Rukun, Syarat, Yang Membatalkan.docx

  • Uploaded by: Suci Trie
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rukun, Syarat, Yang Membatalkan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,808
  • Pages: 29
MAKALAH RUKUN, SYARAT, YANG MEMBATALKAN WUDHU, SALAT DAN PUASA Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) DRS. H. ZAENAL ABIDIN , M.AG.

Disusun oleh: Suci Trie Ramadhanti 102118120070 Akuntansi Sabtu, 18.00 – 19.40 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Membangun (STIE INABA) Bandung 2018/2019

KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga saya dapat merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul " RUKUN, SYARAT, YANG MEMBATALKAN WUDHU, SALAT DAN PUASA" Penyusunan makalah semaksimal mungkin saya upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini. Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada saya membuka selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini. Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan saya dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Bandung, 10 Desember 2018

Penyusun

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan BAB II PEMBAHASAN BAB III PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap kegiatan ibadah umat Islam diisyaratkan mensucikan (thaharah) diri terlebih dahulu melalui Wudhu ataupun Tayamum. Wudhu adalah sebuah syariat kesucian yang Allah ‘azza Wa Jalla tetapkan kepada kaum muslimin agar dapat melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Di dalamnya terkandung sebuah hikmah yang mengisyaratkan kepada kita bahwa hendaknya seorang muslim memulai ibadah dan kehidupannya dengan kesucian lahir batin. Wudhu disyariatkan bukan hanya ketika kita hendak beribadah, bahkan juga disyariatkan dalam segala kondisi, agar apa yang kita lakukan dapat bernilai ubadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT. Oleh karena itu, seorang muslim dianjurkan agar selalu dalam kondisi bersuci (wudhu) sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mulia. Mereka senantiasa berwudhu dalam segala kondisi. Ibadah merupakan suatu kewajiban bagi umat manusia terhadap tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Bentuk dan jenis Ibadah sangat bermacam-macam, seperti Sholat, puasa, naik haji, membaca Al Qur’an, jihad dan lainnya. Shalat merupakan rukun islam yang kedua. Maka bagi setiap muslim wajib melaksanakan shalat. Seperti keterangan pada QS. Al-Baqarah ayat 43: ‫واقيموا الصلوة وءاتوا الزكوة واركعوا مع الركعين‬ “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” Seperti yang kita ketahui agama islam mempunyai lima rukun islam yang salah satunya ialah puasa, yang mana puasa termasuk rukun islam yang keempat. Karena puasa itu termasuk rukun islam jadi, semua umat islam wajib melaksanakannya namun pada kenyataannya banyak umat islam yang tidak melaksanakannya, karena apa? Itu semua karena mereka tidak mengetahui manfaat dan hikmah puasa. Bahkan, umat muslim juga masih banyak yang tidak mengetahui pengertian puasa, dan bagaimana menjalankan puasa dengan baik dan benar. Banyak orang-orang yang melakasanakan puasa hanya sekedar melaksanakan, tanpa mengetahui syarat sahnya puasa dan hal-hal yang membatalkan puasa. Hasilnya,pada saat mereka berpuasa mereka hanyalah mendapatkan rasa lapar saja. Sangatlah rugi bagi kita jika sudah berpuasa tetapi tidak mendapatkan pahala. Seperti yang dikatakan hadits: urung rampung. B. 1. 2. 3.

Rumusan Masalah Apakah yang dimaksud dengan wudhu dan apa dasar hukumnya? Apa saja rukun-rukun wudhu beserta syarat-syaratnya? Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan wudhu?

4. Apa saja sunnah-sunnah wudhu? 5. Bagaimana hukum wudhu dengan salju? 6. Apa Saja Syarat Wajib Shalat Dan Syarat Sahnya Shalat? 7. Menjelaskan Niat Dalam Shalat! 8. Apa Saja Rukun Dalam Shalat ? 9. Sebutkan Sunnah-Sunnah Shalat! 10. Apa Saja Yang Dapat Membatalkan Shalat? 11. Pengertian puasa secara bahasa dan syar’i. 12. Hal-hal yang membatalkan dan yang mengurangi puasa nilai puasa 13. Adab berpuasa 14. Macam-macam puasa 15. Halangan puasa 16. Hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa 17. Meng-qadha’ puasa Ramadhan 18. Hikmah puasa C. 1. 2. 3.

Tujuan Mengetahui Rukun, syarat, yang membatalkan wudhu Mengetahui Rukun, syarat, yang membatalkan shalat Mengetahui Rukun, syarat, yang membatalkan puasa

BAB II PEMBAHASAN A. Wudhu 1. Pengertian Secara Bahasa Al Imam Ibnu Atsir Al-Jazary Rahimahumullah (seorang ahli bahasa) menjelaskan bahwa jika dikatakan wadhu’ (‫ضوءء‬ ‫)اوءلوو ض‬, maka yang dimaksud adalah air yang digunakan berwudhu. Bila dikatakan wudhu (‫ضوءء‬ ‫)اضلو ض‬, maka yang diinginkan di situ adalah perbuatannya. Jadi, wudhu adalah perbuatan, sedangkan wadhu adalah air wudhu. Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’iy Rahimahullah, kata wudhu terambil dari kata al-wadhu’ah / kesucian (‫ضوءء‬ ‫)اوءلوو ض‬. Wudhu disebut demikian, karena orang yang shalat membersihkan diri dengannya. Sehingga, ia menjadi orang yang suci. 2. Pengertian Secara Syari’at Sedangkan menurut Syaikh Shalih Ibnu Ghanim As-Sadlan Hafishahullah:

‫ اوءستوءععمضل وماَةء و‬: ‫ضءوعء‬ ‫ع‬ ‫صفوةة ومءخ ض‬ ‫ومءعونىِ اءلضو ض‬ ‫صءو و‬ ‫طهضءوةر عفىِ ءالوءع و‬ ‫ضاَعء ءالوءربووععة وعولىِ ع‬ ‫صةة عفىِ الششءر ع‬ Artinya: makna wudhu adalah menggunakan air yang suci lagi menyucikan pada anggota-anggota badan yang empat (wajah, tangan, kepala dan kaki) berdasarkan tata cara yang khusus menurut syariat. Jadi definisi wudhu bila ditinjau dari sisi syariat adalah suatu bentuk peribadatan kepada Allah Ta’ala dengan mencuci anggota tubuh tertentu dengan tata cara yang khusus. Disyari’atkan wudhu ditegaskan berdasarkan 3 macam alasan. a. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka cucilah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (cuci) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. b. Sabda Rasulullah ‫صلوةو اووحضدضكءم إعوذا أوءحود و‬ ‫ضاَوء‬ ‫ث وحشتىِ يوتووو ش‬ ‫لويوءقبوضل او و‬ Artinya: Allah tidak menerima shalat salah seorang dia nataramu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim) c. Ijma’ Telah terjalin kesepakatan kaum muslim atas disyari’atkannya wudhu semenjak zaman Rasulullah hingga sekarang ini, sehingga tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama. 3. Rukun Wudhu Dalam kitab Fathul Mu’in disebutjkan ada 6 hal yang menjadi rukun wudhu 1. Niat fardhunya wudhu ketika pertama kali membasuh wajah 2. Membasuh wajah 3. Membasuh kedua tangan dari telapak dan lengan sampai siku 4. Membasuh sebagian kepala 5. Membasuh kedua kaki beserta ke-dua mata kaki 6. Tertib Dan terdapat perbedaan pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang menyebutkan 4 saja, sebagaimana yang tercantum dalam ayat Qur’an, namun ada juga yang menambahkannya dengan berdasarkan dalil dari sunnah. Empat rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada 4 sebagamana yang disebutkan dalam Nash Qur’an. Tujuh rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk yaitu menggosok anggota wudhu, sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota wudhu dengan air masih belum bermakna mencuci/membasuh, juga beliau menambahkan kewajiban muwalat.

Enam rukun menurut As-Syafi’iyah menambahnya denganniat pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib. Tujuh rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas wudhu. C.

Syarat-syarat Wudhu

1.

Dikerjakan dengan air mutlaq.

2.

Mengalirkan air di atas anggota yang dibasuh.

3.

Tidak ada sesuatu pada anggota yang dapat mengubah air, yaitu perubahan yang

merusakkan air mutlak itu. 4.

Pada anggota wudhu, tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota tubuh

yang dibasuh. 5.

Dilakukan sesudah masuk waktu shalat bagi orang yang selalu berhadats.

D. 1.

Sunah-sunah Wudhu

Membaca basmalah sebelum mengambil air untuk membasuh muka sambil niat

berwudhu. 2.

Membasuh kedua telapak tangan sampai pergelangan 3x (tiga kali) dengan air yang suci

3.

Berkumur.

4.

Beristisyaq (menghirup air ke dalam hidung)

Dan su nnah mengeraskan berkumur dan beristinsyaq bagi yang tidak puasa, dan makruh bagi yang puasa. Berkumur dan istinsyaq dilakukan 3x. 5.

Istinsaar (membuang air dari hidung) dengan meletakkan jari telunjuk dan ibu jari tagan

kiri di atas hidung. Jika dalam hidung terdapat kotoran yang keras, hendaklah dikeluarkan dengan jari kelingking tangan kiri. 6.

Mengusap kedua telinga bagian luar atau dalam hingga gendang telinga

Dalam mengusap telinga harus menggunakan air yang baru, bukan air yang habis digunakan mengusap kepala. 7.

Merenggangkan jari-jari kedua tangan dan kaki jika menghalangi masuknya air ke sela-

sela jari.

Caranya pada tangan ialah meletakkan bagian dalam pada salah satu telapak tangan di atas telapan tangan yang lain sambil memasukkan jari tanganpada tangan lain. Dan caranya pada kaki adalah meletakkan jari-jari tangan kiri diantara jari kaki, dimulai dari jari kelingking kaki kanan dan berakhir pada kelingking kiri pada bagian bawah kaki. 8.

Menggerakkan cincin agar air sampai pada bagian bawah jari.

9.

Mendahulukan anggota kanan ketika membasuh kedua tangan dan kaki.

10. Memulai dengan ujung anggota yaitu membasuh wajah mulai bagian atas sampai bawah dan membasuh kedua tangan mulai jari-jari sampai siku, mengusap kedua kepala mulai dari tempat yang biasa ditumbuhi rambut sampai bagian atas kepala, dan membasuh kedua kaki dari ujung jari-jari sampai kedua mata kaki 11. Melebihkan basuhan pada anggota yang wajib seperti wajah, tangan, kaki. 12. Membasuh dua atau tiga kali dalam segala hal, kecuali bila sudah merata, bila merata pada basuhan kedua, maka basuhan kedua itu dianggap kali pertama. Bila merata pada basuhan kali ketiga, maka semua basuhan dianggap kali pertama, dan hendakllah diteruskan dengan basuhan kali kedua dan ketiga. 13. Menghadap kiblat. 14. Tertib yaitu beruntun antara anggota-anggota wudhu tidak terdapat jarak yang lama, sehingga anggota yang telah dibasuh mengering kembali. 15. Membasuh tangan hingga pergelangan pada saat akan mulai wudhu. Ini biasa dilakukan Rasulullah SAW, sunnah ini sangat sesuai dengan fitrah dan akal. Sebab biasanya pada tangan itu ada debu atau yang serupa dengan debu. Maka sudah harusnya, kamu dimulai dengan membersihkannya sehingga kemudian bisa digunakan untuk mencuci muka dan anggota tubuh lainnya. Dan yang sangat ditekankan untuk melakukan itu adalah saat bangun dari tidur. Sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim. ‫ظ أووحضدضكءم عمءن نوءوعمعه فولو يضءدعخءل يوودهض عفىِ ءااعلوناَعء وحشتىِ يوءغعسلووهاَ ثولو ث‬ ‫ث فوإ عنشهض لويوءدعرىِ أوءيون وباَتو ء‬ ‫إعوذ اءستوءيقو و‬. ‫ت يوضدهض‬ “Jika seorang diantara kalian bangun dari tidur, maka janganlah ia memasukkan tangannya ke dalam wadah air hingga dia mencucinya sebanyak 3x. Sebab dia tidak tahu di tempat mana tangannya berada sebelumnya.[7] 16. Menyela-nyela jenggot yang lebat. 17. Memulai dari bagian kanan. Hendaknya ia mulai mencuci tangan kanan sebelum yang kiri, mencuci kaki kanan sebelm yang kiri. 18. Hemat dalam menggunakan air.

E.

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu

1.

Keluarnya sesuatu dari kubul atau dubur.

2.

Madzi dan Wadi

Termasuk yang membatalkan yang keluar dari kemaluan seorang laki-laki adalah madzi dan wadi. Madzi adalah sesuatu yang keluar dari penis seseorang lelaki setelah dia bercumbu, melihat atau berpikir mengenai seks. Dia adalah air yang kental yang keluar dengan cara mengalir dan tidak memancar laksana mani. Sedangkan wadi adalah air berwarna putih yang keluar setelah buang air kecil. Keduanya membatalkan wudhu seperti kencing, dan kewajiban seseorang yang keluar madzi dan wadi adalah istinja’ dan wudhu. 3.

Keluarnya Angin dari Anus

Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‫صلوةو اووحضدضكءم إعوذا أوءحود و‬ ‫ضاَوء‬ ‫ث وحشتىِ يوتووو ش‬ ‫لويوءقبوضل او و‬ Artinya: Allah tidak menerima shalat salah seorang dianatara kamu bila ia berhadats, sehingga ia berwudhu”. Abu Hurairah menafsirkan kata “hadats”, di sini ada orang bertanya kepadanya: “apa yang dimaksud dengan hadats”? Dia berkata: kentut yang tidak terdengar suaranya dan kentut yang terdengar suaranya. Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Zaid dari Ashim Al-Anshari, bahwa dia mengadukan sesuatu kepada Rasulullah tentang seseorang yang ragu merasakan sesuatu pada saat shalat yakni dia merasakan ada angin keluar dari anusnya, maka Rasulullah SAW bersabda: ‫صعر ء‬ َ‫صءوثتاَ أوءو يوعجودعرءيثحا‬ ‫ف وحشتىِ يوءسوموع و‬ ‫لويوءنفوتعءل أوءو لو يوءن و‬ “Janganlah dia berhenti (berpaling) hingga dia mendengar bunyi atau dia mencium bau”.[8] Artinya, dia masih tetap berada dalam keadaan suci dan dalam wudhunya, karena itu adalah keyakinan, dan keyakinan tidak hilang disebabkan keraguan, lain halnya jiak dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya. 4.

Tidur berat

Hal yang disepakati membalatkan wudhu adalah tidur nyeyak dan lama. Sebagaimana tidurnya seseorang yang tidur di malam hari, kemudian dia bangun pagi. Sedangkan yang berupa kantuk, maka dia tidak membatalkan wudhu, sebab itu adalah tidur ringan. ‫ )وكاَون أو ء‬:‫ضوي اض وعءنهض وقاَول‬ ‫ق ورضؤضسهضءم ثضشم‬ ‫صوحاَ ض‬ ‫م وعولىِ وعءهعدعن يوءنتوعظضرءوون اءلععوشاَوء وحشتىِ توءحفع و‬.‫ب ورضسءوضل اع ص‬ ‫ك ور ع‬ ‫س اءبعن وماَلع ع‬ ‫وعءن أونو ع‬ ‫صشحوحهض الشداور قض ء‬ ‫طعنىِ وواو ء‬ ‫صلضهض عفو ضمءسلعةم‬ ‫صللءوون وولو يوتووو ش‬ ‫ضضؤون )أوءخوروجهض أبضءو وداضوود وو و‬ ‫يض و‬ 5.

Bersentuhan laki-laki dan perempuan yang belumh nikah yang telah baligh dan berakal,

dan tidak ada penghalang antara keduanya. 6.

Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan tanpa ada penghalang

A.

Syarat Wajib Dan Syarat Sahnya Shalat

1.

Syarat Wajib Shalat

a.

Muslim

Muslim adalah orang yang beraga Islam. selain orang Islam tidak wajib melakukan shalat. Tetapi bagi orang yang murtad, kemudian masuk Islam, maka baginya wajib melakukan shalat dan mengqadha’ shalat yang ditinggalkan selama ia menjadi orang kafir.[2] Sholat yang dimaksud di sini adalah shalat lima waktu. Diantaranya adalah: dhuhur, ashar, maghrib, isya dan subuh. b.

Baligh Maka shalat tidak wajib bagi anak kecil yang belum baligh. Tetapi bagi anak kecil yang

sudah mencapai umur tujuh tahun, atau sudah tamyiz, hendaknya sudah diperintahkan untuk melakukan shalat. Ketika anak tersebut meninggalkan shalat, dan anak tersebut sudah mencapai sepuluh tahun, maka pukulah dengan pukulan yang tidak menyakiti. Ciri-ciri anak yang sudah baligh biasanya ditandai dengan umur yang sudah mencapai sepuluh tahun, mimpi keluar mani, haid bagi anak perempuan. Ciri-ciri tersebut tidak terkecuali pada orang memiliki dua kelamin. c.

Berakal Maka sholat tidak wajib bagi orang gila, orang mabuk, orang yang punya penykit ayan.

Tidak wajib mengqadha’ shalat bagi orang gila, apabila sudah sembuh dari penyakitnya.[3]

d.

Suci dari haid dan nifas

Wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan untuk melakukan shalat. Bahkan baginya haram untuk malakun shalat. Wanita yang haid atau nifas, tidak wajib mengqadha’ shalat ketika sudah dalam keadaan suci. Berbeda dengan puasa, tetap wajib mengqadha’ puasa yang ditinggalkan selama haid atau nifas. 2.

Syarat Sahnya Shalat

a.

Suci dari Hadats

Orang yang melakukan shalat dalam keadaan hadats, maka shalatnya tidak sah. Baik hadats kecil maupun hadats besar. Hal tersebut juga dihukumi haram. Cara menghilangkan hadats kecil yaitu dengan wudhu. Sedangkan untuk menghilangkan hadats besar dengan mandi besar. Bisa juga dengan tayamum jika memang dalam keadaan terpaksa. Bagi orang yang sedang mengalami dua hadats dalam keadaan bersamaan, cukup dengan satu kali mandi besar sudah menghilangkan kedua hadats tersebut. Walaupun ketika mandi, orang tersebut tidak berniat melakukan wudhu dan tidak mengurutkan anggota wudhu.[4] b.

Sucinya Badan, Pakaian, dan Tempat dari Najis

Najis yang dimaksud adalah semua jenis najis, baik mukhaffafah, mutawasitah, ataupun mughaladah. Tidak termasuk najis yang dima’fu. Maka, tidak sah orang yang shalat dalam keadaan terkena najis, walaupun orang tersebut lupa atau tidak tahu. Tidak tahu wujudnya najis, dan tidak tahu bahwa najis itu membatalkan. c.

Menutup Aurat Adapun uarat orang laki-laki dan wanita amat (budak) yaitu anggota di antara pusar dan

kedua lutut. Sedangkan uaratnya wanita merdeka di waktu shalat adalah seluruh anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik luarnya ataupun dalamnya sampai kepada pergelangan. Wajib menutup aurat, baik dalam keadaan sepi atau gelap.[5] Berbeda dengan orang yang tidak mampu untuk menutup aurat, maka baginya tetap wajib melakukan shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengualang kembali sholatnya, walaupun ada satir (tutup uarat) yang terkena najis. Dinama satir tersebut tidak sempat untuk dibersihkan, bukan satir yang sempat untuk disucikan. Berbeda jika orang tersebut hanya menemukan satir yang bisa menutup sebagian uarat, maka yang wajib ditutup terlebih dahulu adalah dua kemaluannya.[6] d.

Mengetahui Waktunya Shalat

Mengetahui waktunya shalat baik secara yakin maupun prasangka. Orang yang melakukan shalat, tanpa mengetahui waktunya shalat, maka shalatnya tidak sah, walaupun telah masuk pada waktunya. Berikut penjelasan waktu shalat:[7] 1)

Dhuhur, dinamakan shalat dhuhur karena shalat ini jelas. maksutnya terlihat dilakukan

di siang hari. Shalat dhuhur dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu shalat dhuhur dimulai dari condongnya matahari dari tengah sedikit ke kearah barat sampai bayangan suatu benda sama dengan bendanya. 2)

Ashar, dinamakan ashar karena shalat ini dilakukan pada waktu ashar atau mendekati

mendekati ghurub. Jumlah raka’at dalam shalat ashar adalah empat. Waktu ashar di mulai dari bayangan suatu benda sama dengan bendanya dan posisi matahari berada di sebelah barat, sampai terbenamnya matahari. Dalam melakukan shalat ashar, waktu shalat ashar di bagi menjadi lima waktu; a)

waktu fadhilah, yaitu dilakukan pada awal waktu;

b)

waktu ikhtiar;

c)

waktu jawaz bikarahah;

d)

waktu jauzah bila karahah;

e)

waktu tahrim, yaitu melakukan shalat di luar waktu yang telah di tetapkan.

3)

Maghrib, shalat magrib dilakukan dengan tiga raka’at. Dinamakan shalat maghrib

karena dilakukan pada waktu ghurub. Adapun waktu shalat maghrib dimulai dari terbenamnya matahari sampai kira-kira cukup untuk melakukan adzan, berwudhu atau tayammum, menutup aurat, dan melakukan shalat kira-kira lima raka’at. Pendapat seperti ini menurut qaul jadid. Sedangkan Imam Nawawi lebih mengunggulkan qaul qadim, yaitu dari terbenamnya matahari sampai hilangnya mega merah. . 4)

Isya, dinamakan dengan shalat isya karena dilakukan pada waktu isya. Shalat isya’

dilakukan dengan empat raka’at. Masuknya waktu isya dimulai dari hilangnya mega merah di ufuk barat, sampai pada terbitnya fajar shadiq. Waktu melakukan shalat isya dibagi menjadi dua. a)

Waktu ikhtiar, yaitu mulai dari hilangnya mega merah sampai pada sepertiga malam.

b) waktu jawaz, yaitu dari sepertiga malam, sampai terbitnya fajar shodiq. Sedangkan menurut syekh Abu Hamid, di dalam waktu isya terdapat waktu makruh. Yaitu waktu yang dilakukan di antara dua fajar, yakni fajar kazib dan fajar shadiq.

5)

Subuh, dinamakan dengan shalat subuh, karena shalat ini dilakukan pada waktu subuh.

Shalat subuh dilakukan dengan dua raka’at. Subuh sendiri memiliki makna pagi atau awalnya siang. Subuh memiliki lima waktu, sama seperti shalat ashar. a)

Waktu Fadilah, yaitu waktu awal. waktu awalnya sholat subuh adalah dari terbitnya fajar

shadiq. b) waktu ikhtiar, yaitu di mualai dari keluarnya fajar yang kedua, sampa langit mulai terang, maksutnya matahari belum terbit. c)

waktu jawaz bila karahah, yaitu pada saat langit berwarna kemerah-merahan. yang

terlihat sebelum matahari terbit. d) waktu jawaz bikarahah, yaitu pada saat matahari hampi terbit. e) e.

waktu tahrim, yaitu waktu diluar batas yang di tetapkan.[8] Menghadap Kiblat

Menghadap Kiblat disini adalah menghadap ke Ka’bah dengan dadanya. Kecuali bagi orang yang tidak mampu. Diantaranya adalah, shalatnya orang yang ketakutan. Walaupun shalat itu sholat fardu. Maka boleh shalat dengan keadaan yang memungkinkan, seperti dengan berlari, menunggang, menghadap kiblat atau tidak menghadap kiblat. Seperi orang yang berlari karena kebakaran, ada hewan buas, dan ular. Boleh tidak menghadap kiblat, shalat sunnahnya orang yang sedang dalam perjalanan, Walaupun dengan menunggang atau berlari. Wajib bagi orang yang sedang dalam perjalanan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, karena dianggap mudahnya melakukan kedua hal tersebut. f.

Mengetahui Fardunya Shalat

Tidak sah shalatnya orang yang tidak tahu dengan kefarduannya shalat, shalat yang disyariatkan, seperti keterangan dalam kitab Majmu’ dan Raudhah. B.

Rukun Shalat

Dengan menggabungkan tuma’ninahnya shalat dalam satu rukun, rukunnya shalat dibagi menjadi empat belas, diantaranya sebagai berikut[9]: 1.

Niat

Niat adalah menyengaja melakukan dengan hati . karena suatu hadits “sahnya suatu amal itu dengan niat”. Hal-hal yang wajib diucapkan dalam hati ketika melakukan niat shalat adalah sebagai berikut: a.

Sengaja melakukan shalat, supaya membedakan antara shalat dan perbuatan-perbuatan

yang lain.

b.

Menentukan shalat yang diniatinya, seperti dhuhur, ashar, atau yang lainya, supaya

membedakan dari shalat yang telah ditentukan. c.

Menyengaja bahwa adanya shalat itu fardu.

Sedangkan menyandarkan niat kepada Allah adalah sunnah. Berbeda dengan imam Al-Adzra’i yang mengatakan wajibnya menyandarkan niat kepada Allah. 2.

Takbiratul Ihram

Takbiratul Ihram dijadikan sebagai pembukaan shalat supayamushalli bisa menghadirkan maknanya takbir itu sendiri. Yaitu menunjukkan kepada keagungan Tuhan. sehingga orang segera bergegas berkhidmad kepada Tuhan, supaya bisa mencapai kesempuraan baginya sifat haibah dan khusu’. Dalam Takbiratul ihram wajib disertai niat, karena takbiratul ihram adalah permulaan rukun. Imam Rafi’i membenarkan bahwa “menyertai niat shalat di awal takbir sudah cukup”. Maksutnya niatnya sudah sah. Sedangkan lafazd takbirartul ihram sudah di tentukan, yaitu “Allahu Akbar”. atau “Allahul Akbar”[10]. 3.

Berdiri Bagi Yang Mampu

Berdiri bagi yang mampu disini adalah untuk shalat fardu. Walaupun shalat yang dinadzari atau diulangi. Baik mampu berdiri sendiri atau degan pertolongan orang lain. Sah bediri dengan meluruskan ruas-ruas tulang punggung, sekalipun dengan menyandarkan diri pada sesuatu yang ia bisa jatuh kalau sesuatu itu tidak ada. Bersandar dihukumi makruh. Berdiri membungkuk yang agak sedikit ruku’ tidak sah, bila ia mampu berdiri tegak. Bagi orang yang tidak mampu berdiri, boleh shalat dengan duduk. jika tidak mampu dengan duduk boleh dengan tidur miring menghadap ke arah kiblat. Jika tidak mampu tidur miring, boleh dengan terlentang, dengan telapak kaki mengadap kearah kiblat dan di bawahnya kepala wajib dikasih ganjal atau bantal, agar wajahnya bisa menghadap kiblat. Kemudian ruku’ dan sujudnya dengan isarat kepala, jikalau tidak mampu dengan kepala maka dengan pelupuk mata. Jikalau masih tidak mampu dengan pelupuk mata, maka isyarat dengan hati. Tidak ada gugurnya kewajiban shalat bagi seseorang, selama akalnya masih tetap. 4.

Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at

Wajib membaca fatihah disetiap raka’at pada saat berdiri, Kecuali raka’atnya orang yang masbuk. Tidak wajib bagi masbuk membaca fatihah sekiranya tidak dapat menemukan fatihahnya imam pada saat bedirinya imam, walau disetiap raka’at. Termasuk dalam surat AlFatihah adalah basmalah. Wajib menjaga tasdid-tasdidnya Al-Fatihah, huruf-hurufnya AlFatihah, makhraj-makhrajnya Al-fatihah, dan terus-enerusnya bacaan Al-Fatihah. Orang yang ragu-ragu apakah sudah membaca basmalah atau belum di tengah-tengah membaca AlFatihah, maka baginya wajib mengulangi Al-Fatihahnya.[11]

5.

Ruku’

Ruku’ adalah membungkukkan badan sekiranya telapak tangan sampai pada lutut, bukan jarijari. Belum dikatakan rukuk,jika hanya pucuk jari-jari yang sampai pada lutut. 6.

I’tidal

I’tidal adalah berdiri kembali dari ruku’. Ketika seseorang ragu-ragu dalam menyempurnakan i’tidal, maka wajib dengan segera mengulangi i’tidal. Berbeda dengan makmum, jikalau makmum wajib menggantinya dengan satu raka’at setelah salamnya imam. 7.

Melakukan Dua Sujud

Wajib melakukan dua sujud disetiap satu raka’at. Sujud dilakukan dengan menyungkur. Yaitu bagian pantat dan sekitarnya berada di posisi yang lebih tinggi dari kepala. Sujud dilakukan dengan meletakkan sebagian keningnya dengan keadaan terbuka. Jika pada keningnya terdapat pembalut, maka sujudnya tidak sah. Kecuali balutan luka yang sulit untuk dilepas, maka sujud dengan keadaan seperti ini sujudnya tetap sah. 8.

Duduk di Antara Dua Sujud

Tidak boleh memanjangkan duduk atau i’tidal, karena memanjang disini bukan suatu hal yang dimaksud. Akan tetapi, rukuk dan i’tidal berfungsi untuk memisah. Paling lamanya i’tidal adalah kira-kiranya bacaan Al-Fatihah. Sedangkan maksimalnya duduk di antara dua sujud adalah kira-kira bacaan tasyahud. Bagi orang yang memanjangkan i’tidal atau sujud melebihi batas yang ditentukan, padahal ia mengetahui maka sholatnya dihukumi batal. 9.

Tuma’ninah

Tuma’ninah wajib dilakukan disetiap ruku’, melakukan dua sujud, duduk di antara dua sujud, dan i’tidal. Batasan tuma’ninah adalah diamnya anggota badan sekiranya jadi terpisah perpindahan rukun satu ke rukun yang lain.[12] 10.

Membaca Tasyahud Akhir

Paling sedikitnya tasyahud akhir adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Tirmizhi. Yaitu bacaan attahiyah. 11.

Membaca Shalawat kepada Nabi

Paling sedikitnya shalawat adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”. Membaca shalawat dilakukan setelah tasyahud akhir. 12.

Duduk Tasyahud Akhir

Duduk tasyahud akhir adalah duduk karena membaca tasyahud akhir, atau karena salam. Sunnah duduk tasyahud akhir dengan duduk tawarak. Duduk tawarak adalah duduknya oraang menjelang salam, berbeda dengan makmum yang masbuk ketika imamnya dalam kedaan tasyahud akhir, maka masbuq dengan duduk iftirasy.

13.

Memaca Salam

Salam yang dimaksud disini adalah salam yang pertama. Paling sedikitnya salam adalah “Assalamualaikum”. Sedangkan mengucapkan dengan “Alaikumus Salam”. Mengucapkan salam dengan “Salamualaikum” Belum mencukupi dalam salamnya shalat. Begitu juga dengan ”salamullah” atau “salamii ‘alaikum”. Bahkan hal ini dapat membatalkan shalat jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui hukumnya. 14.

Tertib

Tertib sesuai dengan rukun-rukun yang telah disebutkan di atas. Orang yang sengaja merusak tertibnya rukun fi’li, seperti mendahulukan sujud sebelum ruku’, maka shalatnya dihukumi batal. sedangkan mendahulukan rukun qauli tidak membahayakan, kecuali salam.

C.

Sunah-Sunah Shalat

1.

Sunah Ab’adh

Sunah ab’adh adalah perkara yang disunahkan dalam shalat, dan apabila meninggalkannya, sunnah melakukan dua sujud sebelum salam. Yaitu yang biasa disebut dengan sujud sahwi. Dalam besujud sahwi, wajib disertai niat. Yaitu sejak menurunkan badan, hatinya sudahnya berniat mengerjakan sujud sahwi. Sunah ab’adh adalah sabagai berikut: a.

Tasyahud awal, yaitu bacaan yag wajib dibaca pada saat tasyahud akhir.

b.

Duduk tasyahud awal, dalam meninggalkan duduk tasyahud, sama dengan meninggalkan

berdiri pada saat qunut. Ketika seseorang tidak bisa memperbaiki membaca qunut atau tasyahud, dalam keadaan seperti itu, tetap disunahkan diam seukuran membaca tasyahud dan qunut. Dan jika meninggalkan salah satunya, maka disunahkan melakukan sujud sahwi. c.

Membaca do’a qunut, yaitu qunut ketika shalat subuh dan witir separonya bulan

Ramadhan. d.

Berdiri ketika membaca do’a qunut.

e.

Membaca shalawat kepada Nabi setelah qunut dan tasyahud awal.

f.

Membaca shalawat kepada keluarga Nabi setelah qunut dan tasyahud akhir.

Sujud sahwi dapat dilakukan sebab merasa ragu-ragu terhadap sebagian sunah ab’adh yang telah lewat. Misalnya qunut, sudah melakukan atau belum. Jika seorang munfarid atau imam lupa melakukan sunah ab’adh, misalnya tasyahud awal, atau qunut, sedang mereka telah melakukan fardu, baik seperti berdiri, atau sujud, maka bagi mereka tidak diperkenankan kembali untuk mengulangi sunah ab’adh tersebut. Sebab fardu adalah lebih utama daripada sunah.

2.

Sunah Hai’ah

Sunah hai’ah terbagi menjadi lima belas, diantaranya adalah: a.

Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram;

b.

Mengangkat kedua tangan ketika ruku’;

c.

Mengangkat kedua tangan ketika bangun dari ruku’;

d.

Manaruh tangan kanan di atas tangan kiri;

e.

Membaca tawajjuh;

f.

Membaca ta’awudz;

g.

Mengeraskan suara pada waktunya mengeraskan dan mengecilkan suara pada

waktunnya mengecilkan suara; h.

Membaca surat Al-Quran setelah membaca fatihah;

i.

Membaca takbir ketika turun karena ruku’ dan ketika bangun dari ruku’;

j.

Mengucapkan lafadz “sami’Allahu liman hamidah”;

k.

Membaca tasbih ketika ruku dan sujud;

l.

Menaruh kedua tangan di atas kedua paha ketika membaca tasyahud;

m.

Duduk iftirosy di semua waktu duduk;

n.

Duduk tawaru’ di tasyahud akhir;

o.

Membaca salam yang kedua.

D. 1.

Perkara Yang Membatalkan Shalat Niat memutus shalat, baik shalat fardu atau shalat sunnah, niat memutus shalat

membatalkan shalat. Batal bagi orang yang menggantungkannya dengan hasilnya suatu perkara, walaupun perkara itu halal dan sudah menjadi pengadatan. 2.

Merasa ragu bahwa shalatnya telah terputus. Hal seperti ini tidak batal, jikalau

menimpa kepada orang yang memang sudah sering was-was dalam shalat dan selain shalat. 3.

Pergerakan yang banyak lebih dari tiga kali gerakan yang terus-menerus. Tidak

membatalkan gerakan-gerakan kecil, seperti gerakan jari-jari, dan pelupuk mata. 4.

Berbicara dengan sengaja, walaupun hanya dua huruf secara terus-menerus. Berbeda

dengan membaca Al-Quran, dzikir, dan do’a yang tidak bertujuan memberi kepahaman seseorang, hal ini tidak membatalkan shalat. 5.

Masuknya sesuatu ke dalam perut. Sama halnya dengan yang membatalakan puasa.

Baik sedikit maupun banyak, makan atau minum tetap membatalkan shalat. Batal juga disebabkan makan yang banyak karena lupa. walaupun hal ini tidak membatalkan puasa. Tidak batal bagi orang yang tidak tahu atas kaharaman makan dan minum.

6.

Menambah rukun fi’li dengan sengaja. Tidak dalam keadaan bermakmum. misalnya

menambah rukun atau sujud, sekalipun tidak dengan tuma’ninah di dalamnya. Termasuk membatalkan shalat adalah seseorang dalam keadaan duduk, kemudian membungkuk sehingga keningnya sejajar dengan depan lulutnya, sekalipun hal itu dilakukan agar dapat duduk tawaruk dan iftirasy, yang kedua-duanya disunahkan. Sebab melakukan perbuatan yang membatalkan shalat itu tidak diampuni adanya demi melakukan perkara yang sunah. 7.

Meyakini atau menyangka bahwa kefarduannya shalat adalah sunnahnya shalat.

8.

Hadats, walaupun dengan tidak sengaja.

9.

Terkena najis yang yang tidak di ma’fu. tidak batal jika seketika langsung di buang.

10.

Terbukanya aurat, kecuali jika terbukanya aurat disebabkan oleh angin lalu dengan

seketika langsung ditutup kembali. 11.

Meninggalkan rukun secara sengaja.

12.

Merasa ragu-ragu akan niat takbiratul ihram atau syarat niat itu sendiri, padahal shalat

sudah berjalan satu rukun qauli atau fi’li, atau ragu-ragu yang lama melampaui sebagian rukun qauli yang terjadi. http://tugaskenuan.blogspot.com/2018/04/makalah-fiqih-sholat-fardhu-sholat.html

A.

DEFINISI PUASA

Shaum (puasa) berasal dari kata bahasa arab yaitu ‫صاَم يصوم صياَم‬shaama-yashuumu, yang bermakna menahan atau sering juga disebut al-imsak. Yaitu menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa. Adapun puasa dalam pengertian terminology (istilah) agama adalah menahan diri dari makan, minum dan semua perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, dengan syarat-syarat tertentu. B.

MACAM-MACAM PUASA DARI SEGI HUKUM

Ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan hambali sepakat bahwasanya puasa itu terbagi menjadi empat macam, yaitu : Puasa wajib, yaitu puasa bulan ramadhan, puasa kifarat, puasa nazar. Puasa sunnah (mandub) Puasa makruh Puasa haram Yang Pertama Ialah Puasa Wajib (Fardhu)

Puasa wajib atau fardhu yaitu puasa pada bulan ramadhan. Telah kita ketahui bahwasanya puasa fardhu ialah puasa ramadhan yang dilakukan secara tepat waktu artinya pada bulan Ramadhan secara ada’ dan demikian pula yang dikerjakan secara qadha’. Termasuk puasa fardhu lagi ialah puasa kifarat dan puasa yang dinazarkan. Ketentuan ini telah disepakati menurut para imam-imam madzhab, meskipun sebagian ulama hanafiyah berbeda pendapat dalam hal puasa yang dinazarkan. Mereka ini mengatakan bahwa puasa nazar itu puasa wajib bukan puasa fardhu. Puasa ramadhan dan dalil dasarnya Puasa ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang mukllaf yang mampu berpuasa. Puasa ramdhan tersebut mulai diwajibkan pada tanggal 10 sya’ban satu setengah tahun setelah hijrah. Tentang dalil dasarnya yang menyatakan kewajiban puasa ramadhan ialah Al-qur’an, hadits dan ijma’. Dalil dari Al-qur’an iala firma Allah swt : ١٨٥ ‫شهر رمضاَن الذي انزل فيه القران)البقرة‬ Artinya : (bulan yang diwajibkan berpuasa didalamnya) ialah bu;lan ramdhan, yang didlamanya diturunkan (permulaan) Al-qur’an.(Al-baqarah 185) Yang kedua ialah puasa sunnah (mandub) Puasa sunnah ialah puasa yang apabila kita kerjakan mendapat pahala, dan apabila kita tinggalkan atau tidak kita kita kerjakan tidak berdosa. Berikut contoh-contoh puasa sunnat: -

Puasa hari Tasu’a – ‘asyura – hari-hari putih dan sebagainya

Puasa sunnah diantaranya ialah berpuasa pada bulan Muharram. Yang lebih utama adalah tanggal ke 9 dan ke 10 bulan tersebut. -

Puasa hari arafah

Disunnahkan berpuasa pada tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah, dan hari itu disebut hari ‘arafah. Disunnahkannya, pada hari itu bagi selain orang yang sedang melaksanakan ibadah haji. -

Puasa hari senin dan kamis

Disunnahkan berpuasa pada hari senin dan kamis setiap minggu dan di dalam melakukan puasa dua hari itu mengandung kebaikan pada tubuh. Hal demikian tak ada keraguan lagi. -

Puasa 6 hari di bulan syawal

Disunnhakan berpuasa selama 6 hari dari bulan syawal secara mutlak dengan tanpa syaratsyarat -

Puasa sehari dan berbuka sehari

Disunnahkan bagi oramg yang mampu agar berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari. Diterangkan bahwa puasa semacam ini merupakan salah satu macam puasa sunnah yang lebih utama. -

Puasa bulan rajab, sya’ban dan bulan-bulan mulia yang lain.

Disunnahkan berpuasa pada bulan rajab dan sya’ban menurut kesepakatan tiga kalangan imam-imam madzhab. Adapun bulan-bulan mulia yaitu ada 4, dan yang tiga berturut-turut yakni: Dzulqa’dah, dzulhijjah dan Muharram, dan yang satu sendiri yakni bulan Rajab, maka berpuasa pada bulan-bulan tersebut memang disunnahkan . -

Bila seseorang memulai berpuasa sunnah lalu membatalkannya

Menyempurnakan puasa sunnah setelah dimulai dan meng-qadha nya jika dibatalkan adalah disunnahkan menurut ulama syafi’iyyah dan hanafiyyah. Yang Ketiga Ialah Puasa Makruh Puasa hari jum’at secara tersendiri, puasa awal tahun Qibthi, puasa hari perayaan besar yang keduanya disendirikan tanpa ada puasa sebelumnya atau sesudahnya selama hal itu tidak bertepatan dengan kebiasaan, maka puasa itu dimakruhkan menurut tiga kelompok imam madzhab. Namun ulama madzhab syafi’I mengatakan : tidak dimakruhkan berpuasa pada kedua hari itu secara mutlaq. Yang keempat ialah puasa haram Maksudnya ialah seluruh ummat islam memang diharamkan puasa pada saat itu, jika kita berpuasa maka kita akan mendapatkan dosa, dan jika kita tidak berpuasa maka sebaliknya yaitu mendapatkan pahala. Allah telah menentukan hukum agama telah mengharamkan puasa dalam beberapa keadaan, diantaranya ialah : Puasa pada dua hari raya, yakni Hari Raya Fitrah (Idul Fitri) dan hari raya kurban (idul adha) Tiga hari setelah hari raya kurban. Banyak ulama berbeda pendapat tentang hal ini(fiqih empat madzhab hal 385) Puasa seorang wanita tanpa izin suaminya dengan melakukan puasa sunnat, atau dengan tanpa kerelaan sang suami bila ia tidak memberikan izin secara terang-terangan. Kecuali jika sang suami memang tidak memerlukan istrinya, misalnya suami sedang pergi, atau sedang ihram, atau sedang beri’tikaf. C.

Syarat Wajib Puasa

-

Beragama Islam

-

Baligh (telah mencapai umur dewasa)

-

Berakal

-

Mumayyiz

-

Berupaya untuk mengerjakannya.

-

Sehat

-

Tidak musafir

D.

Syarat Sah Puasa

-

Beragama Islam

-

Berakal

-

Tidak dalam haid, nifas dan wiladah (melahirkan anak) bagi kaum wanita

-

Hari yang sah berpuasa.

E.

Rukun-rukun puasa

Niat mengerjakan puasa pada tiap-tiap malam di bulan Ramadhan(puasa wajib) atau hari yang hendak berpuasa (puasa sunat). Waktu berniat adalah mulai daripada terbenamnya matahari sehingga terbit fajar. Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sehingga masuk matahari. F.

Hal-hal yang membatalkan puasa dan mengurangi nilai puasa

Beberapa hal yang membatalkan dan mengurangi nilai puasa: Makan Ayat yang menjelaskan tentang batalnya puasa karena makan adalah Surah Al-baqarah ayat 187. Artinya : dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlam hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai(datang) malam. Minum Hubungan seksual Sama seperti surat diatas tapi yang membedakan adalah konsekuensi hukumnya yang lebih berat yaitu bagi suami istri yamg vberhubungan sex saat puasa Ramadhan maka ia harus membebaskan budak jika punya, atau jika tidak punya, berpuasalah selama 2 bulan berturutturut, atau jika tidak mampu, memberi makan fakir miskin 60 orang, dan mengganti puasanya. Adapun jika bermimpi di siang hari atau bangun kesiangan padahal dia lupa mandi zunub maka hal itu tidak membatalkan puasa. Muntah dengan sengaja

Hadist yang menjelaskan tentang muntah yang disengaja yang artinya : Barang siapa yang muntah maka tidak ada kewajiban mengganti terhadapnya. Namun barang siapa muntah denjgan sengaja maka hendaklah ia menggantinya. (HR. Tirmidzi, abu daud, ibn mazah, dari abu hurairah) Keluar darah haidh dan nifas sebagai konsekwensi dari syarat syahnya puasa. Gila saat sedang puasa Sedangkan hal yang mengurangi nilai puasa adalah mengerjakan hal-hal yang memang dibenci oleh Allah swt, seperti bertengkar berkata jorok, berperilaku curang, atau berbuat sesuatu yang tidak ada manfaatnya dan semacamnya. Intinya, bila seluruh panca indera dan anggota badannya tidak ikut dipuasakan terhadap halhal yang memang dibenci bahkan dilarang oleh allah swt maka dapat mengurangi bahkan menghilangkan bobot puasanya, sehingga dia termasuk orang yang merugi. G. Adab-adab berpuasa Niat karena Allah swt semata. Niat ini cukup dalam hati tanpa diucapkan. Akan tetapi banyak ulama yang berbeda pendapat tentang hal ini. Yang pertama ialah menurut imam hanbali, menurut beliau niat cukup pada awal puasa saja untuk satu bulan penuh. Kedua, ialah menurut imam Maliki yang mengatakan niat bisa dimulai ketika awal ramadhan sekaligus. Yang terakhir yaitu menurut imam Syafii yang mengatakan bahwa niat dilakukan setiap malam atau bertepatan dengan terbitnya fajar shadiq. Bahkan jika semisal ada seseorang yang berniat puasa satu tahun yang lalu itupun sebenarnya sudah bisa dikatakan niat. Berbeda halnya dengan puasa wajib, untuk puasa sunat kebanyakan ulama membolehkan berniat puasa pada siang hari, sebagaimana riwayat dari Aisyah bahwa Rosululloh saw pernah datang kepadanya dan bertanya “ apakah kamu punya sesuatu (maksudnya makanan?) jawab aisyah “ tidak! Kata Nabi saw “ kalau begitu saya puasa saja”. Dan dari riwayat tersebut dapat disimpulkanb bahwa niat puasa sunat bisa dilakukan pada siang hari. Makan sahur Nabi saw bersabda yang artinya “ sahurlah kalian, karena pada sahur itu terdapat berkah” (HR. Jama’ah kecuali abu Daud, dari Anas ra). Dari riwayat tersebut sudahlah jelas bahwa sahur pada saat akan berbuasa sangatlah dianjurkan. Sedangkan waktu makan sahur yang disunatkan dan yang paling baik menurut Nabi saw yaitu diakhir malam. Menjahui hal-hal yang dapat membatalkan puasa atau mengurangi nilai puasa.

Selain yang telah disebutkan di atas berkumur secara berlebihan saat berwudu juga termasuk salah satu hal yang bisa mengurangi nilai puasa. Seperti sabda Nabi saw yang artinya “ sempurnakanlah dalam berwudhu, sela-selailah diantara jari-jemarimu dan smpikanlah (ke dalam-dalam) dalam berkumur, kecualai kamu berpuasa”. ( HR. Imam yang lima, dari Laqith bin Shabirah). Berbuka puasa dengan segera. Bila waktu berbuka sudah tiba, sangat dianjurkan untuk menygerakannya. Hal ini karena Nabi saw bersabda yang artinaya: manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka. Segerakanlah berbuka karena orang Yahudi mengakhirkannya. H.

Halangan puasa

Beberapa uzur (halangan) yang membolehkan berbuka(tidak berpuasa) Sakit dan menderita kepayahan yang sangat Beberapa uzur atau halangan yang membolehkan orang yang berpuasa, berbuka atau membatalkan puasanya diantaranya ialah sakit. Apabila orang yang berpuasa jatuh sakit dan ia merasa khawatir bertambah sakit jika berpuasa atau ia khawatir terlambat kesembuhannya, atau ia malah menderita kepayahan yang sangat jika berpuasa maka ia diperbolehkan berbuka. Khawatirnya wanita hamil dan wanita menyusui terhadap bahaya bila berpuasa. Apabila wanita hamil dan wanita menyusui merasa khawatir ditimpa bahaya akibat berpuasa yang kelak akan menimpa pada diri mereka dan anak mereka sekaligus, atau pada dirinya saja, atau pada anak mereka saja, maka mereka diperbolehkan tidak berpuasa(berbuka). Berbuka sebab bepergian Diperbolehkan berbuka(tidak berpuasa) bagi orang yang bepergian dengan syarat bepergiannya itu dalam jarak yang jauh yang membolehkan shalat qashar, sesuai dengan ketentuannya. Dan dengan syarat hendaknya ia telah mulai pergi sebelum terbit fajar, yaitu sekiranya ia bisa sampai di tempat dimana ia memulai meng-qashar shalat sebelum terbit fajar. Apabila keadaan pergi itu yang membolehlkan meng-qashar shalat, maka ia tidak boleh berbuka. Puasa wanita yang sedang haidh dan nifas Apanila wanita yang sedang berpuasa datang bulan atau haidh, atau nifas, maka wajiblah berbuka dan haramlah baginya berpuassa. Jikalau ia memaksakan diri berpuasa, maka puasanya adalah batal dan dalam hal ini ia berkewajiban meng-qadha’. Orang yang ditimpa kelaparan atau kehausan yang sangat.

Adapun kelaparan dan kedahagaan yang sangat yang dengan kedua-duanya itu seorang seseorang tidak kuat berpuasa, maka bagi orang yang tertimpa hal seperti itu boleh berbuka dan ia berkewajiban meng-qadha’. Orang yang sudah lanjut usia Orang yang telah berusia lanjut, yang tidak kuat melakukan puasa pada seluruh masa dalam setahun, ia boleh berbuka, artinya ia boleh tidak berpuasa Ramadhan, tetapi ia berkewajiban membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Orang yang sudah lanjut usia tidak berkewajiban meng-qadha’. Sebab sudah tidak mampu melakukan puasa. Orang yang ditimpa penyakit gila disaat berpuasa. Apabila orang yang berpuasa ditimpa penyakit gila, meskipun hanya sekejap mata, maka ia tidak berkewajiban berpuasa dan puasanya tidak sah. Kewajiban atas meng-qadaha’ puasanya itu dijelaskan oleh imam syafi’I sebagai berikut: “bila ia sengaja dengan penyakit gilanya misalnya di malam harinya secara sengaja memakan sesuatu benda yang pagi harinya bisa menghilangkan akalnya, maka ia berkewajiban meng-qadha’ hari-hari dimana ia gila. Tetapi kalau ia tidak bersengaja gila, maka ia tidak berkewajiban meng-qadha’. I.

Hal-hal yang disunnahkan dalam berpuasa

Disunnahkan bagi orang yang berpuasa itu beberapa hal, yaitu: Bersegera untuk berbuka setelah nyata-nyata matahari terbenam. Dan berbuka itu dilakukan sebelum shalat. Dan disunnahkan berbuka itu dengan kurma basah, atau kurma kering, atau manisan atau air. Hendaknya yang dibuat berbuka itu ganjil, yaitu tiga atau lebih. Berdo’a setelah berbuka dengan do’a yang telah diajarkan oleh Nabi SAW. Makan sahur dengan sesuatu makanan walaupun sedikit. Meskipun hanya seteguk air. Seperti sabda Nabi SAW yang menjelaskan tentang makan sahur itu adalah berkah. Mencegah lisan dari omongan yang tidak berfaidah. Sedangkan mencegah lisan dari hal yang haram seperti menggunjing (ghibah) dan adu domba, maka hal itu adalah wajib setiap saat, dan hal itu lebih dikukuhkan pada bulan Ramadhan. Memperbanyak sedekah dan berbuat baik kepada sanak saudara, kaum fakir dan miskin. Menyibukkan diri dalam menunutut ilmu, membaca Al-Qur’an, berzikir, membaca shalawat atas Nabi SAW. Bilamana ada kesempatan untuknya baik siang hari maupun malamnya. Beri’tikaf. J.

Meng-qadha’ puasa Ramadhan

Barang siapa berkewajiban meng-qadha’ puasa Ramadhan karena membatalkannya secara sengaja, atau karena suatu sebab dari beberapa sebab terdahulu, maka ia berkewajiban meng-

qadha’ sebagai pengganti hari-hari yang ia batalkan dan ia qadha’ pada masa yang diperbolehkan melakukan puasa sunnah. Jadi tidak dianggap mencukupi meng-qadha’ puasa Ramadhan pada hari-hari yang dilarang berpuasa padanya. Seperti hari raya, baik idul fitri maupun idul adha’. Juga tidak dianggap mencukupi pada hari-hari yang memang ditentukan untuk berpuasa fardhu, seperti bulan ramadhan yang sedang tiba waktunya, hari-hari nazar yang ditentukan, misalnya ia bernazar akan berpuasa sepuluh hari diawal bulan bulan Dzulqo’dah. Jadi meng-qadha’ puasa ramadhan pada hari-hari itu tidak bisa dinilai mencukupi. Sebab telah ditentukan untuk nazar. Demikianlah menurut kalangan ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah. Begitu juga tidak bisa mencukupi melakukan qadha’ pada bulan Ramadhan yang sedang tiba saatnya. Sebab bulan tersebut ditentukan untuk menunaikan kewajiban puasa secara khusus. Jadi tidak bisa untuk dibuat melakukan puasa selainnya. Melakukan puasa qadha’ dianggap sah pada hari syak, karena pada hari itu melakukan puasa sunnah dianggap sah. Ketentuan meng-qadha’ ialah dengan cara mengikuti jumlah puasa yang terluput(tertinggal), bukan mengikuti hilal atau tanggal bulan. Jadi kalau seseorang meninggalkan puasa selama 30 hari atau sebulan penuh, maka ia harus meng-qadha(berpuasa) selama 30 hari juga. Jika dalam bulan yang ia puasa tersebut ada 29 hari, maka ia harus menambah 1 hari lagi. Bagi yang mempunyai kewajiban meng-qadha’ puasa disunnahkan untuk segera meng-qadha’ puasanya. Disunnahkan juga agar dilakukan secara berturut-turut dalam melakukannya. Dan berkewajiban juga meng-qadha’ secara segera apabila Ramadhan yang selanjutnya akan segera tiba. Barang siapa mengundur-undur qadha’ hingga bulan Ramadhan keduanya tiba maka ia berkewajiban membayar fidyah sebagai tambahan atas kewajiban meng-qadha’. Yang dimaksud fidyah ialah memberi makanan orang miskin untuk setiap hari dari hari-hari qadha’. Ukurannya ialah sebagaimana yang diberikan kepada orang miskin dalam kifarat. -

Cara mengeluarkan fidyah

Maksud Fidyah ialah satu cupak makanan asasi tempatan yang disedekahkan kepada fakir miskin mewakilli satu hari yang tertinggal puasa Ramadhan padanya. Makanan asasi masyarakat Malaysia adalah beras, maka wajib menyedekahkan secupak beras kepada fakir miskin bagi mewakili sehari puasa. Ukuran secupak beras secara lebih kurang sebanyak 670gram. Contohnya sipulan telah meninggalkan puasanya sebanyak 5 hari, maka dia wajib membayar Fidyahnya sebanyak 5 cupak beras kepada fakir miskin. Firman Allah yang bermaksud : “(Puasa Yang Diwajibkan itu ialah beberapa hari Yang tertentu; maka sesiapa di antara kamu Yang sakit, atau Dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa

sebanyak (hari Yang dibuka) itu pada hari-hari Yang lain; dan wajib atas orang-orang Yang tidak terdaya berpuasa (kerana tua dan sebagainya) membayar Fidyah Iaitu memberi makan orang miskin. maka sesiapa Yang Dengan sukarela memberikan (bayaran Fidyah) lebih dari Yang ditentukan itu, maka itu adalah suatu kebaikan baginya; dan (Walaupun demikian) berpuasa itu lebih baik bagi kamu daripada memberi Fidyah), kalau kamu mengetahui.” (AlBaqarah : 184) Fidyah dikenakan kepada orang yang tidak mampu berpuasa dan memang tidak boleh berpuasa lagi. Maka dengan itu Islam telah memberikan keringanan (rukshoh) kepada mereka yang tidak boleh berpuasa dengan cara membayar Fidyah yaitu memberikan secupak beras kepada orang fakir miskin. Begitu juga kepada orang yang meninggalkan puasa dan tidak menggantikan puasanya sehingga menjelang puasa Ramadhan kembali (setahun), maka dengan itu mereka dikehendaki berpuasa dan juga wajib memberikan secupak beras kepada fakir miskin. Begitu juga pada tahun seterusnya. Fidyah akan naik setiap tahun selagi mana orang tersebut tidak menggantikan puasanya. K.

Hikmah puasa

Puasa memiliki hikmah yang sangat besar terhadap manusia, baik terhadap individu maupun social, terhadap ruhani maupun jasmani. Terhadap ruhani, puasa juga berfungsi mendidik dan melatih manusia agar terbiasa mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam diri setiap individu. Puasa juga mampu melatih kepekaan dan kepedulian social manusia dengan merasakan langsung rasa lapar yang sering di derita oleh orang miskin dan di tuntunkan untuk membantu mereka dengan memperbanyak shadaqah. Sedangkan terhadap jasmani, puasa bisa mempertinggi kekuatan dan ketahanan jasmani kita, karena pertama, umumnya penyakit bersumber dari makanan, dan kedua, sebenarnya Allah SWT menciptakan makhluq-Nya termasuk manusia sudah ada kadarnya. Allah memberikan kelebihan demikian pula keterbatasan pada manusia, termasuk keterbatasan pada soal kadar makan-minumnya. Berikut ini hikmah yang kita dapatkan setelah berjuang seharian sacara umum: Bulan Ramadhan bulan melatih diri untuk disiplin waktu. Dalam tiga puluh hari kita dilatih disiplin bagai tentara, waktu bangun kita bangun, waktu makan kita makan, waktu menahan kita sholat, waktu berbuka kita berbuka, waktu sholat tarawih, iktikaf, baca qur’an kita lakukan sesuai waktunya. Bukankah itu disiplin waktu namanya? Ya kita dilatih dengan sangat disiplin, kecuali orang tidak mau ikut latihan ini.

Bulan Ramadhan bulan yang menunjukkan pada manusia untuk seimbang dalam hidup. Di bulan Ramadhan kita bersemangat untuk menambah amal-amal ibadah, dan amal-amal sunat. Bulan Ramadhan adalah bulan yang mengajarkan Manusia akan pentingnya arti persaudaraan, dan silaturahmi. Bulan Ramadhan mengajarkan agar peduli pada orang lain yang lemah. Bulan Ramadhan mengajarkan akan adanya tujuan setiap perbuatan dalam kehidupan. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita hidup ini harus selalu mempunyai nilai ibadah. Setiap langkah kaki menuju masjid ibadah, menolong orang ibadah, berbuat adil pada manusia ibadah, tersenyum pada saudara ibadah, membuang duri di jalan ibadah, sampai tidurnya orang puasa ibadah, sehingga segala sesuatu dapat dijadikan ibadah. Sehingga kita terbiasa hidup dalam ibadah. Artinya semua dapat bernilai ibadah. Bulan Ramadhan melatih diri kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap perbuatan, terutama yang mengandung dosa. Bulan Ramadhan melatih kita untuk selalu tabah dalam berbagai halangan dan rintangan. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan arti hidup hemat dan sederhana. Bulan Ramadhan mengajarkan pada kita akan pentingnya rasa syukur kita, atas nikmatnikmat yang diberikan pada kita. Dan masih banyak lagi manfaat atau hikmah puasa yang lain baik di dalam bidang kesehatan dan lain-lain. http://muflihuddinshi.blogspot.com/2014/07/makalah-tentang-puasa.html

BAB III PENUTUP A.

Kesimpulan

Shalat adalah ucapan dan perbuatan yang telah ditentukan, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu. Shalat wajib bagi setiap muslim yang berakal, baligh, dan suci dari haid dan nifas bagi wanita. Shalat dihukumi sah apabila: 1) orang yang shalat dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun hadats besar; 2) Bersihnya badan, pakaian, dan tempat sholat dari najis; 3) menutup aurat; 4)mengetahui masuknya waktu shalat; 5) menghadap kiblat; 6) mengetahui kefarduannya shalat; kefarduan shalat dinamakan dengan rukun shalat. Rukun shalat diantaranya adalah sebagai berikut: 1) niat; 2) Takbiratul Ihram; 3) Berdiri Bagi Yang Mampu; 4) Membaca Surat Al-fatihah disetiap Raka’at; 5) Ruku’; 6) I’tidal; 7) Melakukan Dua Sujud; 8) Duduk di Antara Dua Sujud; 9)Tuma’ninah; 10) Membaca Tasyahud Akhir; 11)Membaca Shalawat kepada Nabi; 12) Duduk Tasyahud Akhir; 13)Memaca Salam; 14) Tertib. B.

Kritik Dan Saran

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang. BAB IV Kesimpulan Puasa adalah salah satu rukun islam, maka dari itu wajiblah bagi kita untuk melaksanakan puasa dengan ikhlas tanpa paksaan dan mengharap imbalan dari orang lain. Jika kita berpuasa dengan niat agar mendapat imbalan atau pujian dari orang lain, maka puasa kita tidak ada artinya. Maksudnya ialah kita hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dan tidak mendapat pahala dari apa yang telah kita kerjakan. Puasa ini hukumnya wajib bagi seluruh ummat islam sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(Q.S AlBaqarah) Berpuasalah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dibuat oleh Allah swt. Allah telah memberikan kita banyak kemudahan(keringanan) untuk mengerjakan ibadah puasa ini, jadi jika kita berpuasa sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah kami sebutkan diatas, kita sendiri akan merasakan betapa indahnya berpuasa dan betapa banyak faidah dan manfaat yang kita dapatkan dari berpuasa ini.

Maka dari itu saudara-saudari kami sekalian, janganlah sesekali meninggalkan puasa, karena puasa ini mempunyai banyak nilai ibadah. Mulai dari langkah, tidur dan apapun pekerjaan orang yang berpuasa itu adalah ibadah. BAB IV Daftar pustaka Kuliah fiqh ibadah oleh Syakir Jamaluddin, MA. Fiqih Empat Madzhab (bagian ibadah) oleh Drs. H. Moh. Zuhri, Dipil. Tafl dkk. Buku puasa lahir dan batin oleh Malaki Tabrizi Terjemah ihya’ ulumiddin( jilid II) oleh imam ghazali

Related Documents

Rukun Yang Lima
December 2019 9
Rukun
November 2019 34
Syarat-syarat
June 2020 39

More Documents from ""