Skleritis......docx

  • Uploaded by: Anonymous q4lEXr3
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skleritis......docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,989
  • Pages: 21
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini terjadi karena adanya proses imunologis, atau karena adanya suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit autoimun. Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior.11 Skleritis lebih sering dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,6:1. Pada umumnya skleritis terjadi sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral.2 Skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani dengan baik berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan skleritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.1 Mengingat pentingnya pengetahuan tentang skleritis ini maka inilah yang menjadi alasan penulis dalam menyusun referat ini. Penulisan referat ini hendaknya dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang definisi, epidemiologi,

1

etiologi, patofisiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini yaitu Skleritis. 1.3 Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Skleritis. 1.4 Manfaat Penulisan Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang gambaran Skleritis kepada pembacanya. 1.5 Metode Penulisan Penulisan makalah ini menggunakan tinjauan pustaka yang merujuk kepada berbagai literatur.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sklera Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.3

Gambar 1. Anatomi Mata (Dikutip dari kepustakaan Subramanian, 2008)

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke

3

dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sclera.3 Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.3,4

Gambar 2. Sklera (Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008) 4

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:5 1. Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat meletaknya kornea pada sklera. 2. Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.

Gambar 3. Struktur Sklera (Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkasberkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 μm dan lebar 100-140 μm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

5

Gambar 4. Histologi Sklera (Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008)

Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3

2.2 Skleritis 2.2.1

Definisi Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai

oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1 6

2.2.2

Epidemiologi Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika

Serikat diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar 94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior.11 Skleritis lebih sering dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,6:1. Pada umumnya skleritis terjadi sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus skleritis terjadi secara bilateral.2

2.2.3

Klasifikasi

Skleritis diklasifikasikan menjadi:3 1.

Episkleritis a. Simple Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda yang berpotensi mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak nyaman pada mata, disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat pelebaran pembuluh darah baik difus maupun segmental. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dan sering mengenai usia dekade 40-an. b. Nodular Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple scleritis. Sekitar 30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan penyakit sistemik, 5% dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti

7

artritis rematoid, 7% dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3% dihubungkan dengan gout. 2.

Skleritis Anterior 95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior

sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

Gambar 5. Skleritis Anterior (Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008) a. Difus Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan gout. b. Nodular Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. 8

c. Necrotizing Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu: i. Dengan inflamasi ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans 3.

Skleritis Posterior Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis

anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.

Gambar 6. Skleritis Posterior (Dikutip dari kepustakaan Bolumleri, 2008) 9

2.2.4

Etiologi Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses

imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.1 Penyakit Autoimun

Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid, Poliartritis nodosa,

Polikondritis

berulang,

Granulomatosis

Wegener, Lupus eritematosus sistemik, Pioderma gangrenosum, Kolitis ulserativa, Nefropati IgA, Artritis psoriatic Penyakit

Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom

Granulomatosa

Vogt-Koyanagi-Harada (jarang)

Gangguan Metabolik

Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif

Infeksi

Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster, Herpes Simpleks,

Infeksi

Pseudomonas,

Aspergillus,

Streptococcus, Staphylococcus Lain-lain

Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam atau basa), Mekanis (cedera tembus), Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak

Tidak diketahui

10

2.2.5 Patofisiologi Skleritis adalah peradangan primer pada sclera yang biasanya (sekitar 50 persen kasus) berhubungan dengan penyakit sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.6 Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).7 Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I, secara umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi 11

yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post – infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.8 Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh sel T spesifik – antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya, dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan waktu 48 – 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.8 Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler 12

(peradangan mikroangiopati).

Tidak seperti episkleritis, peradangan pada

skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata. 2.2.6 Manifestasi Klinis Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan.8 Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpadisertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.2 2.2.7 Diagnosis Anamnesis Keluhan pasien akan bervariasi, tergantung dari tipe skleritis yang dialami pasien. Rasa nyeri yang dirasakan pasien akan memburuk dengan pergerakan bola mata dan dapat menyebar ke arah alis mata, dahi, dan dagu. Rasa nyeri juga dapat memburuk pada malam hari, bahkan dapat membangunkan pasien dari tidurnya.

13

Pemeriksaan Fisik dan Oftalmologi 1. Pemeriksaan tajam penglihatan.11 a. Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun. b. Gangguan visus lebih jelas pada skleritis posterior. 2. Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. 3. Pemeriksaan Sklera10 a. Sklera tampak difus, merah kebiru – biruan dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan menimbulkan uvea gelap. b. Area berwarna hitam, abu – abu, atau coklat yang dikelilingi oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap. 4. Pemeriksaan slit – lamp10,11 a. Untuk menentukan adanya keterlibatan secara menyeluruh atau segmental. Injeksi yang meluas adalah ciri khas dari diffuse anterior scleritis. b. Pada skleritis, kongesti maksimum terdapat dalam jaringan episkleral bagian dalam dan beberapa pada jaringan episkleral superfisial. Sudut posterior dan anterior dari sinar slit lamp terdorong maju karena adanya edema pada sklera dan episklera. 14

c. Pemberian topikal 2.5% atau 10% phenylephrine hanya akan menandai jaringan episklera superfisial, tidak sampai bagian dalam dari jaringan episklera. d. Penggunaan lampu hijau dapat membantu mengidentifikasi area avaskular pada sklera. Perubahan kornea juga terjadi pada 50% kasus. e. Pemeriksaan

kelopak

mata

untuk

kemungkinan

blefaritis

atau

konjungtivitis juga dapat dilakukan. 5. Pemeriksaan skleritis posterior11 a. Dapat ditemukan tahanan gerakan mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis. b. Dilatasi fundus dapat berguna dalam mengenali skleritis posterior. Skleritis posterior dapat menimbulkan amelanotik koroidal. c. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema, lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina.17 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi dari skleritis. Pemeriksaan Laboratorium Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi:1 a. Hitung darah lengkap dan laju endap darah b. Kadar komplemen serum (C3) 15

c. Kompleks imun serum d. Faktor rematoid serum e. Antibodi antinukleus serum f. Antibodi antineutrofil sitoplasmik g. Imunoglobulin E h. Kadar asam urat serum i. Urinalisis j. Rata-rata Sedimen Eritrosit k. Tes serologis Pemeriksaan Radiologi Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam menentukan penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut : a. Foto thorax b. Rontgen sinus paranasal c. Foto lumbosacral d. Foto sendi tulang panjang e. Ultrasonography ( Scan A dan B) f. CT-Scan g. MRI Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain : a. Skin Test b. Tes usapan dan kultur c. PCR 16

d. Histopatologi

Gambar 7. B-Scan Ultrasonography pada skleritis posterior menunjukkan adanya akumulasi cairan pada kapsul tenon (Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/1228865overview#a30) 2.2.8 Diagnosis Banding Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis:7 a. Konjunctivitis alergika b. Episkleritis c. Gout d. Herpes zoster e. Rosasea okular f. Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva g. Karsinoma sel skuamosa pada palpebra h. Uveitis anterior nongranulomatosa

17

2.2.9 Penatalaksanaan

Peradangan pada sklera yang tidak diobati ataupun pengobatan tidak adekuat dapat menimbulkan perforasi. Terapi awal skleritis adalah pemberian obat anti inflamasi non steroid sistemik. Pilihan obat yang bisa digunakan yaitu indometasin 75 mg per hari, atau ibuprofen 600 mg per hari. Pada sebagian besar kasus nyeri segera berkurang dan diikuti dengan peredaan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu, atau jika penyumbatan maupun ketiadaan perfusi pembuluhpembuluh besar di substansia propia atau episkleral yang tampak secara klinis menjadi lebih jelas, segera mulai dengan terapi prednisone oral 0,5-1,5 mg/kg/hari. Dapat juga digunakan obat-obat imunosupresif lain seperti cyclophospamide yang secara khusus bermanfaat bila terdapat ancaman perforasi.1

Terapi pada skleritis non infeksi a. Obat anti inflamasi non steroid Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) mungkin efektif dalam pengobatan nonnecerotizing skleritis. Agen ini berfungsi untuk mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan terutama berguna dalam kasus yang lebih ringan. Tidak ada satu OAINS yang terbukti lebih efektif dalam pengobatan skleritis non infeksi dari OAINS yang lain, tapi yang biasa digunakan dan terbukti berhasil yaitu indometasin, flurbiprofen, dan naproxen.

18

b. Kortikosteroid Kortikosteroid topikal berpotensi berguna pada kasus skleritis ringan, atau sebagai terapi adjuvan. Suntikan kortikosteroid subkonjungtiva baru-baru ini terbukti efektif pada skleritis non nekrosis anterior walaupun ada beberapa kontroversi dikarenakan efek lokal yang ditimbulkan. Sistemik kortikosteroid tetap menjadi andalan terapi skleritis non infeksius yang diberikan secara oral atau secara intravena dosis tinggi. c. Terapi imunomodulator Seperti uveitis noninfeksius, pasien dengan skleritis yang tidak merespons kortikosteroid atau yang memerlukan dosis kortikosteroid terlalu tinggi untuk penggunaan jangka panjang harus dialihkan dengan hemat steroid terapi imunomodulator. Tidak ada data spesifik yang mencukupi pilihan agen tertentu, selain dalam beberapa situasi. Antimetabolit seperti methotrexate, azathioprine, dan mycophenolate mofetil semuanya telah berhasil digunakan. Penghambat kalsineurin juga merupakan pilihan. Cyclophosphamide adalah obat pilihan untuk Wegener granulomatosis dan poliartritis nodosa. Agen biologis

seperti tumor necrosis factor (TNF)

inhibitor (infliximab dan adalimumab) dan rituximab telah dilaporkan berguna dalam pengobatan skleritis rekalsitran. Terapi skleritis infeksi Hasil yang baik didapatkan dengan mengkombinasikan terapi obat-obatan dan pembedahan. Pembedahan dapat berupa debridemant jaringan yang terkena infeksi. Antibiotik dapat diberikan secara topikal, subkonjungtiva, ataupun sistemik sesuai 19

dengan hasil kultur. Mikroorganisme penyebab skleritis sangat susah untuk dieradikasi dari sklera sehingga membutuhkan pengobatan jangka lama. Tidak boleh diberikan kortikosteroid. Pemakaian patch diperlukan pada pasien yang telah terbukti terdapatnya penipisan sklera dengan tujuan untuk menstabilkan bola mata.

2.2.10 Komplikasi dan Prognosis Individu dengan skleritis ringan biasanya tidak akan mengalami kerusakan penglihatan yang permanen. Hasil akhir cenderung tergantung pada penyakit penyerta yang mengakibatkan skleritis. Necrotizing scleritis umumnya mengakibatkan hilangnya penglihatan dan memiliki 21% kemungkinan meninggal dalam 8 tahun. Skleritis infeksi sangat sulit untuk disembuhkan dan banyak menimbulkan komplikasi. Perforasi dapat terjadi karena terjadinya penipisan sklera akibat nekrosis. Eksisi jaringan yang terinfeksi yang tidak baik akan menyebabkan rekurensi dan penyebaran infeksi ke kornea bisa terjadi karena pengobatan yang tidak adekuat atau gagal. Jika penyebaran ke intraokular dapat menyebabkan endoftalmitis.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC 2010. 166-67. 2. E.Smith, Morton. External Disease and Cornea. San Francisco: American Academy of Ophthalmology; 1985. 3. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of Congress Catalog. 1988; 111-6 4. Subramanian M. Eye. http://www.medlineplus.com [diakses 30 November 2008] 5. Galor A, Thorne J. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis. http://www.pubmed.com [diakses 30 November 2008] 6. Anonim. Scleritis. http://cms.revoptom.com/handbook/sect2g.htm. 7. De la Maza, Maite Sainz, MD, PHD. Scleritis.2010. http://emedicine.medscape.com/article/809166-overview. 8. Anonim. Hypersensitivity and Chronic Inflammation. 2002. http://wwwimmuno.path.cam.ac.uk

21

More Documents from "Anonymous q4lEXr3"