CERPEN
NATALIA Natalia mengenal, bahkan mulai menggunakan Hand Phone sejak kecil. Oleh kedua orang tuanya, ia dibelikan Hand Phone agar mereka bisa memantaunya sewaktuwaktu ia meninggalkan rumah, pergi ke sekolah atau bermain bersama teman-teman sebayanya. Orang tuanya tak ingin kehilangan komunikasi dengannya. Maklum, ia lahir dan dibesarkan dalam Keluarga yang kaya raya. Apa pun yang ia minta kepada orang tuanya, pasti diberikan tanpa banyak alasan. Hal tersebut membuat Natalia terbiasa memakai Hand Phone hingga kini, sebagai Mahasiswi Fakultas Kedokteran di Universitas Brawijaya Malang. Baginya, sehari tanpa memegang HP, rasa-rasanya hidup ini garing, tak berarti. Ibarat makanan yang tak diberi garam. Tawar, rasanya. Seluk-beluk yang berhuhungan dengan Hand Phone dikuasainya dengan baik. Hand Phone sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Hand Phone yang dimilikinya pun berganti-ganti merk, mulai dari yang biasa sampai yang dilengkapi kamera, blue tooth dan banyak macamnya lagi yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang awam. Dalam sebulan ia bisa ganti HP sampai dua-tiga kali. Dikalangan teman-teman sejurusannya, ia adalah anak yang kaya dan pintar. Punya, mobil. Pergaulannya pun bebas, semenjak mengenal banyak teman di Kampusnya. “ Natalia.” Panggil bundanya, suatu pagi, dari dalam dapur. “ Iya, bunda.” Sahut Natalia, sambil mengutak-atik tombol Hpnya di atas sofa, di dalam kamar tidur. “ Ada apa bunda ?” Tanya Natalia, saat mendekat. Imelda, bundanya, berhenti sejenak dari aktivitasnya, menatap wajah putrinya. “ Siap-siap untuk ke Gereja sama ayah dan bunda.” Kata Bundanya. “ Sekarang ? Misa pagi ?” Tukas Natalia. “ Iya. Kenapa ?” Sambung Bundanya. “ Aku ke Gereja sore saja, bunda. Lagian pagi-pagi begini tak ada anak muda yang ikut misa. Malas, misa sama orang-orang tua. Membosankan.” Tukas Natalia, sambil melihat ke layar Hpnya.
“ Lagian, aku sudah janjian sama teman-teman, untuk ikut misa sore.” Tambahnya. “ Ikut sama Ayah dan Bunda sekalian, nak. Kan bagus. Malah aku dan ayahmu senang sekali.” Kata bundanya membujuk. “ Bunda, aku bosan misa bersama orang-orang tua. Apalagi mendengar kotbah Pastor tua yang sangat panjang, dan membosankan itu. Mendingan aku misa bareng teman-teman kuliahku saja. Kan rame. Bisa ngobrol bareng.” Tukas Natalia, sambil memasang head set ke telinganya. Imelda memandang putrinya lama., menarik napas panjang. “ Natalia, Natalia. Sejak kuliah, kamu berubah seratus persen.” Kata bundanya dengan hati yang kesal. Dulu, sejak SD sampai SMA Natalia biasa pergi ke Gereja bersama Ayah dan Bundanya, tapi sejak kulaih kebiasaan itu mulai surut. “ Dulukan aku masih kecil. Sekarang aku sudah besar. Sudah saatnya aku mandiri, mengurus diri sendiri untuk hal-hal seperti; ke Gereja, berdoa dan lain-lain.” “ Aku tidak mau ikut sama ayah dan bunda.” Tambahnya, mengakhiri perkataannya. “ Nak..” Imelda tak dapat melanjutkan perkataannya karena Natalia telah meninggalaknnya, mengurus HPnya yang sedang berdering. Imelda melanjutkan aktivitasnya di Dapur sendirian, setelah itu menyiapkan diri, dan pergi ke gereja bersama suaminya, untuk mengikuti perayaan ekaristi. Setelah misa selesai Imelda dan suaminya masih berdoa di depan Patung Bunda Maria, sebelum kembali ke rumah. “ Bunda Maria, berkatilah keluarga kami, agar menjadi keluarga Katolik rukun, damai dan bersatu-padu. Tuntunlah anak kami, agar tumbuh menjadi anak yang baik.” Kata Imelda dalam doanya. “ Pak, semenjak kuliah Natalia berubah total. Ia yang dulu penurut, sopan, kini hilang semuanya. Ia menjadi semakin brandal, dan liar. Ke gereja saja harus ada ramenya, ada teman-temannya. Lantas tidak bisa menghayati misteri ekaristi yang adalah pusat kehidupan kita.” Tukas Imelda, saat dalam perjelanan pulang ke rumah. “ Iya, bapak juga melihat hal yang sama pada dirinya, saat ini.” Tukas David, menanggapi pembicaraan Imelda.
“ Lalu, apa yang harus kita lakukan, pak ? Aku khawatir, masa depan anak kita akan hancur.” Tukas Imelda. “ Kita harus berusaha menyadarkannya kembali ke jalan yang benar, sebagaimana yang kita harapkan sejak ia masih kecil. Mendidiknya menjadi anak katolik yang benarbenar katolik, mampu menghayati nilai-nilai cinta kasih dalam hidupnya.” Tukas David sambil membanting setir mobilnya ke sebelah kiri. “ Apa yang kita tanamkan dalam dirinya sejak kecil, ternyata sia-sia.” Tukas Imelda, matanya kelihatan memerah, dan air matanya hampir gugur membasahi pipinya. “ Kita tidak boleh menyerah. Ini merupakan suatu ujian dari Tuhan bagi keluarga kita. Kita juga mesti banyak berdoa, agar anak kita selalu dituntun, disadarkan dari sikap dan perbuatannnya yang jelek.” Tukas David. “ Iya, pak. Aku yakin dan percaya, bahwa Tuhan akan selalu mengidahkan setiap permohonan kita pada-Nya.” *** Ijen, 2009 Pukul 18.00. Gereja Katolik St.Perawan Maria dari Gunung Karmel, Malang, sudah dipenuhi oleh umat, yang kebanyakan adalah Pelajar dan Mahasiswa. Semua bangku hampir penuh, hanya saja beberapa bangku di barisan belakang, yang masih kelihatan kosong. Koster Gereja nampak sibuk menyiapkan perlengkapan misa di atas Altar. Sedang di luar Gereja, Para Tukang Parkir sibuk mengatur kendaraan Umat yang baru saja datang. Natalia sudah siap-siap untuk berangkat ke Gereja. Ia pun telah menelpon temanteman sekomplotannya. Ia berdandan rapi, berpakaian mini dan seksi. Hpnya diisi dalam tas kecil yang dihiasi manik-manik kecil yang berkilau. Bau parfum meliputi seluruh rumah saat ia keluar dari kamar. “ Nat, kok baru berangkat ? Inikan sudah terlambat.” Kata bundanya yang sedang duduk nonton TV. “ Ya, yang penting bisa hadir, Bunda.” Tukas Natalia, kemudian pergi meninggalkan rumah. David, ayahnya sedang keluar mengurus usahanya.
“ Natalia, Natalia.” Tukas Imelda dalam hati sambil memandang putrinya yang berjalan membelakanginya. Mobil yang dikendarai Natalia perlahan melintasi Jalan Ijen, Malang, yang padat kendaraan. Di depan Gereja beberapa teman Natalia sudah berdiri menunggu, sedang musik, dan nyanyian koor sudah melantunkan nyanyian kemuliaan. “ Tunggu saja, di depan Gereja, aku hampir tiba.” Kata Natalia kepada Anita melalui HP, sambil menyetir mobilnya. “ Maaf, agak telat.” Tukas Natalia ketika tiba. “ Ayo, masuk.” Tukas Angel. Ketiganya lalu masuk ke dalam Gereja. Mereka duduk di bangku paling belakang. Beberapa cowok yang duduk di bangku bagian belakang memandang mereka dengan senyum, ada yang memainkan alis matanya. Mereka pun membalas senyuman cowok-cowok itu dengan genit. Perayaan misa telah memasuki Liturgi Ekaristi. Romo, Herminus, O Carm menyiapkan persembahan, diiringi nyanyian yang meriah oleh koor lingkungan St. Monika. “ Jalan-jalan ke Matos setelah misa, bagaimana ?” Kata Natalia kepada Angel dan Anita yang duduk di samping kiri dan kanannya. “ Ok.” Sahut keduanya serempak. Seorang ibu yang duduk di depan mereka merasa terganggu sekali dengan percakapan mereka. Konsekrasi pun tiba. Rm. Herminus mengambil Roti, dan Anggur, lalu mengucap syukur dan berkata. “ Inilah Tubuhku yang dikurbankan bagimu. Inilah darahku yang ditumpahkan bagimu.” Telepon genggam Natalia tiba-tiba berdering, ketika Rm. Herminus sedang mengulangi perkataan Yesus, saat merayakan perjamuan terakhir sebelum kematian-Nya. Ia mengambil Hpnya dan melihat kira-kira siapa yang menelpon. Ternyata itu telpon dari Ariel, cowoknya. Ia cepat-cepat keluar dari Gereja dan berbicara dengan Ariel. “ Telpon dari siapa tu ? Ehem....” Tanya Angel setelah Natalia masuk kembali ke dalam Gereja. “ Biasa, cowok cakep yang itu tu..!!!” Tukas Natalia. “ Pasti, Ariel.” Sambung Anita. “ Iya, donk.” Sahutnya polos.
Ibu yang duduk di depan mereka, menoleh dan berpur-pura batuk. Ketiganya diam tiba-tiba. Mata mereka kini diarahkan ke Altar. Ketiganya ikut menyanyikan lagu bapak kami, setelah itu saling menyalami satu terhadap yang lain. Merekan pun ikut menerima komuni. Ibu Tua itu menggeleng-gelengkan kepala melihat mereka. “ Bisa-bisanya mereka ikut menerima Tubuh dan Darah Kristus. Sudah datang terlambat, tidak serius mengikuti misa. Apa sih, arti Tubuh dan Darah Kristus bagi mereka ? Apakah seperti Roti biasa yang mereka beli di toko ?” Tukas ibu itu dalam hatinya. *** “ Boson, tinggal di rumah terus seperti ini.” Tukas Natalia dalam hati, suatu malam, sambil Chatting melalui Hpnya, di atas tempat tidur. “ Mendingan jalan-jalan ke Mall, sama Ariel.” Pikirnya beberapa saat kemudian. Dari luar terdengar suara bundanya memanggil. “ Natalia.” Suara Bundanya keras sekali. “ Mengganggu saja.” Tukasnya, lalu keluar menemui Bundanya. “ Ada apa, Bunda ?” Tanya Natalia, kepada Bundanya. “ Bantu Bunda, siapkan menu makan malam.” Sahut Bundanya. “ Iya, bunda.” Kata dengan berat hati. “ Hpmu disimpan dulu.” “ Iya, bunda.” David baru saja pulang dari kerjanya. Wajahnya sedikit pucat karena banyak beraktivitas. Di atas meja makan, Natalai dan bundanya telah menyajikan makanan. Aroma sedap tercium di seluruh ruangan. David yang menciumnya ingin cepat-cepat mencicipinya. “ Panggil ayah untuk makan. Ayah pasti lapar sekali.” Natalia menurti perintah Bundanya. Aroma hidangan itu membuat air liur meleleh, dan membangkitkan nafsu makan. David menuju meja makan setelah mengganti pakainnya. “ Natalia, pimpin doa makan.” Kata David kepada putrinya. “ Bunda saja, ayah.” Sela Natalia. “ Natalia, kamukan sudah mahasiswa. Kok tidak bisa pimpin doa ?” Kata Imelda dengan suara yang agak keras.
“ Iya, bunda.” “ Marilah kita berdoa. Ya Tuhan.....” “ Amin.” Mereka mulai mencicipi hidangan yang telah tersedia di atas meja. Nasi putih, ikan goreng, sayur urap, dan daging ayam kering. Lezat sekali. Natalia makan dengan lahapnya. Ia menghabiskan dua piring malam itu. “ Natalia, besok malam jangan kemana-mama, karena ada doa di rumah kita.” Kata bundanya kepadanya. “ Besok malam temanku berulang tahun, jadi aku harus menghadiri acaranya. Lagian, aku sudah janjian sama teman-teman kelasku.” Kata Natalia, setelah menelan makanan ke dalam perutnya. “ Cuma sekali ini saja, nak. Kamu kan bisa mengucapkan salam lewat telpon, dan kadomu diberikan sesudah acaranya saja.” “ Tidak bisa, bunda. Aku harus hadir, lagian dia itu teman baikku di kampus. Apa katanya jika aku tidak hadir.” Ibunya diam mendengar kata-kata putrinya. “ Natalia, kamu sekarang berubah seratus persen. Sikap dan tingkah lakumu tidak seperti dulu, sejak kecil. Ayah melihat, kamu bukanlah Natalia yang dulu. Sebenarnya apa yang membuat kamu berubah ?” Sambung ayahnya. “ Rasanya, aku tetap kayak yang dulu, kok ?” Sela Natalia. “ Coba ingat kembali masa-masa kecilmu dulu, mulai kecil hingga SMA.” Kata ayahnya lagi. Ketika SD dan SMA, Natalia sering menjadi misdinar, rajin ke Gereja bersama Ayah dan Bundanya, rajin mengikuti doa di Lingkungan. Tapi semuanya kini berubah seratus delapan puluh derajat, karena pengaruh pergaulannya dengan dunia luar. “ Capek memikir masa lalu, ayah. Lebih baik memikirkan masa depan, ketimbang memikir masa lalu.” Tukas Natalia. “ Dunia sekarang sudah berubah, ayah.” Tambahnya. “ Natalia, Natalia, ayah dan bunda berharap agar kamu tetap menjadi seperti yang dulu. Ramah, penuh cinta. Rajin berdoa, menjadi misdinar. Boleh mengikuti zaman tapi, jangan ia membuatmu melupakan siapa dirimu yang sebenarnya.” Kata ayahnya, sedikit tersenyum.
“ Janganlah kamu menggantung hidupmu pada kekayaan yang kita miliki. Barang-barang yang ayah belikan untukmu bukan untuk dipuja, dijadikan dewa yang mengusai hidupmu.” Tambah ayahnya. Telinga Natalia rasanya mau pecah mendengar perkataan ayahnya itu. “ Cukup ayah, aku bosan dengar semuanya itu.” Kata Natalia membantah. “ Natalia, jangan berkata begitu. Ayah dan Bunda tak pernah mendidikmu, untuk berbuat seperti itu. Ingat, kamu adalah satu-satu anak kesayangan Ayah dan Bunda. Tiada yang lain yang kami harapkan, selain kamu.” Kata bundanya. “ Iya, iya..aku tahu..sudalah, aku mau selesaikan tugasku.” Sela Natalia lalu pergi mininggalkan kedua orang tuanya. “ Hari gini, berdoa ? Mendingan senang-senang sama teman-temanku. Atau chattingan dengan kenalan-kenalanku.” Katanya setelah sampai di dalam kamar. “ Kita serahkan saja semuanya pada Tuhan.” Kata Imelda kepada suaminya. “ Iya sayang. Mudah-mudahan ia sadar suatu hari nanti.” Kata David kepada istrinya. *** Natalia stres berat karena diputusi pacarnya. Ia nekat untuk bunuh diri, karena merasa tak berguna, tak berati di mata Ariel, kekasih hatinya. “ Apa sih yang kurang dariku ? Orang tuaku kaya. Aku cantik. Penampilanku menarik. Seksi.” Natalia menagis dalam kamarnya. “ Ariel, apa salahku ?” Katanya kepada Ariel melalui telpon. Ia menagis tersedusedu. Mau mati saja, rasanya. Suara tangisannya didengar oleh ayah dan bundanya. Mereka berusaha mengetuk pintu, tapi ia tidak membukanya. “ Aku rela berikan apa saja yang kamu mau, asalkan kita tetap pacaran. Please, Ariel. Please.” “ Pokoknya kita putus.” Kata Ariel, lalu mematikan telponya. Malam itu ia tidak makan. Segala sesuatu terasa hampa baginya. Hidup ini tidak berati apa-apa baginya. Keesokan harinya, Natalia pergi ke kampus, mengendarai mobil yang dibelikan ayahnya untuknya. Hari ini ia sangat ngebut, ketimbang hari-hari sebelumnya. Dan memang, ia belum pernah mengendarai mobil, sengebut hari ini. Saking ngebutnya ia tak
bisa menahan kendali, ketika melewati tikungan. Ditabraknya sebuah pohon di pinggar jalam. Kaca mobilnya hancur. Serpihan kaca mobil mengenai sebagian mukanya hingga berdarah. Ia pingsang, tak berdaya. Seketika itu juga Ambulnce membawanya ke Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar. Ia baru sadar ketika para perawat membersihkan mukanya yang berdarah. “ Ayah. Bunda. Dimana, aku ?” Natalia menjerit kesakitan. Imelda tidak menahan air mata melihat kejadian yang menimpa putrinya itu. “ Ayah. Bunda. Dimama kamu ?” Imelda mengusap tangan putrinya, sedang para Perawat memberi obat pada luka-lukanya. “ Aya, dan Bunda ada di sisimu, nak.” Tukas Bundanya. “ Jangan tinggalkan aku. Aku takut.” Suara jeritannya makin keras. Baru pertama kali Natalia merasakan hal seperti itu. Natalia berada di rumah sakit selama lima hari, setelah luka-lukanya sembuh. *** Hari seudah senja. Matahari perlahan menuruni bukit-bukit. Merah jinga terukir di awan-awan. Indah. Indah sekali. Natalia duduk sendiri di taman depan rumah, sambil memandangi bunga-bunga yang tumbuh dan bermekaran. Dipandangnya dua kumtum yang Mawar masih segar. Ia mendekat dan memetik kedua kumtum itu, lalu diciumnya. Tak satu kata pun yang muncul di benaknya, selain kebisuan. Ia berbuat mengikuti kata, dan dorongan hatinya. Setelah Matahari terbenam ia masuk ke dalam rumahnya. Didapati bundanya sedang duduk menyulam di depan TV. Ia mendekat hingga rapat dengan Bundanya. “ Bunda.” Katanya singkat. “ Anakku.” Kata Bundanya. “ Maafkan aku, bunda. Aku sudah membuat Ayah dan Bunda terluka. Selama ini aku sudah jauh berjalan, dari diriku yang sebenarnya.” Tukasnya dengan senyum yang tulus, setulus dan seindah dua kembang yang ia genggang. “ Bunda, ternyata semuanya yang aku lakukan selama ini sia-sia. Dan kekayaan yang ayah berikan kepadaku pun sia-sia. Tak berarti apa-apa. Semuanya fana belaka. Semuanya tak senilai dengan cinta kasih, kedamaian, dan persaudaraan.”
“ Iya, nak. Semua itu benar. Bunda tahu, apa yang kamu katakan bukanlah berasal dari diri kamu sendiri, melainkan dari Tuhan sendiri, yang telah menghantarmu kembali ke padang rumput dan sungai keabadian.” “ Aku tak tahu mengapa, sekarang hati damai dan tenang setiap kali menyambut Hosti kudus, dalam perayaan ekaristi.” “ Bunda senang, dan bahagia sekali melihatmu hari ini. Doa bunda selama ini tidak sia-sia.” Tambah Bundanya, dengan senyum yang tulus. Natalia pun membalas senyuman Bundanya. “ Bunda.” “ Iya, nak.” “ Aku sangat mencintaimu.” “ Bunda juga sangat mencintaimu.” “ Ayah juga.” Tambah Bundanya. Keduanya lalu berpelukan satu sama lain, saling merangkul, membagi kehangatan dan cinta. Mulai hari itu Natalia berubah menjadi seperti dirinya yang dulu. Segala benda yang diberikan ayahnya, digunakan sebagai alat untuk menunjang hidupnya. HP yang ia miliki dijadikan sebagai sarana komunikasi, dalam mengembangkan imannya, membagi kabar gembira Kristus.