Oleh :
Ns. Nova Fridalni, S.Kep
1
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
A. DEFINISI Lupus
eritematosus
sistemik
atau
Systemic
Lupus
Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda dengan penyakit autoimun yang organ-specific (misalnya diabetes melitus tipe I, miastenia gravis, penyakit graves dsb) dimana suatu respon autoimun tunggal mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinis. B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda. Dari berbagai sumber diadapatkan data antara lain : a. Prevalensi penyakit SLE adalah 0,06% dari populasi
umum. (Kirsch,et all)
2
b. Di Amerika Serikat, insiden penyakit SLE adalah 14.6 – 50.8 kasus/100.000 orang sedangkan prevalensinya 24100/100.000 orang. The Lupus Foundation of America ( LFA ) memperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika Serikat menderita penyakit SLE dengan berbagai tipe terutama wanita. Orang Amerika keturunan Afrika, Hispanik, orang Amerika asli dan orang Asia memiliki resiko besar untuk menderita penyakit SLE. c. Prevalensi penyakit SLE di Swedia adalah 36/100.000 orang. d. Di Inggris prevalensinya hampir sama dengan orang Asia 40/100.000 e. Di negara Eropa prevalensi SLE 20/100.000 orang f. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 – 40 tahun tetapi semua umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering menyerang pada wanita daripada pria ( 9 : 1 ) sedangkan pada anak-anak meningkat 10 : 1. g. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700 orang wanita h. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 – 24 tahun
prevalensinya 1/245 orang wanita i. Yang menarik perhatian adalah penyakit SLE jarang
ditemukan di Afrika. Ada 2 kemungkinan penyebabanya yaitu : o aktor resiko lingkungan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa dibandingkan dengan Afrika.
3
o Campuran dari gen keturunan Afrika dengan orang Eropa menghasilkan gen-gen yang meningkatkan kerentanan terhadap penyakit SLE ini. j. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit C ETIOLOGI Etiologi dan patofisiologi penyakit SLE masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa patofisiologi SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun. 1. Faktor genetik Faktor genetik memegang peran penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit.. Gen-gen yang terlibat dalam penyakit penyakit SLE Pada penyakit penyakit SLE 95 % kejadian diduga disebabkan oleh lebih
dari 1 gen.
a. Gen HLA Penyakit SLE merupakan penyakit otoimun, maka ilmuwan harus mempelajari terlebih dahulu gen-gen yang mengontrol sistem imun. Gen HLA semuanya berada pada lengan pendek kromosom 6 dan merupakan pengontrol penting untuk sistem imun. Gen HLA dibagi 3 kelas : 1). Gen HLA kelas I. Gen ini sedikit terlibat pada penyakit penyakit
SLE
4
2). Gen HLA kelas II Beberapa gen dalam kelompok ini yang berhubungan dengan penyakit
SLE :
a. Kombinasi DR3 dan DQ2 atau DR2 dan DQ6
menaikkan resiko untuk penyakit SLE oleh faktor 2 atau 3. gen ini hanya untuk sebagian kecil gen yang beresiko untuk penyakit SLE. b. Banyak
studi pada
gen kelas
II
ini
tidak
memperlihatkan hubungan dengan penyakit SLE. Ilmuwan kemudian membagi penyakit SLE dalam beberapa subtipe menurut hasil beberapa jenis tes darah dan ternyata banyak terdapat hubungan antara gen kelas II dan sub tipe penyakit SLE yang terlihat. Ini memberi kesan bahwa penyakit SLE bukan satu penyakit tetapi beberapa penyakit serupa. b. Gen HLA kelas III
Beberapa gen dalam kelompok ini yang berhubungan dengan penyakit SLE : 1). Gen C4A dan C2 2). Beberapa jenis gen TNF juga menaikkan resiko penyakit penyakit SLE pada beberapa kelompok etnik. c. Gen komplemen Kurang dari 5 % pasien penyakit SLE yang disebabkan oleh satu gen. Tetapi banyak dari gen itu yang berhubungan
5
dengan komplemen sistem yang merupakan bagian dari sistem imun. o Gen C1q pada kromosom 1 kadang-kadang mengkode
untuk beberapa jenis protein C1q. Ini sedikit efisien dari biasanya. Jika
ini terjadi maka penyakit SLE akan
terjadi. Khususnya pada anak-anak. Protein C1q punyai 2 fungsi yaitu menyerang dan membersihkan ada sistem imun. Ilmuwan percaya bahwa penyakit SLE dapat dipicu jika sisa dari sistem imun tidak dibersihkan secara seksama. o Defisiensi
protein
komplemen
yang
lain
juga
menimbulkan penyakit SLE termasuk defisiensi protein yang dikode oleh C4A dan C2 pada kromosom G dan gen C1r dan C1s pada kromosom 12. o Gen MBL2 pada kromosom 10 yang merupakan cetakan
untuk protein yang disebut mannose binding protein yang mempunyai bentuk serupa dengan C1q. Di Spanyol, dan populasi America-Africa merupakan gen yang lebi sering ditemukan pada penderita penyakit SLE. Kombinasi gen ini dengan C4 mempunyai hubungan yang kuat dengan penyakit SLE dibandingkan hanya salah satu gen saja. d. Gen-gen lain o Gen FCGR2A mempengaruhi cara tubuh membersihkan
tubuh dari hasil penyerangan imun. Beberapa jenis gen
6
menimbulkan
resiko
penyakit
ginjal
pada
orang
Amerika-Afrika yang menderita penyakit SLE. o Gen APT1LG1 dan ADPRT merupakan bagian dari sistem
tubuh yang mengatur umur sel (apoptosis) gen yang serupa pada penelitian mencit punya hubungan dengan penyakit SLE tetapi perlu penelitian lagi pada manusia. Obat untuk penyakit jantung yaitu procainamide dan hydralazine dapat memicu penyakit yang serupa dengan SLE tetapi tidak sama. Penyakit itu disebut penyakit SLE yang dipicu oleh obat sedikitnya 2 gen yang ikut campur pada penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat. o Gen N asetil-transferase 2 pada kromosom 8 mempengaruhi bagaimana tubuh memproses toxin. Gen ini memegang peranan penting pada beberapa penyakit pada manusia. Dua jenis dari gen adalah gen yang cepat dan gen yang lambat. Jika seseorang dengan semua gen yang lambat maka lebih mudah mengalami penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat. o
Gen HLA kelas II pada kromosom 6 juga terlibat. Orang dengan gen jenis DR4 lebih mudah mengalami penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat.
e. Penelitian yang berhubungan dengan faktor genetik pada penyakit SLE
7
Beberapa penelitian yang telah dilakukan didapatkan data tentang hubungan faktor genetik dengan kejadian penyakit SLE ini, antara lain : o Dari sebuah penelitian didapatkan bahwa gen IRF5 (The Interferon Regulatory Factor 5 ) dengan alel rs2004640-T merupakan faktor generik baru yang ditemukan pada penyakit SLE. ( Garnier,et all ) o Pada penelitian terhadap serum darah dari 36 penderita SLE yang diperiksa autoantibodi Ekstratable Nuklear Antigen (ENA) dengan immunoassay diperoleh data bahwa :
Titer ENA antibodi yang rendah pada kelompok dengan RNA negatif dihubungakan dengan HLA Ag ( p<0.05) ssementara kadar yang rendah dari antibodi RNA-ase sensitif ENA (RSE) dihubungkan dengan HLA Dr1 (p,0.05).
C4AQo dihubungkan dengan afinitas yang rendah dari ENA antibodi (p<0.05). (Warlows,et all)
o Penelitian yang dilakukan oleh The Intramural Research Program (IRP) of The National Institute of Arthritis and Musculoscletal
and
Skin
Diseases
(NIAMS)
dan
organisasi lainnya diadapatkan hasil bahwa gen STAT4 merupakan gen yang berperan penting pada Penyakit SLE dari 3 orang penderita SLE yang dikumpulkan
8
secara independen beserta kontrolnya. Profil genetika dari paasien dan kontrol memberi kesan bahwa individu yang membawa 2 copy dari bentuk gen STAT4 yang beresiko terhadap penyakit SLE mempunyai 60% resiko untuk terkena Rheumatoid Arthritis dan meningkat 2 kali lipat beresiko terkena penyakit SLE dibandingkan individu yang tidak membawa copian gen tersebut. o Beberapa tahun terakhir, studi terhadap sekelompok grup
yang
mempunyai
hubungan
yang
kompleks
lalu
dianalisis datanya dari keluarga yang mempunyai beberapa anggota keluarga yang menderita penyakit SLE didapatkan hasil bahwa sekitar 8 region
kromosom
diidentifikasi menunjukan bukti untuk hubungan yang signifikan terhadap penyakit SLE dan telah dikonfirmasi dengan
penelitian
kohor
independen.
Kromosom-
kromosom itu adalah kromosom 1q23, 1q25-31, 1q41-42, 2q35-37,
4p16-15,
6p11-21,
12q24
dan
16q12,
menunjukan hubungan yang erat terhadap keberadaan satu aaatu lebih gen yang rentan terhadap penyakit SLE disetiap lokusnya.. (www.ncbi.nlm.nih.gov) o Studi case-control pada penderita SLE diadapatkan bahwa penyakit SLE berhubungan dengan alel MHC class II, defisiensi komplemen dan gen Polymorphisms of
9
Factor Gamma Reseptor (FCGR2A), komplemen yang berhubungan dengan gen dan gen cytokin. o Pada beberapa kasus ditemukan gen yang dapat dihubungkan dengan perjalanan alamiah penyakit SLE ini yaitu adanya peningkatan yang sangat agresif pada gen HLA-DQB1*0201 MHC pada orang Amerika keturunan Afrika. o Pada penelitian lain yang dilakukan terhadap 720 wanita Eropa dengan penyakit SLE dan 2337 wanita yang tidak menderita penyakit SLE ditemukan kejadian yang berhubungan dengan 3 gen yaitu ITGAM, KIAA1542 dan PXK. Gen ITGAM penting untuk kepatuhan sel imun dan untuk membersihkan kuman patogen. Gen KIAA1542 penting untuk memindahkan kode DNA ke protein dan gen PXK merupakan encode sebuah molekul yang mentransmisikan sinyal untuk mengatur proses dalam sel. Peneliti juga menemukan hubungan dari gen tersebut dengan penyakit SLE dan penyakit autoimun lainnya.
f. Tendensi familial
10
Penyakit SLE dapat menurun dalam keluarga, pada pengamatan
pertama
tahun
1950
banyak
studi
yang
memperlihatkan bahwa : o Saudara baik laki-laki atau perempuan dari penderita penyakit SLE 25 kali lebih sering menderita penyakit SLE dibandingkan populasi umum. o Penyakit SLE dapat dipengaruhi oleh faktor genetic atau lingkungan. o Penyakit SLE memiliki komponen genetik yang kuat jika komponen lingkungannya bagus. o Pada anak kembar studi menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang penting dengan gen dan lingkungan. Sebagai contoh tahun 1992 sebuah peneitian pada 107 pasangan kembar salah satu dari mereka menderita penyakit SLE seperti pada tabel dibawah ini : Tipe kembar
Jumlah
Pasangan kembar yang
pasangan menderita penyakit SLE keduaKembar identik Kembar non
duanya 24 % (11 dari 45) 12 % (1 dari 62)
45 62
identik
Jika penyakit SLE hanya disebabkan oleh gen maka semua pasangan kembar identik akan menderita penyakit SLE
11
karena mereka mempunyai gen yang sama. Tetapi dalam tabel hanya 24 %, ini memperlihatkan bahwa penyakit SLE juga dipengaruhi komponen lingkungan. Jika penyakit SLE hanya disebabkan oleh faktor lingkungan maka kejadian penyakit SLE pada kembar identik dan non identik akan sama tetapi pada tabel terlihat kejadian penyakit SLE lebih tinggi pada kembar identik dibandingkan kembar non identik. Ini memperlihatkan bahwa penyakit SLE juga dipengaruhi komponen genetik. Jika dalam keluarga penyakit SLE dapat mengenai seluruh keluarga tetapi tidak semua anggota keluarga akan menderita penyakit SLE. Hal ini disebabkan tidak ada anggota keluarga yang sama baik tinggi badan, berat badan dan bentuk wajah maka ini juga membuktikan bahwa tidak ada anggota keluarga yang sama kondisi dan penyakit yang dideritanya atau yang diduga akan mengalami penyakit yang sama. Disini jelas bahwa genetik dan perbedaan lingkungan mengakibatkan seseorang berbeda pula dalam rupa dan kesehatannya. Beberapa anggota keluarga mewarisi gen yang akan membuatnya menderita penyakit SLE sedangkan yang lainnya tidak. Beberapa anggota keluarga terpapar dengan lingkungan yang memicunya terkena suatu penyakit dan yang lainnya tidak. Jika tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit SLE bukan berarti penyakit SLE tidak akan terjadi dalam keluarga itu. Karena semua orang dapat mengalami penyakit SLE. Sekitar 90 % orang yang menderita penyakit SLE tidak
12
mempunyai anggota keluarga yang juga mengalami penyakit yang sama tetapi jika ada penyakit SLE ada dalam keluarga maka anggota keluarga yang lain punya resiko lebih besar terkena penyakit SLE. 2. Faktor Lingkungan Sulit untuk membuktikan faktor lingkungan yang terlibat dalam SLE beberapa faktor yang sudah dikenal adalah : a. Obat-obatan Obat jantung ; procainamide dan hydralazine dapat memicu penyakit yang mirip dengan SLE. Walaupun banyak orang yang memakai obat ini tetapi tidak menderita penyakit SLE, keadaan ini belum dapat dijelaskan. Obatobatan lainnya dapat dilihat pada lampiran 1. Penyakit penyakit SLE yang dipicu oleh obat biasanya akan sembuh jika obat dihentikan tetapi kadang-kadang perlu beberapa tahun untuk sembuh sempurna. b. Radiasi ultraviolet Cahaya matahari dapat memperburuk masalah kulit yang terjadi pada SLE.
c. Hormon sex
13
Wanita lebih banyak menderita SLE daripada pria. Pada pria yang mempunyai kadar hormon sex wanita dalam tubuhnya (seperti pada sindrom klinefelter) dapat menderita penyakit SLE dibandingkan pria yang tidak menderita ini. Rasio wanita yang menderita SLE pada usia menarche dibandingkan usia menopause adalah 3:1. d. Faktor diet Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang banyak mengandung L-canavantine, Pristane atau bahan yang sama serta diet tinggi lemak jenuh.. e. Faktor infeksi DNA
bakteri,
human
retrovirus,
endotoksin
dan
lipopolisakarida bakteri. D. PATOFISIOLOGI Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian
14
dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
15
Bagian
yang
penting
dalam
patofisiologi
ini
ialah
terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi SLE dapat dilihat pada skema di bawah ini. Genetically susceptible individual Complement Additional unidentified Genes Enviromental Trigger (s) (Unknown) T-cell driving force CD4-dependent (Spesificities unknown)
IgG autoantibody production Self-antigen driven
Autoantibody-mediated Clinical manifestations Gambar 1. Model patofisiologi Penyakit SLE
E. MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
16
sistem imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil. a. Gejala Muskuloskeletal Gejala
yang
sering
pada
SLE
ialah
gejala
muskuloskeletal, berupa artritis atau artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
17
b. Gejala mukokutan Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura.
18
Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda. c. Ginjal Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi
19
ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik. d. Kardiovaskular Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks). e. Paru Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis
pneumonitis
penyakit
SLE
baru
dapat
ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan. f. Saluran Pencernaan Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh
20
peritonitis
steril
atau
arteritis
pembuluh
darah
kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis. g. Hati dan Limpa Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anakanak, tetapi jarang disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal. h. Kelenjer Getah Bening Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-kadang disangka sebagai limfoma. i. Kelenjer Parotis Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE. j. Susunan Saraf Tepi Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat sementara. k. Susunan Saraf Pusat Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE
21
pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat. Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktor-faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus koroideus. l. Mata Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina.
22
m. Sindrom Penyakit SLE Atipik •
Penyakit SLE tanpa ANA
• Beberapa pasien SLE tetap tidak menunjukkan adanya ANA selama perjalanan penyakitnya. Ginjal dan SSP lebih jarang terkena dan jangka hidupnya lebih panjang. • Sindrom Antifosfolipid Sebagian pasien SLE dengan antibodi terhadap salah satu jenis fosfolipid, yaitu kardiolipin menunjukkan trombosis pembuluh darah (vena maupun arteri) yang berulang, abortus berulang dan trombositopenia. Di lain pihak, pasien dengan antibodi terhadap pardiolipin sering menunjukkan gejala penyakit SLE yang tidak khas, tes terhadap ANA negatif dan tidak memenuhi kriteria ARA untuk diagnosis SLE. Di samping itu mereka menunjukkan insidensi berbagai macam kelainan SSP yang tinggi terutama stroke. Berdasarkan fakta inilah lahir istilah sindorm antifosfolipid. •
Penyakit SLE eritematosus karena obat (Drug-induced LE) Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala-gejala yang menyerupai SLE, misalnya hidantoin, hidralazin dan prokainamid. Keadaan ini dulu disebut juga sindrom hidralazin, alfametil dopa, PTU serta metimazol dan kinidin. Biasanya kelainan ginjal dan susunan saraf pusat jarang ditemukan. Anti-dsDNA, hipokomplemenemia serta imun kompleks juga tidak sering ditemukan.
23
F. DIAGNOSIS Diagnosis SLE harus dipikirkan pada seseorang, terutama wanita dalam masa reproduktif yang mempunyai keluhan/ gejala multisistem, disertai terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh, terutama antibodi terhadap komponen-komponen inti sel. a. Kriteria Diagnosis Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru untuk klasifikasi penyakit SLE eritematosus sistemik. Kriteria ini merupakan perbaikan dari kriteria yang lama, yang diajukan pada tahun 1971. Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika pada salah satu periode pengamatan ditemukan 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria dibawah ini, baik secara berturut-turut maupun serentak. 1. Ruam (rash) di daerah malar
Ruam berupaa eritema terbatas, rata atau meninggi, letaknya di daerah malar, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis. 2. Lesi diskoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks. 3. Fotosensitivitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
24
4. Ulserasi mulut Ulserasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan. 5. Artritis Artritis non-erosit yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi. 6. Serositis a. Pleuritis Adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura. b. Perikarditis Diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi
gesekan perikard atau adanyaa efusi perikard.
7. Kelainan ginjal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau > 3+. atau b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobulin granular, tubular atau campuran. 8. Kelainan neurologis a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia,
ketosidosis
elektrolit.
25
dan
gangguan
keseimbangan
atau b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkannya atau kelainan metabolik seperti uremia, ketosidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit. 9. Kelainan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis atau b. Leukopenia,
kurang dari 4000/mm3 pada 2 kali
pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia,
kurang dari 1500/mm3 pada 2 kali
pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia,
kurang dari 100.000/mm3, tanpa
adanya obat yang mungkin menyebabkannya. 10.Kelainan imunologi a. Adanya sel LE atau b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA (anti-dsDNA) dengan titer abnormal. atau c. Anti-Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos.
26
atau d. Uji serologi untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi Treponema palidum atau uji fluoresensi absorpsi antibodi treponema. 11.Antibodi antinuklear Titer abnormal antibodi antinuklear yang diukur dengan cara imunofluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindrom penyakit SLE karena obat. G. DIAGNOSIS BANDING o Artritis reumatoid dan penyakit jaringan ikat lainnya o Endokarditis bakterial subakut o Septikemia disebabkan gonokokus/ meningokokus yang disertai artritis dan lesi kulit o Reaksi terhadap obat o Limfoma o Leukimia o Trombotik trombositopenik purpura o Sarkoidosis o Lues II o Sepsis bakterial H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
27
Pemeriksaan penunjang antara lain : 1. Hematologi Ditemukan anemia, leukopenia, trombositopenia 2. Kelainan imunologis Ditemukan sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, ENA (ex-tractable nuclear antigen), faktor reumatoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu. 3. Histopatologi • Umum : Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks. • Ginjal : 2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatil difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. • Kulit : Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada demo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90 %) maupun pada kulit yang tak terkena (70 %) (penyakit SLE band test). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan tidak terpajan (non-exposed areas). I. PENGOBATAN DAN REHABILITASI Sampai sekarang SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Meskipun demikian, pengobatan yang tepat dapat
28
menekan gejala klinis dan komplikasi yang mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian memperpanjang remisi dan survival rate. Semuanya akan menjadi lebih baik jika kita dapat menghitung resiko dimana ilmuwan yakin bahwa gen dapat menjelaskan tentang resiko perkembangan penyakit SLE dan kemajuan penyakit tersebut. Beberapa obat telah diakui dapat mengobati penyakit SLE. Obat-obatan yang terbaik bagi penderita penyakit SLE sebagian ditentukan oleh gen yang dimiliki oleh orang tersebut. Gen yang spesifik akan mempengaruhi perkembangan penyakit SLE sehingga juga akan mempengaruhi respon terhadap pengobatan. Informasi genetik yang baik dapat menjelaskan bagaimana obat bekerja pada seseorang dibandingkan dengan orang lain. Hal ini membuat kita dapat memilih obat yang tepat bagi pasien. Dengan ditemukannya gen yang terlibat dalam penyakit SLE oleh ilmuwan, ini merupakan pintu masuk untuk membentuk terapi baru. Jika gen itu ober aktif maka ilmuwan harus mencari jalan untuk mengurangi atau mempengaruhi kerja gen tersebut. Jika gen tersebut tidak aktif atau rusak maka ilmuwan harus mencari jalan bagaimana untuk meningkatkan aktifitas gen tersebut. Program pengobatan yang tepat sangat individual karena gambaran klinis dan perjalanan penyakit sangat bervariasi. Pengembangan yang cepat pada teknik skrining genetik terutama pada gen yang berhubungan dengan penyakit SLE untuk menentukan gen-gen yang berhubungan dengan penyakit SLE pada masing-masing individu sangat penting untuk mengembangan target terapi yang ditujukan
29
pada ketidakseimbangan dalam respon imun yang terjadi pada seseorang yang memiliki pola genetik seperti penyelidikan potensi PBEF yang berlaku sebagai tanda munculnya penyakit dan sebagai sasaran therapetik yang memungkinkan dan pengobatan langsung untuk menyeimbangkan kerja gen IRF5 pada penderita penyakit SLE bisa dipakai walaupun masih diteliti dan penuh spekulasi Pendidikan terhadap pasien Pasien diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis dan sebagainya), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit ini. Di beberapa negara telah tersedia materi pendidikan dalam bentuk brosur atau buklet; malah telah berdiri perkumpulan pasien SLE.
Beberapa prinsip dasar tindakan untuk meningkatkan kulaitas hidup pasien SLE 1. Monitoring kesehatan yang teratur
2. Lakukan latihan Lakukan latihan atau kegiatan yang menggunakan tenaga sedikit seperti jalan kaki, berenang dan bersepeda. Kegiatan ini dapat membantu menjaga pemendekan otot dan menurunkan resiko berkembangnya osteoporosis. Latihan jiga dapat memberikan pengaruh positif pada mood. 3. Istirahat yang cukup
30
Tenangkan diri dan atur keseimbangan periode beraktifitas dan istirahat. Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup. 4. Makan makanan yang sehat Makanlah makanan yang bergizi dan seimbang, kurangi makanan tinggi lemak jenuh dan makanan yang mengandung mengandung L-Canavantine dan pristane seperti taoge dan rebung. 5. Hindari rokok Merokok
dapat
mempengaruhi
sirkulasi
darah
dan
memperparah gejala SLE. Tembakau memberikan efek negative terhadap jantung, paru-paru dan lambung. 6. Hindari alcohol
Alkohol
dapat
berinteraksi
dengan
obat-obatan
yang
dikonsumsi yang mengakibat masalah serius pada lambung dan usus bahkan bisa mengakibatkan ulkus 7. Mengatasi infeksi Demam mengindikasikan adanya infeksi ataupun gejala SLE yang meningkat. Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus segera memeriksakan diri. Di Amerika dianjurkan vaksinasi dengan vaksin
influensa
dan
pneumokokus.
Diperlukan
terapi
pencegahan dengan antibiotik pada operasi gigi, traktus urinarius atau prosedur bedan invasif lain.
31
8. Jadilah teman yang baik Dalam
menjalani
pengobatan
paien
hendaknya
dapat
membangun rasa percaya dan hubungan yang baik dengan dokter. Bersabarlah, dokter akan menemukan pengobatan yang tepat dan akan bekerja keras untuk kesembuhan pasiennya. Ikutilah pengobatan yang diberikan dokter dan jangan takut menanyakan segala sesuatu yang meragukan. 9. Cari tahu tentang penyakitmu Simpanlah catatan tentang penyakit dan bagian tubuh mana yang dipengaruhi oleh penyakit SLE dan kondisi serta kegiatan apa yang dapat memicu terjadinya gelaja SLE 10.Mintalah pertolongan Jangan takut minta pertolongan saat membutuhkannya dan jika ada organisasi penyakit SLE maka pasien disarankan untuk bergabung serta berbincang-bincang dengan orang lain yang memiliki pengalaman yang sama. 11.Fotoproteksi Pasien SLE
akan mengalami kemerahan pada kulit saat
terpapar sinar matahari. Kontak dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet harus dikurangi atau dihindarkan. Jika akan berpergian dan kemungkinan akan terkena sinar matahari sebaiknya dipakai lotion tertentu (suncreener lotion) untuk mengurangi pengaruh sinar matahari pada kulit, pemakaian topi, kaca mata dan baju lengan panjang.
32
Obat-obatan Bentuk pengobatan SLE ditentukan antara lain oleh aktivitas penyakit. Meskipun agak sulit ditetapkan secara tepat, aktivitas penyakit sebenarnya merupakan gabungan antara gambaran klinis dan hasil pemeriksaan penelitian yang mencerminkan adanya inflamasi aktif, sekunder terhadap SLE. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk menentukan aktivitas penyakit pada SLE yang melahirkan berbagai sistem penilaian seperti BILAG, SLEDAI, SLAM dsb. Dalam garis besarnya, berdasarkan potensi butir-butir kelainan pada SLE untuk menimbulkan penyakit atau kematian, aktivitas penyakit dibagi dalam 2 kategori, yaitu minor dan mayor. NSAID dan Salisilat NSAID terutama dipakai pada SLE dengan gejala ringan. Sering juga dipakai bersama-sama dengan kortikosteroid untuk mengurangi dosis kortikosteroid. Dapat dipakai sebagai terapi simtomatis pada artritis/artralgia, mialgia dan demam : Preparat salisilat atau preparat lain seperti indometasin (3 x 25 mg/hari), asetaminofen (6 x 650 mg/hari) dan ibuprofen (4 x 300-400 mg/hari). Ini harus disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi simtomatis lain misalnya diperlukan pada :: - Eritema Terapi lokal dengan krem atau salep kortikosteroid - Ulserasi mulut dan nasofaring diberi terapi lokal - Fenomen Raynoud
33
Pencegahan
timbulnya fenomen
ini diusahakan dengan
protective clothing. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan obat yang sangat penting dalam pengobatan SLE. Dapat digunakan secara topikal untuk manifestasi kulit, dalam dosis rendah untuk aktivitas minor dan dalam dosis tinggi untuk aktivitas mayor (lihat tabel 1). Pada keadaan yang berat, terutama gangguan susunan saraf pusat dengan kejang-kejang dan psikosis, diberikan prednison dosis tinggi (100-200 mg/hari atau 2 mg/kg berat badan/hari). Setelah kelainan klinis menjadi tenang, dosis kortikosteroid diturunkan (tapering) dengan kecepatan 2,5-5,0 mg/minggu sampai dicapai dosis pemeliharaan yang diberikan selang sehari. Jika terdapat kelainan ginjal, perlu dilakukan biopsi ginjal untuk memastikan jenis kerusakan ginjal. Glomerulus nefritis penyakit SLE fokal memberikan respon yang baik terhadap pengobatan atau dapat sembuh spontan. Biasanya diberikan prednison atau prednisolon 4060 mg/ hari selama beberapa minggu sampai gejala klinis menghilang, diteruskan dengan dosis pemeliharaan. Tabel 1. Penggunaan Kortiksteroid pada SLE Indikasi • Manifestasi kulit • Aktivitas penyakit - Minor - Mayor
Kortikosteroid topikal atau intralesi. Prednison (atau ekuivalennya) < 0,5 mg/kg BB/hari, dosis tunggal atau terbagi. Oral : Prednison (atau ekuivalennya) 1 mg/kg bb/hari, dosis tunggal atau terbagi.
34
Jaringan lebih lama dari 4-6 minggu. Bolus intravena : 1 gram (atau 15 mg/kg BB/hari)
metilprednison
Na-suksinat
intravena selama 30 menit; sering diberi 3 hari berturut-turut. Pada kerusakan fokal yang berat, glomerulonefritis difus atau membranosa, pemberian dosis tinggi (prednison atau prednisolon 150200 mg/hari) ternyata dapat memberikan perbaikan pada beberapa pasien. Obat Antimalaria Obat antimalaria efektif dalam mengatasi manifestasi kulit, muskuloskeletal dan kelainan sistemik ringan pada SLE. Kadangkadang juga terdapat adenopati hilus serta kelainan paru ringan dan artralgia ringan. Preparat yang paling sering dipakai ialah klorokuin atau hidroksiklorokuin dengan dosis 200-500 mg/hari. Selama pemakaian obat ini pasien harus kontrol ke Ahli Mata setiap 3-6 bulan, karena adanya efek toksik berupa degenerasi makula. Mekanisme kerjanya belum diketahui, tetapi beberapa kemungkinan telah diajukan seperti antiinflamasi, imunosupresif, fotoprotektif dan stabilisasi nukleprotein. Klorokuin mengikat DNA, sehingga tidak dapat bereaksi dengan anti-DNA. Obat imunosupresif Biasanya obat imunosupresif diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Pemakaiannya didasarkan atas efeknya terhadap fungsi
35
imun.
Penggunaan
obat
imunosupresif
sebenarnya
masih
diperdebatkan. Umumnya hanya dianjurkan pada kasus gawat atau lesi difus dan membranosa pada ginjal yang tidak memberikan respons baik terhadap kortikosteroid dosis tinggi. Yang paling sering dipakai ialah azatioprin dan siklofosfamid. Dosis awal azatioprin adalah 3-4 mg/hari), kemudian diturunkan menjadi 1-2 mg/kg berat badan/hari jika timbul gejala toksik. Siklofosfamid diberikan dengan dosis 100-150 mg/hari. Diduga efek kedua obat ini pada SLE lebih bertindak sebagai antivirus daripada sebagai obat imunosupresif. Lain-lain • Metrotreksat • Siklosporin A : mungkin diperlukan pada wanita hamis (lihat dibawah) • Imunoglobulin intravena : untuk trombositopenia •
Infus plasma : untuk SLE yang disertai defisensi C2
• Retinoid dan metabolitnya : untuk lesi kulit diskoid dan subakut yang refrakter terhadap pengobatan biasa • Dapson dan talidomid : untuk lesi kulit yang berat Pengobatan terhadap komplikasi Komplikasi yang paling sering adalah infeksi sekunder. Pada sistem kardiopulmoner mungkin timbul gagal jantung karena miokarditis, efusi pleura dan perikard sampai tamponade jantung yang memerlukan perikardiektomi.
36
Kelainan ginjal dapat berupa kegagalan ginjal ringan sampai berat. Dalam keadaan ini dipertimbangkan pemberian diuretik, obat antihipertensi, dan mungkin juga dilakukan dialisis serta transplantasi ginjal. Ada juga yang menganjurkan pemberian antikoagulan. Heparin diberikan dalam dosis antikoagulasi, kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 250 mg/hari subkutan. Terhadap kejang-kejang yang timbul akibat gangguan susunan saraf pusat, diberikan obat-obat antikonvulsi. Terapi Eksperimental • Total Lymphoid Irradiation Efek utamanya timbul melalui penurunan jumlah T4. Akibatnya produksi antibodi yang T-cell dependent berkurang. Pada SLE secara bermakna menurunkan kadar antibodi antinuklir dan antiDNA. •
Plasma Exchange atau Plasmapheresis Tindakan ini mengurangi konsentrasi antibodi inravaskular kompleks imun dan mediator inflamasi lain dalam sirkulasi.
Prognosis Sebelum tahun 1950, SLE merupakan penyakit yang fatal. Pemakaian preparat kortikosteroid merupakan pengobatan pertama yang memberikan hasil baik pada penyakit ini. Pemakaian kortikosteroid yang lebih teratur dan terencana, pemakaian obat imunosupresif dan penggunaan antibiotik, antihipertensi, dialisis serta transplantasi ginjal lebih memperpanjang survival rate lagi. Survive
37
rate 5 tahun sebesar 50 persen pada tahun 1954, menjadi 95 persen pada tahun 1976. Angka ini tidak banyak berubah sampai sekarang (1993). Kematian paling sering terjadi karena komplikasi pada ginjal dan susunan saraf pusat. Aspek Khusus Trombositopenia Ada
beberapa
pilihan
dalam
menanggulanginya,
yaitu
kortikosteroid dosis tinggi, imunosupresif, kemoterapi dengan vinca alkaloid (vinkristin atau vinblastin), analog steroid sintesis (Danazol), gamaglobulin monomer intravena dosis tinggi. Splenektomi hanya dilakukan
pada
yang
tidak
berhasil
diobati
dengan
terapi
konvensional. SLE pada kehamilan Pasien hamil yang mengalami eksaserbasi memerlukan terapi imunosupresif dengan prednison dan jika perlu kombinasi dengan azatioprin.
Jika
titer
antibodi
antifosfolipid
tinggi,
perlu
dipertimbangkan pemberian salisilat dosis rendah. Pemakaian siklosporin A pada wanita hamil ternyata efektif dalam mengontrol aktivitas SLE dan tidak ditemukan efek samping pada ibu maupun bayi. Abortus yang berulang pada SLE biasanya berkaitan dengan adanya antibodi terhadap kardiolipin.
38
Gagal ginjal Pada masa ini gagal ginjal terminal penyakit SLE nefrtis dapat ditanggulangi cukup baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis dapat menimbulkan perbaikan pada manifestasi non-renal dan kelainan serologis (anti-DNA dan komplemen) yang merupakan indikator aktivitas penyakit. REFERENSI Warlow.RS. Extractable Nuclear Antigen ( ENA ) Autoantibodies in SLE An Immunogenetic Relationship with HLA, C4 and Bf Alleles. www.medicinenet.com Reachers Find Gene Connected to Lupus. www.PubMed.com Behrens, Timothy. Mapping and Cloning of an SLE Suspectibility Gene on Human Chromosome 1. www.niams.nih.gov Garnier S,Diedue P. IRF5 rs2004640-T allele, The New genetic Factor for SLE is not Associated with Rheumatoid Arthritis. www.ard.bmj.com Rinke J,Steitz Joan A. Association of Lupus Antigen La with a Subset of U6 sn RNA molecules. The American Society of Human Genetics. Yale University. USA 2006. www.nar.oxfordjournals.org Kirsch. Min Ae Lee,Gong Maolian. Familial Childbain Lupus. A Monogenic Form of Cutaneous Lupus Erythematosus, Maps to Chromosome 3p. Technische Univesitat Dresden. Germany.2006. www.ncbi.nlm.nih.gov Study Identifies Genetic Risk Factor for Rheumatoid Arthritis and Lupus. www.niams.nih.gov
39
Crow, Mary K. Interferon Alpha in Lupus and Inflammation in Osteoarthritis. Up Date from The HSS Immuneregulation Penelitianatory. www.wbmed.com Zuljasri Abbas. Sistemik Lupus Eritematosus. FKUI. Jakarta 1995. Lindquist.AK Riquelme ME. The Gewnetic of SLE. Uppsala University. Sweden. www.ncbi.nlm.nih.gov Shen N, Tsao BP. Current Advances in The Human Lupus Genetic. UCLA School of Medicine. Los Angeles. USA. www.ncbi.nlm.nih.gov Nath SK, et all. Mapping The SLE Susceptibility Genes. Oklahama Medical Research Foundation. USA. www.PubMed.com Vyse Tj, Kotzin BL. Genetic Susceptibility to SLE. National Jewish Mewdical and Research Center. Colorado. USA. www.PubMed.com Michel M, Meyer O. Immunogenetic Genes of SLE in Humans. Faculte de Medecine Necker. Paris. France. www.ncbi.nlm.nih.gov Cunningham G, Deborah. New Genetic Risk Factorsw Identified. www.eurekalert.org Sulivan. Kathkeen E. the Complex Genetic Basis of SLE. www.lupus.org Shiel Jr. William www.WebMed.com Santiago. James www.eMedicine.com
C. G.
Systemic Systemic
Lupus
Erythematosus.
Lupus
Erythematosus.
Carroll Michael C. Hypotheses for the association of SLE with genetic deficiencies. www.nature.com
40
Steinberg Alfred D. Systemic Lupus Erythematosus. www.geocities.com Gill James M, Quisel MD. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. www.aafp.org
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
41
Penyakit
Lupus eritematosus sistemik atau Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit autoimun. Penyakit SLE ini dialami oleh banyak orang dari berbagai bangsa, ras dan usia. Prevalensi penyakit SLE diperkirakan hampir dari 0,6% dari populasi umum dan di Asia prevalensinya sekitar 40/100.000 orang. Etiologi dan perjalanan penyakit ini belum dapat diterangkan dengan jelas dan diduga penyebabnya multifaktor dimana factor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam kejadian penyaktt ini.. Dalam perjalanannya, penyakit ini dapat mengakibatkan kerusakan pada berbagai organ seperti jantung, paru-paru, ginjal, kulit serta yang lainnya, dalam tubuh manusia Oleh karena itu penyakit ini mendapat perhatian dari badan-badan penelitian terutama mengenai genetik yang berguna untuk mengetahui lebih jelas tentang etiologi, patofisiologi maupun pengobatan yang bisa diupayakan. Penelitian tentang penyakit SLE telah berkembang sejak tahun 1970-an
hinggá saat ini. Kajian tentang penyakit SLE telah
berkembang sampai kearah molekuler dan gen-gen yang berperan dalam membawa kerentanan pada seseorang terhadap penyakit SLE. Sebagian dari kajian tersebut sudah bisa menjelaskan tentang gen-gen yang terlibat. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menulis tentang “Kajian Genetik pada Penyakit Sistemik Lupus Eritematosus ( SLE ). B. Tujuan Penulisan 1.
Untuk menambah wawasan penulisan tentang penyakit SLE
2.
Pemenuhan tugas akhir semester tiga untuk mata kuliah Rehabilitasi
dan konsultasi penyakit imunogenetik.
42
DAFTAR ISI
43
Kata Pengantar ....................................................................................................i Daftar Isi ...................................................................................................ii Daftar Lampiran ..................................................................................................iii Bab I
Pendahuluan
............................................................................................iv A. Latar Belakang
.........................................................................iv B. Tujuan Penulisan
...........................................................................v Bab II
Lupus Eritematosus Sistemik
...............................................................1 A. Definisi
.......................................................................................1 B. Epidemiologi
.............................................................
..........................1 C. Etiologi
........................................................................
...............2 1. Faktor Genetik ...........................................................................2 2. Faktor Lingkungan ...............................................................9 D. Patofisiologi........................................................................ .............10
44
E. Manifestasi Klinis .........................................................................18 F. Diagnosis
........................................................................
.............23 G. Diagnosis Banding .........................................................................25 H. Pemeriksaan Penunjang .............................................................26 I. Pengobatan dan Rehabilitasi .............................................................27 Referensi
............................................................................................
.................36 Lampiran KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya tugas akhir semester yang berjudul ”Kajian Genetik Pada Penyakit Sistemik Lupus Eritematosus ( SLE )”, dapat diselesaikan. Tak lupa shalawat beriring salam dihadiahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan tuntunan dan suri tauladan dalam menjalani kehidupan ini. Penulisan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Rehabilitasi dan konsultasi pada penyakit imunogenetik pada Program Studi Ilmu Biomedik Pasca Sarjana Uneversitas Andalas
45
Padang. Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak, oleh sebab itu terima kasih yang sebesar-besanya disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil. Tugas ini telah dibuat sedemikian rupa sehingga diharapkan dapat memenuhi tujuan penulisannya, walaupun demikian mungkin masih didapatkan ketidaksempurnaan dan karenanya saran yang menyempurnakan tulisan ini sangat diharapkan dari semua pihak. Padang,
Maret
2008 Penulis
46