Rumah Opini.docx

  • Uploaded by: Mas Muhammad Niam Hamdani
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rumah Opini.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 834
  • Pages: 3
MAKNA PAHLAWAN

Setiap sepuluh November kita merayakan Hari Pahlawan sebagai peringatan akan jasajasa mereka berkorban demi bangsa dan negara. Kata Pahlawan selalu identik dengan perjuangan mempertaruhkan jiwa dan raga. Apakah kriteria seorang ”pahlawan” hanya mereka yang gugur di medan perang? Kepahlawanan tidak identik hanya memegang senjata pahlawan orang yang memperjuangkan nilai-nilai dasar kehidupan. Mereka dengan sadar dan tulus membaktikan dirinya bagi kesejahteraan. Pahlawan mempunyai makna dalam karena pribadi rela memberikan segala bagi bangsanya. Ada banyak pahlawan bangsa yang rela berkorban demi sebuah cita-cita bersama. Mereka ini kerap terlupakan karena pahlawan hanya dilihat semata-mata perjuangan fisik belaka. Terlalu sempit menghargai pahlawan hanya sebagai sosok fisiknya. Kepahlawanan adalah semangat untuk berdikari, semangat untuk membela kaum tertindas. Dalam pengertian fisik, sosok pahlawan mungkin akan terus kita ingat. Namun, buat apa mengingat dan memperingatinya setiap tahun jika tak ada nilai yang mengejawantah dalam segenap perilaku kita. Bahkan, jika setiap hari kita justru makin menggerusnya dalam lumpur kemunafikan dan kebohongan. Kata pahlawan selama ini identik dengan romantisme perjuangan dengan senjata dan darah. Kepahlawanan lebih dilihat dalam heroisme menegakkan panji-panji kebesaran. Dikembangkan mitos bahwa dunia kepahlawanan adalah dunia orang yang gagah berani semata. Itu tidak salah. Tetapi jika hanya itu yang diangkat, justru akan menenggelamkan nilai-nilainya. Kita disuguhi cerita yang membuat kepahlawanan mengalami reduksi makna. Kepahlawanan lalu berpengertian sangat sempit dan agaknya kurang tepat karena mitos tersebut hanya melahirkan ”budaya otot” yang dominan dalam ruang publik. Ini membuat kita kurang menghargai akal sehat dalam segala hal. Kita merdeka bukan sekadar karena perang secara fisik melainkan karena juga jasa orang-orang cerdas, intelektual, budayawan, sastrawan, dan seluruh komponen rakyat. Dengan diplomasi tingkat tinggi mereka mampu meyakinkan dunia internasional bahwa penjajahan bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan. Pelan tapi pasti, republik ini kurang menghargai orang cerdas dalam tata kelola publik. Mereka tiba-tiba hilang dalam pentas dikalahkan mitos hero, yakni mereka yang katanya berani menyerahkan jiwa raganya. Seolah-olah mereka inilah pewaris negeri ini dengan jasa begitu besar. Memang adil mereka harus diakui, namun jangan membuat kita terjebak pada mitos kepahlawanan sempit seperti ini. Mitos inilah yang membuat kita miskin gagasan dalam membangun bangsa yang inovatif dalam usaha mencari jalan keluar dari ketergantungan. Ketergantungan ini tercipta karena budaya akal sehat tidak menjadi pertimbangan dalam segala hal. Akibat pudarnya nilai-nilai kepahlawanan ini membuat kita makin sulit mengangkat diri menjadi bangsa yang dihargai di mata internasional. Kita takluk di bawah perintah dan kemauan asing. Nilai-nilai kepahlawanan yang melekat tak cukup untuk membuat kita keluar dari lingkaran ketergantungan tersebut. Kemajemukan dan kekayaan alam yang seharusnya

dijadikan modal untuk menyejahterakan rakyat, realitasnya sebagian besar telah kita gadaikan dan manfaatkan bukan untuk kepentingan kita sendiri. Ini terjadi akibat banyak orang berpikir atas nama dan untuk dirinya sendiri. Bukan untuk dan atas nama bangsanya. Budaya yang kita bangun tidak mampu melahirkan gugus insting yang mampu mempengaruhi cara berpikir, berperilaku, berkomunikasi dalam cara yang cerdas, dan menghargai nilai-nilai keanekaragaman budaya. Hal ini disebabkan ketiadaan arah dalam membangun kebudayaan yang melahirkan sistem nilai dan akhirnya mempengaruhi sistem kerja. Perilaku”kepahlawanan” yang mementingkan otot justru semakin marak di Tanah Air. Para pahlawan kesiangan berteriakteriak moral di saat yang sama sedang menginjak nilainilai kemanusiaan. Mereka haus disebut sebagai pahlawan, walaupun laku kehidupannya sama sekali tak mencerminkan seorang pahlawan. Ya, inilah, kita hidup di bangsa yang eliteelitenya sering haus pujian. Pola ”pahlawan” palsu yang hanya mengandalkan kekuatan otot inilah yang sering kali membuat bangsa ini makin bertambah banyak masalahnya. Masalah kita bukan hanya bagaimana berhadapan secara elegan dengan bangsa lain, melainkan juga dengan sekelompok anak negeri yang lebih mementingkan kelompoknya daripada bangsanya. Kini kita membutuhkan makna kepahlawanan yang lebih luas dan dalam. Pahlawan bukan sekadar mitos ”bambu runcing”, melainkan mereka yang terus-menerus menemukan kreativitas dalam memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat. Pahlawan adalah mereka yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang. Pahlawan adalah pejabat publik yang bisa memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang murah. Mereka-mereka inilah yang seharusnya kita sebut pahlawan. Mereka adalah sosok yang bermanfaat bagi warga bangsanya. Mereka inilah yang layak disebut pejuang sejati karena adanya mereka untuk memperjuangkan kesejahteraan, kemanusiaan, dan keadilan. Dekonstruksi kepahlawanan dengan demikian perlu dipikirkan kembali untuk menemukan makna terdalam apa yang dimaksudkan dengan pahlawan itu. Tak cukup mengheningkan cipta? Mungkin ”cukup”. Tetapi arti mengheningkan cipta bukan bagaimana kepala tertunduk belaka. Artinya, meneladani sikap baik pahlawan, mengabdi kepada kemanusiaan, membela yang lemah dan tertindas, dan membela hak yang dirampas. Tentu tak cukup menghormati mereka hanya dengan mengheningkan cipta berulang-ulang tanpa mengaktualkan sikap dan laku hidup. Sebuah bangsa besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. ”Kita mempercayainya. Namun, makna ungkapan ini bagi kita sering terlalu datar dan sering diartikan bahwa penghormatan adalah rutinitas formal saja. Apa yang ada di pikiran Bung Tomo kala itu adalah untuk menegakkan harkat dan martabat kebangsaan dengan mengorbankan seluruh jiwa raga. Bung Tomo tak hanya membela Surabaya. Ia membela kehormatan bangsa yang dipermainkan. Harga diri dan martabat kebangsaan sering tergadaikan oleh kepentingan pragmatis individual. Sudah jarang laku kepahlawanan dan heroisme yang termanifestasikan untuk membela kebangsaan. Kebangsaan yang bermartabat, yang diperoleh dengan pengorbanan

luar biasa, kini mulai digerogoti oleh sikap dan perilaku yang sering bertentangan antara kata dan perbuatan.

Related Documents

Rumah Minimalis
June 2020 18
Rumah Adat.docx
November 2019 28
Rumah Adat.docx
October 2019 32
Rumah Biru
October 2019 28
Rumah Rencana.pdf
May 2020 16

More Documents from "Tiyok Hari"