MAKALAH SISTOHISTOPATOLOGI “LIMFOMA HODGKIN”
DISUSUN OLEH : NAMA
: MAHEZRA UMBU MANAJI NAPANG (20116021) JESUINA PAULA VICTOR (20116018)
PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK FAKULTAS SAINS TEKNNOLOGI DAN ANALISIS INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI 2018
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup system limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar system limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ lain. Dalam garis besar, limfoma dibagi dalam 4 bagian yaitu:
Table 1. klasifikasi limfoma
Limfoma Hodgkin (LH) Limfoma non Hodgkin (LNH) Histiositosis x Mycosis fungoides
Dalam praktek, yang dimaksud dengan limfoma adalah LH dan LNH, sedang Histiositosis x dan mycosis fungoides sangat jarang ditemukan. Di negara maju limfoma maligna relatif jarang yaitu kira-kira 2 % dari kanker yang ada. Akan tetapi, menurut laporan berbagai sentra patologi di Indonesia, tumor ini merupakan terbanyak setelah kanker serviks uteri, payudara dan kulit. Pada sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan radioterapi. Akhir-akhir ini angka tepat dan tersedianya kemoterapi dan radioterapi. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut dan jelas tentang limfoma Hodgkin (LH). (Tambunan W G Dr, Handojo M, et al.1995.) B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Limfoma Hodgkin? 2. Bagaimana penyebaran penyakit Limfoma Hodgkin? 3. Bagaimana patologi Limfoma Hodgkin? 4. Bagaimana patogenesis dari Limfoma Hodgkin? 5. Apa penyebab atau etiologi dari Limfoma Hodgkin? 6. Bagaimana gambaran klinis Limfoma Hodgkin? 7. Baaimana stadium penyakit Limfoma Hodgkin? 8. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosa penyakit Limfoma Hodgkin?
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Limfoma Hodgkin. 2. Untuk mengetahui penyebaran dari penyakit Limfoma Hodgkin. 3. Untuk mengetahui patologi Limfoma Hodgkin. 4. Untuk mengetahui patogenesis dari Limfoma Hodgkin. 5. Untuk mengetahui penyebab atau etiologi dari Limfoma Hodgkin. 6. Untuk mengetahui gambaran klinis Limfoma Hodgkin. 7. Untuk mengetahui stadium penyakit Limfoma Hodgkin. 8. Untuk mengetahui pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk mendiagnosa penyakit Limfoma Hodgkin.
BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Penyakit Hodgkin adalah keganasan system limforetikuler dan jaringan pendukungnya yang sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas. Ciri histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed – Steinberg atau variannya yang disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening (Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk.1996) B. Klasifikasi limpoma Hodgkin Tabel 2. klasifikasi limfoma Hodgkin. Limphocyte-predominan (LP) Mixed cellularity (MC) Lymphocyte-depletion (LD) Noduler-sclerosis (NS) Dalam manajemen penyakit ini identifikasi subtype histopatologi merupakan prosedur penting. Sebab ada kaitannya dengan terapi dan prognosis. Parameter identitas subtype lebih banyak pada kuantitas sel datia Reed-Steinberg, limfosit dan reaksi jaringan ikat (Tambunan W G Dr, Handojo M, et al 1995) C. Epidemiologi Angka kejadian Penyakit Hodgkin yang berdasarkan populasi di Indonesia belum ada. Pada KOPAPDI II di Surabaya tahun 1973 dilaporkan bahwa di bagian penyakit dalam RS. Dr.Sutomo Surabaya antara tahun 1963-1972 (9 tahun) telah dirawat 26.815 pasien, dimana 81 diantaranya adalah limfoma malignum dan 12 orang adalah penyakit Hodgkin. Pada KOPAPDI VIII tahun 1990 di Yogya dilaporkan bahwa selama 1 tahun di bagian penyakit dalam RSUP Dr. Sardjito dirawat 2246 pasien, 32 di antaranya adalah limfoma malignum dan semuanya adalah limfoma Hodgkin. Dari laporan-laporan tersebut di atas terlihat bahwa di Indonesia limfoma non-Hodgkin lebih banyak dari penyakit Hodgkin, dan pria selalu lebih banyak daripada wanita (Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk.1996) Pada limfoma non Hodgkin terdapat peningkatan insidensi yang linear seiring dengan usia. Sebaliknya, pada penyakit Hodgkin di Amerika Serikat dan di negara-negara barat yang telah berkembang, kurva insidensi spesifik umur berbentuk bimodal dengan puncak awal pada orang dewasa muda (15-35 tahun). Dan puncak kedua setelah 50 tahun. Penyakit Hodgkin lebih prevalen pada laki-laki dan bila kurva insidensi spesifik umur dibandingkan dengan distribusi jenis kelamin pasien, maka peningkatan prevalensi laki-laki lebih nyata pada dewasa muda. Pada penyakit Hodgkin anak, predominasi laki-laki ini lebih mencolok dengan lebih dari 80% pasien adalah laki-laki. Hal ini menyebabkan beberapa peneliti beranggapan bahwa terdapat peningkatan kerentan yang berhubungan dengan faktor genetik terkait seks dan hormonal (Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON 2000) D. Patologi
Penyakit Hodgkin merupakan suatu tumor ganas yang berhubungan erat dengan limfoma malignum. Oleh karena itu untuk membahas mengenai patologi dari penyakit Hodgkin ada baiknya kita mengetahui tentang klasifikasi dari penyakit-penyakit tersebut (Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor.1996) Klasifikasi patologis yang sering dipakai sekarang ini adalah menurut Lukas dan Butler sesuai keputusan symposium penyakit Hodgkin dan Ann Arbor. Menurut klasifikasi ini penyakit Hodgkin dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : 1. Tipe Lymphocyte Predominant Pada tipe ini gambaran patologis kelenjar getah bening terutama terdiri dari sel-sel limfosit yang dewasa, beberapa sel Reed-Sternberg. Biasanya didapatkan pada anak muda. Prognosisnya baik. 2. Tipe Mixed Cellularity Mempunyai gambaran patologis yang pleimorfik dengan sel plasma, eosinofil, neutrofil, limfosit dan banyak didapatkan sel Reed-Sternberg. Dan merupakan penyakit yang luas dan mengenai organ ekstranodul. Sering pula disertai gejala sistemik seperti demam, berat badan menurun dan berkeringat. Prognosisnya lebih buruk. 3. Tipe Lymphocyte Depleted Gambaran patologis mirip diffuse histiocytic lymphoma, sel Reed-Sternberg banyak sekali dan hanya ada sedikit sel jenis lain. Biasanya pada orang tua dan cenderung merupakan proses yang luas (agresif) dengan gejala sistemik. Prognosis buruk. 4. Tipe Nodular Sclerosis Kelenjar mengandung nodul-nodul yang dipisahkan oleh serat kolagen. Sering dilaporkan sel Reed-Sternberg yang atifik yang disebut sel Hodgkin. Sering didapatkan pada wanita muda / remaja. Sering menyerang kelenjar mediastinum.
Namun ada bentuk-bentuk yang tumpang tindih (campuran), misalnya golongan Nodular Sclerosis (NS) ada yang limfositnya banyak (Lymphocyte Predominant NS=LP-NS), ada yang limfositnya sedikit (Lymphocyte-Depleted NS=LD-NS) dan sebagainya. Demikian pula golongan Mixed Cellularity (MC), ada yang limfositnya banyak (LP-MC), ada yang sedikit (LD-MC) (Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk) Penyakit ini mula-mula terlokalisasi pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran di dalam system limfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebih kecil, abnormal, bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon.hipersensitivitas untuk hospes. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar ke jaringan non limfatik (Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I.1995) E. Patogenesis
Asal-usul penyakit Hodgkin tidak diketahui. Pada masa lalu, diyakini bahwa penyakit Hodgkin merupakan reaksi radang luar biasa (mungkin terhadap agen infeksi) yang berperilaku seperti neoplasma. Tetapi, kini secara luas diterima bahwa penyakit Hodgkin merupakan kelainan neoplasi dan bahwa sel Reed-Sternberg merupakan sel transformasi. Tetapi asal-usul sel Reed-Sternberg tetap menjadi teka-teki. Sel Reed-Sternberg tidak membawa penanda permukaan sel B atau T. Tidak seperti monosit, tidak memiliki komplemen dan reseptor Fc. Beberapa pengkaji telah menentukan berdasarkan dari penderita dengan jalur sel penyakit Hodgkin, yang agaknya berasal dari sel Reed-Sternberg (Diehl, V., et al.1982) Sel-sel yang mirip Reed-Sternberg dari perbenihan ini tampak menimbulkan antigen permukaan dengan sejumlah kecil sel “dendrit” pada daerah parafolikel nodus limfatik. Mungkin termasuk kelas antigen HLA II sel dendrit positif, yang aktif dalam pengenalan antigen oleh sel T ?. Berkurangnya kapasitas “memberitahukan” antigen berkaitan dengan transformasi neoplasi sel “dendritik”, mungkin menjelaskan adanya gangguan imunitas sel-T, yang begitu umum terjadi pada penyakit Hodgkin. Meskipun demikian, saran-saran tentang asal-usul sel Reed-Sternberg ini kini harus dianggap belum memadai, sampai ada bukti yang lebih meyakinkan. Diketahui bahwa sel Reed-Sternberg mewakili komponen maligna penyakit Hodgkin. Apakah yang menyebabkan transformasi ini ?. Selama bertahun-tahun etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diduga. Beberapa laporan telah menghubungkan infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dengan penyakit Hodgkin. Tetapi tidak ada rangkaian asam nukleat EBV pada sel RS yang dibiakkan, tidak mendukung peran EBV sebagai penyebab penyakit Hodgkin. Perhatian terhadap etiologi infeksi penyakit Hodgkin telah diperhatikan akibat laporan yang menunujukkan kemungkinan adanya suatu “pengelompokan” penyakit Hodgkin diantara pelajar sekolah menengah tertentu (Vianna, N. J, and Polan, A.K.1973) Tetapi penelitian lain telah gagal memastikan dugaan penyebaran horizontal penyakit Hodgkin (Gutensohn N, and Core, P.1980) Pada banyak pasien, penyakit terlokalisasi pada mulanya pada daerah limfonodus perifer tunggal dan perkembangan selanjutnya dengan penjalaran didalam system lmfatik. Mungkin bahwa sel Reed-Sternberg yang khas dan sel lebuh kecil, abnormal yang menyertai (sekarang diduga berasal dari histiosit) bersifat neoplastik dan mungkin bahwa sel radang yang terdapat bersamaan menunjukkan respon hipersensitivitas oleh hospes, manfaat yang menentukan pola evolusi. Pokok ini dibicarakan lebih lanjut pada klasifikasi histologis. Setelah tersimpan dalam limfonodus untuk jangka waktu yang bervariasi, perkembangan alamiah penyakit ini adalah menyebar untuk mengikutsertakan jaringan non-limfatik (Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I.1996) F. Etiologi
Banyak kemajuan telah dicapai dalam bidang biologi penyakit ini. Meskipun masih banyak yang belum mapan. Seperti pada keganasan yang lain penyebab penyakit Hodgkin ini multifaktorial dan belum jelas benar. Perubahan genetic, disregulasi gen-gen factor pertumbuhan, virus dan efek imunologis, semuanya dapat merupakan factor tumorigenik penyakit ini. Tentang asal usul sel datia Reed-Sternberg masih ada silang pendapat sampai sekarang. Kejangkitan limfoma Hodgkin ataupun limfoma non Hodgkin kemungkinan ada kaitannya dengan keluarga. Apabila salah satu anggota keluarga menderita limfoma Hodgkin, maka resiko anggota lain terjangkit tumor ini lebih besar dibanding dengan orang lain yang tidak termasuk keluarga itu. Pada orang hidup berkelompok insiden limfoma Hodgkin cenderung lebih banyak (Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk. 1996) G. Gambaran klinis (simtomatologi) Penyakit Hodgkin biasanya timbul sebagai penyakit local dan kemudian menyebar ke struktur limfoid didekatnya dan akhirnya meluas ke jaringan non limfoid dengan kemungkinan kematian pasien. Pasien penyakit Hodgkin umumnya datang dengan adanya massa atau kelompok kelenjar limfe yang padat, mudah digerakkan dan biasanya tidak nyeri tekan. Sekitar separuh pasien datang dengan adenopati di leher atau daerah supraklavikula dan lebih dari 70 persen pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superfisial. Karena kelenjar tersebut umumnya tidak nyeri, maka deteksi oleh pasien mungkin terlambat sampai kelenjar limfe cukup besar. Sekitar 60 persen pasien datang dengan adenopati mediastinum. Hal ini kadang-kadang pertama kali dideteksi pada pemeriksaan sinar-x toraks rutin. Kelenjar limfe yang terkena pada penyakit Hodgkin cenderung sentripetal atau aksial dan berlainan dengan yang terkena pada limfoma non Hodgkin yang memperlihatkan kecenderungan sentrifugal mengenai kelenjar limfe epitroklear, cincin waldeyer dan abdomen. Pada 2-5 persen pasien, kelenjar limfe atau jaringan lain yang terkena penyakit Hodgkin dapat tersa nyeri setelah minum minuman beralkohol. Pertumbuhan kelenjar limfe cukup bervariasi, beberapa lesi dapat menetap dalam jangka lama, sedangkan pada kelenjar yang lain terjadi regresi spontan dan temporer. Sebagian besar pasien penyakit Hodgkin tidak atau sedikit mengalami gejla yang berkaitan dengan penyakitnya. Gejala terssering adalah demam ringan yang mungkin disertai keringat malam. Untuk sebagian pasien, keringat malam mungkin merupakan satu-satunya keluhan. Beberapa pasien mungkin mengalami demam naik turun disertai banyak keringat malam (demam Pel-Epstein). Demam ini dapat menetap selama beberapa minggu, diikuti oleh interval afebris. Demam dan keringat malam lebih sering ditemukan pada pasien tua dan pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Gejala awal penting lainnya adalah penurunan berat badan lebih dari 10 persen dalam 6 bulan atau kurang tanpa sebab yang jelas. Gejala lain yang sering ditemukan adalah rasa lemah, malaise dan cepat lelah. Pruritus terdapat pada sekitar 10n persen pasien pada saat
diagnosis, gejala ini biasanya generalisata dan mungkin berkaitan dengan ruam kulit atau walaupun jarang merupakan satu-satunya gejala penyakit. Kelainan mediastinum, paru, pleura atau pericardium mungkin disertai batuk, nyeri dada, sesak napas atau osteoartropi hipertrofik, keterlibatan tulang mungkin disertai nyeri tulang. Kadang-kadng pasien datang dengan gejala sumbatan vena kava superior sebagai gejala awal. Kompresi mendadak korda spinalis dapat merupakan gejala awal tetapi biasanya merupakan penyulit penyakit progresif stadium lanjut. Nyeri kepala atau gangguan penglihatan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit Hodgkin intrakranium dan ketrlibatan abdomen menimbulkan nyeri abdomen, gangguan usus dan bahkan asites (Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al.HARRISON.2000)
H. Stadium penyakit Pada penyakit ini dibedakan 2 macam staging : 1. Clinical staging Staging dilakukan secara klinis saja tentang ada tidaknya kelainan organ tubuh. 2. Pathological staging. Penentuan stadium juga didukung dengan adanya kelainan histopatologis pada jaringan yang abnormal. Pathological staging ini dinyatakan pula pada hasil biopsi organ, yaitu : hepar, paru, sumsum tulang, kelenjar, limpa, pleura, tulang, kulit. Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi sesuai konferensi Cotswald (Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk.1996) Table 3. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald. Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer). Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu sisi diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan subskrip angka, misal : II2, II3, dsb. Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal. Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang tergolong E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).
A : bila tanpa gejala sistemik B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas sebabnya; penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap kombinasi dari 3 gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini. X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm untuk ukuran kelenjar). S : bila limpa (spleen) terkena.
Untuk menentukan luasnya penyakit diperlukan prosedur staging tertentu. Table 2. Prosedur yang diperlukan untuk menentukan tingkat (stadium) penyakit Hodgkin (Noer HMS, Waspadji S, Rachman A M, dkk.1996) I. Riwayat dan pemeriksaan : Identifikasi gejala-gejala sistemik II. Prosedur-prosedur radiologis : Foto dada biasa CT-Scan dada (bila foto dada abnormal) CT-Scan abdomen dan pelvis Limfografi bipedal III. Prosedur-prosedur hematologis : Darah lengkap dan hitung jenis LED
Aspirasi dan biopsy sumsum tulang IV. Prosedur biokimiawi Tes faal hati Serum albumin, LDH, Ca V. Prosedur untuk hal-hal khusus : Laparatomi (diagnostic dan staging) USG abdomen MRI Gallium scanning Technetium bone scan Scan hati dan limpa
I. Diagnosa klinis 1. Klinis (anamnesis) Keluhan penderita terbanyak adalah pembesaran kelenjar getah bening di leher, aksila ataupun lipatan paha, berat badan semakin menurun dan kadang-kadang disertai demam, keringat dan gatal 2. Pemeriksaan fisik Palpasi pembesaran kelenjar getah bening di leher terutama supraklavikular, aksiler dan inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar. Pemeriksaan THT perlu dilakukan untuk menentukan kemungkinan cincin waldeyer ikut terlibat. Apabila area ini terlihat perlu diperiksa gastrointestinal sebab sering terlihat bersama-sama (Isselbacher K J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON.2000) 3. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas penyakit. atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan. Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum (Hoffbrand A V, Pettit JE, Darmawan I.1996) 4. Sitologi biopsi aspirasi Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum. Penyulit lain dalam diagnosis sitologi biopsy aspirasi LH ataupun LNH adalah adanya negatif palsu dianjurkan melakukan biopsy aspirasi multiple hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi. 5. Histopatologi Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype histopatologi walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsy tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsy dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan 6. Radiologi Termasuk didalamnya : a. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal b. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca aortal c. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi. d. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan LH 7. Laporotomi Laparotomi abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi KGB pada iliaka para aotal dan mesenterium dengan tujuan menentukan stadium. Berkat kemajuan teknologi radiology misalnya USG dan CT Scan ditambah sitologi biopsy aspirasi jarum halus, tindakan laparotomi dapat dihindari atau sekurang-kurangnya diminimalisasi. J. Diagnosa banding Diagnosis banding serupa dengan yang dijelaskan untuk limfoma non Hodgkin pada pasien dengan limfadenopati di leher, infeksi misalnya faringitis bakteri atau virus, mononucleosis infeksiosa dan toksoplasmosis harus disingkirkan. Keganasan lain, misalnya limfoma non Hodgkin, kanker nasofaring dan kanker tiroid dapat menimbulkan adenopati leher local. Adenopati ketiak harus dibedakan dengan limfoma non Hodgkin dan kanker payudara. Adenopati mediastinum harus dibedakan dengan infeksi, sarkoid dan tumor lain. Pada pasien tua, diagnosis banding mencakup tumor paru dan mediastinum, terutama karsinoma sel kecil dan non sel kecil. Medistinitis reaktif dan adenopati hilus akibat histoplasmosis
dapat mirip dengan limfoma, karena penyakit tersebut timbul pada pasien asimtomatik. Penyakit abdomen primer dengan hepatomegali, splenomegali dan adenopati massif jarang ditemukan, dan penyakit neoplastik lain, terutama limfoma non Hodgkin harus disingkirkan dalam keadaan ini. K. Penatalaksana Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek: 1. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati. 2. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV) 3. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapi-kombinasi). Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat), kemoterapi kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan kemoterapi dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue (penyelamatan) aplasi system darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi tadi. (KDT + rPSC autologus). Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal) a. Radioterapi saja. Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi (kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma (dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap cukup kuratif. b. Kombinasi radioterapi + kemoterapi. Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi harus ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena ada kontraindikasi. Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif, sesudah kemoterapi. Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang menunjukkan tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum
yang besar. 2. B-symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4. histologinya bukan Lymphocytic predominant dan 5. Stadium ≥ III. c. Kemoterapi Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV saja, namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk tempat-tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya cukup tinggi. Banyak ahli Onkologi Medis memberi kemoterapi sebagai terapi utama sejak stadium II ditambah dengan radioterapi adjuvant pada bulky mass, dengan demikian keperluan staging laparotomy makin sedikit, bahkan tidak diperlukan lagi karena tindakan ini terlalu invasif, sedangkan hasilnya sama saja, namun masih ada silang pendapat terutama antara ahli radioterapi dengan ahli onkologi medis. Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan radioterapi mediastinum. Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat. Regimen yang menggunakan alkylating agent, misalnya : MOPP : -M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8 - O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8 - P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14 - P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila syarat.
memenuhi
Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP. Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800 mg/sqm i.v. hari ke 1,8 atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti dengan L + Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd p.o. hari ke1-14. Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja. A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14 B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14 V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14 (D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak cross resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai
MOPP dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPP-ABVD dst atau regimen hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun masih ada silang pendapat. L. Prognosa Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Penyakit ini dapat sembuh atau hidup lama dengan pengobatan meskipun tidak 100%. Tetapi oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan mendapatkan late complication makin besar. Late complication itu antara lain : 1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder 2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal 3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan pemberian antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related) 4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang juga dose related 5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan
BAB III PENUTUP Limfoma Hodgkin adalah kanker jaringan limfoid, biasanya kelenjar limfe dan limfa. Penyakit ini adalah salah satu kanker yang tersering dijumpai pada orang dewasa muda, terutama pria muda. Terdapat empat klasifikasi penyakit Hodgkin, berdasarkan sel yang terlibat dan apakah bentuk neoplasmanya nodular atau tidak. Dari penentuan stadium penyakit Hodgkin sangat perlu dilakukan, karena dapat memberi petunjuk mengenai pengobatan dan sangat mempengaruhi hasil akhir. Stadium-stadium awal penyakit Hodgkin, stadium I dan II, biasanya dapat disembuhkan. Angka kesembuhan untuk stadium III dan IV cenderung masing-masing adalah 75% dan 60%. Penyakit Hodgkin adalah suatu penyakit klonal, yang berasal dari suatu sel yang abnormal. Populasi sel abnormal tidak diketahui tetapi tampaknya berasal dari sel B atau T, atau suatu monosit. Sel-sel neoplastik pada penyakit Hodgkin disebut sel Reed-Steinberg. Sel-sel ini terselip diantara jaringan limfoid normal yang terdapat di organ-organ limfoid. (Elizabeth j. Corwin:135) Beberapa cara dan gaya hidup berikut dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup Anda yang mengalami penyakit ini. Di antaranya adalah dengan memulai kebiasaan hidup yang sehat, seperti menjaga pola makan sehat dan berimbang, menjaga berat badan mendekati angka ideal, berhenti merokok, dan rutin berolahraga. Ikuti pemeriksaan kesehatan yang dijadwalkan dan segera laporkan jika Anda menemukan gejala yang menandakan adanya kanker lain.
DAFTAR PUSTAKA Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, dkk. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi 3. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit FKUI, 1996. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2000. Tambunan W G Dr, Handojo M, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia. Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1995. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi (Essential Haematology). Edisi 2. Cetakan IV. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 1996. Diehl V, et al : Characteristic of Hodgkin’s disease derived cell lines cancer treat. Rep. 66: 615, 1982. Vianna N J, and Polan, A K : Epidemiologic evidence for transmission of Hodgkin’s disease N. Engl J. Med. 289-499, 1973. Gutensohn N, and Core, P. Epidemiologic of Hodgkin’s disease, Seamaoned 7 : 92, 1980.