Simalakama Tambang Pasir Merapi Liputan6.com, Sleman - September 2017 menjadi hari yang nahas bagi sebagian penambang pasir di Kali Bebeng, lereng Gunung Merapi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Jawa Tengah. Tebing setinggi 30 meter tiba-tiba ambruk dan menimbun para penambang yang sedang bekerja mencari butiran pasir lereng Gunung Merapi. Evakuasi berjalan sulit karena kondisi tebing yang labil. Delapan orang penambang tewas dan 8 lainnya mengalami luka-luka akibat tragedi ini. Gunung Merapi dengan ketinggian 3900 meter di atas permukaan laut ini, dinilai paling sering menunjukkan keaktifan kegiatan vulkanik. Letusan besar terakhir terjadi 2010 silam. Jutaan meter kubik material Gunung Merapi dimuntahkan dari perut bumi. Pasca letusan, material vulkanik faktanya memberikan berkah bagi masyarakat di lereng Merapi. Selain menyuburkan tanah, hasil erupsi juga memberi nilai ekonomi lebih bagi penambang pasir. Tak heran puluhan penambang tradisional beramai-ramai berburu rezeki dari lereng Gunung Merapi. Namun kini, penambang tradisional nampaknya mulai kalah saing dan cenderung tersingkir. Hadirnya para penambang pasir yang menggunakan alat berat, kerap memunculkan gesekan horizontal dengan penambang tradisional. Melimpahnya pasir lereng Gunung Merapi dimanfaatkan banyak kalangan. Tak hanya masyarakat kecil, para pebisnis pasir skala besar pun ikut andil. Setelah alat berat diturunkan untuk mengeruk pasir dalam-dalam dan merontokkan tebing-tebing curam secara besar-besaran. Akibatnya, peristiwa mengerikan terjadi di area penambangan pasir ini dan penuh risiko besar. Meski longsoran kerap terjadi, eksploitasi material besar-besaran tetap saja berlangsung meski mempertaruhkan nyawa. Secara kuantitas, penambangan alat berat memang lebih menguntungkan dibanding penambangan tradisional. Namun, kerusakan lahan pascatambang dalam jumlah besar memunculkan persoalan baru. Khususnya jika berbicara soal perubahan ekosistem yang terjadi. Kondisi ini diperparah dengan hilangnya debit air sumber irigasi pertanian warga.