Skenario 3 Budaya Ilmiah

  • Uploaded by: ichsanul amy himawan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skenario 3 Budaya Ilmiah as PDF for free.

More details

  • Words: 2,848
  • Pages: 14
1

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK I BUDAYA ILMIAH SKENARIO 3 PENERAPAN PRINSIP EVIDENCE BASED MEDICINE DALAM PENENTUAN JENIS TERAPI PADA PASIEN

Oleh Kelompok 12: Fiqih Faruz Romadhon (G0009084)

Hanifah Astrid

(G0009100)

David Kurniawan S.

Fika Khulma S.

(G0009082)

Ichsanul Amy Himawan (G0009104)

Qonita S. Janani

(G0009176)

Ahmad Afiyyudin

(G0009008)

Muvida

(G0009144)

Ariesta Permatasari

(G0009028)

Gia Noor Pratami (G0009092)

Dhiandra Dwi

(G0009058)

(G0009050)

Tutor: Siti Utari, Dra. M.Kes.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009

2

BAB I PENDAHULUAN a.

Latar Belakang Masalah Dalam dunia kedokteran, perkembangan informasi seputar dunia medis dan penyakit terus berkembang pesat. Oleh sebab itu, dokter harus selalu mengikuti perkembangan pengetahuan. Tidak terkecuali dalam menentukan terapi untuk pasien. Dokter harus mengikuti prosedur yang tepat sesuai dengan sebuah prinsip yang disebut EBM (Evidence Based Medicine). EBM adalah sebuah pertimbangan bukti ilmiah (evidence) yang sahih yang diketahui hingga kini untuk menentukan pengobatan pada penderita yang sedang kita hadapi. EBM ini dijadikan dasar dalam melakukan diagnosis dan terapi. EBM yang digunakan untuk menentukan langkah terapi disebut Evidence Based Medicine Therapy. Dalam skenario tiga, seorang laki-laki berusia 45 tahun dengan riwayat penyakit: 3 hari sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan demam, pusing, batuk-batuk disertai dahak, badan terasa sakit semua, dan dua hari kemudian merasakan sesak napas. Penderita belum pernah merasakan sakit seperti ini. Ada kasus ternak mati mendadak di tempat kerjanya. Dari pemeriksaan fisik, diketahui keadaan umum tampak sesak napas dengan respirasi 36 kali setiap menit, inspeksi retraksi interkostal. Hasil pemeriksaan darah, jumlah leukosit 15.000/dl. Photo thorax: nampak perselubungan pada seluruh lapangan paru. dokter A mendiagnosis flu burung, sedangkan dokter B mendiagnosis AIDS. Pasien tersebut setelah masuk bangsal diberi terapi dengan antibiotik, obat turun panas, dan obat-obat anti viral. Dengan membahas skenario ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan proses memilih penatalaksanaan (terapi) yang tepat menggunakan prinsip-prinsip EBM.

b. Rumusan Masalah

dengan

3

1. Bagaimana proses pemberian terapi menurut prinsip-prinsip EBM? 2. Bagaimana cara mendapatkan informasi valid untuk menegakkan diagnosis dan terapi? 3. Apakah cukup untuk menentukan penyakit atas dasar hasil diagnosis saja? 4. Apakah kedua dokter telah melaksanakan proses pemberian terapi sesuai prinsip-prinsip EBM? c.

Tujuan 1. Mengetahui proses pemberian terapi menurut prinsip-prinsip EBM, yaitu:  Merumuskan masalah yang dihadapi pasien  Mampu melakukan penelusuran artikel  Mampu melakukan penilaian bukti-bukti  Mampu menentukan tujuan terapi  Mampu memilih terapi yang efektif (tingkat kesembuhan tinggi) dan efisien (biaya terjangkau)  Mampu melakukan evaluasi terapi 2. Mampu mendapatkan informasi valid untuk menegakkan diagnosis dan terapi. 3. Mengetahui standar dan dasar dalam menentukan diagnosis pada pasien. 4. Mengetahui apakah kedua dokter telah melaksanakan proses pemberian terapi sesuai prinsip-prinsip EBM

d. Manfaat 1. Mampu melakukan langkah-langkah yang benar dalam pemberian terapi sesuai dengan prinsip-prinsip EBM. 2. Mendapatkan informasi terbaru dan valid mengenai penegakan diagnosis suatu penyakit dan pemberian terapi yang efektif dan efisien pada pasien.

4

BAB II STUDI PUSTAKA

A.

Evidence Based Medicine Therapy EBM menggunakan segala pertimbangan bukti ilmiah (evidence) yang sahih

yang diketahui hingga kini untuk menentukan pengobatan pada penderita yang sedang kita hadapi. Ini merupakan penjabaran bukti ilmiah lebih lanjut setelah obat dipasarkan dan seiring dengan pengobatan rasional. (Iwan, 2002) Terapi dibedakan atas dua jenis, yaitu terapi farmakologi atau terapi yang menggunakan obat sebagai sarana terapinya, dan terapi non-farmakologi atau terapi yang tidak menggunakan obat sebagai sarana terapinya. Berdasarkan tujuan pemakaiannya maka farmakoterapi dapat dibedakan menjadi: 1. Terapi kuratif: yakni untuk menyembuhkan penyakit baik dengan jalan menghilangkan penyebab penyakit atau memperbaiki kelainan-kelainan fungsi yang terjadi. Misalnya pengobatan infeksi kuman atau parasit. 2. Terapi supresif: yakni untuk menekan proses penyakit atau menghilangkan gejala penyakit (symptomatic) tetapi tidak menyembuhkan atau menghilangkan penyebab penyakitnya sama sekali. Misalnya pengobatan hipertensi, epilepsi, gejala nyeri dan lain-lain. 3. Terapi preventif (prophylactic): yakni untuk mencegah terjadinya penyakit atau kumatan penyakit. Misalnya dengan vaksinasi (Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada) Proses keputusan terapi mencakup beberapa tahap atau pertimbangan yang perlu dilalui secara sistematik, walaupun dalam praktek pengobatan sehari-hari, mungkin kita tidak sadar dalam menjalankan proses tersebut. Secara sederhana proses-proses tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

5

1. Proses penegakan diagnosis: tindakan/pengobatan harus didasari oleh diagnosis penyakit dan kondisi pasien sebagai diagnosis kerja. Proses diagnosis dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan baik pemeriksaan klinik, laboratorik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. 2. Proses pemilihan intervensi terapi: berdasarkan pertimbangan patofisiologi penyakit, perjalanan alami dan manifestasi maka pemilihan intervensi terapi dilakukan. Kemungkinan intervensi terapi akan meliputi intervensi dengan obat (farmakoterapi),intervensi tanpa obat (non farmakoterapi), dan intervensi farmakoterapi + non farmakoterapi. 3. Proses pemilihan obat: pedoman dasar pemilihan obat, dengan demikian adalah memilih obat yang paling bermanfaat, paling aman (efek samping minimal), paling ekonomis dan paling sesuai atau cocok untuk pasien. 4. Proses penentuan aturan dosis dan cara pemberian obat, dalam proses ini yang perlu diputuskan adalah cara pemberian obat (route of administration), bentuk sediaan/formulasi,besar dosis dan frekuensi pemberian, dan lama pemberian. 5. Proses peresepan dan pemberian informasi: peresepan (prescription) adalah suatu pelaksanaan keputusan terapi yang pada hakekatnya merupakan instruksi atau permintaan untuk memberikan obat kepada pasien sesuai dengan aturan dosis, cara pemakaian, lama pemakaian dan lain-lain. 6. Proses evaluasi hasil atau efek pengobatan: setiap pemberian obat harus diikuti dengan evaluasi terhadap tercapai atau tidaknya efek terapetik yang diinginkan dan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan (Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada). B.

Terapi Avian Influenza Kelompok resiko tinggi terinfeksi flu burung adalah pekerja peternakan atau

pemrosesan unggas, pekerja laboraturium yang memproses sampel pasien atau unggas terjangkit, pengunjung peternakan atau pemrosesan unggas, pernah kontak dengan unggas atau mati mendadak yang belum diketahui penyebabnya dan atau babi serta produk mentahnya dalam tujuh hari terakhir, pernah kontak dengan

6

penderita avian influenza dalam tujuh hari terakhir (Dina Kartika Sari, dkk, 2006). Penyakit flu burung atau avian influenza adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza A sub tipe H5N1 yang menyerang manusia dengan gejala demam lebih dari 380C, batuk, pilek, nyeri otot, nyeri tenggorokan, dan pernah kontak dengan binatang tersebut dalam 7 hari terakhir. (Muh. Nasrum Mahsi, 2006) Perjalanan klinis avian influenza umumnya berlangsung sangat progresif dan fatal, sehingga sebelum sempat terfikir avian influenza, pasien sudah meninggal. Mortalitas penyakit ini hingga laporan terakhir sekitar 50%. (Leonard Nainggolan, Cleopas Martin Rumende, Herdiman T.pohan, 2006) Masa inkubasi pada manusia : 1-3 hari, masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari. (Kristina, Isminah, Leny Wulandari, 2004) Oseltamivir tetap dianjurkan sebagai pengobatan utama antivirus. Data pengamatan pengobatan dengan oseltamivir pada tahap awal penyakit menunjukkan manfaatnya dalam mengurangi A (H5N1) infeksi virus mortalitas terkait. Lebih jauh lagi, bukti bahwa A (H5N1) virus terus mereplikasi dalam waktu lama menunjukkan bahwa pengobatan dengan oseltamivir juga dibenarkan ketika pasien datang untuk perawatan klinis pada tahap penyakit (WHO,2007). Dalam resep pengobatan oseltamivir, dua kali lipat dosis yang lebih tinggi ,dengan durasi panjang dan kombinasi terapi dengan amantadine atau rimantadine (di negara-negara di mana A (H5N1) kemungkinan virus akan rentan terhadap adamantanes). Dapat disimpulkan dari kasus per kasus, terutama pada pasien dengan penyakit radang paru-paru atau progresif. Idealnya harus dilakukan dalam konteks pengumpulan data prospektif. (WHO,2007). Pengobatan awal yang dianjurkan adalah dengan oseltamivir. Dari data percobaan clinical trial dikatakan bahwa obat ini meningkatkan kelangsungan hidup. Dosis yang tinggi dari oseltamivir (e.g., 150 mg dua kali sehari pada orang dewasa) dan peningkatan durasi terapi, untuk total 10 hari, akan baik diberikan

7

pada virus A (H5N1) dengan replikasi tingkat tinggi (N Engl J Med 2008;358:261-73). Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat, peningkatan daya tahan tubuh, pengobatan anti viral, pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti inframasi, imunomodulators. (Leonard Nainggolan, Cleopas Martin Rumende, Herdiman T.Pohan, 2006) Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, digunakan oseltamivirdengan dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari. (Maksum Radji, 2006). C.

Terapi AIDS Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.

Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, diare, batuk, ruam, pembengkakan kelenjar getah bening. Setelah infeksi akut dimulailah infeksi HIV asimptomatik, umumnya berlangsung selama 6-10 tahun. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ <200 sell/mm3 (Zubairi Djoerban, Samsuridjal Djauzi, 2006). Karena laju perkembangan penyakit berbeda di antara orang-orang yang terifeksi oleh HIV, maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per orang berdasarkan tingkat risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+. Tujuan terapi untuk infeksi HIV adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai. Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV dalam jangka lama adalah pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah diterima pasien dan tidak memperlihatkan resistensi-silang dengan obat antiretrovirus yang pernah diterima oleh pasien. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus selalu dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV primer akut harus diterapi dengan terapi antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas

8

deteksi pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang sensitif. (Virginia Maceda Lan, 2006). BAB III PEMBAHASAN

Dalam skenario tiga, masalah yang dihadapi adalah mengenai langkahlangkah pemberian terapi yang benar sesuai dengan prinsip EBM. Sesuai proses pemberian terapi yang benar, langkah-langkahnya adalah: 1. Proses penegakan diagnosis. Dalam skenario tiga, diketahui bahwa pasien berusia 45 tahun menderita gejala-gejala seperti demam, pusing, batuk disertai dahak, badan sakit semua, sesak napas dengan respirasi 36 kali setiap menit, dan inspeksi retraksi interkostal. Gejala-gejala tersebut sesuai dengan gejala flu burung, yaitu batuk, sakit tenggorokan, sesak napas/ napas pendek, pilek, dan pernah kontak dengan unggas yang mati mendadak (Leonard Nainggolan, dkk, 2006). Disamping itu, diagnosis diperkuat dengan pernyataan ‘penderita bekerja di perusahaan ternak ayam, dimana banyak ternak yang mati mendadak’ di mana hal tersebut merupakan kategori orasng dengan resiko flu burung. Dalam skenario pun dijelaskan bahwa penderita belum pernah menderita sakit seperti ini. Sehingga, jika didiagnosis sebagai HIV/AIDS, hal tersebut kurang tepat. Sebab, infeksi HIV/AIDS tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas seperti demam, batuk, pada waktu 3-6 minggu setelah terinfeksi (Zubaeri Djoerban, dkk, 2006). Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan yang dijelaskan pada skenario tiga. Jika penderita berpotensi mengidap AIDS, semestinya gejalanya telah timbul dalam kurun waktu yang cukup lama, tidak dalam waktu 3 hari seperti yang disebutkan dalam skenario. Sehingga terlalu dini, jika penderita didieanosis mengidap HIV/AIDS. Jika potensinya adalah flu burung, hal tersebut memungkinkan. Sebab, masa inkubasi virus flu burung pada manusia

9

adalah antar 1-3 hari. Masa infeksi penyakit adalah 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. (www.litbang.depkes.go.id). Sehingga sesuai dengan waktu kejadian saat penderita mengalami gejala penyakit. Namun, hal yang kurang tepat jika kasus ini didiagnosa sebagai flu burung adalah pada keterangan ‘hasil pemeriksaan darah, jumlah leukosit 15.000/dl. Photo thorak: Nampak perselubungan pada seluruh lapangan paru’. Hal tersebut tidak sesuai dengan gejala flu burung yang leukopenia (<3000) maupun AIDS yang juga leukopenia. Sebenarnya, baik flu burung maupun HIV/AIDS sama-sama berpotensi menumbulkan pneumonia (perselubungan pada paru) atipikal atau infiltrate di kedua sisi paru yang makin meluas pada serial. (Leonard Nainggolan, dkk, 2006). Namun, pneumonia dalam flu burung maupun AIDS disebabkan oleh virus. Sehingga menyebabakan jumlah leukosit menurun (leukopenia). Namun, pada kenyataanya, jumlah leukosit meningkat (leukositossis). Sehingga, kemungkinan penyebab pneumonia adalah akibat terkena sejenis bakteri, seperti Streptokokus pneumonia, stafilokokus aureus, Hemofilus influenza dan streptokokus grup A beta Hemolitikus. Hal tersebut terjadi akibat daya tahan tubuh yang melemah akibat gejala lain yang ditimbulkan.(Benyamin Lukito, 2004). Sehingga, dalam kasus ini, penegakan diagnosisnya adalah penderita berpotensi mengidap flu burung (kasus suspek) dan infeksi bekteri pneumonia. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penyakit lain yang diderita mengingat belum lengkapnya hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang maupun laboratorium. Hasil diagnosis ini dijadikan sebagai dasar untuk menentukan dan memilih jenis terapi yang efektif dan efisien. 2. Proses Proses Pemilihan intervensi pengobatan. Dalam skenario ini, pemilihan terapi adalah menggunakan terapi farmakologi, yaitu dengan memberikan obat. Tujuan pemberian terapi pada penderita pada dasarnya adalah untuk menyembuhkan penyakit dengan jalan menghilangkan penyebab penyakit, yaitu virus flu burung, dan memperbaiki

10

kelainan fungsi yang terjadi (terapi kuratif). Namun, dalam pemberian obat, tujuannya dibedakan, yaitu terapi supresif untuk menekan atau menghilangkan gejala-gejala yang timbul, sepertu menurunkan demam, batuk dan sesak napas. Lalu juga ada terapi kuratif, yaitu untuk menghilangkan virus penyebab flu burung dan menyembuhkan pneumonia. 3. Proses pemilihan obat. Obat yang dipilih untuk terapi dalam skenario tiga adalah antibiotik, obat penurun panas dan antiviral. Tujuan dari pemberian antibiotik adalah untuk menghilangkan bakteri yang terdapat dalam penyakit flu burung. Obat penurun panas diberikan untuk menurunkan gejala demam, dan tidak enak badan serta gejala ringan lain seperti batuk, dan pilek. Sedangkan antiviral diberikan untuk menekan replikasi virus, sehinbgga virus flu burung tidak berkembangbiak. Jenis obat yang dipilih sesuai dengan guideline dari WHO adalah: Antibiotik yang dipakai adalah kombinasi dari beta laktam (cefotaxime, cefriaxone, atau ampicillin sulbactam) plus azithromycin atau fluoroquinolon. Obat penurun panas yang dipakai, misalnya Paracetamol, sedangkan obat antiviralnya adalah Oseltamivir sebagai obat primer (utama) dan amantadin. 4. Proses penentuan dosis dan cara pemberian obat. Dalam kasus ini, penderita mengidap kasus suspek flu burung, sehingga dosis yang diberikan adalah: a.

Oseltamivir , 75 mg dosis tunggal, selama 7 hari. diberikan sesegera mungkin setelah pasien didiagnosis terkena infeksi bakteri.

b.

Amantadin, diberikan pada awal infeksi, dalam waktu 48 jam pertama selama 3-5 hari dengan dosis 5 mg/kg BB dibagi dalam dua dosis. Jadi, bila penderita memiliki BB 45 kg, diberikan 225 mg per hari, dibagi dalam dua dosis.

11

c.

Paracetamol, 500 mg, selama 3xsehari hingga demam turun. d.

Antibiotik yang merupakan kombinasi beta laktam, diberikan selama 2-3 hari atau sesuai resep dokter. Hal diatas merupakan dosis dan cara pemberian obat secara umum.

Namun, dalam praktiknya, dokter harus menyesuaikan dosis dan pemberian obat sesuai dengan keadaan pasien (patient oriented). Dosis juga disesuaikan dengan perkembangan pasien setelah diberi terapi pengobatan 5. Proses peresepan (prescription) dan pemberian penjelasan pada pasien. Dalam terapi ini, dokter hendaknya memberikan resep obat kepada pasien sesuai dengan keadaan pasien. dan memberikan instruksi sesuai dengan dosis dan cara pemakaiannya. Pasien hendaknya diberi advice untuk rawat inap di rumah sakit selama kurang lebih seminggu. Banyak beristirahat, serta membatasi kontak dengan orang lain untuk menghindari penularan. Dokter hendaknya bersifat terbuka dan mau menjelaskan pada pasien tentang kegunaan obat yang dikonsumsi oleh pasien, serta efek sampingnya (jika ada). 6. Proses evaluasi hasil atau efek pengobatan. Dokter hendaknya mengikuti perkembangan pasien setiap hari hingga keadaannya membaik. Hal tersebut disesuaikan dengan pemberian obat terhadap pasien serta mengamati jika terjadi efek samping. Dokter juga hendaknya memberikan penjelasan pada pasien tentang perkembangan penyakitnya. Dalam skenario tiga, dokter pada dasarnya telah benar memberikan terapi berupa antibiotik, obat turun panas, dan antiviral. Sebab, obat tersebut memang diperlukan sebagai langkah awal menghindari kemungkinan terburuk yaitu kematian. Namun, hal yang perlu dibenahi adalah cara dokter A dan dokter B menganalisa penyakit. Kedua dokter terlalu cepat memutuskan jenis penyakit

12

sebelum dilakukan tes-tes penunjang seperti tes ELISA maupun PCR untuk mengetahui penyakit yang benar. Sehingga, sebaiknya hasil diagnosis dokter dapat disebut diagnosis sementara hingga jenis penyakit yang benar diketahui.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kedua dokter belum sepenuhnya melaksanakan langkah-langkah terapi sesuai dengan prinsip EBM, hal ini disebabkan adanya point-point yang belum dilaksanakan oleh kedua dokter tersebut, diantaranya adalah belum adanya pengujian lebih lanjut di laboratorium dalam penegakan diagnosis. 2. Pada pelaksanaannya, kedua dokter tidak sepenuhnya salah karena dalam pemberian terapi keduanya telah memberikan langkah awal pencegahan berupa obat-obat antibiotik maupun anti viral untuk menghindari terjadinya kemungkinan terburuk pada pasien. B. Saran 1.

Dalam menentukan diagnosis, hendaknya kedua dokter melakukan

pemeriksaan

lebih lanjut berupa pemeriksaan

laboratorium untuk

mendapatkan hasil diagnosis yang tepat. 2.

Dalam menjalankan profesinya, dokter hendaknya selalu meng-

update informasi seputar dunia kedokteran. Di samping itu, dokter hendaknya mampu memilih dan memilah bukti-bukti yang valid berdasarkan dengan derajat kevalidannya. 3.

Seharusnya kedua dokter melakukan evaluasi terhadap pemberian

terapi pada pasien untuk mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan terapi dan untuk mengetahui ada tidaknya efek samping dari pemberian terapi.

13

DAFTAR PUSTAKA Abdel N., Tawee C. Update on Avian Influenza A (H5N1) Virus Infection in Humans .News England Journal of Medicine. 2008;358:261-73 http://content.nejm.org/cgi/content/full/358/3/261 (27 September 2009). Bagian Farmakologi Klinik UGM. 2006. Proses Terapi. http://farklin.com/images/multirow3fdeaa840ea77.pdf (30 September 2009). Darmansjah, Iwan. 2002. Pusat Uji Klinik Obat. Jakarta : FK UI. Kartika Sari, Dina, dkk. 2006. Buku Saku Anak Pediatricia Edisi 2. Jogjakarta: Tosca Enterprise, p. viii.26-viii.30. Kristina, Isminah, Leny W. 2004. Kajian Masalah Kesehatan Flu Burung. http://www.litbang.depkes.go.id/maskes/052004/fluburung1.htm (30 September 2009) Leonard, Cleopas, Hardiman. 2006. Influensa Burung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed:4, Jakarta: Pusat Penerbitan Departeman ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p.1720-1724 Lukito, Benyamin. 2004. Flu Burung: Apa dan Bagaimana Pengobatannya? http://www.suarapembaruan.com/news/2004/03/01/editor/edit03.htm (28 September 2009) Massi, Muh. Nasrum. 2006. Uji Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (PT-PCR) dalam Mendeteksi Virus Penyebab Fu Burung. J. Med Nus; vol 27 no.4. Radji, Maksum. 2006 .Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Penyebaran, dan Pencegahan pada Manusia. http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2006/v03n02/maksum0302.pdf. (27 September 2009)

14

Sackett et al. 2009. Evidence based medicine what it is and what it isn't. http://www.bmj.com/cgi/content/extract/312/7023/71 (5 September 2009) Virginia Maceda L. 2006. HIV dan AIDS. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed:6 Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, p.224-242. WHO. 2007. Clinical Management of Human Infection with avian Influenza A (H5N1) Virus. http://www.who.int/csr/resources/publications/en/index.html (26 September 2009) Zubairi, Samsuridjal. 2006. HIV/AIDS. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed:4, Jakarta: Pusat Penerbitan Departeman ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, p.1803-1809.

Related Documents

Skenario 3
October 2019 30
Artikel Ilmiah 3.docx
November 2019 25
Ilmiah
October 2019 47
Skenario 3.docx
October 2019 18

More Documents from "Prima Hari Nastiti"

Skenario 2
June 2020 18
December 2019 43
Mock Election 08
November 2019 44