SKRIPSI
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA NGABEN NYEBRANG TUKAD DI BANJAR TEGALAMBENGAN DESA SUDIMARA KABUPATEN TABANAN (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)
GUSTI PUTU NILA DEWI
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA FAKULTAS DHARMA ACARYA INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR 2019
SKRIPSI
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA NGABEN NYEBRANG TUKAD DI BANJAR TEGALAMBENGAN DESA SUDIMARA KABUPATEN TABANAN (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Diajukan Keapada Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu Program Studi Pendidikan Agama Hindu
GUSTI PUTU NILA DEWI 15.1.1.1.1.052
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA FAKULTAS DHARMA ACARYA INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR 2019
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA NGABEN NYEBRANG TUKAD DI BANJAR TEGALAMBENGAN DESA SUDIMARA KABUPATEN TABANAN
TELAH DIPERIKSA DAN DISETUJUI UNTUK DI UJI OLEH :
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Si Luh Nyoman Seriadi, S.Pd.,S.Ag. M.Pd Drs. I Nengah Sumantra, M.Ag NIP. 19641231 200312 2 020 NIP. 19641231 199203 1 041
ii
SKRIPSI PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA NGABEN NYEBRANG TUKAD DI BANJAR TEGALAMBENGAN DESA SUDIMARA KABUPATEN TABANAN Diajukan Oleh : GUSTI PUTU NILA DEWI 15.1.1.1.1.052 Telah Dipertahankan Di Depan Dewan Penguji Pada Tanggal dan Dinyatakan Telah Lulus Serta Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Hindu
Susunan Dewan Penguji
Ketua Ujian
Dr.Si Luh Nyoman S.Pd.,S.Ag.,M.Pd NIP. 19641231 200312 2 020
Seriadi,
Sekretaris Ujian
Drs. I Nengah Sumantra, M.Ag NIP. 19641231 199203 1 041 Anggota
Penguji Utama
Penguji pendamping
Dr. Ni Komang Sutriyanti, S.Ag.,M.Pd.H NIP. 19830912 200604 2 002
IdaAyu Adi Armini, S.Ag.,M.Ag NIP. 19840119 200912 2 003 Mengetahui
Dekan Fakultas Dharma Acarya
Ketua Jurusan
Dr. Drs. I Wayan Sugita, M.Si NIP. 19650508 199403 1 006
Dra. Ni Wayan Arini, M.Ag NIP.19671107 199503 2 001
iii
MOTTO Tad widdhi pranipatena pariprasena sewaya Upadeksyanti te jnanam jnaninas tatwa-darsinah ‘Belajarlah, dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan; orang-orang bijaksana yang telah melihat kebenaran mengajarmu dalam ilmu pengetahuan’. Bhagavad Gita IV.34 “Hidup adalah perjuangan, maka berjuanglah ! Jangan berputus asa”.
iv
KATA PERSEMBAHAN KARYA TULIS INI KUPERSEMBAHKAN KEPADA: 1. Sebagai wujud rasa bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. 2. Kedua orangtuaku (Gusti Putu Darmayasa (Alm) dan Gusti Made Ancini) tercinta
serta
mertuaku
yang
senantiasa
memberikan
doa
dan
dukungannya. 3. Suamiku I Made Ari Nara Aswina yang telah memberikan dukungan materi, doa dan semangat dalam penyusunan karya tulis ini. 4. Saudaraku (Gst. Ngrh. Kt. Yoga Sentanu) yang telah banyak membantu, serta teman-teman seperjuangan Pendidikan Agama Hindu yang selalu memberi motivasi. 5. Masyarakat Banjar Tegalambengan, dan para informan yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian. 6. Seluruh Dosen dan Staff Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar 7. Almamater Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang saya banggakan.
v
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan karya tulis yang berjudul “Persepsi Masyarakat
Terhadap
Upacara
Ngaben
Nyebrang
Tukad
di
Banjar
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)”, beserta isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan dan mengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.
Denpasar, Maret 2019 Yang membuat pernyataan
Gusti Putu Nila Dewi NIM. 15.1.1.1.1.052
vi
KATA PENGANTAR Om Swastyastu, Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, hanya atas asung kerta wara nugraha-Nya, skripsi yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)” dapat terselesaikan. Tersusunnya karya tulis ini adalah berkat dan dukungan berbagai pihak, maka melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada: 1.
Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si, Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah memberikan dukungan fasilitas selama kuliah dan dukungan moril.
2.
Dr. Drs. I Wayan Sugita, M.Si, Dekan Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar yang telah memberikan dukungan fasilitas dan bimbingan kelancaran penyusunan skripsi ini.
3.
Dra. Ni Wayan Arini, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Hindu Fakultas Dharma Acarya yang memberikan dukungan fasilitas selama penyusunan skripisi ini.
4.
Si Luh Nyoman Seriadi, S.Pd, S.Ag, M.Pd, Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Drs. I Nengah Sumantra, M. Ag, Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
vii
6.
Para Informan yang telah banyak memberikan berbagai informasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Hasil penelitian ini jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan
yang ada pada penulis, sehingga kritik dan saran yang konstuktif guna kesempurnaan penelitian ini sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini. Om Santih, Santih, Santih, Om
Denpasar, Maret 2019
Penulis
viii
ABSTRAK PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP UPACARA NGABEN NYEBRANG TUKAD DI BANJAR TEGALAMBENGAN DESA SUDIMARA KABUPATEN TABANAN GUSTI PUTU NILA DEWI Program Studi Pendidikan Agama Hindu Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar E.mail:
[email protected] Pengamalan umat Hindu di Bali terhadap ajaran agamanya, dengan jelas dapat dilihat melalui pelaksanaan upacara Yajna. Dalam melaksanakan Yajna umat Hindu mengenal adanya ajaran Panca Yajna, Upacara Ngaben termasuk kedalam upacara Pitra Yajna. Tradisi upacara Ngaben di Bali, dilakukan pada setiap orang yang telah meninggal dunia oleh prestisentana atau keturunannya sebagai pembayaran hutang (Rna) terhadap orang tua atau leluhurnya untuk mengembalikan jasad dan arwahnya ke sumbernya masing-masing. Dalam pelaksanaan upacara Ngaben masyarakat Hindu di Bali banyak terdapat tradisi lokal yang dalam bentuk dan prosesi pelaksanaannya memiliki banyak perbedaan, serta keunikan tersendiri yang dikemas dan diterapkan sesuai dengan adat istiadat setempat. Seperti dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Adapun masalah yang akan dibahas antara lain (1) Bagaimana prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan; (2) Nilai-nilai Pendidikan apa saja yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan, (3) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan; (2) Nilai-nilai Pendidikan yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan; (3) Persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Teori yang digunakan untuk menganalisis masalah adalah : teori Religi dari Durkheim, teori Nilai dari Koentjaraningrat, dan teori Persepsi dari Festinger. Metode pengumpulan data adalah observasi, wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. Teknik analisis data adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan mempergunakan suatu metode analisis data tertentu sehingga memperoleh kesimpulan sempurna melalui langkah-langkah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan (1) Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan termasuk ke dalam ix
upacara Ngaben Numandang Mantri/Ngelanus. Prosesi upacaranya sebagai berikut: (a) Persiapan ngaben; (b) upacara memandikan jenasah; (c) mencari dewasa ngaben; (d) pelaksanaan ngaben; (e) nganyut; (f) Upacara ngerorasin/memukur, (g) nganyut; (h) ngelinggihang Dewa Pitara. Nilai-nilai Pendidikan yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan adalah: (a) Nilai religius adalah tingkah laku manusia untuk mencapai kesempurnaan lahir bathin; (b) Nilai etika adalah sikap saling menghormati antar sesama; (c) Nilai estetika adalah unsur seni atau keindahan yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad. Persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan menyatakan bahwa upacara Ngaben Nyebrang Tukad memang sudah tradisi turun temurun dan bisa dikatakan unik. Masyarakat warga Banjar Tegalambengan tidak begitu mempermasalahkan prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad tersebut, karena memang sudah menjadi suatu kebiasaan atau tradisi sehingga upacara ngaben ini harus dilalui dan memang harus demikian keadaannya. Meskipun ada kendala saat menuju ke setra, karena harus menyebrangi sungai, namun masyarakat dengan penuh semangat dan suka cita melaksanakan upacara ngaben tersebut sebagai sebuah yadnya dan wujud bhakti pretisentana terhadap orang tua atau leluhurnya.
Kata kunci: Persepsi, Masyarakat, Ngaben Nyebrang Tukad
x
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ............................................................. iii MOTTO ................................................................................................................ iv KATA PERSEMBAHAN ......................................................................................v PERNYATAAN .................................................................................................... vi KATAPENGANTAR .......................................................................................... vii ABSTRAK ............................................................................................................ ix DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xv DAFTAR GRAPIK ............................................................................................ xvi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................1
1.1
Latar Belakang Masalah ...............................................................................1
1.2
Rumusan Masalah ........................................................................................7
1.3
Tujuan Penelitian..........................................................................................7
1.4
1.3.1
Tujuan Umum ...............................................................................7
1.3.2
Tujuan Khusus ..............................................................................8
Manfaat Penelitian........................................................................................8 1.4.1
Manfaat Teoretis..........................................................................8
xi
1.4.2 BAB II
Manfaat Praktis............................................................................9 KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI ..............................10
2.1
Kajian Pustaka ...........................................................................................10
2.2
Konsep .......................................................................................................16
2.3
2.2.1
Persepsi Masyarakat..................................................................17
2.2.2
Upacara Ngaben Nyebrang Tukad ............................................18
2.2.3
Perspektif Pendidikan Agama Hindu ........................................21
Teori ..........................................................................................................25 2.3.1 Teori Religi ......................................................................................26 2.3.2 Teori Nilai ........................................................................................27 2.3.3 Teori Persepsi ...................................................................................29
BAB III
METODE PENELITIAN ...............................................................31
3.1
Jenis dan Pendekatan Penelitian ................................................................31
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian.....................................................................32
3.3
Jenis dan Sumber Data ..............................................................................33
3.4
Teknik Penentuan Informan ......................................................................35
3.5
Metode Pengumpulan Data .......................................................................36
3.6
Teknik Analisis Data .................................................................................40
BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..............................................................................43
4.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian.........................................................43 4.1.1
Sejarah Desa Sudimara ................................................................43
4.1.2
Letak Geografis Desa Sudimara ..................................................45
xii
4.2
4.1.3
Keadaan Kependudukan Desa Sudimara .....................................47
4.1.4
Struktur Pemerintahan Desa Sudimara ........................................51
4.1.5
Struktur Pengurus Adat Banjar Tegalambengan ..........................52
Prosesi Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan............................53
4.3
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan .......................................................89 4.3.1 Nilai Religius ...............................................................................90 4.3.2 Nilai Etika ....................................................................................95 4.3.3 Nilai Estetika ................................................................................97
4.4
Persepsi masyarakat terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan ..................................................................................98
BAB V
PENUTUP......................................................................................104
5.1
Simpulan ................................................................................................104
5.2
Saran-saran .............................................................................................105
DAFTAR RUJUKAN LAMPIRAN ........................................................................................................107 DAFTAR WAWANCARA ................................................................................110 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..........................................................................111
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Luas Wilayah Desa Sudimara Menurut Penggunaan .............................46 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa Sudimar ...........................................................48 Tabel 4.3 Penduduk Desa Berdasarkan Agama .....................................................48 Tabel 4.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Sudimara ........................................49 Tabel 4.5 Pendidikan di Desa Sudimara ................................................................50
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Desa Sudimara....................................................................................47 Gambar 1.2 Upacara memandikan jenasah ............................................................69 Gambar 1.3 Sanggah Penyawangan ......................................................................79 Gambar 1.4 Upacara Ngaben Nyebrang Tukad .....................................................81 Gambar 1.5 Upacara Pembakaran Jenasah ............................................................83 Gambar 1.6 Upacara Nganyut ................................................................................85
xv
DAFTAR GRAPIK
Grapik 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Sudimara ...............................................51 Grapik 4.2 Struktur Pengurus Adat Banjar Adat Tegalambengan ........................52
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Daftar Informan ...................................................................................107
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pengamalan umat Hindu di Bali terhadap ajaran agamanya, dengan jelas
dapat dilihat melalui pelaksanaan-pelaksanaan upacaranya. Dalam konteks ini harus disadari betapa pentingnya upacara agama, karena upacara agama ritual merupakan bagian dari Tri Kerangka Agama Hindu. arena ciri utama orang beragama adalah percaya dan Bhakti kepada Tuhan. Kalau hanya Bhakti dan percaya pada Tuhan sebagai syarat beragama belumlah cukup. Bagaimana agar kepercayaan dan Bhakti kepada Tuhan itu membawa seseorang pada peningkatan kualitas diri dalam kehidupan individu maupun sosial. Salah satu makna beragama adalah dapat menimbulkan sikap untuk siap beryadnya demi kepentingan dharma. Kepentingan dharma itu adalah berpegangan pada kebenaran, berbuat kebajikan, pada sesama dan taat pada kewajiban masingmasing. Upacara Yajna merupakan kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yajna adalah salah satu penyangga bumi. Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa Weda. Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yadnya terus menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Demikian pula Yadnya adalah pusat terciptanya alam semesta atau Bhuwana Agung seperti diuraikan dalam kitab Yajur Weda. Wiana (2006:30) menguraikan bahwa melakukan Yadnya bukanlah berarti melaksanakan upacara agama belaka.
1
2
Beryajna artinya berkorban dengan berbagai hal dengan niat suci dan tulus ikhlas seperti halnya mengorbankan perasaan demi kepentingan bersama yang merupakan kesadaran Yadnya tertinggi. Apalagi pengorbanan tersebut dapat menimbulkan dampak yang baik. Yadnya merupakan suatu bentuk kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai umat manusia khususnya umat Hindu, karena Tuhan menciptakan alam semesta beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka manusia harus memelihara dan mengembangkan dirinya juga atas dasar Yadnya sebagai jalan untuk berbhakti dan mengabdikan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Yadnya merupakan suatu korban suci secara tulus ikhlas yang di dalam umat Hindu meyakini bahwa pada setiap kelahirannya ke dunia dikatakan terikat hutang (Rna). Oleh sebab itu wajib hukumnya bagi setiap umat Hindu untuk membayar hutang-hutang (Rna) tersebut dengan menyelenggarakan Yadnya. Hutang atau Rna yang diyakini oleh umat Hindu tersebut dapat dibayar melalui Tri Rna. Tri Rna merupakan tiga hutang yang harus dibayar melalui yadnya baik itu upacara maupun perbuatan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeka, (1989:11) menyatakan bahwa Tri Rna berarti tiga macam hutang budi, yaitu: (1) Hutang jiwa kepada Ida Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan dan menghidupkan manusia dengan segala isinya, (2) Hutang hidup kepada Leluhur terutama Ibu dan Bapak yang telah melahirkan dan membesarkan sampai dewasa, (3) Hutang jasa kepada para Maha Rsi, Guru yang telah berjasa dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kerokhanian, seni budaya, tuntunan hidup suci, dan sebagainya.
3
Dalam melaksanakan Yajna umat Hindu mengenal adanya ajaran Panca Yadnya, yang terdiri dari lima bagian, yaitu: Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusa Yadnya (Tim Penyusun, 1995: 49-54). Adapun bagian-bagiannya, sebagai berikut: 1.
Dewa Yadnya merupakan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi dan seluruh manifestasinya yang diwujudkan dengan bermacam-macam bentuk upakara. Bhakti ini bertujuan untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Tuhan yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya.
2.
Pitra Yadnya merupakan persembahan suci kepada leluhur. Pitra Yadnya juga berarti penghormatan baik pemeliharaan ketika ia masih hidup maupun penyelenggaraan upacara setelah kematian.
3.
Rsi Yadnya merupakan persembahan suci atau sedekah kepada para pendeta atau para pemimpin upacara keagamaan. Persembahan ini dapat dilakukan pada saat pendeta menyelesaikan suatu upacara Yadnya.
4.
Bhuta Yadnya merupakan persembahan yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Tujuan dari upacara Bhuta Yadnya adalah untuk memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar Beliau memberikan kekuatan lahir dan bathin, serta menyucikan kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.
5.
Manusa Yadnya merupakan korban suci yang memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin manusia mulai dari sejak terbentuknya jasmani di dalam kandungan sampai pada akhir hidup manusia. Dengan
4
pembersihan tersebut manusia dapat berpikir, berkata dan berbuat yang baik dan benar. Upacara Ngaben termasuk kedalam upacara Pitra Yadnya. Dalam Lontar Sundarigama dan Lontar Lokha Tattwa, disebutkan ada 5 jenis ngaben berdasarkan tingkatan upacara, sebagai berikut: (1) Sawa Preteka; (2) Sawa Wedana; (3) Pranawa; (4) Swasta; dan (5) Pitra Yajna. Sedangkan dilihat dari keadaan jenasah ngaben dapat dibagi menjadi 3 bagian, antara lain: (1) Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenasah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu). Sebagai obyek dari pengabenan ini adalah jenasah utuh dari beliau yang telah meninggal dunia; (2) Ngaben Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenasah yang pernah dikubur; (3) Swasta adalah upacara ngaben terhadap mayat yang tidak mungkin ditemukan lagi, sehingga mayat diwujudkan dengan adegan (badan lain) berupa ilalang, air dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena bencana alam, peperangan, pesawat jatuh, dan sebagainya (Pasek Swastika, 2008: 9-10). Upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan termasuk jenis ngaben sawa wedana dan jika dilihat dari segi pelaksanaannya termasuk ngaben ngelanus, yakni upacara ngaben yang dilaksanakan langsung setelah seseorang dikatakan meninggal dunia diupacarai ngaben oleh keluarganya sendiri-sendiri secara individual. Tradisi upacara Ngaben di Bali, dilakukan pada setiap orang yang telah meninggal dunia oleh prestisentana atau keturunannya sebagai pembayaran hutang terhadap orang tua atau leluhurnya (Pitra Rna) untuk mengembalikan jasad dan arwahnya ke sumbernya masing-masing (Arwati, 2006: 1). Ngaben
5
selalu diidentikkan dengan membakar mayat atau jenazah (layon) yang fungsinya untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Butha (lima unsur zat alam) yaitu Akasa (ether atau ruang), Bayu (hawa dan udara), Teja (api), Apah (air) dan Perthiwi (tanah). Titib (2003: 435) menguraikan bahwa pemujaan kepada leluhur dapat dilakukan ketika mereka masih hidup dan meninggal dunia. Leluhur di dalam bahasa Sanskerta disebut Pitr (Pitra) yang artinya leluhur, ibu, bapak para leluhur yang sudah meninggal seperti bapak, kakek, kumpi ke atas dan yang lainnya adalah leluhur yang menjadi asal dari seluruh umat manusia. Pemujaan kepada leluhur
dapat dilakukan ketika yang bersangkutan masih hidup, misalnya
memberi penghormatan, mengikuti perintah atau petunjuknya, memberikan perawatan ketika sakit, yang intinya memberikan kebahagiaan kepadanya. Ketika orang tua atau leluhur meninggal dunia, maka kepada yang bersangkutan dilakukan upacara Pitra Yadnya (Ngaben). Dalam pelaksanaan upacara ngaben masyarakat Hindu di Bali disesuaikan dengan desa, kala, patra yaitu tempat, waktu, dan keadaan setempat. Hal ini karena banyak terdapat tradisi lokal yang dalam bentuk dan prosesi pelaksanaannya memiliki banyak perbedaan, serta keunikan tersendiri yang dikemas dan diterapkan sesuai dengan adat istiadat setempat. Seperti dalam upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Dikatakan demikian, karena pelaksanaan ngaben di tempat ini harus dengan menyebrangi sungai terlebih dahulu untuk sampai di Setra. Hal ini dilakukan karena lokasi Setra yang berada di seberang sungai, sehingga
6
membuat
warga
harus
melintasi
sungai
terlebih
dahulu
setiap
kali
menyelenggarakan pengabenan atau melakukan aktifitas apapun di Setra. Pada saat warga membawa jempana dengan menyeberangi sungai, para kaum laki-laki akan menceburkan diri ke dalam sungai dan akan memberikan support dengan menyiprat-nyipratkan air sungai kearah warga lainnya maupun ke arah jempana yang diiringi gamelan baleganjur. Hal ini dilakukan warga sebagai bentuk pemberian semangat ketika menyebrangi sungai. Sejak jaman dahulu pelaksanaan upacara pengabenan berlangsung dengan lancar, meskipun harus menyebrangi sungai yang arusnya cukup deras jika musim penghujan tiba. Hal tersebut dipercaya tak terlepas dari unsur sekala niskala, sehingga sebelum warga masyarakat menyebrangi sungai, terlebih dahulu dilaksanakan upacara mapikeling pada pelinggih penyawangan yang berada di tepi sungai. Demikian pula letak Setra Banjar Tegalambengan yang berada pada pertemuan tiga buah sungai (campuhan), sehingga bagi masyarakat Banjar Tegalambengan, sungai (campuhan) tersebut dianggap suci dan dipercaya memiliki kekuatan magis untuk mengobati penyakit serta membersihkan tubuh lahir dan bathin. Biasanya pada hari-hari tertentu, seperti purnama, tilem dan hari suci lainnya akan banyak orang yang melukat di campuhan tersebut. Sampai saat ini masyarakat Banjar Tegalambengan masih melaksanakan upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini sebagai sebuah tradisi turun temurun dari leluhur yang perlu untuk dilestarikan. Dengan keunikan tersebut sehingga peneliti merasa tertarik untuk mengungkapkan sesuai dengan batas kemampuan peneliti, melalui karya ilmiah yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara
7
Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana
prosesi
upacara
Ngben
Nyebrang
Tukad
di
Banjar
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan? 2.
Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan?
3.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan?
1.3
Tujuan Penelitian Setiap orang yang melakukan penelitian pasti mempunyai suatu tujuan
yang ingin dicapai. Demikian pula dengan penelitian yang dilaksanakan ini memiliki beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan ini adalah untuk mengembangkan bidang Pendidikan Agama Hindu yang berasal dari Upacara Sakral di Bali, serta untuk menyebarluaskan, memperkenalkan, dan melestarikan upacara-upacara yadnya yang selama ini masih merupakan ciri khas Desa tertentu kepada masyarakat luas, dan membuka sikap serta pandangan yang
8
lebih luas tentang upacara yadnya. Karena upakara dan upacara yang mempunyai hubungan erat dengan pendidikan moral atau susila maupun filsafat, ini merupakan hal yang sangat perlu ditingkatkan. Dan dengan terpeliharanya ajaranajaran agama serta ajaran-ajaran budi pekerti, etika yang berdasarkan kitab suci sehingga budaya Bali akan tetap lestari. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari hasil penelitian yang diperoleh nantinya adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui prosesi dari upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan.
2.
Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan.
3.
Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan.
1.4
Manfaat Penelitian Melalui pelaksanaan penelitian ini, diharapkan hasil-hasilnya dapat
memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.4.1
Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan agama Hindu terutama yang berkaitan dengan upacara Pitra Yajna bagi masyarakat Hindu pada umumnya, serta untuk mengembangkan ilmu
9
pengetahuan dan meningkatkan pemahaman ajaran-ajaran agama pada khususnya. Selain itu penelitian ini di harapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenis di tempat lain. 1.4.2 Manfaat praktis Dengan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis, yaitu: 1.
Bagi generasi muda penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman belajar serta sebagai pedoman untuk menggali nilai-nilai yang terdapat dalam pelaksanaan upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan.
2.
Bagi masyarakat Banjar Tegalambengan penelitian ini diharapkan sebagai acuan dalam memperkenalkan keunikan upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini kepada masyarakat luas, serta penelitian ini diharapkan dapat menjadi batu loncatan kepada pemerintah sebagai dasar kebijakan, agar memberikan perhatian terhadap tradisi local genius dalam hal pelestarian budaya.
3.
Bagi Lembaga Desa bermanfaat sebagai pedoman dalam memperkenalkan keunikan tradisi Ngaben Nyebrang Tukad ini kepada masyarakat luas.
4.
Bagi peneliti bermanfaat untuk mendapatkan gambaran umum tentang lokasi penelitian, prosesi upacara, persepsi masyarakat, serta nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu dari penelitian yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan” serta memberikan pengetahuan dan wawasan berpikir.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI
2.1
Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah kegiatan yang meliputi mencari, membaca, dan
menelaah laporan-laporan penelitian dan bahan pustaka, seperti buku, jurnal, artikel, skripsi dan karya ilmiah yang memuat teori-teori yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan (Toha Anggoro, dkk, 2007, hlm. 2.2). Iskandar (2009: 100), menyatakan bahwa kajian pustaka literatur perlu dilakukan untuk menguasai teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Penelitian tidak mungkin dilakukan dengan baik tanpa orientasi pendahuluan yang bersumber kepada literatur yang berhubungan dengan penelitian. Salah satu yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian kualitatif adalah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat dalam literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian. Kajian pustaka sangat penting dalam suatu penelitian, karena tanpa mengkaji isi sumber pustaka yang erat kaitannya dengan masalah yang ditelitinya, seorang peneliti tidak akan mempunyai landasan yang kuat untuk melaksanakan penelitian. Sehingga kajian pustaka secara fokus menguraikan hasil temuan penulis-penulis terdahulu yang ada hubungannya dengan topik penelitian yang sedang dilakukan. Wiwik (2017) penelitian yang berjudul “Persepsi Umat Hindu Terhadap Keberadaan Krematorium Santhayana Denpasar Bali” menguraikan bahwa upacara ngaben memiliki fungsi yang sangat penting, karena upacara ngaben
10
11
merupakan suatu bentuk penghormatan dari anak yang suputra kepada orang tuanya yang telah meninggal. Dalam mewujudkan penghormatan terakhir tersebut jenasah (layon) dan agar lima unsur zat yang terdapat pada jenasah dapat kembali ke asalnya, maka harus dilakukan upacara pembakaran atau ngaben. Pelaksanaan ngaben dikaitkan dengan kecenderungan masyarakat yang mengedepankan efisiensi dan efektifitas, ngaben dengan sistem krematorium adalah sebagai alternatif atau terobosan masalah dalam menyikapi kasus-kasus adat dan faktor ekonomi umat Hindu dalam melaksanakan upacara ngaben masyarakat di Bali. Adapun persamaan penelitian Wiwik dengan penelitian yang dilaksanakan adalah sama-sama membahas tentang upacara ngaben yang meminimalisasi dana serta waktu yang tersedia. Dimana peneliti meneliti tentang ngaben nyebrang tukad yang termasuk ngaben ngelanus adalah upacara pengabenan yang dilaksanakan secara langsung, dimana jenasah setelah meniggal langsung diupacarai ngaben. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokasi penelitian dan masalah penelitian. Penelitian Wiwik membahas tentang upacara ngaben di Krematorium
Santhayana Denpasar, sedangkan peneliti membahas tentang
upacara ngaben konvensional, yaitu tradisi ngaben yang sudah berlangsung turun temurun di suatu wilayah Banjar Adat, yaitu upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Dari persamaan dan perbedaan diatas maka penelitian Wiwik memberikan kontribusi tentang prosesi upacara ngaben yang memberikan efisiensi dari segi ekonomi maupun waktu, tanpa mengurangi makna dari setiap rangkaian upacara di krematorium.
12
Sumiasih (2017) penelitian yang berjudul “Upacara Ngaben Mesabitan” di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli menguraikan tentang upacara ngaben yang dilakukan di setiap daerah memiliki arti dan tata cara pelaksanaannya tersendiri sesuai dengan lokal dresta. Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan adalah membahas tentang upacara ngaben, sedangkan pada rumusan masalah sama-sama membahas tentang nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada upacara ngaben. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada masalah penelitian tentang bentuk ngaben, pada penelitian Sumiasih membahas tentang upacara ngaben untuk anak yang belum tanggal gigi atau meninggal di dalam kandungan (keguguran). Sedangkan peneliti membahas tentang upacara ngaben pada umumnya dengan fenomenanya. Penelitan Sumiasih memberikan kontribusi tentang pandangan serta tata cara pelaksanaan upacara Ngaben yang berbeda di setiap daerah di Bali, disesuaikan dengan local dresta dan hanya berlaku di daerah tersebut. Bestiari (2014) dalam penelitian berjudul “Upacara Ngaben Soroh Nyuung di Desa Adat Abianbase, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar (Perspektif Pendidikan Agama Hindu)” menguraikan bahwa upacara ngaben Soroh Nyuung merupakan upacara pengabenan yang dilaksanakan oleh soroh atau keturunan Nyuung untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke alam asalnya masing-masing. Adapun persamaan penelitian Bestiari dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama membahas tentang upacara ngaben, makna dan fungsi ngaben.
13
Perbedaan dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah , penelitian Bestiari meneliti tentang upacara ngaben yang dilaksanakan bardasarkan soroh atau wangsa atau keturunan yang terdapat di Desa Adat Kerobokan, sedangkan peneliti membahas upacara ngaben masyarakat banjar Tegalambengan secara umum tidak berdasarkan soroh. Dari persamaan dan perbedaan diatas maka penelitian Bestiari memberikan kontribusi tentang tentang definisi, fungsi, prosesi upacara, serta nilai-nilai pendidikan dalam upacara ngaben, dimana setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing. Swastiyani (2018) dalam penelitiannya “Ngaben Soroh Dukuh di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) menguraikan bahwa upacara Ngaben Soroh Dukuh merupakan upacara Pitra Yajna yang dilaksanakan oleh Soroh Dukuh di Desa Kerobokan untuk mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta di alam ini dan mengembalikan atma ke alam Pitara dengan memutuskan keterikatannya dengan badan manusia. Adapun persamaan penelitian Swastiyani dengan penelitian yang dilaksanakan sama-sama membahas upacara ngaben dan maknanya. Perbedaann penelitian Swastiyani dengan penelitian yang sedang dilakukan adalah penelitian Swastiyani meneliti tentang upacara ngaben yang dilaksanakan bardasarkan soroh atau wangsa atau keturunan, yaitu soroh Dukuh. Sedangkan peneliti membahas upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan yang tidak memandang soroh atau wangsa. Kontribusi penelitian Swastiyani dengan penelitian yang
14
dilakukan adalah memberikan gambaran tentang upacara ngaben sesuai dengan lokal dresta daerah setempat. Atmadja, dkk. (2015) dalam buku berjudul “Ngaben+Memukur + Tubuh + Api + Uparengga + Mantra = Dewa Pitara + Surga membahas tentang Ngaben dan Memukur adalah upakara untuk menyucikan dan mengembalikan unsur-unsur pembentuk tubuh fisikal, yakni Panca Maha Bhuta ke asalnya, yakni alam semesta (makrokosmos). Dijelaskan pula bersamaan dengan itu maka roh pun dilepaskan hubungannya dengan tubuh fisikal, lalu disucikan dan dinaikkan statusnya menjadi Dewa Pitara (Dewa Hyang). Buku ini membantu penulis dalam hal memahami pelaksanaan upacara Ngaben dengan ditambah upacara memukur atau ngerorasin.. Upacara Ngaben disebut Sawa Wedana adalah merituali tubuh sebagai mayat atau sawa, sedangkan memukur disebut atma wedana adalah mengupacarai atma atau roh agar kembali ke asalnya, yakni Paraatma (Ida Sang Hyang Widhi). Pemayun (2016) dalam bukunya yang berjudul Upacara Ngaben. Menjelaskan tentang sejarah, makna, tujuan dan proses upacara Ngaben secara umum. Dalam bukunya juga di bahas tentang Tirta Pengentas dan Padewasan Upacara Ngaben. Buku ini memberikan memberikan gambaran tentang tahapan upacara ngaben, dewasa ngaben dan tirta yang digunakan pada saat pengabenan. Ida Rsi Bhujangga Wainawa Putra Sara Shri Satya Jyoti (2016) dalam buku berjudul “Upacara Ngaben Pranawa” membahas tentang makna, bentuk upacara Ngaben serta etika atau pedoman dalam melaksanakan upacara Ngaben sesuai dengan sumbernya bukan berdasakan tradisi nak mule kto. Buku ini
15
memberikan kontribusi dalam pelaksanaan upacara ngaben yang berkualitas sesuai filsafat, bukan berdasarkan tradisi yang hanya mengedepankan unsur kuantitasnya saja. Ida Rsi Bhujangga Wainawa Putra Sara Shri Satya Jyoti (2015) dalam buku berjudul “Pedoman Tatacara Upacara Ngajum Kajang dan Pamrasan dalam Upacara Ngaben” membahas tentang tahapan acara atau bagian penting dari upacara Ngaben, terutama yang dibahas dalam buku ini adalah ngajum kajang, ngaskara, dan pamrasan. Buku ini memberikan gambaran dalam hal pelaksanaan upacara Ngaben, dimana dalam pelaksanaan upacara Ngaben ada tahapan-tahapan upacara yang harus dilaksanakann sebelum jenazah dilakukan upacara pembakaran (ngaben) di Setra. Drs. I Ketut Pasek Swastika (2009) dalam bukunya yang berjudul “Pitra Puja Ngaben Lan Nyekah Memukur“ menguraikan tentang pedoman dalam melakukan Puja Pitra, dijelaskan juga tentang Ngaben Numandang Mantri atau Ngaben Ngelanus, yakni upacara pengabenan yang dilaksanakan secara langsung tanpa jeda waktu mulai dari pembakaran jenasah, nganyut, mapegat mangeningngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh dilaksanakan penyekahan diawali ngangget don bingin, ngajum sekah, ngelinggihang puspalingga, dan terakhir adalah nganyut kembali, upacara meajar-ajar serta ngelinggihang Dewa Pitara. Berdasarkan pada buku-buku atau refrensi yang dipakai pedoman dalam penyusunan karya ilmiah ini, memberi acuan dan kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan sebagai perbandingan dan kajian. Meskipun tidak ada yang secara khusus membahas tentang upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar
16
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan ini, namun pustaka-pustaka diatas akan dijadikan sebagai referensi yang memperkaya hasil analisis yang akan dikembangkan dalam penelitian ini sehingga kajian-kajian selanjutnya menjadi lebih lengkap.
2.2 Konsep Konsep merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam kegiatan penelitian, atau penulisan karya ilmiah. Konsep adalah suatu variabel yang dipergunakan oleh peneliti sebagai building block untuk membangun proposisi yang kelak diharapkan dapat menerangkan dan memprediksi suatu fenomena. Sebuah konsep merupakan satu kesatuan pengertian yang saling berkaitan (Sunyoto Usman 1.1.3). Dengan demikian bukan hanya sekedar sederetan gejala yang dirangkai menjadi satu pernyataan. Menurut Poerwadarminta, (1993:520) menyatakan bahwa konsep yang berarti rancangan. Konsep berfungsi menyederhanakan arti kata atau pemikiran tentang ide-ide, hal-hal dan kata-kata benda maupun gejala sosial yang digunakan, agar orang lain yang membaca dapat segera memahami maksud sesuai dengan keinginan penulis. Konsep penting dalam penelitian ilmiah, karena kejelasan konsep dapat menyebabkan terjadinya interaksi positif antara peneliti dengan pembaca. Jelasnya pengutaraan konsep definisi atau istilah tersebut akan memperlancar komunikasi antara penulis dan pembaca yang ingin mengetahui isi tulisan atau isi penelitian. Konsep adalah cara sesorang memecahkan permasalahan yang diteliti, dengan cara memberikan gambaran sejumlah variabel terhadap topik yang diteliti.
17
Dengan menggambarkan variabel-variabel dalam penelitian, maka seorang peneliti akan mudah dalam melaksanakan penelitiannya. Konsep sangat penting dalam sebuah penelitian karena dapat mempermudah dalam pengolahan data-data yang akan diteliti. Berkat penelitian maka kehidupen sehari-hari akan terasa lebih ringan dibandingkan masa sebelumnya. Dalam penelitian tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan” ini, ada sejumlah konsep yang diperlukan untuk menjelaskan variabelvariabel penelitian. Jadi dalam penelitian ini, landasan konsep yang dimaksud adalah pustaka untuk menganalisis atau memecahkan masalah penelitian. Landasan konsep dalam karya ilmiah ini memuat uraian sistematis tentang pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Penulis mencari konsep-konsep yang relevan dengan variabel-variabel yang menjadi topik penelitian, sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan. 2.2.1 Persepsi Masyarakat Persepsi adalah tanggapan dari suatu proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca indrianya. Wiwik (dalam Titib, 2003: 33) mengemukakan persepsi adalah penghayatan langsung oleh seorang pribadi atau proses-proses
yang
menghasilkan
penghayatan
langsung.
Bertolak
dari
kemampuan manusia yang disebut persepsi itu, maka akan tercakup proses-proses attention, constancy, depth movement perception, plasticity, motives, emotion, dan expectation. Persepsi merupakan bagaimana manusia didalam memandang
18
sesuatu dan merupakan proses mental yang menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu obyek dengan jalan asosiasi pada suatu ingatan tertentu. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang saling bergantung satu sama lain yang mengacu pada sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Dengan demikian, yang dimaksud dengan persepsi masyarakat adalah tanggapan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap sesuatu atau permasalahan yang terjadi. Serta memiliki argumentasi yang sesuai dengan pengalamannya dalam melaksanakan sesuatu hal yang menjadi pokok pembicaraan
saat
ini,
untuk
mendapatkan
penyesuaian
terhadap
yang
dilaksanakan dengan apa yang diharapkan. Konsep ini digunakan untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. 2.2.2 Upacara Ngaben Nyebrang Tukad Menurut Buku Upadesa, upacara adalah cara-cara melakukan hubungan antara atman dengan paramatman, antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi serta semua manifestasinya dengan jalan yajnya untuk mencapai kesucian jiwa. Untuk upacara-upacara ini menghubungkan dirinya dengan Tuhan dalam bentuk nyata (Parisada Hindu Dharma, 1978:63). Menurut Mas Putra (1982:13); upacara berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan salah satu gerak dalam melaksanakan yajnya. Sumber lain menyebutkan upacara adalah peralatan (membuat alat) dalam hal perbuatan yang berhubungan dengan adat kebiasaan agama (Poerwadarminta, 1996:132).
19
Di dalam buku pelajaran agama Hindu untuk Perguruan Tinggi diungkapkan sebagai berikut: kata Upacara dalam bahasa Sanskerta berarti mendekati. Dalam kegiatan upacara agama diharapkan terjadinya suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa, kepada sesama manusia, kepada alam lingkungan, pitara maupun Rsi. Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai bentuk perubahan maupun tata pelaksanaan sebagai yang telah diatur dalam ajaran agama Hindu (Tim Penyusun,1994:152). Beberapa pengertian upacara diatas dapat disimpulkan bahwa upacara adalah suatu aktivitas umat manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan yang berbentuk yadnya sehingga tercipta kehidupan yang sejahtera lahir dan bathin, salah satunya yaitu upacara ngaben. Ngaben secara umum dapat didefinisikan pembakaran mayat dan asal usul kata secara etimologi kurang tepat, karena ada juga upacara Ngaben tanpa melalui pembakaran mayat, yang disebut dengan istilah Beya Tanem. Wibawa (2002:1) menyatakan kata Ngaben berasal dari kata abu dengan melihat hasil akhir pembakaran mayat. Menurut Arwati (2006: 4) meguraikan bahwa Ngaben berasal dari kata beya (Bahasa Bali) artinya biaya atau bekal mendapat awalan Nga dan akhiran in menjadi ngabeyain \atau disebut Ngaben maksudnya meyanin artinya memberikan bekal. Selain itu ada pula mengatakan, Ngaben berasal dari kata abu mendapat awalan nga dan akhiran in menjadi ngabuin disebut Ngaben artinya mayat dibakar sampai menjadi abu. Wiana (1998: 3) menyebutkan Ngaben berasal dari kata api mendapat awalan ng menjadi kata ngapi dan mendapat akhiran an menjadi ngapian yang
20
setelah mengalami proses sandi menjadi Ngaben. Kemudian terjadi perubahan fonem p menjadi b menurut hukum perubahan bunyi menjadi Ngaben. Pengertian Ngaben berarti menuju api. Sedangkan Api dapat diartikan sebagai Brahma (Dewa Pencipta), sehingga dapat diartikan kembali ke api. Artinya Atma orang yang telah meninggal melalui upacara ritual Ngaben akan menuju Brahma loka, yaitu sthana Dewa Brahma sebagai Dewa Pencipta. Adapun jenis api yang digunakan ada dua, yaitu api nyata atau sekala dipakai membakar jenazah atau pengawak dan api abstrak atau niskala berasal dari Weda Sang Sulinggih, Pedanda yang muput disebut api pralina. Ngaben dalam istilah baku lainnya yang disebut-sebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa. Kata atiwa inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari Bahasa asli Nusantara, mengingat upacara sejenis ini juga dijumpai pada suku Dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah untuk menyebutkan upacara setelah kematian. . Sedangkan menurut Wikarman (1999:9) menguraikan ngaben juga disebut Palebon (untuk kesatria dan brahmana). Palebon berasal dari kata “lebu” yang artinya Pertiwi (Tanah). Palebon artinya menjadikan pertiwi, tanah atau abu. Untuk menjadikan tanah atau abu ada dua cara, yaitu dengan membakar dan menanam. Namun cara membakar adalah pelaksanaan yang paling cepat. Istilah nyebrang tukad berasal dari bahasa Bali yang berarti melewati sungai. Upacara Ngaben di banjar Tegalambengan ini harus dengan menyebrangi sungai terlebih dahulu untuk sampai di Setra. Hal ini dilakukan karena lokasi Setra yang berada di seberang sungai, sehingga membuat warga masyarakat harus melintasi sungai terlebih dahulu setiap kali menyelenggarakan Pengabenan atau
21
melakukan aktifitas apapun di Setra. Selain itu, warga banjar Tegalambengan memang tidak memiliki akses jalan menuju Setra, sehingga harus menyeberangi sungai dengan berenang. Dengan demikian prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad adalah rangkaian kegiatan pembakaran jenazah, dimana lokasi pembakaran jenazah (Setra) berada di seberang sungai, sehingga masyarakat harus menyebrangi sungai tersebut setiap melakukan upacara Ngaben, dikarenakan tidak ada akses jalan lain. 2.2.3 Perspektif Pendidikan Agama Hindu Kata perspektif berasal dari Bahasa latin perspicere yang artinya melihat atau pandangan. Perspektif adalah sebuah persepsi yang meliputi baik perolehan pengetahuan melalui panca indria maupun dengan pikiran. Perspektif juga berarti sudut pandang terhadap semua hal, sehingga mendapat suatu pengertian yang lebih baik dan sempurna terhadap semua masalah. Bagus (2002: 834) menyebutkan perspektif adalah gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang bermakna dalam proses penyusun dari pemecahkan masalah dan presuposisi-presuposisi dasar yang secara sadar atau tidak sadar diandaikan, dimungkinkan tercapainya suatu kesimpulan atau diadakannya suatu analisis. Suryabrata (1982:12) menyebutkan secara ethimologi, pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogiek. Pais berarti anak dan gogos berarti membimbing atau tuntunan dan iek berarti ilmu. Dalam bahasa Inggris berasal dari kata education berasal dari bahasa Yunani educare yang berarti membawa keluar yang tersimpan dalam jiwa anak, untuk dituntun dan berkembang”. Selanjutnya Brubacher (dalam Suryabrata, 1982:14) dalam bukunya yang
22
berjudul modern of philosophy of education disebutkan bahwa education should thouth of as the procces of mans reciprocal adjustment to be nature to his fellow, and to the ultimates nature of the comon, jika diterjemahkan secara bebas maksudnya pendidikan adalah sebuah proses timbal balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya terhadap alam, dengan teman, dan dengan alam semesta. Ki Hajar Dewantara (dalam Suryabrata, 1982:14) memberikan penjelasan tentang pendidikan itu adalah, daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak. Titib (2003:13) bahwa pendidikan itu adalah usaha yang dilaksanakan dengan sengaja oleh orang yang lebih tua (orang tua dan guru), untuk mempengaruhi orang lain (anak dan siswa) dengan mentransfer nilai-nilai tertentu kepada siswa, guna mempermudah siswa itu untuk memecahkan pesoalan-persoalan hidupnya untuk mencapai tujuan hidupnya. Pendidikan sangat memegang peranan penting dalam kehidupan suatu bangsa, serta dapat menjamin suatu perkembangan dan kelangsungan suatu bangsa yang bersangkutan, pendidikan merupakan upaya untuk memperluas dan memperdalam cakrawala pengetahuan peserta didik. Pendidikan merupakan tiang bagi suatu Negara, maju atau berkembangnya suatu Negara ditentukan oleh kualitas pendidikan yang ada di Negara tersebut. Pendidikan yang baik adalah jika disertai oleh ajaran etika, dan norma-norma ajaran Agama. Pendidikan Agama Hindu merupakan kaedah-kaedah atau norma-norma yang menuntun umat manusia untuk selalu berbuat baik demi tercapainya
23
kedamaian dan membentuk manusia yang berakhlak mulia serta selalu bhakti kepada Tuhan dengan penuh pengabdian yang sesuai dengan ajaran Agama Hindu. Pendidikan Agama Hindu itu tiada lain daripada bimbingan atau tuntunan yang diberikan pada seseorang untuk menunjukkan perkembangan Budi Pekerti dalam menanamkan rasa cinta kepada ajaran Agama sehingga dapat berbuat sesuai dengan ajaran Agama. Sedangkan menurut Mudyahrjo (2006:3) meyatakan bahwa untuk dapat memahami dan mengerti Agama Hindu dengan baik, perlu mengetahui tentang pengertian pendidikan Agama Hindu itu sendiri. Pendidikan Agama Hindu merupakan kaedah-kaedah yang mengatur tingkah laku manusia yang mengatur dalam hubungannya dengan segala yang ada disekelilingnya secara vertikal maupun horizontal, nyata dan tidak nyata. Pendidikan adalah usaha membantu pertumbuhan anak didik tanpa dibatasi oleh usia, dalam artian berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pernyataan tersebut mengandung arti pendidikan adalah usaha secara sadar yang berencana dan normatif, yang dilakukan oleh manusia untuk mempengaruhi perilaku dalam meningkatkan kepribadian, sesuia dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, misi pendidikan Agama Hindu adalah terbinanya anak didik yang sradha dan bhakti berbudi pekerti luhur serta menjadikan Agama Hindu sebagai pedoman dalam berpikir, berkata dan berbuat dalam melaksanakan kehidupan. Dalam Pendidikan tidak boleh terlepas dari konsep tattwa, susila dan acara karena dapat dijadikan pedoman untuk hidup yang lebih baik.
24
Pengertian pendidikan Agama Hindu di atas diharapkan dapat dipakai sebagai pelita di dalam mengarungi kehidupan umat manusia khususnya umat Hindu, sehingga senantiasa umat Hindu selalu berbuat yang baik dan benar sesuai dengan ajaran agamanya. Semua agama sesungguhnya merupakan pegangan untuk mewujudkan kebahagiaan masyarakat atau umatnya, demikian pula halnya dengan agama Hindu merupakan jalan untuk mencapai suka tanpa wali duka yaitu kebahagian yang kekal dalam keadaan bersatunya atman dengan Brahman, yaitu Jagadhita dan Moksa. Moksa berarti kebebasan roh dari ikatan duniawi atau kelepasan, bebas dari dosa, juga berarti bersatunya atman dengan Tuhan. Kebahagiaan itu dapat ditempuh dengan beberapa jalan yang disebut catur marga serta melaksanakan Yajña dan menegakkan Dharma. Dengan demikian,yang dimaksud dengan perspektif Pendidikan Agama Hindu adalah bagaimana cara pandang peneliti untuk mengkaji suatu peristiwa atau pemaknaan dilihat dari sudut pandang Pendidikan Agama Hindu, guna memperoleh suatu kebenaran. Dalam hal ini peneliti mengkaji tentang persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Pemahaman
terhadap
konsep
pendidikan
Agama
Hindu
akan
mempermudah dalam penelitian ini. Kaitannya dengan upacara Ngaben Nyebrang Tukad yang dilaksanakan oleh masyarakat Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Yang menjadi kajian akan tampak kandungan nilai pendidikan Agama Hindu dalam upacara tersebut, yaitu bagaimana cara masyarakat memahami suatu fenomena yang berhubungan dengan nilai-nilai
25
keagamaan yang ada pada masyarakat Banjar Tegalambengan. Upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini merupakan warisan budaya yang telah ada sejak dahulu yang syarat akan nilai-nilai pendidikan, rasa kekeluargaan, cinta kasih, dan mengandung kekuatan spiritual keagamaan.
2.3 Teori Teori merupakan suatu hal yang penting dalam memecahkan suatu permasalahan dalam penelitian ilmiah. Pada penelitian yang bersifat kualitatif, diharapkan masalah yang berkembang sesuai dengan fakta atau kenyataan yang ada di lapangan. Teori merupakan sarana informasi ilmiah yang diperoleh dengan meningkatkan abstraksi pengertian-pengertian maupun hubungan-hubungan pada proposisi (Triguna dkk, 1987:12). Menurut Parsudi Suparlan menyatakan bahwa teori merupakan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk rumus atau aturan yang berlaku umum, menjelaskan hakikat suatu gejala. Hakikat hubungan antar dua gejala atau lebih relevan dengan kenyataan yang ada dan operasional. Beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa, teori merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ilmiah, agar hasil yang didapatkan lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Suatu teori belum dianggap valid jika belum diujicobakan kebenarannya. Dengan demikian suatu teori merupakan suatu yang belum dianggap baku sebagai kenyataan yang dapat dipercaya begitu saja. Sehingga teori harus dipahami dalam penulisan karya ilmiah dan perlu adanya uji coba untuk mengetahui apakah teori itu valid digunakan dalam sebuah penelitian dengan permasalahan yang kemudian akan dibahas. Dengan demikian, maka teori-teori tersebut tidaklah selamanya
26
dapat
dipertahankan,
sebab
adanya
gejala-gejala
baru
sesuai
dengan
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Melihat dari permasalahan yang diangkat maka teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 2.3.1 Teori Religi E. Durkheim (dalam Koentjaraningrat, 2002 : 199)
menyatakan teori
elementer mengenai hidup beragama, sebagai berikut: 1) Sejak awal keberadaannya di muka bumi, manusia mengembangkan religi karena adanya getaran jiwa, yaitu suatu emosi keagamaan, yang timbul dalam jiwanya karena adanya emosi terhadap keagamaannya, dan bukan karena dalam pikirannya manusia membayangkan adanya roh yang abstrak, berupa kekuatan yang menyebabkan hidup dan gerak dalam alam semesta ini; 2) Dalam pikirannya, emosi keagamaan itu berupa perasaan yang mencakup rasa keterkaitan, bakti, cinta, dan sebagainya, terhadap masyarakatnya sendiri, yang baginya merupakan seluruh dunianya; 3) Emosi keagamaan tidak selalu berkobar-kobar setiap saat dalam dirinya. Apabila tidak dirangsang dan dipelihara, emosi keagamaan itu menjadi melemah, sehingga perlu dikorbarkan kembali, antara lain melalui kontraksi masyarakat (mengumpulkan seluruh masyarakat dalam pertemuanpertemuan yang bernuansa religius); 4) Emosi keagamaan yang muncul itu membutuhkan suatu objek tujuan. Mengenai apa yang menyebabkan bahwa sesuatu hal menjadi objek dari emosi keagamaan, bukanlah terutama sifatnya yang luar biasa atau aneh dan megah, tetapi adanya tekanan berupa anggapan umum dalam masyarakat, misalnya karena salah satu peristiwa secara kebetulan pernah dialami orang
27
banyak. Objek yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga dapat bersifat keramat, sebagai lawan dari sifat profan (tidak keramat), yang tidak memiliki nilai keagamaan; 5) Suatu objek keramat sebenarnya merupakan lambang dari suatu masyarakat. Pada suku-suku bangsa asli di Australia, objek keramat yang menjadi objek emosi kemasyarakatannya sering kali berwujud suatu jenis hewan atau tumbuh-tumbuhan. Para pakar menyebut prinsip yang berada dibelakang objek dari suatu kelompok dalam masyarakat (misalnya klan atau kelompok kerabat) dengan istilah totem. Kontraksi masyarakat, obyek keramat dan totem akan memuculkan upacara, kepercayaan dan mitologi. Ketiga unsur tersebut terakhir ini menentukan bentuk lahir daripada sesuatu religi di dalam sesuatu masyarakat tertentu. Dengan demikian Teori religi dari Durkeim penulis gunakan untuk membedah masalah tentang “Persepsi Masyarakat terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan”. 2.3.2 Teori Nilai Koentjaraningrat (1985: 25) mengungkapkan nilai adalah suatu hal yang berisikan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang penting, berharga dalam kehidupan masyarakat. Dalam buku kamus Filsafat dinyatakan bahwa nilai dapat diartikan dengan harkat, kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan. Keputusan nilai dapat mengatakan baik, buruk, salah, berguna atau tidak yang berhubungan dengan
28
cipta, rasa, dan karsa jiwa manusia. Sehingga sesuatu itu akan mempunyai nilai apabila berguna, berharga, indah, baik, religius (Koentjaraningrat, 1992: 25). Nilai juga dapat diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Penerimaan nilai oleh manusia tidak dilakukan secara pasif melainkan secara aktif dan kreatif. Nilai adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individua tau kelompok social membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai sesuatu yang ingin dicapai (Asrori, 2004: 130-134). Berdasarkan dari pandangan para tokoh tersebut dapat disimpulkan nilai adalah ajaran-ajaran, ide-ide atau tuntunan kemanusiaan untuk kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungannya sesuai dengan sifatnya baik bersifat normatif maupun bersifat sosial yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai didalam kehidupan. Suatu nilai dapat mengatakan baik, buruk, benar, salah, berguna atau tidak berguna yang berhubungan dengan cipta, rasa dan karsa jiwa manusia. Sehingga sesuatu akan mempunyai nilai apabila berguna, berharga, indah, baik dan religius. Teori ini digunakan untuk memecahkan masalah nilai yang terkandung dalam penelitian ini atas dasar pertimbangan, kepercayaan yang diterima dan diwarisi secara turun temurun yang diyakini dan dipandang benar menurut ajaran Agama Hindu. Selain nilai religius, nilai etika, dan nilai estetika dapat digunakan untuk memecahkan masalah nilai dalam penelitian ini. Nilai religius nampak pada upacara pengabenan yang dilaksanakan sebagai pembayaran hutang (rna) kepada orang tua atau leluhur yang telah sangat berjasa dalam
29
keberlangsungan hidup pretisentananya, selain juga sebagai wujud bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nilai etika mendasari aktivitas sosial kemasyarakatan yang diwujudkan dalam aktivitas ngayah atau gotong royong dalam kegiatan-kegiatan keagamaan (Ngaben). Sedangkan nilai estetika mendasari aktivitas dalam membuat sarana upakara atau banten yang tidak terlepas dari unsur seni atau keindahan yang diiringi dengan alunan panca gita yang membangkitkan suka cita upacara yang dilaksanakan. 2.3.3 Teori Persepsi Menurut Sarwono (2013: 242-244) mengungkapkan bahwa ada empat macam teori persepsi, yaitu : (1) Teori Heider, (2) Teori Jones dan Davis, (3) Teori Kelly, dan (4) Teori Festinger. Keempat teori tersebut telah cukup memenuhi kriteria formal dan unit analisisnya adalah keputusan (judgement), atribusi dari persepsi tentang diri sendiri dan orang lain oleh seseorang. Menurut Heider merupakan teori yang secara konseptual memang kaya dan merangsang sumbangan-sumbangan teori dari psikologi-psikologi sosial. Teori ini menyatakan bahwa hubungan antar pribadi dapat diterapkan secara umum, menunjukkan kekayaan dan ketulusan pikiran. Teori Kelly merupakan teori yang cukup bermakna dalam bidang psikologi sosial. Sedangkan teori Jones dan Davis cenderung mementingkan diri dengan atribusi terhadap orang. Teori Jones dan Davis bertanggung jawab terhadap sebagian dari perkembangan sekumpulan penelitian atribusi pribadi (personal). Menurut Festinger dalam persepsinya menyatakan bahwa seseorang adalah pengalaman, kebutuhan dan motif-motif. Hal terpenting menurut Festinger adalah
30
dampak dari perbandingan sosial terhadap perubahan dari pendapat dari pada individu itu sendiri. Menurut pendapat Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan bahwa proses pengalaman atau sosialisasi akan memberikan bentuk persepsi seseorang menjadi lebih akurat di dalam mempersiapkan satu obyek. Selain itu kebutuhan-kebutuhan sesaat atau menetap kepada individu akan mempengaruhi persepsinya tentang suatu obyek. Dengan demikian kebutuhan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan persepsi. Untuk memperoleh pernyataan yang relevan, perlu adanya perbandingan yang signifikan dalam menentukan pengalaman seseorang untuk mendapatkan jawaban yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi, agar mendapatkan jalan yang tidak merugikan masyarakat, khususnya umat Hindu di Bali, maka dengan Teori persepsi dari Festinger peneliti gunakan untuk memecahkan masalah tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan”.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Expost facto research. Penelitian Expost facto adalah penelitian yang secara ekslusif memfokuskan pada masa lalu. Penelitian ini mencoba merekonstrusikan atau membangun apa yang terjadi pada masa lalu selengkap dan seakurat mungkin. Dalam mencari data-data dilakukan secara sistematis agar mampu menggambarkan, menjelaskan, dan memahami kegiatan atau peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu (Jack R. Fraenkel & Norman E.Wallen, 1990: 411 dalam Yatim Riyanto, 1996: 22). Donald Ary, dkk. (1980) dalam Yatim Riyanto (1996: 22) menyatakan bahwa penelitian expost facto adalah penelitian yang berusaha untuk menetapkan fakta atau kenyataan dan mencapai simpulan mengenai hal-hal yang telah terjadi di masa lalu, yang dilakukan secara sistematis dan objektif oleh ahli sejarah dalam mencari, mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menafsirkan bukti-bukti atau fakta-fakta untuk mempelajari masalah baru tersebut. 3.1.2 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan historis. Pendekatan historis adalah pendekatan penelitian yang memiliki fokus penelitian berupa peristiwa-peristiwa yang sudah berlalu dan melakukan rekonstruksi masa lalu dengan sumber data atau saksi sejarah yang masih ada hingga saatini.Sumber
31
32
data tersebut bisa diperoleh dari berbagai catatan sejarah, laporan verbal, maupun saksi hidup yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran persaksiannya. Karena mengkaji peristiwa yang sudah berlalu, ciri khas dari penelitian historis adalah waktu, dimana fenomena dilihat perkembangan atau perubahannya berdasarkan pergeseran waktu. Ciri lain dari pendekatan historis adalah kajian penelitian lebih banyak bergantung pada data observasi orang lain yang sudah terlebih dahulu melakukan penelitian, bukan hanya data observasi milik peneliti itu sendiri. Selain itu, sumber data yang digunakan haruslah bersifat objektif, sistematis, akurat, dan otentik yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya serta berasal dari sumber yang tepat. Karena pendekatan historis memiliki konsep dasar waktu, perlu diperhatikan dengan lebih teliti mengenai urutan peristiwa dan waktuwaktunya dengan detail dan jelas.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah suatu areal dengan batasan yang jelas agar tidak menimbulkan keraguan dan ketidakjelasan daerah atau wilayah tertentu. Lokasi penelitian sebagai sasaran sangat membantu dalam memberikan informasi yang valid. Moelong (2006: 86) menyatakan keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga perlu dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang dilaksanakan adalah di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Dipilihnya lokasi penelitian tersebut, karena lokasi penelitian ini masih satu wilayah kabupaten dengan tempat tinggal peneliti serta keunikan masyarakatnya dalam melaksanakan
33
prosesi upacara Ngaben ini belum ada yang mengkaji sebagai bahan penelitian . Sedangkan waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dari bulan Februari 2019 sampai dengan selesai.
3.3 Jenis Data dan Sumber Data Menurut Margono (1996: 23) menyatakan bahwa data adalah informasi yang diperoleh langsung dari sumber informasi yang masih bersifat mentah, sehingga data perlu segera diolah. Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa angka maupun fakta. 3.3.1 Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, ungkapan-ungkapan atau pertanyaan-pertanyaan sebagai simbol untuk menyusun suatu argumentasi. Dasar penelitian ini adalah kualitatif yang menekankan pada orientasi teoritis, artinya lebih mengarah untuk mengembangkan dan membangun teori-teori. Oleh karena itu data kualitatif lebih menggambarkan subyek penelitian sesuai persepsi, pemahaman intepretasi sehingga data berupa kata-kata atau gambaran yang berasal dari hasil wawancara, dokumentasi, dan observasi.
34
3.3.2 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Berdasarkan sumbernya, data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. 3.3.2.1 Data Primer Data primer adalah data yang dalam pengumpulannya didapatkan langsung dari lapangan. Data primer adalah data yang diperoleh dari tangan informan melalui wawancara , dimana data dari responden diceritakan sesuai dengan apa yang mereka dapat, lihat, dan sesuai dengan kenyataan. Data primer dalam penelitian ini adalah data tentang suatu kejadian, dimana peneliti melakukan wawancara langsung terhadap
subyek
yang
diteliti
dengan
menggunakan
instrumen atau alat seperti kamera, handphone, dan yang lainnya sehingga diperoleh data yang benar-benar murni (Iqbal, 2004: 19). Penelitian ini menggunakan data primer untuk mendapatkan informasi langsung dengan metode wawancara kepada tokoh-tokoh Adat di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. 3.3.2.2 Data Sekunder Data sekunder adalah data yang dalam pengumpulannya di dapat dari sumber yang telah ada, data ini diperoleh dari perpustakaan atau dari hasil penelitian terdahulu (Iqbal, 2002:167). Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, artikel-artikel,
35
dokumen, dan karya ilmiah penelitian terdahulu yang ada kaitannya dengan tema penelitian ini.
3.4 Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan sangat penting dalam suatu penelitian, karena diperlukan berbagai jenis informasi, baik yang bersumber dari informan maupun dari sumber yang telah ada (buku-buku yang relevan dengan penelitian). Informan adalah orang yang memberikan informasi. Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus pandai-pandai dalam menggali data atau informasi dengan cara membangun kepercayaan, keakraban dan kerjasama dengan informan. Selain itu, seorang peneliti harus tetap kritis dan analisis (Suprayoga, 2001: 163). Informan dalam penelitian ini menggunakan teknik sampling snowball (bola salju). Teknik sampling snowball (bola salju) adalah metode sampling dimana sampel diperoleh melalui proses bergulir dari satu responden ke responden yang lainnya, biasanya metode ini digunakan untuk menjelaskan polapola sosial atau komunikasi (sosiometrik) suatu komunitas tertentu. Dengan kata lain, dalam penentuan sampel, pertama-tama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya. Begitu seterusnya, sehingga jumlah sampel semakin banyak. Di dalam penelitian ini yang ditetapkan sebagai informan adalah Kelihan Adat, Kelihan Dinas, Pemangku, dan Serati banten Banjar Adat Tegalambengan. Selanjutnya adalah beberapa warga masyarakat yang dianggap
36
memahami permasalahan yang peneliti lakukan terkait dengan “Persepsi Masyarakat
Terhadap
Upacara
Ngaben
Nyebrang
Tukad
di
Banjar
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan”.
3.5 Metode Pengumpulan Data Setiap karya ilmiah memerlukan suatu cara untuk mendapatkan data yang lengkap, maka perlu adanya metode agar peneliti menjadi terarah dalam pengumpulan data. Metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek menjadi sasaran. Pengumpulan data merupakan pekerjaan peneliti. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama untuk mencari data dengan berinteraksi secara simbolik dengan informan atau subjek yang diteliti (Iskandar, 2006: 120). Di dalam mengumpulkan data penelitian ini digunakan empat metode atau teknik, yaitu: Observasi, wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. 3.5.1 Observasi Margono (1996: 158) menyatakan bahwa observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi digunakan dalam penelitian ini dengan cara pengamatan langsung di daerah penelitian serta melakukan pencatatan untuk mendapat keterangan-keterangan yang akan mendukung hasil penelitian dan harus menggunakan alat bantu seperti alat tulis, handphone, kamera, dan sebagainya. Menurut Sugiono (2012: 145) menyatakan bahwa dilihat dari segi proses pelaksanaan pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi Observasi Partisipan dan Observasi Nonpartisipan. Observasi Partisipan adalah suatu proses
37
pengamatan bagian dalam yang dilakukan oleh peneliti dengan ikut mengambil bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diobservasi. Peneliti atau pengamat berlaku sungguh-sungguh seperti anggota kelompok yang akan diobservasi. Sedangkan Observasi Nonpartisipan adalah proses pengamatan dimana pengamat tidak ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan secara terpisah berkedudukan selaku pengamat. Jika dilihat dari proses pelaksanaannya, peneliti menggunakan metode observasi nonpartisipan, yaitu peneliti tidak ikut berinteraksi melaksanakan kegiatan upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Dalam hal ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat saja. 3.5.2 Wawancara Metode wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Dalam penelitian ini, wawancara diposisikan sebagai perangkat yang penting, terutama untuk memperoleh data kualitatif subjektif. Dengan demikian, dalam penelitian ini disamping bermaksud untuk memperoleh sebanyak-banyaknya informasi dari berbagai sumber, tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam rancangan konteks yang unik serta menggali informasi yang akan menjadi dasar penulisan karya ilmiah. Iskandar (2009: 131-132) menyatakan bahwa, model wawancara yang dapat digunakan oleh peneliti kualitatif dalam melakukan penelitian sebagai berikut: (1) Wawancara terstruktur, adalah seorang pewawancara atau peneliti telah menentukan format masalah yang akan diwawancarai, yang berdasarkan
38
masalah yang akan diteliti, (2) Wawancara tak terstruktur adalah seorang peneliti bebas menentukan fokus masalah wawancara, kegiatan wawancara mengalir seperti percakapan biasa, yaitu mengikuti dan menyesuaikan dengan situasi serta kondisi responden. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur. Peneliti mempersiapkan pertanyaanpertanyaan penting dan memberikan kesempatan informan untuk memberikan jawaban sesuai dengan pengalaman, pandangan dan persepsi mereka mengenai Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. 3.5.3 Dokumentasi Dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan, menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, foto, hasil karya, maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis, kemudian dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Jadi studi dokumenter tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumen yang dilaporkan dalam penelitian adalah hasil analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut. Peneliti menggunakan teknik dokumentasi dalam pengumpulan data di lapangan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen, foto, video, dan sebagainya.
39
3.5.4 Kepustakaan Nawawi (1993: 133) menyatakan bahwa teknik kepustakaan adalah teknik yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan segala macam data serta mengadakan pencatatan secara sistematis. Dengan teknik ini data yang diperoleh dengan cara atau jalan membaca buku-buku tentang teori dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti kemudian dibantu dengan teknik pencatatan secara sistematis.Teknik ini dipergunakan untuk penelusuran berbagai literatur dan menelaahnva dan kaitannya dengan tema penelitian ini. Manfaat penelusuran literatur tersebut adalah untuk menggali teori-teori serta konsep-konsep yang telah ditemukan oleh para ahli yang terdahulu, selalu mengikuti perkembangan selanjutnya. Berdasarkan teknik kepustakaan, maka penulis berusaha membaca bukubuku yang relevan dengan penelitian ini, sehingga memperoleh data penelitian. Teknik kepustakaan digunakan untuk mencatat hal-hal atau pokok-pokok bahasan dalam buku yang sesuai dengan penelitian. Teori, konsep, dan pemaparan dalam penelitian ini didukung oleh buku-buku atau sumber lain yang dapat memberikan perbandingan atau berperan besar sebagai bahan analisis. Teknik ini menggunakan kecukupan refrensi berupa buku-buku yang dipergunakan sebagai pendukung untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tentang “Persepsi Masyarakat
Terhadap
Upacara Ngaben
Nyebrang
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan”.
Tukad
di
Banjar
40
3.6 Teknik Analisis Data Zuriah (2009: 198) menyatakan bahwa analisis data dalam penelitian merupakan kegiatan yang sangat penting dan memerlukan ketelitian serta kekritisan dari peneliti. Pada prinsipnya analisis data ada 2 cara, hal ini tergantung dari datanya, yaitu analisis nonstatistik dan analisis statistik. Analisis nonstatistik dilakukan terhadap data yang bersifat kualitatif, biasanya berupa studi literer atau studi empiris. Sedangkan analisis statistik dilakukan terhadap data yang bersifat kuantitatif. Miles & Huberman (dalam Pratilima, 2007: 96) mengemukakan bahwa dalam analisis kulitatif data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Analisis data dilakukan tidak hanya sekali tapi berulang- ulang dan secara bertahap pada setiap data yang terkumpul guna menentukan pemecahan secara garis besar setelah pencatatan di lapangan. Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah tahap analisis, yaitu data dikerjakan sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab permasalahan-permasalahan. Metode analisis data adalah suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan mempergunakan suatu metode analisis data tertentu sehingga memperoleh kesimpulan sempurna. Analisis data juga berarti prosedur memilih atau
mengelompokkan
data
yang
sejenis,
baik
menurut
permasalahan
penelitiannya maupun bagian-bagiannya. Dengan kata lain analisis data pada hakekatnya adalah pemberitahuan penelitian kepada pembaca tentang apa saja yang hendak dilakukan terhadap data yang sedang dan telah dikumpulkan. Sebagai cara yang nantinya bisa memudahkan penelitian dalam memberikan
41
penjelasan dan mencari interpretasi dari responden atau menarik kesimpulan. Analisis data menurut Mattew B. Miles dan Michael Huberman dibagi menjadi tiga langkah kegiatan yang terjadi secara bersamaan. Adapun langkah-langkah analisis data yang dimaksud, antara lain: 3.6.1 Reduksi data Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari catatancatatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama pengumpulan data berlangsung. Sebenarnya reduksi data sudah tampak pada saat penelitian memutuskan kerangka konseptual, wilayah penelitian, permasalahan penelitian, pendekatan penelitian, dan metode pengumpulan data yang dipilih. Pada saat pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, dan membuat catatan kaki. Pada intinya reduksi data terjadi sampai penulisan laporan akhir penelitian. 3.6.2 Penyajian Data Menurut Mattew dan Michaael menyatakan bahwa penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang paling sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk teks naratif. Dalam analisis kualitatif, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian kata. Data ini mungkin telah dikumpulkan dalam aneka macam cara yaitu pengamatan terlibat, wawancara semi terstruktur, dan selanjutnya diproses melalui perekaman, pencatatan,
42
pengetikan, tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata yang biasanya disusun kedalam teks yang diperluas (Miles & Huberman, 1992: 15-21). 3.6.3 Penarikan Kesimpulan Bagian terakhir dari analisis adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi.
Dari permulaan pengumpulan data, peneliti mulai mencari arti benda-benda, polapola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan akhir tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodean, penyimpanan, metode pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti. Dari keempat langkah tersebut, maka ada kaitannya dengan penelitian ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan dilakukan seleksi data dengan cermat yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti, disesuaikan pada masing-masing masalah. Setelah data diseleksi kemudian disajikan secara sistematis mulai dari prosesi upacara, nilai-nilai, dan persepsi masyarakat terhadap upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, KabupatenTabanan.
BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Banjar Adat Tegalambengan, Desa Sudimara, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan. Terkait dengan gambaran umum lokasi penelitian dapat diuraikan beberapa hal, antara lain: (1) Sejarah Desa Sudimara, (2) Letak geografis dan batas Desa Sudimara, (3) Keadaan Kependudukan Desa Sudimara, (4) Struktur Pemerintahan Desa Sudimara, (5) Struktur Pengurus Banjar Adat Tegalambengan. 4.1.1 Sejarah Desa Sudimara Sejarah Desa merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu wilayah masyarakat hukum Desa tertentu sebagai bandingan peristiwa yang akan datang. Sejarah pada suatu tempat baik itu Desa, pura, candi, dan tempat lainnya biasanya tertulis pada sebuah literatur, berupa buku, prasasti, babad, dan lainnya. Akan tetapi terkadang sejarah sebuah tempat banyak tidak ditemukan pada literatur, tetapi didapatkan dari cerita turun-temurun. Demikian halnya dengan sejarah desa Sudimara tidak banyak sumber tertulis yang menyatakan tentang nama Sudimara. Disebutkan dalam Babad Kebo Iwa Purana Bali Dwipa, di mana pada zaman dahulu kala, Kebo Iwa yang merupakan anak dari Karang Buncing merupakan seorang Patih yang gagah berani dan sakti mandraguna pada saat pemerintahan Raja Bedahulu. Selain ahli dalam berperang, Patih Kebo Iwa juga dijuluki sebagai Undagi ternama selain Mpu Kuturan dan Pedanda Sakti Wawu
43
44
Rauh. Kesaktian Patih Kebo Iwa yang digunakan untuk melindungi Bali itu pun nyaris tak bisa dikalahkan oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit yang ingin membuat Bali tunduk sebagai wujud Sumpah Palapanya. Karena Gajahmada tidak bisa menundukkan Kebo Iwa, maka Majapahit mulai melakukan serangan pada abad ke 13. Sebagai seorang patih, Kebo Iwa kemudian berangkat ke Selatan dengan membawa sekitar 800 pasukan untuk menghalau serangan Majapahit, sehingga tibalah Kebo Iwa di wilayah Desa Pakraman Bedha, tetapi saat itu belum bernama Desa Pakraman Bedha. Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya, Kebo Iwa dan pasukannya pun membangun benteng-benteng pertahanan yang disebut Bade, yang kemudian menjadi asal mula nama Desa Pakraman Bedha. Selain benteng, Kebo Iwa juga membuat tempat peristirahatan bersama para prajuritnya yang sekarang menjadi Bale Agung Desa Pakraman Bedha. Kemudian di sebelah banteng-benteng pertahanan tersebut ada sebuah aliran sungai yang digunakan mandi dan minum oleh para prajurit Kebo Iwa, pada saat mandi tersebut ada salah satu prajurit Kebo Iwa yang digigit empas, sehingga aliran sungai tersebut dinamai sungai Yeh Empas. Sedangkan wilayah setempat yang terdekat dengan aliran sungai tersebut dinamai Banjar Cengolo artinya digigit empas, kemudian terus ke selatan lagi ada Desa Sudimara, Desa Yeh Gangga. Desa Sudimara adalah tempat pengobatan Kebo Iwa, karena sangat menjurnya obat di daerah tersebut, sehingga keluar istilah “siddhi”. Kemudian karena pemimpin pertama yang memimpin wilayah tempat pengobatan Kebo Iwa adalah dari Sudimara sehingga wilayah tersebut dinamai Desa Sudimara. Sedangkan nama Tegalambengan menurut cerita turun temurun pada mulanya
45
adalah sebuah tempat yang banyak ditumbuhi tumbuhan ilalang. Kemudian orangorang pada jaman dahulu membuka lahan tersebut dan menjadikannya sebuah perkampungan yang sampai sekarang disebut Tegalambengan. Banjar Adat Tegalambengan merupakan bagian wilayah Dusun Sakeh, Desa Sudimara. 4.1.2 Letak Geografis Desa Sudimara Desa Sudimara terletak di kecamatan Tabanan, kabupaten Tabanan. Secara fotografi Desa Sudimara terletak di sebelah selatan Kota Kecamatan dengan jarak orbital ke ibu kota Kecamatan Tabanan 5 km, ke ibu kota Kabupaten Tabanan 5 km, dan jarak ke ibu kota Provinsi 25 km. Desa Sudimara terdiri atas 10 Dusun, yakni: Dusun Yeh Gangga, Dusun Sudimara Kelod, Dusun Sudimara Kaja, Dusun Cengolo, Dusun Kalanganyar Kangin, Dusun Kalanganyar, Dusun Jelae, Dusun Sakeh, Dusun Celuk Kanginan, dan Dusun Katimemes. Dari 10 Dusun kemudian dibagi menjadi 14 Banjar Adat, terdiri dari Banjar Adat Yeh Gangga, Banjar Adat Beten Nyuh, Banjar Adat Sudimara Kelod, Banjar Adat Sudimara Kaja, Banjar Adat Cengolo, Banjar Adat Kalanganyar Kangin, Banjar Adat Kalanganyar, Banjar Adat Kalanganyar Kawan, Banjar Adat Jelae, Banjar Adat Sakeh, Banjar Adat Tegalambengan, Banjar Adat Katimemes, Banjar Adat Celuk Kawan, dan Banjar Adat Celuk Kanginan. Secara geografis Desa Sudimara memiliki batas-batas wilayah, yaitu: sebelah utara berbatasan dengan Desa Gubug, sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Desa Bengkel dan Desa Bongan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Penarukan dan Desa Kelating. Desa Sudimara merupakan daerah dataran rendah yang membentang dari utara ke
46
selatan dengan luas wilayah 583 Ha dengan ketinggian 100 mdl dari permukaan laut dan suhu rata-rata 29 C. Keadaan iklim wilayah Sudimara adalah iklim tropis. Luas wilayah Desa Sudimara menurut penggunaan melalui Tabel berikut ini: Tabel 4.1 Luas Wilayah Desa Sudimara Menurut Penggunaan No 1 2 3 4 5
Luas Wilayah Tanah sawah Tegalan Pemukiman Pekarangan Fasilitas umum
Jumlah (Sumber : Profil Desa Sudimara Tahun 2018)
Jumlah 368 Ha 10 Ha 83,22 Ha 109, 67 Ha 12,11 Ha 583 Ha
Dari data diatas menunjukkan penggunaan lahan Desa Sudimara sebagian besar wilayah merupakan areal persawahan, kemudian pekarangan, areal pemukiman, fasilitas umum dan yang terakhir berupa tanah tegalan.
Areal
persawahan tersebut merupakan lahan milik pribadi atau perorangan. Luas tanah sawah irigasi ½ teknis 368 Ha. Hal ini merupakan potensi besar dalam hal pembangunan pertanian untuk masa mendatang sehingga menjadi usaha dengan agrobisnis, yaitu mewujudkan pertanian yang modern, efisien, dan berkualitas.
47
Gambar 1.1 Desa Sudimara
Sumber : Dokumentasi Nila Dewi Tahun 2019
4.1.3 Keadaan Kependudukan Desa Sudimara Jumlah penduduk Desa Sudimara berdasarkan sensus tahun 2018 sebanyak 6.701 jiwa. Penduduk laki-laki berjumlah 3.336 jiwa, dan penduduk perempuan berjumlah 3.365 jiwa. Jumlah Kepala Keluarga 2.102 Kepala Keluarga (KK) dengan kepadatan penduduk 1.149,40 jiwa per km.
48
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa Sudimara No 1 2
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki Perempuan
3.336 jiwa 3.365 jiwa 6.701 jiwa
Jumlah (Sumber : Profil Desa Sudimara Tahun 2018)
Jumlah penduduk di Desa Sudimara tahun 2018 cenderung menurun, hal ini karena suksesnya program keluarga berencana (KB) yang di jalankan oleh pemerintah, selain itu karena banyaknya para pendatang yang keluar masuk wilayah Sudimara disamping juga banyak generasi muda yang bekerja keluar daerah (kota) dan menetap di tempat mereka bekerja, sehingga hal itu juga mempengaruhi jumlah penduduk. Penduduk Desa Sudimara mayoritas memeluk Agama Hindu, disamping itu juga ada yang memeluk agama Islam, Kristen, dan Katholik. Kerukunan antar umat beragama sudah terbina dengan baik, hal ini diwujudkan dengan hidup saling berdampingan dan saling menghormati antar umat beragama, misalnya kalau umat muslim mempunyai acara, umat Hindu tidak pernah menggugat, sepanjang sesuai aturan yang berlaku di daerah setempat. Tabel 4.3 Penduduk Desa Berdasarkan Agama No 1 2 3 4
Agama Hindu Islam Kristen Katholik Jumlah
Laki-laki
Perempuan
3.285 jiwa 17 jiwa 30 jiwa 3 jiwa 3.3335 jiwa
3.286 jiwa 26 jiwa 20 jiwa 7 jiwa 3.3339 jiwa
(Sumber : Profil Desa Sudimara Tahun 2018)
49
Mata Pencaharian pokok Desa Sudimara sebagian besar adalah petani., meskipun bukan pertanian besar-besaran. Desa Sudimara terletak di wilayah dataran rendah yang subur karena keberadaan sungai dari daerah hulu, yang mengalir melewati wilayah Desa, mendukung untuk irigasi tanaman, sehingga sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Disamping juga hawa yang tidak terlalu panas akibat arus angin laut yang berhembus menuju wilayah Sudimara. Sedangkan untuk generasi muda sebagian besar bekerja di sektor pariwisata. Sektor lain yang menonjol dalam penyerapan tenaga kerja adalah perdagangan, pengusaha, pengrajin, karyawan swasta, pertukangan, dan lain-lain. Tabel 4.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Sudimara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Mata Pencaharian Petani Pengrajin Pedagang barang kelontong Perawat Swasta TNI POLRI Pengusaha Purnawirawan/Pensiunan Perangkat Desa Tukang Kue
Jumlah (Sumber : Profil Desa Sudimara Tahun 2018)
Laki-laki
Perempuan
798 6 2 4 8 27 2 9 15 0
768 0 2 4 1 1 1 3 4 2 1.657 orang
Pendidikan di Desa Sudimara sudah berjalan maksimal, kemajuan ini tidak terlepas dari kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, karena dengan kemajuan pendidikan dapat meningkatkan sumber daya manusia. Sebagian besar
50
pendidikan terakhir masyarakat Tegalambengan adalah lulusan Sekolah Menengah Atas. Kemajuan suatu daerah dapat dilihat dari pendidikan masyarakatnya. Keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak. Tabel tingkat pendidikan di Desa Sudimara, sebagai berikut: Tabel 4.5 Pendidikan di Desa Sudimara No
Tingkat Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
1
Usia 3-6 yang belum sekolah
62
62
2
Usia 3-6 yang sedang TK
92
86
3
Usia 7-18 yang tidak sekolah
2
0
4
Usia 7-18 yang sedang sekolah
547
564
5
Usia 18-56 tidak pernah sekolah
1
1
6
Usia 18-56 SD tapi tidak tamat
72
78
7
Tamat SD
263
313
8
Tamat SMP
861
763
9
Tamat SMA
956
1035
10 Tamat D-1
92
101
11 Tamat D-2
104
78
12 Tamat D-3
158
127
13 Tamat S-1
90
88
14 Tamat S-2
7
3
Jumlah
6.606 orang
(Sumber : Profil Desa Sudimara Tahun 2018)
51
4.1.4 Struktur Pemerintahan Desa Sudimara Struktur pemerintahan Desa Sudimara terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, 6 Kepala Urusan (Kaur), dan 10 Kepala Dusun. Grapik 4.1 Struktur Pemerintahan Desa Sudimara
Perbekel Drh. I Nyoman Ariadi Sekretaris Desa I Nengah Sutarma
Kaur Keuangan Ni Wayan Mukri
Usaha Dan Umum Ni Made Sukerti
Kasi Kesra I W Alit Bagiartono
Kasi Pemerintahan I Wayan Mayun
Kaur Perencanaan Ni Made Suyanti
Kasi Pelayanan Ni Wayan Sedani
Kelian Banjar Dinas
Yeh Gangga I Ketut Pinda
Sudimara Kelod I Pt. Wahyudi Putra
Sudimara Kaja I Kt Rusnawan
Cengolo I Gst. Kade Putu Wirawan
Kalangnyar Kangin I Nyoman Artika
Celuk Kanginan I Nyoman Budiarsa
Kalanganyar I Made Suartana
Jelae I Wayan Swastika
Sakeh I Kade Swanada
Katimemes I Made Suardana
Sumber : Profil Desa Sudimara Tahun 2018
52
4.1.5 Struktur Pengurus Adat Banjar Tegalambengan Banjar Adat Tegalambengan adalah bagian dari wilayah Dusun Sakeh, Desa Sudimara. Pengurus Banjar Adat Tegalambengan mempunyai tugas masingmasing untuk melaksanakan kegiatan adat yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Adapun pengurus adat Banjar Tegalambengan adalah sebagai berikut: Grapik 4.2 Struktur Pengurus Adat Banjar Adat Tegalambengan Kelian Adat I Nyoman Sudiarsa
Bendahara Agung Asmara
Sekretaris Dewa Putu Alit Wicara
Juru Arah I Made Sutama
Krama Adat
Sumber : Profil Banjar Adat Tegalambengan Tahun 2018
53
4.2 Prosesi Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar
Tegalambengan,
Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan Pasek Swastika (2009: 1) menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah Bagya Pulo Krethi yang bermakna bahwa kebahagiaan dapat dihasilkan dari berbuat jasa dan amal. Beramal adalah perbuatan baik yang dilakukan dengan tulus ikhlas dengan tanpa pamrih akan hasil dan penghormatan yang mana ini semua merupakan suatu wujud bhakti yang disebut dengan yadnya. Yadnya suci dilakukan atas dasar bhakti yang mana pelaksanaannya tidak terlepas dari suatu tindakan dan perbuatan yang dalam keseharian disebut sebagai Kerja. Jadi dengan kerja dan ilmu pengetahuan, manusia akan dapat melaksanakan apa yang menjadi tujuan hidupnya, yang salah satunya yadnya. Dengan yadnya manusia akan mencapai suatu kesempurnaan dalam hidupnya, sebab terpenuhinya kewajiban hidupnya yang disebut dengan Rnam. Yadnya sebagai suatu bagian dari Rnam wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Karena dengan yadnyalah manusia dapat membalas apa yang telah mereka dapatkan dari-Nya dan merupakan suatu kewajiban pula untuk melakukan yadnya itu sendiri kehadapanNya.
Dalam kitab suci Bhagawadgita Bab III, Sloka 9 disebutkan sebagai berikut: “yajnarthat karmano nyatra loko yam karma-bandhanah tad-artham karman kaunteya mukta-sangah samacara” Terjemahannya: “Dari tujuan berbuat yadnya itu menyebabkan dunia ini terikat oleh hukum karma, karena itu wahai Arjuna, bekerjalah tanpa pamrih, tanpa kepentingan pribadi, wahai Kunti Putra”.
54
Disini jelaslah kiranya bahwa hanya dengan kerja dan ilmu pengetahuanlah manusia akan hidup sempurna dalam memenuhi segala kebutuhannya dan juga rasa bhaktinya kehadapan-Nya. Dalam agama Hindu mengenal adanya tri rnam. Secara harfiah tri rnam adalah tiga hutang manusia yang wajib dibayar atas pengorbanan, pengabdian serta kecintaan dan jasa yang luar biasa yang dilimpahkan kepada manusia. Adapun bagian-bagian tri rnam, sebagai berikut: (1) Dewa Rnam adalah hutang kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan segala bentuk manifestasinya, karena telah berjasa menciptakan alam semesta beserta isinya termasuk manusia; (2) Pitra Rnam adalah hutang jasa kepada leluhur, terutama ibu dan bapak atas jasa-jasanya yang amat besar pula dengan melahirkan serta memberikan kehidupan kepada anaknya; (3) Rsi Rnam adalah hutang kepada para Rsi, Nabe dan Guru karena berkat jasa beliau memberikan ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan. Sebagai wujud bhakti kehadapan ibu, bapak dan leluhur adalah dengan menyelenggarakan upacara Pitra Yadnya. Dasar adanya Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam. Pada prinsipnya melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban hidup bagi seorang anak. Dalam kitab Nitisastra disebutkan sebagai berikut: “Tingkahing suta minuting bapa gawenia mwang guna pindhanen” (Sargah I, bait 13, garis 1). “Tan mangkang jana putra, winwang iniwo tan sah rinaksa namer……. (Sargah I, bait 13, garis 1) “Ring jadmadika metu citta reseping sarwa praja ngenaka……… (Sargah I, bait 4, garis 1) “Yan ing putra suputra sadhu gunawan memandangi kula wan dawa………… (Sargah V, bait 1, garis 4)
Terjemahannya: “Kewajiban (sikap, tingkah laku dan perbuatan) seorang anak patut mentaati orang tua dan mempelajari guna baiknya, sebab bukanlah hal itu yang menjadi kewajiban seorang anak yang benar-benar sadar pemeliharaan orang tua terhadap dirinya. Oleh karena itu, seorang anak
55
yang menghendaki hidup utama patut mengusahakan kesejahteraan orang tua atau keluarga. Sebab yang menjadi kewajiban seorang anak yang baik adalah anak yang disebut sadhu gunawan, yakni anak yang dapat memberikan cerahnya suasana keluarga”. Sebagai seorang manusia harus menyadari bahwa dalam hidup ini berhutang jasa kepada orang tua, baik semasih orang tua hidup dan setelah orang tua meninggal dunia. Adapun pitra yadnya yang dapat dilakukan dalam kali pertama setelah orang tua meninggal adalah dengan melakukan upacara pengabenan. Upacara ngaben memiliki makna untuk mempercepat proses pengembalian unsur panca maha bhuta ke asalnya, yaitu: akasa (eter), bayu (angin), teja (panas), apah (air) dan pertiwi (tanah) atau sebagai sarana untuk menyucikan roh atau atman (purusa) orang-orang yang telah meninggal agar terlepas dari ikatan panca maha bhuta (prakerti) sehingga dapat menuju ke alam swah loka (Ida Rsi Bujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyothi, 2017: 3). Dalam setiap upacara pengabenan yang dilaksanakan diperlukan adanya tatanan yang disebut dengan prosesi atau tahapan pelaksanaan upacara. Dalam ajaran agama Hindu, tatanan ini merupakan bagian dari Kerangka Agama Hindu terdiri dari tattwa, susila dan upacara. Tatanan upacara ini bagian dari susila agama Hindu yang merupakan etika dalam melaksanakan upacara maupun upakara. Hal ini dimaksudkan agar upacara pengabenan dapat berjalan dengan baik, hening, tertib, terarah sehingga dapat mencapai tujuan dari upacara yang dilaksanakan tersebut. Seperti pada upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, selalu ada tatanan dalam artian tahapan atau prosesi pelaksanaan.
56
Upacara Pitra Yadnya (Ngaben) banyak tahapan yang dilakukan dan setiap tahapan memakai sarana upakara (banten) yang berbeda. Adapun tahapan upacara pitra yadnya yang dapat dilakukan dalam kali pertama setelah seseorang meninggal adalah dengan melakukan pengabenan yang dilanjutkan dengan upacara penyucian roh yang disebut dengan Mamukur dan diakhiri dengan mensthanakan roh beliau di Sanggah Kamulan disebut dengan Ngelinggihang Dewa Hyang. Yang juga disertai dengan upacara Meajar-ajar ke Catur Parahyangan (Pasek Swastika, 2009: 11). Pasek Swastika (2009: 16-25) menguraikan bahwa jika dilihat dari proses ngaben sesuai dengan keadaan jenasah, maka ngaben dibagi menjadi lima, yaitu: (1) Sawa Wedana merupakan proses upacara ngaben yang dilaksanakan secara langsung tanpa ditanam terlebih dahulu; (2) Asti Wedana adalah upacara yang dilakukan bila jenasah telah terlebih dahulu dikubur dengan tata cara penguburan biasa. Apabila telah siap dilakukan upacara ngaben, maka kuburan dibongkar diambil tulang belulangnya untuk digeseng; (3) Ngaben Swasta merupakan pelaksanaan atiwa-tiwa terhadap orang yang telah meninggal yang mana jenasahnya tidak mungkin ditemukan kembali atau karena oleh sebab sesuatu hal karena letaknya terlalu jauh dari jangkauan; (4) Ngelungah adalah upacara ngaben untuk anak-anak yang belum tanggal gigi; (5) Ngaben Numandang Mantri merupakan upacara pengabenan dimana setelah pembakaran jenasah dilanjutkan dengan nganyut dengan tanpa adanya jeda waktu dilakukan mapegat mengeningngening, mecaru, ngerorasin, nyepuh dilaksanakan penyekahan dengan diawali upacara Ngangget Don Bingin, ngajum sekah, pralina (kageseng), selanjutnya
57
kembali ngelinggihang puspalingga dan terakhir nganyut setelah itu barulah diadakan upacara meajar-ajar serta ngelinggihang Dewa Hyang. Melaksanakan upacara keagamaan, keberadaan banten mempunyai peranan penting sebagai sarana untuk mencapai tujuan dari upacara tersebut. Namun penggunaan banten sebagai sarana upacara disesuaikan dengan jenis dan tingkat upacaranya. Begitu pula halnya dalam melaksanakan upacara ngaben sebagai bentuk upacara pitra yadnya, banten mempunyai peranan penting. Banten biasanya dibuat dirumah yang bersangkutan bersama krama adat setempat. Para kaum wanita akan datang nguopin membuat sarana upakara atau bebantenan, demikian pula dengan kaum laki-laki bergotong royong membuat sarana upakara. Tetapi ada juga yang membeli banten upacara ngaben, hal ini menyangkut keefektifan dan keefisienan waktu. Selain karena kesibukan masyarakat di jaman sekarang serta banten pengabenan yang secara kualitas dan kuantitas terbilang sulit dan banyak. Pada upacara ngaben masyarakat banjar Tegalambengan biasanya membeli di Griya atau Sulinggih.. Seperti disampaikan oleh Mangku Sumerta (Wawancara, 2 Maret 2019) sebagai berikut: “Mengingat semakin padatnya aktivitas masyarakat dengan kesibukannya bekerja dan untuk mengefisienkan waktu serta tenaga, sehingga dalam melaksanakan upacara ngaben untuk sarana upakara atau banten biasanya membeli di Geriya. Untuk harga banten pengabenan lengkap berkisar Rp. 36.000.000,- sudah termasuk daging upacara. Sedangkan untuk banten seperti pejati, ayaban, dan lainnya dibuat di rumah yang bersangkutan”.
58
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehidupan ritual keagamaan dengan menggunakan banten adalah sebagai sarana menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Aktivitas tersebut merupakan warisan budaya turun temurun bagi umat Hindu. Dalam pembuatan banten sekarang ini sudah tidak seperti jaman dulu yang segala sesuatunya membuat sendiri atau dikerjakan secara gotong royong. Di jaman sekarang masyarakat hindu lebih senang membeli segala sesuatu dalam keperluan upacara agama, dengan alasan mudah atau praktis dan tuntutan perkembangan jaman yang membuat masyarakat sibuk dengan kegiatan masing-masing atau karirnya. Dengan kecendrungan tersebut menjadikan masyarakat Hindu lupa dengan jati diri sesungguhnya. Dalam menghadapi hal dan perubahan tersebut maka seharusnya masyarakat Hindu harus menemukan kembali identitas dirinya untuk membangun pijakan budaya yang kuat, sehingga tidak tergerus oleh perkembangan jaman. Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan termasuk kedalam upacara Ngaben Numandang Mantri atau Ngelanus. Dasar pijakan dalam pelaksanaan upacara ngaben ngelanus menurut lontar Yama Tattwa (dalam buku Atiwa-tiwa milik Griya Belalang, 1957: 55) dinyatakan sebagai berikut: “Niyan kramaning Atiwa-tiwa, nista niya upakara niya ngelanus, sane maupakara premangke puput antuk pangentas, nista, madya, utama, pelaku niya tan pewadah tan petulangan, tan pedamar kurung, ringkes juga sawa ika, upakara niya banten teben, bebangkit asiki, gelar sanga siki, kewale saji muang nasi angkeb muang pecaruan”. Terjemahannya: “Ini pelaksanaan pengabenan yang paling kecil upacaranya ngelanus, yang diupacarai seketika itu juga, penyelesaiannya dengan tirta pangentas, kecil, menengah, utama, pelaksanaannya tidak menggunakan wadah, petulangan, damar kurung, tetapi melaksanakan upacara pengringkesan
59
mayat itu, upakaranya berupa banten teben, bebangkit 1 soroh, gelar sanga 1 soroh, saji, nasi angkeb dan pecaruan”. Upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan termasuk ngaben ngelanus juga disampaikan oleh Sudiarsa (Wawancara, 2 Maret 2019) sebagai berikut: “Proses upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini sama seperti ngaben pada umumnya dan termasuk ngaben ngelanus, hal ini mengingat kemampuan masyarakat untuk menghemat dana, tenaga, dan waktu yang tersedia. Proses upacaranya berlangsung satu hari penuh, dimana setelah melaksanakan pembakaran jenasah, selanjutnya nganyut, kemudian tahap kedua adalah upacara ngerorasin, kembali nganyut, dan terakhir adalah ngelinggihang Dewa Hyang di Sanggah Kamulan”. Namun hal tersebut tidak mutlak apabila ada suatu upacara yadnya, seperti piodalan di Kahyangan Tiga atau upacara di pura Besakih, maka jenasah tidak bisa diupacarai ngaben, namun hanya dipendem/mekingsan di geni saja, sampai pada
saat
ada
dewasa
nantinya
barulah
melaksanakan
upacara
pengabenan”. Dari pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa upacara pangabenan di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan termasuk ngaben numandang mantri atau ngelanus. Hal tersebut bila dilihat
dari segi waktu
pelaksanaan, mengingat kemampuan, dan waktu yang tersedia. Disamping juga untuk meminimalisasi dana, serta keberadaan waktu karena keadaan masyarakat yang cenderung sibuk dan ingin serba praktis dan efisien. Sehingga upacara pengabenan dilaksanakan secara langsung dari upacara pengabenan sampai
60
nganyut, kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua yakni upacara ngerorasin (memukur) tanpa adanya jeda waktu sampai upacara tersebut selesai, yaitu upacara ngelinggihang Dewa Pitara yang sebelumnya dilakukan upacara nangkilang Dewa Pitara atau meajar-ajar. Tetapi harus diperhatikan apabila ada suatu upacara dilaksanakan desa adat setempat, seperti piodalan di Kahyangan Tiga, ngenteg linggih, ngusaba atau upacara yang sedang dilaksanakan di pura Besakih, maka pengabenan tidak dapat dilaksanakan. Adapun proses atau tahapan upacara ngaben terhadap jenasah yang baru meninggal di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan, sebagai berikut: 4.2.1 Persiapan Ngaben Pasek Swastika (2009: 25-35) menguraikan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelum upacara pengabenan dilaksanakan, sebagai berikut: 1) Baru Meninggal a.
Ketika seseorang dinyatakan meninggal maka jenasahnya segera harus dibersihkan (dimandikan). Menurut tattwa orang yang dikatakan mati apabila atmannya telah lepas dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang membentuk badan. Dalam Wrespati Tattwa disebutkan sebagai berikut: Kala ikang pati ngarania wih turun mapasah lawan panca maha bhuta juga takeang atma risarira, Ikang aganal juga ilang, Ikang atma langeng tan molah, Apan ibek ikang rat kabeh dening atma
61
Terjemahannya: Pada waktu mati namanya hanya berarti berpisahnya panca maha buta dengan atma yang ada pada tubuhnya, Hanya badan kasarnya saja yang lenyap, Sedangkan atmanya tetap tak berubah, Sebab dunia ini penuh dengn atma. (Swastika, 2005:8)
Terhadap orang yang baru meninggal dunia dilakukan doa (puja pralina) oleh keluarga atau orang yang menjumpai pertama kali (pegat angkihan). Tujuan puja pralina ini untuk mendoakan roh orang yang meninggal diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi dan mencapai kesucian. Puja pralina dikutip dari buku Antyesti Samskara oleh Drs. I Ketut N. Natih, sebagai berikut: “Om A Ta Sa Ba I Om Wa Si Ma Na Ya Mang Ang Ung Murchantu Swargantu Moksantu Shamantu, Ang Ksama Sampurnaya Namah Swaha”.
Terjemahannya: “Semoga tenang dalam menghembuskan nafas terakhir, dalam perjalanan ke sorga dan semoga mencapai moksa. Semoga sempurna semuanya”. Menurut Dewa Putu Werdi selaku Siwa ring Geriya Lumajang (29 Maret 2019) menyatakan bahwa apabila almarhum meninggalnya di rumah sakit, maka diselenggarakan upacara ngulapin/nebusin, tetapi apabila meninggalnya di rumah yang bersangkutan tidak melaksanakan upacara ngulapin, namun hanya menghaturkan upakara berupa: nyejerang daksina.
62
b.
Kemudian jenasah diletakkan pada Balai upacara atau Bale Gede dengan posisi kepala berhulu utara atau timur. Dihaturkan upakara berupa: daksina.
c.
Sekujur tubuhnya diberi air kayu cendana atau air kumkuman
d.
Dagu disela dengan kain atau diikatkan ke ubun-ubun , agar mulut tidak menganga
e.
Mata ditutup dengan uang kepeng
f.
Telinga dan hidung ditutup dengan kapas, agar tidak kemasukan binatang kecil
g.
Seluruh tubuh ditutup dengan kain rurub yang baru
h.
Lalu disuguhi soda berupa nasi, minuman, buah-buahan, jajan dan lainnya dengan dilengkapi canang sari kelengkapannya. Bisa juga menyuguhkan makanan kesukaan almarhum semasih hidup.
2) Persiapan Sebelum memandikan jenasah, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan, adalah sebagai berikut: a.
Alat pebersihan Berupa : kapar berisi sisig, ambuh, tepung tawar, nasi segawu, lengis gamet, kunyit, bangle dan gamongan (sami mecacak). Yeh kumkuman, don intaran, don tuwung bolo, don dapdap, sisir, cermin, waja, pecahan kaca, sabun, benang itik-itik, kain angkeb rai dan kain angkeb baga (putih).
b.
Eteh-eteh sawa
63
Berupa : kain putih untuk saput, kamben, tapih, sabuk, udeng, pengulungan, angkeb rai, angkeb baga, leluwur dan tatindih (semua ini didapat dan dimohonkan dari Geriya atau Sulinggih). c.
Kain putih untuk bantal yang berisi pis bolong 11 kepeng.
d.
Kain kuning untuk saput atau selendang, rantasan kain putih kuning dan kain anyar
e.
Samsam, bunga dan kwangen
3) Tirta Surayin (2002: 16) menyebutkan ada bermacam-macam tirta yang diperlukan sebelum upacara pengabenan berlangsung, yaitu: a.
Tirta Kamulan/merajan/kawitan adalah tirta pengrestuan agar perjalanan atma yang meninggal dan upacara pitra yadnya berjalan lancar.
b.
Tirta Kahyangan tiga sebagai pekeling bahwa sang atma yang meninggal akan menghadap ke pura kahyangan karena menurut kepercayaan.
c.
Tirta pemargi dari Geriya/Pandita adalah tirta permohonan dari Sulinggih.
d.
Tirta penglukatan untuk ngelukat atau menghilangkan mala petaka jenasah.
e.
Tirta pabersihan untuk membersihkan segala mala dan kekotoran jenasah.
f.
Tirta penembak, merupakan air suci yang didapatkan di ulun tukad atau mata air yang digunakan untuk memandikan jenasah, membersihkan jasadnya dari kekotoran-kekotoran lahir bathin.
64
g.
Tirta pangentas sebagai tirta pengentas atau menghancurkan jasad yang meninggal dunia saat diupacarai.
h.
Tirta mrelina atma dimaksudkan agar jiwatma yang meninggal pergi ke alam asalnya.
4) Membuat Pepaga dan Slepa a. Pepaga terbuat dari bambu dengan hitungan harus jatuh pada wangke dan galar. Besar dan panjangnya disesuaikan denga keadaan jenasah. b. Tali keteklung untuk ikatan c.
Pepaga ditempatkan di halaman rumah, diatasnya dipasang atau direntangkan leluwur berupa kain putih. Setelah siap, barulah jenasah diturunkan. Pepaga ini sekaligus bisa dipergunakan untuk mengusung jenasah ke Setra. Banten pemelaspas pepaga berupa: daksina, ketipat, lis.
5) Memandikan jenasah (ngeringkes) Menurut lontar “Tutur Saraswati” (dalam Sudarsana, 2008; Supartika, 2011: 44), kata ngaringkes bersal dari kata ringkes yang maksudnya dibulatkan menjadi satu atau menjadi tunggal. Sesungguhnya manusia berasal dari “Ongkara Sunya”, kemudian bermanifestasi menjadi “Ongkara Mula”, dan dari sini bermanifestasi menjadi sastra “Modre”, Wreastra, dan menjadi sastra “Swalalitha”, sehingga memiliki sebutan “Manusa”. Kemudian dari ketiga bentuk sastra ini bermanifestasi menjadi 108 aksara suci untuk memberikan kekuatan terhadap semua organ tubuh yang ada. Semua dari organ tubuh manusia adalah merupakan aksara suci tak tertulis atau disebut dengan “sastra dirga”. Sesungguhnya asal dari dosa dan moksha manusia
65
adalah tergantung dari mampu atau tidaknya manusia itu sendiri mempertahankan kesucian dari aksara sucinya yang dikaruniai oleh Sang Hyang Widhi. Sehingga ajaran agama Hindu menuntun umatnya agar setiap saat mampu meningkatkan kesucian diri dari segala aspek kehidupan, setelah meninggalkan dunia, aksara-aksara tersebut disucikan, serta dikembalikan ke bentuk tunggal yaitu ke “Aksara Ongkara Mula”. Hal itulah yag disebut “Ngaringkes”. Upacara ngeringkes yang dilakukan dalam rangkaian upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan adalah proses dari memandikan jenasah sampai dengan diberi pakaian, seperti layaknya orang masih hidup, sebagai tanda penghormatan kepada almarhum dan dilanjutkan dengan persiapan muspa (badan jenasah tidak dikerubungi seluruhnya) maksudnya agar bagian mukanya nampak dengan tujuan untuk menyatukan bayu, sabda, idep ke semua unsur baik yang bersifat sekala maupun niskala, dan diteruskan memohon Sang Hyang Siwa Raditya, tirta kehadapan panglukatan pabersihan untuk dipercikkan ke jenasah dan diayab banten seperti: bubur pirata, nasi angkeb, saji sebagai bekal roh meninggalkan dunia ini. a. Proses memandikan jenasah Proses ini dilakukan di halaman rumah keluarga yang bersangkutan. Sebelum jenasah diusung ke tempat pemandian, terlebih dahulu diadakan upacara Nanginin yaitu membangunkan almarhum seperti halnya membangunkan orang yang sedang tidur dengan memanggil namanya dan
66
mengucapkan kata-kata dengan lemah lembut serta diberitahukan untuk segera dimandikan disertai dengan mengumandangkan kidung. b. Selanjutnya jenasah diangkat dan diletakkan pada pepaga yang telah disediakan, masih diiringi dengan kekidungan. Jenasah membujur ke utara atau ke timur. Dalam upacara memandikan jenasah ini diperlukan beberapa upakara atau bebantenan, yaitu: Lis bale gading, api takep, eteh-eteh pabersihan hidup, eteh-eteh pabersihan mati, saji alit/soda, peras, pengambyan, biakawon, durmanggala, pengulapan, prayascita. c. Kain rurub dibuka dengan hati-hati, selanjutnya kegiatan memandikan jenasah dimulai dengan urut-urutan sebagai berikut: 1.
Kemaluan ditutup dengan kain yang telah disediakan, hal ini dilakukan oleh anak yang tertua atau terkecil. Bila almarhum pria dilakukan oleh anak pria begitu sebaliknya.
2.
Keramas dilakukan oleh anak tertua atau oleh orang tua almarhum, dengan maksud memberikan jalan dan maaf bila masing-masing telah melakukan suatu kesalahan selama hidupnya. Setelah itu barulah dilanjutkan oleh Pandita (Ratu).
3.
Mencuci muka dengan sabun sehingga, lalu mesisig dengan jaja uli yang dibakar.
4.
Sekujur tubuh dimandikan dengan memakai blonyoh (gamongan, kunyit dan bangle) terus dibasuh, diberi sabun dan dibilas selanjutnya diberi air kumkuman.
5.
Tikar diganti dengan yang baru.
67
6.
Semua kuku dikerik dan dibungkus dengan daun dapdap. Kerikan kuku tangan diletakkan dibawah telapak tangan yang posisi amusti sedangkan kerikan kuku kaki diletakkan disela-sela kaki posisi ngeka padha. Alat yang digunakan untuk mengerik kuku jenasah adalah dengan temutik. Temutik ini merupakan simbol kekuatan untuk menetralisir kekuatan Sad Ripu dan Sapta Timira yang kelak mempengaruhi perbuatan manusia
dimasa hidupnya, sehingga
tangan dan kakilah simbol dari karma tersebut. Dipandang dari tattwa, menyucikan kuku yang disebut Sanghyang Kenaka Manik karena telah dikotori perilaku manusia (Lontar Agastyaprana (dalam Sudarsana, 2002: 43; Supartika, 2011: 48). 7.
Kepala jenasah diberikan bantal blayag pisang kaikik dengan 225 uang kepeng dan diberikan destar bila laki-laki sedangkan bila wanita disanggul.
8.
Kenakan kain penggulungan, jika pria penutup kain lipatannya ke kiri, sedangkan jika wanita arah ke kanan.
9.
Mesasad dengan daun alang-alang dari kepala hingga kaki.
10. Pada tangan kanan dan kiri diletakkan masing-masing 1
kwangen
dengan 5 uang kepeng. Di ubun-ubun 1 kwangen dengan 11 uang kepeng. Dada 1 kwangen dengan 11 uang kepeng. Kaki kanan dan kiri masing-masing 1 kwangen dengan 5 uang kepeng. Lambung kanan dan kiri masing-masing 8 kwangen dengan 15 uang kepeng. Selanjutnya kembali diperciki air kumkuman.
68
d. Memasang kelengkapan sawa dan makna simbolis dari eteh-eteh layon, sebagai berikut: 1.
Kaca diletakkan pada mata maknanya tajam dan cemerlang
2.
Momon pada mulut maknanya bicara tidak terlepas dari dharma dan selalu berharga di setiap perkataan.
3.
Daun intaran pada alis maknanya bentuk alis baik dan ideal.
4.
Bunga teleng diletakkan diantara alis maknanya memiliki kedalaman wawasan.
5.
Daun delem pada pipi agar pipi menjadi indah dan sempurna bentuknya.
6.
Bunga melati pada hidung agar penciuman tajam.
7.
Bunga kelor pada taring agar indriya (sad ripu) terkendali.
8.
Lempengan tembaga pada gigi agar kuat dan kokoh.
9.
Sekeping besi pada kaki kiri dan kanan agar kuat dan kokoh dalam bergerak.
10. Daun terong bolo pada kemaluan pria sedangkan wanita daun tunjung putih, maknanya agar sehat dqan nafsu terkendali. 11. Anget-anget pada puser atau hulu hati agar luhur budi pekertinya. 12. Memasang itik-itik pada ibu jari tangan dan kaki berbentuk angka delapan, kemudian seluruh tubuh diberikan wangi-wangian agar harum dalam segala perilaku.
69
Gambar 1.2 Upacara memandikan jenasah
Sumber : Dokumentasi Nila Dewi Tahun 2019 e. Pemercikan Tirta Setelah lengkap semua, kemudian,. sang pandita memohon kehadapan Sang Hyang Siwa Raditya, tirta penglukatan dan pabersihan. Barulah jenasah tersebut diperciki tirta penglukatan pabersihan dan tirta kahyangan lainnya. f.
Pengaskaran Ngaskara adalah penyucian roh dari Atma Preta (roh orang baru meninggal) menjadi Pitara. Ketika seseorang meninggal, maka prakerti (badan kasar) terpisah dengan atma (antahkarana sarira), tapi masih diikuti oleh suksma sarira (badan halus). Makna upacara pengaskaran
70
untuk mengembalikan unsur Panca Maha Butha secara sempurna ke asalnya, sehingga kesucian dari sang petra terus ditingkatkan, dari petra menjadi pitra, pitra menjadi dewa pitara, kemudian dari status dewa pitara menjadi hyang pitara (Ida Rsi Bujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, 2017: 5). Upakaranya terdiri dari: Panjang ilang matah lebeng, suci, ayaban, bubur pirata 54 buah mealed tempeh, bubuh putih 1, bubuh kuning 1, nasi angkeb, pengangon, pengadang, pancung. g.
Ngajum Kajang Ngajum kajang merupakan proses penulisan huruf-huruf magis berupa wijaksara oleh Pandita (Siwa) di selembar kain putih yang maknanya membersihkan dan menyucikan pengawak jenasah. Kajang adalah selimut dari kain putih yang bertuliskan Sad Dasaksara (16 bijaksara). Dalam pelaksanaan upacara ngajum wajib diikuti oleh seluruh keluarga dan kerabat yang meninggal, karena upacara tersebut merupakan simbol bhakti bagi seluruh pratisentana dan kerabat terhadap orang yang telah meninggal. Upakaranya terdiri dari: Suci, daksina, peras, sodan, pabersihan, kwangen 22, lis penyeneng,
h.
Jenasah lalu dibungkus dengan kain putih serta diberi pakaian, kemudian digulung dengan tikar dan kain yang telah dirajah serta diakhiri dengan lante yang terbuat dari bambu. Selanjutnya jenasah dimasukkan ke dalam slepa atau peti. Didalam peti diberikan upakara berupa: daksina, bubur pirata, basen selasih. Lalu disembah oleh sanak keluarga yang bersangkutan.
71
i.
Tempatkan pada balai upacara. Peti secara keseluruhan ditutup dengan kain putih, untaian sekar/kereb sinom dan kain kajang. Penutupan tersebut dilakukan setelah diadakan Pengaskaran yang dibarengi dengan upacara Ngajum Kajang. Kemudian haturkan sodan dengan makanan yang disenangi oleh almarhum semasih hidup dan disembahyangi oleh keluarga yang bersangkutan.
j.
Malam hari atau pada hari yang sama sesuai dengan situasi dilakukan saji tarpana di bale upacara dan ngantebang banten teben. Upakaranya berupa: punjung putih kuning, dapetan, Kasturi, gebogan samuhan, uter, peras, pengambyan, tumpeng guru dan saji. Fungsi upakara ini sebagai pemberian berupa jamuan makanan pada roh orang yang telah disucikan.
k.
Pada saat layon ditempatkan pada tempat yang diperuntukan, ditutup dengan kajang serta kereb sinom yang telah diupacarai oleh Pandita (Siwa). Bila telah datang hari baik minimal/maksimal 7 hari sejak meninggal, maka jenasah diusung ke Setra untuk diupacarai ngaben.
4.2.2 Dewasa Ngaben Pasek Swastika (2009: 31-34) meyatakan untuk dewasa ngaben ada beberapa yang perlu diketahui. Hal ini terpengaruh atas pergerakan matahari ke utara dan ke selatan.
72
1) Berdasarkan Sasih Dilihat dari pergeseran matahari disebutkan ada tiga kategori, yaitu: a. Angutarayana Pada saat ini matahari bergerak ke utara. Pada saat ini menunjukkan sasih kedasa, dyestha, asada, kasa, karo, dan katiga. Umumnya pada saat ini baik untuk upacara pitra yadnya. Sebab pintu alam Wisnu, Pitra dan Yama sedang terbuka. Akan tetapi khusus untuk sasih kedasa tidak diperkenankan untuk membakar mayat, dianggap mencemari alam sekala dan niskala. Karena sasih kedasa adalah saat pesamuhan para Dewa, sedangkan sasih dyestha dan asadha dianggap sasih mati atau sasih tanpa amertha. b. Indrayana Saat matahari berada di tengah-tengah belahan bumi. Ada dua saat matahari berada di tengah, yaitu pertama saat matahari datang dari utara menunjukkan sasih kapat dan kedua saat matahari datang dari selatan menunjukkan sasih kawulu. Dalam lontar-lontar tentang wariga dikatakan bahwa pada saat ini alam Dewa sedang terbuka. Oleh karena itu saat sasih ini sangat baik untuk melaksanakan Dewa Yadnya sedangkan pada sasih kawulu baik untuk upacara Bhuta Yadnya. c. Daksinayana Saat matahari berada dibelahan selatan bumi, pada saat ini menunjukkan sasih kalima, kanem dan kapitu. Pada sasih kalima baik untuk upacara Dewa Yadnya dan Manusa Yadnya. Sedangkan sasih kanem
73
dan kapitu sangat baik untuk Bhuta Yadnya. Dengan demikian, maka sasih yang baik untuk melaksanakan upacara Pitra Yadnya khususnya ngaben adalah kasa, karo dan katiga. Sedangkan sasih kanem, kapitu disebut dewasa madya. Pada sasih kedasa boleh asal jangan membakar mayat. Akan tetapi khusus memukur atau nyekah sangat baik dilaksanakan pada sasih kedasa. Semua itu disebutkan pada Bhagavadgita Bab VIII Sloka 2425 yang berbunyi sebagai berikut: “agnir jyotir ah ah suklah san-masa uttarayanam, tattra Prayata gacchanti brahma-vido janah” Terjemahannya: “api air sinar bulan terang (sukla paksa) waktu matahari ke utara, dengan mengambil jalan ini mereka yang mengetahui Brahman, akan pergi ke Brahman”. Selanjutnya disebutkan kembali sebagai berikut : “dhuma ratris tatha krsnah san-masa daksinayanam, tatra candramasam jyotir yogi prapya vivartate”. Terjemahannya: “asap bulan gelap (kresna paksa) pada waktu matahari keselatan, mengambil jalan ini bagi para yogi mencapai sinar bulan dan akan kembali”.
2) Berdasarkan Wuku dan Wewaran Wuku ingkel wong dan was penganten tidak diperbolehkan untuk Ngaben. Sedangkan hari atau wewaran yang tidak boleh dipergunakan untuk ngaben adalah sebagai berikut: a. Kala Gotongan b. Semut sedulur
74
c. Hari yang berurip 13 diapit oleh 14 atau sebaliknya. d. Pasah, purwani, purnama, tilem e. Panglong apisan (catus pamanggahan) dan panglong atau pinanggal ping 8 yang disebut gagak anungsang pati. Sedangkan hari yang baik untuk upacara ngaben, berdasarkan atas wuku dan wewaran adalah sebagai berikut: Buda dan wrespati wuku landep, Anggara dan saniscara wuku ukir, Wraspati wuku kulantir, Anggara dan sukra wuku gumbreg, Wraspati wuku julungwangi, Buda dan sukra wuku kuningan, Wraspati dan sukra wuku pahang, Sukra wuku merakih, Soma wuku medangkungan, Sukra wuku matal, Buda wuku uye, Redite wuku prangbakat, Soma dan saniscara wuku ugu, Buda wuku wayang, Sikra wuku kelawu. Hari-hari tersebut merupakan patokan berdasarkan wewaran, namun harus diperhatikan apakah hari-hari tersebut tidak kekeran desa atau kekeran jagat. Kekeran desa maksudnya hari yang disengker oleh suatu upacara yang sedang dilaksanakan oleh desa adat, misalnya piodalan, ngenteg linggih, ngusaba, dan sebagainya. Sedangkan kekeran jagat artinya hari yang disengker oleh daerah khususnya Bali saat Panca Wali Krama atau pelaksanaan upacara lainnya yang sedang dilaksanakan di pura Besakih serta Sad Kahyangan lainnya. 4.2.3 Pelaksanaan Upacara Pengabenan Upacara ngaben dilakukan sebisa mungkin maksimal paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak meninggal. Hal ini sesuai dengan Hasil Seminar
75
Parisadha Hindu Dharma dan hasilnya tertuang dalam Piagam Campuhan sebagai hasil Pesamuan Agung tanggal 17-23 Nopember 1961, disebutkan sebagai berikut: a.
Dalam 7 hari tidak memilih dewasa, tetapi tetap memperhitungkan desa, kala, patra. Seperti bila di desa dalam pelaksanaan upacara pada kahyangan tiga, maka ngaben tidak boleh dilaksanakan.
b.
Dalam 7 hari tidak memilih dewasa, akan tetapi tetap menghindari saniscara kliwon, buda kliwon, anggara kliwon, bida wage, prewani, purnama, tilem, pasah, kala gotongan,semut sedulur, patirtan ring kahyangan desa setempat, dan patirtan ring merajan.
c.
Bila hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam 7 hari maka jalan keluarnya adalah dilakukan dengan jalan dikubur terlebih dahulu dan dilakukan pada malam hari atau menjelang pagi tanpa upacara atau dengan jalan mekingsan di geni. Adapun beberapa tahapan upacara ngaben nyebrang tukad di banjar
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut: 1) Upacara Melaspas Bale Pengusungan atau Jempana Jenasah yang akan dibawa ke Setra, terlebih dahulu dilakukan upacara melaspas Bale Pengusungan, maknanya agar bale pengusungan yang dibuat oleh tukang menjadi bersih, suci, dan selamat dalam perjalanan menuju setra. Upakaranya terdiri dari: suci, daksina, sesayut, peras, pengambyan, banten guru, pengiring, ulam karangan, urip-urip, tigasan putih, kasa lelancingan,
76
saung-saung, andel-andel, tetimpug, jerimpen pemelaspas, tumpeng putih kuning, caru ayam brumbun. 2) Upacara turun sawa Jenasah diturunkan dari bale upacara menuju bale pengusungan. Makna upacara tersebut untuk memohonkan penurunan jenasah dari bale upacara ke tempat pengusungan agar prosesnya berjalan lancar dan selamat. Upakaranya terdiri dari: Suci, dapetan, peras, pengambyan, sodan, tipat kelanan, sesayut, sujang medaging tuak, nasi mewadah wakul, ulam karangan, balung-balung. 3) Mapegat Upacara ini dilaksanakan di pintu masuk pekarangan rumah. Sebelum jenasah dibawa ke setra, keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacara mapegat sebagai simbol pemutusan hubungan duniawi dengan sang meninggal sehingga perjalanan ke alam berikutnya tidak terhalangi. Sebagai tanda perpisahan, maka kaum kerabat yang ditinggalkan menghadapi banten yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Banten ini disebut banten sambutan/papegat. Sarana upakaranya, terdiri dari: papegatan satu soroh, peras, sorohan, daksina, ubad don dadap satu takir, lidi 3 batang, uang 3 kepeng, sodan, tipat kelanan, carang dapdap berisi benang dan uang kepeng. Setelah selesai banten dihaturkan, tali benang ini dilabrak masuk hingga putus.
77
4) Upacara Malebu atau Makutang. Upacara malebu atau mekutang bermakna sebagai tanda keikhlasan melepaskan kepergian jenasah menuju ke tempat yang dituju. Pada tahap ini, jenasah akan dibawa ke setra dengan diusung di atas jempana diiringi gamelan dan kidung. Pada setiap persimpangan jalan, jenasah akan diputar sebanyak tiga kali kearah kiri atau prasawya, yang maknanya sebagai simbol perpisahan. Upakaranya berupa sekar ura yang ditaburkan pada setiap langkah perjalanan dan pesimpangan jalan yang dilalui. Bahan dari sekar ura terdiri dari beras catur warna dicampur bunga-bungaan, uang kepeng dan uang logam. Menurut Sudarsana (2008: 126) menyatakan bahwa kata sekar berarti kesuma yang artinya keikhlasan, beras catur warna adalah sebagai nyasa, catur raksa yaitu suka, duka, lara, pati, sedangkan uang kepeng adalah nyasa sunya mertha. Dengan demikian sekar ura mengandung makna kalau bertujuan mencari alam sunia hendaknya didasarkan dengan ketulusan serta keikhlasan baik yang bersifat lahir maupun bathin. Upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan sejak zaman dulu dan turun temurun. Untuk prosesi upacaranya, karena melewati sebuah pertemuan aliran sungai (campuhan) yang bagi warga setempat dianggap keramat, maka sehari sebelumnya Pemangku setempat sudah terlebih dahulu matur piuning di campuhan atau sungai yang akan dilewati. Tujuannya agar ketika menyebrangi sungai dapat berjalan lancar dan selamat. Apabila saat upacara kondisi air sungai bah, maka pemangku akan matur piuning di aliran sungai agar air sungai tidak bah. Dan
78
sesuai kepercayaan, usai matur piuning air sungai yang semula besar akan surut secara perlahan sehingga prosesi pengabenan tetap aman dilaksanakan. Letak Setra banjar Tegalambengan terbilang unik karena berada pada pertemuan tiga buah sungai (Campuhan), yakni disebelah timurnya ada aliran sungai Yeh Nu dan sungai Samsam, sedangkan di sebelah baratnya ada aliran Sungai Yeh Empas yang akan bermuara tepat di depan areal Setra. Atas kondisi tersebut, warga banjar Tegalambengan memang tidak memiliki akses jalan menuju Setra, sehingga harus menyeberangi sungai dengan berenang. Dalam wawancara (Bapak Kelian Adat, tanggal 30 Januari 2019) menyatakan bahwa pada hari-hari suci tertentu biasanya akan banyak orang yang melukat di campuhan ini, karena pertemuan tiga buah aliran sungai (campuhan) tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis, yang dapat mengobati berbagai penyakit serta membersihkan tubuh lahir dan bathin. Keunikan dari sungai ini adalah apabila musim hujan tiba di hulu sungai sebelah utara, maka air yang datang dari utara akan berputar di campuhan dan tidak langsung mengalir keselatan, tetapi air tersebut akan berputar ke arah timur menuju sungai di sebelah timur yang airnya belum sampai di campuhan, seolah-olah air sungai sebelah utara menunggu atau menjemput air sungai sebelah timur. Setelah air dari sungai sebelah timur tiba dan keduanya bertemu, barulah kemudian secara bersama-sama mengalir ke selatan. Dari areal pemukiman warga, jarak menuju Setra sekitar 800 meter. Dan dari bibir sungai menuju Setra berjarak sekitar 150 meter. Lebar sungai sekitar 10 meter, dan warga harus menempuh jarak sekitar 150 meter untuk sampai di Setra. Air
79
sungai tersebut bisa dikatakan cukup tenang, namun debitnya akan bertambah ketika musim hujan tiba, dan arusnya pun semakin kuat. Pada saat musim kemarau kedalaman air sungai kira-kira 1,5 meter, tetapi kalau musim hujan bisa mencapai 5-8 meter. Maka dari itu, tak jarang ketika ada Pengabenan peralatan yang digunakan hanyut. Bahkan warga pun terkadang tak kuat melawan derasnya arus sungai. Pada gambar dibawah nampak sanggah penyawangan yang berada di tepi sungai (campuhan) Banjar Tegalambengan. Gambar 1.3 Sanggah Penyawangan
Sumber: Dokumentasi Nila Dewi Tahun 2019 Di jaman modern sekarang ini, masyarakat Banjar Tegalamengan masih memegang kuat tradisi yang sudah berlangsung turun temurun yang dianggap sebagai pengingat atau petinget. Sehingga sampai sekarang, karena menyangkut tradisi belum ada rencana untuk membuat akses jalan menuju Setra. Terlebih lagi untuk membuat akses jalan seperti jembatan membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Kemudian yang terpenting adalah harus menanyakan secara niskala kepada
80
Panglisir setempat, karena nanti takutnya terbentur dengan tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Sebelumnya, sudah ada rencana untuk membuat Setra di tempat yang lebih layak agar lebih efisien, tetapi setelah mapikeling ke Panglisir tidak diizinkan, karena Setra yang berada disebrang sungai pada akhirnya tidak ada yang mengurusi. Pada saat warga membawa jempana dengan menyeberangi sungai, di bawah sandang wadah ditaruh ban mobil sebanyak 6 buah yang berfungsi sebagai pelampung. Untuk menjaga keseimbangan agar jempana tidak roboh, akibat arus sungai yang besar, maka dipergunakanlah 3 buah tali yang diikatkan pada sisi kanan, kiri dan tengah jempana. Ketiga tali ini kemudian ditarik oleh warga yang telah bersiap-siap dari pinggir sungai. Untuk mempercepat jempana sampai di setra, maka kaum laki-laki sambil berenang mendorong jempana tersebut dan akan memberikan support dengan menyiprat-nyipratkan air sungai ke arah warga lainnya maupun ke arah jempana yang diiringi gamelan baleganjur Hal ini dilakukan sebagai bentuk pemberian semangat ketika akan menyebrangi sungai. Bersamaan dengan itu banten upakara, tirta pakideh, dan perlengkapan upakara lainnya dibawa ke setra dengan menggunakan rakit.
81
Gambar 1.4 Upacara Ngaben Nyebrang Tukad
Sumber : Dokumentasi Nila Dewi Tahun 2019 5) Menurunkan Sawa Sampai di Setra, jempana akan diputar sebanyak 3 kali berlawanan arah jarum jam dan berhenti pada tempat pembakaran jenasah (pemasmian). Tujuannya adalah untuk mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke tempat asalnya. Sawa diturunkan menuju ke tempat pembakaran, kajang dan kereb sinom diambil dan dijunjung di belakang tirta. Lante, tikar dan kain rurub bagian atas dibuka, kemudian upacara pengentas dengan urutan, sebagai berikut: 1) Penyiratan tirta penembak dari bagian muka sampai ke kaki, tempat tirta penembak dipukul hingga hancur; 2) tirta kawitan, pangijeng, tirta pangentas jotan, tirta kahyangan tiga, dan tirta Prajapati. Ditabur bija catur warna, air kelapa gading dan lain-lain yang ada pada diyuskamaligi lalu dibakar bersama daksina yang terlebih dahulu dilebar dan isinya ditaburkan.
82
Dihaturkan banten berupa caru ayam brumbun. Selanjutnya upacara persembahyangan oleh pretisentana. 6) Upacara Ngaben Jenasah dibakar dengan istilah api sekala hingga seluruh badan kasarnya menjadi abu. Menurut Wiana (2004: 33) menyebutkan bahwa pengesengan (pembakaran) jenasah dipergunakan api yang telah dipuja oleh sulinggih pemuput upakara. Penciptaan agni pralina oleh sulinggih dengan menggunakan puja agni pralina. Puja mantra agni pralina inilah sesungguhnya merupakan esensi upacara pembakaran jenasah yang disebut ngaben. Agni pralina ini sesungguhnya merupakan agni niskala dan diteruskan dengan pembakaran api yang nyata. Fungsi upacara ngaben atau pembakaran jenasah untuk memohon kelancaran proses pencapaian kesucian roh dan dapat kembali ke asalnya. Upakara saat pembakaran jenasah berupa: pejati asoroh.
83
Gambar 1.5 Upacara Pembakaran Jenasah
Sumber : Dokumentasi Nila Dewi Tahun 2019 7) Upacara Ngereka Tulang Upacara ngereka dilaksanakan setelah jenasah menjadi abu. Setelah sawa menjadi abu diatasnya ditutupi dengan daun pinang, kemudian tuangkan air secukupnya dan air penyeeb. Tahap pertama adalah memungut sekedar abu tulang mempergunakan tangan kiri dari bawah ke atas (upeti), lalu diganti dengan tangan kanan atas ke bawah (sthiti) dilanjutkan dengan tangan kiri lagi dari bawah ke atas (pralina). Abu tulang itu ditaruh pada sebuah senden. Setelah terkumpul diperciki air kumkuman dan ditaburi sekar ura sebanyak tiga kali. Kemudian abu tulang diuyeg (digilas) sampai lumat, lalu dimasukkan kedalam kelapa gading yang telah dikasturi dan diwujudkan dalam bentuk puspa asti. Abu lainnya juga direka seperti bentuk manusia dan
84
dipasangi kwangen, disertakan lalang 27 biji, disusuni dengan sekar sinom dan canang wangi, pakaian baru setumpuk dan tigasan. Abu tulang yang telah direka ini ditaruh di atas jempana atau penganyutan. Setelah ngereka lalu Pendeta memujakan tarpana. Sajen tarpana berupa: banten ayaban, suci asoroh, saji sakabuatan, daksina pejati, panjang ilang mentah lan rateng, banten pengadang-ngadang, bubur pirata putih kuning, nasi angkeb, dyuskamaligi, punjung putih kuning, kwangen 21, pasucian, rantasan untuk rerekayan. Tujuan dilaksanakan upacara pemujaan oleh Pandita untuk memohonkan agar yang diupacarai dianugrahi tempat yang baru sesuai dengan karmanya dan unsur panca mahabhutanya kembali ke asalnya masing-masing. Dalam hal ini dapat tidaknya almarhum tempat atau sorga tidak terlepas dari perbuatannya (subha ashuba karma) di alam nyata ini. Dengan demikian, bukan banten atau upakara yang besar dan mewah sebagai jaminan mendapat sorga, tetapi subha asubha karmanya yang menentukan (Pasek Swastika, 2009: 35). 8) Upacara Nganyut Setelah Sebagai akhir dari rangkaian upacara ngaben tahap pertama adalah upacara nganyut.
Galih yang direka diangkat, lalu mengelilingi
pemasmian sebanyak tiga kali (mepurwa daksina). Abu jenasah diusung untuk di buang di sungai dengan upakara berupa: pejati, suci asoroh, sodan/punjung putih kuning, segehan manca warna. Kemudian dilakukan upacara nebusin yang maknanya untuk memanggil roh orang yang diupacarai segera hadir pada tempat upacara untuk dilakukan upacara penyucian.
85
Upakaranya berupa: Peras ajengan daksina, banten penebusan. Sebelum sekah dibawa pulang, di rumah keluarga yang bersangkutan dilakukan upacara mecaru mekelemeji. Upakara mecaru berupa caru panca sata, bebek bulu sikep. Sedangkan meklemeji upakaranya berupa: Suci asoroh, banten peklemijian, ulam meri belang kalung, karangan. Setelah menghaturkan caru yang
dianteb
pada
bagian
akhir
dilanjutkan
dengan
melakukan
persembahyangan di tempat pecaruan. Tujuan caru panca sata ini adalah manusia hendaknya bersedia mengorbankan sifat-sifat buruknya, selalu mewujudkan kedamaian, bakti kepada Tuhan dalam berbagai ista dewatanya. Dalam konteks bhuta yadnya, ia berwujud sebagai alam semesta dengan lima unsurnya, dan kepada makhluk lainnya. (Wawancara, Jero Griya Kedampal, 29 Maret 2019). Gambar 1.6 Upacara Nganyut
Sumber : Dokumentasi Nila Dewi Tahun 2019
86
4.2.4 Upacara Pangerorasan Ngerorasin adalah upacara tahap kedua setelah ngaben yang memiliki makna menyucikan suksma sarira. Upacara pangerorasan adalah sama dengan nyekah, memukur, maligia, ngeroras (Wiana, 2004: 136-137). Kesemua jenis ini sebenarnya adalah upacara atma wedana. Hakikat dari upacara ini adalah menyucikan badan halus (suksma sarira) dari kotoran berbagai keinginan. Keinginan-keinginan itu disucikan agar menjadi satu, yakni bersatu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tujuan upacara pangerorasan adalah pertama untuk meningkatkan kesucian leluhur/yang diupacarai dan bagi keluarga yang ditinggalkan serta semua yang ikut melaksanakan upacara memukur juga mendapatkan pahala dan kesejahteraan serta kemuliaan dari upacara yang diselenggarakan. Upacara ngaben nyebrang tukad di banjar Tegalambengan, karena termasuk ngaben numandang mantri (ngelanus), maka upacara ngerorasin langsung dilakukan setelah upacara pengabenan selesai. Pada upacara ngerorasin ini ada beberapa tahapan, sebagai berikut: 1) Ngangget Don Bingin Merupakan upacara memetik daun beringin yang disebutkan sebagai rangkaian dari upacara memukur dalam atma wedana untuk dipergunakan sebagai bahan puṣpaśarīra (simbol badan roh/atman) yang nantinya dirangkai sedemikian rupa seperti sebuah tumpeng (dibungkus kain putih), dilengkapi dengan prerai (ukiran atau lukisan wajah manusia, laki/perempuan) dan dihiasi dengan bunga ratna. Upacāra ini berupa prosesi iring-iringan menuju lokasi pohon beringin yang dituju, diawali dengan tedung agung, mamas,
87
bandrang dan lain-lain, sebagai alas daun yang dipetik adalah tikeh klasa yang di atasnya ditempatkan kain putih kuning sebagai pembungkus daun beringin tersebut dan kemudian dibawa ke rumah sang pelaku upacara. Upakaranya terdiri dari: Pejati, bantal, rayunan, pangulapan, prayascita, byakala asoroh, pasucian canang rebong, wastra putih kuning, tikeh klasa, wastra putih rurub tikeh klasa, eteh-eteh: galah bambu kuning berisi satsat pada ujungnya, eteh-eteh: galah bambu kuning berisi satsat pada ujungnya berisi tiuk sudhamala. 2) Upacara ngajum sekah Setelah daun beringin tiba di tempat upacara, maka untuk masingmasing perwujudan roh, dipilih sebanyak 108 lembar, ditusukan dirangkai sedemikian rupa yang disebut sekah, di samping itu juga dibuat juga untuk lingga. Setelah sekah dihiasi seperti tubuh manusia dengan busana selengkapnya
(berwarna
putih),
dilakukan
upacara
ngajum,
yaitu
mensthanakan roh pada sekah tersebut, sekaligus ditempatkan di panggung upacara yang disebut bale peyadnyan . Upakaranya terdiri dari: Pras dhaksina suci asoroh, ajuman putih kuning, pasucian, rantasan putih kuning, canang gantal, segehan atanding. 3) Mapurwadaksina Prosesi bagi puṣpaśarīra yang dipangku atau dijunjung oleh anak cucu keturunannya, memakai bhusana serba putih mengelilingi panggung peyadnyan sebanyak 3 kali (dari arah Selatan ke arah Timur) diiringi pembacaan parwa (Mahābhārata) dan Putrusaji oleh Pandita (Ratu). Upakara
88
saat membaca putrusaji berupa: daksina gede, pras suci asoroh, wastra putih, segehan atanding. 4) Ngeseng Puspalingga Merupakan upacara membakar puspasarira (wujud roh) di atas dulang atau paso dari tanah liat, dengan sarana sepit, penguyegan, balai gading dan lain-lain, dengan api pembakaran yang diberikan oleh Siwa pemimpin upacara. Selesai upacara ngeseng maka abu dari puspa sarira dimasukkan ke dalam kelungah kelapa gading dibungkus kain putih dan dihias dengan bunga harum selanjutnya disthanakan di dalam bukur di atas padma anglayang atau dalam bokor perak diikuti dengan persembahyangan oleh keluarga. Upakaranya terdiri dari: peras ajengan daksina, sekarura beras kuning, rantasan putih, prayascita, byakala, segehan, tetabuhan. Setelah ngadegang puspalingga diakhiri dengan nganyut ke segara. 4.2.6
Upacara Nganyut ke Segara Upacara nganyut disebut juga upacara pekiriman. Setelah tiba di tepi
pantai Yeh Gangga, abu yang ditempatkan di dalam kelapa gading dikeluarkan dan ditebarkan di tepi pantai yang didahului dengan upacara persembahyangan sesajen kepada Sang Hyang Baruna, sebagai penguasa laut, sekaligus permohonan penyucian terhadap roh yang diupacarakan dan diakhiri dengan persembahyangan oleh keluarga yang bersangkutan. Upakaranya terdiri dari: Dapetan, peras, pengambyan, sodan,tipat kelanan, sorohan, pejati, prayascita, pengulapan, byakala, tetukon, blabaran purtih, kuning, selem, daksina galahan,
89
penebusan alit, banten pakelem asoroh madaging : bebek hidup, ayam hidup, tegen- tegenan lebeng matah. 4.2.7 Ngalinggihang Dewa Pitara Upacara diawali dengan Mapikeling atau nangkilang Dewa Pitara di Kahyangan Tiga yang maknanya sebagai ucapan rasa terimakasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi, karena upacara ngaben sampai upacara atma wedana (ngerorasin) sudah selesai dan berjalan dengan lancar. Upakaranya berupa: suci, penebusan lebeng matah, ayam dan bebek hidup. Kemudian dilaksanakan upacara ngalingggihang Dewa Hyang/Dewa Pitara, dengan demikian roh leluhur sudah dipandang suci dan dapat bersthana di tempat suci atau Sanggah Kamulan untuk dipuja oleh anak cucu keturunannya. Upakaranya berupa saji gede pesewan untuk ngerorasin (wawancara, Dewa Putu Werdi Tenaya, Griya Lumajang, 29 Maret 2019).
4.3 Nilai-nilai Pendidikan yang terkandung dalam Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan ini mempunyai nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu yang harus tetap dilestarikan dan dapat diwariskan kepada generasi muda selanjutnya. Adapun nilai-nilai Pendidikan Agama Hindu tersebut, yaitu: (1) Nilai religi, (2) Nilai Etika, dan (3) Nilai Estetika.
90
4.3.1 Nilai Religi Kehidupan umat manusia tidak terlepas dari unsur religi. Religi berasal dari bahasa latin “religare” yang berarti suatu perbuatan yang sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu tindakan atau kegiatan. Religi adalah segala tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus, seperti roh-roh Dewa yang menempati alam (Koentjaraningrat, 1997: 53-54). Manusia yang beragama dengan baik akan selalu menjauhi laranganNya dan melaksanakan segala perintahNya. Religi adalah penyerahan diri kepada Tuhan dengan keyakinan bahwa manusia selalu bergantung kepada Tuhan, karena Beliau telah memberikan kehidupan dan keselamatan bagi manusia, untuk memperoleh keselamatan maka manusia berserah diri kepadaNya. Dengan demikian masyarakat Banjar Tegalambengan meyakini untuk melaksanakan upacara Ngaben Nyebrang Tukad tersebut
yang
mengandung
nilai-nilai
religi,
untuk
keharmonisan
dan
keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Banjar Tegalambengan. Nilai religius ini dapat dilihat dari upacara mapikeling di campuhan dan memohon tirta di Sanggah/Merajan Kawitan, dan Kahyangan Tiga, sebelum upacara Ngaben dilaksanakan. Hal ini dilakukan bertujuan untuk memohon restu pamitan agar selamat dalam perjalanan menuju pada tujuannya bagi yang meninggal dunia. Nilai-nilai religius juga nampak pada setiap prosesi atau tahapan upacara, dan setiap tahapan menggunakan sarana upakara dan mantram yang berbeda, sesuai petunjuk sastra agama. Fungsi dari upakara dan mantram adalah sebagai sarana
91
untuk mendekatkan diri kapada Tuhan, sehingga apa yang menjadi tujuan dari upacara dapat tercapai dan berhasil. Aspek religius sangat berkaitan dengan sistem keyakinan umat terhadap kemahakuasaan Tuhan, yang mendasari pelaksanaan daripada
Yajna adalah
sradha (keyakinan). Dengan adanya keyakinan terhadap kemahakuasaan Tuhan, maka secara perlahan akan tumbuh rasa keikhlasan dalam diri, seperti disebutkan dalam kitab Bhagawad Gita IV.39 adalah sebagai berikut: Saraddhadavam labhate jnanam Tat-parah samyatendryah Jnanam labdhava param santim Acirenadhigacchati Terjemahannya: Mereka yang mempunyai keyakinan yang mantap, yang sudah mengendalikan indiya-indriyanya dengan baik dan sudah mencapai kesempurnaan dari praktik spiritualnya, maka dengan mudah mereka akan memperoleh ilmu pengetahuan suci. Setelah mendapatkan ilmu pengetahuan suci tersebut, dengan segera ia akan memperoleh kedamaian tertinggi (Darmayasa, 2013: 332). Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan mengandung nilai religius yang mengajarkan manusia untuk menjalankan kewajiban sebagai umat beragama, ajarannya tidak hanya untuk dimengerti saja, tapi harus dijalankan sesuai perintah agama. Menurut Sudiarsa (Wawancara, 27 Maret 2019) sebagai berikut: “Sebagai manusia harus meyakini bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah karena berkat yadnya dari Ida Sang Hyang Widhi, sehingga para leluhur kita yang terdahulu sangat mempercayai dan bhakti, hal itu diwujudkan dalam kehidupan nyata yang tak terlepas dari ritual keagamaan serta kepercayaan kepada hal-hal gaib. Apapun yang
92
diwariskan oleh leluhur terdahulu merupakan sebuah perpanjangan tangan dari Tuhan kepada keturunannya. Sehingga sebagai generasi penerus adalah suatu kewajiban untuk menjaga dan mengamalkan apa yang telah diwariskan serta yang terpenting adalah mensyukurinya”. Mengamalkan ajarannya dan menjauhi larangannya adalah perwujudan bhakti kepada Tuhan. Dasar utama dalam bertingkah laku sebagai manusia adalah ajaran karma phala. Dengan melaksanakan subha karma, maka dengan jelas akan mendapatkan tempat yang lebih baik yang disebut dengan kebahagiaan (sorga), bahkan kebahagiaan yang kekal (moksha). Sebaliknya apabila melakukan asubha karma, maka akan menemui penderitaan (neraka). Agama Hindu mengajarkan bahwa ujian dalam kehidupan ini dilakukan berkali-kali sesuai subha karma dan asubha karma yang dilakukan. Oleh sebab itu untuk mendapatkan hasil yang baik perlu proses yang panjang, sedangkan untuk mempercepat proses tersebut diperlukan pembersihan badan kasar (prakerti) dan badan halus serta roh (purusha) dengan melaksanakan upacara pitra yajna (Ngaben). Agama Hindu mempercayai bahwa sebagai salah satu bentuk yadnya dari rangkaian upacara pengorbanan dan persembahan suci kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya adalah panca yadnya. Maka ngaben merupakan bagian dari upacara pitra yadnya yaitu suatu rangkaian upacara membebaskan belenggu yang mengikat atma penyebab penderitaan. Sebagaimana diketahui bahwa atma dibelenggu oleh dua lapisan badan yang disebut sthula sarira dan suksma sarira. Sthula sarira merupakan badan kasar yaitu wujud yang dapat dilihat terdiri dari unsur panca maha bhuta, seperti pertiwi (unsur tanah
93
yakni bagian-bagian badan yang padat; apah (unsur cair seperti darah dan kelenjar); teja (unsur api seperti suhu badan); bayu (unsur angin berupa nafas); dan akasa (unsur ether yaitu unsur badan yang terhalus yang menjadi rambut dan kuku). Suksma sarira merupakan badan halus yang terdiri dari alam pikiran (citta); perasaan (manah); keinginan (indria) dan nafsu (ahamkara). Oleh sebab itu ketika manusia meninggal maka dilaksanakan upacara penyucian. Upacara penyucian ada dua tingkatan. Pertama adalah melepaskan atma dari ikatan sthula sarira yang disebut sawa wedana (ngaben). Kedua melepaskan atma dari suksma sarira yang disebut atma wedana atau memukur. Setelah prosesi kedua yadnya itu terlaksana, sebagai tindak lanjut adalah ngelinggihang Dewa Hyang yang diawali dengan upacara meajar-ajar (Pasek Swastika, 2008; Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, 2017)). Hal yang sama juga disampaikan oleh Dewa Putu Werdi Tenaya (Wawancara, 29 Maret 2019) sebagai berikut: “Upacara ngaben merupakan upacara mengembalikan unsur panca maha bhuta (pertiwi, apah teja, bayu, akasa) ke asalnya. Sedangkan roh di dalam tubuh tidak pernah musnah dan disucikan dengan upacara Atma Wedana. Merasa diri menjadi manusia yang dilahirkan, dipelihara oleh orang tua dan melakukan karma di dunia ini, adalah kodrat sebagai manusia menjalani yang namanya suka, duka, lara, pati. Setelah tua tidak bisa melakukan apapun, sakit dan akhirnya mati tidak bisa dihindari, badan kasar akan hancur dan rusak serta unsur badan yang melapisi tubuh akan kembali ke asalnya, sehingga adalah kewajiban pretisentana
94
melaksanakan upacara pitra yadnya dan karena meyakini adanya sorga dan neraka. Yang menentukan mendapat sorga dan neraka adalah phala karma orang itu sendiri. Demikian pula pretisentana di dalam melaksanakan kewajibannya membayar hutang orang tua adalah dengan jalan melaksanakan upacara pitra yadnya yang berdasarkan kemampuan dan keikhlasan hati sebagai wujud bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa”.
Dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan tersirat ajaran Tat Twam Asi “itu adalah engkau”. Ajaran Tat Twam Asi merupakan ajaran sosial tanpa batas. Saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama, sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri (Upadesa, 2002: 42). Pada hakekatnya manusia dan semua makhluk di dunia ini berasal dari Hyang Tunggal, yaitu Ida Sang Hyang Widhi, sehingga merupakan suatu kewajiban untuk saling menyayangi dan menghormati antar sesama serta memiliki rasa simpati dan empati kepada orang lain yang mengalami musibah atau menderita. Dengan demikian, upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan ini mengandung nilai-nilai religi dan ajaran agama yang penting ditanamkan kepada umat Hindu, agar dalam setiap tindakan dan perilaku manusia selalu berlandaskan pada ajaran agama. Pelaksanaan upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini, merupakan wujud bhakti dan swadharma seorang anak untuk membayar hutang jasa kepada orang tua atau leluhur yang telah melahirkan,
95
memelihara, mendidik, merawat dan membesarkan, sehingga menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur.
4.3.2 Nilai Etika Nilai etika adalah nilai tingkah laku yang baik dan mulia yang berlandaskan pada ajaran agama. Etika yang dimaksud adalah hubungan yang selaras antara manusia dengan alam semesta. Nilai etika yang terdapat dalam upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan ini diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan upacara ngaben yang bermakna sebagai pembayaran hutang anak atau pretisentana, keturunannya kepada orang tua atau leluhurnya yang telah meninggal dunia. Di dalam melaksanakan upacara yadnya hendaknya senantisa meyasa kerti, sebagai wujud pengabdian dan cetusan rasa bakti yang dilandasi kesucian diri. Nilai etika nampak dalam kegiatan ngayah warga Banjar Tegalambengan dalam membuat upakara, mengikuti setiap prosesi atau tahapan upacara Ngaben secara tulus ikhlas, saling membantu dan bekerja sama sampai upacara selesai. Sikap simpati dan empati warga Banjar Tegalambengan terhadap warga yang terkena musibah, karena merasa menyama braya atau bersaudara dan sebagai makhluk sosial, yang selalu membutuhkan orang lain. Seperti yang disampaikan oleh Dewa Putu Werdi Tenaya (Wawancara, 29 Maret 2019) sebagai berikut: “Sebagaimana biasanya terjadi bila sudah terdengar seseorang telah meninggal, maka tanpa diberitahu mereka yang menjalin hubungan dekat pasti akan datang melayat sebagai pernyataan belasungkawa, demikian pula tanda kulkul kematian berbunyi maka seluruh lingkungan banjar
96
berduyun-duyun berdatangan dengan tidak lupa membawa sedikit sumbangsih berbela sungkawa. Kedatangan para krama adat secara tulus turut meringankan beban yang sedang berduka dengan bergotong royong menyelesaikan perlengkapan upakara/banten”. Selain itu sebelum pelaksanaan upacara dimulai, pihak keluarga bersama pemuka agama akan bermusyawarah dalam mencari dewasa atau hari baik dalam pelaksanaan yadnya nantinya, sehingga dapat berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan”. Dari pernyataan tersebut terlihat nyata kehidupan beragama Hindu sifat kegotong royongan, kebersamaan terjalin erat sehingga yang mempunyai upacara menjadi amat ringan, dengan didasari sifat ketulusan dalam bergotong royong. Nilai etika juga terlihat dalam upacara nyiramang layon, sanak keluarga mengurus jenasah dengan baik sesuai dengan tata cara yang berlaku. Keluarga terdekat juga berusaha mengikhlaskan kepergian almarhum, dengan tidak terlalu lama bersedih, agar kepergiannya berjalan lancar dan sampai pada tujuannya. Selain itu, nilai etika juga terdapat pada saat kaum laki-laki mengusung jempana dengan menyebrangi sungai yang arusnya deras, mereka bekerja keras dan bahu membahu melewati derasnya air dengan berenang dan mendorong jempana sampai di Setra. Hal tersebut mereka lakukan dengan penuh semangat, dan ketulusan hati. Nilai etika juga terlihat pada saat pelaksanaan upacara yang dimulai dari upacara kematian, pengabenan sampai pada tahap akhir ngelinggihang dewa pitara. Pratisentana dibantu krama adat melaksanakan upacara dengan penuh semangat, dilandasi ketulusan hati dan tanpa mengenal lelah dalam mengikuti
97
setiap tahapan upacara agar berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan dari upacara ngaben tersebut sebagai kewajiban membayar hutang dan wujud bakti pratisentana
terhadap
orang
tua/leluhur.
Pada
akhirnya
dengan
telah
melaksanakan upacara pitra yadnya tersebut sehingga memberikan kepuasan hati/bathin (atmanastuti) bagi keluarga yang ditinggalkan. 4.3.3 Nilai Estetika Estetika adalah ilmu yang membahas tentang nilai dalam seni dan karya seni. Dalam pandangan agama Hindu suatu karya seni digunakan sebagai suatu persembahan kepada Tuhan. Sehingga setiap upacara keagamaan di Bali tidak terlepas dari unsur budaya atau seni, salah satunya dharma gita atau tembangtembang kerohanian yang disebut juga panca gita. Panca gita adalah jenis bunyibunyian yang dapat menimbulkan atau membangkitkan rasa suka cita menjelang dan saat upacara keagamaan dilaksanakan. Kelima bunyi-bunyian tersebut antara lain: suara kentongan atau kulkul sebagai pertanda masyarakat Hindu mulai berkumpul di tempat upacara, suara gong atau gamelan, suara kidung, suara genta atau bajra dibunyikan oleh sulinggih atau pemangku untuk mengiringi doa pujaan, suara puja atau mantra sulinggih atau pemangku
yang berkembang
menjadi gita. Pada upacara ngaben nyebrang tukad di banjar Tegalambengan kelima bunyi-bunyian (panca gita) tersebut dilaksanakan dengan penuh hikmah. Dalam setiap tahap atau proses upacara ngaben, selalu menggunakan sarana upakara atau banten yang berbeda sesuai dengan makna dan fungsinya. Upakara atau banten yang dibuat sangat bervariasi dengan bentuk yang indah dan unik. Nilai estetika juga nampak ketika wadah di bawa ke Setra dengan
98
menyebrangi sungai, para kaum laki-laki akan menceburkan diri ke dalam sungai dan akan memberikan support dengan menyiprat-nyipratkan air sungai kearah warga lainnya maupun ke arah wadah yang diiringi gamelan baleganjur sehingga menambah kemeriahan pada upacara yadnya tersebut. Pada upacara pengabenan semua masyarakat akan memakai pakaian serba hitam atau gelap sebagai tanda berkabung, sedangkan pada tahap kedua yaitu upacara atma wedana (memukur) para pretisentana dan krama adat setempat akan memakai busana serba putih yang melambangkan kesucian. Dapat disimpulkan bahwa prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan ini mempunyai nilai estetika atau unsur keindahan, hal ini dapat dilihat dengan banyaknya masyarakat luar daerah yang antusias menyaksikan upacara Ngaben Nyebrang Tukad ini, terutama saat jempana dibawa ke Setra dengan menyebrangi sungai. Bagi mereka hal tersebut adalah fenomena yang sangat menarik.
4.4 Persepsi masyarakat terhadap prosesi Upacara Ngaben Nyebrang Tukad Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan Persepsi masyarakat adalah cara pendang masyarakat atau penilaian anggota masyarakat terhadap sesuatu atau peristiwa yang dapat dilihatnya. Dengan cara pandang tersebut seseorang akan mampu menjelaskan atau memaparkan hasil pandangannya melalui sebuah pendapat. Pendapat tersebut merupakan suatu mental yang menghasilkan pelayanan individu, sehingga dapat mengenal suatu objek dengan jalan asosiasi pada suatu ingatan melalui indra penglihatan sehingga menghasilkan suatu pemahaman saat melihat atau
99
memandang suatu subjek atau peristiwa. Di jaman global yang serba canggih dan praktis, masih ada sebagian masyarakat yang tetap menjaga tradisi leluhur dengan baik, hal ini terlihat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalamabengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Prosesi upacara Ngaben di tempat ini terbilang unik, keunikannya adalah ketika warga masyarakat harus bekerja keras membawa jempana ke Setra dengan melewati sungai yang arusnya deras. Kaum laki-laki berenang melawan derasnya air, mendorong dan menarik jempana dengan sekuat tenaga agar sampai di Setra. Hal ini karena letak setra yang berada di seberang sungai dan akses jalan satu-satunya menuju Setra adalah sungai. Dengan keunikannya ini, penulis menghimpun beberapa persepsi atau pendapat masyarakat terhadap upacara Ngaben ini. Adapun persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan, adalah sebagai berikut: Menurut pendapat Sudiarsa (Wawancara, 28 Februari 2019) tentang upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, adalah sebagai berikut: “Sejak dahulu upacara Ngaben di Banjar Tegalambengan ini memang harus dengan menyerangi sungai dan sampai sekarang masih tetap dilaksanakan. Hal ini karena jalan satu-satunya menuju Setra adalah dengan menyebrangi sungai. Kendala dalam menyebrangi sungai adalah apabila musim hujan tiba, air sungai akan meluap dan menjadi sangat deras, hal ini mengakibatkan para kaum wanita tidak bisa ke Setra karena tidak bisa berenang, selain itu kadang-kadang perlengkapan upakara hanyut terbawa arus sungai. Sedangkan di satu sisi jempana menjadi
100
lebih mudah untuk dibawa, jika dibandingkan pada saat musim kemarau. Pada dasarnya tujuan masyarakat Banjar Tegalambengan menginginkan agar prosesi upacara berjalan dengan praktis dan efisien, tetapi karena menyangkut tradisi, sehingga masyarakat tidak berani untuk mengubah tradisi yang sudah ada. Sedangkan untuk membuat jembatan diperlukan dana yang besar, selain itu respon dari pihak pemerintah terhadap kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan upacara Ngaben tersebut juga tidak ada, sehingga warga masyarakat tidak terlalu mempermasalahkan karena memang sudah tradisi” Selanjutnya pendapat dari Swanada (Wawancara, 27 Februari 2019) terhadap prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, sebagai berikut: “Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan memang sudah tradisi turun temurun dan bisa dikatakan unik, karena memang sudah menjadi suatu kebiasaan, sehingga tradisi upacara ngaben ini harus dilalui dan memang harus demikian, Jika ingin dibuatkan jembatan diperlukan biaya yang sangat tinggi, sedangkan kemampuan ekonomi masyarakat di rumah tangga belum begitu mapan. Untuk kendala dalam upacara ngaben ini justru pada saat musim kemarau, karena permukaan tanah di dalam sungai tidak merata, licin, kadang-kadang banyak ada benda-benda tajam yang dapat melukai kaki para pengusung jempana. Sedangkan kalau musim hujan prosesi membawa jempana menjadi lebih
101
mudah, warga cukup mendorong dan menarik jempana yang bergerak dan terapung, hanya tinggal menjaga keseimbangan jempana saja”. Selanjutnya persepsi masyarakat terhadap prosesi upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, juga disampaikan oleh Dwipa Nata Kusuma (Wawancara, 28 Februari 2019), sebagai berikut: “Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan adalah tradisi sejak jaman dahulu, karena merupakan warisan leluhur sehingga perlu dilestarikan. Upacara ngaben ini begitu unik, karena pada saat prosesi upacara Makutang harus dengan melewati sungai yang arusnya cukup deras, sehingga masyarakat harus bekerja keras dan saling bahu membahu ketika menyebrangi sungai. Rencana untuk membuat jembatan memang sudah ada sejak dulu, tapi baru hanya sekedar wacana, karena biaya juga belum ada dan berhubungan dengan tradisi sehingga masyarakat tidak berani gegabah, sebelum memohon petunjuk dari Panglisir. Dengan demikian, sebagai warga Banjar Tegalambengan hanya mengikuti suara terbanyak saja, tidak ada jembatan tidak masalah, kalau ingin dibuatkan jembatan lebih baik lagi, tetapi itu tidak menjadi masalah karena memang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu setiap upacara ngaben keadaannya demikian, sehingga harus dijalani”. Pendapat yang berbeda di sampaikan Sari (wawancara, 28 Februari 2019) tentang upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, sebagai berikut: “Upacara pengaben ini memiliki banyak kendala, terutama ketika jempana dibawa ke Setra dengan menyebrangi sungai. Setiap kali upacara Ngaben
102
berlangsung, apalagi musim hujan saya tidak bisa mengikuti kegiatan upacara di Setra. Hal ini karena akses jalan menuju Setra, seperti jembatan tidak ada, sedangkan para kaum wanitanya tidak bisa berenang dan menyebrangi sungai yang arusnya sangat deras. Sehingga para krama istri hanya bisa menunggu dan melihat dari penggir sungai. Namun tidak demikian dengan para anak muda yang justru sangat senang dan bersemangat ketika menyebrangi sungai yang arusnya deras. Kalau bisa agar dibuatkan jembatan, agar para krama istri bisa mengikuti kegiatan upacara Ngaben di Setra, sehingga krama istri tidak lagi mencari jalan pintas dengan melewati kebun-kebun milik warga, yang jalannya harus memutar dan jaraknya lebih jauh untuk sampai di Setra”. Selanjutnya menurut pendapat Endra (wawancara, 28 Februari 2019) terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, sebagai berikut: “Upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan adalah tradisi Ngaben yang sudah ada sejak jaman dahulu. Tradisi Ngaben ini tergolong unik, terutama saat jempana dibawa ke Setra dengan melewati sungai. Seberapun besar arus sungai, terutama saat musim hujan, bisa dilewati dengan selamat sampai di Setra. Karena memang sudah tradisi dari turun temurun, sebagai generasi muda berharap agar tradisi ini tetap terjaga. Meskipun jaman sudah modern seharusnya tidak melupakan warisan leluhur. Kendala yang dihadapi saat upacara berlangsung tidak menjadi masalah yang berarti, karena ini menyangkut masalah sekala niskala, sehingga selama ini upacara pengabenan selalu berjalan dengan
103
lancar. Sedangkan kalau ingin dibuatkan jembatan tentunya lebih baik lagi, jika memang ada biaya untuk membangun jembatan, tetapi kalau memang tetap seperti ini, tidak menjadi masalah, karena memang harus demikian dan sudah menjadi kebiasaan atau tradisi masyarakat Banjar Tegalambengan”. Dengan demikian dari beberapa persepsi atau pendapat tersebut dapat disimpulkan dampak positif dan dampak negatif dari upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan ini. Dampak positifnya adalah tradisi yang merupakan warisan budaya dari leluhur tetap terjaga dan sebagai suatu ciri khas tradisi dari desa tersebut yang memiliki keunikan tersendiri, sehingga dapat memperkenalkan upacara ngaben tersebut secara luas, serta menambah wawasan bagi masyarakat yang belum mengetahui tentang keunikan upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan. Sedangkan dampak negatifnya adalah pelaksanaan upacara ngaben menjadi tidak efisien, karena harus mengeluarkan waktu dan energi yang lebih besar karena harus melawan derasnya arus sungai ketika akan menuju setra, serta pakaian/tubuh menjadi basah kuyup. Kendala lainnya apabila musim hujan tiba air sungai akan meluap, hal tersebut menyebabkan sebagian warga terutama kaum wanita tidak bisa menyebrangi sungai, sehingga harus mencari jalan pintas agar bisa sampai di setra. Selain itu perlengkapan upacara terkadang hanyut terbawa arus sungai yang deras.
BAB V PENUTUP 1.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis data tersebut, maka dapat disimpulkan hasilhasil pembahasan dari ketiga masalah yang dikaji dalam prosesi upacara, nilainilai Pendidikan Agama Hindu, dan persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan, sebagai berikut: 1.
Upacara Ngaben Nyebrang Tukad adalah upacara yang
pembakaran jenasah
pada tahapan malebu atau makutang, harus dengan melewati sungai
(campuhan), karena
sungai merupakan satu-satunya akses jalan menuju
setra. Untuk kelancaran ketika menyebrangi sungai, satu hari sebelumnya diadakan upacara mapikeling oleh pemangku setempat. Upacara ngaben nyebrang tukad termasuk upacara ngaben numandang mantri (ngelanus). 2.
Nilai-nilai Pendidikan yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan adalah: (1) Nilai religius adalah tingkah laku manusia untuk mencapai kesempurnaan lahir bathin, cara yang ditempuh adalah selalu mendekatkan diri dengan Tuhan, mentaati aturan dan menjauhi larangannya dengan mempelajari ajaran agama dengan baik; (2) Nilai etika adalah perilaku atau sikap saling menghormati dan menyayangi antar sesama manusia; (3) Nilai estetika adalah unsur seni atau keindahan yang terdapat dalam upacara Ngaben Nyebrang Tukad.
104
105
3.
Persepsi masyarakat terhadap upacara Ngaben Nyebrang Tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan adalah sebagian besar masyarakat Banjar Tegalambengan menyatakan bahwa upacara Ngaben Nyebrang Tukad adalah tradisi yang unik dan sudah berlangsung sejak jaman dahulu. Meskipun harus menyebrangi sungai untuk sampai di setra, hal tersebut bukan menjadi kendala atau masalah serius yang dihadapi, karena sudah menjadi kebiasaan atau tradisi sejak lama. Dengan demikian masyarakat Banjar Tegalambengan hanya menjalani tradisi yang sudah ada dengan selalu mengikuti kaidah-kaidah agama, tidak terlepas dari unsur sekala niskala, sehingga sejak jaman dahulu upacara pengabenan
dapat
dilaksanakan dengan lancar.
1.2 Saran-saran Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, maka peneliti mengajukan saran-saran, sebagai berikut: 1.
Kapada masyarakat Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan alangkah baiknya untuk tetap mempertahankan tradisi yang sudah ada, sebagai suatu keunikan dan ciri khas Banjar Adat Tegalambengan.
2.
Bagi umat Hindu hendaknya dapat mempertahankan apa yang telah diwariskan oleh leluhur terdahulu agar tetap terjaga dan lestari, sehingga baik tradisi, upacara maupun kebudayaannya tidak berubah atau hilang tergerus oleh perkembangan jaman yang semakin maju.
3.
Bagi generasi muda Hindu hendaknya di dalam melaksanakan upacara Yajna bisa dilakukan dengan tulus ikhlas, saling menghargai, berusaha selalu
106
menjaga persaudaraan dengan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi dan Karma Phala, serta pada setiap kegiatan upacara yajna yang dilaksanakan agar dapat memahami makna atau filosofi yang terkandung didalamnya, sehingga tidak ada konsep tradisi “mule kto” 4.
Bagi pemerintah agar memberikan perhatian kepada masyarakat khususnya di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan, karena daerah ini memiliki tradisi unik dan areal persawahan yang sangat indah, sehingga nantinya bisa dijadikan tujuan wisata dan memperkenalkan keunikan desa serta tradisi di Banjar Tegalambengan kepada masyarakat luas.
DAFTAR RUJUKAN
Atmadja, Nengah Bawa. Dkk. 2015. Ngaben + Memukur = Tubuh + Api + Uparengga+Mantra=Dewa Pitara+Surga. Denpasar: Pustaka Larasan Bestiari, Wayan. 2014. Upacara Ngaben Soroh Nyuung Di Desa Adat Abianbase Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar (Perspektif Pendidikan Agama Hindu) Denpasar: IHDN Creswell, John W. 2010. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hasan, Iqbal. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghaila Indonesia. Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda. 2004. Pitra Prakerti. Surabaya: Paramita Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti. 2014. Pedoman Tatacara Upacara Ngajum Kajang dan Pamerasan dalam Upacara Ngaben. Denpasar: Pustaka Bali Post Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti. 2017. Pedoman Praktis Upacara Ngaben Pranawa. Denpasar: Pustaka Bali Post Iskandar. 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada (gp press). Kaler, I Gusti Ketut.2002. Mengapa Mayat Dibakar. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat Koentjaraningrat. 2004. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Moelong, Lexy. J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Pasek Swastika, I Ketut.2008. Ngaben. Denpasar: CV. Kayumas Agung Pasek Swastika,
I Ketut.2008. Pitra Puja Ngaben Lan Nyekah Mamukur.
Denpasar: CV. Kayumas Agung Pemayun, Cri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa. 2016. Upacara Ngaben. Denpasar: Pustaka Larasan Pratilima, Hamid. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Pudja, Gede.1982. Bhagawadgita. Jakarta: Mayasari Redana, Made. 2006. Metodologi Risert Dengan Contoh-Contoh Penelitian. Denpasar: IHDN Rismayanti, Wiwik. 2017. Skripsi Persepsi Umat Hindu Terhadap Keberadaan Krematorium Santhayana Denpasar Bali (Skripsi). Denpasar: IHDN Sumiasih, Widhi. 2017. Upacara Ngaben Mesabitan (Skripsi). Denpasar: IHDN Supartika, I Ketut. 2011. Ngaben Ngelanus. Surabaya: Paramita Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Pitra Yajna. De: Paramitha Swastiyani. 2018. Ngaben Soroh Dukuh di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung (Perspektif Pendidikan Agama Hindu). Denpasar: IHDN Tim Penyusun. 1995. Panca Yadnya. Denpasar: Proyek Peningkatan Sarana Prasarana Kehidupan Beragama, Milik Pemda TK I Bali. Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita
Titib, I Made, Sapariani Ni Ketut. 2004. Keutamaan Manusia dan Budhi Pekerti. Surabaya: Paramita Triguna, Ida Bagus Nyoman Yudha (ed). 1997. Sosiologi Hindu. Dirjen Dimas Hindu dan Budha. Wiana, I Ketut. 1998. Upacara Terhadap Leluhur. Surabaya: Paramita Wiana, I Ketut. 2000. Makna Upacara Yadnya Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramitha. Wikarman, I Nyoman Singgin. 1998. Ngaben Sederhana. Surabaya: Paramitha Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Sarat. 1998. Surabaya: Paramita Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngalinggihan Dewa Hyang (Suatu Tinjauan Filosofis). Surabaya: Paramita Wikarman, I Nyoman Singgin. 2010. Ngaben (Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama). Surabaya: Paramitha. Wikarman, I Nyoman Singgin. 2002. Ngaben Sarat. 1998. Surabaya: Paramita
LAMPIRAN DAFTAR INFORMAN 1.
2.
3.
4.
Nama
: I Nyoman Sudiarsa
Umur
: 51 tahun
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Br. Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
Nama
: Dewa Putu Werdi Tenaya
Umur
: 68 tahun
Pekerjaan
: Pinandita (Siwa) ring Geriya Lumajang
Alamat
: Br. Lumajang, Desa Samsam, Tabanan
Nama
: Jero Geriya Kedampal
Umur
: 45 tahun
Pekerjaan
: Serati Banten
Alamat
: Banjar Kedampal, Kerambitan, Tabanan
Nama
: Dewa Bagus Dwipa Nata Kusuma
Umur
: 37 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
107
5.
6.
7.
8.
Nama
: I Kade Swanada
Umur
: 56 tahun
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
Nama
: Mangku Sumerta
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Br. Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
Nama
: I Wayan Endra
Umur
: 24 tahun
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Br. Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
Nama
: I Wayan Guna Winaya
Umur
: 41 tahun
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Br. Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
108
9.
10.
11.
12.
13.
Nama
: Ni Wayan Sari
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Br. Tegalambengan, Desa Sudimara, Tabanan
Nama
: I Wayan Mayun
Umur
: 53 tahun
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Alamat
: Desa Sudimara Kelod, Tabanan
Nama
: I Made Sukadana
Umur
: 47 tahun
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Br. Tegalambengangan, Desa Sudimara, Tabanan
Nama
: Drs. I Nyoman Darsana
Umur
: 62 tahun
Pekerjaan
: Pensiunan Guru
Alamat
: Kerambitan, Tabanan
Nama
: Ni Ketut Sarmini
Umur
: 47 tahun
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Br. Tegalambengangan, Desa Sudimara, Tabanan
109
PEDOMAN WAWANCARA
1.
Bagaimana
proses
upacara
ngaben
nyebrang
tukad
di
Banjar
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan? 2.
Apa yang menjadi keunikan dari upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabana?
3.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan ?
4.
Apa kendala yang dihadapi ketika melaksanakan upacara pengabenan ?
5.
Mengapa
prosesi
upacara
ngaben
nyebrang
tukad
harus
dengan
menyebrangi sungai ? 6.
Bagaimana peran pemerintah terhadap tradisi lokal genius seperti pada upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan?
7.
Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam upacara ngaben nyebrang tukad di Banjar Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan ?
8.
Apa saja upakara atau bebantenan yang digunakan dalam pelaksanaan upacara ngaben nyebrang tukad ini ?
9.
Mengapa di jaman modern seperti sekarang ini, masyarakat Tegalambengan masih tetap mempertahankan/menjalankan tradisi lama seperti upacara ngaben nyebrang tukad ?
10.
Apakah dampak positif dan negatif yang dirasakan masyarakat Banjar Tegalambengan terhadap upacara ngaben nyebrang tukad tersebut ?
110
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Gusti Putu Nila Dewi, lahir di Buleleng pada tanggal 21 April 1988. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Gusti Putu Darmayasa (Alm.) dan Gusti Made Ancini. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK. Puspa Mekar I Asahduren tahun 1993, melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SDN 2 Asahduren tamat tahun 2000. Penulis kemudian melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 1 Pekutatan lulus tahun 2003, selanjutnya melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMUN 1 Pekutatan,dan lulus pada tahun 2006. Mengikuti kegiatan kursus di Kursus Menjahit Gunung Kawi tahun 2007. Kemudian bekerja di CV Mama & Leon Textile sampai tahun 2010. Penulis menikah pada tahun 2009 dan telah dikaruniai tiga orang putra. Pada tahun 2015 penulis kembali melanjutkan pendidikan di Program Studi Pendidikan Agama Hindu, Jurusan Pendidikan Agama di Fakultas Dharma Acarya, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) penulis pernah menjadi anggota UKM Yoga. Penulis mengikuti Pendidikan formal dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) IHDN Denpasar tahun 2018 Angkatan ke-XV di Desa Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Setelah itu penulis pernah mengikuti Praktikum Kemampuan Mengajar (PKM) tahun 2018 di SMA Dwijendra Denpasar. Awal semester VIII penulis memulai proses penelitian untuk skripsi yang berjudul “Persepsi Masyarakat Terhadap Prosesi Upacara Ngaben Nyebrang Tukad Banjar
111
Tegalambengan, Desa Sudimara, Kabupaten Tabanan”. Penelitian ini berhasil diselesaikan bulan
112