Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X EKSISTENSI ARSITEKTUR TRADISIONAL KAILI DI ERA MODERN
Fuad Zubaidi Staf Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako
[email protected]
ABSTRAK
Arsitektur tradisional Kaili adalah ungkapan budaya dan merupakan hasil pikir dari sebuah renungan yang berhubungan dengan manusia, alam dan Yang Maha Kuasa, oleh karenanya arsitektur tradisional Kaili bersifat spiritual sekaligus keduniaan, yang dibuat secara individu ataupun komunal. Arsitektur tradisional Kaili dalam eksistensinya di era modern mendapat inspirasi dari alam,terlihat antara lain pada atap yang menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan serta berbagai macam ornamen di dinding yang mengekspresikan kehidupan religius. Sedangkan dinding dalam arsitektur modern, biasanya bukan dari bagian konstruksi yang mendukung atau menganut bagian bangunan lainnya, namun sematamata sebagai bidang penutup untuk melindungi dari pengaruh iklim dan cuaca. Arsitektur tradisional Kaili sebagai salah satu identitas dan pendukung kebudayaan di Sulawesi Tengah umumnya dan di kota Palu khususnya, merupakan endapan fenomena dan tidak luput dari proses pergeseran kebudayaan, sehingga secara revolusioner perkembangan sangat lamban. Sedangkan eksistensinya yang terkait tuntutan akan makna serta identitas. Agar tidak terjadi pergeseran nilai arsitektur tradisional Kaili, maka diperlukan usaha pembinaan dan pengembangan, yang ditekankan pada pengkajian mengenai nilai budaya yang berkaitan dengan arsitektur tradisional Kaili dan dilakukan secara terpadu dengan memahami proses perubahan. Kata Kunci : Arsitektur Tradisional , Kaili dan Identitas
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya suatu karya arsitektur adalah hasil dari pada usaha manusia menciptakan lingkungan yang utuh untuk menampung kebutuhan manusia bertempat tinggal, berusaha atau bersosial budaya. Arsitektur dalam presepsi budaya, terdapat dua hal pokok yang saling berkaitan yaitu arti dan fungsi dari arsitektur yang dihasilkan. Arsitektur harus bermakna positif, arti atau makna dari arsitektur sebagai benda budaya, konsep, pola dan wujudnya adalah interpretasi dan simbol-simbol emosi yang dapat ditemukan di dalam pikiran manusia yang memberikan tanggapan terhadap arsitektur. Sebuah bangunan dengan konsep tradisional misalnya, belum tentu dinilai dengan presepsi yang sama karena
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X bisa saja disebut sebagai ketinggalan zaman, dianggap anti modernisasi atau berarti lain. Arsitektur tradisional mendapat inspirasi dari alam. Pengaruh ini terlihat antara lain pada atap yang menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan serta berbagai macam ornamen di dinding yang mengekspresikan kehidupan religius. Sedangkan dinding dalam arsitektur modern, biasanya bukan dari bagian konstruksi yang mendukung atau menganut bagian bangunan lainnya, namun semata-mata sebagai bidang penutup untuk melindungi dari pengaruh iklim dan cuaca. Daerah Sulawesi Tengah memiliki berbagai bentuk arsitektur tradisional dan teknik pembuatannya beraneka ragam yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan dan letak geografisnya. Sebagai representasi dari arsitektur tradisional Sulawesi Tengah, Arsitektur tradisional Kaili sebagai salah satu contoh yang cukup dikenal. Daerah Kaili terletak di kota Palu sebagai Ibukota Sulawesi Tengah. Sebagai salah satu contoh arsitektur tradisional “ Kaili “ adalah rumah Souraja atau yang biasa juga disebut “ Banua Mbaso “. Banua Mbaso (Souraja) sebagai representasi arsitektur tradisional Kaili, merupakan rumah tradisional tempat tinggal para bangsawan, yang berdiam di pantai atau di kota. Kata Souraja dapat diartikan rumah besar, merupakan rumah kediaman tidak resmi dari manggan atau raja beserta keluarga-keluarganya. Secara keseluruhan, bangunan Souraja cukup unik dan artistik dilihat dari hiasannya berupa kaligrafi huruf Arab tertampang pada jalusi-jalusi pintu atau jendela, atau ukiran pada dinding, loteng, dibagian lonta-karavana, pinggiran cucuran atap, papanini, bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya. Namun kini dalam eksistensinya diera modern saat ini, sangat memprihatinkan, keunikan, budaya serta identitas arsitektur Tradisional kaili lambat laun mulai tergeser dan kehilangan identitas karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya mulai pupus selain itu nilai kesejarahan mulai terabaikan. Suatu proses panjang, identitas tidak dapat difabrikasikan pada suatu saat saja. Hasil fabrikasi semacam itu hanya akan menciptakan apa yang disebut dengan “Instant Culture” atau budaya dadakan. Yang perlu ditekankan adalah kegiatan melestarikan warisan arsitektur tradisional tidak semata-mata merupakan upaya statis dari kaca mata sosial budaya dan kesejahteraan semata-mata, melainkan harus dilihat sebagai upaya yang dinamis dengan memperhitungkan pula manfaat ekonomisnya. Konsep-konsep “Infill-Structure” dengan membangun karya arsitektur baru di lingkungan bersejarah agar bisa berdampingan secara serasi dan sekaligus memperkuat citra lingkungan yang sudah terbentuk, mesti dikembangkan. B. Permasalahan Fenomena yang terus berlangsung tersebut seharusnya dapat di tinjau dan di lakukan penelitian lebih lanjut . Bagaimana eksistensi arsitektur tradisional Kaili di era
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X modern saat ini dan bagaimana isu masalah arsitektur tradisional Kaili terkait masalah identitas dapat dicermati , hal ini menimbulkan beberapa pertanyaan yang perlu diteliti lebih lanjut : 1. Bagaimana eksistensi arsitektur tradisional Kaili di era modern saat ini, terkait masalah identitas dan budaya arsitektur Kaili. 2. Bagaimana karakter arsitektur tradisional Kaili dalam eksistensinya di era modern.
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Arsitektur Tradisional Pada hakikatnya suatu karya arsitektur adalah hasil dari pada usaha manusia menciptakan lingkungan yang utuh untuk menampung kebutuhan manusia bertempat tinggal, berusaha atau bersosial budaya. Budaya merupakan hal yang bersifat totalis kompleks dari gagasan-gagasan dan hal-hal yang dihasilkan oleh manusia di dalam pengalaman sejarahnya. Budaya menjadi pola pikir dan tindakan yang melandasi kegiatan manusia yang membedakannya dari manusia yang lain. Budaya juga dapat digambarkan sebagai cara manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dalam mencapai keinginan serta tujuannya. Dalam hal arsitektur, untuk memandang dengan presepsi budaya terdapat dua hal pokok yang saling berkaitan yaitu arti dan fungsi dari arsitektur yang dihasilkan. Arsitektur harus bermakna positif, arti atau makna dari arsitektur sebagai benda budaya, konsep, pola dan wujudnya adalah interpretasi dan simbol-simbol emosi yang dapat ditemukan di dalam pikiran manusia yang memberikan tanggapan terhadap arsitektur. Sebuah bangunan dengan konsep tradisional misalnya, belum tentu dinilai dengan presepsi yang sama karena bisa saja disebut sebagai ketinggalan zaman, dianggap anti modernisasi atau berarti lain. Arsitektur tradisional adalah ungkapan budaya dan merupakan hasil pikir dari sebuah renungan yang berhubungan dengan manusia, alam dan Yang Maha Kuasa, oleh karenanya arsitektur tradisional bersifat spiritual sekaligus keduniaan, yang dibuat secara individu ataupun komunal. Arsitektur tradisional sebagai salah satu identitas dan pendukung kebudayaan, merupakan endapan fenomena dan tidak luput dari proses pergeseran kebudayaan dalam suatu bangsa, sehingga secara revolusioner perkembangan sangat lamban. Sedangkan tuntutan akan makna serta identitas dari arsitektur tradisional semakin meningkat. Agar tidak terjadi pergeseran nilai arsitektur tradisional, maka diperlukan usaha pembinaan dan pengembangan arsitektur Indonesia, yang ditekankan pada pengkajian mengenai nilai budaya yang berkaitan dengan arsitektur tradisional Indonesia dan dilakukan secara terpadu dengan memahami proses perubahan, ( Eko Budiharjo, “Arsitektur sebagai Warisan Budaya”, djambatan, 1997 ).
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X B. Pengertian Arsitektur Tradisional Arsitektur tradisional terdiri dari : : - Seni Arsitektur mendirikan bangunan termasuk proses perancangan struktur dan menyangkut aspek dekorasi dan keindahan - Ungkapan fisik peninggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan waktu tertentu. : - Memegang teguh secara turun temurun tanpa Tradisional mengubah - Menerima kebiasaan sesuatu yang lama - Design with conscious to architectural style of past compare contemporary. Arsitektur yang bertradisional adalah arsitektur yang dibangun sesuai dengan kaidah-kaidah tradisional dan disebut arsitektur tradisional. Arsitektur tradisional adalah arsitektur yang berkembang secara turun temurun dan menyesuaikan diri dengan kondisi dan potensi alam sekitarnya. Tradisi mengandung arti kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang sama oleh beberapa generasi tanpa mengalami perubahan yang berarti. Dengan demikian arsitektur tradisional mempunyai pengertian : “Suatu bangunan berkembang secara turun temurun pada pertumbuhan suatu suku bangsa dengan pertimbangan aspek-aspek tradisi, ritual, religius dan menyesuaikan diri terhadap kondisi dan potensi yang ada di sekitarnya”. (Yulianto Sumalyo, “Arsitektur Modern”, Gajahmada Press, 1999). Oleh karena arsitektur tradisional sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek metafisik atau tidak nyata (spiritual dan religius) dan fisik (tradisi dan ritual). Adapun ciri-ciri arsitektur tradisional yaitu : a. Terbentuk oleh tradisi dan kebiasaan, dibangun berdasarkan intuisi, naluri dan kebiasaan, diwariskan secara turun temurun dari waktu ke waktu (impiris). b. Tradisi terbuka oleh ikatan/hubungan sosial dalam tempat tertentu dan dalam kurun waktu yang lama. c. Konsep, pola pemikiran atau budaya berpikir secara abstrak berdasarkan pada halhal yang bersifat ritual, spiritual, magis dan religius. d. Tidak mendasar pada teori-teori dan ilmu pengetahuan. e. Bahan dan proses pembangunan (konstruksi) langsung diambil dari alam, diolah secara sederhana, tanpa melibatkan banyak orang. f. Arsitektur tradisional cenderung menyatu dengan alam. g. Bukan bagian dari sejarah karena tidak diketahui kapan proses pembentukan dan perkembangan dan perubahan terjadi, namun bagian dan ilmu Antropologi. h. Mengalami perubahan yang lambat. i. Keseluruhan bangunan dan bagian-bagiannya termasuk dekorasi mempunyai fungsi yang majemuk antara lain fungsi sosial, spiritual dan simbol-simbol.
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X C. Arsitektur dan Arsitektur Tradisional Polemik, debat dan adu argumen tentang identitas nampaknya akan selalu terulang dan muncul kembali. Masyarakat negara berkembang khususnya yang pernah mengalami penjajahan seperti Indonesia, memang merasa muak dengan segala sesuatu yang berbau internasional yang dipaksakan untuk dianut dan dipakai, biarpun seringkali tidak cocok. Sudah terlalu lama negara maju memandang dunia ketiga dengan sebelah mata, dianggap dunia tidak beradab atau dunia tak dikenal. Kebudayaannya pun dinilai sebagai kebudayaan yang rendah, tidak bermutu, primitif dan berbagai predikat lainnya yang menyebabkan masyarakat menderita inferiority compleks akibatnya bisa diduga beramai-ramai kita menoleh ke negara maju. Suatu proses panjang, identitas tidak bisa difabrikasikan pada suatu saat saja. Hasil fabrikasi semacam itu hanya akan menciptakan apa yang disebut dengan “Instant Culture” atau budaya dadakan. Yang perlu ditekankan adalah kegiatan melestarikan warisan arsitektur tidak semata-mata merupakan upaya statis dari kaca mata sosial budaya dan kesejahteraan semata-mata, melainkan harus dilihat sebagai upaya yang dinamis dengan memperhitungkan pula manfaat ekonomisnya. Konsep-konsep “Infill-Structure” dengan membangun karya arsitektur baru di lingkungan bersejarah agar bisa berdampingan secara serasi dan sekaligus memperkuat citra lingkungan yang sudah terbentuk, mesti dikembangkan. Hal paling penting yang disumbangkan oleh arsitektur tradisional yaitu dalam hal pemikiran tentang tempat tinggal sebagai tempat berteduh yang merupakan awal mulanya arsitektur. Dengan kemajuan teknologi, arsitektur pun berkembang seperti sekarang. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti : a. Bahan, berupa : batu, kayu, timah dan pasir. Bahan itu hingga kini masih digunakan dan berkembang seiring dengan kemajuan bidang teknologi. b. Konstruksi, pada bangunan tradisional konstruksi yang sering digunakan pada tiang-tiang yang tinggi, dan hal ini masih digunakan pada bangunan dengan arsitektur modern. c. Bentuk, pada arsitektur tradisional selalu mencerminkan budaya dan kehidupan sosial manusia yang membuatnya. Bentuk dan wujud dari suatu bangunan selalu berorientasi pada sifat dan keinginan manusia yang hidup pada lingkungan tertentu. Arsitektur tradisional mendapat inspirasi dari alam. Pengaruh ini terlihat antara lain pada atap yang menjadi bagian terpenting dari sebuah bangunan serta berbagai macam ornamen di dinding yang mengekspresikan kehidupan religius. Sedangkan dinding dalam arsitektur modern, biasanya bukan dari bagian konstruksi yang mendukung atau menganut bagian bangunan lainnya, namun semata-mata sebagai bidang penutup untuk melindungi dari pengaruh iklim dan cuaca. Namun suatu yang menonjol dari arsitektur tradisional adalah adanya elemen horizontal dan vertikal yang menyatu satu sama lain, berfungsi selain menahan gaya, sedang bagian lainnya menstabilkan bangunan. Perpaduan antara kedua unsur
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X horizontal dan vertikal adalah ungkapan yang melambangkan integritas manusia dan alam. Jadi tidak benar bila dikatakan bahwa kegiatan studi dan penelitian yang menyangkut arsitektur tradisional tidak ada artinya dilihat dari segi ekonomi seperti peningkatan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja. Justeru sebaliknya, karyakarya arsitektur tradisional dan lingkungan kuno, bisa diinventariskan kemudian dijaga, dipelihara dan dilestarikan dengan baik, merupakan aset wisata yang sangat potensial. Kemungkinan besar akan timbul pertanyaan dari berbagai pihak tentang tolok ukur yang digunakan untuk mengkaji kelayakan suatu karya arsitektur tradisional guna dikonservasi. Ada beberapa tolok ukur yang dapat digambarkan yaitu : dari segi kelayakan (karya yang sangat langka, tidak dimiliki oleh daerah lain), kesejarahan (lokasi peristiwa bersejarah yang penting), estetika (memiliki keindahan bentuk, struktur dan ornamen), superlativitas (tertua, tertinggi dan terpanjang), kejamakan (karya yang tipikal, mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu) dan kualitas pengaruh (keberadaannya akan meningkatkan citra lingkungan).
EKSISTENSI ARISTEKTUR KAILI DI ERA MODERN A. Falsafah Arsitektur Tradisional Kaili Secara umum falsafah arsitektur tradisional merupakan pola pikir dan pola hidup tradisional yang selalu menghargai dan menjaga hubungan harmonis dengan alam. Masyarakat tradisional tidak hanya berpikir mikrokosmos atau dunia bawah, atau yang biasa disebut pola kehidupan horizontal, tetapi juga terhadap makrokosmos, dunia atas yang selalu berhubungan dengan sang pencipta Ilahi Rabbi. Arsitektur tradisional Kaili sebagai ungkapan budaya serta pola pikir merupakan hasil dari sebuah renungan, menyangkut kehidupan manusia dan penciptanya. Sehingga arsitektur tradisional Kaili bersifat spritual dan religius. Pada dasarnya, semua usaha dalam masyarakat tradisional mempunyai arti yang cukup luas. Setiap tindakan yang bersifat fisik ada hubungannya dengan kehidupan sesudah kehidupan di dunia. Kepekaan moral terjadi di dalam dialog diantara pekerjaan manusia dengan alam dan penciptanya. Arsitektur tradisional Kaili pada setiap detail, konstruksi dan struktur serta bagian lainnya mengandung arti perlambangan. Hal ini dapat dilihat dari fungsi bangunan tradisional Kaili yang bersifat spiritual dan religius yang selalu memadukan tiga unsur kehidupan : manusia, alam dan penciptanya. Falsafah dasar bentuk-bentuk bangunan tersebut beranjak dari tiga unsur tersebut yang mengejawantah dalam tiga bagian bangunan : yaitu bagian bawah (manusia), bagian tengah (alam), dan bagian atas (Ilahi Rabbi). Pada bagian bawah bangunan Kaili, baik itu rumah tinggal, tempat musyawarah, tempat ibadah, maupun tempat menyimpan mempunyai falsafah yang hampir sama
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X mempunyai bentuk tiang yang sama dengan pengalas batu alam dan semata-mata memakai “Loanga atau Pareva” yaitu balok-balok yang panjang dan lebar yang menggambarkan kekerabatan masyarakat tanah Kaili sangat erat. Selanjutnya mempunyai “Nepulanga” atau gelagar-gelagar yang sebaris menggambarkan kesatuan komando dari yang tertua. Setelah berdiri dipasang kayu “Patube” atau yang disebut juga dengan penopang supaya tiang-tiang berdiri tegak lurus dan tidak bergerak kemudian dimasukkan “Evanga Pareva” pada lubang tiang. Setelah itu dipasang pasak “Potanje” yang melambangkan ikatan yang erat antara sesama golongan stratifikasi masyarakat Kaili. Sedangkan untuk tangga dibuat dari lembaran-lembaran kayu keras, jumlah anak tangga harus ganjil berjumlah 9 buah dengan dasar pertimbangan demi keselamatan penghuni rumah di dalam dan merupakan suatu kepercayaan tersendiri pada saat memasuki ataupun keluar rumah. Bagian tengah bangunan, ada beberapa perbedaan bagian tengah antara ketiga jenis rumah dari suku Kaili. Masyarakat golongan menengah banyak dipengaruhi unsurunsur kebudayaan dan alam luar. Beberapa istilah yang digunakan oleh orang Kaili dalam hal yang bersangkutan dengan bangunan seperti : Ni tari palemba, gandaria, bangku-bangku, kataba, makoto dan lain-lain yang menunjukkan orang Kaili sangat terbuka memahami unsur-unsur kebudayaan lain dan juga unsur-unsur alam. Ni tari palemba atau No tari palemba maksudnya dibuat dalam bentuk rumah orang Palembang, gandaria adalah dinding setengah pada serambi depan yang dimaksudkan agar penghawaan alam lebih terasa sebagai interpretasi menyatu dengan alam. Bagian atas bangunan, rumah saja dan golongan bangsawan, rumah-rumah golongan orang menengah dan orang lapisan bawah mempunyai susunan dan alat-alat bagian atas yang sama satu sama lainnya, ini menggambarkan bahwa orang Kailimempunyai kepercayaan yang sama terhadap Sang Maha Pencipta. Yang berbeda hanyalah bentuk bagian-bagian tertentu saja. Kecuali rumah yang diikat yang disebut tinja kanjai atau saponiboke yaitu terdiri dari alat-alat atau bagian-bagian yang disebut “Buso Lavona” atau Buso Vavona”, “Polavo Vavona” atau “Polavo Bavona”, vumbu, kaso ganta, ulunavu, sovia, atau leleambalesu, pantodu voyo atau potusu vumbu, talea, porumpi balengga nu kaso, ree ata sendo, poungo panapiri, bangku-bangku, maha kota dan Ponoaka. B. Eksistensi Arsitektur Tradisional Kaili Kesinambungan antara masa lampau-masa kini dan masa depan, yang mengejawantah dalam karya-karya arsitektur setempat, merupakan faktor kunci dalam penumbuhan rasa harga diri, percaya diri dan jati diri atau identitas. Peninggalan sejarah di Indonesia khususnya dibidang bangunan yang nyata hampir tidak ada, kecuali beberapa alat rumah tangga. Tetapi dengan adanya kronika-kronika tertentu atau prasasti yang ada, dapat dibayangkan bagaimana nenek moyang kita membangunnya.
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X Salah satu benda itu adalah tempat tinggalnya. Dengan keahlian mereka mencoba untuk membuat bentuk, warna, tekstur yang mampu menyatu perasaan entah itu senang, takjub maupun takut. Karena pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menemukan dan menciptakan dunianya sendiri, memelihara dan selalu memperbaharuinya sehingga makin lama pengolahan itu semakin berkembang. Dengan sedikit keahlian pertukangan, pengetahuan membangun secara praktis dan spontan serta akal yang dipunyai, dapat memecahkan secara logis kebutuhankebutuhan hidup yang sangat dekat dengan alam. Hal ini yang melatar belakangi lahirnya Arsitektur Tradisional di Indonesia, seperti halnya Arsitektur Tradisional Kaili. Suku Kaili merupakan salah satu suku yang berada di wilayah Sulawesi Tengah. Suku Kaili merupakan suku yang mayoritas karena keanekaragaman budayanya dan bahasanya selain itu terdapat banyak peninggalan-peninggalan sejarah suku Kaili yang menjadi bukti perkembangan suku Kaili baik itu benda-benda seni, adat istiadat, maupun karya arsitektur tradisional Kaili. Secara umum karakter arsitektur tradisional Kaili mempunyai beberapa kemiripan dan ikatan benang merah dengan beberapa bangunan arsitektur tradisional di beberapa daerah seperti halnya : Bugis, Makassar dan Toraja. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa bentuk atap yang mirip, namun demikian arsitektur tradisional mempunyai karakter dan ciri khas yang cukup kuat dan beraneka ragam. Bangunan-bangunan tradisional suku Kaili berupa : rumah tinggal (Souraja/Banuambaso/Sapo Oge/Banua Magau, Katamba, Tinjai Kanjai), rumah tempat ibadah (Masigi), rumah tempat menyimpan (Gampiri), rumah tempat musyawarah (Baruga). Pada dasarnya empat nama rumah raja adalah sama artinya rumah besar atau rumah raja, akan tetapi istilah souroja menurut istilah tradisional Kaili kurang dikenal di daerah Tanah Kaili. Istilah souroja adalah istilah yang telah mendapat pengaruh Bugis Melayu, sedangkan banua mbaso atau banu magau adalah istilah Kaili dengan dialek “Ledo dan Sapo Oge”. Sedangkan untuk rumah tinggal yang lain didasarkan atas stratifikasi sosial penduduk Kaili pada waktu itu. Rumah Kataba yaitu rumah tinggal yang digunakan golongan menengah bangsawan, artinya “Kataba” berarti rumah papan yang terdiri dari bahan papan semuanya. Rumah “Tinja Kanjai” yaitu rumah untuk golongan rakyat biasa, “Tinja Kanjai” artinya rumah ikat. Rumah ibadah di Kaili disebut Masigi yang berarti Masjid yang menandakan mayoritas penduduk Kaili adalah pemeluk agama Islam. Rumah tempat musyawarah atau “Baruga” biasa juga disebut sebagai rumah adat tempat melakukan musyawarah atau melakukan beberapa pertemuan adat, yang biasa juga dipakai sebagai tempat penyelenggaraan pesta perkawinan dan sebagainya. Rumah tempat menyimpan / lumbung atau yang disebut dengan “Gampiri” yaitu bangunan yang berbentuk rumah panggung persegi empat memanjang. Bentuk
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X sederhana dan tidak mempunyai jendela yang digunakan untuk menyimpan padi pada saat panen. C. Perkembangan Sejarah dan Sosial Budaya Sejarah Perkembangan Suku Kaili Sejarah suku Kaili yang mendiami lembah Palu dan sekitarnya hanya diperoleh dari cerita-cerita rakyat. Awal mula sebelum agama Islam masuk dan menyebar di lembah Palu, ada yang disebut dengan “To Manuru”, orang yang turun dari kayangan, ada yang menjelma dari bambu kuning “Volo Mbulava”, dan ada pula yang menjelma dari batu putih, atau yang disebut “Nebete Ri Vatu Bula” pemimpin tersebut diangkat menjadi raja, karena kekuasaannya tiap kali dimana-dimana sehingga melahirkan turunan yang banyak. Turunannya inilah yang dikenal dengan bangsawan. Perkembangan penduduk selalu diikat oleh “Ada Nasibolai” : perkawinan antara sesamanya, sehingga terciptalah kekeluargaan yang semakin erat diantara sesamanya. Kita tidak heran dimana-mana suku Kaili selalu nampaknya akrab dalam pergaulan karena ikatan ikatan keluarga yang sangat erat. Pelapisan sosial suku Kaili mengenal empat tingkat yaitu, Maradika (raja), Totua Nu Ngata (bangsawan), To dea (orang kebanyakan), dan batua (budak). Maradika berasal dari keturunan To manuru ialah orang/penduduk yang masih merupakan keturunan raja. Dalam masyarakat orang bangsawan diangkat sebagai : Punggava, Galara (Menteri Kehakiman), Tadulako (Panglima Perang), Pabicara (Menteri Penerangan) dan Sabandara (Menteri Perhubungan). To Dea ialah anggota masyarakat yang tidak tergolong raja, bangsawan atau budak. Mereka adalah penduduk mayoritas dari suatu kelompok sosial. Adapun golongan Batua ialah orang-orang yang kalah dalam perang/tawanan perang, melanggar hukum adat, miskin atau turunan budak. Ada pula kepercayaan kepada kekuatan alam/gaib yang dapat menolak bala yang dibuat dalam upacara “Notula Bala (tolak bala bencana). Upacara religius sehubungan dengan permohonan, perlindungan dan pemujaan terhadap makhluk/roh halus atau To Manuru dilakukan melalui “Balia” (upacara religius). Ada empat macam Balia yaitu : a. Balia To Manuru, yang dilakukan orang banyak untuk memuja To Manuru sebagai pemilik kekuatan gaib. b. Balia Bene Moloso, yang dilaksanakan oleh raja bersama-sama seluruh rakyat. c. Balia Tampilangi, yaitu upacara yang diselenggarakan khusus kegiatan di bidang pertanian, misalnya membuka lading, sawah dan sebagainya. d. Balia Younda, khusus upacara penyembuhan penyakit. Meskipun penyelenggaraan balia-balia tersebut sudah jarang dilakukan oleh penduduk, pengaruhnya masih ada di masyarakat. Hingga agama Islam masuk ke Lembah Palu dan menjadi agama mayoritas suku Kaili, upacara-upacara pemujaan
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X otomatis ditinggalkan oleh penduduk dan stratifikasi sosial tak terlalu nampak lagi dalam kehidupan sosial budaya. Sosial Budaya Suku Kaili To Kaili atau orang Kaili memiliki berbagai macam karakteristik dalam kehidupan yang membudaya/bernilai budaya. Secara aktual dihargai sebagai perilaku sosial secara umum dalam kehidupan. Dengan kata lain apa yang dilakukan oleh orang Kaili, sehingga ia merasa sebagai orang Kaili (“To Kaili”). Tingkat perbuatan itu melekat pada diri pribadi, baik individu maupun sebagai warga masyarakat. Kehidupan kekerabatan tergambar pula pada hubungan kemasyarakatan, kekeluargaan yang dalam peristiwa-peristiwa perkawinan/pemilihan jodoh. Dengan demikian perilaku sosial tersebut terlihat dalam bangunan rumah (arsitektur) baik bentuk struktur, fungsi, ragam hias dan pembuatannya telah diwariskan secara turun temurun. Mereka secara gotong royong saling bantu membantu dalam membangun sebuah bangunan baik berfungsi sebagai rumah tinggal, rumah ibadah, tempat musyawarah dan rumah tempat menyimpan. Walaupun sekarang bentuk-bentuk rumah mereka yang berbeda-beda pula, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Namun kehidupan kekerabatan erat pada hubungan kemasyarakatan. Dari segi bahasa, bahasa adalah pementasan kebudayaan yang paling autentik. Bahasa menunjukkan bangsa, bangsa dalam arti identitas kelompok dengan citra tertentu, yang hampir selalu menyatakan diri “yang terbaik”. Bahasa Kaili untuk bahasa “To Kaili” yang dapat dipandang sebagai lingua france di Lembah Palu, pada hakikatnya tidak ada setiap sub etnik Kaili, memiliki dialek bahasa kelompok masing-masing yang tidak sedikit jumlahnya.
D. Perkembangan Bentuk Arsitektur Tradisional Kaili Perkembangan bentuk arsitektur tradisional Kaili,banyak mengalami perubahanperubahan yang sesuai dengan perkembangan peradaban dan sejalan dengan penerapan teknologi pada zamannya, yang ditandai dengan perubahan bentuk dan struktur serta konstruksinya. Pada umumnya dalam arsitektur tradisional Kaili, dikenal empat macam arsitektur, rumah dan tempat menyimpan, yaitu arsitektur rumah (Souraja, Kataba, Tinjai Kanjai), arsitektur tempat ibadah (Masigi), tempat musyawarah (Baruga), dan tempat menyimpan (Gampiri). Ledakan perkembangan teknologi pada zaman modern mempengaruhi perkembangan bentuk, struktur dan material yang digunakan namun senantiasa masih mempertimbangkan beberapa falsafah yang dianut dari aturan-aturan yang telah ada sebelumnya.
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X a. Rumah Tinggal Banua Mbaso (Souraja), atau Banua Magau
Gambar : Rumah Souraja (Banua Mbaso) Sumber : Koleksi pribadi penulis 2008
Banua Mbaso atau yang lebih dikenal dengan “Souraja” berbentuk rumah panggung yang didirikan di atas kayu balok persegi empat yang biasanya terbuat dari kayu-kayu keras. Ukuran Banua Mbaso yaitu 31,43 x 11,31 m. Atap pada umumnya berbentuk segi tiga. Pada bagian depan dan belakang ditutup dengan sebilah papan lebar yang dihiasi ukiran yang disebut dengan Panapiri, diatas Panapiri pada ujung depan dan belakang ditempatkan mahkota atau bangko-bangko yang berukir. Lantai dan dindingnya terbuat dari papan, sedangkan bagian-bagian lainnya seperti balok kasau, gelagar, dan balok pendukung menggunakan/balok pendukung menggunakan balok dengan kayu bayam dan kapur. Bangunan Banua Mbaso ini bentuk bagian-bagian atau ruangannya dibagi atas tiga, yaitu : “Lonta Karavana” atau ruang depan, “Lonta Tatagana” atau tengah, dan “Lonta Rarana” atau ruang belakang. Rumah Kataba Rumah tempat tinggal untuk golongan menengah, Kataba artinya papan atau rumah papan (semua bagian rumah terbuat dari papan). Tipe Kataba sama dengan tipe Banua Mbaso yaitu berbentuk rumah panggung yang ditopang dengan tiangtiang balok yang beralas batu. Atapnya terdiri dari atap rumbia. Ukuran Kataba lebih kecil dari Banua Mbaso yaitu 17 x 8 m. Induk rumah 10 x 8 m dan dapur 7 x 8 m. Bentuk lain dari Banua Mbaso, demikian pula susunan dan fungsi ruang.
Rumah Tinjai Kanjai Tinjai Kanjai adalah rumah sederhana yang tingginya ± 75 – 100 cm dari atas tanah. Tinjai Kanjai ini terdiri dari atas tiang-tiang kayu yang diikat, lantai bambu, dinding gaba-gaba yang diikat pula sedangkan atap menggunakan atap rumbia.
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X Ukurannya bermacam-macam tergantung kemauan pemiliknya dan jumlah keluarga yang tinggal. Biasanya rumah tinggal ini tidak besar hanya berukuran 5x4 – 5x6 m. Tinjai Kanjai terdiri dari kamar tidur, ruang makan sekaligus dapur, dan ruang tamu. Ruang tamu biasanya bersebelahan dengan kamar tidur dan di depan ruang makan biasanya terdapat kamar tidur kecil. Sedangkan dapur biasanya disambung agak menonjol keluar, sekitar 1,5 – 2x3 m. b. Rumah ibadah Agama yang pertama masuk di Sulawesi Tengah adalah Islam sehingga penduduk khususnya di Lembah Palu mayoritas beragama Islam. Rumah ibadah sebelum Islam masuk disebut Lobo atau tempat pemujaan, setelah Islam menjadi agama penduduk tempat ibadah menjadi “Masigi” yang artinya Masjid. Bangunan Masigi berbentuk persegi empat seperti lazimnya masjid di seluruh Indonesia. Ukuran bangunan pertama 21x21 m dan Mihrabnya 5x5 m. Masigi ini mempunyai Kuba yang tingginya ± 6 m dan ditopang oleh 4 buah tiang. Masigi mempunyai 3 pintu pada sisi bangunan. Tiang 4 buah sebagai penyangga kubah disebut tiang raja yang tingginya 10 m jarak antara tiang 7 m. Bagian atas terdiri dari 2 susun, susun pertama 15 cm dan susun kedua 21 cm. Mempunyai menara dua buah yang tingginya 11 m. c. Rumah tempat musyawarah Rumah tempat musyawarah dikenal dengan nama “Baruga” yaitu rumah panggung yang berbentuk segi empat memanjang. Ruang baruga adalah ruang terbuka tanpa kamar. Pada bagian depan ini diberi berlantai agak tinggi ± 0,5 m sebagai tempat kepala adat. Dindingnya dari papan dibuat hanya setinggi orang duduk. Atapnya dari rumbia bagian tengah sampai bagian belakang terdiri atas 3 bagian kiri dan kanan menghadap ke depan sebagai tempat duduk para peserta musyawarah atau masyarakat yang datang mengunjungi acara yang dilakukan. Bagian-bagian ini dibatasi dengan ruang kosong ditengahnya sebagai jalan pemisah. d. Rumah tempat menyimpan Di tanah Kaili, rumah tempat menyimpan disebut “Gampiri”. Gampiri adalah bangunan yang berbentuk rumah panggung persegi empat panjang. Bentuknya sederhana yang didirikan dengan menggunakan batang kelapa sebagai tiangnya. Tidak berjendela, hanya berpintu sebuah saja. Biasanya gampiri dilengkapi dengan lesung dan alu, sehingga kalau tiba saatnya menumbuk padi tidak jauh-jauh lagi dari lumbung. Dindingnya terbuat dari gaba-gaba, sedangkan atapnya terbuat dari rumbia. Ukuran gampiri bermacam-macam sesuai kemampuan pemiliknya akan tetapi umumnya 3x2 atau 3x3 m dengan tiang 4 buah atau 6 buah. Bentuk gampiri terdiri dari dua lantai. Antara lantai pertama dan lantai kedua jaraknya ± 1 m. Di
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X tengah-tengahnya keempat tiang di bawah lantai kedua terdapat kayu yang berdiameter ± 9 cm dan tebalnya 5 cm
Gambar : Tempat Menyimpan (Gampiri) Sumber : Koleksi pribadi penulis 2008
PENUTUP A. Kesimpulan Arsitektur tradisional Kaili sebagai salah satu cerminan budaya, sekurang-kurangnya mengandung nilai yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu pelestarian bangunan arsitektur Kaili mempunyai arti bukan sekadar memelihara bangunan dan informasi tentang nilai informasi tentang nilai budaya yang terkandung. Karya arsitektur Kaili merupakan pernyataan kreatif yang jujur dari interaksi kehidupan sosial kultural masyarakatnya, sebagai hasil penelaahan menerus. Pluralitas arsitektur yang dinamis, yang tidak bisa dilakukan dengan bentuk tertentu yang tunggal rupa, wajib dikembangkan dengan penuh kreatifitas dan inovasi baru. Jika melihat beberapa penjelasan dan analisis seperti sebelumnya, dapat dikatakan, bahwa peninggalan Arsitektural “To Kaili” merupakan sebuah karya arsitektur tradisional yang ada di Sulawesi Tengah Khususnya di Lembah Palu, karena memiliki beberapa karakteristik karya arsitektur tradisional antara lain : 1. Konsisten terhadap penggunaan model, walaupun terdapat beberapa variasi bentuk pada beberapa jenis bangunan tetapi tetap mempertahankan bentuk dan pola-pola dasar arsitektur Kaili. 2. Tingkat dan derajat klasifikasi sesuai dengan kultur dan budaya masyarakat Kaili, hal ini bisa dilihat dengan keragaman bentuk dan fungsi yang menjadi suatu akomodasi sosial dan budaya. 3. Bentuk denah, serta Morfologinya yang sangat spesifik dan memiliki berbagai macam variasi.
Diterbitkan pada:
Jurnal Inspirasi, Nomor VII , MKDU, UNTAD, Palu, 2009 ISSN : 1858-425X DAFTAR PUSTAKA
Budiharjo, Eko, 1997,“Arsitektur Sebagai Warisan Budaya”, Djambatan, Jakarta. Budiharjo, Eko, 1997, “Arsitektur dan Kota di Indonesia”, Alumni Bandung. C. Snyder. James, Catanese. Anthony, 1997 “Pengantar Arsitektur”, Erlangga, Jakarta. Fakultas Teknik UNTAD,1997, “Kompilasi Data Arsitektur Tradisional Kaili”, Jurusan Arsitektur UNTAD, Palu. Koentjaraningrat, 1995, “Sejarah dan Teori Antropologi”, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Mahmud. Zohrah, 1982, “Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi Tengah”, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, Palu. Mattulada. A,1986, “Modal Personality Orang Kaili”, Unversitas Tadulako Press, Palu. Sidartha, 1996, “Identitas Budaya dan Arsitektur Indonesia”, Alumni Bandung. Sumalyo. Yulianto, 1999, “Arsitektur Modern”, Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Turan. Mete, 1990 Vermont , USA.
“Vernacular Architecture”, Gower Publishing, Company Old,