Sby Memimpin Rakyat Lapar Cina Makin Kaya

  • Uploaded by: dekadeka
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sby Memimpin Rakyat Lapar Cina Makin Kaya as PDF for free.

More details

  • Words: 963
  • Pages: 3
SBY memimpin rakyat Lapar cina Makin Kaya Adhari purnawan Apakah yang ada di benak kepala gubernur, anggota Dewan, bupati/wali kota, Apakah yang ada di benak kepala gubernur, anggota Dewan, bupati/wali kota, camat/lurah, rektor, aktivis LSM, tokoh parpol, ulama, intelektual, mahasiswa, dan saudara-saudara yang lain ketika membaca berita Lampung Post (Rabu, 2 Februari 2005) dengan judul mencolok, "Dalam Seminggu Empat Warga Tanggamus Bunuh Diri?" Tiga orang warga Lampung tersebut bunuh diri karena sakit akut dan satu anak umur belia kelas 6 SD karena dimarahi orangtuanya. Jangan-jangan di antara warga kelas terhormat Lampung bahkan tidak membaca! Sebenarnya, di balik berita tersebut, Lampung Post ingin mengatakan ini bukan semata-mata news (warta berita). Ini adalah gejala laten yang menyimpan persoalan besar yang tengah melanda bumi Tapis, tanah di mana kita meniti perjalanan hidup, makan dan minum air kehidupan, serta membesarkan anak-anak generasi masa depan. Mengapa dalam seminggu terjadi peristiwa bunuh diri berantai? Jika mau mengingat peristiwa serupa, ingatan kolektif kita akan merekam, pernah terjadi di Panjang seorang buruh gantung diri karena PHK. Suatu keluarga melakukan inses (kawin sedarah) antara ibu, anak laki-laki, dan saudara perempuannya. Angka kematian bayi lahir tinggi secara konsisten dan masih banyak lagi peristiwa tragis lainnya. Semua benar-benar terjadi di Lampung. Berdasarkan gambaran ini, jelas kasus bunuh diri berantai merupakan salah satu saja peristiwa yang tidak bisa dikategorikan sebagai problem individu. Bunuh diri berantai adalah problem sosial yang bersifat struktural. Oleh karena itu, ada kesalahan dengan tatanan sosial, terutama pada sumbernya yakni tatanan pemerintah (suprastruktur) yang memegang kekuasaan dan uang sebagai sumber daya pembangunan. Buku berjudul Suicide (bunuh diri), karya monumental bapak sosiologi klasik Emile Durkheim, merupakan hasil penelitian bertahun-tahun yang dimulai dengan pertanyaan sederhana, "mengapa orang bisa atau mampu bunuh diri?" Berbagai faktor penyebab bunuh diri diuji. Ditemukan bahwa bunuh diri adalah problem sosial karena individuindividu merasa terasing (anomi) dari lingkungan atau tepatnya tatanan sosialnya. Anomi bisa terjadi secara individu dan kolektif. Tatanan sosial telah menekan kehidupan individu sampai pada titik nadir--kehilangan kemanusiaannya. Individu kehilangan ikatan sosial dan terasing dari lingkungan sosial sekaligus dirinya sendiri. Individu telah kehilangan jati diri. Jadi individu kehilangan

pengalaman hidupnya yang bermakna (nomik). Akhirnya, solusi bagi individu yang anomi dari tatanan sosial adalah bunuh diri. 'Fallacy' Rezim APBD Sumber anomali tatanan sosial adalah tatanan pemerintah daerah. Sejak reformasi pemerintah daerah sudah diberi otonomi. DPRD memperoleh peran besar. Parpol, ormas, organisasi agama, atau masyarakat sudah menikmati ruang publik yang terbuka. Secara komprehensif dapat ditengarai akar masalah strukturalnya ada di APBD. APBD sudah menjadi rezim yang diperebutkan birokrasi pemerintah daerah, DPRD, orpol, ormas, perguruan tinggi, organisasi ekonomi, organisasi keagamaan, lembagalembaga, kelompok-kelompok masyarakat dan individu-individu. Singkatnya, dari lapisan paling bawah hingga lapisan paling atas saling berebut APBD. Hampir-hampir tidak ada yang tersisa bagi rakyat kebanyakan. Lalu, APBD dikuasai--untuk tidak mengatakan dikangkangi--institusi-institusi daerah termasuk DPRD-nya dan kelompokkelompok kecil status quo. Inilah wajah rezim APBD yang menafikan nasib orang banyak. Akibatnya, individu-individu masyarakat kebanyakan tidak hanya sekadar menjadi penonton, mereka terus-menerus terperosok makin dalam di lubang-lubang kemiskinan dengan kesendirian lepas dari ikatan-ikatan sosialnya. Kesendirian individu warga kebanyakan dipercepat menjadi fenomena anomi karena simpul-simpul ikatan sosial (tokoh-tokoh kunci) turut berebut APBD. Sudah jatuh ketimpa tangga, rakyat miskin kesulitan mengakses institusi-institusi formal bidang kesehatan, pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi. Inilah fallacy (kesalahan filsafat) rezim APBD. Pada masa perjuangan reformasi, dalam suatu diskusi Andy Arief menyatakan dengan lantang bahwa kesalahan rezim Orde Baru sudah mencapai sesat pikir (fallacy). Oleh sebab itu, sekali lagi, kondisi sekarang ini sudah mengarah berkembangnya, bahkan sudah terjadi sesat pikir dalam rezim APBD. Dalam praktek, setidak-tidaknya dapat digambarkan suatu fallacy rezim APBD secara sederhana dan mudah dilihat dengan mata telanjang. Setiap tahun anggaran APBD selalu terjadi redundansi atau pengulangan pos-pos mata anggaran belanja dinas-dinas. Dalam pos anggaran belanja daerah selalu terdapat mata anggaran perbaikan jalan, menutup lubang-lubang jalan raya, pembangunan gorong-gorong, trotoar, rehabilitasi siring jalan, pembatas jalan atau pola-pola yang sejenis. Semua jenis pembangunan yang bersifat ecek-ecek semacam ini selalu menjadi pola pikir menentukan mata anggaran pembangunan dinas-dinas daerah. Jargon-jargon pembangunan yang selalu digembargemborkan dipraktekkan dalam ritualisasi yang begitu-begitu saja. Hampir tidak pernah terpikirkan secara komprehensif membangun jalan raya yang sudah dipertimbangkan masak-masak akan memiliki kemampuan layak pakai selama satu periode pelita (pembangunan lima tahun). Lalu, pos-pos anggaran bisa dialihkan untuk konkretisasi pembangunan lain yang relevan untuk kepentingan rakyat banyak. Dari

tahun ke tahun, APBD selalu sama, hasilnya juga sama dengan kesalahan yang sama juga. Sesat pikir rezim APBD mencapai titik akut ketika tiba-tiba DPRD Lampung menyepakati dan mengeluarkan keputusan agar semua anggota Dewan tidak berbicara tentang APBD di media massa. Sebuah keputusan yang seratus delapan puluh derajat menyalahi hakikat Dewan sebagai representasi rakyat karena memotong dialog antara rakyat dan wakilnya. Spirit Kurban sebagai Solusi Dalam kacamata fenomenologis (sosiologi pengetahuan) penjelas dan pembenar bagi keseimbangan dan kesinambungan kehidupan sosial antara lain legenda, cerita rakyat, pengetahuan, lembaga-lembaga, dan yang terjauh, menurut penulis tertinggi, adalah agama. Agama sebagai legitimasi kehidupan sosial merupakan realitas sosial yang perlu dipahami sebagai nomik kehidupan yang penuh arti. Belum lama berlalu kita rayakan hari kurban. "Kurban adalah puncak iman seorang muslim," kata seorang pengurus masjid. Ukuran kurban adalah keikhlasan dan keutamaan. Belajar dari keikhlasan Ibrahim yang harus mengurbankan anaknya Ismail, jika boleh memilih, Ibrahim akan mengurbankan dirinya daripada anaknya. Nilai keutamaan diukur dari pemberian kurban atau domba yang terbaik. Selain itu, jika zakat diatur terperinci mekanisme pelaksanaannya, petunjuk dalam kurban bersifat umum, yaitu berikanlah sebagian daging dan darah kurbanmu kepada yang lain. Yang paling penting, kurban dilaksanakan bukan semata-mata "menerima" perintah Allah tetapi "mengambil" perintah Allah sebagai wujud kesadaran subjektif individu-individu yang melaksanakannya. Boleh jadi semua pejabat, tokoh parpol, ormas, agama, pendidik, dan warga mampu melaksanakan kurban. Apakah hari besar tersebut akan terlewati begitu saja atau menjadi biografi--individu dan sosial--yang menandai kurban sebagai wujud berkurban bagi sesama manusia. Oleh karena itu, spirit berkurban untuk kepentingan sosial sepatutnya menjadi kriteria bagi kebijakan daerah, pos-pos belanja daerah dan kinerja pemimpin. n

Related Documents


More Documents from "dekadeka"