48
BAB III PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON A. BIOGRAFI SATRIA EFFENDI M. ZEIN 1. Riwayat Pendidikan Prof. Dr. H. Satria Effendi M. Zein, MA. (Alm), adalah putra daerah yang terlahir di Kuala Panduk, Riau, pada 16 Agustus 1949. Beliau mengenyam pendidikan dasarnya di sebuah Sekolah Dasar di Kuala Panduk Riau. Sedangkan pendidikan tingkat menengah beliau tempuh di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung Sumatra Barat. Selepas menuntaskan pendidikan tingkat menengahnya, beliau merantau ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Dalam perantauannya beliau berhasil memperoleh gelar Lc dari Universitas Damaskus Syiria dan gelar MA dari Universitas King Abdul Aziz Mekkah. Sedangkan gelar Doktoral dalam bidang Ushul Fikih dengan yudisium cumlaude beliau peroleh dari Universitas Ummul Qura Mekkah setelah mempertahankan disertasi yang bertajuk “Al-Majmu' Wa Dilalatuhu 'Ala Al-Ahkam”, sebuah studi kritis yang beliau lakukan atas pemikiran hukum Sirajuddin Al-Ghaznawi dalam kitabnya Syarah Al-Mughni Fi Ushul Al-Fiqh Li Al-Khabbazi. Selain itu, beliau juga dianugerahi gelar sebagai guru besar madya dalam bidang ilmu Ushul Fikih yang ditetapkan pada tanggal 29 Desember 2000. Namun
49 sebelum beliau dikukuhkan sebagai seorang guru besar, beliau wafat terlebih dahulu pada hari Jumat, 2 Februari 2000.1
2. Profesi dan Jabatan yang Pernah Diemban Kesibukan beliau semasa hidupnya adalah sebagai dosen pascasarjana di berbagai IAIN di Indonesia, seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN), IAIN Yogyakarta, IAIN Riau, IAIN Padang dan IAIN Ujung Pandang. Selain itu, beliau menjadi dosen pula di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, antara lain pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Syariah dan pascasarjana IIQ, Institut Agama Islam Darurrahman dan Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah (STAIDA). Selain kesibukan beliau menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi tersebut di atas, beliau juga pernah memegang jabatan di beberapa bidang yang sesuai dengan kompetensi beliau, seperti Ketua Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Fatwa MUI, Wakil Ketua Dewan Pengurus Arbitrase MUI (BAMUI), Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN MUI), Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Asuransi MAA dan wakil negara Indonesia pada Lembaga Pengkajian Hukum Islam (Majma' Al-Fiqh AlIslamy) di Organisasi Konferensi Islam (OKI).2
1
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 539 2 Ibid.
50 3. Hasil Pemikiran dan Karya Tulis Sebagai seorang yang memiliki tingkat keilmuan yang memadai, beliau aktif memberikan ceramah agama dan seminar, serta cukup banyak karya ilmiah yang beliau hasilkan. Di antara karya beliau adalah “Fikih Umar Bin Khattab”, dalam kajian Islam tentang berbagai masalah kontemporer, 1988; “Elastisitas Hukum Islam”, dalam buku Metode Mempelajari Islam, 1992, “Fikih Mu'amalat (suatu upaya rekayasa sosial umat Islam Indonesia)”, dalam buku Aktualisasi Pemikiran Islam, “Wawasan Al-Qur'an tentang Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya”, dalam buku Al-qur'an – Iptek dan Kesejahteraan Umat dan “Metodologi Hukum Islam”, dalam buku Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pengembangan Hukum Nasional.3
B. PENDAPAT SATRIA EFFENDI M. ZEIN MENGENAI HUKUM AKAD NIKAH MELALUI TELEPON Pendapat Satria Effendi tentang hukum akad nikah melalui telepon ini adalah sebuah analisis yurisprudensi kritis yang beliau lakukan terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tentang pengesahan praktik akad nikah melalui telepon. Beliau melakukan analisisnya dengan pendekatan ushuliyah sesuai dengan kompetensinya selama ini. Lebih jauh, beliau menyatakan bahwa persoalan semacam ini di kemudian hari dapat muncul dalam bentuk lain. Semisal media komunikasi yang dapat didengar suaranya sekaligus 3
Ibid., Hal. 540
51 dapat dilihat gambar yang sedang berbicara.4 Untuk memperoleh jawaban atas hukum akad nikah ini, beliau meninjaunya dengan cara memeriksa literatur-literatur fiqh yang dapat beliau jangkau. Karena masalah ini merupakan persoalan baru di bidang Fiqh Islam, pada awal uraian pendapatnya beliau menyatakan bahwa kesimpulan yang diperoleh dapat bervariasi.5
1. Hakikat dan Kedudukan Ijab Kabul dalam Akad Nikah Pada bagian awal uraian pendapatnya, beliau memberikan penjelasan singkat mengenai kedudukan ijab dan kabul dalam akad nikah. akad nikah menurut beliau adalah berdasarkan perasaan suka sama suka atau rela sama rela. Oleh karena perasaan semacam ini adalah sesuatu yang abstrak, maka perwujudan keabstrakan akad ini diwakili oleh ijab dan kabul. Maka karena itulah ijab dan kabul adalah unsur mendasar bagi keabsahan akad nikah. Ijab diucapkan oleh wali mewakili pernyataan rela menyerahkan anak perempuannya kepada si calon suami, dan kabul diucapkan oleh calon suami, sebagai pernyataan rela menyunting calon istrinya. Lebih jauh lagi, ijab berarti lambang penyerahan amanat Allah dari wali perempuan kepada calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut.6 Untuk menguatkan uraian ini, beliau mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut: 4
Ibid., Hal. 2 Ibid. 6 Ibid., Hal. 3 5
52 Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita. Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan dihalalkan bagi kalian dengan kalimat Allah”.7 Beliau menyatakan makna “Kalimat Allah” dalam hadits yang beliau kutip tidak lain adalah ucapan ijab dan kabul itu sendiri. Sebab begitu pentingnya arti ijab dan kabul bagi keabsahan akad nikah, maka tersebutlah persyaratanpersyaratan ketat yang harus dipenuhi untuk mencapai keabsahan tersebut. Diantaranya adalah ittihad al-majelis (bersatu majelis) dalam melakukan akad seperti yang disepakati para ulama'. Hanya saja, dijumpai permasalah tentang tafsiran dari ittihad al-majelis itu sendiri di kalangan para ulama'. Yang kemudian setelah beliau telusuri berujung pangkal pada dua penafsiran yang berbeda.8
2. Dua Pendapat mengenai Tafsiran dari Ittihad Al-Majelis Berikut adalah hasil penelusuran Satria Effendi atas dua pendapat mengenai tafsiran dari syarat Ittihad Al-Majelis:
a. Pendapat Pertama Dalam temuan beliau, pendapat pertama atas tafsiran ittihad al-majelis adalah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu secara terpisah. 7 8
Ibid. Ibid.
53 Misalkan bila ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara tersebut selesai kabul diucapkan pula pada upacara berikutnya, maka hal ini tidak sah. Walaupun dua upacara tersebut dilakukan dalam satu tempat yang sama secara berturut-turut, namun karena kesinambungan antara keduanya tidak terwujud maka tidak sah. Dalam hal ini beliau berkesimpulan bahwa persyaratan ittihad al-majelis menyangkut kesinambungan waktu ijab dan kabul, bukan kesatuan tempat.9
Uraian Maksud dari Pendapat Pertama Untuk
menguatkan pendapat ini,
beliau mengutip contoh
yang
dikemukakan oleh Al-Jaziri tentang penjelasan pengertian ittihad al-majelis (bersatu majelis) dalam mazhab Hanafi. Misal, seorang calon suami mengirim surat berisi akad nikahnya kepada pihak perempuan yang dikehendakinya. Sesampai surat tersebut dan kemudian isinya dibacakan dalam satu majelis, lalu si wali calon istri langsung mengucapkan penerimaannya. Praktik akad nikah semacam ini menurut kalangan Hanafiyah sah, dengan alasan bahwa pembacaan ijab calon suami yang tertulis di surat dan pengucapan kabul dari wali calon istri, didengar oleh dua orang saksi dalam majelis yang sama, tidak dalam dua upacara berturut-turut yang terpisah dari segi waktunya. Sesuai contoh di atas, ijab diucapkan oleh calon suami, sedangkan kabul diucapkan oleh wali calon istri. Dan menurut Hanafiyah hal ini boleh. Karena ucapan akad yang diucapkan terlebih dahulu, disebut ijab, baik diucapkan oleh 9
Ibid.
54 wali, maupun oleh calon suami. Sedangkan ucapan akad yang disebut kemudian disebut kabul, baik diucapkan oleh calon suami, maupun oleh wali calon istri.10 Yang beliau tekankan dalam keterangan ini adalah bentuk akad yang dicontohkan ini bukan salah satu bentuk tawkil, karena yang didengar oleh para saksi adalah redaksi tertulis dalam surat calon suami yang dibacakan didepannya, dan pembaca surat bukanlah wakil dari si calon suami karena surat tersebut tidak menyatakan hal yang demikian. Pendapat di atas beliau anggap sejalan dengan penjelasan Sayid Sabiq bahwa akad nikah ghaib mempunyai dua macam cara: pertama dengan mengutus wakil, dan kedua dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan akad nikahnya. Bagi si penerima surat yang setuju atas isi surat itu, hendaknya mendatangkan para saksi kemudian dibacakanlah redaksi surat itu di hadapan mereka. Praktik semacam ini sah, selama pengucapan kabulnya dilakukan langsung dalam satu majelis. Dalam praktik ini jelas bahwa dua orang saksi itu hanya mendengar redaksi surat yang dibacakan, bukan dalam bentuk tawkil. 11 Demi memperinci dan mengarahkan gagasan yang beliau sarikan dari pendapat pertama ini, beliau menyatakan bahwa syarat ittihad al-majelis (bersatu majelis) yang harus dipenuhi dalam suatu akad, bila hanya dimaksudkan untuk kesinambungan waktu, maka bersatu tempat bukan satu-satunya cara untuk mewujudkan kesinambungan waktu ini.
10 11
Ibid., Hal. 4 Ibid.
55 Berikut adalah permisalan yang beliau hadirkan untuk menjelaskan uraian di atas. Bila wali calon istri mengucapkan ijab dan calon suami mengucapkan kabul di ruangan yang berbeda pada upacara dan waktu yang satu, dibantu oleh alat pengeras suara, maka kesinambungan ijab dan kabul jelas terwujud. Konsekuensi dari pendapat ini adalah para saksi tidak harus dapat melihat pihak-pihak pelaku akad nikah. Beliau menguatkan uraiannya dengan mengutip pendapat Ibnu Qudamah, seorang fuqaha' Hanabilah dalam kitab Al-Mughni yang menegaskan bahwa kesaksian dua orang buta dalam akad nikah sah. Selama si saksi buta dapat memastikan dengan yakin bahwa suara yang ia dengar sungguhsungguh diucapkan para pelaku akad nikah. Pendapat Ibnu Qudamah ini diikuti oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah.12
Kesimpulan Satria Effendi atas Pendapat Pertama Kemudian beliau menyimpulkan bahwa sebenarnya esensi dari persyaratan ittihad al-majelis (bersatu majelis) adalah menyangkut keharusan kesinambungan antara ijab dan kabul. Kesinambungan ini adalah untuk mewujudkan kepastian bahwa ijab dan kabul itu betul-betul sebuah manifestasi perasaan kedua belah pihak yang menyelenggarakan akad nikah. Dalam arti bahwa kabul yang segera diucapkan oleh wali setelah ijab mengisyaratkan kerelaan calon suami. Dan sebaliknya, bila terentang jarak waktu antara ijab dan kabul, memunculkan kesempatan berkurangnya tingkat kerelaan calon suami maupun wali calon istri. Maka menurut beliau, demi menghindari hal 12
Ibid., Hal. 5
56 inilah kesinambungan antara ijab dan kabul itu disyaratkan.13 Lalu beliau menyatakan bila pendapat keabsahan berijab kabul melalui surat dan keabsahan kesaksian dua orang buta digabungkan, maka syarat saksi dapat melihat pelaku ijab kabul bukan lagi hal yang penting. Dengan demikian, ketentuan kedua pelaku akad untuk hadir dan melaksanakan akad dalam satu ruangan agar dapat dilihat kedua saksi, bukanlah syarat bagi keabsahan akad nikah.14
b. Pendapat Kedua Pendapat kedua atas tafsiran ittihad al-majelis menurut beliau adalah pendapat yang menyatakan bahwa bersatu majelis disyaratkan, untuk menjaga kesinambungan antara ijab dan kabul, sekaligus harus mewujudkan pemenuhan tugas dua orang saksi. Karena menurut pendapat ini, kedua saksi harus mampu melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab dan kabul itu betul-betul diucapkan oleh kedua pelaku akad.15
Uraian Maksud dari Pendapat Kedua Berikut uraian beliau untuk menjelaskan maksud dari pernyataaan di atas. Salah satu syarat sah akad nikah adalah dihadiri oleh dua orang saksi. Dan tugas dua orang saksi itu adalah untuk memastikan keabsahan ijab kabul dari segi redaksi dan pelaku akad, dan ini yang disepakati oleh para ulama. 13
Ibid. Ibid., Hal. 6 15 Ibid. 14
57 Kemudian beliau menyatakan bahwa keabsahan suatu redaksi memang dapat dipastikan cukup dengan mendengarkannya. Tetapi kepastian bahwa redaksi sungguh-sungguh diucapkan oleh yang bersangkutan hanya bisa ditentukan dengan melihat secara langsung. Pendapat inilah yang diyakini oleh kalangan Syafi'iyah.16 Maka konsekuensi dari pendapat ini membuat kesaksian orang buta tidak lagi sah. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami, salah satu fuqaha Syafi'iyah dalam kita Tuhfatul Muhtaj. Ibnu Hajar menolak kesaksian orang buta dengan alasan bahwa kesaksian atas akad haruslah berdasarkan penglihatan dan pendengaran. Sebab kesaksian orang buta sama saja seperti kesaksian seseorang yang berada dalam keadaan gelap. Kedua macam kesaksian ini tidak sah, sebab para saksi tidak mampu melihat para pelaku akad. Dengan ketidakmampuan para saksi melihat para pelaku akad, maka tidak akan timbul kepastian bahwa ijab dan kabul sungguh-sungguh dilakukan kedua pelaku akad. Kemudian beliau menyertakan pendapat Ibnu Hajar tersebut dengan penjelasan dari Syekh Abdul Hamid Asy-Syarwani terhadap pendapat Ibnu Hajar sebagaimana berikut: “Kesaksian orang dalam gelap tidak sah, karena tidak dapat mengetahui kedua orang yang sedang melakukan akad. Sedangkan berpegang kepada suara saja tidaklah memadai. Seandainya kedua orang saksi mendengar ijab dan kabul, tetapi tidak melihat kedua orang yang mengucapkannya, meskipun dua orang 16
Ibid.
58 saksi mengetahui betul bahwa ijab dan kabul adalah suara dari kedua belah pihak, namun akad nikahnya tetap dianggap tidak sah, dengan alasan tidak dilihat dengan mata kepala (al-mu'ayanah).”17 Lalu beliau menyimpulkan nukilan di atas, bahwa ada satu tingkat keyakinan yang perlu dicapai dalam kesaksian akad nikah untuk mewujudkan keabsahan. Dalam artian bahwa tingkat keyakinan atas suatu redaksi tidak sebanding antara didengarkan saja dengan didengar dan dilihat. Dan dalam akad nikah, tingkat keyakinan inilah yang dikehendaki. Menurut beliau, pandangan semacam ini adalah implementasi dari sikap para ulama' Syafi'iyah yang selalu bersikap hati-hati (ihtiyat) dalam menghukumi sesuatu, lebih-lebih dalam masalah akad nikah. Karena akad nikah berdampak pada halalnya sesuatu yang awalnya diharamkan. Beliau juga menambahkan pendapat Imam Nawawi dalam kitab AlMajmu' yan mencontohkan sebuah permisalan seperti berikut: jika wali calon istri mengucapkan ijabnya dengan cara berteriak yang tak terlihat, kemudian teriakan tersebut didengar calon suami dan segera mengucapkan kabulnya, maka akad nikah seperti itu tidak sah.18 Lalu, beliau menyimpulkan bahwa persyaratan bersatu majelis, oleh kalangan Syafi'iyah bukan hanya dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan waktu, tapi masih menghendaki pemenuhan syarat lain, yaitu al-mu'ayanah. Yakni 17 18
Ibid., Hal. 7 Ibid.
59 kedua pelaku akad hadir di tempat yang sama. Sebab dengan cara itu syarat almu'ayanah ketika ijab kabul terjadi dapat terwujud. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa dalam pandangan Syafi'iyah, akad nikah tergolong perbuatan bernilai ta'abbudi. Karena bersifat demikian, maka tata laksananya harus bersifat tauqifiyah, harus terikat dengan apa yang diwariskan oleh Nabi Muhammad, tidak ada peluang untuk mengadakan cara-cara selain yang diwariskan oleh Nabi Muhammad. Dan itulah sebab mengapa kalangan Syafi'iyah tidak membolehkan sighat akad selain lafal nikah atau tazwij.19
Kesimpulan Satria Effendi atas Pendapat Kedua Untuk lebih menekankan uraian di atas, beliau menyimpulkan hal-hal yang menjadi pokok pedoman kalangan Syafi'iyah ini: a. Kesaksian harus didasarkan atas penglihatan dan pendengaran. Untuk memenuhi persyaratan itu disyaratkan bersatu majelis, dalam arti bersatu tempat secara fisik. Karena dengan itu persyaratan al-mu'ayanah dengan arti dapat dilihat secara fisik, dapat dipenuhi. Pandangan ini berhubungan dengan sikap hati-hati Syafi'iyah dalam masalah akad nikah. b. Akad nikah mengandung arti ta'abbud. Maka pelaksanaannya harus terikat dengan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Sebab itu jalan qiyas (analogi) tidak dapat diterima di ranah ini.20 19 20
Ibid., Hal. 8 Ibid.
60 3. Kesimpulan Satria Effendi M. Zein Kemudian secara obyektif beliau menyimpulkan uraiannya yang terangkum dalam poin-poin berikut: a. Keputusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan no. No. 1751/P/1989 bila dicocokkan dengan tafsiran pendapat pertama maka telah absah. Dalam perkara ini, para saksi formal yang ada di Indonesia dapat memastikan terjadinya akad nikah dengan cara melihat wali calon istri mengucapkan ijabnya. Begitu pula para saksi nonformal di Amerika yang memastikan terjadinya akad nikah dengan melihat calon suami mengucapkan kabulnya secara langsung. Dengan demikian, persyaratan kesinambungan waktu dan persyaratan para saksi harus secara yakin dan melihat pelaku akad telah terpenuhi. Walaupun terdapat dua kelompok saksi di tempat yang berbeda. Adanya kekhawatiran pemalsuan suara sudah menjadi tidak berarti, ketika para saksi formal yang ada di Indonesia dan para saksi non formal yang di amerika sama-sama dapat dihadirkan oleh pengadilan agama jakarta selatan, dan serentak memastikan terjadinya ijab dan kabul antara kedua belah pihak, dan kedua belah pihak pun tidak mengingkari kesaksian tersebut.21 b. Bila dilihat dari pandangan pendapat kedua, maka jelas praktik akad nikah melalui telepon itu tidak sah. Berikut perbandingan antara praktik akad nikah melalui telepon dengan pokok-pokok pedoman kalangan syafi'iyah sebagai berikut: 21
Ibid., Hal. 9
61 POKOK-POKOK PEDOMAN
PRAKTIK AKAD NIKAH YANG
KALANGAN SYAFI'IYAH
TERJADI
Para saksi harus dapat melihat pelaku Para
saksi
akad nikah, (al-mu'ayanah) dalam arti mendengar berhadap-hadapan secara fisik.
di suara
Indonesia calon
hanya
suami
di
Amerika tanpa dapat melihatnya, begitu juga sebaliknya.
Persyaratan
bersatu
majelis
harus Syarat al-mu'ayanah tidak tercapai
dengan cara bersatu tempat untuk kecuali menggabungkan kesaksian dua mencapai al-mu'ayanah.
kelompok saksi Indonesia-Amerika.
Masalah akad nikah berunsur ta'abbud, Praktik penyaksian akad dengan dua karena itu harus sesuai dengan contoh kelompok saksi yang berbeda tidak Nabi Saw.
pernah terjadi pada zaman Nabi Saw.
c. Mengenai cara akad nikah yang sesuai dengan contoh Nabi Muhammad Saw, maka yang dikenal hanya dua macam. Yang pertama adalah calon suami hadir dengan wali calon istri dalam satu tempat untuk melaksanakan akad, yang kedua calon suami mengutus wakil yang dipercaya untuk mengakadkan dirinya bila ia tidak dapat menghadiri akad tersebut. Contoh berwakil terdapat dalam beberapa hadits, diantaranya sebagai berikut: Hadits pertama: Hadits riwayat Abu Daud, dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah pernah berkata kepada seorang lelaki, “Apakah engkau rela untuk saya kawinkan dengan perempuan fulanah?” Lelaki itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang dimaksudkan, “Apakah kamu
62 bersedia untuk saya kawinkan dengan lelaki fulan? Perempuan itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya.22 Hadits kedua: Hadits riwayat Abu Daud yang menceritakan bahwa Ummu habibah termasuk diantara kelompok yang berhijrah ke Habsyah, setelah suaminya bernama Abdullah bin Jahasy wafat, dikawinkan oleh An-najasyi dengan Rasulullah.23 d. Bila mengikuti pendapat Syafi'iyah, maka bila ada peristiwa akad nikah jarak jauh di kemudian hari, dapat para pihak dapat didengar suaranya sekaligus gambarnya, tentu tetap dinyatakan tidak sah. Sebab syarat al-mu'ayanah atau berhadap-hadapan secara fisik tidak terpenuhi. Karena pada permisalan ini yang dilihat hanyalah gambarnya, bukan fisik jasmani.24 e. Beliau secara jujur mengakui bahwa pemahaman Syafi'iyah dalam permasalahan ini terasa amat kaku, sehingga dengan demikian tata laksana akad nikah tidak berpeluang untuk dikembangkan f. Kekakuan dan keketatan Syafi'iyah dimaklumi sebagai sikap kehati-hatian (ihtiyat), agar tidak muncul praktik akad nikah yang tidak pasti.25 g. Dua kesimpulan hukum tersebut di atas, dapat dijadikan alternatif selama belum ada ketegasan pendapat mana yang diberlakukan di peradilan agama. Bila sudah ada ketegasan pendapat mana yang disepakati untuk diberlakukan 22
Ibid., Hal. 11 Ibid., Hal. 12 24 Ibid., Hal. 13 25 Ibid. 23
63 (baik berwujud undang-undang atau peraturan), maka umat Islam wajib terikat dengan undang-undang atau peraturan yang disepakati. Hal ini sesuai dengan kesepakatan ulama, bahwa bila suatu ketetapan berlaku di pengadilan, maka selain ketetapan itu tidak berlaku lagi.26 h. Beliau mengakui belum menemui adanya peraturan yang secara tegas mengatur praktek semacam ini. Dasar-dasar hukum pada PP RI No. 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi: “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaan itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi” menurut beliau masih berpeluang menghasilkan berbagai penafsiran. Maka perlu penegasa apakah tidak harus dihadiri secara fisik (sesuai dengan pendapat pertama) atau harus dihadiri secara fisik (sebagaimana yang diyakini pendapat kedua).27
C. DASAR YANG DIPAKAI OLEH SATRIA EFFENDI M. ZEIN 1. Dari As-Sunnah Untuk menghasilkan analisis kritis tentang hukum akad nikah melalui telepon, Satria Effendi M. Zein mendasarkan pendapatnya pada satu hadits riwayat muslim yakni: Rasulullah bersabda: “Takutlah kalian kepada Allah dalam hal wanita. Mereka (perempuan) di tangan kalian sebagai amanah dari Allah, dan dihalalkan 26 27
Ibid., Hal. 14 Ibid.
64 bagi kalian dengan kalimat Allah”. Beliau juga dua hadits riwayat Abu Daud tentang tawkil. Yang pertama dari Uqbah bin Amir yakni: عن عقبة بن عامر أن النبي صلى ال عليه وسلم قال لرجل " أترضى أن أزوجك فلنة ؟ " قال نعم وقال ...للمرأة " أترضين أن أزوجك فلنا ؟ " قالت نعم فزوج أحدهما صاحبه dari Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah pernah berkata kepada seorang lelaki, “Apakah engkau rela untuk saya kawinkan dengan perempuan fulanah?” Lelaki itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang dimaksudkan, “Apakah kamu bersedia untuk saya kawinkan dengan lelaki fulan? Perempuan itu menjawab, “Bersedia”. Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya (HR. Abu Daud No. 2117)
dan yang kedua tentang perkawinan Nabi dengan Ummu Habibah yakni. عن عروة بن الزبير عن أم حبيبة أنها كانت عند ابن جحش فهلك عنها وكان فيمن هاجر إلى أرض الحبشة فزوجها النجاشي رسول ال صلى ال عليه وسلم Dari Urwah bin Zubari, bahwasannya Ummu Habibah adalah istri dari Ibnu Jahasy, kemudian suaminya meninggal, dan dia termasuk kelompok yang berhijrah ke Habsyah, kemudian Najasyi menikahkannya dengan Rasulullah SAW. (HR. Abu Daud No. 2086)
2. Dari Literatur Selain itu beliau merujuk kepada pendapat para Ulama' dalam kitab-kitab fiqh klasik dan modern, berikut rinciannya:28
28
Ibid., Hal. 16
65 JUDUL KITAB
PENGARANG
KETERANGAN
Al-Fiqh 'Ala Mazahibil Arba'ah Abdurrahman Al-Jaziri
Lintas mazhab
Al-Majmu'
Muhyiddin An-Nawawi
Syafi'iyah
Al-Mughni
Ibnu Qudamah Al-Maqdisy
Hanabilah
Al-Muhazzab
Abdul Khaliq As-Suyuthy
Syafi'iyah
Fiqh As-Sunnah
Sayid Sabiq
Lintas mazhab
Tuhfatul Muhtaj
Ibnu Hajar Al-Haitsami
Syafi'iyah
3. Dari Peraturan atau Undang-Undang Tak lupa pula beliau menyertakan hukum positif yang berlaku di Indonesia, utamanya PP RI No. 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat 3 yang berbunyi: “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaan itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
D. METODE YANG DIPAKAI OLEH SATRIA EFFENDI M. ZEIN Dalam menentukan pendapatnya, Satria Effendi M. Zein menggunakan metode
komparatif
vertikal29,
yakni
metode
perbandingan
yang
memperbandingkan antara produk hukum yang dihasilkan oleh PA Jakarta Selatan No. 1751/P/1989 tentang pengesahan praktik akad nikah melalui telepon dengan Hadits Nabi, pendapat Ulama' madzhab yang empat, dan hukum atau peraturan yang berlaku di Indonesia. 29
Ibid., Hal. xliii
66 Karena praktik akad nikah seperti ini pada jaman sebelumnya tidak dikenal dan dijumpai, beliau menggunakan metode qiyas, salah satu metode istinbat hukum yang disepakati para Ulama' mujtahid dan menjadi salah satu sumber hukum Islam selain Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma' Ulama'.