Setahun Bpjs Kesehatan Beroperasi.docx

  • Uploaded by: Eka Breda Karelina
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Setahun Bpjs Kesehatan Beroperasi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 734
  • Pages: 2
Setahun BPJS Kesehatan beroperasi, potensi kecurangan (fraud) klaim semakin besar. Sebab, fasilitas kesehatan (faskes) yang menjadi provider BPJS kian banyak. Jumlah pasien juga terus bertambah. Modus rumah sakit untuk berlaku curang pun makin kreatif. ”Fraud sangat mungkin terjadi. Jadi, kami harus memastikan betul, tagihan rumah sakit memang rasional,” ujar Kepala BPJS Jatim Andi Afdal Abdullah, Selasa (10/2). Menurut dia, angka klaim yang dibayarkan BPJS Jatim hingga akhir tahun lalu memang fantastis. Yakni, Rp 5,7 triliun. Tagihan itu tidak luput dari potensi penyelewengan.Salah satu modus penyelewengan tersebut adalah upcoding. Yakni, rumah sakit menambahkan atau memperbesar paket klaim ke BPJS. Selama ini tarif layanan kesehatan se-Indonesia menggunakan Ina-CBGs (Indonesia Case Base Groups). Artinya, biaya paket penyakit tertentu di rumah sakit diseragamkan. Masalahnya, tarif tersebut sering lebih rendah daripada hitungan rumah sakit. Contohnya, tarif untuk sunat lebih mahal daripada operasi sectio caesar. Hal itu dinilai memicu rumah sakit secara sengaja menambahkan biaya tagihan ke BPJS. Modus lain adalah tagihan fiktif. Rumah sakit menagihkan biaya layanan kesehatan yang tidak diberikan kepada pasien. Contohnya, rumah sakit menagihkan pasien dengan penyakit biasa, namun disebut komplikasi. ”Ada pemeriksaan, ditentukan penyakit apa. Lalu oleh rumah sakit atau dokter, ditambahkan penyakit penyertanya. Padahal, tidak ada itu,” kata Andi. Modus selanjutnya, readmission atau memulangkan pasien, lalu memasukkannya lagi. Tujuannya, rumah sakit bisa mengajukan dobel tagihan. Andi mengatakan, hal itu paling sering terjadi. ”Misalnya, untuk pasien penyakit tertentu, tagihan sekali masuk Rp 5 juta. Dipulangkan dulu. Masuk lagi, Rp 5 juta lagi,” ungkap Andi. Tidak berhenti di situ, ada modus lain yang identik dengan fraud ’’kerah putih’’. Sebab, pelakunya adalah tenaga medis seperti dokter. Caranya, dokter menjual obat ke pasien di luar yang ditanggung BPJS. Padahal, obat setara sebenarnya sudah ditanggung lembaga jaminan kesehatan nasional itu. Misalnya, untuk pasien katarak, pasien ditawari lensa di luar tanggungan BPJS. Sang dokter menyebut, lensa itu lebih bagus daripada yang ditanggung BPJS. Modus tersebut selama ini berhasil menipu pasien. Andi mencontohkan fraud itu serupa dengan orang berjualan ponsel. Sang penjual memberikan harga tertentu kepada para pembeli yang tidak mengetahui harga asli peranti tersebut. ”Yang kulakan HP kan penjualnya. Pembeli percaya saja. Sama dengan itu. Pasien diminta percaya sama pilihan dokter. Kalau tidak pakai ini, nanti tidak sembuh. Pasien yang kena. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan pasien. Janganlah dokter berjualan seperti itu,” ungkapnya. Karena itu, korban pertama fraud adalah pasien. Pasien harus membayar lagi. Padahal, BPJS menjamin penuh semua pembiayaan. Selain itu, korban terbesar adalah pemerintah. Kerugian dialami pemerintah yang telah menanggung pembiayaan peserta BPJS dari penerima bantuan iuran (PBI) melalui APBD dan APBN. Menurut Andi, setiap peserta BPJS berhak mendapat fasilitas kesehatan yang layak. Mulai puskesmas, klinik, dokter keluarga, hingga rumah sakit. Dia berharap semua tenaga medis yang

memberi layanan kesehatan tidak menyalahgunakan kewenangannya. Rumah sakit juga tidak salah menagih. Menurut dia, dengan sistem BPJS, memang dokter tidak mendapat keuntungan sebesar sebelum program tersebut diluncurkan pemerintah. Namun, menurut dia, itu adalah tanggung jawab dokter. Sebab, pilihan menjadi dokter bukan untuk mencari keuntungan. Andi juga berharap para dokter menyadari bahwa dana yang dikeluarkan BPJS berasal dari masyarakat dan pemerintah. ”Jangan dimainkan. Kalau sengaja, bisa besar dampaknya,” ucapnya. Andi mengatakan menerima beberapa laporan formal terkait dengan penyelewengan klaim BPJS. Namun, laporan itu hingga kini belum ditindaklanjuti. Sebab, diperlukan bukti otentik adanya pelanggaran. Dia menyebut, diperlukan keterlibatan lembaga hukum. Yakni, KPK dan BPK. ”Selama ini belum ada yang sampai ke permukaan. Masih didalami,” ujarnya. Selain itu, penyelewengan tagihan tentu melambungkan biaya pelayanan kesehatan. Kecurangan dilakukan dokter untuk kepentingan pribadi. Karena itu, hal tersebut juga bisa mengarah pada tindakan memperkaya diri sendiri. Artinya, masuk ranah korupsi. Untuk mencegah fraud, BPJS Kesehatan menerapkan beberapa langkah. Di antaranya, meningkatkan kompetensi verifikator untuk mendeteksi dini fraud. Maklum, sejatinya setiap rumah sakit memiliki tim verifikator dari BPJS. Mereka yang bertugas langsung mengomunikasikan ke pihak rumah sakit jika ada indikasi tagihan yang irasional. Andi menyebut hal itu sebagai upaya penyelesaian masalah di tempat. Jika fraud berulang-ulang terjadi di rumah sakit yang sama, BPJS akan bertindak tegas. Yakni, tidak menjadikan fasilitas kesehatan tersebut sebagai provider BPJS. Bahkan, untuk dokter, bisa dicabut lisensinya. Andi menyatakan telah memperingatkan rumah sakit agar tidak berlaku curang. Sebab, uang BPJS adalah milik negara. Pelanggaran bisa masuk tindak pidana. ”Diingatkan terus-menerus. Sekarang yang mengaudit sudah bukan verifikator internal. Tapi, KPK,” ujar Andi. Kini dia juga ikut mendengar keluhan dari rumah sakit. Terutama terkait dengan dibutuhkannya revisi tarif Ina-CBGs. Hal itu juga dilakukan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan. ”Disesuaikan. Yang terlalu tinggi direndahkan. Yang terlalu murah dinaikkan,” tandasnya

Related Documents


More Documents from "Silvia Aritonang"