SAFA’ Secara bahasa, safa’ berarti kesucian atau kemurnian. Dalam tasawuf, istilah ini menunjuk kepada kesucian hati dan tindakan dari segala sesuatu selain Allah. Sebagian ahli memandang, bahwa kata sufi berasal dari istilah safa’. Hal ini karena kaum sufi adalah orang-orang yang selalu menyucikan hati dan kehidupannya serta berupaya meningkatkan kualitas kehidupan ruhaniyahnya. Akan tetapi, dari sudut etimologi, istilah ini tidak tepat, sebab bila istilah sufi berasal dari kata safa’ (suci), bentuk yang tepat adalah safawi, bukan sufi. Meski demikian, sufi adalah hamba Allah yang jiwa, hati, ruh dan rahasianya telah disucikan dengan mengingat Allah, perjuangan spiritual (mujahadah), tulus, dan dengan rahmat-Nya, Hatinya telah menjadi tempat Allah. Sufi adalah orang-orang yang telah tersucikan, yang telah menempuh jalan spiritual dari diri rendah ke diri tinggi. Dia adalah lokus atau tempat manifestasi sempurna bagi Nama Serba-meliputi, yakni Allah. Hakikat kesufian adalah kemurnian (safa’) hati dan kebersihan tindakan. Bisyr ibn al-Harits (w. + 227 H/841/2 M) mengatakan, “Sufi adalah orang-orang yang hatinya tulus (safa’) terhadap Tuhan.” Bandar ibn al-Husayn (w. 353 H/965 M) berkata, “Sufi adalah orang dipilih Tuhan untuk diri-Nya sendiri, diberi kasih sayang yang tulus (safa’) dan dibebaskan dari yang bersifat jasmani, serta tidak diperkenankan berusaha melakukan segala yang meletihkan atas dalih apa pun.” Sahl ibn Abd Allah alTustari (w. 283 H/896 M) ketika ditanya tentang sufi, ia memberikan jawabannya, “Orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu merenung, yang terputus hubungannya dengan manusia lain demi mendekati Tuhan, dan yang dimatanya emas dan lumpur sama nilainya.” A-Junayd (W. 297 H/910 M) berkata, “Tasawuf adalah memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk-makhluk lain, meninggalkan sifatsifat alamiah, menekankan sifat-sifat manusiawi, menghindari godaan jasmani, mengambil sifat-sifat ruh, mengikatkan diri pada ilmu-ilmu tentang hakikat, mengumpulkan segala sesuatu untuk masa yang kekal, menasehati seluruh umat, sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan dan mengikuti sunnah Nabi SAW.” Dalam hal siapa sebenarnya sufi sejati, Jalal al-Din Rumi (w. 672 H/1273 M) dalam salah satu syairnya pernah bertutur, /”Apa yang membuat orang jadi sufi? Kesucian hati;/ Bukan gamis kumal yang berahi liar/ Mereka yang terikat dunia yang jahat mencuri namanya./ Di tengah tumpukan sampah, dia (sufi sejati) dapat melihat intisarinya:/ Tenteram dalam derita, girang dalam sengsara./ Hantu-hantu pengawal, yang menjaga dengan pentungan / Dan tirai perlindungan pintu gerbang istana keindahan, / Akan memberinya jalan, dan tanpa takut ia melangkah,/ Sambil memperlihatkan panah sang Raja, ia pun masuk ke dalam.” Nama sufi berlaku pada pria dan wanita yang telah menyucikan hatinya dengan mengingat Allah (dzikr Allah), menempuh jalan kembali kepada Allah, dan sampai pada pengetahuan Hakiki (ma’rifah). Hanya orang sadar yang mencari Allah semata yang pantas disebut sufi. Akan tetapi, orang yang pantas dengan sebutan atau gelar ini justru tak pernah memandang dirinya berhak beroleh kehormatan demikian. Karena dia telah sampai pada tingkatan tinggi dalam pengetahuan tentang Allah. Dia mengetahui dengan pasti dan yakin bahwa ‘Hamba tetaplah hamba, dan Tuhan tetaplah Tuhan.” Sang sufi adalah orang yang kembali pada ketiadaan dirinya sendiri dalam pengetahuan tentang Allah. Dia telah tiba ditempat ketiadaan, tempat “Allah berada, dan taka da sesuatu pun bersama-Nya.” Hamba seperti ini tidak memiliki (muflis) apa-apa selain Allah. Dia bukan sesuatu (la syay’). Dia hanyalah lokus manifestasi Allah. Dia “tidak memiliki” apapun dari dirinya sendiri, Dia sepenuhnya adalah milik Allah.