12
BAB II KAJIAN TEORITIS HUKUM PERKAWINAN ISLAM A. PENGERTIAN PERKAWINAN Perkawinan atau nikah, adalah kata serapan yang berasal dari bahasa Arab ( )نكحyang mempunyai sinonim kata ( )باضع,( )دحم,( )خجأdan ()تزوج1. Berikut ini adalah pengertian kata ( )نكحsecara bahasa dan secara istilah:
1. Pengertian Nikah secara Bahasa Para ulama' berbeda pendapat mengenai pengertian nikah secara bahasa. Al-'A'sya' berpendapat bahwa kata ( )نكحbermakna ()تزوج. Al-Azhary menguatkan pendapat ini dengan menyatakan bahwa makna kata ( )نكحadalah () تزوج. Seperti dalam Firman-Nya: ... أو مشركHل زانJالزاني ل ينكح إل زانية أو مشركة والزانية ل ينكحها إ... Sehingga takwil ayat tersebut menjadi seperti ini: ...ل زانJل زانية وكذلك الزانية ل يتزوجها إJل يتزوج الزاني إ... Dijumpai pula pendapat yang menyatakan bahwa makna ( )الن كاحyang terdapat pada ayat ini adalah ()الوطء. Sehingga takwilnya menjadi seperti ini: ...ل زانJها إ0ل زانية والزانية ل يطؤJ إTل يطأ... 1
Ibnu Mandzur, Lisaan Al-Arab, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 2 hal. 625
13 Tapi menurut Al-Azhary pendapat tersebut harus dijauhi, karena setiap ayat dalam Al-Quran yang memuat kata ( )الن كاحini selalu bermakna ()التزو يج. Seperti dalam Firman-Nya pula: ...وا اليامى منكم0ح4ك5ن7وأ... Tidak ada keraguan mengenai pengertian kata ( )الن كاحdi sini yang bermakna ()التزويج. Al-Azhary juga menyatakan bahwa secara asal memang orang Arab memakai kata ( )الن كاحuntuk maksud ()ا لوطء. Dan sebaliknya, kata (جc) تزو bermakna ( )نكاحkarena dengan melaksanakan akad (جc )تزوmenjadi sebab halalnya bersenggama ()الوطء. Lalu ada pendapat lain yang datang dari Al-Jauhary. Menurut beliau, makna ( )الن كاحadalah ()ا لوطء. Sedangkan makna (دg )الع قdipakai apabila konteks kalimatnya memberikan qarinah kepada makna tersebut. Seperti contoh dalam kalimat ( )هي ناكح في بني فلن-dia perempuan adalah mempelai di bani fulan yang di sini bermakna ( )ذات زوج منهم-mempunyai suami dari kalangan mereka. Lalu Ibu Saidah berpendapat bahwa kata (Tكاحp )النbermakna (Tعg ضT)الب. Hanya saja makna (TعgضT )البini khusus dipakai untuk manusia saja2.
2. Pengertian Nikah secara Istilah Secara istilah, pengertian nikah masih terbagi menjadi dua, yakni pengertian secara ushul (syariah) dan pengertian secara fikih. 2
Ibid.
14 a. Pengertian secara Ushul Dalam pengertian secara ushul, ulama' berbeda pandangan dalam memberikan pengertian nikah. Perbedaan pandangan itu terbagi menjadi tiga, dean penjelasannya seperti yang terpapar berikut ini: Golongan pertama berpendapat bahwa makna hakikat bagi kata ()الن كاح adalah ()الوطء, sedangkan makna majaznya adalah (دg)الع ق. Oleh karena itu, apabila dijumpai dalam Al-Quran ataupun Al-Hadits kata ( )الن كاحmaka pastilah makna yang dipakai adalah ( )الوطءselama tidak ada qarinah (indikasi) yang menuju pada pemakaian arti (دg)العق. Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah3. Pengertian seperti ini dapat ditemukan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa' ayat 22: ول تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء إل ما قد سلف "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau..." Golongan kedua mempunyai pendapat yang berlawanan dengan golongan pertama. Mereka menyatakan bahwa makna hakikat dari ( )الن كاحadalah (دg)الع ق, sedangkan makna majaznya adalah ()ا لوطء, dan pendapat ini rajih (lebih kuat). Pendapat ini dipakai oleh Syafi'iyah dan Malikiyah4. Pengertian semacam ini dapat dijumpai dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 230: 3
Al-Jaziri, Al-Fiqh 'Ala Madzahib Al-Arba'ah, Al-Maktabah As-Syamilah Ver. 1.0, jilid 4
4
Ibid.
hal. 6
15 ...حتى تنكح زوجا غيره "...Hingga dia kawin dengan suami yang lain..." Sedangkan Golongan ketiga menyatakan bahwa makna hakikat dari ()النكاح adalah musytarak (makna ganda/sinonim) dari makna (دg )الع قdan ()ا لوطء. Sebab mereka mendasarkan pemakaian kata ini dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang kadang-kadang bermakna ( )الوطءdan (دg)العق5. Kemudian dalam pengertian secara fikih, ulama' juga berselisih paham. Berikut adalah pendapat para Imam Madzhab tentang pengertian nikah: Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa pengertian nikah adalah: النكاح بأنه عقد يفيد ملك المتعة قصدا "Nikah itu adalah akad yang berguna untuk menguasai dan bersenangsenang dengan sengaja". Lalu golongan Syafi'iyah mendefinisikan nikah sebagai: النكاح بأنه عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما "Nikah adalah akad yang mengandung hak watha' dengan lafaz nikah atau tazwij atau kata yang semakna dengan dua kata tersebut". Kemudian golongan Malikiyah memberikan pengertian nikah sebagai: الخ...النكاح بأنه عقد على مجرد متعة التلذذ "Nikah adalah akad yang semata-mata membolehkan bersenang-senang (dengan wanita)...dst" 5
Ibid.
16
Selanjutnya golongan Hanabilah memberikan definisi nikah sebagai: هو عقد بلفظ إنكاح أو تزويج على منفعة الستمتاع "Nikah adalah akad (dengan memakai) lafaz nikah atau tazwij atas guna bersenang-senang/ menikmati (wanita)6". Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama' zaman dahulu memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang timbul7. Berbeda pula dengan ulama' mutaakhirin. Mereka mendefinisikan nikah dengan memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri8. Selain itu, mereka juga memasukkan unsur tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan memperoleh keturunan. Seperti pengertian yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Ishrah berikut ini: عقد يفيد حل عشرة بين الرجل و المرأة و تعاونهما و يجد مالكيهما من حقوق و ما عليه من واجبات "Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing9". Dan pengertian yang dilontarkan oleh Syaikh Shalih Al-Utsaimin berikut ini: 6
Ibid. Djamaan Nuur, Fiqh Munakahat, Dina Utama, Semarang, tt, hal. 3 8 Ibid. 9 Ibid. 7
17 عقد يقصد به الزدواج بين رجل و امرأة للستمتاع و العشرة و اليلد "Nikah adalah akad yang bertujuan untuk mengumpulkan/ menjodohkan antara laki-laki dan wanita untuk saling menikmati, membangun keluarga dan memperoleh keturunan10". Selain pengertian tersebut di atas, Undang-undang Perkawinan Nomer 1 tahun 1974 juga memberikan definisi tentang perkawinan sebagai berikut: "Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa11".
B. NASH-NASH PENSYARIATAN PERKAWINAN Ulama' bersepakat tentang pensyariatan perkawinan dalam Islam. Berikut ini adalah nash-nash dari Al-Quran dan Al-Hadits yang memiliki kandungan syariat perkawinan dalam Islam: و من آياته أن خ لق لكم من أنف سكم أزوا جا لت سكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذ لك ل يات ل قوم يتفكرون “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya, ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya, kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Ruum:21)
10 11
Al-Utsaimin, At-Tafsir wa Ushuluhu, Wizarah At-Ta'lim Al-Aly, Riyadh, 1980, hal. 63 Depag RI, Bahan Penyuluhan Hukum, 2004, hal. 117
18 وإن خف تم أل تق سطوا في الي تامى فانكحوا ما طاب لكم من الن ساء مث نى وثلث ور باع فإن خفتم أل ت عدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أل تعولوا “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS. An-Nisaa':3) وأنكحوا اليامى منكم والصالحين من عبادكم وإمائكم إن يكونوا فقراء يغنهم ال من فضله وال واسع عليم “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur:32) يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sanggup untuk menikah, maka menikahlah. Dan barangsiapa yang tidak sanggup maka berpuasalah, karena (puasa) itu (adalah sebagai) penahan baginya”. (HR. Bukhary No. 4778) لكني أصلي وأنام وأصوم وأفطر وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني... “Sedangkan aku shalat, aku tidur, aku puasa, aku berbuka, aku menikahi wanita, maka barangsiapa yang membenci sunnahku bukanlah termasuk umatku.” (HR. Muslim No. 1401) تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم المم “Nikahilah perempuan yang penyayang dan subur, karena aku akan menjadi umat yang paling banyak dengan kalian.” (HR. Abu Daud No. 2050)
19 C. HUKUM PERKAWINAN Pada umumnya, hukum perkawinan dalam Islam ada lima macam: wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah12. Kelima macam hukum ini jatuh dan mengikuti keadaan yang terjadi. Untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut mengapa latar belakang keadaan menjadi sebab bervariasinya hukum yang jatuh, berikut akan dihadirkan pendapat tentang hukum perkawinan ini menurut 4 (empat) madzhab Islam.
1. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Maliki Berikut hukum perkawinan menurut kalangan Malikiyah:
a. Wajib Hukum perkawinan menjadi wajib bagi orang yang takut terjatuh pada perbuatan zina, tidak mampu menahan nafsunya dengan puasa dan tidak mampu memiliki budak. Apabila keadaan tersebut ada pada seseorang, maka hukum perkawinan baginya adalah wajib. Kesimpulannya adalah,
hukum perkawinan menjadi wajib harus
memenuhi tiga unsur berikut: –
Kekhawatiran atas jatuh kepada perbuatan zina.
–
Tidak mampu berpuasa untuk menghindarkan dari zina, atau mampu berpuasa tapi tetap merasa tidak cukup. 12
Al-Jaziri, Op.cit., jilid 4 hal. 8
20 –
Tidak mampu memiliki budak. Dan sebagian kalangan berpendapat dengan perlu ditambahkan 1 (satu)
unsur lagi yaitu: –
Mempunyai penghasilan yang halal. Bagi orang yang mampu menikah, tapi ia mampu berpuasa dan membeli
budak sekaligus, maka hukum baginya adalah mukhayyar (boleh memilih antara ketiganya). Tetapi yang lebih diutamakan adalah menikah. Sedangkan mengenai unsur tambahan yaitu memiliki penghasilan yang halal, maka misal yang dapat dipakai adalah sebagai berikut: Apabila dijumpai keadaan seseorang takut berbuat zina, namun tidak mampu berpuasa dan memiliki budak belian, maka belum jatuh hukum wajib kepadanya hingga ia mempunyai penghasilan yang halal.
b. Haram Jatuh hukum haram menikah bagi laki-laki yang tidak khawatir terjerumus pada perbuatan zina, sedangkan ia tidak mampu memberikan nafkah dari penghasilan yang halal atau tidak sanggup melakukan hubungan seksual. Tapi apabila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon suami untuk berhubungan seksual, maka hukum menikah berubah menjadi mubah. Begitu pula bila calon istri tahu dan rela atas ketidakmampuan calon istri memberi nafkah, maka mubah pula hukum menikahnya.
21 Dan bila calon istri tahu dan rela bahwa si laki-laki menafkahinya dengan sesuatu yang haram maka hukum menikah menjadi haram.
c. Sunnah Hukum menikah menjadi sunnah manakala seseorang tidak mempunyai kekhawatiran jatuh pada perbuatan zina. Selain itu ia berkehendak memiliki keturunan dan mampu untuk memenuhi kewajiban nafkah dengan halal serta mampu melakukan hubungan seksual. Apabila hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka jatuh hukum haram seperti yang disinggung di bagian sebelumnya.
d. Makruh Hukum nikah menjadi makruh bagi seseorang yang tidak mempunyai desakan untuk menikah, namun ia takut tidak dapat menanggung beberapa kewajiban umum dalam perkawinan. Dan hukum ini jatuh tidak memandang lakilaki maupun perempuan. Dan hukum makruh tidak berubah walaupun seseorang itu mempunyai keinginan mempunyai keturunan.
e. Mubah Hukum
nikah
menjadi
mubah
apabila
seseorang
tidak
terlalu
menginginkan nikah, dan tidak pula menginginkan keturunan, tapi ia mampu melaksanakannya, dan mampu menanggung kewajiban nafkah13.
13
Ibid.
22 2. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hanafi Berikut hukum perkawinan menurut kalangan Hanafiyah:
a. Fardhu Berbeda dengan madzhab lainnya, madzhab ini membedakan hukum fardhu dan hukum wajib. Hukum fardhu jatuh bila syarat-syarat berikut terpenuhi pada diri seseorang: –
Keyakinan akan terjatuh pada perbuatan zina jika tidak menikah.
–
Ketidakmampuan untuk berpuasa. (hukum fardhu menjadi mukhayyar bila mampu berpuasa).
–
Ketidakmampuan memiliki budak. (hukum fardhu menjadi mukhayyar bila mampu memiliki budak).
–
Mampu memberi mahar dan nafkah secara halal.
b. Wajib Sedangkan hukum wajib (tapi tidak fardhu) jatuh bagi orang yang memenuhi syarat-syarat berikut: –
Ada keinginan menikah.
–
Adanya kekhawatiran jatuh pada perbuatan zina.
–
Adanya kemampuan memberi nafkah halal.
23 c. Sunnah Muakkadah Hukum menikah bagi seseorang menjadi sunnah muakkadah apabila terpenuhi syarat-syarat berikut: –
Adanya keinginan untuk menikah, namun sedang-sedang saja.
–
Tidak ada kekhawatiran atas jatuh pada perbuatan zina. Apabila seseorang yang memenuhi syarat-syarat ini kemudian tidak
melaksanakan perkawinan, maka ia berdosa. Namun karena hukum yang jatuh padanya adalah hukum sunnah muakkadah, maka dosa yang ia dapatkan adalah dosa yang ringan, lebih ringan dari dosa apabila meninggalkan nikah dalam keadaan hukum wajib. Sedangkan beberapa kalangan menyatakan bahwa keadaan hukum sunnah muakkadah dan wajib sebenarnya sama saja serta tidak ada perbedaan di antara keduanya. Dan apabila melihat keterangan di atas, hukum wajib dan sunnah muakkad dibedakan dengan dua hal: –
Apabila ada keinginan yang sangat atas pernikahan karena rasa takut terjatuh pada zina, maka menjadi wajib.
–
Apabila keinginan yang ada hanya sedang-sedang saja, maka menjadi sunnah muakkadah. Dan kedua hukum tersebut masih terikat dengan syarat kemampuan
memberi nafkah yang halal. Dalam arti apabila kedua unsur tersebut terpenuhi tapi kemampuan memberi nafkah yang halal tidak terpenuhi, maka hukum sunnah
24 dan wajib tidak akan jatuh. Lalu apabila perkawinan yang berhukum sunnah muakkadah ini bila diniati untuk menghindarkan diri sekaligus pasangan dari dosa dan perilaku haram, maka akan mendapatkan pahala. Namun apabila sebaliknya, tidak diniati untuk menghindarkan diri dan pasangan dari perbuatan dosa, maka tidak akan mendapat pahala. Sebab tidak ada pahala tanpa niat.
d. Haram Hukum nikah menjadi haram bila seseorang yakin bahwa profesi yang ia jalani adalah sebuah keharaman, karena mengandung sifat aniaya dan dzalim kepada orang lain. Sebab pada dasarnya nikah oleh Islam disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan, membersihkan jiwa dan menghasilkan pahala bagi pelakunya. Jadi bila nikah dilakukan dengan didukung perbuatan aniaya atas orang lain, maka pernikahan semacam ini menjadi berdosa, karena tujuan kemaslahatan yang dikehendaki dalam perkawinan justru malah menghasilkan kemafsadatan.
e. Makruh Hukum makruh melaksanakan perkawinan jatuh pada seseorang yang takut apabila dengan nikah justru menimbulkan kedzaliman dan aniaya, tapi kadar keyakinannya tidak terlalu kuat.
25 f. Mubah Dan yang terakhir, hukum perkawinan menjadi mubah bila terpenuhi syarat-syarat berikut: –
Adanya keinginan untuk menikah.
–
Tidak adanya kekhawatiran jatuh kepada zina.
–
Adanya niat menikah hanya untuk pelampiasan syahwat saja. Karena apabila syarat yang terakhir berubah menjadi nikah diniatkan untuk
menghindarkan diri dari zina atau memiliki keturunan, maka hukumnya menjadi sunnah. Maka perbedaan antara jatuh hukum sunnah atau mubah adalah dari niat si pelaku14.
3. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Syafi'i Berikut macam hukum perkawinan menurut kalangan Syafi'iyah:
a. Mubah Menurut kalangan ini, hukum asal nikah adalah mubah. Dan ini adalah hukum yang jatuh bagi orang yang berniat dan menjalani perkawinan hanya untuk menikmati dan bersenang-senang dengan istrinya.
b. Sunnah Hukum asal mubah dapat menjadi sunnah, apabila diniati oleh si pelaku 14
Ibid.
26 perkawinan untuk menjaga kehormatan dirinya atau menghendaki keturunan dari perkawinan yang ia laksanakan.
c. Wajib Hukum asal mubah berubah menjadi wajib, bilamana perkawinan oleh si pelaku diniati untuk menolak dan menjauhkan diri dari perbuatan haram.
d. Makruh Dan hukum asal mubah dapat pula menjadi makruh bila seseorang takut dan khawatir tidak dapat mendirikan hak dan kewajiban rumah tangga dan sebagai suami istri. Dalam hal ini dapat diambil contoh semisal: seorang perempuan yang tidak sedang ingin menikah, dan si calon suami tidak memiliki kemampuan memberikan mahar dan nafkah halal, maka makruh bagi keduanya untuk melangsungkan perkawinan15.
4. Hukum Perkawinan menurut Madzhab Hambali Dan berikut ini adalah hukum perkawinan menurut kalangan Hanabilah:
a. Fardhu Kalangan Hanabilah berpendapat bahwa perkawinan berhukum fardhu atas orang yang takut berzina bila tidak melaksanakan pernikahan, walau itu hanya 15
Ibid.
27 sekedar persangkaan. Hal ini sama saja bagi pria maupun wanita. Dan hal ini tidak dipisahkan dengan kemampuan memberi nafkah atau tidak. Maka apabila seseorang mampu menikah untuk menghindarkan dirinya dari keharaman, maka jatuhlah hukum fardhu ini. Dan hukum fardhu juga jatuh pada seseorang untuk mencari pekerjaan yang halal untuk memperoleh rejeki darinya, dan meminta pertolongan kepada Allah. Jadi, ketika seseorang takut berzina, maka fardhu baginya untuk menikah sekaligus mencari pekerjaan halal sebagai konsekwensi menikah.
b. Haram Nikah menjadi haram pada darul harb (medan perang), kecuali dijumpai kedaruratan. Dan apabila kedaruratan itu diangkat (dalam artian tidak ada), maka melangsungkan perkawinan pada darul harb tidak dibolehkan sama sekali dalam keadaan apapun.
c. Sunnah Perkawinan menjadi sunnah bila seseorang ingin melaksanakannya, tapi tidak ada kekhawatiran jatuh kepada zina. Dan hukum ini jatuh baik untuk lakilaki maupun perempuan. Dan perkawinan dalam keadaan seperti ini menjadi perbuatan sunnah yang afdhal (sangat diutamakan dan dianjurkan) karena bertujuan untuk menjaga jiwa, menjaga pasangan, menghasilkan keturunan yang dengannya memperbanyak
28 umat Muhammad, dan menjadi salah satu pilar pembangun masyarakat Islam.
d. Mubah Sedangkan hukum mubah jatuh bila seseorang tidak sedang ingin menikah, seperti orang yang sudah renta dan tak sanggup melakukan hubungan badan. Hukum ini muncul dengan syarat bahwa tidak muncul kemudaratan oleh sebab pernikahan tersebut dan tidak merusak akhlaknya. Bila kemudaratan dan rusaknya akhlak muncul dari perkawinan semacam ini, maka hukumnya berubah menjadi haram16.
D. RUKUN PERKAWINAN Pada dasarnya, sebuah perkawinan terbangun atas dua hal, yang tanpa dua hal ini maka sebuah perkawinan tidak akan sempurna dan terwujud. Hal yang pertama adalah ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau orang yang mewakilinya. Dan yang kedua adalah qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh calon suami atau yang mewakilinya. Dan ini menurut kalangan Hanafy17. Kedua hal ini memerlukan lagi satu hal, sehingga sebuah akad perkawinan terdiri dari tiga unsur, dua yang pertama adalah unsur yang kongkrit dan nampak, yaitu ijab dan qabul, sedangkan unsur terakhir yang abstrak dan tak nampak 16
Ibid. Ibid., hal. 11
17
29 adalah keterikatan antara ijab dan qabul. Sebelum memaparkan rukun perkawinan, perlu diberikan arti dari rukun itu sendiri. Pengertian rukun adalah: ما ل توجد الماهية الشرعية إل به “Sesuatu yang hakikat syariat tidak terwujud kecuali dengannya18”. Kemudian, berikut ini adalah berbagai pendapat mengenai rukun perkawinan:
1. Menurut Madzhab Maliki Menurut madzhab Maliki, rukun perkawinan terdiri dari lima perkara, yaitu: 1. Wali si perempuan. Sehingga, sebuah perkawinan tidak sah tanpa wali. 2. As-Shadaq (mahar). Yaitu pemberian sukarela yang mutlak dan harus ada dalam sebuah perkawinan. Tapi penyebutannya tidak disyaratkan ketika dilangsungkannya akad. 3. Calon suami. 4. Calon istri yang terbebas dari larangan syariat. Semisal: ihram dan iddah. 5. Sighat, yaitu kalimat ijab qabul. Jadi, sebuah akad perkawinan haruslah terdiri atas 'aaqidain (dua pelaku
18
Ibid.
30 akad); yakni calon suami dan wali si perempuan, maq'ud alaihi (obyek yang diakadkan); yakni si perempuan dan mahar -walaupun tidak mengapa apabila tidak disebutkan, karena mahar adalah sebuah kelaziman sebuah perkawinandan yang terakhir adalah sighat yang berupa lafadz khusus yang dengannya akad sebuah perkawinan diwujudkan menurut syariat Islam. Ada pula dijumpai pendapat yang menyatakan bahwa shadaq (mahar) tidak termasuk rukun, juga tidak termasuk syarat, karena sebuah akad tetap sah tanpa keberadaannya19.
2. Menurut Madzhab Syafi'i Sedangkan menurut kalangan Syafi'iyah, mereka berpendapat bahwa rukun perkawinan ada lima, yaitu: calon suami, calon istri, wali calon istri, dua saksi dan sighat Dan ada pula pendapat yang menganggap bahwa dua saksi adalah syarat, bukan rukun, dengan beralasan bahwa keberadaan dua saksi itu keluar dari hakikat akad20.
E. SYARAT PERKAWINAN Perkawinan mempunyai syarat-syarat tertentu. Kadangkala keberadaan syarat ini dihitung sebagai rukun bagi sebagian madzhab dan kadang-kadang 19 20
Ibid., hal. 11 Ibid., hal. 11
31 sebagian madzhab memasukkannya sebagai syarat. Penjelasan lebih lanjut akan dipaparkan berikut ini:
1. Menurut Madzhab Hanafi Menurut kalangan Hanafiyah, perkawinan mempunyai syarat-syarat yang terkait dengan tiga hal, yakni sighat, pelaku akad dan saksi.
1. Syarat Sighat Akad Menurut madzhab Hanafy, nikah dianggap sah bila sighat akad memenuhi kriteria sebagai berikut: –
Memakai lafadz khusus, baik sharih (kata yang jelas) atau kinayah (kata kiasan). Lafadz sharih yang jamak dipakai dalam sebuah perkawinan adalah kata ( )تزو يجatau ()ان كاح. Sedangkan apabila memakai lafadz kinayah, maka disyaratkan lafadz tersebut terucap dibarengi niat dan maksud untuk menikahkan, serta ada qarinah (bukti) atas niat tersebut. Dan disyaratkan pula para saksi paham maksud lafadz kinayah tersebut. Berikut ini adalah empat macam dan jenis kinayah:
•
Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu katakata ( )الصدقة( )التمليك,( )الهبةdan ()الجعل.
•
Lafadz kinayah dengan perselisihan atas keabsahan akad dengannya, yaitu kata-kata ( )الشراءdan ()البيع.
•
Lafadz kinayah dengan perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu kata-
32 kata ( )الوصيةdan ()اليجارة. •
Lafadz kinayah tanpa perselisihan atas kebatilan akad dengannya, yaitu katakata ( )الحلل,( )الرهن,( )التمتع,( )القالة,( )الخلع,( )العارةdan ()الباحة. Lalu syarat sighat selanjutnya adalah:
–
Sighat akad berupa ijab qabul harus ada dalam satu majelis.
–
Tidak ada perselisihan antara konteks ijab dan qabul. Misal: Seorang wali mengucapkan akad, “Aku nikahkan engkau dengan putriku dengan mahar 1000 dirham”, lalu si calon suami menjawab, “Aku terima nikahnya, dan aku tidak menerima mahar sejumlah itu”, maka akad seperti ini tidak sah.
–
Sighat akad harus bisa didengar oleh kedua pelaku akad. Harus ada kepastian bahwa kedua pihak pelaku akad mendengar lafadz masing-masing secara hakikat (berbentuk suara bila si pelaku akad hadir) atau secara tertulis (bila si pelaku akad ghaib). Karena pembacaan akad tertulis dapat menjadi ganti lafadz yang diucapkan/ dibunyikan.
–
Sighat tidak boleh terikat waktu. Misal: bila seorang laki-laki mengucapkan, aku nikahi kamu sebulan dengan mahar sekian, lalu si perempuan menjawab, aku kau nikahi, maka hal ini batil, dan ini adalah nikah mut'ah.
2. Syarat untuk Pelaku Akad –
Berakal. Dengan ini maka tidak sah akad orang gila atau anak kecil.
–
Baligh dan merdeka.
33 –
Khusus untuk calon istri, sedang dalam keadaan halal dinikahi dan melakukan akad. Misal: tidak sedang berakad dengan orang lain, tidak dalam keadaan iddah, tidak berstatus sebagai istri orang.
–
Untuk suami dan istri, disyaratkan jelas identitasnya. Misal: Seorang bapak mempunyai dua putri, lalu ia menikahkan salah satu putrinya tanpa menyebutkan nama, maka akad seperti ini tidak sah. Kecuali bila salah satu nya sudah menikah, maka yang dimaksudkan tentu putrinya yang belum menikah. Misal lain: Seorang bapak yang mempunyai putri bernama Fatimah, tapi ketika mengakadkan putrinya tersebut dengan nama Aisyah, maka akad tidak sah.
–
Menyandarkan sighat kepada kata perempuan atau bagian tubuh yang mewakili seluruh tubuh (semisal kepala atau leher). Selain itu maka tidak sah. Misal: Seorang wali berakad dengan kalimat “Aku nikahkan engkau dengan tangan anakku”, maka akadnya tidak sah.
3. Syarat untuk Saksi –
Saksi harus berjumlah dua orang, tidak sah bila kurang dari itu. Tidak disyaratkan harus dua laki-laki, tapi sah bila saksinya satu laki-laki disertai dua perempuan. Hal ini karena sebuah perkawinan tidak sah bila disaksikan dengan dua perempuan saja, karena itu harus ada seorang laki-laki yang menyertai dua perempuan itu.
–
Tidak disyaratkan saksi tidak sedang ihram. Maka akad tetap sah bila saksi
34 sedang ihram. –
Saksi secara personal harus memenuhi kriteria berikut, yakni: berakal, baligh, merdeka dan beragama Islam. Maka akad tidak sah dengan kesaksian orang gila atau anak kecil maupun budak. Akad tidak sah pula bila disaksikan kafir dzimmy, kecuali saksi kafir dzimmy tersebut perempuan, maka tidak mengapa selama ada saksi laki-laki yang muslim. Bila hal ini terjadi maka akad sah, baik dua saksi kafir dzimmy tersebut mempunyai agama yang sama atau berbeda.
–
Akad boleh disaksikan oleh orang buta atau orang yang mendapat had akibat menuduh atau berzina.
–
Akad nikah seorang perempuan boleh disaksikan oleh dua anak kandungnya. Dan dengan dikiaskan dengan hal ini, maka boleh pula disaksikan dengan hubungan ke atas anak (bapak/kakek) dan ke bawah (cucu). Perlu diketahui bahwa saksi dihadirkan untuk menyaksikan dua hal: keberadaan akad dan hal isbat. Mengenai keberadaan akad, maka kesaksian dapat dilakukan oleh orang buta, orang fasik maupun bapak dan anak. Tapi kesaksian untuk pengisbatan nikah tidak dapat dipenuhi oleh orang-orang tersebut di atas, dan harus dilakukan oleh orang lain. Misal: bila seorang lakilaki mewakilkan nikahnya pada orang lain, maka si wakil yang melakukan akad ini dapat dianggap merangkap sebagai saksi (saksi isbat akad), dan si wali dapat dianggap merangkap sebagai saksi pula (saksi keberadaan akad),
35 maka akad semacam ini sah. –
Saksi harus mampu mendengar ucapan akad kedua pihak. Maka kesaksian orang tidur tidak sah.
–
Akad juga sah bila disaksikan orang bisu selama mereka mendengar dan paham. Tidak disyaratkan bagi para saksi tersebut untuk paham lafadz akad secara khusus, selama mereka mengetahui bahwa yang sedang mereka dengar adalah lafadz yang dimaksudkan untuk akad.
–
Perkawinan orang Arab sah dengan saksi orang 'Ajam (non Arab), selama mereka mengerti lafadz ijab qabul. Bahkan kesaksian orang mabuk atas sebuah akad dianggap sah, bila ia tahu yang sedang ia saksikan adalah akad.
–
Khiyar dalam perkawinan bukan merupakan syarat. Akad tetap sah walau ada perasaan tidak suka dari suami atau istri. Perkawinan mempunyai sifat yang sama seperti perceraian dan memerdekakan budak, tidak membutuhkan kerelaan dan kesungguh-sungguhan. Jadi akad dianggap sah walau dilakukan dengan bercanda21.
2. Menurut Madzhab Syafi'i Menurut kalangan Syafi'iyah, syarat-syarat perkawinan terkait dengan empat hal, yakni sighat, wali, kedua mempelai dan saksi-saksi.
21
Ibid., hal. 13
36 1. Syarat untuk Sighat Syarat untuk sighat ada tiga belas macam seperti dalam sighat jual beli, diantaranya adalah: –
Tidak bergantung dengan syarat lain. Misal: sighat akad “Aku nikahkan kamu dengan putriku bila kamu memberiku rumah”, maka akad semacam ini tidak sah.
–
Tidak boleh terikat dengan waktu. Misal: sighat akad “Aku nikahi kamu sekian bulan”, maka akad ini tidak boleh karena termasuk dalam nikah mut'ah. Perkawinan ini jelas terlarang seperti yang tercantum dalam hadits muttafaq alaihi.
–
Tambahan syarat yang membedakan sighat jual beli dengan sighat akad nikah yakni keharusan pemakaian lafadz ( )تزو يجatau ()ان كاح. Seperti dalam sighat berikut: ( )أنكح تك موك لتيdan ()زوج تك اب نتي. Tapi pemakaian dua lafadz tersebut tidak boleh dalam bentuk mudhari' (kata kerja sedang/akan), karena mengandung unsur janji di dalamnya. Hal ini seperti yang terdapat dalam sighat berikut: ()أزوجك ابنتي. Tapi bila kata tersebut ditambah keterangan waktu semisal ( )أزوجك ابنتي النmaka boleh. Boleh pula jika memakai bentuk isim fail (kata ganti subyek) disertai kata taukid (peneguhan) semisal: ()إني مزوجك ابنتي. Karena hakikat isim fail pada kalimat ini tidak mengandung unsur janji.
–
Sah berakad dengan bahasa asing, walaupun saksi mengerti bahasa Arab, dengan syarat selama para saksi paham maknanya.
37 –
Sighat tidak boleh menggunakan kalimat-kalimat seperti yang tertera berikut ini: ( )ملكتك إياها,( )وهبتها لك,( )بعتها لك,( )أحللت لك ابنتيdan semisalnya. Walau hal ini menurut kalangan Hanafiyah dianggap sah, tapi menurut kalangan Syafi'iyah tidak sah, dan harus menggunakan kata ( )ان كاحatau ()تزو يج. Dan menurut Syafi'iyah inilah yang dimaksud dari “kalimat Allah” seperti yang terdapat dalam hadits: ... واستحللتم فروجهن بكلمة ال... Kemudian karena semua kalimat Allah yang dijumpai dalam Al-Quran hanyalahkata ( )ان كاحatau ()تزو يج, maka tidak dibenarkan mengkiaskannya dengan kata lain, dan tidak pula dengan kinayah. Sebab kinayah membutuhkan niat, sedangkan niat adalah hal yang abstrak.
–
Untuk kalimat qabul, maka haruslah dengan ucapan ()قب لت ف يه زوا جه أو نكاح ها, atau ( )أحبب ته,( )ر ضيت نكاح هاdan ()أرد ته. Tapi bila yang diucapkan qabiltu saja lalu diam, maka tidak sah.
–
Qabul boleh didahulukan dari ijab.
2. Syarat untuk Wali –
Orang yang dikehendaki, bukan orang yang dibenci.
–
Laki-laki. Tidak sah bila perempuan ataupun khunsa (berkelamin ganda).
–
Mahram si perempuan.
38 –
Baligh.
–
Berakal, tidak gila.
–
Adil, tidak fasik.
–
Tidak mahjur (terhalang wali lain).
–
Tidak buta.
–
Tidak berbeda agama.
–
Merdeka, bukan budak.
3. Syarat untuk Kedua Mempelai
–
Syarat untuk suami, adalah: •
Bukan mahram si perempuan. Tidak sah bila berhubungan darah, semenda ataupun susuan dengan si calon istri.
–
•
Orang yang dikehendaki.
•
Mu'ayyin (nampak), dalam arti identitas jelas.
Syarat untuk istri, adalah: •
Bukan mahram si laki-laki.
•
Terbebas dari halangan nikah, semisal: sedang iddah atau berstatus istri orang.
39 4. Syarat untuk Saksi-Saksi –
Berjumlah dua, bukan budak, bukan perempuan dan bukan orang fasik.
–
Wali tidak bisa merangkap sebagai saksi walaupun ia memenuhi kualifikasi sebagai saksi. Ini berlawanan dengan pendapat kalangan Hanafiyah.
–
Disunnahkan saksi dalam keadaan rela dan tidak terpaksa, sehingga tidak ada pengingkaran atas akad yang terjadi22.
3. Menurut Madzhab Hambali Sedang menurut kalangan Hanabilah, perkawinan mempunyai empat syarat, yakni: –
Syarat pertama: Ta'yiin (tertentu/pasti). Untuk syarat pertama ini, berikut penjelasan yang menyertainya: Misal: sighat akad sah bila memakai kalimat ()زوجتك ابنتي فلنة. Namun bila
memakai kalimat ( )زوج تك اب نتيpadahal si wali mempunyai lebih dari satu putri, maka tidak sah. Penyebutan sifat atau nama untuk membedakan calon suami atau istri adalah sebuah keharusan untuk mencapai keabsahan akad. Untuk kalimat ijab, madzhab ini sepakat dengan pendapat Syafi'iyah, tapi untuk kalimat qabul cukup dengan kata ( )ر ضيتatau ()قب لت. Tidak disyaratkan melengkapi kalimat qabul seperti pendapat Syafi'iyah. Dan bertentangan dengan Syafi'iyah, qabul tidak boleh mendahului ijab.
22
Ibid., hal. 13
40 Disyaratkan kesinambungan dalam ijab qabul. Bila terputus dan terpisah maka akad tidak sah. –
Tidak diwajibkan menggunakan bahasa Arab selama bahasa yang dipakai dimaksudkan untuk makna ijab dan qabul. Dan tidak boleh menyampaikannya dengan isyarat, kecuali bagi orang bisu, dan isyarat yang disampaikan dapat dipahami.
–
Syarat kedua: Ada kemauan dan kerelaan dari kedua pihak.
–
Syarat ketiga: Syarat khusus bagi wali, yaitu: laki-laki, sehat akal, baligh, merdeka, beragama sama, lurus beragama dan paham atas akad tersebut.
–
Syarat keempat: Syarat khusus bagi saksi, yaitu: berjumlah dua orang, lakilaki, baligh, sehat akal, adil (walau dzahirnya saja), tidak mesti merdeka (boleh budak), mampu berbicara, muslim, mampu mendengar (tidak boleh orang tuli, kafir), bukan dari keluarga bergaris keturunan ke atas dan ke bawah, tidak harus mempunyai penglihatan.
–
Syarat kelima: Tidak ada halangan syar'i antara si laki-laki dan si perempuan dalam melangsungkan perkawinan23.
4. Menurut Madzhab Maliki Menurut kalangan Malikiyah, setiap rukun nikah mempunyai syarat-syarat tersendiri, seperti yang terpapar berikut ini:
23
Ibid., hal. 13
41 1. Syarat untuk Sighat –
Menggunakan lafadz khusus, misal: ( )أنكحت بنتيdan ()زوجني فلنة
–
Qabul tidak mesti dengan lafadz khusus, semisal kalimat-kalimat berikut ini: ( )نفذت,( )رضيت,( )قبلتdan ()أتممت.
–
Tidak disyaratkan berucap qabul dengan ()قب لت نكاح ها أو زواج ها, berlawanan dengan pendapat Syafi'iyah terdahulu.
–
Selain menggunakan kata ( )التزو يجdan ( )الن كاحmaka akad tidak sah. Perkecualian untuk kata ( )اله بةboleh dengan disyaratkan penyebutan shadaq (mahar) seperti dalam kalimat ()وهبت لك ابنتي بصداق كذا.
–
Adapun bila menggunakan kata lain yang berarti memindahkan kepemilikan semisal ( )أحل لت,( )أعط يت,( )ت صدقت,( )من حت,( )ب عتdan ( )مل كتdengan disertai penyebutan mahar, maka hal ini masih diperselisihkan. Tapi pendapat yang rajih adalah akad tidak sah. Bila kata-kata di atas tidak disertai penyebutan mahar, maka tidak ada perselisihan tentang kebatilan akad tersebut.
–
Disyaratkan ijab qabul harus berkesinambungan dan segera ()ال فور. Bila terpisah antara ijab dan qabul namun hanya sebentar maka tidak mengapa. Semisal semisal terpisah dengan khutbah pendek.
–
Kemudian akad tidak boleh tertentu batasan waktunya, dan bila terjadi, maka nikah termasuk nikah mut'ah yang telah diharamkan pelaksanaannya.
–
Tidak mengandung syarat yang menyalahi akad seperti pendapat Syafi'iyah.
42 2. Syarat untuk Wali –
Laki-laki
–
Merdeka
–
Sehat akal
–
Baligh
–
Tidak dalam keadaan ihram
–
Beragama Islam
–
Tidak bodoh (bila ternyata bodoh tapi mempunyai penglihatan, maka kebodohannya tidak membatalkan hak perwaliannya).
–
Tidak fasik
–
Mempunyai hak paksa atas perempuan yang berada dalam perwaliannya.
3. Syarat untuk Mahar –
Mahar adalah barang yang berhak dimiliki secara syar'i. Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah khamr, atau bangkai.
–
Mahar adalah barang yang dibolehkan diperjualbelikan menurut syar'i. Misal: Akad tidak sah bila mahar yang diberikan adalah seekor anjing.
–
Bila akad terjadi dengan dua jenis mahar tersebut di atas, maka perkawinan wajib di fasakh (batal) sebelum hubungan intim terjadi. Bila hubungan intim terlanjur terjadi, maka si suami wajib memberikan mahar mistly (mas kawin
43 yang umum di kalangan masyarakat).
4. Syarat untuk Saksi –
Sunnah menghadirkan saksi pada saat pelaksanaan akad. Bila tidak hadir, maka tidak mengapa.
–
Bila pada saat akad tidak ada saksi, maka ketika dukhul wajib menghadirkan saksi. Bila dukhul terjadi tanpa saksi, maka perkawinan tersebut harus fasakh dengan talak ba'in. Dan ini untuk menghindari terbukanya pintu zina.
–
Kesaksian boleh berupa syahadatul abdaad (saksi silang), dan akad yang terjadi sah. Misal: Seorang wali berakad dengan seorang laki-laki tanpa saksi, lalu keduanya berpisah. Kemudian si wali menemui dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut: ()أشهدكما بأنني زوجت فلنا لفلنة “aku bersaksi pada kalian bahwa aku telah mengawinkan si Polan dengan si Polanah.” Di tempat lain, si laki-laki yang berakad dengan wali tersebut bertemu pula dengan dua orang yang hendak ia jadikan saksi dengan cara menyatakan kesaksiannya atas terjadinya akad dengan kalimat seperti berikut: ()أشهدكما بأنني تزوجت فلنة “aku bersaksi pada kalian bahwa aku dikawinkan dengan si Polanah. “
44 –
Bila hal seperti di atas terjadi, namun orang yang dijadikan saksi oleh si wali dan si suami adalah orang yang sama, maka akad juga sah. Tapi kesaksian tidak lagi bernama syahadatul abdaad. Dan jumlahnya cukup dengan dua orang saja.
–
Bila pada perkawinan yang akadnya tanpa saksi, kemudian si suami melakukan dhukul kepada istrinya tanpa saksi, maka jatuh had zina atas keduanya.
5. Syarat untuk Mempelai Untuk mempelai, disyaratkan bagi keduanya terbebas dari larang melakukan perkawinan, semisal: bagi calon istri tidak sedang ihram, bukan istri orang, tidak sedang iddah. Dan bagi keduanya tidak mempunyai hubungan darah, hubungan susuan dan semenda24.
F. HIKMAH PERKAWINAN Bila ditilik lebih jauh, banyak sekali hikmah yang terkandung dalam suatu ikatan perkawinan, baik dari segi sosial, psikologi maupun kesehatan. Berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur'an dan nash-nash dari Al-Hadits, dapat disimpulkan bahwa hikmah perkawinan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Sarana penyaluran hasrat seksual Tidak dapat ditampik bahwa sesungguhnya hasrat seksual adalah naluri 24
Ibid., hal. 13
45 yang paling kuat dan paling dasar pada diri manusia yang membutuhkan penyaluran yang tepat. Apabila penyaluran kebutuhan biologis ini tidak memuaskan, maka manusia yang mempunyai hasrat ini dapat terlanda kegoncangan dan kekacauan dalam jiwanya. Kegoncangan dan kekacauan dalam jiwanya tersebut dapat mendorongnya untuk berperilaku jahat dan bermaksiat kepada Allah. Perkawinan adalah jalan yang paling alamiah dan sesuai untuk memuaskan dan memberi jalan penyaluran dari kebutuhan yang satu ini. Dengan perkawinan maka tidak dapat dipungkiri seseorang akan mendapatkan badan yang sehat, memperoleh jiwa yang tenang, mendapatkan pandangan yang terpelihara dari halhal yang haram, memperoleh anugerah dengan berhak menikmati sesuatu dengan halal sesuai dengan apa yang tersirat pada ayat dan hadits pada bagian sebelumnya25.
2. Sarana mendapatkan keturunan Perkawinan adalah jalan utama dan terbaik untuk mendapatkan keturunan. Dengan berketurunan, maka seseorang memuliakan dirinya sendiri, memberi andil melestarikan manusia, menjaga dan memelihara kesucian garis keturunan dan memperbanyak umat Muhammad26.
25 26
Djamaan Nuur, Op. Cit., hal. 10 Ibid., hal. 11
46 3. Sarana menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan Seseorang yang telah melangsungkan perkawinan, kemudian memperoleh buah hati, maka tumbuhlah naluri kebapakan atau keibuan dalam dirinya. Lalu kedua naluri itu terus berkembang dan saling melengkapi sehingga menghasilkan dan membentuk kehidupan berkeluarga yang penuh dengan perasaan yang ramah, saling mencintai, saling mengasihi dan sayang-menyayangi antara anggota keluarga27.
4. Sarana menumbuhkan rasa tanggungjawab Seseorang yang telah mengarungi bahtera rumahtangga dan memperoleh keturunan, akan timbul rasa tanggungjawab dan dorongan yang kuat untuk melaksanakan kewajibannya sebagai orangtua. Rasa tanggungjawab dan dorongan yang kuat ini akan mematangkan dan mendewasakan jiwa seseorang, sehingga ia akan mempunyai kekuatan untuk bekerja keras melaksanakan tanggungjawab dan kewajibannya tersebut28.
5. Sarana mendirikan sendi-sendi rumahtangga yang kokoh Berdirinya sebuah keluarga dari suatu perkawinan akan menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dengan berimbang. Sehingga hal ini mewujudkan sinergi antara kedua insan tersebut. Perwujudan pembagian tugas semisal istri sebagai pengatur dan pengurus masalah 27 28
Ibid., hal. 12 Ibid.
47 rumahtangga, pemelihara dan pendidik anak, dan suami sebagai pencari nafkah dan kepala rumahtangga, akan menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi para anggota keluarga dan membentuk rumahtangga yang kokoh29.
6. Sarana mendirikan sendi-sendi masyarakat yang kokoh Melalui sebuah perkawinan akan timbul ikatan persaudaraan dan kekeluargaan antar keluarga istri dan suami. Ikatan ini akan memperteguh rasa saling mencintai antar keluarga yang terjalin di dalamnya. Hal ini juga berarti memperteguh hubungan masyarakat Islam yang kokoh dan diridhai oleh Allah30.
29 30
Ibid. Ibid.