1. SEJARAH MUNCULNYA ANGKATAN PUJANGGA BARU Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia. Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928. Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
Pertama : Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua : Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia. Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Pada masa Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane, memunculkan dua kelompok sastrawan yaitu : 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah 2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi. Majalah tersebut menjadi media pertemuan para penulis muda. Dalam dada para penulis muda hanya ada satu tekad dan modal, yaitu hasrat yang menyala-nyala (antusiasme). Pada tahun itu pula diedarkannya prospektus atau edaran tentang pendapat dan pendirian kesusastraan. Maka terbentuklah perkumpulan sastrawan muda yang menamakan dirinya Pujangga Baru. Pujangga Baru merupakan perjuangan untuk memajukan kesusastraan baru Indonesia sebagai Kader Kebudayaan Bangsa Indonesia, yang sesuai dengan jiwa baru bangsa Indonesia. Dengan lahirnya Pujangga Baru dimulailah kesusastraan Indonesia yang sebenarnya, dan kesusastraan Melayu di bumi Indonesia pun berakhirlah. Pujangga-pujangganya terdiri atas berbagai suku bangsa yang mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan, bahasa untuk melahirkan perasaan dan pikiran, menuju cita-cita yang luhur yaitu kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Semangat yang mendorong lahirnya Pujangga Baru ialah: Perasaan ingin bebas merdeka, tidak
terkungkung dalam melahirkan perasaan, kehendak, dan pendapat menurut gerak sukma dan jiwa masing-masing. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan. Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos. Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran. Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.
2. CIRI DAN KARAKTERISTIK KARYA SASTRA Secara keseluruhan, karya sastra pada masa Pujangga Baru, memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Dinamis 2. Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau romantik angkatan Siti Nurbaya bersifat pasif, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi. 3. Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari 4. Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri: Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatanikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait saja. Sajaksajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir Hamjah. Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula yang sematamata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis. Sedangkan pendapat lain, membedakan ciri karya sastra periode Angkatan Pujangga Baru menjadi dua aspek, yaitu ciri struktur estetik dan ciri ekstra estetik
. Ciri Struktur Estetik Bentuknya teratur rapi, simetris. Mempunyai persajakan akhir. Banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain. Sebagai besar puisi empat seuntai. Tiap-tiap barisnya terdiri atas dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaktis). Tiap gatranya pada umumnya terdiri atas dua kata. Pilihan katanya menggunakan kata-kata pujangga atau bahasa nan indah Gaya ekspresinya beraliran romantik. Gaya sajaknya diafan atau polos, tidak mempergunakan kata-kata kiasan yang bermakna ganda. Ciri Struktur Ekstra-estetik Masalahnya bersangkut-paut dengan kehidupan masyarakat kota, seperti masalah percintaan, masalah individu manusia, dan sebagainya. Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mengisi sajak-sajak Pujangga Baru. Ide keagamaan menonjol. Curahan perasaan atau curahan jiwa tampak kuat : kegembiraan, kesedihan, kekecewaan, dan sebgainya. Sifat didaktis masih tampak kuat. Dilihat kedua ciri struktur estetik dan ekstra estetik maka dapat diuraikan secara umum karaterisrik dari periode Angkatan Pujangga Baru. 1. Tema pokok ceritanya tidak lagi berkisar pada masalah adat, tetapi masalah kehidupan kota atau modern. Hal ini dapat kita ketahui pada karya Sanusi Pane yang bejudul “Manusia Baru”, pada karya Sutan Takdir Alisyabana yang berjudul “ Layar Berkembang” dan lain-lainnya. 2. Mengandung nafas kebangsaan atau unsur nasional. Hal ini terlihat dalam karyanya Asmara Hadi yan berjudul “ Dalam Lingkungan Kawat Berduri”, pada karya Selasih yang berjudul “Pengaruh Keadaan”, dan karya A. Hasmy kumpulan sajak berjudul “ Kawat Berduri”. 3. Memiliki kebebasan dalam menentukan bentuk dan isi. Adanya kebebasan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, kritik dan esai. 4. Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat, seperti kosa kata, kalimat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan baru dan hidup.
5. Romantik idealisme menjadi cirinya juga. Dalam melukiskan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, tetapi sering terasa berlebihan. 6. Pengaruh asing yang cukup kuat adalah negeri Belanda, yang kebetulan pada saat itu berkuasa di Indonesia. Pengarang-pengarang Belanda melakukan perubahan terhadap hasil karya pendahulunya, karena dirasakan sudah membeku. Hal seperti ini, dilakukan oleh pengarang Pujangga Baru terhadap beberapa hasil garapan pengarang Balai Pustaka. Dengan demikian, karakter sastra Pujangga Baru memiliki karakteristik yang berbeda dengan Balai Pustaka. 3. SASTRAWAN DAN KARYA SASTRA ANGKATAN PUJANGGA BARU Berikut adalah sastrawan-sastrawati yang sering dikenal karya sastranya pada masa angkatan Pujangga Baru : 1. Amir Hamzah Amir Hamzah dipandang sebagai penyair terbesar pada masa sebelum perang. Oleh karenanya H.B. Jassin menyebutkan sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Dua buah kumpulan puisinya yang terkenal adalah Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Sebenarnya puisi-puisi dalam Buah Rindu merupakan karya-karya pada awal kepenyairan Amir Hamzah, namun karena dipandang kurang memiliki kedalaman emosi, puisi-puisi tersebut diterbitkan kemudian. Puisi-puisi yang terkumpul dalam Nyanyi Sunyi lebih menunjukkan hasil karya permulaan dari penyairnya, ketika ia baru mencoba menciptakan puisi. 4. KEBIASAAN, ADAT, DAN ETIKA ANGKATAN PUJANGGA BARU Novel adalah karangan prosa yang panjang, yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Dibandingkan dengan roman, model penceritaan novel tidak begitu terperinci. Ciri khas novel yaitu adanya perubahan nasib tokoh yang diceritakan. Sejarah novel Indonesia diawali sekitar tahun 1920-an, dengan pengarang seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Sultan Takdir Alisjahbana, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Jamaluddin (Adinegoro), Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Sariamin (Selasih/Seleguri), Suman Hs. (Hasibuan), Tulis Sutan Sati, Mohammad Kasim, dan Aman Datuk Madjoindo. Novel Indonesia tahun 1920 sampai 1930-an termasuk dalam angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan sebuah komisi (Commissie voorchet volkslectuur) yang didirikan pada tanggal 14 September 1908. Tujuan pendirian Balai Pustaka adalah (1) memberi bacaan kepada rakyat untuk menyaingi penerbitan Cina, yang dianggap membahayakan pemerintah Belanda serta (2) memasukkan tujuan utama pihak penjajah ke dalam jiwa bangsa Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa syarat naskah yang masuk ke Balai Pustaka, yakni netral dari agama, tidak mengandung politik, dan tidak menyinggung kesusilaan. Untuk meningkatkan pemahaman tentang novel Indonesia tahun 1920 sampai 1930an berikut ini adat, kebiasaan, dan etika yang terdapat dalam beberapa novel angkatan Balai Pustaka. a. Adat Adat adalah suatu aturan/peraturan yang lazim diturut/dilakukan sesuai dengan situasi dan waktu tertentu. Adat diartikan sebagai hukum tak tertulis sehingga bersifat mengikat masyarakat penggunanya. Adat inilah yang akan menentukan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Jika tokoh mematuhi adat yang berlaku, maka ia dianggap tokoh yang baik dan layak
ditiru. Sebaliknya, jika ada tokoh yang menentang atau tidak taat adat biasanya akan dijauhi atau dihukum sesuai adat yang berlaku. b. Kebiasaan Kebiasaan merupakan budaya atau tradisi masyarakat yang turun-temurun dilakukan. Kebiasaan terkait latar belakang budaya dalam cerita. c. Etika Etika berkaitan dengan apa yang dianggap baik atau buruk, atau sopan-tidak sopan pada kebiasaan tokoh-tokoh ceritanya. Etika berkaitan dengan moral atau perilaku yang terpengaruh oleh adat dan kebiasaan. d. Bahasa Bahasa yang digunakan pada karya sastra Angkatan 20-an dipengaruhi oleh bahasa daerah. Penggunaan ungkapan dan perbandingan sebagai bentuk kiasan banyak dijumpai dalam karya sastra angkatan 20-an. 1. Novel Azab dan SengsaraAzab dan Sengsara adalah sebuah novel tahun 1920 yang ditulis oleh Merari Siregar dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit besar di Indonesia kala itu. Novel ini mengisahkan sepasang kekasih, Amiruddin dan Mariamin, yang tidak dibolehkan menikah dan menderita. Novel ini dianggap sebagai novel modern pertama dalam bahasa Indonesia. Adat dan kebiasaan yang bisa ditemukan pada novel "Azab dan Sengsara" sebagai berikut. 1. Menikahkan anak secara paksa (jodoh dipilihkan orang tua) Aminudin dijodohkan dengan wanita bukan pilihannya 2. Harta merupakan pertimbangan dalam menjodohkan anak Mariamin berasal dari keluarga kurang mampu maka ditolak oleh keluarga Aminudin. 3. Poligami (laki-laki dengan istri lebih dari satu) Kasibun mengku perjaka ternyata telah beristri, dan Mariamin dijadikan isteri kedua. 4. Budaya makan keluarga selalu dilakukan bersama-sama (lengkap; ayah, ibu, dan anak). Jika ada sesuatu hal yang di luar kebiasaan terjadi, maka anak diperbolehkan makan terlebih dahulu. Sementara istri harus tetap mengunggu suaminya. 5. Anak harus menurut perintah ibunya. Kutipannya sebagai berikut. Etika moral yang dapat kita temukan pada novel "Azab dan Sengsara" sebagai berikut. 1. Anak sangat berbakti kepada orang tuanya. Aminudin tak mencintai wanita pilihan orang tuanya namun tak berani menolak karena baktinya kepada orang tuanya. 2. Isteri sangat taat kepada suaminya. Meskipun Mariamin ditipu oleh Kasibun yang mengaku perjaka, ia tetap berbakti kepada suaminya. Kebiasaan yang bisa ditemukan pada novel "Azab dan Sengsara" sebagai berikut. 1. Telekomunkasi jarak jauh asih menggunakan surat atau telegram 2. Pernikahan dipandang dari bibit, bebet, dan bobot 3. Anak laki-laki biasanya pergi merantau untuk mencari pekerjaan 2. Novel Sengsara Membawa Nikmat Sengsara Membawa Nikmat merupakan judul sebuah novel karangan Tulis Sutan Sati yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1929. Dengan latar belakang adat budaya Minangkabau, novel ini berkisah tentang pengembaraan seorang tokoh utamanya yang bernama Midun. Gambaran pengembaraan yang diceritakan cukup realistis serta tidak terpaku di wilayah Sumatera saja namun juga sampai ke pulau Jawa.
Etika moral yang dapat kita temukan pada novel "Sengsara Membawa Nikmat" sebagai berikut. 1. Agama dijunjung tinggi(terutama Islam). 2. Kehidupan masyarakatnya bergotong royong 3. Penguasa sering semena-mena, bahkan berbuat kejam. Adat yang bisa ditemukan pada novel "Sengsara Membawa Nikmat" sebagai berikut. 1. Mengenai warisan, harta benda yang ditinggalkan oleh yang meninggal menjadi hak/diambil alih oleh keluarga asal bukan keluarga setelah menikah (Sumatra) 2. Aturan adat sangat ketat, dan bagi yang melanggar hukumannya berat 3. Penyerahan kekuasaan terhadap penerusnya dalam suatu daerah diserahkan oleh pemegang jabatan/kekuasaan sebelumnya
1. 2. 3. 4.
Kebiasaan yang bisa ditemukan pada novel "Sengsara Membawa Nikmat" sebagai berikut. Para pemuda memainkan permainan sepak raga (prmainan bola kaki) Masih jaman penjajahan Belanda Hampir semua pemuda di daerah tersebut mengenal ilmu bela diri Banyak penduduk yang tidak bisa membaca
3. Novel Salah Asuhan Salah Asuhan adalah sebuah novel Indonesia karya Abdoel Moeis yang diterbitkan tahun 1928 oleh Balai Pustaka. Novel yang kala itu terbit di Hindia Belanda ini sekarang telah dianggap sebagai salah satu karya sastra Indonesia modern awal terbaik sepanjang masa. Etika moral yang dapat kita temukan pada novel "Salah Asuhan" sebagai berikut. 1. Penolakan secara halus dan tidak menyakiti hati saat ada yang menyatakan perasaan. Bukti: Ketika Hanafi mengemukakan isi hatinya. 2. Belenggu Kebiasaan: Bukti: Sementara itu. walaupun mereka telah mengetahui bahwa Hanafi akan menikah dengan Corrie. Corrie menolak secara halus. 3. Meminta maaf apabila berbuat salah. Bukti: Maka ia meminta kepada istrinya supaya disediakan kain kafan pembungkus mayatnya. Adat yang bisa ditemukan pada novel "Salah Asuhan" sebagai berikut. 1. Dilarang menikah beda suku. Bukti: Corrie merasa tidak mungkin menjalin hubungan dengan Hanafi karena perbedaan budaya di antara mereka. 2. Sebagai seorang istri, sudah sewajarnya menunggu suami di rumah. 3. Seorang istri bagaimanapun juga harus bersikap hangat pada suami. Rapiah dan ibunya tetap menunggu kedatangan Hanafi di kampungnya.
1.
2. 3. 4.
Kebiasaan yang bisa ditemukan pada novel "Salah Asuhan" sebagai berikut. Hanafi: Bergaul dengan orang Eropa.Bukti: Selama di Betawi, Hanafi dititipkan pada keluarga Belanda,sehingga dia setiap hari dididik secara Belanda dan bergaul dengan orang-orang Belanda. Pergaulan Hanafi setamat HBS juga tidak terlepas dari lingkungan orang-orang Eropa. Corrie: Mengobrol bersama Hanafi.Bukti: Mereka suka mengobrol berdua. Rapiah: Menerima perlakuan suaminya dengan pasrah. Bukti: Namun, Rapiah tak pernah melawan dan semua perlakuan Hanafi diterimanya dengan pasrah. Ibu Hanafi: Memperhatikan Hanafi. Bukti: Walaupun ibu Hanafi hanyalah seorang janda, dia menginginkananaknya menjadi orang pandai. Karena itu, ia bermaksud menyekolahkan Hanafi setinggi-tingginya. Selama sakit, Hanafi banyak mendapatkan nasihat dari ibunya.