S1-2016-328811-introduction (1).pdf

  • Uploaded by: Deshee Husniati
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View S1-2016-328811-introduction (1).pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 4,119
  • Pages: 22
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kebijakan kesehatan adalah salah satu kebijakan strategis di setiap pemerintahan daerah. Bersama dengan pendidikan, kebijakan kesehatan merupakan salah satu elemen untuk mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dari kedua kebijakan ini lah, setiap daerah dapat dilihat telah atau belum melakukan pembangunan yang bermanfaat bagi warganya. Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di provinsi Jawa Tengah dengan luas mencapai 225.361 Ha atau 2.253,61 km2 (termasuk luas pulau Nusakambangan)1. Dengan jumlah penduduk pada akhir tahun 2013 sebanyak 1.768.502 jiwa yang terdiri dari 885.812 laki-laki dan 882.690 perempuan, Kabupaten Cilacap menempati urutan kedua dengan penduduk terbanyak di Jawa Tengah setelah Kabupaten Brebes. Isu kesehatan adalah isu penting bagi kabupaten kedua berpenduduk terbesar di Jawa Tengah ini. Persoalan dibidang kesehatan menjadi salah satu agenda prioritas bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap untuk segera diselesaikan. Karena tingkat atau derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator penting dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Rendahnya derajat kesehatan masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, seperti kemiskinan dan tidak tersedianya fasilitas atau pusat layanan kesehatan

1

Laporan Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten Cilacap Tahun 2014. Hal. 11.

1

masyarakat. Hal ini banyak terjadi di wilayah pedesaan yang letaknya jauh dari pusat keramaian atau bisa dikatakan pedalaman, sehingga akses untuk menjangkau fasilitas tersebut sangat sulit. Jikalau fasilitas kesehatan seperti Puskesmas telah tersedia, kendala lain yang muncul adalah belum lengkapnya sarana dan prasarana di Puskesmas tersebut. Sehingga pilihannya adalah masyarakat pergi ke Rumah Sakit di kota yang jaraknya sangat jauh untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan yang lebih lengkap, berobat di Puskesmas dengan fasilitas yang seadanya atau lebih memilih pengobatan di rumah. Persoalan dibidang kesehatan juga mencakup tentang kesehatan ibu dan bayi. Pada akhir tahun 2013 jumlah kasus kematian ibu di Kabupaten Cilacap sebanyak 34 kasus dan 325 kasus untuk jumlah kematian bayi2. Fakta tersebut menempatkan Kabupaten Cilacap pada posisi ke-4 dengan kasus kematian ibu tertinggi se-Jawa Tengah3. Tingginya jumlah tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang menyebabkan kematian pada ibu melahirkan salah satunya adalah kurangnya intensitas pemeriksaan kehamilan yang dilakukan sang ibu, dan penyakit yang diderita ibu sebelum kehamilan seperti penyakit jantung. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar sang ibu seperti kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung, termasuk jumlah dan kualitas tenaga medis yang membantu proses persalinan.

2Ibid

Lakip Kabupaten Cilacap tahun 2014. Hal. 50-51. RPJMD Kabupaten Cilacap Tahun 2012-2017. Bab IV.

3

2

Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival merupakan program kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan United States Agency for International Development (USAID). Program EMAS dilaksanakan selama 5 tahun, sejak akhir tahun 2011 hingga 2016. Program tersebut bertujuan untuk mengurangi angka kematian ibu dan bayi di Indonesia, khususnya di enam provinsi dengan jumlah kasus kematian ibu melahirkan dan bayi tinggi. Enam provinsi tersebut adalah Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah (termasuk DIY), Jawa Timur dan Sulawesi Selatan4. Untuk mencapai tujuannya, program EMAS dilaksanakan melalui tiga bidang intervensi yakni intervensi dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, perbaikan sistem rujukan dan peningkatan akuntabilitas. Di Jawa Tengah (dan DIY), program EMAS dilaksanakan di tujuh kabupaten dan tiga kota secara bertahap. Tahap pertama di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tegal. Tahap kedua di Kabupaten Brebes, Cilacap, Kota Semarang, Tegal, Gombong dan Yogyakarta. Sedangkan tahap ketiga di Kabupaten Grobogan, Pekalongan dan Kota Pekalongan. Di Kabupaten Cilacap, program EMAS dilaksanakan sejak awal tahun 2014 dan berakhir pada tahun 2016. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa tingkat kematian ibu dan bayi di Kabupaten Cilacap masih sangat tinggi. Angka tersebut mungkin akan terus meningkat jika tidak ada penanganan serius dari Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap. Program EMAS di Kabupaten Cilacap dicanangkan sejak bulan September tahun 2013 dan bekerjasama dengan

4Program

Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS). (http://emasindonesia.org, diakses 16 April 2016, pukul 11.00).

3

banyak pihak, baik pemerintah melalui SKPD terkait, swasta dan masyarakat. Salah satu bukti dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap terhadap implementasi program EMAS adalah ditandatanganinya kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap dengan 10 direktur Rumah Sakit yang ada di Kabupaten Cilacap. Kerjasama tersebut terkait dengan sistem rujukan kegawatdaruratan maternal dan neonatal. Program EMAS yang bertujuan sebagai program percepatan penurunan angka kematian ibu melahirkan dan bayi sejalan dengan program lokal yakni SIAGA GADA. Program SIAGA GADA merupakan program prioritas dan strategis untuk mengurangi empat penyakit utama di Jawa Tegah yakni gizi buruk, AKI, demam berdarah dan AIDS. Program tersebut juga merupakan pengejawantahan dari pilar kesehatan dalam kebijakan Bangga Mbangun Desa di Kabupaten Cilacap5. Dalam kebijakan Bangga Mbangun Desa terdapat empat pilar sebagai strategi kebijakan dalam mewujudkan visi pembangunan daerah menjadi “Kabupaten Cilacap Yang Sejahtera Secara Merata”, yakni pilar pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lingkungan sosial budaya. Menjadi penting untuk melihat apakah program yang dijalankan mampu berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Perubahan sosial atau perubahan masyarakat selalu terjadi terus-menerus secara dinamis. Melalui program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS)

5Menurut

Perbup Kabupaten Cilacap Nomor 76 Tahun 2011, kebijakan gerakan Bangga Mbangun Desa merupakan kebijakan daerah yang berfungsi sebagai akselerator percepatan dalam pembangunan Kabupaten Cilacap guna mencapai target-target dan mendorong semangat masyarakat pedesaan yang berorientasi pada pembangunan pedesaan.

4

yang sejalan dengan program daerah dalam meningkatkan kesehatan ibu dan bayi di Kabupaten Cilacap, sedikit banyak telah mempengaruhi keadaan masyarakat. Entah berubah kearah yang lebih baik atau justru sebaliknya. Hal ini pula yang menjadi suatu ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk meneliti tentang implementasi dari program tersebut.

B. Rumusan Masalah Bagaimana implementasi program EMAS dilihat dari cakupan intervensi kebijakan (perbaikan kualitas pelayanan, peningkatan sistem rujukan dan peningkatan akuntabilitas) dalam menurunkan tingkat kematian ibu dan bayi, serta dalam meningkatkan derajat kesehatan ibu dan bayi di Kabupaten Cilacap tahun 2014-2016 ?

C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat proses implementasi program EMAS di Kabupaten Cilacap dalam mengatasi permasalahan dibidang kesehatan, khususnya permasalahan tingkat kematian ibu melahirkan dan bayi. Dengan melihat bagaimana program EMAS dilaksanakan beserta dinamikanya guna memperoleh informasi apakah program EMAS di Kabupaten Cilacap diimplementasikan sesuai dengan desain yang sudah ditetapkan sebelumnya.

5

D. Literature Review Terdapat banyak tulisan yang membahas tentang implementasi sebuah kebijakan maupun mengenai seberapa jauh efektifitas dari implementasi kebijakan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di suatu daerah. Studi analisis kebijakan khususnya dibidang kesehatan pernah dilakukan oleh Sasmito Leolantif (2015) yang ia tulis dalam karya skripsinya yang berjudul Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan di DKI Jakarta : Studi Kasus Integrasi Program Kartu Jaminan Sehat (KJS) dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di DKI Jakarta6. Pemberian jaminan kesehatan merupakan salah satu bentuk tanggungjawab dan respon Pemerintah kepada masyarakat. UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan peraturan perundangan

yang mengamanatkan kepada pemerintah

untuk

melaksanakan kebijakan jaminan sosial dalam lingkup nasional. Salah satunya adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan secara serentak diseluruh wilayah Indonesia pada tanggal 1 Januari 2014 dan bersamaan dengan pengimplementasian kebijakan BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara tunggal kebijakan JKN di Indonesia. Program jaminan kesehatan bukan kali pertama diberlakukan, namun pada periode-periode sebelum program JKN ini sudah terlebih dahulu diberlakukan kebijakan lain seperti program KJS atau Kartu Jaminan Sehat yang dilaksanakan khusus di DKI Jakarta pada tahun 2013. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan Sasmito memilih lokasi penelitian di DKI Jakarta.

6

Electronic Theses and Dissertations (ETD) UGM. Diakses tanggal 5 April 2016.

6

Dalam tulisannya, ia mencoba mendalami proses integrasi implementasi kebijakan KJS kedalam JKN, dimana kedua kebijakan tersebut memiliki berbagai perbedaan. Penelitian Sasmito menunjukkan hasil bahwa proses integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN di DKI Jakarta tidak berjalan sebagai proses tunggal. Terdapat proses lain yang menjembatani integrasi tersebut yakni proses Koordinasi, Integrasi dan Sinkronisasi (K.I.S) yang bergerak dalam bidang kepesertaan, pelayanan, pembiayaan dan lembaga implementor. Dalam proses integrasi implementasi kebijakan KJS dan JKN di DKI Jakarta terdapat sejumlah faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor-faktor pendukungnya adalah: ketersediaan sumber daya kesehatan seperti tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, kelenturan struktur birokrasi, adanya manfaat positif dengan dilaksanakannya kebijakan dan implementor yang responsif terhadap masalah. Kemudian faktor-faktor penghambat yang dapat diidentifikasi adalah: minimnya sosialisasi kebijakan tersebut, substansi kebijakan yang merugikan swasta, rendahnya komitmen rezim yang berkuasa serta adanya keterbatasan sumber daya kesehatan di wilayah perbatasan. Pada akhir tulisannya, Sasmito memberikan rekomendasinya yakni : Pemda DKI Jakarta melaksanakan kembali kebijakan Top Up khususnya dalam hal dana operasional rumah sakit swasta, melakukan penyeragaman nama dan juga kartu peserta jaminan kesehatan pemerintah, meningkatkan kegiatan sosialisasi yang bersifat langsung dan menambah alokasi APBN dan APBD untuk meningkatkan pembangunan dan pemerataan fasilitas kesehatan di seluruh daerah secara merata.

7

Tulisan lain pernah ditulis oleh Wahyu Fatimah Chaniago (2009) dalam tesisnya yang berjudul Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku7. Pelayanan kesehatan sekarang ini tidak lagi bertumpu pada kegiatan mengobati orang sakit, namun upaya promotif dan preventif mulai dikembangkan dengan asumsi bahwa masyarakat akan terjaga kesehatannya bila dilakukan tindakan-tindakan promotif untuk berperilaku hidup sehat dan tidakan pencegahan terhadap penyakit endemik. Perkembangan pelayanan kesehatan yang makin meningkat di Indonesia, menyebabkan angka harapan hidup meningkat dan berdampak pada meningkatnya jumlah orang lanjut usia dengan segala kebutuhannya. Peraturan UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan, UU RI No 13 tahun 1998

tentang

kesehatan

lanjut

usia

dan

Kepmenkes

RI

Nomor

1114/Menkes/SK/VIII/2005 tentang pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan Di Daerah yang mengatur hak lanjut usia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dengan segala aspeknya. Puskesmas merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat yang bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Tegah melaksanakan pelayanan kesehatan lanjut usia khususya dalam kegiatan promotif dan preventif sehingga dapat meningkatkan mutu kesehatan dan mutu kehidupan usia lanjut untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat sesuai dengan keberadaannya. Hasil penelititian Chaniago menunjukkan bahwa dalam implementasi kebijakan tersebut terkendala 4 faktor yakni: komunikasi, sumber daya, disposisi,

7

Electronic Theses and Dissertations (ETD) UGM. Diakses tanggal 5 April 2016.

8

dan struktur birokrasi yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dan dampak yang dihasilkan dari implementasi kebijakan tersebut adalah pelayanan kesehatan lanjut usia melalui upaya promotif dan preventif di Kabupaten Maluku Tengah masih sangat jauh dari yang diharapkan. Persamaan antara penelitian ini, Sasmito dan Chaniago adalah sama-sama mengambil tema tentang kebijakan kesehatan, meskipun bidang kebijakan kesehatan yang diambil berbeda-beda. Sasmito memfokuskan diri pada studi implementasi kebijakan jaminan kesehatan, penelitian Chaniago berfokus pada implementasi kebijakan pelayanan kesehatan lanjut usia, sedangkan penelitian ini memfokuskan pada implementasi kebijakan kesehatan khususnya kesehatan ibu dan bayi yang dilakukan melalui tiga aspek intervensi. Persamaan lain dari ketiga tulisan ini adalah untuk mencari tahu dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Kemudian wilayah penelitian yang berbeda menjadi perbedaan yang dapat dipetakan. Penelitian Sasmito mengambil lokasi di DKI Jakarta dimana banyak kebijakan kesehatan diimplementasikan. Penelitian Chaniago mengambil lokasi di Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Sedangkan penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.

E. Kerangka Teori Kebijakan publik merupakan hasil dari sebuah proses atau menjadi sebuah respon atas berbagai fenomena yang ada di lingkungan masyarakat. Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah pastinya melalui berbagai tuntutan atau tekanan dari

9

masyarakat. Karena baik tuntutan maupun dukungan yang diberikan oleh masyarakat mengindikasikan adanya perbedaan kepentingan. Kepentingankepentingan dari partai politik, kelompok masyarakat adat, pressure group maupun kepentingan dari internal instansi pemerintah sendiri yang harus terwakili dalam kebijakan yang dibuat melalui tahap artikulasi kepentingan. Secara konseptual kebijakan publik merupakan pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau masalah pemerintah. Anderson memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat pemerintahan. Dimana implikasi dari kebijakan yang dibuat tersebut adalah: (1) kebijakan selalu memiliki tujuan tertentu; (2) kebijakan berisi tindakan pemerintah; (3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah; (4) kebijakan publik yang diambil bisa berupa tindakan positif atau negatif yang berarti tidak melakukan apapun; (5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa8. Menurut Thomas Dye, kebijakan adalah apa yang menjadi keputusan Pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (what the Government choose to do or not to do)9. Mengacu pada definisi Dye, maka keputusan Pemerintah adalah kebijakan, dan membiarkan sesuatu tanpa keputusan juga merupakan sebuah kebijakan. Akan tetapi jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu

8Anderson

dalam Tangkilisan. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi : Konsep, Strategi & Kasus. Yogyakarta : Lukman Offset. Hal. 2 9 Catatan perkuliahan dalam mata kuliah Kebijakan Publik. Departemen Politik dan Pemerintahan tahun 2014.

10

harus disertai dengan tujuan secara obyektif, dan kebijakan publik meliputi semua tindakan pemerintah bukan semata-mata pernyataan pemerintah. Analisis kebijakan sering dilakukan untuk menilai secara kritis dan memberikan informasi yang relevan atas kebijakan dalam satu atau lebih tahap proses pembuatan kebijakan. Dalam pembuatan kebijakan, proses atau tahaptahap perlu disusun mulai dari pengidentifikasian masalah hingga diakhiri dengan kegiatan evaluasi atas kebijakan yang sedang berjalan.

Bagan 1. Tahapan Pembuatan Kebijakan ala Dunn Perumusan Masalah

Penyusunan Agenda

Peramalan

Formulasi Kebijakan

Rekomendasi

Adopsi Kebijakan

Pemantauan

Implementasi Kebijakan

Evaluasi

Penilaian Kebijakan

Sumber : Dunn. 2003 : 2510

Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan menurut William Dunn adalah11: pertama, tahap penyusunan agenda atau perumusan masalah. Tahap ini dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya,

memetakan

tujuan-tujuan

yang

memungkinkan,

10Dunn,William.

2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. Hal. 24-28. 11 Ibid.

11

memadukan pandangan yang bertentangan dan merancang peluang kebijakan baru. Kedua, tahap formulasi kebijakan atau peramalan. Dalam tahap ini, pihak yang memiliki otoritas membuat kebijakan merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi permasalahan. Ketiga, tahap adopsi kebijakan atau rekomendasi. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan serta menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan. Keempat, tahap implementasi kebijakan atau pemantauan. Tahap pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan atau program, mengidentifikasikan hambatan dan rintangan

implementasi,

dan

menemukan

letak

pihak-pihak

yang

bertanggungjawab pada setiap tahap kebijakan. Kelima, tahap penilaian Kebijakan atau evaluasi. Evaluasi tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah diselesaikan, tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan, dan membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah. Dari sejumlah tahapan tersebut, tahap implementasi merupakan tahapan yang krusial, karena implementasi adalah tahap dimana hasil rumusan kebijakan diterjemahkan kedalam tindakan atau kegiatan guna mencapai tujuan kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya. Implementasi kebijakan juga sering diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan sebagai policy statement kedalam policy outcome yang muncul

12

sebagai akibat dari aktivitas Pemerintah12. Studi implementasi merupakan studi perubahan yang mencari tahu tentang bagaimana perubahan terjadi dan bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Menurut Pressman dan Wildavsky, implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan saranasarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut13. Definisi tersebut dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan yang kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya. Implementasi

mengatur

aktivitas-aktivitas

yang

mengarah

pada

penempatan suatu program ke dalam dampak. Sehingga tiga aktivitas utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan menurut Silalahi yakni interpretasi, organisasi dan aplikasi. Interpretasi merupakan aktivitas yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dijalankan. Organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam dampak. Sudut pandang organisasi dapat dilihat dari aktor atau badan yang terlibat dalam implementasi program. Sedangkan aplikasi dikatakan sebagai suatu proses yang dinamis dimana para pelaksana dan pemaksa pada umumnya berpedoman pada peraturan-peraturan program. Dalam aktivitas aplikasi, peran SOP sangat penting selain untuk menetapkan standar pelaksanaan program juga untuk menentukan derajat kepatuhan dari pelaksana kebijakan. Seperti tahap kebijakan yang lainnya, proses implementasi kebijakan bukan tahap yang dapat dilaksanakan secara mulus tanpa suatu hambatan. Akan

12Grindle

dalam Santoso.2010. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta :Research Center for Politics and Government UGM. Hal. 125-126. 13Pressman & Wildavsky dalam Silalahi. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara. Yogyakarta : Liberty. Hal. 149

13

tetapi, setidaknya ada tiga hambatan atau sumber penyebab timbulnya masalah yang biasanya dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan14 yakni pertama, adanya over-lapping tujuan-tujuan kebijakan atau program yang dihasilkan. Over-lapping tersebut dapat disebabkan oleh adanya kesalahfahaman, kekacauan dan konflik nilai yang muncul dalam masyarakat. Kedua, partisipasi aktor yang begitu banyak dengan otoritas yang tumpang tindih. Ketiga, ketahanan implementer yang berkaitan dengan ketidak-efektifan atau ketidak-efisienan.

E.1.

Teori Implementasi Kebijakan Grindle (1980)

Menurut Santoso, proses implementasi selama ini lebih banyak terjebak pada mitos akan netralitas birokrasi. Akibatnya implementasi dianggap hanya sebagai proses yang steril dan terpisah dari proses pengambilan keputusan. Pada kenyataannya, terdapat kesenjangan antara tujuan yang dinyatakan dalam policy statement dengan policy outcome yang dihasilkan dari implementasi kebijakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses implementasi memiliki dinamikanya tersendiri yang mempengaruhi outcome yang dihasilkan dalam pencapaian tujuan. Menurut Grindle, implementasi ditentukan oleh isi kebijakan (content) dan lingkungan kebijakan (context). Ide dasar Grindle tersebut menjelaskan bahwa proses implementasi dapat dilakukan ketika tujuan telah ditetapkan, program kebijakan telah dirancang dan dana telah dialokasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

14

Ibid. Silalahi, Oberlin. Hal. 159-160.

14

Tetapi hal tersebut tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability program yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya. Bagan 2. Proses Implementasi Kebijakan Grindle

Sumber : Santoso. 2010 : 12815

Policy content (isi kebijakan) mencakup enam elemen yang mempengaruhi aktivitas implementasi. Pertama, kepentingan yang terpengaruh oleh adanya kebijakan yang akan diimplementasikan. Untuk mengimplementasikan kebijakan dibutuhkan atau melibatkan banyak aktor, dan setiap aktor tersebut memiliki kepentingan masing-masing. Baik kepentingan yang terkait dengan kebijakan, maupun kepentingan yang bertolakbelakang dengan keberadaan kebijakan tersebut. Kedua, jenis manfaat yang diterima. Perlu disadari bahwa setiap kebijakan atau program setidaknya memiliki manfaat, baik manfaat bagi kelompok sasaran maupun manfaat bagi masyarakat secara umum. Tipe benefit yang 15

Santoso, Purwo.2010. Analisis Kebijakan Publik. Hal. 134-136.

15

dimaksud

Grindle

adalah

kebermanfaatan

kebijakan

tersebut

diperuntukkan bagi siapa dan hal ini lebih cederung menekankan pada aspek siapa sasaran dari kebijakan yang dijalankan. Ketiga, derajat perubahan yang mungkin ditimbulkan dari sebuah kebijakan. Dengan diimplementasikannya sebuah kebijakan diharapkan mampu membuat perubahan atas situasi atau keadaan yang ada menjadi lebih baik. Menurut Santoso, derajat potensi perubahan yang ditimbulkan merupakan akibat dari adanya intervensi kebijakan terhadap situasi yang ada. Semakin besar atau tinggi perubahan yang akan ditimbulkan maka pencapaian tujuan tersebut akan semakin sulit dan dinamikanya dimungkinkan pula akan semakin besar. Keempat, letak pengambilan keputusan. Faktor letak pengambilan keputusan berkaitan dengan keputusan tersebut lahir dari atas (bersifat top down) atau dari bawah (bersifat bottom up). Kedua karakteristik tersebut (top down dan bottom up) memiliki kelebihan, kekurangan dan konsekuensinya masing-masing. Kelima, penentuan implementor secara rinci. Faktor implementor program yang dimaksudkan lebih menekankan pada aspek kapasitas dan integritas para implementor progam. Meskipun tanpa dipungkiri bahwa setiap

implementor

memiliki

kepentingannya

masing-masing

dan

terkadang terjadi tarik menarik antar kepentingan implementor tersebut. Tarik-menarik kepentingan tersebut dapat membuat implementasi menjadi gagal dan tidak memberikan hasil yang maksimal. Keenam, dukungan atau ketersediaan sumber daya. Sumber daya merupakan faktor penting untuk

16

implementasi kebijakan yang efektif. Meskipun substansi dan tujuan kebijakan telah dikomunikasikan dengan jelas, tetapi jika implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya dapat berupa uang, infrastruktur, informasi, sarana prasarana dan lain sebagainya. Sementara

variabel

policy

context

(lingkungan

kebijakan)

merupakan variabel yang merepresentasikan lingkungan dimana suatu proses implementasi kebijakan berlangsung. Policy context meliputi: (1) kekuatan, kekuasaan, kepentingan dan startegi para aktor yang terlibat dalam implementasi program; (2) karakteristik rezim dan institusi; (3) kepatuhan dan tingkat responsivitas dan kepatuhan para implementor program. Selanjutnya perlu dilihat pula tentang relevansi antara content program kebijakan dengan context kebijakannya. Karena tujuan Grindle dengan membagi variabel yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan menjadi dua adalah untuk melihat apakah content atau isi setiap kebijakan cocok dengan context kebijakannya.

F. Metode Penelitian F.1.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cilacap, provinsi Jawa Tengah. Alasan pemilihan lokasi penelitian di Kabupaten Cilacap karena pertama, Cilacap merupakan kota kelahiran dan tempat peneliti dibesarkan. Kedua, lebih mudah untuk melakukan penelitian di daerah 17

dengan narasumber yang memiliki satu ikatan kedaerahan. Biasanya orang menyebutnya dengan “wong ngapak” (orang ngapak) atau “wonge dhewek” (sesama warga Cilacap). Ketiga, persoalan mengenai tingkat kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir masih sangat tinggi di Kabupaten Cilacap. Bahkan pada tahun 2013 Cilacap menjadi daerah ke empat dengan kasus kematian ibu dan bayi tertinggi di Jawa Tengah. Dan Kabupaten Cilacap merupakan salah satu wilayah intervensi dari kebijakan program EMAS yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi.

F.2.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif. Jenis penelitian tersebut dipilih karena mampu menjelaskan sebuah fenomena dengan proses penafsiran dari sudut pandang informan dan peneliti. Akan tetapi penafsiran yang dilakukan juga tidak terlepas dari data-data yang digunakan sebagai data pendukung untuk memperkuat argumen. Kekuatan kualitatif sehingga dipilih menjadi metode dalam penelitian ini adalah peneliti dapat mengeksplor seluasluasnya jawaban dari informan. Hal ini tergantung dari strategi dan kemampuan peneliti untuk mengungkapkan data yang tersirat. Deskripsi atau pandangan dari peneliti juga diikutkan dalam hasil akhir penulisan. Akan tetapi terdapat kekurangan dalam metode kualitatif, yakni adanya problem objektifitas dari peneliti terhadap data. Ketakutan subjektivitas peneliti terhadap data yang dihasilkan menjadi kelemahan kualitatif. 18

Kemudian adanya kemungkinan peneliti mengumpulkan data yang tidak penting dan tidak berguna, dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk melihat bagaimana program EMAS diimplementasikan sekaligus beserta dinamika yang terjadi dibutuhkan fleksibilitas jawaban dari informan (narasumber). Sehingga jenis penelitian kualitatif digunakan untuk membantu menjawab pertanyaan yang tidak dapat didapat melalui sajian data statistik.

F.3.

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus untuk mengetahui

secara

mendalam

mengenai

program

EMAS

dalam

menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Kabupaten Cilacap. Kemudian, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur, observasi dan wawancara mendalam. Studi literatur digunakan untuk memahami tentang program EMAS dan melihat data kuantitatif yang digunakan sebagai indikator pencapaian program kebijakan. Studi literatur juga digunakan untuk memahami tentang teori kebijakan publik yang akan digunakan sebagai acuan untuk berfikir dan memperkuat pembahasan. Literatur yang digunakan bersumber dari buku, jurnal, dokumen resmi seperti RPJMD Kabupaten Cilacap, naskah Perbup/Undang-Undang, berita baik yang dimuat dalam media cetak maupun elektronik dan bahan-bahan literatur pendukung lainnya seperti materi selama perkuliahan.

19

Selama penelitian, terdapat suatu kondisi dimana data yang menjadi inti pembahasan dalam penelitian tidak dapat ditemukan dalam literatur. Sehingga teknik pengamatan dan wawancara secara langsung sangat membantu untuk mengumpulkan berbagai informasi penting. Sehingga, kemampuan peneliti untuk menganalisis dan mencari jawaban yang tersirat menjadi faktor penting. Teknik wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan program EMAS tersebut, baik itu Pemerintah daerah selaku pembuat kebijakan dan masyarakat selaku sasaran kebijakan. Hasil wawancara dan observasi dicatat dengan cermat dan serinci mungkin menjadi catatat lapangan. Data yang didapat kemudian dianalisis dengan menggunakan teori implementasi Merilee S. Grindle (1980). Penelitian lapangan dilakukan pada bulan April hingga Mei dan September 2016 dengan teknik wawancara yang dilakukan dengan banyak narasumber seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, Puskesmas Sampang, Puskesmas Adipala I, Puskesmas Kawunganten, Ketua Formakia (Forum Masyarakat Madani Kesehatan Ibu dan Anak) Kabupaten Cilacap, Ketua DLT (District Team Leader) Kabupaten Cilacap, Bapak Sukamto (warga Kecamatan Kawunganten) dan Ibu Rohmah (warga Kecamatan Sampang). Pertanyaan yang diajukan kepada Dinas Kesehatan selaku pihak yang membawahi urusan bidang kesehatan di Kabupaten Cilacap adalah seputar profil program EMAS (tujuan program), alasan program EMAS

20

diimplementasikan di Kabupaten Cilacap, sumber dana yang digunakan untuk implementasi program EMAS, siapa saja aktor yang terlibat (termasuk implementor program), sumber daya apa saja yang dibutuhkan, tahapan pelaksanaan program EMAS dan gambaran tentang reaksi atau respon masyarakat atas implementasi program EMAS. Pertanyaan yang diajukan kepada ketiga Puskesmas (Puskesmas Sampang, Adipala I dan Kawunganten) adalah seputar: a. Bagaimana implementasi program EMAS di Puskesmas ? b. Apa saja tahapan dalam implementasi program EMAS ? c. Bagaimana Puskesmas melaksanakan tiga intervensi yang menjadi fokus program EMAS (termasuk tingkat kualitas sarana prasarana Puskesmas dan tingkat kemampuan tenaga kesehatan) ? d. Perubahan apa saja yang terjadi setelah dilaksanakannya program EMAS ? e. Bagaimana suka dan duka para tenaga kesehatan di Puskesmas dalam melaksanakan ketentuan (SOP) program EMAS ? Pertanyaan yang diajukan kepada Ketua Formakia Kabupaten Cilacap, Bapak Susilo, adalah profil dan tujuan Formakia, posisi atau peran Formakia dalam proses implementasi program EMAS di Kabupaten Cilacap, bagaimana hubungan dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap, kegiatan atau strategi Formakia dalam implementasi program EMAS serta hasil atas kegiatan yang telah dilakukan Formakia. Pertanyaan

21

yang diajukan kepada Ketua DTL, Dokter Mariah, adalah tentang profil DTL, fungsi dan peran DTL dalam implementasi program EMAS, alur kerja dan pelaporan DTL atas implementasi program EMAS di Kabupaten Cilacap kepada PTL (Province Team Leader), serta gambaran dan hasil pelaksanaan program EMAS termasuk keadaan masyarakat sebelum dan setelah adanya program EMAS.

G. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini kemudian disusun dalam bentuk tulisan dengan mengikuti format yang berlaku di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Sesuai dengan fokus kajian permasalahan dan tujuan penelitiannya, tulisan ini dibagi kedalam lima bab. Bab I merupakan bagian Pendahuluan sebagai pengantar tulisan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, literature review, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang penjelasan mengenai profil program EMAS. Bab III berisi tentang analisis variabel content dalam implementasi program EMAS di Kabupaten Cilacap. Bab IV berisi analisis relevansi variabel konten dan konteks kebijakan dalam implementasi program EMAS di Kabupaten Cilacap. Bab V merupakan bab yang berisi kesimpulan dan saran atas implementasi program EMAS menjadi akhir dari penjelasan penelitian ini.

22

Related Documents

Chile 1pdf
December 2019 139
Theevravadham 1pdf
April 2020 103
Majalla Karman 1pdf
April 2020 93
Rincon De Agus 1pdf
May 2020 84
Exemple Tema 1pdf
June 2020 78

More Documents from "Gerardo Garay Robles"