Sindrom_lupus.docx

  • Uploaded by: Reka Riesta Ardiyanti
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sindrom_lupus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,956
  • Pages: 38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi nama “Lupus”. Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus diduga berkaitan dengan system imunologi yang berlebih. Penyakit ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE ( Systemic Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah. Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per 100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di RS ciptomangunkusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991 sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari 100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki da perempuan. 90% kasus SLE menyerang wanita

1

muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1. Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus biasanya menyerang wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinarmatahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit lupus. Factor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah factor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stress, beberapa jenis jenis obat dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. saat berpergian, penderita memakai sun block atau sun screen ( pelindung kulit dari sengatan sinar matahari ) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan. B. Tujuan 1. Tujuan umum Untuk mengetahui secara umum tentang lupus eritematosus. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui pengertian systemic lupus erythematosus b. Mengetahui etiologi systemic lupus erythematosus c. mengetahui tentang anfis system imunitas d. Mengetahui patofisiologi systemic lupus erythematosus e. Mengetahui manifestasi systemic lupus erythematosus f. Mengetahui pathway systemic lupus erythematosus g. Mengetahui pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus h. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus i. Mengetahui

konsep

asuhan

erythematosus

2

keperawatan

systemic

lupus

BAB II PEMBAHASAN A. Konsep Dasar SLE (Systemisc Lupus erythematosus) 1.

Pengertian Menurut dokter umum RS Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra (2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam bahasa yunani berarti kemerahmerahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan berbagai manifestasi klinis Krishnamurthy (2011). Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang inti sel ( Matt,2003).

2.

Etiologi Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa

factor

yang

terlibat

seperti

factor

genetic,obat-

obatan,hormonal dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi

3

imunologi ini dapat menghasilkan antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa factor : a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B b. Hiperaktivitas sel T helper c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE a. Factor genetic Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga

timbul

produk

autoantibodi

yang

berlebihan.

Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum. Studi

mengenai

genome

telah

mengidentifikasi

beberapa

kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2 (Human

Leukosit

Antigen-DR2),

telah

dikaitkan

dengan

timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab

4

genetik dari penyakit lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha. b. Faktor Imunologi 1) Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T. 2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal. 3) Kelainan antibody

Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.

5

c. Factor lingkungan Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari: 1) Infeksi virus dan bakteri Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella. 2) Paparan sinar ultra violet Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah. 3) Stres Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal. d. Faktor Hormonal Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE. e. Factor farmakologi Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE).

6

Jenis

obat

yang

dapat

menyebabkan

DILE

diantaranya

kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid. Musai (2010) 3. Anatomi & Fisiologi Sistem Imunitas a. System pertahanan tubuh atau system kekebalan tubuh Diartikan sebagai semua mekanisme yang digunakan oleh tubuh untuk menangkal pengaruh factor atau zat yang berasal dari lingkungan, yang asing bagi tubuh kita. b. Organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh

Gambar 2.1 Organ imunitas Organ-organ yang berperan dalam system pertahanan tubuh meliputi organ-organ penghasil sel-sel pertahanan tubuh. Organorgan tersebut adalah sumsum tulang, kelenjar timus, limpa, dan tonsil.

7

1) Sumsum tulang Sumsum tulang merupakan “pabrik” pembuatan sel-sel penting bagi tubuh. Di dalam sumsum tulang dihasilkan berbagai jenis sel yang berperan dalam pertahanan tubuh. Sejumlah sel yang dihasilkan oleh sumsum tulang berperan dalam produksi sel-sel fagosit, sebagian berperan dalam penggumpalan darah, dan sebagian lagi berperan dalam penguraian senyawa. 2) Kelenjar timus Kelenjar timus terletak di atas thoraks, sebagian di atas jantung dan paru-paru. Dalam system limfatik, kelenjar timus merupakan organ yang penting, terutama pada bayi yang baru lahir karena organ tersebut mengatur perkembangan limpa dan nodus limpa. Setelah pubertas, kelenjar timus akan mengecil, tetapi tetap merupakan organ kekebalan yang penting. Menurut pengamatan biologis,kelenjar timus tampak seperti organ biasa tanpa suatu fungsi khusus. Meskipun demikian, kelenjar timus sebenarnya memiliki fungsi yang teramat penting. Di dalam kelenjar timus, limfosit T di bentuk dan mendapat semacam “pelatihan” yang berupa transfer informasi. Informasi ini berguna untuk mengenali karakteristik khusus sel-sel tubuh. Di dini, limfosit dilatih untuk mengenal identitas sel-sel dalam tubuh dan diprogram untuk membentuk antibody melawan mikroorganisme spesifik. Terakhir, limfosit yang bermuatan informasi itu meninggalkan kelenjar timus. Dengan demikian, ketika limfosit bekerja dalam tubuh, mereka tidak menyerang sel-sel yang identitasnya telah dikenali, tetapi hanya menyerang dan membinasakan sel-sel lain yang bersifat asing. 3) Limpa Limpa adalah organ terbesar dalam system limfatik dan terletak di sisi kiri bagian atas abdomen, di antara rusuk terbawah serta lambung. Di dalam limpa terdapat pembuluh limpa dan pembuluh darah. Fungsi utama limpa adalah

8

menghancurkan sel-sel darah merah yang rusak, bakteri, dan benda-benda asing dalam darah, serta menghasilkan limfosit dan antibody. Limfosit yang telah dibuat limpa akan mengikuti aliran darah. Limpa mengandung sejumlah besar sel makrofag ( sel pembersih ). Makrofag menelan dan mencerna sel-sel darah merah atau sel-sel darah lainnya yang rusak dan tua, serta bahan-bahan lain, yang dibawa darah ke limpa. Di dalam limpa, makrofag mengubah protein hemoglobin dalm sel-sel darah merah yang ditelannya menjadi bilirubin ( pigmen empedu ) 4) Tonsil

Gambar 2.2 Tonsil Tonsil merupakan bagian dari system limfatik dan berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit. Tonsil ada yang terletak di dekat dasar lidah, di bagian kiri dan kanan pangkal tenggorok ( disebut amandel ) serta di rongga hidung ( disebut polip ). Tonsil berperan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi ( sebagai penghasil limfosit ) yang dapat tersebar dari hidung, mulut dan tenggorok. Tonsil dapat meradang jika sedang “ bertempur “ melawan bibit penyakit. c. Mekanisme system pertahanan tubuh System pertahanan tubuh kita dibagi menjadi dua, yaitu system pertahanan tubuh nonspesifik dan system pertahanan tubuh spesifik 1) Pertahanan tubuh nonspesifik

9

Pertahanan tubuh nonspesifik bertujuan untuk menangkal masuknya segala macam zat atau bahan asing ke dalam tubuh, yang dapat menimbulkan kerusakan tubuh ( penyakit ) tanpa membedakan jenis zat atau bahan asing tersebut. Contoh zat-zat asing itu, antara lain bakteri,virus, atau zat-zat yang berbahaya bagi tubuh. Yang termasuk pertahanan tubuh nonspesifik antara lain pertahanan fisik ( kulit dan selaput lendir ), kimiawi ( enzim dan keasaman lambung ), mekanis ( gerakan usus dan rambut getar selaput lendir ), fagositosis ( penelanan kuman atau zat asing oleh sel darah putih ), serta zat komplemen yang berfungsi pada berbagai proses pemusnahan kuman atau zat asing. Pertahanan tubuh nonspesifik terdiri atas pertahanan eksternal dan pertahanan internal. Pertahanan eksternal merupakan pertahanan tubuh sebelum mikroorganisme atau zat asing memasuki jaringan tubuh. Pertahanan internal merupakan pertahanan tubuh yang terjadi di dalam jaringan tubuh setelah mikroorganisme atau zat asing masuk ke dalam tubuh. a) Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal Pertahanan tubuh nonspesifik eksternal meliputi kulit dan lapisan mukosa berbagai organ. (1) Kulit

Gambar 2.3 Pertahanan tubuh terhadap infeksi ketika suatu bagian kulit terluka dan dua kapiler pecah 10

Fungsi kulit bagi pertahanan tubuh adalah ibarat banteng pertahanan yang kuat dalam peperangan. Di samping berfungsi melindungi tubuh dari panas, dingin, dan sinar matahari, kulit juga memiliki kemampuan untuk melindungi tubuh dari mikroorganisme yang merugikan.

Fungsi

perlindungan

utama

kulit

diwujudkan lewat lapisan sel mati yang merupakan bagian terluar kulit. Setiap sel baru yang dihasilkan oleh pembelahan sel bergerak dari bagian dalam kulit menuju ke permukaan luar. Selain itu, sel-sel kulit juga mampu menghasilkan suatu protein kuat yang disebut keratin. Senyawa keratin mempunyai struktur yang sangat kuat dank eras sehingga

kulit

didekomposisi

oleh

berbagai

mikroorganisme pathogen. Keratain tersebut terdapat pada sel-sel mati yang selalu lepas dari permukaan kulit dan digantikan oleh sel-sel berkeratin yang baru. Sel-sel baru yang berasal dari bawah menggantikan sel=sel yang sudah using sehingga membentuk penghalang yang tidak dapat tembus. Di samping memberikan perlindungan secara fisik, kulit juga member perlindungan secara kimia. Kulit menghasilkan keringat dan minyak yang memberikan suasana asam pada kulit. Hal itu dapat mencegah tumbuhnya

mikroorganisme

pathogen

pada

kulit.

Keringat menyediakan zat makanan bagi bakteri dan jamur tertentu yang hidup sebagai mikroflora normal pada kulit dan menghasilkan bahan-bahan sisa bersifat asam, seperti asam laktat, yang membantu menurunkan tingkat pH ( keasaman ) kulit. Media bersifat asam di permukaan kulit ini menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat bagi mikroorganisme berbahaya.

11

Bagaimana jika kulit terluka ? kulit yang terluka merupakan salah satu jalan masuknya mikroba asing ke dalam tubuh. Meskipun demikian, kulit juga memiliki respons untuk segera memperbaiki jaringan kulit yang terluka secara cepat. Ketika terjadi luka, sel-sel pertahanan tubuh akan segera bergerak ke daerah luka untuk menerangi mikroba asing serta membuang sisasisa jaringan yang sudah rusak. Ke4mudian, sejumlah sel pertahanan lainnya akan memproduksi benangbenang fibrin, yaitu suatu protein yang berfungsi untuk menutup kembali luka. (2) Membran Mukosa Semua saluran tubuh

yang memiliki kontak

langsung dengan lingkungan luar, seperti saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran ekresi, ataupun saluran reproduksi selalu memiliki organ-organ yang dilapisi oleh lapisan mukosa. Lapisan mukosa yang terdapat pada berbagai saluran tadi memiliki fungsi penting dalam mencegah masuknya berbagai mikroba asing yang berbahaya. Berikut ini adalah beberapa contoh pertahanan yang dilakukan lapisan mukosa. Saluran pencernaan merupakan salah satu pintu gerbang masuknya berbagai mikroba asing ke dalam tubuh. Mereka masuk ke dalam tubuh bersama dengan makanan yang kita makan. Mikroba yang masuk bersama makanan dan sampai di lambung akan mendapat “kejutan” yang berupa asam klorida (HCI) atau asam lambung yang di hasilkan oleh lapisan mukosa

lambung.

Asam

lambung

menyebabkan

sebagian besar mikroba asing yang masuk ke lambung tidak dapat bertahan hidup. Sebagian mikroba asing

12

tersebut mungkin berhasil selamat dari pengaruh asam lambung karena mereka tidak terpapar langsung oleh asam lambung atau karena mereka mempunyai daya tahan terhadap asam lambung. Meskipun begitu, mikroba yang lolos itu akan segera menghadapi berbagai enzim pencernaan di usus halus. Lapisan mukosa yang terdapat pada saluran respirasi, misalnya trakea, juga merupakan pertahanan tubuh yang sangat penting. Lapisan mukosa pada trakea menghasilkan mucus yang berupa cairan kental yang berguna untuk menjerat mikroba asing ataupun partikel asing lainnya yang masuk bersama udara pernafasan. Di samping itu, pada lapisan mukosa trakea terdapat sel-sel epitel bersilia yang dapat bergerak untuk mengeluarkan mukus yang sudah membawa mikroba agar tidak menuju paru-paru. Pada mata terdapat kelenjar penghasil air mata yang banyak mengandung enzim lisozim. Enzim ini dapat merusak dinding sel bakteri sehingga bakteri tidak dapat masuk menginfeksi mata. Di samping menyediakan pertahanan fisik dan kimiawi, pada kulit dan lapisan mukosa juga terdapat mikroorganisme yang secara alami menempati bagian tertentu tubuh kita. Mikroorganisme ini di kenal denganistilah

mikroflora

normal.

Mereka

tidak

membahayakan tubuh kita, justru secara tidak langsung menguntungkan

karena

turut

membantu

system

pertahanan tubuh kita. Banyak mikroorganisme lain yang tidak merugikan yang hidup dalam tubuh manusia.

13

Mikroorganisme tersebut memberikan dukungan bagi system pertahanan tubuh dengan cara mencegah mikroba asing berdiam dan berkembang biak di dalam tubuh

karena

masuknya

mikroba

asing

tersebut

merupakan ancaman bagi mikroflora normal tubuh. b) Pertahanan Nonspesifik Internal tidak semua mikroorganisme atau mikroba asing dapat di tahan oleh kulit ataupun lapisan mukosa sehingga mereka dapat lolos masuk ke dalam tubuh. Selanjutnya, mikroba asing tersebut akan bertemu dengan pertahanan tubuh nonspesifik internal yang terdiri dari atas aksi fagositosis, respon peradangan, sel natural killer (NK), dan senyawa anti mikroba. (1) Fagosistosis Fagosistosis merupakan mekanisme penelanan benda asing,

terutama

mikroba,

oleh

sel-sel

tertentu.

Khususnya sel-sel darah putih (Ingat lagi pelajaran tentang system sirkulasi). Berbagai sel yang dapat melakukan fagositosis, antara lain neotrofil,monosit, makrofag, dan eosinofil. (2) Respon Peradangan Pernahkah salah satu bagian tubuh anda terluka dan pada

bagian

yang

terluka

tersebut

terjadi

pembengkakan yang berwarna kemerahan? Itulah yang di sebut dengan peradangan (inflamasi). Peradangan adalah tanggapan atau respon cepat setempat terhadap krusakan jaringan yang di sebabkan oleh teriris, tergigih, tersengat, ataupun infeksi mikroorganisme. Tanda-tanda

suatu

bagian

tubuh

mengalami

peradangan, antara lain berwarna kemerahan, terasa nyeri, panas, dan membengkak. Mengapa respons

14

peradangan juga merupakan salah satu bentuk pertahanan

tubuh

dan

bagaimanakah

terjadinya

peristiwa peradangan tersebut? Adanya daerah yang terluka dan terinfeksi mikroba akan

menyebabkan

prakapiler

mengalami

peningkatan

pembuluh dilatasi

permeabilitas)dan

darah

arteriola

(pelebaran pembuluh

serta venula

pascakapiler menyempit. Hal itu akan meningkatkan aliran darah pada pada daerah yanh terluka sehingga bagian tersebut meningkat suhunya dan berwarna kemerahan. Sementara itu, pembekakan (udema) pada bagian yang meradangdisebabkan oleh meningkatnya cairan yang keluar dari jaringan akibat peningkatan permeabilitas

kapiler

darah.

Pelebaran

dan

peningkatan pemeabilitas pembuluh darah itu di picu oleh senyawa kimia histamin. Sember utama histamine adalah sel-sel mast(sel-sel besar pada jaringan ikat) dan basofil dalam darah. Keduanya bersama-sama dengan keeping-keping darah melekat pada pembuluh darah yang rusak. Pelebaran diameter dan pemeabilitas pembuluh darah akan meningkatkan laju aliran darah dan unsureunsur pembekuan darah ( keeping-keping darah) ke darah yang mengalami luka atau infeksi. Pembekuan darah tersebut berfungsi untuk melokalisir mikroba penginfeksi agar tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Kerusakan jaringan juga mengirimkan senyawa kimia kemokin yang berfungsi memanggil sel-sel fagosis untuk segera dating ke daerah yang terluka tersebut. Pada

respons

peradangan,

fagosist

yang

pertama kali berperan adalah neutrofil dan diikuti

15

monosit yang berubah menjadi makrofag. Neurofil akan memangsa mikroba pathogen. Neurofil dapat mendeteksi kehadiran mikroba itu telah diselubungi oleh opsonin. Opsosin adalah anti bodi lain yang di bentuk dalam aliran darah atau protein komplemen khusus yang di aktifkan oleh kehadiran mikroba. Begitu opsonin melekat pada mikroba, mikroba tersebut di telan dan di cerna oleh neurofil. Sementara itu, disamping memangsa mikroba pathogen, makrofag juga berfungsi membersihkan sisa-sisa jaringan yang rusak dan sisa-sisa neurofil yang mati. (3) Sel Neurofil kaller (sel pembunuh alami) Sel natural killer(Sel NK) adalah suatu limfosit granular yang berespons terhadap mikroba intra seluler dengan dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk memgaktivasi makrofag. Sel NK menyerang sel-sel parasit dengan cara mengeluarka senyawa penghancur yang disebut profin. Sel NK dapat melisiskan dan membunuh sel-sel kanker

serta

virus

sebelum

kekebalan

adaptis

diaktivkan. (4) Senyawa Antimikroba Sel-sel tertentu pada tubuh memiliki kemampuan menghasilkan senyawa, khususnya protein yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh nonspesifik. Cara kerja protein antimikroba ini terutama adalah untuk menghancurkan sel-sel mikroba yang masuk atau atau untuk menghambat agar mikroba asing tersebut tidak dapat berproduksi. Protein antimikroba yang berperan dalam pertahanan non spesifik ini adalah protein komplemen dan interferon. (5) Protein Komplemen

16

Protein komplemen merupakan agen antimikroba yang terdiri atas sekitar 20 protein serum. Peotein komplemen dihasilkan oleh hati dan beredar di dalam pembuluh darah dalam keadaan tidak aktif. Adanya infeksi mikroba akan mengaktifkan protein pertama dan selanjutnya akan mengaktifkan protein kedua, demikian seterusnya, melalui serangkaian reaksi yang berurutan. Protein komplemen yang telah aktif akan bekerja secara sistematis untuk melisiskan berbagai mikroba penginfeksi. (6) Interferon Interferon merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh makrofag sebagai respon adanya erangan virus yang masuk ke dalam tubuh. Interferon merupakan senyawa antivirus yang bekerja menghancurkan virus dengan cara menghambat perbanyakan virus dalam sel-sel tubuh.

Gambar 2.4 Mekanisme interferon melawan virus 2) Pertahanan tubuh spesifik Mikroorganisme asing yang berhasil melewati pertahanan tubuh nonspesifik akan berhadapan dengan pertahanan tubuh yang lebih canggih, yaitu pertahanan tubuh spesifik. Pada pertahanan tubuh spesifik, sel-sel pertahanan dapat merespon keberadaan sel-sel asing, molekul asing, ataupun sel yang

17

abnormal dengan cara yang spesifik. Pertahanan tubuh spesifik dikenal juga dengan nama system kekebalan. Respons kekebalan ini meliputi produksi protein pertahanan tubuh spesifik, disebut antibody, yang dilakukan oleh limfosit. Limfosit merupakan sel utama dalam system kekebalan. Limfosit dapat ditemukan di dalam sumsum tulang., pusat limfatik, kelenjar ludah, limpa, tonsil, dan persendian. Limfosit memiliki peran sangat penting untuk melawan penyakitpenyakit menular yang utama, seperti aids, kanke, rabies, dan TBC. Bahkan, pilek tidak lain adalah perang yang dikobarkan limfosit untuk mengusir virus flu dari tubuh. Kebanyakan mikroba asing dapat dikalahkan dengan antibody yang dihasilkan oleh limfosit. Ada dua macam limfosit, yaitu limfosit B dan limfosit T, keduanya mengalami pembelahan sel yang cepat dalam menanggapi kehadiran antigen spesifik, tetapi fungsi keduanya berbeda ( walaupun saling bergantung ) Limfosit B dihasilkan oleh sel-sel punca ( stem cells )di dalam sumsum tulang. Limfosit B dinamakan juga sel-sel B ( berasak dari kata Bone Marrow / sumsum tulang ) . jika diibaratkan Negara, sel-sel B ini identik dengan “ pabrik senjata “ di dalam tubuh. Pabrik ini memproduksi antibody yang nantinya akan digunakan untuk menyerang musuh. Jumlah limfosit B atau sel B adalah 25% dari jumlah total limfosit tubuh. Setelah diproduksi di sumsum tulang, sebagian limfosit bermigrasi ke kelenjar timus. Di dalam kelenjar timus, limfosit tersebut akan membelah diri dan mengalami pematangan. Karena berasal dari kelenjar timus, limfosit ini dinamakan limfosit T ( dari timus ). Limfosit T disebut juga sel T. jumlahnya mencapai 70% dari seluruh jumlah limfosit tubuh.

18

Sel T berfungsi sebagai bagian dari system pengawasan kekebalan. Ada tiga macam sel T, bergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen. Berdasarkan perannya setelah diaktifkan oleh antigen, sel T dibedakan menjadi 3 macam, yaitu a) Sel T sitotoksik ( cytotoxic T cell ) sel T pembunuh yang menghancurkan sel yang memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan. b) Sel T penolong ( helper T cell ) sel T yang membantu sel B mengenali dan menghasilkan antibody untuk melawan antigen, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan yang sesuai, serta mengaktifkan makrofag. c) Sel T penekan ( suppressor T cell ) sel T yang menekan produksi antibody sel B dan aktivitas sel T sitotoksik serta sel T penolong untuk mengakhiri reaksi kekebalan. ( Pujiyanto, 2014 ) 4. Patofisiologi Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi ). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,

isoniazid,

klorpromazin

dan

beberapa

preparat

antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

19

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali. Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu : a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif b. Pembentukan sitokin yang berlebihan c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu : 1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks imun maupun sitokin dalam tubuh 2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis 3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan. 5.

Manifestasi klinik Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya system imun. Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan

20

iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil. a. Gejala Muskuloskeletal Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah

sendi

interfalangeal

metakarpofalangeal,

siku

proksimal, dan

peradangan

pergelangan

kaki,

tangan, selain

pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris. b. Gejala integument Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit

yang

dianggap

khas

dan

banyak

menolong

dalam

mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari

dapat

timbul

ruam

kulit

yang

terjadi

karena

hipersensitivitas . lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular . Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.

21

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit mereda. c. Kardiovaskuler Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi kerikard), iskemia miokard

dan endokarditis verukosa (

libman sacks) d. Paru Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan. e. Sistem vaskuler Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku

22

serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis. f. Darah Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

23

6. Pathway Genetic

Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress)

Hormonal

Obat-obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi

Penumpukan kompleks imun

Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi

Nyeri tekan, rasa nyeri ketika bergerak

Resiko infeksi

Kerusakan jaringan

Integumen

Kardiovaskuler

Respirasi

Vaskuler

Darah

Lesi akut pd kulit

Perikarditis

Penumpukan cairan pd pleura

Inflamasi pd arterior terminalis

Pembekuan darah dalam vena

Efusi pleura

Lesi popular diujung kaki,tumit

Stroke dan emboli paru

Ekspansi dada tidak adekuat

dan siku

Jumlah trombosit berkurang

Pasien merasa malu dg kondisinyaa

Penumpukan cairan efusi pada perikardium

Gangguan citra tubuh

Penebalan perikardium

Nyeri akut

Kontraksi jantung

Penurunan curah jantung

Pola nafas tidak efektif

Kerusakan integritas kulit

Perdarahan

Anemia

Ketidakefektif an perfusi jaringan perifer

24

7.

Pemeriksaan penunjang Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan

adanya

anemia

hemolitik,

trombositopenia,

limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin b. Anti ds DNA

Batas normal : 70 – 200 iu/mL Negatif

: < 70 iu/mL

Positif

: > 200 iu/mL Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE

aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit

25

terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang. Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA). Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA ( anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and Pagana,2002 ) c. Antinuklear antibodies ( ANA )

Harga normal : nol ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain untuk menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), antiRNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 )

26

8. Penatalaksanaan Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) : a. Edukasi dan Konseling Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis. b. Program Rehabilitasi Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11) c. Terapi Medikasi Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika memungkinkan dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit lupus erythematosus : 1) NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)

NSAIDs (obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada

27

tingkatan ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan dalam kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal janin. (Syamsi dhuha, 2012 : 5-6) 2)

Kortikosteroid Syamsi dhuha (2012 : 6) menyatakan bahwa penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya

terjadi

penatalaksanaan

pada

Odapus.

osteoprotektif

Sehingga

seperti

dibutuhkan

pemeriksaan

serial

kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat. Terapi hormon tidak lagi digunakan untuk

pencegahan

atau

pengobatan

osteoporosis

karena

meningkatkan risiko kanker payudara dan penyakit jantung. Bifosfonat tidak baik digunakan selama kehamilan dan dianjurkan bahwa kehamilan harus ditunda selama enam bulan setelah penghentian bifosfonat. Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan

28

steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan kunci pengobatan yang baik. 3)

Antimalaria Hydroxychloroquine

(Plaquenil)

lebih

sering

digunakan

dibanding kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif, Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini kelainan mata

selama

pengobatan.

Dewasa

ini

pemberian

terapi

hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan. B. Konsep Asuhan Keperawatan 1.

Pengkajian a. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama a) Nyeri b) Gatal-gatal 2) Riwayat kesehatan dahulu a) Riwayat terekspos sinar radiasi UV yang parah b) Riwayat

pemakaian

obat-obatan

prokainamid,isoniazid, kontrasepsi oral dll c) Riwayat terinfeksi virus d) Terekspos bahan kimia

29

hidralazin,

3) Riwayat kesehatan keluarga a) Riwayat keluarga dengan penyakit autoimun b) Riwayat keluarga dengan infeksi berulang 4) Riwayat kesehatan sekarang Pasien mengatakan: a) nyeri sendi karena gerakan b) kekakuan pada sendi c) kesemutan pada tangan dan kaki d) sakit kepala e) Demam f) merasa letih, lemah g) limitasi fungsional yang berpengaruh pada gaya hidup, waktu senggang,pekerjaan h) keputusasaan dan ketidakberdayaan i) kesulitan untuk makan j) nausea, vomitus k) sesak nafas l) nyeri dada m) ancaman pada konsep diri, citra diri b. Pemeriksaan Fisik 1) Aktivitas dan latihan a) Keterbatasan rentang gerak b) Deformitas c) Kontraktur 2) Nyeri dan kenyamanan a) Pembengkakan sendi b) Nyeri tekan c) Perubahan gaya berjalan/pincang d) Gerak otot melindungi yang sakit 3) Kardiovaskuler a) Fenomena raynoud b) Hipertensi

30

c) Edeme d) Pericardial friction rub e) Aritmia f) Murmur g) Nutrisi dan metabolic h) Lesi pada mulut i) Penurunan berat badan 4) Pola eliminasi a) Peningkatan pengeluaran urin b) Konstipasi /diare 2.

Diagnosa Keperawatan a. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubngan dengan gangguan aliran arteri atau vena c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas jantung d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. e. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit f. Kerusakkan

integritas

kulit

berhubungan

dengan

imunodefisiensi g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit 3.

Perencanaan Keperawatan a. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan 1) Tujuan : pola nafas kembali efektif 2) KH batas

: Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam normal,

Tidak

menggunakan

otot-otot

bantu

pernapasan, Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg,

31

nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C) 3) Intervensi Intervensi

rasional

Monitor kecepatan, ritme,

Untuk

mengetahui

kedalaman,dan usaha

keadekuatan pernapasan

pasien saat bernafas Monitor suara nafas seperti Mengetahui snoring

sumbatan pada jalan nafas

Posisikan

pasien

semi Untuk

fowler

memaksimalkan

potensial ventilasi

Berikan

HE

tentang Informasi

pengobatan : indikasi , membantu dosis,

adanya

frekuensi

kemungkinan

,

ini

dapat

pasien

dalam

dan mengonsumsi obat dengan efek aman dan benar

samping. Kolaborasi

dalam Meningkatkan ventilasi dan

pemberian terapi oksigen

asupan oksigen

b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran arteri atau vena 1) Tujuan : perfusi jaringan perifer efektif 2) KH

: Waktu pengisian kapiler < 3 detik, Tekanan sistol

dan diastol dalam rentang yang diharapkan, Tingkat kesadaran membaik 3) Intervensi Intervensi

rasional

Kaji secara komprehensif Sirkulasi sirkulasi perifer

perifer

menunjukkan

dapat tingkat

keparahan penyakit Monitor laboratorium ( Hb, Milai laboratorium dapat

32

hmt )

menunjukkan komposisi darah

evaluasi nadi perifer dan

Pulsasi

yang

edema

menimbulkan

lemah penurunan

kardiak output Ubah posisi pasien setiap 2 Mencegah jam

komplikasi

dekubitus

Dorong

latihan

ROM Menggerakkan

sebelum bedrest

otot

sendi agar tidak kaku

Kolaborasi pemberian anti Meminimalkan platelet

dan

atau

adanya

anti bekuan dalam darah

perdarahan

c. Penurunan curah jantung berhubungan kontraktilitas jantung 1) Tujuan

: curah jantung mengalami peningkatan

2) KH

:

Menunjukkan

curah

jantung

yang

memuaskan dibuktikan oleh efektifitas pompa jantung, status sirkulasi, perfusi jaringan, dan status TTV, Tidak ada edema paru, perifer, dan asites. 3) Intervensi intervensi

Rasional

Kaji suara nafas dan suara Data jantung

dasar

dalam

menentukan intervensi lebih lanjut

Ukur CVP pasien

Mengetahui kelebihan atau kekurangan cairan tubuh

Monitor aktivitas pasien

Mengurangi

kebutuhan

oksigen Monitor saturasi oksigen

Mengetahui

manifestasi

penurunan curah jantung Kolaborasi

pemberian Mengejan

33

dapat

laksatif

memperparah

penurunan

curah jantung

d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. 1) Tujuan : Nyeri dapat berkurang 2) KH

:

Ekspresi

wajah

klien

tidak

menunjukkan

ketegangan, klien tidak gelisah,klien dapat beristirahat, klien tidak mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi. 3) Intervensi Intervensi Lakukan

Rasional

pengkajian

komprehensif

yang

nyeri Untuk

mengetahui

meliputi tingkat nyeri pasien

lokasi,karakteristik,onset

atau

durasi,frekuensi,kualitas,intensitas atau beratnya nyeri dan factor pencetus. Observasi reaksi ketidaknyamanan Untuk secara nonverbal

mengetahui

tingkat

ketidak

nyamanan

yang

diirasakan

oleh

pasien Ajarkan cara penggunaan terapi Agar klien mampu non

farmakologi

(

distraksi, menggunakan

relaksasi)

teknik nonfarmakologi dalam memanajemen nyeri yang dirasakan

Berikan informasi tentang nyeri Pemberian termasuk penyebab nyeri,berapa dapat lama nyeri akan hilang, antisipasi tingkat terhadap

ketidaknyamanan

34

HE

mengurangi kecemasan

dari dan membantu klien

prosedur

dalam

membentuk

mekanisme koping terhadap rasa nyeri Kolaborasi pemberian analgetik

Pemberian analgetik

dapat

mengurangi

rasa

nyeri pasien

e. Resiko infeksi berhubungan dengan integritas kulit 1) Tujuan

: pasien dapat terhindar dari resiko infeksi

2) KH

: integritas kulit klien normal, temperature

kulit klien normal, tidak ada lesi pada kulit 3) Intervensi Intervensi Monitor

Rasional

karakteristik, Untuk mengetahui keadaan

warna, ukuran, cairan, dan luka dan perkembangannya bau luka Bersihkan

luka

normal salin

dengan Normal

salin

merupakan

cairan isotonis yang sesuai dengan cairan dalam tubuh

Ajarkan

klien

dan Memandirikan keluarga dan

keluarga untuk melakukan pasien perawatan luka Rawat

luka

dengan Agar tidak terjadi infeksi dan

konssep steril

terpapar oleh kuman atau bakteri

Gunakan

sabun

anti Mengurangi mikroba bakteri

mikroba untuk cuci tangan yang

dapat

menyebabkan

infeksi Berikan

penjelasan Agar

keluarga

pasien

kepada klien dan keluarga mengetahui tanda dan gejala

35

mengenai tanda dan gejala dari infeksi dari infeksi Kolaborasi

pemberian Pemberian antibiotic untuk

antibiotic f. Kerusakan

mencegah timbulnya infeksi integritas

kulit

berhubungan

dengan

imunodefisiensi 1) Tujuan : Mencegah terjadinya kerusakan pada kulit dan jaringan didalamnya 2) KH

: Tidak terdapat tekanan, tidak menunjukkan adanya

kelainan pada persendian 3) Intervensi Intervensi Monitor

kulit

memerah

dan

rasional yang Dengan memonitoring area terjadi kulit

kerusakan

terjadi

yang

merah

kerusakan

mengurangi

dan untuk resiko

dekubitus Mobilisasi klien setiap 2 Dengan memobilisasi klien jam

dapat

mengurangi

penekanan Lakukan perawatan kulit Untuk secara aseptic 2 kali sehari

meningkatkan

proses penyembuhan lesi kulit

serta

mencegah

terjadinys infeksi sekunder Berikan

pendidikan Meningkatkan pengetahuan

kesehatan kepada klien dan pasien keluarganya

tentang mengenai

pentingnya kebersihan luka

guna

dan

keluarganya pentingnya

menjaga menjaga kebersihan kulit kulit

sekitar serta supaya pasien lebih

mempercepat kooperatif

penyembuhan dan ajarkan teknik perawatannya

36

Kolaborasi pemberian Mempercepat NSAID dan kortikosteroid. penyembuhan

g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi tubuh ( kehamilan ),perubahan persepsi diri 1) Tujuan

: gangguan citra tubuh klien teratasi

2) KH

: Citra tubuh positif, Mendeskripisikan

secara faktual perubahan fungsi tubuh. Mempertahankan interaksi sosial 3) Intervensi Intervensi

Rasional

Monitor frekuensi kalimat Untuk yang mengkritik diri sendiri

seberapa

mengetahui besar

klien

mampu menerima keadaan dirinya Bantu

klien

untuk Untuk

meningkatkan

mengenali tindakan yang percaya diri klien akan

meningkatkan

penampilannya Anjurkan

kontak

mata Agar klien lebih percaya

dalam

berkomunikasi diri

dengan orang lain Gunakan

gambaran Mekanisme evaluasi dari

mengenai gambaran diri

37

persepsi citra diri

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN Berdasarkan

pembahasan

mengenai

Systemic

Lupus

Erythematosus (SLE) dapat disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan. Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T akan memperbaiki hasil induksi remisi.

38

More Documents from "Reka Riesta Ardiyanti"