa dilakukan di sini adalah pengembangan sumber energi terbarukan dan industri daur-ulang, sehingga keseimbangan ekologi dapat tetap terjaga. Inilah salah satu penerapan dari siklus bumi dalam kegiatan ekonomi, di mana kemampuan regeneratif setiap ekosistem dalam berbagai bidang dan aspeknya turut dipertimbangkan (LS 140). Pergeseran cara pandang “ekonomi dunia” menjadi “ekonomi bumi” oleh Paus Fransiskus dibahasakan sebagai pergeseran cara pandang “otomatisasi dan homogenisasi” menjadi cara pandang humanisme (LS 141). 3.2.1.2 Ekologi Budaya Ancaman terhadap kelestarian alam juga berarti ancaman terhadap warisan sejarah, seni, dan budaya. Maka, gerakan ekologi haruslah juga meliputi pelestarian kekayaan budaya umat manusia dalam arti yang luas, termasuk sejarah, budaya, dan arsitektur lokal (LS 143). Dalam zaman ini, ekologi budaya mendapat ancaman serius, terutama dari visi konsumeristik manusia yang didorong

oleh

mekanisme

ekonomi

global,

yang

cenderung

untuk

menyeragamkan budaya dan mengurangi keanekaragamannya (LS 144). Arti penting kelestarian budaya oleh Paus Fransiskus termuat dalam LS 145 di mana dalam artikel terebut tertulis bahwa hilangnya satu budaya dapat sama serius atau lebih serius daripada hilangnya spesies tanaman atau binatang. Apa yang ingin disampaikan Paus Fransiskus sebenarnya adalah ajakan untuk menghargai kearifan lokal. Pentingnya kearifan lokal dalam kaitannya dengan gerakan ekologis disebut secara eksplisit oleh Francis Wahono: “kearifan

51

lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia”93. Kearifan lokal jauh lebih luas daripada sekadar ritual. Beberapa kearifan lokal juga menyangkut tatacara membangun rumah (arsitektur) atau tatacara menanam (agraris). Tingginya penghargaan terhadap alam yang terdapat dalam kearifan lokal adalah pembanding yang kontras dengan sistem ekonomi dunia saat ini, yang justru semakin memandang rendah alam sebatas faktor produksi. Contoh kearifan lokal di Jawa, misalnya adalah “Pranata Mangsa”. Kearifan lokal ini memberikan arahan kepada petani untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mangsa yang bersangkutan dan tidak memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung 94 . Dengan demikian, keseimbangan ekologis terjamin karena petani tidak akan menanam tanaman pertanian dengan orientasi ekonomis, melainkan ekologis. Contoh lain adalah pengkeramatan pohon-pohon besar yang ada di hampir seluruh budaya lokal di Indonesia. Pohonpohon besar, terutama beringin adalah penanda bahwa di sekitar pohon tersebut terdapat sumber air yang baik. Kita tahu bahwa air adalah salah satu unsur utama penunjang kehidupan. Contoh kearifan lokal dalam bidang arsitektur, misalnya penggunaan kayu Gopasa sebagai tiang rumah dan jembatan masyarakat Bajo, Gorontalo, yang diambil dari luar kawasan mangrove, yang merupakan komponen

Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan”, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009, B-207, diunduh dari http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf, pada 4 Maret 2017 pukul 11.30 WIB. 94 Suhartini, “Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan”, B-211. 93

52

penting pelestarian biota laut95. Di sini anjuran Paus Fransiskus dalam merawat kearifan lokal menunjukkan relevansinya, yaitu bahwa dengan merawat kearifan lokal, kita juga merawat lingkungan yang ada di wilayah kearifan lokal tersebut. Kelompok-kelompok adat dan budaya mendapat peran dan perhatian khusus, karena ketika mereka tinggal di wilayah mereka, justru merekalah yang melestarikannya dengan paling baik (LS 146), sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh antroposentrisme dan teknokratisme budaya modern. 3.2.1.3 Ekologi Hidup Sehari-hari Gerakan ekologis pada akhirnya tidak hanya berbicara mengenai hal-hal yang luas dan abstrak, namun juga dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, di tempat di mana kita hidup sehari-harinya, baik di kamar, rumah, tempat kerja, ataupun lingkungan di sekitar kita. Berbeda dengan gerakan ekologis dalam bidang ekonomi dan politik yang bersifat konseptual dan kolektif, dalam ekologi hidup sehari-hari Paus memberi tempat bagi spontanitas, kepekaan pribadi, dan gerakan individu. Tempat tinggal yang layak, transportasi, ketersediaan ruang gerak, panorama, pengakuan martabat manusia, dan penanggulangan kekerasan adalah topik-topik yang erat kaitannya dengan ekologi hidup sehari-hari. Ekologi hidup sehari-hari sangat ditentukan oleh kreativitas dan kemurahan hati dari pelakunya, yang berusaha agar setiap tempat bukan menjadi neraka tetapi berubah menjadi tempat kehidupan yang bermartabat (LS 148). Dengan cinta yang memotivasi setiap tindakan, kepadatan penduduk yang menyesakkan di lingkungan tempat tinggal diubah menjadi pengalaman komunitas, dinding ego R. Utina, “Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo”, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke- 21, 13-15 September 2012, diunduh dari http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/4/7/Kecerdasan-Ekologis-Dalam-Kearifan-LokalMasyarakat-Bajo-Desa-Torosiaje-Provinsi-Gorontalo.pdf pada 25 Maret 2017 pukul 11.35 WIB. 95

53

diruntuhkan, dan hal-hal yang tadinya merupakan hambatan diubah menajdi peluang. Cara berpikir positif dan adaptif merupakan ciri lain dari ekologi hidup sehari-hari, karena selalu berusaha memikirkan hal sederhana apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Tidak ada anjuran secara rinci mengenai apa yang harus dilakukan, namun Paus Fransiskus memberi landasan motivasi ekologi sehari-hari dengan menganggap bahwa seluruh dunia adalah “hadiah dari Bapa dan rumah bersama” (LS 155). Ekologi hidup sehari-hari dapat dimulai dengan belajar menerima tubuh kita sendiri, merawatnya dan menghormati seluruh maknanya (LS 155). Dengan demikian, kita bisa merawat kamar, rumah, dan bumi kita tanpa harus menikmati kekuasaan mutlak atasnya, seperti kita juga tidak menikmati kekuasaan mutlak atas tubuh kita. 3.2.1.4 Prinsip Kesejahteraan Umum Kesejahteraan umum adalah “keseluruhan kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan kelompok-kelompok maupun anggota perorangan, mencapai kesempurnaan mereka secara lebih penuh dan lebih mudah” (LS 156)96. Bentuk kesejahteraan umum bisa macam-macam, mulai dari hal-hal yang sudah ada (keindahan alam, gunung gemunung, air terjun, sinar matahari, dan sebagainya) sampai dengan segala sesuatu yang masih harus dicapai atau diusahakan bersama (rumah yang sehat, keamanan lingkungan, kemenangan, dan sebagainya)97. Kesejahteraan umum mengandaikan adanya penghormatan terhadap pribadi manusia apa adanya, kesejahteraan sosial, dan kedamaian sosial (LS 157). Penghormatan terhadap pribadi manusia ditunjukkan dengan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Kesejahteraan sosial digaransi dengan 96 97

Definisi ini dikutip oleh Paus Fransiskus dari Gaudium et Spes artikel 26. C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 219.

54

kemudahan akses kebutuhan yang memungkinkan manusia untuk hidup layak sebagai manusia, misalnya soal makanan, pakaian, kesehatan, pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Kedamaian sosial mengandung arti stabilitas dan keamanan dalam suatu tatanan yang adil, serta terciptanya keamanan masyarakat dan masing-masing anggotanya dengan cara-cara yang bisa dibenarkan secara moral98. Maka, kesejahteraan umum memiliki kekhasan yaitu hanya bisa dicapai dengan usaha dan kerja bersama-sama 99 . Kesejahteraan umum bukan hanya tanggungjawab pemerintah ataupun penguasa. Setiap individu pun dituntut untuk menyumbangkan (mengusahakan) dan sharing kebaikan itu dalam sebuah cara yang terorganisasi100. Kesejahteraan umum merupakan salah satu tema etika yang sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi kuno. Para filsuf Yunani dan Romawi kuno seperti Plato, Aristoteles, dan Cicero sudah membahas kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan negara 101 . Namun, di masa sekarang kesejahteraan umum semakin bergeser ke arah universal sehingga menyangkut semua bangsa, tidak hanya negara. Kesejahteraan umum semakin menemukan relevansinya di zaman sekarang dengan begitu banyak ketimpangan dan makin banyak orang terpinggirkan, dan dirampas hak-hak asasinya. Demikianlah penerapan prinsip kesejahteraan umum sekaligus merupakan seruan solidaritas dan prioritas pilihan bagi kaum miskin (LS 158). Prinsip kesejahteraan umum juga terkait erat dengan masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Mengutip Surat Pastoral tentang 98

C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 222. C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 219. 100 C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 220. 101 C.B. Kusmaryanto, Bioetika, 218. 99

55

Lingkungan dan Pengembangan Manusia di Bolivia yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligereja Bolivia tahun 2012, Paus Fransiskus menyebut dalam LS 48, bahwa “Baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukkan bahwa efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin”. Maka, tidaklah adil apabila ada banyak pihak yang mengambil keuntungan dari kerusakan alam sedangkan kaum miskin tidak mendapat kompensasi yang wajar atas kerusakan yang terjadi pada alam yang mereka tinggali. Mengenai keterikatan antara krisis ekologis dan kemiskinan ini, yang harus dilakukan, menurut Paus Fransiskus, adalah mengusahakan suatu “pendekatan ekologis sejati” yang “selalu berupa pendekatan sosial” (LS 49). Dengan demikian, keadilan terjadi saat kita mampu mendengarkan “jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin” (LS 49). 3.2.1.5 Keadilan Antargenerasi Prinsip kesejahteraan umum yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya meluas, tidak hanya dalam dimensi ruang, melainkan juga dalam dimensi waktu. Kesejahteraan umum tidak hanya dipahami pada masa sekarang, namun juga dipikirkan pencapaiannya pada generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan yang merupakan salah satu komponen ekologi integral tidak lagi dapat dibicarakan tanpa solidaritas antargenerasi (LS 159). Mengutip Konferensi Uskup Portugal, Paus melihat solidaritas antargenerasi ini dalam kacamata logika penerimaan, di mana lingkungan yang kita miliki sekarang adalah “pinjaman

56

(utang) yang diterima setiap generasi dan harus diteruskan kepada generasi berikut”102. Kepedulian kita terhadap lingkungan dan generasi mendatang tampak dari jawaban yang kita berikan atas pertanyaan mendasar: Dunia macam apa yang ingin kita tinggalkan untuk mereka yang datang sesudah kita, anak-anak yang kini sedang dibesarkan? (LS 160). Usaha menjawab pertanyaan ini adalah tugas dramatis bagi diri kita sendiri, karena menyangkut makna perjalanan kita sendiri di dunia ini. (LS 160). Maka, eksploitasi besar-besaran terhadap alam tidak hanya menunjukkan kurangnya kepedulian manusia terhadap generasi yang akan datang, melainkan juga kurangnya kesadaran manusia akan martabatnya sendiri, yang sebenarnya berkepentingan untuk mewariskan planet yang layak huni kepada generasi selanjutnya. Di sini Paus mengkritik individualisme dan konsumerisme, yang selain membuat manusia tidak berpikir panjang mengenai nasib generasi yang akan hadir kemudian, juga tidak memperhatikan orang-orang miskin di masa sekarang yang terkucilkan dari pembangunan. Solidaritas antargenerasi tak dapat dicapai tanpa mengusahakan solidaritas intragenerasi terlebih dahulu. 3.2.2 Dialog dalam Mewujudkan Ekologi Integral Dialog adalah tujuan yang ingin dicapai oleh Paus Fransiskus dalam penulisan LS. Beliau “mengundang dengan mendesak agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita” (LS 14). Paus juga mengutip pernyataan para Uskup Afrika yang menyatakan bahwa “bakat dan komitmen setiap orang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan yang

102

LS 159, sebagaimana dikutip dari Konferensi Uskup Portugal, Surat Pastoral Responsabilidade Solidaria pelo Bem Comum (Tanggung Jawab Solider untuk Kesejahteraan Umum), 15 September 2003, 20.

57

disebabkan oleh manusia yang menyalahgunakan ciptaan Allah” 103. Yang ingin disampaikan oleh Paus Fransiskus kiranya adalah bahwa gerakan ekologis tidak pernah menjadi gerakan individu atau kelompok tertentu, melainkan gerakan seluruh warga dunia, anggota keluarga ciptaan, untuk merawat rumah mereka bersama. Oleh karena itu, pemahaman mengenai bagaimana berdialog antarkelompok dan antardisiplin ilmu mendapat tempat istimewa dalam pembahasan mengenai gerakan ekologis. Pembahasan mengenai dialog sebagai unsur dimensi horisontal ekologi integral akan mengikuti alur pikiran Paus Fransiskus dalam Bab 5 LS yang menyangkut lima unsur, yaitu dialog tentang lingkungan dalam politik internasional, dialog untuk kebijakan baru nasional dan lokal, dialog dan transparansi dalam pengambilan keputusan, politik dan ekonomi dalam dialog untuk pemenuhan manusia, dan agama-agama dalam dialog dengan ilmu. Inilah beberapa jalur utama dialog yang dicoba digariskan oleh Paus Fransiskus yang dapat membantu kita untuk keluar dari spiral penghancuran diri yang menenggelamkan kita (LS 163). 3.2.2.1 Dialog tentang Lingkungan dalam Politik Internasional Dasar dari pentingnya dialog ini adalah kesadaran akan adanya “saling ketergantungan” yang memaksa warga dunia untuk berpikir tentang “dunia yang tunggal, sebuah proyek bersama” (LS 164). Konsekuensinya, solusi-solusi ekologis haruslah dalam skala global, dan mengandaikan dialog dalam skala global pula. Di sini, dalam politik internasional memperoleh peran pentingnya,

103

LS 14, sebagaimana dikutip dari Konferensi Waligereja Afrika Selatan, Pastoral Statement on The Environmental Crisis (Pernyataan Pastoral tentang Krisis Lingkungan), 5 September 1999.

58

yaitu bagaimana negara-negara di dunia dapat mencapai kesepakatan mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menyikapi krisis ekologis. Dalam LS Paus menyebutkan beberapa konferensi tingkat internasional yang dapat dijadikan contoh bagaimana negara-negara seharusnya bersikap menanggapi krisis ekologis. Antara lain Paus menyebutkan KTT Bumi yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro (LS 167), Konvensi Basel tentang “Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Berbahaya dan Pembuangannya”, Konvensi tentang “Perdagangan Internasional Spesies Fauna dan Flora Liar yang Terancam Punah”, Konvensi Wina tentang “Perlindungan Lapisan Ozon” beserta petunjuk pelaksanaannya melalui Protokol Montreal (LS 168), dan Konferensi Rio+20 (LS 169). Di antara konferensi-konferensi tersebut, KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio de Janeiro dapat digolongkan istimewa karena melahirkan tiga badan internasional yang secara khusus menangani krisis ekologis, terutama perubahan iklim, yaitu CBD (Convention of Biological Diversity, berdiri pada 29 Desember 1993, berkantor di Montreal, Kanada 104 ), UNFCC (The United Nations Framework Convention on Climate Change, berdiri pada 21 Maret 1994, berkantor di Bonn, Jerman105), dan UNCCD (United Nations to Combat Desertification, berdiri pada Januari 1999, berkantor di Bonn, Jerman 106 ). Ketiga badan internasional ini sampai sekarang masih aktif dan menginisiasi berbagai macam deklarasi dan simposium internasional mengenai bagaimana menyikapi krisis ekologis. Sayang, dampak dari berbagai macam

104

Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di https://www.cbd.int/secretariat/ pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB. 105 Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di http://unfccc.int/2860.php pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB. 106 Informasi didapat dari mengunjungi situs resminya di http://www2.unccd.int/ pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

59

persetujuan dan deklarasi tersebut tidak tampak signifikansinya. Alasannya, menurut Paus adalah karena “posisi negara-negara yang menempatkan kepentingan nasional mereka di atas kesejahteraan umum global” (LS 169). Namun, Ian Burton, pengajar di University of Toronto bersama dengan rekannya menambahkan satu perspektif baru mengenai alasan mengapa dialog-dialog internasional tersebut tidak membawa dampak. Dunia seharusnya tidak lagi hanya memikirkan mengenai bagaimana menanggulangi perubahan iklim —yang hanyalah merupakan upaya mitigasi yang mengurangi dampak namun tidak mencegah dampak yang lebih besar di masa depan— melainkan beradaptasi dengan perubahan iklim dalam rangka mengatasi dampak yang tidak bisa dihindari107. Adaptasi ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu108: -

Adaptasi di bawah pengaturan UNFCC Memperkuat mekanisme dan dukungan untuk adaptasi proaktif di bawah Konvensi dengan memfasilitasi strategi nasional yang komprehensif dan mengusahakan pendanaan yang jelas untuk proyek implementasi berprioritas tinggi.

-

Integrasi dengan Pembangunan Memasukkan unsur adaptasi ke dalam bantuan pembangunan melalui langkah-langkah seperti kewajiban penilaian risiko terhadap iklim untuk proyek-proyek yang dibiayai oleh pemberi pinjaman multilateral dan bilateral.

107

Asuransi Iklim

I. Burton, Dkk., Adaptation to Climate Change: International Policy Options, PEW Center on Global Climate Change, 2016, diunduh dari https://www.c2es.org/docUploads/PEW_ Adaptation.pdf, 1, pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB. 108 I. Burton, Dkk., Adaptation to Climate Change: International Policy Options, 15.

60

Mengusahakan dana untuk mendukung usaha-usaha pemulihan iklim atau usaha-usaha lain yang berupa asuransi di negara-negara yang rentan menderita kerugian akibat perubahan iklim. Poin

yang

menyelenggarakan

lebih

penting

berbagai

macam

menurut

Paus

deklarasi

Fransiskus

beserta

daripada

penandatanganan

persetujuan internasional adalah menegakkannya, terutama karena pemerintahpemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi secara efektif (LS 173). Poin untuk transparansi dalam sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi yang menjadi hasil KTT Perubahan Iklim Paris yang dilaksanakan pada 2015 109 , misalnya harus dilaksanakan secara merata tanpa diskriminasi terhadap negara tertentu atau mengistimewakan negara yang lain. Juga pemberian dana kepada negara-negara yang mengalami dampak perubahan iklim untuk memulihkan kondisinya. Paus Fransiskus banyak berharap pada lembaga-lembaga internasional yang lebih kuat dan terorganisasi secara efisien serta memiliki wewenang yang ditetapkan secara adil melalui kesepakatan antara pemerintah-pemerintah nasional, dan memiliki kekuatan untuk menjatuhkan sanksi (LS 175). 3.2.2.2 Dialog untuk Kebijakan Baru Nasional dan Lokal Dialog tidak hanya dilakukan dalam lingkup yang besar, seperti antarnegara. Dialog yang lebih efektif dan efisien harus dilakukan dalam lingkup yang lebih kecil seperti lingkup nasional dan lokal. Memang, seperti telah disebutkan dalam bagian sebelumnya, pemerintah lokal terlalu lemah untuk mengadakan intervensi

109

Rangkuman mengenai lima poin yang menjadi hasil KTT Perubahan Iklim dilihat dalam laman https://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasil-konferensi-perubahaniklim pada 1 Maret 2017 pukul 21.38 WIB.

61

secara aktif terhadap persetujuan-persetujuan internasional, namun setiap negara tetap memiliki peranan penting, terutama dalam merencanakan, mengordinasikan, mengawasi, dan memberikan sanksi kepada warganya (LS 177). Contoh sederhananya adalah bagaimana di beberapa tempat berkembang koperasi untuk mengeksplorasi

sumber

energi

yang

terbarukan,

yang

memungkinkan

swasembada lokal, dan bahkan penjualan surplus energi. Inilah contoh di mana kalangan lokal dapat mengubah situasi, sementara kalangan internasional tidak memungkinkan untuk turun tangan (LS 179). Berkaitan dengan dialog dalam skala nasional dan lokal, tidak ada resep-resep yang seragam, karena tiap negara atau wilayah memiliki masalah dan keterbatasan tersendiri (LS 180). Apa yang cocok diterapkan di satu wilayah tertentu tidak tentu cocok diterapkan dalam wilayah yang lain. Pencegahan peluasan kebun kelapa sawit yang mengancam lingkungan hidup di Pulau Kalimantan tidak akan relevan diterapkan di Pulau Jawa, sebagaimana pembahasan mengenai reklamasi Teluk Benoa tidak relevan diterapkan di kawasan Raja Ampat. Pengaturan untuk kebijakan lokal dan nasional dalam gerakan ekologis sebenarnya bukan hal baru. Indonesia, misalnya telah memasukkannya dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 110 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”111. Lebih lanjut, dalam ayat (4) disebutkan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,

Selanjutnya disebut UUD ‘45. Dikutip dari naskah UUD ’45 yang diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/ UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB. 110 111

62

efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional” 112 . Melalui dua ayat ini, kesadaran akan pentingnya peran negara dalam mencapai kesejahteraan umum, yang merupakan prinsip yang memainkan peran sentral dan pemersatu

dalam

etika

sosial

(LS

156)

ditampakkan,

yaitu

dengan

memasukkannya ke dalam rumusan perundang-undangan. Secara tersirat, dua ayat ini juga melarang adanya penguasaan sumber daya alam di tangan orang-seorang dalam wujud monopoli, oligopoli maupun praktek kartel 113 . Kaitan antara pelestarian lingkungan dan kesejahteraan umum ini juga sedikit memperjelas hubungan antara krisis ekologi dengan krisis ekonomi, yaitu bahwa rusaknya sumber daya alam akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kesejahteraan umum. 3.2.2.3 Dialog dan Transparansi dalam Pengambilan Keputusan Dalam LS, Paus Fransiskus mengkontraskan dialog yang transparan dengan korupsi. “Penilaian dampak aneka usaha dan proyek terhadap lingkungan menuntut suatu proses politik yang transparan dan berupa dialog, sementara korupsi yang demi keuntungan tertentu menyembunyikan dampak nyata sebuah proyek terhadap lingkungan, biasanya menghasilkan perjanjian-perjanjian semu yang dicapai dengan menahan informasi dan mengelak dialog yang luas” (LS Dikutip dari naskah UUD ’45 yang diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/ UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB. 113 A. Firmansyah, “Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 dalam Membangun Perekonomian di Indonesia”, Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1 (2012):267, sebagaimana dikutip dari Arimbi HP dan Emmy Hafild, “Membumikan Mandat Pasal 33 UUD 1945”, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Fiend of the eart (FoE), Indonesia, 1999,1, diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356422&val=5644&title=PENAFSIRAN%2 0PASAL%2033%20UUD%201945%20DALAM%20MEMBANGUN%20PEREKONOMIAN%2 0DI%20INDONESIA pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB. 112

63

182). Bagi Paus Fransiskus, dialog yang sehat mengandaikan keterbukaan dan transparansi, dan dialog yang sehat inilah yang akan menentukan keberhasilan gerakan ekologis serta mengantar masyarakat menuju kepada kesejahteraan. Berhubungan dengan dialog nasional dan lokal yang telah dibahas sebelumnya, Paus Fransiskus beranggapan bahwa tidak cukup hanya mencapai konsensus antara aktor-aktor sosial yang berbeda, namun “penduduk setempat harus mendapat tempat khusus di meja diskusi” (LS 183). Merekalah yang paling terpengaruh kualitas hidupnya atas kebijakan-kebijakan yang dibuat. Maka, “informasi yang memadai tentang berbagai aspek dan juga berbagai risiko dan peluang” (LS 183) harus diberikan secara transparan kepada mereka. Kepentingan ekonomis maupun politis pembuat kebijakan tidak boleh mendapat tempat yang lebih tinggi daripada kepentingan kesejahteraan penduduk setempat. Di sini Paus Fransiskus memberi alasan mendasar mengapa korupsi harus diperangi dalam konteks kontrasnya dengan transparansi, yaitu bahwa transparansi berorientasi kepada kesejahteraan yang lebih luas dan korupsi berorientasi kepada kesejahteraan yang semakin sempit, bahkan hanya pada kelompok tertentu. Dalam kaitannya dengan krisis ekologis, dalam bagian ini Paus juga banyak menyinggung mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang “harus diikutsertakan dari awal dan dikembangkan secara interdisipliner, transparan, dan independen dari segala tekanan politik atau ekonomi” (LS 183). Terkhusus di Indonesia, pelaksanaan AMDAL diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup 114 . Paling tidak ada delapan jenis kegiatan yang menuntut

114

Selanjutnya disebut PP 27 Tahun 1999.

64

diterapkannya AMDAL 115 , yaitu (1) pembuatan jalan, bendungan/dam, jalan kereta api, dan pembukaan hutan; (2) kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan; (3) pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan

energi

yang

tidak

diikuti

dengan

teknologi

yang

dapat

mengefisienkan pemakaiannya; (4) kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan dan/atau cara hidup masyarakat setempat; (5) kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya; (6) introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada; (7) penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian pengubahan; dan (8) penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Pembahasan dalam PP 27 Tahun 1999 pun cukup lengkap, termasuk pentingnya partisipasi masyarakat dan transparansi yang disebut dalam Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup” dan Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi: “Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum”. Dari dua ayat

115

Dikutip dari naskah Penjelasan PP 27 No. 1999 Pasal 3 ayat (1) yang diunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_99.htm pada 3 Maret 2017 pukul 10.00 WIB. Kutipan-kutipan selanjutnya yang berhubungan dengan PP 27 No. 1999 diambil dari sumber yang sama.

65

tadi, tampak bahwa dialog dan transparansi secara de jure sudah diatur dalam AMDAL, sekalipun secara de facto masih ada yang tidak melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang diharapkan. 3.2.2.4 Politik dan Ekonomi dalam Dialog untuk Pemenuhan Manusia Bagi Paus Fransiskus, dialog antara ekonomi dan politik secara garis besar berarti bahwa “politik tidak harus tunduk pada ekonomi dan ekonomi tidak harus tunduk pada perintah atau paradigma efisiensi teknokrasi” (LS 189). Hal ini sesuai dengan hakikat dari dialog yang mengandaikan adanya kesetaraan antara dua pihak yang berdialog. Jika tidak, yang terjadi adalah politik dan ekonomi cenderung untuk saling menyalahkan, terutama atas masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan (LS 198). Ada dua sistem ekonomi besar yang digunakan dalam banyak negara di dunia, yaitu sistem ekonomi pasar bebas dan sistem ekonomi sentralistik116. Ciri sistem ekonomi pasar bebas adalah masyarakat yang bersifat sangat konsumtif dan tingkat produktivitas masyarakat yang tinggi 117 . Sementara itu, sistem ekonomi sentralistik memiliki ciri semua alat produksi menjadi milik bersama, di bawah kekuasaan pemerintah 118 . Dua sistem ekonomi ini berada pada dua ekstrem, di mana sistem ekonomi pasar bebas memberi keuntungan sebesarbesarnya kepada pengusaha dan sistem ekonomi sentralistik kepada pemerintah. Bila anjuran Paus Fransiskus kita terapkan pada dua sistem ekonomi ini, dapat disimpulkan bahwa Paus Fransiskus tidak menghendaki kedua sistem ekonomi ini diterapkan secara absolut. Perlu dicari jalan tengah daripada kedua sistem

116

Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 35-39. Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 37. 118 Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39. 117

66

ekonomi ini sehingga ada tempat yang lebih berimbang bagi pemerintah (representasi kekuatan politik) maupun para pengusaha (representasi kekuatan ekonomi)

119

. Beberapa contoh keberhasilan mengimplementasikan dialog

ekonomi dan politik dalam sistem ekonomi, misalnya, dapat kita temukan dalam sistem ekonomi “negara kesejahteraan” yang diterapkan pada negara Swedia, Norwegia, dan negara-negara di Skandinavia. Sistem ekonomi ini diterapkan dengan memasukkan unsur “sosial” ke dalam sistem ekonomi pasar bebas. Di negara-negara tersebut, para penganggur mendapat uang santunan dan hampir semua warga negara memperoleh berbagai jaminan sosial dari pemerintah 120 . Sebaliknya, sesudah tahun 1989, banyak negara yang bercorak komunis mencoba memasukkan unsur-unsur “pasar bebas” ke dalam sistem ekonomi komunistik. Contohnya adalah Republik Rakyat Tiongkok yang sejak beberapa tahun terakhir ini mengizinkan masyarakat Hongkong untuk menggunakan sistem ekonomi pasar bebas121. Indonesia sendiri menganut sistem ekonomi yang berupa perpaduan dari dua sistem ekonomi besar di atas, di mana beberapa sektor ekonomi “yang menguasai hajat orang banyak” hampir selalu dikendalikan oleh pemerintah, sementara sektor-sektor ekonomi yang lain dibiarkan secara bebas dikelola oleh pengusaha-pengusaha swasta122. Peran ekologi kemudian menjadi penting, kembali dalam kaitannya dengan kesejahteraan umum. Politik dan ekonomi yang tidak berpadu dengan baik tidak dapat mencapai kesejahteraan umum. Juga dengan kepentingan politik atau kepentingan ekonomi yang lebih diberi tempat daripada kesejahteraan warga 119

Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39. Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39. 121 Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 39-40. 122 Al. Purwa Hadiwardoyo, 7 Masalah Sosial Aktual, 40. 120

67

negara. Wacana ekologi tidak pernah bisa dikemas hanya dalam logika keuangan atau teknokrasi (LS 194), karena mengkerdilkan makna ekologi itu sendiri sebagai faktor penting dalam mencapai kesejahteraan umum. 3.2.2.5 Agama-agama dalam Dialog dengan Ilmu Integralitas ekologi menyebabkannya harus dibahas dalam berbagai macam disiplin ilmu. Pembahasan dengan hanya menggunakan satu disiplin ilmu tentu saja tidak memadai, karena hanya akan menjawab satu aspek dari sekian banyak aspek yang terdapat dalam krisis ekologis. Namun, Paus Fransiskus ternyata juga mengajak untuk mendialogkan ilmu-ilmu tersebut dengan agama, karena “tak dapat diklaim bahwa ilmu pengetahuan empiris memberikan penjelasan lengkap tentang kehidupan” (LS 199). Pada bagian ini, nampak keterkaitan antara dimensi vertikal dan dimensi horisontal ekologi integral. Hubungan manusia dengan alam dan sesamanya kembali tidak bisa dipisahkan dari hubungan manusia dengan Penciptanya. Telah kita lihat dalam bagian sebelumnya bagaimana dimensi vertikal ekologi integral menunjukkan kesejajaran dengan dimensi horisontal ekologi integral. Kedekatan manusia dengan Tuhan yang semakin intim berkonsekuensi penghargaan yang semakin tinggi terhadap ciptaan. Maka, orang yang beriman tidak akan mengabaikan kemajuan ilmu pengetahuan, karena penghargaan terhadap ciptaan tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan yang memadai. Dialog antara agama dengan ilmu yang terjadi dengan baik, sesungguhnya mengandaikan adanya dialog antaragama yang baik pula. Terlebih, mayoritas penduduk planet ini menyatakan dirinya beriman, sehingga seharusnya agamaagama semakin terdorong untuk masuk ke dalam dialog dengan maksud

68

melindungi alam, membela orang miskin, dan membangun jaringan persaudaraan yang saling menghormati (LS 201). Dalam dialog inilah jati diri umat beriman dapat dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman bersama tentang penderitaan dan ancaman global. Paul F. Kniitter, seorang teolog, memandang ancaman global yang dimaksud adalah penderitaan manusia dan lingkungan123. Berkaitan dengan hal ini, Knitter mengusulkan sebuah “iman kosmologis”, yang tumbuh dari tanggung jawab kosmologis, mewarnai dan membarui kesadaran religius manusia lintas agama dan batas-batas negara 124 . Dan, sejak krisis ekologis dilihat juga sebagai krisis moral, maka agama harus diberi tempat khusus dalam gerakan ekologis. Menurut Knitter, agama bukan hanya “meyakinkan komitmen etis perorangan, tetapi juga turut mendorong menggairahkan mereka (para pemeluk agama)”125, sesuatu yang tak didapat dari ilmu pengetahuan dan filsafat. 3.3 Kesimpulan Ekologi integral merupakan ekologi yang cakupannya sangat luas dan menyentuh semua segi kehidupan manusia, baik dari sisi ilahi maupun sisi manusiawi. Dengan cara pandang demikian, kita diajak untuk menyadari betapa seriusnya krisis ekologis yang kita alami saat ini dan betapa pentingnya bagi manusia untuk segera mengambil langkah yang tepat guna menyelesaikannya. Berdasarkan pembahasan mengenai dimensi vertikal ekologi integral, Paus Franiskus menawarkan pendidikan dan pertobatan ekologis sebagai solusi atas dosa yang dilakukan manusia terhadap alam ciptaan. Selanjutnya, pembahasan

123

P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, 85. 124 P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global, 85. 125 P. F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global, 106.

69

mengenai dimensi horisontal ekologi integral memunculkan pembangunan berkelanjutan dan dialog sebagai solusi yang bisa diimplementasikan. Hal pertama yang diharapkan dari ekologi integral menurut Paus Fransiskus adalah perubahan cara pandang kita dalam melihat krisis ekologis; bahwa pada kenyataannya ada banyak unsur yang saling mempengaruhi di dalamnya. Dengan berubahnya cara pandang ini, diharapkan juga muncul sebuah spiritualitas baru, yang mendasari tindakan kita terhadap alam. Inilah yang menjadi inti ekologi integral menurut Paus Fransiskus, bahwa bukan pertama-tama berbagai macam tindakan praktis yang harus kita usahakan, melainkan perubahan cara pandang kita terhadap alam yang mempengaruhi spiritualitas kita. Solusi atas krisis ekologis pun meluas, baik dalam dimensi ruang maupun waktu, sehingga kita tidak lagi dapat berpikir hanya mengenai kelompok kita di masa sekarang. Keberhasilan ekologi integral sebagai solusi yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus atas krisis ekologis yang terjadi tidak dapat diharapkan akan terjadi di masa sekarang. Justru, ekologi integral ini diharapkan menjadi sebuah gaya hidup yang diwariskan kepada generasi-generasi yang akan datang, sehingga anak-cucu kita tetap masih dapat tinggal di ‘rumah’ yang layak untuk mereka diami, sekaligus layak untuk mereka wariskan kepada generasi-generasi yang lahir lebih kemudian.

70

BAB 4 REFLEKSI KRITIS

LS merupakan ensiklik sosial pertama yang memfokuskan pembahasannya pada ekologi126. Di satu sisi, hal ini merupakan kemajuan, bahwa Gereja mulai memberi perhatian khusus kepada masalah lingkungan hidup. Hubungan baru yang berdimensi ekologis, sosiologis, dan eklesiologis dengan demikian terbentuk. Melalui LS, Paus Fransiskus menegaskan kembali relevansi pandangan Gereja dan ajaran sosialnya dalam kaitannya dengan masalah ekologis. Namun, apakah Gereja sungguh memiliki kapasitas yang cukup untuk memberi jawaban atas krisis ekologis? Pada bab 4 ini, penulis akan memberi tanggapan kritis atas LS dengan berdasar pada dua kriteria, yaitu LS sebagai dokumen gereja dan LS sebagai dokumen lingkungan hidup. Kriteria LS sebagai dokumen gereja digunakan karena sejatinya LS adalah sebuah ensiklik, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh seorang paus sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma. Sementara itu, kriteria LS sebagai dokumen lingkungan hidup digunakan karena Paus Fransiskus sendiri menekankan universalitas LS dalam LS 14, di mana beliau mengundang suatu “dialog baru” yang “melibatkan semua orang”, sehingga LS tidak dapat dipahami hanya berlaku bagi warga Gereja, melainkan juga warga dunia. 126

S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, Asian Horizons, Vol. 9 No. 4 (2015):616.

71

4.1 LS sebagai Dokumen Gereja 4.1.1 Kapasitas LS sebagai Ensiklik Ensiklik adalah surat uskup yang ditujukan kepada umat dalam lingkup yang luas127. Sejak abad kedelapan belas, ensiklik secara khusus digunakan untuk menyebut surat-surat yang ditulis Paus untuk seluruh Gereja atau sebagian warga Gereja128. Ada paling tidak empat hal yang membedakan ensiklik dari dokumen Gereja lain menurut New Catholic Encyclopedia, yaitu: (1) “sebuah surat kepausan dan karena itu dibedakan dari surat pastoral yang ditulis oleh seorang ordinaris untuk keuskupannya”, (2) “sebuah surat dan oleh karenanya dibedakan dari dokumen kepausan lainnya, seperti brevia, bula, reskrip, dan konstitusi”, (3) “pastoral dan karenanya berkaitan dengan urusan doktrinal dan moral”, dan (4) “ditulis untuk Gereja universal dan karena itu dibedakan dari surat pribadi paus, yang ditulis oleh paus sendiri, dan surat-surat ensiklik yang ditujukan hanya untuk bagian tertentu dari Gereja universal”129. Ensiklik berasal dari kata encyclius (Latin) atau enkyklios (Yunani) yang berarti “in a circle, singular”130. Selain digunakan dalam Gereja Katolik, kata ensiklik juga digunakan dalam Gereja Anglikan untuk menyebut pesan-pesan yang dikeluarkan pada akhir konferensi-konferensi, setelah Konferensi Lambeth yang pertama, yang diadakan pada tahun 1867131.

127

G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996, 69. G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69. 129 Terjemahan bebas oleh penulis dari definisi yang diberikan oleh New Catholic Encyclopedia Volume V, The Catholic University of America, Washington D. C., 1967, 332, yang berbunyi: (1) “a papal letters and is therefore distinguished from pastoral letters written by an ordinary for his diocese”, (2) “a letter and is distinguished from other papal documents, such as briefs, bulls, rescripts, and constitutions”, (3) “pastoral and hence pertains ordinarily to doctrinal, moral, or disciplinary matters”, dan (4) “written for the universal Church and is therefore distinguished from papal autograph letters, those written in the pope’s hand, and encyclical epistles addresed only to parts of the universal Church”. 130 Definisi ini dikutip dari http://www.etymonline.com/index.php?term=encyclical, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.30 WIB. 131 G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69. 128

72

Sebagai sebuah dokumen Gereja, ensiklik bukanlah pernyataan yang tidak dapat salah 132 . Tingkatan otoritas ensiklik pun ada di bawah bulla, konstitusi apostolik, dan motu proprio, sekalipun masih lebih tinggi daripada surat apostolik seruan apostolik, surat dekrit, alokusio, reskrip kepausan, dan brevia 133 .

LS

adalah ensiklik kedua Paus Fransiskus setelah Lumen Fidei 134 (terbit 29 Juni 2013) dan dokumen ketiga Paus Fransiskus setelah LF dan EG (terbit 24 November 2013)135. Ensiklik ditulis oleh Paus, maka dari itu kebenaran ajarannya hanya dapat diterima bila menyangkut iman dan moral. Umat Katolik maupun masyarakat biasa berhak mengkritisi atau bahkan tidak menyetujui pemaparan ilmiah yang diberikan oleh Paus dalam ensiklik136. Namun, LS bagaimanapun adalah ensiklik yang unik karena secara khusus membahas mengenai lingkungan hidup, hal yang sangat dekat kaitannya dengan kesejahteraan umum yang menjadi salah satu topik moral, sosial, dan politik. Berhadapan dengan dua kemungkinan sikap tadi, LS tidak bisa diabaikan begitu saja karena ensiklik merupakan ajaran resmi Gereja. Namun, sebagai sebuah ajaran resmi, tetap ada ketidaksetaraan dalam otoritas unsur-unsur dalam LS. Usaha Paus Fransiskus untuk menyadarkan umat Katolik mengenai kemendesakan masalah kelestarian lingkungan hidup sebagai unsur pokok kesejahteraan umum tentu adalah hal yang tidak bisa disangkal kebenarannya. Begitupun dengan wawasan alkitabiah yang diberikan sebagai

132

G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 69. C. Song, “Types Of Papal Documents”, diunduh dari http://library.athenaeum.edu/c.php?g=30820&p=193150 pada 21 Maret 2017 pukul 20.35 WIB. 134 Selanjutnya disebut LF. 135 Disunting dari http://www.papalencyclicals.net/, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.47 WIB. 136 A. Mena, “Infallible? Informal? How Binding Is The New Encyclical On Catholics?”, diunduh dari http://www.catholicnewsagency.com/news/infallible-informal-how-binding-is-the-newencyclical-on-catholics-24963/, pada 21 Maret 2017 pukul 21.04 WIB. 133

73

landasan Paus Fransiskus dalam melihat akar dan solusi krisis ekologis. Dalam dua bagian ini Paus menampilkan diri sebagai Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum beriman, terkhusus dalam bidang iman dan moral137. Di sisi lain, berbagai macam kemungkinan akar masalah dan solusi praktis yang terdapat dalam LS lebih merupakan sebuah seruan dari Paus Fransiskus 138 , yang tidak dimaksudkan sebagai suatu kebenaran karena Paus Fransiskus sendiri tidak menyatakannya sebagai suatu kebenaran. Dalam LS, Paus Fransiskus tidak berbicara mengenai bagaimana kita seharusnya berpikir (mengajar), melainkan mengajak kita untuk masuk ke dalam dialog moral yang serius mengenai kepentingan mendesak mengenai planet yang kita diami ini139. 4.1.2 Perbandingan LS dengan dokumen Ajaran Sosial Gereja 140 yang Lain ASG adalah ajaran Gereja mengenai hak dan kewajiban berbagai anggota masyarakat dalam hubungannya dengan kebaikan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun internasional 141 . Dalam ASG termuat prinsip-prinsip untuk refleksi, kriteria untuk penilaian dan pedoman-pedoman untuk tindakan, yang menjadi titik tolak untuk memajukan sebuah humanisme yang terpadu dan solider142. ASG terdiri dari berbagai dokumen yang memiliki tingkat kewibawaan yang berbeda-beda, mulai dari dokumen-dokumen konsili dan ensiklik-ensiklik, amanat-amanat para Paus, sampai berbagai dokumen yang disusun oleh berbagai komisi pada Tahta Suci143.

137

Bdk. Kitab Hukum Kanonik 749 § 1. Bdk. LS 13-16. 139 S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 613. 140 Selanjutnya disebut sebagai ASG. 141 G. O. Collins & E. G. Farrugia, Kamus Teologi, 20. 142 Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 6. 143 Y. M. Florisan, Dkk. (penerjemah), Kompendium Ajaran Sosial Gereja, 7. 138

74

Ada berbagai tema yang menjadi perhatian ASG, antara lain hak asasi manusia, keluarga dan komunitas, keadilan sosial, kemiskinan, martabat kerja, solidaritas, dan keutuhan ciptaan144. Kontribusi penting LS dalam ASG terlihat secara nyata terutama dalam statusnya sebagai ensiklik pertama yang dikeluarkan secara khusus untuk menanggapi masalah ekologis. Keberadaannya semakin memperdalam dokumen-dokumen ASG sebelumnya yang juga sudah mulai menyinggung persoalan lingkungan hidup 145 . Dibandingkan dokumen-dokumen ASG sebelumnya, LS memberi kontribusi penting dalam menerangkan pengaruh besar perubahan iklim bagi krisis ekologis dan ekologi integral sebagai alternatif solusi dalam menanggapi krisis ekologis 146. LS juga membawa muatan teologi dalam ASG ke tingkatan yang lebih tinggi, yaitu melihat kata “sosial” tidak hanya mengenai relasi antarmanusia dan antarkomunitas, melainkan juga relasi Gereja (dan warganya) dengan ‘dunia’ alam ciptaan dan mengundang ‘dunia’ manusia untuk menjalin relasi yang harmonis dengannya147. Kelebihan LS dibanding dokumen ASG lainnya tampak pada usahanya mengutip ajaran-ajaran dari Konferensi Para Uskup dari setiap benua, termasuk Asia; hal yang belum pernah dilakukan dalam ensiklik-ensiklik sosial sebelumnya148. Kemudian, fakta bahwa LS sebagai ensiklik yang mengungkapkan

144

Dikutip dari http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-socialteaching/seven-themes-of-catholic-social-teaching.cfm, diakses pada 22 Maret 2017, pukul 11.15 WIB. 145 S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616. Dalam artikel dan halaman yang sama disebutkan beberapa usaha Paus-paus sebelum Fransiskus (dimulai dari Paus Yohanes XXIII) untuk menyinggung persoalan lingkungan hidup dalam ensikliknya, seperti Paus Yohanes XXIII yang melihat bahaya senjata nuklir yang dapat menghancurkan bumi dan Paus Paulus VI yang menyinggung isu mengenai polusi, krisis energi, dan kemendesakan diterapkannya pembangunan berkelanjutan. 146 S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616-617. 147 F. Wilfried, “Theological Significance Of Laudato Si”, Vidyajyoti, Vol. 79 No. 9 (2015):646647. 148 S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 616.

75

perhatian yang lebih pada spiritualitas, tidak seperti ajaran lain yang kecenderungan antroposentristiknya masih terlihat149. Spiritualitas yang dimaksud tentu adalah spiritualitas Fransiskan yang akan didalami pada bagian selanjutnya. 4.1.3 Spiritualitas Fransiskan sebagai Inti LS Spiritualitas Fransiskan yang mewarnai LS dapat diprediksi dari keputusan Paus menggunakan nama Santo Fransiskus dari Asisi. Dari nama yang digunakan, terpampang dengan cukup jelas bahwa urusan kemiskinan dan ciptaan akan menjadi prioritasnya 150 . Dalam homili pada misa inaugurasinya, beliau bahkan mengatakan, “Let us protect Christ in our lives, so that we can protect others, so that we can protect creation! The vocation of being a “protector”, however, is not just something involving us Christians alone; it also has a prior dimension which is simply human, involving everyone. It means protecting all creation, the beauty of the created world, as the Book of Genesis tells us and as Saint Francis of Assisi showed us. It means respecting each of God’s creatures and respecting the environment in which we live.”151 Dari teks homili ini, kita dapat menangkap seberapa besar spiritualitas Fransiskan telah mempengaruhi pemikiran Bapa Suci dan melandasi ajaran yang dikeluarkannya, termasuk LS. Santo Fransiskus dari Asisi hidup pada tahun 1182-1226. Pengikutnya, yang disebut dengan nama Fransiskan menghidupi sebuah spiritualitas yang berbeda dari spiritualitas kristiani pada umumnya, bahkan cenderung unik. Hal ini tidak lain disebabkan karena spiritualitas ini diturunkan oleh seorang awam (Santo Fransiskus sendiri) yang tidak mengalami pendidikan klerus secara khusus. Maka

S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 617. S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 610. 151 Diunduh dari http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2013/documents/papafrancesco_20130319_omelia-inizio-pontificato.html pada 22 Maret 2017 pukul 22.05 WIB. 149 150

76

dari itu, sekalipun hidup pada zaman skolastik152 spiritualitas ini lebih dekat pada spiritualitas rahib padang gurun daripada skolastik. Ada lima tema yang menjadi ciri khas spiritualitas Fransiskan, yaitu Injil sebagai referensi utama, pujian kepada Tuhan melebihi segala hal, kemiskinan total, kasih persaudaraan kepada sesama anggota, dan kehadiran semua sebagai saudara153. Tema-tema tersebut adalah tema-tema yang banyak dibahas dalam LS. Misalnya, pada bab 2 Paus Fransiskus secara khusus membahas mengenai hikmat cerita-cerita alkitab (LS 65-75) dan tatapan Yesus (LS 96-99) sehingga dia mendasari pemikirannya mengenai gerakan ekologis bukan pertama-tama pada doktrin melainkan pada Kitab Suci dan pengalaman empiris (LS Bab I). Tema kemiskinan total muncul dalam gagasan mengenai pentingnya melindungi dan mendengarkan mereka yang lemah (LS 48, 52). Kidung Fransiskus Asisi yang dikutip dalam LS 87 juga menunjukkan bagaimana Paus Fransiskus menyajikan pembahasan dalam LS dalam kerangka spiritualitas Fransiskan: bagaimana kita memperlakukan sesama ciptaan sebagai saudara. Implikasi dari saratnya unsur spiritualitas Fransiskan yang terkandung dalam LS adalah bahwa LS menjadi dokumen Gereja yang mudah dicerna dan praktis. Mudah dicerna, karena LS mendasari pembahasannya pada pengalaman empiris dan Kitab Suci, serta ajaran-ajaran dari para Uskup di seluruh dunia, alihalih hanya mereferensi doktrin Gereja. Dengan spiritualitas Fransiskan yang mewarnai pembahasan di dalamnya, LS mempromosikan pendekatan teologi yang baru, yang diawali dengan pengalaman dan dilanjutkan dengan menempatkan data 152

Menurut Encyclopedia of Christian Theology Volume II, Routledge, 2005, 1448, zaman skolastik adalah satu periode filsafat yang diwarnai dialektika dan berkembang di sekolah-sekolah teologi pada abad 12. 153 Encyclopedia of Christian Theology Volume II, 1516.

77

empiris dalam dialog dengan sumber-sumber iman yang diwujudkan dalam aksi dan langkah konkret154. 4.2 LS sebagai Dokumen tentang Lingkungan Hidup 4.2.1 Interdisiplinaritas dan Usaha Kontekstualisasi Ajaran (Sosial) Gereja Salah satu kritikan paling tajam yang ditujukan kepada LS adalah bahwa LS cenderung bertendensi anti-modern155. Hal ini tampak secara jelas, misalnya pada LS 115-136, di mana secara khusus Paus Fransiskus membahas mengenai efek antroposentrisme modern sebagai salah satu akar manusiawi krisis ekologis. LS juga dipertanyakan, terutama dalam hal kapasitas Paus untuk memberi alternatif cara pandang terhadap krisis ekologis. Memang, Paus Fransiskus sendiri adalah seorang yang memiliki gelar master dalam kimia156, namun ternyata masyarakat dunia masih belum dapat seluruhnya menerima intervensi Gereja yang terlalu luas, termasuk ke dalam bidang ilmu pengetahuan, politik, dan ekonomi. LS menjadi contoh paling aktual bahwa “Gereja yang mendengar” sebagai harapan masyarakat luas belum sepenuhnya tercapai melalui LS157. Kaum konservatif Gereja juga melihat LS sebagai ensiklik yang unsur pengajarannya lemah158. LS dianggap tidak banyak memberi pengajaran iman dan justru memberi terlalu banyak porsi untuk pengajaran ilmiah. Mereka membandingkan LS dengan dokumen ASG lainnya yang memadukan teologi S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 613. M. A. Mills, “Is Pope Francis Anti-Modern?”, dikutip dari http://www.thenewatlantis.com/publications/is-pope-francis-anti-modern, diakses pada 10 April 2017 pukul 21.12 WIB. 156 S. Cornish, “Laudato Si’: Making The Connections”, 615. 157 S. Gregg, “Laudato Si’: Well Intentioned, Economically Flawed”, dikutip dari https://spectator.org/63160_laudato-si-well-intentioned-economically-flawed/, diakses pada 23 Maret 2017, pukul 18.53 WIB. 158 R.R. Reno, “The Weakness Of Laudato Si’”, dikutip dari https://www.firstthings.com/webexclusives/2015/07/the-weakness-of-laudato-si, diakses pada 23 Maret 2017 pukul 18.45 WIB. 154 155

78

dengan ilmu-ilmu sekuler karena dokumen ASG lain memberikan prinsip-prinsip keterlibatan sosial yang didasarkan pada hukum kodrat sehingga relevan baik bagi orang beriman maupun tidak beriman. LS, yang tidak banyak memberi prinsipprinsip sebagai panduan bertindak dianggap gagal meneruskan tradisi tersebut159. Usaha mendamaikan iman dan ilmu pengetahuan adalah usaha yang perlu diupayakan terus-menerus dan tidak akan pernah selesai secara definitif. Maka, teolog dan ilmuwan adalah dua kelompok yang akan bereaksi paling keras dan bersikap kritis dalam menanggapi munculnya usaha-usaha pendamaian iman dan ilmu pengetahuan, termasuk LS. Gereja yang ‘kurang mendengar’ dan ilmu pengetahuan yang ‘terlalu banyak berbicara’ tidak banyak membantu untuk terjadinya dialog. Dalam hal ini, LS menurut penulis kurang peka dalam menggunakan istilah-istilah yang cenderung dipahami mendiskreditkan hal-hal sekuler seperti ekonomi (mis. LS 26), politik (mis. LS 165), dan teknologi (mis. LS 113). Di sisi lain, ilmu pengetahuan juga kurang terbuka untuk menerima interdisiplinaritas

yang

terkandung

dalam

LS

sebagai

sebuah

usaha

kontekstualisasi ajaran Gereja melainkan menganggapnya sebagai intervensi berlebihan dari pihak Gereja terhadap berbagai bidang kehidupan manusia. 4.2.2 Perbandingan dengan Dokumen Lingkungan Hidup Lain Dihadapkan dengan dokumen lingkungan hidup lain, LS terasa lemah, terutama dalam pedoman untuk aksi. Bahkan, beberapa istilah yang dianggap khas dalam LS sebenarnya mengambil gagasan yang pernah dinyatakan orang lain. Pertanyaan utama LS (“Dunia seperti apa yang ingin kita wariskan kepada keturunan kita, kepada anak-anak yang sekarang sedang bertumbuh?”) yang 159

R.R. Reno, “The Weakness Of Laudato Si’”.

79

terdapat dalam LS 160, pernah diutarakan oleh Yugaratna Srivastha di hadapan PBB September 2009160. Keyakinan bahwa “kurang adalah lebih” yang dikutip Paus Fransiskus dalam LS 222 juga pernah dibahas secara khusus dalam satu bab oleh Al Gore dalam bukunya, Our Choice161. Logika pakai-buang162 yang terdapat dalam LS 123 juga sudah digunakan oleh Majalah Life yang terbit pada bulan Agustus 1955 163 . Kata “integral” dalam konteks solusi juga sudah mulai digunakan oleh Paus Benediktus XVI dalam ensikliknya, Caritas In Veritate164. Begitupun konsep pertobatan ekologis yang sudah mulai diperkenalkan pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II dalam audiensi umumnya pada tanggal 17 Januari 2001

165

. Pembahasan mengenai langkah-langkah praktis dalam

menanggapi krisis ekologis juga lebih banyak ditemukan, misalnya dalam Our Choice karangan Al Gore atau Protokol Kyoto yang dibuat pada tahun 1997, yang dalam pelaksanaannya telah berhasil mengurangi emisi karbon sebanyak 22, 6 %

P. R. John, “Laudato Si: Challenges Faced Today for an Integral Ecology”, Vidyajyoti, Vol. 80, No. 1 (2016):9. Yugaratna Srivastha adalah seorang anak kelas 9 dari Uttar Pradesh. Dia mengatakan, “Dunia macam apa yang akan kalian (para pendahulu) tinggalkan bagi kami, anakanak?” 161 Al Gore, Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim, Kanisius, Yogyakarta, 2010, 258-289. 162 Dalam terjemahan Bahasa Inggris digunakan istilah “use and throw away logic” 163 B. Congsrove, “’Throwaway Living’: When Tossing Out Everything Was All The Rage”, dikutip dari http://time.com/3879873/throwaway-living-when-tossing-it-all-was-all-the-rage/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 9.30 WIB. 164 Paus Benediktus melengkapi judul lengkap ensiklik ini dengan pernyataan “On Integral Human Development In Charity And Truth”. Teks diunduh dari http://w2.vatican.va/content/benedictxvi/en/encyclicals/documents/hf_ben-xvi_enc_20090629_caritas-in-veritate.pdf, 24 Maret 2017 pukul 9.43 WIB. 165 “We must therefore encourage and support the "ecological conversion" which in recent decades has made humanity more sensitive to the catastrophe to which it has been heading”, dikutip dari http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/audiences/2001/documents/hf_jpii_aud_20010117.html, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.47 WIB. 160

80

pada tahun 2012 166 —jauh

melebihi target 5 %— di negara-negara yang

menyetujui protokol ini167. Praktis tidak ada gagasan baru yang ditawarkan oleh LS dalam kaitannya dengan solusi atas masalah ekologis. Menurut penulis, LS lebih merupakan kompilasi dari pemikiran-pemikiran dan solusi-solusi yang terdapat dalam berbagai dokumen lingkungan hidup yang pernah diterbitkan. Sumbangan LS lebih kepada pencerahan spiritualnya sebagai landasan segala gerakan ekologis dan pemaparan berbagai macam solusi yang sebelumnya terdapat dalam dokumen-dokumen terpisah dalam satu tulisan utuh. 4.2.3 Relevansi LS bagi Warga Dunia Terlepas dari munculnya tanggapan buruk tentang LS, tak diragukan lagi bahwa LS merupakan salah satu sumbangan paling penting untuk gerakan ekologis di abad 21 168 . Justru, berbagai reaksi —baik pro maupun kontra— menunjukkan bahwa banyak orang membaca LS dan bahwa efek dari LS telah membawa dampak yang luar biasa, bahkan bagi orang non-kristiani169. Menurut penulis, LS pertama kali membawa dampak dalam topik dialog antaragama. Seperti disebutkan oleh A. Rashed Omar dalam artikelnya, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”, LS menginisiasi Ed King, “Kyoto Protocol: 10 Years of The World’s First Climate Change Treaty”, dikutip dari http://www.climatechangenews.com/2015/02/16/kyoto-protocol-10-years-of-the-worlds-firstclimate-change-treaty/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.06 WIB. 167 Saat ini ada 191 negara dan 1 organisasi integrasi ekonomi regional yang tergabung dalam Protokol Kyoto. Data diperoleh dari http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php. Diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.09 WIB. Teks lengkap Protokol Kyoto dapat diunduh dari https://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf. 168 A. R. Omar, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”, dikutip dari https://sites.nd.edu/contendingmodernities/2015/12/17/a-muslim-response-to-popefranciss-environmental-encyclical-laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.10 WIB. 169 M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”, dikutip dari http://jesc.eu/global-response-tolaudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.13 WIB. 166

81

Rabbinic Letters On Climate Crisis yang ditandatangani 330 rabi pada Juni 2015 dan Islamic Declaration On Global Climate Change yang dikeluarkan di Istanbul pada Agustus 2015 170 . LS bahkan mengundang reaksi, meskipun cenderung negatif, dari kalangan atheis 171 . Hal ini menunjukkan bahwa LS membawa dampak bagi umat beriman lain dan juga umat yang tidak beragama. Tak hanya dari golongan pemimpin agama, LS juga memicu reaksi dari pemimpin dunia. Barack Obama menanggapi secara positif LS dengan mengajak peserta Konferensi Perubahan Iklim di Paris (30 November 2015-12 Desember 2015) untuk “berefleksi bersama atas ajakan Paus Fransiskus akan perawatan terhadap rumah kita bersama” 172 . Hal ini kemudian diafirmasi oleh François Hollande, presiden Prancis, dengan menyatakan bahwa LS akan didengar di seluruh dunia, dan tak hanya oleh mereka yang beriman173. Selanjutnya, LS juga membawa dampak bagi kaum ilmuwan. Banyak jurnal ilmiah internasional (Nature, Science, Nature Climate Change) secara khusus bahkan memberi ruang untuk diskusi tentang LS174. Tanggapan juga muncul dari media di mana beberapa artikel dan reportase secara khusus membahas LS 175 . Menurut penulis, tidak banyak dokumen Gereja yang menuai tanggapan seluas LS. Entah tanggapan tersebut pro atau kontra, hanya menunjukkan bahwa dialog

A. R. Omar, “A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”. Salah satu reaksi yang muncul adalah tulisan V. Abbas dalam http://canadianatheist.com/2015/07/a-short-critique-of-laudato-si/ yang berjudul “A Short Critique On Laudato Si’” yang diunggah pada 24 Juli 2015, tidak lama setelah LS dikeluarkan Paus Fransiskus. Artikel ini antara lain menyebut LS sebagai karya yang “tidak praktis, banyak mengulang-ulang, dan terorganisasi dengan buruk”. 172 M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”. 173 M. Meier, “Global Response To Laudato Si’”. 174 Beberapa tanggapan jurnal ilmiah atas LS termuat dalam artikel M. Meier, “Global Response To Laudato Si’” 175 Beberapa daftar media yang memberikan tanggapan terhadap LS dapat dilihat dalam http://libguides.loras.edu/c.php?g=337751&p=2864455. 170 171

82

yang diharapkan oleh Paus Fransiskus dalam LS 14 sudah mulai terjadi, sekalipun kata sepakat dan aksi nyata yang diharapkan belum banyak terwujud. 4.3 Kesimpulan Tanggapan pro atas LS banyak muncul dari sudut pandang LS sebagai dokumen Gereja. LS dianggap sukses mempromosikan sebuah cara berteologi yang baru dengan bertolak dari pengalaman konkrit dan Kitab Suci, bukan hanya dari doktrin, sejalan dengan spiritualitas Fransiskan yang menjiwainya. LS juga dianggap berhasil memasukkan pemikiran-pemikiran yang kontekstual dan interdisipliner dengan mengutip ajaran dari Konferensi Para Uskup di seluruh dunia dan hasil konferensi ilmiah. Sebaliknya, tanggapan kontra banyak muncul dari sudut pandang LS sebagai dokumen lingkungan hidup. LS dianggap lemah dalam solusi praktis, terutama jika dibandingkan dengan protokol-protokol dan perjanjian internasional mengenai krisis ekologis. Kritikan-kritikan tajam yang diberikan dalam LS, terutama pada sistem ekonomi, politik, dan teknologi juga mudah dipahami sebagai tendensi anti-modernitas —paham yang sesungguhnya tidak relevan dengan perkembangan zaman yang begitu pesat.

83

BAB 5 PENUTUP

Pada harian KOMPAS yang terbit pada Hari Minggu, 2 April 2017, Trias Kuncahyono menulis demikian, “Pemahaman “rumah kita bersama” Indonesia pun terasa semakin tipis. Kerap kali, sekarang ini, terdengar teriakan “rumahku, rumah kami,” bukan “rumahmu, bukan rumah kita””

176

. Beberapa hari

sebelumnya, harian KOMPAS juga memuat berita tentang Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mencabut regulasi iklim. Menurutnya, dia sedang membawa Amerika Serikat pada sebuah era baru dalam produksi energi. Melalui keputusannya ini, Trump kembali membuka tambang-tambang batubara dan membatalkan pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh Barack Obama (presiden Amerika Serikat sebelum Trump) dalam hal produksi minyak. Alasan Trump mencabut regulasi iklim adalah kebijakan lingkungan Obama dirasanya sebagai penyebab hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan177. Dua tulisan tadi sekiranya dapat menjadi bukti bahwa cara pandang terhadap bumi sebagai “rumah bersama yang harus dibangun atas dasar kasih sayang” 178 yang dipromosikan oleh Paus Fransiskus melalui LS belum secara utuh diterima oleh masyarakat luas. Ekologi integral yang ditawarkan oleh LS belum sepenuhnya dipahami, apalagi T. Kuncahyono, “Kalabahi”, Kompas, 2 April 2017, 4. “Trump Cabut Regulasi Iklim”, Kompas, 30 Maret 2017, 10. 178 T. Kuncahyono, “Kalabahi”, 4. 176 177

84

dipratikkan. Oleh karena itu, butuh waktu yang lebih panjang dan perjuangan yang lebih tekun untuk mewartakan gagasan mengenai ekologi integral dalam LS sehingga dapat menjiwai lebih banyak orang di dunia ini. Pada bab terakhir ini, penulis akan menutup karya tulis ini dalam tiga bagian besar, yaitu kesimpulan, relevansi dan tindakan, serta refleksi pribadi. Pada bagian kesimpulan, penulis akan mencoba memberikan kilas balik atas pembahasan yang sudah dibuat dalam karya tulis ini, terutama mengenai akar krisis ekologis, solusi yang ditawarkan Paus, serta beberapa tanggapan kritis yang harus diperhatikan berkaitan dengan LS. Pada bagian relevansi dan tindakan, penulis akan mencoba memaparkan beberapa manfaat yang dapat diambil dari LS, termasuk bagaimana mengimplementasikan gagasan yang terdapat di dalamnya dalam tindakan konkret. Penulis kemudian akan menutup karya tulis ini dengan menuliskan refleksi pribadi, terutama berkaitan dengan proses penulisan karya tulis ini. 5.1 Kesimpulan Krisis ekologis tetap menjadi permasalahan besar yang membutuhkan kerjasama dari seluruh warga dunia, semua disiplin ilmu, dan setiap kebenaran iman untuk dapat mengatasinya. Berbagai macam regulasi dan tindakan praktis tentu saja diperlukan, namun lebih daripada itu adalah suatu spiritualitas baru yang dipengaruhi oleh perubahan cara pandang kita terhadap dunia dan mendasari seluruh tindakan kita. Di sinilah ekologi integral yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus menemukan relevansinya, yaitu bahwa krisis ekologis terjadi karena manusia gagal memiliki cara pandang yang tepat terhadap ciptaan, sehingga diperlukan suatu perubahan cara pandang dan spiritualitas dalam bentuk ekologi integral.

85

Paus Fransiskus mengidentifikasi tiga sebab pokok krisis ekologis, yaitu teknologi, paradigma teknokratis, dan antroposentrisme. Teknologi seringkali dipahami secara tidak tepat, misalnya sebagai sarana untuk memperluas kekuasaan manusia atas ciptaan. Melalui teknologi (yang dikombinasikan dengan ilmu pengetahuan), manusia mencoba untuk menjawab semua pertanyaan mereka mengenai alam semesta dan dengan demikian menguasainya. Padahal, alam semestinya tetap memiliki sisi misteri yang membuat manusia sadar akan keterbatasan rasionya dan menumbuhkan rasa hormat terhadap alam. Keinginan manusia yang sangat besar untuk mengeksplorasi dan mengatur alam semesta pada akhirnya berujung pada ekstrem yang kurang tepat, yaitu eksploitasi dan dominasi. Dua ekstrem tersebut mempengaruhi cara pandang manusia terhadap alam, yaitu hanya sebagai objek pemuas kebutuhan. Cara pandang yang baru ini dinamakan paradigma teknokratis. Dalam iklim ini, perkembangan iptek dan pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang lebih diberi prioritas dibandingkan kelestarian alam. Pada akhirnya, manusia mengklaim diri mereka sendiri sebagai pusat alam semesta. Dengan cara pandang teknokratis dan antroposentristik ini, manusia kehilangan identitasnya sebagai ciptaan dan lupa untuk memusatkan segala pikiran dan perbuatan mereka pada kehendak Tuhan, Sang Pencipta dan Penguasa Sejati. Berhadapan dengan cara pandang yang keliru tersebut, Paus Fransiskus mengusulkan suatu ekologi integral sebagai solusi. Kelupaan manusia akan identitas sejatinya dipulihkan oleh kesadaran akan Yesus sebagai Penebus. Melalui-Nya, segala ciptaan didamaikan dengan Sang Pencipta. Rekonsiliasi ini tercapai dengan suatu pertobatan ekologis, perubahan cara pandang radikal dari

86

yang berpusat pada diri sendiri menuju persaudaraan sejati bersama seluruh ciptaan dengan Tuhan sebagai Bapa. Inilah dimensi vertikal dari ekologi integral. Spiritualitas baru inilah yang akan membawa manusia pada tindakan-tindakan konkret untuk melestarikan ciptaan. Tindakan-tindakan ini diharapkan meliputi berbagai macam aspek dan menyentuh banyak disiplin ilmu, yang didasari oleh kesadaran akan interkonektivitas semua unsur di alam, bukan hanya dalam tataran logis, namun juga dalam tataran spiritual sebagai saudara sepenciptaan. Kesadaran akan fakta bahwa semua unsur di alam saling mempengaruhi ini mensyaratkan adanya dialog yang baik, baik itu antara manusia dengan sesamanya, antara satu ilmu dengan ilmu yang lain, dan antara ilmu-ilmu dengan agama. Sebagai sebuah dokumen Gereja yang kaya akan pencerahan, LS tetap tidak dapat luput dari tanggapan kritis. Memang LS unggul sebagai dokumen Gereja, terutama atas upayanya merangkul berbagai macam jawaban yang diberikan ilmu pengetahuan dan agama berkaitan dengan krisis ekologis dalam bingkai kekayaan Gereja yang lama terlupakan: spiritualitas Fransiskan. Namun, dengan rendah hati kita tetap harus membaca dokumen lingkungan hidup yang lain sebagai pedoman untuk langkah-langkah konkret dan praktis dalam mengupayakan gerakan ekologis. Di sini, porsi iman dan rasio harus seimbang, sehingga semua solusi ilmiah mendapat pendasaran spiritual yang cukup dan spiritualitas mengalami perwujudannya dalam berbagai macam tindakan konkret. Skripsi ini mengambil judul “Melihat Krisis Ekologis melalui Kacamata Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’”, dan memang sumbangan terbesar LS bagi pembacanya adalah perubahan cara pandang. Cara pandang terhadap alam diperbaharui dengan terang spiritualitas Fransiskan, yang menyatukan semua

87

ciptaan sebagai saudara dengan Allah sebagai Bapa. Cara pandang terhadap krisis ekologis pun diubah, dengan tidak hanya meihat krisis ekologis hanya sebagai permasalahan lingkungan hidup, melainkan juga melihatnya dalam konteks interkonektivitas, di mana kepentingan ekonomi, politik, dan juga teknologi berperan di dalamnya. Perubahan cara pandang inilah yang pertama-tama diharapkan oleh Paus Fransiskus, sehingga kemudian seluruh spiritualitas dan tindakan konkrit yang kita lakukan untuk merawat dan memelihara alam dimulai oleh cara pandang kita yang benar terhadap alam. 5.2 Relevansi dan Tindakan LS membuka mata kita bahwa krisis ekologis yang terjadi sekarang disebabkan oleh banyak faktor dan membawa dampak pada berbagai macam aspek kehidupan. Maka, untuk dapat mengimplementasikan gagasan yang terdapat dalam LS, tidak cukup hanya menyangkut tindakan konkret. Sebelum mencapai perwujudan dalam hal-hal praktis, gagasan dalam LS harus terlebih dahulu diterapkan dalam tataran kognitif dan spiritual-religius. Secara kognitif, fakta mengenai keterkaitan antara semua unsur yang terdapat di alam harus membawa kita kepada pemahaman yang lebih luas mengenai alam semesta. Mereka yang berkehendak untuk mengimplementasikan LS akan terdorong untuk mempelajari lebih banyak ilmu. Memahami krisis ekologis tidak dapat lagi hanya dilakukan dalam sudut pandang biologis, namun juga ekonomis, teologis, filosofis, dan sebagainya. Bahkan, tidak hanya mempelajari, LS justru menuntut pembacanya untuk mendialogkan ilmu-ilmu yang dipelajari tersebut. Dengan demikian, suatu cara pandang dan pemahaman

88

yang lebih utuh akan krisis ekologis akan lebih menyeluruh karena dilaksanakan dalam konteks interkonektivitas dan interdisiplinaritas. Secara spiritual-religius, LS mengarahkan kita pada pentingnya membangun suatu spiritualitas yang berangkat dari kesadaran kita akan interkonektivitas yang ditemui di alam. Spiritualitas ini adalah jembatan antara pemahaman dan tindakan konkret kita. LS menawarkan secara eksplisit satu spiritualitas, yaitu spiritualitas Fransiskan untuk membingkai segala cara pandang dan upaya kita dalam menjaga kelestarian alam. Alam dilihat sebagai saudara sepenciptaan, sehingga tidak dimungkinkan manusia memperlakukannya secara semena-mena. Satu-satunya kepentingan yang boleh diberi ruang adalah kehendak Allah, yang hanya dapat dipahami lewat penebusan Yesus dan penyertaan Roh Kudus. Ilmu-ilmu yang dipelajari tidak cukup apabila tidak disertai dan didialogkan dengan iman. Menarik, memang, bahwa kelestarian ekologis juga tergantung dari seberapa besar kita mengusahakan kedekatan dengan Allah: membaca Kitab Suci, merayakan Ekaristi dan sakramen-sakramen lain, berdoa untuk kelestarian alam semesta. Baru setelah menerapkan ekologi integral dalam tataran kognitif dan spiritual-religius, kita dituntut untuk mewujudkannya dalam tindakan konkret. Oleh karena spiritualitas Fransiskan memandang sesama ciptaan sebagai saudara, tindakan ekologis paling mudah diterapkan jika dimulai dari keluarga. Setiap keluarga dapat merumuskan tindakan-tindakan ekologis yang diinisiasi oleh kepala keluarga dan disepakati oleh seluruh anggota keluarga. Kesadaran untuk merawat rumah dan keluarga kita masing-masing dalam kasih sayang akan mendorong kita untuk melakukan hal yang sama pada rumah dan keluarga kita yang lebih besar: bumi dan seluruh ciptaan.

89

5.3 Refleksi Penulis mengawali penulisan karya tulis ini dengan ekspektasi tinggi, yaitu menemukan solusi yang radikal dan spektakuler dalam menangani krisis ekologis. Mungkin suatu paham baru, atau sekadar mengkompilasi berbagai macam solusi dalam sebuah istilah baru yang akan mengubah dunia. Namun, dalam pengerjaannya, penulis justru semakin dibawa pada kesadaran bahwa solusi yang penulis cari justru ditemukan dalam hal yang paling sederhana dan paling pribadi: mengubah cara pandang terhadap dunia. LS mengajak pembacanya bukan pertama-tama untuk membuat perubahan besar bagi dunia, namun justru untuk kembali melihat ke dalam diri sendiri dan relasi manusia dengan Tuhan. Tindakan-tindakan besar tidak akan bertahan lama jika tidak dimulai dari kematangan rasio dan kedalaman batin. Paus Fransiskus mengajak pembaca LS untuk melihat hubungan mereka dengan pribadi-pribadi yang paling dekat dengan mereka, yaitu dengan Tuhan dan dengan keluarga mereka. Kunci untuk ekologi integral adalah kasih: kasih yang mendasari tindakan Allah dalam penciptaan, kasih yang mempersatukan anggota keluarga, kasih yang “tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang” (Mat 18:14). Kehilangan salah seorang dari anggota keluarga selalu membawa duka yang mendalam bagi anggota keluarga yang lain. Itulah yang sebenarnya terjadi saat satu spesies punah atau satu ekosistem rusak. Lebih menyesakkan dari itu adalah ketika salah satu anggota keluarga tega melukai anggota keluarga lain atau merusak rumah yang menjadi tempat tinggal secara sengaja. Adakah manusia sejahat itu sehingga membiarkan kerusakan lingkungan terus terjadi? Rumah dan

90

anggota keluarga macam apa yang akan dialami oleh generasi penerus kita apabila sejak sekarang kita biasa untuk melukai dan merusak anggota keluarga dan rumah kita tanpa merasa bersalah? Yesus bersabda, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Bumi, rumah dan saudara kita bersama, kini sedang menderita dan ditelantarkan. Jeritannya tidak didengar oleh kita yang lebih memilih untuk mendengarkan bisikan nafsu. Maka, sesungguhnya dengan merawat bumi, kita memuliakan Allah, Bapa seluruh ciptaan. Implikasi dari pandangan ini di zaman sekarang adalah bahwa menyembah Allah tidak dapat dilakukan hanya di rumah ibadat. Dengan menyadari bahwa ada Allah ada di dalam semua ciptaan, kita pun terbantu untuk melanjutkan ibadat yang kita lakukan di rumah ibadat di kehidupan sehari-hari dengan menjaga dan melestarikan alam, ciptaan-Nya dan saudara kita. Inilah motivasi paling luhur dari gerakan ekologis, yaitu bahwa segala tindakan perawatan kita terhadap alam adalah ibadah yang kita lakukan untuk menyembah dan memuliakan Allah. Maka, di sisi lain, segala bentuk perusakan kita terhadap alam merupakan dosa besar yang melukai hubungan kita dengan Allah. Dalam konteks ini, penebangan satu batang pohon tidak lebih benar daripada pembunuhan seorang manusia. Dengan demikian, seluruh gerakan ekologis yang gencar dilakukan di hari-hari ini perlu dibingkai dalam kerangka pertobatan dan rekonsiliasi ekologis atas dosa yang telah kita lakukan terhadap alam. “Terpujilah Engkau” adalah terjemahan langsung atas frasa “Laudato Si’”. Hal ini memiliki makna yang sangat mendalam dan mengandung konsekuensi

91

yang tidak ringan. Segala macam usaha kita untuk melestarikan alam sebenarnya tidak lain merupakan usaha kita untuk memuji, menghormati, serta mengabdi Allah, yang merupakan tujuan manusia diciptakan dan sarana keselamatan jiwanya. Manusia tidak diciptakan untuk mengeksplorasi alam demi kepentingan dirinya sendiri. Keselamatan jiwa manusia juga tidak ditentukan dari seberapa besar kekayaan yang diperoleh dari memanfaatkan alam. Kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi tidak akan ada artinya apabila Allah tidak dimuliakan. Bagaimana mungkin kita lebih mendengarkan ‘bisikan nafsu’ kita daripada ‘jeritan bumi’ dan ‘jeritan orang miskin’? LS adalah curahan hati seorang paus, seorang pemimpin agama dengan pengikut terbesar di dunia, namun juga sebagai seorang pribadi yang terluka oleh karena lingkungan hidup yang ada dalam status krisis. Ajakan beliau jelas, yaitu agar kita bersedia meluangkan waktu untuk memikirkan perawatan mengenai rumah kita bersama. “Apa yang dapat kaulakukan untuk saudaramu yang paling hina dan menderita —bumi, orang miskin, dan lingkungan yang rusak— ini? Apa yang dapat kaulakukan untuk-Nya?” adalah pertanyaan yang tersirat dari Paus Fransiskus dalam LS. Semoga kita dapat segera mengusahakan apa yang perlu dan penting untuk terjaminnya keberlangsungan rumah dan anggota keluarga kita, sehingga bersama dengan Santo Fransiskus Asisi —santo pelindung ekologi yang namanya dipilih oleh Paus Fransiskus— kita dapat memuji, “Laudato Si’, mi’ Signore! Terpujilah Engkau, Tuhanku!”.

92

DAFTAR PUSTAKA A. Dokumen Fransiskus, 2015

Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, Obor, Jakarta

Konferensi Waligereja Indonesia, 2016

Kitab Hukum Kanonik, Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta.

B. Buku Bakker, A., 1995

Kosmologi & Ekologi, Kanisius, Yogyakarta.

Bertens, K. 1993

Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Collins, G. O., & E. G. Farrugia, 1996

Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta

Dane-Drummond, C., 1999

Teologi & Ekologi: Buku Pegangan, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

93

Florisan, Y. M., Dkk. (penerjemah), 2009

Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Penerbit Ledalero, Maumere.

Gore, Al, 2010

Our Choice: Rencana untuk Memecahkan Krisis Iklim, Kanisius, Yogyakarta.

Guardini, R., 1957

The End of The Modern World, Sheed & Ward, London.

Hadiwardoyo, Al. Purwa, 2006

7 Masalah Sosial Aktual, Kanisius, Yogyakarta

Keck, L. E., Dkk. (editor), 1994

The New Interpreter’s Bible Volume I, Abingdon Press, Nashville.

Knitter, P. F., 2004

Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-agama dan Tanggung Jawab Global, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Kusmaryanto, C.B., 2015

Bioetika, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Lembaga Alkitab Indonesia,

94

2001

Alkitab Deuterokanonika (terjemahan tahun 1974), Lembaga Biblika Indonesia, Jakarta.

Mangunhardjana, A., 1997

Isme Isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, Yogyakarta.

Martasudjita, E., 2003

Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.

2005

Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius, Yogyakarta.

Supardan (editor), 1991

Ilmu, Teknologi, dan Etika, PT BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Weiman, R., 1978

Common Usage Dictionary, Avenell Books, New York.

Poerwadarminta, WJS, 1976

Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.

1968

Longman’s English Larousse, Harlow & London.

___,

95

___, ___

UUD ’45, diunduh dari https://www.kpi.go.id/download/regulasi/ UUD%201945.pdf pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.

___, 1967

New Catholic Encyclopedia Volume V, The Catholic University of America, Washington D. C..

___, 2005

Encyclopedia of Christian Theology Volume II, Routledge.

C. Artikel, Majalah, dan Koran Abbas, V., 2015

“A Short Critique On Laudato Si’”, diunduh dari http://canadianatheist.com/2015/07/a-short-critique-of-laudato-si/

Burton, I., Dkk., 2016

Adaptation to Climate Change: International Policy Options, PEW Center on Global Climate Change, diunduh dari https://www.c2es.org/docUploads/PEW_ Adaptation.pdf, pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

Cahyono, A., 2016

“Ekaristi: Rekonsiliasi dengan Alam Ciptaan”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5.

96

Congsrove, Ben, ___

“’Throwaway Living’: When Tossing Out Everything Was All The Rage”, dikutip dari http://time.com/3879873/throwaway-livingwhen-tossing-it-all-was-all-the-rage/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 9.30 WIB

Cornish, S., 2015

“Laudato Si’: Making The Connections”, Asian Horizons, Vol. 9 No. 4.

Dohut, J., 2016

“Eco Camp dan Pendidikan Nilai Berbasis Lingkungan Hidup”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5.

Firmansyah, A, 1999

“Penafsiran Pasal 33 UUD 1945 dalam Membangun Perekonomian di Indonesia”, Syiar Hukum, Vol. 13 No. 1, diunduh dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=356422&val= 5644&title=PENAFSIRAN%20PASAL%2033%20UUD%201945 %20DALAM%20MEMBANGUN%20PEREKONOMIAN%20DI %20INDONESIA pada 2 Maret 2017 pukul 17.30 WIB.

Gions, F.,

97

2016

“Kesalehan Ekologis & Laudato Si’”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 1.

Gregg, S., ___

“Laudato Si’: Well Intentioned, Economically Flawed”, dikutip dari https://spectator.org/63160_laudato-si-well-intentionedeconomically-flawed/, diakses pada 23 Maret 2017, pukul 18.53 WIB.

Hornell, D. G., 2016

“Yesus dan Ibu Bumi: Injil dan Ekologi”, Gita Sang Surya, Vol. 11 No. 5.

John, P. R., 2016

“Laudato Si: Challenges Faced Today for an Integral Ecology”, Vidyajyoti, Vol. 80, No. 1

King, Ed, ___

“Kyoto Protocol: 10 Years of The World’s First Climate Change Treaty”, dikutip dari http://www.climatechangenews.com/2015/02/16/kyoto-protocol10-years-of-the-worlds-first-climate-change-treaty/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.06 WIB.

98

Kuncahyono, T. 2017

“Kalabahi”, Kompas.

Meier, M., ___

“Global Response To Laudato Si’”, dikutip dari http://jesc.eu/global-response-to-laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.13 WIB.

Mena, A., ___

“Infallible? Informal? How Binding Is The New Encyclical On Catholics?”, diunduh dari http://www.catholicnewsagency.com/news/infallible-informalhow-binding-is-the-new-encyclical-on-catholics-24963/, pada 21 Maret 2017 pukul 21.04 WIB.

Mills, M. A., “Is Pope Francis Anti-Modern?”, diunduh dari http://www.thenewatlantis.com/publications/is-pope-francis-antimodern, diakses pada 10 April 2017 pukul 21.12 WIB.

Moltmann, J., 2011

“A Common Earth Religion: World Religions from an Ecological Perspective”, The Ecumenical Review, Vol. 63 No. 1.

99

Naugle, D., ___

“The Cosmic Christ Of Colossians: A Study Of Colossians 1:1523” diunduh dari http://www3.dbu.edu/naugle/pdf/Colossians1.1523.pdf, pada 25 Maret 2017 pukul 11.12 WIB.

Omar, A. R., ___

“A Muslim Response To Pope Francis’ Environmental Encyclical: Laudato Si’”, dikutip dari https://sites.nd.edu/contendingmodernities/2015/12/17/a-muslimresponse-to-pope-franciss-environmental-encyclical-laudato-si/, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 18.10 WIB.

Pidyarto, H. 1996

“Alkitab dan Ekologi”, Umat Katolik Indonesia dalam Pembangunan Bangsa, Dioma, Malang.

Reno, R.R., ___

“The Weakness Of Laudato Si’”, dikutip dari https://www.firstthings.com/web-exclusives/2015/07/theweakness-of-laudato-si, diakses pada 23 Maret 2017 pukul 18.45 WIB

Song, C.,

100

___

“Types Of Papal Documents”, diunduh dari http://library.athenaeum.edu/c.php?g=30820&p=193150 pada 21 Maret 2017 pukul 20.35 WIB.

Suhartini, 2009

“Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan”, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, diunduh dari http://eprints.uny.ac.id/12149/1/Bio_Suhartini2%20UNY.pdf, pada 4 Maret 2017 pukul 11.30 WIB.

Udu, Y. D., 2005

“Implikasi Ekologis dari Kristologi Bonaventura terhadap Cara Pandang Orang Kristen dalam Melihat Alam”, Diskursus Vol. 37 No. 2.

Utina, R., 2012

“Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo”, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke- 21, diunduh dari http://repository.ung.ac.id/get/simlit_res/4/7/Kecerdasan-Ekologis-

101

Dalam-Kearifan-Lokal-Masyarakat-Bajo-Desa-Torosiaje-ProvinsiGorontalo.pdf pada 25 Maret 2017 pukul 11.35 WIB.

White Jr., L., 1967

“The Historical Roots of Our Ecological Crisis”, Science, Vol. 155 No. 3767.

Wilfried, F., 2015

“Theological Significance Of Laudato Si”, Vidyajyoti, Vol. 79 No. 9.

Woi, A., 2008

“Manusia dan Lingkungan dalam Persekutuan Ciptaan”, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta.

___, 2017

“Trump Cabut Regulasi Iklim”, Kompas.

D. Internet http://w2.vatican.va/content/ paul-vi/en/apost_letters/documents/hf_pvi_apl_19710514_octogesima-adveniens.html, diunduh pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB.

102

http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jpii_enc_01051991_ centesimus-annus.html, diunduh pada 2 Desember 2016 pukul 9.54 WIB.

http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jpii_enc_14091981_laborem-exercens.html, diunduh pada 3 Desember 2016, pukul 9.45 WIB.

http://w2.vatican.va/content/francesco/en/homilies/2013/documents/papafrancesco_20130319_omelia-inizio-pontificato.html, diakses pada 22 Maret 2017 pukul 22.05 WIB.

http://w2.vatican.va/content/benedict-xvi/en/encyclicals/documents/hf_benxvi_enc_20090629_caritas-in-veritate.pdf, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 9.43 WIB.

http://w2.vatican.va/content/francesco/it/encyclicals/documents/papafrancesco_20150524_enciclica-laudato-si.html.

http://www.usccb.org/issues-and-action/human-life-anddignity/environment/upload/pope-francis-encyclical-themes.pdf, diunduh pada 5 Desember 2016 pukul 9.25 WIB.

103

http://www.usccb.org/beliefs-and-teachings/what-we-believe/catholic-socialteaching/seven-themes-of-catholic-social-teaching.cfm, diakses pada 22 Maret 2017, pukul 11.15 WIB.

http://unfccc.int/2860.php, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

http://unfccc.int/kyoto_protocol/status_of_ratification/items/2613.php, diakses pada 24 Maret 2017 pukul 10.09 WIB.

https://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.pdf.

http://palaugov.pw/.

http://www.thinkinghumanity.com/2014/04/socrates-the-test-of-three.html

http://archeparchy.ca/wcm-docs/docs/catechism-of-the-catholic-church.pdf, diunduh pada 7 Februari 2017, pukul 18.30 WIB.

http://internetbiblecollege.net/Lessons/Repentance.pdf, diunduh pada 27 Februari 2017 pukul 18.30 WIB.

https://www.cbd.int/secretariat/, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

http://www2.unccd.int/, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.30 WIB.

104

https://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasilkonferensi-perubahan-iklim, diakses pada 1 Maret 2017 pukul 21.38 WIB.

http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_99.htm, diakses pada 3 Maret 2017 pukul 10.00 WIB.

http://www.etymonline.com/index.php?term=encyclical, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.30 WIB.

http://www.papalencyclicals.net/, diakses pada 21 Maret 2017 pukul 20.47 WIB.

http://libguides.loras.edu/c.php?g=337751&p=2864455.

Related Documents


More Documents from "Cristhian Piero Zamora Carbajal"