Seorang Istri Yang Mengeluh

  • Uploaded by: Indonesiana
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Seorang Istri Yang Mengeluh as PDF for free.

More details

  • Words: 510
  • Pages: 1
Seorang Istri yang Mengeluh Istriku, kaget juga ketika mendengar keluhanmu. Pertama karena sebagai istri, engkau sangat jarang mengeluh. Kedua, karena yang engkau keluhkan ternyata cuma sekadar kenaikan harga gas. Tapi kata "cuma" itu akhirnya harus aku buang jauh. Karena aku tahu sekarang, betapa serius persoalan yang tengah engkau keluhkan itu. Sungguh, ini bukan cuma soal ancaman bagi belanja harianmu, tapi juga sudah ancaman bagi kehormatan hukum di negaramu. Aku ceritakan kepadamu kejadian selengkapnya. Saat itu November 2000, saat harga gas masih Rp 2.100 per kilogram. Kata "masih" itu pun mestinya kurang perlu, karena harga itu pun sudah memancing protes. Pemimpin protes itu juga perempuan sepertimu, Lies Agung namanya. Ia menggugat Pertamina lewat prosedur bernama class action. Dan ia menang. Tapi tahukah kamu apa arti kemenangan hukum itu? Tak banyak, kalau malah boleh dibilang tak ada. Harga gas bukannya turun, tapi malah diam-diam naik lagi di hari lain dengan cara yang tak pernah kita duga. Hukum memang telah menang, tapi anehnya tak ada pihak yang mau dikalahkan. Anehnya lagi, pihak yang mestinya kalah itu masih mengaku menghormati hukum. Adakah pengakuan itu tidak mengganggu akal sehatmu? Bagaimana mungkin engkau percaya pada pihak yang mengaku memiliki rasa hormat tapi menganggap remeh keputusan si terhormat. Ada banyak sebutan untuk pihak yang tidak sepadan antara kata dan perbuatannya. Tapi ambil saja sebutan yang setidaknya masih sopan: bohong! Lalu lihat hasilnya: betapa memelas hukum kita yang bahkan di hadapan seorang pembohong pun tak berdaya. Pengakuan si kalah yang lain ialah ketika mereka mengaku rugi. Kenaikan itu mereka tempuh konon demi untuk menutup kerugian dan demi meningkatkan mutu pelayanan. Kita bersimpati untuk janji pelayanan itu, kita sampaikan duka cita yang dalam untuk kerugiannya. Tapi lepas dari soal simpati dan duka cita, betapa banyak sekarang ini pihak yang minta dipercayai cuma dengan modal pengakuan dan bukan bukti-bukti. Di hadapan mereka, kita sekadar dianggap segerombolan orang dungu sehingga tetap saja banyak orang tampil percaya diri meski tengah menjadi penipu. Tapi sudahlah, ayo belajar percaya dan selalu berprasangka baik pada sesama. Mari percaya bahwa kerugian itu memang ada walau kita tak pernah menengok pembukuannya. Persoalannya sekarang adalah bukan soal rugi lagi, tapi soal bagaimana cara kerugian itu tejadi. Bisa jadi karena mereka menjual gas kelewat murah kepada kita. Kalau benar, aduh, betapa terharu hati ini. Padahal bukan watak kita bahagia di atas derita sesama. Maka sudahlah, bubarkan saja pasar gas dan ayo kembali ke bahan bakar apa saja, asal tidak menimbulkan derita pihak lain. Walau keadaan ini bukan semata-mata kesalahan kita. Kita mengenal gas juga karena bujukan pabrik gas dan rayuan pembuat kompor gas. Kita dibuat tergantung dan kecanduan gas untuk kemudian didikte begitu rupa. Jadi boleh saja kita merasa dijebak. Sungguh mirip cara mereka dengan cara bandar narkoba menjerat mangsa. Lalu bagaimana jika kerugian itu datang dari kesalahan manajemen, pemborosan dan korupsi? Ya, begitulah selalu nasib kita. Orang lain yang salah dan jahat, tapi kita jugalah yang harus menanggung ongkosnya. Padahal tak ada jaminan bahwa kita mengeluarkan duit dengan rela. Padahal memakan duit dari orang yang tak rela dan teraniaya hanya akan menjadi bencana bagi perut mereka. (03) (PrieGS/)

Related Documents


More Documents from "Aunty alonso"

Teman Masa Kecilku
November 2019 40
Diplomasi Kopiah
November 2019 37
Buatan Indonesia
November 2019 53
Nasihat Dari Cd Porno
November 2019 40
Andai Aku Engkau Percayai
November 2019 43