Sken 5 Vertigo Perifer.docx

  • Uploaded by: Feby Christifani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sken 5 Vertigo Perifer.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,040
  • Pages: 16
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Amanda Damayanti Pabisa 102013265, Edo Fideatma Putro 102015139, Erika Sthefanny Adam 102011170, Bellavya Pertiwi Samosir 102016162, Arneta Sarah Simarmata 102016246, Feby Christifani Tonapa 102016054, Sonia Dwi Reina Tumanggor 102016118, Bellavya Pertiwi Samosir 102016162, Arneta Sarah Simarmata 102016246, Vincensiana HKD Irwanto (102016108) C5 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470 Email: [email protected] Abstrak Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) atau yang biasa kita kenal dengan Vertigo adalah suatu perasaan (ilusi) berputar pada diri penderita atau sekeliling penderita. Pembahsan vertigo akan dikhusukan pada anamnesis dan pemeriksaan yang diperlukan, manifestasi klinis dan patofisiologi, etiologi dan epidemiologi, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis dari BPPV. Kata kunci: Vertigo, Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Abstrac Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) or what we commonly know with Vertigo is a feeling (illusion) revolving around the sufferer or around the sufferer. Discussion of vertigo will be focused on the history and examination needed, clinical manifestations and pathophysiology, etiology and epidemiology, management, complications, and prognosis of BPPV. Keywords: Vertigo, Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Pendahuluan Rasa pening atau pusing (dizziness), merupakan gejala yang sering dijumpai dan seringkali mengganggu. Pasien menggunakan istilah ini untuk menyebutkan sejumlah perasaan (termasuk misalnya kepala terasa ringan berputar, kelemahan, perasaan mabuk, dan lain-lain) dan istilah yang tidak sesuai seperti kekacauan mental, penglihatan yang kabur, nyeri kepala, rasa kesemutan, dan lainnya. Sementara vertigo, diartikan sebagai suatu perasaan (ilusi) berputar pada diri penderita atau sekeliling penderita. Meskipun vertigo dapat dibedakan dengan dizziness adanya perasaan berputar pada vertigo, kadang-kadang secara klinis keduanya sulit dibedakan dan dianggap sebagai suatu kesatuan.1

1

Vertigo dibedakan atas fisiologis dan patologis. Vertigo patologis dibagi menjadi lesi sentral dan perifer, di mana lesi sentral diduga akibat tumor, maupun lesi vaskuler, dan lainnya. Sementara lesi perifer mungkin berkaitan dengan tuli dan tinitus (gejala gangguan fungsi saraf kranial ke VIII).1 Kemudian akan dibahas lebih lanjut mengenai jenis yang perifer, yakni vertigo paroksismal posisional jinak atau yang disebut BPPV ( Benign Paroxysmal Positional Vertigo).2 Pemeriksaan Fisik Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab; apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat– korteks serebri, serebelum, batang otak, atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik; selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai. 1,2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik Umum Pemeriksaan fisik umum dimulai dengan pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, frekuensi respirasi, suhu, frekuensi nadi, Pergerakan bola mata dan pupil, bekas luka atau trauma pada badan atau kepala, pemeriksaan thorax, jantung,paru dan ektremitas. 1. Kesadaran Kesadaran memiliki beberapa tingkatan yaitu (1) Sadar: memiliki kesadaran terhadap diri sendirid dan lingkungan, (2) Delirium: gaduh-gelisah atau kacau, (3) Somnolen: Keadaan seperti mengantuk namun masih bisa dibangunkan dan menjawab verbal, (4) Sopor: Seperti somnolen namun harus dibangunkan dengan rangsangan kuat dan kesadaran cepat menurun, (5) Koma: keadaan seperti mati karena tidak ada gerakan spontan dan tidak bereaksi terhadap rangsangan nyeri kuat. 1,2 Pengukuran kesaran juga selalu menggunakan Skala Koma Glasgow yaitu pengukuran kesadaran berdasarkan skala atau nilai dari mata, respon motorik, dan respon verbal. Tabel 1: Skala Koma Glasgow Buka Mata (Eye)

Respon Motorik (M)

Respon Verbal (V)

2

4 Spontan

6 Sesuai Perintah

5 Penuh

3 Rangsanagan Suara

5 Tunjuk Tempat Rangsang

4 Kacau

2 Rangsangan Nyeri

4 Menarik Ekstremitas

3 Perkata

1 Tidak ada

3 Fleksi Abnormal

2 Bunyi Tidak Berarti

2 Ekstensi

1 Tidak Ada

1 Tidak Ada Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada: 1. Fungsi Vestibuler a. Visual Analogue Scale (VAS) VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan pembacaan skala 0–100 mm dengan rentangan makna: 1,2 Tabel 2: Skala Visual Analogue Scale (VAS) Skala VAS

Interpretasi

>0-<10 mm

Tidak Nyeri

>=10-30 mm

Nyeri ringan

>=30-70 mm

Nyeri sedang

>=70-90 mm

Nyeri berat

>=90-100 mm

Nyeri sangat berat

Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi penjelasan dari peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien. Persyaratan melakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala VAS

3

 Penderita sadar atau tidak mengalami gangguan mental/kognitif sehingga dapat berkomunikasi dengan fisioterapis.  Penderita dapat melihat dengan jelas, sehingga penderita dapat menunjuk titik pada skala VAS berkaitan dengan kualitas nyeri yang dirasakannya.  Penderita kooperatif, sehingga pengukuran nyeri dapat terlaksana. Catatan: anak kecil, meskipun sadar, namun tidak kooperatif untuk berkomunikasi. b. Uji Dix Hallpike Perhatikan adanya nistagmus; lakukan uji ini ke kanan dan kiri.

Gambar 1 . Uji Dix-Hallpike 3

1. Kepala putar ke samping 2. Secara cepat gerakkan pasien ke belakang (dari posisi duduk ke posisi terlentang) 3. Kepala harus menggantung ke bawah dari meja periksa Tabel 3: Perbedan Vertigo sentral dan perifer berdasarkan uji Dix-Hallpike

4

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. 4 Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 210 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue). c. Uji Romberg Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup. 5

Gambar 2: Uji Romber 3 d. Tes Kalori Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air hangat (44ºC) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). 5 Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan. Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik 5

setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.5 e. Elektronistagmogram Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.5 2. Periksa saraf kranial.  I – Olfaktorius Periksa sensasi penghidu di kedua lubang hidung.2,5  II – Optikus Periksa ketajaman penglihatan, lapang pandang, dan cari bintik buta. Perika pupil dan perikda reaksi cahaya langsung dan tak langsung (konsensuail serta akomodasi). Bila perlu, periksa dengan oftalmoskop. 2,5  III, IV, VI – Okulomotorius, troklearis, dan abdusens Cari adanya ptosis (sebelah atau kedua kelopak mata menutup). Periksa gerak bila mata dan cari nistagmus. Tanyakan ada penglihatan ganda atau tidak. 2,5  V – Trigeminus Periksa sensasi wajah terhadap raba halus dan tusuk jarum. Periksa kekuatan otot pengunyah dan temporalis (geretakkan gigi, buka mulut, dan lawan gerakan dokter menutup mulut pasien). Lakukan juga tes refleks kornea, dan tes ketuk rahang. 2,5  VII – Fasialis Periksa otot-otot ekspresi wajah (angkat alis, tutup mata kuat-kuat, dan tunjukkan gigi). 2,5  VIII – Vestibulokoklearis a. Tes garpu tala Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli, dan Schwabach memendek. 2,5 Lakukan tes Rinne (letakkan garpu tala yang bergetar dengan frekuensi 512 Hz pada prosesus mastoideus dan bandingkan kerasnya suara dengan suara pada jarak beberapa sentimerter dari meatus auditorius eksternus. Pada telinga normal, konduksi udara [air conduction, AC] lebih baik daripada konduksi tulang [bone conduction, BC]. Jika BC >

6

AC berarti terdapat tuli konduktif. Gangguan pendengaran dengan AC > BC menunjukkan tuli sensorineural). 2,5 Lakukan tes Weber (letakkan garpu tala yang bergetar dengan frekuensi 512 HZ di bagian tengah kening dan tanyakan pada pasien ke sisi mana penjalaran suara. Pada telinga normal, suara terdengar di tengah; pada tuli konduktif ke arah telinga yang sakit; dan tuli sensorineural ke arah telinga yang sehat). 2,5 b. Audiometri Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran, dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas),fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebeler (tremor, gangguan cara berjalan). 2,5  IX, C X – Glosofaringeus dan vagus Periksa gerak palatum, refleks muntah, dan batuk. 2,5  XI – Aksesorius Periksa kekuatan otot sternokleidomastoidesus dan mengangkat bahu. 2,5  XII – Hipoglossus Periksa lidah untuk mencari pengecilan otot, fasikulasi, dan uji kekuatan. Periksa lidah saat istirahat, julurkan keluar, kemudian gerakkan dari sisi ke sisi. 2,5 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan MRI dengan kontras merupakan pilihan, karena lebih sensitif dibandingkan CT scan. Dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium (yakni darah lengkap, profil lipid, asam urat, dan hemostasis), foto rontgen servikal, neurofisiologi sesuai

indikasi

(misalnya

elektroensefalografi/EEG,

elektronistagmografi/ENG,

elektromiografi/EMG,BAEP/ Brainstem Auditory Evoked Potential , dan audiometri). 2,5

Diagnosis Working Diagnosis Vertigo posisional paroksismal jinak (BPPV) biasanya menyebabkan serangan transien (berlangsung beberapa detik) yang rekurens dan berhubungan dengan perubahan posisi kepala, misalnya berbaring dengan bantal pada malam hari, ekstensi leher, dan sejenisnya. Diagnosis BPPV ditegakkan melalui anamnesis lengkap, serta tes provokasi spesifik, yakni manuver Hallpike, karena pada pemeriksaan fisik konvensional biasanya tidak ditemukan

7

apapun; dan pemeriksaan penunjang bila perlu. Jika positif, akan tampak nistagmus dengan rotasi ke sisi lesi dan gejala menjadi bertambah. Hal ini disebakan oleh adanya debris dalam kanalis semisirkularis.

GEJALA

PERIFER

SENTRAL

Onset

Tiba-tiba

Perlahan

Beratnya keluhan

Gejala hebat, episodic

Gejala ringan, kontiniu

Durasi dan Gejala

Beberapa menit sampai jam

Kronik

Sifat vertigo

Rasa berputar

Rasa

melayang,

hilang

keseimbangan, light headed Nistagmus

(+) satu arah (dengan fase Kadang-kadang dua arah cepat atau lambat)

Fiksasi visual

Dihambat

oleh

nistagmus Tidak ada hambatan

dan vertigo Arah post pointing

Ke arah fase lambat

Berubah-ubah

Arah jatuh pada Romberg Ke arah fase lambat

Berubah-ubah

test Gangguan lain

Tuli, tinitus, mual, muntah

Jarang

Tabel 4. Perbedaan antara Vertigo Sentral dan Perifer. Sumber: Buku Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Differential Diagnosis Vertigo Sentral Pusing pada keadaan ini jauh lebih sedikit rotasional dan tidak intermiten, Mual dan muntah biasanya tidak ditemukan. Seringkali disebabkan oleh tumor fossa posterior, yang paling sering adalah neuroma akustika (periksa gejala serebelar dan batang otak lain, periksa adanya peningkatan TIK pada penderita yang merasa pusing dengan pemeriksaan fundus okuli). Selain itu, penyakit aterosklerosis (insufisiensi vertebrobasilaris) dapat menyebabkan vertigo akibat adanya iskemia. Serangannya singkat, biasanya berhubungan dengan perubahan mendadak dari posisi kepala. Stroke batang otak juga biasanya menyebabkan timbulnya gejala fisik lain.1 Untuk memastikan bahwa insufisiensi vertebrobasilaris sebagai penyebab, perhatikan gejala-gejala gangguan fungsi batang otak lainnya (diplopia, disartria, rasa baal, gangguan 8

menelan), atau gejala lainnya (gangguan fungsi saraf kranialis, motorik, dan sensorik). Pusing pasca trauma juga sering terjadi sesudah cedera kepala, mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Selain itu, beberapa hal penting lainnya adalah:2  “Dizziness” atau vertigo itu sendiri dapat merupakan gejala pertama insufisiensi vertebrobasilaris, tetapi sebagian besar penderita disertai gejala dan tanda gangguan fungsi batang otak dalam waktu 1 bulan setelah gejala vertigo.  Sindrome medula oblongata lateral (sindroma Wallenberg) dapat diawali dengan vertigo.  Infark atau perdarahan serebelum dapat diawali dengan serangan akut “dizziness”, muntah, ketidakmampuan untuk berdiri atau berjalan, dan nyeri kepala hebat.  Bila “dizziness” hanya disertai disfugsi N. VIII saja, kemungkinan tidak disebabkan oleh kelainan vaskuler.  Vertigo jarang terjadi pada kelainan arteri karotis.  Migren bisa menyebabkan vertigo transien.  Penyakit batang otak, termasuk multiple sklerosis dapat juga menyebabkan vertigo. Meniere’s Disease Mempunyai trias gejala utama, yaitu vertigo, tinitus, dan tuli. Pembengkakan pada ruang endolimfe, kemungkinan merupakan faktor yang mendasari kelainan ini. Tinitus dan rasa penuh pada telinga timbul melalui vertigo, hal ini biasanya tidak dirasakan mengganggu oleh penderita, diikuti mual, muntah, berkeringan, serta penurunan pendengaran. Penderita sering mengetahui adanya rasa penuh pada telinga yang mengalami kelainan. Nistagmus hanya timbul saat serangan dengan arah yang bervariasi.1,2 Penyakit Meniere, terjadi pada penderita usia 30-60 tahun, bersifat paroksismal, dan disertai tinitus serta hilangnya pendengaran setelah berulang kali serangan. Serangan terjadi dalam hitungan menit, berlangsung selama beberapa jam dan kemudian berangsur-angsur mereda. Pengobatan penyakit Meniere pada saat serangan adalah istirahat baring, sedativa, cairan, anti histamin, dan anti muntah. Upaya pencegahan dilakukan dengan pemberian diuretika dan penggunaan natrium. Terapi operatif (“shunt” endolimfatika) dianjurkan untuk beberapa kasus kronis. 1,2 Acute vestibular neuritis Biasanya disebut dengan neuronitis vestibularis. Ditandai dengan serangan mendadak vertigo dan mual tanpa gejala atau tanda gangguan pendengaran. Timbul pada dewasa muda dan kelompok usia pertengahan dan biasanya unilateral. Vertigo biasanya hilang secara spontan sesudah beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering berhubungan dengan 9

infeksi viral yang terbaru. Tes kalorik menunjukkan adanya hipofungsi sisi yang sakit, yang dapat membedakannya dengan labirinitis. Pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis. 1,2

Epidemiologi BPPV merupakan jenis vertigo vestibuler perifer yang paling umum ditemukan, 75 % dari persentase kasus vertigo perifer. Prevalensi angka kejadian BPPV di Amerika serikat adalah 64 dari 100.000 orang dengan kecenderungan terjadi pada wanita (64 %). BPPV diperkirakan sering terjadi pada usia rata-rata 51 – 57 tahun dan jarang pada usia di bawah 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala. BPPV kanal posterior merupakan tipe terbanyak dari seluruh BPPV. 1,2 Etiologi Kebanyakan vertigo jenis perifer berhubungan dengan manifestasi patologis di telinga, biasanya akibat adanya debris (otokonia) pada kanalis semisirkularis posterior akibat dari degenerasi organ sensorik keseimbangan utrikulus yang disebabkan oleh idiopatik (50 %), trauma (17 %)17% trauma kepala diikuti 15% neuritis vestibularis, migraine, implan gigi, operasi telinga, dan bed rest total lama Beberapa faktor predisposisi lain yang mencetuskan terjadinya vertigo adalah kurangnya pergerakan aktif, sehingga saat mengalami perubahan posisi mendadak akan timbul sensasi vertigo; alkoholisme akut; atau pascaoperasi mayor.4 Patofisiologi Gangguan sistem aferen Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan proprioseptik, jarasjaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV, dan VI, susunan vestibuloretikularis dan vestibulospinalis. 1,2,4 Adapun tiga gerakan yang dikendalikan dalam pemeliharaan keseimbangan tersebut adalah: 1. Gerakan volunter dari reflektorik kepala, leher, badan dan keempat anggota gerak. 2. Gerakan volunter dan reflektorik kedua bola mata. 3. Gerakan involunter visceral.

10

Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi yang paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik. Dalam kondisi fisologis/normal, informasi yang tiba di pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Dalam mekanisme pelaksanaan gerakangerakan tersebut, korteks serebri merencanakan dan mengatur bangunan-bangunan di batang otak dan medulla spinalis. Dalam pengendalian viseromotorik, korteks serebri memberikan pesannya kepada inti vestibularis yang meneruskan ke inti glossofaringeus dan vagus. 1,2,4 Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejela vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehinggan muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia (kecenderungan untuk jatuh penyimpangan gerakan volunteer ke arah lesi) saat berdiri/berjalan dan gejala lainnya. 1,2,4 Gangguan pemrosesan sentral Informasi yang diterima diproses/diinterpretasikan secara salah. Hal ini menyebabkan kesan sensorik yang saling berkonflik dan menimbulkan vertigo. Gangguan pemrosesan dapat disebabkan oleh perubahan difus seperti abnormalitas metabolik atau sirkulasi, infeksi, trauma, dan intoksikasi. 1,2,4 Terdapat 2 teori yang menjelaskan lebih lanjut mengenai patofisiologi BPPV, yakni teori cupulolithiasis dan teori canalithiasis. Teori cupulolithiasis Pada tahun 1962 Horald Scuknecht mengemukakan teori ini. Dia menemukan partikelpartikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utrikulus yang sudah berdegenerasi, menempel pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra menyebabkan tiang sulit tetap untuk stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini digambarkan oleh 11

nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel ototlith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sbelum timbulnya pusing dan nistagmus. 1,2,4 Teori canalithiasis Tahun 1980 Epley mengemukakan teori tersebut, partikel otolith bergerak bebas di dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas sampai ± 90˚ di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected ), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan kembali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah berlawananan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan “delay” (latency) nystagmus transient , karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yang dapat menerangkan konsep kelelahan “ fatigability” dari gejala pusing. 1,2,4

Gejala Klinis Serangan vertigo berlangsung singkat (kurang dari 1 menit), namun bila ditanyakan pada pasien, biasanya dianggap lebih lama hingga beberapa menit. Bila serangan vertigo datang bertubi-tubi, pasien akan merasakan kepala ringan, merasa tidak stabil dan rasa mengambang yang menetap selama beberapa hari. 1,2,4,5 Perjalanan penyakit BPPV bermacam-macam, pada sebagian besar kasus, gangguan hilang secara spontan dalam waktu beberapa minggu, namun dapat kambuh setelah beberapa waktu kemudian. Nistagmus yang dilihat pada waktu terjadinya BPPV bersifat torsional (rotatoar). Kadang tidak terdeteksi adanya gangguan pendengaran. Selain itu terdapat pandangan gelap, jantung berdebar, hilang keseimbangan, tidak mampu konsentrasi, otot terasa sakit, mual dan muntah, sensitif pada cahaya terang, serta memori menurun. 1,2,4,5

12

Komplikasi Jarang menimbulkan komplikasi yang berarti, kebanyakan hanya ditemukan rekurensi pada beberapa kasus setelah pengobatan pertama.

Penatalaksanaan Bila diagnosis telah ditegakkan, maka kepada pasien harus disampaikan mengenai penyakitnya beserta prognosis yang umumnya baik karena banyak pasien yang merasa cemas dan khawatir. Medikamentosa Obat anti vertigo dapat diberikan sebagai terapi simptomatik sewaktu melakukan latihan atau bila muncum eksaserbasi akut. Obat ini berguna untuk menekan rasa mual atau pusing berputar. 1,2,4,5 Aktivitas antihistamin yang dapat menekan vertigo adalah akibat adanya efek menekan muntah di batang otak, walaupun tujuan utamnya bukan untuk hal tersebut. Anti histamin yang memiliki sifat antivertigo juga memiliki aktivitas antikolinergik di SSP. Efek samping yang dapat dijumpai adalah mulut kering dan penglihatan kabur, sedangkan efek samping yang lebih umum adalah mengantuk. 1,2,4,5 Golongan

Dosis Oral

Anti Emetik

Sedasi

Mukosa Kering

Gejala Ekstrapiramidal

Penyekat Kalsium Flunarisin Sinarisin Prometasin Dimenhidrinat

5-10 mg 1x1 25 mg 3x1

+

+

-

+

+

+ Antihistamin

-

+

25-50 mg;3x1 50 mg; 3x1

+

++

++

-

+

+

+

+

Antikolinergik Skopolamin

0,6 mg; 3x1

+

+

+++

-

Atropin

0,4 mg; 3x1

+

-

+++

-

Monoaminergik Amfetamin Efedrin

5-10 mg; 3x1 25 mgl 3x1

+

-

+

+

+

-

+

-

Phenotiazine 13

Proklorperasin

3 mg; 3x1

Klorpromasin

+++

+

+

+

++

+++

+

+++

-

-

Benzodiazepin Diazepam

2-5 mg;

+

+++

3x1 Tabel 2. Obat-obat Antivertigo: Golongan, Dosis, Khasiat, dan Efek Samping. Sumber: Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.

Non-Medikamentosa Latihan vestibular. Latihan ini termasuk fisioterapi rehabilitasi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri terhadap gangguan keseimbangan. Bentuk latihannya adalah dengan melatih gerakan kepala yang mencertuskan vertigo untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara perlahan, melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan, dan meningkatkan kemampuan keseimbangan. 1,2,4,5 Contoh latihan:  Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian mata ditutup.  Olahraga yang menggerakan kepaka (fleksi, rotasi, ekstensi, gerak miring).  Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian tertutup.  Jalan di kamar dengan mata terbuka kemudian mata tertutup.  Berjalan tandem.  Melirikkan mata ke arah horizontal dan vertikal.  Melatih gerakan mata untuk memfiksasi objek yang bergerak maupun diam. Bentuk latihan lain adalah di tempat tidur, dengan memiringkan badan ke kanan dan kiri secara bergantian. Latihan ini dilakukan hingga vertigo hilang perlahan-lahan.1,2,4,5 Manuver Epley Baru-baru telah dikembangkan untuk menghancurkan atau melepaskan debris otokonial, yang merupakan penyebab dari BPPV. Prosedur ini lebih efektif dari prosedur di ruangan, karena diulang setiap malam selama seminggu. Metode ini (untuk sisi kiri), seseorang menetap pada posisi supine selama 30 detik dan pada posisi duduk tegak selama 1 menit. Dengan demikian siklus ini membutuhkan waktu 2,5 menit. Pada dasarnya 3 siklus hanya mengutamakan untuk beranjak tidur, sangat baik dilakukan pada malam hari daripada

14

pagi atau siang hari, karena jika seseorang merasa pusing setelah latihan ini, dapat teratasi sendiri dengan tidur. Lebih baik dibantu dan diawasi oleh seorang dokter. 1,2,4,5

Gambar 1. Manuver Epley 3

Terapi bedah Dapat dilakukan untuk mereposisi kanalith (canalith reposition). Pada kasus yang parah, dapat saja dilakukan pemutusan koneksi neural ke kanalis posterior (singular neurotomi) atau memblok kanal posterior. Selain itu untuk mempertahankan pendengaran, dapat dilakukan miringotomi dan pemasangan grommet untuk mengurangi terulangnya vertigo, dan dekompresi sakus endolimfatikus untuk mengurangi tekanan di dalam labirin membranosa, yang dapat menghilangkan vertigo.6

Pencegahan Langkah-langkah berikut dapat meringankan atau mencegah gejala vertigo:  Tidur dengan posisi kepala yang agak tinggi.  Bangun secara perlahan dan duduk terlebih dahulu sebelum berdiri dari tempat tidur.  Hindari posisi membungkuk bila mengangkat barang.  Hindari posisi mendongakkan kepala, misalnya untuk mengambil suatu benda dari ketinggian.  Gerakkan kepala secara hati-hati, jika kepala kita dalam posisi datar (horizontal) atau bila leher dalam posisi mendongak. 1,2,4,5 15

Prognosis Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi remisi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25 %. 1,2,4,5 Kesimpulan BPPV merupakan salah satu jenis vertigo perifer yang penyebabnya idiopatik. Diduga akibat trauma, faktor degeneratif, ototoksik dan sebagainya sehingga terjadi degenerasi organ sensorik keseimbangan utrikulus yang menimbulkan debris (otokonia) pada kanalis semisirkularis posterior. Gejalanya Serangan vertigo berlangsung singkat (kurang dari 1 menit) yang terjadi saat perpindahan posisi kepala, nistagmus yang dilihat pada waktu terjadinya BPPV bersifat torsional (rotatoar). Kadang tidak terdeteksi adanya gangguan pendengaran. Selain itu terdapat pandangan gelap, jantung berdebar, hilang keseimbangan, tidak mampu konsentrasi, otot terasa sakit, mual dan muntah, sensitif pada cahaya terang, serta memori menurun. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik khusus yaitu manuver Dix-Hallpike, dan pemeriksaan penunjang bila perlu. Pengobatan BPPV adalah dengan obat antivertigo atau antiemetik. Dapat juga dengan manuver Epley (CTR), latihan vestibular, maupun tindakan bedah. Prognosis BPPV baik, dapat terjadi remisi spontan.

Daftar Pustaka 1. Weinner, Levitt. Buku Saku Neurologi. Edisi ke-V. Jakarta: EGC; 2001. h. 106-14. 2. Gleadle Jonathan. At a glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. h. 36-9. 3. Pemeriksaan Neurologi Vertigo. Diunduh dari https://www.merckmanuals.com/professional/ear,-nose,-and-throat-disorders/inner-eardisorders/benign-paroxysmal-positional-vertigo. 29 Desember 2018 4. Edward Y, Roza. Dignosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014;3(1):77-82. 5. Dewanto G, Wita J, Suwono, Riyanto B. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC. 2009. hal 111-5 6. Sabiston. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC; 2004. h. 292-3.

16

Related Documents

Vertigo
December 2019 35
Vertigo
July 2020 22
Vertigo
August 2019 34
D2 Sken 5 Daniel.docx
June 2020 2
Sken 5.docx
May 2020 17

More Documents from "Cynthia Tambunan"