4
Laporan Kasus
Sindrom Nefrotik Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
disusun oleh: Putri Indini 1607101030140 Pembimbing:
dr. Syafruddin Haris, Sp. A (K)
SMF/ BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA/ RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH 2017
5
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul “Sindrom Nefrotik”. Shalawat dan salam ke junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa perubahan besar diseluruh aspek kehidupan manusia salah satunya ilmu pengetahuan. Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Ucapan terima kasih dan penghormatan penulis sampaikan kepada dr. Syafruddin Haris, Sp. A(K) yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai. Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
Banda Aceh, 27 Desember 2017
Penulis
6
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................. 2 1.1. Identitas Pasien........................................................................................ 2 1.2. Anamnesis ............................................................................................... 2 1.3. Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 3 1.4. Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 8 1.5. Diagnosis ................................................................................................. 9 1.6. Terapi..................................................................................................... 9 1.7. Planning................................................................................................. 9 1.8. Prognosis............................................................................................... 10 1.9. Follow up harian........................................... ........................................ 10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3.1 Anatomi Ginjal ........................................................................................ 3.2. Fisiologi Ginjal ........................................................................................ 3.3 Sindrom Nefrotik..................................................................................... 3.3.1 Definisi........ ................................................................................... 3.3.2 Epidemiologi........ .......................................................................... 3.3.3 Etiologi........ ................................................................................... 3.3.4 Patofisiologi........ ........................................................................... 3.3.5 Diagnosis........ ................................................................................ 3.3.6 Penatalaksanaan........ .....................................................................
12 12 13 14 14 14 14 15 17 19
BAB IV ANALISA KASUS .............................................................................. 20 BAB V KESIMPULAN .................................................................................... 25 BAB V DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 26
1
BAB I PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika Serikat mencapai 2-7 kasus per 100.000 pada anak usia di bawah 16 tahun. Prevalensi kumulatifnya adalah 16 kasus per 100.000 anak. Kejadian sindrom nefrotik di Indonesia dilaporkan terdapat 6 per 100.000 anak per tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1.(1) Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun) adalah sindrom nefrotik primer yang mencapai 85%. Pada anak usia kurang dari 2 tahun, jenis sindrom
nefrotik berkaitan dengan sindrom
nefrotik kongenital, sedangkan anak usia lebih dari 14 tahun berkaitan dengan penyakit ginjal sekunder. (2) Manifestasi klinis dari sindrom nefrotik yang utama adalah protenuria. Pronteinuria akan menyebabkan manifestasi klinik lainnya, seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan manifestasi klinik selanjutnya yaitu edema yang akan berkaitan pula dengan kondisi berat badan anak dengan sindrom nefrotik tersebut. (3) Saat ini pengobatan yang telah ada untuk anak dengan SN dinilai belum maksimal dan masih terus dicari penatalaksanaan terbaik. Penatalaksanaan SN dengan menggunakan kortikosteroid dan diet standar sebenarnya telah dapat memperbaiki kondisi klinis penderita SN, termasuk kondisi proteinuria dan hipoalbuminemia. Namun, peningkatan kadar albumin yang dicapai memerlukan waktu selama 4 minggu, yang dalam rentang waktu pengobatan tersebut, penderita
SN
masih
dalam
keadaan
hipoalbuminemia.
Hal
ini
akan
mengakibatkan fungsi-fungsi vital yang diperankan oleh albumin dalam tubuh akan terganggu. Oleh karena itu selain terapi dengan steroid dan diet standar, diperlukan pula pemberian asupan protein tambahan untuk mempercepat peningkatan kadar albumin serum. (4)
2
BAB II LAPORAN KASUS 2.1. Identitas Pasien Nama
: Zulhilmi
Jenis Kelamin
: Laki-laki
No. CM
: 1-15-13-12
Tanggal Lahir
: 03 Juni 2006
Umur
: 11 tahun 5 bulan 19 hari
Suku
: Aceh
Agama
: Islam
Alamat
: Aceh Jaya
Tanggal Masuk RS
: 21 November 2017
Tanggal Pemeriksaan
: 23 November 2017
2.2. Anamnesis a. Keluhan Utama : Bengkak pada seluruh tubuh b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien rujukan Aceh Jaya dengan diagnose sindroma nefrotik + anemia. Pasien mulai mengalami bengkak sejak 5 tahun yang lalu namun tidak separah saat ini. Pasien selama ini rutin berobat ke dokter namun pasien lupa nama obat yang diberikan. Sejak 4 hari yang lalu, pasien mulai mengalami bengkak awalnya dibawah mata dan wajah lalu ke seluruh tubuh. Bengkak dirasakan bertambah berat. Demam sempat dialami pasien + 4 hari yang lalu namun saat ini sudah tidak lagi. Demam dirasakan tidak begitu tinggi, sehingga tidak diberi obat oleh keluarga pasien. Pasien mampu minum kurang lebih 600 cc/hari. Riwayat BAK berdarah, berpasir dan kemerahan tidak ada. Riwayat BAB cair tidak ada. c. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sudah menderita sindrom nefrotik sejak 5 tahun yang lalu. d. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
3
e. Riwayat Pemakaian Obat : Pasien sebelumnya sudah pernah mengkonsumsi obat untuk keluhan yang sama namun pasien lupa nama obatnya. f. Riwayat Tumbuh Kembang - Prenatal Selama hamil ibu pasien melakukan ANC teratur ke puskesmas. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus selama hamil disangkal. Riwayat perdarahan dan trauma saat hamil disangkal. - Natal Pasien merupakan anak pertama, lahir cukup bulan dengan usia gestasi 38 minggu dan pasien lahir tunggal secara pervaginam di bidan. Berat badan lahir 3000 gram. Saat lahir pasien segera menangis, riwayat badan dan ektremitas biru saat lahir disangkal. - Post natal Riwayat demam disangkal, riwayat kuning disangkal.
g. Riwayat Imunisasi Ibu pasien tidak mengetahui riwayat imunisasi pasien
h. Riwayat Pemberian Makanan : 0 – 6 bulan
: ASI
6 bulan – 2 tahun
: ASI + MPASI
2 tahun – sekarang
: Makanan keluarga
2.3. Pemeriksaan Fisik a. Vital Sign Keadaan umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: E4M6V5
Tekanan Darah
: 110/60 mmHg (Tf = 100-114/59-74)
Denyut nadi
: 84 x/menit
Frekuensi Napas
: 22 x/menit
Suhu tubuh (aksila)
: 36,80C
4
b. Data Antropometri Berat badan
: 41 kg
Tinggi badan
: 138 cm
Berat badan ideal
: 32 kg
LLA
: 19 cm
Height Age
: 10 tahun
c. Status Gizi BB/U
: 41/37 = 110 %
TB/U
: 138/146 = 94%
BB/BBI
: 41/32 = 128%
LILA/U
: 85 %
Kesan
: Gizi Kurang
5
146 cm 138 cm
41 kg 37 kg BBI 32 kg
10 tahun Gambar 1. Kurva CDC 2000 (anak laki-laki, 11 tahun 5 bulan 19 hari BB 41 kg , TB 138 cm)
Kebutuhan cairan
: 1500 ml + (Berat Badan – 20) x 20 ml = 1500 + 420 ml/hari = 1920 ml/hari
Kebutuhan Kalori
: kkal x BBI
6
= (44-55) kkal/kg x 32 kg = 1408-1760 kkal/hari Kebutuhan Protein
: 1,0 g/kgbb/ hari = 1,0 x 32 kg = 32 g/hari
d. Status Generalis Keadaan Umum
: Sakit sedang
Kulit Turgor
:
kembali cepat
Lesi
:
tidak dijumpai
Parut/skar
:
tidak dijumpai
Sianosis
:
tidak dijumpai
Ikterus
:
tidak dijumpai
Pucat
:
tidak dijumpai
Bentuk
:
Normocephali
Rambut
:
berwarna hitam, sulit dicabut, distribusi merata
Wajah
:
simetris, edema wajah (+), parese nervus facialis (-/-)
Mata
:
Edema palpebra (+/+), ptosis (-/-), konjungtiva palpebra
Kepala
inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3 mm/3 mm, mata cekung (-/-), RCL(+/+), RTCL (+/+) Telinga
:
Normotia, sekret (-/-),
Hidung
:
nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
:
bibir kering (-), mukosa bibir lembab (), sianosis (-),
Mulut Bibir
pucat (-) Lidah
:
granul (-), kotor (-), makroglosia (-)
Tonsil
:
T1/T1, hiperemis (-)
Faring
:
hiperemis (-)
7
Leher Trakea
:
Terletak ditengah
KGB
:
pembesaran KGB tidak dijumpai
Kelenjar tiroid :
tidak teraba pembesaran
TRM
:
kaku kuduk (-)
Inspeksi
:
simetris saat statis dan dinamis
Palpasi
:
nyeri tekan (-/-),
Auskultasi
:
suara napas dasar vesikular (/), suara napas tambahan
Paru
rhonki (-/-) dan wheezing (-/-) Jantung Inspeksi
:
Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi
:
Ictus cordis teraba ICS V midklavikula sinistra
Auskultasi
:
BJ I > BJ II, reguler, bising (-)
:
simetris, distensi (+), pelebaran vena (-), hernia
Abdomen Inspeksi
umbilicalis (-) Palpasi
:
soepel (+), nyeri tekan (-), defans muskular (-), undulasi (+), hepar, renal dan lien tidak teraba pembesaran, shifting dullnes (+), turgor cepat kembali
Auskultasi
:
peristaltik 3x/menit, kesan normal
Genitalia dan Anus Tidak diperiksa Ekstremitas Penilaian
: Superior
Inferior
Kanan
Kiri
Kanan
Kiri
Pucat
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
CRT
<2”
<2”
<2”
<2”
Sianosis
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Edema
Positif
Positif
Positif
Positif
Tonus otot
Normal
Normal
Normal
Normal
8
Atrofi
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
ROM
Normal
Normal
Normal
Normal
3.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Jenis Pemeriksaan
21/11/2017 24/11/2017
26/11/2017
28/11/2017
29/11/2017
Nilai normal
Darah Rutin Hemoglobin
9,1
12,7
14,0-17,0
Hematokrit
26
37
45-55
Eritrosit
3,1
4,5
4,7-6,1
Leukosit
21,7
13,5
4,5-10,5
Trombosit
514
588
150-450
MCV
82
81
80-100
MCH
29
28
27-31
MCHC
35
34
32-36
Hitung jenis
2/0/0/71/1
0/1/0/79/1
0-6/0-2/50-
E/B/NS/L/M
9/8
5/5
70/20-40/2-8
Kimia Klinik Protein Total Albumin
1,39
Globulin Glukosa Darah
3,71
3,78
1,71
2,50
2
1,28
6,4-8,3 2,67
3,5-5,2
125
< 200
32
13-43
Kreatinin
0,64
0,67-1,17
Natrium
128
133
135
132-146
Kalium
3,1
3,2
2,8
3,7-5,4
Klorida
102
103
104
98-106
Sewaktu Ureum
PRODIA
Kolesterol Total
17/11/2017
Nilai Rujukan
676
110-230
9
Albumin
3,8-5,4
1,1
Urinalisa Warna
Kuning
Kejernihan
Agak keruh
Berat jenis
1,015
1,003-1,035
6,5
4,5-8
Leukosit
25 (+1)
Negatif
Nitrit
Negatif
Negatif
Albumin
500 (+4)
Negatif
pH
Glukosa
Negatif (normal) Negatif (normal)
Keton
Negatif
Negatif
Urobilinogen
Normal
Normal
Bilirubin
Negatif
Negatif
Darah
150 (+4)
Negatif
2.4. Diagnosa Sindrom nefrotik + Anemia Normokrom Normositer + Gizi Kurang
2.5. Terapi - Tirah baring - IVFD Dextrose 5% 1000 cc/hari 14 gtt/i (mikro) - IV Ceftriaxon 1 gram/12 jam (skin test) - IV Furosemid 20 mg/8 jam - Drip albumin 20 % 150 cc selama 3 hari - Spironolakton 2x25 mg - Metilprednisolon 6-5-5 - Diet ginjal 2500 kkal + 41 gr protein - Parasetamol 1 tab (k/p)
2.6. Planning - Cek ulang albumin post koreksi
10
2.7. Prognosis Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanactionam
: dubia ad bonam
2.8. Follow Up Harian 1. 22 November 2017 Divisi nefrologi anak
Th/
S/ bengkak pada seluruh tubuh, susah - IVFD Dextrose 5% 1000 cc/hari 14 untuk bernafas
gtt/i (mikro)
O/ Kes: CM
- IV Ceftriaxon 1 gram/12 jam (skin
KU : sedang
test)
TD : 110/60 mmHg
- IV Furosemid 20 mg/8 jam
HR: 90x/I, kuat angkat
- Drip albumin 20 % 150 cc selama 3
RR: 18x/i
hari
T: 37,2 oC
- Spironolakton 2x25 mg
A/ Sindrom nefrotik + Anemia + Gizi - Metilprednisolon 6-5-5 kurang 2. 23 November 2017 Divisi nefrologi anak
Th/
S/ bengkak mulai berkurang, demam (-) - IVFD Dextrose 5% 1000 cc/hari 14 O/ Kes: CM
gtt/i (mikro)
KU : sedang
- IV Ceftriaxon 1 gram/12 jam (skin
TD : 120/90 mmHg
test)
HR: 84x/I, kuat angkat
- IV Furosemid 20 mg/8 jam
RR: 22x/i
- Drip albumin 20 % 150 cc selama 3
T: 36,8 oC
hari
A/ Sindrom nefrotik
- Spironolakton 2x25 mg - Metilprednisolon 6-5-5
11
3. 24 November 2017 Divisi nefrologi anak
Th/
S/ bengkak mulai berkurang, BAK - IVFD Dextrose 5% 1000 cc/hari 14 banyak, demam (-)
gtt/i (mikro)
O/ Kes: CM
- IV Ceftriaxon 1 gram/12 jam (skin
KU : sedang
test)
TD : 120/80 mmHg
- IV Furosemid 20 mg/8 jam
HR: 100x/I, kuat angkat
- Spironolakton 2x25 mg
RR: 20x/i
- Metilprednisolon 6-5-5 (IV)
T: 37,1 oC
- Diet ginjal 2500 kkal + 41 gr protein
A/ Sindrom nefrotik P/ Cek albumin post koreksi
12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Anatomi Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ saluran kemih yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Cekungan ini disebut hilus renalis, yang di dalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal, yaitu pembuluh darah, sistem limfatik, dan sistem saraf. (5) Secara anatomis, ginjal terbagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan medula ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan di dalamnya terdapat berjuta-juta nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Medula ginjal yang terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan hasil filtrasi berupa urin. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimal, Loop of Henle, tubulus kontortus distal, dan duktus koligentes. Darah yang membawa sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) di dalam glomerulus dan setelah sampai di tubulus ginjal beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan sisa zat metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh mengalami sekresi membentuk urin. Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mempu berkontraksi untuk mengalirkan urin hingga ke ureter. (6) Ginjal mendapakatkan suplai darah yang diperankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis dan vena renalis bermuara langsung ke dalam vena kava inferior. Vena dan arteri renalis keduanya membentuk pedikel ginjal. Arteri memasuki ginjal dan vena keluar dari ginjal di dalam area yang disebut hilus renalis. (6) Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum dan kemudian bercabangcabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuarta, arteri interlobularis, dan arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomerulus tempat sejumlah besar cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk pembentukan urin. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol eferen,
13
yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubulus yang mengelilingi tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh sistem vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh arteriol secara prorgesif untuk membentuk vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis, yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter. (7) Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis, yang seratnya berjalan bersama dengan arteri renalis. Input dari sistem simpatik menyebabkan vasokonstriksi yang menghambat aliran darah ke ginjal. Ginjal diduga tidak mendapat persarafan parasimpatik. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju kordalis spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. (6) 3.2. Fisiologi Ginjal Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting yaitu menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang melalui urin. Fungsi tersebut diantaranya: (7) 1. Mengontrol sekresi hormon aldosteron dan ADH (anti diuretic hormone) yang berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh. 2. Mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D. 3. Menghasilkan beberapa hormon antara lain: eritropoietin yang berperan dalam pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam mengatur tekanan darah, serta hormon prostaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme tubuh. Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi tidak difiltrasi. Kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian akan dieksresi. Setiap proses filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus diatur menurut kebutuhan tubuh. (7)
14
3.3. Sindrom Nefrotik 3.3.1. Definisi Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejalagejala sebagai berikut: (1) - Proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/m2 atau dipstik ≥ 2+) - Hipoalbuminemia <2,5 g/dL - Edema - Dapat disertai hiperkolesterolemia >200 mg/dL
3.3.2. Epidemiologi Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika Serikat mencapai 2-7 kasus per 100.000 pada anak usia di bawah 16 tahun. Prevalensi kumulatifnya adalah 16 kasus per 100.000 anak. Kejadian sindrom nefrotik di Indonesia dilaporkan terdapat 6 per 100.000 anak per tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1.(1) Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun) adalah sindrom nefrotik primer yang mencapai 85%. Pada anak usia kurang dari 2 tahun, jenis sindrom
nefrotik berkaitan dengan sindrom
nefrotik kongenital, sedangkan anak usia lebih dari 14 tahun berkaitan dengan penyakit ginjal sekunder. (2)
3.3.3. Etiologi Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigenantibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi: 1. Sindrom nefrotik kongenital Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus
15
namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. 2. Sindrom nefrotik sekunder Disebabkan oleh: - Malaria kuartana atau parasit lain. - Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid. - Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis. - Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa. - Amiloidosis,
penyakit
sel
sabit,
hiperprolinemia,
nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik. 3.
Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya ) Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis yaitu: sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonefritis proliferatif, dan glomerulonefritis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa, dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal. (2)
3.3.4. Patofisiologi Proteinuria Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik. Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk ke dalam proteinuria glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan sel endotel, membran basal glomerulus dan lapisan sel epitel (podosit). Pada keadaan normal, membran basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang tersebut terdiri dari ukuran molekul dan muatan listrik. Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut mengalami
16
gangguan. Sindrom nefrotik terutama disebabkan oleh injuri sel podosit dengan manifestasi proteinuria masif. Pada beberapa keadaan dapat berkembang menuju penyakit ginjal kronik. (5)
Hipoalbuminemia Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme
albumin
di
ginjal.
Pada
sindrom
nefrotik,
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin namun tidak berhasil mengatasi timbulnya hipoalbuminemia. (5)
Edema Edema pada sindroma nefrotik dijelaskan melalui teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium mengikuti hukum Starling dan terjadi edema. Akibatnya terjadilah hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem renin-angiotennsi sehingga terjadi retensi natrium dan air di tubulus distal. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular namun juga akan mengakibatkan eksaserbasi yaitu terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. (5) Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama renal. Pada keadaan proteinuria masif, enzim proteolitik memasuki lumen tubulus yang mengaktivasi kanal natrium epitel. Akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan renin-angiotensin dan vasopressin dan kecenderungan untuk terjadinya hipertensi dibandingkan hipotensi. Meningkatnya volume darah dan tekanan
17
onkotik yang rendah, memicu transudasi cairan ke ruang ekstraselular dan edema. (5)
Hiperlipidemia Respon hiperlipidemik pada sindrom nefrotik dicetuskan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma, serta derajat hiperlipidemia berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menurunnya tekanan onkotik. Peningkatan kadar kolesterol (>250 mg/100 ml) disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu juga ditemukan peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. (5) 3.3.5. Diagnosis a. Manifestasi Klinis Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang seringkali ditandai dengan : - Edema yang timbul pertama kali pada daerah sekitar mata dan ekstremitas bagian bawah. Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai tampak di daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra, skrotum, atau labia dan berkembang menjadi edema umum dan masif yang disebut anasarka. Edema bersifat pitting dan bergantung posisi tubuh sehingga tampak jelas di muka saat bangun pagi dan di tungkai pada siang hari. (3) - Seringkali dijumpai dengan gejala anokreksia, nyeri perut dan diare. Pada kasus lain dapat disertai hipertensi maupun hematuria gross. Asites sering ditemukan tanpa edema anasarka, terutama pada anak-anak dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan seperti efusi pleura. Bila tidak diobati, edema dapat menjadi anasarka sampai ke skrotum dan vulva. (1,3)
18
- Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskular yang berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin yang berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokostriktor lainnya sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal dan glomerulonefritis fokal segmental jarang ditemukan hipertensi yang menetap. (1)
b. Pemeriksaan Penunjang -
Proteinuria merupakan tanda utama pertama sindrom nefrotik kelainan minimal, bersifat selektif dengan rasio albumin/globulin urin tinggi. Menurut ISKDC, jumlah proteinuria yang konsisten dengan diagnosis sindrom nefrotik kelainan minimal yaitu > 40 mg/m2 /jam atau >50 mg/kg berat badan/hari atau uji dipstik – SSA >2+ . Bila ada mikrohematuria tidak menyingkirkan sindrom nefrotik karena dapat dijumpai pada 20- 30% anak pada onset awal penyakit tapi kemudian menghilang.
-
Hipoalbuminemia dengan kadar albumin serum <2.5 g/dL, merupakan tanda utama kedua. Kadar Hb dan hematokrit meningkat bila sudah terjadi hipoalbuminemia berat.
-
Hiperkolesterolemia dengan kadar >250 mg/dl biasanya ditemukan dan dapat menetap 1-3 bulan sesudah remisi. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat sedangkan HDL menurun atau normal.
-
Fungsi ginjal umumnya normal walaupun kadar kreatinin serum sedikit meningkat pada 25-30% kasus SNKM pada onset awal penyakit tapi normal kembali pada saat diuresis.
-
Komplemen C3 serum umumnya normal. (3)
-
Biopsi ginjal tidak dilakukan pada anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal karena 93.1-97% kasus sensitif terhadap steroid. Indikasi biopsi ginjal yaitu resisten steroid, umur anak <1 tahun atau >10 tahun pada saat onset penyakit atau sindrom nefrotik idiopatik dengan gejala klinis hematuria, hipertensi, dan azotemia persisten dan hipokomplemenemia. (3)
19
3.3.6. Penatalaksanaan a. Tatalaksana Umum Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut: -
Pengukuran berat badan dan tinggi badan
-
Pengukuran tekanan darah
-
Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik, purpura HenochSchonlein.
-
Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
-
Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT). (1)
b. Tatalaksana Kortikosteroid Terapi Inisial Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis 60mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2 LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten steroid. (1)
20
BAB IV ANALISA KASUS Pada kasus ini pasien merupakan seorang anak laki-laki berumur 11 tahun, didiagnosa dengan sindrom nefrotik. Menurut teori, sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Kejadian sindrom nefrotik di Indonesia dilaporkan terdapat 6 per 100.000 anak per tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun) adalah sindrom nefrotik primer yang mencapai 85%. (1) Pasien datang dengan keluhan bengkak di seluruh tubuh sejak 4 hari yang lalu. Pasien mulai mengalami bengkak awalnya dibawah mata dan wajah lalu ke seluruh tubuh. Bengkak dirasakan bertambah berat. Menurut teori, edema merupakan gejala klinis utama pada 95% anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal. Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai tampak di daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra, skrotum, atau labia dan berkembang menjadi edema umum dan masif yang disebut anasarka. Teori underfill menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium mengikuti hukum Starling dan terjadi edema.(5) Beberapa kondisi pada penderita sindrom nefrotik ditemukan meningkatnya volume dengan penekanan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron. Hal tersebut yang mendasari timbulnya konsep ini, retensi natrium renal dan air karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi ini yang mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraselular. Mekanisme ini dikenal dengan teori overfill.(5) Pasien mengalami demam yang dirasakan naik turun. Menurut teori, demam merupakan manifestasi klinis dari proses infeksi. Pasien dengan sindrom nefotik rentan terhadap infeksi. Pada edema, terdapat peningkatan tekanan hidrostatik di interstitium yang menyebabkan penurunan perfusi interstitium, sehingga mudah mengalami kerusakan kulit dan mengakibatkan infeksi. Infeksi yang sering terjadi pada sindrom nefrotik adalah selulitis, pneumonia, dan peritonitis. Infeksi virus
21
dapat menjadi serius pada sindrom nefrotik yang sedang mendapat kortikosteroid atau imunosupresan lain. Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus.(1) Dari hasil pemeriksaan laboratorium kimia darah didapatkan kadar albumin 1,39 g/dL dan kolesterol total 676 mg/dL. Berdasarkan teori, jumlah albumin ditentukan oleh proses sintesis oleh hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik. Pada sindrom nefrotik, hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hepar berusaha meningkatkan sintesis albumin namun tidak berhasil mengatasi timbulnya hipoalbuminemia.(5) Pada pasien sindrom nefrotik konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan sindrom walaupun rasio kolesterol HDL terhadap kolesterol tetap rendah. Seperti pada kondisi hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hepar, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin kondisi sekunder akibat hilangnya a- glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali.(5) Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin didapatkan kadar hemoglobin pasien rendah yaitu 9,1 gr/dL. Menurut teori, pasien sindrom nefrotik dapat mengalami anemia (jenis mikrositik hipokrom) karena protein banyak yang hilang bersamaan dengan urin sehingga jumlah protein pengikat transferin menurun. Selain itu, anemia pada sindrom nefrotik juga dapat diakibatkan oleh peningkatan volume vaskular (hemodilusi), tetapi pada beberapa kasus dengan kelainan minimal seringkali ditemukan hemokonsentrasi akibat hipovolemia (teori underfill).(8)
22
Pasien mendapat terapi suportif berupa pemberian diuretik yaitu furosemid intravena 20 mg/12 jam. Sindrom nefrotik yang memerlukan diuretik adalah sindrom nefrotik dengan edema, hipertensi, atau peningkatan berat badan bermakna. Diuretik dianggap sebagai dasar dari pengobatan untuk edema pada sindrom nefrotik karena dapat mencegah retensi natrium di ginjal. Namun, umumnya pasien sindrom nefrotik akan ditatalaksana sesuai dengan manifestasi gejala per individu. Furosemid merupakan loop diuretic yang bekerja secara reversibel dengan melekat pada situs pengikat klorida kotransporter Na+ Cl-K+ di membran sel luminal pada segmen tebal ansa henle. Kotransporter ini bertanggung jawab untuk transpor natrium dari saluran kemih ke dalam sel tubulus melalui perbedaan konsentrasi. Efek utama penutupan kotransporter ini adalah mengurangi reabsorbsi natrium sebanyak 20-30%, sehingga akhirnya terjadi diuresis. Furosemid juga berperan sebagai penghambat reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal melalui blokade karbonik anhidrase. Awitan kerja furosemid intravena adalah 5 menit dengan efek puncak dalam waktu 30 menit dan durasi kerja 2-6 jam. Pemberian furosemid intravena jauh lebih cepat awitan kerjanya dibanding pemberian secara oral, berkenaan dengan absorpsi di saluran cerna.(9) Pasien juga mendapat diuretic spironolakton 2 x 25 mg secara oral. Spironolakton merupakan suatu antagonis aldosterone yang bersaing dengan aldosterone untuk
mencapai
reseptor sitoplasma intraselular. Kompleks
sironolakton-reseptor bersifat inaktif, mencegah translokasi kompleks reseptor ke dalam inti dari sel target, dengan demikian tidak berikatan dengan DNA. Hal ini menyebabkan kegagalan untuk memproduksi enzim yang dalam keadaan normal disintesis sebagai jawaban atas aldosterone. Protein mediator ini dalam keadaan normal merangsang tempat pertukaran Na-K di tubulus renalis rektus. Jadi, kekurangan protein mediator mencegah reabsorpsi Na dank arena itu juga sekresi K dan H. Meskipun spironolakton memiliki efektivitas yang rendah dalam memobilisasi Na dari tubuh dibandingkan dengan obat-obat lain, namun obat ini memiliki sifat yang berguna dalam menyebabkan retensi K. oleh karena itu, spironolakton sering diberikan bersama tiazid atau ‘loop diuretic’ untuk mencegah ekskresi K yang akan terjadi dengan obat-obat ini. Spironolakton diabsorbsi
23
sempurna per oral dan terikat erat pada protein. Obat ini akan segera diubah menjadi suatu metabolit yang aktif, kankrenon. Efek spironolakton sebagian besar karena
efek
dari
kankrenon
yang
memiliki
aktivitas
menghambat
mineralokortikoid.(10) Pasien mendapatkan terapi antibiotik yaitu ceftriaxon intravena 1 gr/12 jam. Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang menyebutkan bahwa terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom nefrotik sehingga menyebabkan pasien SN mempunyai kerentanan terhadap infeksi. Apabila telah terbukti adanya komplikasi berupa infeksi perlu diberikan antibiotik. Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer. Penyebab tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus pneumoniae. Untuk pengobatannya diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama 10-14 hari. (1) Pada pasien mendapatkan drip albumin 20 % 150 cc selama 3 hari. Menurut teori, bila pemberian diuretic tidak berhasil yang biasanya terjadi karena hypovolemia atau hipoalbuminemia berat (< 1 g/dL) dapat diberikan infus albumin 20-25 % dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemide intravena 1-2 mg/kgbb. Bila diperlukan, suspense albumin dapat diberikan selang sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan.(1) Terapi spesifik pada pasien ini adalah pemberian metilprednisolon tab @4 mg (6-5-5) atau 64 mg/hari. Menurut teori, pada anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal relaps frekuen dapat digunakan beberapa pilihan pengobatan, yaitu: 1) Pilihan pertama: pengobatan reinduksi dengan prednison oral 2 mg/ kgBB atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg/hari) sampai remisi, dilanjutkan dengan pengobatan rumatan dengan prednison oral 1,5 mg/kg atau 40 mg/m2 setiap pagi selang sehari selama 4 minggu dan hentikan bertahap. 2) Pilihan kedua: pengobatan dengan prednison oral 60 mg/m2/hari atau 1,5 mg/kg berat badan /hari sampai remisi dan selanjutnya dosis dikurangi secara bertahap sampai dosis rendah 0,1-0.5 mg/kg setiap pagi selang sehari selama 3-6 bulan.
24
Bila timbul relaps dengan dosis prednison rendah selang sehari maka anak direinduksi sebagai relaps dan prednison diturunkan lagi bertahap sampai dosis rendah selang sehari. 3) Pilihan ketiga: pengobatan dengan prednison oral 40-60 mg/m2/hari sampai 4-5 hari bebas proteinuria; dilanjutkan dengan prednison oral setiap pagi selang sehari dan dosis diturunkan bertahap sampai 15-20 mg/m2 selama 12-18 bulan. 4) Pilihan keempat: Siklofosfamid 2–2,5 mg/kg/hari atau klorambusil 0,15–0,20 mg/kg/hari selama 8 minggu dapat dipertimbangkan pada kasus relaps frekuen dan kasus dengan gejala klinis toksisitas prednison atau levamisol 2,5 mg/ kg/hari selang sehari selama 6 - 12 bulan pernah dicoba pada anak dengan sindrom nefrotik kelainan mininal relaps frekuen. Efek samping dini jarang meliputi neutropenia, ruam, gangguan saluran cerna, dan kejang.(11)
25
BAB V KESIMPULAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak ditemukan pada anak dengan perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun) adalah sindrom nefrotik primer yang mencapai 85%. Pada anak usia kurang dari 2 tahun, jenis sindrom nefrotik berkaitan dengan sindrom nefrotik kongenital, sedangkan anak usia lebih dari 14 tahun berkaitan dengan penyakit ginjal sekunder, dengan keadaan klinis yang ditandai dengan gejala-gejala diantaranya: proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Penatalaksanaan sindrom nefrotik pada anak terdiri dari terapi suportif dan terapi spesifik. Terapi suportif bertujuan untuk mengatasi masing-masing gejala pada pasien, sedangkan terapi spesifik merupakan pemberian kortikosteroid bergantung pada batasan sindrom nefrotik. Pengobatan yang tidak adekuat berpotensi
membahayakan hidup anak karena infeksi sekunder dan dapat
menyebabkan tromboemboli, kelainan lipid, dan malnutrisi
26
DAFTAR PUSTAKA 1.
Alatas Hd. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. In Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012; Jakarta. p. 18.
2.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE. Nelson Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p. 18017.
3.
Nilawati. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2012 Desember; 14(4): p. 269-270.
4.
Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2004.p. 412.
5.
Lydia A, Maruhum B. Sindrom Nefrotik. In Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta: Interna Publishing; 2011. p. 2080.
6.
Purnomo BS. Dasar-Dasar Urologi Malang: Sagung Seto; 2011.
7.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Jakarta: EGC; 2008.
8.
Widjaja SL, Advani N, Tambunan T. Ketebalan Tunika Intima Media Arteri Karotis dan Fungsi Ventrikel serta Profil Lipid pada Anak dengan Sindrom Nefrotik Relaps Frekuen dan. Sari Pediatri. 2007 Desember; 9(4): p. 285-292.
9.
Utami MD, Tambunan T. Transfusi Albumin dan Furosemid pada Sindrom Nefrotik Anak dengan Edema. Sari Pediatri. 2017 April 498-503; 8(6).
10. Mycek, M. J., Harvey, R. A., Champe, P. C. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar, edisi 2. Jakarta: Penerbit Widya Medika 11. Albar H. Tata laksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal. Sari Pediatri. 2006 Juni; 8(1): p. 60-68.