KEPERAWATAN ANAK ASUHAN KEPERAWATAN PADA SYSTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)
DISUSUN OLEH : Rora Lusiana P0 5120214057
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JURUSAN KEPERAWATAN KOTA BENGKULU
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan karunia-Nya kepada penyusun sehingga penyusun dapat dengan baik menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA SYSTEMIC ERITHEMATOSUS LUPUS (SEL)” yang dibuat berdasarkan beberapa literatur. Dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang berkenaan dengan asuhan keperawatan pada pasien bayi dan anak berdasarkan masalah pada sistem pencernaan. Dalam makalah ini, penyusun sangat berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusun dalam menyelesaikan makalah ini walaupun makalah ini tidak lah sempurna dan butuh masih banyak perbaikan. Dengan senang hati dan tangan terbuka, penyusun sangat berharap adanya kritik dan saran yang konstruktif dalam makalah ini agar dapat lebih baik dan lebih bermanfaat kedepannya. Amin yarabbalalamin
Hormat Kami Bengkulu, Maret 2016
Penyusun
2
DAFTAR ISI Kata Pengantar .......................................................................................................... 2 Daftar Isi ................................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 4 1.3 Tujuan ................................................................................................................. 4 1.4 Manfaat ............................................................................................................... 6 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Tinjaun Teoritis ................................................................................................... 7 2.1.1 Pengertian SLE(Systemic Lupus Erithematosus) ......................................... 7 2.1.2 Klasifikasi SLE ............................................................................................. 7 2.1.3 Etiologi SLE.................................................................................................. 8 2.1.4 Manifestasi Klinis ......................................................................................... 9 2.1.5 Patofisiologi ................................................................................................. 10 2.1.6 WOC ............................................................................................................ 15 2.1.7 Penatalaksanaan ........................................................................................... 16 2.1.8 Kompliksi..................................................................................................... 16 2.2 Asuhan Keperawatan ......................................................................................... 17 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 24 3.2 Saran .................................................................................................................. 24 Daftar Pustaka
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Systemic Lupus Erithematosus (SEL) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus adalah penyakit kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit berat serta ada keterlibatan beberapa organ. Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus, dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot, lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit. Insidens LES pada anak secara umum mengalami peningkatan, sekitar 15-17%. Penyakit ini jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan usia. Onset LES paling sering didapatkan pada anak perempuan usia antara 9 sampai 15 tahun. Rasio perempuan dan laki-laki adalah 2:1 sebelum pubertas dan setelah pubertas menjadi 9:1. Insidens LES tidak diketahui secara pasti tapi bervariasi tergantung etnis dan lokasi. Prevalens LES antara 2,9-400/100.000. Angka harapan hidup 5 tahun untuk penderita lupus berkisar 75%-98%. Angka harapan hidup itu meningkat seiring dengan semakin baiknya terapi pada penderita lupus. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki, dan perempuan. Bangsa Asia dan Afrika lebih rentan terkena penyakit in dibandingkan dengan kulit putih. Data di Amerika menunjukkan angka kejadian penyakit Lupus Ras Asia lebih tinggi dibandingkan Ras Kaukasia. Di Indonesia jumlah penderita Lupus yang tercatat
4
sebagai anggota YLI (Yayasan Lupus Indonesia) sebanyak 12.700 jiwa pada 2012 kemudian meningkat menjadi 13.300 jiwa per April 2013. (dikutip dari laman Republika.co.id) Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar, pengobatan yang diberikan haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mengenai penyakit systemik eritematosus lupus, pengertian tentang systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis, keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita lupus.
1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep penyakit SLE ? 2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit SLE ?
1.3. Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Untuk Mengetahui tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan Systemic Lupus Eritematosus (SLE). 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui konsep teoritis dari Systemic Lupus Eritematosus (SLE) 2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada Systemic Lupus Eritematosus (SLE).
5
1.4. Manfaat 1.4.1 Bagi Penulis Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan, serta dapat mengaktualisasikannya pada lingkungan sekitar, baik dalam lingkungannya keluarga maupun masyarakat. 1.4.2 Bagi Pembaca Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai askep pada pasien dengan perdarahan antepartum.
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Teori SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) Istilah “Lupus” berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala, sedangkan “Erythematosus” dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah ini digunakan pada pertengahan abad ke-18 untuk menjelaskan erosi kulit seperti gigitan serigala yang diperkenalkan oleh Sarjana Ferdinand von Hebra. Sarjana ini pertama kali mendeskripsikan malar rash pada wanita yang didiagnosa lupus. SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat. (dikutip dari laman rematik-autoimun.com)
2.1.2 Klasifikasi Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu: 1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang menyerang kulit. 7
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus). 3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
2.1.3 Etiologi Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE: 1. Faktor Genetik Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA-DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. DiKaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
8
2. Faktor Imunologi Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu : a. Antigen Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal. c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan 3. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
9
4. Faktor Lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari: a. Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. b. Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. c. Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. d. Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.1.4 Menifestasi Klinis Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam, fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan 10
bulan sampai tahunan barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau kaki.
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa menjadi SLE.
11
Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid
Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin. Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis dengan ’suspect infeksi virus’ sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau vaskulitis sistemik).
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)
Keadaan umum Mudah lelah Demam dan malaise Penurunan berat badan Limfadenopati Kulit Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas Alopesia 12
Lesi diskoid Lesi pada kuku Lupus tumidus Lupus kutaneus subakut Purpura vaskulitis Muskuloskeletal Arthritis / arthralgia non-erosif Tenosinovitis Miopati Nekrosis avaskular Sistem Pencernaan Ulserasi oral dan nasal Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus Dismotilitas esofagus Kolitis Hepato-splenomegali Pankreatitis Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi Kardiovaskuler Fenomena Raynaud Perikarditis Lesi valvular Lesi vaskulitik Trombophlebitis Kelainan konduksi jantung Miokarditis Endokarditis Libman-Sacks Accelerated coronary artery disease Gangren perifer Sistem Pernapasan Pleuritis, efusi pleura Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru) Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis Perdarahan Paru menyusut (disfungsi diafragma) Pneumotoraks Sistem Persarafan Migrain Depresi / cemas Psikosis organik Kejang Neuropati saraf pusat dan saraf tepi Khorea Kelainan serebrovaskular Sistem Penglihatan Retinopati, cotton wool spots 13
Papiloedema Ginjal Glomerulonefritis Hipertensi Gagal ginjal Hematologi Anemia hemolitik dengan Coomb’s positif Trombositopenia Sindrom antifosfolipid Endokrin Hipo / hipertiroidism
2.1.5 Patofisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
14
2.1.6 WOC Genetik
Immunologi ( antigen,kelainan antibody,kelainan interinsik sel T dan sel B)
Hormonal
Lingkungan ( insveksi virus dan bakteri, paparan sinar urta violet stress, obat,obatan )
Sistem regulasi kekebalan terganggu
Mengaktivasi sel T dan B
Fungsi sel T – suppressor abnormal Peningkatan produksi antibodi Kerusakan jaringan
Penumpukan kompleks imun
Vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis Lesi papuler diujung kaki ,tumit dan siku KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT
Respirasi
integumen Adanya lesi akut pada kulit
Penumpukan cairan pada pleura Efusi pleura
Pasien merasa malu dengan kondisinya
Ekspensi dada tidak adekuat
GANGGUAN CITRA TUBUH
KETIDAK EFEKTIFAN POLA NAPAS
15
Muskuloskaletal Pembengkakan sendi Nyeri tekan dan rasa nyeri saat bergerak NYERI AKUT
2.1.7 Penatalaksanaan Medis Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat: 1. Antiradang nonstreroid (AINS) AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara seksama. 2. Kortikosteroid 3. Antimalaria Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala LES. Biasanya antimalaria mula-mula diberikan dengan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau pemakaian dosis. 4. Imunosupresif Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika: a. Diagnosis pasti sudah ditegakkan b. Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa c. Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping d. Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine, 1995).
2.1.8 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita adalah sebagai berikut: a. Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III 16
b. Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung) c. Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering terjadi bronkhitis. d. Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer. e. Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian, termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).
2.2 Asuhan Keperawatan SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) A. Pengkajian 1. Identitas pasien Nama, alamat,jenis kelamin,umur,agama, setatus, pekerjaan, pendidikan, nama penanggung jawab, alamat penanggung jawab. 2. Riwayat Kesehatan a. Riwayat kesehatan dahulu Riwayat pemakaian obat-obatan b. Riwayat kesehatan sekarang 1. Data Subjektif: a. Dispneu b. Mual – muntah c. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya) 2. Data Objektif a. Kulit, lesi, integritas terganggu b. Bunyi napas c. Kondisi mulut (sianosis pada bibir) d. Penurunan eliminasi urine 3. Pemeriksaan Fisik a. Pengukuran TTV 17
b. Pengkajian kardiovaskuler c. Nadi cepat, tekanan darah menurun d. Pengkajian respiratori e. Sesak nafas, takipneu, hipoksia, gagal nafas. f. Eritema pada wajah dan badan, wajah sembab, terdapat edema palpebra, sianosis padabibir. g. Pengkajian hematologik h. Pengkajian muskuloskeletal i. Pengkajian renal j. Pengkajian Neurologik 4. Kaji status nutrisi 5. Kaji adanya pengetahuan tentang penyakit, cara perawatannya dan sebaginya.
B. Diagnosa keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan sendi 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan lapisan kulit 3. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan dispnea 4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
C. Intervensi 1. Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan sendi NOC : Pain level, Pain
pain management
control, Comfrort level
1. Lakukan
Kriteria hasil :
nyeri
1. Mampu
1. Membantu dalam
pengkajian secara
komperhesif
termasuk
mengontrolnyeri(tahu
lokasi,
karakteristik,
penyebab nyeri, mampu
durasi,
frekuensi,
menggunakan tehnik
kualitas,
18
dan
faktor
evaluasi kebutuhan danketidak efektifan intervensi. 2. Mengetahui pengalaman nyeri pasien.
nonfarmatologi untuk mengurangurangi nyeri,
presitipasi 2.
mencari bantuan)
Gunakan tekni komunikasi
2. Melaporkan bahwa
3. Mengetahui penyebab nyeri pada pasien. 4. Merencanakan
teraupeutik untuk
intervensi selanjutnya
nyeri berkurang
mengetahui
jika intervensi
dengan menggunakan
pengalaman nyeri
sebelumnya tidak
manajmen nyeri
3.
3. Mampu mengenai
mengetahui respon
nyeri (sekala intesitas frekuensi dan tanda)
Kaji kultur yang
nyeri 4.
4. Menyatakan rasa
Evaluasi bersama
efektiv. 5. Pemberian farmakologi secara benar
pasien dan tim
nyaman setelah nyeri
kesehatan lain
berkurang
tentang ketidak evektifan kontrol nyeri masa lampau 5.
Pilih dan lakukan pengalaman nyeri (farmakologi, nonfarmakologi, dan interpersonal)
2. Kerusakan integritas kulit b.d kerusakan lapisan kulit Kerusakan integritas kulit
NOC : Tissue Integrity:
b.d kerusakan lapisan
Skin & Mucous Membranes
kulit
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepewatan
Monitoring : 1. Monitor warna dan suhu kulit 2. Monitor kulit dan
diharapkan kerusakan
membran mukosa
kulitberkurang/
pada area yang memar
hilang dengan criteria hasil :
atau mengalami
1. Tidak ada eritema 19
kerusakan
pada kulit
3. Monitor ruam dan
2. Tekstur dan
abrasi pada kulit
ketebalan jaringan
4. Monitor terjadinya
normal
infeksi khususnya
3. Perfusi jaringan
pada area edema
normal 4. Tidak ada tanda atau
Intervensi mandiri perawat :
gejala infeksi
1. Kaji adanya
5. Tidak ada lesi
alergi obat
6. Tidak terjadi
2. Bersihkan area kulit
nekrosis
yang mengalami
Skala penilaian NOC :
gangguan
1. Bisa dikompromi 2. Signifikan bisa
Pendidikan Kesehatan :
dikompromi
1. Anjurkan pasien
3. Cukup bisa
untukmenjaga
dikompromi
kebersihan di area
4. Agak bisa
sekitar edema
dikompromi
2. Beri tahu klien agar
5. Tidak bisa
menghindari paparan
dikompromi
matahari langsung
Kolaboratif : 1. Pemberian injeksi Stabixin 2x1 gram
3. Pola nafas tidak efektif b.d dispnea Pola nafas tidak efektif
NOC : Respiratory status :
Monitoring :
b.d dispnea
ventilation
1. Monitor TD, nadi, suhu da
Tujuan : setelah dilakukan
RR
20
tindakan keperawatan
2.
diharapkan pola nafas
irama pernafasan
efektif dengan criteria hasil : 3. 1. RR dengan batas
Monitor frekuensi dan
Monitor suhu, warna
dan kelembaban kulit
normal 2. Irama nafas normal
Intervensi mandiri perawat :
3. Tidak ada dispnea
1. Kaji paru klien dengan
4. Suara perkusi
inspeksi, palpasi, perkusi dan
normal 5. Tidak ada traktil fremitus 6. Kapasitas vital
auskultasi 2. Posisikan klien dalam posisi fowler untuk memperlancar jalannya napas
normal Pendidikan Kesehatan : Skala penilaian NOC : 1. Berada pada batas normal 2. Signifikan berada pada batas normal
1. Ajarkan treatment terapi napas yang baik 2. Anjurkan klien untuk tidak melakukan aktifitas yang terlalu berat
3. Cukup berada pada batas normal 4. Agak berada pada batas normal 5. Tidak berada pada
Kolaboratif : 1.
Kolaborasi dengan
dokter tentangpemeriksaan X-Ray dada klien
batas normal 2.
Pemberian oksigen 3
liter/ menit. 3. Pemberian injeksi medixon 2x1 gram
21
4. Gangguan citra tubuh b.d penyakit. Gangguan citra tubuh b.d
NOC : Self esteem
NIC : Self Esteem
penyakit.
Tujuan : setalah dilakukan
Enhancement
tindakan keperawatan
Intervensi :
diharapkan akan timbul rasa
1. Dorong kontak mata
percaya diri dengan criteria
pada saat
hasil :
berkomunikasi
1. Dapat menerima kekurangan pada diri sendiri 2. Dapat membuka komunikasi 3. Menerima kritik
4.
dengan orang lain 2. Dorong pasien untuk menguatkan identitas 3. Buatlah pernyataan positif kepada pasien 4. Ajarkan keluarga
yang membangun
untuk mengakui
Dapat
prestasi anaknya
mempertahankan kontak mata 5. Dapat merasakan akan kelayakan diri 6. Dapat mempertahankan postur tubuh dengan tegak Skala penilaian NOC : 1. Tidak pernah 2. Jarang 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Selalu
22
5. Monitor tingkatan kepercayaan diri setiap waktu.
2. Impelementasi Pelaksanaan tindakan dilakukan pada klien disesuaikan dengan prioritas masalah yang telah disusun. Yang paling penting pelaksanaan mengacu pada intervensi yang telah ditentukan dengan maksud agar kebutuhan klien terpenuhi secara optimal. Dahulukan tindakan yang dianggap prioritas/masalah utama.
3. Evaluasi Evaluasi pelaksanaan yang telah dilakukan kepada pasien.
23
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN Dari penjelasan yang kami sampaikan dalam makalah ini, maka dapat disimpulan bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody polispesifik. Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Sehingga sering terjadi keterlambatan diagnosis penyakit LES.
4.2. SARAN Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.
24