Riau Daratan.pdf

  • Uploaded by: Tressi A Hendraparya
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Riau Daratan.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 121,482
  • Pages: 405
1

Tressi A.Hendraparya

RIAU DARATAN Dari Darat Sampai Pesisir

Soreram Media, Cetakan II Pekanbaru, Tahun 2016

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

2

Judul

:

RIAU DARATAN Dari Darat Sampai Pesisir

Penulis

:

Tressi A.Hendraparya

Penerbit

:

Soreram Media - Pekanbaru

Gambar Cover Sumber

: :

Peta residensi di Sumatra Tengah era Hindia. Verslag betreffende Nederlandsch (Oost) Indie van 1909.

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved

Cetakan ke-2, Tahun 2016

ISBN 978-602-99968-0-7

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

3

"Mari kita Bangun Semangat kebersamaan dalam kesatuan dan persatuan untuk mencapai cita-cita besar Provinsi Riau, Tahniah Hari Jadi ke-58 Provinsi Riau, Tanah Tumpah Darah Melayu, Takkan Melayu Hilang di Bumi," Andi Rachman, Plt.Gubernur Riau, “Homeland of Melayu,” 14 Agustus 2015

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

4

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

5

Provinsi Riau (Daratan), sumber:Wikipedia;googleweblight.com

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

6

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

7

SUATU PENGANTAR Assalaamualaikum ww. Encik-encik, Tuan-tuan dan Puan-Puan, Riau saat ini, bukanlah suatu entitas politik, budaya ataupun geografis yang muncul begitu saja di tahun 1958 sebagai tahun berdirinya Provinsi Riau, melainkan suatu hasil dari pergulatan panjang kesejarahan Masyarakat Riau yang pada saat awal mulanya, terdiri dari beragam politi dan puak. Keberagaman ini, seperti terlihat di hari ini, terwadahi dalam suatu lingkup yang terus berkembang dan berpadu dalam bingkai kemelayuan Riau Daratan. Penulisan Riau Daratan, dengan sub judul Dari Darat Sampai Pesisir dimaksudkan untuk mengenangkan kembali proses panjang Ke-Riau-an tersebut, keterpaduan Riau Daratan yang telah menjadi kesepakatan umum para pendahulu Riau hingga hari ini, untuk menuju kehidupan yang lebih baik sesuai dengan martabat Melayu – Riau. Disadari, bahwa potensi konflik selalu ada pada seluruh masyarakat ataupun politi diseluruh dunia, terutama jika dikaitkan dengan kesejarahan yang difregmentasi oleh dinginnya cengkraman kuku kolonial, sehingga terkadang air tenang pun kan beriak. Namun dengan kearifan lokal dan penggalian nilai-nilai kesejarahan yang patut dijadikan keteladanan dalam berkehidupan politik, maka akan lebih menyenangkan untuk tetap berpadu dalam bingkai ke-Riau-an(Daratan); perjalanan sang waktu yang akan memberikan jawabannya. Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya pada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, kepada pihak KITLV, National Archieve, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia(ANRI), Perpustakaan Wilayah, kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi Riau, juga Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir atas segala kemudahan yang diperoleh selama penulisan buku ini. Hormat kami kepada para tokoh masyarakat, Budayawan, Sejarahwan, cerdik pandai, alim ulama, para dosen dan guruku-tempat ku RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

8

melihat pelita tanpa ragu, kepada rekan-rekan mitra diskusi yang telah bersusah-payah meluangkan waktu berharganya, kepada Kakekku Sang Perintis Kemerdekaan; Alm.Letkol.inf.H.Idris Sutrisna dan keluarga besar, Kakekku Alm.R.Soekabat W. dan Keluarga Besar, kepada Ayahku Alm.R.H.Soekabat juga Ibuku, Hj.Tuti Suparyati,BA, Kepada Orangtua Ku H.Sardjoko,Mpd dan Keluarga Besar, kepada Kanda Ferry H.Parya, Kakakku; Frissa Hendraparya, isteriku Agustina Sri Hastuti dan anak-anak dirumah; Mutiara Cahaya Negeri; Muhammad Bintang Cahaya Negara dan Muhammad Buminata Cahaya Negara, para kerabat, rekan sejawat, teman diskusi; juga kepada berbagai pihak atas dukungannya, yang telah banyak membantu namun tidak dapat Kami sebutkan satu persatu disini. Akhirnya, kepada seluruh masyarakat Riau, kepada mereka jualah buku ini didedikasikan. Wassalaamualaikum ww. Bagansiapiapi, 21 September 2015 Hamba Allah,

Tressi A Hendraparya

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

9

Kepada Ibu dan Ayahku, isteri dan anak-anak ku, Terimakasih atas Segala dukungan dalam melewati hari-hari Hingga terbit buku ini

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

10

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

11

DAFTAR ISI Hal.

Daftar Judul

1

Kata Pengantar Penulis

9

Daftar Isi

11

Pendahuluan …………………………………………………….

13

1 Rekonseptualisasi Riau ……………..………………….

23

2 Menghulu – Menghilir …………………………………….

55

3 Kondisi Ekologi dan Kultural …………………………….

103

4 Dinamika Darat - Pesisir…………………………………

141

5 Pesan Kemandirian Negeri Daratan ………………

191

6 Aneksasi Pesisir ………………………………………………

211

7 Perluasan Otoritas Hindia Di Pedalaman ………

277

8 Negeri Dalam Transisi ……………………………….

351

9 Penutup ………………………………………………………

385

Daftar Pustaka ……….………………………………………

393

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

12

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

13

PENDAHULUAN Riau Daratan, penyebutannya tidak hanya untuk memudahkan penyampaian maksud atas wilayah Provinsi Riau pada bahagian daratan Sumatra; hal ini juga berarti, bahwa Riau meliputi wilayah diluar daratan, tepatnya Kepulauan. Dua entitas yang seringkali dikatakan sebagai berbeda, dan benar-benar terpisah melalui pemekaran provinsi di tahun 2002, wilayah Kepulauan berdiri sendiri dengan menggunakan nama Provinsi Kepulauan Riau, dan Riau (Daratan), merupakan bahagian kawasan daratan timur Sumatra dengan beberapa area pulau di seberang muara sungai, sebagai yang lazim ditemui di Pantai Timur. Berbicara tentang kesejarahan dari Riau Daratan, maka tidak akan dapat diabaikan hal yang telah berlangsung di Selat Malaka, tentang kerajaan Melayu di Semenanjung, dan juga yang telah terkisah di Jantung Sumatra; pulau sebagai Bhumi-Melayu tanahnya sendiri. Kerajaan-kerajaan Melayu yang memiliki pengaruh dalam perjalanan kesejarahan Riau Daratan, tercatat tidak terlepas dari pengaruh dua peradaban tersebut, yang memberi warna pada identitas-tradisional sebagaimana terus berkembang dan bertahan hingga hari ini; bahkan, jejak kedatangan “nenek-moyang” sejak era migrasi Proto-Melayu dan DeutroMelayu,1 terlihat dalam arbitrasi keruangan yang menjadi corak khas Riau Daratan. Meskipun demikian, konsepsi ke-Riau-an dapat ditelusuri pada Kemaharajaan yang melebarkan wilayah kekuasaannya menyeberangi Selat 1

Terdapat beberapa pandangan tentang asal-usul masyarakat Asia Tenggara, seperti dari Asia Tengah ataupun India, atau juga dari daratan Yunan di China. Proto Melayu(Melayu Tua) diperkirakan bermigrasi ke Nusantara pada 2500-1500 SM, menyebar di Sulawesi dan Maluku, Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, bahkan ke Madagaskar; mereka saat ini, diantaranya dikenal sebagai Talang Mamak dipedalaman Indragiri, sementara di Kepulauan Riau dikenal sebagai Orang Laut; juga meliputi Suku Bonai dan Suku Akit. Adapun gelombang berikutnya adalah Deutro Melayu(Melayu Muda), melakukan migrasi ke Nusantara antara tahun 250-150 SM yang berasal dari Yunan menyebar di Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa; umumnya bermukim dikawasan pesisir, akan tetapi terdapat juga yang memasuki kawasan pedalaman. Selain itu, ditemukan juga bangsa Wedoid yang bermigrasi dari Srilanka yang terdesak oleh bangsa Indo-Arya pada abad ke-6 SM. Bangsa Wedoid ini, ditemui di Semenanjung sebagai Suku Senoi, di Siak sebagai Suku Sakai, Suku Mentawai di Pantai Barat Sumatra, dan di Jambi sebagai Suku Kubu. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

14

hingga dataran rendah timur Sumatra, terutama pada lima aliran sungai besar; Rokan, Siak, Kampar, Indragiri dan Batang Hari. Akan tetapi, kedatangan bangsa penakluk; Portugis di tahun 1511, telah merubah peta tersebut, yang juga diiringi dengan penetrasi VOC selama periode abad ke-17 sehingga negara-negara di pesisir timur lebih memilih untuk berdiri sendiri, era yang dimulai terutama sejak pendirian Siak oleh Raja Kecil tahun 1722. Sebelumnya, Raja Kecil yang mengklaim keturunan Raja Johor trah Malaka, Sultan Mahmud yang terbunuh tahun 1699, dengan dibantu Minangkabau melakukan penyerbuan ke Johor,2 mengangkat dirinya menjadi Sultan, akan tetapi, aliansi antara Sultan Sulaiman dan sekelompok Bangsawan Bugis, telah menyebabkannya meninggalkan Riau3 dan menuju Buantan-Siak. Berdirinya politi-politi di dataran rendah Timur Sumatra dengan berbasis pada eks wilayah Melaka-Johor, bagaimanapun juga “dibayangi” oleh realita darat – pesisir yang merupakan kharakter Sumatra, sebagai akibat klaim Minangkabau atas rantau di sebelah timur. Bahwa runtuhnya kerajaan Melayu Klasik Pagaruyung pada tahun 1830-an, menggeser peta politi-politi dipedalaman ranah timur, seperti rantau Kuantan, Kampar Kiri dan kanan serta Rokan. Perubahan nyata mungkin saja terlihat pada lanskap Tapung (kanan dan Kiri), yang sebelumnya berada pada tarikan kekuatan dua kutub; Johor dan Pagaruyung, menjadi benar-benar berada dibawah kekuasaan negara pesisir terutama semenjak penetrasi Belanda melalui Traktat tahun 1858 antara Siak - Belanda. Bahwa kekuasaan kolonial telah memencilkan, mereduksi kekuasaan tradisional politi-politi; seperti Siak yang pada abad ke-20 berada dalam statusnya sebagai wilayah onderafdeeling Siak, berada dibawah Afdeeling Bengkalis; kekuasaan yang dilucuti, tanpa kepemilikan militer yang memadai sebagai kekuatan utama diawal pendiriannya. Politik aneksasi yang dilancarkan, menggerogoti kekuasaan dan juga kewibawaan kepemimpinan tradisional, bahkan pada situasi tertentu menimbulkan konflik berdarah antara hulu – hilir, seperti yang terjadi antara lanskap di hulu sungai Rokan dan Siak. Bahwa Belanda, tidak memperkuat keterpaduan Riau kuno antara Kepulauan – Daratan, 2

Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74. 3 Bahwa Raja Kecil meninggalkan Riau setelah melalui pertarungan ketatnya dengan Bugis, lihat Norhalim Hj.Ibrahim, “Sejarah Linggi: Pintu Gerbang Sejarah Pembangunan Negeri Sembilan.” Shah Alam, penerbit Fajar Bakti, 4, Kuala Linggi Semasa Pemerintahan Raja Kecil di Johor, 1998. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

15

melainkan membentuk sendiri wilayah administrasi yang berbasis kepentingan khas kolonial di tanah jajahannya. Kedatangan balatentara Jepang di tahun 1942 yang mengakhiri kekuasaan Hindia Belanda, sama sekali tidak memperkuatnya. Sama dengan pendahulunya, sang penjajah Jepang nampaknya juga tidak benar-benar memahami ikatan tadisional kepulauan – daratan, dan kemudian menempatkan Kepulauan bersama-sama dengan Semenanjung, terpisah dengan daratan Sumatra yang berbasis di Singapura. Untuk Daratan, maka reorganisasi “Riau-Syu” menempatkan Kampar, Siak, Bengkalis, Indragiri dan juga Bangkinang (sebagai eks Sumatra barat) dengan berpusat di Pekanbaru. Mungkin saja reorganisasi versi Jepang telah membesarkan hati Kepulauan yang terkenang dengan kebesaran imperium Melayu Riau Johor, akan tetapi disisi lainnya telah semakin mempertajam perbedaan Kepulauan dan Daratan. Ketidakjelasan arah pembentukan administrasi kewilayahan masa awal republik, telah membawa Riau Kepulauan dan Daratan pada provinsi Sumatra Tengah bersama-sama dengan Sumatra Barat dan jambi yang beribukota di Bukit Tinggi. Pemapanan ekonomi dan juga transformasi kepemimpinan Minangkabau di wilayah Riau, jelas saja membangkitkan ketegangan antar Melayu dan Minangkabau, 4 terlebih dengan pengalaman sejarah bahwa ketegangan antara darat – pesisir selalu diwarnai dengan tingginya migrasi dari pedalaman. Bahwa hal ini nampaknya juga menyangkut pertanyaan tentang sejauh mana batas-batas provinsi dan wilayah militer harus bertepatan dengan etnisitas. Pecahnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada tahun 1958 telah menginisiasi pergulatan antara Pemerintah republik di Jakarta dan pimpinan PRRI untuk kontrol atas mantan residensi Riau. Menyadari pentingnya ekonomi Sumatera daratan, pusat melakukan upaya yang kuat untuk memerangi pengaruh kaum revolusioner di Riau. Pasukan dari Jawa mendarat di Bengkalis pada bulan Maret 1958 dan tidak lama kemudian Pekanbaru pun diambil alih. Pada awal April semua Daratan Riau berada di bawah kendali pusat.5 Pusat sendiri telah merespon ketegangan di Sumatera dengan keputusan tahun 1957 untuk menarik-ulang batas Riau sekali lagi, kali ini hanya Bengkalis, Kampar, Inderagiri, Kepulauan Riau dan Kotapraja Pekanbaru. Bertepatan dengan tindakan ofensif pusat melawan 4

. Lihat Taufik Ikram Jamil dkk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Yayasan Pustaka Riau, 2003, hal.30; Barbara W.Andaya, 1997. 5. Feith 1962: 520-38. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

16

PRRI, Gubernur pertama menjabat Maret 1958. Meskipun Semenanjung Malaya dan Singapura yang tentu saja dikecualikan, sebagai batas-batas baru kerajaan tua; dengan demikian dapat dikatakan batas-batas kuno itu telah terbukti sangat kuat, bahkan di masa sulitnya ekonomi dari konfrontasi dan tahun-tahun terakhir rezim Soekarno. Namun, perbedaan radikal terjadi atas lokasi pusat pemerintahan, dengan kembali pulihnya perdamaian pada tahun 1959 ibukota Riau pun dipindahkan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru.6

Riau Sebagai Ruang Interaksi Geografis Riau, nampaknya sepadan dengan kondisi geopolitik yang berkembang selama hampir separuh milenium ke-2, yang merupakan eks wilayah kerajaan Malaka. Jika Riau Kepulauan mencerminkan kondisi wilayah yang terdiri dari gugusan pulau-pulau ditepi Laut Cina Selatan, maka halnya wilayah Riau daratan berada diseberang Semenanjung ditepian Selat Malaka pesisir timur Sumatra. Riau Daratan merupakan wilayah yang dialiri oleh empat sungai besar; Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri; berhulu dibarisan pegunungan yang menghilir menuju pesisir timur; kondisi yang telah menyediakan ruang-ruang pertemuan antara berbagai kelompok masyarakat pedalaman yang mendiami sepanjang tepian sungai dan anak sungai dengan suatu dunia perdagangan internasional di selat, atau telah menjadikan wilayah sepanjang “jalan-raya” sebagai basis pasar pertukaran ataupun tempat transit produk. Kondisi geografis ini juga meyakinkan untuk dapat memahami pertemuan berbagai kepentingan yang didominasi oleh negara di semenanjung dan juga dari wilayah pedalaman di Sumatra Tengah. Hal inilah yang menjadikan kawasan yang termasuk kedalam Riau Daratan berbeda, terutama dibandingkan dengan negeri-negeri Melayu lainnya, seperti Jambi, Palembang, atau kearah barat seperti Sumatra Utara. Dengan sejumlah “jalan raya” yang menghubungan pegunungan hingga semenanjung, maka dapat dipastikan bahwa interaksi akan lebih intens di sini jika dibanding tempat lainnya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa dinamika perkembangan negerinegeri dikawasan Pantai Timur Sumatra tepatnya di pesisir timur Sumatra Tengah, tidak terlepas dari situasi yang berkembang; baik di pedalaman

6.

Lutfi 1977: 691, 696. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

17

maupun pada wilayah Semenanjung diseberang selat dan juga gugusan pulaupulau Riau. Dari serangkaian laporan dari para observer atas kondisi wilayah pesisir hingga abad ke-19, dapat dikatakan terdapat wilayah-wilayah arbiter antara dua kekuatan kultural; Minangkabau dipegunungan dan Melayu di seberang pantai yang bertemu, terutama di wilayah pesisir. Tomi Pires dalam Suma Oriental mencatat bahwa pada awal abad ke-16, terdapat kerajaan mulai dari Arcat – sebelah barat Rokan, kemudian Siak, Kampar, Indragiri hingga perbatasan Jambi yang dikatakannya merupakan rantau Minangkabau; akan tetapi dikatakannya juga bahwa mereka adalah orang-orang Melayu.7 Anggapan ini, berkemungkinan melihat Indragiri sendiri merupakan pelabuhan utama dari kerajaan Minangkabau dalam memasarkan produk emasnya.8 Meskipun demikian, fakta lainnya mengatakan bahwa wilayah Siak, Kampar dan Indragiri merupakan bahagian dari Kerajaan Melaka, setidaknya pada era Sultan Mahmud Syah III (wafat 1477), dimana sebagai tanah lungguh Sultan Melaka, anak-anak sang Sultan kemudian dinabalkan dikerajaankerajaan tersebut. Bentuk hubungan antara Melaka dan negara pesisir timur tersebut diyakini sebagai bentuk negara vassal (bawahan). Dapat pula dipertimbangkan, bahwa pada suatu masa wilayah kekuasaan suatu kerajaan tidaklah dititikberatkan pada batas-batas wilayah melainkan pada kesetiaan rakyat yang mendiami wilayah tersebut. Kondisi ini dapat diduga telah menyebabkan loyalitas “cair” dari rakyat-hamba yang merupakan subyeklangsung Sultan. Dalam hal di bahagian timur Sumatra Tengah, maka dapat diasumsikan, terjadi loyalitas “mendua” atau kepada dua “tuan”; Melayu Semenanjung (Melaka-Johor) dan pedalaman Minangkabau.9 Secara ekologi, konsepsi ruang arbitrer ini dapat dilihat dari serangkaian alam pegunungan yang menurun menyusuri sungai melintasi lembah-lembah subur, hutan tropis perawan dan bentangan rawa-rawa, bertemu dengan milleu lautan dan hingarnya perdagangan Strait; membentuk apa yang 7

Pires, Tome, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt Society. 2 vols.1944. 8 Lihat Christine Dobbin, “Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement”, Indonesia, 23 (1977). 9 Seperti kasus Petapahan, terutama pada abad ke-17. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

18

dinamakan “wilayah perbatasan” antar dua konsepsi alam tersebut. 10 Bahwa realita menunjukkan tentang populasi yang mendiami wilayah Riau Daratan, hingga abad ke-19 terdikhotomi antara populasi dengan kharakter Minangkabau di wilayah hulu, dan Melayu di bahagian pesisir. Persoalan ini, telah menjadi sorotan para ahli terutama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Menjelang berakhirnya rezim orde baru, di tahun 1997, Barbara Watson Andaya telah mengemukakan bahwa persoalan “batas-batas” Riau tidak hanya meliputi Riau Kepulauan dan daratan, melainkan juga untuk mempertimbangkan dinamika antara hulu-hilir dari Riau Dataran;11 lebih jauh bahwa kondisi latar historis dan orientasi menjadikan perlunya dilakukan penelaahan kembali atas batas-batas sebagai dampak penyatuan dalam bentuk pemerintahan Provinsi pada tahun 1958 yang terkesan “tergesa-gesa,” yang nampaknya memang terlihat dari peristiwa politik yaitu pemekaran Provinsi Riau Kepulauan pada tahun 2002. Bahwa di daratan batas-batas sebagai garis imajiner antar darat dan pesisir, sebagaimana diketahui mengerucut menjadi batas-batas etnis disebelah dataran tinggi hingga kawasan lembah, dan juga dipesisir. Jika pesisir adalah dataran rendah timur di hilir sungai, maka darat disini diartikan sebagai dataran rendah (peneplein) di hulu sungai, berbeda dengan darek sebagai dataran tinggi Padang(Padangsch Bovenlanden) yang terutama mendiami kawasan lembah subur dikaki gunung. Leonard Andaya12 yang mendalilkan terjadinya etnisisasi bermula dari persaingan antara politi Pagaruyung di pegunungan barisan dan Melaka di Semenanjung Malaya, sehingga entitas pegunungan mempertajam identitas untuk membuatnya tampil beda dan terpisah dengan wilayah pesisir yang telah identik dengan kompetitornya; Semenanjung; terutama berkaitan dengan perdagangan yang disertai migrasi dan juga 10

Timothy P.Barnaard, 2014, “We are Comfortable ridding the waves: Lanscape and the Formation of a Border State in Eighteen Century Island South Asia,” dalam “Borerlands in World History, 1700-1914, sebagai Border Land, bahwa negara Siak dikatakannya sebagai kawasan “hybrid” yang unik, yang menguasai kawasan perbatasan antara alam maritim dan pegunungan. 11 Barbara Watson Andaya, Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context, In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition (1997), no: 4, Leiden, 483-508 12 Leonard Y.Andaya, 2008, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaca, 2008. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

19

melalui peran penguasa baik tradisional maupun kolonial dalam menyediakan ruang pembentukan identitas. Berkaitan dengan pesisir, maka dapat pula kita lihat Timothy P.Barnard13 yang menelisik masyarakat pesisir terutama Siak, yang dikatakannya telah mengalami proses etnisisasi Melayu pada abad ke18; transformasi dari komunitas budaya pegunungan menjadi pesisir sebagai entitas yang terlepas dari hulu. Sementara itu Siak, kemunculannya diabad ke-18 telah memperlunak dinamika darat - pesisir dimana sebagai kerajaan pesisir terlihat mengambil perannya dalam menfasilitasi perdagangan dari darat dan sekaligus berhadap-hadapan dengan kekuatan di Semenanjung.14 Saat ini, ikatan politis tradisional Kepulauan – Daratan nampaknya memudar terlebih dengan penegasannya melalui pemekaran Provinsi. Sementara Riau Daratan sendiri, terlihat dibayang-bayangi oleh issue dinamika darat–pesisir, kategorisasi yang pada awalnya mengacu pada kondisi geografis, akan tetapi sejak abad ke-19, terlihat tidak lagi mutlak berhubungan dengan aspek-aspek alamiah saja, melainkan meliputi kultur yang dilihat dan dirasakan sebagai “berbeda.” Dalam konteks itulah buku ini mencoba untuk memahami asosiasi darat – pesisir di Riau Daratan. Hubungan itu seperti yang lazimnya terjadi, dapat berupa kerjasama atau persaingan, integrasi ataupun konflik, akan tetapi, ini saja dirasa belum cukup untuk memenuhi rasa dari pembentukan ideologi umum yang dianut dikalangan masing-masing entitas. Kondisi ini mengingat, bahwa Riau Daratan tidaklah sama dengan, seperti; Jambi dan Palembang yang masing-masing memiliki satu sungai besar saja; Batang Hari dan Musi. Adapun Riau Daratan, sebagaimana telah disebutkan, memiliki empat sungai besar dengan kharakter khasnya masing-masing; bahwa jika penduduk pedalaman memiliki beberapa pilihan jalur perdagangan melalui darat atau sungai, maka otonomi mereka pun meningkat; otonomi menurun bila mereka hanya bergantung pada satu aliran sungai,15 model yang berlaku di sebahagian besar Indonesia bagian barat. 16 13

Barnard, 2006, sebagai proses yang berpuncak pada masa cucu Raja Kecil; Raja Ismail. J. Kathirithamby-Wells, Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before the Mid-Nineteenth Century, In: Archipel. Volume 45, 1993. pp. 77-96. 15. Bronson,1977. 16. Ellen,1979; Andaya, 1993. 14

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

20

Meskipun keseragaman tinggi terjadi di dataran rendah timur, akan tetapi, orientasi yang terbentuk sebagai hasil pengalaman interaksi dalam sejarah, diasumsikan akan dapat menimbulkan hasil yang berbeda pula. Kompleksitas dan rumitnya hubungan diasumsikan akan berpotongan dengan terma darat – pesisir. Seperti lanskap darat – Rantau Kuantan, yang memiliki ikatan kesejarahan dengan Indragiri sebagai entriport pesisir, ataupun lanskap di pesisir Rokan yang memiliki sejarah kuno-nya bersama-sama dengan lanskap di hulu sebagai Kerajaan Rokan. Berkaitan dengan ini, tentu dibutuhkan penjelasan-penjelasan yang memadai, dengan melihat pula hubungan tidak saja antar darat – pesisir, melainkan juga didalam kategorisasi itu sendiri. Buku ini banyak “berhutang” kepada Barbara Watson Andaya, tentang tema historis Ke-Riau-an sebagaimana digambarkan secara panjang lebar dalam bahagian pertama,17 serta hubungan ulu–ilir yang dipaparkannya dengan penuh ketelitian sebagaimana terlihat dari hasil studinya di Jambi 18 yang menunjukkan bahwa; asosiasi darat–pesisir diwarnai dengan ketegangan dan ambiguitas, sekaligus rivalitas antara negara-negara hilir dan juga sebagai dampak kehadiran Eropa. Selain itu, Barbara Andaya juga menunjukkan bahwa dinamika darat – pesisir dipengaruhi oleh kerajaan di dataran tinggi; Pagaruyung. Selanjutnya juga sederetan pemerhati dan ahli kontemporer tentang Riau Daratan, seperti Timothy P.Barnard19; juga disini, karya klasik WIlken 20 tentang penyebaran Matriarkat di Sumatra khususnya di Riau Daratan sebagai wilayah yang berbeda antara darat – pesisir sehubungan kolonialisme Johor di wilayah pesisir timur. Hubungan darat – pesisir ini, Kato Tsuyoshi menyebutnya perspektif barat – timur yang seringkali berpotongan dengan

17.

Barbara W.Andaya, Recreating a Vision Daratan and Kepulauan in Historical Context, Riau in Trantition 153, 1997. 18 . Barbara W.Andaya, To Live As Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and the Eighteenth Centuries, 1993. 19. Timothy P.Barnard, Text, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, 2004, pp.107-120. 20. G.A.Wiken, DE VERBREIDING VAN HET MATRIARCHAAT OP SUMATRA, KITLV, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 37, No 1, 1888. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

21

perspektif utara – selatan;21 dimana darat – pesisir dapat juga dianalisa dengan mengacu pada model Bronson tentang entreport di hilir dan kawasan pemasok dari anak-anak sungai yang banyak tersebar di pedalaman. Pada tahun 1977, Bennet Bronson22 mendalilkan sebuah “hipotesa kerja” untuk jaringan pertukaran tradisional dalam pemerintahan tipe Sumatra berdasarkan hubungan hulu-hilir. Dapat dikatakan, model Bronson ini membantu menjelaskan hubungan darat – pesisir yang terefleksi pada jalur komunikasi sungai dan anak sungai, akan tetapi, pendekatan ini juga menekankan kesamaan-kesamaan yang dimiliki kategori masing-masing entitas; sebagaimana dapat dilihat difokuskan atas pemunculan lanskap pedalaman yang didukung oleh sumber daya material dan budaya, sementara di pesisir, nampaknya memang telah terlihat memiliki keseragaman yang tinggi dalam hal bahasa, agama dan budaya. Sementara itu di darat, secara faktual disadari bahwa Riau Daratan dengan empat jalur sungai “jalan raya”, meski lanskap berada dalam naungan dan ditarik ke kutub politi pegunungan, menunjukkan varian lanskap yang tinggi pula. Kita tidak dapat serta merta menyamakan lanskap di hulu sungai Kuantan dengan Kampar misalnya, atau dengan di hulu sungai Rokan. Dengan demikian, selain menggunakan pendekatan Bronson, maka buku ini berupaya menjelaskan kondisi darat – pesisir melalui memori kolektif lanskap yang dipelihara melalui tradisi lisan (walau dituliskan di era kemudian); legenda, hikayat ataupun forklore yang dikenal dikalangan lanskap diharapkan dapat membantu penjelasanpenjelasan yang sistematis dan logis dalam upaya memahami kharakteristik darat – pesisir di Riau Daratan.

21

. Kato, Tsuyoshi, “The Localization of Kuantan in Indonesia: From Minangkabau Frontier to Riau Administrative District,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Riau in Transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 737 – 763. 22. B. Bronson, “Exchange in the Upstream and Downstream Ends Notes towards a Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia”, in Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia Perspectives from Prehistory and Ethnography, (ed.) Karl L. Hutterer, Centre for South and Southeast Asian Studies, University of Michigan, Ann Arbor, 1977, pp. 39-52. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

22

Provinsi Riau, terletak ditepian Selat Melaka. Sumber: agnazgeograph.wordpress.com

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

23

1 Rekonseptualisasi Riau Sudah lazim di era kontemporer penelaahan historis juga menyertakan pengetahuan lokal yang tersimpan dalam memori kolektif yang diwariskan secara turun temurun, dimana kondisi ini bertentangan dengan kondisi saat awal mula Eropa tiba. Bahwa pengetahuan baca-tulis merupakan sesuatu yang wajib bagi pejabat kolonial, dan bila tidak menguasainya, akan membuat mereka tampak sama seperti masyarakat primitif saja. Orang Eropa dengan hukum positifnya, menuntut suatu upaya metodologis untuk merunutkan peristiwa dengan teliti, dan pengumpulan bukti otentik untuk penyusunan kronologi. Superioritas Eropa pada abad ke17, bertemu dengan nilai-nilai tradisional sedikit banyaknya diduga saat itu telah menimbulkan guncanganguncangan. Bahwa nilai-nilai puritanisme barat dengan kedisiplinan waktunya, membuat seorang Eropa harus banyak bersabar dalam proses pembelian rempah-rempah yang mungkin saja hanya dengan jumlah yang sedikit, namun memakan waktu seharian ketika berurusan dengan pribumi. Untuk level yang luas, maka perjanjian dagang tidak lagi dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan lisan, melainkan hitam diatas putih, “tercatat”sebagai sesuatu yang khas kapitalisme. Selain itu, para pejabat kolonial juga dilatih untuk menyimpan dan mencatatkan segala kegiatan hariannya, berbeda dengan kondisi mitranya. Halnya dengan pola arsip, tidak dikenal oleh kerajaan ataupun masyarakat tradisional(kecuali Alquran dan Hadist); mereka menyimpan suatu peristiwa sepenting apapun dalam tradisi lisan. Tradisi lisan ini dipelihara dan dilestarikan dalam bentuk adat kepada generasi sesudahnya, begitu seterusnya. Oleh sebab itu dihari ini, kita mengenal sebahagian cerita dari Syair, tambo, Kaba(koba) ataupun Hikayat yang sudah di-tulis-kan kemudian. Memori kolektif itu menyimpan terutama asal-usul nenek moyang hingga kisah-kisah legendaris pada tatanan sosial; yang membawa pesan-pesan atas kondisi dan situasi sosial pada waktu tertentu. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

24

Legenda ataupun mitos yang ada biasanya berkaitan dengan ketokohan individu; Raja, Pangeran ataupun orang sakti atau keramat dalam wilayah tertentu. Meskipun demikian, dalam penelitian modern, bagaimanapun juga telah disarankan, sejauh berkenaan dengan gambaran mengesankan dari suatu legenda, maka penafsiran terbaik bukanlah spesifik sebagai individual, melainkan sebagai wakil dari sesuatu “chiefdom” yang lebih besar, kelompok etnis, seluruh masyarakat dan juga sebagai kendaraan untuk menyampaikan pesan-pesan yang bermakna tentang hubungan yang relevan.23 Sebagaimana Barbara Andaya mengemukakan bahwa batas-batas awal Riau (Kepulauan dan Daratan) dapat dilacak kepada sebuah tradisi tua lebih dari 500 tahun lalu. Kondisi ini mengingat perjalanan sejarah tidak hanya didominasi peran politi-politi lokal-tradisional, melainkan juga fregmentasi kolonial dalam upaya memisahkan, membagi, dan bahkan menyatukan lanskap dalam suatu administrasi kewilayahan yang menjadikan Riau cenderung bukan sebagai kawasan obyektif, melainkan diasumsikan terformat oleh benturan historikal antara berbagai struktur politi yang bermula berabad lalu itu; Sebagai contoh pada tahun 1911, penjajah Belanda telah mengakuisisi Sultan Riau-Lingga terakhir dan kemudian memapankan Residensi Riouw en Onderhoorigheden (Riau dan wilayah Taklukkannya) dengan wilayah yang meliputi Kepulauan Riau dan Afdeeling Indragiri dan ditetapkannya ibukota; Tanjung Pinang. Kemudian menyusul di tahun 1933, Afdeeling Bengkalis dimasukkan pula kedalam administrasi pemerintahannya. Selanjutnya ditahun 1942, juga ikut dimasukan seluruh wilayah kerajaan seperti Siak, Pelalawan, dan Rokan. Kondisi ini, menyebabkan keluasan wilayah Riau melebihi dari apa yang pernah dipegang oleh kerajaan Riau-Lingga itu sendiri, atau bahkan Melaka-Johor. Memasuki periode Jepang (1942-1945), maka dikenal penamaan Riau-Syu yang juga meliputi kepulauan dan sebahagian daratan Sumatra. Ketika era Republik, konflik kepentingan antara Belanda yang ingin kembali, kaum tradisionalis dan Republik, telah menyebabkan inkoorporasi Residensi Riau kedalam Provinsi Sumatra Tengah, dimana nama Riau digunakan hanya sebatas wilayah Kabupaten Kepulauan Riau saja. Pasca 1958, maka Riau pun kembali 23

Barbara W.Andaya, 1993: 38. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

25

memiliki keluasan wilayah sebagaimana yang dimiliki pada era sebelumnya. Perjalanan kewilayahan ini, sebagaimana telah disampaikan mengisyaratkan bahwa, pemahaman atas Riau (Kepulauan dan daratan) dalam ruang administrasi politik, dapat ditelusuri melalui kesejarahannya dengan tidak dapat berlepas dari situasi di Selat Melaka. Penelaahan ini, tidak luput dari upaya pengintegrasian wilayah di kepulauan dan juga daratan dalam suatu kancah perdagangan internasional. Hal lainnya, runtuhnya Sriwijaya dan beralihnya pusat jejaring perdagangan ke Semenanjung Malaya, menjadi contoh bagi suksesnya pembentukan jejaring tersebut dibawah kontrol Melaka. Melaka sendiri melihat pentingnya penguasaan atas wilayah kepulauan dan daratan, yang terekam dalam sumber Portugis yang menceritakan awal mula pendirian Melaka sebagaimana yang dilakukan oleh seorang pangeran yang berasal dari Palembang. Penguasa pertama, membawa bersamanya para pengikut tidak hanya dari Sumatra, melainkan juga sekelompok orang laut dari lepas pantai Palembang, dimana faktor penting dari jalinan hubungan ini adalah loyalitas yang tampak dari permintaan penguasa untuk menikahkan putri dari pemimpin orang Laut dengan putranya.24 Kisah ini, bagaimanapun juga terkait dengan kisah perjalanan kebudayaan yang meluas dan dikenal saat ini sebagai MELAYU.

Dari Sriwijaya sampai Melaka Sriwijaya saat ini dianggap sebagai tempat kelahiran kebudayaan Melayu, meskipun terdapat juga anggapan bahwa kerajaan Melayu yang pertama terletak ditepian sungai Batang Hari yang sekarang dikenal dengan Jambi. Kontradiksi ini, memunculkan perdebatan tentang posisi Melayu dalam era awal tersebut di Sumatra, bahwa kerajaan Melayu adalah di Jambi, yang kemudian melemah disebabkan dominasi Sriwijaya dan kemudian ketika Sriwijaya melemah, maka kerajaan Melayu bangkit kembali. Akan tetapi kisah kesuksesan dari Sriwijaya sebagai suatu negara, mencakup kharakteristik yang

24

Pires 1944, II:233-238. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

26

telah diidentifikasi dengan budaya Melayu, meskipun hanya sedikit saja yang diketahui. Selain itu, bahwa politi Melayu juga meliputi wilayah dataran tinggi, sekaligus juga menyediakan dasar yang kemudian menyebabkan terjadinya pemisahan identitas Minangkabau dari Melayu. 25 Majapahit dalam Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365, merupakan sebuah kitab penting sebagai sumber konseptualisasi aktual tentang Melayu sebagai sebuah dunia Melayu. Dalam kitab tersebut, Bhumi Jawa atau dunia jawa atau orang jawa, tampak kontras dengan bhumi Melayu, dunia Melayu yang diasosiasikan dengan Sumatra. Ini memberitahukan tentang eksistensi dari Komunitas di Sumatra yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda dengan yang berada di Jawa, sebagai identitas yang terpisah. Dalam kaitannya dengan wilayah kolonisasinya tersebut, dalam Kakawin Nāgarakŗtāgama Pupuh XIII:1 dan 2 menyebutkan 26: 1. Rincian pulau negara bawahan, Mālayu: Jāmbi dan Palembaη, Karitań, Teba, dan Dharmaśraya, Kaņdis, Kahwas, Manańkabwa, Siyak, Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņdahiliń juga, Tumihaη, Parlāk dan Barat. 2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampuη dan Barus. Sebagai negara-negara Mālayu yang telah tunduk kepada Majapahit. Kakawin Nāgarakeŗtāgama sebagaimana terlihat menyebutkan Mālayu terlebih dahulu, dan menyebutkannya sebagai sebuah negara terpenting dari seluruh negara bawahan Majapahit. Setelah keruntuhan pusat kebudayaan Melayu di bahagian Sumatra Selatan-lah(Sriwijaya) selanjutnya kisah Melayu bermula di Semenanjung Malaya. Awal mula Melaka sebagai kekuatan Melayu yang dominan di abad ke-15 menambahkan layar baru ke identitas etnis Melayu, dan kemudian sebagaimana dikemukakan Andaya berpindah ke wajah Sumatra dalam kesamaran; bahwa dengan penaklukan Melaka oleh Portugis di tahun 1511, dan berdirinya kekuatan rival Melayu pada kedua sisi Selat Melaka, kisah Melayu sekali waktu jeda ke Sumatra, sekitar 150 tahun

25Leonard

Andaya (2007) menguraikan bagaimana etnisisasi entitas di pegunungan Sumatra Tengah itu sebagai dampak persaingan politi-politi di Selat Melaka. 26Pigeaud, T.G. Th., 1960-1963, Java in the Fourtheenth Century; A study in cultural history. The Hague: Martinus Nijhoff. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

27

setelahnya, Aceh merupakan pusat dunia Melayu, hingga Johor di akhir abad ke-17 berhasil mengembalikan Melayu ke Semananjung Malaya, yang nampaknya juga menjadi model di kepulauan Riau dan wilayah sepanjang pantai timur Sumatra hingga abad ini. Menurut tradisi, Melayu ditemukan dalam “SEJARAH MELAYU” 27, dimana seorang pangeran dan para pengikutnya bermigrasi dari Palembang (situs Sriwijaya) ke Semenanjung Malaya disuatu waktu menjelang akhir abad ke-14.28 Sebagian besar cerita dalam teks ini adalah tentang individu dan peristiwa dari semilegendari kerajaan Melaka (1400-1511) dan mungkin saja berasal dalam periode ini. Sebagaimana dikemukakan Rickless, meskipun asal-usul Melaka ini masih menjadi perdebatan, akan tetapi nampaknya seorang Pangeran dari Palembang tersebut berhasil meloloskan diri dari sewaktu terjadinya serangan Majapahit ditahun 1377 dan akhirnya tiba di Melaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini, 27

Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu, awal mulanya dikenal didunia barat pada tahun 1708 dalam “Introduction to the Malayan Vocabulary of Gueynier” yang ditulis oleh Petrus Van der Vorm. Setelah itu diabad ke-18, ditemui dalam karya Francois Valentijn (1726) dan abad ke-19; Wiliam Marsden(1811) dan juga Netscher(1854). Meskipun demikian, nampaknya Sejarah Melayu benar-benar memperoleh perhatian khusus dari dunia barat setelah terbitnya karya John Leyden yang mengalih-bahasakan Sejarah Melayu kedalam bahasa Inggris. Sebagai suatu karya sastra, maka dapat dipastikan Sejarah Melayu banyak memuat nama, tempat ataupun peristiwa yang memiliki nilai historis yang pemaparannya cenderung menyerupai mitos ataupun legenda. Dapat dipastikan, bahwa penulisan Sejarah Melayu memiliki tujuan-tujuan yang lebih luas dari sekedar pentamsilan kisah yang terekam dalam karya besar tersebut; sebagaimana memiliki puluhan naskah dan edisi Sejarah Melayu yang membentuk satu koreksi rujukan besar. Para ahli bisa saja beranggapan bahwa kitab Sejarah Melayu tidak dapat dianggap faktual secara keseluruhan-tersebab lebih dipandang sebagai sebuah karya sastra, akan tetapi poin yang mendasar dari karya ini bahwa ia telah menyediakan panduan dan ruang untuk dapat melakukan pengembangan berdasarkan bukti-bukti otentik lain sesuai dengan apa yang menjadi tradisi akademik barat. 28 Mekipun tradisi berasal dari kisah dalam Sejarah Melayu yang berawal mula pada abad ke-15, namun nampaknya juga berasal jauh sebelumnya sebagaimana terdapat dalam Raffles 18; manuskrip bertahun 1612. Untuk studi detail dapat dilihat pada Roolvink, “Variant Versions.” Suatu ikhtisiar berguna tentang artikel Sejarah Melayu dan teks latin dapat ditemukan dalam Raffles 18, dalam Cheah, Sejarah Melayu. Penulisnya menamakan karyanya sebagai Sulalatu’lSalatin atau dalam bahasa Melayu Penurunan Segala Raja-Raja (The Genealogy of Kings). Roolvink meyakini bahwa apa yang sekarang kita kenal sebagai Sejarah Melayu bermula sebagai daftar raja-raja beserta penanggalan waktunya, akan tetapi kemudian penanggalan waktu tersebut disisipkan berbagai kisah yang diakukan ditempat yang dan waktu yang berbeda namun dimaksudkan untuk menghasilkan versi tertentu. Roolvink, “Variant Versions,” 304–6. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

28

sang pangeran yang bernama Prameswara menemukan tempat sebagai pelabuhan yang baik dimana seluruh kapal-kapal dapat berlabuh disegala musim, dan Melaka sendiri terletak dibahagian paling sempit dari Selat Melaka. Dengan bersekutu dengan para orang laut, ia memaksa kapal-kapal yang melintas disana untuk menggunakan pelabuhannya, dan iapun mencukupi kebutuhan kapalkapal tersebut, dan ini menjadikan Melaka segera menjadi pelabuhan internasional yang besar, sekaligus juga sebagai pelabuhan transit. Ketika Portugis menaklukkan Melaka pada tahun 1511, apothecary Portugis Tome Pires mengumpulkan banyak tradisi Melaka untuk merekonstruksi sesuatu dari masa lalu. Dokumen lokal dipelajari untuk memahami Melayu dan penilaian terhadap kemungkinan perdagangan Portugis di wilayah tersebut. Hasilnya adalah Suma Oriental, yang ditulis di Melaka antara tahun 1512 dan 1515, yang menggambarkan beberapa episode yang sama seperti yang terdapat dalam Sejarah Melayu, tetapi seringkali lebih mendetail. 29 Tidak seperti dua dokumen tersebut, sejarah Dinasti Ming, Ming Shi-lu, terkenal karena catatannya saat berurusan dengan Melaka. Hal ini tetap menjadi catatan yang tak ternilai bagi era kontemporer dari tahun-tahun awal kerajaan (kingdom).30 Ketiga dokumen tersebut menyediakan akun yang jauh lebih rinci (meskipun masih terbatas) dari pemerintahan Melayu daripada yang tersedia untuk Sriwijaya/ Melayu. Penguasa supranatural yang turun di Bukit Siguntang di Palembang disebut Sri Tri Buana di Sejarah Melayu dan Permaisura di Suma Oriental. Ini adalah nama terakhir yang disebutkan tanggal 3 Oktober 1405 dalam Ming Shi-lu, di mana "Bai-li-mi-sula" dikatakan “sebagai penguasa asli negara Melaka.” 31 Kedua nama untuk pendiri Melaka menggarisbawahi asal non-Muslim dari pangeran Palembang.32 Meskipun garis-garis besar cerita peregrinations Pangeran Palembang secara struktural mirip dalam Suma Oriental dan Sejarah Melayu, 29

Cortesao, Suma Oriental. An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London, 1944. 30 Wade, “Ming Shi-lu.” 31 Wade, “Ming Shi-lu,” 262. 32 Kedua gelar berkaitan dengan Siva, dengan “Permaisura” yang berarti Penguasa bagi Semuanya (Lord of All) dan “Sri Tri Buana” yang bermakna Penguasa Tiga Dunia (Lord of the Three Worlds). Selanjutnya muncul sebagai penganugerahan gelar yang berkaitan dengan kerajaan dan raja di Asia Tenggara pada era awal. Wolters, Fall of Srivijaya, 232 fn 18; Wilkinson, Malay English Dictionary, vol. 2, 890. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

29

teks terakhir ini jelas telah dituliskan untuk peneguhan dari kerajaan Melaka. Sementara itu Suma Oriental menggambarkan gerakan ini sebagai pelayaran untuk melarikan diri dari murka Majapahit,33 sebaliknya, Sejarah Melayu menjelaskannya sebagai suatu rencana kunjungan. Dalam Sejarah Melayu, Sri Tri Buana bertemu dengan singa, jenis aneh Singa yang berhubungan dengan zaman kuno, saat kunjungannya ke pulau Temasek. Ia menafsirkan hal ini sebagai sebuah tanda, dan kemudian memilih berdiam di Temasek serta mengganti nama itu menjadi Singapura, atau Kota Singa. Sri Tri Buana tetap berada di Singapura sampai kematiannya dan digantikan oleh putranya. Singapura pun berkembang menjadi sebuah kota besar yang menarik banyak orang asing untuk berkunjung, tapi ketenaran ini hanya berumur singkat disebabkan penyerangan dan penghancuran oleh Majapahit. Perusakan Singapura secara implisit dikaitkan dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa terhadap hambanya yang setia, sehingga menyebabkan hukuman dari Pencipta.34 Tome Pires dalam Suma Oriental, memberikan alasan untuk ditinggalkannya Singapura, serangan bukan dilakukan oleh Majapahit, tetapi Siam. Sejarah Melayu menyebutkan Melaka, dan bukan Singapura, diserang oleh Siam dari Sharu'n-nuwi (New City), yang merupakan nama Persia yang diberikan atas kota Ayutthaya. Dalam Ming Shi-lu, Melaka disebutkan untuk pertama kalinya sebagai pelabuhan yang dikunjungi di tahun 1403 oleh kasim Yin Qing atas perintah Kaisar Ming. China belum pernah mendengar tentang Melaka sampai diinformasikan tentang keberadaannya oleh beberapa Pedagang Muslim dari India selatan. Para pedagang ini yang tampaknya ingin melihat pengembangan entrepot di Selat Melaka, yang jauh lebih mudah daripada pelabuhan di Ayutthaya untuk pedagang yang datang dari barat. Diyakinkan oleh pedagang ini bahwa Melaka sukses secara komersil, kaisar Ming pun mengirimkan delegasi yang cukup besar (dibawah pimpinan Admiral Dinasti Ming bernama Zheng He (Cheng Ho) untuk membangun hubungan dengan dunia politik baru, hubungan yang terus berlanjut hingga tahun 1434. Pada saat China meninggalkan kebijakan perdagangan negara di tahun 1435, Melaka telah mapan sebagai emporium besar di wilayahnya.35 Melaka menjadi entrepot pilihan bagi para pedagang dari timur, Khususnya China. Kaisar China telah memberikan bantuan khusus kepada Melaka dan 33

Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 231. Brown, Sejarah Melayu, 20–1, 40–1. 35 Wang, “Opening of Relations.” 34

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

30

mendorong untuk menjaga perdamaian di selat; dan dengan demikian menjamin keselamatan pedagang China. Untuk alasan yang sama pula bahwasanya Melayu telah menjadi pantai favorit untuk orang-orang China.36 Sementara itu disi lainnya, Pasai, tampaknya telah sering dikunjungi oleh para pedagang Muslim dari barat. Disebabkan tampilnya kepentingan Kaisar Ming dari China di Melaka, akan ada sedikit harapan untuk bertahan hidup terhadap serangan oleh Ayutthaya dan Majapahit. Melaka tumbuh makmur dan kuat, Dan pada paruh kedua abad ke-15 itu telah memperpanjang pengaruhnya atas banyak negeri di Semenanjung Malaya, pantai timur Sumatera, dan pulau-pulau yang berdekatan yang merupakan rumah bagi Orang Laut. Keberhasilan ekonomi Melaka dapat diukur dengan fakta bahwa bukan hanya dari satu saja, akan tetapi dari eksisnya empat syahbandar; sebagai pejabat yang ditunjuk untuk menangani semua hal yang berhubungan dengan perdagangan luar negeri di pelabuhan. Gujarat, karena mereka secara teratur dengan jumlah paling banyak sebagai pedagang di pelabuhan; lainnya untuk orang-orang dari India Selatan (Benua Keling), Bengal, Pegu, dan Pasai; sepertiga untuk pedagang dari Jawa, Maluku (Yaitu, Maluku Utara), Banda, Palembang, Tanjong Pura (Kalimantan), dan orang-orang dari Luzon (Luçoes); dan akhirnya syahbandar ke China (Termasuk dari China selatan), orang-orang dari Ryukyu, dan Chams.37 Salah satu alasan utama untuk keberhasilan Melaka adalah kesetiaan khusus yang diberikan kepada penguasa Melaka oleh Orang Laut. Ada banyak kelompok-kelompok Orang Laut yang dianggap sebagai hamba Melaka. Di pantai timur Sumatera dari Arcat selatan ke Rokan, Rupat, Bengkalis dan (Purim) populasi Orang Laut melayani Melaka sebagai pendayung atau prajurit. Selatan Bengkalis adalah negeri-negeri lebih besar seperti; Siak, Kampar, dan Indragiri, dimana penguasa terkait dengan keluarga kerajaan Melaka dan karenanya dapat diandalkan untuk diminta memberikan kontribusi kapal dan prajurit (Banyak di antaranya adalah Orang Laut) untuk armada Melaka. Akan tetapi, berkemungkinan sumber kekuatan Orang Laut terbesar bagi Melaka berasal dari pulau Lingga, dimana sang penguasanya, menurut Tome Pires, disamakan dengan seorang raja dari Orang Laut dengan empat puluh lanchars mereka, atau perahu asli, dan pasukan sejumlah 4-5000 36 37

Wolters, Fall of Srivijaya, ch. 13. Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 265. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

31

orang.38 Tidak disebutkan oleh Pires adalah pulau Riau, yang penduduknya dipadati dengan Orang Laut ; Lingga. Hubungan khusus antara Melayu dan Orang Laut diyakini sebagai keberhasilan dari kelompok-kelompok Melayu dari abad ke-7 hingga ke pertengahan abad ke-18. Peningkatan pesat Melaka dan keberhasilan yang menakjubkan membuatnya menjadi salah satu model ekonomi dan budaya bagi negara lainnya di maritim Asia Tenggara. Gaya dan ide-ide yang berasal dari Melaka menjadi keharusan di kalangan elite di kerajaan hingga sejauh Ternate, dan bahasa Melayu muncul sebagai linguafranca perdagangan dan diplomatik untuk daerah-daerah.

Gambar 1.1.Sriwijaya abad ke-7, Sumber: Robert Cribb, 2007

38

Cortesao, Suma Oriental, vol. 1, 148–57. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

32

Pada awalnya, Parameswara adalah seorang raja yang beragama HinduBudha, akan tetapi sebagaimana disampaikan, ia telah “memaksa” para pedagang muslim untuk berlabuh dipelabuhannya; dan ini mengundang perdebatan mengenai perpindahan keyakinannya kepada agama Islam. Diasumsikan ia memeluk agama Islam di akhir masa pemerintahannya di sekitar tahun 1390-1414, dengan menggunakan nama Iskandar Syah. Dua orang raja penggantinya kemudian juga beragama Islam, dan diperkirakan telah terjadi reaksi dikalangan Hindu-Budha pada masa pemerintahan raja keempat, Parameswara Dewa Syah yang terbunuh dalam suatu kudeta. Setelah masa itu, kebesaran Islam di Melaka pun menjadi tidak tersaingi. Bahwa setelah penguasa Melaka memeluk Islam pada pertengahan abad ke15, kerajaan berusaha untuk menyaingi Pasai sebagai pusat pembelajaran Islam. Segera dimulai upaya mempromosikan agama melalui sponsor dari ulama Islam dan penerjemahan risalah Islam ke dalam bahasa Melayu. Perkembangan pesat penyebaran Islam di Asia Tenggara, kemudian Melaka dikenal sebagai pelindung Islam. Penyelenggaraan kerajaan Melaka dalam praktek kesehariannya yang meliputi perilaku, pakaian, bahasa, dan agama, ditiru oleh kerajaan lainnya, sehingga menambah korpus kegiatan dan artefak yang bisa dipilih oleh populasi tertentu pada periode khusus dalam sejarah; menjadi dasar identitas Melayu. Bahwa pada era tersebut, budaya Melayu dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebahagian besar pantai Sumatra dan juga Semenanjung Malaya, dan dengan cara-cara tertentu, Kesultanan Melaka meletakkan norma-norma budaya bagi Negara-negara tersebut. Karya-karya seperti Sejarah Melayu menetapkan kaidah-kaidah kesusastraan dan memberikan gambarangambaran mengenai kehidupan istana yang ideal serta hubungan baik antara rakyat dan penguasanya. Oleh sebab itu penguasa dari nusantara bahagian barat yang berbahasa Melayu melihat kembali ke Melaka sebagai model mereka, tidak hanya meliputi bidang politik melainkan juga budaya. 39 Ada dua komponen penting yang mendefinisikan pemerintahan Melayu di Melaka dan menjadi dasar dari etnisisasi Melayu dari abad ke-15 hingga akhir abad ke-18. Yang pertama adalah faktor penguasa, yang dikaitkan dengan 39

Rickless, 1981. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

33

keturunan (asal) melalui silsilah yang menggabungkan asal supranatural dan garis keturunan kembali ke Nabi Sulaiman (Sulaiman). Seperti keturunan terkenal diperlukan untuk membenarkan dan melegitimasi posisi penguasa sebagai mediator dan sebagai “primus inter pares” pemimpin jaringan kekerabatan. Komponen penting kedua adalah aliansi jaringan kekerabatan. Para ahli cenderung fokus pada penguasa sebagai pengikat dari masyarakat Melayu, dengan semua makna yang berasal dari hubungan dengan penguasa. Sebagai akibatnya, sedikit saja perhatian yang diberikan kepada petunjuk yang tersedia dalam sumber-sumber Melayu, yang menunjukkan bahwa aliansi jaringan kekerabatan mungkin awalnya telah menjadi lebih penting dalam menentukan bentuk dan kelangsungan hidup sebuah kerajaan Melayu. Melihat Sejarah Melayu yang memuat kisah nenek moyang para penguasa Melayu muncul secara ajaib di Palembang di puncak bukit suci, Bukit Siguntang, dan diterima oleh masyarakat yang sudah ada sebelumnya; mengingatkan akan suatu perjanjian saling ketergantungan dan kepercayaan yang kemudian dibuat antara kepala leluhur masyarakat dan nenek moyang para penguasa, mewakili hubungan yang ideal disepanjang masa. Untuk Melayu di Semenanjung Malaya, ini adalah mitos pemerintahan etnis berdasarkan keturunan supernatural dari nenek moyang kerajaan Melaka. Orang dapat saja berargumen bahwa "perjanjian" atau kontrak sosial dijelaskan dalam Sejarah Melayu, hanya mencerminkan sikap kelas penguasa, akan tetapi masyarakat Melayu sangat menekankan pada konsensus. Bahkan dalam Sejarah Melayu, sifat hubungan antara penguasa dan rakyat ditandai dengan saling menghormati dan konvergensi kepentingan. Penggambaran ini tidak berbeda dengan apa yang dikenal dari bukti sejarah lainnya.

Batas-Batas Imajiner Sebagaimana lazimnya penelaahan atas politi-politi Melayu terutama kerajaan Melaka di Semenanjung dan juga pantai timur Sumatra, para ahli nampaknya telah menempatkan sumber penting dalam melakukan kajian tersebut, sebagaimana telah disampaikan yaitu “Sejarah Melayu.” Meskipun pokok perhatian dari pemeriksaan tersebut adalah kemaharajaan Melaka, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

34

namun catatan tentang upaya Melaka untuk melebarkan sayap kekuasaannya di Sumatra dan kepulauan yang membentang hingga Kalimantan menjadikannya relevan dalam upaya penelaahan dimaksud. Serangkaian episode Sejarah Melayu menjelaskan bagaimana lima penguasa pertama memperluas kedaulatan mereka atas wilayah yang berdekatan dan juga pulau-pulau di arah selatan Selat, dan bagaimana mereka diterima sebagai tuan oleh beberapa kerajaan semenanjung. Selain itu terdapat pula referensi singkat tentang Rokan, yang telah menjadi pengikut Melaka melalui perkawinan anggota kerajaan,40 akan tetapi tidak disebutkan upaya untuk menegaskan kontrol atas pantai timur Sumatera sampai masa pemerintahan Sultan Mansur Syah (14587-1477). Penggambaran dalam Sejarah Melayu tentang wilayah pantai timur sebagai daerah yang mana otonominya telah dikembangkan terutama disebabkan oleh kedekatannya dengan Melaka, kondisi ini didukung oleh sumber-sumber lainnya. Misalnya, legenda lokal yang mengingatkan Kampar sebagai kerajaan yang kuat, dan daerah ini telah diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai pusat pertukaran yang penting, mampu menyaingi tetangganya karena persediaan emas dari daerah hulu. Pada abad ke-12 orang Cina mengunjungi Kuantan, di hulu Inderagiri, dan mencatatnya sebagai “kota” yang berbeda, dan di kemudian hari Maharaja Inderagiri, meskipun bersikap ramah terhadap Melaka, namun masih tetap saja menganggap dirinya sebagai raja yang merdeka.41 Sejarah Melayu menunjukkan bahwa daerah yang dicakup oleh “kepulauan Melaka” ternyata juga terbatas. Kelompok Orang Laut yang merupakan komponen sangat penting dalam mengendalikan Selat Melaka dikaitkan terutama dengan kepulauan Riau-Lingga, dan Sejarah Melayu menunjukkan bahwa koneksi antara pemimpin dan penguasa Melaka sangatlah dekat. Sebagai salah satu yang paling penting dari wilayah Melaka, Pulau Bintan ditempatkan di bawah bendahara; menurut legenda, Laksamana yang pertama adalah Hang Tuah, yang juga dikatakan berasal dari Bintan. Pulaupulau di Laut Cina Selatan ini berjumlah sekitar tiga ratus, akan tetapi secara kolektif dikenal sebagai Pulau Tujuh, yang jauh dari Lingkup Melaka. Meskipun Orang Laut dari daerah ini hampir dipastikan menyampaikan 40

Brown 1952:55,61;Pires 1944, II:149. Hirth dan Rockhill, 1966: 67; Shuhaimi, 1990: 69, 73, 78; Schnitger, 1964: 37-45; Brown, 1952: 83. 41

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

35

produk laut seperti mutiara, ikan dan karang, mereka nampaknya memiliki kekurangan hubungan pribadi dengan penguasa Melaka selayaknya khas rekan-rekan mereka di Selat. Menurut Sejarah Melayu, misi resmi pertama Melaka untuk mengarungi Laut Cina Selatan menuju China tidak terjadi hingga setelah aksesi Sultan Mansur di sekitar tahun 1458. Dengan demikian, meskipun memori Melayu yang melihat asosiasi Daratan-kepulauan sebagai bagian integral dari kejayaan Melaka, daerah taklukan seperti yang terletak di sepanjang pantai timur Sumatera dan secara geografis berjauhan seperti gugusan Pulau Tujuh bukanlah merupakan bahagian dari inti asli. 42 Oleh sebab itulah dalam mencari basis kontemporer Riau, penting dipertimbangkannya mengenai perluasan wilayah Melaka yang dipandang sebagai suatu even yang mengesankan. Penulis Sejarah Melayu menjelaskan bagaimana Sultan Mansur mengadakan kunjungan ke Majapahit, pada saat itulah ia menikah dengan putri Batara Majapahit. Sebagai hadiah perpisahan, Sultan Mansur Syah meminta wilayah kemaharajaan Inderagiri, dan ia pun memperolehnya. Segera setelah itu, Sultan Mansur memerintahkan Laksamana Hang Tuah, untuk memintakan kepada penguasa Majapahit wilayah lainnya, seperti pulau Siantan. “Hatta berapa lamanya Sultan Mansyur Syah di Majapahit, maka baginda pun berkira-kira hendak kembali. Maka baginda bermohonlah pada Betara Majapahit hendak membawa raden Galuh kembali ke Melaka, maka dikabulkanlah oleh Betara. Maka Sultan Mansyur Syah pun menyuruhkan orang berlengkap. Setelah sekiannya hadir, maka baginda pun menitahkan Tun Bijaya Sura minta Inderagiri kepada Betara. Maka Tun Bijaya Sura pun pergilah mengadap Betara Majapahit. Maka sembahnya, “Tuanku, paduka ankanda empunya sembah ke bawah duli sampean, andika padukaanakanda hendak memohonkan Inderagiri, tuanku.” Maka titah Betara pada segala Orang Besar-Besar, “Apa bicara kamu sekalian bahawa anak kita, raja Melaka hendakkan Inderagiri? Berikan atau jangan?” maka sembah Patih Aria Gajah Mada, “sebaik-baiknya Tuanku anugerahkan kepada paduka anakanda, supaya jangan jadi mufarik lagi kita dengan dia.” 42

Barbara Andaya,1997. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

36

Maka titah betara kepada Tun Bijaya Sura, “katakan salam kita kepada anak kita, pemberian kitalah akan anak kita; janganlah setara Inderagiri, seluruh Jawa ini lagi anak kita empunyai dia.” Maka Tun Bijaya Sura pun bermohonlah kembali. Segala titah Betara Majapahit itu semuanya dipersembahkan pada Sultan Mansyur Syah. Maka baginda pun terlalu sukacita mendengar titah Betara Majapahit itu, lalu baginda menyuruh Hang Jebat memohonkan Jambi dengan Tungkal maka dikurniakan oleh Betara Majapahit. Sembah Tun Biajaya Sura pula, “Siantan tidaklah tuanku pohonkan kepada paduka ayahanda?” Maka titah baginda, “Kami lupa berpesan kepada Hang Jebat memohonkan Jambi dengan Tungkal tadi, pergilah laksamana kita titahkan memohonkan Siantan.” Maka Maka Laksamana pun menyembah lalu pergi mengadap Betara Majapahit. Maka titah Betara, “Hendak kemana Laksamana baharu-baharuan datang mengadap kita.”Maka sembah Laksamana, “Tuanku, paduka anakanda mohonkan Siantan; konon tuanku, jikalau duli tuanku kurniakan dialap, jikalau tidak akan dikurnia pun paduka anakanda alap; kerana paduka anakanda sangat berkehendaklah Siantan.” Maka Betara Majapahit pun tersenyum mendengar sembah Laksamana itu. Titah Baginda, “Hei Laksamana, jikalau sungguh anak kita berkehendakkan Siantan, menarilah Laksamana, kerana kita tiada memandang Laksamana menari, telah termasyhur Laksamana pandai menari ketika sedang pekerjaan anak kita itu. Maka Laksamana pun menyembah, lalu bangkit menari seperti merak mengingal di dalam talam lakunya. Maka hairanlah Betara dengan sekalian yang mengadap melihat laku Laksamana menari itu terlebih kelakuannya daripada joget Mangun Asmara…” 43 Jika kita memilih tema ekspansi Melaka seperti yang digambarkan dalam Sejarah Melayu ini, maka misi ke Jawa bisa dilihat sebagai perluasan wilayah yang signifikan bagi konsep Riau Daratan-kepulauan. Mulai saat itu dan seterusnya, Melaka melihat dirinya sebagai “TUAN SAH” bagi kawasan sepanjang pantai timur Sumatera. Akibatnya, penguasa Kampar yang telah menggunakan gelar Maharaja Jaya dan tidak mau takluk kepada Melaka, diserang dan dijarah. 43

A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin, 1978, hal.127-129, A-156; B-131,A-157. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

37

“Alkisah maka tersebutlah perkataan Kampar, Maharaja Jaya nama rajanya, Pekan Tua negerinya, asalnya daripada raja Minangkabau; tiada ia menyembah ke Melaka. Maka Sultan Mansyur Syah menitahkan Seri Nara Diraja menyerang Kampar. Maka Seri Mara Diraja pun berlengkaplah. Setelah sudah lengkap, maka Seri Nara Diraja pun pergilah bersama-sama dengan Sang Setia, dan Sang Naya, dan Sang Guna dan segala hulubalang sekalian; Khoja Baba pun pergi mengiringkan Seri Nara Diraja. Setelah datang ke Kampar, maka dipersembahkan orang kepada Maharaja Jaya., mengatakan: “Orang Melaka datang menyerang kita.” Setelah Maharaja Jaya mendengar khabar Seri Nara Diraja datang menyerang dia itu, maka Maharaja Jaya memberi titah kepada mangkubuminya, Tun Demang namanya, suruh mengampungkan rakyat Kampar. Maka Tun Demang pun keluarlah mengampungkan segala rakyat dan berhadir segala kelengkapan perang. Setelah itu maka Seri Nara Diraja datanglah. Maka segala orang Melaka naiklah ke darat, lalu dikeluari oleh Maharaja Jaya dengan kenaikan Gajah, dan Tun Demang dibawah gajah. Senjatanya lembing. Maka bertemulah orang Melaka dengan orang Kampar, lalu berperanglah terlalu ramai; ada yang bertikamkan lembing, ada yang bertetakkan pedang dengan cipan, ada yang berpanah-panahan. Maka daripada kedua pihak rakyat pun banyaklah matinya, dan darah yang mengalir dibumi. Adapun perang itu seperti dalam hikayat. Daripada sangat tempuh orang Melaka, maka orang Kampar pun undur. Setelah dilihat oleh Maharaja Jaya, lalu ditempuhkannya Gajah pada orang Melaka, bersama-sama dengan Tun Demang. Barang dimana ditempuhnya, mayat berkaparan di medan, dan darah mengalir di bumi. Maka segala orang Melaka pun habis lari lalu ke air, melainkan Seri Nara Diraja dan Khoja Baba yang lagi berdiri, tiada bergerak daripada tempatnya. Maka Maharaja Jaya dan Tun Demang pun datanglah bersama-sama dengan segala orang Kampar yang banyak itu; rupa senjata seperti hujan mencurah datangnya ke hala Seri Nara Diraja dan Khoja Baba, maka kata Seri Nara Diraja pada Maharaja Jaya, seraya menimang lembingnya, “Tuanku, tanah sedikit ini henak sinda pohonkan, jikalau digagahi juga hendak diambil; lembing anugerah paduka kakanda ini sinda persembahkan di dada.” Maka oleh Tun Demang, ditikamnya Khoja Baba dengan lembingnya, kena rusuknya, tetapi menyisip. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

38

Maka oleh Khoja baba diuraikannya Terigkoloknya; maka katanya pada Seri Nara Diraja; “Orang Kaya, beta luka!” maka dibebat oleh Seri Nara Diraja. Akan Khoja Baba Senjatanya panah perisai; maka dipanahnya kena pelipisan Tun Demang terus menyebelah. Maka Tun Demang pun tersungkur dibawah gajah Maharaja Jaya. Maka kata Khoja Baba, “apa rasa Tun Demang?” setelah Maharaja Jaya melihat Tun Demang mati, maka Baginda pun terlalu marah, segera menampilkan gajah mengusir Seri Nara Diraja. Maka oleh Seri Nara Diraja, ditikamnya dengan lembing yang ditangannya itu, kena dada Maharaja Jaya, terus kebelakangnya, lalu jatuh dari atas gajah ke tanah, maka Maharaja jaya pun matilah. Setelah orang Kampar melihat Maharaja Jaya dan Tun Demang sudah mati itu, maka sekalian pun pecahlah, lalu lari. Maka perikut oleh orang Melaka, dibunuhnya, lalu dimasukinya ke dalam kota sekali. Maka orang Melaka pun merampaslah, terlalu banyak beroleh rampasan. Dan kota itu, dibakarnya sekali. Kampar diserahkan kepada Seri Nara Diraja, maka Seri Nara Dirajalah yang pertama meletakkan Kampar itu Adipati.”44 Tidak cukup Kampar, begitu pula halnya Siak, yang penguasanya telah menggunakan gelar Maharaja dan menolak untuk mengakui penguasa atasan dari Melaka. Akibatnya, Siak ditaklukkan dengan konsekuensi sejumlah besar barang jarahan yang dilakukan oleh pasukan Sultan Mansur. “Arakian maka Sultan Mansyur Syah pun hendak menyuruh menyerang Siak, Akan Siak itu dahulu kala negeri besar, Maharaja Parameswara nama rajanya, asalnya daripada raja Pagar Ruyung yang dahulu, tiada mau ia menyembah ke Melaka; sebab itulah maka baginda suruh serang. Adalah yang dititahkan itu Seri Udana dan enam puluh banyaknya kelengkapan yang pergi itu, Sang Jaya Pikrama, dan Sang Surana dan Akhtiar Muluk, dan Sang Aria dititahkan baginda pergi sama-sama dengan Seri Udana… setelah sudah lengkap, maka Seri Udana pun pergilah dengan segala hulubalang yang tersebut itu. Setelah beberapa hari di jalan, maka sampailah ke Siak. Maka dipersembahkan orang kepada Maharaja 44

Ibid, hal.148-151, A-184, B-150; A-185,B-151; A-186; B-152,A-187. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

39

Parameswara “kelengkapan Melaka datang menyerang kita.” Maka baginda memberi titah pada mangkubuminya yang bernama Tun Jana Pakibul, menyuruh mengampungkan segala rakyat dan memperbaiki kota, dan berlengkap senjata, maka kelengkapan Melaka pun mudiklah. Adapun kota Siak itu ditepi sungai; maka oleh orang Melaka, segala kelengkapan dikepilkannya berkembar dengan kota Siak. Maka oleh orang Melaka ditempuhinya sekalian dengan senjata, rupanya seperti air turun dari atas bukit; maka rakyat Siak pun banyaklah matinya. Bermula Maharaja Parameswara berdiri dikepala kotanya, menyuruhkan segala rakyatnya berperang. Setelah dilihat oleh Akhtiar Muluk, maka segera dipanahnya, kena pada dada Maharaja Parameswara terus, maka Maharaja parameswara pun matilah. Setelah rakyat Siak melihat rajanya sudah mati, habislah pecah lari cerai-berai; maka kotanya pun dibelah oleh orang Melaka, dimasukinya; sekalian menawan dan merampas, terlalu banyak beroleh rampasan.” 45 Pada saat yang sama, Sejarah Melayu jelas mengungkapkan pandangan bahwa klaim Melaka atas Siantan dicabut, untuk itu dinyatakan dengan jelas bahwa Siantan menjadi wilayah Laksamana [Melaka], untuk dirinya dan orang-orang yang datang setelahnya.46 Dengan pemahaman tentang pola pergeseran perdagangan internasional, maka ekspansi Melaka atas klaim teritorial menjadi semakin jelas. Ketika Sultan Mansur Syah berhasil naik takhta sekitar tahun 1458, perdagangan dengan India dan China mengalami perkembangan pesat. Sebagian besar kesuksesan komersial ini disebabkan pertukaran kain India untuk emas yang dibawa Minangkabau dari hulu sungai di pesisir timur. Pada pertengahan abad ke-16, penulis sejarah Portugis De Couto mencatat bahwa pedagang Minangkabau kadang-kadang menyampaikan sebanyak 8 candil (berat sekitar 500 lbs) emas pada suatu waktu ke Melaka47. Tanpa koneksi Minangkabau, kemakmuran ekonomi Melaka tentunya akan mengalami penyusutan; dan ini menjadi logis bila faktor kontrol atas sungai di pantai timur akan membantu menjamin akses ke pedalaman Sumatera. Terdapat tiga sungai yang memegang kunci ke dataran 45

ibid, hal.150-151, A-188, B-153; A-189. Ibid, hal.129, B-131, A-157. 47 Pires 1944 1:. 244-5, 263; Boxer,1968: 94 46

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

40

tinggi Minangkabau: Siak, Kampar dan Inderagiri. 48 Selain itu, sungai ini adalah sumber penting ekonomi yang berada di tangan mereka sendiri, dengan Kampar dan Inderagiri khususnya menikmati reputasi sebagai tempat “kaya” karena emas yang ditemukan di hulu sungai mereka. Banyak hasil hutan dan laut lainnya tersedia di sini bisa sebagai sama berharganya dengan logam mulia. Kampar misalnya, terkenal karena aloeswood aromatic (gaharu), dikatakan layak sama dengan emas di India49 Tetangganya Siak, sama dikenal dengan batu bezoar yang ditemukan dalam perut babi hutan, monyet, landak dan hewan lain. Dihargai karena dugaan obat dan magis mereka, batu bezoar konon bisa bernilai sepuluh kali berat emas. Sungaisungai dan pulau-pulau lepas pantai Sumatera pantai timur yang juga domain dari berbagai kelompok Orang Laut, dimana pemilikan pengetahuan tentang laut dan rawa bakau pesisir, menjadikannya sebagai sumber ekonomi yang penting. Mereka membawa produk eksotis dari lautan ke pasar, dan yang memiliki kemampuan menyerang menempatkan mereka dalam perkembangan pasar budak, seperti yang terjadi di Rokan.50 Urutan episode yang disajikan oleh Sejarah Melayu menunjukkan bahwa perpanjangan pengaruh Melaka ke kawasan Laut Cina Selatan adalah sama signifikannya. Tak lama setelah ia kembali dari Jawa, menyusul pengalihan kedaulatan atas Siantan, Sultan Mansur mengirimkan misi ke Cina. Teks kemudian menjelaskan bagaimana Sultan Mansur mengirim pasukan untuk mengalahkan Pahang.51 Dengan menempatkan kisah ini dalam konteks sejarah, kita dapat melihat bahwa kontrol atas Pahang dan pulau-pulau lepas pantai Pulau Tioman, Aor dan Tinggi sekarang telah ditambahkan ke kepulauan Siantan. Sejarah Melayu juga mengisyaratkan unsur penting lainnya dalam akuisisi Inderagiri dan Siantan. Wilayah ini sebelumnya berada di bawah Jawa, dan transfer mereka ke Melaka terjadi dalam konteks persaingan Melayu dengan orang Jawa. Selama misi Melaka ke Majapahit, bangsawan muda Melayu terus-menerus membayangi dan mempermalukan rekan-Jawa mereka karena kecerdikan dan keberanian yang lebih besar. Batara Majapahit sendiri mengakui bahwa 'Orang-orang dari Melaka jauh

48

Dobbin,1983: 6. Castanheda 1979: 651. 50 Pires 1944,11: 149; Sopher 1965: 110-13. 51 Brown 1952: 89-92, 95-6 49

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

41

lebih tajam dibandingkan dengan negara lain! Tidak ada yang akan memenangkan kesempatan dengan mereka dalam permainan apa pun, “Terlalu cerdik raja Melaka daripada raja-raja yang lain.”.52 Menyadari manfaat yang diperoleh dari hubungan Sumatra timur dan Laut Cina Selatan, abad ke-17 Melayu akan melihat keberhasilan Melaka dalam membujuk Majapahit untuk melepaskan kontrol atas Inderagiri dan Siantan sebagai bukti lebih lanjut dari kecerdasan “nenek moyang.” Pentingnya agenda ini juga dikuatkan oleh fakta tentang legenda yang mengingat transfer penguasa atasan dari Jawa ke Johor yang masih ditemukan di antara pulaupulau Pulau Tujuh pada akhir abad ke-19.53 Akan tetapi sebagaimana dikemukakan Barbara Andaya, benarlah bahwa “Sejarah Melayu” tidaklah dapat diperlakukan sebagai gudang informasi faktual. Meskipun demikian, “Sejarah Melayu” memberikan beberapa petunjuk tentang asal-usul Riau dan konsepsi asli dari kebersatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, pesisir dan pedalaman dimana kesemuanya itu berorientasi pada perdagangan internasional.54 Bahwa sebuah Entreport yang strategis telah menarik orang luar kedalam suatu signifikansi ekonomi yang vital dan strategis. Sementara cerita lengkap di balik evolusi visi ini tidak akan pernah diketahui, memori Melayu dari awal abad ke-17 jelas dalam menghubungkan kepada penguasa awal kelima Melaka, Sultan Mansur Syah. Pemeliharaan visinya, bagaimanapun, adalah untuk membuktikannya sebagai tugas berat. Lebih khusus lagi, perpanjangan ambisius Melaka berbasis Daratan-kepulauan yang mewariskan masalah abadi koherensi dan kesatuan yang telah terbukti diabad terakhir: pemekaran provinsi Riau Kepulauan, terpisah dari Riau Daratan.

52

A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin, 1978, hal.120-121, A-145; B-122, lihat juga hal.123-125; permainan yang menunjukkan kecerdikan orang Melaka. 53 Van Hasselt dan Schwartz 1898: 72. 54 Barbara Andaya, 1997. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

42

Kristalisasi Darat dan Pesisir Pemahaman akan kecenderungan hingga terpisahnya asosiasi KepulauanDaratan dari “imperium” Riau, kemudian dinamika hulu(Darat) dan hilir(Pesisir) di daratan sebagaimana telah kita lihat dapat diperiksa dari model politi Melaka yang nampaknya juga mengadopsi model pendahulunya; Sriwijaya. Selain Sejarah Melayu, pusat peradaban Melayu di Melaka Semenanjung, dapat juga ditarik kembali dalam konteks kemaharajaan Sriwijaya yang pada awalnya di elu-elukan sebagai suatu “imperium” Melayu di Sumatra selatan. Konsep imperium ini, dikritisi menyangkut apa yang umum diyakini kalangan ilmuwan barat sebagai “Negara Kota” ala Max Weber; Bahwa dikatakan seperti halnya Melaka, pusat politi Sriwijaya diyakini tidak mewakili apa yang dinamakan Negara-Kota tersebut, disebabkan Melaka ataupun Sriwijaya tidak memiliki wilayah pedalaman yang berfungsi sebagai penyedia kebutuhan pokok-beras, ataupun kebutuhan dasar bagi warga Negara-kota yang padat pemukim, sehingga kesemuanya membutuhkan barang-barang melalui jalur impor. Kondisi ini, menyebabkan “imperium” tidaklah dianggap menyerupai sebuah provinsi, melainkan adalah suatu lingkup istana yang dikelilingi oleh wilayah yang dikuasainya secara langsung. Sebaliknya, politi Sriwijaya nampaknya lebih dari sekedar politi pelabuhan-seperti-kebanyakan politi-politi lain di Asia Tenggara, bahwa Sriwijaya sejatinya adalah “Negara-Kota” sama halnya dengan Melaka, yang baik secara awal berdiri maupun secara berangsur-angsur memperluas cakupan wilayah kekuasaannya atas wilayah hulu sungai; Manguin mengistilahkannya sebagai “pusat yang terbatas, pinggiran-pinggiran yang meluas.”55 Lebih jauh, Manguin menunjukkan beberapa ungkapan yang tertera dalam Hikayat Hang Tuah, ataupun Sejarah Melayu; Maka terdengarlah kepada segala anak sungai dan teluk rantau yang banyak itu bahawa sekarang negeri Bentan itu adalah raja… (HHT:18) Maka bendahara (..) mengerahkan segala orang besar-besar yang memegang anak sungai dan teluk rantau itu suruh bawa rakyatnya ke Inderapura (HHT:445) .. segala rakyat dalam negeri Melaka itu

55

Pierre-Yves Manguin, Sifat Amorf Politi-Politi Pesisir Asia Tenggara Kepulauan: PinggiranPinggiran yang Meluas, dilihat dalam “KEDATUAN SRIWIJAYA,” Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi, tahun 1989, edisi kedua, 2014, hal.315-388. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

43

sampai habis pada segala teluk rantau dan anak sungai jajahan yang takluk ke Melaka itu (HHT: 517) .. jadi tiada diambilnya negeri dengan segala anak sungainya itu oleh Wolanda yang duduk di Melaka dan Jayakatra itu ..(HHT:525)… Maka (..) dirusakkannya segala teluk rantau jajahan Melaka (SM:145) .. pada zaman itu rakyat Melaka juga sembilan laksa banyaknya, lain pula rakyat segala teluk rantau...(SM:225). 56 Bahwa ungkapan anak sungai dan teluk rantau, meng-konotasi-kan hal yang sama sebagai wilayah pinggiran yang takluk kepada negara pusat, pemukiman yang tersebar di sepanjang aliran anak sungai sebagai daerah yang diperintah oleh pusat kekuasaannya di hilir sungai primer. Bahwa para arkeolog telah mengembangkan model fungsi politi hubungan hulu-hilir dengan pusat berada di hilir sungai utama, dan serangkaian pinggiran pada anak-anak sungai: model yang terutama dikembangkan oleh Bennet Bronson 57 yang merefleksikan apa yang dikisahkan dalam teks-teks Sejarah Melayu. Bahwa, diyakini model hubungan hulu-hilir dengan Sriwijaya sebagai pusatnya, candicandi dibangun disepanjang anak sungai atau muaranya, menunjukkan bahwa telah terdapat kehadiran kekuasaan politik untuk membangun situs ritual tersebut yang dipastikan membutuhkan pula sejumlah sumber daya; kemakmuran. Bahwa potensi kemakmuran yang berasal dari hulu sungai, dibawa menuju pusat-pusat pertukaran di bandar utama seperti Melaka, dimana penduduk negeri taklukkan pun memperoleh imbalan akses produk barang bergengsi dari lintas perdagangan dunia. Ilustrasi dinamisnya keikutsertaan negeri pedalaman-pesisir taklukkan dalam jejaring perdagangan dunia si Selat Melaka, segera menjadi salah satu bahan bakar bagi meningkatnya kesulitan dalam mempertahankan penguasaan atas perluasan wilayah; yang segera saja menjadi semakin jelas dalam hal pantai timur Sumatera di mana banyak kerajaan kecil memiliki sejarah panjang pengembangannya sendiri yang mandiri, dan merasa gelisah berada dibawah “pusat” kemaharajaan Melaka. Sultan Mansur dan penerusnya, jelas menyadari kebencian ini, dan tampaknya berharap bahwa aliansi pernikahan akan membawa situasi kearah rekonsiliasi. Segera setelah kembali ke Melaka, Sultan Mansur menikahkan putrinya dengan penguasa Inderagiri, sedangkan

56 57

Manguin, 316-17 Bronson:1977, 43 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

44

putra penguasa Siak menikah dengan putrinya yang lain. Selanjutnya anak sulung dari Sultan Alauddin Melaka (1477-1488) dinabalkan sebagai Sultan Kampar. Meskipun demikian, tindakan tersebut tidaklah memadai untuk membangun superioritas Melaka. Sejarah Melayu misalnya, mencatat sebuah insiden ketika penguasa Siak menjatuhkan hukuman mati tanpa meminta izin dari Sultan Alau’d-Din. “ALKISAH maka tersebutlah perkataan Sultan Ibrahim, raja Siak. Ada seorang salah pada baginda, maka disuruh baginda bunuh pada Tun Jana Pakibul. Maka kedengaran ke Melaka, raja Siak membunuh orang tiada memberi tahu ke Melaka. Maka Sultan Alau’d-Din menitahkan laksamana ke Siak. Setelah sampai, maka oleh Sultan Ibrahim disuruh jemput surat dari Melaka itu, seperti adat Sultan Pahang menjemput surat dari Melaka. Maka gajah dikepilkan di balairung, maka Sultan Ibrahim pun duduk, dan surat pun dibaca orang. Setelah surat dibaca, maka segala orang naiklah duduk. Maka Laksamana pun berkata pada Tun Jana Pakibul, Perdana Menteri Siak, ‘Sungguhkah tuan hamba membunuh Tun anu itu?’ maka sahut Tun Jana Pakibul, “Oleh dengan titah, maka hamba berani; kerana ia derhaka ke bawah duli Yang DIpertuan.” Maka laksamana mengadap kepada Tun Jana Pakibul, mengiring kepada Sultan Ibrahim; oleh Laksamana ditunjuknya Tun Jana Pakibul dengan tangan kirinya, katanya, ‘Tiada berbudi tuan hamba, sungguhlah tuan hamba orang hutan, maka tiada tahu akan adat istiadat dan cara bahasa. Benarkah membunuh orang tiada memberitahu ke Melaka? Hendak maharajalelakah tuan hamba di Siak ini?’ maka Sultan Ibrahim dan segala Orang Besar-besar semuanya diam, tiada menyahut kata Laksamana Hang Tuah itu.” 58 Di Kerajaan Melaka, para bangsawan muda kehilangan kesempatan untuk dapat mempermalukan rekan-rekan Inderagiri mereka, yang ternyata lebih dari sekedar orang-orang Inderagiri yang biasanya dapat dilakukannya.59 Dalam tahun-tahun berikutnya penguasa Kampar terjebak dalam konflik bersaudara, dan kedua pihak pun terus-menerus berselisih.60 Ketegangan ini 58

A.Shamad Ahmad: 1978, hal.184; B-190,A-237. Brown 1952: 117, 139, 214. 60 Hashim 1992b: 214; Barbara Andaya,1997. 59

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

45

menjadi sedemikian terbukanya ketika Melaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sumber-sumber Eropa menunjukkan bahwa beberapa kerajaan melihat kekalahan tuan mereka sebagai kesempatan untuk kemerdekaan baru. Memang benar demikian, pada tahun 1514 penguasa Kampar menawarkan jasanya untuk Portugis, menolak sanak Melaka-nya yang berlindung di Pulau Bintan di kepulauan Riau-Lingga.61 Meskipun demikian, perkembangan ini tidak berarti bahwa ikatan keluarga dan budaya yang berbasis Melayu menjadi tersisih. Perlu dipertimbangkan bahwa mantan penguasa Melaka, Sultan Mahmud, melarikan diri ke Kampar di Pekan Tua pada tahun 1526 ketika sebuah ekspedisi Portugis menghancurkan Bintan, dan pangeran Johor sebagai keturunan Melaka, terus dipasang sebagai penguasa di tempat-tempat seperti di Kampar dan Siak. Raja Johor masih dihargai oleh kaum kerabat mereka di Sumatera Timur pada saat bahaya, dan dalam tahun kemudian Inderagiri, Kampar dan Siak semuanya memberikan bantuan mereka ketika Johor diancam oleh Aceh.62 Pada awal abad ke-17 hubungan ekonomi yang diperkuat karena Johor telah pulih secara komersial, dan kembali berposisi sebagai pusat pertukaran utama di wilayah ini. Secara etimologi, dengan berpusat di Bintan, 'kata “Riau” merupakan nama untuk kesibukan dan keaktifannya (riuh-rendah). Meskipun demikian, loyalitas daratan nampaknya tidak akan pernah bisa ditebak, sebagian disebabkan kemandirian ekonomi dan juga ambisi para pemimpin lokal. Misalnya, akses ke emas hulu berarti pedagang Kampar akan disambut di seluruh nusantara, dan pada akhir abad ke-16, Makassar mengidentifikasi mereka secara jelas sebagai kelompok yang terpisah.63 Bahkan persoalan lebih mendasar dalam ketegangan Daratankepulauan adalah kondisi kharakter Melayu dari negara-negara pantai timur-karena meningkatnya migrasi orang Minangkabau ke sungai Kampar, Siak dan Inderagiri. Migrasi ini memunculkan 61

Brown 1952: 172; Tiele 1877: 366; Andaya 1975: 21. Raja Kampar, Sultan Abdullah yang merupakan menantu Sultan Mahmud Syah, diangkat oleh Portugis sebagai bendahara orangorang asing di Melaka, juga diiming-iming akan diangkat menggantikan kedudukan mertuanya itu, lihat Ahmad Dahlan,PhD, 2014; hal.157. 62 Andaya 1975: 21-5; Ali Haji 1982: 18. 63 Villiers 1990: 150. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

46

masyarakat “hibrid”(kacukan) yang menggabungkan kedua nilai; Melayu dan Minangkabau. Akan tetapi, meskipun Melayu menempatkan Minangkabau dengan rasa hormat, terdapat anggapan bahwa selalu ada rasa bahwa kultur campuran yang berkembang dari interaksi Melayu-Minangkabau tidaklah “benar-benar Malay,”64 meskipun “kemurnian” Kemelayuan Melaka sendiri bahkan nampaknya masih menjadi perdebatan.65 Frasa Melayu Kacukan, juga dimiliki Melayu Melaka sebagaimana perkataan Laksmana Hang Tuah berikut ini: 66 “Maka kata biduan itu: ‘Baiklah tuanku; ragam apa diperhamba palu ini karena ragam orang Indrapura bukan Melayu? Sungguh beta Melayu, kacukan juga bukan seperti Melayu Melaka sungguh.’ Maka Laksamana pun tersenyum seraya berkata: ‘Orang Melaka gerangan Melayu kacukan, bercampur dengan Jawa Majapahit!’ Dayang pun satu sebagai hendak mengajuk beta pula." Setelah biduan lima orang itu mendengar kata Tun Tuah itu, maka ia pun berpaling, malu-malu bahasa seraya berkata: "Tuan ini pun satu, sebagai pula beta berkata benar menjadi salah." Maka Laksamana pun berpaling sambil tersenyum. Maka biduan lima orang itupun tertawa sambil mengambil rebana lalu dipalunya. Maka piala pun dilarah oranglah kepada Laksamana. Maka rebana pun berbunyilah kelimanya setala. Maka biduan itu pun bernyanyilah terlalu merdu suaranya. Maka Tun Jenal pun berbangkit menari, dua tiga langkah dianggapkannya kepada Laksamana. Laksamana pun berbangkit menari serta membaiki panjang kainnya dan mengiringkan keris panjangnya. Maka kata Laksamana: "Jangan sahaja diajuk, karena orang Melaka dan tuannya bercampur, Jawa Majapahit. Tiada tahu menari." Maka sahut Tun Jenal: "Kata apa tuan katakan itu? Kita bermain adik-beradik; hendaklah jangan menaruh syak di hati." Maka Laksamana pun menarilah terlalu manis tarinya, tiada pernah orang Indrapura melihat tari seperti tari Laksamana itu. [...] Setelah sudah minum maka Laksamana pun dipersalin oleh Bendahara Sri Buana dan Tun Jenal, 64

Barbara Andaya,1997. Lihat H. Maier, We are playing relatives; Riau, the cradle of reality and hybridity dalam: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, hal. 672-698 66 Lihat Ahmad, 1975, hal.189 dalam H. Maier, 1997, hal. 673-674 65

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

47

dipersalin pakaian selengkapnya. Maka Laksamana pun memberi ikat tangan akan biduan itu, kain baju lima serupa.” Untuk komunitas migran atau rantau, kedekatan sangat bergengsi dengan penguasa Minangkabau tetap menjadi magnet budaya yang kuat; tarikan kemaharajaan Minangkabau tampak jelas dalam laporan Portugis dari tahun1561 yang mencatatkan putra raja Kampar.67 Pendatang baru Minangkabau cukup bersedia untuk mengabaikan Johor jika mereka sebagai penguasa atasan dianggap merugikan secara ekonomi, dan kesetiaan emosional mereka adalah penguasa Pagaruyung di pedalaman Minangkabau, dan bukan untuk seorang raja Melayu. Sehingga Johor mungkin saja mengklaim otoritas atas Siak, Inderagiri, Rokan dan Kampar, namun pengakuan otoritas ini tidak pernah mencapai jauh melampaui dataran rendah. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah penulis yang telah berkomentar mengenai hubungan ketegangan antara darat-pesisir (ulu-ilir) di Sumatera, dan ini sangat jelas pada sistem sungai di pantai timur, di mana penduduk alam rantau Minangkabau terus mempertanyakan penguasa atasannya: Johor. Sebagai contoh, emas yang diproduksi di daerah Patapahan di hulu Siak yang dihuni oleh migran Minangkabau, hanya menerima kedaulatan Johor di tahun 1643, dan selalu berposisi sebagai pengikut yang gelisah.68 Penemuan timah di hulu Rokan dan Siak, memberikan penduduk setempat kekuatan untuk kemandirian, dan meskipun terdapat tawaran dari Johor, mereka menunjukkan preferensi untuk perdagangan langsung dengan Melaka, yang sejak tahun 1641 berada di bawah kekuasaan Belanda. Upaya Johor untuk menegakkan loyalitas pedagang Minangkabau di Sungai Siak dan di tempat lainnya, hanya menjadi penyedia bahan bakar saja bagi menguatnya permusuhan. Inderagiri, negeri vassal lainnya dari Johor berulang kali diserang oleh orang Minangkabau di hulu Kuantan. Tumbuhnya permusuhan terhadap Johor dikalangan masyarakat Minangkabau di Siak terlihat mencolok pada tahun 1682 ketika masyarakat darat berusaha membangun kerajaannya sendiri. Meskipun Johor berhasil menghancurkan pemberontakan ini, hal itu dicapai dengan cara yang harus meninggalkan kenangan pahit.69 Lalu, pembunuhan penguasa Johor oleh bangsawan di tahun 1699 memperburuk situasi sentrifugal tersebut; pada dasarnya telah 67

Boxer 1968:94 Andaya 1995: 537-32; Andaya 1975: 133, 146, 178 69 Andaya 1975: 90, 106-7, 108110, 112, 131-2 68

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

48

merusak ekonomi dan kesetiaan budaya yang telah didirikan dengan pesisir timur. Suksesi mantan bendahara tidak pernah diterima oleh banyak orang Melayu, yang menuduhnya durhaka (makar), kejahatan keji. Pada masa ini, banyak Orang Laut sebagai hamba Riau yang paling setia, meninggalkan Johor, meskipun sementara itu di Sumatera sendiri, ternyata prestise mereka itu jelas-jelas terlihat jauh dari harapan. Awal abad ke-18 terjadi pemberontakan, terutama di kalangan Minangkabau dipedalaman Siak pada tahun 1705 dan di Inderagiri pada tahun 1706. Raja muda Johor dipaksa untuk menggunakan kekuatan untuk mempertahankan calonnya sendiri sebagai Sultan Inderagiri.70 Untuk periode yang singkat setelah tahun 1718 tampaknya mungkin saja bahwa dinasti Riau baru di bawah pemimpin Raja Kecil memberi legitimasi baru untuk visi DaratanKepulauan dari Sultan Mansur. Raja Kecil, yang mengaku sebagai anak dari penguasa Johor yang dibunuh, memiliki imprimatur dari ratu Pagaruyung, dan juga klaim yang diterima secara luas; baik di kalangan orang Melayu maupun Minangkabau. Selain itu, sumber Eropa dan adat menunjukkan bahwa ia dielu-elukan sebagai penguasa Johor yang sah oleh Orang Laut, yang wilayahnya membentang tanpa batas dari Sumatera timur hingga kawasan Laut Cina Selatan. Kita dapat saja berandai-andai, “sejarah Riau mungkin saja akan sangat berbeda jika Raja Kecil mampu mempertahankan kekuasaannya atas Bintan dan kepulauan Riau-Lingga.” Akan tetapi, pada saat itu pemain baru pun muncul di sana. Sekelompok Bangsawan Bugis, petualang dari Sulawesi yang mencari tanah air baru di barat, melihat situasi di Riau sebagai peluang yang bisa diubah untuk keuntungan mereka. Meskipun Raja Kecil berada di posisi yang kuat, ia tampaknya memutuskan menekan keuntungan karena istri dan kerabatnya jatuh ke tangan Bugis. Pada 1728 Bugis berada dalam posisi sebagai pengontrol Riau dan telah mencapai kesetaraan dengan penguasa Melayu, Sultan Sulaiman. Dengan mundurnya Raja Kecil ke Siak, ia akhirnya terpaksa melepaskan harapan akan kembalinya Riau. Membangun dukungan masyarakat Minangkabau di sepanjang pantai timur, dan sebuah dinasti baru pun didirikan di Siak. Pada tahun-tahun berikutnya dua putra Raja Kecil ini, 70

Andaya1975: 211-227 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

49

Raja Alam dan Raja Mahmud, bersitegang untuk memperoleh akses kontrol, masing-masing berusaha untuk mendapatkan dukungan dari Sultan Sulaiman, dan secara berkala kembali ke basis di Siantan dimana mereka bergabung dengan Orang Laut dalam kegiatan pembajakan. Meskipun Sultan Sulaiman melanjutkan klaimnya sebagai penguasa atasan di Siak, pengaruhnya dapat dikatakan terbatas, dan pengaruh ini pun semakin berkurang pada tahun 1746, ketika ia menyerahkan Siak kepada Belanda untuk imbalan bantuan dalam mengantisipasi terhadap serangan Bugis dan Minangkabau. Bagian akhir abad ke-18 terlihat betapa progresifnya Siak dan daerah pesisir timur lainnya terhadap Johor. Pada 1761 Belanda dibantu Raja Alam, putra sulung Raja Kecil, untuk mengambil alih kendali atas Siak, akan tetapi tetap ada keberlanjutan perjuangan untuk penguasaan kontrol antara cabang-nya dari keluarga dan keturunan Raja Mahmud. Meskipun sengketa ini berlanjut hingga ke generasi ketiga, pernikahan putri Raja Alam dengan Said Osman secara substansial dipandang telah meningkatkan prestise keluarga penguasa Siak, sedangkan bagi pemukim Arab di pelabuhan pantai timur, terutama Kampar, telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Sementara itu, kontrol teritorial Siak itu terus berkembang ke pantai timur, dan pada tahun 1780 telah mencapai hingga sejauh Deli. Aliansi dengan VOC membawa kepada peluang baru ala Eropa; Sultan Muhammad Ali dari Siak bahkan didudukkan sebagai penguasa Selangor menyusul kekalahannya oleh Belanda pada tahun 1785. Akan tetapi, tidak satu pun dari perkembangan ini memupuk pemulihan kaitan politis lama dengan Johor, yang efektif dilupakan pada saat cucu Raja Alam, Said Ali (1791-1821), ia berhasil bertahta sebagai penguasa Siak Sri Inderapura yang independen. Said Abdullah, saudara dari Said Ali, menjadi Tengku Besar Kampar, dengan rute menguntungkan yang mengarah ke Minangkabau. Tantangan ekonomi Siak terhadap Riau jelas terlihat dalam perkembangan perdagangan dengan Belanda yang memerintah Melaka, dan pelabuhan Inggris di Penang, sukses itu lebih menyakitkan karena sebelumnya kemakmuran Riau telah menurun tajam setelah serangan Belanda pada tahun 1784. Pada tahun 1761 misalnya, jika hanya empat kapal saja tiba di Melaka dari Siak; akan tetapi pada tahun 1783, angka ini telah meningkat drastis mencapai 171. 71 Kebencian elit Riau 71

Lee 1986: 62-3 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

50

terhadap Siak terasa jelas dalam sikap bermusuhan yang diadopsi oleh Tuhfat al-Nafis ketika menggambarkan pemimpin Siak sebagai orang yang bernafsu dengan kekayaan dunia (Ali Haji 1982: 173). Di bawah pemerintahan Sultan Abdul Jalil Saifuddin (Said Ali), Siak dikembangkan menjadi konfederasi longgar atas entitas politik lokal yang membentang dari Kampar hingga sejauh utara Asahan dan Deli. Selama pendudukan Inggris di Melaka (17951816), perdagangan dengan Siak tetap kuat. Pengembangan perkebunan lada juga ditingkatkan terutama pada jaringan perdagangan Siak. Dan memang, untuk waktu yang singkat, tampaknya mungkin saja bahwa Siak telah menciptakan negara baru berbasis Daratan dengan sistem vassal-nya sendiri. Pada tahun 1811 misalnya, Kampar telah diberikan status baru dengan ibukotanya di Pelalawan.72 Mengingat ambisi tersebut, kehadiran penguasa Siak di perhelatan kerajaan di Riau pada 1804 dan pernikahannya dengan seorang putri Riau tidak meredakan ketegangan antara mantan tuan dan pengikut tersebut. Seorang utusan Riau ke Siak, sedemikian ketatnya telah diberikan instruksi: “Jangan memberi penghormatan kepada Yang dipertuan Siak!” 73 Meskipun demikian, fakta yang menguatkan kehadiran Johor untuk terus bersama-sama dengan pantai timur, terbatas hanya berada di daerah Reteh dan di Inderagiri; bahkan di sini ada tekanan dari kelompok Minangkabau hulu, dan Tuhfat al-Nafis menggambarkan tersingkirnya penguasa Inderagiri oleh empat pangeran dari Minangkabau. Otoritas Johor di Inderagiri dipulihkan melalui upaya pemimpin Bugis Riau, Yang Dipertuan Muda Raja Haji (1777-1784), akan tetapi meskipun telah dilakukan aliansi kerajaan melalui hubungan pernikahan, daerah Inderagiri-Reteh tetaplah gelisah. Reteh sendiri menjadi basis bajak laut Ilanun pada akhir abad ke-18, dan di Inderagiri adalah bukti yang menunjukkan ketahanan yang memadai bagi penguasa atasan: Riau. Secara berkala pemimpin agama pun berusaha untuk membangun kekuatan independen, dan kampanye militer yang diperlukan untuk mempertahankan kedaulatan Riau.74 Bahwa kemiripan rezim 72

Faes, 1882: 507, 511. Haji, 1982: 213. 74 Ali Haji, 1982: 118-9, 194,217 73Ali

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

51

tradisional yang bertahan hingga Perang Dunia II, akan tetapi juga di sini tampak suatu keterbatasan yang ditetapkan oleh kolonialisme Belanda telah menggerus kepemimpinan tradisional. Setelah kematian Sultan Abdul Jalil di tahun 1821, kemampuan penguasa Siak untuk bertindak independen semakin menyusut sebagai akibat dari penurunan ekonomi yang disertai dengan peningkatan tekanan Eropa. Munculnya gerakan militan kaum Padri di Minangkabau yang mengganggu aktifitas perdagangan dengan pedalaman, dan bahkan pada tahun 1823 setidaknya seorang pengamat barat menilai bahwa Siak bukan lagi negara yang kuat dan mandiri - itu hanya lima belas atau dua puluh tahun yang lalu, ketika Siak adalah tempat perdagangan yang besar; bahkan Anderson ketika berkunjung, ia menyatakan tidak terkesan dengan apa yang disaksikannya.75 Kontrol pesisir atas masyarakat Minangkabau di darat selalu sulit, dan tanpa individu yang kuat akan menjadi jauh lebih sulit lagi untuk dapat senantiasa mempertahankan otoritas atas beragam wilayah Siak, terutama dengan banyaknya calon raja atau pemimpin. Permusuhan antara pangeran yang juga diperparah oleh keterlibatan Belanda dan Inggris, juga berupa dorongan yang mereka berikan kepada keinginan lokal untuk kemandirian yang lebih besar. 76 Mengingat tekanan untuk ekspansi imperium, nampaknya situasi sudah matang bagi intervensi Eropa, terutama karena kebanyakan kolonialis Belanda percaya tentang pentingnya kontrol atas pantai Timur Sumatra, jika mereka harus melindungi kepentingannya. Melemahnya Siak dengan klaim teritorial yang membentang hingga ke utara di perbatasan Aceh telah menjadi undangan terbuka bagi ekspansi-eksploitasi. Berharap dukungan dalam menghadapi militansi Aceh, pemimpin Siak menandatangani perjanjian dengan Belanda pada tahun 1858 di mana mereka, seperti rekan-rekan mereka di Inderagiri, menyatakan negara mereka segera menjadi bahagian dari Hindia Belanda dan di bawah kedaulatan Belanda. Meskipun demikian, proses ini bukanlah proses yang singkat dan sebagai akibat situasi internal Siak semata, melainkan sebagai dampak perseteruan dua kolonialis; Inggris dan Belanda.

75 76

Anderson 1971: 343. Barbara Andaya,1997. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

52

Sebagaimana telah dikemukakan, kerajaan Melayu modern di pesisir pantai timur yang paling terkemuka; Siak, melalui perjanjian dengan Belanda di tahun 1858 benar-benar kehilangan kedaulatannya. Dapat juga dikatakan bahwa sejak didirikan oleh Raja kecil; Siak yang sempat mencapai masa keemasannya sebagai penguasa maritim di kawasan pantai Timur Sumatra perlahan memudar hingga ditandatanganinya traktat 1858. Momen tersebut nampaknya menjadi titik awal dari proses kolonialisme negeri-negeri Melayu di Pantai Timur yang didahului dengan melalui serangkaian kondisi-kondisi, terutama semenjak Siak mulai kehilangan pengaruhnya dalam kancah perdagangan di Selat dan melemahnya kerajaan akibat konflik-konflik internal. Faktor pertama, berkaitan erat dengan meningkat suhu kompetisi dagang antar bangsa Eropa, yang memuncak pada rivalitas Inggris dan Belanda dalam menanamkan pengaruhnya di selat Melaka - semenanjung Malaya. Selain konflik internal kerajaan, rivalitas antar bangsa penjajah yang berujung pada pembahagian tanah jajahan, dan melalui aneksasi penjajah mengakibatkan tereduksinya kekuasaan negara Melayu di pesisir sehingga meretakkan bahkan memecahkan dominasi tradisional atas politi-politi lokal, digantikan dengan kewilayahan administrasi Hindia. Persoalan ini, akan kita bahas lebih jauh pada bahagian 6; Aneksasi Pesisir.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

53

Gambar 1.2.Hegemoni Melaka-Johor di Sumatra tahun 1600-1650 Sumber: Robert Cribb,2007.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

54

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

55

2 Menghulu - Menghilir Bahwa pada era kontemporer nampaknya penjelajahan arsip Eropa atas wilayah Sumatra akan menemui beberapa titik jenuh; pengulangan informasi atas suatu bahan yang isinya menjelaskan kondisi komunitas dimana salah satunya menyangkut hubungan antara darat dan pesisir. Sebuah motif umum dalam cerita rakyat menyangkut sang pahlawan yang bepergian ke hulu dan menunjukkan bahwa terdapatnya sebuah pemukiman hulu; Kisah lainnya menceritakan petualangan nenek moyang mereka yang turun dari pedalaman untuk membuktikan keberadaannya dihadapan raja pantai. Legenda ataupun mitos tersebut, jelaslah membawa pesan nyata, penjajaran hulu(darat) dan hilir(pesisir) ini adalah salah satu hal yang signifikan. 77 Pada tingkatan “rasa” yang sangat sederhana, darat dan pesisir adalah sarana dasar dimana orang biasa berorientasi diri dengan lingkungannya. Pengamat Barat pada abad ke-19 dikejutkan oleh kenyataan bahwa orang mengatakan darat dan pesisir bahkan ketika tidak adanya air yang terlihat dan bahwa (mereka menunjukkan) situasi tempat dengan referensi sederhana untuk pendakian dan penurunan dari sungai. 78 Dalam artian yang lebih luas, sebuah pembedaan pemahaman darat - pesisir menjadi penting karena hilir yang mendominasi hulu tidak pernah dilihat sebagai tak terelakkan, dan identitas terpisah dari pedalaman yang secara konsisten disampaikan, pada abad ke18, orang Rejang dengan bangga mengatakan,

77.

Barbara Andaya, 1993. Damste, "Het landschap Loeboe Oelang Aling," p. 327; Anderson, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823, p. 390. Pembagian ini jelas saja, suatu tipikal dari kewilayahan ini. Untuk jelasnya, lihat Drakard, A Malay Frontier, hal.16. 78

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

56

“Malayo tidak; orang hulu betul sayo”.79 Atau sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Raja Ismail; seorang cucu dari Raja Kecil pendiri kerajaan Siak, “kami keturunan raja Siak, bukan Palembang, Kami dah biasa bermain ombak, anak-anak laut, tidak seperti orang hulu.” 80 “Sense” hulu atau darat yang berbeda dari hilir atau pesisir, sebahagian dapat ditelusuri dalam sejarah panjang tentang perkembangannya yang terpisah. Bukti Arkeologi dan linguistik menunjukkan bahwa baik pedalaman Palembang, Jambi, Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan dihuni oleh kelompokkelompok yang berkembang secara independen dari orang-orang di sepanjang pesisir pantai. Satu gambaran era prehistorian menguntungkan daerah danau dataran tinggi, seperti orang di sekitar Danau Ranau dan Kerinci, seperti secara aktif diselesaikan oleh Austronesia awal dan menjalani kehidupan pertanian dari sekitar 2000 SM dan seterusnya. Prasasti abad ke-7 dari Palembang menyebutkan kuatnya hubungan dengan para pemimpin pedalaman, dan tahun 500 M telah dianggap berasal dari beberapa monumen megalitik besar di wilayah Pasemah. Kurangnya kata-kata asal dataran tinggi di Melayu pesisir Palembang telah menyebabkan ahli bahasa berpendapat bahwa hal itu dikembangkan dari dialek Melayu pada tahapan ketika dataran Melayu sudah berbeda. Kontras antara darat dan pesisir ini dipertajam oleh cara yang berbeda di mana mereka tersentuh oleh dunia luar. Dunia Sumatra di abad ke-17 dan 18 menunjukkan bahwa perbedaan dalam bahasa dan adat istiadat telah meluas hingga konotasi "hulu" disebut tidak hanya untuk sistem hulu sungai, akan tetapi untuk masyarakat dan gaya hidup yang sangat berbeda dari yang terdapat di hilir. Pertimbangan tersebut mencakup sejauh perbedaan-perbedaan yang dapat dikaitkan dengan kontras fisik dan lingkungan ekonomi. Sebagian besar dataran pantai yang memanjang di sisi timur Sumatera itu kemudian ditutup dengan hutan rawa tebal atau rawa, yang bahkan bisa mencapai lebih dari 79

Marsden, The History of Sumatra, p. 42; Forbes, A Naturalist's Wanderings, hal. 199; Collins, "Besemah Concepts," pp. 57-58. Barbara Andaya, p.14. 80 Timothy P Barnard, “We Are Comfortable Riding the Waves:” Landscape and the Formation of a Border State in Eighteenth Century Island of Asia, dalam Borderlands in World History, 2014. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

57

seratus kilometer ke pedalaman. Meskipun pohon-pohon hutan rawa sering tumbuh enam puluh meter atau lebih, mereka tumbuh bukan pada tanah padat akan tetapi pada luasnya gambut yang dibentuk oleh sisa-sisa tanaman yang terbawa dari pedalaman. Di tempat-tempat yang ketinggiannya tidak lebih dari satu meter di atas permukaan laut, hutan rawa tunduk pada genangan saat air laut pasang, dan Seluruh daerah berubah pula oleh sungai saat air surut. Akan tetapi, meskipun tanggul tanah lebih subur dibangun di sepanjang tepian sungai, keberadaan rawa gambut yang letaknya rendah tetap berada di belakang mereka. Menuju pantai wilayah ini, banjir selama musim hujan dan bahkan kadang-kadang terjadi untuk sebagian besarnya dalam setahun, secara bertahap bergabung dengan rawa hutan permanen. Meskipun padatnya pepohonan dan tanaman merambat menutupi, rawa tersebut dataran pesisir umumnya tidak cocok untuk pertanian dan karena itu tidak bisa mendukung pemukiman dalam jumlah yang besar. Basis ekonomi dataran rendah adalah perikanan, pengumpulan hasil rawa dan laut, dan pemeliharaan pusat perdagangan regional, yang berada di dataran yang lebih tinggi adalah seperti di Tanah Putih, Siak, Pelalawan dan Rengat. Sebaliknya, situasi agak berbeda di pedalaman. Sungai-sungai yang sama yang membawa sisa-sisa tanaman ke hilir juga lumpur vulkanik yang diguyur dari Barisan pegunungan tinggi yang membentang dan memanjang pada tulang belakang Sumatera. Tanah kaya ini disimpan disepanjang hulu dan bahagian tengah utama sistem sungai, terutama Kampar, Tembesi dan Batang Hari di Jambi dan Musi di Palembang. Sehingga, hulu lebih kondusif dibandingkan hilir untuk tempat tinggal manusia, Pertanian berpindah dimungkinkan melalui pembukaan hutan, dan tanaman pun bisa ditanam di atas lantai lembah subur yang diukir oleh sungai-sungai di kaki bukit Barisan besar. Beberapa tanah terkaya dapat ditemukan di dataran tinggi Padang, dan sebelum berkembang-luasnya penanaman lada, produksi beras rupanya cukup luas ditemui dibeberapa distrik untuk memungkinkan berlangsungnya penjualan komersial. Salah satu hasil yang lebih jelas dari kesuburan yang lebih tinggi dari pedalaman adalah jumlah penduduknya yang lebih besar. Meskipun demikian, pada abad ke-17 hingga 19, Belanda mempersepsikan hulu sebagai “masyarakat kaya” (volkrijk) yang harus disimpan dalam perspektif. Kita dapat melihat bagaimana Pejabat Belanda memuji kesuburan tanah dari wilayah V RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

58

Koto Kampar dihulu Sungai Kampar Kanan, sebagai negeri yang subur dan makmur; kemudian lanskap rantau Kuantan, hulu Kampar Kiri dan juga hulu Rokan. Kontras dengan penggambaran pada abad ke-19 tentang pesisir Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan yang dikatakannya lebih menyerupai negeri miskin dengan mal-administrasi pemerintahan yang dikelola oleh pribumi. Dapat saja orang mengatakan bahwa hal ini mungkin juga lebih menyerupai prasangka ketimbang analisa. Bahwa berkemungkinan pula disebabkan kondisi tanah yang paling subur sekalipun dari Sumatera tidak dapat dibandingkan dengan kondisi di Jawa Tengah, dan pencucian lahan yang dibuka oleh beratnya Curah hujan Sumatera telah mengalami begitu banyaknya kehilangan nutrisi dasar. Untuk sebagian besar padi ladang(dryculture) lebih banyak dibudidayakan dari pada padi-sawah(wet-culture), faktor yang pada gilirannya membantu mempengaruhi laju pertumbuhan penduduk; untuk sementara padi kering membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja, juga menghasilkan lebih sedikit biji-bijian. Darat, seperti di pesisir, ukuran populasinya sebanding dengan ekologinya. Meskipun demikian, tampaknya ada sedikit keraguan bahwa pada awal abad ke-17 ada lebih banyak orang yang tinggal di daerah hulu daripada di pesisir. Dengan periode ini, juga, pedalaman telah mengembangkan ekonomi lokal di mana jaringan distribusi mencerminkan proporsi pusat populasi. Sementara di daerah pesisir yang berawa, ibukota adalah fokus utama dari kegiatan komersial, darat ditandai oleh sejumlah poin tukar yang telah dikembangkan di pedalaman sungai yang penting, seperti di Petapahan. Pusat-pusat ini dikaitkan dengan jalan darat ke Minangkabau dan pantai barat, yang penting faktor karena hulu sungai sekunder, meskipun banyak, namun seringkali dangkal, diblokir oleh jeram dan batu-batu besar dan tidak cocok untuk Perdagangan jarak jauh. Bagi banyak orang pedalaman, dijalur kuno hutan seringkali ditemui pondok-pondok kecil bagi wisatawan untuk beristirahat, juga sebagai sarana utama komunikasi antar berbagai pusat pertukaran. Yang terakhir, dan ini penting bagi perekonomian pedalaman karena pada musim kemarau ketinggian air disungai utama berada di bawah standar, dan itu menjadi tidak mungkin untuk membawa muatan menuju hilir. Hingga hujan tiba, perdagangan antara darat dan pesisir hampir terhenti, dan pedalaman pun bisa-bisa hampir saja terisolasi dari pesisir. Robekan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

59

berbahaya dan dangkal membuat perjalanan menghilir berbahaya bahkan ketika air tinggi, dan harus ada bujukan nyata sebelum orang akan mempertimbangkannya untuk membuat suatu perjalanan menghilir. Darat sendiri adalah sama-sama asing bagi sebagian besar penghun pesisir, untuk suatu perjalanan menghulu apakah dengan perahu atau rakit atau berjalan kaki yang sangat melelahkan dan tidak ringan untuk dilakukan. Dengan demikian, sistem sungai besar Sumatera memang berasal dari pedalaman dan mengalir menuju pantai, mereka tidak selalu mengikat erat dataran tinggi dan dataran rendah. Pemisahan geografis memberikan kontribusi terhadap sikap saling waspada(mungkin curiga) yang berakar pada perbedaan bahasa dan budaya. Menurut Barbara Andaya, kunci dalam hubungan ini adalah “ambiguitas.” Di satu sisi, darat bisa menakutkan secara ekstrem kepada orang-orang yang tinggal di dataran pantai. Di pesisir adanya gerakan mengerikan bumi bisa sesekali dirasakan, kadang-kadang selama berhari-hari pada suatu waktu, dan sungai pun bisa berubah warna dengan ribuan ikan mati mengambang di perairan, tapi setidaknya orang di sini selamat dari tumbangnya pohon, kehancuran tanaman, dan perusakan tempat tinggal dimana orang-orang dipedalaman mengalaminya selama letusan vulkanik atau gempa bumi. Bahkan pada abad ke-19, beberapa warga darat masih melaporkan mendengar suara musik dari desa yang telah menghilang ke bumi setelah salah satu episode menakutkan.81 Ada alasan lain bagi penduduk pesisir untuk menganggap darat sebagai domain dari bahaya. Mungkin saja penyakit gondok yang disebabkan oleh kekurangan garam telah membantu sebagai bahan bakar legenda lain tentang monster aneh yang berkeliaran dipedalaman. Keyakinan yang menegaskan keberadaan Bunian, makhluk hutan yang bisa menghilang , dan tokoh mirip kera fantastis ditutupi dengan rambut panjang, “orang gugu.” Sungai Sumai di ulu Jambi, di mana dengan megahnya Bukit Si Guntang berdiri, adalah nama untuk manusia serigala diyakini menghantui hutan, dan masih pada zaman sekarang orang Bengkulu

81

KI Hs. 581, Wellan, van Hasselt, Ethnographische Atlas van Midden Sumatra, h.72-73. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

60

di sepanjang pantai barat Sumatera menyebutnya dipedalaman berekor.82

Rejang

Penghuni pesisir juga takut terhadap darat yang dianggap sebagai tempat penyakit, mungkin saja ini karena pembukaan hutan adalah tempat berkembang biak bagi nyamuk. Ekspedisi ke pedalaman yang dikirim oleh Belanda sering kembali dengan "panas, demam, sakit perut dan pusing. Dikombinasikan dengan jarak geografis, berkemungkinan jatuhnya korban akibat beberapa penyakit membuat wilayah darat nyaman bagi raja untuk melepaskan diri dari saingan; banyak yang berburu ke pedalaman menyebabkan kematian misterius beberapa petinggi pesertanya, seperti Belida suatu distrik pedalaman yang biasanya "kering dan tidak subur" di Palembang, bahkan menjadi tempat yang didirikan untuk pengasingan bagi mereka yang memiliki tersinggung terhadap raja. Namun pada saat yang sama pedalaman adalah domain dari roh-roh leluhur yang besar dan bisa dipanggil untuk bantuan. Ziarah ke kuburan suci di hulu yang kadang-kadang disebut dalam sumber-sumber, dan itu ke daerah pedalaman dimana seorang raja Palembang sakit dari “penyakit pribumi” pergi kesana untuk penyembuhan. Itu juga merupakan sumber relaksasi, karena di sini pembukaan hutan untuk perburuan rusa dan kerbau liar, dan di sungai kecil ikan bisa dimiliki. Sikap orang darat ke pesisir sama-sama ambigu, untuk pesisir itu dijiwai dengan kekuatan supranatural dan mungkin, berpotensi berbahaya. Gaung yang mungkin saja berupa persepsi sangat tua, telah bertahan dalam kosmologi kelompok suku pedalaman yang dipelajari oleh para antropolog modern. Bagi mereka, dewa hulu yang ramah terkait dengan perladangan padi, gajah, pegunungan tinggi, dan langit; hilir sebagaimana disebut orang Melayu (Melayu), terkait dengan beras, penyakit, perdagangan, dan agama, dan dapat saja dianggap sebagai jahat dengan kemampuan untuk menyebabkan penderitaan besar. Hubungan paralel ditemukan dalam cerita rakyat dari pedalaman Palembang, dimana monster penghancur yang mendorong jalan bagi mereka ke pedalaman, hampir selalu berasal dari pantai. Untuk sesiapapun pahlawan yang meninggalkan keakraban ulu dan melakukan perjalanan menghilir; memerlukan keterampilan khusus dan juga, benda-benda magis, tidak hanya untuk

82

VOC 1428 Palembang to Batavia, 10 Feb. 1687, fo. 394v. Marsden, History if Sumatra, hal. 45; Jaspan, "From Patriliny to Matriliny," hal. 2. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

61

menanggung kerasnya dari perjalanan akan tetapi juga untuk bertahan hidup dari perangkap dan menguji kelicikan orang-orang hilir yang akan merasa senang melakukan hal itu untuknya.83 Dengan masuknya pengaruh Islam, maka cerita-rakyat yang awal mulanya berpuncak pada kehidupan dewa, mambang, peri dan mahluk gaib, distimulir dan disesuaikan dengan mahluk gaib yang diakui Islam. Kalaupun perwujudannya masih berupa dewa, mambang dan sebagainya, akan tetapi nafas Islam sudah ditiupkan kedalamnya, baik melalui dialog-dialog maupun melalui tema cerita. 84 Sementara itu juga dari sudut pandang masyarakat hulu, memperoleh penghargaan dari pantai dapat juga sebagai simbol hadiah yang luar biasa bagi penerimanya seperti halnya prestise yang berasal dari Raja hilir. Meskipun dijauhkan oleh geografi, bahasa, dan adat istiadat, darat dan pesisir tetap ditarik bersama-sama oleh ekonomi kemakmuran pusat pesisir yang sangat bergantung pada kemampuannya untuk menawarkan kepada para pedagang asing hasil-hasil yang dibawa dari pedalaman. Upaya oleh raja di pesisir untuk membawa mereka yang di hulu di bawah penguasa atasan mereka dan melanjutkan upaya dari penghuni hulu untuk membentuk hubungan ini terhadap mereka keuntungan mendominasi sejarah Jambi dan Palembang di abad ke-17 dan 18, dan ini berbeda dengan Riau Daratan, bahwa awal abad ke-18 merupakan era baru hubungan huluhilir dengan tampilnya tokoh Raja Kecil dengan pendirian kerajaan hilir; Siak, yang menggantikan dominasi Johor. Ambiguitas dan potensi dari asosiasi darat-pesisir adalah kekusyuan (preoccupation) banyak cerita rakyat Sumatera, akan tetapi dikatakan sebagai ke-kusyu-an yang tumbuh dari realitas lingkungan setempat. Bahwa disepanjang pantai timur Sumatra yang memliki Melayu sebagai budaya dasarnya, namun didapati bahwa bahagian dari Jambi dan Palembang dengan kedekatan geografisnya mengalami berbagai tingkat pengaruh dari Jawa. Meski kronologi ekspansi Jawa di tenggara Sumatera masih belum jelas, namun setidaknya akhir abad ke-15 wilayah itu tunduk pada pelabuhan pantai utara Demak, dan abad ke-17 di Jawa tengah diakui Kerajaan Mataram sebagai tuan. Tahun 1512 Tome Pires 83

Sandbukt, "Kubu Conceptions of Reality," hal.89; lebih jauh lihat Collins, "Besemah Concepts, hal. 118. 84 Tenas Effendi, 1990;2-3, Ashley Turner, 1997; 656. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

62

mengungkapkan bahwa meskipun orang-orang dari Jambi “lebih seperti Palembang dan Jawa dari Melayu,” bagaimanapun juga mereka tetap lebih dekat ke pusat budaya Melayu Melaka, seperti halnya wilayah hilir Siak, Kampar dan Indragiri yang dikatakan sebagai rantau Minangkabau, namun, mereka adalah Melayu. 85 Sebelum kedatangan bangsa Eropa, hubungan ekonomi antara produsen darat dan pelabuhan pesisir telah terpelihara, terutama melalui kemauan. Kondisi alam membuat penegakan kontrol secara langsung hampir tidak mungkin, dan Kelompok pedalaman akan menghilir untuk menjual barangbarang mereka hanya jika mereka yakin bahwa mereka akan bertemu perlakuan yang adil. Seorang raja mungkin saja mengklaim bagi dirinya sendiri manusia sakti item eksotis dari hutan dan laut, tetapi rakyat yang mengakui hak prerogatif kerajaan tersebut akan membenarkannya selama ia bisa melihat beberapa hadiah baginya. Konsesi ini cukup besar, karena pusat pemeliharaan hubungan darat-pesisir adalah penampilan reguler orang darat di kerajaan, yang menawarkan hadiah sebagai imbalan atas perlindungan. Kehadiran fisik mereka adalah demonstrasi penting suatu penghormatan, berdirinya penguasa diwujudkan melalui tampilan dari banyaknya pengikut. Eropa melihat hubungan di mana orang-orang hulu adalah tetap ke hilir "dengan [raja] sebagai dasar kemegahan namun mereka tidak cenderung eksploitatif atas kebun mereka sebagai bukti bahwa penguasa lokal “lebih suka menjadi raja pada acara seremoni dan diluar negara daripada terfokus pada negeri dan hambanya.”86 Mereka tidak mengerti bahwa hal itu bisa menjadi lebih penting bagi penguasa untuk memiliki rakyatnya yang senantiasa berkumpul di sekelilingnya sebagai bukti langsung dan tidak terbantahkan dari kekuasaannya daripada memiliki mereka yang bekerja sebagai tak terlihat di beberapa tempat yang jauh dalam mengejar keuntungan yang mungkin tidak jelas selama bertahun-tahun. Perempuan memiliki tempat yang penting di antara mereka yang mengelilingi Raja, mungkin mewakili yang paling berharga dari "upeti" hamba, yang bisa ditawarkannya. 85

Pires, The Suma Oriental of Tome Pires, II, hal.154. Dagh-Register, 1631-1634, p. 321; VOC 1338 Jambi to Batavia, 28 Oct.1678, fo. 385; Bassett, "The Factory of the English East India Company," p.269., dalam Barbara Andaya, 1993. 86.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

63

Eropa mungkin saja telah mencatat kehadiran perempuan dalam kerajaan di Sumatra, tetapi hanya sebagian saja yang menyadari akan pentingnya mereka. Seorang Belanda mungkin saja dapat berkomentar bahwa “raja di nusantara” menunjukkan kebesaran dan kekuasaan melalui mempertahankan banyaknya perempuan untuk menampilkan “nafsu” mereka, akan tetapi, ia tidak menyadari bahwa pernyataan visual maskulinitas penguasa adalah komponen penting dari legitimasi kerajaan. Perempuan juga diperlukan karena mereka dipekerjakan dalam jumlah besar dalam pembentukan kerajaan untuk mengurus kebutuhan pribadi penguasa dan keluarganya dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan seperti mengumpulkan kayu bakar dan membawa air. Ketika raja pergi berperang, perempuan itu bisa melakukan layanan penting seperti menyiapkan makanan dan persediaan untuk membela pasukan. Sebaliknya, perempuan berpotensi menghasilkan imbalan besar bagi hamba karena kemungkinan bahwa ia mungkin menjadi obyek perhatian penguasa. Keluarganya kemudian akan terikat kepada penguasa dengan cara yang sangat khusus dan sebagai imbalan untuk menyerahkan putri yang dipastikan harus tepat, dan mendapatkan tidak hanya imbalan akan tetapi juga terusmenerusnya keuntungan. Seperti yang dicatat di Siak oleh Hijman van Anrooij, bahwa bagaimanapun juga, pendapatan Sultan Siak dari Sungai Bangko diberikan untuk “mengamankan” Hadji Math Seh, ayah dari seorang selir Sultan, Ia adalah seorang lelaki yang dalam sejarah Siak memperoleh beberapa ketenaran. Dialah Panglima Perang yang dipekerjakan oleh Wilson selama ekspedisi melawan Siak. Setelah diusir dari sana, sang panglima pun melarikan diri dan bersembunyi untuk beberapa waktu di Langkat, di mana salah satu putrinya menikah dengan putra tertua dari Pangeran Langkat, Tengku Sodung. Setelah beberapa waktu, nampaknya diberitakan bahwa Panglima Perang meninggalkan negeri keduanya itu, dan disebutkan bahwa ia telah diusir oleh Pangeran Langkat. Tidak ada yang mengetahui apakah kemudian ia pergi ke Makkah, tapi setidaknya, setelah beberapa waktu, ia datang kembali ke Siak sebagai seorang Haji, dan menetap di Bangko, setelah Sultan meminta seorang putrinya. Kemudian ia mengelola pancong alas dari semua produk hutan, yang berasal dari Sungai Bangko, sementara dari semua yang berkumpul di sana, maka sejumlah $25 (yaitu sekitar 40% dari total nilai) akan diserahkan kepadanya. Sungai Bangko, yang bagaimanapun

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

64

juga memiiki banyak pohon bakau, saat itu telah menjadi begitu baik.87 Betapa pun jua, aliran perempuan ke istana adalah link penting dalam hubungan hulu-hilir dimana perempuan yang melayani di kerajaan, sangat sering berasal dari distrik hulu, tempat sebagian besar desa ditemukan. Dalam dunia legenda salah satu tema yang paling luas adalah cara di mana, kadang-kadang di masa lalu, serikat seksual antara seorang perempuan hulu dan raja hilir membantu mendirikan dasar bagi kerjasama antara ulu dan ilir. Sebagai raja-raja Palembang dan Jambi yang berusaha untuk terus saja memperketat ikatan selama lada tumbuh di pedalaman dan mereka kurang bersedia untuk duduk pasif di ibukota dan menunggu "hadiah" yang dibawa oleh rakyat mereka. Dan ini semakin menajam saja, perjalanan ke darat untuk berburu atau memancing yang dikombinasikan dengan pemaksaan pengumpulan persediaan lada, upeti, dan perempuan, "anak-anak perempuan yang belum menikah tercantik.”88 Hal ini hampir pasti bahwa gadis tersebut tidak akan pernah melihat keluarga mereka lagi, karena mereka sekarang menjadi properti raja, dengan mudah diberikan kemana pun atau dikirim ke Belanda untuk pembayaran utang. Ambiguitas hubungan hulu-hilir tercermin dalam cerita yang menggambarkan kompleksitas hubungan raja dengan ulu sebagai lakilaki yang perempuan melayaninya dan bahkan melahirkan anakanaknya. Bagi sebagian besar laki-laki, penyitaan anak perempuan atau saudara perempuan adalah setara penghinaan bagai penculikan istri, karena sebagian besar perempuan muda telah dijanjikan atau bertunangan selagi kanakkanak. Di desa, suami yang dirugikan, ayah, saudara, atau kekasih akan berhak untuk mengambil tindakan berdasarkan motif balas dendam, bahkan sampai tingkat membunuh pelakunya. Standar perilaku bagi khalayak umum dan pangeran, diletakkan sama dalam legenda Palembang; sang pahlawan besar Aria Damar, yang bersumpah ia tidak akan mengambil istri orang lain. Ketika ia ditipu sehingga melakukannya, ia menemukan rasa malu sehingga ditolerir bahwa ia pun akhirnya bunuh diri. Cerita lain yang melekat pada 87. 88.

Hijman van Anrooij, 1885; 385. VOC 1248 Palembang to Batavia, 15 Nov. 1664, fo. 2387; 1290, 26 Feb.1672, fo. 208. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

65

kerajaan dari silsilah Palembang; bercerita tentang seorang penguasa yang menuntut bahwa pengantin dari setiap hambanya pertama kali harus berbagi tempat tidurnya sebelum pergi ke suaminya sendiri. Setiap perempuan yang hamil, oleh raja diminta untuk tetap berada di kerajaan, dan suaminya pun dikirim pergi. Seorang laki-laki bernama Jeladri ingin menikahi seorang gadis cantik, tapi Raja terus menghendakinya agar tetap berada di kraton itu. Setelah tiga hari, Jeladri datang lagi untuk meminta Istrinya itu, dan ia menawarkan keris sebagai pengganti. Sayangnya, sang penguasa menolak. Delapan hari kemudian, Jeladri kembali datang, akan tetapi raja kembali tidak mengindahkannya. Jeladri kemudian mengambil keris dan mengamuk, membunuh penguasa dan semua penghuni Kraton. Dan memang, pada tahun 1629, sumber Belanda mencatat bahwa pewaris tahta Palembang dibunuh oleh salah satu rakyatnya sendiri yang pengantinnya telah ia ambil.89 Tindakan raja tersebut, jelas saja bertentangan dengan gagasan bahwa ia harus bertindak sebagai seorang yang peduli kerabat. Tema lain yang sering ditemukan, baik pada cerita rakyat ataupun catatan arsip adalah defleksi permusuhan populer terhadap penguasa, yang juga ke wakilnya. Perempuan kerajaan, yang sering menyertai pihak kerajaan ke wilayah hulu guna memilih perempuan untuk masuk ke istana, sama-sama menjadi target permusuhan, dan pemerasan oleh raja atau tuntutan untuk tugas rodi yang luar biasa, sering dikaitkan dengan "ratu kejam" atau “gundik serakah.” Dan ini berarti, ketegangan antara darat-pesisir dapat pula diungkapkan dalam cerita rakyat dimana hubungan manusia mencerminkan “ketegangan” nyata yang dapat berkembang ataupun tidak dalam interaksi ekonomi dari darat dan pesisir. Berikutnya, penguasa mudah meminta penyajian sebagai penebus, kewajiban kepadanya yang dijustifikasi oleh ikatan kuno yang membuat hamba pemberi 89

. KI Hs. 371a, "De kroniek van Palembang," n.f.; Generale Missiven, I, p.247., dalam Barbara Andaya, 1993.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

66

upeti dan pemenuhan jasa tenaga kerja dapat dijelaskan dan bahkan secara tepat pula. Seorang raja mungkin juga mendukung “saudara,” akan tetapi pada gilirannya mereka harus selalu siap untuk meminjamkan bantuan. Sistem rotasi rodi dioperasikan oleh mana sejumlah orang dan perempuan secara terus-menerus di istana sebagai pengumpul kayu, membawa air, memasak, memberi makan hewan, dan sebagainya. Asumsi implisit yang mendasari asosiasi hulu-hilir adalah bahwa hubungan antara desa dan kerajaan terletak pada hubungan saling pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Orang orang memberi hadiah, barang, dan tenaga kerja; penguasa memberikan penghargaan dan perlindungan. Penguasa ini hanya tidak bisa mempertahankan posisi mereka di hulu semata-mata melalui kekuatan. Meskipun keuntungan dari suksesnya kerjasama antara hulu dan hilir yang jauh, ikatan yang dikembangkan adalah tidak berarti tak terelakkan. Masyarakat pedalaman selalu melihat penerimaan raja pesisir sebagai bersyarat, dan mereka menjadi “hamba” hanya sejauh mereka setuju untuk menganggapnya sebagai tuan mereka. Sebagaimana telah ditunjukkan Barbara Andaya, bahwa asosiasi darat-pesisir yang diwarnai dengan ketegangan dan ambiguitas, juga dipicu oleh kehadiran Eropa yang menyebabkan perubahan pada produksi, yang memicu tekanan atas rasionalisasi produksi, kemudian dikenalkan dan meluasnya penggunaan uang, serta perbedaan persepsi atas hutang. Benturan budaya mengenai tata cara perniagaan tradisional dan barat, tergambar dari ketidaksepahaman atas satuan ukuran, dan bagaimana kepercayaan harus dibangun, yang bermula dari mengandalkan jaringan kekerabatan sebagai sumber daya yang bisa dipercaya, beralih pada pembeli dan agen yang dicurigai penuh muslihat dan tipu daya, lalu, pasar pun berubah menjadi arena konfrontasi dan antagonisme daripada kepercayaan dan persahabatan. Ketegangan produsen darat dan pembeli pesisir ini, juga diiringi rivalitas antar kerajaan yang dimasa Belanda, meskipun dicarikan solusinya untuk sementara, namun secara sengaja dikondisikan tidak menghilangkan konflik untuk waktu permanen, dbiarkan saja hingga menjadi laten. Sarana peredam konflik melalui ikatan perkawinan, kerap tidak menjadi salah satu solusi yang dilakukan ketika penjajah “menengahi” ketegangan antar politi-politi. Barbara Andaya berpendapat, bahwa RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

67

“masyarakat secara geografis dan budaya terfragmentasi, di mana kepemimpinan dipersonalisasikan dan rapuh, dan mana yang paling signifikan Obligasi tersebut diciptakan melalui kekerabatan, kemudian tidak lagi serasa seperti sebelum ekspansi dari dunia perdagangan Eropa, situasinya pun berubah, dan hubungan persaudaraan antar politi-politi pun terpengaruh.”

Orang Asli dan Melayu Bahwa Legenda atau hikayat yang ada, jelas merupakan sebuah media penyampaian pesan, tidak hanya bagi kalangan Melayu, melainkan juga bagi Orang Asli. Bahwa hubungan antara Orang Asli dan Melayu, dapat kita lihat dari penggambaran yang dapat menjelaskan pembagian pahlawan legendaris. Pada awal abad ke-20, Skeat dan Blagden melukiskan kisah Orang Asli dari Semenanjung Malaya tentang batin yang disebut sebagai Batin Berchanggei Besi; setelah kematiannya, posisinya diambil oleh Hang Tuah, batin dari Pengkalan Tampoi di Kelang. Ia dan anak-anaknya, Hang Jebat dan Hang Ketuwi (Kasturi di Malayu), dan keturunan mereka menjadi pendiri batin di Sungai Ujong, Kelang, Johor, dan Melaka.90 Di Semai chermor, di kalangan pengikut dari penguasa Melayu Malaka adalah Orang Asli bersaudara, Hang Tuah dan Hang Jebat. Akan tetapi kemudian terjadi pertengkaran antara bersaudara itu, yang mengakibatkan kematian Hang Jebat. Hang Tuah, didampingi keluarga istrinya dan orang-orang dari Hang Jebat, serta Orang Asli dari Gunung Ledang, bergerak ke utara dan kemudian bermukim di sana. Bagian dari kelompok yang bertetap di pusat Perak dan kemudian dikenal sebagai dataran rendah Semai, sedangkan HangTuah yang bergerak jauh ke utara menjadi pemimpin Orang Asli di dataran tinggi Perak. Kelompok terakhir akhirnya mengendap di daerah yang sekarang disebut Lambor. 91 Dalam cerita Orang Asli ini, Hang Tuah, Hang Jebat, dan Hang Kasturi adalah pemimpin awal yang penting dari masyarakat Orang Asli. Mereka juga terkenal dalam folklore Melayu dan dalam dua karya yang paling populer dari 90 91

Skeat and Blagden, Pagan Races, vol. 2, 267–73. Edo, “Traditional Alliance,” 3–5. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

68

sastra Melayu, Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Mereka ini merupakan tipikal pahlawan Melayu, sementara juga mereka berdua terkait dengan pulau-pulau dan tersirat untuk menjadi asal-usul Orang Laut. Fitur lain yang penting pada kisah Orang Asli adalah peran Sumatra, terutama Minangkabau dengan pusat kerajaan legendarisnya; Pagaruyung. Kembali kita pada kisah yang dikumpulkan oleh Skeat dan Blagden, Batin berchanggei Besi, ia meninggalkan Minangkabau dengan pengikutnya untuk bepergian pertama-tama ke Jawa, di mana beberapa pengikutnya tetap bersamanya dan kemudian menuju Malaka, yang kemudian diketahui telah berpenghuni. Salah satu keturunannya di Kelang memberikan putrinya dalam pernikahan ke pemimpin Minangkabau dihilir.92 Selain itu, sebuah mitos penciptaan Biduanda dikumpulkan oleh Hood Salleh yang juga memiliki hubungan dengan Sumatera. Menurut kisah ini, asal kelompok tersebut diberikan untuk Batin Sri Alam dengan “batang pohon yang berjalan” (walking tree trunk) dan menyimpannya di penangkaran. Batang (trunk) kemudian menghasilkan telur sejumlah empat puluh empat butir, dimana batin kemudian memendamnya sampai mereka menetas menjadi empat puluh empat anak. Ketika mereka tumbuh ia mencukupi mereka dengan kain kulit kayu untuk pakaiannya. Separuh dari anak-anak ini ia kirim ke Sumatera, di mana mereka berkoloni di pantai hingga “sejauh perbatasan dengan negeri Batak” (di pedalaman Sumatera), sementara itu separuh lainnya tetap di semenanjung dan menjadi Biduanda.93 Yang lainnya dan masih berkaitan dengan Sumatra dari Semenanjung, bahwa dalam salah satu chermor Semai, nenek moyang Orang Asli meninggalkan Mengkah dan menuju tanah pertama di Sumatera, di mana beberapanya berlayar menggunakan rakit dan membangun pemukiman di Pagaruyung. Lainnya dari kelompok ini pergi ke negeri di Siam atau Siap di Gunung Maluk (dikatakan di bagian utara Semenanjung Melayu), sementara yang ketiga terus ke selatan sampai gunung Sahine (diyakini berada di timur sisi pusat Perak), dan anggota yang tersisa turun di Malaka dan mengendap di Gunung Ledang. 94 Kemudian,

92

Skeat and Blagden, Pagan Races, vol. 2, 267–9. Hood Salleh, “Morality,” 57. 94 Gunung Ledang adalah gunung legendaries yang disebut dalam Sejarah Malayu, sebagai tempat kediaman seorang “ supernatural princess.” 93

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

69

Melayu banyak mengikuti jejak untuk bergabung dengan saudara mereka, Orang Asli. Mereka pun lalu berlabuh di Sumatera dan kemudian menempati seluruh wilayah pulau. Awalnya, mereka tinggal di antara para pemukim awal di Pagaruyung, akan tetapi, cara agresif mereka memaksa orang-orang Pagaruyung awal melarikan diri ke Malaka. Di Gunung Ledang orang-orang dari Pagaruyung bersatu kembali dengan keluarga mereka dari kaum yang pertama eksodus, dan mereka menjadi dikenal sebagai “Temuan” karena mereka telah bertemu (Temu). Temuan memutuskan untuk tidak tinggal di Gunung Ledang akan tetapi untuk menempati wilayah pesisir Melaka. 95 Asal cerita dari kelompok Orang Asli lain; Semelai, menggambarkan Pagaruyung sebagai tempat sakral pada saat proses penciptaan, ketika tidak ada perbedaan antara Malayu dan Semelai.96 Minangkabau juga menonjol dalam cerita-cerita lain. Sakai di Siak melacak nenek moyang mereka pada Minangkabau dan Mentawai, 97 dan Orang Rimba dongen melihat Minangkabau sebagai rumah dewa utama, Tuhan Kuaso, yang menciptakan bumi, hutan, manusia, dan hewan.98 Untuk Orang Rimba, kerajaan Minangkabau memiliki magis kuat dan kekuatan sakral, dan dengan demikian tentunya stabilitas yang lebih besar pula daripada politi Melayu lainnya. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk mempertahankan penyebab umum dengan Malayu, yang tercermin tidak hanya dalam cerita asal-usul mereka, akan tetapi juga dalam kecenderungan mereka untuk "berbagi" pahlawan budaya dengan Melayu dan kelompok Sumatra lainnya. Pada akhirnya, penekanan peran penting bagi Orang Rimba adalah penekanan pada perbedaan, bahwa meskipun mereka memiliki asal-usul yang sama dengan Melayu, mereka adalah saudara tua dan karenanya memiliki hak yang lebih dari Melayu. Preseden ini adalah legitimasi mereka untuk mengklaim 95

134.Edo, “Traditional Alliances,” 3– Gianno, “Malay Semelai,” 63–4. 97 Dikisahkan tentang negeri Pagaruyung yang sangat padat penduduknya, sehingga raja berusaha mencari wilayah baru untuk memindahkan kepadatan penduduknya tersebut; salah satunya rombongan yang terdiri dari 190 orang (189 orang janda dan seorang hulubalang sebagai pemimpin dikirimkan ke wilayah timur hingga sampai ketepian sungai Biduando(yang berarti sungai dari rombongan 189 janda dan seorang pemimpin), sungai itu akhirnya berubah nama menjadi Mandau, dimana Mandau sendiri dapat juga diartikan dari “marandau:, yang berarti campuran nasi dan ubi kayu, sebagai makanan pokok orang Sakai. Untuk jelasnya, lihat Suparlan, Orang-Orang Sakai di Riau, 1993, hal.72-88. 98 Sager, “If We Cross,” ch. 3: 5. 96

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

70

tentang penempatannya terhadap berbagai saluran dari area hutan.99 Sementara itu daerah antara Siak dan Kampar, terdapat Petalangan dimana salah satunya; Talang Dayun, memliki legenda yang juga berkaitan dengan Pagaruyung. Menurut legenda, bahwa Talang Dayun berasal dari Jawa dan kedatangannya itu melalui Pagaruyung.100 Legenda terkenal tentang pertarungan antara harimau dan kerbau, antara pangeran mereka dan raja Minangkabau, dimana setelah harimau yang mewakili orang-orang Jawa: kalah, maka selanjutnya mereka pun melebur ke wilayah setempat. Mengenai Legenda ini, dikisahkan juga meski agak berbeda oleh van Rijn van Alkemade, dalam laporan perjalanannya antara Siak dan Pelalawan. Kisah ini, sebagaimana lazimnya telah dicatatkan dalam Tarumba, yang sayangnya “pusaka” itu telah hilang dicuri di Siak lima tahun sebelum kedatangannya kesana.101 Sekali lagi, kisah legendaris ini bertutur tentang Orang Talang Dayun yang diduga berasal dari Jawa. Di suatu masa, bepergianlah seorang Patih Jawa dengan didampingi dua Batin; Mursaka dan Rantau Pamuncak, mereka menuju istana kediaman Raja Minangkabau. Untuk menghormati tamu di kerajaan, maka sang Raja Minangkabau menyelenggarakan pertarungan antara dua gajah, maka sang Patih pun dibedakan dengan perlakuan heroik, ia menerima Gelar Dubalang Besar (juara), sementara dua Batinnya dengan nama Dubalang Bungsu dan Dubalang Itam. Selain itu, Raja Minangkabau menetapkan bagi mereka daerah-daerah; maka kepemilikan Patih adalah dari Talang Dayun, Dubalang Bungsu dari Batang Nila dan Dubalang Itam dari Langgam, dimana Kedua tempat tersebut terletak di Pelalawan. Dan ini dikatakan Rijn van Alkemade, bahwa legenda ini mendukung dugaan tentang Orang Talang Dayun bahwa mereka berasal dari Jawa. Bagaimana pula pendapat yang menyatakan bahwa Orang Talang umumnya berasal dari Minangkabau? Sebagaimana umumnya kelompok tradisi yang

99

Sager menyebutkan bahwa Putri Selero Pinang Masak dan Orang Kayo Hitam, diketahui dalam masa penyebaran Islam dan pendiri hukum kemasyarakatan (considered sacred by the Orang Rimba), dikatakan bahwa Orang Rimba telah menetap di desa dan menjadi Muslim (sebagai penyebab ke-Melayu-an). Pahlawan lainnya yang berasal dari Orang Rimba adalah Si Pahit Lidah. Sager, “If We Cross,” ch. 3: 2–8; Andaya, To Live as Brothers, 11–3, passim. 100 Hijman van Anrooij, 295. 101 Van Rijn van Alkemade, Reis Naar Siak van Poelau Lawan, 1887, hal.136-137 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

71

mematuhi situs kuno Jawa di berbagai belahan Sumatera; akan tetapi, ini tidaklah berlaku terhadap kasus pada bahagian Minangkabau yang berasal dari keturunan luar, bahwasanya ditemui bukti kuat seperti yang terdapat dikalangan orang-orang ini sebagaimana halnya perilaku dan kebiasaan orang Melayu dari pantai barat, sebaliknya, adalah upaya sia-sia untuk menemukan jejak keturunan Jawa, baik pada adat maupun bahasa, dan juga pada fisik tubuh dan penampilan mereka. Gelar Patih sebagai gelar dari orang pertama di Talang Dayun, sebahagian berpendapat untuk dapat dipertimbangkan sebagai bukti bahwa mereka berasal dari Jawa. Mungkin juga, kondisi ini dapat dijelaskan dari apa yang berasal dari tradisi Anten-Anten sebagai kepala kedua di Talang Dayun yang diturunkan dari tradisi Minangkabau: Datuk Katemanggungan. Juga tradisi yang sama dari saudaranya: Perpatih Sebatang yang mendirikan dua kepala Laras pada masyarakat Melayu Minangkabau; dan pada Talang Dayun ditemukan, meskipun dengan nama yang berbeda, bahwa kembali terdapat model pembagian sebagaimana halnya kedalam dua Laras. Pemimpin yang disebut Patih, namanya mengingatkan kita dengan Parpatih dan dengan demikian tentu saja hal ini dapat kita kaitkan. Sementara itu pemimpin yang lainnya; Anten-Anten dan kewenangannya atas Suku Dayun Darat(terletak di pedalaman) berbeda dengan Suku Dayun laut (ke arah tepian sungai), yang merupakan otoritas dari Patih. Kedua suku utama ini, seperti yang akan kita lihat memiliki sukusuku mereka sendiri, mengingatkan kita akan pembagian dua Laras yang awal mulanya berada dikalangan masyarakat Melayu dari Pantai Barat, perlu juga dicatat bahwa kewenangan Patih sebelumnya telah diperluas hingga mencakup talang tetangga baik di Siak maupun Pelalawan, dengan peringkat yang lebih tinggi dari Anten-Anten, meskipun juga otoritas yang terakhir ini ditempatkan dengan rasa hormat dikalangan suku-sukunya sendiri. Cerita-cerita yang berasal dari Minangkabau juga ditemukan di kalangan masyarakat Talang Mamak, yang bermukim di sepanjang Sungai Indragiri dan sekali waktu terkait erat dengan kerajaan Indragiri di pesisir. Meskipun subsistensi mereka lebih didasarkan pada pertanian padi ladang, mereka juga merupakan pengumpul hasil hutan, yang menjelaskan hubungan mereka dengan kerajaan Melayu di pesisir.102 Menurut “Langkah lama” 102

Sager, “If We Cross,” ch. 3: 6. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

72

mereka(perilaku lama, yaitu; adat), tiga putra dari Parapatih nan Sebatang (salah satu dari dua pembuat hukum Minangkabau) meninggalkan Pagaruyung karena pertengkaran keluarga dan menjadi pemimpin Talang Mamak di Indragiri.103 Identifikasi Pagaruyung dan Minangkabau sebagai tempat asal dari banyak kelompok Orang Asli dapat dijelaskan oleh reputasi spiritual yang luar biasa dari para penguasa Pagaruyung dikalangan orang di wilayah tersebut. Cerita dari kekuatan suci penguasa tersebut akan tiba di Semenanjung Malaya selama berlangsungnya imigrasi Malayu dari akhir abad ke-14 atau bahkan lebih awal sebagai hasil dari aliran bebas barang dan informasi di Selat Melaka. Orang Asli mungkin telah menyerap tradisi dari pemukim Minangkabau, akan tetapi lebih mungkin lagi bahwa reputasi pusat sakral Minangkabau mendahului para imigran kemudian. Reputasi ini memfasilitasi terjadinya perkawinan antara Minangkabau dan Orang Asli, khususnya di Negeri Sembilan, yang sering dilihat sebagai cara di mana pemukim awal Minangkabau memperoleh akses ke negeri.104 Namun bagi Orang Asli terdapat banyak keuntungan spiritual dari perserikatan tersebut. Kisah mereka tentang potensi spiritual Pagaruyung, diperkuat oleh reputasi “kata-kata” sakral penguasa,105 akan membuat ide perkawinan dengan Minangkabau memang menjadi menarik. Perkawinan antara Minangkabau – Orang Asli, merupakan suatu bentuk interaksi dengan jarak sosial nol; meleburnya juga tidak hanya melibatkan dua individu, melainkan meliputi interaksi aktif dari dua sistem sosial. Sehingga, disini dapat diasumsikan bahwa orang asli mengadopsi nilai-nilai Minangkabau kedalam kelembagaannya. Proses ini diasumsikan merupakan salah satu bahagian dari serangkaian adopsi nilai-nilai Minangkabau kedalam orang asli yang menunjukkan keterkaitan antara Orang Asli dan Minangkabau. Petalangan adalah elemen yang paling penting dari hamba penguasa, karena dikatakan bahwa mereka dan nenek moyang keluarga kerajaan berasal dari dataran tinggi Minangkabau; pendapat ini seperti dikemukakan Moszkowski, yang nampaknya mengidentifikasi orang asli seperti Sakai sebagai berasal dari Pagaruyung, sebagai orang Veddoid bersama-sama dengan orang Minangkabau yang bermigrasi ke Riau Daratan pada abad ke-14, tepatnya di 103

Obdeyn, “Langkah Lama,” 354–60. Josselin de Jong, Minangkabau and Negri Sembilan, 123. 105 Sebagaimana diuraikan oleh Jane Drakard, dalam “Kingdom of Words.” Language and Power in Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1999. 104

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

73

wilayah Gasip, dan juga sebagaimana telah disampaikan tentang hasil studi Suparlan yang menemukan jejak Sakai ke Minangkabau ataupun Mentawai. 106 Meskipun demikian, terdapat pandangan yang berbeda. Bahwa disatu sisi, Sakai dianggap sebagai berasal dari Minangkabau-Pagaruyung, sementara disisi lainnya adalah sebagai Melayu.107 Untuk yang pertama, dikatakan sebagai hanya sedikit bukti untuk mendukung pandangan ini, yang mungkin hanya muncul disebabkan Minangkabau dan Petalangan ataupun Sakai berbagi praktek matrilineal yang sama (adat kamanakan).108 Kontak antara Petalangan dan Minangkabau mungkin saja telah meningkat di abad ke-17 dengan gerakan besar Minangkabau dari tanah air mereka menghilir ke pantai timur.109 Selain itu, bahwa di lingkungan Selat Malaka, afiliasi etnis bukanlah sebagai identitas tunggal, melainkan sebagai “Spektrum Identitas.” Nathan Porath menjelaskan fenomena ini dalam hal "afiliasi melalui asosiasi," di mana ada gradasi link affinal yang terbentang ke daerah lain untuk memasukkan sejumlah unsur luar yang berbeda. 110 Oleh karena itu, mungkin saja satu kelompok menyatakan dirinya Minangkabau atau Malayu di bawah suatu kondisi, sebagai Orang Riau di tempat lainnya, dan Melayu Sakai atau Asli Sakai di situasi yang lain pula. Konsepsi etnis yang “cair” ini merupakan mekanisme ekonomi dan politik yang penting, yang dapat digunakan untuk memajukan kepentingan individu ataupun seluruh kelompok. Pilihan etnik yang dibuat pada suatu masa di sepanjang spektrum bisa menentukan keberhasilan ataupun juga kegagalan suatu usaha ekonomi atau hubungan politik. 111

106

Parsudi Suparlan, 72, dan 80. Porath, “When the Bird Flies,” 4–5. 108 Seperti salah satu kelompok yang dikatakan sebagai berasal dari Jawa disebabkan istilah “Patih” Jawa telah diberikan gelar Dulubalang Besar dan diizinkan untuk bermukim di Siak. Rijn van Alkemade, “Reis van Siak,” 136. 109 Barnard, Multiple Centres, 20; Andaya, Kingdom of Johor, 111–2. 110 Porath, “When the Bird Flies,” 5. Konsep ini, is the underlying argumen dalam karya Barbara Andaya, “To Live as Brothers.” 111 Leonard Andaya, 211. 107

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

74

Menurut tradisi Petalangan, Ketika penguasa terakhir meninggal tanpa pengganti, kerajaan dibubarkan dan orang-orang melarikan diri ke hutan (talang) dan menjadi nenek moyang orang Petalangan. Tidak terdapat dokumen menguatkan telah ditemukan, yang menyebutkan keberadaan kerajaan Gasip, meskipun terdapat satu catatan Belanda mengklaim bahwa benar adanya; hanya untuk waktu yang singkat dari abad ke-16 hingga awal abad ke-17.112 Hubungan antara Petalangan dan kerajaan Melayu berlanjut dengan dasarnya kerajaan Siak yang didirikan oleh Raja Kecil sekitar tahun 1722 hingga 1723. Pada abad ke-19, pemerintahan Melayu dari bintara kanan dan bintara kiri yang ditunjuk oleh kerajaan untuk melayani ataupun sebagai perantara antara sultan dan Petalangan. Di antara tugas-tugas yang diminta dari Petalangan adalah membangun benteng bila diperlukan, membantu dalam perjalanan penguasa, dan memberikan beberapa panen padi mereka dalam pertukaran untuk garam dan besi dengan harga ditetapkan oleh penguasa. Pada pangkalan tertentu, atau pos didirikan di persimpangan jalan, juga pasar strategis di pedalaman, yang ditunjuk sebagai titik pertukaran. Petalangan dibebaskan dari partisipasi dalam perang, akan tetapi diharapkan untuk menjaga keamanan pedalaman. 113 Petalangan juga terkait dengan kerajaan Pelalawan, terletak di daerah yang memberikan kesaksian bahwa nama di Sungai Kampar. Penguasa Malayu nampaknya tidak ikut campur dalam hukum adat masyarakat hutan. Tema lainnya yang nampaknya bervariatif dan merujuk pada berbagai tahapan perjalanan sejarah; Seperti asal usul penguasa Melayu dari Bukit Siguntang, kemudian asal-usul pada masyarakat Pasemah kita mengenal adanya Puyang Si Pahit Lidah, lalu di Jambi dengan kisah Putri Pinang Masak. Tema-tema di Riau Daratan sendiri seperti di Hulu Sungai Rokan adanya Putri Hijau dan Anak Raja Jatuh, Kisah Putri Tujuh, Putri Kacang Mayang di Sungai Gasib, kisah Putri Sri Dunia di Muara Takus, Rakit Kulim di sungai IndragiriKuantan. Terbetiknya legenda dikalangan masyarakat Kampar Kanan berkaitan dengan Situs Candi Muara Takus yang meski waktu pendiriannya belum diketahui dengan pasti dan menjadi perdebatan para ahli, salah satunya berasumsi berdiri pada masa Sriwijaya yang juga merupakan suatu jejak bahwa setidaknya wilayah ini telah eksis sebelum terjadinya pergeseran

112 113

Rijn van Alkemade, “Het Rijk Gassip,” 222–5. Menurut Rijn van Alkemade, bahwa tugas peperangan ditetapkan kepada Suku Laut. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

75

pusat peradaban Melayu dari Sriwijaya ke pedalaman Batang Hari. Candi ini ditemukan pada tahun 1858 oleh insinyur pertambangan C. de Groot, yang membuat sketsa ditepian Sungai Kampar-Kanan. Dari penduduk setempat ia mengetahui bahwa di suatu tempat terpencil terdapat reruntuhan candi yang mereka sebut sebagai “Kota Candi.” De Groot pun menemukan reruntuhan situs di tengah-tengah rimbunnya tanaman bambu. Terdapat beberapa pendapat tentang masa pendirian candi ini, seperti Schnitger, yang mengemukakan bahwa pendirian situs Muara Takus ini bersamaan dengan periode candi di Padang Lawas. Di Padang Lawas, bahkan Bosch, Stutterheim dan Boris menemukan angka-angka di salah satu candi; 1175 caka, yang berarti sama dengan tahun 1235 masehi. Bahwa, penguasa India selatan Rayendra Chola yang melakukan penyerangan terhadap Sriwijaya, Pane dan Lamuri diabad ke-11, diduga telah mendirikan candi pemujaan Syiwa diwilayah Padang Lawas; terdapat kesenjangan antara kedatangan Rayendra Chola dengan tanggal situs, yaitu abad ke-11 dengan abad ke-13. Diasumsikan, pembangunan dilanjutkan oleh keturunannya mengingat keberadaan situs sama dengan yang terdapat di India Selatan. Keberadaan kerajaan ini, punah seiring penyerangan yang dilakukan orang-orang Batak yang dipimpin oleh Datuk penghubung114. Jika melihat letak posisinya, maka keberadaannya pada jalur perdagangan Minangkabau dan juga, Batak. Sehingga, disini terdapat keberadaan Legenda yang berkaitan dengan entitas Batak tersebut. Legenda ini juga berhubungan dengan tempat utama di lanskap V Kota Kampar; Bangkinang. Menurut legenda, terdapat suatu ibu kota, yang terletak di sebuah tikungan tajam Sungai Kampar, yang begitu besarnya sehingga dikisahkan kucing yang berjalan dari atap keatap rumah lainnya harus menghabiskan waktu selama tiga hari untuk terus berjalan sebelum seluruh kota telah selesai ditempuhnya. Kota dikelilingi oleh tembok tanah, dan juga parit115 sebagai sumber daya pertahanan dalam menghadapi penyerangan (Batak).116 Pendapat lainnya mengatakan bahwa candi Muara Takus dibangun pada abad ke-7 atau 8, atau bahkan abad-abad sebelumnya, dan juga 114

Dada Meuraxa, dalam “Kerajaan Melayu Purba,” Penerbit Kalidasa Medan, tahun 1971, hal.13 Holle menemukan pola semacam ini yang merupakan kediaman Datuk Penghulu, berada di Lanskap Pangkalan Kota Bahru, dan satu-satunya yang ditemukan disana pada akhir abad ke-19. 116 Lihat Kalff, dalam “Sumatraanche Oudheden,” in Nederlandsch Iindie Oud & Nieuw, 5 Mei 1920. 115

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

76

kata-kata “Minanga” dan “Tamwan” pada prasasti Kedukan Bukit (682M) telah membawa asumsi bahwa candi Muara Takus merupakan Mandala Sriwijaya pada masanya117; sebagai sebuah pusat kebudayaan yang mengilhami bangsa dikawasan se-lingkungan-nya. Kemudian legenda Putri Sri Dunia, bahwa ia berasal dari dataran tinggi, dan seorang penguasa Hindu pun meminangnya. Sang putri menerima pinangan itu dengan syarat ia meminta agar sang Pangeran Hindu itu membangun satu istana untuknya. Sang raja menyanggupi dan membangunkan untuknya istana yang terletak di Muara Takus. Lalu, sang raja pun kembali ke negerinya untuk mempersiapkan pesta pernikahan. Jeda beberapa waktu, sepasukan besar Batak mendekati kota dimana sang putri Sri Dunia bermukim. Sang pemimpinnya, Sutan Palembang yang juga tertarik dengan sang putri Sri Dunia, mengirimkan sekeranjang pasir kepada raja Hindu itu. Sekeranjang pasir ini bermakna sebagai banyaknya jumlah dari pasukan Batak, menanggapi ini, raja Hindu ini pun tidak pernah kembali lagi ke Muara Takus. ketika orang Batak tiba di Muara Takus, mereka menemukan bahwa tempat itu sudah kosong ditinggalkan penghuninya. Putri Sri Dunia dan pengikutnya telah pergi dan sang putri menikah dengan seorang Datuk Minangkabau. Ia memiliki seorang putra, yang bernama Indo Dunia, dan saat itu dikenallah tempat di Muara Takus sebagai Galangah Indo Dunia. Kemudian ia menurunkan anak yang menjadi penguasa; Raja Pamuncak (Datuk di Balai), dikenal dalam sejarah pada masa masuknya Islam kesana. Legenda lainnya, adalah penguasa terakhir Muara Takus (Mutakui) yang bernama Raja Bicau. Raja hanya memiliki anak perempuan, yang tertua menikah dengan maharaja Johor, dimana datanglah orang-orang ke pesta pernikahannya. Diantara tamu undangan tersebut, terdapatlah Singa Menjadian dan Singa Mendedean-mereka bersaudara; berasal dari Gunung Melalo(hulu) dan yang menjadi awal mula dari Rao. Lainnya, berasal dari Palembang. Salah satunya meminta putri yang lainnya dari sang raja, sayangnya, ia ditolak sebab menderita suatu penyakit. Maka, kemudian ia pun mengirimkan kemenakannya kepada Singa Merdekeh; raja Kuamang (panti) dan memintanya mengirimkan pasukan. Kemudian sejumlah besar 117

Bahwa dikisahkan tentara Sriwijaya menuju ke ibukotanya dari daerah yang bernama “Minanga-Tamwan”. Purbacaraka mengemukakan bahwa arti dari “Minanga-Tamwan” adalah pertemuan dua buah sungai; diartikan sebagai Sungai Kampar Kanan dan Kiri. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

77

pasukan Batak datang menyerang Muara Takus, dan dalam pertempuran ini raja terakhir, Panjang Jungur tewas. Didekat Batu Besurat, orang Batak melemparkan batu bertulis ke dalam sungai dan berkata, “Ketika batu ini mengapung kembali ke permukaan air, kita juga akan kembali.” Sayangnya, di Pematang Gadang, mereka menemui hambatan. Bahwa sepokok kayu besar telah menimpa dan mereka pun tenggelam. Banyak mayat yang mengambang dialiran sungai dan berbau busuk, sehingga dinamakan sebagai Sungai Sibusuk. Dari aliran ini, menghilir mayat-mayat mengambang dan dengan demikian dinamakan “Bangkai-inang” atau Bangkinang118 (Mayat Batak). Nama “inang” berarti “ibu” dalam terminologi Batak, tersebab terkejut, mereka menyebutnya dengan “inang.” Bahwa juga diceritakan di masa kuno terdapat aliran sungai bawah tanah, yang menghubungkan Kampar Kanan dengan Kampar Kiri; Legenda berkisah tentang Indo Chatib dari Suku Bondang, yang suatu ketika ia memancing di wilayah tetangganya; Koto Air Tiris. Bahwa sang tokoh ditarik oleh ikan yang berhasil diburunya melalui sungai dibawah tanah hingga ke Kampar Kiri; legenda ini, terutama berkaitan pula dengan asal-usul nama Air Tiris. Muara Takus sendiri dulunya dinamakan Si Jangkang atau Telago Undang. Nama ini, berasal dari kata Takut; nama anak sungai dari sungai Kampar, sebab disini orang-orang mulai merasa takut dengan sang Penguasa Muara Takus (takut). Kerajaan ini sesekali waktu mendominasi wilayah sekelilingnya. Seperti penguasa Rokan yang mengunjungi Muara Takus untuk melakukan ritual “Balimau.” Pada era Hindia, saat peringatan Hari Ratu, seluruh penghulu di wilayah pemerintahan Bangkinang tiba untuk memberi penghormatan kepada Kontrolir; Penghulu Muara Takus memimpin prosesi dibawah payung emas. Dari legenda Muara Takus ini, sebagaimana telah disampaikan bahwa terdapat unsur Batak yang melakukan penyerbuan, dan bahkan, menimbulkan penyebutan Bangkinang yang berasal dari kata Bangkai-Inang. Hal ini, diasumsikan berkaitan dengan suatu masa di era Sriwijaya yang berada dalam perdagangan camphor dan benzoin di abad ke-8, dimana terjadi migrasi orang Batak dari danau Toba kearah selatan, dan terdapat juga bukti bahwa telah terjadi penyebaran awal orang Batak diwilayah yang sekarang ini dikenal sebagai berbasis Melayu ataupun Minangkabau. Menurut sejumlah

118

Bangkinang sebagai pusat dari V Koto Kampar, sekarang dikenal sebagai ibukota Kabupaten Kampar Provinsi Riau. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

78

tradisi Kampar, bahwa Rao pada suatu masa adalah Batak, namun disaat selanjutnya adalah Minangkabau, sementara daerah timur dari Rao dianggap sebagai Batak. Bahwa legenda penyerangan Muara Takus oleh Batak, berbasis di Kuamang. Pada abad ke-19, seorang Belanda melaporkan melihat batu berinskripsi kaligraphi Batak, yang terletak di lingkungan Glugur di Sungai Kampar. Ia menjelaskan bahwa batu tersebut menginformasikan pemberian penghargaan kepada pemimpin desa, yang diasumsikan sebagai Batak, dan nampaknya dapat dikaitkan dengan Mandailing. Hingga pertengahan abad ke-19, Neuwman meyakini bahwa Batak bermukim di sebelah utara pegunungan Pasoman (Dolok-Pasoman di Batak), dimana pegunungan Pasoman ini merupakan sumber dari sungai Rokan, Siak dan Kampar, dan menandai perbatasan paling selatan dari negeri Batak. 119 Kondisi tersebut juga menegaskan keyakinan, bahwa, peradaban masyarakat manusia dapat lebih tua dari yang apa yang telah dan tengah dipercaya, bahwa pengetahuan yang meliputi suatu entitas masa kuno telah diikat oleh keterbatasan bukti-bukti, dan akan berubah ketika ditemukan bukti baru yang otentik dan argumentatif. Upaya yang sangat baik dalam melihat kondisi Lanskap darat dalam kaitannya dengan kerajaan pegunungan; Minangkabau, kita dapat bandingkan dari apa yang diperoleh Kato Tsuyoshi120 yang melakukan kajian yang mengaitkan asal usul Rantau Kurang Oso Dua Puluh melalui kisah Rakit Kulim yang terkenal sepanjang aliran Kuantan - Indragiri sejauh hilir di Rengat. Suatu waktu yang telah sangat lama berlalu, atau menurut satu versi pada akhir abad ke-14, seorang raja Minangkabau dari Pagaruyung mengirim dua bangsawan ke Kuantan untuk membawa hukum adat dan ketertiban di daerah ini. mereka adalah Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka membuat rakit dari pohon Kulim untuk perjalanan. Kulim (Scorodocarpus borneensis) adalah pohon keras dan berat yang sulit mengapung di air. Namun sebaliknya, rakit Kulim mereka mengapung disebabkan dua bangsawan itu diberkahi dengan kekuatan supranatural. Mereka dan para pengikutnya pun berakit menyusuri Kuantan - Indragiri hingga tiba di daerah

119

Neumann, “Het Pane-,” vol. 2, 17–8; Andaya, 2008;156. Localisation of Kuantan, in Indonesia From Minangkabau Frontier to a Riau Administrative District, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, (1997), no: 4, Leiden, 737 - 763 120

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

79

Kuantan. Kedua bangsawan tersebut lalu menata beberapa pra - permukiman di Kuantan, membuka tempat baru di kawasan hutan perawan dan meletakkan dasar dari Rantau Kurang Oso Dua Puluh. Datuk Tumanggung, Datuk Perpatih, dan juga seorang bangsawan ketiga Datuk Bandaro Lelo Budi, mendirikan total sejumlah sembilan belas koto di Kuantan. Tidaklah jelas kapan dan darimana Datuk Bandaro Lelo Budi datang ke Kuantan, akan tetapi banyak ahli adat mengatakan bahwa ia sudah tinggal di Kuantan ketika dua bangsawan datang ke daerah ini. Gelar Datuk Bandaro Lelo Budi masih diwariskan di Kari, sebuah desa beberapa jarak di hulu Taluk, sedangkan dari Datuk Perpatih dan Datuk Tumanggung juga mewariskannya di Lubuk Jambi dan Inuman. Setelah Rantau Kurang Oso Dua Puluh dibentuk, Datuk Tumanggung dan Datuk Perpatih mengatur tentang penyempurnaan adat di Kuantan. Sayangnya dalam proses tersebut, mereka berselisih terutama atas posisi Syarak atau hukum Islam dalam masyarakat. Beberapa ahli adat di Kuantan mengatakan bahwa konflik muncul setelah kedatangan Islam di Kuantan, sementara yang lain berpendapat bahwa kedua bangsawan sudah menjadi Muslim sebelum kedatangannya ke Kuantan, akan tetapi menempatkan derajat yang berbeda dalam penekanan atas Islam. Akan tetapi kedua kubu ahli adat setuju bahwa Datuk Perpatih memberikan keutamaan adat matrilineal untuk pengaturan hubungan keluarga (misalnya, mamak – kemanakan), pola perkawinan (seperti, suku atau matri - klan eksogami), dan pewarisan (misalnya, warisan komunal matrilineal); Sementara Datuk Tumanggung lebih suka menekankan Syarak untuk pengaturan faset kehidupan ini. Sebagai akibat dari konflik tersebut, Datuk Tumanggung meninggalkan Kuantan dan pergi ke arah laut. Ia kemudian mengembangkan adat berorientasi syara’ di daerah baru di bawah pengaruhnya. Sementara itu Datuk Perpatih dengan bantuan Datuk Bandaro Lelo Budi, terus menyempurnakan adat di Kuantan dan pengorganisasian internal koto. Empat suku atau marga matrilineal dibentuk di koto dan posisi yang sesuai sebagai pemimpin adat pun didirikan. Meskipun pada awal mulanya rakit Kulim yang menghilir bersama dua tokoh Minangkabau ke Kuantan, adat di daerah ini sekarang diakui sebagai Adat Perpatih. Sebaliknya, adat berorientasi syara’ dibedakan sebagai Adat Katumanggung atau Adat Tumanggung dimana menurut banyak ahli adat di Kuantan sekarang berkembang di Semenanjung Melaka. Kisah pengembangan budaya dari pegunungan Minangkabau di rantau Kuantan ini bahkan dapat kita temui RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

80

dalam warta121 di periode pendudukan Jepang. Kato berpendapat bahwa hubungan antara Kuantan dan wilayah pegunungan lebih baik dipahami dalam konteks alam Minangkabau.

Gambar 2.1.Para Pemimpin Muara Takus Awal Abad ke-20. Sumber:Aanteekeningen Over Midden Sumatra door S.Kalff. Op de Hoogste, 1917.

Bahwa pemahaman hubungan Kuantan dengan Minangkabau dalam perspektif alam Minangkabau, nampaknya dilengkapi dengan kisah lainnya selain dari kisah Rakit Kulim, yang menunjukkan eratnya hubungan antara Kuantan dan pegunungan Minangkabau. Menurut cerita lain yang terkenal di Kuantan, raja dari Pagaruyung pernah mengunjungi Kuantan dengan lima tokoh dari istananya. Tokoh ini kemudian berdiri sebagai wakil raja di Kuantan. Mereka secara kolektif dikenal sebagai Orang Gadang nan Balimo 121

Pandji Poestaka, 17 November 1942; koleksi dari Nederlandsche Instituut voor Oorloogs Documentatie. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

81

dimana gelar adat tersebut masih diwariskan di Kuantan hingga saat ini. Berkaitan dengan perwakilan raja Pagaruyung di Kuantan, ada baiknya kita melihat laporan yang dituliskan oleh Grijzen. Grijzen122 menyebutkan bahwa keseluruh federasi kota-kota di Distrik Kuantan, membentuk empat federasi, termasuk yang disebut sebagai IX Kota di Atas dan IX Kota di Ilir, dan negerinegeri ini berada di bawah kewenangan taruhan orang Gedang nan berlima. Untuk jelasnya adalah sebagai berikut: Datuk Dano Puto dan Datuk Dano Sekaro untuk IV Koto di Ilir; masingmasing berpusat di Cerenti dan Inoman; Datuk Muda Besei untuk V-Koto-di Tangah; berpusat di Taluk Datuk Habib untuk V Kota di Mudik berpusat di Lubuk Jambi, dan Datuk Paduka Raja untuk IV Koto di Mudik; berpusat di Aur Balei. Di Lubuk Ambacang bermukim kepala, yang memimpin dengan gelar Datuk Sangga Raja. Posisinya sebagaimana dalam ungkapan, “orang gedang berlima, bëranam dengan Sangga Raja.” Mereka semua orang Gedang Raja, bahwa tugas mereka oleh Raja Pagaruyung adalah mereka diangkat sebagai wakilnya. Adapun kata “Sangga Raja” berasal dari kata “mënyangga Raja”. Gelar diberikan, saat kedatangan pangeran Pagaruyung yang menaiki perahu di rantau Kuantan dan menariknya untuk menepi (Mënyangga perahu Raja). Paduka Raja, berawal dari pëndukung Raja dan didasarkan pada kenyataan bahwa Raja dari Pagaruyung yang berada di perahu menuju Singgasana Raja, dan ini haruslah didukung (mendukung Raja). Datuk Chabit bertanggung jawab atas pemeliharaan ini, dan juga untuk memastikan bahwa Pangeran menerima bagian atau hak istimewanya (privillege) dan juga meliputi pemotongan rumput (sabit rumput); Pada salah satu perjalanannya dimana ia berada di Taluk, bahwa istri Raja terihat pucat dan kurus. Salah satu kepala dapat memulihkan dan menjadikannya sehat kembali, sehingga ia memperoleh galar “Muda Bisai” (Bisai = menyenangkan, sehat); bahwasanya ia tengah berada di Inuman dan telah diketahui bahwa isteri sang Raja tersebut ternyata sedang hamil. Terhadap kepala yang membawanya dengan perawatan yang diperlukan dari perahu di pantai, diberikan gelar Dano Bikaro atau Sikaro(Bingkaro=hamil). Kemudian sang Raja dari tempatnya itu, akan kembali melakukan perjalanan dan segera saja diatur untuk tujuan tersebut, dan didahului oleh Raja Dubalang dari Aur (Onderafdeeling Lintau dan Buo) 122

Grijzen, hal.110 - 111 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

82

yang menyiapkan kedatangannya. Bahwa dalam konteks ini distrik Kuantan masih terhitung negara-negara Minangkabau. Raja dubalang, kecuali sebagai prekursor dari Rajanya, ia tidak memiliki pengaruh di Kuantan. Mereka mengatakan : “Orang Gadang nan Berlima di Rantau Kuantan, bëranam dengan Sangga Raja, bërtujuh dengan Datuk Raja dubalang di Aur”. Grijzen mengemukakan berkaitan dengan rantau Kuantan yang awalnya berasal dari 18 kota, 19 kota dengan Padang Tarab dan 20 kota dengan Muara. Padang Tarab sebagai kota ke-19 Rantau Kuantan akan tetapi pembagian ke dalam federasi tidak dihitung; dengan kata lain tidak termasuk dalam asli Rantau Kuantan, tapi, seperti dikatakan, mereka “bunga setangkai.” Tampaknya pada saat itu adalah satu-satunya Kota yang sealur dengan sungai, disebut Kuantan. Terdapat ungkapan: sahingga Muara Ilir, sahingga Cërenti mudik, Muara dianggap sebagai nomor dua puluh, sendirian saja dan hanya karena di Sungai Kuantan, bukan karena terhubung politik dengan kota lainnya. Binuang Air Putih atau Padang Tarab disebut sebagai kesembilan belas karena itu adalah lanskap Bunga setangkai, setandan bunga dari delapan belas kota Kuantan yang sebenarnya. Lebih jauh lagi Grijzen, bahwa bukti kedekatan antara rantau Kuantan dengan Kerajaan Pagaruyung adalah dapat dilihat dari Datuk-Datuk yang merupakan Orang Gadang nan berlima, gelar dan lokus yang berkaitan erat dengan peristiwa kedatangan Raja tersebut, dimulai dari persiapan Raja dubalang dari Aur tersebut. Bahwa juga bunga setangkei, oleh karena itu adalah tempat di mana Raja mulai untuk berhibur, seperti pada XIV Kota itu dari Tapian sehingga air hangat, pada III Guguk dengan Selasar atau përmédanan atau Tempat Bermain, Jadi dahulunya adalah tempat memancing sebagaimana dari Raja dubalang dari Aur dengan balai përanginan tersebut, tempat Raja untuk mendapatkan udara segar. Keseluruhan gelar dan rangkaian acara dan tempat tersebut diatas berkaitan dengan kedatangan Raja ke Rantau Kuantan: sebagaimana telah dikemukakan, bahwa sekali setiap tiga tahun (dua tahun ketiga) sang Raja Pagaruyung menghilir di sungai Kuantan untuk mengumpulkan pajak dan estimasi yang sah, namun kedatangannya ini tidak lebih dari dua pekan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

83

saja.123 Raja Dubalang,124 sebagai seorang pembesar setempat akan mengumumkan dan menyambut kedatangannya. Adapun pembesar di negeri Silakat, Durian Gadang dan Siluka bergegas memberikan perahu lengkap dengan awaknya yang diperlukan. Di Lubuk Ambacang dimana bertempat Pucuk Negeri Datuk Sangga raja, bahwa setelah ia mendengar khabar tentang kedatangan tuannya, segera saja pesan dikirimkan ke Orang Gadang dari Gunung. Sang pangeran Pagaruyung ini diberi penghormatan. Jika terjadi perselisihan di antara Orang Nan Berlima, maka diperlukan kehadiran pangeran tersebut untuk menyelesaikannya; Dalam kasus ini, Rantau Kuantan sangat berhati-hati, maka ini juga berarti tidak dapat dikesampingkannya beberapa kemungkinan bahwa tetangganya, yakni; negeri-negeri aliansi Indragiri; Inuman dan Cerenti memiliki kekuatan yang sama seperti yang telah diberikan kepada Orang Gadang Raja, kepada Raja Muda atau Datuk Tumenggung dari Indragiri. Meskipun demikian, nampaknya kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk kasus-kasus luar biasa atau sangat penting, akan melibatkan seluruh elemen dari Rantau Kuantan. 125 Tentu saja dalam hubungan pemerintahan seringkali juga terjadi banyak perselisihan. Kontroller Twiss menyebutkan bahwa Cerenti adalah tempat yang telah ditunjuk untuk sebuah musyawarah dan penyelesaian dengan wakil delegasi dari kedua belah pihak. Lebih terang lagi dan ini dipengaruhi catatan yang dibuat oleh Kontrolir Schwartz mengenai hubungan antara Kuantan dan Indragiri; ikatan antara keduanya yang sedari awal telah “sedemikian rupa,”126 sehingga beberapa penulis menganggap bahwa Kuantan memiliki ketergantungan pada Indragiri dan bahwa di era Hindia pun monarki yang terbentuk merupakan anggota dari “Indragirische huis" (Dr Hollander, halaman. 730). Pendapat ini mungkin berasal dari apa yang terdapat dalam adat pusaka: “Berdatuk ka datuk Tumenggung, beraja ka Yang Pertuan muda,

123

Menurut Hadat: “doea kali toedjoeh hari,” dalam Schwartz,1893:hal.362 Raja Dubalang dari Aur(wilayah ini di era Hindia Belanda termasuk dalam Onderafdeeling Lintau en Bua) diperintahkan oleh salah seorang Penghulu dari Padang Tarab untuk mempersiapkan segala sesuatunya; 125 IJzerman, Nijhoff, 1909; 126 Bahwa Grijzen mengungkapkan tentang ikatan antara Kuantan dan Indragiri yang lebih longgar dibandingkan ikatannya dengan Pagaruyung. 124

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

84

bertuan ka Minangkabau”127. Kembali melihat kebelakang, Ketika pemukim di Indragiri banyak yang berasal dari Minangkabau, menurut tradisi bersama dengan sistem pemerintahan di Kuantan di awal abad ke-14, berkaitan dengan Datuk Pepatih dan Datuk Katemmenggungan, lambat laun tampaknya dan apa pun alasannya, raja Pagaruyung mengetahui bahwa dikalangan pemukim di koloni, terdapat keinginan untuk “membuatnya terpisah”. Lalu, To Patih dan To Tumenggung pun memutuskan untuk mengembalikan kepada sang raja. Mungkin saja, tradisi hubungan Semenanjung dengan Minangkabau yang banyak ditemui bermukim di hilir, sebagai dikisahkan bahwa seorang pangeran sebagai putra dari Sultan Muhammad Syah, Raja terakhir yang memerintah di Malaka di akhir abad ke-15 ketika terjadinya invasi Portugis,128 di Kampar mereka mengangkatnya menjadi Sutan. Dikisahkan bahwa ia menikahi putri pangeran dari Minangkabau, yang memberinya dua putra, yang tertua dari Sutan berhasil mendirikan kerajaan dengan menyisihkan saudaranya yang hanya menjadi Raja Muda. Di distrik Kuantan acapkali terjadi sengketa yang sering berakhir dengan konflik. Oleh karena jarak yang cukup jauh, sehingga pangeran Minangkabau tidak mampu untuk langsung turun menanganinya, ia melimpahkan kepada kepada cucunya; Raja muda (Yang dipertuan muda) dan Tumenggung untuk kasus-kasus besar, dimana tidak bisa diselesaikan sendiri. Di bawah ini adalah secara garis besar apa yang telah berlangsung: 129 1.

Dengan sering terjadinya perselisihan atau pertengkaran, maka mengharuskan Datuk Tumenggung mengundang Datuk nan Berlima sebagai Orang yang tidak memihak dalam upaya menyelesaikan permasalahan dan jika mereka gagal, maka akan dialihkan ke wakil raja, dan kemudian mereka menyelesaikannya di Tambangan,130 dimana dibuat keputusan untuk para pihak yang bersengketa;

127

Kontrolir Twiss mengatakan “adapoen Rantau Kuantan, sahingga Cerenti moedik bertoean ka Minangkabau, sahingga Batu Idjar Hilir ba Raja ka Raja Moeda (Indragiri) berDatuk ka Toemenggoeng”. 128 Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511 dan Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke pedalaman, tepatnya di Kampar, lihat: Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican. 129 Schwartz, Nota Over den politieken en economischen toestand van het landschap Kuantan, Tahun 1893. 130 Sungai Perbatasan antara kerajaan Kuantan dan Indragiri. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

85

2. 3.

4.

5.

6.

Orang-orang Kuantan dalam lanskap Indragiri, dirujuk langsung ke individu; Wakil Raja akan memerintahkan bahwa dalam dua tahun (Dua katiga tahun) Raja Minangkabau akan segera melakukan sebuah perjalanan ke Kuantan, penampilannya di Cerenti dilengkapi dengan berbagai persembahan, seperti; gelas, mangkuk, piring, payung dengan jumlah sebanyak 100 potong dari setiap jenisnya, pada pertemuan itu mereka mungkin saling berhadapan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh Tabir (kanvas yang dibentangkan); Untuk membiayai perjalanan dan persembahan raja muda, orangorang Kuantan di Indragiri turun ke laut, dan segera dilakukan pengumpulan pendapatan dari pajak (teboes Kapala senilai $0,60); Orang-orang Kuantan terhadap Tumenggung dan wakil Raja, dimana mereka tidak pernah hadir setelah sekian lama sejak pelantikannya; maka orang-orang di Inuman dan Cerenti pun tidak mengakuinya; Akhirnya, Raja muda membatalkan niatnya memasuki Kuantan. Kondisi ini disikapi oleh datuk dan Raja Muda dengan sebuah sumpah besar.

Kisah di atas secara jelas menunjukkan bagaimana kondisi kekuasaan pangeran Minangkabau atas Kuantan; persoalan subordinasi dan kemudian berturut-turut perlakuan khalifah kepada mereka, apalagi, Raja Muda dengan penasehatnya, Datuk, tidak dapat berbuat lebih jauh. Secara eksplisit larangan memasuki wilayah Kuantan timbul untuk menghindari intervensi terlalu besar dari Raja, dan akhirnya, disisi lain dengan sendirinya Kuantan telah membentuk hubungan ketergantungan kepada Indragiri, 131 akan tetapi tidak banyak yang diketahui tentang bentuk-bentuk hubungan ketergantungan tersebut, fakta yang ditemukan bahwa setelah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung, putra Raja secara sah dipilih oleh rakyat untuk menjadi Raja atas distrik bersama dan dengan cara itu juga kerajaan Kuantan didirikan.132

131

Schwartz, 1893:hal.341. Meskipun demikian, dapat dibandingkan juga dengan IJzerman (1895), bahwa para penguasa rantau Kuantan pasca keruntuhan Pagaruyung secara geneologis tetap terkait dengan dinasti Minangkabau tersebut. 132

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

86

Oleh karena itu, kata “Tuan”, digunakan untuk kedudukan Pagaruyung, sejak menemukan dirinya di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak diperlukan satu intervensi Raja muda dan Datuk Indragiri untuk menyelesaikan sengketa. Sebagaimana telah disampaikan, akhirnya persoalan diselesaikan secara bertahap; pada awalnya dalam rangka menciptakan penampilan dua tahunan untuk acara “Tambangan” dan menawarkan hadiah, adapun tebus Kepala tetap dalam posisinya. Terjadi hubungan persahabatan antara dua kerajaan ini, terutama setelah pasifikasi dinegosiasikan, yang hanya menunggu sanksi dari Pemerintah, untuk pernikahan awal-antara Sutan Tengku bong dengan putri pangeran Kuantan, terdapat rasa kekuatiran bahwa hubungan antara Sultan dan Sutan dari Indragiri akan mengalami perubahan. Di dalam kebiasaan ataupun adat Melayu, keputusan diambil hanya dengan suara bulat yang sempurna, atau model permusyawaratan (mufakat). Oleh karena itu, tak ada habisnya di sana besarnya pengaruh Orang-pandei. Orang yang memiliki keunggulan dan kecerdasan serta kefasihan; biasanya akan memiliki pengaruh yang besar. Bahkan mereka dengan modal keberaniannya dapat menjadi kekuatan bagi dirinya dalam berhadapan dengan yang lain. Siapa yang kuat dan cerdas benar-benar akan dapat memiliki kekuasaan di Rantau Kuantan. Pada periode sebelumnya, negeri Kuantan yang berada di bawah pangeran Pagaruyung; dan setelah pembentukan otoritas Belanda di dataran tinggi Padang, mereka tetap membayar upeti kepada sang pangeran Cerenti atau Basarah. Hingga akhirnya pada awal abad ke-19, Kaum Padri, sebuah gerakan reformis Islam telah mengguncang masyarakat Minangkabau di pedalaman Sumatra Tengah. Dalam suatu aksi oleh kaum reformis, Sebagian besar keluarga kerajaan Pagaruyung tewas, akan tetapi beberapa diantaranya berhasil melarikan diri ke daerah Kuantan. Salah satu dari mereka akhirnya dinobatkan sebagai raja di daerah Kuantan sekitar tahun 1830-an dan bertempat di koto baru dengan nama Koto Rajo. Sebagaimana telah disampaikan, bahwa hubungan antara Kuantan dan Sumatera Barat lebih baik dipahami dalam konteks Alam Minangkabau. Alam Minangkabau terdiri dari Luhak nan Tigo dan rantau. wilayah yang termasuk kedalam rantau pasisir ( perbatasan sepanjang pantai barat Sumatera bagian tengah ) dan rantauhilir ( perbatasan hilir ) sepanjang sungai-sungai besar yang mengalir turun dari bagian tengah dari pegunungan Bukit Barisan ke arah timur. Dalam skema alam Minangkabau, Rantau Kurang Oso Dua Puluh sebagai bagian rantau hilir yang penduduk Minangkabau dan adat telah RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

87

menyebar selama berabad-abad. Adapun hubungan Kuantan dengan masyarakat hilir dan seterusnya, pengamatan berikut menunjukkan interaksi yang erat antara kedua daerah. Perbatasan antara daerah Adat Perpatih dan Adat Tumanggung dikonsep dengan jelas. Dikatakan bahwa Muara Tambangan – dianggap sebagai perbatasan antara Kuantan dan Indragiri (di mana Sungai Tambangan mengalir ke Kuantan - Indragiri ) bagian hulu berada di bawah Adat Perpatih, sementara Batu Sawar hilir berada di bawah Adat Tumanggung. Daerah antara kedua tempat ini menunjukkan campuran unsurunsur, yaitu; Minangkabau dari hulu, Minangkabau dari hulu Batanghari melalui Batang Peranap, Talang Mamak, dan Melayu dari hilir. Orang-orang di daerah unsur campuran sebagian besar mengikuti adat matrilineal, meskipun nama-nama suku mereka (Misalnya , Panglima Sutan, Penghulu, dan Manjolelo), yang awalnya terlihat memiliki gelar adat, secara substansial berbeda dengan yang ada di Sumatera Barat, Kuantan, ataupun Negeri Sembilan. Diseluruh wilayah Sumatera Barat dan juga Riau daratan, hanya di Kuantanlah orang-orang lokalnya membuat perbedaan yang jelas antara Adat Perpatih dan Adat Tumanggung, perbedaan yang juga diamati pada Negeri Sembilan di Semenanjung Melayu. Salah satu suku besar di Negeri Sembilan adalah disebut Suku Seri Lemak Pahang. Nama suku mungkin menunjukkan bahwa beberapa kolonis kuno Negeri Sembilan dari Sumatra mencapai tujuan dari Pahang di pantai timur semenanjung Melayu serta dari pantai barat. Ada kemungkinan bahwa beberapa kolonis ini berasal dari Kuantan Sumatera, berlabuh di “Kuantan” Pahang, dan melanjutkan ke pedalaman semenanjung. Hal ini sering menunjukkan bahwa beberapa nama desa di Luhak Lima puluh Kota Sumatera Barat mirip dengan beberapa nama suku dari Negeri Sembilan. Diantaranya adalah Payakumbuh, Simalanggang, Batu Hampar, mungkar, Sari Lamak dan Batubalang. Desa-desa ini semua terletak di sepanjang Batang Sinamar atau anak-anak sungainya yang mengalir ke Kuantan-Indragiri. suku penting lainnya di Negeri Sembilan adalah Tanah Datar. Tempat-tempat bersejarah yang menunjukkan pengaruh dari luar di Luhak Tanah Datar Sumatera Barat, seperti; Sungai Tarab, Saruaso, dan Pagaruyung terletak di sepanjang Batang Ombilin atau yang anak sungainya juga mengalir ke Kuantan - Indragiri. Selain itu, hubungan timbal balik Kuantan dengan tetangganya, tidak hanya budaya atau etnis semata. Mereka juga terlibat dalam bidang ekonomi. Sebagai contoh, menurut RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

88

beberapa catatan Belanda pada paruh kedua abad ke-19, Kuantan adalah salah satu pemasok utama daging untuk kedua dataran tinggi Minangkabau Sumatera Barat dan juga Singapura.133 Dapat dikatakan, bahwa bukti-bukti ini menunjukkan, Kuantan, sejak era Hindu-Budha telah berperan sebagai lintasan peradaban, baik dari pedalaman menuju pesisir, atau begitu pula sebaliknya. Perjanjian Anglo-Belanda tahun 1824 yang membagi Sumatera dan Semenanjung Malaya bersama-sama dengan Selat Malaka menjadi dua kutub politik di bawah kontrol Belanda dan Inggris. Meskipun tidak selalu menghambat ekonomi atau susunan demografis antara dua kutub, bagaimanapun juga ini berpotensi menjadi sebagai penghalang; kondisi yang sebelumnya tidaklah ada. Sebuah perkembangan yang sama, nampaknya juga berlaku di Sumatera itu sendiri. Setelah memenangkan perang Padri, Belanda mengkonsolidasikan kontrol mereka. Hal ini sangat menarik untuk dicatat bahwa sebagian besar tempat utama yang penting dalam Sejarah Minangkabau terletak di sepanjang sungai dari Kuantan - Indragiri. Buo dan Nagari Kumanis, berada dekat Pagaruyung yang dilaporkan pada awalnya terletak disepanjang Batang Sinamar, sedangkan lokasi Sumpur Kudus adalah sepanjang anak sungai Batang Unggan. Batang Ombilin, Sinamar dan Ungang sebagai tiga anak sungai utama dari Kuantan - Indragiri semuanya berada di Sumatera Barat. Pembentukan Karesidenan dari Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Padang yang kemudian digabung ke dalam Karesidenan Pantai Barat Sumatera, akhirnya menghasilkan identifikasi yang semakin dekat dari Sumatera Barat sebagai negeri Minangkabau. Gambaran batas administratif Sumatera Barat ini, masih ditambah pula dengan upaya Belanda untuk membatasi aliran komoditas dari Sumatera Barat ke pantai timur dan, sebagai gantinya, langsung menuju Padang sebagai ibukota Residensi Sumatra Barat, melalui pembangunan jalan penghubung antara pedalaman pantai Barat. Dengan demikian, Kuantan secara bertahap mulai terpisahkan secara ekonomi dan budayanya dari Sumatera Barat yang berawal mula pada akhir abad ke-19.

133

Oki, 1986:27-8. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

89

Selanjutnya kisah Lanskap Lembah yang terkait dengan Semenanjung, maka dapat dilihat dari apa yang terdapat di pesisir sungai Rokan; Kisah Putri Hijau. Bahwa terdapat beberapa versi, dimana salah satunya yang berkembang di kerajaan Deli Tua, dimana hulu sungai Rokan dianggap sebagai eks wilayahnya yang kemudian dikuasai oleh Tuanku Tambusai, sehingga berkemungkinan legenda Putri Hijau juga berkembang disini. Adapun kisah dari masyarakat sungai Rokan sendiri, juga dikaitkan dengan situs candi Sintong di tepian sungai Rokan, dan disini dipilih untuk menyajikan dua versi cerita tersebut. Yang pertama dituliskan oleh tokoh Masyarakat Rokan; Wan Saleh Tamin, dan kedua, apa yang tercantum dalam catatan kontrolir Bagansiapiapi; Bouwijen van Duuren. Yang pertama, terbetik bahwa sang Putri ini berasal dari wilayah daratan Malaka, menghulu ke kerajaan Rokan untuk menelusuri jejak sang calon jodohnya, yang memiliki tanda khusus. Putri yang termasyhur kecantikannya ini menyamar menjadi seorang tua dan telah berkelana hingga ke Negeri China dan Keling dalam pencahariannya, sehingga akhirnya tiba di Pekaitan dan menumpang dirumah Datuk Penjarang yang berstatus Hulubalang kerajaan Rokan. Oleh sang Putri, nampaklah “tanda” pada Datuk Penjarang tersebut, akan tetapi disebabkan sang Datuk merupakan seorang Panglima yang berwibawa, merasa seganlah ia menyampaikannya. Sebaliknya, Datuk Penjarang merasa bahwa seorang tua yang menumpang dikediamannya bukanlah seorang biasa, tersebab suatu ketika ia melihat sinar hijau dari dalam rumahnya dimana putri Hijau berada. Singkat cerita, mereka melangsungkan perkawinan dan menetap di hilir Siarang-Arang. Terbetik juga berita bahwa pasukan Aceh yang mendengar keberadaan Putri Hijau, mencoba mendatangi dan membawanya; upaya yang dihalangi oleh Datuk Penjarang yang dibantu oleh Panglima Nayan. Akhirnya pasukan Aceh ini berhasil dipukul mundur hingga ke Kuala Mahato dan terus berjalan hingga ke Panei. Kisah lainnya tentang Putri Hijau ini di aliran sungai Rokan, nampaknya juga direkam oleh Belanda, dan mungkin saja dapat sedikit berbeda Meskipun sang kontrolir Boudewijn van Duuren pun agak hati-hati dalam menuliskannya.134 Kisah terkenal tentang Putri Hijau dan berasal dari Raja (Tuan Raja Sintong) yang dikatakan dituliskannya tanpa ia meratifikasi kisah tersebut, apa adanya, sesuai yang diperolehnya dari tradisi lisan kuno. Kisah 134

Boudwijen van Duuren, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

90

yang berkaitan dengan masuknya Islam di Rokan pada sekitar 800 tahun yang lalu. Terkisah berasal dari pantai barat memerintahlah seorang Pangeran bernama Abdullah sebagai Sultan Sintong, sebuah kota besar yang dalam legenda keadaan rumah-rumahnya diberitakan begitu banyak dan rapatnya sehingga saling terhubung dan mencapai Pekaitan. Sultan Abdullah memiliki dua anak, seorang putra dan putri. Anak itu bernama “Tengku Putra” dan putri “Putri Dang Sanggul” yang dikenal dengan ”Putri-Hijau”. Pada satu kesempatan Tengku Putra mengendarai kuda bersama pengikutnya; tiba-tiba saja kudanya terkejut, membuatnya keheilangan keseimbangan sehingga Kuda dan penunggangnya jatuh dari tebing tinggi di sungai Rokan dan tidak terselamatkan. Tempat ini masih dapat ditemui sebagai "Tebing Anak Raja Jatuh", dan terletak antara Sintong dan Teluk-Mega. Tidak lama setelah insiden tersebut, tibalah dari Aceh sejumlah empat puluh kapal besar dan awaknya yang berjumlah lebih dari 400 orang yang dipimpin oleh seorang Panglima. Kekuatan gabungan mereka berlokasi di situs Tuk Bian di Lintasan (Rantau Bais). Kesemuanya menasbihkan batu nisan atas nama mereka yang disebutkan berasal dari Aceh, sebagian sebagai tanda bahwa mereka siap untuk gugur di jalan Allah yang mereka tujukan pada semua orang untuk memeluk Islam. Datok-Rantau-Binoeang, wiens begraafplaats op Rantau-Binoeang is, Datoek-Dinoengkal, wiens begraafplaats op Koeala-Batang-Koemoe is, Datoek-Diboekit met de begraafplaats op Sidinginan, Datoek-BatoeHampar met zijn begraafplaats op Batoe-Hampar. 135 Dengan kedatangan empat puluh kapal di Sintong, mereka mengirim utusan kepada Sultan Abdullah dengan rekomendasi agar ia dan rakyatnya memeluk agama Islam, dan mereka akan menyatakan perang bila terjadi penolakan. Akan tetapi, Sultan Abdullah yang masih menganut agama kuno, menolak. Bahwa sang Sultan, dikisahkan tengah bermain catur dan seolah tidak menghiraukan kedatangan para penyerbu tersebut. Sultan mengatakan,”Jika musuh datang, maka kita akan melakukan langkah ini dan itu.” Ketika menjadi jelas bagi Sultan bahwa musuh sudah di halaman istananya, bersama istri dan pengikut pun bergerak keluar melalui lorong rahasia menuju Siarang-Arang, sayangnya ia lupa dengan putrinya yang berada di istana kerajaan. Setelah pelarian Sultan-Abdullah dan tiba di Siarang-Arang, ia ingat nasib anak 135

Bouwijen van Duuren, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

91

perempuannya yang tertinggal. Lalu Sultan mengumumkan kepada khalayak, barang sesiapa yang dapat menyelamatkan dan membawa putrinya kembali, ia akan mengawinkannya dengan sang putri tersebut. Seorang pembesar Sultan dan warga Siarang-Arang bernama Panglima Tuk Nyarang, cukup berani untuk mencoba membawa putri-Hijau dari Istana Sintong dan menghancurkannya (istana) sehingga aman menuju Siarang-Arang. Panglima Tuk Nyarang berangkat dengan perahu menuju Sintong dimana ia tiba di bagian selatan Sintong; diteluk kolokati di malam hari dimana ia menemui sejumlah empat puluh kapal tersebut, setelah didekati, ia mendekati seluruh awak kapal tengah tertidur. Ketika sudah jelas bahwa seluruh awak tertidur dengan nyenyak, ia memotong semua tali kapal di jangkar dengan katjip nya (semacam penjepit), setelah selesai ia pun membuang tali ke sungai-tempat yang bernama Lubuk Kolokati. Empat puluh kapal tersebut pun terlepas dan didorong oleh arus ke arah laut, dan kemudian berlayarlah Panglima Tuk Nyarang menuju ke istana di Sintong dimana putri Hijau berada. Istana putri raja tidak memiliki tangga, “tidak satu pun dari batu atau kayu,” hanya dengan bantuan dari tali tujuan-tahan, tali, yang navigasikan oleh penjaga istana yang ditunjuk, orang pun dapatlah memanjatnya. Panglima Tuk Nyarang di malam hari barulah ia mencapai istana dimana putri Hijau telah jatuh tertidur. Akhirnya ia menyelamatkan putri Sultan, membawa ke ayahnya di Siarang Arang, dan membuat sang Ayah sangat senang. Sultan Abdullah menepati janjinya dan memanggil orang-orang bersama-sama untuk menghadiri pernikahan putrinya dengan Panglima Tuk Nyarang. Namun, ia menolak untuk menikahi putri Hijau karena ia bukan dari status yang sama tingginya dan ia ingin tidak melanggar apa yang telah ditetapkan dalam adat istiadat. Sultan kemudian menganugerahi Tuk Nyarang dengan apa yang dikatakan sebagai “Sepotong Hutan Tanah”(Een Stuk Grond). Sepotong Hutan Tanah, pada generasi berikut kemudian dikenal sebagai bahagian dari tradisi para tetua. Bouwijen Van Duuren juga menuliskan bahwa setelah peristiwa Putri Hijau tersebut, memerintahlah Sultan Ibrahim atas Kerajaan Lontar yang terletak diantara Rantau Bais dan Sedinginan yang dikatakan juga berasal dari pedalaman Minangkabau, sebagaimana pada Suku di Tanah Putih. Berikut adalah bansawan dari masing-masing empat Kepala Suku; Yang pertama Suku Melayu Besar dan disebut Datuk Bendahara atau Paduka Seri Maharaja, suku kedua Melayu Tengah dan disebut Datuk Temanggung atau Datuk Raja Lelawangso, dan yang ketiga Suku Merah dan disebut Datuk Perdana Menteri atau Datuk Setia Pahlawan dan keempat; Suku Batu Hampar disebut Datuk RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

92

Sangsura atau Datuk Sura Di Raja. Pada awalnya, wilayah ini disebut dengan Tanah Putih Tanjung Bunga atau Tanjung Melawan, akan tetapi ketika Belanda tiba disana, mereka mencatat bahwa nama-nama ini ternyata telah dilupakan semenjak 800 tahun yang lalu. Bahwasanya Sungai Rokan relatif paling dekat dengan Melaka, dan dapat dipastikan memiliki kesejarahan yang berkaitan dengan kemaharajaan Melaka; bahwa menjadi suatu kelaziman di hilir sungai Rokan atas hubungannya dengan Melaka dan dalam dunia yang lebih luas lagiSemenanjung Malaya. Bahwa, afiliasi Kerajaan Rokan dengan Melaka terjadi melalui perkawinan – suatu perluasaan jaringan kekerabatan sebagaimana yang lazim terjadi dalam dunia Melayu; bahkan diberitakan raja Rokan memperoleh perlakuan istimewa saat mengunjungi Melaka sebagai dampak hubungan tersebut. Pasca penaklukan Portugis terhadap Melaka tahun 1511, Portugis dalam rangka mencari pelarian Melaka dan perluasaan jejaring perdagangan menyusuri sungai-sungai diantaranya Rokan, dan sebagaimana dikisahkan melakukan penyerangan dan penghancuran kerajaan Rokan di Pekaitan. Runtuhnya kerajaan Rokan ini, diasumsikan memunculkan kerajaan-kerajaan kecil sebagaimana federasi di hulu sungai Rokan dan tiga lanskap di hilir; Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Bahwa sangatlah minim informasi yang dapat diperoleh berkaitan dengan awal mula dan pemunculannya, melainkan salah satunya sebagaimana terekam dalam persiapan Raja Kecil untuk suatu penyerangan ke Johor; bahwa Kubu di muara Rokan, menjadi salah satu lanskap tempat Raja Kecil menghimpun pasukannya, dan selanjutnya ke Batu Bara. Catatan Belanda menyebutkan tiga lanskap di hilir sungai Rokan melalui Traktat 1858 antara kerajaan Siak dan Belanda; bahwa Tanah Putih, Kubu dan Bangko termasuk dalam wilayah taklukan Siak; Belanda menyatakan bahwa tiga lanskap ini masuk dalam wilayah kekuasaan Siak pada era Said Ali melalui suatu penaklukan yang elegan. Sungai Rokan sendiri pada masa pra-kolonial, dimana untuk menyusurinya para pelaut akan disambut dengan apa yang dikatakan oleh Marsden sebagai Teluk yang luas. Hal ini berkemungkinan pada saat itu diabad ke-18, Muara Rokan lebih menyerupai sebuah teluk yang berbeda dengan kondisi diabad ke-20 yang telah dipenuhi dengan delta yang menutupi view muara, terutama Pulau Barkey dan juga Pulau Halang -agak masuk ke sungai, maka akan berjumpa dengan Pulau Pedamaran. Kondisi muara yang lebar, memudahkan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

93

para pelaut untuk menemukan dan menyusurinya hingga ke hulu, meskipun demikian, pada era ini bahaya lain mengancam pelayaran; Beno. Gejala alam yang berkaitan dengan arus pasang di laut dangkal memungkinkan terbentuknya gelombang berbahaya tersebut. Akan tetapi, cerita rakyat menunjukkan adanya hubungan dengan luar, terutama selat, selain juga dengan Eropa penakluk; Portugis. Kisah tentang invasi Portugis juga terekam dalam memori kolektif dimana pasca penaklukan Malaka, pasukan Potugis bergerak menyisir Pantai Timur Sumatra, dan di Sungai Rokan tibalah di pelabuhan Pekaitan. Kisah yang mirip dengan Sultan Abdullah, bahwa sang raja tengah bermain catur ketika Portugis tiba; lalu raja dan para hambanya pun berpindah ke Batu Hampar, Tanah Putih dan Siarang-Arang. Bahwa Kisah penguasa yang pada saat istananya diserbu penakluk tengah disibukkan dengan permainan catur, juga terdapat dalam kisah penaklukan Raja kecil ke Johor, dimana Raja Muda yang tetap bertahan dengan hobinya tersebut akhirnya terbunuh dalam peristiwa huru hara di istananya. Pada Abad ke-19, kisah invasi ataupun eksodusnya orang Aceh ke pedalaman Rokan mungkin tampak pada identifikasi atas masyarakat di Lanskap Bangko yang dilakukan oleh Hijman van Anrooij, yang dikatakan sebagai keturunan dari Aceh (keturunan pasukan atau migrasi Acehkah?). Adapun peristiwa huru-hara Malaka 1511 dan Penaklukan Raja Kecil atas Johor tahun 1718 dikatakan bahwa sebahagian penduduknya melarikan diri hingga ke Tanah Putih dan menetap disana. Bahwa kisah Putri Hijau dan Tuk Nyarang atau datuk Penjarang, menunjukkan telah terjadi suatu proses akulturasi antara alam pesisir timur dan dunia selat Semenanjung, asimilasi yang menghasilkan jarak sosial dalam titik nol dimana diberlangsungkannya perkawinan antara Putri Hijau dari Melaka, dan Datuk Penjarang dari Pekaitan. Kondisi ini, bagaimanapun juga melibatkan unsur lain, Aceh, yang berupaya menaklukkan Kerajaan dan membawa Putri Hijau ke negaranya. Yang dapat dipahami adalah pada era tahun 1614, Kerajaan Johor melibatkan lanskap di sungai Rokan, Siak dan Indragiri dalam suatu persekutuan untuk menghadapi invasi Aceh yang tengah “naik daun” dimasa Sultan Iskandar Muda, sementara di pedalaman, lanskap melakukan aliansi dengan kerajaan Pagaruyung dalam menghadapi tentara penakluk, seperti yang dilakukan Lanskap Tanah Putih dan Lontar yang dibantu Minangkabau dalam menghadapi penyerangan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

94

Aceh.136 Aliansi dua kutub ini, diasumsikan merupakan bentuk-bentuk akomodasi kepentingan selain dalam bidang perdagangan, atau juga mungkin, aliansi pusat-pheripheri dalam menghadapi ancaman dari pihak luar. Dalam konteks penyerbuan Aceh, kerajaan Gasip di Sungai Siak merupakan kisah kerajaan yang punah akibat serbuan tersebut. Di sini, di Gasip, berkembang kisah tentang Putri Kacang Mayang sebagai putri raja Gasip yang dibawa oleh pasukan Aceh ke negaranya setelah mereka menghancurkan kerajaan tersebut. Terdapat tokoh Panglima Gimbam, yang ia merupakan panglima perang Gasip mengejar pasukan Aceh hingga ke negaranya, dan berhasil mengalahkan musuh dalam suatu pertarungan. Sang panglima berhasil membawa sang Putri Kacang Mayang kembali, akan tetapi sayangnya ditengah perjalanan sang Putri jatuh sakit dan kemudian ia pun wafat. Kisah legenda rakyat ini, memuat pesan yang jelas tentang adanya invasi dan juga akulturasi. Legenda di Sungai Rokan, dan juga di sungai Siak, dapat kita periksa ihwal peristiwa dalam kurunisasi hingga Islam menyebar disana. Sebagaimana diketahui, runtuhnya kerajaan Sriwijaya diabad ke-13 ditengarai diiringi dengan kemunculan kerajaan-kerajaan yang awalnya berada dibawah kerajaan Melayu kuno tersebut, diduga peristiwa ini berkisar pada akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14. Kerajaan itu semisal; Aru, Kandis, Lamuri, Rokan, Siak, Keritang, Tamiang, Lahwas, Belawan/Deli, Kampar, dan Inderagiri. Bahwa kesemuanya ini berlokasi dipinggir sungai yang menghilir ke Selat Malaka. Terdapat situs reruntuhan Candi di Sintong dan Sedinginan di hulu sungai Rokan, yang diduga merupakan situs peninggalan Kerajaan Rokan. Dari apa yang tercatat dalam karya sastra kuno di Semenanjung, Malaka, bahwa pada masa pemerintahan Raja Mahmud Syah terdapat hubungan yang erat antara Kerajaan Melaka dan Rokan. Raja Mahmud Syah menikahi puteri Raja Rokan yang dari istrinya ini diturunkan penerusnya; Raja Ibrahim. Sementara itu di bahagian paling barat Sumatra, Kerajaan Samudera Pasai sebagai negara yang berkembang pesat pada abad ke 14 nampaknya mengambil perannya dalam penyebaran islam di wilayah di Nusantara, yang juga meliputi kerajaan di Sungai Rokan; diduga, pada abad tersebut, akibat serangan Aceh, kerajaan Rokan pun mengalami kemunduran, begitu pula di waktu kemudian

136

Sebagaimana disampaikan Tideman, aliansi yang kembali memapankan supremasi Pagaruyung di pedalaman Rokan. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

95

seperti yang dialami kerajaan Gasip disungai Siak. Memasuki abad ke-15, Kehadiran Portugis di Samudera Pasai, diasumsikan telah mengakibatkan eksodusnya sebahagian ulama atau keluarga kerajaan meninggalkan Pasai menuju wilayah di Sungai Rokan dan lanskap di pesisir timur. Pada masa inilah kemungkinan negeri-negeri di pesisir timur pada umumnya mulai menganut agama Islam. Di Pesisir Sungai Rokan, makam Datuk Batu Hampar merupakan salah satu situs yang menunjukkan betapa salah seorang Pangeran Kerajaan Samudra Pasai yang juga seorang ulama; Tengku Syarief Ali, tiba di Bantaian di hilir sungai Rokan. 137 Kesemuanya ini menunjukkan bahwa sebagaimana telah disiratkan dalam legenda; kesejarahan penyebaran Islam, invasi Aceh dan Portugis, serta jalinan hubungan dengan Melaka maupun pagaruyung. Dengan begitu, tidaklah mengherankan bila sejak abad ke-15, Kerajaan Rokan diperintah seorang raja keturunan Sultan Sidi yang merupakan saudara dari Sultan Sujak, sebagaimana diutarakan dalam Sejarah Melayu. Secara umum, jelas telah kita lihat bagaimana proses-proses bagi terciptanya kemajemukan sosial. Bahwa Orang asli sebagai native, Melayu disepanjang pantai hingga ditepian sungai, bertemu dengan entitas pegunungan yang diakibatkan gerakan “Menghilir” Minangkabau menuju pesisir timur dan Semenanjung. Selain itu, sebagai sebuah entitas Melayu klasik di Sumatra, Minangkabau juga dapat dianggap sebagai tetangga terdekat bagi orang asli dan Melayu di Riau Daratan, yang berinteraksi di sepanjang jalan raya sungai hingga ke muara. Mulai dari pedalaman hingga pesisir, mulai dari sungai Rokan sampai Kuantan; kesemuanya memperoleh pengaruh yang cukup signifikan. Signfikansi ini sebagai basis bagi pembentukan kemajemukan masyarakat Riau Daratan, dapat berupa keterpaduan atau keterpisahan, merupakan kharakter Sumatra sebagai bahagian dari alam yang lebih luas; Dunia Melayu. Berikut ini kita akan mencoba untuk memahami Riau daratan dalam perspektif Dunia Melayu.

137

Sebagaimana dikisahkan dalam harian Posmetro Rohil, 14 September 2015, hal.1 dan 9, kol.2 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

96

“Dunia Melayu” Riau Daratan sebagai bahagian dari dunia Melayu, membutuhkan penjelasan yang lebih memadai mengenai kharakteristiknya dari “dunia Melayu” itu sendiri. Sebagaimana diketahui, Riau Daratan yang terlihat lebih berkharakter sungai ketimbang politi seperti yang terdapat dikawasan pulau-pulau ataupun sebelah utara dari Selat yang berkharakter sangat maritim. Penjelasan ini, dapat ditelusuri dari konsepsi negara kontemporer di Asia Tenggara sebagai suatu kewilayahan teritorial dengan batas-batasnya yang jelas dan diyakini sebagai phenomena yang muncul di abad ke-18 dan 19; “nationstate”(negara-bangsa) sebagai konsepsi Eropa yang terkait dengan periode kolonialisasi Eropa. Bahwa transformasi dari negeri tradisional menuju negara model barat, mengadopsi aturan batas-batas wilayah, domain kenegaraan dan otoritas kedalam pemerintahan ala Eropa, yang juga merupakan signifikansi perluasan politik dan ekonomi penguasa pribumi. 138 Studi terhadap transformasi itu, sebagaimana dilakukan Rollins Bonney pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 menunjukkan bagaimana bangsa Eropa (Inggris) memperkuat pemahaman “nation-state” dan juga batas-batas, dan menghilangkan konsepsi batas-batas politik tradisional Melayu(baik lautan maupun daratan).139 Dengan demikian, tentu saja dapat berlaku sebaliknya, terutama sebelum akhir abad ke-18; bahwa sangat dimungkinkan untuk menggambarkan batas-batas sebagai sesuatu yang abstrak jika dibandingkan dengan konsepsi Eropa. Kompleksitas persoalan ini, terlihat dari pertanyaan tentang “Melayu” itu sendiri secara historis. Salah satu penjelasan bagus tentang diskusi ini memberikan pemahaman, bahwa kategori “Malay” bersifat sangat cair, yang tidak didefinisikan oleh karakteristik phisik, melainkan oleh bahasa, busana, adat, dan terutama; Islam. Tidak ada satupun dari kharakterisitik tersebut bersifat genetis, sebagaimana dibawa individu semenjak lahir. Setiap unsurnya, dapat diadopsi dan diakui dan bahwa ini memungkinkan untuk ”menjadi Melayu” berdasarkan kharakteristik tersebut. 140 Sementara itu, Gullick berpendapat bahwa secara historis dunia Melayu hanya meliputi Semenanjung dan Sumatra Timur laut, yang dikatakannya memiliki keterpaduan kultur dan “sense” Kemelayuan, seperti; Bahasa, 138

Maziar Mozaffari-Falarti, 2009, hal.35-46. Rollins Bonney, 1971: 4-5. 140 Matheson, 2003: 21-22. 139

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

97

agama, pandangan hidup, perekonomian agrikultural, dan juga budaya politik (dalam konteks situasi raja-kerajaan).141 Meskipun demikian, Gullick juga menunjuk wilayah yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya di Vietnam Selatan(orang Champa), Orang Laut, Orang Asli di seluruh timur Sumatra, dan kerajaan-kerajaan di Philiphina Selatan dan Pantai Kalimantan. Meskipun Gullick berupaya menunjukkan ciri dan kharakter dari “Dunia Melayu” atas kesamaan ataupun sense Melayu, Jane Drakard142 dan Barnard143 atas studinya di Barus dan Siak, telah menunjukkan suatu tingkatan ambiguitas pada wilayah-wilayah yang diperlihatkan Gullick sebagai area Melayu konvensional. Dalam studi tentang “dunia Melayu,” maka, bisa saja pada suatu tingkatan tertentu secara historis sebagai bahagian dari “dunia Melayu”; meskipun demikian, tidaklah semua negeri-negeri Melayu tepat sama persis, akan tetapi, mereka berada dalam kesamaan budaya dan politik, dan kurang – lebih terhubung satu dengan lainnya, dan juga berbagi pandangan dunia yang sama. 144 Mungkin saja, berbagi pandangan dunia yang sama ala Trocki ini dapat dipadankan dengan apa yang disampaikan oleh Benedict Anderson yang dikenal sebagai “Imagined Communities” 145 dalam kesejarahan Melayu di Asia Tenggara. Diharapkan, bahwa pendekatan ini dapat menjelaskan fleksibilitas kelompok-kelompok Melayu yang berpindah dari satu kerajaan Melayu atau politi ke lainnya, tanpa menjadi “pengkhianat” bagi tempatnya semula. Dan nampaknya, diskusi ini mengarah pada bentuk-bentuk “dunia Melayu” pada periode sebelum abad ke-19, dengan berpedoman pada semenanjung Malaya ataupun pulau-pulau lainnya di Asia Tenggara. Pada dasarnya, “dunia Melayu” yang berbasis kesejarahan tradisional, terbagi atas dua periode yang penting; periode pra-Islam atau masa Hindu-Budha, dan Periode Islam. Apa sebenarnya yang diketahui pada masa awal kesejarahan dan susunan politi-politi dari “dunia Melayu”, yang didominasi oleh model “pantai” dan “sungai,” dimana sebelum abad ke-15, politi-politi 141

Gullick, 1991, hal.3. Jane Drakard, 1990. 143 Timothy P.Barnard, Multiple Centre of Authorities: 144 Trocki, 2000. 145 Konsep Imagined communities diajukan oleh Benedict Anderson (1983:14-16), yang dapat dikatakan sebagai kelompok masyarakat luas yang terdiri daripada berbagai kumpulan etnik yang merasakan atau menggambarkan diri mereka sebagai satu bangsa walau tidak pernah berjumpa antara satu sama lainnya. 142

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

98

dalam suatu periodesasi yang pendek ditarik kedalam konfederasi Sriwijaya, ataupun juga Majapahit, menyediakan terbentuknya “Ship Shape Societies” yang berbasis pantai; diorganisir dalam sebaran sistem politi kecil yang terjalin dalam jejaring komunikasi laut dan perdagangan untuk makanan dan ekonomi lainnya. Salah satu studi tentang era pra-abad ke-19, mengajukan fokus pada “dunia Melayu” sebagai “riverine states.” Bahwa unit politik terbesar dari Melayu adalah “negeri.” Konsepsi “negeri” ini sendiri, dikatakan sebagai tipikal dari suatu tempat dari sungai besar atau (lebihkurang) sekelompok pemukim yang berada ditepian sungai, membentuk blok dari area yang membentang dari pantai ke pedalaman ke pusat batas air; ibukotanya, berada disungai utama yang mengalir ke laut. 146 Tingkatan berikut secara keluasan, dikatakan sebagai distrik, yang biasanya ditemukan meliputi di dua sisi sungai; dimana sungai disebutkan Gullick sebagai jalur utama komunikasi dan perdagangan. Observasinya juga menyebutkan pemerintahan sebagai kerajaan yang tidak menunjukkan otoritas pemerintahan secara substansial, bahwa yang dikatakan sebagai pemerintahan raja, lebih merupakan simbolisasi dan pada suatu tingkatan dapat memadukan negara melalui kekuatan supranatural. Aura of sanctitiy didentifikasikan sebagai “daulat,” suatu kondisi ekslusif dari pemegang tahta kerajaan. Gullick membedakan penguasa dari orang biasa, dan posisi ini ditandai oleh berbagai pameran, seremoni dan penghargaan yang ditujukan khusus kepada penguasa. Konsepsi Gullick tentang “dunia Melayu” ini, nampaknya dibantah oleh Milner, yang mengemukakan bahwa negeri dalam “dunia Malayu” menjadi sama dengan negara, terutama setelah abad ke-19. Selain itu, Milner menemukan bahwa sebelum abad ke-19, tidak terdapat konsepsi yang jelas yang membedakan negara dengan kerajaan, bahkan terhadap area diluar dunia Melayu pun sering digambarkan sebagai kerajaan. 147 Milner kemudian lebih jauh menyimpulkan bahwa untuk memahami situasi politik Melayu tradisional adalah melalui konsepsi kerajaan, atau yang ia sebut sebagai adanya raja. Raja, lebih daripada negeri, ataupun kewilayahan, sebagai pusat dari sistem politik Melayu. Bagi Milner, kerajaan bukanlah “state,” melainkan suatu situasi keberadaan raja; jadi bukanlah ras Melayu ataupun umat Islam sebagai obyek loyalitas, melainkan raja-lah sebagai obyek utama dari loyalitas; dengan demikian, 146 147

Gullick, 1958, hal.21. Milner, 1995, hal.104. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

99

Raja adalah pusat dari segala aspek kehidupan Melayu.148 Ketiadaan raja dalam suatu kerajaan, akan menyebabkan kondisi yang dinamakan “utter confusion” atau sebagai apa yang didunia Melayu dikenal sebagai “sangatlah huru-haranya” yang akan menggiring situasi menjadi anarkhi. Diskusi terus berlanjut, dimana Bennet Bronson mengetengahkan suatu penjelasan atas dunia Melayu, melalui model yang berbasis “sungai”: bahwa sungai sebagai jalur utama, dimana negara hilir akan berposisi sebagai tempat pertukaran dengan jejaring perdagangan luar; Negara pesisir berlaku sebagai pengontrol politi-politi pesisir dan sungai.149 Wolters, meskipun menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan enterport dari politi-politi sungai dan anak sungai, pusat pesisir juga mampu menarik barang-barang ataupun produk luar; yang berada dibawah rute perdagangan maritim internasional. Konsekuensi dari keterkaitan dengan jejaring perdagangan luar ini, mengkondisikan entreport sebagai tempat pertukaran produk dan barang dengan sedikit ketergantungan produk politi-politi lokal yang berbasis sungai dan anak sungai. Wolters juga menyebutkan bahwa kemakmuran ekonomi sebagai hubungan dengan “rute perdagangan maritim internasional, meningkatkan prestise penguasa. Nampaknya, Wolters berbeda dengan Bronson, bahwa bisa saja pusat kerajaan berubah ataupun berpindah dari satu tempat sungai ke tempat lainnya, akan tetapi, bekas pusat kerajaan tersebut tidak selamanya menghilang, melainkan ia pun akan segera digantikan oleh vasalnya. 150 Saat ini, kita telah dapat melihat gambaran yang diberikan oleh para ahli tentang “Dunia Melayu” sebagai politi-politi yang berbasis pada sungai maupun maritim. Meskipun demikian, Trocki memberikan penjelasan, betapa jauhnya pemisahan yang terjadi dalam sejarah antara basis sungai dan maritime itu. Trocki berpendapat bahwa sistem maritime sebagai suatu kondisi dimana entreport atau “trading city” berbasis pada kekuasaan untuk melakukan kontrol, sebagaimana diuraikan Wolters, dari pulau ke pulau, dari satu muara ke lainnya sebagai “rute perdagangan.” Selain itu, magnet kuat dari maritim adalah kondisi geographi yang berlokasi di pertengahan Timur-Barat rute perdagangan Asia. 148

Milner, 1982, hal.31-32. Bennet Bronson, 1977, hal.49. 150 O.W.Wolters, 1979, hal.19-21. 149

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

100

Sebaliknya sangat berbeda dengan sistem sungai; argument Trocki menyebutkan bahwa sistem sungai (riverine system) hanya terdiri dari unit kewilayahan sungai atau “negeri.” Ia merujuk pada kasus di Semenanjung seperti Perak atau Selangor yang berperan sebagai pheripheri yang melayani Malaka sebagai “trading cities,” kemudian Sriwijaya juga berperan sama yang menarik produk atas kesetiaan wilayah disepanjang sungai dan anak-anak sungai151. Model penjelasan Trocki ini, telah memberikan gambaran akan peluang otonomi yang lebih besar kepada wilayah “pinggiran” ketika pusat melemah; terlebih dengan dorongan kuat dari wilayah dataran tinggi. Lebih jauh lagi, Drakard152 nampaknya tidak sependapat dengan anggapan bahwa sungai merupakan satu-satunya jalur penghubung dalam dunia Melayu yang berbasis sungai, bahwa di northwest Sumatra, jalan setapak terlihat lebih dominan daripada sungai untuk menghubungkan dengan pedalaman, bahkan, dikatakan bahwa sungai bukanlah satu-satunya bentuk sarana komunikasi dalam sistem politik Melayu. Memenuhi varian pendapat para ahli tentang “Dunia Melayu,” Timothy P.Barnard, 153 dalam studinya atas Siak, menunjukkan bahwa sejumlah negeri kecil yang secara tradisional berada dibawah kontrol politik Johor; dengan kepemimpinan Raja Kecil, membentuk politi Siak dan berlokasi di jalur transportasi utama; Sungai Siak. Secara khusus Barnard membahas dokumen historis, mitos ataupun legenda yang mengiringi kelahiran Raja Kecil. Kemudian dari perkawinan, petualangan dan kemampuan personalnya untuk menghimpun pengikut yang berasal dari berbagai entitas, yang didominasi Orang Laut. Langkahnya ini, menjadikan dirinya sebagai penerus dari tradisi Palembang – Malaka – Johor, dan sekaligus membuatnya tampil sebagai figur alternatif dari peristiwa terbunuhnya sang Sultan Johor di tahun 1699. Dengan beralihnya kepemimpinan kepada generasi selanjutnya yang diwarnai konflik antar saudara; membawa anak-keturunan Raja Kecil dan pengikutnya pada sebahagian besar abad ke-18, suatu petualangan pengarungan samudra Laut Cina Selatan; “penguasaan tanpa negeri” yang berbasis dari pulau ke pulau, dan pantai ke pantai. Dalam “Multiple Centre of Authority,” Barnard telah menunjukkan bahwa model alternatif dari “kerajaan” yang terdiri dari

151

Trocki, 1979, xvii. Jane Drakard, 1990. 153 Timothy P.Barnard, 2003. 152

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

101

penguasa dan pengikutnya yang mobile sebagai penguasa lautan. Bagaimanapun juga, para ahli telah menunjukkan bahwa, terdapat varian dalam sejumlah unit kewilayahan Melayu, yang lazimnya terlihat dimiliki oleh Dunia Melayu; negara maritim dan atau negeri sungai. Jadi, tidak terdapat lagi keraguan atas Riau Daratan sebagai negeri yang berkharakter sungai-sungai dan juga pantai; dari darat sampai pesisir sebagai bahagian dari “Dunia Melayu.”

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

102

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

103

3 Kondisi Ekologi dan Kultural Keberagaman Identitas atau Tunggal? Pulau seperti Sumatra diketahui memiliki wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang besar, akan tetapi sepertinya luput dari perhatian para ilmuwan untuk melihatnya secara utuh. Sebenarnya upaya pernah dilakukan, pertama-tama oleh William Marsden, sayangnya upaya ini nampaknya tidaklah berlanjut lebih jauh. Hal ini terlihat dari perilaku sarjana barat yang memiliki akses terbesar atas Sumatra, seperti para ahli Belanda yang cenderung melihat Sumatra sebagai bagian-bagian yang terpisah, tidak seperti halnya ketika mereka mengkaji pulau Jawa dimana Majapahit dapat didudukkan sebagai perspektrum Jawa. Sebaliknya, Sriwijaya, yang pernah berjaya dan menguasai sepanjang pantai Sumatra; benar-benar terlupakan hingga seorang ilmuwan Perancis George Coedes(1918) menerbitkan laporannya yang meyakinkan diabad ke-20. Tulisan Coedes memberitakan bahwa, Sriwijaya benar-benar merupakan sebuah kerajaan besar yang berlangsung dari abad ke-7 hingga ke-13. Diketahui pula pada abad ke-20, pernah terdapat upaya untuk melakukan kajian yang memperlakukan Sumatra sebagai satu kesatuan, akan tetapi nampaknya hal inipun, sekali lagi tidaklah berlanjut.154 Pulau Sumatra dipenuhi dengan sungai-sungai besar yang mengalir ke Selat Malaka, telah memberikan output bagi area eksternal yang lebih luas; kondisi ini, menyebabkan para sarjana barat banyak memandangnya seakan terlepas dari Sumatra itu sendiri. Bahasa Melayu sebagai bahasa Lingua Franca pun sering dilihat sebagai milik entitas yang lebih luas ketimbang milik Sumatra saja, dan bahkan penghuni Sumatra sendiri mulai menggunakan nama Sumatra melalui kontaknya dengan Eropa.

154

Anthony Reid, Identitas Sumatra dalam Sejarah, dalam “Menuju Sejarah Sumatra: antara Indonesia dan Dunia,” Kitlv Jakarta, Edisi Pertama, tahun 2011, hal.23-29. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

104

Kondisi geografis nampaknya menjadi penyebab tidak terdapatnya identitas tunggal bagi Sumatra. Menurut Scholz,155 secara geografis Sumatra terdiri dari lima kawasan; yaitu pesisir barat, kawasan pegunungan, kawasan kaki gunung, dataran luas yang hampir rata (peneplain), dan pesisir timur. Pesisir barat yang sangat sempit (10-20 km) mencakup daerah kira-kira dari Pariaman di utara sampai Mukomuko di selatan. Daerah ini ditandai oleh curah hujan yang tinggi sehingga terdapat sejumlah sungai dengan kuatnya arus yang memotong-motong daerah pesisir barat sehingga mempersulit hubungan antara utara dan selatan, ditambah lagi oleh rawa-rawa yang sering terdapat di kawasan ini. Hubungan laut pun sangat sulit karena besarnya ombak dan minimnya pelabuhan yang aman dan terlindung. Dapat dikatakan umumnya kawasan ini memiliki penduduk yang merantau dari pegunungan. Di kaki barat dan dataran aluvial yang sempit ini dihuni oleh kelompok-kelompok dengan kesamaan budaya dan bahasa yang kuat dengan kelompok yang berdekatan di dataran tinggi, dan yang sangat mungkin adalah keturunan pendatang dari daerah-daerah. Emigrasi asli mereka mungkin memiliki disebabkan oleh kombinasi yang berbeda dari faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk, peperangan antar kelompok, dan pertikaian internal. Karena itu pola etnografi dataran rendah barat adalah refleksi dari yang berada di dataran tinggi. Kawasan dataran tinggi pegunungan, merupakan inti yang membentuk pemukiman Minangkabau; kemudian meliputi kawasan pegunungan juga termasuk tiga lembah di daerah Minangkabau di sekitar Gunung Merapi. Tradisi Minangkabau menganggap tiga lembah tersebut telah menjadi kawasan pertama yang dihuni ketika nenek moyang mereka turun dari gunung itu. Bagian bawah ketiga lembah dibentuk oleh Danau Maninjau dan Danau Singkarak, dan arah selatan di Kecamatan Solok Selatan terdapat dua danau kecil, yaitu danau dibawah dan danau diatas. Bagian selatan kawasan pegunungan Bukit Barisan ditandai oleh Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci. Dapat diduga bahwa pemukiman yang paling tua terletak di sekitar danaudanau tersebut, dan lembah-lembah di sekelilingnya sangat cocok sebagai daerah pemukiman karena hawa yang sejuk dan tanah yang subur. Tidak mengherankan bahwa kepadatan penduduk yang paling tinggi ditemukan di 155

Scholz, 1988: hal.31 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

105

daerah pegunungan. Di sebelah timur pegunungan Bukit Barisan terdapat kawasan kaki gunung (dengan ketinggian di bawah 150m) yang lebarnya sekitar 40km, peneplain, dan pesisir timur. Miksic156 yang menyebut ketiga kawasan tersebut sebagai dataran rendah. Berbeda dengan kawasan pegunungan, dataran rendah ditandai oleh kesuburan tanah dan kepadatan penduduk yang sangat rendah. Akan tetapi hubungan antar daerah di dataran rendah jauh lebih mudah karena terdapat sungai-sungai yang dapat dilayari, dan di pesisir timur yang dibatasi oleh Selat Malaka juga terdapat sejumlah pelabuhan yang aman. Batang Hari dan anak sungai seperti Tembesi, Merangin, Bungo, dan Tebo, dapat dilayari oleh kapal seberat 20 ton sejauh 300 km ke pedalaman di musim kemarau, dan lebih jauh lagi di musim penghujan. Oleh sebab itu tempat permukiman biasanya didirikan di tempat perhubungan yang strategis seperti di tempat dua sungai bertemu, dan tidak di muara sungai yang rawan terhadap angin yang dapat menghancurkan armada kapal. Dengan demikian terdapat dua zona ekonomi yang sangat berbeda: Pegunungan yang subur dan padat penduduknya, dan pesisir timur yang minim kesuburan tanahnya, akan tetapi sangat strategis dalam hal perdagangan. Dataran rendah timur menampilkan keseragaman tinggi dalam bahasa, adat, dan agama. Terdapat pula sisa-sisa populasi rumah perahu maritim yang tinggal di muara dan secara kolektif disebut sebagai Orang Laut; kelompokkelompok ini tampaknya telah jauh lebih banyak selama awal periode kontak Eropa dari sekarang. Banyak polpulasi telah berasimilasi ke dalam dataran rendah timur yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Melayu (Orang Melayu), identitas yang secara eksplisit berdasarkan penggunaan bahasa Melayu dan agama Islam dan bukan pada umumnya yang diasumsikan dengan asal-usul melalui keturunan genetik.157 Kebudayaan Melayu dapat digambarkan sebagai hasil adaptasi terhadap muara pasang surut dan alam rawa yang menggenang disepanjang pinggiran sungai, penduduk secara tradisional membawa pada campuran ekonomi pertanian musiman dilahan 156

Miksic, 1984: 424. Tentang Konsep etnisitas Melayu, dapat dilihat terutama D. E. Brown, "Brunei: the Structure and History of a Bornean Malay Sultanate," Monograph of the Brunei Museum Journal, II/2 1970; A. C. Milner, Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule (Tucson: Association for Asian Studies Monograph no. XL, 1982). 157

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

106

basah dan kering, nelayan dan juga perdagangan.158 Kondisi ini dominan pada konfigurasi budaya Sumatera Timur, dan bukannya tanpa variasi regional, akan tetapi dataran rendah budaya dataran timur laut dari Deli, Langkat, dan Serdang, lebih mirip dengan yang ada pada dataran selatan Sungai Mesuji, 1500 kilometer jauhnya, dari budaya Batak di pedalaman. Seluruhnya di dataran rendah timur, terdapat sepuluh sistem sungai besar; dari Barumun di timur laut hingga ke Seputih di selatan. Sungai-sungai besar ini muncul dangkal mirip satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa poin di mana perbedaan yang signifikan antara mereka muncul. Beberapa sungai, misalnya, tidak menarik dari sudut pandang pelayaran disebabkan gelombang pasang surut yang berbahaya; seperti Rokan dan Kampar.159 Tanah yang sungai telah diciptakan melalui pengendapan partikel batuan terkikis dari kaki barat dan pegunungan juga berbeda secara signifikan. Alluvium di wilayah dari Barumun di utara ke lembah Kuantan terdiri dari batu pasir dan batu kapur, yang relatif subur. Dari Batang Hari selatan proporsi produk vulkanik kaya di tanah menjadi semakin besar. Batas-batas antara populasi dataran tinggi dan dataran rendah cenderung ditandai dengan jelas dan sering dikaitkan dengan kriteria topografi seperti perubahan gradien sungai dari tercuram untuk selanjutnya secara bertahap melandai (yang juga bertepatan dengan batas antara bagian yang dapat dilayari). Hingga intervensi langsung Eropa pada pertengahan abad ke-19, hubungan antara kelompok-kelompok dataran rendah dan dataran tinggi seolah-olah diatur antara negara yang berbeda, oleh peperangan dan juga perjanjian. Transisi antara kompleksitas dataran tinggi, nampaknya tidak ditandai begitu baik, baik secara topografi ataupun etnis. Misalnya; Zona

158

Irigasi sawah dibekas swamplands didataran rendah terlihat diperluas hanya diakhir abad ke19 dan awal abad ke-20, ketika sejumlah besar proyek drainase dilaksanakan. Selama periode awal kontak dengan Eropa, subsistensi pribumi didasarkan pada pertanian lahan kering dan basah untuk padi dan sejumlah panenan lainnya. Pola ini mungkin telah mendominasi di zona piedmont di sisi timur dari barisan pegunungan Sumatra, utara dan barat dari Kalimantan, dan juga di Semenanjung selama 2000 tahun hingga di aabad ini. Lihat Zaharah binti Haji Mahmud, "The period and nature of 'traditional' settlement in the Malay peninsula," Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, XLIII/2 1970, pp. 81-113 ; R. D. Hill, Rice in Malaya (Kuala Lumpur 1977); M. Dove and J.N. Miksic, "Dryland-swampland transitions in Southeast Asian agricultural evolution" (MS). 159William Marsden, The History of Sumatra (London, 1811, reprinted by Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1975), hal. 357. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

107

kontak antara Minangkabau dan Batak, tampaknya telah bergeser dalam berbagai waktu, dan kelompok populasi yang mengisi zona kontak memiliki budaya konfigurasi yang terlihat seperti perantara antara keduanya. 160 Kita telah dapat melihat, bagaimana kondisi geografis, topografis telah memunculkan kompleksitas identitas, tidak saja pada dataran tinggi, juga dataran rendah timur yang berbeda dengan dataran rendah barat. Kembali dapat dikatakan, ini adalah keberagaman, dan bukanlah identitas tunggal. Selain itu, kerumitan dalam mengidentifikasi Identitas Sumatra ini, merujuk pada kondisi keluasan, keberagaman, yang membuat Sumatra lebih dapat dikenali dari varian penghuni Sumatra itu sendiri yang terlihat semisal pada Sumatra Utara, Sumatra tengah ataupun Sumatra Selatan. Kompleksitas ini dipenuhi pula oleh realita menonjolnya peranan kerajaan pedalaman pasca runtuhnya Sriwijaya. Selain itu, berkaitan dengan upaya penelusuran atas wilayah Riau daratan, mungkin akan terlihat mirip dan sekaligus juga berbeda dengan wilayah tetangganya, Jambi. Kesamaannya adalah Riau Daratan dan Jambi sama-sama berhulu di pedalaman Minangkabau dan menghadap ke jalur Selat Malaka, akan tetapi keberadaan varian sungai-sungai besar menjadikan upaya disini jauh lebih kompleks daripada hanya penelaahan atas hulu Batang Hari semata. Mulai dari sebelah paling barat, Sungai Rokan, kemudian Siak dengan anak sungai Tapung kanan dan Kiri, Sungai Kampar dengan anak sungai Kampar Kanan dan kiri, dan terakhir adalah sungai Indragiri yang berhulu di danau Singkarak. Kesemua ini memerlukan penjelasan relasional, hubungan antara “Lanskap Lembah” dengan wilayah pegunungan disatu sisi, dan hubungan dengan pesisir disisi lainnya. Signifikansi ini mengingat “lanskap Lembah” merupakan wilayah perantara antara Pegunungan dan pesisir, yang nampaknya telah “baku” berdasarkan laporan pengamat pada abad ke-19. Sebagaimana diketahui, para ahli nampaknya telah menarik garis batas yang tegas antara dikhotomi Pegunungan dan Semenanjung. Barnard161 memandang wilayah pesisir sebagai “wilayah perbatasan” antara pedalaman yang bertemu dengan

160

Micsik, hal.428 Lihat Timothy P.Barnard, “We Are Comfortable Riding the Waves”: Landscape and the Formation of a Border State in Eighteenth-Century Island Southeast Asia, dalam Borderlands in World History, 1700-1914, 2014, hal.83-99. 161

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

108

kosmopolitan perdagangan internasional; bertolak dari lanskap pegunungan dengan alamnya yang seringkali curam dan kemudian arah ke hilir yang semakin melandai bertemu hamparan rawa-rawa di pesisir. Meskipun Antropolog umumnya mengidentifikasi wilayah Lanskap Lembah sebagai bagian dari alam Minangkabau, akan tetapi hanya sebagai bahagian “rantau” dari alam Minangkabau dan bukan “Luhak.” Jika kita membicarakan wilayah rantau, maka klaim penguasa Pagaruyung di pegunungan Sumatra Tengah mencakup hingga wilayah Semenanjung, dan ini menjadikannya logis sebagai wilayah yang harus di lihat memiliki independensinya sendiri. Meskipun Sumatra tampil dengan ketiadaan identitas tunggal, akan tetapi sebagaimana telah disampaikan bahwa keseragaman tinggi dalam hal bahasa, adat dan agama terbentuk di dataran rendah timur; kondisi ini dapat membawa kita untuk sampai pada pembicaraan hulu – hilir, dimana kita membicarakan paralelisme dari pulau Sumatra yang memiliki punggungnya di barisan pegunungan Minangkabau, dan alirannya sungai-sungai besarnya menuju selat Malaka disebelah pesisir timur; paralelisme geografis dan mungkin juga; etnis. Selain itu, nampaknya pesisir timur Sumatra merupakan daratan yang terus bertambah keluasannya, terutama disekitar muara sungai dimana sumber endapan tersebut berasal dari pegunungan di hulu sungai yang mengalir tergerus arus aliran sungai menuju perairan Selat Malaka dan juga dari perubahan dan gerakan lapisan kerak bumi dari lautan dangkal. Fakta, bahwa gejala alam tersebut terjadi disepanjang pesisir timur Sumatra, mulai dari ujung barat sampai timur; dari era Sriwijaya hingga masuknya kolonial. Dugaan bahwa kerajaan Sriwijaya pada masanya – merupakan kerajaan dengan Entreport yang tidak terlalu jauh kepedalaman. Kemudian fakta bahwa pendangkalan telah melenyapkan pelabuhan-pelabuhan utama di kawasan Balai, Bagansiapiapi, merupakan keniscayaan yang terbuktikan dilapangan. Bahkan Marsden pada abad ke-17 menggambarkan muara sungai Rokan sebagai sebuah laut yang luas, gambaran teluk yang saat sekarang telah begitu berbeda – sangat menyempit yang dilengkapi juga dengan kemunculan delta-delta. Kesemua ini merupakan gambaran tentang ekologis pantai timur yang terus saja mengalami perubahan yang diyakini akan turut mempengaruhi kondisi masyarakat ataupun politi yang dijumpai mendiami kawasan tersebut. Dengan kondisi alam pesisir sedemikian, maka turut mempengaruhi pergerakan arus sungai yang bergerak kehulu dan kehilir.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

109

Sebagaimana diketahui, kawasan pesisir Timur Sumatra Tengah yang dialiri sungai Rokan dan Kampar memiliki apa yang dinamakan “Beno”; yaitu suatu gelombang pasang yang terjadi saat pasang-besar, pertemuan antara arus kehilir dengan naiknya air laut serta kedangkalan pantai, menghasilkan gelombang yang cukup membahayakan bagi arus pelayaran disungai tersebut, kondisi ini menyebabkan hingga abad ke-18, nampaknya banyak orang tidak berani melakukan pelayaran menyusuri sungai tanpa adanya suatu pemandu, bahkan beberapa orang Eropa memilih untuk benar-benar menghindari dari kegiatan berlayar disana. Di sungai Siak, kearah pedalaman sejauh 150 km maka akan dijumpai percabangan anak sungai; Sungai Tapung Kiri dan kanan yang disebut dengan Kuala Tapung – letaknya lebih kehulu dari Pekanbaru. Bahwa Sungai Tapung Kiri akan menuju pegunungan Minangkabau melalui lanskap-lanskap Kampar Kanan. Dapat dimaklumi, bahwa di Tapung Kiri inilah terletak Petapahan, sebagai sebuah “outlet” pertukaran barang-barang dari pegunungan menuju Selat. Selain itu, pada masa sebelum terbentuknya Pekanbaru sebagai kota transit, maka para pedagang yang melintasi sungai Kampar akan menerabas jalan setapak dari Bangkinang menuju Petapahan. Bahwa hal kondisi arus Beno dan juga dapat memperpendek rute, nampaknya merupakan faktor penyebabnya. Selain itu, kondisi kawasan mangrove dan areal eksotik hutan rimba tak tertembus diarah pedalaman, lautan dangkal dengan arusnya yang kuat, telah membuat pesisir Timur Sumatra Tengah menjadi kawasan yang keras. Ciri ekologis ini masing-masing memiliki penghuni yang bergerak dan memiliki mata pencaharian sesuai dengan kharakter alamnya, terutama penghuni kawasan hutan yang dikenal dengan orang asli sebagai pengumpul hasil hutan untuk dipertukarkan dengan barang-barang kebutuhan mereka di pasar Selat. Meskipun orang asli merupakan unit pengumpul hasil hutan, secara sadar mereka terpisah dari penguasa dan mendiami arealnya sendiri di hutan hujan. Seperti halnya orang Petalangan yang bermukim dikawasan antara sungai Siak dan Kampar. Mereka memproduksi barang-barang berharga hasil hutan yang memiliki nilai tinggi di pasaran, dan, untuk itulah diakukan pertukaran antara barang-barang eksotis hasil hutan dengan garam dan kain, dan juga besi terutama parang, telah dilakukan dengan perantaraan penguasa; seperti orang petalangan yang mengumpulkan madu dari pohon Sialang dengan menggunakan sistem Serahan, akan tetapi nampaknya ini tidak banyak diikuti. Nampaknya juga banyak pedagang yang melakukan perkawinan dengan perempuan Petalangan dalam rangka untuk memperoleh akses ke RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

110

produksi, dan meski dari pihak penguasa sendiri telah ditetapkan memperoleh sejumlah porsi bahagian dari perdagangan, kenyataannya banyak dari pelaku perdagangan melakukannya secara rahasia untuk kepentingan komunitas lokal. Pada akhir abad ke-17, kemampuan orang asli untuk mengumpulkan produk bernilai dari hutan, telah bercampur dengan kegiatan perekonomian dari kaum migran Minangkabau yang telah banyak menghuni di wilayah pedalaman. Pengumpulan hasil hutan ini menjadi terhubung dengan kemungkinankemungkinan baru dari peluang eksploitasi hutan, dan membawanya pada persoalan loyalitas dari Orang Asli terhadap penguasa Melayu ataupun Minangkabau. Melalui hubungan perkawinan dan pertumbuhan jejaring perdagangan antara kelompok tersebut, telah menumbuhkan kawasan tersebut, namun bukan pada basis Melayu ataupun Minangkabau. Masingmasing kelompok memiliki pemimpinnya sendiri dengan gelar kehormatan yang diperolehnya melalui interaksinya dengan komunitas pedalaman lainnya, juga dengan kerajaan Minangkabau dipegunungan dan di Kerajaan melayu sepanjang Selat. Pada akhir abad ke-17, hubungan serupa itu mencair dan kemudian diisi dengan beragam produk perdagangan lokal yang mereka melakukannya secara mandiri untuk keuntungan perdagangannya. Relung yang diproduksi melalui hubungan perdagangan personal dengan kawasan yang lebih luas lagi. Bahwa pedalaman dari pantai timur Sumatra tengah dimana dihuni oleh kaum migran Minangkabau dan orang asli, mereka terkoneksi dengan Melayu di wilayah pesisir melalui banyaknya arus perdagangan antara pedalaman Bukit Barisan dan Selat Malaka. Bahwa, sebelum kita melangkah lebih jauh kedalam areal “Borderland,” sebagaimana diketahui jejaring perdagangan di pesisir Timur melibatkan Orang Asli, dan sudah layak pula bila kita menyusuri hingga generasi awal mula kelompok tersebut dan hubungannya dengan Melayu. Yang menjadi pertanyaan disini adalah, bagaimana pula perdagangan dapat menjadi item signifikan dalam peleburan ataupun penyerapan berbagai unsur kebudayaan yang berbeda, terutama antara pegunungan dan pesisir? Bahwa untuk kegiatan ekonomi, proses penciptaan dan pemeliharaan hubungan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

111

kekerabatan sangatlah penting karena perdagangan tidak bisa beroperasi dengan sukses tanpa adanya kepercayaan, menurut Barbara Andaya; “kepercayaan yang nyata hanya ada diantara para kerabat.” Di pasar sepanjang “jalan raya” dan desa, hubungan yang diciptakan oleh ikatan darah, perkawinan, dan adopsi disekitar penjual dan pembeli telah mengikat mereka bersama-sama sebagai sebuah keluarga dan mengubah transaksi komersial menuju bursa antara kerabat. Bagaimanapun juga, di pelabuhan sungai ataupun pantai, para pedagang disemua sisi dihadapkan dengan orang asing dan dengan sesiapa tanpa ikatan timbal balik yang belum ditetapkan, dan mereka harus terus-menerus waspada terhadap kemungkinan penipuan dari produk yang tercemar, pemalsuan, mata uang yang juga palsu serta potensi ketidakwajaran harga. Ketegangan tertanamkan pada setiap negosiasi antara orang asing yang berarti selalu ada preferensi untuk berurusan di tempat yang lebih akrab di mana terkoneksi ke kekerabatan secara mapan melalui ikatan perkawinan. Pada abad ke-14 deskripsi Cina mencatat bahwa para pedagang India di Semenanjung Malaya “diberikan” putri lokal dalam pernikahan dan dengan demikian, “ia tidak lagi akan pergi-berlalu.” Pedagang India ini dapat dikatakan dalam suatu masa adalah garda depan, tak terhitung banyaknya orang lain di kemudian hari yang membangun perdagangan melalui kerabat istri mereka, seperti orang dalam babad Perak yang memiliki satu istri di Perak dan satu di India. Pernikahan dan kaum kerabat itu membawa suatu jaminan penyambutan, tempat tinggal, makanan, dan hidangan untuk kalangan perdagangan lokal. Kondisi yang berlangsung ratusan tahun, dan ini berarti, Generasi bisa saja berlalu, tapi kenangan koneksi terakhir masih bisa dipanggil untuk memulai atau mempertahankan ikatan ekonomi. 162 Ini berarti, bahwa dalam masyarakat yang aktivitas ekonomi merupakan fungsi dari hubungan sosial, unsur masa lalu dipertahankan hanya jika mereka masih tetap relevan. 163 Berkaitan dengan hal itu, dapat kita lihat bahwa nenek moyang dari orangorang dihulu sungai Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan lebih digambarkan

162Barbara 163Barbara

Andaya, 1993: 38-39 Andaya, 1993: 40 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

112

berasal dari Priangan di Minangkabau ketimbang dari luar.164 Mungkin saja kondisi ini penggambaran atas relevansi menghilir dari pegunungan Minangkabau terkait perdagangan yang bertahan hingga penetrasi kolonial di abad ke-17, sebelum akhirnya dapat berubah seiring perluasan ekonomi komersialisasi Eropa. Kondisi ini juga mengisyaratkan bahwa penyepadanan darat - pesisir dengan kelompok-kelompok berbasis kebudayaan yang dikenal dengan “etnis” ini, jika merupakan konsekuensi logis kompleksitas perdagangan darat - pesisir itu sendiri, akan mempertahankan situasi serupa selama hal itu masihlah relevan. Dunia yang terus berubah, alam yang senantiasa bergerak, turut mempengaruhi konsepsi cair tentang identitas komunitas darat-pesisir yang dikatakan sebagai berhulu pada satu sumber yang sama; “dedaunan dari pohon yang sama.” 165

Ruang-Ruang Kultural Tersebab dalam melakukan pemeriksaan atas masyarakat Riau Daratan, kita akan menjumpai berbagai entitas yang berbasis pada kategori etnis, maka kita dapat juga melihat contoh penetrasi Melayu – Minangkabau di Riau Daratan dalam salah satu laporan di awal abad ke-20 yang dituliskan oleh Tideman tentang Bengkalis.166 Tideman menuliskan bahwa jauh disuatu periode sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda, kawasan Afdeeling Bengkalis yang merupakan bahagian terbesar dari wilayah Riau Daratan saat ini, bermukim orang-orang Hindu-Budha, kemudian orang Minangkabau dan Melayu-Johor (Selatan Malaka). Mengenai era HinduBudha, nampaknya hanya sedikit saja yang diketahui. Pernyataan dari asisten residen AF Zijll de Jong (1929) menyebutkan, bahwa sebagai berasal dari kampung Aurkuning di hulu Sibayang, menjejakkan situs Kampar Kiri, sementara di cekungan dari Sungai Singingi ditemui sisa-sisa situs besar, dimana berlokasi penyucian debu emas Hindu. Juga di cekungan yang lebih 164Diantaranya

kita dapat melihatnya dalam Laporan Van Rijn van ALkemade(1884), Hijman van Anrooij(1885), IJzerman(1891) dan O’Brien(1905). 165Leonard Y.Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Etnichity in Malaka Strait, 2008. 166Lihat Tideman, “Land en Volk van Bengkalis,” 1935. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

113

rendah dari Rokan, didekat kampung Sintong, reruntuhan situs Hindu telah ditemukan, sementara itu arkeolog FM Schnitger yang melakukan penelitian arkeologi di Tanah Datar dan daerah Panai bahwa diantara Rokan dan Pasir Pangarayan terletak reruntuhan Kuil Hindu. Dijelaskan oleh Manguin bahwa berdasarkan sebuah prasasti abad ke-14 yang ditemui di bagian hulu aliran sungai Rokan dipercayai diperuntukkan bagi seorang Tuan Tanah yang tunduk kepada Adityawarman.167 Nampaknya ini juga harus disebutkan bahwa untuk pengangkatan Raja Tambusai yang baru, terdapat dalam tulisan Hindu – yang disebut sirih - teks itu mengatakan bahwa penguasa Pagaruyung melimpahkan pangerannya ke negeri Tambusai. 168 Dominasi Hindu ini diikuti dengan periode pengembangan dari Minangkabau. Sebagaimana diketahui, kondisi matrilineal di Minangkabau telah mendorong ramainya migrasi (merantau), sekelompok besar migran telah mencapai daerah timur. Kondisi tersebut menyebabkan orang Asli yang bermukim di sana (Orang Bonai, Orang Sakai, Orang Akit dan Orang utan) didesak mundur ke hutan dan rawarawa, dan ketika kerajaan Minangkabau berada di puncak kekuasaannya; mendirikan kewenangannya di wilayah perbatasan, termasuk dibagian hulu dari daerah tangkapan air Kampar dan Rokan sebagai “RantauMinangkabau.” Hingga memasuki awal abad ke-20, kawasan Rantau ini dihuni oleh keturunan Minangkabau, akan tetapi terdapat kesamaran lebih-lebih ketika didapati realita disuatu masa tentang adanya invasi dari sisi lain (Johor) yang juga menunjukkan pengaruhnya disana. Tideman mengemukakan bahwa banyak ditemui dalam catatan yang dibuat mengenai sejarah Bengkalis tentang berbagai kelembagaan adat Minangkabau serta Melayu dari Melaka oleh masyarakat yang tinggal di sini, tetap dipelihara dan dipertahankan, sehingga memunculkan “tumpukan aneh” tentang adat rakyat, seperti yang satu berasal dari sini, dan yang lainnya berasal dari adat yang berbeda pula. Dengan demikian, populasi Melayu di pedalaman dapat dilihat menjadi dua bahagian: MinangkabauMelayu, yang pengaturannya didasarkan pada adat Minangkabau, dan 167

Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977, hal.6, juga hipotesis Carparis bahwa Adityawarman betul-betul memerintah atau menuntut kuasa atas seluruh bagian barat dan tengah pulaunya, termasuk Melayu yang artinya berkemungkinan saja sama dengan Sriwijaya ataupun Sumatra, lihat dalam Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998. 168 Sebagaimana dikisahkan Rijn van Alkemade dalam kunjungannya ke hulu sungai Rokan, 1884. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

114

kemudian Melaka -Melayu Riau – yang lebih dianggap sebagai penduduk Melayu Johor dan kepulauan Riau. Adat Minangkabau di daerah darat, yang disebut wilayah rantau, terpelihara dalam bentuknya yang murni, terutama berlaku dari klasifikasi genealogis suku dan sistem pewarisan. Seperti dimaklumi, batas daerah Afdeeling Bengkalis ini meliputi wilayah darat pesisir; Pasir Pangaraian - di Rambah (hulu Rokan) dimana terletak ibukota onderafdeeling Rokan, disepanjang Tapung kanan setelah Pekanbaru melalui sungai Siak terus ke Muara Sako yang merupakan pertemuan Sungai Kamparkiri dan kanan; dan seterusnya ke selatan perbatasan dengan distrik Kuantan. Daerah Rantau ini sehingga milik lanskap Rokan (IV Koto Rokan Ilir), baik Tapung ini (Tapung Kanan dan Kiri) maupun lanskap Kampar Kiri dan Singingi. Terdapat hal unik, bahwa populasi - terutama di Sibayang pada sensus tahun 1930, terjadi dilema menyangkut populasi disini akankah dianggap sebagai Minangkabau atau dianggap sebagai Melayu, dan mengapa pemerintah Belanda akhirnya menyelesaikan masalah ini dengan menuliskan sebagai “Melayu–Minangkabau” yang tentunya dengan beberapa catatan. Pembelaan nampaknya mengacu pada klan utama; suku-suku yang ada antara lain; Mandailing, Domo, Domo Pangkalan, Peliang, Chaniago dan Melayu. Di era Rokan-Tambusai yang berbentuk kerajaan, kesemua wilayah yang tercakup dalam Rokan-staatjes di era- Hindia, bermukimlah disuatu masa orang-orang Minangkabau. Kemudian secara bertahap wilayah negeri Rokan berada dalam pengaruh Johor; Cekungan yang lebih rendah ke hilir dari Rokan bahkan pernah di bawah supremasi Johor; Tanah Putih. Dinamakan demikian karena putihnya warna pasir disana - dihuni oleh suku-suku Melaka yang bermigrasi ketika kerajaanya hancur. Tentunya kemudian Raja Purba mendirikan kerajaan kecil Lontar (kemudian Tanah Putih). Sementara di darat sebagai lanskap perbatasan, Pangeran Johor meminta pangeran dari hulu Tambusai dimana telah bermukim penduduk Minangkabau, untuk dilengkapkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian, muncul kerajaan Kepenuhan, Kota Intan dan Kota Lama, kedua terakhir ini, berlangsung sampai pada suatu masa dimana terjadi penyatuannya kedalam “Kunto.” Bahkan Pangeran Johor pun ternyata dapat memenangkan tahta Tambusai, sehingga Johor kemudian memperluas pengaruhnya sampai ke Rambah. Ketika pasukan Aceh melakukan penyerangan ke daerah-daerah di pedalaman; berdampak pada kesemua negara-negara kecil ini untuk

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

115

beraliansi dengan Pagaruyung, dan akibatnya, tentu saja memperkuat kembali pengaruh Minangkabau di negara-negara darat tersebut. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dapat dijumpainya campuran antara unsur aristokrat dan demokratis (Masing-masing dari Johor dan Minangkabau) dalam sistem pengaturan masyarakat di sana. Halnya dengan kondisi struktur kekerabatan di wilayah darat - pesisir, yang diasumsikan merefleksikan sejauhmana keberpengaruhan Johor pada wilayah arbitrer di daratan Sumatra, khususnya di Riau Daratan. Dalam kontes ini, artikel dari G.A.Wilken(1888) sangat membantu pemahaman tersebut. Bahwa sebagaimana diketahui, pantai timur yang dialiri oleh Sungai Rokan, Siak, Kampar, Indragiri dan Musi – terutama dihuni oleh orang-orang Melayu. Dimulai dari; Kampar, negeri-negeri Rokan, disebelah selatan terutama orangorang Kuantan, Indragiri, Melayu Jambi dan Musi. Sungai utama, secara umum terbentuk oleh anak-anak sungai – yang juga terdapat anak sungai utama, seperti; Sungai kampar yang dibentuk oleh dua sungai kecil, sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang namanya memiliki makna secara harfiah. Hulu Sungai ini, dihuni oleh federasi lanskap yang nampaknya diinspirasi oleh serikat lanskap di Dataran Tinggi Padang. Lanskap, seperti; Lanskap Kampar Kanan Glugur VI Koto (sebelah barat); Glugur III Koto di Mudik dan Glugur III Koto di Ilir. Lagi-lagi ini adalah nama dengan makna secara harfiah, satu di hulu, satunya lagi di hilir. Sementara disebelah timur, ditemui federasi Kampar nan XII Koto, disebut juga XII Koto Kampar(saat ini dikenal dengan XIII Koto Kampar); bahwa setelah dihitung jumlah sebenarnya adalah tiga belas desa, dimana Siberuang sebelumnya merupakan bahagian dari Gunung Malelo. Adapun lanskap tersebut meliputi; Pulau Gadang, Tanjung Alij, Batu Bersurat, Kota Tengah, Binamang, Pangkiy, Kota Tuah, Muara Takus, Gunung Bungsu, Tanjung, Tabing, Gunung Malelo dan ketiga belas; Siberuang (Bestholle; 370). Hingga tahun 1877, Bestholle masih menggunakan nama XII Koto Kampar; meski diakuinya, bahwa keberadaan sebelumnya dapat dilihat dalam dua bahagian. Satu bahagiannya, dikenal dengan nama Kampar nan VII Kota atau VII Kota Ilir, kondisinya itu sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya; tujuh desa asli dengan arah menghilir dimulai dari Pulau Gadang hingga Kota Tuwah. Bahagian lainnya menyandang nama Toengkoe nan Tiga dan telah menggunakan lima negori, karena Siberuang pada saat itu masih merupakan bagian dari Gunung Malelo. Nama Toengkoe nan Tiga tampaknya terkait dengan tiga kepala utama, yang bersama-sama memerintah wilayah RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

116

ini. Masing-masing berada di Muara Takus, Tanjung, dan Gunung Malelo. Bahkan sebelum itu Siberuang ditemukan sebagai kampung independen, kemudian VII Koto Ilir bergabung dengan Toengkoe nan Tiga dan aliansi ini kemudian dikenal dengan nama XII Koto Kampar. Disini, disepanjang arah ke timur, terdiri dari Kampar nan V Koto yang bermula dari kumpulan lima desa; Kuwo, Salo, Bangkinang, Air Tiris dan Rumbio. Adapun sebelah selatan dari XII Koto Kampar terdapat Lanskap Pangkalan. Di pedalaman sungai Kampar Kanan, berangkat dari titik di sungai Mahi melewati sekitar setengah mil di luar kampung Tanjung Pauh, dengan klaim dari penduduk asli bahwa titik ini menandakan berakhirnya wilayah Pangkalan dan dimulainya wilayah Kampar. Di bawah nama Kampar tampaknya menjadi suatu daerah yang agak luas untuk dapat dipahami, wilayahnya membentang disepanjang dua sisi sungai yang tidaklah kecil, apa yang termasuk dalam nama Kampar Kanan dan setelah juga termasuk Kampar Kiri yang bertemu di Kampar Besar, dimana nama itu sebagaimana terdapat di Pantai timur laut di Pulau Lawan. Mungkin saja ini adalah suatu nama kolektif, dan bahkan lebih dari itu adalah “Kerajaan Kampar” sebagaimana wilayah ini disebutkan dalam arsip kuno, untuk menunjukkan bahwa seluruh daerah digunakan untuk menjadi sebuah entitas politik, sudah pasti bahwa mereka sekarang di sejumlah bagian yang independen saling berkaitan dan juga mengakui kepala secara umum. Di tahun 1882, Pangeran kerajaan Pelalawan mengakui kedaulatan Belanda, setelah itu pada periode tahun 1879 – 1882, Lanskap Kampar-Kanan Glugur VI Koto, XII Koto Kampar dan Pangkalan; wilayah ini dimasukkan dalam pemerintahan Gubernemen. Van Delden mengemukakan bahwa pada lanskap Kampar Kanan orang-orang dibagi menjadi suku, sejumlah kepala keluarga berada di bawah-Perut, berpegang teguh dengan suksesi adat-Kemanakan, yaitu ketentuan bahwa anak kamanakan atau kakak yang mendapatkan warisan. Begitupula di XII Koto Kampar, adat kamanakan masih sepenuhnya diterapkan tanpa penyimpangan. Pembagian-Suku, perkawinan, singkatnya semua lembaga sepenuhnya Matriarkhat-Minangkabau. Kondisi ini juga dapat ditemui pada Pangkalan Kota-Baru, properti untuk para pewaris, gelar dan martabat yang hanya berada dalam garis perempuan.169 Sisanya, sebagaimana di aliran

169

Van Delden, Verslag over den toestand van het landschap Gloegoer VI Kota, Tijdschr. v. Ind. T. L. eu Vk., dl. XXVII, blz. 169; Du Ry van Beest Holle, Aanteekeningen betreffende de landsohappen RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

117

sungai Kampar, di V Koto Kampar sangat dimungkinkan dibawah pengaruh matriarkhat. Lanskap ini dikatakan memiliki masyarakat yang sama seperti pada XII Koto Kampar: Kedua daerah itulah karenanya merupakan kabung,170 atau subdivisi dari keseluruhan yang lebih besar. Lebih jauh lagi, mengenai masyarakat lanskap Kampar-Kiri, yaitu bahwa mereka bersama dengan masyarakat Lanskap Kampar Kanan memiliki perilaku dan kebiasaan yang sama seperti yang terdapat di Dataran Tinggi Padang, bahwa mereka memiliki sifat-sifat matriarkat tersebut. Bagaimana pula dengan hilir sungai Kampar, tepatnya di Pelalawan? Tidak mungkin pula ditemukan kondisi yang sama dengan wilayah yang berada disebelah hulunya. Sebaliknya, kondisi struktur (masyarakat-hilir) berada di bawah pengaruh Johor - seperti pada negeri pesisir lainnya – namun yang dapat disadari juga bahwa dibawah pengaruh Johor tersebut, matriarkhat tidak ditemukan. Sementara itu disebelah utara dari sungai Kampar, mengalir Sungai Siak yang berasal dari pertemuan dua sungai; Tapung-Kiri dan Tapung Kanan, dan anak sungai utamanya yang disebelah kanan adalah Gasip, sementara disebelah kirinya adalah Mandau. Aliran sungai sebelah hilir ditempati oleh negeri Siak. Seperti diketahui, wilayah ini dahulunya berada dibawah kekuasaan kesultanan Johor. Kewenangan pangeran Johor ini membentang hingga Pasir Sala, dan selanjutnya sekitar satu jam kearah hulu terletak lokasi Pekanbaru. Pengaruh Johor hanya sampai wilayah Kuala-Mandau, dimana Mandau tersebut terletak di Siak. Dapat diketahui bagaimana wilayah tersebut pada tahun 1718 Johor ditaklukkan oleh Raja Kecil, dan juga dikenal sebagai pendiri kerajaan Melayu modern: Siak. Luas wilayah ini adalah meliputi sepanjang

VI Kota, Pangkalan (Pangkalan-Kota-Baroe) en XII Kota Kampar, Tijdschrift v. Inda. T. L. en Vk., dl. XXIV, blz. 38G. " Du Ry van Beest Holle, O. c, blz. 380—881. 170 Kata Kabung berarti "bagian dari keseluruhan, misalnya, sebagian dari sepotong kain. Jadi karena itu berbicara tentang Kabung-Ayer, sebagai "bagian dari lembah sungai." Masing-masing dari dua bagian itu, XII Koto Kampar awalnya, itu adalah sebuah kabung, sementara yang kabung ketiga dibentuk oleh V Koto Kampar itu (Lihat: Aanteekeningen op Midden Sumatra; officiëelebescheiden, berasal dari catatan v h. Gen.Bat. v K.en W., Vol. XXXIX, hal. 20). Jadi secara bersama XII Koto Kampar dan V Koto Kampar membentuk satu federasi besar. Pada tahun 1859, bagaimanapun, hubungan antara dua bahagian ini pecah (Tijdschr. v Netherl. Indië, jaarg. 1880, vol I, hal.169.). RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

118

Sungai Siak, apa yang disebut dengan “Wilayah Asli Siak.”171 Sebaliknya dengan wilayah koloni, yang pastinya arah lebih utara di sepanjang Rokan Terletak Lanskap Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Dari muara sungai membentang aliran sungai Siak dari hulu hingga perbatasan distrik TapungKiri dan Tapung Kanan. Biasanya distrik-distrik ini dianggap sebagai koloni Siak. Bahwa pemimpin Tapung mengenali Sultan Siak sebagai yang sosok yang berdaulat atas mereka, namun ikatan yang mengikat mereka ini lebih dari sekedar federasi dari bawahan kerajaan. Pada lanskap Tapung, di sini juga bermula, tampaknya matriarkhal tidak sepenuhnya ada. Jadi, beragamnya pranata dalam sistem perkawinan, seorang laki-laki mengikuti perempuan atau sebaliknya untuk bertempat tinggal yang ditemukan di sini, ini sangat jelas menunjukkan bahwa terjadi komunikasi antar seluruh anggota keluarga seintensif mungkin. Bahwa tercegahnya matriarkhal dalam lanskap Tapung, kondisi ini tidak dapat diragukan lagi, dan tidak ditemui pula informasi bahwa perkawinan dalam suku dilarang. Lanskap Tapung, sebagaimana disebutkan dalam perjanjian tahun 1858 sebagai wilayah taklukkan, dan bukan wilayah Asli Siak, terdiri; Tapung Kanan dan Tapung Kiri. Konfederasi Tapung kiri terdiri dari empat lanskap, dan terkadang dinamakan Tapung nan IV. Para anggotanya adalah: Petapahan, Batu Gajah, Kebon dan Tandun. Untuk Kebon, memiliki konfederasinya sendiri, yaitu; Kebon, Kota Renah dan Lianten yang diwakili bandahara dari Kebon. Sebelumnya, Kebon terdiri dari; Kota Renah, Giti dan Sikubin. Dua terakhir ini punah, dan kemudian ditambahkan Liantan. Konfederasi Tapung Kanan terdiri dari dua bahagian utama; masing-masing adalah Lindei dan Sikijang. Pemimpin Lindei memiliki gelar dari Terana dan Sikijang; Bandahara. Pada jaman dulu, mungkin saja Raja Gasip merupakan penguasa lanskap Tapung Kanan. bahwa rasio Tapung kanan dijelaskan, 172 beraja ka Siak, bertuan ka Kota Intan. Para pangeran dari Kota- lntan,memiliki garis keturunan ibu dari Lindei, karenanya Kota Intan (atau lebih tepatnya Kunta ) dianggap terdiri dari tiga

171

Traktat 1858 antara Belanda dan Siak, membagi Siak kedalam wilayah “eigenlijk Siak” dan wilayah taklukan. 172 Hijman van Anrooij, hal.368. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

119

bagian, yaitu Kota Intan, Kota Lama dan Lindei. Terana dari Lindei dinamakan demikian sebagai suatu posisi yang tinggi; Seperti dalam definisi Melayu, Adik raja, abang Andika. Dan ini ternyata, bahwa mereka belumlah dianggap sebagai raja, namun kondisi demikian segera saja mengikutinya. Keistimewaan Posisi yang terhubung dalam “Dua kali tujuh hari” sebagai martabat kerajaan; raja Kota Intan, Terana dari Lindei selama 14 hari menikmati hak(sembah). Terana dari Lindei mengklaim, bahwa ia tidak pernah memiliki perbatasan permanen dengan Kota Intan. Dalam batas-batas dari Lindei, masih dimiliki bandahara dari Sanama Nenek , dan orang-orang dari Sikijang sebagai bandahara Danau Lancang. Baik Bandahara Sanama Nenek maupun Danau Lancang, umumnya disertai batas-batas; Oetan Tanah, kekuatan dan tugas yang sama dari Terana Lindei dan bandahara Sikijang di bidang keahlian mereka. Jika terdapat sengketa maka dapat diajukan banding. Secara optimal, posisi itu bertanda bahwa Terana dari Lindei dianggap kakak dari Bandahara Sanama Nenek, Sikijang dan Danau Lancang (adik - beradik). Adik memiliki hak, akan tetapi dalam urusan publik, keputusan tetap berada pada sang kakak. 173 Masyarakatnya terbagi atas suku-suku; Chaniago, Piliang, Domo, Pitopang dan Melayu. Bahwa empat suku awal dikatakan sebagai anak negeri, anak bumi. Sementara itu suku Melayu, dikatakan berasal dari berbagai entitas di Siak. Masing-masing kepada suku adalah penghulu yang mengikut pada hukum kemenakan, sementara Bendahara biasanya berasal dari Suku Melayu yang diturunkan kepada garis keturunan anak. Jika dilihat pada situasi Kampar, maka tipikal negeri dan masyarakatnya secara umum adalah sama, akan tetapi, mengenai pelaksanaan kelembagaan adat, hanya sedikit saja bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali dan berbeda dengan apa yang berlaku di Kampar. Dapat ditemukan bahwa di Siak telah berlaku “Hadat Raja” yang yang berasal dari Johor dan diperluas ke pedalaman hingga melampaui Petapahan dan Batu Gajah.174 Mungkin saja, kondisi ini bersesuaian dengan model bangunan rumah di Tapung, semakin ke hulu, semakin dekat dengan model yang terdapat di Dataran Tinggi, dan berbeda

173 174

Hijman van Anrroij, hal.369-70. Rijn van Alkemade, 1885; hal.218 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

120

dengan yang ada di Siak; kesemua kondisi ini tampak berlaku pada akhir abad ke-19.175 Beralih kita pada “Wilayah Asli Siak.” Namun, dan ini penting, sebelum kita melangkah lebih jauh dalam menguraikan keberadaan organisasi masyarakat matriarkhal disini, pertama-tama adalah mencoba untuk memaparkan gambaran ringkas dari penduduk daerah Siak. Bahwa “wilayah Asli Siak” memiliki penduduk asli orang Melayu, hingga kemudian pada suatu periode tibalah imigran dari ranah Minangkabau. 176 Sebagaimana disampaikan dibahagian awal, sebelum Raja kecil mendirikan kerajaan Siak atau saat Siak masih berada dibawah supremasi Johor, telah banyak orang Minangkabau berdomisili di sana, dan dengan dukungan merekalah Raja Kecil mampu menaklukkan Johor dan menguasai kawasan Siak, bahkan hingga ke wilayah yang jauh dari daerah ini. Jadi tidak hanya oleh Raja Kecil saja kerajaan Siak didirikan, akan tetapi secara bersama-sama dengan orang Minangkabau pendukungnya. Hingga akhir abad ke-19, kondisi ini terpelihara: Orang Minangkabau tidak merupakan hamba langsung dari sultan, akan tetapi berada di bawah kepala mereka sendiri yang disebut: datuk, yang mereka cukup tahu bagaimana untuk menjaga kemandiriannya. Daerah asal dari mana mereka datang (atau pendahulunya), mereka para pemukim Minangkabau dibagi menjadi empat suku, yaitu: Lima puluh, Tanah Datar, Pesisir dan Kampar.177 Itulah suku-suku Lima puluh dan Tanah Datar, adalah keturunan imigran dari lanskap Lima Puluh Kota dan Tanah Datar di Dataran Tinggi Padang, sedangkan suku-suku Pasisir dan Kampar termasuk orang-orang yang nenek moyangnya berasal Agam, arah barat ke laut, dan 175

Rijn van Alkemade, 1885; hal.213. Bahwa orang Melayu di sepanjang hilir sungai Siak ini, juga secara bertahap berasal dari Johor terutama masa pendudukan Bandhara Johor, lihat Hijman van Anrooij, hal.311. 177 Para Pemukim Minangkabau ini tidak hanya keturunan, selama era penaklukan Siak oleh Raja Kecil – mereka sudah tinggal di sana, tetapi juga dari orang-orang, yang pada era berikutnya, terutama selama “perang-Padri” dimana banyak warga dari Dataran Tinggi Padang beremigrasi ke Siak. Mereka, tentu saja, untuk identitas daerah adalah dari mana mereka datang dari empat suku yang direkam, dengan berjalannya suku mereka yang sebenarnya, mereka dirunut menurut kelahirannya. Kata suku telah sedemikian signifikan di Siak selain Padangsche Bovenlanden: suku di sini menunjukkan tidak adanya hubungan keluarga, dan bukanlah penekanan asal yang sama, akan tetapi lebih luas lagi berasal dari luhak atau wilayah yang sama. 176

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

121

dari dataran atas Kampar, serta Indragiri dan Jambi. Datuk Suku Lima Puluh berasal dari Genting, sementara Datuk Tanah Datar berasal dari Sumanik; dan Datuk Pasisir berasal dari Sianok Kota Gedang. Tanggungan para Datuk tersebut bukanlah semata-mata terbatas pada anggota suku mereka sendiri saja, melainkan berasal juga dari orang-orang yang memiliki kesamaan asal daerah, atau dengan kata lain berasal dari Luhak yang sama. Pertama kalinya untuk Suku Kampar terbentuk adalah ketika Raja Ismail (Marhum Mangkat di Balei) untuk kedua kalinya bertahta Siak, sekitar tahun 1780. Sebelumnya, anggota nya berada di bawah kewenangan langsung dari Sultan, dan mereka atas nama tersebut dikendalikan oleh Syahbandar. Suku in adalah orangorang Melayu di Sumatera Tengah, juga meliputi suku di pedalaman Jambi, Indragiri dan Sungai Kampar. Komposisi Suku sebahagian berasal langsung dari tempat asal mereka, dan sebahagian lainnya datang melalui Johor – yang telah memposisikan dirinya dimana banyak orang Minangkabau yang menetap di Johor melakukan perkawinan disana. Orang-orang tersebut banyak yang bergabung semasa Raja Kecil mendirikan Siak. Secara kolektif asal-usul pemukim Minangkabau berada di bawah nama “Anak IV Suku”. Mereka hidup menyebar di seluruh kerajaan, meskipun sebagian besar Anak IV Suku bermukim diluar ibukota Siak berdampingan dengan penduduk asli sebagai hamba langsung dari Pangeran. Sejumlah besar anggota IV Suku, berasal dari Minangkabau dengan garis keturunan laki-laki, sementara ibu mereka adalah orang Siak ataupun Johor. Meskipun demikian, tercatat juga bahwa terdapat beberapa kasus dimana kaum perempuannya benar-benar orang Minangkabau yang bermigrasi ke Siak. Yang pertama, benar-benar asli, dengan kerabat atau sesama daerah asal. Akan tetapi selanjutnya banyak migrasi yang diakibatkan oleh kerusuhan saat bergejolaknya perang Padri dan kemudian mengungsi dari Dataran Tinggi Padang, dan kebanyakan kaum wanita korban konflik tersebut berstatus tanpa suami atau anak yatim (kaum laki-laki menjadi korban konflik). Kondisi tersebut seringkali dijadikan dasar argumen bahwa orang-orang Minangkabau telah melakukan respon sebagai upaya mempertahankan kelembagaan kuno (kekerabatan dan pewarisan) dalam menghadapi konflik “perang-Padri”. Akan tetapi, terdapat suatu ketidaktelitian tentang anggota IV Suku di Siak yang mengikuti adat Minangkabau dan berbeda dengan penduduk asli Siak, dan Kita dapat menelusurinya dari awal mulanya. Bahwa berkaitan dengan asal-usul IV Suku, mereka tidak memiliki Oetan-Tanah, demikian pula tidak RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

122

adanya Sialang. Para anggota IV Suku hidup tersebar di wilayah Siak dimana mayoritas menetap di tempat-tampat utama; adapun sebahagian lainnya menyebar di kawasan perladangan disepanjang sungai Siak. Beban mereka tidaklah terlalu besar, terutama semenjak dihapuskannya Pancung-Alas dan Tapak-Lawang di tahun 1863. Sebelumnya, dibawah rezim Johor hanya suku Pasisir saja yang bebas dari beban Tapak-Lawang. Meskipun demikian, tetap dibebankan juga kepada mereka kewajiban, terutama dalam kondisi perang; dimana harus menyediakan kapal penjajab; dan pada saat peristiwa perang dengan Kota Intan, sultan hanya menyediakan senjata saja. Selain itu, mereka berkewajiban membangun istana untuk sultan. Penduduk asli Siak dibedakan menjadi dua kategori, yakni: Hamba-Raja dan Rayat Raja,178 yang hidup secara terpisah dan lebih dekat ke pantai; sepanjang dataran rendah hingga Siak, sementara yang lainnya lebih jauh di pedalaman. Tampaknya agama ditetapkan sebagai kriteria pasti yang akan dianggap dapat digunakan untuk membedakan antara Hamba Raja dan Rayat-Raja: mereka dalam kenyataannya adalah orang Islam yang taat. Terdapat fakta bahwa pada era awal Rayat-Raja disebut sebagai bukan "orang Melayu", ternyata pendapat ini menunjukkan bahwa agama adalah kriteria utama pembeda antara mereka dan Hamba-Raja. Perpecahan antara Hamba-Raja dan Rayat-Raja diyakini terjadi sewaktu Islam belum mencapai pedalaman Sumatera, dan juga termasuk Siak, dimana perintisannya pada saat supremasi Johor telah berada di negara ini. Penduduk di wilayah hilir Siak, yang semuanya adalah pengikut Nabi Muhammad, dengan demikian secara alami dapat dibedakan oleh adanya pengaruh Johor, apa lagi di wilayah hulu itu masih terdapat penganut Paganisme. Segera saja, perbedaan tajam pun terbentuk, dimana melalui cara ini akan menjadi faktor pemisahan antara Hamba-Raja dan Rayat-Raja. Pemisahan antara Rayat-Raja-dan Hamba Raja sebelumnya sangatlah besar, bahkan sedemikian rupa sehingga menurut adat, dahulunya tidak diperbolehkan untuk makan bagi keduanya secara bersama-sama pada acara hajatan pernikahan; mereka tidak bisa mengambil tempat bersama-sama. Namun perilaku ini semakin mengendur, dan secara umum berjalan sebagaimana mestinya, bahkan oleh Van Anrooij 178

Bersama-sama mereka disebut orang-kebanyakan = orang dari kerumunan, yaitu: mayoritas, kelas bawah, berbeda dengan anak-raja, keturunan berbagai pangeran, yang secara kolektif merupakan bangsawan dan di ibukota, Siak hidup. Satu tentunya memiliki populasi Siak Sebenarnya berikut yang dibedakan atas: 1.Anak-Raja, 2.Anak IV Suku, 3. Hamba 4. Rayat-Raja. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

123

posisi mereka tersebut, tidak berada dalam kondisi saling iri dan curiga. Meskipun demikian, dari perkembangan terakhir, Rayat-Raja, kebanyakan mereka sudah menjadi muslim.179 Daerah Hamba-Raja membentang dari muara Siak hingga ke Kuala-mandau dan dari jauh di daratan, ketika suara tëtawak (semacam musik gong atau simbal) bisa terdengar, “sapendengaran” pemukul tetawak, begitulah disebutnya.180 Tempat di pedalaman Mandau di Siak dekat perbatasan Lanskap Tapung yang juga dicapai dengan suara tëtawak, mencapai basis dari Rayat Raja.181 Selain itu milik untuk Rayat-Raja, disebut Orang-Talang, di antaranya nama yang dipahami semua orang yang tidak berada disepanjang sungai utama, tetapi di hutan atau di sungai untuk hidup, dan berada dalam satu kehidupan nomaden. 182 Orang-Talang ini dibagi menjadi tiga kelompok utama. Dua dari mereka berada ditepi kanan Siak. Di tempat dimana suara tëtawak tidak lagi terdengar, maka dimulailah wilayah Orang Talang, sebagaimana Pètalangan seperti yang umumnya dikenal. 183 Oleh karena itu, ihwal nama benar-benar berkaitan sebagai suatu entitas dengan signifikansi etnografi; Orang-TalangGasip, dinamai dengan Gasip, sebuah entitas-artefak Siak, sebagaimana telah disebutkan di atas, bagian timur merupakan Orang Talang-Dayun, yang berasal nama mereka; Dayun, terletak di sungai di Pulau Lawan, juga dinamai

179

Hijmans van Anrooy, hal.324. " Hijmans Van Anrooij, hal.288. Hamba-Raja ditempatkan di bawah otoritas empat panghulu yaitu: Siak-Kecil, Rempah, Siak Besar dan Betung, masing-masing dengan daerahnya sendiri. Tentang panghulu ini juga terdapat dua pejabat yang terdiri dari bintara-kiri dan bintara-kanan. 181 Hijmans van Anrooij, pada hal. 291 – 294: Rayat-Raja ditempatkan di bawah otoritas empat batin, yakni: Gasip, Senapalan, Prawang dan Si Galas. Sepanjang percabangan kiri sungai Siak, dimulai dengan Kuwala-Mandau salah satu yang kemudian dilakukan dalam batin-Prawang dan Senapalan, sepanjang tepi kanan batin dari Gasip dan Senapalan, sementara daerah Si-Galas yang ke arah atas memanjang dari titik pertemuan Tapung-kanan dan Tapung-Kiri di sepanjang tepi kedua lengan sampai batas Lanskap Tapung. Lihat juga: Van Rijn van Alkemade, Reis van Siak naar Paja-Kombo, Tijdschr. v. h. Nederl. Aardr. Genootsch., 2e serie, dl. I I , Ie stuk, blz. 201, Rayat-Raja dari batin Gasip, Senapalan dan Si Galas adalah pengikut Nabi Muhammad(muslim), bahwa batin dari Prawang, meliputi; Orang Akit, dan Orang Sakei. 182 " Kata hutan atau talang, orang talang, menandakan penghuni hutan. 183 Sebelah selatan terletak kerajaan Pulau-Lawan(Pelalawan) dimana terdapat batas-batas Pëtalangan. Membentang sebelah Timur arah Pëtalangan keluar ke Mempura, yang tidak jauh di pedalaman adalah kota utama Siak, nama yang berasal dari nama sungai itu, dan sebelah Barat ke Tiga Loewak datau Tiga Loerah, seperti wilayah ini disebut di antara Pekanbaru di Siak dan Taratak Buluh di Kampar. 180

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

124

Orang-Talang Mandau. 184 Ketiga Kelompok utama dari Orang-Talang terletak di tepi kiri sungai Siak, sepanjang hilir Mandau. Secara umum dapat dikatakan bahwa di kesultanan Siak, di “wilayah asli Siak”(Eigenlijk Siak), matriarkhal ditemukan dari batas lanskap Tapung hingga Kuwala-Mandau, dekat Rayat-Raja, dengan demikian, sementara yang lebih ke hilir di KualaMandau: dekat dengan Hamba-Raja, dan ini berarti sudah terjawab. Wilken berasumsi bahwa bukan tidak mungkin institusi matriarkhat tersebut sebelumnya berlaku di sini, dan pengaruh Johor dalam otoritas Siak telah membuatnya menghilang. Bahwa mereka di pedalaman-Kuala Mandau, hingga akhir abad ke-19 masih tetap dalam posisinya itu, dan terdapat juga argumentasi untuk menjelaskan bahwa pengaruh langsung dari Johor seperti telah disebutkan, tidak lebih dari tempat yang namanya tertera; Pasir Sala. Sementara itu juga pada koloni Minangkabau: Anak IV Suku, matriarkhal pun tidak ditemukan. Mengapa demikian adanya? Wilken mengemukakan, dalam pemukiman mereka di Minangkabau telah ditinggalkan.

Siak,

kebiasaan

lama

orang

Ini mungkin juga terjadi karena di bawah pengaruh Johor dan penyebabnya dapat juga dijelaskan dengan cara lain. Bisa saja melalui migrasi, di mana mereka terjadi pada skala kecil, ternyata memiliki dampak patriarki. Secara jelas kita dapat melihat ini dalam kasus Indian di Amerika Utara. “At the British Association at Montreal”, aldus deelt Tylor mede, “the Hon. J. W. Powell mentioned from his own observation of American tribes a visible cause of the change from female to male kinship —the necessity of tribes spreading over the country for hunting. The husband thus removing his wife from the neighbourhood of her uncles and brothers in the matriarchal settlement, naturally gets her and their children into his own power, and a kind of patriarchalism with male kinship sets in.” 185

184

Pulau-Lawan ke cabang kiri Kampar, terdapat kelompok lain dari Orang Talang, sebagai Orang Talang-Pandan, para Orang Talang-Kutip, yang menurut Van Rijn van Alkemade, semua dapat dipahami sebagai diantara Orang Talang-Gasip - Kepala Orang Talang-Dayun membawa gelar patih, sedangkan Orang Talang-Mandau itu bergelar panghulu, sementara itu Orang TalangGasip disebut batin negeri Gasip. Kebetulan sekali, Orang Talang-Dayun dan Orang-Gasip adalah bintara kanan, dan Orang Talang-Mandau adalah bintara kiri; 185 Wilken, 1888; hal.34. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

125

Jadi serupa untuk dicatat, bahwa pada kenyataannya, organisasi masyarakat matriarkhal di Siak adalah Rayat Raja, dan pada saat itu bersamaan pula berada ditepian sungai utama, seperti yang terdapat dikalangan OrangTalang. Dari Kontrolir Rijn van Alkemade, kita dapat memperoleh lebih spesifik lagi informasi tentang Orang Talang Dayun. Mereka dibagi menjadi tujuh suku. Perkawinan selalu dibuat dengan persetujuan dari kedua belah pihak, yang disebut sebagai: “Suka dengan suka”. Wanita itu tetap berada di sukunya sendiri, dimana anak-anak menjadi miliknya, dan pria pun dibatasi. Setelah kematian ayah atau ibu, anak-anak selanjutnya menjadi bagian dari ibu; Orang-Talang menerimanya dengan mengatakan, “AYAM JANTAN TIDAK BERTELUR,” pernyataan ini juga memiliki makna masyarakat suku didirikan dengan berbasis pada matriarkhat. Bersaman juga, persoalan warisan ditemui mutlak dijalankan dalam kepatuhan penuh. Pada perihal kematian, tibalah persoalan Harta-pusaka keluarga, ketika istri dan anak-anak juga sudah tidak ada, yang mewarisi adalah keluarga perempuan dan begitu pula Harta-pusaka, dimana suaminya tidak berhak. Akan tetapi mengenai Harta-pencarian atau properti oleh suami dan istri dalam perkawinan yang diperoleh oleh kerja upaya bersama, disini nampaknya dapat dipertahankan bagi perolehan pihak lakilaki. Pada kematian pihak perempuan, harta dibagi sama rata antara pria dan anak-anak, adapun pada kematian pihak laki-laki, harta setengahnya kepada sanak saudaranya, yang lain untuk istri dan anak-anaknya. Untuk pria dengan hutang, bagaimana pula setelah kematiannya? Hutang ini harus dibayarkan oleh keluarga dan anak-anaknya sendiri. Apa yang dikatakan oleh Orang Talang-Dayun, juga berlaku, setidaknya, pada Orang-Talang yang lain. Sebaliknya Kita melihat, kemudian, betapa sulitnya mereka dalam mempertahankan matriarkhal. Seperti telah disebutkan oleh Rijn van Alkemade, setidaknya pada Orang-Talang Dayun, kekerabatan ini disertai sistem eksogami. Ini berkemungkinan terjadi dengan Orang Talang Gasip. Juga ditemui pada pemantauan kehormatan dalam aturan organisasi masyarakat yang matriarkhal; para kepala diangkat oleh sultan, akan tetapi, sebelumnya ditunjuk oleh rekan-suku dari pemegang jabatan pendahulunya, biasanya dari kemenakannya atau anak adiknya. Sebelum meninggalkan sungai Siak, kita telah memusatkan perhatian pada sebuah suku kecil, di sepanjang bagian atas dari Mandau di wilayah ini RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

126

terletak di utara negara, dan dikenal dengan nama Orang Sakai. Orang-Sakai ini adalah Orang Asli dan setidaknya berbicara dengan dialek Melayu. Mengenai Suku Sakai, Wilken mengatakan bahwa suku-suku di Sumatera ini diakhir abad ke-19 tengah berada pada tahap terendah peradaban. Hutan adalah tempat dimana mereka tinggal, dan mereka sebagian besarnya menjalani kehidupan nomaden. Mereka jarang atau tidak pernah muncul, sehingga mereka dengan beberapa pengecualian, tetap benar-benar bebas dari semua pengaruh asing. Sebagian, mereka berada di bawah otoritas Siak, di mana mereka dianggap berada di kalangan Rayat-Raja, sebagiannya lebih jauh lagi ke utara di aliran sungai Rokan, dimana terletak kerajaan Kota-Intan. Dari Orang-Sakai saat itu kita menemukan bahwa mereka ditemui setidaknya berciri matriarkhal dan dibagi ke dalam suku. Dalam aturan perkawinan, kita dapat mengetahui bahwa anak-anak mengikuti suku ibu. Pembagian warisan juga mengikuti aturan matriarkhal. Suksesi di tempat terhormat berada di garis perempuan: kematian seorang kepala suku digantikan oleh kemenakan tertua; anak-anak saudara perempuan tertua. Bahwa terdapat sistem eksogami pada Orang Sakai, secara eksplisit dinyatakan “anak-anak akan mengikuti suku ibu,” hal yang juga menunjukkan bahwa ayah masih memiliki suku lainnya. Awalnya, Orang-Sakai berada dibawah Batin dimana di Siak dibagi menjadi lima (Batin Lima), sementara di Kota Intan dibagi atas delapan suku (Batin Selapan). Di sebelah utara tepatnya di Jalur beban pantai timur, yang seluruh aliran sungainya ditempati oleh orang Melayu, yakni; Rokan, yang terbentuk dari penyatuan dua cabang, Rokan-Kanan dan Rokan Kiri. Sepanjang Rokan Kanan terletak lanskap Tambusai, Ramba, Kepenuan dan Rantau-Binuwang; sepanjang Rokan Kiri, dimulai dengan bagian atas mencapai tempat Sungai mengalir masih di bawah nama Sumpur di arah barat laut, dengan Lubuk Sikaping - Rau, dan, timur yang terakhir, Mapat-Tunggul, pada tahun 1882 nampaknya telah dimasukkan di bawah pemerintahan Hindia. Sementara itu lebih jauh ke hilir, setelah Sumpur ke arah timur digunakan dan diadopsi nama Rokan Kiri, federasi Rokan atau IV Kota dan Kunto, terdiri dari negerinegeri di Kota Intan dan Kota Lama. Populasi Tambusai, terdiri dari-orang orang Melayu yang beragama Islam, dan dibagi menjadi 10 suku sebagai berikut; Beno, Ampu, Pungkut, Kandang Kopo, Jagung , Mandeling , Kutie, Sebrang dan Melayu, yang sukunya juga dikenal dengan nama “suku seribu”, sementara itu selanjutnya anggota keluarga raja, disebut orang dalem sebagai RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

127

bagian terpisah, atau juga “seratus suku”. Selain suku dalam, yang seperti kita lihat di atas, di bawah Sutan Mahmud, suku memiliki kepala mereka sendiri, Kapala Suku dimana Raja menunjuknya dan berlangsung turun-temurun dikalangan suku mereka sendiri, diikuti anak-anak saudara perempuan (Kemenakan). Setiap suku dibagi menjadi lnduk, yang jumlahnya berbeda dan di Kepala Induk, dinamakan pucuk.186 Dipedalaman federasi Rokan Kiri dan Kanan terdapat wilayah koloni Siak; Tanah-Putih, Kubu dan Bangko, dua lanskap terakhir terletak di sepanjang muara, disebelah kiri dan sebelah kanan sungai. Menjelang tutup abad ke-19, hanya Mapat-Tunggul, Rantau-Binuang, Kubu dan Bangko, informasi yang dimiliki atau data yang lebih rinci tentang keluarga dan hukum waris; masih sangat kurang. Akan tetapi, dari lanskap lainnya diharapkan dapat diperoleh semua data yang belum lengkap tersebut. Di Mapat Tunggul, meskipun persoalan matriakhat dilengkapi dengan beberapa deviasi, masih ditemukan hal-hal yang terkait dengan eksogami. Pernikahan dalam suku dilarang dan dikenakan sanksi.187 Meski jarang terjadi, dalam kasus perceraian; anak-anak mengikuti suku ibu. Namun dalam suksesi, kita menemukan perubahan dalam adat-kamanakan. Setelah kematian suami, pihak saudara-saudara perempuannya mewarisi, yaitu semua kemenakan, terkecuali anak dari pernikahan, dalam hal ini setengah dari kekuasaan beralih ke jandanya. Dengan demikian, tampaknya di sini anak-anaknya sendiri, jika tidak secara langsung, akan tetapi melalui perantara sang ibu, berkemungkinan mewarisinya dari ayah mereka. Untuk suksesi martabat, nampaknya masih memiliki tempat, dan menurut Wilken telah terbukti, bagaimana Islam telah menambahkan pengaruhnya kedalam adat asli ini. Selain itu, kita melihat bagaimana sebagai konsekuensi dari lembaga matriarkhal, dengan kasus pembunuhan, pada yang terbunuh itu uang dibayarkan kepada kemenakan.188 Di Rantau-Binuang, matriarkhal agak 186

Dalam “Tijdschrift voor Neerland's Indië,” jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.86-87; bandingkan dengan Rijn van Alkemade, “Beschrijving Eener Reis van Bengkalis Langs de Rokan Rivier Naar Rantau Benoewang,” door J. A. van Rijn van Alkemade. KITLV, Volume 32, Nomor 1 Tahun 1884, hal.41 187 Lihat Neumann, “Nota betreffende de onafbankolijke landschappen Mapat-Toenggoel en Moewara-Soengei-Lolo VI Kota,” Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Volk., dl. XXIX, hal. 62—63. 188 Namun, dapat dipahami bahwa hanya setengah dari uang itu, sementara setengah lainnya menuju ke hakim, bahwa penghakiman telah menyatakannya demikian (Neumann, O. o., hal. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

128

lengkap untuk terhubung dengan eksogami. Tidak ada yang bisa menikah di suku-nya sendiri; Pria datang ke kediaman orang tua dari istri, dan anakanak pun mengikuti suku ibunya. Suku hanya mencakup keturunan dalam garis perempuan. Dengan cara yang sama tentunya juga keluarga, sebagai bagian dari suku tersebut, terdiri dari: satu nenek moyang umum. Oleh karena itu pula kata induk = ibu (dan fisik atau ibu) untuk menunjukkan kepada keturunan; keluarga, di mana masing-masing dibagi atas suku.189 Yang bersangkutan dengan persoalan warisan, kita sebutkan bahwa Harta Pusaka, warisan, pada kematian pria akan jatuh pada anak-anak saudari, berselang itu, kamanakan; Halnya harta-pencarian (benda properti yang berarti bahwa sang suami selama pernikahan pada umumnya bekerja dan dengan demikian telah memperoleh kepemilikan) milik orang itu hingga kematian istrinya, anak-anak (yang tentu saja untuk berbagi menurut ibu mereka); meninggalnya seorang manusia, maka anak-anak mewarisi segala sesuatu (yaitu, semua yang dimiliki individu almarhum), setidaknya ketika anak-anak mereka, yaitu anak perempuan, maka warisan anak-anak jatuh bersama dengan saudara dari laki-laki itu. Jika tidak ada anak-anak, Harta pencarian jatuh kepada keluarga laki-laki dan perempuan. Jika almarhum memiliki hutang, mulai dari awal, maka pada keluarga laki-laki, anak-anak saudari, juga terhadap anak-anak mereka sendiri. Kita melihat dengan jelas bagaimana pada akhir abad ke-19 di RantauBinuwang aturan matriarkal yang utama masih berlaku. Meskipun demikian, sebagaimana telah dikomunikasikan, bahwa anak-anak disini dengan Hartapencarian, aset individu, mereka mungkin mewarisi dari ayah mereka, di tempat pertama adalah anak-anak, dalam ketiadaan putra dan putri, maka anak-anak saudara perempuan juga memperoleh bagian. Putra dan putri di sini dari anak-anak saudara perempuan, begitu dekatnya. Juga kehormatan terjadi di garis perempuan, pertama jatuh pada kemenakannya. Tidak hanya pemimpin yang sebenarnya, kepala suku, harus diikuti dengan cara ini tetapi 59). Di Dataran tinggi Padang, seperti sudah diketahui, untuk “darah” 2/3, untuk hakim sepertiga (Lihat, onze verhandeling: “Het strafrecht bij de volken van het Maleische ras,” hal. 23).. 189 Kata induk sebagai nama bagi keluarga, bagian suku, juga dapat ditemukan dalam lanskap Tapung, namun, itu tidaklah muncul, atau menjadi gejala yang umum. Dari induk, kemudian satu kata perindukan, bahwa semua itu adalah menunjukkan garis ibu, seperti yang ditemukan dalam kamus Wall-Von Van der Tuuk sebagai nama bagi keluarga. Dimana pada kasus tertentu digunakan, namun hal itu tidaklah selalu muncul. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

129

juga semakin tinggi pejabat negara, kerajaan besar. Bahkan dalam penunjukan bandahara, kepala kerajaan besar, orang yang mewakil pangeran, “adat kamanakan” pun membayangi. Selain itu, menurut Rijn Van Alkemade, Bendahara berasal dari suku Melayu atau suku Ampu, dengan ketentuan bahwa tidak pernah dua kali berturut-turut ditunjuk bandahara berasal dari suku yang sama. Jika suatu waktu Bandahara, diangkat dari suku Malayu, maka periode berikutnya ketika Bandahara diangkat dari Suku Ampu, keponakan Bandahara sebelumnya yang bersuku Melayu sebagai tongkat atau penolong bandahara, begitu pula sebaliknya. Keponakannya akan menerima gelar Pakumu Raja dan tongkat dari suku Malayu adalah Sri Paduka Maharaja, gelar yang terakhir hingga penerusnya dalam posisi bandahara. Oleh karena itu bandahara dari suku Malayu, maka Sri Paduka Maharaja dari suku ampu. Mengenai Tanah-Putih, Bangko dan Kubu; sebelum kita menuju pada informasi tentang distribusi matriarkhat yang ketersediaan informasinya tidak begitu luas, berikut ini adalah gambaran mengenai masyarakat di hilir Rokan sebagaimana dicatat oleh Hijman van Anrooij; bahwa penduduk Tanah Putih terbagi menjadi suku sebagai berikut: 1)Melayu Besar; 2)Melayu Tengah; 3)Mesah, dan 4)Batu Hampar. Masing-masing suku memiliki Datuk sampai kepala, dan lagi di bagian-bagian yang lebih tua, induk yang terbagi dan dipimpin oleh seorang tokoh; Tongkat. Hanya tiga suku memiliki utan tanah; adapun suku Batu Hampar tidak; berkemungkinan suku ini awalnya terdiri dari imigran. Akibatnya, mereka tidak memiliki pancong alas, atau hasil tanah; sebaliknya, mereka harus membayar kepada suku lainnya, jika mereka memungut hasil hutan atau ladang. Utan tanah tidak termasuk dalam tiga suku secara keseluruhan, tetapi masing-masing anggota memiliki bagiannya (satu atau lebih perantauan) dalam warisan. Pemilik dari perantauan berhak atas pancong alas dan hasil tanah disana, karena disediakan, dan bagaimanapun, bahwa terdapat tongkat yang bebas dari pajak; Bebas, di perantauan, itu adalah anak induk dan Datuk di sukunya. Kedua, sebagai adat, orang-orang dari Bangko dibebaskan dari bea atas rotan yang berasal dari Tanah Putih, dan sebaliknya, bahwa di Tanah Putih dibebaskan bea atas atap yang berasal dari Bangko. Suku Melayu Besar terbagi menjadi 4 induk dan 3 Tongkat; Melayu Tengah atas 2 induk dan 1 Tongkat; Mesah di 2 induk dan 1 Tongkat; Batu Hampar dalam 3 Induk dan 2 Tongkat; Dimana Datuk sendiri adalah merupakan Kepala induk. Sebelumnya, Tongkat bukan merupakan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

130

instrumen pengangkatan, tetapi di tahun 1878, oleh Mangkoeboemi diberikan terhadap mereka ketika mereka datang untuk merayakan pesta di Siak(?) Martabat Datuk atau tongkat turun dari ayah ke anaknya, tetapi hanya jika ia adalah putra dari seorang Toekoe atau induk. Bahwa dalam tradisi, lazim didapati anak begitu patuhnya, dan martabat pun mengikuti garis kemenakan. Begitu juga hukum warisan sebagian besar untuk anak-anak, akan tetapi sebagian tetap untuk kemenakan. Adapun populasi Bangko seluruhnya terdiri dari suku yang berasal dari Aceh; (Tujuh Indu’, Rebia, Pandita Mera, Mera Jamman, Aru dan Rambah). Bahkan Hijman van Anrooij mengatakan dapat terihat dari pengamatannya atas orang Bangko yang menunjukkan kondisi setipe dengan orang Aceh. Pemimpin Bangko adalah Datuk, yang dalam pemerintahannya terdiri dari 6 tongkat. Sementara itu masyarakat Kubu awalnya terdiri dari tiga suku sebagai berikut: 1) Suku Hamba Raja, yang berasal dari Johor; 2) Suku Rawa, yang berasal dari Rau; dan 3) Suku Haruh; yang berasal dari Haru(Haru adalah sebuah kerajaan besar yang telah lama menghilang dan ditemukan di sebelah barat Langkat di Teluk Besilan dan sungai Sarang Jaya). Kepala masing-masing tiga suku ini adalah seorang Datuk. Datuk dari suku Hamba Raja dan suku Rawa masingmasing memiliki tongkat di antara mereka sendiri; Sedangkan Haru tidak. Selain dari tiga suku yang telah disebutkan, terdapat suku keempat, yang dinamakan dengan Suku Bebas. Sebahagian Suku ini terdiri dari orang-orang asal Siak, dan sebagian lain anggotanya dari tiga suku lainnya, yang keluar dari suku mereka sendiri, karena perselisihan atau karena alasan lain. Mereka tidak memiliki Datuk, akan tetapi disertai dengan empat panghulu, kepala, yang masing-masing memiliki bawahan mereka sendiri. Orang bebas dianggap berada langsung dibawah Sultan Siak; ketika mereka datang ke Siak, mereka sebagai bagian dari Hamba Raja Dalam. Adapun utan tanah di Kubu milik dari tiga suku; dimana setiap suku atau induk memiliki bagiannya sendiri. Pendapatan yang dimiliki Datuk dari Kubu; pancong alas dari dalam hutan, dimana mereka mengumpulkan hasil hutan, di samping bagian mereka atas denda yang dikenakan. Hijman van Anrooij mencatat bahwa Tongkat, memperoleh hasil dari denda yang dikenakan. Tongkat dapat memberikan hukuman sejumlah $20 sampai dengan $ 1,0, dan Karapatan program bersama-sama dengan Datuk, juga panghulu bebas yang turun (tapi bersamasama mewakili satu suara) senilai $60. Untuk hal-hal yang lebih besar akan ditetapkan di Karapatan Siak. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

131

Apriori pun berkembang, diduga bahwa di sini lebih khusus lagi dalam dua lanskap terakhir, matriarkhal dalam bentuk murninya berkurang. Pada sepanjang hilir aliran sungai Rokan yang dominan dibawah supremasi Johor dan di bawah pengaruh Johor tersebut, maka kondisi asli di sini, dipastikan akan banyak yang telah hilang. Pada masa sebelumnya, tidak diragukan bahwa kelembagaan matriarkhal sepenuhnya efektif diterapkan pada pada tiga lanskap, seperti di Lanskap Tanah-Putih ditemukan juga seperti yang terjadi di Rantau-Binuwang, kata untuk induk = ibu; untuk menunjukkan keluarga atau komponen dari suku. Bahkan saat itu, juga menentukan regangan perhambaan pada pernikahan di luar suku tersebut. Hal ini tidak dilarang dalam suku untuk menikah. Namun, seseorang menikah dengan orang diluar sukunya sendiri, kemudian diikuti anak-anaknya; di Kubu dan Bangko serta di Tanah Putih yang bersuku ibu. Tentang warisan ditemukan hanya di Tanah-Putih bahwa tanah kebun sebagian besar untuk anak-anak mereka sendiri, disini kemenakan juga memperoleh bagian meskipun hanya sedikit. Bahkan suksesi martabat pun sudah menyimpang dari kebiasaan lama. Tanah-Putih dan Bangko itu adalah contoh keberhasilan peralihan terhadap anak, tetapi sebagai hubungan harus dipenuhi oleh orang-orang dari suku hanya jika ia memiliki suku yang sama seperti suku ayah. Jika hal ini tidak terjadi, ayah menikah dengan suku lain, maka martabat jatuh pada anakanak saudara perempuan. Di Kubu, pembatasan ini bahkan tidak akan diperhitungkan, anak mengambil tempat ayah, meskipun ia bukan milik sukunya. Seperti telah dicatat, Wilken juga melihat hilangnya sistem itu di lanskap lainnya; Rokan IV Kunto dan Kota Lama (Kota Intan dan Kota Lama), di sepanjang Rokan Kiri, dan Tambusai, Rambah dan Kapenuhan, sepanjang Rokan Kanan, semuanya. Namun, tentu saja tidak cocok untuk menganggap bahwa di sini juga sama sebagaimana di Rantau Binuang. Hal ini disebabkan apakah informasi yang dimiliki Tambusei, dapat dikatakan telah memadai. Rantau Binuang itu adalah permukiman sangat awal dari Tambusai, sepenuhnya komponen dari keduanya muncul. Dengan pemeriksaaan yang seksama atas lanskap, karena itu haruslah sama, dan adat disatu lanskap akan merupakan refleksi dari yang lainnya. Perhatian kita berikutnya di arah selatan Kampar dimana mengalir sungai Indragiri, Jambi dan Musi. Di hulu aliran sungai Indragiri, Wilken menemukan dasar klasik matriarkhal di Sumatera. Terletak diatas aliran sungai, yang bernama Sinamu - sungai Ombilin, lanskap Lima Puluh Kota dan Tanah Datar. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

132

Di distrik Lubuk Jambi atau Rantau Kuantan, dicatat Wilken bahwa para warganya mengatakan bahwa hal ini terkait erat dengan orang-orang yang berasal dari dataran tinggi Padang, matriarkal yang sepenuhnya hadir bersama kedatangan mereka. Di sebelah timur Lubuk Jambi adalah kerajaan Indragiri, yang berasal dari lanskap Tiga Lurung sebagai gabungan dari tiga desa di Indragiri. Sekali lagi, matriarkal sebelumnya, dengan pengecualian ini, bagaimanapun juga, bahwa anak-anak mereka sendiri dan anak-anak kakak perempuan memiliki hak warisan yang sama. Tentu timbul pertanyaan, hingga akhir abad ke-19, sampai sejauhmana tersisa pengaturan matriarkhat yang masih dapat ditemukan di kerajaan Indragiri yang terletak di hilir aliran sungai itu, akan tetapi nampaknya jawabannya: tidak ada. Hanya pesan dari sejarahwan Cina di era Dinasti Ming (1368-1643), kita dapat melihat bahwa ini adalah kasus yang seharusnya. Menurut laporan itu untuk aturan Tong-ki-gi ( Indragiri), bahwa pernikahan suami dan istri mengikuti keluarganya dimana anak-anak milik dari ibunya. Seperti diketahui, diarah Selatan dari Indragiri mengalir sungai di Jambi yang dikenal dengan nama Batang-Hari. Arah tenggara menuju sungai pertama mengalir melalui bagian selatan Dataran tinggi Padang dan kemudian, di timur sendiri memiliki wilayah yang disebut distrik Batang Hari, juga di Rantau Baruh yang terdiri dari beberapa desa. Distrik Batang Hari atau Rantau Baruh, kita menemukan keberadaan matrilineal dimana gelar dan martabat berada pada saudara-saudara perempuan. Dalam hubungannya dengan negara, putra sulung saudari tertua sebagai penerus yang sah. Namun, dalam hal harta warisan, disini menyimpang begitu jauhnya dari adat kamanakan, dimana Harta-pencarian, diekstraksi dengan baik, bahwa individu dimiliki oleh orang yang telah memiliki anak-anaknya sendiri. Aturan yang sama berlaku dalam lanskap Kerinci. Anak-anak saudari, “kemenakan” sebagaimana mereka disebutkan, disini tidak mewarisi di tempat pertama, jikapun terjadi hanya disebabkan tidak adanya anak-anaknya sendiri " Kita dapat pula melihatnya ke lembah di hulu sungai Musi. Dalam masyarakat Melayu di semua negara yang terletak di aliran sungai ini, tampaknya matriarkhal telah seluruhnya bermetamorfosis dengan patriarkhi sebagai jalan keluarnya. Hanya satu lanskap, yaitu “Semendo” yang terletak di sebelah selatan Pasemah, dan ini berbeda. Warisan di sini seluruhnya matriarkhal RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

133

dalam arti bahwa kematian menjadikan ibu sebagai pewaris tunggal; putri tertua untuk properti barang, rumah dan sawah, yang dalam cara ini selalu tinggal di garis perempuan, sementara hanya barang bergerak saja yang didistribusikan di antara anak-anak lain. Konsisten dengan ini, karena itulah sebagai anak: untuk putri tertua yang menikah, maka suaminya akan tinggal dengannya. Hanya ketika perkawinan seorang anak perempuan yang lebih muda kadang-kadang terjadi bahwa perempuan mengikuti laki-laki, terutama ketika mereka sudah memiliki rumah atau cenderung untuk membangunnya sendiri. Selain itu, bagaimana anak-anak di sini dianggap lebih kepada milik ibu daripada milik ayahnya yang ditunjukkan dalam kasus perceraian, lihat juga bagaimana pula dengan pengecualian di negara-negara pesisir di cekungan Jambi, Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan, bahwa matriarkhal masih dalam bentuknya yang dominan dalam hubungan tersebut. Secara ekslusif anak milik ibunya, sedangkan ayahnya tidaklah berhak, tidak hanya seperti yang berlaku di Dataran tinggi Padang. Akan tetapi, di sana-sini, setidaknya, masih sepenuhnya di bawah proporsi wanita dalam produksi lebih besar daripada pria, sehingga kharakteristik Orang Talang di daerah aliran sungai Siak sebagaimana telah dinyatakan dalam kata-kata, “Ayam jantan tidak bertelur.” Yang paling menonjol, tentu saja adalah matriarkhal yang disertai dengan eksogami, sebuah hal lumrah dari era nenek moyang, dimana mereka hanya berada di garis perempuan dari leluhurnya yang dapat berperan sebagai pusat suku, dan dengan demikian juga sebagai bentuk dari keluarga. Akan tetapi, pesan pada titik ini tidaklah berlaku sepenuhnya. Dengan kepastian yang lebih besar atau lebih kecil hanya bisa dikatakan ditemukannya eksogami di Glugur VI Koto, XII Koto Kampar dan Pangkalan Kota Baru(Kampar Kanan), meskipun lanskap yang terakhir di beberapa desa kadang-kadang aturan itu dibebaskan, Orang Talang-Dayun, Orang Talang Gasip dan Orang Sakai (Siak), di Mapat Tunggul dan Rantau Binuang (Rokan), sedangkan Orang Talang Mandau (Siak) dan penduduk Tanah Putih, Kubu dan Bangko (Rokan) secara eksplisit menyatakan, persoalan pernikahan antara anggota suku yang sama telah dilakukan dengan resmi. Sementara itu dari lanskap lainnya, nampaknya pembagian tatanan ini telah menghilang. Bahwa yang masih sepenuhnya sejalan dengan matriarkhal adalah pada sistem suksesinya. Penyimpangan dari adat-kamanakan juga ditemukan; penentuan bahwa anak milik suami, akan tetapi tidak untuk pemeliharaan anak-anak. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

134

Sama diketahui, bahwa hanya di Dataran tinggi Padang-lah hukum-adat yang secara ketat dipertahankan. Setelah kematian sang ayah, dimungkinkan untuk perkara yang jelas, Harta-Pencarian sebagai kepemilikan pribadi, yang memenuhi syarat. Tetapi juga tentang manusia yang dalam hal ini ia berada di bawah kendali masa depan ahli waris, yang sudah berada dalam kehidupan hak-hak pewaris atas lahan yang berkemungkinan ditegaskan. Namun secara bertahap menjadi aturan di banyak daerah, bahwa setidaknya setengah dari Harta-pencarian dengan sumbangan untuk anak-anak mereka sendiri dapat diambil manfaatnya.190 Di luar dataran tinggi Padang, bahwa terdapat juga hal ini masih berlanjut. Di Tiga Lurung (Indragiri) anak sendiri telah berada dalam persamaan hak dengan anak-anak saudari atas suksesi, jadi, setelah kematian, setengah harta ayahnya berada pada mereka. Aturan yang sama juga berlaku di Pangkalan Kota Baru (Kampar Kanan) dan Mapat Tunggul (Rokan). Di Tanah Putih (Rokan) keberadaan warisan tidak hanya dibagi antara pribadi anak-anak dan anak-anak saudara perempuan, sementara di Rantau Baruh dan Kerinci (Jambi), langkah terakhir telah dilakukan ke arah itu, anak dari saudara perempuan hanya jika memenuhi syarat dalam kondisi ketiadaan anak sendiri, sehingga mereka dapat mewarisinya. Sangat sedikit aturan di Rantau Binuang (Rokan). Sekali lagi, pada hartapencarian, semua kepemilikan individual jatuh pada anak sendiri, dan di tempat yang pertama, tentu saja anak-anak yang mewarisi dan hanya ketika mereka tidak memiliki anak-anak perempuan, dalam hal ini anak-anak dari saudara perempuan juga menerima sesuatu. Putra-putri begitu dekat dengan 190

Ini juga tidak harus selalu terjadi dan tersedia bagi laki-laki; wasiat Harta pencarian, meskipun ini merupakan salah satu sumbangannya yang lebih disukai, karena dengan cara ini menjamin kelangsungan yang tepat dari keinginan laki-laki bahkan setelah kematiannya. Selain itu, sumbangan apapun dalam soalan harta bergerak, dengan persetujuan dari mereka, yang berhak atas warisan, dan juga kepala keluarga. Keluar dari kondisi ini, maka dapat dipastikan bahwa kematian pada versi sedikit remeh adalah penuntutannya kembali. Terutama di Padangsche Bovenlanden adalah “karunia,” dan sering membuka jalan mereka ke sebuah sumber dengan gagasan-gagasan sosial tentang skema yang sesuai dan menunjukkan warisan (Lihat esai: “Over de verwantschap en het huwelijks- en erfrecht bij de volken van het Maleische ras,” hal. 29, dan lebih jauh: Van Hasselt, “Volksbeschrijving van Midden-Sumatra,” blz. 247-248 ; Verkerk Pistoiïus, “Studiën over de inlandsche huishouding in de Padangsche-Bovenlanden,” hal. 45—46; Van der Toorn, “Aanteekeningen uit het familieleven bij den Maleier in de Padangsche Bovenlanden,” Tijdschr. v. Ind. T. L. en Vk., dl. XXVI, hal. 515 dan 526; Kroesen, “Het grondbezit ter Sumatra's Westkust,” Tijdschr. v. Ned. lndië, jaarp. 1874, dl. II, hal. 20; “Résumés van het onderzoek naar het grondbezit op Sumatra,” hal. 19 dan 21). RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

135

‘perkebunan. Alasan untuk hak istimewa ini, ternyata tidaklah disebutkan, akan tetapi kondisi ini diasumsikan memang begitulah adanya. Pada Hartapencarian maka dengan berbasis pada kemampuan individu yang biasanya diperoleh melalui pengupayaan, adapun untuk Harta-Pusaka sebagai warisan yang dimiliki secara komunal. Seperti di Dataran tinggi Padang, dan untuk alasan yang sama di sana,191 mungkin juga di Rantau Binuang tentang pusaka ini, maka anggota keluarga perempuan dari keluarga telah dianggap “lebih” dari laki-laki, namun garis ibu telah gagal sehingga pusaka menjadi milik anak-anak secara bersama-sama, Jadi, lebih kepada perempuan daripada anak laki-laki. Saat itu mungkin saja, bahwa preferensi untuk putra-putri yang berturut-turut dalam harta ibu, sang ayah telah dipimpin dengan hal itu, hanya sebaliknya, yang terakhir dengan beralihnya manfaat, di mana warisan sejati adalah harta kekayaannya. Di daerah yang disebutkan, dimana adat kamanakan lebih dan kurang sudah menyimpang atau kurang berlaku, namun ditempat lainnya lembaga yang lama masih dipertahankan dalam kemurniannya. Jadi, hanya disebutkan Lanskap dimana kita memiliki pembagian tertentu seperti distrik Rantau Kuantan (Indragiri), di Glugur VI Koto dan XII Koto Kampar (Kampar-Kanan), Lanskap Tapung dan di daerah Orang Talang dan Orang sakai (Siak). Dimana garis matrilineal tidak hanya pada urusan material, tetapi juga gelar dan martabat yang hanya berada di garis perempuan. Oleh karena itu dalam kematian seorang kepala yang tidak memiliki putra, maka penerusnya akan jatuh pada putra sulung saudara perempuan tertua. Aturan ini berlaku untuk semua lanskap yang dipertimbangkan, bahkan dimana dalam suksesi properti, akan menjadi penting dalam menyimpangnya adatkemanakan,192 seperti di Rantau Baruh (Jambi), Pangkalan Baru Kota (Kampar Kanan), Mapat Tunggul dan Rantau Binuang (Rokan). Biasanya, bisa dipastikan bahwa, seperti di Mapat Tunggul bahkan aturan Islam tentang keturunan, yang collateral, berarti tidak lagi dari anak kakak. Penyimpangan 191

Lihat Verkerk Pistorius, “Studiën over de inlandche huishouding in de Padangsche Bovenlanden,” hal. 47 192 "Bahkan di negeri-negeri lain, kita melihat bagaimana suksesi martabat, juga pada suksesi politik, keturunan dalam garis perempuan-lah yang berpotensi, sementara tidak lagi terjadi di kalangan masyarakat-sipil biasa. Juga terjadi bahwa beberapa entitas dari Kepulauan di baratdaya, khususnya kelompok Loewang-Sermata dan Leti-Moa-Lakor, pengontrolan anak adik melalui aturan tentang pembagian dari wasiat, karena segera ditemukan, sedikit atau terkadang bahkan tidak terlihat: materilineal. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

136

dari model warisan ini, hanya ditemukan di Tanah Putih. Berikutnya adalah martabat kepala sudah untuk anak sendiri, setidaknya yang bersuku sama seperti ayahnya. Jika hal ini tidak terjadi disebabkan sang ayah menikah dengan salah satu suku yang lain, itu berlaku pada putra dari saudara perempuan.193 Dari pengaturan sebelumnya di berbagai daerah, selain hakhak ibu, “hukum-ayah” telah memulai pengembangannya, kekerabatan matriarkal di luar sana, sedang dalam keadaan transisi ke hubungan parental, realitas yang dicatat Wilken pada akhir abad ke-19. Di negara-negara pesisir tampak jelas pengaruh Johor, dan menurut Wilken transisi ini telah terbentuk sepenuhnya.194 Dari bagian bawah Daerah aliran sungai Siak, di Kuala Mandau telah ditemukan secara eksplisit yang menyatakan bahwa matrilineal tidak lagi terjadi, dan rupanya tidak ada yang tersisa di Bangko dan Kubu (Rokan) dari seluruh tubuh aturan itu, di pesta pernikahan di luar suku, anak-anak mengikuti sang ibu, 195 dan di bekas lanskap yang bersangkutan, juga ketentuan yang telah kita lihat di Tanah Putih, dalam suksesi martabat, putra saudara perempuan dilihat sebagai memenuhi syarat. Dari Pulau Lawan (Kampar) dan cekungan yang lebih ke hilir di Indragiri kita tidak memiliki pembagian yang pasti, akan tetapi, tentu saja tidak cocok, dalam pandangan bahwa pengaruh Melayu dari Johor dan kepulauan Riau Lingga kepada penduduk dari daerah-daerah dilakukan untuk menganggap bahwa di sini hubungan parental sudah sepenuhnya berada di tempat matriarkhal, meskipun sisa-sisa sisa kekerabatan lama masih ada dan merata, seperti tampak pada aturan di bekas kerajaan, bahwa anak-anak dari perceraian tetap dengan ibunya. Juga, negeri di daerah hilir Jambi, seperti asumsi dari Van Hasselt, juga Wilken, bagaimanapun,

193

Bahwa ketentuan pernikahan dalam suku harus jelas. Mungkin juga kita memiliki salah satu penyebabnya, yang juga telah mengkondisikan endogami di tempat lainnya. Di mana ada matrilineal, berkemungkinan, misalnya ayah, hanya pada sukunya sendiri, bahkan dalam keluarganya sendiri, dalam pernikahan, anak-anaknya tidak mengambil bagian dari kenikmatan warisan, yang dimiliki keluarga secara komunal. 194 Juga Setelah “self-Johor,” ketika mereka telah dimulai, di pantai timur Sumatra dan ngengat Melayu di sana telah berbaur, telah dialihkan sepenuhnya untuk hubungan parental. 195 Juga muncul di aliran sungai yang lebih rendah (hilir) dari Siak, pada pesta pernikahan di luar suku, anak-anak mengikuti ibu... RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

137

bahwa penduduk daerah ini, yang telah begitu banyak bercampur dengan unsur lain, dengan demikian matrilineal tentu tidak lagi dapat ditemukan. Jadi, kita melihat bagaimana negara-negara pesisir timur, berlangsung proses “de-matriarkhat” secara bertahap, jika tidak di Selatan, harusnya di aliran sungai Musi, dengan pengecualian bagi “lanskap Semendo:” dimana-mana, disini, tampaknya seluruh matrilineal menghilang, akan tetapi susunan keluarga, yang sebelumnya telah menggantikan mereka, bukan orang tua, tapi “ayah” yang bersifat patriarki dan agnatik; terutama di daerah-daerah di pedalaman adalah unsur kekerabatan ini, kecuali untuk penyimpangan di sana-sini yang pada akhir abad ke-19, sebagaimana telah dinyatakan sedang dimulai.196 Sëmëndoë, di tengah lingkungan matrilineal kuno meskipun tidak dalam bentuk aslinya, praktek ini tentunya sangat kharakteristik, dan mungkin merupakan hasil dari konservatisme, sebagian besar mereka pastinya memiliki watak ini.197 Hasil dari himpunan di bagian sebelumnya, dapat disimpulkan, bagaimanapun juga bahwa dalam banyak hal dan layak untuk konfirmasi lebih jauh dan dipertimbangkan, bahwa di Sumatra-Tengah, untuk pembentukan kekerabatan, dapat dibagi menjadi: 1) Dataran tinggi Padang dengan daerah tetangga di bagian hulu dan untuk sebagian besar juga dibahagian tengah Musi, Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan, di mana matrilineal yang dalam bentuk murni atau lebih atau kurang telah terjadi perubahan; 2) Daerah Aliran Sungai Musi, di mana berlaku patriarkhal, dan 3) Negara-negara di pesisir timur, di mana berlaku susunan kekerabatan parental. Lebih atau kurang adalah bahwa kita ingin mengatakan di sini, pembagian ini bersamaan dengan faktor linguistik. Di daerah matrilineal dengan bahasa Melayu-Minangkabau, sementara di tempat lainnya, Melayu dimana terdapat hubungan parental, disini berlaku bahasa Riau-Lingga Melayu Johor.198 196

Lihat juga : “Over de verwantachap en het huwelijke- en erfrecht bij de volken van het Maleieche ras”, hal. 55 .vv. dan 97 w. 197 Gramberg, “Schets der Kesam, Semendo, Makakauw on filalauw,” Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Vk., dl. XV, hal. 455—456. 198 Lihat: “Heeren Holle en Brandes vervaardigde taalkaart van Sumatra, behoorende bij het Koloniaal Verslag van 1887.” Akan tetapi, menurut Wilken, di daerah perbatasan siak, ternyata RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

138

Wilken berspekulasi bahwa ketiga sistem kekerabatan ini (matrilineal, patriarkhal dan parental) berkaitan dengan matrilineal; bahwa jika matrilineal diasumsikan sebagai yang tertua, pastinya menjadi sesuatu yang umumnya bagi Melayu ketika mereka meninggalkan benua Asia untuk menetap di Sumatera. Menurut kisah tentang matrilineal yang begitu berkharakter, adat kemenakan hanya menyebar dari Dataran tinggi dari apa yang telah dibawa oleh dua tokoh legendaris, Datuk Katumënggungan dan Përpatih Sabatang dimana telah diletakkannya seperangkat dasar hukum kemasyarakatan. Ketika kapal mereka terdampar di pantai disaat air surut, mereka pun berkata kepada anak-anaknya: “Naiklah kemari untuk membantu mendorong perahu kami yang terdampar.” Anak-anak mereka menolak untuk melakukannya, sebaliknya para keponakan mereka (anak-anak saudari) secara sukarela turun membantunya. Oleh karena itu, kemudian ditetapkan bahwa “kekuasaan” bukan berada dalam garis langsung kepada anak-anak atau cucu, tetapi kepada anak-anak saudarinya. Kita dapat saja menetapkan cerita yang luar biasa ini dan tentu saja tidak terdapat nilai faktual, dan mungkin saja dapat diasumsikan bahwa kemudian adat kamanakan menjadi diperkenalkan pada suatu waktu sebagai sesuatu yang baru. 199 Sebaliknya, fakta bahwa terdapatnya benang merah sebagai Orang Talang dan bahkan Orang sakai, yang peradabannya berada pada tahap yang sama dan sebagai yang berlaku umum pada orang Melayu dalam pemukiman mereka di Sumatera, awalnya matrilineal dipraktekkan secara penuh dan dalam bentuk yang paling murni, dan disebut terutama sebagai lembaga kuno dan orisinal.

faktor linguistik tidak sepenuhnya bertepatan dengan batas-batas sistem-kekerabatan (verwantschapsstelsels). 199 Wilken, 1888, hal.187

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

139

Gambar 3.1. Afdeeling Bengkalis dan penyebaran Orang Asli. Sumber: Tideman,1935.

Keterangan: 1. Borumban Minas; 2. Batin Belutu; 3. Batin Tingaran; 4. Batin Panasa; 5. Batin Beringin; 6. Batin Singa Meraja ; 7. Borumban (Sri Paoh) ; 8. Sutan Bertua; 9. Batin Majilelo; 10.Batin Mantilelo; 11.Batin Borumban; 12.Orang Kaya 13.Barumban Petani; 14.Batin Sinangar; 15.Batin Bertoa; 16.Batin Semunai. I = Mandau; II = Kutip; III = Gasip; IV = Dayun. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

140

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

141

4 Dinamika Darat – Pesisir Hubungan darat–pesisir, ditinjau dari model Bronson sebagaimana dijelaskan oleh J.Kathirithamby-Wells,200 berfokus pada pengaruh komunikasi via sungai di area perdagangan dan juga implikasi politiknya. Lebih khusus lagi, Bronson mengidentifikasi secara ideal fungsi dendritik di perluasan sistem sungai Sumatra timur, menuju Dataran tinggi. Hubungan darat (hulu) – pesisir (hilir) yang sama pentingnya di Semananjung Malaya dan Kalimantan, akan tetapi pada pertukaran komersial terutama di sungai-sungai Sumatera terlihat sebagai suatu pertumbuhan yang berkelanjutan. Perbedaannya di sini adalah kekayaan material dan sumber daya manusia dari pedalaman Sumatera dan eksploitasi efektif mereka melalui serangkaian sistem kompetisi sungai berdasarkan hubungan hulu-hilir. Didirikan berbasis kekayaan mineral dan kesuburan tanah vulkanik yang mendukung budidaya sawah, metalurgi dan kerajinan di wilayah Batak, wilayah danau Minangkabau dan Kerinci, dan di Pasemah di selatan dari pegunungan Barisan.201 Kehadiran node budaya di pedalaman dan ketergantungan mereka pada rute timur yang lebih panjang ke Selat, meskipun rute melalui pantai barat lebih pendek namun kuranglah bernilai komersial, membawa interaksi antara hulu dan hilir jauh lebih signifikan secara politik daripada hubungan yang sebanding dengan apa yang berlangsung di Semenanjung dan juga Kalimantan. Dalam kasus Kesultanan Melaka, selain koleksi timah alluvial dan hasil-hasil hutan, melalui pemukiman kecil di pantai Semenanjung, telah menarik secara masal sumber daya yang di ekspor dari pedalaman Sumatera. Perkembangan Semenanjung diluar pantai, mengikuti penetrasi migrasi dari

200.

J. Kathirithamby-Wells, 1993, hal.79-82 E. M. Loeb, Sumatra, Its History and People, Vienna, 1935, pp. 23-4, 100-1; J.Miksic, “Classical Archaeology in Sumatra”, Indonesia, 30 (1980) pp. 43-4; 46-8. 201.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

142

pedalaman Sumatera, setelah pertengahan abad ke-19, tampaknya akan menunjuk kepada kepadatan penduduk yang rendah sebagai faktor penting untuk relatifnya perlambatan ekspansi ekonomi di lembah sungai tersebut. Bahkan kemudian, hubungan kekuasaan dikembangkan pada politi-politi merdeka yang berada disepanjang sungai yang dikatakan sangat membebani guna mendukung raja yang berpusat di hilir. Persepsi negatif atas terminologi hulu dengan ekonomi dan budayanya, yang menekankan perkotaan, pesisir atau masyarakat hilir, bisa merugikan pemahaman menyeluruh atas budaya politik Malayu. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, W.O. Wolters menekankan pentingnya memberikan perhatian karena hubungan Sriwijaya dengan dataran tinggi dan juga budaya sungai, tanpa perhatian eksklusif untuk orientasi komersial eksternal Sriwijaya, Melaka dan Johor, meskipun umumnya dipandang sebagai tanpa substansi pedalaman, akan jauh sebaliknya. pada kenyataannya, di wilayah-wilayah yang dilintasi transportasi air di Sumatera timur, dijelaskan dengan tepat dalam catatan Belanda sebagai Binnenland atau pedalaman. Dalam model Bronson, Melaka dan Johor merupakan entrepot luar negeri. Sebagai pelabuhan utama, mereka adalah penerima barang, dan juga pemasok utama impor ke, negeri Sumatera timur. Wilayah ini secara efektif adalah tanah lungguh atau jajahan mereka, diberikan baik secara langsung oleh pangeran Melaka/Johor 'dan menteri ataupun tidak langsung melalui raja-raja lokal. Padahal, umumnya, otoritas langsung baik penguasa pesisir, atau dari kekuatan metropolitan, tidak melampaui teritori hilir, kelayakan ekonomi dari negeri tergantung pada perluasan pengaruh politik hulu, melalui sistem pertukaran komersial secara efektif menghubungkan hilir dengan hulu. Link tersebut bertujuan mengintegrasikan dalam sistem politiknya struktur pasar hirarkis resiprositas, redistribusi dan pertukaran. Pada model Bronson ini juga, maka, proses “transshipment” akan merujuk pada “pangkalan” sebagai basis perdagangan sungai menuju lautan. Di Pantai Timur, maka salah satunya kita akan menemukan lanskap Pangkalan Kota Bahru, yang pada tahun 1834 hanya terdiri dari lima puluh rumah saja; bermula di “pangkalan” maka orang dipedalaman berlaku sebagai penyedia bahan makanan pada rute menuju port sebagai tempat pertemuan. Kata port ini, biasanya dikombinasikan dengan kata “muara” yang menunjuk pada ujung sungai kecil pada sungai utama. Pada abad ke-17, kapal-kapal VOC maupun junk China tiba di Port ini. Meskipun demikian, sebagaimana RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

143

diketahui port ini tidak terletak di pantai, melainkan hingga sejauh 100 km ke pedalaman, seperti disepanjang sungai Rokan adalah Tanah Putih, di sungai Siak; Petapahan, Siak Sri Indrapura dan Senapelan, di Sungai Kampar adalah Pelalawan, dan di sungai Indragiri adalah Rengat. Keseluruhan port ini, terletak jauh dari rawa-rawa dan cenderung berada ditanah yang keras; selain itu, jarak yang jauh dari pantai merupakan keuntungan tersendiri bagi pertahanan dari serangan dari laut, dimana keberadaan posisinya memungkinkan pertahanan dari sepanjang tepian sungai. 202 Sebuah studi dari etimologi dari kata “hulu”, menyorot pada konsep hubungan hulu-hilir. Selain menyampaikan makna “hulu,” umumnya kata tersebut terkait dengan pedalaman atau hutan, mengacu pada genggaman atas sebilah keris, pisau, kapak, cangkul atau hal-hal yang mengimplementasikan makna tersebut. Hal ini mungkin lebih dari suatu kebetulan, bahwa hulu, menunjukkan atau mewakili pentingnya akan genggaman atau pegangan yang diperlukan bagi fungsi suatu negeri. Sumber utama pendapatan bagi negara awal di Sumatera tidak lain berasal dari hulu sungai; emas dari Minangkabau, sementara di Kerinci dan Pasemah dari berbagai hasil hutan di pedalaman dataran tinggi dan dataran rendah pesisir.203 Produk pedalaman, tidak selalu mencapai pusat di hilir sebagai sesuatu “hal yang biasa saja.” Akan tetapi, lebih sering sumber daya ini dimobilisasi melalui perluasan pengaruh politik dan spiritual. Seperti yang terlihat pada Sriwijaya melalui kutukan sebagaimana tertera pada prasasti kepada wilayah mandalanya yang terletak jauh, atau juga sumpah “bisa Kawi” dari Pagaruyung. Di Sriwijaya, prasasti ini mengutuk pelaku kejahatan dan memberi berkat (tantramala), menjanjikan keamanan, kemakmuran dan kebebasan spiritual, bagi mereka yang tetap setia kepada datu atau kepala wilayah (n). Luasnya pengaruh politik tidak ditandai oleh batas-batas tetap di ujung atas sistem lembah. Sebaliknya, terdapat penipisan secara bertahap kearah luar menuju hulu, kekuasaan yang efektif, dalam proporsi terbalik dengan jarak dan aksesibilitas dari ibukota hilir.

202.Collect

1925;279, Dobbin 1983;104, Muller 1837;31-3, Oki 1986;12, 36-39, Colombijn 2005:12. . Wang Gangwu, “The Nanhai Trade A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea”, JMBRAS, 31, ii (1958) pp. 103, 110-11; M. O.Woelders, Het Sultanaat Palembang, 1811-25, VKI, 72 (1971) pp. 95-127. 203

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

144

Ini berarti, bahwa tanpa berpegang pada hulu, dengan demikian merupakan bagian integral dari hilir, kepala hilir atau penguasa di pesisir akan kehilangan genggamannya atas negeri. Unsur paksaan juga dilibatkan untuk eksploitasi sumber daya dari hulu tampak jelas di lembaga kewajiban pelayanan oleh penguasa Negeri Melayu. Ini adalah sebanding dengan yang dikenakan hilir, akan tetapi secara fungsional kuranglah efektif. Ini berupa rodi atau kerah, secara khusus mendirikan bangunan dan memelihara pertahanan militer dan pengiriman produk melalui lembaga-lembaga serah dan larangan raja. Pengakuan universal di dunia Melayu dari penguasa tertinggi kontrol atas seluruh tanah memberinya, secara teknis, hak atas mineral dan hasil hutan dan berhak dia untuk proporsi hasil dari semua lahan budidaya diselenggarakan di hak pakai hasil. “Serahan” merupakan proporsi tetap dari berbagai kemampuan pasar untuk menghasilkan dan menyerahkan kepada kepala dan pemegang kuasa jajahan yang berfungsi sebagai wakil penguasa. Disisi lain, “Barang Larangan” atau “Larangan Raja,” adalah pengenaan monopoli kerajaan atas hasil-hasil hutan eksotis dan berharga. Hingga akhir abad ke-19, bahwa di Sumatra timur; berkenaan dengan domain utama hubungan darat – pesisir, tidak ada yang lebih strategis daripada yang berlangsung di Siak.204 Sebagaimana diketahui, faktor yang paling penting dalam mendukung Siak adalah lokasinya yang strategis; dekat dengan entrepot pertama di Semenanjung, Melaka dan Johor dan, kemudian, Penang dan Singapura. Meskipun rute langsung yang “lebih” ditawarkan oleh Sungai Inderagiri ke pedalaman Minangkabau, ketidakstabilan politik di daerah itu yang dibandingkan dengan konsolidasi otoritas independen di Siak pada abad ke18, telah membawa penekanan yang lebih besar untuk lebih digunakannya Siak dengan rute pesisir-pedalamannya. Mengikuti rute sungai ini, di hulu Siak yang dibentuk oleh sungai Tapung Kanan dan Kiri, yang dihubungkan dengan jalan setapak ke hulu Kampar dan menyediakan akses langsung ke dataran tinggi Minangkabau. Awalnya, Siak dan Kampar, diperintah oleh penguasa terpisah yang ditunjuk oleh kesultanan Melaka yang nampaknya

204

J. Kathirithamby-Wells, 1993, hal.88 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

145

kewenangannya itu tidaklah diperpanjang ke wilayah hulu. Pentingnya sungai Siak dan Kampar untuk menjadi “perantara” perdagangan antara jantung Minangkabau dan pasar Selat Melaka, ini berarti bahwa Pagaruyung memiliki pengaruh yang lebih besar di sini daripada di tempat lainnya di rantau timur. Tarikan kekuasaan raja di kedua ujung sistem sungai telah melemahkan kontrol pesisir, dan ini berakibat terhadap ketidakstabilan politik Siak dibawah Johor disepanjang abad ke-17, dan ini kita dapat memeriksanya sedikit mundur kebelakang, dari situasi perdagangan yang melibatkan relung pedalaman. Bahwa Portugis pasca penaklukan Melaka tahun 1511, mencoba mengupayakan suatu hubungan perdagangan dengan pangeran Minangkabau dari kerajaan pedalaman, salah satunya melalui penelusuran atas sungai Siak. Mereka pun mengutus beberapa pribumi menyusuri sungai hingga pedalaman, nampaknya para utusan berhasil menemui sang penguasa dan mereka pun kembali dengan beberapa pedagang dan juga; emas! Maka, perdagangan emas Minangkabau di Melaka pun hidup kembali seperti era sebelumnya. Diego de Cauto, menulis dalam tahun 1560 mengenai situasi dimana disebut hubungan perdagangan yang luar biasa antara Monancabo dan Malacca dan banyak kapal pulang-pergi setiap tahun bermuatan emas untuk membeli barang-barang kain dan lain-lainnya.205 Dengan status Minangkabau sebagai pensuplai utama produk emas, maka dapat diketahui pula kerangka perluasan “rantau” alam Minangkabau terutama disepanjang pantai timur yang menghadap ke Melaka. Diasumsikan, bahwa pada awal mulanya sebagai akibat ramainya perdagangan di pasar Melaka, mereka pergi dan melakukan aktifitas pertukaran dan menetap sementara. Seiring waktu, mereka pun menjadi pemukim tetap yang telah berlangsung semenjak abad ke-15, atau bahkan sebelumnya. 206 Kegairahan perdagangan ini bahkan terjadi jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dimana orang-orang Minangkabau membawa produk emasnya untuk dipertukarkan dengan produk kain dari Karomandel, terutama dengan orangorang Gujarat. Selain emas, Portugis juga mengadakan pembelian produk lain, terutama lada. Paprika liar yang digarap dari Sumatera dan Jawa telah dijual pada pasar internasional jauh sebelum kedatangan orang Eropa di abad ke205 206

Marsden, hal.334. Lihat Mochtar Naim, Merantau:Pola Migrasi Suku Minangkabau, 1984, hal.69 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

146

16. Salah satu jenis lada yaitu lada kemukus (cubeb pepper), pertama kali disebutkan sebagai ekspor dari wilayah Palembang-Jambi pada abad ke-18, yang selanjutnya menemukan pasar penjualannya di China dan di seluruh kepulauan baik untuk aroma makanan dan sebagai afrodisiak. Ketika orang Italia Varthema tiba di Sumatera Utara pada tahun 1505 ia mencatat bahwa lada lokal jenis lainnya; lada panjang, "berbeda dari yang biasa dijual di Eropa sedang dimuat ke kapal menuju Cina.207 Lada hitam (piper nigrum), bukan asli dari kepulauan Indonesia, melainkan berasal selatan India. Dengan demikian, tidak seperti varietas lainnya, lada tidak tumbuh secara alami tetapi dengan sengaja telah dibudidayakan. Kita hanya bisa menebak dan menduga tentang waktu pertama kalinya disadari potensi lada hitam dan mulai mengembangkannya, Berkemungkinan pembudidayaan di Sumatera terjadi di abad ke-15. Menurut Pires, produsen utama Sumatera adalah Minangkabau, dan pedagang dari daerah ini mungkin telah diperkenalkan dengan lada India ketika mereka bertemu dengan para pedagang India itu di Melaka. Akan tetapi disebabkan tanaman tersebut merupakan tanaman yang membutuhkan waktu yang panjang, maka diduga harus ada faktor lainnya yang membuat tanaman ini lebih menarik daripada tanaman tahunan lain, semisal; seperti kapas. Salah satu unsur penarik tersebut adalah bahwa piper nigrum tidak membutuhkan begitu banyak tanah yang subur karena suhu hangat dan lebih dari 2.500 milimeter hujan per tahunnya, dan ini cocok dengan iklim di pedalaman Sumatera. Lebih penting lagi, banyak penduduk pedalaman selama abad ke-16 didorong untuk beralih ke tumbuhan lada karena kesadaran bahwa piper nigrum lebih disukai kalangan pedagang asing dan bahwa mereka pun bersedia membayar harga yang baik untuk mendapatkannya, dan daerah pertama ekspansi pasar adalah China. Hingga era dinasti Sung (1127-1279), “jagara asing” atau lada hitam sangat jarang diimpor dari India dan terlalu mahal untuk dapat menjadikannya popular. Meskipun demikian, selama periode ini kelas elit birokrasi melakukan kegiatan yang secara tidak sadar telah ikut andil dalam mengembangkannya. Mereka mulai mempromosikan masakan dimana lada merupakan bumbu penting. Pada saat yang sama, terjadi ekspansi perdagangan yang berarti bahwa produk dalam jumlah yang lebih besar lagi 207

Commelin, Begin ende Voortgangh, I, p. 86; Jones and Badger, The Travels of Ludovico di Varthema, pp. 233-234. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

147

mulai merambah China dengan harga yang dapat dijangkau oleh kebanyakan orang. Pertumbuhan pasar ditandai dalam penggunaan lada hitam di China yang juga dapat dijelaskan dalam penggunakan therapeutic; piper ningrum, seperti paprika lainnya dihargai karena sifat obat dan untuk kemampuan peremajaan-nya atau kemampuan untuk membuat awet muda, memulihkan ketahanan seksual, dan memelihara rambut tetap hitam. Pada tingkat yang lebih pragmatis, lada hitam memperoleh pasar massal di China karena penggunaannya dalam persiapan makanan dan pengawetan daging untuk melalui musim dingin. lada di abad ke-15 bahkan dibayarkan kepada tentara sebagai bahagian dari gaji mereka, dan dua ratus tahun kemudian China mungkin telah mengimpor antara 10.000 - 12.000 pikul lada setiap tahunnya.208 Respon terhadap permintaan hampir tak pernah terpuaskan di Cina ini segera menjadi jelas di kepulauan Indonesia. Bahwa lada yang tumbuh di bagian paling utara Sumatera diperluas sehingga Aceh menjadi terkenal setelah Melaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, sedangkan pemukim yang berada jauh di selatannya; Minangkabau, secara bertahap mulai memperkenalkan kebun lada di daerah rantau seperti yang terjadi di hulu Kampar, Indragiri dan Batang Hari. Memasuki awal abad ke-17, Siak diperintah oleh saudara dari Sultan Johor yang nampaknya dengan otoritas yang “tidak diakui,” sehingga ditahun 1662 Johor menggantikan dengan bentuk resmi, memerintah wilayah-daerahnya melalui syahbandar,209 akan tetapi nampaknya tetap dapat menggunakan kewenangannya dalam hulu tersebut; kekuasaan yang diperpanjang hingga Tapung Kanan dan Kiri. Belanda merekam, bahwa dibawah Johor-lah perdagangan dengan wilayah pedalaman kali pertama meredup. Joan van Riebeeck, yang pada tahun 1665 saat mundur dari jabatannya sebagai gubernur Melaka, setidaknya menjelaskan dalam MVO nya, yang juga penuh dengan prasangka; bahwa, “tidak ada yang penting dari Siak; hanya beberapa orang Melaka saja yang kadang-kadang menyusuri sepanjang sungai Siak hingga 208

Lihat Schafer, "T'ang," hal. 109-120; Mote, "Yuan and Ming," hal. 174-175; Spence, "Ching," hal. 272-274; Needham, Science and Civilisation in China, IV, pt. 3, hal. 520; Yule, The Book of Ser Marco Polo, I, hal. 80; II, hal. 204, 235; Tien, "Cheng Ho's Voyages," hal. 186-197; Wills, Pepper, Guns and Parleys, hal.10. 209 E. Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602 tot 1865 Historische Beschrijving, Batavia, 1870, hal. 33. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

148

pedalaman untuk mencari ‘bezoar’ dan membelinya dari sesiapa yang tinggal di sana; orang-orang liar dan buas.” 210 Begitulah vonis Joan van Riebeeck terhadap orang-orang pedalaman. Lanskap ini menyadari akan kemerdekaannya, dan mereka berniat mempertahankannya dengan mengadakan perjanjian ataupun kontrak sendiri dengan otoritas Belanda. Sebaliknya, sentuhan pertama Belanda dengan orang-orang dari daerah ini merupakan kisah kemuraman belaka bagi mereka. Pada tahun 1689 ia menandatangani kontrak dengan Johor, dengan monopoli pada tertanggung Sungai Siak. Namun pangeran Siak mengendalikan sendiri perdagangannya, sehingga untuk sementara waktu, hanya sedikit saja keuntungan bagi kompeni. Salah satu pos di Tapung kiri segera dihapuskan karena dipandang tidak menguntungkan. Kompeni sendiri tidak memiliki kontak dengan pedalaman Siak, akan tetapi mereka terus mencari yang terbaik dan menguntungkan bagi dirinya. Meski begitu, perubahan keadaan yang terjadi bukanlah berasal dari Kompeni, melainkan berasal dari orang-orang di pedalaman. Bahwa dengan ditemukannya disepanjang sungai Siak; tambang timah, dan pada tahun 1674 mereka pun memperkenalkan sejumlah mineral tersebut ke Melaka. Tampaknya hubungan dagang dengan Kompeni pun membaik dikarenakan setelah diteliti bijih timah itu juga terbukti berkualitas baik, dan Kompeni mulai mempertimbangkan untuk melakukan eksploitasi langsung. Awalnya mereka puas dengan pembelian bijih yang dikirimkan ke Melaka. Dengan pemimpin yang berbeda mereka menandatangani kontrak pengiriman timah yang diyakinkan hanya kepada VOC semata.211 Kemudian mereka pergi sendiri ke sungai itu untuk membeli mineral menjadi bukti bahwa mereka begitu seriusnya ingin mengeksploitasinya sendiri. Akan tetapi, kondisi ini nampaknya bukan tanpa resistensi; pada tahun 1677, pecah pemberontakan di Rombouw dan Nanning, tetangga dari Melaka; pada tahun 1679, orangorang Bantam menyerang kantor Kompeni di Indragiri dan melakukan penjarahan; pos yang segera saja ditinggalkan oleh Belanda, dan oleh karena 210

INSULINADE 1924 — 87, “IETS OVER DEN HANDEL VAN MIDDEN SUMATRA IN DE 17de EEUW, dalam Colonial Collection(KIT), Leiden University Libraries. 211 Pada tanggal 14 Januari 1676, Kepala Kota- Renah, Kebon dan Giti menandatangani kontrak untuk penyediaan eksklusif timah timah jatuh ke Oost Indische Compagnie (O.I.C), dan juga berjanji pemimpin Tandun untuk mencoba membawa kontraknya dibawah bendera OIC di Melaka. Lihat Hijman van Anrooij, 1885: hal.355. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

149

itu juga telah merusak hubungan antara Melaka dan Indragiri. Dimasa yang sama, Belanda ternyata tengah melakukan peperangan melawan Makassar dan begitu juga di pulau Jawa melawan Trunojoyo-1674 dan Banten. Untungnya saja, bahwa perdamaian dengan Naning dan Rombouw telah memberikan beberapa kelonggaran, dan pada tahun 1680, Belanda diperkirakan berada di sana untuk berdagang kembali dengan Sumatera Tengah, akan tetapi mereka memiliki kekhawatiran baru. VOC menerima pesaing kuat dari Paduka Raja; penguasa kerajaan Johor. Pada tahun 1677, Sultan kerajaan itu meninggal dan digantikan oleh sepupunya; Sultan Ibrahim. Catatan Belanda menunjukkan bahwa sang Sultan Ibrahim memberikan semua daya-upaya dan kekuatannya untuk Johor yang telah sangat menderita sebagai hasil dari peperangannya dengan Jambi, dan itu, untuk menghidupkannya kembali. Dan memang, ia berhasil melakukannya dengan muncul dan berkembangnya perdagangan. Riau,212 dipilihnya sebagai pelabuhan untuk perdagangan yang kuat antara Aceh dan Jawa. Ia tidak merasa kuatir atas pengkapalan bijih timah yang diperuntukkan bagi VOC di Melaka, dengan bertahan di sungai Siak dan membawanya ke pasar untuk Bengkalis, dan kemudian di tempat itulah Riau kedepannya sebagai pelabuhan penting. Dengan tindakannya ini Johor memiliki hubungan yang menguntungkan yang sebelumnya telah diambil oleh VOC. Perlu pula dicatat bahwa dasar pembenaran tindakan Johor ini memiliki beberapa alasan untuk cenderung lebih kepada dirinya sendiri daripada memikirkan VOC dan pemerintah Belanda; yang berarti Belanda ditengarai pada saat itu benarbenar menikmati sikap egois mantan obligasinya tersebut. Hal ini mungkin didasari juga dari kenyataan bahwa tanpa bantuan dari Johor, Belanda tidak akan pernah bisa menaklukkan Melaka-Portugis pada tahun 1641. Selain itu, pembentukan VOC di Melaka, sebuah lokasi yang terpenting untuk re-koneksi yang terputus dengan Jawa, diperolehnya melalui bantuan yang efektif dan diwujudkan oleh Johor. Hal ini mencerminkan bahwa disatu sisi merefleksikan aliansi antara Johor dan Kompeni. Bahwa Belanda yang memenangkan perang memperebutkan Melaka dengan Portugis, terus 212

Pada tahun 1673, kerajaan Johor melalui pelabuhannya di Riau, telah membuka dan menarik begitu banyaknya pedagang asing Eropa dan Asia kesana. Para pedagang India Muslim, telah membawa kain yang diminati oleh pedagang Minangkabau – dan diperdagangkan dengan harga yang lebih murah dari apa yang ditawarkan oleh Belanda; bahkan mereka memperdagangkan produk itu di muara Indragiri, bersaing dengan Belanda dalam perdagangan “emasMinangkabau”-nya. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

150

mengukuhkan kedudukannya di Melaka dan mengawal perdagangan serta memberi kuasa kepada Kerajaan dan Orang Kaya Johor; kondisi ini menjadikan kapal-kapal Johor atau asing bebas berlabuh di Melaka dan juga Johor. Hubungan VOC–Johor ini bermula tahun 1642 yang nampaknya menempatkan Belanda dalam posisi yang sangat berpengaruh dalam perdagangan Johor.213 Akan tetapi, ketika Johor berperang melawan Jambi, VOC menempatkan dirinya pada posisi netral dan bersikap pasif yang berakibat pada hancur totalnya ibukota kerajaan pada tahun 1673. Netralitas Belanda ini menjadi preseden buruk, dan kemudian Johor berupaya tampil dengan semangat kewirausahaan dan kecerdikan Paduka Raja, dan sebagai hasilnya, para tuan Belanda itu pun dipaksa untuk menyaksikan perkembangan yang elok ini. Bahwa, kesepakatan VOC - Johor yang antara lain juga memuat kawasan bebas bea, telah menyebabkan orang kaya Johor menggunakan kesempatan dengan mengumpulkan hasil timah dan perak untuk dipasarkan di wilayah bebas bea Johor; Belanda curiga, bahwa Johor telah meraup keuntungan yang sangat tinggi dari kawasan ekspor bijih timah. 214 Selain itu, pada saat yang sama Johor telah menjadi pasar bagi tembaga Jepang yang diperoleh dari Pattani melalui pedagang Cina, juga pembelian kain di Melaka dari Coromandel. Belanda, sebenarnya tengah memperoleh powernya disemua sisi, akan tetapi, ternyata lebih memilih untuk menghindari konflik sehingga menegangnya hubungan tidaklah menyebabkan pecahnya konflik terbuka dengan Johor. Akan tetapi, dengan dan menyetujui tindakan Paduka Raja, perdagangan hampir-hampir saja terhenti antara Melaka dan Siak; Siak saat itu sebagai sebuah kawasan yang sebenarnya potensial bagi pengembangan perdagangan. Di kawasan pesisir Siak sendiri, terdapat gambaran atas situasi masyarakatnya, tepatnya di Bengkalis, sebagaimana dicatat oleh Bort215 pada tahun 1678 sebagai berikut: Bengkalis, sebagaimana diketahui sebagai negeri yang berada di bawah Johor, terletak di sebuah pulau yang berjarak sekitar satu mil dari Pulau Sumatera; sebuah desa nelayan, dengan masyarakat yang dipimpin oleh seorang pejabat Syahbandar yang mewakili raja Johor. Meskipun sebagai suatu Kampung nelayan, terdapat juga aktifitas 213

R.J.Wikinon(ed.), 1971, Papers on Malay Subject.Kuala Lumpur: Oxford University Press, hal.56. 214 Leonard Y.Andaya, Kingdom of Johor, 1641-1728, hal.10 215 Lihat E.Netscher, “De Nederlanders in Djohor en Siak, 1870, hal.41 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

151

pesat dari orang Melayu, Jawa dan Moor; yang masing-masing datang ke sana untuk melakukan perdagangan mereka sendiri dari pantai Jawa, Palembang, Jambi, Inderagiri, Aceh, Keddah, Pera, Klang, Johor, Pahang, Patani, Siam, Kamboja, Koetjin-China, dan juga orang-orang Minangkabau, yang mendiami Sumatera, membentuk keramaian di sana dan mengumpulkan banyak garam dan beras serta ikan yang ada pada waktu tertentu setiap tahunnya, masyarakat Melayu di pulau ini, terlihat kaum perempuan dan anak-anak di berkeliaran di sana-sini, juga orang asli yang sangat bersemangat mengerjakan ikan kering dan asin. Pada tahun 1682 kembali terjadi kontak. Awalnya, orang-orang Minangkabau di Sungai Siak melakukan pemberontakan terhadap Johor, dan Johor pun paham dengan kepentingan kompeni dalam keberhasilan mengatasi pemberontakan ini, lalu mereka meminta bantuan kepada Gubernur Melaka. Belanda yang berharap untuk mendapatkan kembali kebebasan pelayarannya di Siak, segera memutuskan untuk terlibat dengan mengirimkan kapal ke perairan Bengkalis. Akan tetapi, nampaknya pergerakan ini dan hal lain sepenuhnya tanpa pengaruh apa pun, dimana pemberontakan itu dapat ditekan dengan segera. Johor setelah melalui konfliknya dengan Jambi, memiliki satu kebencian mereka terhadap Minangkabau, dan sesegera mungkin mengetahui sosok pemimpin perlawanan ini; Raja Itam, dan berupaya membunuhnya untuk segera memulihkan ketenangan.216 Walau begitu, sebagaimana dapat dimaklumi bahwa, dimana ada pertikaian antar politi-politi pribumi, maka disana ada Belanda yang menari. kondisi penuh komplikasi ini nampaknya menguntungkan bagi penjajah, Melaka pun kembali bersentuhan dengan orang-orang yang berada di pedalaman Sumatera. Pada tahun 1683 Gubernur Melaka mengirim kapal ke sungai Siak kepada orang-orang Minangkabau di dataran tinggi untuk mengadakan 216

Dalam Memori-nya bertanggal 6 Oktober 1870, Gubernur Melaka, B. Bort, Menyatakan bahwa tambang timah rakyat sebagai subyek tak bertuan yang berada di aliran Sungai Siak.” Disepakatinya kontrak tanggal 21 Mei 1685 dengan Sultan Johor menghendaki Belanda untuk tidak membuang sauh mereka melampui dari Pasir Sala, yang juga dinyatakan, “supaya masyarakat-ku di Siak tidak bercampur dengan orang-orang Minangkabau, untuk kemudian tidak memperoleh permasalahan.” RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

152

hubungan perdagangan. Sebelumnya, pada tahun 1665, dari Padang diutus dua orang pribumi penting atas nama VOC ke ibukota mengirimkan hadiah ke sultan dan juga untuk menawarkan peluang baru. Tujuan dari misi ini adalah “emas,” dengan koneksi perdagangan terhadap Pantai Barat dan sultan sendiri sangat senang dan merasa terhormat bahwa otoritas Padang menunjuknya sebagai khalifah. Sultan, juga memiliki alasan untuk merasa senang dengan pengakuan resmi atas martabatnya oleh penguasa pendudukan pantai barat; setelah otoritasnya itu telah lama dirusak oleh pendudukan Aceh. Ia pun berjanji untuk memimpin duta perdagangan emas dengan VOC ke Padang; akan tetapi, ternyata tidak ada satupun yang datang. Kemudian segera saja perdagangan emas di Padang terhenti karena kerusuhan di negara-negara di dataran tinggi Minangkabau. Dengan hilangnya akses emas melalui pantai barat, diharapkan akan dibuka dari arah Pantai Timur. Suatu perdagangan besar, bahwa Paduka Raja di sungai Siak saat itu membentangkan teritorinya disana, sehingga kompeni merasa perlu untuk mendirikan kantor permanennya di tempat itu. Masih terdapat harapan bagi Belanda, terutama akibat dari salah urusnya mereka atas perdagangan di Indragiri yang dimulai dari dataran tinggi di sepanjang aliran batang Kuantan, hingga akhirnya bergeser ke Siak. Berkaitan dengan emas, jauh sebelum Belanda beralih dari Inderagiri ke Siak, mereka tiba di Pantai Barat dalam upayanya mencari lada, dan segera menyadari terdapatnya sejumlah besar perdagangan emas disana dan segera memutuskan untuk ikut masuk kedalamnya guna berhubungan dengan sumber pemasok perdagangan emas tersebut. Seperti Inggris kompetitornya, Belanda memulai kesuksesannya dengan perdagangan emas di Tiku Pariaman217 pada tahun 1651, namun Aceh, yang ingin mempertahankan dominasinya atas pelabuhan disana, segera mendorong Belanda lebih jauh ke arah Selatan: Padang, dimana pada tahun 1663 telah dilakukan “Perjanjian Painan” untuk memberikan kepada Belanda Monopoli atas emas dan lada dengan imbalan perlindungan Belanda terhadap orang-orang Aceh. Bahkan setibanya mereka di Selat Melaka, Belanda pun tertarik untuk melibatkan 217

Willian Foster(ed), The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and East Indies 1591-1603 (London: The Hakluyt Society, II, LXXXV,1940),hal.113, The Voyage of Sir Thomas to East Indies in 1612-1614, 1934, p.271; Moeilink Roelof Asian Trade, p.22-23, 92-93. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

153

dirinya dalam jalur perdagangan emas kearah timur pegunungan Minangkabau. Bahwa sungai Indragiri yang terletak paling timur dari tiga sungai besar jalur perdagangan, merupakan pelabuhan utama bagi perdagangan emas Minangkabau,218 akan tetapi persaingan bangsa asing telah menghambat kemajuan perdagangan disana. Setidaknya, hal ini setelah Belanda melakukan akuisisi di pantai Koromandel-India dalam upaya bargaining atas emas di jalur tersebut. Pada tahun 1658, dikirimlah utusan ke Indragiri untuk menjajaki bahwa dimaksudkan pada pelabuhan Indragiri yang cukup dengan persediaan emas untuk rute Karomandel; Pada tahun 1663, Minangkabau dari Tanjung dan Kuamang bulat-bulat menyatakan bahwa mereka lebih suka perdagangan melalui Indragiri daripada di Jambi, sebagian karena di sana mereka bisa berurusan dengan raja "Melayu", sedangkan di Jambi ada “penguasa Jawa,”219 selain itu, nampaknya sudah diketahui pula bahwa harga yang lebih tinggi untuk emas bisa diperoleh di Inderagiri, selain di Bengkulu, dan khususnya Palembang 220; dan pada tahun 1664, Kompeni mendirikan “pos” di muara Indragiri yang diharapkan dapat melakukan kontrol atas pengiriman emas yang melintas disana. Pada masa yang cukup baik tersebut, dilaporkan bahwa di sana berdiri dua-ratusan rumah; sebagai tempat yang indah dan cukup ramai dengan hadirnya para pedagang. Sejak saat itulah Belanda merupakan satu-satunya partner dengan pedalaman Minangkabau dalam hal perniagaan emas; bahwa Belanda telah memonopoli perdagangan emas! Akan tetapi, masa kejayaan perdagangan emas Belanda – pedalaman Minangkabau di Indragiri ternyata tidak berlangsung lama. 221 Sebagaimana telah disampaikan, perselisihan terutama antara pedalaman dan Indragiri sendiri membuat perdagangan tersebut dialihkan ke Sungai Siak. Belanda tidaklah menyangka, ternyata situasi perdagangan di Indragiri nampaknya jauh lebih “buas” dari apa yang terjadi di Pantai Barat. Hingga abad ke-18, ketika terjadi bencana alam diwilayah Tanah Datar yang selama 218

Cortesau, “Suma Oriental of Tome Pieres, An account of the east, from the red sea to china. Written in Malacca and india in 1512-1515. And the book of fransisco rodrigues Pilot-major of the armada that discovered Banda and the Moluccas, Published by J.Jetlet For Asian Educational Services, pada hal. 153, dikatakan, “Indragiri is an important kingdom. It has a fair number of trading people, and people go there from many place to trade. It is the chief port of Menangkabau.” 219 VOC 1087 Jambi to Batavia, 2 Dec. 1625, fols. 154v, 156v; 1243 Jambi to Batavia, 12Jan. 1663, fo. 9; Andaya,1993. 220 VOC 2133 King ofJambi to Batavia, rec'd 28 Sept. 1729, fo. 74; Andaya,1993. 221 Lihat Kielstra, “De Afeeling Indragiri,” dalam Onze Eeuw, Jaargang 15, 1915. Hal.33. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

154

ini menjadi basis penghasil emas, semua pun menjadi berbeda. Masa achteruitgang (penurunan) ini pun menjadi tidak terelakkan lagi. Meskipun perdagangan emas dari Indragiri telah dialihkan ke Siak, sayangnya dengan terjadinya kelangkaan suplai dari pemasoknya: Tanah Datar, hanya sedikit saja emas yang dapat diperdagangkan. Hingga di era tahun 1770-an, nampaknya dalam perdagangan emas, Belanda benar-benar telah collaps.222 Bahkan, laporan tahun 1785 atas perdagangan di Riau yang didominasi orang Bugis, tidak lagi menyebutkan produk emas yang berasal dari dataran tinggi Minangkabau.223 Penurunan perdagangan emas berarti beralihnya Minangkabau menuju perdagangan lainnya, dan nampaknya ini dengan pihak asing lain: Inggris. Bahwa di tahun 1751 dan 1755 Inggris telah menguasai Pantai Barat, Natal dan Tapanuli. Natal sebagai magnet yang telah menarik para pedagang pantai barat kesana dengan hanya satu hari perjalanan berperahu dari Air Bangis dan banyaknya kain yang diperdagangkan dari Karomandel dan lebih murah dari yang terdapat di Padang224. Inggris pun memperoleh akses siginifikan terhadap perdagangan Minangkabau, terutama setelah perang Eropa 17811785 yang membawa Inggris sebagai “tuan” di Padang. Jika Luhak Agam memperdagangkan kain dan garam, maka luhak lainnya: Limapuluh, nampaknya berbalik menuju pegunungan arah ke pantai timur dan cenderung untuk melakukan perdagangan eksternal daripada internal. Luhak Limapuluh, dengan mengandalkan jalur melalui anak-anak sungai Siak dan Kampar, segera melakukan perdagangan keluar terutama menuju pelabuhan bebas Penang yang dibangun dan dikuasai EEIC pada 1786. Pelabuhan tersebut, segera saja banyak menarik para pedagang dan memulai perniagaan besar dari “dunia Melayu”, dimana disana banyak terdapat kain dari Karomandel sebagaimana yang diminati oleh pedagang Minangkabau. Perdagangan menemukan pijakan baru, tidak lagi berbasis emas melainkan gambir. Perdagangan ini berpusat di Petapahan, dimana perahu pedagang 222

Two Dutch Governors Reports, “Journal of tha Malayan Branch of Royal Asiatic Society (hereafter JMBRAS), XXVII,I,(1954), hal.28-29,31. Lihat juga “Courant”, 5 November 1829, kemudian dalam Indisch Magazijn, II,2, 1845. “Cousperus “Goudproduktie.” 223 “Trade in the Straits of Malacca in 1785”. A morandum by P.G.De Bruijn, Gouvernor of Malacca, JMBRAS, XXVI, 1 (1953), hal.55. 224 “Consideratie,” pars, 234-246 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

155

Minangkabau pulang dengan membawa kain dan garam yang akan memasok pasar Minangkabau. Sebagaimana disebutkan pada Juli 1787, sebuah perahu dari hulu Siak dengan muatan utamanya Gambir, dicatat sebagai yang mendominasi perdagangan Selat yang dibawa dari Limapuluh Kota 225. Tidak seperti perdagangan garam di Luhak Agam, maka Gambir nampaknya tumbuh dengan pesat; realita bahwa gambir dapat ditanam pada areal pegunungan yang tidak dapat ditanami padi, menjadikannya sebagai tanaman yang lazim dijumpai pada era ini, bahkan dengan tanaman kopi yang saat itu tidak begitu sukses, pertumbuhan tanaman Gambir nampaknya patut memperoleh kecemburuan dari produk lainnya disana. Selain itu, era perdagangan Gambir menyebabkan Penghulu yang wilayahnya dilintasi arus perdagangan gambir, ikut memperoleh keberkahan dari biaya tol yang dikeluarkan para pedagang; seperti Penghulu Pangkalan Kota Baru. Seiring berjalannya waktu, perdagangan pedalaman Limapuluh kota via Pantai timur berkembang lebih luas dari sumbu awalnya, Petapahan-Penang. Tercatat juga bahwa pedagang Bugis turut melakukan perdagangan ke Sungai Siak dengan sejumlah besar nilai perdagangan dari rute Minangkabau-Petapahan. Bahwa kisah perdagangan ini menunjukkan terjadinya kontak intensif antara pedalamanMinangkabau dengan komunitas di sepanjang rute perdagangan, hingga ke Semenanjung. Sebagaimana diketahui, Siak menyediakan rute pendek ke pedalaman dibandingkan dengan yang rute lain yang berdekatan seperti; Kampar. Adapun pengaruh Johor terbatas pada area di hilir Sungai strategis Tapung-Kiri.226 Pada umumnya adalah pedagang Minangkabau yang melakukan perdagangan sungai, menyampaikan lada, emas dan timah kepada syahbandar Johor yang ditempatkan di Bengkalis dalam kegiatan pertukaran dengan garam dan kain.227

225

Dobbin, 1977, hal.20 Leonard Andaya, The Kingdom of Johor, 1641- 1728, Kuala Lumpur, 1975, p. 222; Van Anrooij, «Nota omtrent het Rijk van Siak», hal. 262-3. 227 G. Du Rij van Beest Holle, «Aanteekeningen betreffende de Landschappen VI Kotta Pangkallan en XII Kotta Kampar», TBG, 24 (1887) hal. 398-9; Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 104. 226

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

156

Gambar 4.1.Dari Dataran Tinggi menuju hilir Siak via Senapelan Sumber: dalam “Syair Perang Siak” oleh Donald Goudhie,1989.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

157

Bagian paling penting dari hulu Siak dalam hal sumber daya baik tenaga kerja dan produk, adalah Sungai Tapung Kiri yang terletak di luar otoritas Johor. Ini menempatkan tambang timah Petapahan, Kabun dan Tandun, melalui bagian hulu Sungai Kampar Kanan, untuk era emas Minangkabau di dataran tinggi. Patapahan juga sebagai sebuah pelabuhan sungai penting, yang arah agak ke hilirnya dihubungkan dengan jalan setapak di Taratak buluh di Sungai Kampar Kanan, yang kehulu mengarah ke tanah makmur pusat pasar dataran tinggi Payakumbuh melalui Pangkalan Kota Baru. Selain rute melalui Sungai Siak, jalan setapak yang sama dari Patapahan ke Taratak buluh menawarkan komunikasi alternatif dengan pantai, menyusuri Sungai Kampar via Pelalawan.228 Dapat terlihat, bahwa daerah darat ini tetap sangat independen dari kontrol otoritas pesisir. Bahkan, di Patapahan para penghulu (kemudian bendahara) diklaim sebagai perwakilan penguasa Pagaruyung dan, seperti kepala negeri sekitarnya, mengirim upeti tahunan kepada penguasa pegunungan tersebut. Pada tahun 1692, Akirsama, yang mengaku sebagai putra penguasa di Pagaruyung, tiba untuk memulihkan hubungan baik antara Kabun dan Patapahan dan mencegah gangguan lebih lanjut terhadap kegiatan perdagangan. Koneksi lanjutan antara rantau dan jantung Minangkabau berarti bahwa otoritas Siak di hulu tergantung pada pengaruhnya terhadap penghulu, dan ini berarti mereka tidak bisa berlaku sewenang-wenang.229 Sebagaimana diketahui, pada tahun 1676, Gubernur di Melaka, Balthasar Bort, mengadakan perjanjian dengan kepala Kota Rena(Pangkalan BahruDataran Tinggi) Kabun dan Gitti(Tapung) untuk menduduki rute utama ke dataran tinggi. Kemudian untuk menfasilitasi perdagangan dengan daerahdaerah tersebut, diadakan sebuah perjanjian lanjutan dengan empat negeri penting di lokasi strategis Patapahan.230 Pada tahun 1701231, 1703232 dan

228

Lihat Oki, «The River Trade», Map 4-1, hal. 15. Andaya, The Kingdom of Johor, hal. 133, 222. 230 Netscher, “De Nederlanders in Djohor en Siak,” hal. 39-40; Générale Missiven, 5, 13 Feb. 1679, hal. 302. 231 Briefje door den heer gouverneur Phoonsen tot Malacca aan den Dato Bandhara tot Pattapahan geschreven, NA.1.04.021648Malakka,140-141;145-146. 229

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

158

1706233, Datuk Petapahan mengirimkan surat ke Melaka, dan kelanjutan dari korespondensi ini nampaknya pada bulan Mei 1706, asisten Nicolaas van Cuijlenbuurg dan onderstuurman Abraham Boone memimpin suatu komisi menuju Petapahan dalam suatu pertukaran antara kain dengan timah dan emas. Meskipun Belanda tidak mendapatkan kontrol yang efektif atas persediaan dari negara-negara merdeka Minangkabau234 dan hubungan yang ambigu dengan Johor, telah memberikan kesempatan bagi Melaka untuk memiliki pangsa perdagangan. Selain produk utama mineral dan merica, Belanda bersaing untuk pembelian hasil hutan seperti elang, dan kayu gaharu; resin, bambu, bee'swax, getah perca (getah perca dari Palaquim getah) dan bezoar, konon nilainya mencapai sepuluh kali harga emas. Siak juga merupakan sumber penting kayu untuk perbaikan kapal di Melaka. Sebelumnya, pada tahun 1683-4, Thomas Dias, seorang Portugis, memimpin misi Belanda dari Melaka ke ibukota Minangkabau di Pagaruyung untuk kepentingan mengamankan kerjasama hulu melalui pembentukan hubungan dengan penguasa Minangkabau, tetapi gagal dalam tujuan jangka panjang.235 Populasi besar di dataran tinggi Minangkabau pun dicatat oleh Tomas Dias, orang Eropa pertama yang mencapai darek Minangkabau itu. Meskipun angka itu bisa saja meningkat, mereka memperkirakan terdapat populasi besar di pedalaman Sumatera bagian tengah. Dia melaporkan bahwa ada sekitar 300 raja atau kepala pemukiman, dan bahwa Air Tiris memiliki populasi 10.000 orang di antaranya 500 orang adalah pedagang. Di istana penguasa Pagaruyung sendiri hidup sekitar 8.000 orang. Sebuah laporan Belanda pada tahun 1696 menegaskan kehadiran populasi besar di pedalaman. Pagaruyung

232

Translaat missive door den Dato Bandhara van Pattapahan en de hoofden der vier dorpen aan den heer gouverneur Phoonsen en raad geschreven (ontfangen den 11 Junij 1703 per burger chialoup); NA.1.04.028684.Malakka2, 212-213; Seven agter de anderen geschreven translaat brieven van den Dato Bandhara tot Pattapahan aan den gouverneur en raad tot Malacca geschreven (ontfangen den 21 Maart 1703 per burger chialoup); NA.1.04.028684.Malakka2, 4451. 233 . Vier briefjes over de Malacxe regeeringe aan den Sabandhaar van Sambouwer, den Dato Bandara van Pattapahan en de Pangoelos van Calang en Salangoor (ontfangen den 26 Maij 1706 per borger vaartuijg), 1.04.028594.Malakka1, 63-65. 234 Coolhaas, Générale Missiven, 5, 13 Dec. 1686, hal. 50. 235 F. de Haan, «Naar Midden Sumatra in 1684», TBG, 39 (1897) hal. 327-66; Générale Missiven, 4, 12 Feb. 1685, hal. 764-5. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

159

memiliki 1.000 orang; Suruaso 4.000; Padang Ganting 10.000; dan Sungai Tarab (atau Padang Tarab) 1,000.236 Thomaz Diaz mencatat, bahwa belumlah mereda ketegangan yang terjadi antara kerajaan di pegunungan itu dengan Kerajaan di Semenanjung Malaya sebagaimana terekam pada tahun 1682. Disebutkan, Raja Pagaruyung mengklaim pelabuhan di tiga lanskap sebagai wilayah kekuasaannya dimana Raja mengizinkan kompeni untuk dapat melakukan perdagangan disana; Petapahan, Siak dan Indragiri, hal yang dengan sopan dibantah sang utusan Eropa tersebut bahwasanya tempat dimaksud dikuasai Johor dimana kompeni mengadakan perjanjian dengannya237; dan Raja Pagaruyung pun mengatakan:238 “Kepada anak-anak Raja Johor aku sudah ijinkan Siak sebagai tempat tinggal dan tempat bercengkerama mereka, tetapi kini tidak lagi demikian karena Paduka Raja telah berlaku buruk serta berkhianat terhadap keponakanku Raja Hitam, dan kepada Raja Johor yang sudah mengatakan bahwa Siak termasuk daerah kawasannya, saya minta Raja Johor memberikan bukti bilakah kawasan itu diberikan kepadanya sebagai miliknya. Kemudian Indragiri adalah antek saya tetapi telah berdiri sendiri dan memberontak, akan tetapi kawasan Indragiri 239 hingga ke tepi laut adalah milikku, dan Raja setempat belum lama ini telah mohon ampun kepadaku, yang tidak aku berikan, dan aku juga tidak sudi menerima upeti apa pun darinya.” 240 Tidak kurang berhasilnya adalah upaya Laksamana Johor, Paduka Raja Abdul Jamil yang menyudutkan perdagangan hulu Siak dalam menghadapi persaingan Belanda. Pada tahun 1689, perwakilan dari Kuo dan Air Tiris, dua 236

Haan, “Naar Midden Sumatra,” 355–6; Andaya, History of Johor, 111. Part of “Naar Midden Sumatra,” which was a journal of Tomas Dias, telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Drakard, “A Mission,” 152–61. 237 Bahwa antara Djohor dan V.O.C.(Kompeni) mengadakan perjanjian persahabatan dan perdagangan yang meliputi hingga hulu Sungai Siak. 238 Bahwasanya Johor melakukan perjanjian dengan kompeni di wilayah Siak sehingga Pasir Sala; 239 Netscher, 1870, Lamp.33 240 Lihat Timothy P. Barnard, “Thomas Dias: perjalanan ke Sumatera Tengah pada tahun 1684”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 1. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

160

dari empat negeri di sekitar Patapahan, tiba di Melaka meminta untuk perdagangan dan perlindungan, hal yang bertentangan dengan aliansi mereka sebelumnya dengan Paduka Raja Johor.241 Rivalitas dan perselisihan intermiten antara Patapahan dan Kabon berlanjut dan akhirnya berpengaruh terhadap perdagangan. Laksamana berusaha untuk menarik sumber daya Minangkabau ke Bengkalis dengan mengangkat penghulu di Patapahan dengan status bendahara. Pada saat yang sama, ia mengembangkan outlet perdagangan alternatif di Kampar.242 Akan tetapi langkah-langkah ini gagal untuk memecahkan fluiditas hubungan darat-pesisir yang diperburuk oleh gejolak politik menyusul terjadinya pembunuhan raja di Johor pada tahun 1699.243 Meskipun demikian, hubungan langsung antara VOC dan Petapahan itu, berdampak memunculkan ketegangan antara Belanda dan Johor, terutama menyangkut pengakuan tentang arah kesetiaan Petapahan, ketegangan yang muncul pada awal abad ke-18.244 Kondisi ini juga timbul sebagai akibat penafsiran berbeda atas ayat 3 perjanjian VOC-Johor tahun 1689.245 Raja Muda Johor menolak pandangan bahwa warga bebas Belanda dari Melaka diperbolehkan masuk ke kawasan Sungai Siak untuk berdagang, dan juga menolak kehadiran mereka di Patapahan. Ayat 4 dari perjanjian 1689 mengizinkan “kapal dari Melaka” untuk singgah dan berdagang di Patapahan dengan membayar pajak kepada syahbandar Johor. Johor berpendapat bahwa ayat 3 menetapkan yang berhak untuk datang dan berdagang di Siak hanyalah bagi VOC, dan tidak untuk warga bebas Melaka, dan mereka juga menyatakan bahwa rakyat Patapahan adalah hamba Johor. Sebaliknya, nampaknya VOC tidak sepakat dan mengatakan bahwa rakyat Patapahan menyerahkan upetinya kepada raja Minangkabau dan bukan kepada penguasa Johor.

241

Générale Missiven, 5, 30 Dec. 1689, pp. 320-21; Andaya, The Kingdom of Johor; 146. Andaya, The Kingdom of Johor, pp. 146-7; Générale Missiven, 5, 11 Dec. 1692, hal. 535; N. MacLeod, «De Oost-Indische Compagnie op Sumatra», pt.7, De Indische Gids, (1907) i, hal. 788-9, 792. 243 Andaya, The Kingdom of Johor, 1641-1728: Economic and Political Developments. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975 hal. 173-4, bag. 8-10. 244 Andaya, Kingdom of Johor,hal. 222-223. 245 Netscher; hal.46. lihat juga Peter Borschberg, “Surat dari Raja Johor, Abdul Jalil Shah IV (16991720), kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, 26 April 1713”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 7. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013. 242

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

161

Gambar 4.2. Rute (tua) perjalanan Thomas Dias. Sumber: Schnitger, 1935. Sejarah mencatat, bahwa peran besar berlaku untuk Raja Kecil (1716-1746), yang mengaku sebagai anak dari raja terbunuh Sultan Mahmud dari Johor (1685-1699), untuk membawa hulu Siak kepada hubungan yang lebih dekat dengan otoritas pesisir. Raja Kecil, diyakini telah dibesarkan di istana Pagaruyung, mengaku memperoleh mandat agung dari kerajaan Melayu yang terkenal di kedua ujung jaringan pertukaran, dihulu diperolehnya dari penguasa Pagaruyung, dan di pesisir sebagai klaim keturunan raja Johor terbunuh, “Marhum Mangkat di Julang.” Upaya awal Raja Kecil, tentunya ia menggusur perwakilan Raja Johor di hilir Siak. Hubungan penguasa yang baik dengan Minangkabau telah membantunya untuk mendirikan pengaruh pesisir di wilayah pegunungan, hal ini juga berarti bahwa pada era awal berdirinya Siak, lanskap hulu tetaplah merdeka, lepas dari kooptasi kekuasaan hilir seperti; Tapung. Kehadiran Siak, nampaknya membawa peregangan antara RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

162

Belanda dengan negeri pedalaman, seperti ditunjukkan oleh dua putra Raja Kecil; Raja Alam dan Raja Mohamad. Tahun 1752, Jan Frederik Bierman dengan suatu kargo senilai 60.000, diutus oleh Melaka ke Sungai Siak untuk membeli emas. Akan tetapi, ketidakpastian situasi keamanan di negaranegara pedalaman telah mencegah menghilirnya emas, dan Bierman pun kembali ke Melaka tanpa hasil. Kemudian, Onderkoopman Wiederholt diutus ke Siak, ia pun kembali dengan hasil yang tidak menguntungkan KompeniMelaka. Perundingan Raja Alam dengan Wiederholt, selain tidak menguntungkan, juga dikatakan Netscher bahwa bahasa Raja Alam yang menyatakan, “….jika Kompeni memberinya seratus tong mesiu dan empat ratus peluru, maka ia akan melindungi Kompeni dalam kehidupan persahabatan dan perdagangan”; dirasa sebagai ‘agak terlalu bertentangan dengan martabat dan kedaulatan Kompeni,’ sosok yang telah lama mendominasi Selat Melaka.” Pernyataan Raja Alam ini, sebenarnya merupakan sikap Raja Alam yang menganggap ayahnya; Raja Kecil, sebagai penguasa sah Johor.246 Rivalitas sengit di Selat antara Siak dan Johor, dimanfaatkan Kompeni-Melaka untuk kemudian membenturkannya, dengan hasil; Raja Mohamad pun bertahta kembali di Siak pada 1755.247 Kompeni kemudian menempatkan posnya di Pulau Guntung, dengan seperangkat kebijakan monopolinya yang jelas-jelas, telah menyebabkan kesulitan tersendiri, sunyinya perdagangan. Kondisi itu menyuburkan perompakan, hingga akhirnya pecah peristiwa Pulau Guntung tahun 1759.248 Belanda, benar-benar melaksanakan aksi pembalasan pada 246

Netscher, 1870: hal.79. Aliansi Sultan Sulaiman dari Johor, Raja Mohamad dan Melaka dengan dukungan militer dari Batavia: pada tanggal 13 Agustus 1755, armada Radja Alam dan Daeng Kamboja dikalahkan dan juga diberitakan bahwa ia menyingkir ke wilayah Linggi yang berjarak 20 mil sebelah utara dari Melaka Lihat Netscher, hal.79-82. 248 Mengenai peristiwa Pulau Guntung ini, sebagamana dituliskan oleh Anderson pada tahun 1823, bahwa dalam ekspedisinya ke Sumatra, salah seorang pembesar Siak menunjukkan kepadanya keris yang dikatakan sebagai milik dari kakek buyutnya salah seorang dari empat Datuk yang terlibat dalam peristiwa Pulau Guntung: dimana pada keris itu masih terdapat bercak darah dari orang Belanda yang dibunuhnya. Kisah ini sendiri, pada awalnya diberitakan terjadi di tahun 1738, dimana bermula di tahun 1730 melalui serangan Belanda, raja Siak (Raja Alam) digulingkan dan kemudian sebagai penggantinya, adalah Raja Buwang ditempatkan diatas tahta. Sebagai “tanda terimakasih” atas bantuan ini, maka diberilah bagi Belanda tempat untuk 247

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

163

tahun 1761, melakukan penyerbuan ke Siak dan Raja Alam pun kembali bertahta.249 Bagi Belanda sendiri, nampaknya ikhwal mengembalikan Raja Alam di tahta Siak ternyata tidak menimbulkan berkah bagi negaranya, dibuktikan dengan surat dari Dewan Melaka kepada Batavia tanggal 29 Maret 1763; yang isinya hanyalah keluhan tentang hambatan atas perdagangan di hilir dan pedalaman, Kompeni karenanya tidak bisa menarik keuntungan atas hak Siak, karena biaya pos untuk Pulau Guntung masih cukup besar. Belanda tidak menyangka, ternyata Raja Alam tidak membantu mereka untuk menekan perdagangan di negara-negara pedalaman. Petapahan pada waktu itu merupakan pasar yang besar, di mana para pedagang dari pedalaman Sumatera menyediakan barang–barang yang bernilai dipasaran. Karena tempat itu dirasa tidak lagi memadai bagi Raja Alam, maka ia pun pada pertengahan tahun 1763 dengan satu kekuatannya beralih ke sana, kemudian mendorong pasar ke bangsal danau yang terletak di Sungei Pelam, 250 dan berlepas dirinya dari keluhan-keluhan serius terhadap pos yang dibangun oleh Gubernur dan Dewan Melaka, yang dijawabnya bahwa ia akan bertindak di pedalaman dengan baik. Pada bulan November 1763, D.A. Neufville dan seorang boekhouder Van Moesbergen yang diutus menemui mendirikan loji di Pulau Guntung, yang terletak 6 km dari muara sungai. Akan tetapi, delapan tahun kemudian, tepatnya tahun 1738, Raja Buwang dengan sejumlah 25 kapal perangnya, mendekati Pulau Guntung dan berlabuh disana. Komandan Belanda, menyambut sang raja yang didampingi empat Datuk tanpa kecurigaan, dan kemudian Raja Buwang duduk disamping komandan tersebut. Yang terjadi selanjutnya, Raja Buwang menusukkan kerisnya tepat di dada komandan, kemudian bersama dengan para Datuk, membunuh seluruh perwira yang ada dalam ruangan tersebut. Ini belum berakhir, melalu tanda yang telah disiapkan, menyerbulah para pasukan dari atas kapal menuju loji Belanda, dan pembantaian pun terjadi. Diberitakan bahwa sejumlah 180 orang Belanda tewas dalam peristiwa tersebut. Akan tetapi, Milles meragukan keakuratan cerita tersebut, dan melakukan penelitian terhadap arsip-arsip Belanda tentang V.O.C. Dari hasil investigasinya, ia menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi di tahun 1738, melainan pada tanggal 6 November 1759, dimana di loji Belanda di Pulau Guntung; HENDRIK HANSEN, telah “dikhianati” oleh Raja Buwang, dan mengakibatkan pembantaian atas sekitar 65 orang Belanda, dengan diperkirakan terdapat sejumlah 8–9 orang berhasil lolos dan menyelamatkan diri. Lihat Maandelijksch overzigt der Indische letterkunde. De munten der Engelsehen voor den Oost-Indische Archipel, Beschreven door H.C.Millies. Amst.1852; dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg.16, 1854 (1e deel), No.2 tanggal 1 Januari 1854, hal. 140-141. 249 Perjanjian tanggal 16 Januari 1761, antara Raja Alam dengan Melaka(lihat Bab 6). 250 Sungai Pelam ini, dikatakan juga Chinapella atau Senapelan, lihat Netscher, 1870, juga Pof.Suwardi,MS dan Drs.Isjoni,MSi, dalam “Kota dan Dinamika Kebudayaan: Peluang dan Tantangan menjadikan Pekanbaru sebagai Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara 2021,” Makalah disajikan pada Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, November 2006. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

164

Raja Alam di Sungei Pelem, memintanya untuk membayar hutang guna memacu perdagangan Kompeni; dan mereka pun menerimanya dengan beberapa catatan. Pada Maret 1764, Pos Guntung diperkuat dengan empat belas orang dan juga di antaranya; onderkooplieden E. Cramer dan A.F.Lemker yang diutus kepada Raja Alam, dan mencoba membujuknya untuk kembali ke negeri yang terletak lebih ke hilir, dan untuk membuatnya berada pada posisi yang bersesuaian dengan Kompeni. Akan tetapi, mereka menemukan Raja Alam masih tetap berada di Petapahan dimana disana ia memiliki banyak peluang, sehingga dapat dipahami betapa ia membenci bujukan tersebut. Para komisaris juga melihat bersikerasnya Raja Alam yang akan memperkuat Mapoera (Siak); karena untuk beberapa waktu terdapat rumor yang sangat meresahkan; sebuah rencana penyerangan terhadap VOC di wilayah Siak, dalam hal ini Pos Pulau Guntung dalam bahaya besar dan sedapat mungkin harus dipotong dari semua hubungan, baik dengan laut maupun pedalaman.251 Satu hal lagi, sebelumnya, tepatnya pada tahun 1762, sebagaimana juga di tahun 1731, VOC di pantai barat telah membuat kesepakatan dengan raja Minangkabau, untuk menutup perdagangannya pada rute pantai timur, dan mengalihkannya ke Padang, hanya saja mengenai implementasinya tidaklah diketahui secara pasti.252 Jika melihat sepak-terjang Raja Alam, maka, secara politis mungkin dapat dipahami alasan kebijakan VOC tersebut. Menjelang akhir 1765 atau awal 1766 di Senapelan yang terletak di Sungai Siak, Raja Alam wafat dan digantikan oleh putranya Mohamad Ali, dengan gelar Sultan Abd'oeldjalil Moealim Shah. Mohamad Ali datang dalam kondisi yang sulit bagi pemerintah Hindia. Selain itu, ia telah kehilangan dukungan yang besar dari Kompeni dengan penutupan pos di Pulau Guntung. Bahwa pendirian Pos Kompeni disana tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanyalah kerugian belaka, sehingga diputuskan untuk menutupnya, sebagaimana pemerintah Melaka berulang kali telah menyatakan untuk menentangnya. Eksekusi terhadap penutupan Pos berlangsung di bulan Oktober 1765, di bawah pengawasan dari seorang pejabat fiskal; Richardson, dan Belanda mengatakan faktor penyebabnya adalah Raja Alam. Alasan utama mengapa Pulau-Guntung tersebut ditinggalkan, dapat dilihat dari tujuan pembentukan 251

Netscher, 1870: hal.131-132. GM 2-2-1731, Generale 9 (1988:212); GM 31-12-1762, ARA, VOC 3031,f,954rv, Colimbijn,2005;13. 252

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

165

pos itu sendiri sebagai pendorong kebangkitan perdagangan Kompeni di sungai Siak; tidaklah tercapai. Bangunan Perusahaan dihancurkan, juga kanal, dan semua barang Kompeni dipindahkan ke Melaka. Di situs eks pos tersebut, kemudian dibangun batu berukir yang menandai bahwa pernah berdirinya Kompeni disana. 253 Konsolidasi kepentingan darat-pesisir dicapai oleh independensi dinasti Melayu yang didirikan oleh Raja-Kecil ini, selama paruh kedua abad ke-18 terancam dengan akrobat politik di Siak. Meningkatnya upaya penguasaan pada urusan hulu segera saja berakibat pada terprovokasinya konflik di Patapahan. Selama masa Sultan-Yahya (1781-1791), seorang pangeran SiakArab terkenal, Said Ali, putra dari Said Osman, berusaha untuk dapat lebih mengendalikan Patapahan sebagai sebuah situs besar yang akan memberikan banyak pemasukan. Dengan pasukan yang dikerahkan dari Pekanbaru, serangan diluncurkan ke Petapahan. Penghulu Petapahan, berhasil meminta bantuan kepada orang-orang pedalaman V Koto Kampar dengan tokohnya Haji di Padang, yang juga memiliki kepentingan untuk memastikan bebasnya arus perdagangan hilir, dan kemudian pasukan gabungan dari hulu tersebut berhasil memukul mundur Said Ali, dan ia kembali ke Pekanbaru. Bersama Mohamad Ali, mereka menulis surat kepada Sultan dan Raja Muda. Raja Muda(Tengku Endoet), kemudian menuju Petapahan; Haji di Padang mengemukakan bahwa perlawanan itu bukan ditujukan kepada Sultan Siak, akan tetapi hanya kepada Said Ali yang telah lebih dahulu melakukan penyerangan. Bagaimanapun juga, Raja Muda melakukan perdamaian, dan Said Ali pun kembali ke Tanah Lungguhnya di Bukit Batu. 254 Petapahan mampu mempertahankan kemerdekaan tradisionalnya, hingga tahun 1858 ketika dibawa di bawah kekuasaan Siak oleh perjanjian Belanda. Hanya kemudian adalah seorang bendahara ditunjuk sebagai wakil penguasa dan pos tersebut diisi oleh Said Hamid, putra Said Abdul al Rahman.255 Pada awalnya, kemandirian Tapung, telah bergeser masuk dalam pengaruh raja Kota Intan, menurut tradisi lisan bahwa seorang pembesar kerajaan Siak, karena suatu hal telah bermigrasi ke Kota Intan, kemudian ia dan keturunannya menjadi penguasa Kota Intan. 256 Terdapat ungkapan, 253

Netscher, 1870: hal.133. Netscher, tahun 1870, hal.140 255 Van Anrooij, «Nota Omtrent de Rijk van Siak», hal. 354, 357-9. 256 Hijman van Anrooij, hal.356-357. 254

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

166

“beraja ka Siak, bertuan ka Kota Intan.” Meskipun demikian, hubungan Siak dan Kota Intan ternyata menyimpan ketegangan, yang nampaknya ketegangan itu meledak ditahun 1876. Pada hari-hari terakhir tahun 1873, Sultan Siak beserta F.W.H.van Hedemann dan beberapa orang lainnya dari Batavia, telah melakukan sebuah kesepakatan suatu konsesi pertambangan timah dan mineral lainnya selama 75 tahun di lahan yang terletak di hulu sungai Siak yang berada di Tapung Kanan dan Tapung kiri. Awalnya, Sultan melakukan kesepatan ini dengan orang China yang mengklaim telah menemukan deposit biji timah diwilayah kerajaannya. Orang China tersebut memiliki koneksi dengan orang-orang di Batavia. Disebutkan bahwa setelah van Hedemann melakukan penyelidikan, akhirnya dengan sultan disepakati kontrak baru pada tanggal 29 Juni 1874. 257 Pemerintah Hindia, kepada pihak dimana persetujuan kontrak telah telah ditawarkan: menetapkan bentuk dan isinya dengan beberapa persyaratan. Melalui Residen Pantai Timur Sumatra, dilakukan ratifikasi kontrak sebagai berikut: 1.Terdapat beberapa perubahan yang dibawa olehnya; 2.Kontrak tersebut menunjukkan kerjasama yang melibatkan rijksgrooten”, dan; 3.Terhadap perjanjian, tidak ditemukan adanya keberatan pada para kepala yang wilayahnya berada di bahagian yang termasuk dalam konsesi; Sang Sultan, ternyata tidak memiliki kewenangan rechtstreeksch, melainkan memiliki hak dari apa yang dinamakan sebagai “dependensi” Siak. Dalam perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa Sultan Siak hanya memiliki kekuasaan atas kepala Tapung; bandahara Petapahan, sebagai suatu kewenangan resmi. Bandahara lainnya adalah dari Tandun (Tebing Tinggi), Kasikan, Batu Gajah, Kabon, Kota Renah dan Aliantan (semua kepala Tapung Kiri). Sementara Tapung Kanan sangat jarang penduduknya; kemudian juga seorang kepala; Bandara dari Kampung Si Kejang. Bentuk kelembagaan di Tapung Kanan dan Tapung Kiri secara keseluruhan dan juga kepentingan umum masyarakat dipercayakan kepada suatu kepala gabungan. Ketika

257

Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], bertanggal 1 November 1876, hal.394-5 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

167

dokumen diterima oleh Pemerintah Belanda dan kemudian diperiksa, 258 beberapa komentar pemerintah berisi rasa kuatir dan keraguan akan konsesi ekslusif, yang tidak hanya meliputi penambangan biji timah, melainkan juga mencakup persoalan perkebunan di daerah yang begitu luasnya sebagai daerah tangkapan dari pedalaman sungai Siak: dan memang hak-hak penduduk asli atas tanah yang digunakan untuk pertanian dijamin oleh konsesi; akan tetapi, terdapat juga hak lain bagi pengusaha Eropa, dan ini nampaknya dapat menimbulkan ketidakpuasan, dan meningkatkan keinginan untuk merebut kembali tanah di Siak, sementara Sultan dan pemegang hak lainnya akan merasa berhak dan wajib pula untuk baik menerima atau menolak aplikasi - konsesi yang begitu luasnya. Sebaiknya, untuk menjamin agar tidak akan tertipu hak-haknya, lantas para kepala akan mengerahkan sendiri otoritas untuk menjaminnya. Sejak pengiriman dokumen dari Hindia, konsensi akhirnya diberikan, mungkin ini disebabkan pelaksanaan yang berada di bawah pemerintah Hndia: yang bersikeras dan serius untuk secara akurat memantau eksekusi kebijakan dan memastikan sendiri tidak adanya timbul ketidaknyamanan dan persoalan yang timbul sebagai akibat implementasi konsesi. Sementara itu ia pun memenuhi persyaratan yang diminta oleh pemerintah Hindia untuk persetujuan kontrak, dan bahwa tanggal 30 Desember 1874 telah diratifikasi oleh residen Pantai timur Sumatra.259 Kepala Tapung Kanan dan Tapung kiri telah memberikan persetujuan mereka tanpa retensi; tetapi hanya Sultan yang diminta untuk menentukan sendiri akan dalam bentuk apakah keuntungan yang akan diperolehnya melalui konsesi. Sepertinya, mereka dijanjikan berupa bagian. Ketika kontrak yang dihasilkan memberikan persenan tertentu dari produk tahunan, atau dapat juga berupa nilai dalam uang, dimana hal tersebut sesuai dengan kebijaksanaan Sultan, dengan ketentuan bahwa yang diterima Sultan tidak akan kurang dari ƒ6000 pertahunnya. Setelah penandatanganan kontrak, van Hedemann segera menuju ke negerinegeri pedalaman Siak, di mana untuk sementara waktu ia menetap di Batu Gajah. Menurut laporannya, ia menjalin hubungan dengan kepala setempat dan mempelajari hal-hal yang diinginkan dari penduduk Tapung; ia menerima 258 259

Pemeriksaan pada bulan Desember 1874. Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876: hal.396 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

168

banyak ungkapan persahabatan dari beberapa kepala lanskap merdeka tetangganya. Akan tetapi, pemerintah juga melihat bahwa lanskap yang lainnya, tampaknya merasa iri atas pengembangan perdagangan ke depan dikawasan itu, bahkan ada rasa takut atas perhatian yang ditujukan pada Tapung, dan sebagaimana terlihat, wilayah itu berdekatan dengan KotaRenah yang berbatasan dengan Gunung Melala; Meskipun demikian, nampaknya sejauh ini dari pantauan penjajah tidak menimbulkan persoalan; Akan tetapi sikap dari raja lanskap Kota Intan memunculkan komplikasi serius dan bahkan dapat menyebabkan sebuah ekspedisi militer. Dengan ditutupnya transaksi oleh Sultan Siak, ia memutuskan untuk menyerang Tapung Kiri yang kemudian terjadi di kampung Tebing Tinggi, dimana kepala kampung dengan beberapa orang lainnya tewas. Bahkan pihak Kota Intan tersebut, di kampong dimana terdapat warga yang tewas, Seorang kepala lainnya melalui Tebing Tinggi; memaksa penduduk Gunung Tinggi membayar uang darah atas terjadinya invasi di Tapung Kiri yang mengakibatkan terbunuhnya orang dari Gunung Kandis (negeri di pedalaman sungai Kampar).260 Sebagai dampak yang tidak diinginkan, bahwa kasus tersebut diikuti pengiriman seorang pejabat dan rijksgrooten Siak menuju Kota Intan. Raja lanskap yang bergelar Yang dipertuan Besar, membawa proposal menuju siak untuk membahas urusan dengan dengan pihak yang dianggap berwenang. Pemerintah Hindia menganggap bahwa usulan Raja ini seluruhnya di bawah pengaruh saudaranya - Yang dipertuan Jumadil Alam – akan tetapi, nampaknya hal tersebut tidak dapat untuk dipenuhi. Mantan penguasa Kota Intan, terkait dengan kerajaan Siak, dan menurut Belanda, tampaknya dapat dipastikan bahwa disaat Siak lemah, berulang kali mereka telah menggunakan pelaksanaan kewenangan diwilayah yang jauh dari ibukota Siak berupa penghapusan beberapa-bagian wilayah. Kehadiran Yang dipertuan itu, mungkin karena keinginan untuk ikut memperoleh pendapatan bagi pemerintah pribumi dari eksploitasi timah di Tapung; nampaknya ia menjadi tergoda untuk sementara merampas dari para pendahulunya dan membuat tuntutan baru atas setiap bahagiannya, dan ternyata bahwa ia tidak rela untuk melepaskannya. Ketika pemerintah masih menunggu tentang apa yang harus dilakukan, pada Bulan September 1875, tibalah Yang dipertuan 260

Ibid, hal.397 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

169

Jumadil Alam di kampung Tebing Tinggi (Tandun), dan ia memanggil semua bandahara di Tapung untuk menuju ke sana yang disertai dengan ancaman berupa hukuman jika mereka tidak hadir. Sultan Siak pun bereaksi; sebagai raja yang memiliki kewenangan sah atas Tapung tempat terjadinya peristiwa tersebut, ia meminta izin dari pemerintah Hindia untuk menyiapkan rijksbestierder bersenjata menuju negeri-negeri di pedalaman, dan izin itu pun diberikan, bahkan Kontroler Siak M.J.Honig ikut serta dikirim menuju Tapung, dimana jika memungkinkan masih dapat mencari solusi terbaik dari persoalan yang ada disana. Tanggal 13 September261 tibalah pasukan Siak, yang terdiri dari rijksbestierder tersebut, beberapa kepala-suku dan 300 orang bersenjata, dan juga dengan didampingi oleh kontrolir menuju Batu Gajah, dimana mereka mengetahui bahwa Yang dipertuan Jumadil Alam tengah berada di Kasikan, mereka berada di tempat utama Bandahara Siak, dengan mayoritas penduduknya yang telah mengungsi. Kontrolir mengirim surat kepada Yang dipertuan, dimana ia mengundangnya untuk melakukan pertemuan, akan tetapi, Yang dipertuan menolaknya. Ternyata setelah beberapa hari, baik di Tebing Tinggi maupun di Kasikan, penyusup dengan sejumlah besar pengikutnya telah melakukan tekanan besar terhadap penduduk; pasca penolakan terhadap kontrolir, mereka dengan tergesa-gesa kembali menuju Kota Intan. Sepeninggalnya tentara pendudukan Kota Intan, penguatan yang didirikan di Kasikan hanya berjumlah sekitar 40 orang Siak saja, sementara sisanya kembali ke Siak: aksi tersebut tertunda disebabkan keputusan pemerintah. Pemerintah Hindia, akhirnya terlibat dengan pemahaman yang baru, bahwa Belanda pada bulan Oktober 1875 mengeluarkan keputusan bahwa terhadap Kota Intan akan dikenakan sanksi biaya untuk pelanggaran yang telah dilakukannya terhadap hak-hak Siak. Di bulan November 1875, Kontrolir Honig kembali menuju negeri-negeri pedalaman untuk mencoba bernegosiasi dengan Kasikan dan Kota Intan. Untuk menguatkan posisi tawar tersebut, kontrolir diberikan dukungan kekuatan militer yang terdiri dari 50 orang pasukan yang berasal dari garnisun di Deli262. Bahwa upaya kontrolir itu, baik sebelum maupun sesudah kedatangannya di Tapung; terhadap kepala Kota intan – dengan Yang 261Ibid, 262

hal.398 Ibid, hal.399 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

170

dipertuan Besar, di Kasikan atau Lindai sampai ke pertemuan, untuk memastikan keadaan benar-benar aman dan kembali dengan meyakinkan. Sang tokoh Jumadil Alam, dahulunya ia memiliki hubungan persahabatan dengan lanskap tetangga (merdeka) XII Kotta(wafat pada Februari 1876); Kepala Gunung Malela Nan Bertua, telah membuktikan kepada pihak berwenang di Pantai Barat Sumatera, dan terkadang-dikatakan sebagai suatu bentuk hubungan yang manusiawi dalam halnya dengan lanskap merdeka lainnya, dengan kondisi ini otomatis tertutup oleh pemerintahan Belanda dengan beberapa otoritasnya. Yang dipertuan selaku pangeran Kota Intan, kemudian melaporkan persoalan tersebut ke Fort de Kock263 dan meminta agar dilakukan pemeriksaan oleh dua pejabat Eropa (satu dari Pantai Barat dan lainnya dari Pantai Timur); berkaitan atas perselisihannya dengan Sultan Siak. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak. Pemerintah Hindia telah memerintahkan kepada pihak berwenang di Pantai Barat Sumatera untuk tetap menahan diri dan tidak turut campur tangan dalam bentuk apapun terhadap kasus ini, termasuk juga terhadap pengajuan baru integrasi pada bahagian dari Kota Intan, dimana pihak-pihak hanya dapat merujuk pada Kontrolir Siak. Jadi Yang dipertuan Besar, dalam beberapa waktu ini hanya sendirian saja ia berhadap-hadapan dengan sang Kontrolir. Ternyata, dengan berani dan secara kasar Yang dipertuan menolak semua tawaran. Meskipun Ia mengetahui bahwa Kontrolirlah yang membawa misi tersebut, dia tidak menjawab surat dan bahkan ketika sang kontrolir itu sendiri datang ke Kota Intan untuk menemuinya atau saudaranya. Nampaknya bagi penjajah, tuntutan kekuatan bersenjata terhadap Kota Intan menjadi tidak terelakkan lagi, terutama

263

Realita bahwa penguasa Lanskap tersebut pernah beberapa kali mengunjungi Fort de Kock, yang pertama pada tahun 1865 oleh Jang di Pertoean Sati secara pribadi; kemudian pada tahun 1866 oleh utusannya. Sementara itu, pada tahun 1864 Kepala lanskap, Sutan Abdul Djalil mengunjungi Fort de Kock untuk meminta suatu resolusi atas sengketa perbatasan dengan Ramba, suatu bantuan eksekutif dari Residen dimana ia mendesak pihak yang bersengketa dengan sepucuk surat perdamaian. Nampaknya sejak 1847 tidak terjadi sentuhan “rechtstreek” lainnya dengan Rokan. Annexatie's in Centraal Sumatra, 1880, Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1880 (1e deel), Nomor 3, Hal 185.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

171

berkaitan bagi pemulihan martabat pemerintah Hindia dan otoritas kerajaan Siak. Sehubungan dengan itu, Belanda segera menambahkan kekuatan pada pasukan garnisun Deli, dengan beberapa mortir, dan tanggal 19 Januari 1876, dengan penempatan pasukan di Kampung Kasikan, dimana juga Sulthan Siak telah memberangkatkan kekuatan besar pasukannya. Akhirnya, sebuah Konvoi ekspedisi pasukan yang meliputi beberapa orang dari artileri dan staf medis, terdiri sepenuhnya dari 4 perwira dan 135 prajurit Hindia dengan sejumlah 24 orang adalah orang Eropa, dan terakhir, sejumlah 111 prajurit pribumi. Kontrolir Honig yang telah ditugaskan sebagai pemimpin politik dalam ekspedisi tersebut dan berdasarkan konsultasinya dengan komandan pasukan: kapten infanteri Barthelemy, memutuskan untuk tidak menundanunda dan bergerak maju dari Kasikan. Marsh pertama bergerak menuju Lindai, sebuah kampung Siak. Berkemungkinan disebabkan tidak imbangnya kekuatan (pihak Belanda mengatakan karena rasa takut), meskipun tempat tersebut sebagai basis Kota Intan, terlihat telah ditinggalkan oleh orang-orang menjelang kedatangan pasukan Belanda. Di sana, pada tanggal 26 januari, di Kota Intan sudah didirikan kubu utama pertahanan, dan ketika pasukan penjajah tiba, tampaknya tempat tersebut baru saja dikosongkan. Pada hari yang sama, segera diarahkan pasukan ke Sungei – Kepanasan. Dan pada hari berikutnya, mereka mencapai sungai Rokan dimana terdapat perlawanan dari sebuah kampung kecil; Rantau Tenang. Di kampung tersebut, terdapat sekitar 60 sampai 70 orang bersenjata berkumpul, dibawah dua tokoh; Yang dipertuan Besar dan saudaranya yang baru saja kembali dari Fort de Kock; Yang dipertuan Jumadil Alam. Ketika tantangan semakin menghebat, terlihat bahwa kebanyakan orang-orang tersebut tidak mendengarkan orang-orang Siak. Setelah situasi agak mereda, dari sungai secara lisan kontrolir memberitahukan kepada Yang dipertuan Besar, sebuah surat untuknya, bahwa yang harus dilakukkannya adalah mengambil dan menerima surat tersebut, dan jika ia menginginkan pembicaraan maka tidak akan ada hal yang berbahaya. Untuk sementara, ia ditinggal untuk memberinya waktu. Akan tetapi, jawabannya sama seperti yang telah terjadi sebelumnya. Sementara itu, secara bertahap, dan akhirnya semua kekuatan menuju kearah ibukota: Kota Intan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

172

Sesegera mungkin persenjataan dipersiapkan, menyeberangi sungai dengan kekuatan utama, dan, setelah pawai yang melelahkan, malam itu juga, tempat utama diserang!264 Kampung tersebut, bahwa sampai kondisi terbaru dan dilakukannya penguatan dengan penempatan pertahanan dalam kondisi baik, dimana sewaktu pertama diduduki kondisinya hampir seluruhnya serba dalam kurangan. Yang dipertuan Besar, Setelah keberangkatannya dari Rantau Tenang, memang benar kembali ke Kota Intan, akan tetapi yang dapat dikatakan adalah ia dengan tergesa-gesa menuju Sunkup. Hari berikutnya, tanggal 28 Januari, tibalah detasemen untuk melakukan penjagaan di sisi lain dari Rantau-Tenang sebagai bahagian dari Kota Intan. Pada malam tanggal 29 Januari, sebuah upaya yang dilakukan di Sunkup dalam upaya pengejaran terhadap Yang dipertuan Besar, akan tetapi beratnya kondisi alam yang merintangi perjalanan - sebagai wilayah hutan perawan yang benar-benar belum tersentuh, hutan-belukar yang berlapislapis, yang akhirnya; ternyata bahwa Yang dipertuan tidak ditemui di Soenkoep, sehingga mereka pun kembali ke Kota Intan. Hari itu adalah dimana raja dari kerajaan tetangga; Rokan, menerima janji tertulis, bahwa dia akan menjauhkan diri dari segala campur tangan dalam urusan Kota Intan. Tanggal 2 Februari, menghentak kekuatan utama di sepanjang Tenga – sebuah kampung yang telah ditinggalkan di mana tempat penampungan didirikan - menuju kampung Baru, kediaman dari Yang dipertuan Jumadil Alam. Pada tanggal 5 Februari, diadakan suatu pertemuan antara kontrolir dengan Raja Rokan (atau Lubuk - Badara). keesokan harinya, dilanjutkan dengan pertemuan kedua, membahas batas-batas Rokan, semacam wawancara dengan Kontrolir, dan dilakukan suatu investigasi dan pelacakan untuk mengetahui keberadaan Jumadil Alam; agar dapat dilakukan upaya mediasi dengan Rokan, yang ternyata upaya ini hanya sia-sia belaka. Sementara itu, dengan sendirinya, Yang dipertuan Besar tersebut telah menjadi “buron.” Setidaknya beberapa hari kemudian diterima kabar bahwa Raja tidak berhasil membawa Yang-dipertuan Besar, dan sementara itu Raja Rokan sendiri tidak 264

Ibid, hal.400 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

173

melaporkan keberadaan Jumadil Alam. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah melihat adanya upaya penghentian perdamaian, kelelahan, maka, kontrolir setelah melihat dan berkonsultasi dengan komandan pasukan, akhirnya memutuskan sebuah sanksi atas terjadinya kekerasan; dan karenanya berasal dari sikap Yang dipertuan Besar, segera dilakukan eksekusi penghancuran kampung utama dari Kota Intan. Nampaknya, Belanda tidak menginginkan keresahan terjadi di wilayah di luar batas Rokan; yang dengan demikian kepala buronan tidak akan melarikan diri setelah dilakukan penempatan pasukan. Tanggal 9 – 10 Maret, Gabungan pasukan tersebut kembali menuju Kasikan. Setelah beberapa hari beristirahat, segera ditempatkan sebuah pasukan militer kecil di Tapung, selanjutnya otoritas baru dikembalikan kepada Siak. Konvoi ekspedisi kemudian kembali ke Deli, dengan pengecualian dari detasemen, yang diperkuat seorang perwira dan 40 orang parajurit, sebagai pasukan pengamanan di Kasikan. Meskipun hasil ekspedisi belum menjawab dengan sempurna tujuan utama, bagi pemerintah, kondisi ini bagaimanapun juga tidak diragukan lagi untuk suatu penerapan disiplin kolonial, baik di Kota Intan maupun di pedesaan sekitarnya, Keyakinan telah terbentuk bahwa tindakan orang-orang dari kerajaan tidak akan dibiarkan begitu saja. Desa-desa di Tapung pun kembali sepi. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1876 para penguasa Kunto melarikan diri, Yang dipertuan Besar Kota Intan dan Yang dipertuan Jumadil Alam dari Kota Lama, kemudian pengajuan mereka pun ditawarkan ke Bengkalis. Bahwa pada Maret 1876 kepala Linday, salah satu Kampung di Tapung yang selalu berkaitan erat dengan Kota Intan, mendatangi Siak untuk menawarkan penyerahannya terhadap Sultan, pada awalnya ragu-ragu, akhirnya oleh penguasa Kota Intan juga sang kepala memutuskannya. Ketika mereka tampil di hadapan Residen pantai timur Sumatra, sang residen menyarankan sebagai syarat untuk pengampunan yang diminta, bahwa mereka benar-benar akan membebaskan semua klaim ke wilayah Tapung dan, munculnya perselisihan di antara mereka dan ranah Siak, bahwa sengketa mereka akan diserahkan dengan keputusan pemerintah, yang akan resmi bagi mereka dimana untuk suatu pelanggaran perjanjian akan dikenakan hukuman. Dalam pertemuan yang diadakan di Bengkalis yang juga dihadiri oleh perwakilan dari Siak, Setelah beberapa hari bermusyawarah maka pada tanggal 11 September RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

174

1876 mereka menyatakan untuk mengambil tindakan, yakni “mengikrarkan diri.”265 Dalam perjanjian damai 11 September 1876 ini, Raja Kota Intan secara resmi melepaskan semua hak-haknya untuk lanskap di kedua aliran sungai Tapung ini, sementara tak lama kemudian Sultan Siak dalam plakat 10 Sawal 1293 memberikan rumusan kepada pemimpin dan masyarakat negeri sebagai berikut: »Adalah saperti antara segala bandahara-bandahara serta "kerapatan isi negri samoeanja jang selaras Tapong kiri dan »selaras Tapong kanan laloe ka Lindei antara dengan Radja "Kota Intan telah soedahlah poetoes pertaliannja, dan tida «sekali-kali lagi ada persangkoetannja deri pada adat dan poesaka, hanjalah segala marika jang terseboet tertinggal dibawah pemerintahan doeli kita di Siak." Dan berarti pula, pernyataan ungkapan berubah menjadi, “Beraja dan bertuan ka Siak.” Bahwa pada permulaan abad ke-18, perdagangan dari hulu Siak mulai berkumpul di pasar-penting di Pekanbaru (Senapelan). Bahwa ibukota secara bertahap digeser oleh penguasa- berturut-turut setelah Raja Kecil. Putra dan penerus Raja-Kecil itu, Raja-Mahmud (1746-1760) memindahkan ibukota dari Buantan (Siak Sri Inderapura), beberapa mil hingga Mempawa. Saudara dan penggantinya, Raja-Alam (1761-1779), akhirnya memindahkan ke Senapelan yang melalui inisiatif penguasa baru tempat tersebut diperluas, yang kemudian berganti nama menjadi Pekanbaru. Ini mengendalikan rute ke Patapahan, dimana melalui Sungai Tapung Kiri dapat dilayari semua jalan ke pedalaman, hingga sejauh Payakumbuh. Selain itu, dengan perluasan budidaya gambir di Minangkabau pada paruh kedua abad ke-18, Pekanbaru memperoleh akses ke perdagangan makmur yang berpusat di Patapahan.266 Ibukota baru ini juga strategis dalam kaitannya dengan Kampar, dan memungkinkan digunakan juga oleh Pelalawan ke pintu Siak267 yang diberikan 265

De uitbreiding van het Nederlandsen gezag in Centraal Sumatra. Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.89. 266 C. Dobbin, «Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement», Indonesia, 23 (1977), hal. 20. 267 B D. J. Goudie (ed. & trans.), Syair Perang Siak A Court Poem presenting the state policy of a Minangkabau-Malay royal family in exile, Monograph no. 17, MBRAS, Kuala Lumpur, 1989, hal. 51-2. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

175

oleh Said Abdul al Rahman, putra sekutu penguasa yang berpengaruh, Assayidi Syarif Osman Syahabuddin, umumnya dikenal sebagai Said Osman. Dia bertindak sebagai wakil penguasa, menyandang predikat bandar, yang kemudian diteruskan ke anaknya, Raja Hashim.268 Pada periode Said Ali-(1791-1821), Siak memiliki kekayaan yang cukup besar, akan tetapi berasal dari perdagangan yang berpusat di Pekanbaru. Untuk mendukung kerajaan, keuntungan dari perdagangan ini meletakkan dasar bagi “komunitas sejahtera” dari pedagang Arab yang terlibat dalam berkembang pesatnya perdagangan Siak dengan Singapura dan Penang.269 Perdagangan Arab berada pada tingkatan besar, tergantung pada jaringan komersial Minangkabau yang menghubungkan rantai mereka dari diaspora di sepanjang sistem sungai utama. Dari Patapahan, pantai bisa dicapai dalam 8 hari dan lebih lanjut selama 3 hari melalui laut menuju Pulau Pinang.270 Pengusaha Minangkabau, dibantu oleh ratusan pedlars, mengambil keuntungan dari perluasan gambir dan kopi di pedalaman, untuk terlibat dalam perdagangan bulking dan pertukaran barang untuk impor dari Selat, terutama garam, kain, dan opium. Satu realita, bahwa ramainya perdagangan telah mendorong pendirian pemukiman Minangkabau di Siak. Pada awal abad ke-19, jumlah mereka di Siak diperkirakan sekitar 10.000 jiwa dari total populasi 17.000,271 bahkan Hijman van Anrooij mengatakan bahwa sebelum didirikannya kerajaan Siak oleh Raja Kecil, telah banyak orang Minangkabau bermukim di Siak, bahkan sangat banyak.272 Harmonisasi kegiatan hulu-hilir di Siak, berbeda dengan subordinasi entitas hulu untuk otoritas politik Hilir di Palembang dan Jambi yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan spektakuler aktivitas pedagang pribumi di daerah.273 Disisi lainnya, gejala rasionalisasi hubungan darat - pesisir di Kesultanan Siak adalah bertepatan dengan terjadinya penurunan yang signifikan dalam 268

B Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 1870, hal. 129-30. Dobbin, Islamic Revivalism, p. 94; Anderson, Acheen, London, 1840, reprinted O.U.P., 1971, hal. 168-9, 351-3; Acheen, hal. 206-8. 270 VOC 3867 (A.R.A.), no. 57, Copie consideratien van opperhoofd van Sumatras westkust, von Erath, van 22 Dec. 1789, nopens Compagnie handel en besittingen op die kust, ff.956, 981-2. 271 F. N. Niewenhuijzen, «Het Rijk Siak Sri Indrapoera», TBG, 13 (1864) hal. 392. 272 Hijman van Anrooij, hal.311 273 Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 46-7, 70, 91, 93-4, 103-4. 269

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

176

perdagangan Belanda Melaka dengan pedalaman. Sebagai perbandingan total tahunan sekitar 3.000 tahil emas Belanda di Melaka yang diperkirakan telah diterima sebelumnya dari Sumatera, pada 1789 diimpor hampir 200 tail saja. Keberhasilan koordinasi darat-pesisir dalam Kegiatan perdagangan di Siak, jelas saja tergantung pada stabilitas pemerintahan di pesisir. Mungkin saja, sejak berdirinya kerajaan Siak oleh Raja Kecil, Riau daratan terutama pesisir telah merdeka terlepas dari Johor, bahkan sebahagian ahli melihatnya sebagai kebangkitan era baru hubungan darat – pesisir terlepas dari bayang-bayang semenanjung ataupun Pagaruyung. Akan tetapi dalam kenyataannya Siak belumlah benar-benar mapan dalam mengidentifikasi dirinya sebagai penguasa Riau daratan, dan lebih cenderung berposisi hanya sebagai penguasa pesisir timur Sumatra. Wilayah taklukan Siak(diluar eigenlijk Siak) adalah membentang sepanjang pantai timur dari Kampar hingga Haru, terutama penaklukan sebelah barat pada era Said Ali: sosok yang dipuji Belanda sebagai raja yang energik dan prospektif. Pengalaman pahit Said Ali ketika berkonfrontasi dengan Petapahan dan aliansinya(V koto Kampar), ternyata, menyimpan ketegangan-ketegangan lanjutan di era sesudahnya. Meskipun perjanjian 1858 antara Siak dan Belanda memasukkan wilayah Tapung dalam lanskap taklukan Siak, sebagaimana telah dijelaskan, tidak menyurutkan kerajaan di hulu sungai Rokan; Kota Intan, untuk mempersoalkan dan menjadikannya pemicu konflik berdarah ketika kepentingannya tidak terakomodir sehubungan masuknya kepentingan Eropa kesana. 274 Selain itu, terdapat konflik Siak dan kerajaan di Hulu Sungai Rokan; terutama antara Tengku Zainal Abidin dan Siak. Dalam berbagai literatur nasional, maka kisah pendudukan penjajah merupakan kisah hasil dari serangkaian politik adu-domba, pecah belah; bagaimana para pejabat kolonial melakukan serangkaian taktik dan intrik agar para penguasa pribumi saling berada dalam posisi saling berhadap-hadapan. Akan tetapi sebaliknya, pengakuan yang terdapat dalam berbagai sumber dan laporan-kolonial cenderung untuk menempatkan diri mereka sebagai sosok “penengah” dalam membenahi situasi konflik-lokal yang sebenarnya kondisi

274

Dalam “Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], bertanggal 1 November 1876. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

177

tersebut menguntungkan mereka, seperti kasus konflik di pedalaman sungai Rokan sebagai berikut:275 Nampaknya sia-sia saja Residen Pantai Timur Sumatra melakukan pengaturan diantara para kepala negeri-negeri Rokan; seperti gesekan yang terjadi antara lanskap Rantau Binuang: seorang keturunan mantan sultan Tambusai dengan sultan Siak, meskipun kepala Tambusai tersebut telah tinggal di Rantau Binuang selama lebih dari 40 tahun. Sementara Siak, tetap bersikukuh bahwa Rantau Binuang merupakan bahagian dari wilayahnya. Dimana hal tersebut menyebabkan penguasa Rantau Binuang, Zainal Abidin dalam posisi berhadap-hadapan dengan Siak, dimana hak-haknya di Tanah Putih, Kubu dan Bangko ditolak, dengan kata lain, Zainal Abidin tidak mengakui kekuasaan Siak atas lanskap-lanskap tersebut. Zainal Abidin, secara pribadi mengajukan kasusnya dan menyatakan sudah terlebih dahulu mengajukan sebagai bahagian dari “rechtstreeksch” kepada pemerintah di Bengkalis, untuk menghindari tuntutan Siak dengan melakukan penyerahan. Upaya untuk membawa pihak-pihak yang berselisih agar menuju pemulihan hubungan ini, ternyata gagal. Zainal Abidin tinggal beberapa bulan di Bengkalis, kemudian menuju Batavia juga membawa keluhan terhadap Siak dan klaim atas wilayah Rokan. Upaya lebih jauh dikerahkan untuk menyelesaikan isu tersebut. Terdapat juga perselisihan antara Rantau Binuang dengan Kepenuhan. Untuk kasus perselisihan tersebut Residen segera mengirimkan seorang utusan yang mempu menggambarkan batas-batas yang tepat dari lanskap Kepenuhan. Selanjutnya menjelang akhir abad ke-19, tepatnya ditahun 1897 diberitakan bahwa telah terjadi potensi kerusuhan di wilayah lanskap Siak, khususnya di Tanah Putih – sebagai akibat kembalinya Mohamad Zainal Abidin dari

275

Dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, 1883 (2e deel) [volgno 5]: 01-10-1883, hal. 264 – 265. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

178

semenanjung Malaya, tepatnya Perak.276 Bahwa situasi “Rawan” ini dirasakan hingga ke hilir Sungai Rokan, Bagansiapiapi, yang telah menimbulkan keresahan disana. Bahkan Asisten Residen sampai meminta perlindungan militer dengan didatangkannya satu garnisun lengkap dengan kapal perang yang bersandar di pelabuhan Bagansiapiapi. Kemudian, tanggal 27 Februari Residen mengunjungi lanskap tersebut dalam upaya meredam situasi tersebut, menyelidiki, dan hasilnya; ia beranggapan bahwa rasa takut ternyata terlalu dibesar-besarkan. Residen memerintahkan kepada Asisten Residen Bengkalis untuk menetap di Bagansiapiapi selama beberapa hari guna menenangkan penduduk dan memulihkan keadaan, dan selanjutnya melakukan kunjungan ke Tanah Putih; menerima kedatangannya, dimana Kontrolir Tanah Putih menyerahkan surat “sopan” dari Zainal Abidin yang berisi pemberitahuan kedatangan dan pengungkapan rasa perdamaiannya. Sang Residen menjawab bahwa Zainal Abidin dapat bepergian kemana saja yang diinginkannya, akan tetapi tetap berada diluar wilayah Tanah Putih. 277 Memasuki abad ke-20, tepatnya pada tahun 1904, terhadap Zainal Abidin, penjajah memandang bahwa ia tidak lagi mematuhi pernyataan yang dibuat olehnya sendiri dimana ia berjanji untuk berperilaku sebagai warga negara yang baik dan tenang, namun kembali ia bersikap sebagai layaknya seorang raja: satu sikap yang dipandang sebagai prilaku yang tidak mendukung pemerintah penjajah, maka pada tanggal 4 Juli 1904, oleh kontrolir Quast278 yang disertai dengan sepasukan militer dari Bangkinang, Zainal Abidin ditangkap di Tambusai, dan setelah itu melalui Gouv.Besluit tanggal 27 November 1904 No.3, untuk kepentingan perdamaian dan ketertiban umum di Hindia, Zainal Abidin diinternir ke Madiun. Menurut Laporan Kolonial, 276

Bahwa pemerintah kolonial sendiri tidak mengetahui dengan pasti tujuan kedatangan Zainal Abidin setelah bermukim selama tujuh tahun di Perak. Sebaliknya, kedatangannya yang disertai rumor akan terjadi penyerangan ke Siak dan Bagansiapiapi tidaklah benar, melainkan berdasarkan surat yang ditujukan kepada asisten residen, adalah untuk mengunjungi makam keluarganya, dan diterima berita bahwa pada bulan Maret, Zainal Abidin kembali ke Perak. Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, tanggal 28 juni1899, “Midden Sumatra.” 277 Dalam UTRECHTS NIEUWSBLAD, tanggal 30 April 1897: Kolonien, hal.5 278 Melalui Besluit tanggal 15 Mei1903 diangkat Knight dari Orde Orange- Nassau sebagai kontrolir Binnenandsch Bestuur (B.B.) di luar Jawa dan Madura H.C.E.QUAST, dengan tujuan untuk melakukan pemeriksaan di lanskap merdeka, Rokan. H.C.E.QUAST, digambarkan meraih sukses besar dengan tugas penyelesaian persoalan di Lanskap Rokan, dalam suatu operasi militer penangkapan tokoh Dzainal Abidin yang dilakukan tanpa adanya satu pun tembakan yang diepaskan petugas. Dalam Soerabaijasch handelsblad tanggal 30 Juni 1906. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

179

setelah pemindahannya tersebut, dilaporkan bahwa di Tambusai tidak lagi mengalami gangguan keamanan. Sementara itu pada tahun 1860-an, terdapat laporan yang menyatakan bahwa Sultan Siak membuat kesepakatan dengan para pedagang pedalaman dari salah satu distrik di lima Puluh Koto, agar memapankan outlet perdagangan ekspornya di sungai Siak, dan bukan lagi menyertakan sungai Kampar. Para pedagang itu kemudian memblokade sungai Kampar di Teratak Buluh, dan memaksa seluruh pedagang menuju sungai Siak di Pekanbaru melalui jalan setapak. Seorang Jago pun dikirim oleh penguasa PelalawanKampar untuk mematahkan blokade dengan menggunakan kekerasan, akan tetapi, pemimpin dari Lima Puluh Koto secara persuasif menjanjikan bahwa blokade akan dibuka pada tahun 1868. 279 Tidak diketahui alasan pasti dari Sultan Siak untuk menyetujui aksi blokade tersebut. Hanya saja, pada sekitar tahun 1861, muncullah sengketa tahta Kerajaan Pelalawan di hilir sungai Kampar, antara Tengku Besar Said Hamid dan adiknya; Tengku Said Jafar. Tengku Besar Said Hamid, dari istri pertamanya Inceh Obi, ia memiliki delapan anak, dimana tiga yang tertua, dua putera dan seorang puteri, telah meninggal, dan anak berikut yang lahir dari perkawinan yang sama; Tengku Kesumoyudo atau Sumoyudo yang menikah dengan Tengku sidah yang merupakan putri dari Tengku Ismail, Sultan Siak. Tengku Said Hamid berharap kepada anaknya yang sudah ditunjuk sebagai pewaris tahta, akan tetapi disisi lain, saudaranya sendiri Tengku Said Jafar berupaya menggagalkannya. Bahwa pertimbangan dari sang adik bungsu; Tengku Said Abu Bakar mengenai persoalan suksesi Raja ini, ia memperlihatkan bahwa setelah Tengku Said Hasim bertahta, mengikutlah dua saudaranya sebagai pengganti secara berturut-turut Raja Pelalawan; Tengku Said Ismail dan Tengku Said hamid. Kondisi ini, diklaimnya sebagai telah berlangsungnya adat tentang suksesi secara kolateral di Pelalawan. Akan tetapi, Tengku Said hamid membantah klaim saudaranya itu. Ia berpendapat bahwa, penggantian Tengku Said Hasim kepada Tengku Said Ismail, dan dari Tengku Said Ismail kepada Tengku Said Hamid disebabkan pada saat kematiannya, tidak memiliki keturunan laki-laki. Ketika kerajaan Pelalawan diserahkan oleh Sultan Siak Tengku Said Ali kepada saudaranya Tengku Said Achmad, menurut Tengku Said Hamid telah diadopsi beberapa hukum yang mengatur tentang hubungan suksesi. Ketika Raja 279

PV Riau 1865, ANRI, Riau 58-2; PV Riau 1868, ANRI Riau 59, Colimbijn, 2005; 16. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

180

Pelalawan meninggal, Karapatan haruslah menyelidiki siapa yang harus menggantikannya, diurutkan mulai anak-anak tertua dari almarhum Raja, kepada siapa tahta kerajaan tentunya memiliki peringkat calon, akan tetapi, jika almarhum raja tidak meninggalkan anak, maka akan jatuh kepada saudaranya sebagai pihak yang duduk memerintah. Pencalonan Kesumoyudo atau Sumoyudo, didukung kuat oleh Siak, dan Belanda memandang bahwa ini adalah bentuk upaya bagi Siak untuk kembali membawa Pelalawan kepada bentuk hubungan sebagai dependensi. Ketika asisten residen Siak pada bulan Maret 1862 berada di ibukota Siak, Sultan menyerahkan surat dengan segel dari Tengku Besar dari Pelalawan, Tengku Said Hamid, bertanggal 11 Sjaban 1278 (11 Februari 1862), Sultan Siak sebagai berdaulat dan diakui, dan asisten-residen Siak dipanggil untuk melihat tentang penunjukkan anaknya Sumoyudo sebagai penggantinya. Akan tetapi, keaslian surat itu kemudian ditolak oleh Tengku Besar. Bagi Belanda, ini merupakan waktunya untuk masuk lebih jauh ke kerajaan di hilir sungai Kampar tersebut. Hal ini terlihat dengan keinginan Belanda yang nampaknya berkemungkinan memasuki negosiasi kontrak terpisah dengan Tengku Besar dan pembesar Kampar atas pengakuan kedaulatan Belanda. 280 Mungkin saja, akan timbul spekulasi, bahwa aksi blokade sungai Kampar di Teratak Buluh sebagai imbas rivalitas antar dua kerajaan bersaudara tersebut. kemudian halnya antara Siak dan V Koto Kampar menyangkut kepentingan pertambangan Eropa ke pedalaman. Pada bulan Juli 1877 oleh Kontrolir dilaporkan bahwa di negeri-negeri Rokan, sebagaimana juga terdengar di wilayah negeri-negeri di pedalaman Siak dimana para administratur Eropa dari perusahaan yang ada disana, sesekali memperoleh kunjungan dari kepala V Koto Kampar. Yang jelas, ini tidak membuktikan bahwa yang mereka lakukan telah keluar dari kedaulatan Belanda, melainkan hal ini menjadi perhatian khusus disebabkan mereka telah bersumpah untuk tidak akan membiarkan keberadaan orang Eropa atau Cina di negara mereka. Meskipun demikian, nampaknya keberatan ini telah berakhir. Setidaknya pada bulan Juli 1878, para kepala mengungkapkan keinginan kepada residen Pantai Timur Sumatra secara tertulis. Sang residen memperkenalkan diri, kemudian melakukan perjalanan ke Pulau-Lawan juga mengunjungi wilayah V Koto Kampar. Pada tahun 1874 atau 1875, Sultan Siak mencoba membujuk Datuk V 280

Faes, “Het Rijk Pelalawan”, 1882, hal.512-514. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

181

Koto Kampar, dalam kepentingan pertambangan timah China di negeri mereka, akan tetapi, sang Datuk menolak. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa pada tahun 1865, salah satu insinyur pemerintah Gubernemen melakukan penelitian tentang sumber daya timah di negerinegeri Siak, dan berkeinginan untuk memasuki wilayah V Koto Kampar dengan tujuan penelitian yang sama, akan tetapi seperti diperkirakan terdapat resistensi bahkan pada saat kedatangannya kesana. Residen Riau mengutus Seorang pribumi untuk menemani insinyur guna menjelaskan bahwa orang Eropa telah diizinkan memasuki daerah mereka dan bahwa mereka tidak akan menyimpang dari apa yang telah dijelaskan-melakukan penelitian tersebut. Hasilnya, Insinyur itu kemudian didapati menyerah dari rencananya semula. Dalam perjalanan di tahun 1893, Pemerintah Belanda nampaknya menganggap Siak terancam dengan kesulitan yang berasal dari negeri tetangga, lanskap merdeka V Koto Kampar di cekungan atas dari sungai Kampar Kanan, yang semakin menunjukkan penolakan untuk bersentuhan dengan pemerintahan Eropa. Muncul ketidakpuasan V Koto Kampar terhadap Siak atas penghasilan mereka menyangkut kuli untuk pengangkutan barang-barang komersial antara Tratak Buluh di Sungai Kampar dan Pekanbaru di Sungai Siak.281 Jalan raya penghubung ini sangat signifikan: lebih khusus lagi orang-orang dari Kampar menggunakannya sebelum menuju laut via Siak, dapat juga melalui sungai Kampar-Pelalawan (kv. 1890 hal.12) adalah salah satu layanan transportasi dijalankan dengan cara menggunakan kuda beban, dan juga didirikan kedei di Teratak Buluh, terdapat aturan mengenai penggunaan tambatan yang tidak disukai orang-orang dari V Koto Kampar. Pada bulan September, bahwa berdasarkan ketidakpuasan tersebut berkumpullah badder Di Pulau Payung dalam rangka untuk menghentikan kedei pemberhentian kuda beban. Tanggal 21 September 1893, muncul sekitar 100-an perahu besar di Teratak Buluh dengan memuat banyak orang bersenjata, asisten residen Bengkalis, Sultan Siak dan kontrolir menuju ke Pekanbaru, dan mendatangkan salah

281

KV: 1894, kol 13-14.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

182

satu pasukan militer dari garnisun Bengkalis yang terdiri dari 24 orang anggota pasukan bayonet untuk mengantisipasi adanya kerusuhan dari orangorang bersenjata, sementara Sultan sendiri telah membawa orang-orangnya. Adapun kepala V Koto Kampar, saat memberikan klarifikasinya terhadap Sultan, menunjukkan sikap yang sangat tidak layak, dan ketika mereka mengemukakan alasan untuk penampilan mereka itu, ia menyatakan keluhan dan dirinya siap untuk melakukan keadilan sebagai bentuk legitimasi hukum asalkan telah terlebih dahulu dipanggil kembali orang bersenjata mereka. Kepala menyatakan kesediaan mereka untuk mematuhi poin ini, dengan harapan bahwa Sultan akan mengutus seseorang menuju Tambang (Sebuah negeri netral antara Siak dan V Koto Kampar) dimana seseorang yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan mereka. Tanggal 29 dan 30 September, semua perahu mengubah arahnya kembali menuju V Koto Kampar, dan kemudian asisten residen dengan detasemen militer Pekanbaru, dan pada tanggal 1 Oktober kembali datang dari Bengkalis. Siak, sesuai dengan keinginan dari V Koto Kampar sejauh dapat dipenuhi dan masuk akal, bahwa pengaturan yang dibuat sehubungan dengan tambatan untuk perahu dagang ke Teratak Buluh untuk kedua belah pihak; layanan transportasi kuda tetap dipertahankan. Karena pembangunan transportasi ini menempatkan seseorang dari Onderafdeeling Pangkalan Baru dan XII Koto Kampar (afdeeling Limapuluh Koto Residensi Dataran Tinggi Padang) yang ternyata menyebabkan ketidakpuasan terhadap warga di sana, akibatnya, berimbas dalam mendorong perdagangan V Koto Kampar dengan Pantai Timur Sumatra. Selain itu, bahwa perluasan wilayah Siak ke hilir Sungai Rokan tahun 1858 dimana terdapat Lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko, Belanda mencatat terjadinya mal administrasi pemerintahan yang mungkin saja telah menyebabkan “kegelisahan” sebagai negeri taklukkan Siak disana. 282 Hijman van Anrooij, mendeskripsikannya sebagai berikut: Pendapatan Sultan yang berasal dari Tanah Putih, pertama diserahkan kepada (sejak almarhum) adik perempuannya; Tongkoe Maklugsoen, yang menikah dengan Tengku Kelana dari Pulau lawan, dan kemudian 282

Pemerintah Belanda terutama diakhir abad ke-19, mencatat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan anggota kerajaan, lihat Hijman van Anrooij dalam “Het Rijk Siak” dan juga Rijn van Alkemade. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

183

setelah kematiannya, beralih kepada saudaranya, Mangkubumi dari Siak; yang kedua sebagai kompensasi atas pengambilalihan pulau Bengkalis oleh Sultan kepada Pemerintah Belanda dengan kesepakatan, bahwa sejumlah $400 per tahunnya akan dibayar kepada Datuk Tanah Putih. Dokumen tersebut yang pastinya dicatat oleh Mangkubumi, ternyata dipalsukan; baginya, perolehan dari Tanah Putih dianggap sebagai perdikan turun-temurun. Pada akte tersebut, nampaknya semua harus ditolak, bagi orang dengan pengetahuan yang lebih luas, maka orang tersebut dapat memastikan bahwa hak pendapatan Mangkubumi berasal dari catatan yang dipalsukan, dimana isinya tidak konsisten dengan adat, bahwa tidak ada pangeran Melayu memiliki hak untuk otoritas sendiri atas sebahagian negerinya kepada pihak ketiga – siapa pun mereka yang mungkin untuk memberikannya. Sementara itu, Mangkubumi tidak luput, sekarang dan kemudian begitu baik untuk berperilaku sebagai pangeran berdaulat dari Tanah Putih, oleh Sultan, bahkan terhadap larangan-nya, untuk memberhentikan atau menunjuk kepala, dan untuk mengatur orang-orang pada kedudukannya, tanpa Sultan terlibat di dalamnya. Sultan, bagaimanapun, tidak pernah memiliki keberanian untuk bertindak atas penyalahgunaan kekuasaan ini. Akan tetapi memasuki tahun 1879, setelah Mangkubumi dengan sikap arogannya terhadap Pemerintah, yang menempatkannya dibawah mata, plakat dibuat dan disebarluaskan: sebuah segel Sultan dan juga dirinya sendiri, serta menetapkan sanksi berat bagi setiap pelanggaran bagi masing-masing kepala di Tanah Putih, Kubu dan Bangko untuk menentukan apakah akan menerima satu janji begitu tunduk, tetapi sebaliknya Mangkubumi mengabaikan apa yang bisa dia lakukan, Ia memperoleh kekebalan atas apa yang dilakukannya dihadapan mata Sultan. Seberapa jauhkah kesewenang-wenangan yang dilakukan Mangkubumi, menurut redaksi dari “Acte van Aanstelling,” pada tanggal 8 Dzoelhidjah 1294, terhadap Bimbang dan Badoe, Mangkubumi mengangkat mereka sebagai kepala suku Batu Hampar dan Mesa, dan mereka ditunjuk di tempat yang sah sebagai hak dari Sultan: dimana sebelumnya sultan tidak pernah memecat para kepala sebelumnya. Lebih jauh dalam catatan menunjukkan bahwa tidak terdapatnya peran dari Sultan Siak, dan bahkan tempat bagi sultan untuk menentukan. Apa yang penting disini bahwa yang tidak dapat diputuskan di Tanah Putih maka akan diadili bukan oleh Karapatan di Siak, atau hakim yang berwenang, Melainkan oleh Mangkubumi pribadi! Jika dia memiliki kekuasaan tak RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

184

terbatas atas Tanah Putih, maka akan ada tindakan-tindakan yang tidak memerlukan pertimbangan lainnya. Mangkubumi memiliki alasan, bahwa berdasarkan penggalan editorial yang tertera bahwa Tanah Putih menyerahkan kepemilikan penuh, dan bukan tidak mungkin bahwa seseorang telah melakukan ini, dengan demikian memaksanya untuk, mematuhi persetujuan guna mematuhi jarak dari Bengkalis; dan dia, setelah bagian itu dibuat sedemikian rupa, gaya yang dibuat, godaan yang ditawarkan, secara eksplisit dinyatakan diantaranya terdapat kata-kata "Sampei-anak-tjoetjoenjda" sebagai satu keturunan, hingga semua quaesties berikutnya, baginya, tidak ada penghambat untuk pelaksanaannya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa praktik-praktik ini telah menimbulkan kekacauan di Tanah Putih, yang tidak dapat dikesampingkan bahwa hal ini relevan dalam posisinya saat itu sebagai sebuah negeri yang tertinggal.283 Meskipun demikian, tidak akan pernah terdapat kisah Riau daratan jika isinya hanyalah kisah konflik semata. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa berdirinya kerajaan Siak disatu sisi telah menurunkan intensitas ketegangan antara politi didataran tinggi Minangkabau, dengan politi pesisir. Raja Kecil sebagai pendiri Siak di wilayah pantai, membawa darat kedalam hubungan yang lebih dekat dengan pesisir, bahwa ia dianggap tidak saja sebagai pendiri dan penguasa kerajaan Melayu modern di Riau Daratan pada awal abad ke-18, melainkan juga diasumsikan mewakili kepentingan darat, yang didominasi Pagaruyung; Anak IV Suku di Siak, mungkin menjadi salah satu jawaban atas dugaan ini, tidak saja sebagai politik balas budi terhadap Minangkabau pendukungnya dalam serangan terhadap Johor 1718, melainkan juga keberpihakan penguasa Siak terhadap kerajaan di pedalaman. Keberhasilannya dipandang juga karena Raja Kecil memiliki kedekatan dengan para pemukim Minangkabau di pesisir dan sepanjang sungai yang mayoritas adalah pedagang. Seiring perjalanan waktu, memasuki abad ke-20 nampaknya keterlibatan Minangkabau secara khusus menandai distrik tradisional “rantau”, di mana sejumlah migran meningkat tajam menyusul booming karet dari tahun 1920 dan peningkatan jalan penghubung antara Bukit Tinggi dan Pekanbaru.284 283 284

Hijman van Anrooij, hal.377-9 Reid 1979: 49; Kato 1982: 84, 93 catatan 24, 108. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

185

Akan tetapi, peningkatan drastis migrasi ini diiringi pula dengan meningkatnya kecenderungan Minangkabau untuk berlaku sebagai kelompok yang terpisah, mempertahankan adat istiadat yang membedakan mereka dari orang-orang Melayu: kondisi yang nampaknya berbeda dengan para pendahulunya dimasa awal berdirinya kerajaan Siak. 285 Nuansa Melayu dibanjiri oleh tetangga Minangkabau mereka secara intensif, disebabkan banyaknya kaum perantau itu digunakan oleh Belanda untuk mengisi tingkatan rendah dalam birokrasi. 286 Selain itu, migrasi massif Minangkabau ke daerah darat diasumsikan mengabadikan ketegangan daratpesisir yang telah lama menjadi ciri khas daerah, dalam beberapa kasus yang diselesaikan hanya dengan pembentukan terpisah “negara” seperti yang terjadi di Kampar Kiri, muncul suatu waktu di abad ke-19.287 Di lanskap Singingi di aliran sungai Singingi yang terletak di percabangan dari sungai Kampar Kiri adalah pemukiman yang mandiri, tanpa adanya pemerintahan sentral sehingga memungkinkan meningkatnya iklim masing-masing kewilayahan dan memunculkan perang-sipil. Dalam rangka untuk memperbaiki situasi ini, diputuskan untuk meminta bantuan Pagaruyung yang dalam hal ini, pangeran dari dinasti Minangkabau. Atas permintaan tersebut maka Pangeran Pagaruyung mengirimkan seorang putra menuju Gunung Sahilan dan seorang puteri ke Muara Lembu. 288 Pangeran menarik beberapa negeri bersama-sama dan membuat salah satu Kepala (pucuk nagari) kepada Chalipah. Dalam menerapkan pucuk nagari dari Gunung Sahilan, Chalipah dari Kampar Kiri adalah keturunan dari pangeran Pagaruyung. Menurut O’Brien(1906), Chalipah, yang awalnya bertindak sebagai pemimpin, mulai merasa semakin mandiri, sementara disisi lainnya 285

Penjelasan atas Kondisi Minangkabau pada era awal di Siak, dapat dilihat dalam Hijman van Anrooij, 1885. Perbedaan dengan masa sesudahnya, terutama pada masa Republik, mungkin dapat dilihat pada penjelasan sifat Merantau Minangkabau, yang dilakukan secara berkelompok pada masa awal Siak, dan cenderung lebih kepada individual pelaku merantau pada masa kontempoter, perbedaan ini terefleksi pada perbedaan orientasi di tanah rantau. lihat Mochtar Naim: Merantau: Pola Migrasi Masyarakat Minangkabau. Juga, kontak Pribadi dengan H.M.Rosdian,M.Si – Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padang Panjang Sumatra Barat, 6 Agustus 2015. 286 Kato 1982: 109 287 Lutfi 1977: 355. 288 Tideman, 1935: 11. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

186

hubungan dengan Pagaruyung pun semakin melonggar. Populasi akhirnya mengakui Chalipah di Gunung Sahilan sebagai pemimpin tertingginya atau raja, dan setelahnya adalah chalipah dari Ludai. Mereka mencoba untuk menyelesaikan (mufakat), akan tetapi perbedaan menyebabkan tidak dapat dicapainya suatu kesepakatan, kemudian akan dibahas oleh chalipah Ludai dengan Kuntu, yang mengklaim gelar penghulu, sedangkan penasihat tertinggi Chalipah Ujung bukit dengan gelar manteri. Setelahnya chalipah dari Sanggam adalah seorang perwira penting, dalam kondisi seperti ini, jika tidak bisa menemukan solusinya, maka kasus dibawa untuk sang pangeran. Dalam peran yang dipimpinnya itu, ia mengenakan gelar dubalang. Dengan kesenjangan antar imigran yang berasal dari Pagaruyung di wilayah Boven Kampar, ini menjadi penyebab banyaknya perang yang terus-menerus melanda wilayah. Sampai sesaat sebelum pengalihan Kampar Kiri pada tahun 1905 kepada otoritas Belanda, konflik-konflik di Kampar Kiri adalah kasus yang ditemui oleh pemerintah Hindia. 289 Ketika Pemerintah Kolonial menaklukkan kerajaan Pagaruyung pasca perang Padri, dan penguasa terakhir; Raja Alam diasingkan ke Batavia pada tahun 1833, menetaplah di rantau Singingi (rantau Minangkabau) sebagai orang tersingkir, Raja di Buo, yang kemudian dikenal dengan Yang dipertuan (atau Pituan) Sembayang dan menikah dengan Tuan Gadis Muda, saudara dari Raja Alam, Putri mereka hadir, Tuan Gadis Reni Sampur, dimana garis dari ibu berupa silsilahnya itu, diterbitkan dalam Ijzerman.290 Sementara Yang Pituan Sembayang banyak bepergian, dan bahkan ketika ia berupaya untuk kembali ke Buo, O’Brien mengatakan ia ditolak oleh Pemerintah Hindia (bandingkan dengan IJzerman(1895), bahwa Pemerintah Hindia bukan menolaknya, melainkan tersebab hasutan seorang penghulu, Raja di Buo membatalkan niatnya –teringat akan Raja Alam yang diasingkan Belanda ke Batavia, 289

Seperti Pangkalan Indaroeng, sebelumnya adalah sebuah negeri yang makmur dan sejahtera, hingga terjadinya perang sipil terakhir, didapati sebagai nergeri yang dijarah; (rijstchuran-960), seluruh penduduknya melarikan diri. O’Brien mengatakan bahwa saat kedatangannya kesana, sejumlah 30-an orang penduduk telah kembali. Yang lainnya, sebahagian besar bermukim di distrik Kwantan dimana mereka jatuh terlibat dalam hutang dan juga telah mengupayaan pertanian menetap; terdapat beban untuk membangun kembali pemukiman dan juga mempertahankannya; lihat O’Brien, dalam Tijdschr. K.N.A.G., 2de serie XXXIII., Rapport omtrent de tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-KiriLanden. Amsterdam, 1906. hal.959. 290 O’Brien, 1906; hal.970, IJzerman, 1895; hal.47. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

187

kemudian istrinya, Tuan Gadis Muda wafat di Muara Lembu, dan dimakamkan di situ. Adapun Raja di Buo yang wafat setelahnya, dimakamkan di rantau Kuantan. Kediaman Raja di Buo dan istrinya Tuan Gadis Muda di Muara Lembu – Singingi, terbagi dalam Lingkoengan Andiko dan Lingkoengan Daulat, milik terakhir negri, untuk pemeliharaan sehari-hari dari keluarga Raja, memiliki keprihatinan dan ini memiliki efek yang terbesar. Bagi O’Brien, berkemungkinan sejak saat itu dinamakan Rantau Tuan Gadis, dimana ia dimakamkan disana. Makam ini adalah satu-satunya petisi pangeran di Singingi. Tidak terdapat Raja lainnya, baik laki-laki ataupun perempuan , dimakamkan di Singingi; bukti bahwa Singingi pernah dihuni oleh penguasa raja yang telah dikenal,291 dan Kepala yang berdaulat hanya mengakui kekuasaan dari pangeran Pagaruyung, dan nampaknya kekuasaan kerajaan ini telah berakhir dengan diasingkannya raja terakhir, Raja Alam. Terdapat seorang anak Raja di Buo dan Tuan Gadis Muda, Tuan Gadis Reno Sumpur yang kembali ke Minangkabau dan hidup dalam kegamangan di Pagaruyung, di mana pemerintahan dibawah Residen Prince, membantunya dengan dana untuk pembangunan rumah. Di Rantau Singingi ini, orang tampaknya menganggap Pemerintah Hindia mengakui dirinya sebagai Raja dari Pagaruyung, sebagai keturunan dari Raja Alam. Bagaimana sebenarnya hubungan kepala di Singingi dengan Tuan Gadis? “Bermamak ka Jelo Sutan nan Haji Bandaro” bertuan (ada yang mengatakan “berajo” (Hal ini membingungkan Belanda) ka Pagaruyung,” ini adalah aturan hukum yang umum berlaku. Jadi, menurut O’Brien bahwa Jelo Sutan mengklaim dirinya secara sepihak sebagai Mamak dari Singingi, Dan tidak seorangpun di dataran tinggi mengenalinya. Sementara itu, Tuan Gadis adalah keluarga dari Raja Alam; sepertinya terbukti dia dihormati untuk jangka waktu yang panjang, tetapi tidak mengenalinya sebagai Tuan atau Raja. Adapun kepala lainnya mengenalinya sebagai “Tuan,” dan mengklaim bahwa Singingi, adalah sebagai Rantaunya. Terdapat perselisihan antara kepala - Singingi sebagai berikut: Terkisah bahwa terdapat pengajuan ke Pemerintah Hindia pada tahun 1899 dengan bertempat di Siak, segala macam transaksi yang dilakukan dengan 291

O’Brien, 1906; hal.970. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

188

dan melalui mediasi Sultan Siak, dari Gunung Sahilan dan negeri takluknya. Kemudian Singingi, dilanjutkan sebagai dependensi (taklukan). 292 Datuk Bandaro Hitam dari Kota Baru Anaro (Anaro ini biasanya dihilangkan) menyatakan, bahwa ketika Jelo Sutan ingin mengubah adat kuno, dan bersikeras pada Singingi, dalam hal apapun, Raja Gunung Sahilan harus mengambil salah satu dari darah murni, yang tersisa dari pembantaian menakutkan atas Pagaruyung. Terdapat seorang tokoh bernama Angku Kuning atau Bujang Kuning, juga disebut SULTAN ABDUL MAJID, dikenal juga sebagai Raja Angku kuning atau Bujang Kuning sebagai seorang putra Raja di Buo dengan salah seorang perempuan Kuantan: seseorang dengan kelas keturunan biasa yang berasal dari Kota tuo. Ia menikah dengan adik dari Raja Gunung Sahilan. Sekembalinya dari Siak, Angku Kuning merasa keberatan terhadap hasil transaksi dengan Sultan Siak, dan akhirnya juga meminta salah satu penghasilan dari negeri yaitu pertambangan, karena sebagai putra Yang Dipertuan Sembayang (Raja di Buo), ia mengklaim Rantau Sibayang dan Singingi. Kondisi ini, menyebabkan perselisihan dan Angku Kuning pun menyatakan dirinya sebagai Raja di Singingi dan bermahkota di Kota Baru dengan gelar Yang Dipertuan Salih. Agar dapat dicapai kedamaian dan pengakuan di tempat lainnya di wilayah Singingi, ia mengklaim bahwa hal ini dilakukan dengan persetujuan kakaknya, Tuan Gadis, sebagai “Princess of Pagarroejoeng.” Tanjung Pauh, Pulau Patai, Kota Baru dan Pangkalan Indarung mengenali dan mendukungnya. Hanya saja, Muara Lembu dan Patai menolaknya. Setelah jatuhnya Patai, yang benar-benar diperjuangkannya, dengan hasil dua Kota itu akhirnya membayar upeti kepada Angku Kuning.293 Ia melanjutkan aksi ini, untuk membangun kota dimana ia bisa mengandalkan loyalitas penduduknya. Sementara di Kuntu di Sibayang, Bandaro tua digantikan oleh Sutan Bandaro, yang ayahnya adalah seseorang yang terusir dari Rokan-stroke: seorang keturunan Raja. Sutan Bandaro ini memiliki harapan yang lebih tinggi, dia ingin melakukan sesuatu untuk meningkatkan posisinya menjadi Raja dari Rantau-Sibayang. Sebelumnya, ia terlebih dahulu menjalin persahabatan dengan Angku-Kuning dan membantunya dalam pertempuran dengan Patai. Setelah penaklukan Patai dan Muara Lembu, ia pun kembali mendampingi

292 293

O’Brien, 1906; hal.971. O’Brien, 1906; hal.972. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

189

Angku kuning, kembali ke Kuntu. Bersama-sama mereka menyerang Kuntu dan Sutan Chalipah (nama ini diambil untuk Sutan Bandaro sebagai Raja) melarikan diri ke temannya, yang telah kembali dari perjalanan ke Kota baru. Di Singingi, Jelo Sutan dengan demikian digantikan oleh Angku Kuning. Jelo Sutan sekarang bersekutu dengan Haji Bandaro dari Muara Lembu menuju Gunung Sahilan, untuk meminta bantuan pemulihan perdamaian di daerahnya. Sebelumnya, ia akan mengakui terlebih dahulu otoritas tertinggi Raja Gunung Sahilan. Kemudian, mereka pun mengirimkan bantuan, dan memerintahkan orang-orang Sibayang menuntut Sutan Chalipah, dan juga mengusir Angku Kuning. Pertempuran berpindah kembali ke Singingi. Jelo Sutan dan Datuk Haji Bandaro mengizinkan dubalang dari Gunung Sahilan dan Sibayang (Datuk nan berlimo) untuk menyerang semua negeri, sebanyak mungkin membakar dan menghancurkan, kecuali Muara Lembu, batung, pulau padang, Kebon Lado dan Patai, mereka yang tetap setia kepadanya. Demikianlah misi ini berhasil. Sutan Chalipah dan Angku kuning melarikan diri ke Kuantan, yaitu kota Tuo; kemudian jatuh lagi Logas dan Pangkalan Indarung dipedalaman yang menyebabkan penduduknya pun mengungsi. Negeri-negeri yang mendukung Angku Kuning, oleh dubalang dihancurkan dan dijarah. 294 O’Brien berpendapat bahwa segala sesuatu yang dilakukan Angku Kuning itu tanpa sepengetahuan atau izin dari Tuan Gadis. Dengan demikian, secara hukum tentu saja mereka tidak ada hubungannya dengan kasus ini. Kondisi yang membuat Raja Gunung Sahilan menuntut Angku Kuning ke Kuantan, bahkan jika diperlukan; membunuhnya. Akan tetapi, diketahui bahwa dalam surat-suratnya terhadap Raja Gunung Sahilan, Angku Kuning tidak berbicara tentang rantau Singingi, atau klaim atasnya; ataupun menyatakan penyesalannya atas ketidaksetujuan dari tindakan Jelo Sutan dan Haji Bandaro.

294

O’Brien, 1906; hal.973. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

190

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

191

5 Pesan Kemandirian Negeri Daratan Kisah Raja Kecil Bahwa Kisah pendiri kerajaan Siak, Raja Kecil, memiliki banyak versi berkaitan dengan pengakuannya sebagai anak dari Sultan Mahmud dari Johor yang terbunuh di tahun 1699. Tertera dalam sumber-sumber Melayu, juga Bugis menjadikan kisah pendiri Siak tersebut memiliki multi interpretasi dan bahkan terkadang menjadi samar. Akan tetapi, E.Netscher, 295 sebagaimana hasil upaya eksplorasinya atas arsip-arsip di Melaka dan Batavia; bagaimanapun juga menekankan pentingnya menampilkan babad ataupun kisah Raja Kecil yang memainkan peranan besar dalam konstelasi politik dunia Melayu di Selat Malaka. Bahwa kronik Melayu di Selat Malaka diwarnai dengan pertarungan Siak – Johor – Riouw dengan kekuatan kapitalis Eropa Kompeni atau dalam khasanah arsip sering disebutkan sebagai OIC(Oost Indische Compagnie) yang berpusat di Melaka. Bahwa turut berperannya orang-orang Bugis di percaturan politik-ekonomi di Selat Melaka adalah keniscayaan yang nampaknya tidak disukai Eropa-Belanda, seperti halnya Netscher yang menuliskannya sarat dengan aroma prasangka. Meskipun demikian, riwayat raja-raja Siak yang diuraikannya bersama pergulatan dan pertarungan antar kerajaan dan penguasa negeri-negeri Melayu – yang tidak saja dibayangbayangi dan dalam kerangka kepentingan dagang VOC dan pemerintahan

295

Netscher mengisahkan kronik raja Siak mulai dari Raja Kecil hingga Said Ali – dimana ia menggali dari Hikajat Melayu dan Bugis yang seringkali dikatakannya terdapat kontradiksi yang sangat tajam; dan untuk menjembataninya, ia berpedoman pada arsip-arsip yang terdapat di Malaka. Lihat E.Netscher: De Nederlanders in Johor en Siak. 1602 tot 1865. Batavia: Bruining. & Wijt, 1870. Mulai dari Hoofdstuk III – VII (p.47 -166). RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

192

Eropa Melaka, setidaknya dapat memberikan gambaran tentang kebesaran kerajaan Siak dalam rentang waktu abad ke-18 dan awal abad ke-19. Timothy P.Barnard menggambarkan Raja Kecil sebagai tokoh yang paling bertanggung jawab atas penggabungan masyarakat pantai timur kedalam kesultanan Siak yang berstruktur longgar, ia dan keturunannya mendominasi sejarah Siak sepanjang abad ke-18. Raja Kecil juga seorang tokoh penting dalam sejarah tradisional masyarakat lain yang berbatasan dengan Selat Melaka, serta dari komunitas dataran tinggi Minangkabau. Bahwa prestisenya, awalnya berasal dari serikat dalam dirinya yang berasal dari dua budaya yang dominan di kawasan itu, karena itu terdapat spekulasi mengenai asal-usulnya; meskipun demikian, bahwa ia juga mengaku sebagai anak dari Sultan Mahmud dari Johor yang dibunuh, ini tidak hanya menjadi sumber energi bagi kharismanya di Selat, akan tetapi juga merupakan starting point legitimasi negeri daratan kelak, terutama saat berhadap-hadapan dengan otoritas Semenanjung. Pewarisan karisma tersebut, meningkat oleh kedaulatan yang ia bangun dalam pengembaraannya di lautan yang berbasis masyarakat dari Laut Cina Selatan. Setelah itu ia masih juga harus membayar otoritasnya, menunjukkan fleksibilitas dalam pemerintahan dan kemauan untuk mengalihkan kekuasaan ke pusat-pusat lokal lainnya. Pemerintahan melalui “konsensus dan karisma,” pemerintahannya menyebar tidak hanya untuk pedalaman Siak, akan tetapi juga untuk outlet maritim dan masyarakat orang laut di Laut China Selatan, membentang sejauh kepulauan Sulu dan pantai barat Kalimantan. Raja Kecil tampaknya mewujudkan kualitas sebagai “manusia cakap”. Raja Kecil adalah satu-satunya dari sultan Siak selama periode yang dicakup dalam studi ini yang dapat menentukan daerah yang beragam sebagai penguasa. Seiring waktu dimana kemampuannya mulai terlihat “gagal” dalam tahun 1730-an, Persatuan pun melonggar, kemudian telah mencapai kondisi meretak ke dalam loyalitas saingan. Meskipun pendiri dinasti Siak dikombinasikan dalam dirinya; sifat ganda dari pemerintahannya itu, sayangnya, penggantinya tidak mampu merekatkan kembali namun dipaksa untuk berbagi kekuasaan. 296

296

Kahin, 2008. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

193

Netscher sebagaimana Hikayat Melayu mengisahkan riwayat kelahiran RajaKecil, yang terlahir dari seorang perempuan bernama Ince Apung297 dan Sultan Mahmud yang tewas terbunuh di tahun 1699298, kelahiran secara misterius ditahun yang sama;299 seorang anak yang memainkan peran besar dalam kisah Johor. Laksamana menyembunyikan Ince Apung300 ditempat yang tepencil hingga lahirlah seorang putra. Laksamana mencari cara untuk membawa anak tersebut guna menghindari bahaya: sang Raja, ia menunjuk pada seorang kepala di Singapura dimana anak tersebut dipercayakan kepada Tumenggung Muwar, yang diaku sebagai anaknya sendiri. Ketika anak tersebut berusia tujuh tahun, Tumenggung Muwar berkesempatan mengunjungi Johor dan membawa serta anak laki-laki tersebut berjumpa dengan laksamana dimana pada kesempatan itu ia berziarah ke makam Sultan Mahmud, yang tentu saja, menimbulkan kcurigaan Sultan yang segera saja ia berupaya untuk mencarinya. Laksamana, segera saja mempercayakan sang anak pada pengasuhan seorang pedagang Minangkabau di Sumatra, yang bernama Nakoda Malim. Nakoda Malim bermukim di Jambi merawatnya dan memberi nama Tuan Bujang. Dari Jambi, Nakhoda Malim membawa Tuan Bujang untuk dipertemukan dengan seorang pangeran dari Minangkabau yaitu Yang Tuan Sakti, yang tidak hanya memperkenalkannya melainkan juga mengenai kerahasiaan kelahirannya. Pangeran dan ibunya, sangat senang melihat Tuan Bujang, mengangkatnya sebagai anak mereka dan juga mengasuhnya. Setelah usianya mencapai tiga belas tahun, Tuan 297

Bahwa suatu malam Sang Sultan memanggil salah seorang selirnya yang bernama Enci Apung dan merupakan putri dari Laksamana untuk mengurut kakinya, ia merasa ada racun ditubuhnya dan muntahkan “semen,” dan sang Sultan mengatakan kepada Ince Apung untuk memakan “semen” tersebut, dan dengan demikian ia akan memiliki anaknya. Ince Apung memakan “semen” tersebut, dan dengan izin Sang Maha Pencipta, ia pun mengandung. Bahwa penggalan kisah ini merupakan kiasan bahwa sebenarnya sang Raja saat diurut oleh Enci Apung, merasa birahi dan kemudian mereka pun berhubungan yang menyebabkan kehamilan Enci Apung. 298 Sepeninggal Sultan Mahmud, atas dukungan Tumenggung Muar dan desakan pembesar kerajaan, diangkatlah Bandahara menggantikan kedudukan penguasa dan bergelar Sultan Riajat Sjah IV; dinasti yang dikatakan memerintah dari 1699 – 1720; disini dapat dibandingkan dengan apa yang terdapat dalam kronik Melayu. 299 Terdapat pendapat berbeda yang mengatakan bahwa Raja Kecil dilahirkan pada tahun 1685, akan tetapi tidak diketahui darimana Feis memperoleh informasi ini. 300 Bahwa dalam versi lainnya, sebagaimana terdapat dalam Sejarah Raja Riouw; setelah pembunuhan Sulthan Mahmud Syah, Enci Apung dibawa oleh Laksamana Bebas menuju Pagaruyung dimana ia melahirkan dan membesarkan Raja Kecil disana. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

194

Bujang meminta izin guna bepergian dan penguasa Minangkabau pun mengizinkannya. Tuan Bujang melakukan perjalanan menyusuri pedalaman Jambi menuju Palembang, dimana ia membawa serta kotak sirih dan bergabung dengan Sultan Lemah Abang; Pangeran ini tengah terlibat dalam konflik memperebutkan tahta Palembang. Disana, Tuan Bujang mengenal petualang Bugis, Daeng Parani dan Daeng Celak yang disebut juga Daeng Pali. Tuan Bujang setelah berpisah dari Sultan lemah Abang, segera menuju pedalaman. Di Rawas ia menikah dengan seorang Putri dari Dipati Kucing yang melahirkan seorang putra: Raja Alam. Dia pun bergerak meninggalkan Rawas, meninggalkan istri dan anak untuk turut serta dalam perang sipil di Jambi di mana ia terluka di pinggul kiri dan kemudian dari sana ia kembali ke Pagaruyung dimana Yang dipertuan Sakti merasa senang melihatnya kembali. Akan tetapi, kisah Raja Kecil semasa berada di Palembang, nampaknya tidaklah terekam dalam catatan Belanda, baik di Melaka maupun di Pantai Barat Sumatra. Hanya saja, pada tanggal 5 Maret 1720, diberitakan bahwa Raja Kecil mengirimkan tiga kapal yang membawa duta penting dari Johor menuju Palembang dengan misi yang tidak diketahui. Terdapat rumor, bahwa semasa di Palembang, Raja Kecil memiliki seorang anak perempuan yang diharapkannya segera dibawa kepadanya kembali dengan mengutus duta tersebut. Selanjutnya, bahwa kisah penaklukkan Johor oleh Raja Kecil dan orang-orang Minangkabau pendukungnya, sebagaimana dikisahkan oleh Andaya 301, penuh dengan serangkaian pengkhiatan oleh internal Johor sendiri; berupa pembelotan dan aksi sabotase atas pertahanan Johor. Nampaknya, kisah invasi tersebut yang berujung dengan hingar-bingar di Johor, awalnya dimulai dari Pagaruyung. Yang dipertuan Sakti yang merasa takjub dan surprise atas kepulangan Raja Kecil, lalu ia pun menanyakan mengapa Tuan Bujang begitu lama berpetualang, Raja Kecil menjawab: Saya telah mempelajari adat diluar (Patek Menengok chupak gantang orang). Yang dipertuan Sakti tersenyum atas jawabannya tersebut, namun ia menyatakan bahwa ia mengetahui dimana sebenarnya keinginan dari Tuan Bujang. Bahkan, Putri Jamilan mengatakan

301

Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

195

bahwa ia akan melakukan yang terbaik jika ia segera menuju Siak dan Johor untuk membalaskan kematian ayahnya. Sebagai persiapan atas misi barunya tersebut, penguasa Pagaruyung pun menggelar nobat untuk menganugerahinya gelar – yang diiringi seperangkat tambur; bahwa, Raja Kecil bersimpuh di sebuah panggung kayu, kemudian Yang dipertuan Sakti berdiri dekatnya, melafalkan doa dan berkata: Jika engkau adalah anak dari saudaraku di Johor, keturunan dari Sulthan Iskandar Zulkarnain, (smoga Allah memberkahi dan juga menyelamatkannya), Tuan Bujang lalu dianugerahi gelar “Yang dipertuan Kecil dan nama kecilnya; “Raja Beraleh.” Kehadapan Raja Kecil, oleh Yang dipertuan Sakti dan Putri Jamilan dibawalah sebilah pedang yang bernama Sapuryaba, pedang kerajaan sebagai hadiah pemberian dari raja Kuantan. Lalu Putri Jamilan memberikan sirih, seuntai rambut yang panjangnya mencapai tigapuluh kaki, dua kupang shells dan chap(stempel). Chap tersebut dijelaskan dibawa oleh Raja Kecil, anak dari Istana Pagaruyung yang melakukan perjalanan ke laut (tanah laut). Dinyatakan bahwa pada setiap wilayah yang dikunjunginya untuk mendukung dan menyediakan sejumlah 20 real; jika ada yang menolak keberadaan chap, mereka akan dihukum dengan sumpah tersebut dan juga bisa kawi.302 Raja Kecil juga didampingi oleh empat hulubalang; Datuk Lebinasi, Datuk Kerkaji, Raja Mandailing dan Sultan Pakadalian. Setelah upacara tersebut, Raja Kecil lalu menuju Bukit Batu di Siak dimana ia mengadakan perdagangan Terubuk, dan ia juga berlayar dan berdagang ke Malaka dengan menggunakan kapal milik Nakhoda Penangkok. Pada saat itulah, Raja Kecil melakukan pengamatan dan menemukan sejumlah orang-orang Minangkabau yang makmur di Bengkalis dan memiliki kapal besar. Ketika akhirnya ia memutuskan untuk mewujudkan rencana invasi ke Johor tersebut, maka dilibatkanlah seluruh orang Minangkabau yang berada di Siak dan Johor untuk membantunya; dengan diberikannya chap (plat tembaga yang telah diukir) sebagai tanda dari raja Pagaruyung kepada Raja Kecil, agar seluruh orang Minangkabau yang ditemui memberikan dukungannya; bahwa mereka memberikan janji setia dan ketaatan kepadanya. Kekuatan dikumpulkannya 302

Bisa Kawi, suatu kekuatan legendaries yang menghukum sesiapa yang melakukan pelanggaran adat, bahwa menurut tradisi, orang-orang Minangkabau melindungi diri mereka dengan sumpah dan bisa kawi tersebut. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

196

juga dari masing-masing Luhak Agam, Tanah datar dan Limapuluh. Meskipun demikian, nampaknya kekuatan belumlah mencukupi dan ternyata terdapat pula resistensi di pedalaman Siak. Raja Kecil kemudian menuju Batu Bahra dimana terdapat sejumlah besar pemukim Minangkabau dan ia membaiat empat Penghulu disana, bahwa masyarakat Minangkabau yang tinggal disana, dikonsolidasi dengan menggunakan pengaruh Raja pagaruyung tentang dukungannya dalam memerangi Johor, termasuk pangeran Kwala. Sementara sang Syahbandar sebagai perwakilan Johor, menolaknya. Raja Kecil dan para pendukunganya memilih untuk membiarkannya; yang ternyata Raja Kecil dihadapkan dengan suatu masalah yang berujung pada pertarungannya dengan Syahbandar. Sebagai seorang pangeran keturunan raja, Raja Kecil menolak untuk membayar, akan tetapi pada kenyataannya ternyata ia tetap harus membayar juga. Kemudian Raja Kecil membelah sepotong emas dari tali “oentjang”-nya (tas kecil dimana sirih dan tembakau disimpan) dengan sebuah ancaman, “Setelah Siak dan Johor menjadi miliknya, dia akan meminum darah Syahbandar.” Nampaknya, penggalan kisah ini dengan beberapa pertimbangan tertentu tidak dituliskan oleh Netscher. Raja Kecil juga merekrut pasukannya dari Tanah Putih dan Kubu; setelah sukses melakukan perekrutan, Raja Kecil pun kembali ke Bengkalis. Sementara itu di Pulau Bengkalis303 dimana telah banyak dihuni oleh orang-orang Minangkabau, Setelah Raja Kecil duduk di tahta Siak, ia ingin agar sumpahnya untuk meminum darah Syahbandar Aur dilaksanakan. Akan tetapi dengan beberapa pertimbangan, Syahbandar dibiarkan saja, sementara disisi lain Raja Kecil tetap ingin melaksanakan sumpahnya, sehingga Syahbandar memberikan jarinya yang dengan goresan kecil luka, darah pun akan menetes. Akan tetapi mengingat persitiwa ini menyangkut kedudukan dan martabat, maka dari Syahbandar beserta seluruh penduduk sebagai punggawanya masing-masing memberikan sejumlah enam-belas “hadiah tertentu.” Adat ini disebut dengan “Pungut-pungutan.” 303

Bahwa pada bulan-bulan terakhir tahun 1717, Bengkalis dan wilayah sepanjang sungai Siak berlepas dari kekuasaan Johor, dan menurut laporan dari Kapal Belanda yang melintas disana; wilayah tersebut telah dipenuhi oleh orang-orang Minangkabau dengan pemimpinnya Raja Kecil yang mengklaim sebagai keturunan Sultan Mahmod yang terbunuh di tahun 1699 dan merencanakan untuk menyerang Johor. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

197

Penaklukan Johor 1718 Sebelum invasi Raja Kecil ke Johor di tahun 1718, bahwa pada tanggal 4 Desember 1717, Raja Minangkabau di Pagaruyung mengirim sepucuk surat kepada Gubernur Melaka yang meminta Belanda untuk menfasilitasinya guna memperoleh kekuasaan atas tahta Johor. Akan tetapi sejak Dewan Melaka memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dalam kerumitan pertikaian di negara-negara Melayu, dapat dipastikan bahwa sang Gubernur menolak dengan sopan permintaan tersebut. 304 Bahwa diberitakan surat raja ini menjadi teka-teki bagi Gubernur disebabkan sebelumnya pada bulan Agustus dan Oktober ditahun yang sama diterima pula surat dari “Raja Pagaruyung.” Bahwa surat tanggal 7 Agustus berisi tentang keluhan atas perampokan barang-barang milik Sultan Johor yang dilakukan oleh orang-orang Bugis. Raja pagaruyung tersebut bersumpah bahwa jika Belanda menolak permintaannya untuk mengembalikan barang-barang tersebut, maka pihaknya dan Johor akan mendeklarasikan perang terhadap Belanda-disebabkan orang-orang Bugis dianggap sebagai hamba dari Belanda. 305 Kemudian surat tanggal 27 Oktober yang diterima Gubernur berasal dari ”Yang dipertuan Baginda Putri Jamilan” yang meminta pengembalian barang-barang milik Sultan Johor yang dijarah orang-orang Bugis di Bengkalis; bahwa Pagaruyung dan Johor adalah satu (negeri). Jika Belanda menolak permintaan ini, maka Pagaruyung dan Johor tidak lagi akan bersahabat dengan Belanda. Andaya mengemukakan bahwasanya dari teks surat Desember tersebut, nampaknya Pagaruyung sudah dalam keadaan “siap” untuk tidak lagi menjalin hubungan persahabatan dengan Belanda. Surat yang beratas-namakan Baginda Putri Jamilan - sebagaimana surat-surat raja terhadap wilayah Pantai barat dan timur; bahwa juga Johor sebagai satu kesatuan dengan Pagaruyung disebabkan wilayah Johor merupakan wilayah “rantau” Minangkabau, dengan demikian berada dibawah pengaruh spiritual dan perlindungan Pagaruyung. Bahwa, terdapat perbedaan yang substansial antara surat-surat pertama (Agustus dan Oktober) dengan surat berikutnya(Desember), yang bahkan bertolak belakang. Surat Desember, nampaknya ditulis tanpa menyertakan 304

Koloniaal Archieve 1787, Overgekomen Brieven 1718, Seccond Mallaca Register, Missive from Gouv.van Suchtelen in Batavia, 30 january 1718 vol.42, fol 42; Leonard Andaya,1972. 305 Ibid, fol 43; Leonard Andaya, 1972. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

198

cap kerajaan. Gubernur beserta konsil Melaka memperoleh informasi bahwa ia mengirimkan anak-saudaranya yang bergelar “Siry Sultan Sayet Mohalam Sa raja la Lulla sulla allam” ke Johor melalui Bengkalis untuk menuntut kematian raja yang budiman. Bahwa anak saudaranya membutuhkan senjata dan amunisinya dimana Kompeni diminta untuk menjaminnya, bahkan ia menuliskan kepada Gubernur untuk tidak terganggu dengan suratnya yang tidak dibubuhi cap; bahwa anak saudaranya sudah lebih dari sekedar cap tersebut. Bagaimanapun juga, surat Desember ini tidaklah menunjukkan kesatuan antara Pagaruyung dan Johor atau tentang urusan Sultan, akan tetapi lebih kepada urusan balas dendam terhadap Johor atas pembunuhan Sultan Mahmud Syah. Surat itu, memuat pernyataan-pernyataan intriktif yang dikirimkan dari perwakilan Pagaruyung (Raja Kecil) yang menunjukkan kesetaraannya dengan simbol kerajaan (chap). Bahwa, Raja Kecil sebagai seorang utusan dari Pagaruyung dengan kapabilitas personal yang tangannya dilengkapi dengan otoritas dan kekuasaan. Sementara itu, dari pulau Bengkalis Raja Kecil menuju Batu-Bahra, dimana telah banyak bermukim orang-orang Minangkabau; selain itu juga di Tanah Putih dan Kubu. Batu Bahra yang terletak di selat Melaka pun mengakui otoritasnya. Setelah itu, Raja Kecil kembali ke Bengkalis untuk mempersiapkan serangannya terhadap Johor. Di Bengkalis, datanglah menemuinya para petualang Bugis, yaitu Daeng parani dan Daeng Celak/Pali. Pada kesempatan itu Raja Kecil menawarkan “kerjasama”, dengan kesepakatan bahwa jika berhasil, maka bagi Raja Kecil kedudukan Yang Dipertuan Besar, sementara daeng Parani memperoleh kedudukan Yang dipertuan Muda Johor. Pasukan Bugis itu kemudian menuju Langat untuk memperkuat posisinya, dimana rekan senegerinya berlabuh disana. Sementara itu Orang Laut dibawah kepemimpinan Raja Negara, yang mendengar berita rencana invasi balas dendam dari anak Sultan Mahmud tersebut, segera membelot dari Johor dan menuju Bengkalis memberikan dukungannya terhadap Raja Kecil. Bahwa, diberitakan orang-orang Minangkabau yang berada di Bengkalis sebahagian besar berasal dari Johor, dan mereka membaiat kepada penguasa di Minangkabau. Raja Kecil membagi menjadi dua kekuatannya untuk masing-masing saling membantu dalam upaya penaklukan ke Johor. Kapal-kapal telah siap, dan orang-orang Minangkabau menggunakan kapal dari Orang Laut. Pendekatan baru bagi armada, ternyata telah menyebabkan kelumpuhan besar dikalangan orangRIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

199

orang Johor. Bahwa mereka mengatakan pasukan dipimpin oleh legitimasi mereka dan bahwa Laksamana (Orang Laut) telah pergi; bahwa banyak orangorang Johor yang masih meragukan klaim Raja Kecil, dan mereka meminta kepada Raja Kecil untuk membuktikan klaimnya tersebut dengan menawarkan air payau. Raja Kecil pun setuju, dan ia memasukkan sepotong gulungan rotan kedalam air payau dan berkata: “Jika saya memang benar-benar keturunan dari raja Johor, dengan izin Allah, biarlah air payau ini menjadi tawar.” Dan ternyata air payau tersebut berubah menjadi tawar, dengan keajaiban ini, Raja Kecil pun banyak memperoleh dukungan dari kalangan orang-orang Johor. Sementara itu, pihak Johor yang menerima khabar tentang pergerakan orang-orang Minangkabau diwilayah mereka, segera memerintahkan penguatan pertahanannya. Dua Duta besar Johor; Raja Sri Dewa dan Syahbandar Abdulrahman segera menuju Melaka pada Januari 1718 membawa hadiah dan surat dari Sultan, Raja Muda dan Bendahara Johor. Surat-surat tersebut membawa keinginan untuk mempertahankan hubungan persahabatan dengan Kompeni, dan meminta persenjataan dan amunisinya. Meskipun Duta besar diberikan secara penuh wewenang untuk melakukan negosiasi mengenai pembaharuan hubungan baru tersebut, mereka tampaknya tidak membawa suatu yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu kesepakatan, dan segera saja kondisi ini membawa mereka pada situasi keragu-raguan besar bagi Belanda untuk membantu dan mencegah invasi terhadap Johor dan mempertahankan Bengkalis dari orang-orang Minangkabau; bahwa sang duta besar tidak membawa dokumen apapun yang dapat dijadikan landasan dari suatu negosiasi dengan Belanda. Semua khabar berita yang berasal dari anak mendiang Sultan Mahmud yang akan menuntut hak-haknya atas tahta, menyebar luas hingga terdengar oleh suku laut (rajat) dengan penguasanya; Raja Negara, yang kemudian segera menuju Bengkalis. Raja Kecil yang memperoleh tambahan kekuatan baru, tanpa menunggu sekutu Bugisnya, segera menuju ibukota Johor. Bahwa Belanda memperoleh informasi bahwa dari bengkalis telah berlayar menuju Johor sejumlah 50 Kapal besar dan kecil. Dan ketika diketahui bahwa Belanda tidak lagi ingin melanjutkan kebijakan apapun terhadap Johor, para duta besar, segera meninggalkan Melaka. Syahbandar Abdulrahman, pertamatama ia berlayar menuju “Brouwer-straat”(Selat Bengkalis) dan bertemu RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

200

dengan kekuatan dua kapal yang diawaki orang-orang Minangkabau dan mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Raja Kecil dan akan bertarung dengan Tumenggung Johor. Syahbandar yang kemudian berlayar menuju Muara Johor dan terus menghulu, dimana ia mendengar suara tembakan meriam dari kejauhan. Kapalnya membuang sauh, dan segera saja terihat jelas dari sungai kapal musuh mendekat dengan maksud untuk membunuhnya. Sebelum Syahbandar berbuat sesuatu, seorang anggota awak kapalnya terjun ke sungai dan berenang mendekati musuhnya; bahwa orang itu, sebelum melompat ke sungai telah lebih dahulu membasahi mesiu kapal sehingga tidak ada yang dapat dipergunakan lagi untuk bertempur. Maka dari itu, lalu Syahbandar bersama dengan 3 – 4 orang pengikut setianya melarikan diri kehutan. Menurut Andaya, bahwa insiden pengkhianatan terhadap Syahbandar tersebut bukanlah perkara yang terpisah, melainkan konsisten dengan thema besar “Invasi ke Johor.” Ketika Bendahara Tun Abdullah dari Johor berada di pelabuhan Bengkalis seiring dengan kedatangan pasukan Minangkabau disana, ia mendengar bahwa Raja Pagaruyung mengirimkan ke pantai tersebut; Raja Kecil, yang telah memiliki reputasi sebagai anak dari Sultan Mahmud Syah. Ia pun kembali ke Johor dan melaporkan peristiwa tersebut kepada Raja Muda yang segera saja mengutus Sri Setia untuk menemui Raja Kecil. Raja Kecil mengatakan kepada Sri Setia bahwa ia adalah anak dari Sultan Mahmud dan ia bersama-sama dengan armada kapal dan orang-orang Minangkabau akan segera ke Johor untuk menuntut haknya sebagai keturunan Raja. Bahwa, laporan dialog tersebut berdasarkan keterangan dari Syahbandar Abdulrahman kepada Belanda tanggal 25 Juli 1718, inilah alasan bagi kecurigaan Raja Muda menjadi lebih jelas: Setelah melarikan diri dari kejaran pasukan Raja Kecil, kami bertahan selama tujuh belas hari di hutan(dimana untuk bertahan hidup mereka memakan dedaunan dan memburu hewan yang ada di hutan tersebut). Kami tiba disuatu tempat didekat Johor yang bernama Ziddilly (Sedili) dimana kami mengetahui bahwa Raja Muda dan Datu Bendahara saling terasing satu sama lainnya, dengan perselisihan diantara mereka, sebagai akibat Raja Johor mentransfer kekuasaan dari Raja Muda ke Datu Bendahara. Raja Muda, bagaimanapun juga tidak dapat menerima hal tersebut dan memohon kepada Raja tua itu untuk diperkenankan memelihara pos nya (semenjak ini adalah hak kepadanya bahwa kerajaannya diperkirakan akan jatuh, dimana RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

201

membawanya juga pada tahap pertama dari kejatuhannya) dalam upaya menahan kejatuhan dan untuk memperbaiki kejayaan kerajaan seperti sebelumnya. Raja tidak mendengarkan permintaan tersebut dan tetap saja mengalihkan kekuasaannya pada Datu Bendahara. Boleh jadi ia menjadi marah, dan ia segera saja memulai persiapan untuk berlayar, Raja tua dan Datuk Bendahara menyarankan jika ia hendak pergi dan bermukim ditempat lain, jangan kearah hilir, melainkan kearah pedalaman; saran yang nampaknya dituruti oleh Raja Muda, ia berlayar ke pedalaman dan menetap disuatu tempat dengan para pengikutnya. 306 Laporan dari Kapten Laut Portugis yang berada di Johor pada Oktober 1717 hingga pasca invasi, menyebutkan bahwa transisi kekuasaan yang terjadi, penuh dengan situasi yang tidak menentu, Raja Kecil tidak ada membuat suatu tindakan berkaitan dengan hal tersebut. Raja Muda tidak pernah melapaskan kontrolnya atas pemerintahan semenjak kapalnya menetap di Johor. Bahwa kekuatan telah mengalami krisis sejak Bendahara dicurigai oleh Raja Muda berkolusi dengan pihak Minangkabau. Ketika Raja Muda Tun Mahmud mendengar Raja Kecil telah memasuki di Muara Johor, ia segera memerintahkan armada di Sungai Johor dibawah komanda Sri Biji Wangsa, Paduka Raja dan Tumenggung, untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan Minangkabau. Kepanikan melanda orang-orang Johor di ibukota ketika didapati seluruh meriam Johor ternyata saat itu tidak dapat dipergunakan. Raja Muda menyadari bahwa saat itu tidak lagi ada harapan untuk mengalahkan kekuatan Minangkabau sejak begitu banyaknya orang-orang Johor yang mengkhianatinya. Ia menguasakan kepada Bandahara untuk melakukan negosiasi dengan kapal Inggris dan Portugis untuk mencegah Pasukan Minangkabau memasuki sungai menuju ibukota. Pihak Johor pun menerima dari kapal Inggris Sembilan artileri dan delapan meriam kanon, namun orang-orang Inggris itu tidak membantu untuk menahan barisan Minangkabau. Ketika Bandahara mencoba untuk mendekati pasukan Minangkabau untuk membuat suatu upaya negosiasi damai, sayangnya,

306

Report of the refugee Shahbandar Abdulrachman of Johor to Governour van Suchtelen, 25 July 1718, fols.45-47; Leonard Andaya, 1972. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

202

pasukan Minangkabau itu justru menembakinya dan memaksa untuk segera berlayar ke pedalaman menuju Johor Lama. Mendengar berita bahwa sepasukan asing telah menyusuri sungai mendekati kota, maka Raja Muda dan sejumlah besar lainnya pun memutuskan untuk mengungsi ke daerah pedalaman. Dalam suatu sumber hikayat, dikatakan bahwa dipantai Bendahara dengan Sultan Abdul Jalil berkeliling, tidak ada sumber daya bagi mereka, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menuju padalaman dimana mereka berada selama lima hari sampai ditemukan oleh pihak Raja Kecil, Panglima Bujong. Ia menyampaikan bahwa ia diutus oleh Raja Kecil menemui Sultan Johor dan Bendahara, bahwa Raja Kecil datang bukan untuk membumi-hanguskan Johor, melainkan untuk “memenuhinya dengan bebungaan.” Sultan Johor tidak mempercayainya, dan berkeyakinan bahwa Panglima Bujong diutus untuk membunuhnya. Hanya ketika Panglima Bujong bersumpah bahwa maksudnya benar-benar tulus, Sultan dan Bendahara akhirnya mengikuti sang Panglima menuju Johor. 307 Terdengar bahwa Laksamana Sri Nara di Raja, Datu Temenggung dan Raja Indra Muda telah memutuskan untuk membunuh atas saran Sri Bija Wangsa dan Enchi Siam. Beberapa Orang Kaya lainnya juga telah bergabung dengan pihak Raja Kecil dan juga telah menyetujui pembunuhan terhadap Bendahara Tun Abdullah dan beberapa orang pengikutnya, tetapi mereka frustasi dengan terjadinya beberapa pencegahan yang dilakukan oleh Bendahara. Diantara orang Kaya tersebut terdapat Sri Dewa, yang diutus pada 13 Januari 1718 ke Melaka untuk merundingkan permintaan bantuan Belanda untuk berhadaphadapan dengan orang-orang pengikut Raja Kecil. Meskipun Raja Muda Tun Mahmud mengetahui bahwa Orang Laut telah bergabung dengan Raja Kecil, ia tidak menyadari beberapa pengkhianatan lain hasil penghasutan dari Bendahara. Raja Muda mengirimkan armada hingga tujuh puluh kapal kerajaan dengan tiga orang panglimanya yang merupakan seorang saudara, sepupu dan keponakan dari Sulthan Johor. Mereka merasa sudah cukup kuat dan memulai untuk melakukan penyerangan. Ketika dua armada itu sudah saling berhadapan, awak kapal Johor terjun ke sungai dan membelot ke Raja Kecil. Pemimpin armada Johor lalu mencoba untuk menembakkan meriam 307

Andaya, 1972. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

203

mereka, namun mereka mendapati tidak satu senjata meriam pun yang dapat berfungsi. Mereka menyadari posisinya yang tanpa harapan, mereka pun kembali dan menyampaikannya kepada Raja Muda atas gerangan apa yang telah terjadi. Langsung saja Raja Muda mencurigai Bendahara atas apa yang telah menimpa armada Johor tersebut. Raja Muda memutuskan untuk membunuh Bendahara, namun Sultan menahannya dan menyarankan untuk memerintahkan Bendahara agar tetap berada ditempatnya. Bendahara merasa ia telah berada pada level tertinggi di Kerajaan Johor. Ia sungguhsungguh mempercayai bahwa ia dapat memperoleh kekuasaan lebih besar pada kerajaan dan atas persetujuan Sultan, meskipun ia telah menyerahkan armadanya pada Raja Kecil. Lalu ia pergi menemui orang Portugis, berpurapura menanyakan ihwal tentang bantuan mereka sebagaimana maksud Raja Muda telah mengutusnya menemui mereka, namun kenyataannya untuk mengalihkan atau melemahkan Raja Kecil. Raja Muda menyadari kesiasiaannya dalam upaya menyelamatkan kerajaan dan ia pun melarikan diri pada 4 Maret 1718 dengan membawa sejumlah besar emas yang dikhabarkan sangat banyak hingga membutuhkan sejumlah 30 orang untuk mengangkatnya dalam dua perahu kecil (sekoci). Kemudian, Raja Muda dan pengikutnya bertempur guna mempertahankan sekoci mereka dan akhirnya mundur ke pedalaman akibat tekanan Raja Kecil. Bendahara, ia mendirikan benteng dengan sepasukan untuk mengamankan Johor. Benteng tersebut sangat kokoh yang dilengkapi dengan meriam yang diarahkannya ke lintasan kapal disungai, sehingga setiap kapal yang mendekatinya akan mudah untuk dibidik. Bahwa, pasukan Bendahara ini, jumlahnya dikhabarkan mencapai 4000 orang. Meskipun demikian, Pasukan Bendahara dikepung sedemikian rupa sehingga terpaksa untuk meninggalkan benteng; Bendahara pun mundur untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut Kapten Tavares, dengan taktik tertentu yang diyakini oleh Raja Kecil, memungkinkan baginya untuk merebut kerajaan Johor. Terdapat beberapa poin menurut Kapten Tavares sehubungan dengan penaklukkan tersebut; 1)Bendahara memegang posisi krusial dalam peristiwa ini, baik dalam pertahanan maupun pengkhianatan terhadap Johor; 2)Banyaknya pembelotan dari para pendukung Johor, terutama Orang Laut yang persentase populasinya cukup besar dari keseluruhan armada laut Johor; 3)Tokoh misterius Raja Kecil; ketiga faktor tersebut dikatakannya merupakan penyebab dari kekalahan Johor di tahun 1718. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

204

Bahwa Pertahanan Johor mencoba menembakkan meriam mereka kepada pasukan Raja Kecil, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa mesiu telah disabotase dengan air, sehingga Raja Kecil dengan pedang Sapuryaba di tangannya dan tentu saja para hulubalangnya dapat merapat dan menyerang kota. Ketika Yang dipertuan mendengar bahwa Raja Kecil telah memasuki kota, ia segera meninggalkan istana dan menuju ke Kampong. Sehingga, Raja Kecil tidak menemukan perlawanan berarti dan ia pun beserta hulubalangnya segera memasuki istana. Bahwa menyebar dikalangan Johor, Orang Laut tidak memperingatkan Johor akan serangan Raja Kecil, sehingga Johor benarbenar dalam situasi minim dari penjagaan pertahanan. Halnya dengan raja Muda, ketika Raja Muda diberitahu bahwa musuh telah menyerang, ia mengabaikan dan terus saja melanjutkan permainan caturnya. Sampai ketika pertempuran sudah berada didepan matanya, akan tetapi didapatinya banyak orang-orang Johor bergabung dengan musuh yang disebabkan sang Laksamana, telah berbalik berkhianat. Raja Muda pun mengamuk, ia terpaksa membunuh isterinya sendiri agar tidak ditangkap oleh pihak musuh, dan ia terus menyerang pasukan Raja Kecil hingga akhirnya ia sendiri gugur di Kayu Anak. Dikisahkan dalam Hikayat, bahwa Sultan yang semula telah melarikan diri, namun atas saran dari menterinya, ia pun menyerahkan diri. Segera saja, Yang dipertuan kembali dan menempatkan dirinya pada pengampunan dari Raja Kecil yang disebabkan hatinya telah terbebani oleh pembunuhan Sultan Mahmud Syah. Ia tiba dan memberikan penghormatan kepada Raja Kecil dan dikembalikan kepada kedudukannya semula, Bendahara. Lalu Raja Kecil mengangkat dirinya menjadi Raja Johor dengan gelar “Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, menggulingkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah; peristiwa yang nampaknya, terjadi pada tanggal 21 Maret 1718. Sang Sultan terguling, memiliki dua putra dan tiga putri; masing –masing bernama Raja Sulaiman dan Tengku Abd'ul Rahman, kemudian tiga anak perempuan yang disebut Tengku Tengah, Tengku Kamariyah dan Tengku Mandah. Berkemungkinan untuk menjaga persahabatan, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah atau Raja Kecil bermaksud meminang TengkuTengah. Akan tetapi ketika pernikahan itu sudah di ambang, ia melihat adik bungsunya-Tengku Kamariyah dan memutuskan bahwa pernikahan akan dilangsungkan dengan sang Bungsu sebagai mempelai – perbuatan yang berdampak dikemudian hari. Tidak lama kemudian, pemimpin Bugis - Daing Parani, tiba di Johor dan meminta agar RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

205

Raja Kecil menghormati janjinya untuk mengangkat sebagai Raja Muda. Raja Kecil menganggap tidak ada pelanggaran yang telah ia lakukan sesuai dengan kesepakatan Bengkalis – bahwa tanpa menunggu Daeng Parani, Raja Kecil melakukan penyerangan terhadap Johor. Nampaknya Raja Kecil tidak ingin meneruskan kesepakatan tersebut yang juga ditentang oleh seluruh pembesar kerajaan. Menanggapi ini, Daeng Parani merasa tidak senang dan dimanfaatkan oleh Raja Sulaiman – putra sulung dari Raja terguling. Raja Sulaiman bersepakat dengan adiknya; Tengku Tengah - yang menaruh rasa malu dan dendam atas peristiwa yang dialaminya terkait dengan perkawinan dimana Raja Kecil lebih memilih adiknya-Tengku Kamariyah. Netscher, bahkan merasa perlu untuk menuliskan bahwa kronik-Melayu juga memuat kisah roman dalam kepentingan perebutan kekuasaan Johor yang melibatkan Daeng Parani. Bahwa disuatu ketika disaat ketika Daeng Parani tengah bersantap siang; pintu yang tertutup tiba-tiba saja gorden(tirai) tergulung dan pintu terbuka – tampillah Tengku Tengah dengan gaun yang sangat indah di mata sang bangsawan Bugis dan terdengar suara Tengku Tengah, “Oh Raja Bugis ! Jika tuan ingin bekerja sama untuk menyelamatkan beta dari rasa malu anak-beranak, adik beradik, maka apabila tertutupkan rasa malu, Beta akan menjadi budakmu, jikalau menjadi penanak nasi raja pun, ridholah beta.” Kelanjutan episode ini adalah Daeng Parani melangsungkan perkawinan dengan Tengku Tengah – bergabung dengan Raja Sulaiman untuk melakukan persekongkolan pembunuhan atas Raja Kecil. Rencananya, Raja Sulaiman akan menjadi Yang di Pertuan sementara Daeng Parani sebagai Yang di Pertuan Muda. Rencana disusun melibatkan Tengku Tengah, di saat Yang di pertuan Raja Kecil tengah berdoa di istana, Tengku Tengah membawa Tengku Kamariyah sebagai sandera ke rumah ayahnya – Bandahara. Raja Kecil yang mendengar perbuatan nakal ini menjadi sangat murka dan memerintahkan penyerangan ke tempat Bandahara guna membawa kembali Tengku Kamariyah. Bandahara, Raja Sulaiman dan Tengku Tengah bergegas melakukan pelayaran menuju Pahang – sementara dengan tergesa-gesa Daeng Parani berlayar menuju Langat dimana disana terdapat sekutu Bugisnya untuk bersiap-siap melakukan penyerangan ke Johor. Lasamana Sakam yang diperintahkan Raja Kecil mengejar dengan menggunakan beberapa kapal berhasil berjumpa dengan Bandahara di muara Sungai RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

206

Pahang. Laksamana memberitahukan perintah Sultan atasnya, dan dijawab oleh Bandahara bahwa ia juga merasa bersalah, dan akhir cerita ini bahwa Bandahara terbunuh. Bandahara kemudian dikenal sebagai “Marhum Mangkat di Kuala Pahang.” Tengku Tengah dikembalikan oleh Laksamana ke Johor, dan Raja Sulaiman melarikan diri ke pedalaman Pahang. Dapat pula kita membandingkan peristiwa buron hingga terbunuhnya Sultan Abdul Jalil Riayat Syah ibni Bendahara Seri Maharadaja Tun Habib di Kuala Pahang tersebut diatas, berdasakan catatan seorang Pedagang Scotland, Alexander Hamilton yang mengunjungi sang Sultan di Trengganu pada tahun 1719 dimana saat itu Sultan menjadi seorang buronan, yang nampaknya hidup dalam kesusahan. Menurut Hamilton, ketika masa sebelumnya pada 1717 ia bertemu Sultan; digambarkannya sang Sultan sebagai seorang yang saleh, dan memandang persoalan tahta Johor sebagai hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Bahwa akibat penyerbuan Raja Kecil, Sultan melarikan diri ke Trengganu hingga tahun 1721, dan kemudian berpindah ke Pahang dimana ia dibunuh oleh pasukan Raja Kecil disana. Laporan Hamilton dalam A new Account of the East Indies: Edinburgh;1727, 2 vols: tentang masa pengasingan Sultan – meskipun masa tersebut sebagai masa yang penuh dengan kegetiran, akan tetapi Sultan dengan semangat akan membicarakan bagamana caranya ia dapat memperoleh kembali kerajaannya. Sultan bercerita bagaimana kekuatan militer Belanda, ataupun Inggris akan dapat membantunya merebut dan membangun benteng pertahanan disana dan ia akan senang untuk berada dibawah proteksi kekuatan Eropa tersebut. Pada waktu bersamaan, terdapat kapal Perancis yang sedang dalam perjalanan ke China, dan sang Sultan nampaknya menulis sepucuk surat yang diberikannya kepada Kapten Kapal; Villaumont Gardin, surat yang berisikan permintaan Senjata dan amunisi kepada Raja Perancis, akan tetapi nampaknya hal tersebut tidak berlanjut, dan bahwa surat tersebut yang ditulis dalam bahasa Melayu itu tersimpan di Perpustakaan Nasional di Paris. Bahwa Kratz menyebutkan terdapat perbedaan kisah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Sumber-sumber Melayu.308 Bahwa Raja Kecil menyesali peristiwa terbunuhnya Bandahara – sebab isterinya Tengku Kamariyah sangat dekat dengan ayahnya; sang Bandahara. 308

Lihat E.U.KRATZ, A Malay Letter to Louis XV, King of France, dalam Archipel: Volume 17, 1979, hal.49-61. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

207

Kejadian ini menyebabkan Raja Kecil tidak merasa nyaman untuk menetap di Johor – terlalu banyak permasalahan baginya – dan kemudian memutuskan untuk menetap di Riouw. Akan tetapi tempat tersebut diserang dan berhasil diduduki oleh Daing Parani dan Raja Soleiman dengan satu kekuatan pasukan Bugis. Raja Kecil pun menyingkir ke Lingga dimana kembali ia diserang oleh orang-orang Bugis. Oleh sebab itu Raja Kecil kembali ke perairan Riau dan beruntung baginya terdapat sebuah kapal besar dengan laksamana perang – dan dengan kapal tersebut ia mendatangi tempat utama di Riau dan dengan bantuan orang-orang Minangkau ia berhasil menaklukkan tempat tersebut dan mengusir daeng Parani. Daeng parani melarikan diri ke Selangor, dimana terdapat sejumlah 30 kapalnya berlabuh di Linggi yang merupakan taklukan Johor,dan ini dianggap sebagai ancaman. lalu Sultan Linggi meminta bantuan dan dengan semua perlengkapan perang segera mendatanginya. Kondisi tersebut menyebabkan untuk sementara Riau tetap aman. Raja Kecil yang mendengar bahwa Sultan Soleiman bergegas dari Pahang menuju Riau; atas saran para pembesar kerajaan dan untuk kebaikan dan keselamatan keluarganya ia segera meninggalkan Riau menuju ke Siak dan menetap di Buantan.309 Terdapatnya kisah perseteruan Raja Kecil dengan aliansi Sultan Sulaiman dan kelompok Bugis; sehingga akhirnya Raja Kecil harus meninggalkan Riau untuk beralih menuju Siak sebagai akibat ketidakberhasilannya mempertahankan kedudukannya disana. Akan tetapi, bukan hal itu yang penting; melainkan yang lebih mendasar dapat kita lihat atas peristiwa yang menyertai invasi Raja Kecil dan Pasukan Minangkabaunya ke Johor tersebut. Bahwa fokus dari perihal terbunuhnya Raja Muda, mungkin dapat dicari penjelasannya dari situasi menjelang invasi. Bahwa Johor telah mengalami konflik-konflik internal dan trauma pasca pembunuhan Sultan Mahmud tahun 1699, antara Bendahara Tun Abdullah dan Raja Muda Tun Mahmud. Ketegangan ini semakin meningkat dengan peperangan terhadap Bugis tahun 1715, dan milleu yang tidak kondusif ini membuat buruk hubungan terhadap pemukim 309

Lebih jauh dijelaskan Netscher bahwa di Buantan Raja Kecil mengadopsi model pemerintahan Suku Minangkau yang berkemungkinan disebabkan Siak sebahagian terutama dihuni oleh orangorang dari Pedalaman Sumatra tersebut. Bahwa sebagimana di Pantai Barat Sumatra yang disebut dengan empat Soekoe; Lima Puluh, Pasisir, Tanah Datar dan Kampar. Setiap suku memiliki pemimpinnya sendiri dan berada tidak langsung dibawah Sultan melainkan pemimpin sukunya tersebut. Hasil pendapatan negeri dibagi antara Sultan dan Kepala Suku. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

208

Minangkabau yang ada di Johor. Pada tanggal 12 November 1716, Residen Jambi memberitakan tibanya dari Johor sejumlah 100-an orang yang terdiri laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka mengatakan bahwa Kesultanan Johor telah “menjarah” mereka, meski Sultan dkatakan sudah memberikan jaminan terhadap mereka disana; sejumlah 300-an orang dalam tujuh balok(perahu kargo Melayu), empat berlabuh di Indragiri, satu di Palembang dan dua di Jambi. 310 Selain itu, perilaku Raja Muda yang menjadikan perempuan Minangkabau sebagai selir dan yang lainnya budak-hamba, cukup menyentuh sensifitas Puteri Jamilan sebagai “Raja Perempuan Minangkabau” yang berbasis matrilineal, sehingga akan dapat diperkirakan sebab-sebab terjadinya peristiwa invasi 1718. Sebelumnya, pemadaman pemberontakan Minangkabau di Siak menjelang akhir abad ke-17, nampaknya juga merupakan faktor yang mempertajam konflik antara politi dataran tinggi dan Semenanjung. Meski hanya berusia kurang lebih empat tahun saja berkuasanya Raja Kecil di Johor, akan tetapi pesan tersirat yang disampaikan oleh politi daratan telah sangat jelasnya; pesan kemandirian, terlepas dari dominasi kekuasaan Johor atas politi di pesisir Timur Sumatra (Siak) yang didukung oleh orang-orang dari Dataran Tinggi. Selanjutnya perjalanan sejarah Siak, penjajah Belanda telah secara tidak adil menggambarkannya sebagai “politi bajak-laut.” Meskipun demikian, elit penguasa Siak dengan mengkombinasikan strategi tradisional dan ketrampilan diplomasi telah seringkali memenangkan kontrak yang dapat berupa senjata yang acapkali diterima sebagai hadiah. Perluasan penjajahan Eropa, bagaimanapun juga, elit Siak (anak dan cucu Raja Kecil) tetap dapat memainkan perannya dikancah perdagangan selat terutama pada paruh kedua abad ke-18 dan awal abad ke-19. Akan tetapi seiring waktu, peningkatan besar modal Eropa terutama pada perluasan perkebunan komersial, telah meminggirkan Siak dari peran utamanya dalam politik di Selat. 311 310

KA 1787, OB 1718, missive from Resident Carel van Der Putte of Jambi to Batavia, 13 Februari 1717, fol 7; Leonard Andaya,1972. 311

J. Kathirithamby-Wells, Siak and its changing strategies for survival, c. 1700-1870, Studies in the economies of East and South-East Asia, p. 217-243, 1997. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

209

Gambar 5.1.Wilayah kekuasaan Siak abad ke-18 Sumber: Pluvier,Jan M., Historical Atlas of Southeast Asia, Leiden: E.J.Brill, 1995,26

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

210

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

211

6 Aneksasi Pesisir

312

Riau diantara Inggris - Belanda Pantai Melaka adalah salah satu pusat pertama perdagangan Perusahaan Dagang Hindia Timur atau Vereenigigde Oost Indische Compagnie (VOC). Mereka membuka hubungannya dengan Sultan Johor, kemudian melakukan negosiasi mengenai pertentangannya dengan Spanyol – Portugis. Selain itu, Melaka, sebagai titik utama dari cabang Portugis, pada awalnya tidak segera dapat dikuasai, sehingga mereka pun mencari kantor mereka di titik yang lain, yakni; Batoesawer. Meskipun demikian, mereka tidak berhenti hingga jatuhnya Melaka di tahun 1641, dengan sendirinya hal ini menyebabkan Portugis memiliki cukup waktu untuk menanamkan pengaruhnya di kepulauan nusantara. Sementara menjelajahi wilayah tetangganya disekitar Melaka, perdagangan yang ada di Pantai Timur Sumatra hingga abad ke-17, telah dipimpin oleh negeri-negeri Melayu yang berada disana. Perjanjian berhasil dijalin sendiri oleh VOC dengan beberapa pangeran lokal dengan mengesampingkan pihak lain, pabrik pun didirikan di Aceh dan Jambi, di mana Bandar (Pasar) di Palembang, Indragiri, Bengkalis, Deli; selain itu kerajaan lainnya juga dikunjungi. Pada era tersebut, dalam catatan “Pengantar Kisah Perkebunan Deli,” “Orang kaya” (De Rijken), kebanyakan berada di Aceh dan Siak, karena mereka selama dua abad berada dalam kondisi yang mirip satu sama lainnya, sementara daerah antara sungai Panei dan Panei Besitan, ternyata ditemukan memiliki persengketaan. Kesultanan Johor yang di masa lalu bersama negeri-negeri di pantai timur juga memainkan peran yang cukup signifikan hingga abad ke-18, terkait cukup erat dengannya adalah kerajaan Siak. Pada awal abad ke-17 Deli berada dibawah Aceh, lima puluh tahun kemudian pada abad ke-18 menjadi bagian 312

Maksudnya pencaplokan wilayah pesisir oleh kolonialis Belanda. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

212

dari Siak, dan kemudian Belanda dengan pengerahan kekuatan yang cukup besar, yang sekarang disebut bagian dari Pantai timur Sumatera. Adapun dapat dikatakan disini, bahwa suatu otoritas, kebangkitan dan kemundurannya tergantung pada kekuatan dan kelemahan sultan dari kerajaan yang menjadi jiran-nya. Ini tidak akan mengganggu, menyatakan bahwa hal itu mungkin saja jika dilihat dari kisah-kisah fantastis dari entitas dinasti utama milik sejarah, terutama persoalan kewilayahan yang hingga awal abad ke-20 pun masih digali dengan begitu berat: seperti Lanskap Deli dan sekitarnya yang luar biasa dikonstruksi dengan pembentukan tanahtanah swasta dari industri perkebunan. Pada tahun 1689 setelah perjanjian dengan Sultan Johor, maka ditutuplah semua perdagangan di Sungai Siak, sementara itu VOC membangun kantor pertamanya di kawasan itu: Tapung kiri, namun segera ditutup karena sedikitnya perdagangan yang berlangsung disana. Terkadang dilakukan sebuah misi kapal yang berangkat dari Malaka menghulu menuju Siak dan dianggap cukup untuk mempertahankan kepentingan perdagangan. Namun, meskipun VOC akhirnya muncul di Siak, akan tetapi nampaknya juga tidak bisa berbuat tanpa pengadaan kontrakkontrak tertentu. Hingga pertengahan abad ke-18, terjadi konflik antara dua anak dari Raja Kecil(Raja Buang dan Raja Alam), salah satunya pergi ke Melaka: dikatakan bahwa mereka memiliki penyelesaiannya di pulau Guntung di Sungai Siak, sebuah posisi yang menguntungkan dan terletak di atas tanah wilayah Tapung kiri. Akan tetapi beberapa tahun kemudian Pulau Guntung ditinggalkan tersebab adanya resistensi lokal, dan karena tidak lagi relevan dengan perkembangan yang ada. Sementara itu dari faktor eksternal, pada akhir abad ke-18, Belanda menjadi Republik dan menekan VOC yang terperangkap antara kekuatan Inggris dan Perancis. Dengan otoritas yang tidak adil dari gubernur William V, tibalah kaki-tangan gubernur tertinggi dari Perusahaan Inggris. Otorisasi berkuasa lagi dan memegang beberapa pos – dan untuk menghadapi perlawanan sengit, dan memfasilitasi kapten Inggris yang terlibat dalam beberapa penjarahan; seperti pada tahun 1795, Melaka dan Pantai Barat Sumatra menyerah pada Inggris. Setelah Restorasi kemerdekaan Belanda pada tahun 1814, antara pemerintah di Den Haag dan London, dibuatlah perjanjian untuk mengembalikan koloni, kecuali Cape, Ceylon dan Guyana, yang di tahun 1816 adalah termasuk dalam wilayah yang akan diserahkan. Namun, ini belumlah selesai. Lebih jauh lagi otoritas Inggris di Kepulauan Hindia segera saja dapat menemukan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

213

kesenangannya yang terwujud dalam implementasi perjanjian lengkap, hal ini, Belanda mengasumsikannya terutama disebabkan rasa ketakutan Inggris akan berkurangnya peran perdagangan mereka di perairan ini.313 Tidak lama kemudian, kesulitan para kolonialis Eropa pun berakhir pada tahun 1824. Puncak dari perjanjian antara keduanya, dijanjikan berada di selatan Singapura. Hasilnya, tidak lagi ditemui terdapatnya kantor Belanda di Melaka: semua diserahkan ke pihak Inggris. Selain itu, Sumatera sepenuhnya menjadi penguasaan Belanda dengan pembatasan wilayah Aceh yang diakui kedaulatannya. Inggris mengakui Neerlands, Neerlands mengakui Inggris. Perdagangan kolonial, bagaimanapun juga, jika berada dalam posisi menjadi pedagang asing, maka harus membayar lebih tinggi ketimbang dari pedagang mereka sendiri. Apa arti penting dari dua puluh lima tahun Inggris yang berada dalam “manajemen” setelah saat itu mereka keluar dari wilayah pantai timur Sumatera? Menurut Belanda, jawaban tersingkat akan terlihat ketika dilakukan penelitian pertama untuk melakukan penilaian ulang atas perdagangan budak Eropa. Masalahnya adalah saat itu terlalu penting bagi Pemerintah Hindia, dan Belanda sendiri pun tidak memiliki Penjelasan yang lebih mendalam. Belanda mencoba berharap, terutama untuk melihat lebih baik lagi kondisi dari “kerangka rumah” yang akan segera dimilikinya. Para pejabat EEIC(English East Indie Company), seperti Raffles, Farquehar, Anderson, dituduh oleh rivalnya sebagai pihak yang menyesalkan kembalinya koloni Belanda di Sumatra. Setelah tahun 1816, ditemukan terdapat sedikit bukti untuk perusahaan mereka, terlebih atas cabangnya dengan hak milik di Sumatera dan ini setidaknya bagi Inggris, pemerintah Hindia memiliki hak berdaulat yang 313

Pada awal abad tersebut, Inggris memiliki perhatian mereka ke negeri-negeri Sumatera khususnya yang berdekatan dengan Selat Melaka. Meningkat pesatnya perdagangan Pulau Pinang membawa negeri-negeri ke dalam kontak lebih dekat dengan para pedagang dan penguasa Inggris: kiriman dari Inggris memiliki beban untuk perluasan dan pengembangan perdagangan dari Sumatera menuju Pulau Pinang. Ketika diketahui bahwa, Malaka akan kembali ke Belanda di bawah perjanjian London 13 Agustus 1814, Inggris berupaya mencari titik yang baru, dimana mereka bisa memastikan Perdagangannya di Selat Melaka. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

214

dapat ditegakkan. Meskipun demikian, Inggris tetap mengharapkan pos-pos untuk perdagangan dan pengiriman, dan mereka mengetahui bahwa sistem tersebut dimonopoli oleh perusahaan Belanda yang lama, sehingga negara Belanda akan membayang-bayangi mereka, dan dipastikan hal itu akan menghalangi perdagangan Inggris. Akan logis jika akhirnya Inggris ingin menjalin perjanjian dengan penguasa pribumi untuk memastikan orang Inggrislah yang akan menguasai perdagangan. Sebagaimana diketahui, Melaka pun menyerah, segera saja ditempatkan petugas Inggris yang berupaya memberikan penilaian khusus untuk pulau Penang, di mana Inggris dengan EEIC-nya memiliki pos ini selama lebih dari tiga puluh tahun. Pada mulanya, diciptakan jaminan perdagangan Inggris di Penang dengan perjanjian yang tidak melibatkan negeri-negeri tetangga lokal: juga diberitakan perjalanan oud-Residen Malaka dengan misi mencegah perdagangan Belanda. Sementara itu, Farquehar pun memilih untuk menghindar dan tidak berbuat apa-apa. Belanda menuduh Farquehar menipu Sultan Johor tentang niat Belanda dan ia juga bersikeras membuat perjanjian dengan pangeran, yang bagaimanapun juga, dilaporkan penipuan itu akhirnya terungkap. Kepada Raja Muda dari Riau, disampaikan oleh Farquehar kontrak yang pada garis besarnya menyatakan bahwa sultan tidak dapat terlibat perjanjian dengan pihak lain yang akan memiliki pengaruh disana; seperti bentuk perjanjian yang mengakibatkan perdagangan Inggris mungkin terhalang atau dibebankan, sementara yang lain dapat bebas dan tetap tanpa pajak. Bagaimana pula sikap Belanda? Beberapa bulan kemudian, Belanda melakukan negosiasi dengan Riau, yang menghasilkan sebuah perjanjian lengkap, berikut gambarannya: 314 De Ned.-Indische regeering stond welwillendhet rijk Djohore, Pahang, Riouw en Lingga weer af aan den sultan: de sultan en zijn rijksgrootenbeloofden trouw; de Ned.-Indische regeering zeide bescherming toe; op Riouw zou een resident met een klein garnizoen

314

Broersma, dalam Oostkust van Sumatra, Eerste hoofdstuk: “Het Rijk Siak voor zijn val,” Tahun 1919. Hal.13. bahwa akibat rivalitas antara Sultan Husein Syah dan Sultan Abdul Rahman, juga manuver Inggris-Belanda; Belanda berhasil menekan Sultan Riau–Lingga untuk menandatangani kesepakatan yang merugikan Riau, tepatnya pada 23 Oktober 1830. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

215

komen; vrije vaart op Riouwen Lingga zou erzijnvooralle naties; opalleandere havens van het rijk zouden inlandsche en Nederlandsche schepen mogen varen, schepen uit Europa, Amerikan fuit Europeesche bezittingen (behalve Nederlandsche) niet; de opbrengst der in-en uitgaande rechten zouden de sultan en de Ned.-Indische regeering deelen; enz. Bahwa sultan dan pembesar kerajaannya berjanji setia kepada Pemerintah Hindia Belanda, dan pemerintah Hindia sendiri menyatakan status perlindungan bagi negeri-negeri tersebut; sementara itu Riau akan menjadi Keresidenan yang ditandai dengan tibanya satu garnisun kecil; selain itu, pelayaran bebas di Riau dan Lingga, untuk semua bangsa lain seluruh pelabuhan bagi kapal-kapal pribumi dan Belanda, dapat berlayar seluruh kapal dari Eropa, Amerika, tidak ada hasil yang masuk dan keluar melainkan menjadi bagian hak dari sultan dan Pemerintah Hindia Timur Belanda, dan lainnya. Aksi Belanda ini, bagi penjajah, disebabkan ketidakpastian sikap para pangeran tentang kepada siapa sebenarnya keberpihakan mereka kepada kedua kekuatan Eropa tersebut, kondisi yang akan terus membuat setiap perjanjian menjadi tertutup. Bahwa seperti pada masa sebelumnya, seluruh perjanjian yang ada, baik merupakan perjanjian yang murni didasarkan pertimbangan rasional ataupun tidak, semuanya menjadi serba meragukan; akibatnya, seperti pada tahun 1818, Farquehar, dari Johor berangkat menuju Siak315, di mana tahun 1806 hingga 1808 sampai tiga kali agen Penang muncul mendukung perdagangan dan berakhir dengan seorang pangeran yang membuat perjanjian untuk perawatan kapal-kapal Inggris sebagai negara yang paling disukainya: sang pangeran yang tidak menginginkan usangnya perjanjian, segera memperbaharuinya dengan negara lain (Belanda, dimana perdagangan Inggris dikecualikan dan dia akan memberikan hak kepada siapa pun untuk semua perdagangan beberapa barang dagangan). Gubernur Penang memperoleh izin dari pemerintah Kalkuta-India, menjajaki kemungkinannya di Siak, untuk menentukan apakah hal tersebut dianggap sebagai sebuah keputusan yang bijaksana. Pada tahun berikutnya tepatnya tahun 1819, Inggris mendirikan EEIC yang terletak di pulau Singapura di salah satu wilayah di kerajaan besar Johor, Inggris memiliki otoritas untuk tujuan ini 315

Insinyur utama William Farquhar dikirim ke pantai timur Sumatera, Boekit Batoe: 15 Agustus 1818 bertemu dengan Sultan Siak untuk menghasilkan satu perjanjian perdagangan (berkas, halaman 148-149). RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

216

dengan strip yang telah diserahkan. Menurut Belanda, hal tersebut adalah benar-benar perbuatan melawan hukum, dimana Belanda dan Sultan Riau pun merasa terluka, akan tetapi bagaimanapun juga Inggris telah mem-plot Singapura untuk menjadi titik yang sangat penting bagi perdagangannya sendiri.316 Tak luput pula dilakukan pengenaan bea bagi para pedagang, alhasil seorang negarawan dengan suara yang begitu sinis; Menteri Canning, menyatakan di parlemen bahwa klaim hanya dapat dibuktikan oleh faktafakta dan dokumen, dan Inggris mengklaim dapat membuktikan haknya atas Singapura untuk persoalan properti di Hindia Timur. Bagaimanapun juga, hal tersebut tidaklah akurat dan bahwa hal itu akan salah jika merujuk pada kasus Singapura dimana dipersoalkan prinsip-prinsip umum politik Eropa ataupun bagi perasaan romantisme moralitas. Dimana perlunya segera dilakukan perluasan pasar inggris; politisi Inggris saat itu menuntut penegakan keadilan. Setelah jatuhnya Napoleon, realitas menunjukkan bagaimana kondisi perdagangan ekspor Inggris dengan dibukanya saham besar yang kemudian ternyata terbukti, bahwa mereka telah salah perhitungan setelah melihat pasokannya di daratan. Di luar negeri harga jatuh, industri besar pun secara tiba-tiba terhenti begitu saja, pengangguran meningkat secara tak terduga, rasa sakit yang lebih besar dialami para pemilik tanah serta harga pangan (gandum) yang melonjak sangat mahal. Kondisi ini terjadi ketika kebijakan Inggris hanya diwajibkan melayani kepentingan negara. Dengan begitu, apakah terlihat mengherankan, sehingga harus diakui bahwa Inggris dengan EEIC-nya mengalami waktu yang berat di garis belakang dan tampil kembali dengan persoalan ekonomi internalnya? Pertanyaan berikut yang tidak kalah kritis, adalah apakah selama perang dengan Perancis mereka tidak membuka rute perdagangan di Hindia dan memeliharanya untuk produk industri Inggris sendiri?

316

Inggris, memanfaatkan konflik internal di tubuh kesultanan Melayu itu; semenjak mangkatnya Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Syah III pada tahun 1812, muncul kekisruhan tentang penggantinya; antara Tengku Husein sebagai putra tertua Sultan, dengan Tengku Abdul Rahman yang didukung oleh Yang dipertuan Jakfar(Ayahanda Raja Ali Haji). Tengku Huesein yang tersisih, kemudian dinobatkan oleh Inggris sebagai Sultan di Singapura pada tanggal 6 Februari 1819 bergelar Sultan Husein Syah, dan mulai 13 Februari 1819, bendera Inggris pun berkibar di Singapura; dan selanjutnya membangun Singapura untuk kepentingan perdagangannya.Lihat Ahmad Dahlan,PhD, hal.273-4. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

217

Saat itu dunia sudah berubah, terutama persoalan harga, angkutan dan biaya lainnya meningkat dan sementara itu dapat dikatakan bahwa “sang mister” hanya duduk dan “ongkang-ongkang kaki” saja di gudang; sementara tengah ramai-ramainya diproduksi barang yang diperjualbelikan di pasaran. Selain itu, sebaiknya di era berikutnya tampil dengan harga bagus yang disukai oleh pedagang swasta di perairan Hindia dan dari sana ia berusaha menguntungkan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Inggris, jelas saja berdiri dengan kebutuhan untuk meningkatkan penjualan yang membutuhkan beberapa sikap tertentu, yang bagi Belanda, beberapa sikap tersebut bertabrakan dengan kepentingannya di Hndia. Sementara itu Belanda muncul di Nusantara dengan melakukan perdagangan di koloni mereka sendiri di hadapan negara-negara lain. Penang dan Singapura segera menjadi titik fokus bagi Perdagangan kolonial Inggris, peluang mereka bahkan lebih mengesankan ketika di tahun 1824, Melaka menjadi taklukkan Inggris. Dan itu pasti, bahwa apakah demi kepentingan Penang, maka di Siak akan segera ditingkatkan dan dilakukan perluasan komersialisasi? Jawaban pastinya saat itu mungkin belum diketahui, kondisi ini disebabkan masih terlalu minimnya informasi mengenai prospek dan penduduk negerinegeri di bagian timur pantai Sumatra tersebut. Menyikapi kondisi tersebut, untuk segera dapat berkompetisi, maka Inggris maupun Belanda dipastikan harus memperoleh pengetahuan ataupun informasi, setidaknya diawal era eksplorasi. Dan dari catatan hasil penelitian Inggris dari tahun 1806-1808, nampaknya kondisi itu telah membuahkan hasil. Abad tersebut, perjalanan eksplorasi berlangsung dan tepatnya pada tahun 1820: terdapat satu prospek kekuatan perdagangan, yaitu; diperlukannya dilakukan suatu kegiatan pengkajian topografi dan hidrologi. Muara Sungai Jambi di pelajari, Asahan, juga Deli dikunjungi selama satu sampai dua hari, begitu pula wilayah lainnya. Sementara itu, Belanda mendengar bahwa gubernur Malaka menugaskan Raffles dari Singapura untuk berangkat menuju Siak dalam salah satu tugas untuk mencari penjelasan-penjelasan yang berguna, dimana pada waktu sebelumnya, Belanda telah mengutus suatu komisi ke Siak dengan misi membuat rancangan perjanjian persahabatan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

218

Akhirnya, pada tahun 1822 hal yang menakutkan bagi pemerintah Hindia pun tiba; permintaan akan perdagangan yang bebas, tidak terikat dengan monopoli Belanda atas Siak di Hindia Belanda, dan orang-orang Siak akan diperlakukan sebagai orang-orang dari negara yang paling disukai, pembajakan yang akan diantisipasi dan diperoleh kepastian bahwa tidak ada bangsa lain yang dapat dicegah untuk memperoleh hak atas Siak. Akan tetapi, pemerintah Hindia keberatan dengan perjanjian tersebut, namun masih tetap mengizinkan kapal-kapal Siak berlabuh di pelabuhan Malaka. Pada saat itulah Gubernur Penang mengutus seorang agen untuk Siak; John Anderson. Sebaliknya, setelah menghabiskan waktu selama empat bulan, ia kembali tanpa perjanjian apapun. Melainkan ia kembali dengan membawa dua surat dari Sultan kepada gubernur, yang mengungkapkan rasa kuatir Sultan akan serangan pihak Belanda dan mencari dukungan kepada Inggris; selain itu, Sultan juga menyatakan bahwa Belanda akan memungkinkan melakukan pembentukan apapun demi mencapai tujuannya; Sultan berkeinginan merilis perdagangan dengan Penang serta ingin mempertahankan hubungan baik dengan pemerintah di sana. Selain itu, Anderson juga menguatkan perjanjian di Deli dan Langkat, tapi karena lanskap tersebut merupakan wilayah taklukan Siak, dan Siak sendiri di bawah perjanjian dengan EEIC yang pada tahun 1761 Belanda menganggap bahwa Siak tidak lagi berdaulat, maka perjanjian ini hanyalah suatu surat komitmen yang tidak memiliki kekuatan. Pada tanggal 16 Januari 1761, disepakati perjanjian antara Raja Alam(putra dari Raja Kecil yang berseteru dengan penguasa Siak, yang juga saudaranya sendiri; Raja Buang atau Raja Mohamad) dengan Kompeni-Malaka, yang pada dasarnya memuat pokok sebagai berikut; Pasal 1) Bahwa Raja-Alam kepada kompeni dan Raja Johor berkomitmen menjalin hubungan persahabatan; Pasal 2) Permusuhan dari Raja-Alam dan lain-lainnya akan dihentikan untuk selamanya; Pasal 3)dengan bantuan Kompeni, bahwa Siak akan dipercayakan kepada pemerintahan Raja-Alam, dan kepemilikan Raja Mohamad dialihkan dan begitu pula dengan hutang kepada Kompeni; Pasal4)Tidak ada penelusuran melalui sungai dapat dilakukan; Pasal 5) Kompeni akan menempati kembali Pulau-Guntung dan hak untuk membangun benteng di tempat lain di Siak; Pasal 6) Kompeni, memberikan bantuan kepada Raja-Alam dan suksesi berikutnya jika RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

219

diserang, Raja Alam akan bergabung dengan Kompeni; Pasal 7)Semua perdagangan sejalan dengan Kompeni; Pasal 8) Inspeksi kapal di Sungai Siak; Pasal 9) Pembebasan dari bea untuk Kompeni. Raja-Alam dapat memungut dari pihak lain sebesar 2 persen hak masuk dan keluar; Pasal 10)Para kepala “jembel pembunuhan” untuk segera diserahkan kepada kompeni; Pasal-11)Sahabat Kompeni juga merupakan sahabat dari Raja-Alam dan begitupula musuh-musuhnya. Ia juga akan bekerja untuk membersihkan rute Malaka dari para pembajak; Pasal 12)Atas permintaan Raja Alam agar diberikan pengampunan terhadap anaknya Mohamad Ali, asalkan dia sendiri, pada kedatangan pasukan kompeni di Siak dapat diberikan pelajaran, jika tidak, dia akan diekstradisi sebagai kepala dari pembunuh; Pasal 13) Suksesi di Siak sebagai penerus Raja Alam atas persetujuan Pemerintah Tinggi di Batavia. 317 Melihat kenyataan ini, kemudian Sultan memutuskan untuk menjelaskan sendiri dihadapan komisaris Belanda. Berkaitan dengan hal tersebut Broersma dengan sinis mengatakan: “Nah lihat, bagaimana gemetarnya para pangeran pribumi yang kini berada diantara Belanda dan Inggris”. 318 Misi Anderson - ia berlayar dari Penang pada tanggal 30 Desember 1822 dan kembali ke sana tanggal 9 April 1823, adalah untuk menggali pengetahuan dan informasi tentang wilayah lanskap, yang saat itu berarti adalah wilayah pantai timur Sumatera. Ia telah mempromosikan banyak temuan yang diperolehnya dari beberapa kepala wilayah tersebut. Belanda, nampaknya menuduh bahwa kehandalan jurnalisme yang nampaknya tidak terbatas, sebenarnya disebabkan bertitik tolak dari ketidakmampuan Anderson membangun penelitian awal; hanya dalam waktu yang relatif singkat saja semuanya itu didirikan. Anderson mengalami banyak masalah yang sebahagian mungkin bisa dianggap remeh: kadang kapalnya tidak bisa berlayar yang disebabkan absennya nakhoda. Anehnya, pendapat Anderson dan ekspresinya pada konflik kepentingan dari Belanda dan Inggris di perairan

317

Netscher, hal.114-5. Broersma, dalam Oostkust van Sumatra, Eerste hoofdstuk: “Het Rijk Siak voor zijn val,” Tahun 1919. Hal.13. 318

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

220

Hindia, terbitannya berasal dari cetakan yang sama seperti Raffles. Penuh amarah, Broersma mengomentari paparannya tersebut: 319 Ia berharap memiliki keyakinan kuat untuk menilai persetujuan pangeran lokal dalam perjanjian perdagangannya dengan Inggris melalui EEIC-nya, dan begitu pula ia melihat sedikitnya nilai dalam perjanjian tersebut. Meskipun demikian, ia merindukan mahkota koloni(Inggris) di Perairan Selat Malaka, pemerintahan kerajaan yang kuat untuk mempertahankan hubungan politik, rupanya ia sedang membual tentang daya yang bisa diandalkan untuk ikut campur tangan dan mencegah serangan Belanda di berbagai bidang – selain itu terdapat pengharapan demi perdagangan, jalur lalu lintas dan pintu masuk ke pelabuhan lokal supaya tetap terbuka. Dikatakan bahwa ia menyesali realita yang telah terjadi setelah melihat Belanda dengan Siak menandatangani perjanjian dengan berbagai cara, janjijanji, maupun ancaman; pangeran dibujuk untuk membuat pengecualian terhadap Inggris, meskipun Farquehar pada tahun 1818 dikatakan telah memiliki kesepakatan dengan Siak. Lihat pula, bagaimana Anderson menilai Farquehar melakukan negosiasi berlebihan dan bagaimana pula hasil dari upaya Belanda. Selain itu, ia ingin mencoba perdagangan dengan Minangkabau, maka langkah yang harusnya diambil di antaranya adalah; Belanda harus mampu menguasai Padang, melakukan penelaahan seperti dahulu di Pantai Timur; saat ini manfaatnya dapat dilihat dari Penang, yang pelabuhan ekspor ladanya telah meningkat dari 1.800 pikul di tahun 1817, menjadi 30.000 pikul di tahun 1822. Deli dan Langkat dianggap “kurang” dari Siak, namun mereka tidak sepenuhnya menolak Belanda dan ingin menghormati perjanjian perdagangan. Deli terancam oleh kedatangan kekuasaan Belanda, dan sultan telah mengatakan bahwa ia mengakui tidaklah hal tersebut begitu mengganggunya; begitu pula dengan Inggris. Di Palembang, Anderson 319

Terutama tulisan yang dapat dilihat dalam “John Anderson, Mission to the East Coast of Sumatra in 1823”, 1971, Oxford in Asia Historical Reprint, Oxford University Press, Kuala Lumpur; juga lihat komentar Broersma tentang itu, Broersma: 1919. hal.13

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

221

mengeluh atas dicegahnya impor dari Singapura, demikian juga Penang yang menemukan berlakunya sistem pengecualian, terutama di wilayah tempat Belanda meluaskan kekuasaannya. Antara tahun 1828-1829, sebelum Belanda memiliki akses ke pedalaman Sumatera, impor kopi bulanan dari Kampar ke Singapura berjumlah sekitar 1000 pikul, dari tahun 1836 hingga 1837 ditemukan bahwa impor kopi dari seluruh bagian Sumatra, berjumlah sekitar 8000 pikul. Anderson mengatakan bahwa saat ini kondisi di Deli telah berubah. Setiap tahun terdapat sejumlah 20 ribu pikul lada di Penang untuk dipertukarkan dengan Inggris. Di bawah kekuasaan Belanda, Deli juga dapat mengirim lada ke Penang, tetapi tidak bisa mengambil kembali kapas dan wol dari Inggris. Sementara itu sang Anderson, perlahan-lahan ia menyingkir. Dan lagi-lagi Broersma mencemoohnya: Bahwa kemajuan otoritas Belanda di Sumatera, dilihat oleh Anderson dengan mata penuh rasa iri. 320 Dari beberapa catatan Sanderson, nampaknya kebijakan perdagangan ditentukan bersama-sama dengan pangeran, bea ekspor, pasar dan bea pelabuhan, ditemukan sebagai penghasilan utama mereka. (15) Bahwa sosialisme negeri tergantung sepenuhnya pada ego serta kepribadian dari para pangeran: berbekal dirinya yang bijaksana dan moderat hingga akan dapat mempromosikan perdagangan negerinya. Komoditas utama, lada nampaknya kembali disorot. Langkat dan Deli adalah daerah lada yang paling melimpah, begitu pula Serdang yang juga tergabung dalam sentra penghasil lada. Di sisi lain dari wilayah pesisir, tidak ditemukan penduduk Melayu bekerja pada sentra produk pertanian tersebut. Terdapat stereotipe disini, yakni Pemerintah Kolonial menganggap mereka dan mengenalnya sebagai pemalas, dan jika; orang-orang Batak dari pedalaman tidak menunjukkan dirinya sebagai pekerja di sana, maka tidak akan ada lada dari Pantai Timur di kirim ke Penang, Malaka, dan Singapura. Akan tetapi, seorang tokoh, sebut saja ”Orang Kaya" adalah contoh dari Sunggal yang mengalahkan orang-orang Batak dalam hal budidaya padi, hanya dengan menggunakan beberapa alat pertanian saja menghasilkan sejumlah beras yang cukup untuk satu tahun. Ia menegaskan, tiga tahun diterima dari orang Batak sejumlah dua pertiga dari tanaman lada, sementara yang lain dibayar sebanyak harga pasar. Dalam manfaat yang sepertiga adalah untuk kepala yang lebih rendah, 320

Broersma, 1919: hal.14 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

222

dalam hal ini adalah penghulu untuk menjadi petugas pengawas mereka. Setelah tiga tahun rata-rata hasil per pohon adalah 4/4 kati = 1 Gantang, kehidupan tanaman merambat itu mencapai enam belas tahun. Kebun tetap bersih dan kadang-kadang diantara tanaman itu dilakukan penanaman padi, tembakau atau jagung. Pada tahun 1823 harga di Soenggal sebesar 5 dolar per pikul. 321 Nilai dari data tersebut sangat jauh diatas perkiraan. Data tersebut bukan saja tidak lengkap, juga tidak memiliki signifikansi secara luas; selanjutnya, Anderson hanya bersumber dari penuturan para kepala, kemudian berbicara di sana-sini dan memaparkannya pada jurnal mereka. Begitu pula untuk satuan ukuran, nilai-nilai dari waktu ke waktu yang kita tidak benar-benar mengetahuinya secara pasti. Dia menyusun daftar harga untuk wilayah Buluh Cina, dimana lima Gantang Beras tercatat bernilai untuk satu dolar, mungkin saja ini dapat dikatakan mewakili harga 13 gulden per pikul. Biaya tembakau $15 per pikul (sekitar 30 sen per pon), bea sebesar 1dolar per pikul. Iuran pelabuhan di Deli yang tinggi: sebuah kapal sebesar 12 dolar, untuk tongkang sebesar 8 dolar, sebuah sekoci sebesar 6 dolar. Saat itu digunakan koin yang menggunakan dolar Spanyol, uang Belanda untuk tahun 1742 dan tahuntahun berikutnya, termasuk setengahnya mempersiapkan Inggris dengan OIC. Perlu dicatat bahwa gambir juga dikirim dari Buluh Cina, tempat dimana populasi masyarakat Melayu berada. Terdapat berbagai produk dari berbagai lanskap, kecuali lada, seperti; rotan, lilin, gading, padi, tembakau , gambir dan budak; impor terutama garam, opium, katun dan wol. Di Serdang, populasi agak lebih padat dari pada yang tercatat di Deli dan Langkat, terdapat juga beberapa industri yang didirikan oleh penduduk Batu Bahra. Diisini terdapat ribuan orang Melayu yang tampak lebih berani mempraktekkan perdagangan di pesisir; seperti penjualan kain yang terbuat dari bahan sutra yang dibawa oleh pedagang Cina dan pedagang lainnya. Perahunya berlayar di sepanjang Deli, Langkat, Serdang dan Asahan untuk untuk mengambil merica dan mengirimkannya ke Penang. Menurut pernyataan Syahbandar (perwira asli untuk ekspor dan impor) Jumlah perahu

321

Broersma, 1919: hal.15

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

223

yang selalu digunakan mencapai hingga 600 unit. Selain itu disini dijumpai pula jejak-jejak bekas kediaman Portugis dan Jawa. Ini adalah negeri-padi pertama di Pantai timur. Lada yang di abad ke-19 ditanam, tetapi padi, ditanam atas kebutuhan rakyat mereka sendiri, bisa dijual ke daerah tetangga Asahan yang juga tampaknya ditemukan perdagangan budak di negeri tersebut. Perbudakan dibentuk dengan berbagai cara, yang paling sulit dan tentu saja salah satunya adalah perampokan di laut oleh “bajak laut’’ dimana korban mereka dijual di tempat lain. Cara lainnya adalah penjualan anak-anak mereka oleh masyarakat miskin, penjualan ini akhirnya berkurang sebagai dampak meningkatnya budidaya lada dikalangan mereka. Sebuah faktor utama yang sering dianggap bertanggungjawab atas perbudakan perempuan dan anak perempuan adalah disebabkan di Batu Bahra budak perempuan digunakan untuk menenun kain sutra dan katun, juga wanita sering dijual ke Malaka dan Penang sementara suami menjadi pedagang dan memiliki kehidupan yang layak. Kurangnya tenaga Perempuan di Penang, yang terjadi kemudian bahkan penyelundupan budak di Singapura juga tidak dapat dihindari. Sementara itu. pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, Siak terpancar begitu menyilaukannya di mata semua orang asing! Siak, Bagai mahkota terkaya yang terletak di tengah-tengah Sumatera dimana disana mengalir sungai yang kerap dan ramai dilayari. Selalu ada pengiriman dari Pantai Coromandel- India, dan perahu Bugis yang pernah berlayar hingga ke pulau Jawa, juga selalu mengunjungi Siak. Sementara di Pedalaman arah Pantai Barat, tepatnya sekitar tahun 1823 gerakan Padri telah mengancam prevalensi dengan gerakan pembaharuan Menangkabau dan itu jelas terjadi, bahwa Belanda berperang melawan kaum Padri. Juga terdapat sebuah rencana besar untuk menghubungkan timur-barat; dimana akan segera dibangun infrastruktur transportasi darat yang berakhir di Siak. Di sepanjang jalur ini, ditemui tanaman, perikanan dan ikan kering, lada, padi, tebu, gambir dan kayu juga kekayaan tanah yang sayangnya menderita dengan sangat parah akibat perang dengan negeri-negeri lain dan melalui perjuangan selama masa peralihan. Ini juga merupakan pasar dari Siak, bahwa abad yang lalu telah menjanjikan begitu banyaknya untuk perdagangan dengan Inggris. Dan nampaknya, saat itu bukanlah waktu yang tepat bagi otoritas Belanda di Sumatra. Perjanjian tahun 1824 telah menarik garis batas timur pulau. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

224

Gugusan kepulauan Riouw - Lingga sendiri sangat baik bagi bajak laut sebagai tempat mereka bermarkas. Sementara itu, suara Inggris masih penuh dengan keluhan atas kegagalan Belanda dalam pertarungan penumpasan perompak tersebut. Pembajakan itu dan ekspansi Belanda, disebutkan telah mengabaikan hak-hak Perdagangan orang Inggris, bagai membentuk garpu bercabang dua yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda selama bertahun-tahun terhambat perjalanannya dalam upaya menuju pembentukan hukum otoritas Belanda. Sekali lagi, banyak keluhan dari pihak Inggris yang menggema dalam pemerintahannya sendiri, dan kemudian mereka berpaling kepada pemerintah Belanda. Di Belanda sendiri mereka benar-benar menyuarakan nada ketidakpuasan dalam pendapatnya atas pembentukan otoritas Belanda di Sumatera dalam setiap pengadilan Inggris. Melalui senjata perkasa-mesin cetak, di Singapura, lembaran-lembaran pers penuh dengan tuduhan dan wacana permusuhan terhadap pemerintah Hindia. Kemudian di tahun 1838, terdapat ketidakpuasan para pedagang di Singapura dan Penang yang disampaikan kepada pemerintah Inggris, atas keberatan mereka terhadap perluasan kewenangan Belanda di Sumatra. 322 Saat gagasan Van den Bosch tentang meluaskan otoritas Belanda di Sumatera dengan Nota 1838, ia secara hati-hati memerintahkan pada wilayah yang berbasis di Siak dan lanskap utara, karena salah satunya merupakan cadangan semangat perdagangan dengan Singapura. Tidak ada dukungan untuk ide Van den Bosch tersebut, seperti surat yang dikirimkan oleh Sultan Deli pada tahun 1840 kepada seorang pejabat di Pantai Barat dan di mana ia meminta agar Deli harusnya ditempatkan di bawah Pemerintah Belanda. Apapun yang muncul dari laporan Badan Pemeriksa, pada tahun 1841 Van den Bosch memilih untuk mengurangi angkatan bersenjata dan membatalkan pendirian pos militer di pantai timur. 323 Pada Tahun 1843, perintah itu dilaksanakan, lokasi pos di pertemuan Sungai Bila dan sungai Panel pun menghilang, sementara yang pos yang berada di Indragiri, segera saja ditinggalkan. 322

Een Engelsch etablissement op Nederlandsch grondgebied in Indië, dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg. 19, 1857 (1e deel), No. 3, tanggal 1 Januari 1857 (schatting). 323 Tanggal 1 September 1841, Menteri urusan Jajahan Kerajaan Belanda memerintahkan Gubernur Jenderal Hindia untuk membatalkan semua pos sipil dan militer di Pantai Timur Sumatera: dikatakan sang Menteri sebagai akibat dari keluhan yang tiada henti-hentinya dari Inggris. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

225

Bagi Belanda, Inggris hanya tidak suka saja melihat mereka bekerja di wilayah Siak. Tidak lama setelah itu, Residen mengunjungi pantai timur, atau juga PenangGazette yang datangnya menjelang akhir tahun 1863 dimana sebuah artikel bercerita tentang aneksasi Deli, bagian lain dari Sumatera yang independen dengan pelabuhan ladanya, dan berdampak pada terancam hilangnya perdagangan Inggris disana. Pertama-tama di tahun 1871, ketika Pemerintah Inggris memilih untuk abstain dari seluruh Sumatera, dan memberi hak perdagangan sepenuhnya kepada Belanda, lalu terdengar keluhan dan Inggris menuduh perusahaan dan Pemerintahan Kolonial Belanda di Sumatera sangat lemah dan tetap lamban dalam setengah abad ini. Ketakutan menyerang pemerintah, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Hindia, takut akan kata-kata dalam bahasa Inggris dan kemudian begitu sibuk menulis di latar depan dengan membawa kepentingan dan bahkan berlebih-lebihan untuk mengantisipasi kekacauan yang mungkin ditimbulkannya. “Ini adalah suatu bentuk ketakutan, bagaikan rem yang bekerja pada kereta kemakmuran, dimana pemerintah kolonial yang berinisiatif, sangat menyukai mendapati bahwa pulau besar ini telah berhasil didorong untuk bergerak menuju suatu kemajuan. Tapi jangan takut dan hanya bekerja sebagai rem saja. Kami mampu setelah tahun 1816 ini yang menjadi kebebasan emas, kami masih berbeda dalam perdagangan dan pengiriman, dan pelaut-penakluk pun pergi dengan keegoisannya pada dua abad yang lalu, yang akhirnya kita telah menyelasaikan suatu kontrak dengan bunga di pesisir sumatra yang telah begitu hebatnya memikat kita.” 324 Karena pemerintahan kolonial Belanda setelah tahun 1816 menemukan bahwa kebebasan nyata tidak dapat hidup dan perdagangan Inggris demikian berkurangnya di Nusantara. Lantas Pemerintah Belanda mempertimbangkan, menurut mereka, ini adalah sisi yang dicela oleh oposisi tentang ketidakadilan. “Tapi apakah kemudian bisa ditemukan di kerajaan kolonial Inggris yang membanggakan kebebasan itu? Huh, jauh panggang dari api. 324

Broersma, 1919: hal.19 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

226

Bahkan Adam Smith, sang kompas doktrin ekonomi liberal itu akan dengan senang hati menolaknya, dan berpendapat bahwa secara eksklusif masa depan tanah air ditentukan oleh hak perdagangan kolonial.” 325 Bristish-Hindia, yakni EEIC nampaknya akan segera usang, lantas untuk siapakah perdagangan dengan motif besar ini? Dia punya prestasi yang tak terbantahkan bahkan memiliki hari-hari yang berat di era Napoleon, yakni; industri Inggris. Sebelumnya, seperti yang kita lihat, pernah terjadi membawa dampak besar pada dania, dan perlu diingat kembali pula bahwa hal ini akan memberikan dampak yang lebih besar lagi. Dan ketika hari-hari yang sulit telah berakhir, banyak pedagang berusaha untuk melayari perairan Hindia, namun mereka mengeluh tentang partisipasi dan kompetisi yang dihadapi, dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Sampai tahun 1834, OIC merupakan manajemen yang mengontrol perdagangan dan menjadi penentu bagi saudagar di wilayah British-Hindia – semua hanyalah persoalan sistem, beberapa di antara pejabat Inggris sangat mencolok bagi orang-orang Belanda, begitu banyak keluhan kejahatan terhadap mereka. Ramainya argumen mereka untuk gerakan perdagangan bebas di Nusantara mengharuskan Penang dan Singapura memanfaatkan posisinya bagi perdagangan Inggris, terutama Malaka ketika Belanda telah bangkit dan akan mengambil bagi dirinya posisi disini. Penang memiliki hubungan , termasuk dengan Pantai timur Sumatra, dan itu berharap bahwa mereka akan dapat turut dalam “dunia sibuk” tersebut untuk saat ini. Singapura didirikan pada tahun 1819, yang pada masa itu hanyalah sebuah pulau kecil yang mungkin saja, hanya terdapat seratusan orang Melayu yang hidup dari menangkap ikan, dan mungkin juga; terlibat dalam melakukan berbagai pembajakan. Orang harus dipancing untuk menuju Singapura terutama China, apalagi yang berkaitan dengan perdagangan dan pengiriman. Cara untuk mencapai tujuan ini adalah memiliki kebebasan mutlak untuk datang dan pergi, untuk manusia dan properti, tidak ada hak negara, tidak pula ada kontrol. Pada tahun 1828 Singapura memiliki penduduk sejumlah

325

Broersma, 1919: hal.20

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

227

10.683 jiwa, pada tahun 1890 jumlah ini meningkat lebih dari 90 000 jiwa. Bahwa setelah sepuluh tahun akhirnya diperoleh nilai yang sama dengan yang ada pada seluruh impor-ekspor Jawa, sejumlah 17 juta gulden. Wow, ini benar-benar fantastis-lah! Sama halnya dengan Singapura, pemerintah Belanda melihat begitu seringnya ancaman itu tampak nyata bagi perdagangan Belanda itu sendiri, lalu secara bertahap merubah dirinya menjadi saudagar yang memainkan peranan besar. Sementara Singapura membuktikan kepada Hindia Belanda, Hindia Belanda pun membuktikan kepada Singapura bahwa layanan itu penting: yaitu prinsip yang benar dan bahwa kebebasan dihormati. Menarik untuk melihat apa yang disajikan dari statistik Inggris, Singapura dan Penang untuk Hindia Belanda memiliki nilai yang cukup berarti pada tahun 1863, yakni waktu dimulainya kolonisasi di wilayah Pantai Timur Sumatra. Nilai impor dari Hindia Belanda untuk satu tahun sebesar 14 juta gulden, atau seperempat dari keseluruhan yang masuk ke Singapura. Pengiriman dalam waktu yang sama, tercatat; Singapore 1279 kapal berukuran 471. 441 ton; Inggris 608 kapal dengan ukuran 220. 826 ton, sedangkan jumlah di bawah bendera Belanda adalah 279 sampai dengan 70.401 ton, Amerika dari 81 hingga 61.240 ton , dan semua negara lainnya memiliki bobot kurang dari ini. Menurut Catatan keuangan Penang di tahun 1863; memperoleh masukan senilai £1.684.598, dengan hasil dari Sumatera sejumlah 172.133 pound , nilai ekspor adalah £2.392.109 , dengan porsi dari Sumatera sejumlah 310.496 pound. Hal yang menjadi Momok menakutkan bagi Inggris, tahun 1819, adalah Hindia Belanda secara bertahap menjadi Pemerintah dengan penampilan yang multiguna; penampilan yang tidak hanya terbukti telah berhasil mendepak Inggris dari Sumatra, tetapi juga melemahkan kekuasaan raja-raja pribumi; seluruh kebijakan ekonomi para kolonialis benar-benar mengabaikan politi-politi lokal, dan bahkan menjadikan seluruh kawasan Sumatra sebagai jajahannya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

228

Belanda, Wilson dan Konflik Internal Siak Nampaknya, Pemerintah Hindia memiliki alasan baru untuk kembali membangun hubungannya dengan Pantai Timur Sumatra. Hal ini melihat situasi keadaan “Chaos” di Siak, yang “memaksa” Pemerintah Hindia Timur Belanda untuk campur tangan. Bahwa konflik yang terjadi dikalangan istana Siak seolah-olah sudah melekat dengan sejarah kerajaan itu sendiri, yang dimulai dari anak-anak Raja Kecil; Raja Alam dan Raja Buang hingga ke periode pemerintahan Sultan Ismail. Sultan Ismail 326 bertentangan dengan saudaranya, Raja Muda(Tengku Putra), dan tidak ada kesempatan untuk melihat diri mereka sendiri dengan jaminan, dengan demikian ia pergi ke Singapura untuk meminta bantuan kepada pemerintah Inggris. Di dalamnya ia dapat melihat tersedianya jaminan perlindungan, dan ingin segera menyerahkan kedaulatannya ke pihak Inggris. Akan tetapi pemerintah Inggris, Gubernur E.A.Blundell nampaknya tidak dapat untuk mempertimbangkannya, hal ini dipastikan karena akan berakibat pada pelanggaran terbuka dari perjanjian yang ada. Akan tetapi disana ada seorang petualang, seorang Inggris, yang ingin membantu Sultan dengan kekuatan bersenjata, seseorang yang bernama Sir Adam Wilson. Kemudian Wilson datang dengan sepasukan Bugis, berharap memperoleh beberapa keuntungan dengan memerangi raja muda, dan kemudian meminta tuntutan yang sangat tinggi terhadap sultan seperti hak istimewa dan keuntungan hingga sebesar sepertiga dari wilayah yang berhasil direbut dan dikuasainya, serta menegaskannya dengan kekerasan. Mungkin saja terpikirkan, mengapa tidak meminta saja bantuan dari Pemerintah HindiaBelanda untuk mengakhiri gerakan Wilson ini. Raja Muda Tengku Putra melakukan hal tersebut melalui Raja Muda Riau. Wilson berpaling, memaksa sultan yang melihat otoritasnya berada dalam bahaya dan mencari keselamatan atas dirinya dengan ikut meminta bantuan Pemerintah Belanda – selain ia juga melihat bahwa Pemerintah Inggris nampaknya tidak akan membantu seandainya Belanda membantu Raja Muda dalam berhadaphadapan dengn Wilson. Disisi lainnya, Sultan Aceh, pada kesempatan

326

Sultan Ismail yang dianggap tidak pernah benar-benar mampu menguasai kerajaannya, bahwa Tengku Putra, Saudara dari Sultan - yang mampu memadamkan pemberontakan diawal pemerintahan Sultan Ismail diangkat menjadi Raja Muda Siak. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

229

pertama yang diberikan segera saja melanjutkan otoritas kuno yang batasbatasnya dipandang pemerintah Hindia melebihi batas kedaulatan Siak. 327 Demikian pula penguasa Deli, yang telah dikaruniakan gelar "panglima" pada tahun 1814 oleh Sultan Siak", dipaksa untuk menerima dan bertindak sebagai pengikut Aceh. Bagi Pemerintah Hindia, sudah jelas bahwa mereka harus turun tangan untuk menghindari terjadinya “kejahatan” yang lebih besar. Kembali kepada persoalan dengan Wilson, Residen Riau pun berada dalam upaya melindungi dan mendamaikan Sultan. Residen dapat segera menjamin dirinya dengan saudaranya itu dan segera memenuhi misinya, hal yang segera saja di respon Wilson dengan menuju Bengkalis, sebuah pulau yang diklaim mnjadi hak miliknya. Meskipun demikian, akhirnya ia melihat realita bahwa ia tidak bisa tinggal disana dan kekuatannya pun telah menghilang, maka ia segera meninggalkan Bengkalis untuk selamanya. Kisah konflik tersebut, diberitakan dibeberapa warta kolonial, salah satunya adalah sebagai berikut: Sebagaimana terdapat dalam warta Dagblad van zuid hollanden’s gravenhage, Woensdag, tanggal 23 September 1857, No:224, Kolonien, dan apa yang tertera dalam berikut kisahnya: Mengenai peristiwa terakhir yang terjadi di Siak dapat dilaporkan sebagai berikut: Sultan Siak, dalam perseteruan dengan Jang dipertuan-Muda (Rijksbestuurder)! Beberapa waktu lalu, sultan pergi ke Singapura menemui Pemerintah Inggris membawa persoalan kerajaannya kepada pemerintah Inggris. Wilson, yang sebelumnya telah berkunjung ke Siak, menawarkan bantuan tertentu kepada Sultan. Sultan sendiri bersaksi bahwa ini adalah antara ia dan Wilson saja! kesepakatannya, seluruh perdagangan dan sumber daya di bawah kekuasaannya... dan dan ini sepertiga dari keuntungan dari penghasilan negeri-negeri. Wilson, sebagaimana dikemukakan Sultan, menyediakan sepasukan 327

Aceh mengklaim wilayah kekuasaannya di Pantai Timur meliputi sampai ke Serdang, sebaliknya kemudian Aceh menganggap Perjanjian 1858 antara Siak dengan Belanda, dianggap telah menetapkan batas-batas wilayah Siak secara berlebihan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

230

yang diantaranya terdiri dari orang-orang Bugis, untuk memerangi Saudaranya, Rijksbestuurder. Akan tetapi, siapa sebenarnya yang diperjuangkan untuk menang, sangat tidak jelas, tetapi bahwa Sultan akan menghadapi kembalinya Wilson, dengan tuntutan yang terlalu tinggi tersebut, pemerintahannya jelas-jelas berada dalam bahaya. Dikatakan oleh Sultan, bahwa Wilson mencoba untuk menegaskan tuntutannya dengan senjata, insiden yang pecah pada tanggal 19 April hingga berakibat Sultan dan para pengikutnya menjadi “buron.” Anarkhi di Siak akan berakibat pada kekerasan, dan hal tersebut akan berbahaya bagi kelangsungan negeri-negeri tetangga, terlebih yang berada di bahwah pemerintahan langsung Hindia. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia memerintahkan kepada Residen Riau, dalam rangka untuk mengantisipasi keadaan di Siak, membantu pengungsi, dan melakukan upaya rekonsiliasi pemerintahan antara Sultan dengan saudaranya dan juga upaya perlindungan bagi dirinya. Pada tanggal 1 Juni tahun ini, Residen Riouw melakukan perjalanan ke Siak dengan kapal uap Zr. Ms Merapi. Pada malam yang kedua, berada di pintu masuk menuju pedalaman Bukit Batu, akan tetapi untuk alasan keamanan, pada pukul tujuh diputuskan untuk berlabuh tidak berapa jauh dari tempat pelabuhan. Pada pagi hari tanggal 3 Juni, sauh diangkat, mereka kemudian berjalan hanya dengan sedikit uap di pantai (perlahan), suatu tempat khusus di mana Bukit Batu terletak di tepi barat yang cukup tersembunyi. Sekitar pukul 7:00 di pagi hari, kabut terangkat dan satu pemandangan pun terhampar naik, Bukit Batu, yang saat itu terlihat dalam suatu situasi kekacauan, yang kemudian jelas dan terlihat adalah sebuah sekunar (kapal layar bertiang dua), yang kemudian terbukti itu adalah milik Wilson, tetapi ia kemudian tidak lagi berada di sana, dengan tergesa-gesa ia mengembangkan layarnya. Dari sekunar ini berkibar bendera Inggris, sementara sepotong bendera lainnya terlihat di sebuah hunian ditepi kanan sungai, satu bendera merah dengan salib putih di sudut-kirinya. Kemudian, segera terlihat dan diketahui sebuah properti dari Panglima Prang Besar yang juga merupakan kediamannya. Selain itu, rumah ini dilengkapi dengan satu tembok pembatas dimana terpasang meriam, di tepi kiri sungai berdiri tembok pembatas dengan sebelas buah meriam, dengan satu pemicu RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

231

peledak yang berhubungan dengan kapal-sekunar Wilson. Pelayaran Residen Riouw dalam misi ini dengan menyertakan dua kapal. Salah satu dari mereka dikirim untuk mencari informasi mengenai kediaman Sultan. Mereka memperoleh informasi dari salah satu kontak yang ada dengan Bukit Batu. Tak lama setelah membuang jangkar, datang mendekati kapal Merapi dua orang Inggris, mereka mengaku sebagai Kapten dan pasangan dari sekunar yang disebutkan di atas. Pada pukul satu siang salah satu orang Inggris, menyebut dirinya W.M. Carnie, menyampaikan surat, di mana ia menyatakan keyakinannya kepada komandan Merapi yang merasa keberatan dan menentang pembukaan sekunar dan dua kapal lainnya ke Singapura. Komandan Merapi kemudian memberikan jawaban lisan, bahwa ini merupakan waktunya bagi mereka untuk memilih akan pergi atau tidak.. Di akhir malam, menurut salah satu warga setempat, orang Bugis terlihat dengan sampan kecil di sebelah barat-laut pantai. Segera kami menemukan bahwa rumah-rumah di seluruh Kampung Bukit Batu telah kosong ditinggalkan penghuninya... Rumah yang ditempati oleh Sultan sebagaimana sang Residen telah pergi kesana meninjaunya, bahwa ditemukan sejumlah peluru menembus beberapa tempat di bagian depan, dan pada platform disebelahnya, mereka menemukan ... mayat.. tidak jauh dari sana ditemukan pula tengkorak. Sementara di sungai masih terlihat beberapa mayat orang Siak.... (bukti bahwa tempat ini telah dibombardir dengan hebat). Diatas Kapal sekunar Wilson, yang dipersenjatai dengan besi 12 pd., 4 besi 1 pd. rolpaarden dan guntur pada 2 senapan polder, serta ditemukan surat dari W. Carnie, disebutkan telah dijatuhkan hukuman oleh komandan Merapi sebagaimana disampaikan bahwa ia telah menerima pesan lisan dari komandan pada hari sebelumnya, dan yang juga telah dikomunikasikan kepada para kapten kapal lainnya; akan tetapi terdapat ketakutan bahwa Merapi akan mengejar mereka, meskipun sang komandan telah meyakinkan mereka, sebaliknya mereka bergegas pergi dengan meninggalkan barang-barang mereka; Carnie, dengan kekuatan yang cukup di kapal untuk membawa sekunarnya keluar, akan tetapi, tanpa sekunar tersebut ia terpaksa pergi dengan perahu ke Malaka, sebagai pelaut ia meninggalkan sekunar nya

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

232

sekarang, di bawah pengawasan salah satu anak buahnya, yang pastinya dalam keadaan “sakit”? Di pagi hari tanggal 6 Juni, mesin Merapi dipanaskan untuk segera menuju selat yang terletak diantara Pantai Siak dan Pulau Padang, dan kemudian menyusuri jauh lebih kedalam untuk mencari Sultan dan selanjutnya ke arah Tanjung Siri, dimana Residen telah menunggunya, namun Sultan tidak ditemukan disana. Karena itu mereka kemudian berbalik kembali ke Bukit Batu, di mana pada pukul 09:00 Sultan pun muncul, bersama dengan kapal yang diutus kepadanya, sebuah kapal jelajah. Utusan pribumi dari Residen, yang bertanggung jawab melakukan pencarian, menunjukkan bahwa Sultan ternyata tidak berada di Tebing Tinggi, melainkan di sebuah bangsal di pedalaman di negeri ini, bersama dengan istrinya, ditemukan di sebuah pondok di hutan,... disebutkan bahwa orang Bugis dari Bukit Batu akan menyerangnya kesana, setelah mereka mendengar bahwa Sultan telah berhasil melarikan diri ke Ulu Tasse. Senin tanggal 8 Juni, diatas kapal Merapi, diadakanlah pertemuan dengan Sultan.. bahwa sang Sultan dikabarkan menyampaikan ucapan terimakasih atas penyelamatan yang memadai, juga kepada Gubernur jenderal.. Residen pun mendengarkan, dan saat itu pula dari kedua pembesar kerajaan, ada kekerasan yang mendahului disebutkan kepada mereka, yaitu; serangan terhadap Sultan yang terjadi pada tanggal 19 April tahun ini, dan ini telah memprovokasi, dan juga terdapat kerusakan pada bagian 'kapal jelajah pemerintah No.58, apakah selama pertempuran di pelabuhan sungai di Bukit Batu, tidak melibatkan permusuhan setidaknya terhadap Wilson dan komitmennya, nampaknya kabar itu telah menyebar di Singapura.... Tanggal 9 Juni, Sultan diberikan kesempatan, untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan sehubungan dengan kapal dan barang di Bukit Batu, dan juga kemudian disitalah olehnya sekunar yang ditinggalkan Wilson..Barang-barang yang ditemukan di kapal, atas perintah Sultan, diinventarisasi, dan jendela sekunar disegel. Pada tanggal 10 Juni, Merapi meninggalkan Bukit Batu, begitu pula dua kapal jelajah yang mendampinginya, yang memuat sultan dan dan banyak pembesar kerajaan melakukan perjalanan ke Siak. Saat tiba di RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

233

Siak, ditemukan kampung yang sudah benar-benar kosong. Bahwa selama Merapi sana, dapat dilihat, secara bertahap telah dilakukan upaya meningkatkan dan memulihkan ketenangan. Kapal Merapi pun tidak sepi dari kunjungan berbagai lapisan masyarakat.... yang datang untuk melihat-lihat dan mengaguminya... Bagian terbesar dari kampung itu kembali dihuni oleh orang-orang Siak yang melarikan diri dari sana, dimana sangat banyak dari mereka itu adalah para nelayan.. Pada tanggal 13 Juni, Siak direkonsiliasi, begitulah yang diinginkan antara Sultan dan saudaranya, Raja Muda (onderkoning). Peristiwa ini terjadi di rumah Sultan, di hadapan residen, komandan Merapi, dua pangeran, saudara dari para pangeran, dan semua yang hadir dari pembesar kerajaan besar Siak. Tanggal 25 Juni, dengan Merapi, Residen melakukan perjalanan pulang ke Riouw. Hingga hari itu, nampaknya Wilson masih membutuhkan satu langkah lagi yang harus diambil untuk mendapatkan kapalnya kembali. Dalam upaya penyelesaian kasus Sultan dan Wilson tersebut, bahwa dua orang pejabat Hindia, Tobias dan Nieuwenhuizen melakukan pengejaran terhadap Wilson. “kericuhan” yang terjadi di Kelapa Patal – Bukit Batu tersebut, memiliki dampak pada kehidupan masyarakat setempat. Ketika gajah dengan gajah bertarung, maka pelanduk ditengah-tengah pun akan lari!” Demikian halnya disana, di Kelapa Patal, bahwa selama kawasan lanskap tersebut menjadi arena akumulasi ketegangan, perang syaraf dan ancaman, maka penduduk kawasan tersebut untuk sementara mengungsi, baik melalui laut ataupun melarikan diri ke pedalaman. Bahwa sebelum peristiwa Wilson, menurut Netscher, 328 pada saat peristiwa Bukit Batu saja tercatat sekitar 300 perahu nelayan bersandar disana, pasca insiden, yang kembali hanya berjumlah sekitar 200-an perahu saja.

328

E.Netcher, Togtjes Gebied van Riouw en Onderhoorigheden: Boekit Batoe, Sumatra Courant, 24 Januari 1863.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

234

Berikut adalah suatu episode “perang-urat syaraf” di Kepala Patal-Bengkalis, kisah sebagaimana terdapat di “De Oostpost”: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad: SIAK, tanggal 8 Febrari 1858. Di bawah judul “de Heer Wilson en de Hollanders” (Sir Wilson dan orang Belanda), pada Straits–Times tanggal 9 Januari 1858, sebagai berikut: Bahwa di Singapura pada tanggal 19 Desember, Kapal Perang Belanda Merapi, mengadakan perjalanan pelayaran menuju Siak dan tiba di hari berikutnya pada puncak tempat tersebut, dan berlabuh di lepas pantai pulau Bengkalis, tempat di mana Wilson telah memulai suatu kolonisasi singkatnya disana. Kapal uap tersebut berada dengan jarak sekitar 400 yard dari rumah Wilson di Kalapa Patal. Dapat terlihat dengan jelas dari pantai bahwa awak kapal Merapi telah bersiap untuk melakukan suatu pertempuran. Segera kapal bersenjata tersebut menuju ke arah darat, akan tetapi letnan yang menerima perintah tersebut, menyadari bahwa kapal tidak mungkin untuk terlalu jauh berlayar di sungai, segera mereka kembali, dan tak lama kemudian melakukan pendaratan dalam satu perahu kecil yang memadai untuk dilakukannya misi tersebut. Setibanya didarat, sang letnan menanyakan kepada penjaga yang bertugas di Benteng, yang ternyata diketahui merupakan kediaman Gubernur. Selanjutnya, Letnan disambut disana, dan sang tuan rumah, Mr.Carnie menawarkan sebuah kursi kepadanya. – Letnan mengaku bahwa ia diutus untuk menjumpai Gubernur Kelapa Patal oleh seseorang yang bernama NIEUWENHUIZEN bersama dengan Residen Riau; F.H.TOBIAS dan diminta untuk menyampaikan beberapa pertanyaan, seperti; apakah wilayah ini adalah pendudukan Inggris, dan apakah Mr.Carnie adalah Gubernurnya, siapa yang telah membangun benteng, atau apakah Gubernur Singapura berkaitan dengan pemukiman ini, dimana tampak dari adanya pengibaran bendera Inggris. Setelah Letnan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, segera ia kembali ke kapal. – Sewaktu letnan berada didarat, para awak kapal uap sudah bersiap-siap membela dengan sederetan peluru yang dapat ditembakkan kapan saja ke pantai. Setelah tengah hari terlihat melintas satu perahu lainnya ke darat yang ditumpangi seorang letnan dan perwira angkatan darat, dengan pengiriman berikutnya: RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

235

"Karena kami telah menerima respon dari orang yang menyebut dirinya Gubernur Kalapa-Patal - terhadap petugas dari Kapal Merapi, benteng di mana bendera Inggris dikibarkan, dibangun oleh Wilson, seorang warga negara Inggris yang menetap di Singapura. Sementara itu seorang petugas dari H.M.Kapal uap Merapi dikirim ke darat untuk memberikan penjelasan atas Pasal 9 dari perjanjian tanggal 7 Maret 1824, yang disepakati antara Radja Belanda dan Yang Mulia dari Kerajaan Britania Raya, bahwa tidak diperkenankannya dibangun pemukiman Inggris di Sumatera – sebagaimana telah berlaku, dan dengan demikian, pembangunan benteng tersebut telah melanggar pasal dari Perjanjian yang dimaksud. juga itu pertanda bagi kita, bahwa sudah sepatutnya dikeluarkan perintah oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia Belanda, orang yang di berada bawah komando benteng dimana berkibar bendera Inggris di Kalapa Patal, perintahkanlah, bahwa ia harus menghancurkan benteng tersebut pada Kamis 24 Desember 1857, pada pukul enam pagi. Aldus gedaan aan boord van Z. N. M. Oorloge stoom schip Merapi, op heden Zondag den 20 December 1857. Hoofd ambtenaar in N. I. dienst. (w. g.) NIEUWENHÜYZEN,

Resident van Riouw. (w. f.) F. H. TOBIAS,

Ketika Mr.Carnie membaca dokumen ini, tampak personil dari angkatan daratnya melakukan persiapan dengan mengangkut persenjataan ke dalam benteng, meriam, dan bahwa mereka juga mulai persiapannya dengan peluru-peluru panas... Mr.Carnie mengatakan bahwa ia akan menjawab pada hari berikutnya, karena sehari sebelumnya pada hari Minggu itu, setelah ramah-tamah dan ucapan perpisahan oleh petugas militer di high- Hollandsch(?), tuantuan kembali ke kapal. Pada pagi hari Senin tanggal 21 Desember, Mr.Carnie mengirimkan jawaban sebagai berikut: RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

236

Aan den Hon. F. H. TOBIAS Esq. Resident van Riouw en den bevelhebber van Z. N. Ms. stoomschip Merapi. Dengan hormat, Saya telah menerima surat Anda kemarin, pada Minggu 20 Desember 1857. Dengan segala hormat, jawaban saya adalah bahwa saya tidak dapat memenuhinya. karena surat anda yang ditujukan kepada Saya, telah saya kirimkan kepada Gubernur Singapura, dan inilah jawaban yang saya terima: Mengenai benteng tanah yang didirikan oleh Mr.Wilson di Kepala Patal, bahwa hal ini dengan sepengetahuan Gubernur Singapura, dan juga dilakukan untuk melindungi properti milik Mr. Wilson dari kemungkinan serangan pribumi, Sementara sebagai warga negara Inggris, dan sebagai pedagang, ia berada di bawah perlindungan Pemerintah Inggris di Sumatera. Bahwasanya keberadaan saya di sini hanya untuk mengelola makanan selama tidak adanya Mr Wilson, oleh sebab itu saya meminta Anda, untuk membiarkan saja saya disini hingga Mr.Wilson tiba, atau sampai adanya keputusan dari Gubernur Singapura; Sementara itu setelah anda menerima jawaban saya ini, dengan sebuah kapal saya akan kirimkan surat resmi kepada Singapura. Saya menunggu balasan anda, Klapa Patal, Uwen geh. dienaar, 20 December 18567. (w. g.) N. M. CARNIE G. F. P. Orang yang membawa surat ini, adalah seorang letnan laut, dan ialah yang pertama kali ditampilkan pihak pantai, dan kapten kapal bertanya apakah ia tidak takut untuk tinggal di darat; Ia menjawab bahwa ia tidak melihat apa pun di sini yang bisa menakutinya. Menjelang siang, tibalah seorang pribumi ke pantai dengan jawaban bahwa jika terlihat ancaman yang terdapat dari tempat tersebut, maka tempat tersebut akan segera saja di bombardir. Nampaknya surat hari itu pun tidak RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

237

juga membawa perubahan, meski surat telah diterimanya, tetap saja terlihat kesibukan dengan benteng baru. Kembali Pesan dari Merapi: Kami memperingatkan anda bahwa jika pekerjaan itu tidak dihentikan dengan segera, maka meriam dari Z.N.M Kapal perang Merapi akan memaksa Anda. Van boord van Z. N. M. stoomschip Merapie. Kalapa-Patal (w. g.) NIEUWENHÜYZEN, 21 December 1857. Hoojd-ambt.-naar in N. 1. dienst, (w. g.) F. H. TOBIAS, Aan Resident van Riouw N.M.Carnie. Kalapa Patal. Mr Carnie segera mengirim pesan berikut : Aan den Komandant van Z. N. AI. oorlogs stoomschip Merapi, en — F. H. TOBIAS Esq. Resident van Riouw. Dengan hormat, Pagi ini saya menanggapi surat yang saya terima dari anda, mengirimkan catatan berisi pemberitahuan, dalam paragraf kedua dari surat tersebut, dikatakan melihat orang membangun benteng. Saya merasa anda pasti telah melakukan kekeliruan didalamnya, sementara setelah komunikasi dengan anda tadi malam, saya melakukan tugas pekerjaan ke benteng sampai saya akan menerima perintah lebih lanjut dari Singapura. Salah satu yang saat ini beroperasi adalah pembangunan sebuah rumah. Ik blijf Uw gehoort. Dienaar (w. g.) N. M. CARNIE G. F- P„ Kalapa Patal, 21 December 1857. (Signed) N.M.Carnie G. F. P. " Saat itu para prajurit Bugis yang semula berjaga-jaga, semuanya telah pergi, akan tetapi Mr.Carnie tampak tetap siaga bersama dengan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

238

delapan orang Eropa. Sementara seluruh penduduk di kampung itu telah mengungsi; beberapa diantaranya bersembunyi di hutan(semakbelukar); sedangkan yang lain berada di perahu mengambil arah yang berbeda dengan mereka. – di sisi lainnya, seseorang mengatakan bahwa setiap kali ketika perahu dikirim darat, sementara itu para awak dikapal mempersiapkan sejumlah amunisi untuk menghukum para penghuni rumah tersebut. Pada hari Selasa tanggal 22, pada sore hari pada pukul tiga, terlihat Wilson tiba dengan sebuah perahu dari Singapura, dan segera setelah kedatangannya itu, dikirimkan surat menuju kapal uap Merapi. Aan den Hon. NIEUWENHÜYZEN Esq. N. J. C. Si en den Hon. F. H. TOBIAS Esq. Resident van Riouw. Dengan hormat! 1. Saya baru saja kembali dari Singapura dan mendapat kehormatan untuk membaca pesan dalam surat anda kepada Mr. Carnie. 2. Pada bagian kedua dari surat Anda tanggal 21 Desember. Saya melihat bahwa Anda mengancam untuk menembak rumah saya, jika pekerjaan di benteng dan sekitarnya tidak segera dihentikan. 3. Dapat dicatat disini bahwa Anda telah begitu baik membiarkan bendera Inggris tetap berkibar di benteng. 4. Saya mendapat kehormatan untuk melampirkan terjemahan surat Sultan Siak yang menghadiahkan kepada saya pulau Buncali (Bengkalis), dan terhadap anda, saya memprotes dengan keras berkaitan dengan pembangunan benteng yang saya dirikan di atas tanah milik saya yang tak terbantahkan. 5. Namun, sementara itu, saya ingin menghindari perselisihan, Saya mempersiapkan benteng yang mengelilingi rumah saya; yang memang harus saya lakukan, kecuali anda akan menjamin perlindungan terhadap semua musuh, terhadap serangan sejak benteng ini didirikan. 6. Saya meminta agar diizinkan untuk mengetahui apa rencana Anda selanjutnya, di mana sesuai dengan keinginan Anda, yang RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

239

akan menghilangkan pekerjaan pembangunan benteng tersebut. 7 . Akan menyenangkan bagi saya untuk dapat memastikan apakah anda benar-benar memiliki niat untuk menembak rumah saya jika pekerjaan benteng tidak dihentikan pada Kamis pukul enam pagi. Ik ben, Mijneheeren, Klapa Patal, Uw geh. dienaar, 22 December. 1857. (w.g) ADAM WILSON. Berikut ini salinan surat Sultan (versi terjemahan dalam bahasa Belanda) yang dilampirkan oleh Wilson: VERTALING Te Boekit-Batoe, op den zesden dag der maand Jemadal-Akir, zijnde Zaturdag, ten vier ure geven wij, Sultan van Siak Sri Indrapoera etc. etc, dezen brief aan ouzen vriend de Heer Wilson. — Bij dezen staan wij af en geven over aan onzen vriend de Heer Wilson het eiland Buncalis. Wij magtigen hem daarover te regeren zoo lang het uitspansel, de zon en de maan zullen bestaan. — Niemand dan de Heer "Wilson of zijn vertegenwoordiger zullen daar eenige magt uitoefenen of handels-inkomsten innen. Gedaan te Boekit-Batoe op den 6 dag van de maand JemadalAkir, zijnde Zaturdag, ten 4 ure na den middag. L. S. Bahwa surat diatas tersebut, yang bertanda di Bukit Batu pada hari keenam bulan Jumadil Akhir, menyatakan Sultan Siak menghadiahkan pulau Bengkalis kepada Wilson, dimana hanya kepada Wilson atau wakilnya saja yang dapat bertempat di pulau tersebut guna melaksanakan hak pengumpulan pendapatan... Setelah menerima surat ini, segera terdapat jawaban dari kapal Merapi:

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

240

"Saat ini dalam menanggapi Anda, dari surat yang kami beritakan kepada anda dan bahwa kami sedang menunggu pengajuan tanpa syarat atas surat kami yang bertanggal 20; dan ternyata gagal, dan Kami berhak untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah tersebut dan tidak akan mencegah niat kami dalam upaya mempertahankannya sesuai dengan hak Neerlands. Van boord van Z. N. Ms. oorlogsstoomschip Merapi, Klapa Patal, 22 December 1857. Aan den Heer A. WILSON dienst. te Klapa Patal

(w. g.) NIEUWENHUIJZEN. Hoofd-ambtenaar in N. I. (w. g.)'F. H. TOBIAS. Resident van Riouw.

Karena tidak ada hadirnya kekuatan dari pihak Singapura ataupun Inggris untuk terlibat dalam pertempuran dengan kapal uap, atau pun untuk berjaga-jaga ditempat setelah penghancuran benteng, nampaknya Wilson memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut pada keesokan harinya, dan dengan demikian beberapa kapal di sungai, segera sarat dengan barang-barang yang bernilai. – Dua kapal besar bersenjata besar datang ke pantai, untuk mengakhiri olok-olok yang tak henti-hentinya ini: mereka mengirimkan pesan ke kapal, seperti, “jelas saja benteng itu benar-benar tidak perlu ada sebab hanya menjadi sampah saja”. Ketika perahu itu dimuat, sepucuk surat dikirimkan ke kapal, (yang tidak dapat ditemukan salinannya), tapi itu berarti bahwa Wilson terpaksa pergi meninggalkan rumahnya dibawah ancaman penyelesaian dan juga hal ini menyangkut kekuatan Belanda, dan dari jawaban mereka yang dirasakan jauh dari keadilan, ia diperkirakan akan kembali pada kesempatan pertama dalam rangka untuk mempertahankan miliknya tersebut; Surat ini masih belum terjawab, dan ketika kapal meninggalkan tempat di tengah malam, tempat itu segera dibersihkan; dan dapat dipastikan bahwa pulau itu kosong... RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

241

Hari berikutnya, hari Kamis, adalah hari yang telah ditentukan untuk menghancurkan benteng, tapi nampaknya, hingga Februari 1858, belum terdengar tindakan yang diambil oleh pihak Belanda. Klaim Wilson, bahwa tindakannya tersebut dibawah atau sepengetahuan pemerintah Inggris: dalam hal ini Gubernur di Singapura, akan tetapi nampaknya sang gubernur tersebut membantahnya – bahwa pemerintah Inggris tidak berkaitan dengan tindakan Sir Adam Wilson tersebut 329. F.J.N. Nieuwenhuijzen dan Tobias, mengadakan perundingan dengan Sultan Ismail, Tengku Putra dan juga bersama dengan empat Datuk Kepala Suku di Siak, dengan tindakan pada tanggal 31 Desember 1857, yang kemudian diperkuat oleh kontrak pada tanggal 1 Februari 1858, dengan kontribusi sultan, raja muda dan seluruh kemaharajaan kerajaan Siak Sri Indrapura dan negeri taklukannya segera berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Sebuah pos militer ditempatkan tepat berada di pulau Bengkalis, 330 dan juga tempat lainnya atas kesepakatan bersama. Risalah traktat tersebut membagi Siak menjadi “Eigenlijk Siak” (negeri asli Siak) dan “Onderhoorigheden” (wilayah taklukannya). Selain itu kekuasaan pemerintah pribumi pun dibatasi, meski Pemerintah belanda selama Sultan dan seluruh kemaharajaanya mentaati perjanjian, mereka tidak akan mencampuri pemerintahan internal Siak. Secara khusus, Pemerintah kolonial telah melakukan negosiasi untuk diri mereka sendiri hak menetap di mana hal ini dipandang perlu di mana saja dalam wilayah kerajaan, hak kompensasi, hak untuk menarik pajak dan hak penebangan hutan. Sebaliknya, dalam posisi penggabungan tersebut, sulit bagi kerajaan untuk dapat tetap mempertahankan hak-haknya, terutama pengaruhnya atas lanskap-lanskap pesisir, hingga akhirnya di tahun 1884, ketika butir perjanjian Siak - salah satunya mengenai kompensasi tahunan sebesar f40.000 dan utang remisi lebih dari f50.000 – mengakibatkan turun tahtanya supremasi Siak atas 329

Regeling van het gebruik van het Koloniaal batig slot over 1855. (Memorie van Toelichting.), hal.74 330 Tahun 1860, konflik terulang kembali. Semua dampak menguntungkan dari intervensi ini nampaknya tidak menjadi persoalan bagi Pemerintah Hindia, hingga berkurangnya seluruh konflik ataupun penjarahan, meskipun demikian, Belanda menolak untuk mengakui beberapa kedaulatan sultan. Bahkan kedudukan sultan dikerajaannya tidak dipertahankan, ia dianggap bertentangan dengan kepentingan Pemerintah Hindia, sebagai penyebab utama mengapa ia dijatuhkan pada kisaran tahun 1864 -67: . RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

242

semua negeri pesisir. Sejak saat itu, dengan demikian Menggenapi kewilayahan Residensi Pantai Timur Sumatra dengan sejumlah lanskap merdeka lainnya, hampir semua pemerintahan pribumi berada dalam pengawasan Eropa.331 Meskipun pemerintahan tetap berstruktur tradisional, kekuasaan yang efektif berada di tangan Belanda dan Siak menjadi 'negara klasik pada abad ke-19 dengan sistem pemerintahan tidak langsung Belanda.332 Sebuah bayangan koneksi tua dengan dunia pulau dipertahankan karena hingga tahun 1873, Siak berada di bawah pengawasan administrasi Residen Riau, namun pada tahun itu Belanda menciptakan sebuah provinsi baru, Pantai Timur Sumatera, wilayahnya termasuk dari sebagian besar dari apa yang pernah menjadi wilayah pedalaman dari kerajaan Riau-Johor serta wilayah yang dicakup oleh Klaim perluasan kerajaan Siak. Karena itu jelas, disebabkan fokus ekonomi provinsi baru ini terletak di daerah subur di utara, maka dari itulah pusat pemerintahan Belanda pun dipindahkan dari Bengkalis ke Medan. Pada tahun 1888, sehubungan dengan klaim Siak sebagai penguasa atasan di Deli, Serdang, Asahan dan Langkat yang telah dikuasai oleh Belanda, sehingga Sultan Siak pada saat itu berada dalam bayang-bayang pangeran yang sebelumnya dianggap sebagai bawahannya. Disisi lainnya, kebijakan kolonial melegitimasi posisi mereka dengan menandatangani perjanjian dengan masing-masing negara yang mengurangi Siak hingga hanya menjadi wilayah kecil saja, terbelakang secara ekonomi dan jarangnya penduduk Melayunya di cekungan sungai Kampar, Siak dan Rokan. Dalam konteks ini, perhatian utama dari penguasa seperti Sultan Sjarif Kasim (1915-1946) adalah untuk mempertahankan pegangan erat pada otonomi kecil yang telah bertetap ditangannya. Dengan demikian, ia bisa mengklaim jumlah sedikit keunggulan kepada tetangga-tetangganya yang lebih kecil, yang sebagian besar pada tahun 1912 menandatangani Korte Verklaring (Deklarasi Singkat) yang memberikan semua kekuasaannya kepada Belanda, kecuali untuk apa yang mereka pilih untuk mendelegasikannya kepada penguasa. 333 Pengebirian bentuk pemerintahan lama dan kerugian ekonomi inisiatif di bawah

331

Lihat “De uitbreiding van het Nederlandsch gezag op Sumatra” dalam De Gids. Jaargang 51, auteur: [tijdschrift] Gids, De bron: De Gids. P.N. van Kampen & zoon, Amsterdam, 1887 hal.281. 332 Reid 1969: 28-35. 333 Reid 1970 : 49 52. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

243

pemerintahan kolonial itu berlaku umum di semua wilayah yang menjadi wilayah kerajaan Riau kuno. Dalam beberapa keadaan, keluhan bersama mungkin cukup untuk menjadi perekat bagi kesatuan umum dalam menghadapi dominasi Eropa. Hanya saja sayangnya ini tidaklah terjadi; yang nampaknya dapat dikaitkan dengan berbagai alasan – kenangan perbedaan sejarah, pemisahan geografis, kurangnya kepemimpinan, serta tidak adanya organisasi nasionalis yang kuat.

Aneksasi Pelalawan Belanda diantara Dua Saudara Pada bulan Oktober 1881, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyetujui suatu tindakan pengesahan atas kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun 1879, dimana lanskap Pelalawan mengakui supremasi Belanda yang wilayahnya terutama terdiri dari muara Sungai Kampar, batas – batas utara dengan Siak dan kemudian arah selatan adalah pantai Sumatra yang berbatas dengan wilayah dependensi Riau. Pada tanggal 1 Januari 1882 dimana berdiri pusat pemerintahan Belanda di pulau Bengkalis, dan di tempat inilah Tengku Besar dari Pelalawan menyatakan diri sebagai berada dibawah pemerintah Hindia. Hal ini bermula dari pemerintahan pribumi yang menghadapi sejumlah persoalan internal. Dua kelompok; Tengku Besar dan Tengku Syarif Abu Bakar berselisih mengenai otoritas, sehingga masingmasing cenderung mempertahankan hukumnya sendiri. Oleh sebab itulah pada tahun 1877, Belanda menyatakan bahwa Tengku Besar Syarif Abu Bakar meminta untuk berdiri dibawah otoritas Belanda.334 Dalam menganggapi hal ini, lazimnya bangsa kolonialis, nampaknya Pemerintah Hindia juga harus memeriksa kondisi untuk potensi bea di wlayah ini, terutama dari para penguasa bea ekspor, sehingga residen pantai timur Sumatra pun melakukan penelitian lokal guna kepentingan penyelesaian perdagangan. Aneksasi wilayah Pelalawan terhadap otoritas Belanda, bagi penjajah dikatakan bahwa 334

Prof, P. J, Veth Mengatakan bahwa pada tahun 1878 Tengku Besar mencari perlindungan kepada Pemerintah Belanda dan datang secara pribadi ke Bengkalis untuk meminta kerajaannya berada dalam otoritas Belanda. Dikatakannya, “De TongkoeBesar zocht in 1878 bescherming bij het Nederlandsche Gouvernement en kwam in persoon naar Bengkalis om te verzoeken, dat zijn rijk onder het Nederlandsch gezag zou gebracht worden.” Dalam Van Rijn van Alkemade, 1897. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

244

selama Pelalawan masih merupakan kawasan merdeka, maka mereka tidak dapat melakukan kontrol atas arus barang yang bersumber ataupun menuju ke wilayah pedalaman, seperti pada lanskap merdeka V Koto Kampar. Dikatakan bahwa arus barang itu tidak hanya meliputi barang hasil pertanian ataupun komersil dan temuan tentang kekayaan hasil tambang seperti timah di Batang Nila, melainkan juga opium, amunisi dan senjata. 335 Laporan kolonial 1879 melaporkan bahwa residen telah mengunjungi Pelalawan, akan tetapi belum memperoleh dasar hukum untuk pengaturan lebih jauh. Selanjutnya dalam laporan kolonial tahun 1880 dinyatakan bahwa Tengku Besar datang bersama dengan tiga pembesar kerajaan ke Bengkalis dan berdasarkan catatan yang terdapat di sana, residen menyatakan kepadanya untuk tunduk pada persetujuan lebih lanjut dari pemerintah Hindia, kedaulatan ditawarkan pada Pelalawan yang diterima dan direksi lanskap menyatakan kesediaan mereka untuk menanggung biaya pengadaan dan sewa terhadap kompensasi kepada pemerintah tentang tapi satu yang mungkin pada jumlah kompensasi. tidak bahkan. Dalam laporan 1881, bahwa masalah kompensasi belum menghasilkan satu solusi, sehingga pada saat itu pemerintah Hindia menunda ratifikasi akta. Penundaan ini adalah hingga ia mampu juga untuk mengajukan menawarkan yang memuat kesepakatan diantaranya mengenai akuisisi hak sewa(pacht). Sehubungan dengan pengunduran dirinya, residen akhirnya masih dilewatkan ke aplikasi tersebut sebelum perjanjian tersebut dicapai dan akte 1879 adalah bahwa, sebagaimana telah dinyatakan di atas, lalu pada tanggal 18 Oktober pun disahkan. Untuk memahami bagaimana kisah pencaplokan wilayah ini oleh penjajah, ada baiknya kita menelusurinya mulai dari era dibelakang, yang terkait erat dengan kharakteristik kerajaan itu sendiri. Menurut tradisi,336 Kerajaan Pelalawan sebelumnya disebut dengan Saman Tolan, dan berdiri di bawah seorang raja Maharaja-Dindo, yang dibantu oleh Orang Besar Bandar dalam pemerintahan dan tinggal di sebuah kampung

335

Faes, 521.

336

Sebagaimana dikisahkan Faes, dalam “Het Rijk Pelalawan,” dilihat dalam Tijdschrift Voor Indische Land- En Volkenkunde, Uitgegeven Door Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Deel XXVII .Batavia, 1882. hal.489 - 537

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

245

dekat pertemuan Sungai Kampar-kiri dan kanan. Pada suatu waktu, seorang tibalah seorang pangeran yang bernama Tengku-Inceh Maridin dengan beberapa pengikut Johor dan mendirikan desa Pelalawan. Masyarakat Saman Tolan yang berada di bawah Maharaja Dindo sangat tertindas dan segera saja mereka bergabung kepada Inceh Maridin. Bagaimana selanjutnya nasib Maharaja-Dindo, nampaknya tidak lagi terdengar. Selain itu, juga terdapat kisah yang terdapat dalam Hikayat Melayu, yang menggambarkan penyerbuan kemaharajaan Malaka yang disebabkan keengganan Kerajaan Kampar untuk takluk dan menjadi bahagiannya. Pelalawan yang kemudian menjadi dependensi kerajaan Melayu, dan begitulah kondisinya sampai sekitar dua abad yang lalu, ketika beberapa kekuatan Siak yang disebabkan oleh berkobarnya perang saudara, maka yang kalah pun melarikan diri. Kakek dari pembesar kerajaan Engku Raja, Maharaja Lela Putra, kemudian memerintah sebagai raja bergelar Maharaja Depati. Dibawah situasi tertentu, ia pun secara sukarela menyerahkan kekuasaan kepada Siak, dan ia ditunjuk menjadi semacam gubernur dimana segala kebijakannya harus melalui persetujuan Siak; situasi yang berlangsung hingga masa Said Ali dimana Pelalawan diserahkan kepada Saudaranya; Tengku Said rahman bergelar Tengku Besar; dan mewariskan martabat sebagai penguasa Pelalawan ini secara turun-temurun. Ayah dari Maharaja Lela Putra dipertahankan kedudukannya sebagai pembesar kerajaan, selain itu terdapat juga Datuk Bandar. Bahwa kesejarahan kerajaan Pelalawan atau juga sering disebut Kampar, kita dapat melihatnya sebagaimana tercantum dalam “Sejarah Melayu.” Dikisahkan Sang Sultan Mahmud sebagai Sultan Kerajaan Melayu, setelah terusir keluar Kopak akibat kekalahannya dari Portugis diawal abad ke-16, bersama-sama dengan keluarga sebahagian pengikutnya menuju ke Pantai Timur Sumatra, tepatnya di Kampar, dimana ia diterima dengan tangan terbuka dan didirikanlah kursi kerajaan yang meliputi wilayah Semenanjung dan taklukkannya disana; bahwa sebelumnya, Portugis telah menangkap penguasa Kampar; Raja Abdullah dan kemudian Portugis mengasingkannya ke Goa. Pengganti Sultan Mahmud, putranya sendiri yaitu Alaudin Syah, segera meninggalkan Kampar(Pelalawan) menuju Pahang. Kemudian ia mendirikan kota disungai Johor, yang ternyata berkembang sangat pesat. Dengan wafatnya Sultan Alaudin Syah, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Muthafar Syah. Seiring waktu, putranya Abdul Jalil kemudian bertahta RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

246

menggantikan Sultan Muthafar Syah. Abdul Jalil memiliki tiga putera; Raja Hasan, Raja Husin, dan Raja Mahmud. Masing-masing puteranya ini menempati tanah lungguh kerajaan; Raja Hasan di Siak, Raja Husin di Kelantan dan Raja Mahmud di kerajaan Kampar atau Pelalawan. Disini, kembali dapat kita lihat ketegasan bahwa kerajaan Siak dan Kampar(Pelalawan), merupakan wilayah taklukan Johor. Pada tahun 1718, dengan klaim sebagai keturunan Sultan Mahmud; Raja Kecil menginvasi Johor dan bertahta disana, namun tidak berlangsung lama. Bahwa masa pemerintahan yang singkat dan penuh gejolak sebagai akibat penetrasi kekuatan Bugis yang mendukung Sultan Sulaiman (Putera bendahara Johor yang dibunuh oleh pasukan Raja Kecil) telah memaksa Raja Kecil dari Riau menuju Buantan di Siak di tahun 1723. Setelah kematian Raja Kecil di tahun 1746, dua puteranya; Raja Alam dan Raja Muhamad berselisih atas tahta Siak. Bahwa Raja Muhamad adalah ber-ibu-kan Tengku Kamariyah yang merupakan adik dari Sultan Sulaiman. Kedua bersaudara ini berbantahan dan konflik ini begitu sengitnya, meminta hanya satu saja yang bertahan di singgasana. Pada tahun 1753, Sultan Mohamad adalah penguasa atas tahta Siak, akan tetapi pada awal tahun itu ia diserang oleh Raja-Alam dan melarikan diri pada malam 21 - 22 Mei ke Pelalawan, Kemudian bertahtalah Raja-Alam sebagai Sultan. Namun pada tanggal 13 Agustus 1755, ia dikalahkan oleh Kompeni, dan saudaranya; Raja Mohamad dikembalikan sebagai penguasa Siak. Meskipun ia menerima bantuan Kompeni, aliansi ini tidak berlangsung lama dimana Sultan Muhamad meninggalkan kesepakatan ini pada tanggal 6 November 1759, Pos Belanda di Pulau Guntung di Sungai Siak diserang olehnya. Sebelum Kompeni dapat membalas penyerangan ini, diberitakan bahwa Sultan Mohamad wafat pada tanggal 23 November 1760. Kematiannya, adalah sinyal untuk situasi baru di Siak. Anaknya; Raja Ismail, diangkat sebagai penggantinya, akan tetapi suksesi itu dibantah oleh Mohamad Ali sebagai putra Raja-Alam, dimana ia bertindak untuk hak-hak ayahnya. Perkembangan terus berlanjut, dan Kompeni mendukung Raja Alam melalui perjanjian tanggal 16 Januari 1761 yang diajukannya kepada otoritas Belanda. Karena pemimpin dan rakyat Pelalawan-Raja Ismail yang didukung, Said Osman sebagai menantu dari Raja-Alam, dan pangeran dari Siak dengan sejumlah kekuatan delapan belas kapal, menuju kesana. Bagaimanapun jua, Kekuatan itu tidak bisa berbuat banyak dan harus memutuskan untuk memblokade Sungai Kampar. Sementara itu terdapat tujuh kapal kompeni di Siak, antara lain: “het Pasgeld," “de Draak," “het Zeepaard," “de Buys," “de RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

247

Vrijheid,” “de Roeigetij" en de “Paarl d'amour,” barulah di Mempura pada tanggal 17 Juni 1761 pasukan Raja Ismail berhasil dihalau, setelah itu Raja Alam pun bertahta sebagai Sultan Siak yang baru. Said Osman yang diperkuat dengan empat Kapal, dan Mohamad Ali yang dibantu oleh tiga puluh prajurit Bugis, menuju Pelalawan, dan pada hari-hari pertama bulan Agustus 1761, Setelah pertempuran sengit, Pelalawan pun ditaklukkan. Kampar atau Pelalawan kemudian menjadi dependensi Siak dan kepada kerajaan ditunjuklah kepala dengan gelar Tengku Besar. Pada tahun 1787, penguasanya adalah Tengku Besar Abdullah. Sementara itu, Said Osman, menantu dari Raja-Alam, memiliki tiga putera, yaitu: Said Ali, Said Abdurrahman atau Drachman dan Said-Hamad. Pada 1791, Said Ali merebut tahta Siak. Di tahun 1811, dimasa Said Ali maka Pelalawan dibawa kepada Said Drachman dan juga membawanya ke Siak sebagai “bersaudara.” Said Drachman tetap mempertahankan gelar Tengku Besar, sebagaimana sebelumnya juga dilakukan oleh kepala Kampar. Pada tahun 1821 Said Drachman wafat, meninggalkan lima anak, yaitu: Tengku Said Hasim lahir dari pernikahannya dengan istri pertamanya Tengku Katija; Tengku Said Ismail dan Tengku Said Hamid, diperoleh dari istri keduanya Inceh Monah; Tengku Jafar dan Tengku Said Syarif atau Abu Bakar, bahwa keduanya lahir dari istri ketiganya bernama Mas-Ot'i. Setelah kematiannya itu, Said Drachman digantikan oleh Tengku Said Hasim, yang berlangsung hingga tahun 1828 dimana pada tahun itu ia wafat. Bahwa Tengku Said Hasim tidak memiliki keturunan laki-laki dan hanya seorang anak perempuan; Tengku Aisha yang telah menikah dengan pembesar Siak; Tengku Putra. Said Hasim pun digantikan oleh saudara tirinya, Said Ismail yang wafat pada tahun 1844, dimana juga tidak memiliki keturunan laki-laki; maka saudara kandungnyalah yang mengisi posisi tahta saat itu; Tengku Said Hamid. Di akhir kontrak dengan Siak pada tanggal 1 Februari 1858, ia adalah pangeran Pelalawan. Belanda, yang belum benar-benar merasa mapan dalam urusannya di Siak, nampaknya tidak melihat momen tersebut sebagai “masa untuk memetik buah,” sehingga tidak melanjutkan upaya hubungan langsungnya dengan Kampar ataupun Pelalawan. Akan tetapi, hingga akhirnya, perseteruan internal, membuka peluang bagi penjajah untuk masuk kedalamnya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

248

INDRAGIRI Dari Instruksi Rahasia, Aksi Blokade sampai “Korte Verklaring” Melengkapi kisah tentang sepak-terjang penjajahan Belanda di pantai Timur Sumatra, maka kali ini dibahas proses pencaplokan atas kerajaan yang berlokasi di hilir aliran sungai Indragiri, yang nampaknya dilakukan melalui serangkaian proses aneksasi-negosiasi; dimulai dari era Raja Said dengan Traktat tahun 1838 hingga pencaplokan wilayah tahun 1912. Penjajah, menggunakan berbagai strategi, terutama pendekatan dari jalur hubungan tradisional yang melekat antara Indragiri dan Riau-Lingga. Penjajah, yang memang ingin menguasai pesisir Indragiri, awalnya tampak bagai “konseling pemerintahan” saja, yang berposisi mendampingi penguasa dalam upaya mengembangkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat yang tentunya juga, menguntungkan Hindia Belanda. Akan tetapi, akhir dari keseluruhan cerita ini menjadi jelas, dengan pengakuan kedaulatan raja yang termaktub dalam “korte verklaring”(pernyataan singkat). Kali ini, beberapa catatan yang terdapat dalam lembar Tijdschrift dan juga halaman Kielstra, membantu memahami kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam proses tersebut. Diantara bahagian selatan Jambi dan bahagian utara Residensi pantai timur Sumatera, kita menemukan pada peta Hindia batas-batas wilayah yang relatif signifikan – diperkirakan daerah tersebut hampir sama besar nya dengan negeri Belanda - tetapi sangat jarang penduduknya, total populasi disini hingga tahun 1915 tidak lebih dari 50 - 60.000 jiwa. Daerah dimaksud, dalam bahasa administrasi Hindia, bernama Afdeeling Indragiri yang merupakan bahagian dari Karesidenan Riouw en Onderhoorigheden (dan negrie takluknya); yang merupakan bahagian pesisir dari daratan Sumatera. Memasuki abad ke-20, kawasan Ini terdiri dari "kerajaan" Indragiri, distrik Kuantan dan “amiraten” Mandah-Gaoeng dan Reteh. Sebagaimana diketahui, lanskap Indragiri adalah negeri yang dikepalai seorang Sutan dan bersinar terang di era abad ke-17. VOC (Vereenigde de Oost Indische Compagnie), berulangkali memasuki "kerajaan dan negerinegeri dari kawasan sungai Indragiri, dan dalam waktu yang singkat telah mendirikan loji guna memperoleh lada dan emas, namun ditarik kembali ketika ternyata bahwa mereka dipukul oleh kenyataan yang menyakitkan bagi mereka, sebuah pertunjukan yang telah begitu menyesatkan: lada yang mahal dan kualitas buruk, dan juga langkanya emas. Oleh sebab itu ditahun 1648, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

249

diputuskan untuk mengajukan penarikan loji dan mengalihkan perdagangan ke Batavia dan Melaka. Pada tahun 1664 kontrak ditandatangani dengan Sutan, dan di Cenako satu loji pun didirikan untuk kepentingan Compagnie (kompeni); saat itu di Cenako dapat ditemui sejumlah dua ratusan rumah setempat, pasar yang besar dan beberapa masjid. 337 Tempat itu terletak di salah satu sungai dengan lanskapnya yang luar biasa indah, yang berfungsi sebagai jalur ekonomi dengan ramainya para pedagang. Akan tetapi semua kejayaan tersebut tidak berlangsung lama, tampak dari Loji Hindia yang telah lama menghilang; juga adanya gejolak dari pedalaman, serta ancaman pembajakan. Kondisi tersebut, bertolak belakang dengan realita bahwa para saudagar dan pedagang selalu mencari tempat berlindung yang lebih aman. Apa sebenarnya kekuatiran yang berasal dari gejolak dipedalaman tersebut? Sekitar pertengahan abad ke-18, tahta Indragiri digulingkan oleh keturunan radja Menangkabau, akan tetapi dengan bantuan Raja Muda dari Riau; segera kekuasaannya berhasil dipulihkan kembali. Hasilnya, Indragiri mengakui supremasi Riouw (Lingga); dan Riouw menyerahkan urusannya tersebut kepada “Keamiran”.338 Dalam beberapa tahun berikutnya, hampir selalu terjadi sengketa suksesi dan pertengkaran antara Raja dengan Rijksbestierder(Raja Muda), dimana pada akhirnya, pada tahun 1838 didapati bahwa mereka mengalami kesulitan dalam mengatasinya dan kemudian meminta bantuan kepada Pemerintah Belanda. Sebenarnya, Belanda telah mendirikan pos-nya pada tahun 1834 di Jambi, dan tentu saja, pemerintah Hindia dalam hal ini sangatlah “welcome” dengan permintaan tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa Gubernur Jenderal Van den Bosch (1838 Menteri Koloni) telah menyatakan pada tahun 1833, bahwa mereka berniat sepenuhnya terhadap wilayah Sumatera hingga 337

Dilaporkan bahwa tempat tersebut adalah tempat yang indah, “Het is een mooi vlek, waar wel twee honderd gemeene huizen zijn, Nevens een eschoone bazar of markt, en ettelijke Moorsche tempels. Lihat Het In bezit nemen en ontruimen van Etablissement en op de Oostkust: I . Bevestiging in het rijk van IndragïrI. Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), no 9; 01-01-1853 338 Lihat De Afdeeling Indragiri Door Dr. E.B. Kielstra, dalam Onze Eeuw. Jaargang 15. 1915

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

250

ke perbatasan Aceh; wilayah yang akan segera berada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi nampaknya proses tersebut tetaplah dimulai dengan hati-hati. Untuk memanfaatkan kepemilikan Sumatera, Hindia juga memiliki pengaturan untuk perdagangan di Pantai Timur, sehingga perlu juga untuk ditetapkan antara lain pendirian pos-pos di sungai utama: Indragiri. Akan tetapi tidak hanya untuk alasan ini dianggap perlunya pendirian pos-pos tersebut. Setidaknya Menteri Baud membela diri, sebagaimana diungkapkannya pada bulan Mei 1841; “Ditemukannya markas Bajak Laut di Lingga di Kepulauan Hindia; dan sejak Sultan Lingga memiliki hak kedaulatan atas Indragiri, dimana ia harus melakukan bisnisnya, para perompak pun memperluas wilayah operasinya, salah satu penekanan yang mujarab atas tindak kejahatan ini adalah untuk dapat segera dianggap penting dan harus diakui bahwa "kedaulatan kami (Hindia) itu ada disana.” Dan, Pemerintah Hindia nampaknya tidak ragu-ragu dengan keputusannya tersebut. Hampir dua bulan setelah Sutan Indragiri mengirimkan agennya menemui Gubernur di Jambi yang segera ditindaklanjuti dengan penunjukkan suatu komite yang akan melakukan ataupun mempersiapkan suatu kontrak. Untuk menyiapkan kontrak tersebut, mereka pertama kali harus mencoba untuk bekerjasama dengan Sultan Lingga, dan ini dimaksudkan untuk menjaga cabang Hindia di Indragiri dan juga akan berguna untuk mengekang pembajakan. Sultan pun diingatkan atas dukungan yang pernah diterima dari Pemerintah dan pada kewajiban yang dikenakan terhadapnya, atau mungkin saja pemerintah Hindia harus memperingatkan akan konsekuensi yang mungkin ada jika Sultan menolaknya. Singkatnya, Belanda mengerahkan semua tekanan yang dimungkinkan untuk dikenakan pada diri raja tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa telah sangat jelas seberapa banyak berat yang harus dipikul oleh pemerintahan Hindia pada tahun 1838 yang melekat pada salah satu cabangnya di Indragiri, kemungkinannya, jika Sultan Lingga menolak melakukan kerjasama, maka peluang Belanda mengadakan kontrak dengan Indragiri pun akan menjadi tertutup. Meskipun demikian, Pemerintah Hindia sendiri menganggap bahwa terdapat keinginan kuat dari bangsawan kerajaan untuk menjalin hubungan dengan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

251

Hindia, keinginan yang selaras dengan kebijakan perluasan kewenangan yang telah dicanangkan oleh penjajah. Untuk itu, segera saja dibentuk komisi dengan menunjuk anggotanya yang terdiri dari Residen Riau; F.Goldman, juga Asisten Residen Bengkulu; P.J.B.De Perez, dan nampaknya, juga melibatkan gubernur Pantai Barat Sumatra dan Komandan tentara; Korvet Triton yang mengemban suatu “Geheime Instruktie” (Instruksi Rahasia). Dikatakan “Instruksi Rahasia” disebabkan pada saat itu, dalam menghadapi persaingan dari rivalnya: Inggris, maka pelaksanaan misi tersebut menjadi sangat hatihati dan tertutup. Bahwa, apa yang dinamakan dengan “Instruksi Rahasia” tersebut yang ditetapkan oleh Gubernur jendral Hindia Belanda Eerens di Buitenzoerg (Bogor) pada tanggal 31 Mei 1838, memuat hal yang dapat dilihat berikut ini:339 Pasal1 Sejak dahulu, bahwa jika Pemerintah Hindia ingin memperoleh keuntungan besar dari Sumatra, maka haruslah sisi timur Sumatra dikuasai dengan menggunakan pemerintahan disana, dan bahwa traktat London tanggal 17 Maret 1824 tidak menjadi penghambat bagi pendirian pos-pos Hindia di Pantai Timur; Untuk itu di tahun 1834 kontrak dengan sultan Jambi dan pos di Muara Kompeh ditempatkan di sungai Jambi. Bahwa Sungai Indragiri juga pernah dipertimbangkan oleh perusahaan yang sama, namun harus ditunda hingga berakhirnya penaklukan Bonjol, dengan demikian, instruksi Rahasia nampaknya bertentangan dengan kebijakan Menteri Koloni; Bahwa dalam perang Hindia dengan Padri; keberadaan oposisi disepanjang sungai yang bermuara di Pantai Timur dimana mereka dibantu oleh orang Inggris dengan memberi ransum dan baju besi; dan dalam rangka untuk mencegah hal tersebut, beberapa pos militer Hndia di sepanjang Pantai Timur pun didirikan; Justru sebaliknya,

339

Uraian ini sebagaimana terdapat pada “Het In bezit nemen en ontruimen van Etablissement en op de Oostkust Van Sumatra; I.Bevestiging in het rijk van IndragïrI;” dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), no 9 tanggal 1 januari 1853, hal.147-150

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

252

“Instruksi Rahasia” menyatakan bahwa mereka menunggu sampai kejatuhan Bonjol yang mengakhiri perang dengan kaum Padri, sebelum menduduki pantai Timur. Bersamaan dengan itu, dari residen Palembang diterima berita bahwa sultan Indragiri, meskipun secara tidak langsung telah menyatakan keinginannya untuk bertindak menjalin kemitraan dengan Pemerintah Hindia. Bersamaan dengan itu juga, Gubernur Pantai Barat Sumatra melaporkan bahwa Pangeran Kuantan (hulu Sungai Indragiri) mengajukan proposal dalam rangka menjalin hubungan dengan Pemerintah diwaktu-waktu kedepan, dimana usulan mungkin saja dibuat sesuai dengan sultan Indragiri, diantaranya menyangkut hukum dengan raja, dan dengan siapa ia terbaik menjalin koneksi. Keadaan di Sumatera memungkinkan untuk suara yang menguntungkan dari dua pangeran, untuk beberapa pengembangan dan pemanfaatannya untuk waktu yang akan datang dan dalam rangka menempati Sungai Siak dan Kampar. Sementara itu telah ditemukan bahwa Sultan Indragiri dianggap bahagian dari Lingga, dan Kerjasama dengan bangsawan dimaksudkan untuk memperoleh setidaknya jaminan; bahwasanya dia setuju untuk membuat kesepakatan dengan salah satu sultan Indragiri. Pasal 2. Oleh karena itu Gubernur Pantai Barat Sumatera harus terus melakukan upaya negosiasi dengan pangeran Kuantan, mencoba dengan penuh semangat membentuk suatu kesepakatan. Sementara itu Komisaris Jenderal Van Den Bosch dengan tegas mengatur kerajaan di Pantai Timur Sumatera. Pasal 3. Terhadap Sultan Indragiri juga diajukan negosiasi, dan berkemungkinan akan berada di bawah persetujuan lebih lanjut dari Pemerintah, sebuah kontrak yang disetujui bersama; dimana kelas pangeran akan memperoleh sejumlah 400, 500 atau 600 gulden setiap bulannya, sejalan dengan itu untuk terselenggaranya keadilan bagi pendapatan dan hak; terhadap Pemerintah Hindia Belanda dan sehubungan dengan itu, Kerajaan dibebani dengan penjaminan atas kepentingan Hindia atas pelayaran di sungai Indragiri menuju pedalaman, dan jika diperlukan pemerintah akan membangun RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

253

benteng di muara untuk memberikan perlindungan terhadap kemungkinan serangan dari bajak laut. Pasal 4. Pihak berwenang akan melakukan pengawasan dan penegasan terhadap larangan yang berlaku, terkait dengan pangeran atau masyarakat Hindia, terakhir, dibahas pengamanan harta-benda dengan mereka, atau adanya suatu komitmen untuk melindungi mereka terhadap serangan dari pihak lain. Pasal 5. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3, asisten residen De Perez berpindah menuju Riouw, dan disana pada semua kesempatan Residen meminta informasi tentang Indragiri terutama yang berkaitan dengan kedaulatan Sultan Lingga disana. Jika melihat klausul pertama diatas, bahwa untuk diperolehnya jaminan keamanan, maka perjanjian terhadap sultan Lingga akan ditutup, sementara sebaliknya dengan radja Indragiri perjanjian akan dibuka, Hal ini mengingat Pemerintahan yang pernah merampas dan menghancurkan kekuatannya di lautan. Dalam mengantisipasi masalah, maka terhadap sultan akan diadakan dukungan berupa uang dan materi lainnya,… Apakah akan ditemukan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan pemerintah Hindia; hak Sultan, untuk tujuan ini, maka semuanya oleh kebijakan pemerintah Hindia, kerja sama dimana dampaknya akan berlangsung berkesinambungan dan sekali lagi untuk semua alasan tersebut, jika residen secara bijak mengantisipasinya, juga bila memungkinkan dana pemerintah untuk sultan digunakan untuk dukungannya, dan juga dukungan ini meliputi kekuasaan Sultan sebagaimana permintaannya untuk pembayaran pulaupulau secara bulan-tahunan dari kas Pemerintah, dimana kepada Sultan diminta untuk mengerjakan sesuatu. Pasal.6. Setelah itu diperlukan jaminan dari Sultan Lingga atau bahkan jika perlu, tanpa jaminan keamanan pun diserahkan seluruhnya pada Residen Riouw dan De Perez dengan turut mempertimbangkan andai terjadi situasi dengan tidak akomodatifnya pemerintahan disana, dan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

254

jika memungkinkan agar didampingi oleh seorang pembesar ataupun kepala di Lingga untuk segera menuju Indragiri dimana kepada raja diajukan kontrak yang mencakup pokok-pokok dalam instruksi ini. Dalam hal ini bisa saja sesuatu yang tak terduga terjadi, bahwa secara resmi De Perez membatasi diri dan mereka pun kembali ke Riau, atau juga ke Palembang, dalam rangka menyelesaikan tugas Komisi tersebut. Ia akan berada disana untuk melakukan komunikasi-negosiasi yang sebagaimana termaktub dalam pasal 3. Pasal 7. De Perez akan mengulurkan naskah persetujuan tahun 1834 dengan Sultan Jambi, dimana ia melayani hingga membimbingnya. Dia akan bertindak dalam segala hal sebanyak mungkin sesuai dengan Residen Riau; pesan yang tegas Kepada sesiapapun, untuk mengambil dukungan yang paling mungkin diperoleh bahkan dapat termasuk juga residen Palembang, sebagaimana sulthan Indragiri telah menyatakan, bahwa sementara ini telah dilakukan sebelumnya, dapat dianggap meminta secara resmi De Perez. Dengan demikian sultan Indragiri sendiri lebih lanjut menyatakan, atau melakukan sesuatu untuk bisnis, meminta De Perez dengan mengirimkan kapal ke Riau. Pasal 8. De Perez akan berkonsultasi dengan Residen Riau mengenai kontrak dengan sultan Indragiri, yang seharusnya dijalankan sekaligus sampai tetap selesainya, dan untuk itu didirikan tempat di sungai dan bagaimana hal itu berkemungkinan menjadi bagian dari tujuan yang diperlukan Riouw. Residen akan, menganggap hal ini perlu, dan dengan demikian dapat dilakukan sesuai dengan anggarannya. Pasal 9 Zr.Ms.korvet Triton akan membawa De Perez menuju Riau; Untuk perjalanan ke depan memberikan masukan dari Pemerintah untuk residen Bangka dan Palembang. Dalam pelayanan seluruhnya dari Zr. Ms.korvetTriton oleh De Perez diperlukan justifikasi resmi atasnya, Sendiri ataupun bersama-sama dengan Residen Riau, menuju Indragiri dan dari sana menuju Palembang atau sekitar Riau, akan menjadi

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

255

komandan dan mantan utusan bulan membuat permintaan untuk tujuan ini, dan memberikan hasil untuk kepentingan "pelayanan Raja. Pasal 10 Setelah itu, komandan Zr.Ms.korvetTriton sesuai dengan instruksi, bahwa ia dengan komandan Zr.Ms.Auxieliares menerbitkannya di Lembaran Hindia. Pasal 11 Untuk laporan terhadap Gubernur Jendral, maka petugas De Perez akan menyampaikannya bersama-sama dengan Residen Riouw dan juga Komisi, yang memuat rencana-rencana atas hasil informasi yang telah ada; serta diantaranya hasil kedepan tanpa penundaan. Asisten residen Bengkulu De Perez, disebabkan Instruksi Rahasia ini, melakukan perjalanan sendiri menuju Riau, dimana selanjutnya komisi akan datang untuk mencari informasi tentang tentang Indragiri dan derajat kedaulatan atas lanskap ini yang dimiliki oleh Sultan Lingga. Dalam hal ini, untuk pencapaian tujuan, panitia memastikan untuk juga dapat mempertimbangkan cara yang lainnya. Tujuan tersebut ialah, bahwa di salah satu kompensasi dari 4 - 600 gulden per bulan, adalah untuk mendapatkan hak pajak atas impor dan ekspor, Sutan harus menjamin keamanan pelayaran di sungai Indragiri, juga atas gedung milik Hindia, dan bila memungkinkan, membangun benteng di muara sungai untuk melindunginya terhadap gangguan bajak laut. Jika hasil melebihi dari hak kompensasi yang diberikan, maka atas perbedaan ini Sutan akan menerima bagian yang adil, misalnya, menerima setengahnya, demikian rencana penjajah. Pada awalnya, terjadi hambatan. Sultan Lingga merasa bahwa hal ini tidak perlu dilanjutkan. Bahwa diperoleh berita, dari lingkungan Sultan, terdapat seorang pria (Penjajah menuduh pria ini berasal dari pihak Bajak Laut) yang berusaha meyakinkannya bahwa itu adalah niat pemerintah Belanda untuk melemahkan kekuasaannya, semakin banyak penguasaan dan akhirnya menguasai kerajaannya. Selanjutnya yang terjadi, ternyata komisi cukup sukses untuk menghilangkan kecurigaan tersebut: Sebelumnya, di kerajaan dengan Raja Muda Riau, Sultan dikunjungi dan pemerintah pun memberinya sejumlah f20.000 sebagai biaya penggantian tahunan khusus, untuk kontrak pada tahun 1837 yang dilakukannya dalam RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

256

rangka mengekang pembajakan. Hal ini membawanya ke suasana hati yang baik, dan hanya ada satu konsesi yang diperlukan untuk benar-benar melakukan bekerja sama. Ia Berharap pada kontrak yang sama yaitu pada tahun 1837, asalkan, untuk menjaga ketertiban yang lebih baik, dan juga penempatan polisi oleh Sultan, sementara kepala pulau utama akan ditunjuk, untuk remunerasi kepala ini Pemerintah Hindia memberi sejumlah f14.400 setahunnya, yang mereka terima dari Residen atau Raja Muda. Sultan telah membuat permintaan bahwa jumlah ini akan dibayarkan kepadanya – sebab ia harus membayar pegawainya yang bersangkutan, dan sekarang ia menginginkan hal tersebut diputuskan sebelum dilakukan pembahasan tentang Indragiri. Komisi menyadari bahwa dana sekarang tidak akan masuk ke kantong mereka didasari dari niat Pemerintah. Sebagaimana disampaikan, bahwa saat itu Sultan Lingga dalam suasana hati yang baik. Akan tetapi halnya dengan Eropa, bahwa sebelumnya mengenai Indragiri di bawah pelaksanaan ketentuan, akan memiliki penyelesaian akhir dari suatu hal yang saat itu dirasakan menggantung. Keinginan yang berasal dari Pemerintah bahwa sejumlah kepala dari pulau-pulau yang berada dibawah kekuasaan Lingga, akan dibayar secara bulanan oleh Belanda, dan ini merupakan pembayaran tidak langsung kepada para kepala tersebut melainkan diserahkan pembayarannya kepadanya. Residen Riau menyarankan betapa pentingnya peran Pemerintah Hindia dalam upaya pembentukan ataupun pendirian pendudukan di Indragiri, dan juga untuk menunjukkan kepada sultan Lingga bahwa ini akan berhasil, dan dikatakan bahwa hal ini atas nama pemerintah Hindia dan melakukannya dalam suatu kebijakan yang dinamakan “Instruksi Rahasia,” Sultan akan mampu mengendalikan Negara dikala terjadi percekcokan ataupun sesuatu yang lebih besar. Setelah itu dilakukan dengan sultan negosiasi tentang konsesi laut. Hampir saja upaya ini terhambat, bahwa Sultan kemudian menulis surat kepada Sutan Indragiri, dimana dalam hal ini memberitahukan adanya komisi dan juga unsur pembesar kerajaan Riau, bahwa ia diberitahu dan sekaligus mengingatkan untuk mempertimbangkannya sesuai dengan niat dari Pemerintah Hindia Belanda dan agar secepatnya untuk dilakukan upayaupaya pengembangan Indragiri, serta mengutamakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Kemudian komisi pun menuju Indragiri; selain Raja Muda, kemudian seorang pejabat Eropa; Walbheem, yang kemudian disertai juga dengan TuankuRIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

257

Slangor, seorang bangsawan Indragiri. Dari Lingga, Raja-Dolla, seorang saudara dari raja Muda Riau, Datuk-Bandahara Riau, dan seorang utusan: Haji-Ibrahim. Ketika mereka tiba di Sungai Indragiri di Pulau-Palas, diterima satu jawaban dari sutan Indragiri atas surat yang telah dikirimkan oleh sultan Lingga. Itu terutama mengenai beban sutan untuk menerima dan akan keberhasilannya. Di Rengat Ibukota Indragiri, kedatangan Komisi ini diterima dengan baik. Adapun untuk pemenuhan pencapaian tujuan komisi, mereka perlu untuk melakukan pertemuan, akan tetapi Raja Muda atau Sutan-Muda Indragiri tidak hadir. Bahwa ia nampaknya tengah “bersitegang” dengan Sutan. Komisi berpendapat bahwa kedaulatan mereka memiliki ketergantungan di bawah negara-negara besar, dan terus saja dengan situasi seperti itu telah mengkondisikan sepertinya tidak sedikit pun merasa kuatir terhadap masalah-masalah penting. Bahwa situasi ini berkaitan dengan persoalan keluarga; dimana Raja Muda menikahi adik dari sang Sutan; dan pernikahan ini nampaknya dilanda masalah. Komisi dalam beberapa hal, tidak dapat melanjutkan pembahasan kesepakatan disebabkan ketidakhadiran Raja Muda. Akan tetapi persoalan tersebut akhirnya dapat terselesaikan, dan bahwasanya Komisi dan Raja Muda Riau sangat senang akan keberhasilan misi tersebut. Selanjutnya adalah penyusunan bahasa kerjasama antara Sutan dan rijksbestierder; kemudian segera kontrak disepakati yang bertanggal 26 September 1838 dimana pemerintah Hindia menganggap bahwa keinginankeinginan telah dapat disimpulkan dan seluruhnya dalam bentuk yang umumnya terjadi. Ternyata, didalam kontrak didapati beberapa hak berdaulat Lingga tidak tertera, hal ini menurut Komisi dimaksudkan bahwa semua hak Sultan telah ditransfer ke Pemerintah Hindia dalam beberapa tahun kedepannya, seperti yang akan terlihat di bawah titik yang tampaknya tidak ditegakkan. Sebagai pertimbangan untuk kewajiban diasumsikan dan hak diserahkan kepada Sutan dan rijksgrooten bersama-sama menerima sebesar f700 per bulannya (September 1838). Sembari menunggu suatu ketetapan, sebelumnya dari Cenako, kapal pemerintah dengan 40 tentara ditempatkan di Sungai Indragiri. "kekuatan angkatan laut" diperkuat dengan perahu layar dan kapal dayung, keputusannya adalah di Pulau Pakanlaïs, kemudian di pinggir sungai sebelah kiri untuk membangun sebuah benteng keluar untuk pertahanan. Di Pakanlais ditempatkan seorang wakil pemerintahan sipil, juga dengan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

258

pengawas bea masuk pada pengiriman dan perdagangan ditempatkan di sana, Sementara di Cenako ditempatkan seorang pejabat bea cukai kecil. De civiele gezaghebber telah melanjutkan tugas ini adalah untuk menginformasikan kondisi sosial, dan untuk memantau kepatuhan terhadap kontrak. Dapat dipastikan bahwa interferensi Hindia di Indragiri sangat menguntungkan mereka. Tapi Kondisi tersebut tidak bertahan lama: pada akhir tahun 1839, Van den Bosch mengundurkan diri, dan Baud sebagai menteri dimana berlangsungnya situasi dengan berbagai kondisi yang merugikan Hindia. Pertama-tama persoalan keuangan, meskipun banyak juga faktor lainnya di Hindia. Di bawah tekanan dari sistem tanam-paksa, juga dari negeri Belanda sendiri selama (38) penerapan sistem “stelsel” melawan Belgia, diketahui bahwa itu pada tahun 1840 (dan masih waktu yang cukup setelah itu) 'kebutuhan negeri Belanda sendiri "secara umum mengalami peningkatan. Hindia harus menghasilkan uang sebanyak mungkin, karena pendapatan yang meningkat, namun pengeluaran yang tak terbatas menjadi tidak terelakkan. Jadi, Baud merasa secara teori mungkin benar, dalam prakteknya, tentu saja tidak ada alasan untuk memperluas kantor Pemerintah di Hindia, di mana tidak adanya keuntungan dari yang terkena dampak kebijakannya. Awalnya, ia adalah seorang pria dengan pandangan luas, akan tetapi, banyak pihak yang menyangsikan untuk melaksanakan ataupun menerapkan kebijakannya. Nampaknya pemerintah Hindia kemudian terbebani, yang muncul sebagian dari apa yang ditulisnya di bulan Januari 1842, di Merkus-Schreef: “busur di negara ini, semakin kuat saja dan terus menegang.” Akan tetapi tidak pula dapat dilupakan sistem yang cakupannya adalah untuk memastikan kontribusi murah hati dari dana kolonial dan untuk mencegah kesatuan koloni tersebut menjadi retak. “Busur” itu datang dan diterima oleh sistem dengan mengabaikan kebutuhan teritori luar selama Perang Jawa, terutama oleh Van den Bosch – dengan pengecualian Sumatera – yang dibawa dalam rancangan, sehingga oleh persetujuan Baud, termasuk untuk pantai timur Sumatera, yang dianggapnya hanya menjadi gangguan saja. Sejarah mencatat bahwa disebabkan tuntutan keuangan dari negeri Belanda, di seluruh distrik di Jawa telah diterapkan sistem Tanam-Paksa (cultuurstelsel). Baud, mengetahui bahwa penduduk bisa menjadi sarana di RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

259

mana sistem yang menerapkan penanaman “yang wajib dan yang dilarang”, dan ia juga tahu bahwa dengan kondisi-kondisi pemaksaan dan tekanan, mereka pun dapat berbalik berubah menjadi oposisi dan menimbulkan resistensi dimana saja di Pulau Jawa. Jadi tampaknya telah dipikirkan dan kemudian berkesimpulan bahwa yang harus dihasilkan adalah apa-apa yang meliputi “Kekayaan-luar,” dimana uang untuk pembiayaan dan tentara, dapat saja bersumber dari kejahatan. Dia tidak memiliki penyebab langsung untuk membuatnya dikenal sentimental dalam hal itu, apa yang sebenarnya telah terjadi telah terjadi, dan tidak ada untuk saat itu khusus pada program tersebut. Perang melawan Padri itu di Pantai Barat Sumatera, berakhir pada tahun 1838, dan dari semua yang dilakukan selanjutnya adalah; pengamanan dan konsolidasi. Tapi sampai di sana pada bulan Juli 1841, terdapat pesan peringatan tentang terjadinya pemberontakan di Pantai Barat Sumatera. Akan tetapi, kemudian terbukti hal tersebut terlalu dibesar-besarkan: dalam beberapa hari saja pemberontakan itu mereda. Dalam hal ini, Penjajah pun mengakui, bahwa tanpa hubungan antara pemerintah dan rakyatnya, hubungan akan menjadi sangat tidak menguntungkan. Sementara itu, menteri sangat terpengaruh dengan seorang mantan panglima tentara, yang pada saat itu dipandang memiliki keyakinan penuh-berdedikasi dan berintegritas: Jenderal de Stuers; sehubungan dengan peringatannya terhadap ekspansi tergesa-gesa Hindia di Sumatera, dimana disana tidak akan ada uang yang dapat dihasilkan oleh mereka. Disisi lain, nampaknya tentara Hindia menjadi lelah dan dengan demikian posisi Hindia di Jawa itu sendiri menjadi terancam. Tanggal 1 September 1841, lima minggu setelah menerima pemberitahuan tersebut, Baud pun menulis setelah berkonsultasi dengan Raja, termasuk kembalinya sebagian dari angkatan bersenjata Sumatera untuk segera menuju Jawa, dan diperintahkan penarikan semua pos-pos sipil dan militer di Pantai Timur. Dengan demikian, maka Jenderal Michiels dan Pjs. Gubernur Jenderal Merkus dapat kembali bersantai, dan dengan alasan yang baik dengan pertimbangan yang berasal Stuers dan Baud, akan tetapi nampaknya hanya sebentar saja situasi tersebut. Selanjutnya kembali ditentukan subyek Hindia, dengan kembali diangkatnya persoalan pembentukan pendudukan di Indragiri pada awal tahun 1843. Ada indikasi bahwa Baud telah berhasil dibujuk, dimana pada tahun 1847, persoalan Pantai timur Sumatra dibahas di dalam TWEEDE KAMER DER STATENGENERAAL. Hal ini kemudian menjelaskan bahwa terdapat sesuatu yang tidak RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

260

masuk akal, dalam kebijakan penarikan pos-pos Hindia dari Pantai Timur; terbukti kemudian, pada tahun 1857, tidak akuratnya refleksi historis. Pada bulan September 1841, alasan yang diberikan tidaklah terulang kembali. Bagaimana bisa Hindia Belanda meninggalkan Indragiri? Dengan ditutupnya kontrak baru, yang mengatakan antara lain bahwa sebelumnya, di tahun 1838, kontrak dimaksudkan untuk melumpuhkan pembajakan dan mempromosikan kemakmuran; bahwa para pangeran dan kepala telah memberikan keterikatan mereka kepada pemerintah; dan juga bukti yang sangat jelas tentang disposisi dan kemampuan mereka untuk mengusir para bajak laut tersebut, bahwa disebabkan saat itu telah tersedianya keamanan, dapat dianggap dana menjadi kurang diperlukan bagi pengiriman dan perdagangan, dan bahwa pemerintah karena itu sebagai tanda kepercayaan dan dukungan tinggi terhadap pangeran dan seluruh rijksgrooten, dengan sendirinya, semua berjalan tanpa adanya dukungan Pemerintah, asalkan kelangsungan tersebut tidak akan mengubah posisi mereka yang ingin menjalankan kekuasaan dan otoritasnya sendiri. Dalam kontrak baru, pemerintah Hindia mempertahankan semua hak yang diperoleh sebelumnya, Sutan dan rijksbestierder, selama mereka hidup bersama dalam harmoni dan tidak meninggalkan posisi mereka di Rengat, akan menerima penghasilan tahunan sejumlah f2100 -f1200, dana yang dapat diambil oleh utusan ke Riau. Perlu pula dicatat pula bahwa ketentuan-ketentuan baru yang terdapat dalam kontrak ini berisi aturan mengenai suksesi tahta, sebagaimana terdapat dalam pasal 4 Traktat 1838 tersebut. Bahwa pada tahun 1838 disepakati bahwa Sutan akan digantikan oleh salah satu dari keturunannya, dan bahwa " jika gagal, maka kedudukan akan jatuh pada pangeran lainnya, tentunya dengan persetujuan Pemerintah Hindia, sekarang ditetapkan bahwa tahta tersebut tunduk pada persetujuan Pemerintah yang juga bersesuaian dengan Sultan Lingga. Menurut Kielstra, jadi, logikanya sejauh ini supremasi Hindia-Belanda atas Indragiri sama sekali tidak memerlukan pengakuan secara resmi! Sebaliknya, dengan prasangka Hindia mencatat, Sutan saat itu menunggu suatu tugas yang sulit tanpa adanya dukungan, ia kembali menghadapi berbagai aristokrat pemalas,

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

261

seperti di tempat lain di negeri-negeri pribumi, perampasan... 340

pemerasan dan

Pada tahun 1846, Sutan menulis langsung ke Gubernur Jenderal untuk meminta kepadanya seorang pejabat resmi Belanda. Tentu saja pada saat itu Baud-lah menterinya! – Dampaknya, sebuah respon yang negatif dan nampaknya yang merupakan prioritas Hindia untuk sementara itu adalah menghindari semua kontak. Kembali, kali pertama pada tahun 1850 negara itu dikunjungi ulang oleh seorang pejabat kolonial; Residen Riau. Kielstra dengan bangga menuliskan peristiwa kunjungan tersebut: Residen Riau tersebut, disambut hangat, rupanya gangguan Kami pada kurun tahun 1838-1843 masih diingat dengan rasa “syukur.” Sungguh luar biasa bahwa terjadi hal ini selama tinggal disana; bahwa ia menerima kunjungan tak terduga dari rijksbestierder, dalam percakapan yang sangat rahasia, mengungkapkan kesedihan sepeninggalan staf Hindia pada tahun 1843, dan keluhan lainnya. “Sedert dien tijd is hier alle welvaart verdwenen. Alle takken van nijverheid en volksvlijt zijn vernietigd. Wij vorsten kunnen onze waardigheid niet meer ophouden. Armoede en gebrek nemen van jaar tot jaar toe. Wij Maleiers kunnen geen rijk meer naar behooren besturen zonder de hulp van een Europeesch gezag." 341 Belanda memandang bahwa beberapa negeri Melayu yang masih beroperasi tanpa bantuan tersebut sebagai buktinya. Sistem anti-imperialis, ketidakpedulian dengan yang demikian itu, sangat tepat dinilai oleh seorang pangeran pribumi. Perampasan, pengabaian kepentingan penduduk pribumi, untuk saat itu mungkin saja secara finansial dirasa kolonial lebih menguntungkan, dan kewajiban moral pun tidak diperhitungkan, dan pada tahun 1861, dalam suatu pidato menteri:

340 341

Kielstra, 1915: hal.40 Kielstra, 1915: hal.41

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

262

“Saya menganggap perpanjangan otoritas kita di kepulauan Hindia sebagai langkah mendekati kejatuhan kita, dan lebih-lebih karena kita sudah tumbuh dalam hal ini, jauh di atas pasukan kita.” Bahwa, Pemerintah Hindia dengan pengalaman selama dua puluh tahun terakhir nampaknya beranggapan, mereka jelas telah membawa Hindia menjadi sejahtera, dan juga nama baik Belanda lebih baik dilayani oleh konsepsi yang lebih luas dari apa yang namanya sekedar dari perintah tugas. Dengan demikian, sang Residen Riau pun memenuhi permintaan pengelola pemerintahan, dan beberapa tahun kemudian pada tahun 1854, oleh Gubernur Jenderal, kembali dipertimbangkan pembentukan pendudukan di Indragiri kepada Menteri Koloni dengan beberapa penekanan. Namun sia-sia saja para pemangku kepentingan kekuasaan di Belanda menunggui urusan tersebut, yang tiada menjanjikan keuntungan berupa uang, yang memang sama sekali tidak ada! Sementara kelanjutan di tahun-tahun berikutnya, remunerasi Sutan dan rijksbestierder, dan pada tahun 1859, dalam rangka meringankan kesulitan sang raja dan pembesar kerajaan, sejumlah f6.600 diberikan Hindia sebagai hadiah. Sutan bisa melaksanakan kewenangan yang memadai di bidangnya dan mementingkan dukungan Hindia yang ditunjukkan oleh fakta yang aneh bahwa ia adalah bagian dari kerajaannya yang ingin dikunjungi di tahun yang sama, diberikan dengan satu penandatanganan dan disegel diumumkan oleh Residen Riau, ditujukan kepada semua pembesar di kerajaan Indragiri, bahwa semua ini adalah ketentuan dalam kontrak, yang ditandatangani oleh Pemerintah Hindia dengan kerajaan Indragiri, dan semua perintah Sutan bagi mereka untuk bertemu. Bahwa wajib untuk meningkatkan kemakmuran negeri, dan pemerintah Hindia mengungkapkan bahwa mereka (Sutan dan pembesar kerajaan Indragiri) telah banyak memiliki nasihat ini yang ternyata tidak membantu, dan bahwa Pemerintah Hindia segera kembali mendengar terulangnya permusuhan antara Sutan dan rijksbestierder, 342 kesewenang-wenangan, juga anarkhi. Ketika lanskap dikunjungi oleh Asisten Residen Lingga pada tahun 1871, situasi terbukti memang demikian adanya. Meskipun hak-hak Hindia diakui di Indragiri berdasarkan Traktat 1838, akan tetapi pengabaian Raja Said 342

Bahwa ketegangan antara Sutan dan Raja Muda dimana Sutan mengeluhkan sikap Raja Muda yang kurang menghormatinya, sementara Raja Muda mengeluhkan sikap ambisius Sutan, sebagaimana terdapat dalam Surat Menteri Jajahan, 19 September 1870. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

263

sebagai Sutan saat itu menyebabkan terjadinya “anomie”. Bagi penjajah, Sutan kuno dipandang tidak layak, bahkan untuk melaksanakan kewenangan apapun. Situasi ini benar-benar memperihatinkan dengan tidak terjadinya pertumbuhan, seperti di Indragiri dan negara-negara pribumi lainnya seperti Siak, yang dilanda konflik internal343. Bahwa dilaporkan hanya di Bengkalis saja mengalami pertumbuhan. Hingga tahun 1874, keadaan tidak berubah. Sang Sutan saat itu telah berumur 92 tahun, jadi kepadanya penjajah tidak dapat mengharapkan dapat melanggengkan kekuasaannya. Selain itu, terdapat faktor Keamanan bagi khalayak dan harta benda yang terus saja merosot; bahwa dilaporkan, dalam beberapa tahun dua orang pedagang Kuantan “dirampok” oleh anak raja di Indragiri, tuduhan dengan bukti barang hasil rampasan yang ditemukan di tempat mereka. Bahwa tindakan tuduhan ini juga dikhabarkan adalah hasil hasutan keluarga raja, dimana barangbarang yang ditahan tersebut disebabkan merupakan barang barter dengan senjata yang memang dilarang di Indragiri.344 Dan kemudian, ketika Sutan (1876) wafat, keadaan menjadi tidak lebih baik. Dalam transformasi tahta tersebut ditetapkan bahwa kontrak yang ada akan dipertahankan; di hadapan Sultan Lingga, dan dengan sesiapa putra Sutan baru dari sebelumnya, dengan rijksbestierder yang telah menghabiskan waktu beberapa bulan, di samping itu dengan kontrak tambahan dapat disimpulkan, bahwa, untuk bukti persetujuannya, disegel oleh Sultan dan ditandatanganinya (1877). Residen telah berulangkali mengadakan pertemuan dengan Raja baru, dan memberinya petunjuk yang diperlukan tentang apa-apa yang harus dilakukan guna memperoleh kondisi yang lebih baik dengan segera. Akan tetapi, ternyata tidak ada perubahan berarti dalam manajemen pemerintahan tersebut. Terdapat resistensi dari seorang saudara dari almarhum Sutan dengan beberapa sepupu dari pangeran baru dan para saudara rijksbestierder tersebut, Belanda mencatat bahwa Indragiri pun mengalami kekacauan, atas desakan residen, Sultan Lingga pun pada bulan Maret 1878 mengirim komisi untuk menyelidikinya, akan tetapi para “terduga-pelaku” seperti Said Umbut dan Said Begab menolak untuk mengikuti mereka menuju Lingga. Ketika keluhan berikutnya diterima, dimana para “penjahat” yaitu beberapa orang China yang dibawa dari

343 344

KV 1872. KV 1874-1875 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

264

Singapura dijadikan obyek dalam perbudakan, dan juga terjadi pembunuhan terhadap beberapa dari mereka dan hartanya pun dirampas, Asisten Residen di Lingga dengan kapal uap menuju Indragiri dan setelah diinvestigasi, diketahui pihak yang bersalah, dan Sutan diminta untuk melakukan penangkapan dan menyerahkannya ke Lingga. Terhadap mereka yang didakwa bersalah, di Lingga oleh pengadilan Sultan di jatuhi hukum pembuangan. Salah satunya adalah Said Begab – namanya disebutkan di sini karena ia memainkan peran dalam beberapa tahun ke depan - akan dikenakan hukuman pembuangan ke Makassar. Sementara itu terbukti tidak cukup meyakinkan, bahwa tidak bisa diharapkan dari pemerintah pribumi yang berada dibawah pengawasan rutin dari seorang pejabat Eropa; bahwa disekitar tahun 1850, rijksbestierder tidak berbicara terlalu banyak. Pada tahun 1878, pemerintah Hindia menguraikan situasi sebagai berikut: Tidak adanya jaminan keamanan terhadap orang dan harta, tidak adanya sarana, seperti perdagangan yang terhambat oleh banyaknya pajak dan pemerasan, dan akibatnya sebagian besar penduduk pindah ke Kampar. Yang paling menderita, jelas saja, masyarakat paling bawah. Jumlah jiwa berkurang dari yang sebelumnya di Indragiri, yang meliputi Mandah dan Reteh, hanya sekitar 15–20.000 jiwa saja, (44) dan dipastikan dalam beberapa tahun terakhir, karena banyak keluarga pindah ke tempat lain, bahkan lebih kurang lagi. 345 Dalam beberapa tahun ini, banyak pemangku kepentingan kekuasaan di berbagai negeri, berencana untuk memperluas campur tangan pemerintah Hindia di wilayah luar yang diperebutkan, dan sering membiarkan dirinya dengan penguasa pribumi merasa senang atas relasinya dengan pemerintah Hindia. Bahkan di bawah tekanan di Aceh dimana Hindia mengalami kesulitan, masih mengabaikan wacana “Kekayaan luar”, akan tetapi sehubungan halnya dengan Sumatera; bahwa suara itu pun secara bertahap mereda. Pantai timur Sumatera telah dikembangkan semenjak perjanjian Siak tahun 1858, untuk satu wilayah yang mengalami perkembangan setelah intervensi Hindia, sementara di pantai Barat adalah penemuan sejumlah besar batu bara di Ombilin, dan seperti yang terlihat untuk alasan keuangan masih bermanfaat dalam menunda hal tersebut sejauh mungkin - itu dipahami sejak tahun 1871 bahwa berbagai bagian Sumatera, yang sejauh ini 345

Kielstra, 1915: hal.43-44. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

265

telah sepenuhnya atau sebagian saja dikuasai, akhirnya berkembang melebihi lebih gangguan yang dialaminya. Pemerintah Hindia meyakini, bahwa ketika semakin pergi jauh mengklaim realisasi kewajiban moral Hindia di tanah jajahannya, ini telah memberikan sesuatu yang menentukan; bahwa telah terjadi, daripada yang mereka lakukan di tempat lain, Sebagai contoh, pada Soemba, tidak lagi diamati di sana kondisi yang memprihatinkan dan hanya tersimpan saja. Meskipun demikian, apa yang telah disebutkan di Sumatera, semuanya di pulau itu sudah membawa Hindia pada kondisi untuk tidak lagi dapat dipertahankannya sistem '”Stelsel”. Setelah itu terhadap Indragiri, mereka tampak tidak keberatan lagi, ada yang dilakukan pemerintah dengan menetapkan seorang petugas dari dinas Sipil. Bahwa keberatan berupa uang tidaklah menjadi penting. Kontrolir, yang selama ini ditambahkan ke Asisten Residen Lingga, akan berpindah ke Rengat, 346 akan tetapi itu tidak dilakukan seperti pada tahun 1838, dan untuk penegasannya maka sangat diperlukan penambahan beberapa angkatan kepolisian. Apa yang sudah terjadi dalam kondisi begitu anarkisnya seperti yang berlaku di sana, agar situasi tersebut menjadi jangan terlalu berlebihan. Pada awal tahun 1879, Kontrolir menerima tugasnya membantu Sutan sebagai penasihat dan mentor, dan pada saat yang sama dari Sultan Lingga, menempatkan seeorang agen politiknya di Rengat. Menurut Pemerintah Hindia, pada awalnya segala sesuatu tampak berjalan dengan baik. Petani dan pedagang bersukacita, dan pedagang China, dengan harapan bahwa mereka akan menemukan perlindungan di masa depan, namun setelah beberapa bulan, sudah jelas bahwa rijksbestierder dan bangsawan lainnya beserta keluarga kerajaan yang terkait, dianggap oleh pemerintah Hindia bahwa mereka berhadap-hadapan dengan petugas secara terselubung. Belanda meyakini bahwa kondisi tersebut disebabkan kecemburuan raja muda terhadap kekuasaan Sutan – dan bahwa para bangsawan tidak ada yang tidak berada dalam pengawasan Kontrolir. Diakhir tahun 1879, muncul rumor tentang niat buruk tersebut, desas-desus tentang ketidaksukaan terhadap penguasa Eropa; dan untuk melindungi dirinya, sepuluh petugas polisi pribumi bersenjata dan dengan kapal, kontrolir pun

346

Staatsblad 1878 No.330. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

266

berlayar untuk melakukan penyelidikan. 347 Saat itu, kontrolir menemukan bahwa keadaan tidak membaik, kebingungan meningkat dan tidak semua orang diizinkan untuk menetap; meskipun demikian, sementara itu di Rengat orang China diizinkan untuk lebih aktif, meningkatkan ekspor hasil hutan, namun impor beras dan garam tidak meningkat secara signifikan yang meski masih dapat untuk memenuhi kebutuhan. Mengenai kondisi tersebut, pemerintah Hindia beranggapan bahwa berbagai kalangan pangeran beserta keturunannya (kalangan atas dengan mengorbankan penduduk, dengan gaya hidup-aristokrat) tetap seperti sebelumnyanya menjalankan praktek kekuasaan berbahaya atas Sutan dan rijksbestierder dan dengan demikian, pengaruh kontrolir terlalu sering menaungi dan berkeyakinan bahwa diperlukan suatu tindakan tegas dimana mereka menginginkan penempatan petugas akan dapat mencapai tujuan. Dan Belanda nampaknya berpendapat harus memaksakannya secara bertahap atas kendali Hindia. Pada tahun 1881, di Indragiri sebagaimana telah disebutkan bahwa Said Begab, yang melarikan diri dari Makassar, telah kembali, dan dengan demikian dimulailah suatu pertarungan baru dengan pemerintahan Hindia disana. Sutan menarik diri dari kewajiban untuk mengekstradisi “penjahat”, misi Asisten Residen untuk membantu dimana sutan berada dibawah tekanan dari pangeran yang bertentangan dengan pengampunan. Ketika Asisten Residen datang dengan kapal perang, guna menyerahkan langsung surat

347

Kontrolir, dalam bepergiannya ke Tandjong Pinang, pada hari-hari terakhir bulan November, melalui surat dari radja Abdoelrachman sebagai perwakilan Lingga di Regat, ia diberitahukan tentang kondisi Ringat yang sedemikian kelamnya, sehingga Kontrolir berpendapat untuk mengirimkan utusan ke Kwala Cenako, di dekat muara sungai Indragiri, selain itu, sang kontrolir juga memberikan peringatan terhadap Residen Riouw. Dengan pertimbangan dari Abdul Rachman, kontrolir segera menuju Rengat, dan dia meskipun tidak membantah adanya ketegangan di kalangan para bangsawan, telah membuat kondisi semakin tidak tenang daripada yang digambarkan. Bahwa nampaknya terjadi ketegangan yang disebabkan khabar yang beredar di kalangan pembesar bahwa Said Umbut yang dijatuhi hukuman pembuangan pada tahun 1878; merupakan anggota kerabat, dalam suatu kerusuhan telah terbunuh. Pada awal tahun 1880, Kontrolir memperoleh khabar bahwa ternyata semua kondisi dipandang aman dan baik.Lihat KV 1882-1883.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

267

Residen kepada Sutan dihadapan kontrolir, wakil Sultan Lingga dan awak kapal, di mana ketidakpuasan Batavia telah dibuktikan oleh Pemerintah, dan Sutan diminta tidak lagi melalaikan tugasnya. Sutan menjanjikan perbaikan, akan tetapi ternyata Belanda menemui tidak ada yang dilakukannya, dan beberapa bulan kemudian Sutan melaporkan bahwa Said Begab tidak lagi bermukim di Indragiri, melainkan ia berada di Jambi. Atas peristiwa ini, pejabat Hindia mengerti, bahwa “mereka tengah dituntun menuju taman.” Baik Residen maupun Sultan menyesali tentang apa yang telah terjadi, dan kepada Sutan, pemerintah menyatakan bahwa ia diminta untuk datang sendiri ke Riouw menemui Residen dan Sulthan Lingga disana. Akan tetapi disayangkan, bahwa pada pemerintah Hindia sendiri telah melekat firasat sebagaimana ekspresi mantan menteri E. de Waal - juga menyatakan bahwa, selama Said Begab tidak diekstradisi, atau setidaknya klaim suatu ketidakpuasan, lantas memblokade Sungai Indragiri dengan satu armada kapal yang cukup untuk menutup semua jalur masuk dan keluar. Kontrolir dan juga stafnya sementara dipanggil untuk meninggalkan Rengat; bahwa pemerintah dimana telah membuka kesempatan yang diberikan kepada pedagang asing pada waktu itu, ikut mengungsi dengan barang-barang mereka. Banyaknya pedagang China dan Melayu yang takut anarki akan terjadi, mengikuti hal tersebut. Belanda merekam bahwa Sutan mundur ke negara-negara di pedalaman dan rijksbestierder-lah yang bertanggung jawab untuk penjagaan pemerintahan Rengat; sementara Kontrolir tetap berada di salah satu kapal uap. Pertimbangan apa yang telah melahirkan tindakan ini, sangat jauh dari kejelasan. Belanda menghadapi seorang Sutan. Dan sekarang Sutan, yang mungkin lebih tidak berdaya dibandingkan dari keengganannya untuk taat, menghukum, dimana mereka semua menghentikan perdagangan, hampir secara eksklusif merugikan teman-teman Belanda: para pedagang tersebut. Kerugian ini, sebagaimana tercatat pada angka-angka: tahun 1881 memiliki f192.600 impor, ekspor senilai f144.526. dan juga, bahwa sebagian besar penduduk meninggalkan Indragiri, karena takut kesewenang-wenangan penguasa seperti yang dituduhkan penjajah di semua negara pribumi, bahwa hal itu berkaitan dengan raja yang memiliki prestise garis keturunan yang terlalu tinggi, dan di Indragiri, menurut penjajah sudah terbentuk elemen rasa tidak puas dan berbahaya bagi perdamaian dan ketertiban. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

268

Dibawah tuan-tuan itu terdapat tokoh Said Begab, yang bersembunyi di pedalaman tapi kemudian seolah “dipamerkan” di daerah pesisir dan tidak takut kepada rijksbestierder yang dipercayakan Gubernemen untuk menjaga pemerintahan Rengat dimana ia melanggarnya dan melakukan kerusuhan.348 Meskipun naif, orang akan berkata, mengapa Hindia harus menganggap Said sebagai musuh khusus, dimana pada tahun 1878 pemerintah Belanda sudah menyebutnya sebagai “'penjahat”? Tidak lama setelah dimulainya blokade (25 Maret 1882), Sutan dan rijksbestierder tersebut melalui surat secara bersama-sama meminta kepada Kontrolir untuk datang kembali ke Rengat, untuk membahas penundaan quaestie; tetapi, pemerintah sendiri menolak usulan itu dimana mereka terus saja berlawanan. Aneh memang, namun dapat dipelajari bahwa ketika Sutan tidak menyadari, pihak Hindia beberapa kali telah menyampaikan secara lisan dan tertulis yang disajikan dalam bentuk kontak dengan Sutan, bahkan memberi “luka” ke Indragiri dimana jaminan Riau dapat kembali, dan setelah sikap Hindia itu baginya, bagai mengadopsi tindakan atas kelemahannya, yang tidak mungkin mengakibatkan konsekuensi yang lebih baik. Akan tetapi kemudian segera, seluruh blokade dan apa yang berhubungan dengannya, adalah sebuah kegagalan. Sutan terlibat permusuhan lebih dari yang sebelumnya, pasar - termasuk orangorang dari Kuantan (dari hulu sungai Indragiri) - membawa negara dalam kekacauan, saat itu, mungkin saja Belanda pesimis, bahwa kerugian penduduk berada di tingkat tertinggi telah menunjukkan; jangankan untuk mendekati, bahwa upaya mencapai tujuan itu ternyata semakin menjauh saja. Situasi yang penuh intervensi penjajah itu, akhirnya membawa pemerintah Hindia; merasa “waktunya telah tiba” saat itu untuk melakukannya dengan cara yang lain: diputuskan bahwa kontrolir akan menetap kembali di Rengat di awal tahun 1883, bila kemudian pembentukan menunjukkan tanda memuaskan dan telah diperkuatnya keadaan pertahanan, maka tiba masanya untuk segera mengakhiri blokade. Bahwa Sutan tidak diakui oleh pemerintah Hindia selama ia tidak berubah; pemerintahan ini akan mencoba "untuk bekerja dengan pembesar kerajaan dan masyarakatnya, terhadap Sutan dan 348

Bahwa Said Begab dikatakan menghasut orang-orang di hilir Indragiri untuk melakukan perampokan di kawasan yang dipercayakan pengawasannya kepada Raja Muda. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

269

lingkungan yang memusuhinya. Kontrolir menempatkan satuan polisi yang lebih kuat sejumah 32 orang dan, sementara itu juga sebuah kapal perang. Ia datang pertengahan Maret ke Rengat, dan blokade pun dicabut pada bulan Mei. Secara bertahap beberapa urutan dan aturan kembali datang ke Indragiri, setidaknya pada Rengat dan lingkungannya, dan juga di negeri pedalaman yang tetap selama bertahun-tahun hampir melampaui pengaruh Hindia. Tapi sulit untuk mengatakan apakah tindakan tersebut saat itu diyakini mampu membawa dampak sebagaimana yang diharapkan: awal Agustus Sutan wafat, dan pemerintah Hindia dikatakan berkomitmen sekali lagi untuk tidak terjadi kembali kesalahan besar. Bahwa mengingat selama negosiasi tahun 1838, yaitu meminta dewan sebaik mungkin dengan kondisi lokal dan praktek, laporan temuan mereka telah dicatat dan dibukukan. 349 Setelah deskripsi tentang bagaimana pemilihan seorang pangeran, jelas dinyatakan: “pada wafatnya sang raja maka harus segera diadakan pemilihan dan dinyatakan martabat raja baru, bahkan sebelum jenazah raja yang sebelumnya akan dimasukkan ke peristirahatannya.” Kenyataannya, menurut Hindia adat tersebut pada tahun 1883 seluruhnya diabaikan; dikatakan tidak ada pejabat yang merasa terganggu, bahkan setelah sebelumnya dilakukan pembacaan laporan tentang Indragiri dan itu diumumkan! Pemerintah, mengatakan bahwa terjadi kesalahan informasi, berpendapat bahwa selama quaesties tertunda, antara lain mengenai Said Begab tidak diselesaikan, kinerja dari salah satu Sultan yang baru tidak akan menjadi persoalan, dan menyukai bahwa rezim akan dilakukan oleh sebuah komite dari tiga kerajaan besar, tentunya di bawah arahan kontrolir. Beberapa bulan kemudian, bahwa situasi kekosongan berlarut-larut dari sosok yang layak berkedudukan sebagai Sutan bisa saja menimbulkan “proklamasi” orang yang tidak diinginkan sebagai pemimpin lanskap; kemudian diteliti kesesuaian putra raja yang memenuhi syarat, dan pada bulan Februari 1885; adalah anak dari almarhum Sutan oleh kepala dan 349

Dapat dilihat dalam Tijdschrift van Nederlandsch-Indië van 1842, juga pada Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 14, 1852 (1e deel), no 4, 01-01-1852.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

270

mayoritas penduduk direkomendasikan untuk martabat itu. Para pemimpin Hindia pun tidak keberatan, juga Sultan Lingga; pada bulan Agustus tahun itu, mengikuti penobatan dari penguasa baru; Raja Isa. Said Begab dan keluhan lainnya tidak ada lagi terdengar. Akan tetapi, ternyata melupakan adat merupakan sumber baru kesulitan. Salah satu kandidat, Raja Abdullah, putra saudara almarhum Sutan, telah berulang kali menginginkan penegakan adat, lalu ia bersikeras untuk suatu pemilihan pangeran, dan akhirnya memindahkan kepada dirinya sendiri di Pranap di lokasi pedalaman dimana ia diangkat menjadi Sutan - (November 1884); alasannya itu, bahwa dikatakan dalam sebuah dokumen resmi, mengapa ia tidak memenuhi syarat untuk martabat Sutan, bahwa ia berada diluar trah yang layak diikutkan dalam pemilihan. Meskipun demikian, bahwa Indragiri saat itu benar-benar memiliki dua Sutan: satu di pedalaman, dan satu di bahagian timur. Dalam beberapa kesempatan, ketika itu sudah terlambat, negosiasi dengan Abdullah adalah untuk membuatnya mengubah arah aksinya, akan tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil. Akan tetapi nampaknya terciptanya peluang perbaikan ketika Abdullah meninggal pada tahun 1888; di bawah adat ia langsung digantikan oleh putranya, yang membawa nama Sutan Ibrahim, ia segera naik “tahta.” Namun, ia tidak mempedulikan Sutan-Isa, serta sutan-sutan sebelumnya, dengan kekuatan untuk menegaskan dirinya sendiri di luar lingkungan langsungnya; tentu saja dengan membuat pesaingnya menjadi tidak berdaya yang berguna untuk memperkuat kekuasaannya, dan situasi pada akhir tahun 1889 adalah, bahwa baik Isa, ataupun pembesar kerajaan, harus menghitung negara-negara pedalaman; “kerajaan” Ibrahim, keberadaannya di sana dapat dianggap mengganggu pemerintahan kerajaan, dan bahwa ada pula diterima khabar sang Said Begab berada dekat dengannya. Upaya memahami, atau entah bagaimana pula harus dilakukan untuk mengakhiri kekacauan negara, maka Residen Riau pada bulan Februari 1890 berada di Pranap, tempat bermukimnya Ibrahim; ia tentu saja tidak secara langsung atau “to the point” dalam mencapai misinya, melainkan melalui suatu diskusi guna membuka jalan bagi sentuhan lebih lanjut, bahkan, saat itu pengampunan Residen disumbangkan kepada Said Begab. Hasilnya, Ia mengundurkan diri, dan untuk operasi ini telah menunjukkan bahwa salah satu negeri dalam lanskap Indragiri bisa didekati, dan setidaknya bisa dicapai kondisi yang lebih baik RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

271

dengan cara ini. Dalam negosiasi yang dilakukan kemudian, keuntungan keuangan yang signifikan bagi berbagai pihak pada saat itu begitu pentingnya, saat itu perdagangan terhenti, dan dengan demikian berkurang pula keuntungan dari pengadaan tol. Dan ketika semua persiapan sudah berakhir, pada bulan Agustus 1890, di Rengat berlangsung satu pertemuan antara Residen dengan pemimpin kedua belah pihak dan juga lingkungan mereka di mana perdamaian dikembalikan ke kondisi berikut: 350 Ibrahim mengakui Sutan sebagai pemimpinnya, dan ia di berada dibawah gelar Sutan Muda (rijksbestierder). Bagian yang tersisa dari Indragiri dikelola oleh rijksbestierder, bahwa dengan kinerja tugas dan kesetiaan, maka persoalan suksesi ataupun martabat keduanya dilakukan secara turun-temurun di generasi mereka. Semua impor dan ekspor tugas dan semua pacht (hak sewa) diserahkan kepada Pemerintah, yang akan ganti dengan kompensasi pembayaran setiap tahun sebesar f30.000: sepertiga dari Sutan, sepertiga untuk masingmasing rijksbestierders dan mantri mereka. Pendapatan selanjutnya yang sah (sewa tanah, denda, pajak) harus didistribusikan. Demikian pula Setelah diterapkannya prinsip-prinsip ini oleh pemerintah Hindia Maret 1892 diikuti kesimpulan dari “kontrak tambahan” di mana berlaku mulai bulan Agustus. Sejak saat itu, dapat dikatakan, meski masih terjadi kesulitan, Indragiri dibuka untuk masa depan yang lebih baik; sejak 1843 kesalahan dilenyapkan, dan arah urusan itu nampaknya telah beralih ke tangan otoritas Eropa. Sutan Isa wafat di tahun 1902, sang anak sebagai penggantinya: Raja Machmud saat itu baru berusia 11 tahun. Bahwa semua disiapkan begitu sistematis oleh penjajah; selama perjalanan transisi pemerintahan - distrik itu dibawah kepimpinan pejabat Eropa (Sekarang asisten residen); tapi apakah begitu layaknya untuk mendapatkan perhatian bila tidak mengandung maksud-maksud tertentu: pemerintah Hindia melakukan begitu banyak dalam kekuasaannya, untuk pendidikan pangeran muda: ini adalah masa selama lima tahun, mahasiswa dan teman sekamar dari kepala sekolah Eropa, pertama di Tanjung Pinang (Riau), dan kemudian di Bogor. Ia tinggal untuk satu tahun lagi pada inspektur pendidikan dasar di Batavia, dan kemudian kembali ke Tanjung Pinang untuk mendapatkan kualifikasi mereka, dan pada tahun 1908 ia berada di bawah bimbingan 350

Kielstra, 1915: hal 51. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

272

Asisten Residen Indragiri, dan hasilnya; dimana ia menerima pemerintahan pada tahun 1912, menurut prinsip-prinsip yang diikuti dalam beberapa tahun terakhir, bahwa tidak lagi kontrak yang dilakukan dengannya, tetapi ia diambil sumpah berkaitan dengan “Pernyataan Singkat” (Korte Verklaring) dimana tindakan pengakuan dan konfirmasi diberikan kepadanya. Berikut Korte Verklaring: 351 INDRAGIRI. VERKLARING. Ik, ondergeteekeude. Radja Mahmoed, bestuurder van het landschap Indragiri, verklaar: Ten eerste: dat het landschap Indragiri een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch-Indië en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland; dat ik mitsdien steeds getrouw zal zijn aan Hare Majesteit de Koningin der Nederlanden en aan Zijne Kxeellentie den Gouverneur-Generaal als Hoogstderzelver vertegenwoordiger, uit wiens handen ik het bestuur over het landschap Indragiri aanvaard. Ten tweede: dat ik mij in geenerlei staatkundige aan-rakingen zal stellen met vreemde mogendheden, zullende de vijanden van Nederland ook mijne vijanden, de vrienden van Nederland ook mijne vrienden zijn. Ten derde: dat ik zal nakomen en handhaven alle regelingen, die niet betrekking tot het landschap Indragiri door of namens de Koningin der Nederlanden dan wel den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië of Diens vertegenwoordiger zijn of zullen worden vastgesteld of toepas* i selijk verklaard en dat ik in het algemeen alle bevelen zal opvolgen, die mij door of namens den Gouverneur-Generaal of Diens vertegenwoordiger zijn of zullen worden gegeven. Aldus gedaan en heëedigd te Rengat den 20sten Juni 1912 of den vijfden der maand Redjeb van het Mohammedaan-het jaar 1330, en opgemaakt in drievoud. Hier stonden stempel en handteekeiiing van Radja Mahmoed, bestuurder van het landschap Indragiri. Ten overstaan van mij. Besident van Biouw en (>nder-hoorisrheden.

351

Dalam Handelingen der Staten Generaal Bijlagen 1912-1913, TWEEDE KAMER, (overeenkomsten met inlandsehe vorsten in den Oost-Indischen Archipel), 342.8-9.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

273

(w.g) DE BRUYN KOPS. Deze verklaring is goedgekeurd en bekrachtigd op den :3den September 1912, zijnde daarmede tevens Radja Mahmoed erkend en beveitigd all bestuurder van het landschap Indragiri.

Korte Verklaring atau "Pernyataan singkat" diatas, seperti yang dilakukan oleh pemerintah pribumi yang terdiri dari hanya tiga bahagian; Bahagian pertama menyatakan bahwa lanskap adalah bagian dari Pemerintah Hindia Belanda dan dengan demikian di bawah kekuasaan Belanda, karena itu raja akan selalu setia kepada Ratu dan perwakilannya, Gubernur Jenderal. Dalam bahagian kedua, juga akan diatur dalam kontrak mengenai kerjasama dengan kekuatan asing. Dalam bahagian ketiga, bahwa ia akan menghormati dan memelihara semua pengaturan yang akan dibentuk sehubungan dengan wilayahnya oleh atau atas nama pemerintah, dan bahwa secara umum semua arahan dari pemerintah akan diikuti. Selain itu dalam "tindakan pengakuan dan penegasan"(acte van erkenning en bevestiging) yang menyatakan bahwa raja akan tetap terjaga dikedudukannya, selama ia menghormati komitmen yang telah ditetapkan. Dengan demikian, menurut penjajah ini lebih baik dari apa yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, bahwa kebijakan yang diambil dengan mempertimbangkan kegagalan pemerintah Hindia untuk memberikan tata pemerintahan yang baik pada masa lalu, dimana kedepan demi kepentingan pengembangan lanskap bisa diawali dengan penerapan konsep-konsep modern. Dalam semua perjanjian sebelumnya dengan pangeran dan kepala, ada perbedaan antara pendapatan lanskap dan pangeran, yang menerima semua pajak, ganti rugi dan lainnya yang dihasilkan dan itu pernah terjadi dapat dipinta sebagian kecil dari yang tersedia untuk belanja kepentingan umum. Adapun aturan yang terakhir, bagaimanapun menurut penjajah hanya sedikit bukti yang menunjukkan hal tersebut berjalan sesuai aturannya, dan sehingga semua pendapatan negara benar-benar hanya untuk melayani pangeran dan lingkungannya yang memberikannya sebuah kehidupan yang relatif mewah, akan tetapi juga memiliki kelemahannya sendiri. Sejak tahun 1902, bagaimanapun, hal itu “dikeluarkan” dengan mendirikan “rumah kaca” atas lanskap, dibuatlah pemisahan, sehingga secara bertahap pemerintahan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

274

pribumi “zelfbestuur” bisa masuk secara tepat kedalam manajemen negara Hindia; dimana arah ini juga bekerja di Indragiri. Segera terlihat bahwa kompensasi pajak yang diperoleh tahunan dibayarkan sejumlah f30.000, jumlah yang sekarang dituangkan ke dalam kas lanskap, dan karenanya bermanfaat guna pembayaran bagi penerimanya; Sutan baru akan menerima remunerasi tetap sejumlah f600 perbulannya, di samping 10 persen. Lanskap memperoleh pemasukan dari bisnis di bidang pertanian dan industri . Pendapatan ini (tribute untuk lisensi dan konsesi) pada tahun 1912 sebesar f7000, sehingga peruntukan kepada Sutan sejumlah f700 adalah besaran yang dinilai pantas oleh penjajah. Kas Afdeelings Indragiri pada tahun 1912 menerima total f87.000, bahwa meliputi: ke kas negara Hindia, dan selain itu untuk kepentingan pengeluaran lanskap sejumlah f21.400, yang terdiri dari; untuk biaya tahanan sejumlah f1.800, untuk polisi sejumlah f6.400, untuk biaya pendidikan sejumlah f3.000, untuk ongkos pekerjaan umum sejumlah f13.000, untuk kepala dan pejabat sejumlah f27.400. Menurut pemerintah Ini semua masih di awal, tetapi sebagai perkembangan dari peningkatan pendapatan lanskap; menurut pemerintah Hindia, maka masyarakat akan diuntungkan karenanya. Berada di awal tahun 1913 seperti yang terdapat dalam laporan resmi yang mengatakan untuk menyederhanakan personil pemerintahan pribumi yang berkaitan dengan status kedudukan Raja Muda, lalu mengangkat hanya salah satu saja dari dua rijksbestierder. Kondisi ini memiliki beberapa penjelasan: perjanjian 1890 itu memang ditentukan bahwa, dengan setia kepada tugas, maka martabat rijksbestierders akan berlangsung secara turun-temurun, sementara dari pemerintah Hindia sendiri tidak terdapat aturan resmi yang mengatur hal tersebut. Kasus ini adalah: setelah kematian rijksbestierder tersebut pada tahun 1898 dan ia digantikan oleh putranya yang juga meninggal setelah beberapa bulan kemudian. Kemudian saudaranya ditunjuk, akan tetapi, Belanda menganggap mereka berperilaku demikian juga, bahwa ia akhirnya dihapus dari pemerintahan pada tahun 1901. Bahwa saat itu kembali sang anak mengikuti ayahnya, akan tetapi karena tidak dapat diandalkan dan disebabkan telah terjadi pelanggaran jugalah akhirnya yang menyebabkan ia dipecat, itu adalah sebagian daftar dari mereka yang bisa menegaskan martabat rijksbestierder dimana nampaknya Pemerintah Hindia beranggapan bahwa negara-negara tersebut secara perlahan akan menjadi lelah dengan hak-hak tersebut, dan kondisi tersebut tanpa kesulitan dapat RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

275

dilanjutkan ke arah penyederhanaan. Dalam hal lainnya, tidak ada keberatan: Sutan muda yang dengan pendidikan dan pembangunan yang diperolehnya, lebih cocok dari raja sebelumnya yang bersama-sama dengan rijksbestierder. Bagian dari kompensasi senilai f30.000, meka ditentukan peruntukan baginya sejumlah f6400 , dan kondisi tersebut jelas akan menguntungkan lanskap. Dalam segala hal tampaknya 'alam Indragiri' kembali menuju masa depannya bersama otoritas Belanda yang akhirnya menemukan jalan untuk menegaskan pengaruhnya disana untuk kepentingan Hindia.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

276

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

277

7 Perluasan Otoritas Hindia di Pedalaman Berbagai peristiwa sebagai dampak imperialisme internasional yang melibatkan negeri belanda di kawasan Nusantara, sebagaimana diketahui nampaknya juga telah diawali dengan upaya penggalian pengetahuan dari kawasan target, maka tidak mengherankan jika kawasan ini ramai dikunjungi para ilmuwan yang melakukan ekspedisi hingga ke wilayah pedalaman, sebut saja; Raffles352, hingga Greve353, yang berupaya menemukan dan mengembangkan pengetahuan baik meliputi kondisi topografi hingga populasi. Persaingan antar Bangsa Eropa, terutama Inggris – Belanda, yang tampak pada serangkaian perjanjian antar mereka sendiri hingga episode konflik Bukit Batu-Kelapa Patal di tahun 1857, akhirnya bermuara pada penandatangan perjanjian Tahun 1858 antara pihak kerajaan Siak dan Belanda, perjanjian yang tidak saja dianggap sebagai salah satu titik-awal kolonialisme di timur Sumatra tengah; Indragiri dengan traktat 1838, juga menyebabkan berkobarnya perang yang sangat menguras sumber daya pemerintah kolonial; Perang Aceh.354 Bagaimanapun juga, keseluruhan kerajaan dan lanskap baik pedalaman maupun hilir, sejak awal perkembangan sejarahnya mampu bertahan mempertahankan independensinya hingga awal abad ke-20, meski proses aneksasi sudah dimulai sejak era pasca perang padri (1830-an) di hulu sungai Rokan, Kampar dan Kuantan, akan tetapi di Riau 352

Bahwa Raffles yang mengunjungi pedalaman Minangkabau pada abad ke-19, menyaksikan sendiri puing-puing istana kerajaan akibat gejolak peperangan; bahwa misinya tersebut guna mempelajari dan mengumpulkan artefak kuno era Hindu-Budha yang tersebar di hulu Sungai Kampar; 353 Greve, seorang geolog yang menemukan potensi batu Bara Ombilin di hulu sungai Kuantan. Ia sendiri tewas tenggelam dalam upayanya menyusuri jeram di hulu sungai tersebut. 354 Traktat 1858; Belanda menetapkan batas-batas kerajaan Siak secara berlebihan – melampaui masuk ke wilayah yang diklaim Aceh sebagai wilayah taklukkannya. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

278

Daratan, pengaruh yang memiliki dampak paling signifikan atas seluruh bahagian wilayah diasumsikan adalah yang terjadi pada Kerajaan Melayu modern yang paling utama di Pantai Timur; Perjanjian Siak-belanda di tahun 1858355, kemudian menyusul kerajaan lainnya menjelang pergantian abad, (Indragiri dimulai di tahun 1838, Pelalawan tahun 1879-1880), begitu pula lanskap-lanskap pedalaman seperti V kota Kampar Tahun 1899, Kampar Kiri dan Kuantan yang di aneksasi di tahun 1905, lanskap terakhir yang dengan pertimbangan politis dibiarkan tetap sebagai “lanskap merdeka”356 hingga beberapa peristiwa dikatakan menyebabkan “habisnya kesabaran” penjajah.357 Sementara di hulu sungai Rokan, lanskap dianeksasi dengan korte verklaring. Melihat gambar dibawah(7.1), maka daerah arsir adalah kawasan merdeka hingga akhir abad ke-19. Jika diperhatikan secara seksama, maka kawasan ini meliputi kawasan terjepit, atau kantong bebas antara wilayah residensi, dimulai dari arah utara kawasan merdeka antara residensi Dataran Tinggi Padang dan Pantai Timur Sumatra. Sejarah telah mencatat bahwa penguasaan bangsa Eropa atas nusantara tersebut dilakukan baik dengan kekuatan militer maupun ekonomi, hingga kerajaan-kerajaan yang semula berdaulat akhirnya hanya menjadi bahagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Konsekuensi logis dari peristiwa tersebut adalah penerapan sistem pemerintahan Hindia Belanda; terutama pembahagian wilayah administrasi pemerintahannya. Begitu pula halnya dengan kawasan yang sekarang termasuk dalam wilayah administrasi propinsi Riau, yang dahulunya tercantum didalam peta Sumatra-Tengah (midden Sumatra). Pada awal pembentukan propinsi Riau di Tahun 1958,358 maka wilayah Riau, sebagaimana diketahui awalnya tidak hanya terbatas pada wilayah daratan, melainkan termasuk juga meliputi wilayah Kepulauan Riau hingga kawasan ini 355

Meskipun demikian, nampaknya pihak Belanda sendiri mengklaim bahwa mereka telah memiliki kedaulatan atas Siak sejak 1745; Setidaknya sebahagian dari kedaulatan semenjak hak perdagangan di sungai Siak telah diserahkan oleh Raja Sulaiman sebagai penguasa Johor kepada V.O.C. 356 Bahwa pertimbangan Pemerintah penjajah berkaitan dengan penerapan batas-batas antar residensi, terutama antar rersidensi Pantai Barat dengan Pantai Timur dan Riouw, kawasan Merdeka sebagai kawasan netral. 357 Terminologi kawasan “merdeka” ini, bahwa lanskap tersebut belum tersentuh otoritas Hindia Belanda. 358 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958; RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

279

terpisah dengan terbitnya kebijakan pemekaran wilayah propinsi menjadi Propinsi Kepulauan Riau359. Pemekaran wilayah ini tidak sepenuhnya mengikuti jejak-administrasi wilayah kolonial, disebabkan Kawasan Indragiri yang dahulunya termasuk kedalam Residensi Riouw en Onderhoorigheden (Riau dan Negeri taklukkannya), tetap berada dalam wilayah propinsi induk, Riau (daratan).

Gambar 7.1.Peta Kawasan Merdeka negara-negara Kampar dan Kuantan pada akhir abad ke 19; Sumber: IJzerman, 1895.

Jika kita cermati, maka Riau Daratan dalam perjalanan sejarahnya, terbagi menjadi beberapa tahapan berikut: Tahapan Kerajaan-Lanskap: Pada era ini, maka situs negeri ditelusuri dengan berpedoman pada sungai-sungai besar: Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri(batang Kuantan), dapat dilihat bahwa 359

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002; RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

280

terdapat kerajaan utama seperti Siak Sri Indrapura di Sungai Siak, Kemudian Kerajaan Indragiri di Sungai Indragiri, Pelalawan di Sungai Kampar. Berikutnya adalah kerajaan di pedalaman Sungai Rokan, yang terbagi dalam lanskaplanskap di sungai Rokan Kanan dan Rokan Kiri, yang termasuk dalam V Kota (Kunto Daressalam, Rambah, Tambusai, Kepenuhan, IV Kota Rokan di Ilir), selanjutnya adalah tiga Lanskap di hilirnya : Tanah Putih, Kubu dan Bangko. Wilayah pedalaman, di sungai Kampar, maka kita akan menemui Lanskap V Koto Kampar(Salo, Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Rumbio) kemudian kearah hilir adalah Tambang, Terantang dan Kampar. Sementara itu dipercabangan Sungai Kampar Kiri, maka kita akan menemui Lanskap Gunung Sahilan, Rantau Sibayang dan Singingi, Logas, Ulu Teso dan Rantau Kampar Kiri; Lanskap Kuantan di pedalaman Sungai Indragiri atau Batang Kuantan. Selain itu, dipedalaman Sungai Siak kita akan menemui Lanskap-lanskap Tapung. Pemetaan Kerajaan maupun lanskap tersebut, difokuskan secara geografis yang terbagi menjadi dua bahagian: sebagai wilayah pedalaman maupun wilayah pesisir. Bukan pula kebetulan, jika pemetaan lanskap secara geografis ini juga memiliki kharakter yang dipengaruhi oleh dua kebudayaan, yakni Minangkabau di pedalaman dan Melayu Johor di pesisir. Kondisi ini nampaknya mengingat bahwa ekspansi politik-kultural yang bersumber dari ranah Minangkabau di kawasan pegunungan di pedalaman Sumatra Tengah menuju Pantai Timur, terhenti dengan eksisnya kerajaan-kerajaan Melayu Modern,360 tepatnya di hilir aliran sungai-sungai besar. Bahwa keberadaan kerajaan maupun lanskap pedalaman berkharakter atau setidaknya memiliki kemiripan ataupun kesamaan dengan pola dan sistem yang berlaku di ranah Minangkabau, dalam hal ini dengan sentralnya kerajaan Pagaruyung, seperti: lanskap Kuantan, Kampar Kanan dan Kampar kiri, sebahagian pedalaman Rokan, serta Siak. Sementara itu, pengaruh Johor sendiri terlihat pada wilayah pesisir seperti sebahagian lanskap di hilir sungai Rokan, Siak (dengan klaim Raja Kecil sebagai keturunan langsung sulthan Machmud), Pelalawan dan Kerajaan Indragiri-. Akan tetapi, nampaknya Lanskap pesisir merupakan lanskap Melayu yang berbasis pengaruh Melayu Johor.361 Argumen ini mengingat bahwa wilayah Pantai Timur selama berabad-abad dibawah

360

Lihat Koloniale studiën: tijdschrift van de Vereeniging voor studie van koloniaalmaatschappelijke vraagstukken, Volume 11, Nomor 1, tanggal 10 Mei 1927. 361 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002; RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

281

hegemoni kemaharajaan Johor362 dan juga kharakter yang bermula sejak kemunculan Malaka di awal Abad ke-15, dimana kejayaan dan kegemilangan kerajaan sebagai Pusat Melayu Pasca Sriwijaya, telah menjadikannya model acuan politik dan budaya yang tidak hanya bagi negara-negara di Semananjung, melainkan juga bagi negara-negara disepanjang pantai Timur Sumatra.363 Bahwa pada awal mula kolonialisme Belanda di Riau Daratan – sebagaimana halnya di wilayah lainnya di Nusantara, penjajah sendiri dapat dianggap terkadang tidak memiliki sumber daya yang cukup memadai untuk melakukan ekspansi tersebut secara langsung – sendirian saja – berhadap-hadapan dengan penguasa pribumi, melainkan ia menjalin persekutuan dengan kerajaan-lanskap ataupun para “panglima Perang” yang sejalan dengan kepentingannya; politik pecah-belah pun dimainkan. Sebagai contoh bahwa pada penumpasan gejolak di Sungai Siak (1759), Belanda dengan VOC-nya, dengan penuh kesadaran melibatkan kekuatan-kekuatan lokal untuk terlibat berseteru dengan Siak. Penjajah sangat menyadari potensi konflik yang bersumber dari sengketa suksesi merupakan bahan bakar dari gerak imperialisme tersebut. Adapun perluasan kewenangan Hindia Belanda, aneksasi, pendudukan, penjajahan atau apapun namanya, memiliki dampak yang signifikan, terutama pada sistem sosial lanskap berkaitan dengan bergesernya kekuasaan para pangeran pribumi ke tangan penguasa Kolonial. Kerajaan-lanskap yang tidak dibekukan, menjalani kekuasaan pemerintahannya dibawah bayang-bayang kontrolir, Asisten Residen, Residen hingga Gubernur Jendral di Batavia. Alasan tidak dilakukannya pembekuan kerajaan, diasumsikan ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial sendiri yang lebih cenderung untuk menggunakan kelas pangeran untuk memuluskan kebijakan-di tanah jajahan. Pemerintah kolonial akan membiarkan kedudukan para pengeran namun dengan gerak-gerik yang telah “didikte.” Mungkin kelas ini lebih mirip sebagai “perantara” dalam konstelasi pemerintahan Hindia. Pada tahapan tersebut, maka kawasan Riau-di Sumatra tengah berada dalam sistem pemerintahan kolonial yang bertumpu 362

Bahwa kekerabatan pada lanskap Gasip, Tanah Putih, Indragiri, sebagaimana telah disampaikan, G.A.Wilken (1888) berasumsi bermula dari kekerabatan matriarkhat yang dengan hegemoni Melayu Johor – telah beralih, atau paling tidak sebahagian saja mengikuti kekerabatan Melayu Johor tersebut. 363 Leonard Y.Andaya, Leaves of the Same Tree, 2008. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

282

pada eksploitasi sumber daya, hingga diperiode ini dapat dilihat tumbuhnya perusahaan Eropa yang berkaitan dengan pengupayaan budidaya tanaman ekspor, seperti; karet, kopi, gambir,dan lainnya. Pihak penguasa kolonial akan memandangnya sebagai sebuah peristiwa pertumbuhan ekonomi, yang diantaranya dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pasar dan pedagang lokal, terutama pada sentra-sentra ekspor-impor. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut memiliki konsekuensi lainnya, kondisi infrastruktur yang tidak memadai seperti; Jalan raya. Bagaimanapun juga, tidak dapat dielakkan kebijakan yang mengiringi “pertumbuhan” ekonomi tersebut dengan penambahan infrstuktur seperti; jembatan, jalan raya dan gedunggedung socioteit. Selain itu, nampaknya kawasan jajahan ini juga mulai dimasuki oleh, tidak hanya modal Eropa, melainkan juga “kaum migran” sebagai pekerja yang terikat dengan “kontrak”, meski tidak seramai dengan kawasan di sebelah barat pantai Timur Sumatra. Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan di dua sisi pantai Sumatra juga menambahkan dinamisasi pertumbuhan lanskap-lanskap dalam wilayah pemerintahan Hindia, sebagaimana sebuah bandul yang berayun menuju kesetimbangannya sendiri. Pembukaan Pelabuhan internasional “Emmahaven” di Padang pada kurun 1892, dikatakan telah menyebabkan “kemunduran” Pekanbaru sebagai pelabuhan transit saudagar-saudagar dari Pantai Barat. Ya, mengapa tidak? Sebab tentu saja para pemain ekonomi tersebut akan mencari tempat yang lebih murah dan dekat untuk melakukan transaksi hasil buminya ke perairan dunia. Bayangkan saja, para pedagang payakumbuh yang dalam upayanya menuju Pekanbaru sebelum sampai di V Koto Kampar harus berjuang melalui jeram curam yang deras dan berbahaya di Muara Mahat tersebut. Suatu perjalanan bisnis yang penuh resiko dan ongkos yang sangat mahal. Dalam konteks peralihan jalur ini, menyebabkan Jalur via Pekanbaru segera saja menjadi usang. Akan tetapi, pembangunan jalan Bangkinang-Pekanbaru dan hadirnya kendaraan bermesin (mobil), menyebabkan keadaan perlahan membaik, meski pedalaman Minangkabau sebahagian besar tetap menjejaki perdagangannya ke pantai Padang. Bahwa berbagai upaya dilakukan untuk menjembatani hubungan antara Pantai Barat dan Timur dimana salah satunya adalah pembangunan jalur kereta api dari Pantai Barat menuju Siak, yang diawali dengan ekspedisi IJzerman kesana pada 1891. Terlalu banyak resistensi dan kendala (salah satunya adalah jalur tersebut melintasi Kawasan Merdeka) sehingga tidak terdengar realisasinya. Kembali pada tahapan pemerintahan Hindia, maka kawasan “Riau Daratan-Sumatra Tengah” dibagi RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

283

atas tiga wilayah pemerintahan (gambar 2), yakni; Residensi Oostkust van Sumatra (Pantai Timur Sumatra), Westkust van Sumatra (Pantai Barat Sumatra) dan residensi Riouw en Onderhoorigheden (Riau dan Negeri taklukkannya). Yang pertama berpusat di Medan, dengan wilayah yang meliputi Afdeeling Bengkalis; kawasannya meliputi wilayah Eigenlijk Siak, Kampar Kiri, Bengkalis, Pelalawan), Residensi Pantai Barat Sumatra berpusat di Padang, dan mencakup wilayah V Koto Kampar, XII Koto Kampar. Adapun Residensi Riouw en Onderhoorigheden yang berpusat di Tanjung-Pinang, wilayahnya pada pulau sumatra meliputi lanskap Indragiri dan Kwantan. Bahwa proses “peng-Hindia-an” Riau Daratan ini dimulai setidaknya pada kurun awal abad ke-19 hingga benar-benar mapan di awal abad ke-20. Robert Cribb364, memetakan Sumatra berdasarkan periode pemerintahan Hindia, terlihat bahwa proses di Sumatra tengah terbagi atas; periode18241837; selanjutnya 1838-1872; kemudian 1873-1906; dan berakhir pada periode 1906-1942. Pada periode 1824-1837 ini, baru terbentuk keresidenan Palembang, Periode pertama adalah dimana Riau - Siak masih benar-benar merupakan negara merdeka yang berdaulat. Selanjutnya pada periode 18371872, adalah dimana Siak dan Indragiri masuk dalam pemerintahan keresidenan Riau; pada periode 1873-1906 hingga 1942, merupakan periode terbentuknya residensi Pantai Timur dan pemapanan pemerintahan Hindia. Bahwa hingga tahun 1938, perbedaan antara kondisi Siak dan tetanggatetangganya dan bagian utara dari residensi menunjukkan bahwa Belanda menghadapi Masalah nyata bagi suatu penyelenggaraan pemerintahan kolonial yang efektif. Sebuah keputusan yang radikal pun dibuat: Sesuatu yang mirip dengan residensi Johor-Riau kuno itu harus dilarutkan dengan tiga divisi administrasi (afdeeling) - Tanjungpinang yang termasuk dalam kepulauan Riau-Lingga dan Pulau Tujuh; Bengkalis, akan terdiri dari Onderafdeeling Siak, Kampar Kiri, Bagansiapi-api, Selat Panjang dan Rokan; dan akhirnya Afdeeling Inderagiri, dengan onderafdeeling Rengat, Kuantan, dan Tembilahan. Meskipun terdapat penemuan minyak Caltex, Pekanbaru saat itu masihlah sebagai sebuah kota kecil tanpa klaim yang jelas untuk suatu leadership daerah diera kedepannya.365 Wajar saja jika kemudian Tanjung Pinang dipersiapkan sebagai ibukota sebagai kelanjutan dari konsepsi Riau–

364 365

Robert Cribb,2007. Kratz, 1973:hal.54. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

284

eks , yang nampaknya menjadi samar sebagai akibat pecahnya perang pasifik yang imbasnya sampai ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Meskipun demikian, mungkin saja tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa pemetaan wilayah semata-mata bertumpu pada kepentingan ekonomi ataupun militer, melainkan juga mempertimbangkan kondisi kultural; sebagaimana yang terjadi pada lanskap di pedalaman Sungai Siak, ataupun Kwantan. Yang pertama, pernah terjadi wacana untuk memasukkan Onderafdeeling Boven kampar yang merupakan bagian dari Afdeeling Lima Puluh Koto, berkemungkinan VI Kota di Mudik dan VII Kota di Ilir dengan V Koto Kampar, Tambang dan Kampar akan ditarik ke menjadi wilayah Siak.

Gambar 7.2. Pembahagian wilayah pemerintaan Hindia di Sumatra 1873-1906. Sumber: Robert Cribb,2007.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

285

Bahwa persoalan “merger” lanskap tersebut, media mengulasnya dengan mempertimbangkan faktor kultural dan memberikan contoh lainnya; bahwa seperti lanskap Tapung Kanan berkemungkinan di merger dengan Rokan, akan tetapi tidak dengan lanskap Tapung Kiri yang dikatakan lebih memiliki kedekatan dengan Lanskap V Koto Kampar dan bukan sebaliknya. Akhirnya disebabkan perkiraan akan terjadi kejanggalan secara kultural menyebabkan hal tersebut tidak terdengar lagi berita kelanjutannya (antara Boven Kampar dengan Siak).366 Begitu pula halnya dengan Lanskap Kuantan, yang pada saat aneksasi, ditemui kecenderungan politik masing-masing lanskap yang berbeda, dimana lanskap Taluk hingga hulu lebih cenderung kepada pemerintahan Westkust, dan lanskap hilir dengan orientasi politik ke pemerintahan keresidenan Riau. Akan tetapi, setelah “duduk-bersama” antara komandan militer baik sebagai penguasa militer maupun sipil dan beserta Datuk nan Berlima, dihasilkan pertimbangan bahwa secara sosiokultural Rantau Kuantan adalah satu, maka secara keseluruhan dimasukkan kedalam afdeeling Indragiri sebagai bahagian Residensi Riouw en Onderhoorigheden367. Bahwa terdapat ungkapan, Lanskap Kuantan secara historis telah menjalin ikatan dengan Kerajaan Inderagiri pasca peristiwa penolakan terhadap kedatangan Raja Pegaruyung, dan meski disadari juga bahwa ikatan antara Kuantan dan Inderagiri bagaimanapun lebih longgar dibandingkan ikatannya dengan Pagaruyung – sebagaimana disaksikan sendiri oleh Grijzen saat bertugas disana.368 Pemerintah Kolonial sendiri berargumen bahwa hal ini juga sudah sesuai dengan proses yang berjalan, dimulai dari utusan yang mengaku sebagai perwakilan lanskap Kuantan ke Tanjung Pinang – yang ternyata dianggap pemerintah tidak legitimate, sehingga hanya pulang dengan tangan kosong369. Sebaliknya, permintaan ekstradisi para “pelarian” tahanan maupun eks-kuli kontrak yang berada di distrik merdeka Kwantan, nampaknya tidak digubris oleh penguasa lokal, sehingga memicu sebuah

366

Dalam De Sumatra Post, “Organisatie of desorganisatie?” Dari catatan harian Komandan Militer Schroderr yang dipublikasikan dalam “Algemeen Handelsblad”, 2 Januari 1906, “De Annexatie der Kwantan Districten”. 368 H.J.Grijzen, Nota Omtrent de XI Kota en Padang Tarap, (Midden-Sumatra); Tijdschrift Voor Indische Taal-, Land - En Volkenkunde, 1908. 369 Lihat Koloniaal Verslag, tahun 1902 367

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

286

ekspedisi militer kesana(Distrik Kuantan), di tahun 1905.370 Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka juga akan dipaparkan situasi dan kondisi proses pencaplokan negara-negara merdeka di Sumatra Tengah yang saat ini menjadi bahagian dari Riau Daratan, yang meliputi kerajaan-Lanskap pedalaman maupun pesisir.

Menunggu buah yang hampir matang Era yang secara aktif dimulai di abad ke-19 dimana “perluasan kewenangan di pedalaman” merupakan sebuah motto371 bagi pemerintahan Hindia di Sumatera khususnya sumatra tengah yang juga bertitik tolak dari pecahnya perang diwilayah pedalaman Sumatra Tengah (perang-padri). Bab ini akan mengisahkan proses aneksasi (pencaplokan/penguasaan wilayah secara sepihak) dan perluasan kewenangan Belanda hingga awal abad ke-20 di Sebahagian pedalaman Sumatra Tengah, terutama dengan mempertimbangkan batasan-batasan wilayah-administrasi yang saat ini termasuk dalam propinsi Riau (Daratan). Terdapat realita bahwa dalam upaya eksplorasi “Kekayaan-Luar” bagi pemasukan kas Imperium Hindia, bahwa perluasan kewenangan di pedalaman Sumatra banyak mengalami resistensi – perlawanan didaerah tujuan, bahkan terkadang berat, seperti salah satunya pengalaman Perang-Padri yang dikatakan tidak kurang menyedihkan dari apa yang berlangsung di Aceh. Kondisi tersebut, menyebabkan Pemerintah penjajah melakukan desain ulang dalam upaya perluasan tanah jajahan. Akan tetapi berbagai pengalaman lainnya dalam berhadapan dengan penguasa pribumi, seperti ketika negosiasi antara pemerintah dengan utusan dari Lanskap Rokan yang berlangsung di Batavia, kemudian negosiasi dengan IX Kota diperbatasan Onderafdeeling Si Junjung, juga apa yang terjadi disebelah Pulau Punjung, nampaknya bagi pemerintah kolonial diperoleh kesan bahwa,

370

Bukan hanya Kwantan, melainkan juga lanskap sebelah barat yang langsung berbatasan dengan Onderafdeeling Sijunjung- Residensi Pantai Barat Sumatra, Lanskap IX Kota: dengan alasan yang sama dengan Rantau Kwantan, penolakan ekstradisi pelarian. Lihat Grijzen, 371 Lihat Annexatie's in Centraal Sumatra, dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1880 (1e deel), no 3, 01-01-1880, Hal 167. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

287

ketika mereka membiarkan kekuasaan penguasa pribumi berada diluar kendalinya, maka hal ini akan menyebabkan degradasi keunggulan otoritas Eropa372. Selanjutnya Kebijakan yang dilahirkan, tidak lepas dari pentingnya nilai moral superioritas penjajah di Kepulauan Hindia. Sebagaimana diketahui bahwa menjelang akhir abad ke-19, atau sebagaimana telah dikemukakan di kisaran tahun 1880-an, telah berlangsung proses kolonialisme yang memang hingga memasuki abad ke-20 masih menyisakan beberapa lanskap merdeka, seperti Lanskap V Kota(koto) Kampar, Kampar Kiri serta Lanskap di pedalaman Sungai Kuantan. Bagi Pemerintah Kolonial, hal ini jelas bahwa sebagian besar lanskap merdeka yang akan dijelaskan di sini, nampaknya telah berlangsung lebih dari satu peristiwa “aneksasi sukarela dan damai”373. Sebagaimana lazimnya terjadi, tidak semua negeri jajahan diperoleh dengan peperangan; dan salah satu bentuk proses kolonialisme di Nusantara seperti juga dibelahan bumi lainnya, yakni “proses sukarela dan damai” yang biasanya ditempuh melalui cara-cara diplomasi dan negosiasi, dikatakan segala upaya dikerahkan oleh bangsa penjajah dalam melakukan “aneksasi halus.” Proses aneksasi halus tersebut, bukanlah suatu proses instan, melainkan melalui serangkaian strategi kebijakan dan juga: intrik, yang pada akhirnya, bagi penjajah, proses tersebut; “bagaikan menunggu buah yang hampir matang dan dengan kesabaran maka panen akan dipetik”. Meskipun demikian, jika ekspansi halus menemui resistensi ataupun penolakan, maka panen apel emas yang telah menguning tersebut, nampaknya, pihak penjajah tidak segan-segan untuk menggunakan bayonetnya (militer) bila situasi memang dianggap tidak memungkinkan.374

372

Lihat Algemeen Handelsblad, tanggal 18 Februari 1891 :Vredelievende annexatiën in Indië. Aneksasi damai tersebut bagi penguasa pribumi, nampaknya lebih sebagai jalan untuk menghindari aneksasi kasar: invasi militer dari pemerintah kolonial, seperti kasus di lanskap Kampar-Kiri diawal abad ke-20. 374 Lihat “Over de onderwerping en ontwikkeling van Sumatra, in verband met eenige vraagstukken van den dag”, tahun 1904 — De geleidelijke onderwerping en ontwikkeling van Sumatra - Colonial Collection (KIT) — Leiden University Libraries 373

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

288

Sementara itu, jikapun timbul penentangan terhadap aneksasi, maka biasanya pembagian wilayah lanskap sebagai produk kolonial – dengan konsekuensi logisnya adalah masuknya modal Eropa yang mendorong perkembangan ekonomi di suatu kawasan jajahan; kondisi yang akan menimbulkan kecemburuan dari yang lainnya - yang otomatis akan membuka matanya sendiri, dan hal ini akan membuat “kait” untuk melindungi otoritas Belanda disana. Proses-proses yang merupakan kharakter dari “devide at impera.” Tentu saja berlakunya politik halus tersebut juga mengingat akan jauh lebih efisien, dapat menghemat ongkos ekspedisi militer yang tentu saja jauh lebih besar dengan resiko yang lebih besar pula. Selain itu, pengalaman yang diperoleh dari perang Aceh, pemerintah kolonial menerapkan semacam perjanjian yang dinamakan “Pernyataan singkat” (korte verklaring) bagi rajaraja pribumi yang wilayahnya dianeksasi, selain pertimbangan efesiensi sebagaimana telah disebutkan, juga jauh lebih efektif dalam mengendalikan lanskap-lanskap jajahan. Dari pihak penguasa pribumi, atau anggota masyarakat lanskap, nampaknya, belum tumbuh pengetahuan ataupun kesadaran akan nasib dan situasi di lanskap lainnya, telah memuluskan kebijakan politik ini, mungkin juga disebabkan faktor terjadinya situasi ketidakpedulian dikalangan rakyat jajahan antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa implementasi “perluasankewenangan” Pemerintah Hindia memiliki cara-cara halus yang diperkenalkan melalui sentuhan para pejabat kolonial dengan suku-suku pribumi. Kadangkadang tetap muncul kesulitan dikalangan para pejabat dari Pantai Barat dan Pantai Timur, pada waktu yang bersamaan mereka saling tidak mengetahui apa-pun, namun, terhadap kepala lanskap, hal yang sama terjadi adalah perlakuan terhadap penguasa pribumi dengan “rasa hormat.” Sering juga terjadi bahwa kepala mereka dalam berhubungan dengan administrasi kolonial tersebut didorong oleh wawasan dan kepentingan bisnis mereka yang diiringi dengan sikap simpati ataupun dengan antipati. Akan tetapi, Pemerintah Hindia berkeyakinan bahwa sepertinya mereka, pemerintah Hindia akan menerima pantulan buah manis dari perdamaian dan ketaatan politik di tanah jajahan, pemerintahan yang dikatakan tercerahkan, yang juga senantiasa memberikan penjelasan tentang kepentingan penduduk pribumi dan peradabannya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

289

Pemerintah penjajah berpendapat, bahwa terhadap suku-suku di pedalaman Sumatera tidak diperlukan sikap yang tergesa-gesa375 atau bahkan mencegah hingga digunakannya aksi kekerasan (militer), meski dalam beberapa kasus ditemukan kekerasan tersebut; jika pendekatan ini macet, ekspedisi militer merupakan jalan keluarnya. Sebagai Contoh negeri-negeri di perbatasan, pemerintah merasa bahwa cukup bagi mereka untuk membangun sesuatu yang lebih baik daripada apa yang dapat dinikmati oleh kalangan penguasa lokal sebagai apa dianggap pemerintah hanya bersumber dari nafsu di dalam diri mereka sendiri dan ketidakmampuan mereka untuk mencapai dorongan yang lebih baik, dan untuk melakukannya diperlukan dukungan dari staf kolonial, dan bagi para penguasa lokal untuk belajar untuk memiliki kepercayaan dan rasa hormat terhadap pemerintah. Bertitiktolak dari hal tersebut, dapat dipastikan bahwa pemerintah Hindia Belanda akan bertindak “bijak” dengan tidak terlalu cepat mengalah pada keinginan lanskap merdeka yang masih berada diluar kekuasaan “rechtstreeksch”-nya; tetapi ketika tampak bahwa keinginan lanskap tersebut yang bertentangan dengan kebijakan penjajah yang ternyata dilakukan dengan sungguh-sungguh dan selalu saja berulang, maka Pemerintah Hindia biasanya akan menganggap tindakan tersebut sebagai suatu sikap ketidaksopanan. Jiika terdapat harapan-harapan yang tidak terpenuhi, dan mungkin berangkat dari harapan dan tindakan lanskap, Pemerintah penjajah berasumsi kondisi tersebut tidak didasari atas suatu kepentingan umum atau cinta tanah air, akan tetapi justru sebaliknya. Sikap penolakan akan dianggap sebagai suatu konsep abstrak yang keluar terlalu jauh dari kenyataan, dan malah sering disebabkan sebagai akibat dorongandorongan kepentingan ekonomi semata penguasa lokal yang akan berakibat penolakan terhadap ekspansi “rechtstreeksch” dari otoritas Belanda di kepulauan Hindia. 376 Bahwa pada tahun 1877, dilakukan penyusunan ulang wilayah pemerintahan Hndia yang menyentuh untuk semua wilayah Sumatera Tengah, yang terbukti bagi Pemerintah Kolonial ini perlu dilakukannya untuk terselenggaranya suatu pemerintahan di Pantai Barat dan Pantai Timur 375

Lihat De uitbreiding van het Nederlandsen gezag in Centraal Sumatra. (1878) Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.104 376Ibid, hal.105 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

290

Sumatra. Sesuai dengan saran dari kepala yang relevan dari pemerintahan penjajah di daerah, menyatakan bahwa entitas yang “akan” menjadi milik lingkaran kewenangan gubernur Pantai Barat Sumatra, meliputi: 1. Lanskap Batak, dengan pengecualian hanya dari mereka yang berbatasan langsung ke Langkat, Deli dan Assahan; 2. lanskap di Kampar: Kampar Kiri dan Kampar Kanan serta anak sungai mereka, dengan pengecualian V Koto dan Pulau Lawan; 3. Distrik Kuantan; 4. IX Kota; 5. Distrik Batang Hari, dan 6. Kerinci. Sementara wilayah dari Residensi Pantai Timur Sumatra, meliputi: 1 . Ini dikecualikan di pedalaman (timur) Battaklanden; 2. Lanskap dari Hulu Sungai Rokan (Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Rokan dan Kunto, yang terakhir terdiri dari Kota Intan dan Kota Lama); 3. V Koto Kampar, dan 4. Pulau Lawan. Apakah dengan demikian secara tegas telah dipertahankan sebelumnya pada kedua pemerintahan yang direkomendasikan kepada daerah yang wilayahnya berdekatan dengan lanskap mereka, tanpa pengetahuan sebelumnya dari pemerintah gubernemen, dan bahkan, kemudian, hasilnya seringkali mutlak dengan persetujuan petugas di lapangan: Kasus negosiasi-aneksasi IX Kota yang ditangani oleh Baron van Hoevell merupakan salah satu contohnya, bahwa kematian wajar sang kontrolir menghentikan upaya diplomasi tersebut. Berikut ini adalah kisah kebijakan Aneksasi Belanda di beberapa lanskap Pedalaman, mulai dari hulu sungai Kampar, hingga Kuantan.

Negara-Negara di Pedalaman Sungai Kampar Negeri-negeri di Pedalaman Sungai Kampar, kita dapat membaginya disini menjadi dua sub besar, yakni Lanskap di sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Lanskap Kampar Kanan terdiri dari Lanskap XII Koto, V Koto Kampar, Tambang dan Kampar; dan kemudian Lanskap Kampar Kiri; Gunung Sahilan, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

291

Rantau Sibayang, Singingi, Logas, Ulu Tase dan Rantau Kampar Kiri. Pertama, kita membahasnya dari aneksasi yang terjadi di Lanskap Kampar Kanan, yang dimulai dari negeri XII-Koto Kampar.

Lanskap XII Koto Kampar Catatan kolonial yang berisi rincian mengenai “Kampar landen”377, lebih khusus adalah apa yang disebut dengan XII Koto Kampar, yang dapat ditelusuri dari utara melalui pedesaan Tapung (wilayah Siak), barat dan timur dengan bagian lain dari batas Kampar, yaitu VI Kota Glugur dan V Kota, dan arah selatan melalui pedesaan Pangkalan Kota Baru dan Pemerintahan distrik Kapur nan Sembilan (Dataran Tinggi Padang). XII Koto Kampar di tahun 1844, ketika dua kepala utamanya mengajukan suatu penawaran atas negeri mereka sebagaimana yang terjadi sebelumnya dengan Kapur nan Sembilan, dapat dilaksanakan di bawah kewenangan pemerintah Kolonial. Pengajuan mereka kepada pemerintah gubernemen yang kemudian diadopsi oleh Residen Dataran Tinggi Padang: dimana perwakilan Pemerintah Payakumbuh ditunjuk sebagai otoritas tempat mereka bergabung. Kampar, selain tergabung di dalam negeri Dataran Tinggi Padang (XII Koto Kampar dan VI Pangkalan Kota), termasuk juga Lanskap VI Kota Glugur dan lanskap merdeka Pangkalan Kapas, Pangkalan Sari dan Pangkalan Indawang. Lanskap pertama dikunjungi oleh Gubernur pada Tahun 1845 maka segera pemerintahan sipil ditempatkan di Puar datar (Dataran Tinggi Padang), setelah tiga orang kepala dari dari enam Kampong asli (Glugur, Tanjung Jajaran dan Kota Tengah) telah menetapkan sendiri otoritasnya. Tidak lama kemudian tepatnya ditahun 1846 tiga Kepala Kampong asli lainnya (Kota Pandjang, Sungei Lolo dan Muara) juga 377

Diketahui bahwa Kampar landen (Negeri-negeri Kampar) adalah lanskap yang terletak di sepanjang tepi sungai Kampar dengan bagian hulunya yang dibentuk oleh sungai Kampar Kanandan Kampar kiri, sementara sungai Kampar Besar diarah hilir ditemukan Lanskap Poeloe Lawan di pantai timur arah ke laut. Rinciannya, diberikan oleh laporan pada wilayah pedalaman dari Kamparlanden, diambil dari laporan kunjungan Residen Dataran Tinggi Padang pada tahun 1875 ke wilayah Lanskap.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

292

melakukan hal yang sama. Pemerintah Hindia mencatat bahwa beberapa kali XII Koto Kampar dilindungi oleh pasukan dari distrik pemerintah terhadap serangan sekelompok orang dari daerah lain, terutama dari V Kota. Meskipun demikian, jika lanskap tersebut tidak memiliki proposal integrasi, tidak ada konsekuensi selain dari pengangkatan saudagar dari Payakumbuh guna memfasilitasi perdagangan terutama dalam hubungannya dengan XII Kota Kampar – yang dilakukan pada November 1846. Sejak saat itu tampak bahwa intervensi Pemerintah akan berkembang secara bertahap, tetapi dalam bagian akhir di tahun 1847 dilakukan perubahan wawasan manajemen sebagai upaya pemerintah untuk membuat jalan bagi sistem pantang hingga tahun 1850. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Hindia nampaknya kemudian berniat menetapkan Kamparlanden dalam sebuah hubungan yang baru. Sebuah komisi pemimpin pribumi dari Dataran Tinggi Padang ditugaskan ke daerah tersebut, klausa yang biasanya dimasukkan dalam akta dimana pemerintah dapat mengambil suatu kesimpulan, dan nampaknya masih terdapat keraguan tentang sikap kepala dan masyarakatnya di XII Kota. Dan memang nampaknya Pemerintah Hindia mempersiapkan kondisi tertentu untuk suatu partisipasi dan kepala pun berulang kali bersaksi yang isinya tidak lebih daripada konteks mereka dalam pemerintahan Hindia. Sementara disisi lainnya, tanggal 26 Januari 1859 di suatu tempat paling utama: Moeara Takoes, diselenggarakan suatu rapat umum, yang juga dihadiri oleh perwakilan dari daerah lainnya (para kepala Kampung) dari seluruh Kampar, yang ditegaskan dengan pengambilan sumpah kepada Pemerintah Hindia. 378

378

Pada tahun yang sama (1859) sebuah komite pribumi dari berbagai negeri di Pemerintahan Pantai Barat Sumatra diutus ke Kampar untuk mengambil kesimpulan tentang hubungan mereka dengan pemerintah. Adapun kemudian ditemukan masih tersisa, bahwa belum dilakukan kunjungan terhadap salah satu kepala Lanskap kampar kiri, karena seluruhnya telah berjumpa dengan panitia di V Koto dan sebatas pengetahuan mereka bahwa di Kampar Kiri tidak ada menunggu yang lainnya. Adapun kemudian pimpinan Kampar memberikan kepada pemerintah Hindia suatu alasan simpatik tentang sikap V Koto, dalam satu dokumen, yang bertempat di Muara Takus bertanggal 6 Maret 1859, disebutkan bahwa daerah tersebut merupakan bagian dari Federasi Kampar, dengan demikian perlu untuk dipertimbangkan. Hubungan belum berjalan hingga pada tahun 1876, menunjukkan adanya suatu kunjungan pejabat di V Koto, setidaknya yang berasal dari Pantai Barat, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

293

Berbeda dengan VI Kota Glugur yang membutuhkan perhatian lebih, Sejak saat itu hingga 1875, pemerintah menganggapnya sebagai “mengundurkan diri” dari bahagian negeri Kampar. Lanskap ini disebut juga dengan “KamparKiri,” yang menurut pejabat Kolonial, dalan kurunisasi waktu tersebut, masih sangat kurang diperoleh gambaran dan informasi mengenai batas-batas kewilayahannya secara jelas. Pada pemeriksaan lebih detail, bagaimanapun juga pemerintah Hindia nampaknya berpikir untuk lebih baik melakukan pemilihan kepala dan hal lainnya di Kamparlanden, dan untuk membangun wilayah mereka di bawah kewenangan langsung pemerintah Hindia. Hal ini dapat diterima, namun pada Mei 1860 pemerintahan Dataran Tinggi Padang, terus berupaya dengan memberikan saran, masukan juga nasehat kepada para pemimpin dan orang-orang dari negeri-negeri yang untuk atau yang terhubung dengan otoritas Belanda . Dalam surat-surat yang selanjutnya dikirim oleh Residen ke daerah-daerah, kepala-kepala itu selalu didorong untuk memperluas pertaniannya, terutama beras dan kopi, pembangunan jalan dan bekerja bersama-sama dengan tanggungan mereka untuk kepentingan pengembangan kemakmuran di negeri ini. Biasanya datang ke pada mereka surat-surat jawaban bahwa mereka akan menerima petunjuk dan saran, tapi terdapat satu hal yang masih dipertimbangkan tentang kedaulatan Pemerintah dan keinginan pembentukan satu atau lebih pejabat Eropa. Keinginan ini juga diungkapkan lagi pada bulan Juli 1875, ketika Residen Dataran Tinggi Padang, disertai dengan Kontrolir dan beberapa kepala laras di distrik pemerintah, mengunjungi XII Koto Kampar. Para kepala kemudian menyatakan bahwa wilayah itu sudah dianggap sebagai bagian mereka, sebagai ketergantungan kepada pemerintah dan kemudian dikenang, saat pengambilan sumpah pengajuan dan kesetiaan, pada tahun 1859 yang telah dibuat oleh mereka. Pada kali pertama, pemerintahan kolonial tampaknya memiliki janji bahwa dengan posisinya sebagai pemegang pertama dari pemerintahan peribumi Puar Datar yang harus disetujui oleh Gubernur. Karenanya di XII Kota Kampar, salah satu pemenuhannya adalah tetap diaturnya hubungan dengan Penghulu Kepala. Penunjukan ini didasarkan pada kepala, Datuk di Balei dari Muara Takus, awalnya hanya di Tungku nan Tiga waardigheidbekleedende” dari pucuk bulek (penjaga adat); tapi karena bergabung dengan aliansi ini VII Kota Ilir, tersebut juga memperoleh supremasi atas daerah itu, atau setidaknya itu adalah kontak pertama Hindia dengan XII Kota Kampar, yang diberikan oleh dewan Hindia pada saat itu. Pada tahun 1858 di XII Koto Kampar, terdapat upaya RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

294

pemerintah Hindia dalam bentuk saran dan petunjuk tertulis mengenai batas-batas lebih ke timur di cekungan Kampar Kiri, biasanya Pangkalan Kota Baru atau disebut juga VI Kota Pangkalan. Di utara berbatasan dengan XII Koto Kampar, ditetapkan batas barat pedesaan dan selatan ke distrik-distrik Pemerintah Kapur nan Sembilan, Mungkar dan Sarilamah (Dataran Tinggi Padang) dan di timur dengan negeri-negeri PangKalan di cekungan Kampar Kiri.

V Koto Kampar, Tambang, Terantang dan Kampar Sebagian besar daerah tangkapan air di wilayah pedalaman dari Kampar Kanan, hingga tahun 1880-an oleh Pemerintah penjajah “dianggap” sudah menjadi bahagian dari pemerintah Residensi Dataran tinggi Padang. Adapun wilayah V Kota, yang meluas ke timur dari daerah ini, sudah terjadi beberapa kali dan terakhir pada tahun 1875, seperti disebutkan di pedalaman dalam lingkup bahagian barat dari negeri-negeri Kampar; bahwa mayoritas dari mereka diketahui berposisi benar-benar menolak untuk bersentuhan dengan pihak asing, setidaknya dengan pemerintahan Pantai Barat. Selain itu, faktor lokasi dan kepentingan komersial, bagaimanapun juga, dengan asal dan bentuk pemerintahan, nampaknya bagi pemerintah Penjajah; V Koto Kampar lebih cenderung berhubungan dengan Pantai Timur, dan pada tahun 1865, ketika kepala lanskap ini memiliki satu pertemuan dengan Sulthan Siak dengan kerajaan mereka, dalam satu dokumen di Pekanbaru bertanggal 22 Desember 1865, dibangun kembali hubungan yang bersumber dari hubungan lama yang sudah ada, memberikan gabungan Datuk V Kota untuk berdiri didalam suatu keinginan hubungan persahabatan dengan Residen Riouw, yang selanjutnya juga berada di bawah wilayah Siak. Sejak tahun 1875, pemerintah Belanda nampaknya telah memprediksi bahwa V Koto Kampar, menjadi “tergoda” untuk bergabung dengan pemerintah Hindia. Lanskap V Koto Kampar terletak di aliran sungai Kampar Kanan disepanjang kedua tepiannya. Memiliki pemerintahan yang terletak di tangan lima kepala kampung: Kuwo, Lulo ( juga disebut Salok atau salo), Bangkinang, Air Tiris dan Rumbio (juga disebut Rambio atau Rembio) yang bersama-sama disebut " Datuk - Datuk nan lima. Realitas menunjukkan terdapatnya pemerintahan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

295

oleh rakyatnya sendiri, segalanya harus dikonsultasikan bersama terutama pada setiap masalah penting apapun dan ditandai oleh rasa kuat kemandirian dan juga ketidaksukaan mereka terhadap pengaruh asing. Lebih jauh Pemerintah mencatat, bahwa disini beberapa aturan mengacu pada apa yang terdapat didalam Alquran, yang menunjukkan bahwa para ulama cukup memiliki pengaruh atas lanskap. Kemudian para pedagang (Náchoda) termasuk yang paling banyak telah menunaikan ibadah haji, dan mereka merupakan kelas yang paling berpengaruh, dikatakan bahwa merekalah kelas masyarakat yang membuat berbagai aturan di lanskap tersebut. 379 Pertanian, meski bukan sumber mata pencaharian utama, dikatakan bahwa tengah berada pada puncak perkembangannya, terutama hubungannya dengan Siak dan Pelalawan. Perdagangan ini terutama didorong dari Dataran tinggi Padang, di mana wilayah ini merupakan alur perdagangan beras dengan negeri-negeri di semenanjung, termasuk juga dengan Singapura. Khusus Singapura, maka jalur perdagangan menggunakan transportasi melalui Sungai Siak. Rute perdagangan tersebut, yang jauh lebih baik digunakan untuk Pengiriman, akan tetapi memiliki kelemahan bahwa harus dilakukan pemindahan pengangkutan barang untuk mencapai pelabuhan Pekanbaru (Siak). Meskipun demikian, secara umum dapat dipastikan bahwa terdapat kemakmuran di lanskap V Koto. Kerajaan Siak dalam konteks politik tertentu, dalam hal ini Sultan Siak, dapat menjalankan wewenang tradisionalnya terhadap V Koto. Menurut tradisi kuno, Sultan Siak memiliki hak untuk memanggil Datuk nan lima tersebut dalam rangka perundingan untuk kepentingan bersama: Sultan Siak telah menggunakan hak ini sekali, yaitu pada tahun 1866, dimana berdasarkan panggilannya tersebut, bahkan seluruh kepala V Koto hadir ke Pekanbaru. Mereka juga diharuskan memberikan suatu usaha semaksimal mungkin untuk memfasilitasi perdagangan dengan kerajaan siak, dimana penduduk dan pedagang sebenarnya lebih suka menanggung rute perdagangan mereka sendiri, akan tetapi, Siak mengambil alihnya. Untuk 379

KV: 1876.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

296

memenuhi “hak tradisional” ini, maka sultan menerima untuk satu tahunan “pemasukan” sejumlah 100 dolar dari kepala V Koto. Perbandingan kekuatan dari V Koto yang terletak di sungai Kampar kanan dimana juga berdiri kenegerian Kampar, Tambang dan Terantang, menunjukkan terdapatnya satu negeri yang kuat dengan tetangganya yang lebih lemah. Selain itu, meskipun masing-masing kenegerian dengan sendirinya dibawah seorang kepala, namun mereka terkait satu sama lainnya; bahwa negeri-negeri ini sangat luas, dan biasanya juga mereka bertindak sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dari V Koto. Akan tetapi disebabkan posisi V Koto yang letaknya dipedalaman, dan oleh karena itu keberadaan masyarakat di sepanjang sungai bisa jadi menyulitkan arus pedagang, maka berdasarkan hal tersebut adalah biasa terjadi bahwa para perahu pedagang – termasuk perahu pedagang dari V Koto -memberikan sedikit hadiah kepada para kepala lanskap yang dilewatinya ketika menjalankan usahanya tersebut. Lanskap V Koto tidak memiliki hubungan politik dengan Pulu Lawan. Meskipun demikian, tetap ada jalinan hubungan antar keduanya: seperti berkaitan dengan penghasilan yang diperoleh Datuk Nan Lima yang memilih untuk tidak bersinggungan dengan pemerintahan Pulu Lawan. Mereka hanya mengambil rute perdagangan di sepanjang Sungai Siak, meski upaya itu selalu ada dengan pemberian hadiah dan sebaliknya, hal yang dilakukan untuk memastikan persahabatan dari mereka.

Ketegangan antara V Koto Kampar - Belanda Bahwa hubungan antara V Koto Kampar dengan Pemerintah Hindia memiliki sejarah panjang yang nampaknya sarat dengan ketegangan – bahwa V Koto tidak ingin bersinggungan ataupun berhubungan dengan pihak Hindia Belanda; Sebagaimana diberitakan bahwa pada tahun 1849 ketika terjadi penyerahan sebahagian wilayah pedalaman Kampar dengan Hindia, pemerintah Hindia menyampaikan surat penawaran kepada V Koto dengan hasil akhir tiadanya jawaban yang diberikan oleh V Koto; kemudian pada tahun 1854 bahwa terdapat keluhan dari pedagang di kawasan Hindia yang terletak di pedalaman Sungai Kampar – bahwa pemerintah memandang perahu dagang mereka di tahan secara illegal oleh pihak V Koto; bahwa penjajah juga diberitakan “menahan-diri” untuk tidak mengambil tindakan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

297

sebab aksi itu terjadi di kawasan merdeka V Koto – dan lebih jauh lagi, Hindia menunggu hingga terdapat aksi dari V Koto hingga di wilayah perbatasan yang ternyata tidak terjadi suatu gerakan apapun juga. Pada kurun tahun 1859, kembali diulangi surat penawaran oleh Hindia yang lagi-lagi tidak dijawab oleh V Koto; Pada tahun 1865 bahwa seorang utusan asisten Residen Riau dicegah untuk bepergian ke wilayah V Koto dan pemerintah mendengar informasi bahwa pihak V Koto bertekad untuk tidak membiarkan keberadaan orang Eropa di wilayahnya; Pada tahun 1875 adalah peristiwa penolakan Residen Padangsche Boven Landen; Hingga kemudian di tahun 1884, bahwa pemerintahan di perbatasan V Koto mengirimkan surat yang meminta V Kota berartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan wabah yang terjadi saat itu, akan tetapi melalui jawaban singkat V Koto menolaknya 380; hingga puncaknya ditahun 1899 dengan terbunuhnya seorang Insinyur pertambangan - Clifford di Pulau gadang di perbatasan V Koto. Berikut ini adalah kisah tentang penolakan V Koto terhadap kunjungan Residen Padangsche Boven landen di tahun 1875: Sementara itu pada tahun 1875, terdapat berita dari Pejabat di Pantai Timur Sumatra tentang adanya “gejolak” di lanskap V Koto. Bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kepala Pangkalan Kota Baru telah berulang kali menunjukkan keinginan mereka untuk bergabung dalam otoritas administrasi Hindia tepatnya di Pantai Barat Sumatera, dan dikatakan oleh mereka, bahwa telah berulang kali diyakinkan kepada pihak berwenang tentang adanya disposisi yang sama dengan lanskap V-Koto. Hindia mencatat; Kali pertama adalah pada tahun 1872, sebagaimana berita yang disampaikan oleh kepala Jaksa Padang yang telah melakukan kontak dengan kepala V Koto (Lihat Koloniaal Verslag tahun 1873, hal.14); dan pada tahun 1871 oleh seorang pedagang pribumi yang terkenal, kembali dari lanskap menuju Padangsche Boven Landen, ia menunjukkan bahwa satu per satu para kepala dari Kuwo, Lulo(sallo) dan Bangkinang melakukan penandatangan surat, menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk menjalin hubungan dengan pejabat Hindia. Dengan maksud untuk beberapa hal, dan berkaitan dengan kewenangan gubernur Pantai Barat Sumatra: pada tahun 1873 dan 1874 Pemerintah 380

“De Inlijving der V Kota”, dalam Algemeen Handelsblad, 12 Maret 1903.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

298

Pantai Barat memandang bahwa nampaknya telah tiba waktunya terhadap lanskap tersebut dilakukannya suatu kunjungan dari pejabat Pemerintah Hindia Belanda. Pada Bulan Juli 1875, berlangsung kunjungan pertama Residen Padangsche Bovenlanden ke Pangkalan Kota Baru. Kemudian dari sana, yaitu dari Muara Mahi, residen menulis surat yang sama terhadap lima kepala dari V Koto, bahwa ia datang sebagai tamu yang diundang untuk menyelesaikan persoalan mereka; seperti yang terlihat dalam surat tahun 1874: sebuah permintaan, mengundangnya (residen) untuk datang ke Muara – Mahi, dan bahwa mereka dengan senang hati menginginkan kampungnya dikunjungi pejabat Hindia: dengan adanya jaminan dari kepala pribumi untuk menuju V Koto. Residen, dengan bersemangat ia melakukan persiapan untuk sebuah tur dan melakukan penelitian atas penduduk dikawasan tersebut. Akan tetapi sebelum keberangkatannya dari Fort de Kock - beberapa jam setelah surat-surat itu turun, di Muara Mahi, ternyata diberitakan bahwa penduduk telah melakukan persiapan untuk menentang kedatangan residen, bahkan dengan kekerasan. berita yang beredar tentang residen, bahwa sang residen dengan membawa sejumlah 60 orang tentara, tanpa formalitas ingin lebih jauh memasuki lanskap V Koto Kampar. Sementara itu pembawa surat dari residen diterima dengan baik di V Koto. Para Kepala menyatakan bahwa segala sesuatunya harus secara kolektif diputuskan dan mereka akan mengirimkan jawabannya. Sementara kabar lainnya menginformasikan bahwa pertahanan batas kampung-Kuwo telah diperkuat. Dalam satu surat yang ditujukan kepada para kepala V Koto Kampar secara kolektif, dituliskan bahwa sang residen masih menunggu beberapa hari untuk jawaban mereka, tetapi ia akan segera kembali ke Padang Dataran tinggi jika tidak ada terdengar kabar dari mereka. Surat tersebut dikirimkan menuju Kuo, dan utusan kembali dengan berita bahwa ternyata mereka benar-benar memperkuat pertahanannya disana. ketika dua hari telah berlalu, residen diperingatkan oleh salah satu dari lima kepala, bahwa mereka secara bersama-sama telah memutuskan untuk menyerang ke Muara Mahi. Untuk menghindari konflik senjata, sang Residen yang memang sedang dalam suatu perjalanan kunjungan dan bukan untuk berperang, Segera meninggalkan Muara Mahi di mana disana ia tidak menemui gangguan selain dari terdengarnya suara di V Koto Kampar yang tidak menguntungkan posisinya. Desas-desus tersebar di lanskap tersebut bahwa residen telah mengambil jalan melalui Tapung (Siak) untuk menembus dari arah sana, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

299

dengan demikian kepala V Koto Kampar mengambil langkah-langkah untuk mengamankan batas-batasnya dengan wilayah Siak. Ketika berita itu sampai ke Residen Pantai Timur Sumatra, Segera Kontrolir Siak dikirim ke negerinegeri di pedalaman, dengan mengikutsertakan didalamnya rijkbestuurder dengan suatu konsekuensi kekuatan bersenjata, atau dengan kata lain melibatkan negeri-negeri dalam urusan tersebut. Hasil dari Investigasi pemerintah Pantai Timur menunjukkan, bahwa gerakan diperbatasan tersebut, seluruhnya memang muncul sebagai akibat dari perjalanan Residen Dataran tinggi Padang, dan akhirnya perdamaian dan ketenangan kembali ke lanskap, ketika diperoleh jaminan bahwa perjalanan residen tersebut telah berakhir. Pemerintah mengklaim, bahwa telah terbukti pergerakan yang terjadi di V Koto Kampar dan menuduh Haji Ismael sebagai penghasutnya, dimana penjelasan ini dibangun atas informasi yang diberikan dari para matamata, akan tetapi Pemerintah Hndia sendiri, dibawah berita yang diterima dari berbagai pihak, berada dalam posisi ragu-ragu atas apa yang sebenarnya telah terjadi, bahwa berita tentang adanya suatu pemungutan suara di V Koto untuk penunjukan otoritas Pantai Barat - sebagai suatu informasi yang diberikan oleh orang pribumi kepada pihak Hindia ternyata kurang akurat. Meskipun demikian, Belanda menganggap ini bukan berarti para kepala di V Koto Kampar benar-benar bermusuhan dengan otoritas Belanda; Sebaliknya terbukti pada tahun 1865, ketika ia menyatakan pada sebuah akta tertulis untuk mempertimbangkan terkait dengan Siak, atau di bawah Siak, dengan Pemerintah Hindia Belanda didalamnya. Walau begitu, V Koto Kampar tetap menolak untuk bersentuhan dengan Pemerintahan Pantai Barat; Awalnya, terdapat keyakinan adanya hubungan antara pelaksanaan V-Koto Kampar dan Kota Intan, ternyata asumsi ini terbukti keliru. Ketika langkahlangkah pertumbuhan yang lebih kuat terhadap Kota lntan diputuskan, tidak menimbulkan kekuatiran di V Koto Kampar, kabar dari Datuk nan lima dan suara terhadap Siak, tetaplah kabar yang menguntungkan.

Ekspedisi Militer Belanda Terhadap V Koto Kampar Diberitakan pada sekitar tanggal 5-6 April 1899, telah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh sejumlah pribumi (diperkirakan 14-20 orang) dari Bangkinang ke batas wilayah Hindia – Pantai Barat Sumatra - disekitar Pulau RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

300

Gadang, dimana seorang insinyur pertambangan dari perusahaan eksplorasi, E.Clifford, terbunuh.381 Pada awalnya, Pemerintah Hindia tidak yakin siapa sebenarnya pelaku penyerangan dan pembunuhan tersebut; hanya asumsiasumsi bahwa di wilayah perbatasan selalu terdapat para pelarian; disertir mantan narapidana yang bersembunyi disana – sehingga kawasan diluar wilayah Hindia seringkali dianggap tidak aman. Namun selanjutnya, pemerintah mengklaim bahwa mereka memiliki bukti-bukti meyakinkan yang dikatakan diperoleh setelah melalui penyelidikan dengan hasil yang menunjukkan, hal tersebut terjadi dengan sepengetahuan seluruh kepala V Koto Kampar - setidaknya sebahagian atau juga dengan sepersetujuan mereka.382 Nampaknya, hal ini menyebabkan Belanda bereaksi dan kemudian memutuskan untuk menaklukkan lanskap V Kota Kampar. Bagi pemerintah Hindia sendiri, “perampokan” yang telah terjadi dipastikan akan mendorong gerak pasukan penjajah ke perbatasan dengan satu tujuan untuk mengait V Koto Kampar menjadi bahagian Hindia, yang tentunya dengan disertai ancaman hukuman jika mereka mungkin saja menolak untuk mematuhinya. 383 Nampaknya, kasus pembunuhan Clifford inilah yang menjadi alasan pembenaran bagi kebijakan aneksasi atas wilayah V Koto Kampar. Pemerintah Hindia, diparuh kedua bulan Juli 1899, untuk alasan keamanan, melakukan penempatan pasukan di perbatasan Pulau Gadang – yang terdiri dari beberapa kekuatan militer; satu kesatuan infantri dari Padang dan juga dari Magelang, yang dikirim bersama dengan satu seksi telegraf. Yang terakhir ini, untuk menghubungkan sesama pos, terutama pos di pemerintahan Kota Baru (ibukota onderatdeeling Pangkallan Kota Baru dan XII Kota Kampar) jaringan telegraf itu nampaknya segera siap untuk digunakan di bawah

381

Lihat 20ste VERGADERING. — 22 NOVEMBER 1899. 4. Vaststelling der begrooting van Nederlandsch-Indië voor het dienstjaar 1900. (Algemeene beraadslaging.), TWEEDE KAMER vel III, hal. 417. 382 Bahwa dikatakan oleh Pemerintah telah terjadi pertemuan rahasia yang diprakarsai oleh Datoek V Kotta untuk merencanakan hal tersebut, dan pemerintah juga meyakini bahwa terbunuhnya Clifford juga dilandasai hal-hal politis; selain itu, bahwa realita V Kotta memiliki hubungan yang dekat dengan Pantai Barat Sumatra, memungkinkan untuk diintegrasikan kesana dan segala biaya yang mungkin ada akan tertutupi dengan kondisi sumber daya yang dimiliki oleh wilayah V Kotta” lihat de De Moordzaak Clifford” (Pembunuhan Clifford), Sumatra Courant, tanggal 24 Mei 1899. 383 Dalam Koloniaal verslag 1900. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

301

kepemimpinan pemerintahan Payakumbuh, yang tidak lain didirikan untuk kepentingan asisten residen afdeeling L Koto(50 Koto). Sebagaimana diketahui, bahwa V koto dicanangkan menjadi bahagian dari lingkaran kewenangan Pantai Timur; akan tetapi sebuah resistensi atas kebijakan tersebut; peristiwa penolakan oleh Datuk V Koto terhadap permintaan Sultan Siak untuk pembukaan tambang Timah China di wilayahnya384. Bagi Pemerintah kolonial, ini sebuah pembangkangan atau sikap ketidaksopanan, dan nampaknya sikap V Kota tersebut, menyebabkan tidak terelak lagi untuk turunnya sebuah ekspedisi militer yang didatangkan dari arah barat melalui Teratak Buluh. Selain itu, satu pasukan dari Keresidenan Riouw telah tiba melalui sungai Siak di Pekanbaru, yang dikatakan untuk melakukan antisipasi situasi. Sementara itu, detasemen kedua tiba dilokasi tujuan dibulan Agustus, pasukan lainnya pada tanggal 23 di bulan itu juga yang kemudian segera menggabungkan diri dan bergerak menuju Pulau Gadang. Disana, beberapa hari kemudian perlawanan dapat ditaklukkan. Sebelum perbatasan, kepala Kuwo, menemui pasukan untuk menawarkan pengajuan penyerahan mereka. Hari berikutnya, kepala Salo dan Bangkinang juga datang ke sana untuk menawarkan pengajuannya. Pada malam tanggal 27 Agustus, satu patroli pasukan dibawah pimpinan Kapten Jielef dan Letnan Pieper yang dikirim menuju Bangkinang, terutama untuk mencoba menangkap pembunuh Clifford, akan tetapi, nampaknya mereka tidak sepenuhnya sukses dalam melaksanakan misinya. Dalam penyergapan tersebut, tersangka utama, “Pa Mardjan”385 berhasil lolos dan melarikan diri menuju lanskap merdeka, Kampar Kiri. Namun beberapa “penghasut” ditangkap, termasuk kepala Pucuk dan sepasang dubalang Bangkinang: salah seorang dubalang itu, Tubano; terjadi pergulatan dengan senjata ditangannya ketika dilakukan penangkapan oleh pasukan Belanda

384

Dalam Koloniaal verslag 1878, hal.18 “PA MARDJAN” adalah seorang tokoh asal Soerabaja, yang menikah dengan seorang putri dari tokoh di V koto Kampar; Pemerintah Hindia melihatnya sebagai sosok yang berbahaya – bahwa ia dituduh telah melakukan penghasutan untuk melakukan pembunuhan tersebut. Ia berhasil lolos dari penyergapan di V Koto Kampar dan melarikan diri ke Kampar Kiri, kemudian ke Kuantan hingga sepasukan patroli Belanda akhirnya berhasil menyergap dan menembaknya mati di sana di tahun 1910. 385

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

302

dirumahnya.386 Dalam beberapa penggeledahan yang dilakukan di Salo dan Bangkinang, patroli menemukan beberapa barang yang dikatakan terindikasi sebagai properti milik Clifford, seperti; dompet, kertas-kertas dan alat-alat pertambangan. Tanggal 29 Agustus dua kelompok pasukan menuju Air-Tiris, dimana sebelumnya, militer melakukan kunjungan ke Rumbio. Laporan Kolonial tahun 1900 menyebutkan, bahwa dimanapun gerak pasukan Hindia tidak menemui hambatan. Tanggal 30 Augustus, dari Rumbio barisan militer kembali ke Bangkinang, dimana di era kedepannya, di Bangkinang ditempatkan salah satu pos militer belanda disana. Pada malam 31 Agustus, berlangsung pertemuan antara komandan ekspedisi, asisten residen Limapuluh Koto, penguasa V Koto Kampar, dimana hadir juga Raja dari timur V Koto, lanskap Kampar beserta tetangganya; Raja Tambang dan Terantang, (Tambang-Terantang, seperti halnya lanskap Kampar, meskipun mereka lanskap merdeka, secara tradisional memiliki ikatan sejarah dan berhubungan dekat dengan V Koto). Tanggal 1 September, asisten residen dengan kepala pucuk V Koto Kampar dan raja-raja dari Kampar, Tambang dan Tarantang menuju Pulau Gadang, sementara itu juga menunggu kedatangan Gubernur Pantai Barat Sumatra untuk pengajuan penyerahan, yang nampaknya akan dilakukan di Bangkinang. Tanggal 3 Saptember, adalah hari di mana Gubernur Pantai Barat Sumatra menuju Bangkinang, dan diterima oleh semua penguasa V Koto Kampar. Barisan tentara, parade musik di alun-alun, dan pada momen tersebut

386

TABANO, seperti tokoh lainnya: Boe Larang, Datoek bandara Setti, Doebalang Kaja, adalah tokoh kharismatik yang dipandang memiliki kesaktian yaitu “kekebalan tubuh,” dalam suatu penyergapan dirumahnya pada jam 11 malam, dengan keris ditangannya ia melakukan perlawanan yang juga dibantu isterinya, akan tetapi nampaknya ia berhasil dilumpuhkan dengan bayonet dan klewang: dilihat dalam Buletin Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 9, Nomor 24, tanggal 17 February 1926 — Schetsen Naar Herinneringen van Een Oud Indisch Officer van Gezondheid.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

303

dengan sungguh-sungguh dan secara terbuka para penguasa setempat menawarkan pengajuan mereka kepada Gubernur. Bagi Pemerintah kolonial, ini berarti penguasa pribumi terancam denda adat, “Salah Melanggar,” "bangoen" untuk pembunuhan ($800), memenuhi Pengembalian barang rampasan atau senilai (f6000), juga mengganti kerugian ekstradisi pelaku langsung pembunuhan, juga dikenakan denda seekor kerbau dan 100 gantang beras bagi setiap kampung. Sebagaimana lazimnya peristiwa aneksasi, terdengar lagu kebangsaan dan bendera Belanda dikibarkan. Keesokan harinya, tanggal 4 September, penandatanganan oleh seluruh penguasa lanskap: V Koto Kampar, Kampar dan Tambang yang disertai sumpah penyerahan, dihadapan Gubernur yang mewakili Ratu Belanda. Dapat dipastikan bahwa terjadi sebuah pemandangan yang tidak biasa dimana semuanya terlbat dalam upacara, mendengarkan, dan semuanya segera saja berubah; kemudian dilakukan suatu parade militer, dan penduduk nampaknya dilaporkan terlihat sangat terkesan. Penguasa yang hadir, terutama raja dari Kampar dan Tambang, dua pria besar dengan busana kebesaran yang indah dengan dihiasi emas dan perak. Pertama-tama kepala menyatakan sumpah: sumpah setia kepada Ratu, Gubernur Jenderal, dan lainnya; Kemudian mereka bersumpah yang sesuai dengan ketentuan adat, dengan Alquran di atas kepalanya.387 “Dami Allah, dami Rasoeloellah Djikaloe saja moengkir, diatas tidak berpoetjoek, di bawah tidak beroerat, di tengah di girik koembang, berkat koeraan" Bahwasanya menurut ketentuan dalam adat, dikatakan bahwa jika melanggar sumpah, maka kutukan terbesar tidak hanya akan menimpa dirinya sendiri, melainkan juga keluarga dan keturunannya. Dikatakan bahwa penyerahan 387

Brieven uit de Lima-Kota, Pakan-Bangkinang, 7 September 1899; Lihat juga 20ste VERGADERING. — 22 NOVEMBER 1899. 4. Vaststelling der begrooting van Nederlandsch-Indië voor het dienstjaar 1900. (Algemeene beraadslaging), TWEEDE KAMER vel III, hal. 417, bahwa Pemerintah merasa puas dengan hasil yang diperoleh, ketundukan V Kota Kampar pada politik Imperialis dan Kapitalis Belanda.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

304

berjalan dengan lancar dan begitu sempurna: semua benteng, meriam lila, senjata api dan senjata lainnya diserahkan kepada Pemerintah. Pada hari yang sama, pasukan yang dikomandoi Kapten cornets de Croot beserta tim medis di bawah dokter Ouwehand menuju Kampar dan tambang; arah pasukan selanjutnya beralih ke Rumbio di sepanjang tepi kiri Sungai Kampar. Hari berikutnya adalah koloni yang diikuti oleh gubernur, Mayor Berenschot dan Kapten Kronouer, juga untuk menegakkan ketertiban di Kampar dan Tambang. Aneksasi yang dilakukan hampir tanpa pertumpahan darah, hanya terdapat Insiden dengan dubalang TABANO, kemudian peristiwa di Pulau Gadang tanggal 21 Agustus yakni penembakan terhadap sejumlah orang, dengan hasil sebanyak 21 orang terluka, salah satunya adalah Datuk Paduka Tuwak; penghulu dari Kuwo. Hingga tanggal 10 September bersama-sama dengan komandan pasukan yang membawahi satu detasemen tentara, Asisten Residen, Gubernur mengadakan tur ke seluruh wilayah. Tanggal 11 September, sang Gubernur kembali ke padang. Di Bangkinang - sejak aktifnya perangkat komunikasi telegraph yang terhubung dengan Pulau Gadang, ditempatkan satu kompi infanteri - tetap dalam bentuk detasemen kecil - hingga awal Maret tahun 1900. Sementara Pos-pos militer Pekan Baru dan Taratah Boeloeh melakukan pembersihan sampai pertengahan bulan Oktober. 15-17 September, di bawah dukungan satuan militer, asisten residen Limapuluh Koto juga melakukan kunjungan ke Lanskap Si Belimbing, lanskap Kota-Padang dan Petamuan, disebelah selatan V Koto dimana terletak federasi III Kota Kampar. Dan nampaknya di sekitar sungai Lipai (anak sungai Kampar Kiri) terdeteksi terdapatnya sumber daya timah. Setelah itu diterima di Bangkinang draft pertama tanggal 19 September dari Datuk Sibelimbing dan Kota Padang, kemudian juga dari Petamuan tertanggal 22 September, dalam suatu pernyataan tertulis, antara lain mengenai pengajuan mereka ke otoritas Hindia. Sebagaimana diketahui, pada bulan Juni 1900 oleh Dewan Hindia dikeluarkan kebijakan untuk menyatukan V Koto dengan Kampar, Tambang dan Tarantang dalam lingkaran kewenangan pemerintahan langsung. Sebagai RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

305

konsekuensinya, diperlukan penganggaran dana Hindia untuk pembentukan tertib pemerintahan. Sebagai tindakan awal untuk mengatur pengawasan lanskap, diberikan kepada kontrolir Onderafdeeling Pangkalan Kota Baru dan XII Kota Kampar, yang dalam hubungan pemerintahan tersebut berbasis di Bangkinang. Seperti diketahui bahwa Pakanbaru dan Taratak - Bulu merupakan bahagian yang berhubungan langsung dengan Pantai Timur, maka hubungan antara Pantai Barat dan Pantai Timur menjadi kenyataan. Collone Stoutjesdijk telah melihat wilayah yang terbagi atas Pakanbaru di Sungai Siak dan Teratak - Buluh di Sungai Kampar, sehingga, diantaranya dapat dibangun jalan yang menghubungkan cekungan Kampar dan Sungai Siak. Jadi ini merupakan bagian penting dari rute perdagangan besar antara Pinang, Singapura, Deli, Siak, V Koto, Pangkalan dan Payakumbuh. Realita bahwa V kota dan juga lanskap Kampar dan Tambang terletak di sepanjang tepian Sungai Kampar.

Ekspedisi Negosiasi ke Kampar Kiri Untuk proses pencaplokan atas Lanskap kampar Kiri, nampaknya disini kita perlu untuk menelusuri catatan seorang pejabat Kolonial yang ditugaskan untuk menghimpun informasi yang berkaitan dengan proses perluasan wilayah Hindia atas Lanskap Kampar Kiri. Pejabat tersebut bernama O’Brien388, yang mengemban misi ke pedalaman Sungai Kampar, terutama di cabang Kampar Kiri yang menjelajah hingga wilayah Teso di tahun 1905. Perjalanan yang nampaknya bermula setelah ekspedisi ke V kota di tahun 1899. Kemudian Syekh Abu Bakar; Raja Gunung Sahilan yang terletak di hulu Kampar kiri, baru saja kembali dari Mekah dan singgah di Pulu lawan-sebuah lanskap yang terletak di hilir Sungai Kampar, Tengku Besar bersama Dewan 388

Proses Aneksasi yang diduga telah dimulai beberapa dasawarsa sebelumnya; dengan melihat catatan Netscher tahun 1872 yang menyebutkan adanya kunjungan komite pribumi terhadap lanskap kampar Kiri: kunjungan yang tanpa hasil. Catatan Asisten Residen Solok tahun 1884 yang menyebutkan bahwa kondisi politik dan ekonomi kerajaan di sungai Kampar, terletak di wilayah hulu sungai; Kemudian, ekspedisi tahun 1899 ke V Kota Kampar; juga laporan Asisten Residen Van Velthuysen tahun 1900 yang mencatat informasi tentang lanskap Kampar Kiri. Adapun informasi yang diperlukan pemerintah Kolonial untuk suksesnya aneksasi Kampar Kiri, bersumber dari laporan Kontrolir O'BRIEN, yang dipblikasikan tahun 1906: Rapport omtrent de tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-Landen. Amsterdam, K.N.A.G. hal.939 -957 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

306

kerapatan mendapati bahwa penguasa Gunung Sahilan memilih untuk melakukan penyerahan damai kepada Pemerintah; sehingga dapat terhindar dari adanya invasi militer kolonial, dimana penyerahan tersebut dilakukan kepada pemerintahan Pantai Timur, pilhan sebagaimana berdasarkan kepada kepentingan mereka sendiri. Sebelumnya, Syekh Abu Bakar terlebih dahulu pulang ke Gunung Sahilan, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan pejabat kerajaan lain yang lebih rendah, dan segera kembali ke Pelalawan. Dari Pelalawan, ia melanjutkan surat ke Siak, dengan pertimbangan bahwa kerajaan Siak adalah kerajaan yang lebih besar yang dapat memediasi dalam pengajuan penyerahan tersebut. Nampaknya, gayung bersambut, dimana setelah itu, secara bersama-sama; penguasa Gunung Sahilan dan Sibayang tiba di Siak dimana mereka mengajukan permohonan kepada Sultan Siak untuk ikut serta dalam proses penyerahan damai. Berikut kontraknya, yang bertanggal 27 Februari 1905389: PENGOELOE en IBOEN GELAR DATOE BANDARO van Pangkalan Indaroeng; Si MASALIH GELAR DATOE GADANG en Si KADIK GELAR DATOE TEMENGGOENG van Logas; Si HADJAT GELAR DATOE DJOEROEM van Parit Djawo Tanah Darat; Si BONANG GELAR DATOE MOHAMAD van Pangkalan Bringin (Oeloe Tesso) en Si TOEMBO GELAR DATOE BANDARO MOEDO van Langoeng(Batang Galawan) en TAali vroeger Bandara van Koentoe, allen Datoe's van Goenoeng Sahilan en Onderhoorigheden verklaren bij deze: Ten eerste: dat het gebied van Goenoeng Sahilan een gedeelte uitmaakt van Nederlandsch-Indië en derhalve onder de heer-schappij van Nederland staat. Ten tweede: dat wij mitsdien trouw zullen zijn aan Hare Majesteit de Koningin der Nederlanden en aan Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-lndië als Hoogstderzelver vertegenwoordiger. Ten derde: dat wij zullen nakomen en handhaven alle rogelingen. die met betrekking tot het landschap Goenoeng Sahilan door of namens het Gouvernement of deszelfs vertegenwoordiger, den resident der Oostkust van

389

Dikutip sebagaimana terdapat dalam “Staten Generaal.”

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

307

Sumatra, zullen worden getroffen en in het algemeen alle bevelen zullen opvolgen, die ons door of namens dien vertegenwoordiger zullen worden gegeven. Gedaan te Bengkalis op den 27sten Februari 1905 en opgemaakt in drievoud. Hierstonden stempels, hand-teekeningen en handmerken van den Jamtoean-Besar en de Datoes van het landschap Goenoeng-Sahilan. Deze handteekeningen zijn in onze tegenwoordigheid gesteld en nader bezegeld met een eed volgens de godsdienstige gezind-heid der onderteekenaren, zijnde in den eed begrepen de ver-klaring, dat onderteekenaren bevoegd zijn, door mondelinge machtiging tot verbinding ook van de achtergebleven hoofden.

Sebagaimana terdapat dalam korte verklaring, maka pernyataan singkat diatas juga memuat pokok-pokok tentang kesetiaan kepada Ratu Belanda dan wakilnya di Hindia; Gubernur Jendral, bahwa wilayah lanskap merupakan bahagian Hindia Belanda serta persoalan-persoalan teknis “ketatanegaraan dan kedaulatan”. Sebelum ditindaklanjuti, nampaknya Pemerintah Gubernemen berkepentingan untuk melakukan kunjungan dan penelitian untuk mengatur arah hubungan politik dan ekonomi. Di masa sebelumnya di tahun 1900, Asisten Residen Bengkalis – W.A.Van Velthuysen, telah melakukan kunjungan ke Gunung Sahilan di Sungai Lipai dan Rantau Sibayang, namun tidak dengan wilayah Singingi. Saat itu ditemukan bahwa dengan situasi politik, kawasan Teso tidaklah relevan. Informasi tersebut diperoleh dari petugas yang mengajukan Laporannya. Sekitar tiga tahun kemudian, secara resmi dikunjungilah semua wilayah Kampar Kiri, dan nampaknya telah terbuka wacana tentang penyerahan kawasan tersebut terhadap Pemerintah Hindia. Akan tetapi, negosiasi ini ternyata gagal; pertama, karena faktor penguasa lokal, akibatnya perusahaan Eropa; Blunctschli, melalui intervensi Sultan Siak, menutup kontrak pertambangan, disebabkan tidak dapat memenuhi salah satu persyaratan untuk memeperoleh izin melakukan penyelidikan pertambangan, dan melimpahkan konsesi perkebunan, untuk tidak jatuh ke tangan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, nampaknya perjalanan saat itu mengabaikan kunjungan atas Lanskap Teso dan Singingi. Salah satu yang dapat dikatakan dari situasi politik kawasan Singingi adalah Angku Kuning, Raja Gunung Sahilan dan Tuan gadis dari RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

308

Pagaruyung yang diklaim oleh penjajah tidak bijaksana dalam menganggapi persoalan tersebut. Rantau Singingi yang berada di aliran Sungai Singingi, dipandang pemerintah Kolonial sebagai kawasan “par-exellence,” sebagai akibat konflik dan peperangan-sipil yang terjadi disana. Oleh sebab itu, perjalanan asisten Residen bagi pemerintah kolonial diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan politik terpenting yang terjadi, dimana penguasanya telah mengajukan penawaran kepada Residen. Investigasi menyeluruh atas lanskap Gunung Sahilan, Rantau Sibayang dan Singingi, dan juga lanskap lainnya di Kampar Kiri dalam kaitannya dengan kawasan Pantai Timur, hasilnya akan dilaporkan kepada Gubernur Jendral. Sehingga, di tahun 1905, diutuslah kontrolir O’Brien yang bertanggung jawab atas laporan menyeluruh dari kawasan tersebut. Bermula di Taratak Buluh, tanggal 19 Maret 1905, O’Brien melakukan penelitian atas hukum adat, menghitung penduduk pribumi, kondisi ekonomi, dan nampaknya juga, melakukan penangkapan terhadap 10 orang disertir kerja-paksa. Pada undangan pertama (25 Maret-11 april) nampaknya pertemuan hanya dihadiri oleh; khalipah Kunto, Ujung Bukit dan Batu Sanggan. Kesemua ini berasal dari rantau Sibayang, adapun dari Rantau Singingi, tidak satupun yang menghadirinya. O’Brien, mengaku ia telah menulis-bahkan secara khusus (pribadi) kepada Jelo Sutan dan Haji Bandaro. Berdasarkan kejadian tersebut, segera saja pejabat kontrolir Belanda tersebut memutuskan untuk pertama-tama mengunjungi Rantau Singingi; sebagai daerah kunjungan utama. Dengan dikawal lima orang polisi bersenjata, dilalui rute Lipat Kain, Pulau Patai, hingga Kota Baru. Disana, diundanglah kepala Tanjung Pauh dan Pulau Patai. Akan tetapi, Jelo Sutan dari Muara Lembu, dan Haji Bandaro; Kepala utama Singingi, belum juga nampak hadir, hanya perwakilannya saja yang datang, ini tidak sesuai harapan: O’Brien mengatakan, bahwa setelah ia berhasil menemui mereka, ia mengatakan bahwa ketidakhadirannya disebabkan sakit. Akan tetapi, bagaimanapun juga pihak kolonial menyadari, bahwa tanpa kehadiran penguasa sebenarnya, maka eksplorasi tidak akan dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Tur berlanjut, melalui kebon Lado, meninggalkan Muara Lembu hingga Betung, Pangkalan Indarung, hulu sungai Singingi dimana terdapat banyak batu-batu gunung yang besar. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

309

Pada tanggal 19 April 1905, O’Brien tiba di Logas, kemudian kembali ke Mura Lembu, dan pada perjalanan berkeliling berikutnya, ia ditemani oleh Raja Gunung Sahilan. Pada kesempatan tersebut, dinyatakan oleh sang raja, bahwa wilayah Singingi, berada dibawahnya, dan nampaknya tidak disebutkan olehnya Tuan gadis. O Brioen menulis, bahwa dalam perjalanannya di wilayah Singingi tersebut, dimana-mana ia menemui adanya pengibaran bendera putih: tanda tunduk. Menurutnya, perang-sipil yang terjadi nampaknya telah membuat penduduk merasa sangat ketakutan dan berada dalam kedukaan, dan menurutnya lagi, mereka, penduduk Singingi melihat dirinya bagai seorang “pembebas”. Dalam kunjungannya tersebut, O’Brien menerima banyak keluhan dan harapan akan diperolehnya hak-hak mereka, ia tinggal di Gunung Sahilan selama hampir 20 hari (22 April – 11 Mei), kemudian ia melanjutkan perjalannya ke Sibayang. Tanggal 28 April, terjadi pertemuan dengan Bandaro dari Kunto, Datuk Majo besar, juga Khalipah Ludai dari Bio. Penggalian informasi, mulai dari pengajuan ke Siak tahun 1899, penandatanganan kontrak, politik, hingga perang-sipil di Kunto dan Singingi. Tur dilanjutkan, hingga tanggal 11 Mei, O’Brien bertemu dengan Datuk Juhum, penguasa terkemuka dari wilayah Teso. Diperoleh informasi, bahwa semua wilayah Teso berada dibawahnya, akan tetapi Tanah Darat, dihitung sebagai bahagian dari Kuantan dan rajanya diakui sebagai seorang Pangeran Basarah. Jumat 12 Mei, O’Brien meninggalkan wilayah Sibayang. Singgah di Lipat Kain, di lanskap ini, O’Brien menuturkan bahwa ia menemui adanya semacam “tempayan”, sebagai benda yang dikelilingi oleh tongkat, mangkuk untuk membakar dupa dan potongan kain putih; terdapat cerita tentang kesaktian dari tempayan tersebut. Dari Lipat Kain, terus ke Lubuk Cimpur, Kuntu; menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat disana. Senin 15 Juni, menuju Padang-Sawah, Domo, Ujung Bukit dan Pasir Ramo terus ke Tanjung Balit. 16 Juni, melangkah lebih jauh hingga Batang Bio menuju Kota Lamo. Tanggal 19 Juni, dari Moeara Bio di Sibayang menuju Batu Sanggan; terdapat wabah cacar dibeberapa banjar. Tanggal 23 Mei, tiba kembali di Gunung Sahilan. O’Brien melaporkan, bahwa penyambutan lanskap atas kunjungannya bermacam-macam, seperti; dengan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

310

parade tembakan di Batu Sanggan dan Ludai, dan penyembelihan kerbau di Kuntu, Padang Sawah dan Tanjung Balit. Ekspedisi masih berjalan, tanggal 21 Juni, O’Brien melanjutkan tur ke wilayah Teso, dimana 31 mei lalu, O’Brien mengirimkan tujuh orang prajurit ke Londar Teso. O’Brien disambut dengan parade musik oleh penguasa, sementara itu, Sutan Sinaro telah bergabung. Disini, dikunjungi banjar-banjar seperti Cimpur, Pangkalan Bringin, dan lanskap di hulu Teso; Tanah Darat. Akan tetapi, pada momen tersebut, O’Brien nampaknya tidak berani untuk melanjutkan tur hingga sungai Kuantan, disebutkan bahwa tidak adanya jaminan keselamatan membuatnya kembali menuju Gunung Sahilan. 954 Di Londar, O’Brien bertemu dengan Datuk Pobo, salah satu dari tiga Datuk Tanah Darat. Hasilnya, Datuk Pobo sepakat bahwa Tanah Darat adalah bahagian dari distrik Kuantan dan berada dibawah Raja Basarah. Bahwa realita kampung-kampung Tanah Darat terletak di sisi Sungai Kuantan, berbeda dengan Teso yang berada di cabang dari Kampar Kiri, sehingga dalam konteks tersebut, afiliasi Teso dengan Gunung Sahilan dapat dimengerti; dan Datuk Juhum pada pernyataannya pada pihak Bengkalis, hanya menyatakan Teso, dan tidak dengan Tanah darat. Selain Londar, maka Tanah-Kerajaan langsung berada dibawah Datuk Besar dari negeri Gunung Sahilan. Menurut adat, Datuk Juhum dengan Datuk Besar dari Gunung Sahilan bertali-seperti saudara akan tetapi dengan Raja Gunung Sahilan, Datuk Juhum tidak memiliki hubungan seperti itu. Pada kesempatan itu, Datuk Pobo menyatakan bahwa ia ingin berkonsultasi dengan para kepala Tanah Darat dalam kaitannya dengan misi dan juga untuk memberikan suatu jaminan keselamatan bagi O’Brien, terutama dari Raja Basarah. Menurut Sutan Sinaro di Perhentian Tinggi, berjalan sedikit ke arah utara, terletak Pangkalan Bringin, disanalah terdapat salah seorang yang diduga terlibat atas terbunuhnya Clifford: Pa Marjan, kemenakan dari Datuk Mamat yang dianggap seorang penghasut. Para Kepala menjanjikan bantuannya, dan O’Brien pun memberikan bantuan lima petugas polisi bersenjata, dengan hasilnya: nihil. Nampaknya, buruan telah melarikan diri kembali segera setelah kedatangan Datuk Juhum yang tiba dari Gunung Sahilan dimana O’Brien juga akan kesana. Dengan isteri dan anaknya, buruan tersebut menuju Benai dihulu Sungai Kuantan. O’Brien mengungkapkan hal RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

311

tersebut, “bagai burung yang kembali terbang.” Hal tersebut, menjadi catatan tentang pelaku kejahatan dan narapidana yang melarikan diri dan bertempat tinggal di kawasan merdeka. Kondisi ini, O’Brien juga menyebutnya; seperti seseorang yang tiba di kawasan merdeka terlihat bagai “pulang ke induk semang”; seseorang yang ingin melindungi dan menjaga mereka; dan dapat dimengerti, betapa sulitnya bagi Belanda untuk melakukan pencaharian terhadap orang-orang pelarian di kawasan merdeka.

Rantau Kuantan: Belanda dan Konflik Internal Kuantan Sub-bab ini, berkisah tentang proses yang berkembang menjelang dan hingga terjadinya pencaplokan terhadap Negeri Kuantan. Proses panjang yang melibatkan hingga tiga generasi, dimulai dari era Yang dipertuan nan Putih hingga Raja Hasan, mulai dari diplomasi hingga invasi. Pergulatan, persaingan dan pertarungan antara elit lokal yang bertemu dengan kepentingan kolonial, memuncak di awal abad ke-20, tepatnya di tahun 1905. Ada baiknya kita kembali menyusuri jauh ke belakang, sebuah kisah yang tidak lepas dari negeri tetangga tempat dimana berkobarnya Perang Padri. Dan kali ini, kembali kita banyak dibantu oleh Laporan IJzerman, Kontrolir Schwartz, Kontrolir Twiss, Baron Van Hoevell, O’Brien, Grijzen, catatan Kielstra serta beberapa laporan Kolonial. Sebagaimana telah disampaikan, pertama kali munculnya batas-batas Kuantan adalah pada saat keruntuhan imperium Minangkabau akibat pukulan kuat dari peperangan Padri. Di Tanah Datar, tempat tinggal para pangeran, dalam waktu yang singkat telah terjadi perlawanan terhadap gerakan pembaharuan, akan tetapi gerakan pembaharuan tersebut seolah tidak terbendungkan lagi. Oleh Tuanku Pasaman, pemimpin gerakan baru, pertemuan diadakan di Kota Tengah, kemudian terjadilah pembantaian-berdarah atas kaum pangeran. Tuanku Raja Muning Alam Shah berhasil selamat yang terlihat bagai sebuah keajaiban, dengan cucu di lengannya, ia melarikan diri dari pembantaian itu

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

312

dan kemudian berlindung di Lubuk Jambi di mana ia 390 menghabiskan Waktu dengan mempelajari agama dan juga bagi pendidikan cucunya. Anggota lain dari keluarga kerajaan dan beberapa bangsawan lainnya bergerak menuju Padang, di mana pada tanggal 21 Februari 1821 391 dilakukan perjanjian dengan pihak Belanda. Tentang nasib Raja Muning392 tidak ada disebutkan, hanya pada bulan Agustus 1822 ditemukan keberadaannya di Sijunjung. Komandan pasukan Raaff mengatakan bahwa tidak ada tindakan lebih lanjut dalam kaitannya dengan hal tersebut. Padri di Barat kembali mengancam dan menyerang, selain itu mereka mendirikan markas besarnya di Lintau dan memperluas pengaruh mereka di timur dan utara, hingga tahun 1823 di Lubuk Jambi ditemukan sejumlah 1200 orang kaum Padri. Akan tetapi terjadi kejutan di tahun 1832, dimana di tahun ini juga Lanskap Lintau dan Buo ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda393. Raja di Buo sebagai seorang pemimpin tidak seperti kebanyakan saudaranya yang lain. Kepribadiannya dikenal memiliki kharakter seorang pejuang sejati kaum Padri, memiliki nama baik serta kesalehan beragama. Namun tak lama berselang pecah pemberontakan umum di berbagai belahan pedalaman, dan perwira Elout melakukan penangkapan terhadap beberapa tersangka termasuk terhadap regent (Bupati) Tanah Datar (Yang pituan Hitam Raja Alam), beberapa tokoh dibuang dan ada yang dihukum mati. Raja di Buo, termasuk tokoh yang ikut bergabung dengan gerakan ini. Kuatnya tekanan Belanda dalam menekan Raja di Bua dan pendukungnya berakhir dengan penguasaan kawasan dalam waktu relatif singkat. Pada bulan Mei 1833, Letnan Hendriks memberikan sinyal akan segera terjadinya penyerahan senjata. Para pangeran diasingkan jauh dari negerinya, 394 diduga semangat

390

Stuers mengatakan ke Djambi Vol. I hal 33 Dampak perjanjian ini adalah Belanda menjadikannya sebagai simbol bahwa Kerajaan Pagaruyung menyerah kepada pemerintah Hindia-Belanda, Pemerintah Kolonial mengangkat Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar , lihat dalam G. Kepper, (1900). Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee 392 Hal ini sangat mungkin bahwa ia menggunakan nama lain. 393 Stuers, Inleiding, Vol hal XXIV. 394 Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan, ia dibuang ke Batavia sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua, sumber: Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr. 391

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

313

perlawanan bangkit di tahun 1833, dari Pangkalan Kota Bahru terus berkobar hingga di Lima puluh Koto; kemudian di Sumpur dan melakukan penyerbuan ke Buo di tahun 1834, namun upayanya hanya memperoleh hasil yang tidak berarti. Pemerintah menggambarkan bahwa sang pejuang tersebut begitu putus asanya dan terus mengembara di perbatasan timur, nampaknya juga tidak berhasil mengumpulkan pengikut dalam jumlah yang cukup. Lalu ia melanjutkannya ke benteng Bonjol dengan melakukan tindakan ofensif. Setelah jatuhnya benteng terakhir dan terkuat Padri itu, alhasil teror militer Belanda terhadap semua perlawanan rakyat untuk sementara waktu telah merusak kepercayaan terhadap semua yang dinamakan dengan “kebaikan” dalam kekuasaan yang didirikan oleh Belanda395. Meskipun demikian, diberitakan bahwa pada bulan April 1838, beberapa pedagang menemui Residen Dataran Tinggi Padang; yakni Steinmetz, dengan membawa serta surat alih dari Yang dipertuan Putih, pangeran Kuantan, di mana ia meminta dibukanya suatu hubungan dengan pemerintah Belanda. Gubernur Michael menduga bahwa permintaan ini datang bersamaan juga dengan keinginan Sultan Indragiri, yang dalam waktu bersamaan diberitakan oleh Residen Palembang, mengabarkan bahwa permintaan ini disertai dengan datangnya anak Yang dipertuan. Dia melakukan keduanya secara tertulis menginformasikan kepada Pemerintah dan bertanya tentang pembukaan negosiasi dengan Kwantan dan Indragiri. Persoalan dengan Kerajaan ini (Indragiri) terakhir telah diselesaikan pada bulan September, dan untuk ini adalah sebuah traktat pengakuan kedaulatan Belanda. Akan tetapi untuk Kuantan sebagaimana permintaannya telah diketahui, hingga sejauh itu belum menunjukkan hasil. Yang dipertuan Putih tampaknya berhasil diakui sebagai Raja yang berdaulat; memiliki koneksi ke penguasa baru dari Dataran tinggi Padang yang memberikan dukungan atas otoritasnya. Akan tetapi pada tahun 1843, atas perintah Menteri Baud dilakukan “kebijakan pantang”, yakni menutup hampir semua kontak dengan negara luar bagian timur dari wilayah Pantai Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta. Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas. 395 Nampaknya yang dinamakan dengan “Kebaikan” pemerintah yang tertuang dalam PlakatPanjang, bagi masyarakat hanya sebagai akal-akalan atau strategi belaka dari pemerintah untuk memenangkan perang. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

314

Barat Sumatera. Kondisi ini akan membuatnya lebih mudah untuk memadamkan kobaran api kerusuhan dan perlawanan, akhirnya menjelang akhir tahun 1844 tiba saatnya Pemerintah kolonial melakukan sebuah ekspedisi. Jauh sebelumnya, Jendral Michiels memutuskan untuk melakukan pengasingan bagi kepala dan pendukung mereka yang berada di Aer Angat dan sekitarnya. Di antara para pemimpin tersebut salah satunya adalah adalah Raja di Buo, selain itu juga tercatat telah tertangkap seseorang bernama Raja Hitam, namun pada tahun 1836 Raja Hitam berhasil melarikan diri dari penjara Padang lalu menyamar sebagai anak dari Pangeran Pagaruyung: Yang dipertuan Patah, di kenegrian Aer Angat dan Solok Hamba, pengikutnya terutama dari wilayah pedalaman. Namun sebaliknya pada bulan April tahun berikutnya, diadakan pertemuan baru yang bertempat pada wilayah sekitar Sungei Batung di V kota; Namun Kali ini daerah tersebut tidak dalam konteks untuk melakukan perlawanan, meskipun yang dimaksudkan oleh Letnan Kolonel Sutherland adalah sejauh mungkin membuktikannya dengan datang sendiri dan dilakukannya kontak langsung dengan “kepala sebenarnya” dari Lubuk Jambi dan Kuantan, kemudian membuat perjanjian dan mewajibkan mereka untuk mencegah masuknya para petualang (disebut sebagai para gelandangan-politik) hingga batas wilayah mereka. Konflik masih berlanjut, penaklukan XII Kota dan penangkapan: kepala laras dari Lubuk Tarab, untuk itu telah diusulkan untuk membuat suatu pawai hiburan yang berlebihan. Sementara itu sebahagian besar dari Sungei Batung telah bersatu untuk Pasimpat Durian Tarang, memutuskan untuk berjuang, sisanya tersebar. Sedangkan Beberapa negeri menawarkan penyerahan wilayah mereka. Raja di Buo, selama bertahuntahun sedikit sekali terdengar beritanya; Ia diberitakan mundur ke Muara Lembu, di mana Saudaranya tinggal, disana ia larut dalam kesalehan seorang agamis. Tak lama setelah itu (antara 1845 dan 1849) Yang dipertuan Putih wafat tanpa meninggalkan anak atau kamanakan untuk diwariskan. Tidak ada penggantinya ditunjuk, akan tetapi disebut Yang dipertuan pandak, juga disebut Yang dipertuan Sati atau Sultan Mohamad Isa Mejali, ia bermukim di Pantei di Lubuk Ramo dimana penguasa setempat berpesan jika ia wafat, agar segera pergi ke Kuantan, di mana disana ia akan dikenal dan dihormati. Keadaan tahun-tahun pertama dari pemerintahannya tetap tidak diketahui, hingga di tahun 1864, ketika dari Pantai Barat ditemui sebuah pesan tertulis kepada Raja Muda Riau, bahwa di Kuantan terdapat pemerintahan yang RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

315

berdaulat. Oleh Pemerintah Dataran tinggi Padang segera dilakukan penyelidikan untuk mengetahuinya secara langsung. Pada tahun 1869, Asisten Residen Tanah Datar menerima surat yang ditandatangani oleh Orang nan berlima dan pangeran, yang disebut Raja Besar. Sayangnya. tulisan tersebut menunjukkan maksud yang kurang jelas; sebuah permintaan untuk menetapkan Pemerintahan di Rantau Kuantan. Gubernur Arriens menilai semua yang ditunjukkan tidaklah asli, seperti; tidak memiliki segel Raja Besar dan tanda tangan manual dari Orang Gadang tampaknya dibuat oleh tangan yang sama. Disebabkan penemuan ladang batubara di tepi Oembilin, juga sehubungan dengan ditemukannya hubungan ke Pantai Timur Sumatera, dan ini nampaknya lebih menyentuh kapada Yang dipertuan Pandak dan Raja di Buo. Yang terakhir adalah pada tahun 1861, Gubernur de Brauw menyatakan bahwa permintaan untuk itu harus disampaikan kembali. Permintaan yang tidak pernah diterimanya, sehingga Gubernur Netscher mengatakan dalam makalahnya tentang Sumatera Tengah, bahwa tampaknya jelas dia melakukan apa yang diartikan sebagai tindakan “melawan pemerintah.” Segera saja Gubernur mengirim pesan untuk “membakar” beberapa imam dan kepala Laras di Tanah datar, Agam dan Lima puluh Kota. Bagi Raja di Buo, ini adalah tuduhan yang mungkin saja dapat juga mengandung kebenaran, akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi pada tahun sebelumnya. Tindakan seperti itu sekarang tidak lagi konsisten dengan keinginan hati orang tua mantan raja untuk melihat lagi situsnya, melihat masa mudanya dimana masa awal ia tumbuh dewasa. Bagaimanapun juga, kondisi ini menyebabkan ia dapat saja berubah. Meskipun mungkin ia di dasar hatinya membenci kekuasaan Belanda yang telah mengakhiri kemuliaan kerajaannya, akan tetapi sangat tidak bijaksana jika ia memperlihatkannya disaat tersebut, yang harus dilakukannya adalah memiliki peluang dan hak untuk meminta. Pandangan ini juga didukung oleh pengulangan permohonannya, yang dilakukannya hanya berselang waktu tiga tahun kemudian pada tahun 1864. Anaknya Tuanku Tinggi atau Sutan Hassim, era pertama sesama pengasingan, kemudian kemudian kembali ke Buo, dan beberapa waktu sebagai panghulu Kapala di Lintau mengenakan kepentingan ayahnya. Meskipun ia didukung oleh tiga kepala laras, yang secara pribadi meminta pelaksanaan hak-hak Raja, Gubernur Van Den Bossche nampaknya tetap menolak permintaannya. Untuk itu raja ingin bertemu, dan pemerintah pun menawarkan untuk RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

316

menetap tinggal di Padang. Dengan demikian, Pemerintah Kolonial akan memiliki kesempatan untuk mengamati apakah pertobatannya tulus dan dirinya memiliki apa yang dianggap sebagai tindakan bijaksana. Tawaran ini diterima dan di tahun 1865, Raja di Buo di Padang menyatakan bahwa ia sendiri cenderung menuruti keinginan Pemerintah untuk menyerah. Akan tetapi, dalam perjalanannya kembali ke Muara Lembu di mana ia bertemu dengan kepala laras dari Buo, yang mungkin saja merasa cemburu, Raja di Buo pun dipengaruhi bahwa mereka (Belanda) sebenarnya tidak menginginkan ia untuk kembali. Hal ini membawa Raja di Buo kepada memori akan peristiwa di tahun 1832 yang membuatnya waspada; bahwa ia mungkin bisa saja memiliki nasib yang sama seperti yang dialami kerabatnya yang berasal dari wilayah Tanah Datar yang hidupnya harus berakhir di penjara Batavia. Kecurigaannya menjadi-jadi seperti itu, sehingga ia membatalkan rencananya dan memutuskan untuk tetap berada di Muara Lembu. Sementara itu, segera di bawah pengaruh penemuan Greve, seperti pada tanggal 17 Oktober 1871 kabinet menunjukkan pandangan bahwa perlu untuk mengakhiri era tertutup bagi negeri-negeri merdeka di Sumatra Tengah. Setelah menunjukkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi, diperlukan informasi berupa pengetahuan yang akurat akan kondisi tersebut, Menteri Bosse melanjutkan: Tugas kita, masa depan kita di Sumatera tergantung dari semakin kenalnya kita akan tempat ini, sejarah berdirinya otoritas Belanda di Sumatera itu sendiri memancarkan cahaya, dimana banyak bayangan gelap dalam sejarah pembentukan otoritas Belanda di Kepulauan Hindia telah menghilang... Negara-negara yang pernah porak-poranda oleh perang, perdagangan budak dan penjarahan telah habis, kemudian berkembang oleh pengaruh kita sebagai cara yang telah terlihat, bahwa negara-negara tetangga pribumi sepenuhnya atas inisiatif mereka sendiri berada di bawah perlindungan kekuasaan Pemerintah belanda. Pantai Timur dan Barat seperti sebelumnya yang seolah dipisahkan oleh dinding yang tak dapat ditembus, sebelum akhirnya terjangkau oleh teknologi telegraph, maka tidak semua hanya berupa kegagalan semata, melainkan timbul harapan yang dimungkinkan dengan pembangunan jalan yang baik. Alam dengan kekayaan mineralnya datang membantu, dalam pelaksanaannya tindakan penting terhadap populasi yang berbeda dan berada dalam RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

317

kepentingan kita wewenang menjadi sangat diperlukan, atau lebih tepatnya insentif baru untuk mengambil tindakan tersebut. Diharapkan suatu kebijakan Pemerintah yang aktif, bahwa Sumatera itu sendiri segera dan secara bertahap akan dikembangkan. Tapi pertama-tama kali adalah harus meyakinkan pejabat (pribumi) untuk dipersiapkannya pemerintahan yang baik. Ketidakpastian tidak mungkin ada pada sedikit wilayah di pantai dan pedalaman. 396 Pada tahun 1872 diputuskan untuk mengirim suatu komite ke Kuantan untuk menyelidiki apakah sungai cocok dijakdikan sarana pengangkutan batubara, dan segera ditunjuk insinyur pertambangan W.H.De Greve dan asisten komisaris H. F. W. Cornets dan kontrolir B. G. Baron Van Hoevell sebagai Sekretaris. Penguasa distrik Kuantan diinformasikan mengenai akan datangnya komisi dan diminta kepadanya untuk memberikan bantuan. Sebelumnya, kepala tiga laras diberitakan telah melakukannya, dan ini adalah momen untuk menyampaikan dimana komisi akan segera sampai di Kwantanlanden. Seperti sebelumnya disebutkan, terdapat Yang dipertuan Sati ditengah-tengah rakyatnya dengan sejumlah besar lawan sengit, dan ia dalam posisi seperti sebahagian besar nasib mayoritas penguasa Melayu; rakyat mengenali namanya, akan tetapi tidak memiliki keinginan untuk sepenuhnya tunduk pada perintah ataupun mengikuti keinginannya. Selain itu, juga terdapat dua orang dari V kota di Tengah, Datuk Sireno dan Angku Kali Raja, yang posisi, kekuasaan dan pengaruhnya berada di luar jangkauan dirinya. Mengenai cara bagaimana terjadi posisi tersebut, dapat dilihat pada hal yang bersumber dari catatan kontrolir Van Hoevell, sebagai berikut: Orang Gadang. Apakah mereka bersatu, maka mereka memiliki Yang dipertuan sebagai suatu ekspresi penghormatan, tetapi tidak pernah terjadi kedudukan ini memiliki otoritas yang nyata. Perilaku hubungan mutual, persaingan, juga kecemburuan antar Orang Gadang akan membangkitkan dan mungkin, bahkan menabur genderang perang perselisihan antar berbagai aliansi. Karenanya sebagaimana yang pernah dikatakan Kontrolir Twiss, Yang dipertuan harus menyelesaikannya. Hal yang juga tak dapat dihindarkan adalah ia akan memperolehnya secara bertahap selama Orang gadang yang masing-masing masih mendominasi sekutunya, yakni para penghulu. Tapi jikalau terjadi seperti perselisihan yang pelik, 396

Ijzerman:hal.53 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

318

perang pun nampaknya akan bermanfaat sebagai jalan keluar untuk memperoleh otoritas tersebut. Belum terdapat jalan yang layak, oleh sebab itu sangat mustahil ditemui lalu lintas komersial yang dapat menjamin keselamatan. Hal ini juga akhirnya membuat Orang Gadang mengakuinya dan (mungkin terdorong oleh Rapat dari panghulu ini) keduanya mengakhiri situasi tersebut, maka murni untuk sekuel ini, mereka pun mengadakan rapat umum dimana raja mereka sendiri beserta panghulu ikut hadir. Pertemuan tersebut memutuskan: 1. Setelah itu tidak lagi “Orang Gadang”, atau juga “pangeran”; melainkan hanya orang yang berperan sebagai perwakilan dari kelompoknya; 2, Bahwa perwakilan dibentuk sebanyak dua orang, tetapi tidak dipilih diluar dari lingkup Orang Gadang, dan mereka ini akan menjalankan semua urusan pemerintahan; 3. Orang Gadang dan panghulu akan tunduk kepada apa yang perintahkan oleh Yang dipertuan dan bahwa dua orang tersebut juga akan memutuskan segala sesuatunya dengan suara bulat. Pejabat yang sekarang terpilih adalah Khatib Moelano dan Pakih Bagunjung. Yang pertama lebih terutama untuk sekuler (perkarah Hadat) sedangkan yang kedua, lebih khusus diangkat untuk urusan agama (perkarah hibadat). Tak lama setelah itu, diberikan oleh Orang Gadang pada sebuah upacara besar, masing-masing diakui di bawah gelar Datuk Sireno dan Angku Kali Raja sebagai martabat baru dan terhormat. Kedua pejabat dan perwakilan dari pangeran dan Orang Gadang Panghulu, dan bagi Belanda, inilah pihak penguasa yang sebenarnya di Rantau Kuantan.397 Adapun bagi Schwartz, sebagaimana dikemukakan Ijzerman, mengungkapkan,

dia

“Jika seseorang ingin memperoleh sesuatu hal di distrik Kuantan, maka harus dapat dipastikan bahwa ia memiliki "dua orang” tersebut di sisinya.”

397

Tijdschrift voor Neerland's Indië: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], 1 November 1876, hal. 409 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

319

Gambar 7.3. Silsilah penguasa Rantau Kuantan Sumber: IJzerman, 1895, hal47.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

320

Meskipun demikian, terdapat klaim bahwa otoritas Datuk Sireno dan Angku Kali Raja tidak memiliki dasar hukum. Para musuh paling brutal dari sang pangeran akan tetap eksis di V kota. Mereka selalu menyalakan api perselisihan, sementara itu Yang dipertuan Sati semakin tua dan kurang kuat. Dengan kondisi ini, semakin hari sikap mereka pun semakin menantang dan bahasa mereka menjadi sangat arogan. Mereka itu bukanlah orang-orang dengan kelahiran yang ditunjuk untuk melakukan peran utama, tetapi dengan status lebih rendah, yakni para orang pandei yang tidak puas dengan keadaan. Pembentukan wilayah berdaulat Pangeran, pertama-tama di Basarah dan kemudian Ceranti, ini akan membuat tugas mereka menjadi mudah. Akan tetapi terdapat rumor atau berita bohong tentang ketidakadilan yang meningkat, bahkan sangat berlebihan di negeri ini. Berikut beritanya: “Kepala gerakan itu adalah Datuk Sireno, seorang panghulu dari Kariet dan Angku Kali Raja, seorang maliem asal Taluk. Demagog ini merebut otoritas lebih besar dari Orang nan Berlima dan mengetahui ia didukung oleh sejumlah pemangku kepentingan dengan kekuatan nyata di Kuantan. Mereka menyebar ketakutan dan teror dikalangan penduduk.”398 Negeri- negeri yang saat ini masih terlihat kecil, dimana pengaruh beberapa pihak yang terkadang berasal dari luar pemerintahan turun-temurun, adalah lebih besar dari Datoek nan berampat dan hal ini segera membawanya ke arah yang diinginkan oleh mereka, hasilnya bahwa negeri tersebut serta merta akan terlihat sebagai negeri besar. Hal ini nampaknya tidak akan pernah dilakukan, maka rapat panghulu pun diprogram dengan cara yang telah dijelaskan oleh Van Hoevell; klik Datuk Sireno dan kelompoknya yang terbentuk dan dilakukan secara sukarela, akan tetapi juga karena mereka tidak berani menentangnya. Mereka berusaha keras agar tidak terjadi kesepakatan diantara Orang-gadang dan lalu berupaya untuk menguasai mereka, bahkan berusaha untuk menggantinya. Konsisten dengan strategi tersebut, sehingga apa saja yang Pangeran inginkan, sebaliknya mereka tidak akan menginginkannya. Bagaimanapun keinginannya selalu digagalkan. Jadi, nampaknya inilah yang dapat dilakukan, yakni membayang-bayanginya. Sebagaimana telah diketahui, Yang dipertuan Sati sudah tua dan lemah, 398

Ijzerman:hal.56 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

321

sementara lingkungannya tidak ada yang melawan mereka serta mengatasinya. Sementara itu sang Pangeran berdiri bersebelahan dengan tahta, ia adalah laki-laki muda tanpa pengalaman dan dia dia juga dibayangi seorang pria dengan semangat yang besar dan penuh keberanian yang diperlukan, bagian dari kepribadian kuat dari seorang Datuk Sireno. Tetapi saat akan melakukannya pun, ternyata Pangeran tidak mampu. Sementara itu, mengetahui tentang bagaimana hubungan pemerintahan yang ideal, Kepala Tiga Laras mempersiapkan Komisi untuk mengirim surat kepada kepala gabungan dari Rantau Kuantan dan Yang dipertuan Basarah. Mereka juga bertanggung jawab untuk mengirimkan surat kepada Raja di Buo di Muara Lembu. Bagi Pemerintah Kolonial, nampaknya tidak ada otoritas di rantau Kuantan. Meskipun demikian, Gubernur Netscher berpendapat semua pemikiran yang benar harus diterapkan yang agaknya dapat berkontribusi terhadap keberhasilan ekspedisi yang telah direncanakan. Mungkin untuk Raja di Buo Komisi bisa dilayaninya, sekurang-kurangnya ia mampu mengatur orang lain dalam lingkup kekuasaan dirinya. Adapun pembawa Misi pribumi adalah sebagai berikut; Tuanku Laras dari Salayu, Lima kaum dan Sijunjung. Adapun kepala terdekat asal Solok, sudah uzur dan tidak terbiasa dengan kunjungan Negara. Lima kaum tersebut dikenal setia dan terhormat sebagai “abdi” Pemerintah. Sebab utama jatuh pilihan pada dirinya, adalah karena ia menikah dengan anak perempuan Raja di Bua. Disayangkan bahwa misi dari kepala laras Sijunjung tersebut tidak dikategorikan sempurna, baik disebabkan karakter maupun yang menyangkut faktor hubungannya, bahwa salah satu kerabatnya masih memiliki perselisihan dengan penduduk distrik Kuantan. Sekembali dari perjalanannya, pemimpin Komisi pribumi membawa tanggapan secara tertulis dari Yang dipertuan. Dalam surat ini mereka memberikan jaminan bahwa Pangeran memiliki keterikatan kepada Pemerintah, dan kepada Komite Eropa mereka akan menerima dan membantu segala sesuatunya. Akan tetapi bagi Pemerintah kolonial ini merupakan hal yang aneh, bahwa terlalu singkat bagi mereka untuk melakukan kebijakan ini, akan tetapi selanjutnya yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah; adanya asumsi penjajah bahwa di sini yang mungkin saja terjadi tidak lain disebabkan tidak dapat dilupakannya “bunga kebajikan” dari pemerintah Belanda. Sementara itu, Raja di Buo sendiri masih berkeinginan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

322

untuk kembali ke tanah kelahirannya; akan tetapi faktanya bahwa kekuasaan Yang dipertuan Sati hampir sepenuhnya menghilang, kekuasaan yang ada dijalankan oleh Datuk Sireno dan Angku Kali Raja, dan ini memiliki konsekuensi hanya bisa diperoleh melalui kontak dengan otoritas Belanda. Oleh karena itu, setelah melalui proses penyelidikan dan kemudian ditemukan, bahwa menurut laporan dari Tuanku berkaitan hal atas mereka, mereka pertama kali merasa bahwa V kota telah berusaha; Terdapat suara bulat yang menyatakan bahwa tidak ada keberatan atas kedatangan Komisi Eropa. Diduga dari Lubuk Ambacang dikirimkan surat untuk Raja di Buo. Selanjutnya, dikonsultasikan kepada kepala KotaTua, Lubuk Jambi, Gunung, Taluk dan Pangean, seluruh jawabannya menguntungkan; hanya Taluk saja yang menyatakan diri untuk berperilaku sesuai dengan perihal yang menjadi keputusan Yang dipertuan Sati. Untuk Basarah diserahkan surat kepada sang pangeran, namun dia tidak segera memutuskan, melainkan yang pertamatama adalah melakukan pertemuan dengan kepala di Taluk dalam rangka berkonsultasi lebih lanjut dengan mereka. Tuanku yang sudah bepergian jauh, Inuman dan Ceranti ingin menerima. Kembali ke Basarah, disini menunjukkan bahwa orang Taluk belum memberikan respon terhadap pemberitahuan tersebut, jadi sekarang Pangeran sendiri harus mengambil keputusan dan itu jelas dia akan melakukannya dengan se-simpatik mungkin. Dia bahkan mengirim kedua anak Raja Hitam ke Padang yang berusia sekitar dua puluh tahun yang juga disertai kepala Laras, untuk memberi penghormatan kepada Gubernur. Ketika berkunjung ke Taluk, kembali lagi, jawaban berbeda dari mereka bahwa saat itu tidak ada yang ingin menyimpulkan, bahwa telah terjadi musyawarah di antara semua aliansi itu dari Lubuk Ambacang sampai Ceranti. Tentang pentingnya tersebut, dapat dikatakan dengan tanpa keragu-raguan untuk lebih dapat memahaminya, bahwa Angku Kali Raja dengan keras menegaskan bahwa Komisi Eropa tidak akan dapat melakukan penjelajahan ke Kwantanlanden dengan mulus, melainkan jika telah diambilnya sebuah keputusan bersama mengenai hal tersebut. Meskipun dalam satu hari tersebut penghulu Taluk bertekad untuk membahasnya lebih lanjut masalah mereka di Sungei Hala, kepala Laras mengajukan gagasan yang lebih aman untuk tidak menghormati kesepakatan itu dan meneruskan perjalanan mereka menuju Lubuk Jambi. Akan tetapi, di sana mereka menemukan sebagian besar suara sudah berubah, dan pihak minoritas pun memiliki kesempatan untuk berbicara dan meminta untuk RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

323

merubah kebijakan atas kunjungan orang Eropa. Sekembalinya komisi ini untuk daerah pedalaman, tempat dimana mereka berada lebih lama dari yang diperlukan; dan bukan tanpa alasan bahwa tidak lama setelah menerima pesan, dan bahwa selagi menunggu ternyata telah dipersiapkan pembunuhan bagi Komisi Eropa, yang dikirim adalah pria bersenjata dari Taluk ke Sungei Pinang. Apakah ini disebabkan, bahwa misi dari komisi ke Taluk dan Lubuk Jambi tidak berhasil? kontrolir Hoeveil mengatakan dalam hal ini: “Kami melihat pertimbangan dari apa yang telah dicapai oleh Komisi pribumi, sebagaimana tampak dalam laporannya bahwa mereka telah melakukan langkah dengan Yang di pertuan dari Muara Lembu bisa jadi ini adalah langkah pertamanya dengan seorang pangeran, atau dengan Hadat, maupun dalam segala hal untuk mengatakan yang sebenarnya di distrik Kwantan itu”. 399 Bahwa pangeran ini benar-benar menginginkan kehormatan yang tinggi, oleh karena itu Komisi segera menempatkan bukti bahwa ia jelas akan menerima dengan senang kedatangan Komisi Eropa;. tetapi sama jelasnya juga, bahwa tindakan ini sekaligus akan mengejutkan Yang dipertuan Basarah serta Datuk Sireno, Angku Kali Raja, Orang Gadang lainnya dan Panghulu. Komisi pribumi dibebankan dengan itu, Setelah memulai misinya secara kurang bijaksana, dan pengalaman buruknya itu nampaknya akan segera berbuah pahit. Melihat ini, Ijzerman mengatakan400: “Saya berpikir bahwa kritik ini tidak berdasar. Kepala laras di bawah komando dimana mereka memberikan suratnya, namun, Apakah ada sesuatu dalam sikap pangeran di Basarah, yang dapat disimpulkan, bahwa ia tidak senang dan marah atas tindakan ini? Sebaliknya, ia orangnya sangat baik dan ramah, tidak ada jejak keprihatinan di pihaknya, tapi ia takut untuk bertindak tanpa didampingi kepala V Kota, juga tanpa Datuk Sireno dan Angku Kali Raja. Semua Orang Gadang V Kota menghilang di balik orang-orang yang telah disebutkan, dan itu panghulu, kecuali Taluk, mereka menyatakan memberikan persetujuan mereka terhadap usulan komisi, Mereka

399 400

Ijzerman: hal.59 Ijzerman: hal.60 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

324

semua begitu tidak tersinggungnya, tapi mengapa berbeda dengan sikap penguasa Taluk? Apakah Komisi tidak bertindak terhadap mereka seperti halnya di tempat lain? Neen, itu bukan kesalahannya, tapi karena keadaan. Karena mereka tidaklah meninginkan diskusi yang serius, akan tetapi kepada Jang di Pertuan-lah adanya hukum untuk bertanya. Mereka tahu bahwa negosiasi Pemerintah akan meningkatkan prestise-nya, bahwa cukup alasan untuk menentang keinginannya ini ataupun untuk menolaknya, meskipun tidak ada yang tidak suka dengan pengaruh Eropa dalam permainan ini. Menurut Hadat harus diputuskan bersama, dalam hal ini oleh pangeran dan Orang Nan Berlima; tidak terdapatnya oposisi di Taluk, maka di mana jika Yang dipertuan tidak merespon, hanya diperlukan kata-kata, “ya” Inilah kesempatannya, kekuasaan dan kelemahan ditunjukkan pangeran didepan utusan, nampaknya bagi IJzrman akan terlalu naif untuk tidak menggunakannya. Oleh karena itu ada rapat yang terpisah, akan tetapi tetapi permintaan pertemuan ini datang dari Orang-nan Berlima. Sekarang, bagaimana dengan sang raja? Mengetahui bahwa permintaannya tidak memperoleh hasil yang diinginkan, Dia menyembunyikan kelemahannya, dan menunjukkan disposisi terbaiknya. Bahkan, anaknya sendiri didelegasikan untuk menjelaskannya. Lebih baik tenang-tenang daripada memberikan jawaban yang menyulitkan dirinya sendiri, sembari terus menunggu perkembangan situasi. Siapa yang bisa meramalkan bahwa misi Tuanku ini akan tetap berlangsung? Untuk ketigakalinya, dari Taluk mereka harus datang bersama-sama ke Sungei Hala; mereka memiliki misi bersama pejabat mereka dari Pemerintah yang harus dijunjung tinggi. Menurut pandangan dunia barat tentang orang Melayu, dalam situasi normal hanya fanatisme-lah yang akan membuat mereka menjadi pahlawan. Mengetahui sifat berbahaya dan buruk sebagai bagian dari Rantau, mereka takut akan keselamatan hidup mereka, sementara pasti akan sama baiknya, jika pembicaraan lebih lanjut tidak dilanjutkan. Dalam permainan ini nampaknya, Datuk Sireno dan Angku kali Raja, telah terluka. Bukan berarti mereka merasa tersinggung oleh surat kepada Raja di Buo, tetapi ditemukan bahwa konsultasi kepada Raja dan kepala dilakukan tanpa mereka membawa serta upeti,

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

325

mereka menuntut pengakuan atas kekuasaan mereka, dan untuk menjelaskan kepada mereka semua bahwa sebagian upaya telah berhasil. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keinginan mereka adalah hukum di Kwantan dan posisi mereka tetap berada di atas angin dalam berhadapan dengan Pemerintah Gubernemen untuk waktu-waktu kedepannya. Meskipun sangat berbahaya, nampaknya para Kepala Laras bersama dengan komisi Eropa telah memulai perjalanannya untuk menyusuri sungai, akan tetapi, beberapa hari kemudian, ketua komisi, Ir.de Greve, tewas dalam kecelakaan perahu yang dialaminya didekat Durian Gadang. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa; ini adalah bentuk-bentuk konflik antara pemerintah-pribumi, orangorang dari “Kwantanlanden”, dan yang juga termasuk kerabat dari tuanku Laras dari Sijunjung. Pada bulan Januari '1875, bersama kasus Si Maripat,401 orang-orang yang diperlukan dapat dipengaruhi muncul di Foet de Kock, dan empat bulan kemudian muncul pula Datuk Sireno, sewaktu untuk mendaftar bergabung ke Residen ke Fort de Kock dan Gubernur di Padang. Di sana, atas nama pimpinan “Kwantanlanden,” ia menyampaikan keinginannya untuk mengundang Dewan Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan selanjutnya merekomendasikan apa yang diperlukan bagi pemerintahan, dan yang datang sudah dalam bentuk keputusan tanggal 11 Juni. Sayangnya, hal ini terlambat! Karena telah diberikan kepada Hoevell beban tersebut. Jika belum, tentu ia tidak perlu dengan begitu repot-repotnya berangkat menuju Kuantan. Fakta ini menunjukkan, bahwa dengan demikian mereka tidak lagi bertemu, dan dampaknya, kesepakatan tersebut sangat jelas dinyatakan tidak dapat segera digunakan. Terlebih lagi Hoevell meninggal di puncak tahun di Padang Panjang. Namun, bisa saja ini menjadi pilihan yang berbeda, yakni untuk meninggalkan proses tersebut berjalan di tempat. Meskipun demikian, 401

Tahun 1872, sebagaimana terdapat dalam catatan kontrolir Schwartz, terdapat kasus; Orang Melayu, Si Lajien dari Inuman pada bulan September dibawa ke Tanjung Gadang (VII kota) anak laki-laki berusia 8 atau 9 tahun yang bernama SiMaripat, mungkin cocok dengan kegilaan, tanpa alasan apapun, seperti, luka, yang menyebabkan anak itu dua bulan kemudian meninggal. Untuk itu Si Ladjien dibawa ke tahanan, sementara keluarga Si Maripat menuntut “bangoen” (uang mati) atau “Pampas” (uang darah), yang merupakan hak nya di bawah hadat tersebut. Untuk menyelesaikan hal ini dilakukan rapat dengan dihadiri beberapa orang, diantaranya disebutkan paman Si Lajien (mamak) dan dua orang kepala suku dari Inuman. Kemudian Hoevell sebagai Kontrolir Sijunjung ditempatkan pada kasus tersebut. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

326

pelaksanaannya bisa diberikan saat rencana mendatang di bulan April 1876: menunggu keputusan Gubernur Jenderal sembari menunggu instruksi lebih lanjut tentang distrik Kuantan, dan tidak oleh pejabat dari Dewan di Pantai Barat Sumatera. Sedangkan disisi lainnya, nampaknya Pemerintah juga sedang disibukkan dengan urusan Pantai Timur. Pada tanggal 7 Januari 1875, menerima Residen Riau, pemeriksaan hilir sungai, dan selanjutnya untuk mengatur dan juga untuk melaporkan keadaan di lanskap Kuantan dan Indragiri. Mungkin sebagai akibat dari situasi ini, Yang dipertuan Sati telah meminta intervensi dari Residen Lingga yang menyampaikan kepada Residen Pantai Barat Sumatra untuk menempatkannya di bawah kedaulatan Belanda. Nampaknya, sang Menteri Baron Van Goltstein benar-benar dengan asumsi bahwa Dewan Timur telah menimbulkan dan meningkatkan banyak kebingungan. Saat itu masih layak untuk diingat kata-katanya: “Apa yang kita punya adalah pilihan bebas dari satu atau sebaliknya hal yang berlawanan tentang hubungan dengan Sumatera Tengah yang akan disatukan, Saya pikir kita harus memberikan aturan untuk sentuhan dari Pantai Barat. Memang kita telah menyadari, bahwa dalam masa depan yang lebih atau kurang, sejauh mungkin pembentukan pemerintahan kita dalam lanskap yang berbeda dari Sumatera Tengah tetap diperlukan. kami memperluas dewan kita di bagian Pantai Timur atas lanskap yang kemudian disediakan dari baris yang sama yang telah berpola sebagai Pantai Timur; Oleh karena itu kita harus bertemu dengan pimpinan lanskap untuk mengesahkan kontrak dan hasilnya akan diperoleh karakter pangeran dimana mereka akan membandingkan bawahan dan tetangga mereka untuk menempati posisi dengan resiko ketidaknyamanan kecil yang mungkin ada." 402 Selanjutnya, surat Keputusan ini, tanggal 31 Oktober 1877 yang memutuskan, bahwa “Kwantanlanden” selanjutnya akan menjadi milik dan lingkaran dari Pemerintahan Gubernur Pantai Barat Sumatera. Sementara itu, Yang di pertuan Sati, wafat pada awal April tahun 1876403. Dari tiga anak hasil 402

IJzerman: hal.67. Sutan Alam Duni secara meyakinkan mengklaim, dengan dalih sebagai anak dari Yang dipertuan, dilahirkan dari wanita dengan strata keturunan yang lebih rendah, dan menurut adat di Rantau Kuantan tidak menurut garis keturunan ayah, melainkan garis keturunan ibu. Pada Tahun 1877, dalam perjalanan dari Singapura, Sutan Alam Duni dari Lubuk Jambi sebagai wakil 403

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

327

pernikahannya dengan Tuan Gadies, Hanya dua tertua Raja Abdullah dan Raja Hitam memenuhi syarat untuk suksesi. Karakter mereka sama sekali berbeda: yang pertama, tokoh kuat, menimbulkan rasa gentar pada musuhmusuhnya, sebaliknya yang kedua, lembut dan ramah, tampak mudah untuk diatur. Adapun pihak Datuk Sireno, sepertinya ia menolak Raja Abdullah, akan tetapi sebaliknya, melayani Raja Hitam dengan ramah. Bukan tidak mungkin, bahwa kebijakan Datuk Sireno yang nampaknya lebih mengutamakan “persahabatan” dengan Pemerintah kolonial, ketika ia berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan si sulung, bahwa sang pemuda yang telah menjadi laki-laki dewasa dan mulai dikenal sebagai lawannya yang tangguh. Selain itu, diberitakan juga terjadi pertemuan dimana Yang di pertuan Sati diundang untuk membahas siapa yang akan menjadi penggantinya. Mayoritas akan menyatakan Raja Abdullah, sebahagian juga mengatakan bahwa Raja di Buo adalah orang yang paling dianggap tepat. Namun, bukan tanpa protes dari kelompok minoritas, yang menyatakan bahwa Raja Hitam harus dihormati karena ia sebelumnya dengan kepala Laras ia telah berangkat ke Benteng Fort de Kock dan Padang, dan bagi pemerintah ia dikenal sebagai dari beberapa kenegerian di Kuantan; telah berjumpa dengan konsulat Belanda dari Karesidenan Riouw agar dirinya dan lima belas desa yang tercakup dalam Kwantan districten dengan apa yang di akuinya akan didelegasikan di bawah perlindungan Pemerintah Hindia. Residen berjanji untuk melakukannya. Atas kunjungan dan keinginan dari Sutan Alam Duni tersebut, kemudian dilanjutkan ke Padang dalam rangka sana untuk menunggu Surat keputusan Gubernur menanggapi permintaannya itu. Pertama, pada musim panas tahun 1878, menyebabkan suatu penyelidikan dengan hasil tertentu. Kemudian ternyata bahwa mereka harus melakukan dengan seorang petualang, yang pastinya masih keturunan raja Minangkabau, terletak di satu cabang di Kuantan, tapi tidak bisa mendukung. kelas sedemikian sana ia kemudian mengklaim haknya. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk meangkah lebih jauh dengan Alam Duni, dan lantas meninggalkannya, dan ini, adalah kesempatan untuk pergi ke Singapura, kembali dari mana ia datang. Pada tahun 1877, berdasarkan berita dari Singapura, di Padang diketahui bahwa Tuanku Nong Klana, mengkalim Reteh atau Mandah (yang milik Residensi Riouw) resmi dibawah Sultan Lingga, orang –orang ini nampaknya benar-benar membawa Kuantan dalam posisi sulit. Mungkin orang ini adalah sama dengan Mohamad Noer atau Noeng, dimana pada tahun 1874 ia mengaku menjadi Raja Riouw, dengan hasil tibanya 40 orang bersenjata, yang seperti dikatakannya dari Pulau Lawan menuju Kuantan, akan tetapi, sejak tahun 1874 itu, Mohamad Nung tidak lagi terdengar oleh Dewan pemerintahan di Padang. Nijhorf, hal 170-171.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

328

pangeran dari negeri Kuantan. Kedua belah pihak tidak bersepakat, jadi akhirnya Datuk Sireno mengatakan kepada Yang dipertuan: “Setelah kematian Anda, tidak ada raja ditetapkan”. Segera setelah kematian ayahnya, Raja Abdullah mengklaim dirinya dengan gelar Yang di pertuan Putih atau Raja Besar. Sebagai raja, ia memperoleh dukungan di negeri dimana ia bermukim; Basarah. Lanskap IV Kota di Hilir adalah kuncinya dan akan segera bergabung dengannya, meskipun oposisi dari beberapa orang yang memiliki keluhan pribadi, Datuk Salo Batang dan Panghulu Sati di Inuman, Nakhoda Bujang dan Ampanglima Maliem di Ceranti. Akan tetapi V Kota di Tengah dan IX kota di mudik menolak untuk mengakuinya. Pada tanggal 30 April 1879, Asisten Residen Riouw Stakman berkata tentangnya: “Dia adalah seseorang yang memperhatikan pertanian dan orang yang tepat dalam melindungi keselamatan jiwa dan harta benda.” Tuduhan atau dugaan terhadap dirinya sebagai pelaku pembunuhan, juga tidak akan berlaku seperti itu, tetapi sebaliknya, perbuatan tersebut harus dilihat sebagai penjatuhan hukuman atas sebuah kejahatan yang telah dilakukan, meskipun sebelumnya dianggap apakah hukuman ini sepenuhnya sesuai dengan hukum konstitusional yang ada. Selain itu, tidak selalu denda yang adil ditetapkan atas pelanggaran kecil, dan nampaknya untuk memaksakan keuntungan mereka sendiri. Meskipun demikian, para pedagang Indragiri tidak mengeluh tentang obstruksi perdagangan tersebut. Menurut pernyataan Datuk Bandar dari Rengat bahwa Raja Besar tidak ada memiliki hak pada pengenaan bea impor-ekspor barang, hal ini mengacu pada apa yang dilakukan oleh Rengat. Ditegaskan juga oleh pernyataan pedagang Indragiri, Raja Dayub, yang baru delapan bulan itu Basarah telah menghentikannya dan terdapat beban atas garam dan kargo yang telah dibawa, tanpa ada kewajiban untuk membayarnya. Selama masa kunjungannya, semua pedagang, membawa barang-barang ke pedalaman. Kasus ini. oleh orang lain, dan termasuk orang-orang dari distrik Kuantan, hal ini harus dikonfirmasi. Karena itulah sungai ini tidak ditutup, dan hanya agak terhambat oleh seroh yang diposisikan di dalamnya untuk menangkap ikan. Raja Besar memiliki Orang Gadang dan panghulu dari IV Kota, Raja berulang kali mengundang untuk memilih, baik Raja Hitam atau Raja Hassan dan siapa pun juga, menyatakan bahwa ia menjadi pilihan pertama untuk menghormati RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

329

mereka404. Raja Besar tahu bagaimana menghormati ketertiban, dan untuk menjaga keamanan dan berusaha untuk menjadi seseorang yang simpatik; disetidaknya beberapa kali dalam pertemuan dengan penghulu, ia berkata, “Jika Aku salah bertindak, beritahu, dan tunjukkanlah kepadaku bagaimana aku harus bertindak!" 405 Bahkan ia memperhatikan pertanian dan pemeliharaannya, tampaknya sebagian menghubungkannya dengan contoh di IV Kota pada tahun 1878 dimana tanaman padi mudah diperoleh disana, Sementara di distrik lain di pedalaman mengalami kegagalan: terjadi kelangkaan besar, dan pentingnya ekspor dari wilayah pemerintah yang harus segera dipenuhi. Pada awal musim hujan, Raja Besar telah menyediakan sawah yang ditanam di IV kota ini, sementara di pedalaman dengan kurangnya kesesuaian yang seharusnya dapat menguntungkan, dan waktu pun sepertinya dibiarkan begitu saja terbuang dan berlalu percuma. Bahwa terdapatnya pesan yang dikirim oleh Pendukung Datuk Sireno, kemudian dibaca sebagai hal yang benar-benar berbeda, bahwa kemudian tentang kesewenang-wenangan pangeran sebagaimana ia dituduh telah melakukan pembunuhan. Menurut IJzerman, telah dikomunikasikan perihal ketidakbenaran tuduhan ataupun sangat berlebihan, disebutkan oleh Marseveen: “Sejauh yang saya bisa pastikan, bahwa Raja Besar memiliki orang yang terbunuh di masa perang.” Melihat kebelakang bahwa bertahuntahun lalu muncul ketidaksepahaman antara Yang dipertuan Sati dan mamaknya Datuk pandak. Titik perbedaan adalah fakta bahwa mamak sudah menikah dengan sembilan perempuan dan menolak untuk mematuhi putusan raja dan Orang Gadang untuk melepasnya. Begitu pula dengan Raja Besar yang masih sangat muda dengan sang “Mamak” disisinya. Perselisihan dan pertengkaran ini begitu sengit hingga pada akhirnya, Pangean, Inoeman dan Ceranti, yang berada di tangan Yang dipertuan memutuskan melakukan perang terhadap Basarah. Dalam perang ini seorang Basarah kehilangan nyawanya. Sebelum terbalas kematian, salah satu pihak pejuang akan membalas dan tertutup kemungkinan untuk perdamaian, adalah penduduk asli Pangean tetapi asal Baserah tidak melakukan sembah-hormat didekat

404Sebagaimana 405

yang dikatakan oleh informan IJzerman, Toean Toea. Ijzerman:hal.72 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

330

Raja Besar. Bagaimanapun juga, ia menghunus pedangnya dan membunuhnya hanya dengan satu tebasan saja. Secara umum, telah diputuskan bahwa Raja Besar menjadi pangeran, dan hal tersebut untuk kepentingan yang luas bagi distrik Kuantan, Raja Besar akan diakui oleh semua negeri dan ini telah terjadi di Taluk, sementara itu juga, Datuk Sireno pun nampaknya tidak keberatan. Kembali kita ke Raja di Buo yang kemudian dikenal dengan sebutan Yang dipertuan Raja Sembayang. Seiring dengan tahun yang terus berjalan maka nostalgia yang menguat bagi pangeran yang telah berusia Lebih dari 70 di tahun 1874 menyebabkan adanya intervensi dari anaknya Sutan Hassim yang memintakan izin guna menghabiskan hari-hari terakhir hidup sang pangeran dan meguburkannya di Buo. Sementara menunggu jawaban dari Gubernur Netscher, ia menetap di dalam batas wilayah Siluka. Rumah tempat ia tinggal sudah hancur, tapi tempat mandi sehari-hari dibawah rumahnya tetap tidak berubah. Mengenai kondisi akhir sang Raja di Bua, IJzerman mengatakan: Tanpa sadar naluri kita akan merasa simpati terhadap orang tua yang terhormat, lebih dari empat puluh tahun menebus perlawanannya terhadap kaum penjajah (kolonial). Kaum Padri telah meletakkan dasar untuk kesalehan, yang mereka mungkin dari kaca mata dunia Barat dikenal dengan negeri yang penuh dengan kesucian-Nya. Bahkan saat ini namanya bukan dihormati hanya sebatas bibir saja. Usia dan penyakit telah melemahkan kekuatannya, ada alasan untuk takut hidup, tetapi dengan kematian, kebajikan yang diucapkan orang-orang tentu akan memuliakannya, ini bisa berbahaya dan rasa tidak puas akan menginspirasi generasi kemudian. Ia harus beristirahat di luar perbatasan kita, jauh dari tempat dimana Ingatan tentangnya yang paling jelas akan terpelihara. Dia memiliki sedikit harta dan dengan itu ia melakukan ziarah ke Mekah. Itu adalah pemakamannya dimana di tanah airnya sendiri ia ditolak, sekarang ia ingin mati di tanah yang dimana kata-kata Nabi telah menentukan arah hidupnya, namun Basarah memukulnya dengan kelumpuhan. 406 Sekitar tahun 1880

406

IJzerman, hal.70. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

331

adalah seorang pengembara bersahaja, Raja di Buo, yang beristirahat dengan kekal dan dikebumikan di rantau Kuantan.407 Sementara itu di distrik-distrik barat, pihak Datuk Sireno dan Angku Kali raja tetap berjaya. Pada Desember 1877 mereka menulis surat yang berisi permintaan kepada Kontrolir Sijunjung, sebuah model untuk pengiriman dan untuk menjaga kontrol sapi impor dari Kuantan yang selama ini tanpa pengawasan. Bagi Penjajah, permintaan ini nampaknya adalah hasil dari situasi anomie yang ada. Ketidakamanan yang terjadi datang melebihi diluar batas kekuatan kekuasaannya. Penggerebekan datang hampir setiap malam. Gagal menemukan pemilik yang sah, ternak dicuri dan ia hanya bisa mendapatkan kembali dengan penggantian secara penuh. Sementara itu mempercepat akhir dari kejayaan Datuk Sireno, para pendukung Raja Besar menikamnya dengan kuat yang dimulai di V Kota di Tengah, dan tampaknya melalui segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Cendo Kio, salah satu dari kemanakan Angku Kali Raja, dibunuh dengan menggunakan senapan; adapun Datuk Gadang Majalelo, seorang teman dekat Datuk Sireno, terluka di lengannya. Sepertinya para pemimpin ataupun tokoh takut akan bernasib sama. Pedang telanjang segera saja di lekatkan pada papan di dinding rumah dimana mereka siap untuk menggunakannya. Mereka tidur dengan alas lantai kering dan keras, ini cukup untuk meletakkan tombak untuk dan menahan serangan yang mungkin saja tiba. Pada bulan April 1879, mereka bertemu Kontrolir Sijunjung, bahwa seorang pembawa misi tiba di Rantau Kuantan untuk menyelidiki apakah Orang nan Berlima cenderung untuk berada di bawah otoritas Residen wilayah yang akan datang. Akan tetapi kemudian jawabannya adalah: “tidak, karena kita sudah di bawah perintah Kontrolir Sijunjung". Pada saat yang mungkin bersamaan, ditawarkan kepada Raja Besar, salah seorang saudara Sijunjung yang dikirim kesana untuk kepentingan advokasi. Sambil menunggu hasil negosiasi ini, ia memutuskan untuk melakukan peresmian Taluk. Dengan rombongan besar, konon dengan delapan puluh perahu berawak, dia pergi ke hulu pada bulan Juli 1879. Simandolak, Lubuk Salak, Benei, Kopah dan

407

Lihat Koloniaal Verslag Tahun 1881, berita wafatnya salah satu Pangeran Pagaruyung yang juga salah satu tokoh Perang Padri, berita yang diterima bulan Juli 1881.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

332

Sintajo memilih berada dipihaknya dan menerima dia dengan gelar kehormatan. Sebaliknya, ia menunggu untuk Taluk, menunggu mereka yang sedang dalam perjalanan. Tapi ia menunggu dengan sia-sia, disebabkan masih eksisnya perlawanan dari Datuk Sireno. Selama beberapa hari ia kembali ke Basarah yang nampaknya terlalu cepat, sementara Datuk Habib dan beberapa kepala Lubuk Jambi mengungkapkan bahwa mereka memang ingin bertemu. Dalam perjalanan tahun 1880, ia mengirim surat kepada Sultan Lingga, yang ia sebut ini sebagai kesempatan yang harus digunakan untuk bertemu dengan Residen Riau di Tanjung Pinang. Meskipun dikatakan kepadanya bahwa kunjungan tersebut akan ditunggu sang Residen dengan senang hati, ternyata ia tidak bisa mengekspresikan keinginannya, karena kebingungan di negeri dan ketidakamanannya sendiri; ia “terikat” di kediamannya di Basarah. Sementara itu di Taluk, kekuasaan Datuk Sireno semakin memudar. Pencalonan Raja Hitam sudah lama tidak lagi eksis; ia adalah seorang pria gemuk ramah dan tetap bersama adiknya seorang pendukung yang setia; sampai pada kematiannya di tahun 1888. Pada bulan Juli 1881 Datuk Sireno dan Angku Kali Raja meminta untuk terakhir kalinya, agar Datuk Paduka Sutan dari Sijunjung mencampuri apa yang menjadi rencana Belanda mengenai distrik Kuantan. Sudah tiga kali mereka diundang ke Indragiri untuk bersamasama dengan dewan di sana membuat suatu hubungan. Pemerintah Indragiri dalam hal ini tentu saja tidak dapat berbuat, sebab mereka berada di luar permainan. Namun ada beberapa kesepahaman dengan para pengungsi untuk daerah tersebut, yang tidak terhindar dari upaya untuk membantu pihak asing, juga Raja Besar dengan otoritas sepenuhnya; jika memungkinkan akan menggulingkannya. Surat ini juga masih belum terjawab. Dari pemerintah nampaknya juga telah tidak ada harapan lagi. Perlahan tapi pasti, semakin dekat saja dimana tahta Taluk akan segera berada di pangkuan Raja Besar. Pada awal 1882, Pemerintah Hindia memandang bahwa sikap Sutan Indragiri yang lemah dan ambigu dari merampungkan persoalan jalur sungai untuk semua impor dan ekspor oleh angkatan laut Belanda, mengakibatkan tidak stabilnya tingkat perdagangan di Kwantanlanden, harga Garam naik sangat tinggi dalam waktu singkat. Menurut Koloniaal Verslag tahun 1883, dinyatakan sebagai berikut: RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

333

Mereka belajar bahwa ada yang berbeda, penghulu itu menyarankan, untuk bergabung, setelah otorisasi oleh Jang di Pertoean Beserah diperoleh di hulu-Indragiri dimana impor dan ekspor tertutup, mereka bersikeras menginginkan perubahan.. Keluhan bersama dalam kondisi yang ada tidak juga datang, tidak perlu, dan untungnya, blokade dibuka setelah waktu yang singkat. 408 Meskipun bukannya tanpa keberatan mengetahui bahwa Raja Besar di IV Kota dan di Hilir kuat untuk mempertahankannya. Pada paruh pertama tahun 1883 diperlukan ekspedisi ke Inuman, di mana pada masa dahulu telah diakui, akan tetapi kemudian kehilangan bobotnya. Salang Batang tua, pemimpin lawan dari pangeran, adalah salah seorang pendahulu dan anaknya Panghulu Sati, merupakan salah satu dari Datuk nan berampat. Akan tetapi nampaknya penampilan Raja Besar dengan berbagai dubalangnya sudah cukup untuk membuat musuhnya berhamburan-berlarian dan mengembalikan ketenangan. Beberapa bulan kemudian, pada bulan Desember, diikuti penyerahan dari Taluk. Raja Besar Berlayar ke hulu yang menyerupai pawai kemenangan, dimana-mana ia memperoleh penghormatan dan penghargaan, meskipun demikian terdapat juga ancaman yang akan membunuhnya. Nampaknya angin telah berubah; Datuk Sireno dan Angku Kali Raja mungkin saja merajuk, akan tetapi sebaliknya, pengikut mereka terlihat bersedia.409 Tur di pedalaman Kariet dilanjutkan, dan segera tampak bahwa seluruh Kuantan menghormatinya. Para kepala Lubuk Jambi dan Lubuk Ambacang datang bersama-sama dengan masyarakat di kawasan paling timur di Lubuk Tarantang. Di sana, pro dan kontra dibahas selama tiga hari di salah satu dari tiga tempat yang ditunjuk oleh Hadat: Pulau Ranah (Lubuk Ambacang) Pulau gadang (Kariet) atau Pulau Sirankiang (Inuman). Angku Kali Raja, setelah pulang-pergi ke Taluk; tidak lama sesudah itu ia pun wafat. Datuk Sireno nampaknya tidak sanggup untuk kehilangan pengaruhnya. Pada tahun 1888 ia pun pergi ke tanah suci lalu kembalilah ia dengan mengenakan nama “Hadji Toea.”

408

IJzerman, hal 77, Koloniaal Verslag tahun 1883 Informan IJzerman, Datoek Bandara Goenoeng mengungkapnya dengan kata: “Lampu dipadamkan, Batang kayu itu patah.” 409

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

334

Harapan bahwa pada saat itu, Raja Besar akan memperkuat otoritasnya nampaknya tidak terpenuhi. Sebaliknya, tampak pengaruhnya jauh lebih sedikit dibandingkan pada masa sebelumnya. Tampilan kekuasaannya terbatas pada Basarah dan bahkan ia terlihat lebih ditakuti daripada dicintai. Iritabilitas-nya, tampaknya tidak akan berkurang, beberapa tahun kemudian seorang pria yang ia dicurigai memiliki hubungan dengan salah satu selirnya, dengan tangannya sendiri dibunuhnya. Ia menganggap hidupnya tidak aman, dan selalu berada dalam kerumunan pengawalan orang bersenjata di sekelilingnya. “Akan tetapi semangat perlawanan Datuk Sireno tidaklah mati, ia merupakan kharakter orang-orang Kuantan.” Pada tahun 1886 ketidakpuasan di Basarah ditekan dengan kekerasan. Pada kesempatan ini, salah satu dari kepala suku pengikut sang pangeran, tewas atas perintah saudaranya, Hassan. Orang Gadang dari Ceranti menolak panggilan ke Basarah untuk datang dan menindaklanjuti kasus tersebut. Di V Kota terdapat satu pihak oposisi yang melawan kebijakannya, bahkan dihuluKariet terdapat ancaman untuk membunuhnya410. Begitulah kondisi di “Kwantan-landen,” bentuk hubungan antara raja dan pihak-pihak lain di masyarakatnya. Kemudian di babak kedua pada tahun 1890, dimana perundingan tentang eksplorasi kembali dibuka. Memang demikian bahwa peristiwa yang terjadi merupakan pengulangan kejadian pada apa yang telah terjadi di tahun 1872. Dewan menyatakan kesepakatan atas suatu rencana, atau lagi-lagi mengisyaratkan kepada pemerintah Hindia untuk kembali mengeluarkan “kebijakan pantang411.”Taluk, mengacu pada salah satu misi Gubernur, bahwa tindakan penjajah seperti yang diinginkan pada saat itu, Bahwa kepada Yang di Pertuan Basarah bukanlah untuk suatu ketaatan, melainkan untuk di dikte.

410

Untuk hal ini, IJzerman mengatakan, “mengherankan bahwa dia terus saja mengharapkan pada campur tangan Pemerintah, bahwa ia cenderung agar kita mengakui kedaulatannya, dan dengan demikian haruskah menghormati mereka?” 411 Pemerintah Kolonial melakukan “blokade” terhadap Kwantanlanden, terutama hubungannya dengan Pantai Timur. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

335

Di era berikutnya untuk peran seorang “Datuk Sireno,” oleh pemerintah nampaknya dipegang oleh seorang pria yang mungkin kurang berpengaruh. Hal tersebut dapat dipahami jika melihat kebelakang relasi yang terjadi antara pemerintah Hindia dengan tokoh tersebut. Akan tetapi yang tidak kalah penting disini tentang tokoh penerusnya, Datuk Sinaro Nan Putih adalah seorang panghulu sederhana. Ia membela diri dengan penuh semangat, pertama dengan lisannya, dan kemudian dengan senjata.412 Mungkin pada saat itu Pemerintah Kolonial tengah berupaya menemukan suatu pola yang “pas” untuk memapankan kekuasaannya di Sumatera Tengah, khususnya di “Negeri-negeri Kuantan.” IJzerman menutup bab kisah konflik politik ini dengan mengatakan: Kefanatikan dan pelanggaran hukum tetap menjadi faktor dimana disetiap upaya kontak yang lebih jauh lagi, telah menarik Kuantan ke belakang. Adanya kekuatan, menunjukkan bahwa ketertiban, disiplin, hukum dan keamanan dapat ditegakkan. Dimanapun saja, kekuasaan kita semoga selalu diberkahi!413. Pasca ekspedisi IJzerman menyusuri Sumatra Tengah melalui distrik Kuantan pada tahun 1891, terdapat beberapa peristiwa penting sebagai berikut: Pada bulan September 1894, dari kawasan paling barat Kuantan, kepala V Kota Kuantan dengan lanskap tetangganya-yang juga berdampingan dengan Residensi Dataran Tinggi Padang; terdapat permintaan berkaitan dengan pembentukan dewan pemerintahan.414 Residen yang mengenal dengan baik pandangan ataupun kebijakan dari kekuatan yang lebih tinggi di Batavia, memberikan jawaban bahwa dalam beberapa tahun tersebut, jika Pemerintah tidak berubah pendapat, akan segera diambil langkah-langkah yang dipendang perlu untuk aneksasi wilayah mereka oleh pemerintah. Senada dengan itu, di sebelah timur yang berbatasan dengan lanskap 412

Pemerintah Kolonial mencatat bahwa Datuk Sinaro nan Putih merupakan salah seorang pemimpin perlawanan terhadap penguasa Kolonial dari Taluk, ia didukung oleh aliansi hulu yang dikatakan oleh sumber-sumber kolonial terlibat dalam beberapa gerakan pembunuhan dan penjarahan; bersama-sama dengan Datoek Maharadja yang diduga terlibat atas terbunuhnya anggota ekspedisi IJzerman, van Raalten. 413 IJzerman, hal.79 414 Kielstra, 1915 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

336

Indragiri, pada tahun 1895 kepala lanskap mengunjungi Kontrolir di Rengat dan permintaan pun terjawab; Kontrolir meminta untuk secara sukarela datang tunduk kepada pemerintah dalam proporsi yang sama dan dipastikan menjadi bagian dari Indragiri. Sebaliknya, pada tahun 1897, anak dari Yang dipertuan datang menemui Residen Padang Dataran tinggi dan membuat permintaan atas nama ayahnya, untuk mempertimbangkan distrik Kuantan dalam pemerintahan Gubernemen disana. Adapun jawabannya adalah bahwa keinginan ini harus dirumuskan dalam sebuah surat, juga ditandatangani bersama-sama oleh lima kepala lanskap, surat itu datang (1898), tetapi tidak ditandatangani oleh seluruh kepala, karena tidak semuanya mengakui otoritas pangeran. Hingga pada tahun 1899, kepala Cerenti tiba (distrik, berbatasan dengan Indragiri), ini adalah kali kedua dalam kunjungan menemui Residen Riau dengan permintaan di bawah administrasi, dari bagian lain Kuantan. Ternyata, persoalan penggabungan lanskap dalam pemerintahan Hindia, terdapat perbedaan arah dikalangan kepala lanskap, sebahagian menginginkan di sebelah hilir mengikuti afdeeling Indragiri masuk dalam Residensi Riau, dan sebahagian lainnya menghendaki bergabung dengan Pantai Barat Sumatra. Kondisi ini, nampaknya berkaitan dengan penolakan pengakuan IX Kota di Ilir atas kedudukan Yang dipertuan sebagai “Raja” seluruh lanskap415, dan Pemerintah Hindia pun melihat kemungkinan perubahan atas kebijakan yang terdapat pada Besluit tanggal 30 Oktober 1877416 tentang Distrik Kuantan. Bahwa akan dimodifikasinya kebijakan atas Distrik Kuantan sebagai bahagian dari Pantai Barat Sumatra menjadi bahagian dari Riouw en Onderhoorigheden. Pada tahun 1901, Yang dipertuan wafat, yang juga meninggalkan persoalan tidak terpenuhinya suara bulat (konsensus) diantara lima kepala lanskap tentang pilihan siapa penggantinya417. Yang paling berpengaruh, 415

Koloniaal Verslag, Tahun 1899, hal.26 Koloniaal Verslag, Tahun 1878, hal.9 417 Sesaat sebelum kematian Raja Abdullah, ditunjuk saudara tirinya; Raja-Begab (putra YangDipertuan-Pandak dan Ongku-Kena (putri Yang-Dipertuan-Tunggal ke-3) sebagai khalifah dari Cerenti dan Inuman. Setelah ia meninggal, tidak lama kemudian muncul saudaranya, Raja Hasan. Dapat pula dikatakan, bahwa sejak hari itu (tanggal 3 Mei 1901) sebenarnya Kuantan tanpa seorang pangeran, disebabkan terjadinya penentangan(oposisi) dari federasi IV Kota di Gunung, Lubuk Jambi dan IV Kota Lubuk Ambacang, bahwa Raja Hasan menolak untuk mengakui, 416

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

337

mengambilnya pada tahun 1904, suatu gelar, akan tetapi bagi pemerintah Hindia, gelar ini sebenarnya tidak lebih dari kepala distrik saja. Sebelumnya di bulan Oktober 1901, kembali orang dari Kuantan datang menghadap Residen Riau, menyebut dirinya utusan dari lima kepala lanskap, dengan permintaan yang sama, tetapi mereka dianggap oleh pemerintah disana tidak “legitimate” dan dengan demikian kembali dengan tangan kosong.418 Terjadinya persoalan politik-internal di rantau Kuantan, terutama rivalitas antara Raja Hassan dan Raja Begab, serta masalah lintas-batas merupakan dua hal yang menonjol di awal abad ke-20 di lanskap tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa para narapidana ataupun kuli kontrak pelarian menemukan distrik merdeka (Kuantan, juga IX Kota-Padang Tarab) sebagai wilayah “suaka” bagi mereka, dimana mereka akan aman dari penuntutan lebih lanjut dari hukum Hindia. Hal ini logis, disebabkan mereka tentu mencari wilayah yang berada diluar yuridiksi penahannya. Akan tetapi kondisi ini, menimbulkan gesekan yang lebih tajam antara penguasa distrik merdeka Kuantan dengan Pemerintah Kolonial. Kondisi tersebut dari pemberitaan yang gencar di kalangan pers kolonial tentang wilayah suaka tersebut. Seperti pemberitaan Sebuah pers Kolonial, "Java bode" , tanggal 13 Mei 1903 dalam sebuah artikelnya “Sumatra Onder Rechstreek Bestuur”, menuliskan tentang perlunya kebijakan aneksasi (pencaplokan-wiayah) terhadap Kwantanditsricten. Lebih jauh dikatakan, “saat ini, ... bahwa penguasa Kuantan-akan menemukan akhir dari kesabaran pemerintah Hindia Belanda.” Nampaknya ini juga bersumber dari apa yang ditemukan dan terjadi pada rombongan ekspedisi IJzerman, seperti Laporan IJzerman yang dikutip oleh media tersebut yang mengatakan bahwa kawasan merdeka menjadi tempat bagi tahanan pelarian maupun kuli-kontrak mencari “suaka.” 419. Selain itu, sebuah dan sekaligus ini menandakan permusuhan dengan Ongku-Sutan, Raja Hasan menduga dia bisa mengendalikan seluruh kekuatan di Rantau-Kuantan. Ternyata, selain itu juga terdapat perselisihan antara Ongku-Sutan dengan Raja Hasan tentang hak setiap orang Kuantan, yang meninggalkan tanah kelahirannya dan hak untuk menjual garam dari Indragiri. Akibatnya,bahwa di Baserah tempat kediaman Raja Hasan; dan di Teluk Pau tempat keberadaan Ongku-Sutan, tol dikenakan (tol geheven werd); situasi tetap begitu sampai awal tahun 1904, hingga Ketika Raja Hasan dipaksa mengakui supremasi Ongku Sutan dengan aksi bersenjata; 418 Koloniaal Verslag, 1902/1903 419 Semasa ekspedisi di Kwantan Landen, IJzerman mendatangi suatu kontes Sabung Ayam, dimana terdapat sekitar 50 orang pejudi disana. Dikatakannya, “Perantau dan sampah bangsa kita datang ke sini bersama-sama, sekelompok bandit. Yang paling menonjol adalah bahwa RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

338

fakta, bahwa rombongan IJzerman diserang oleh sekelompok orang Kuantan yang menyebabkan kematian seorang anggota tim ekspedisi; Van Raalten, hal ini manambah “kegusaran”420 pemerintah kolonial terhadap oposisi di negeri Kuantan, yang jika dilihat bahwa pemerintah Hindia dapat menahan diri untuk tidak terburu-buru mengambil sikap membalas atas kematian Van Raalten tersebut. Menurut berita pers yang beredar, sekelompok “premanterorganisir” pelarian ini melakukan perampokan, penjarahan hingga pembunuhan, konon dipimpin oleh seorang yang disebut “Ampanglima Atjeh.” Disebutkan sebagai sepak terjang gang yang mengkhawatirkan. Kondisi ini juga berdampak pada perdagangan antar distrik, bahkan mangganggu jalur perdagangan pedalaman –Selat Malaka yang melintasi distrik merdeka. Para pelarian itu, kebanyakan berasal dari pekerja di SawahLunto, baik sebagai pekerja tambang ataupun pekerja pembangunan infrastrukturnya, pekerja yang berstatus tahanan-pekerja paksa, dan juga ada yang berstatus kuli-kontrak. Bahwa pada Februari 1905 sebagaimana disampaikan oleh Kontrolir Sijunjung, terdapat sejumlah pelarian melintas batas pemerintahan Gubernemen menuju distrik merdeka, terlihat melintasi Ayer Angat, menuju perbatasan. Dalam upaya penangkapan, seorang petugas Belanda terluka oleh tebasan klewang, dua orang pelarian terbunuh dan sisanya melarikan diri ke Distrik Kuantan421. Nampaknya, sebahagian besar buruh yang bekerja di tambang batu bara melarikan diri ke Kwantan districten, dan menemukan penerimaan yang baik disana; juga perlindungan, hingga, pada tahun 1905, hingga Pemerintah Hindia memutuskan mengirim kepada Yang dipertuan sekelompok ekspedisi ke sana sebagai hukuman! Terlebih lagi ditemui fakta bahwa ekstradisi buronan Jambi, ditolak.

tahun yang lalu beberapa orang melarikan diri dari ikatan kerjanya. Distrik merdeka berfungsi sebagai tong sampah Pemerintah. Itu adalah cara di mana kita berkontribusi untuk peradaban dan pengembangan daerah-daerah!” IJzerman, hal.104. 420 Lihat "De Sumatra post, tertanggal 27 Mei 1903, Sumatra onder rechtstreeksch bestuur: “...Taluk lagi, sebuah kekurangajaran dengan nada yang menantang, negeri lainnya juga bergabung dan mengirimkan pesan bahwa Eropa tidak akan diterima, setidaknya dalam wilayah Taluk. Apakah jawaban yang akan diberikan oleh Pemerintah Hindia yang perkasa terhadap beberapa “bajingan kampong” itu bertentangan dengan kedaulatan mereka? 421

Lihat Algemeen Handelsblad, 23 Mei 1905, dalam “Onze Oost: Kwantan Districten.”, sebagaimana terdapat dalam Middle burgsche courant: “Oost-Indië”, 5 agustus 1905 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

339

Dan bagi Penjajah, hal itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa pemerintah Hindia tidak lagi ditakuti disana (Kuantan), dan diperlukan setiap upaya (bahkan ekspedisi militer) untuk mempertahankan kehormatannya, ketertiban dan perdamaian dalam kehidupan di tanah jajahan!

Misi Kontrolir O’Brien Ke Tanah Darat - Rantau Kuantan Beberapa bulan menjelang ekspedisi militer ke Kuantan, terdapat satu ekspedisi Pemerintah Kolonial, yang mengirimkan pejabatnya menemui Raja Basarah, yakni; Kontrolir O’Brien. Di utusnya O’Brien ke Kuantan tersebut setelah O’Brien menerima surat dan pesan dari Raja Basarah yang menginginkan dibukanya negosiasi penyerahan.422 Segera setelah Residen Pantai Timur menerima telegram dari O’Brien tentang hal tersebut, O’Brien yang baru saja menyelesaikan investigasinya atas lanskap Kampar-Kiri: Gunung-Sahilan, rantau Sibayang, Singingi, Logas, Ulu Tase dan Rantau Kampar Kiri, segera memulai misinya ke Tanah Darat dan Kuantan yang dimulai tanggal 27 Juli dan berakhir 9 Agustus 1905:423 misi berakhir hanya satu bulan sebelum dikirimnya ekspediri militer kesana. 424 O’Brien meninggalkan Gunung Sahilan dengan disertai delapan orang polisi bersenjata dengan menggunakan dua perahu menuju Teso hingga Telok Merbo; dengan ditemani kepala lanskap Teso, berlayar menuju Ampang Cimpur hingga Telok Merbo dan melanjutkan perjalanan darat menuju Tanah Darat. Selama 6 jam, melalui Pangkalan Bringin menuju Perhentian Tinggi, dan dikatakannya, hadirnya kepala luhak nan balimo dari bagian utara Tanah Darat yang juga mendampinginya hingga Parit Jawo. O’Brien bermalam di Perhentian Tinggi. Menurut O’Brien, Perhentian Tinggi yang hanya terdiri dari empat rumah, salah satunya merupakan tempat “Pa–Mardjan”, yang diduga 422

Berita bertajuk “Vrijwillige onderwerping”, tanggal 3 Juli 1905 Bahwa Gubernur Jendral memerintahkan O’Brien untuk mengumpulkan informasi, tidak hanya lanskap Kampar Kiri, melainkan juga meliputi Rokan dan Kuantan. Selain itu, dengan konsultasi kepada Residen Pantai Timur Sumatra, O’Brien juga ditugaskan untuk menyiapkan suatu bahan bagi pergerakan pasukan guna penegakan keamanan dan ketertiban negeri-negeri di pedalaman: dilihat dalam Algemeenhandelsblad, tanggal 10 Agustus 1905. 424 O’Brien, hal.996-1003. 423

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

340

Belanda sebagai tokoh “provokator” pembunuhan Clifford; ia telah melarikan diri dengan keluarganya ke Benai di V Kota – Taluk, kawasan yang berada dibawah perlindungan Panglimo Rajo. Keesokan harinya, ia berjalan ke Parit Jawo yang memakan waktu sekitar empat jam. Di Parit Jawo, kepala Pangean dan Basarah tiba dengan membawa surat dari Raja Basarah, tetapi tidak untuk O’Brien, melainkan untuk dua kepala Tanah Darat. Bersama mereka, Manti - Raja, seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun, tapi masih kuat dan sehat. Kecuali beberapa informasi penting tentang Raja Basarah yang sebelumnya menyatakan telah mengirim persan kepada O’Brien dimana ia diharuskan membawa sejumlah f1000, ini untuk pertemuan antara Raja dan O’Brien, dan nampaknya kontrolir itu benar-benar mendengarkan Manti–Raja, yang juga menanyakan siapa sebenarnya kompeni(pemerintah kolonial). Dimasa itu, seperti umumnya kebanyakan orang, termasuk orangorang Kuantan menganggap Kompeni sebagai sesuatu yang tidak padu, seperti; Kompeni Bukit Tinggi, Kompeni Indragiri, Kompeni Medan, bagi mereka ini adalah beberapa hal yang terpisah satu sama lainnya. O’Brien berupaya menjelaskan bahwa dirinya adalah pejabat administrasi yang merupakan hamba Pemerintah Kolonial, sama dengan semua pejabat pemerintah kolonial; adalah satu dan juga semuanya mematuhi perintah Gubernur Jendral di Bogor, dan pemahaman tentang otoritas yang tersentral, nampaknya cukup aneh bagi mereka. Tanggal 3 Agustus kembali tiba utusan Basarah membawa serta surat dari Raja, yang dikatakan bersedia menerima O’Brien dan memintanya untuk melupakan saja perihal f1000. O’Brien mengakui, bahwa ia merasa tidak berharap banyak untuk keberhasilan misinya, tapi secara pribadi ia masih merasa terlalu awal untuk menilai Basarah, dan akan melihatnya sendiri apa yang sebenarnya terjadi di Kuantan tersebut. Tanggal 4 Agustus O’Brien meninggalkan Parit Jawo, didampingi kepala Tanah Darat dan delapan polisi bersenjata. Pada sore harinya, sekitar pukul 3, O’Brien bertemu dengan penguasa Pangean di Perhentian Lawas, selain itu juga seorang krani (sekretaris) dari Raja yang ditugaskan untuk menemani O’Brien ke Basarah. Dari Parit Jawo hingga Pasar Pangean menempuh waktu perjalanan sekitar 4,5 jam; dari sana perjalanan menuju Basarah akan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

341

memakan waktu hingga 2 jam. Saat itu hari jumat, dan di Pangean bertepatan dengan hari Pasar (pasar-dag), Sesaat terjadi “kekacauan-kecil” di pasar ketika para perempuan melihat pengawal O’Brien, polisi bersenjata tiba, dan mereka melarikan diri sambil berseru, “Kompeni–datang! Kompeni datang!” (Compagnie komt); akan tetapi, tidak ada hal-hal serius yang terjadi. Setelah istirahat sejenak di Pangean disebuah Lapau (kedai) yang dimiliki seorang haji dari Priaman, O’Brien melanjutkan misinya dengan berjalan kaki melewati sepanjang tepi kiri Batang - Kuantan , termasuk juga Tanah - Bakali dengan perahu yang panjangnya sekitar 20 meter yang dapat ditumpangi hingga sekitar 30 orang, maka, di Batang Kuantan itulah ditempuh perjalanan hingga empat jam lamanya untuk mencapai Basarah. O’Brien, setibanya di tempat Raja, menggambarkan peristiwa tersebut. Halaman depan Raja yang luas dipenuhi dengan orang bersenjata. Di pintu gerbang, berdiri seorang Melayu berjubah hitam dengan medali perunggu dan ekspedisi lintas Aceh, dengan dua gesper di dada....... Lalu ia mendekat dan mengambil posisi berdiri di dekat saya. Para kerabat: laki-laki muda dari Raja datang menemui saya dan mengantar saya ke balai - penghadapan (balairung), sebuah bangunan kayu persegi dengan Atap tertutup yang memuncak berbentuk persegi di tengahnya, disana, terdapat dua kursi. Raja sudah ada dibalai, kemudian menyambut di tangga dan lalu mengajak saya ke lantai atas. Di sanalah kami duduk saling berhadapan, terbuka dihadapan kerumunan. Saya lelah dan kotor setelah berjalan melalui hutan dan lumpur; sementara Raja terlihat gugup dengan celana hitamnya khas Kampong, bertelanjang kaki, dengan jubah hitam dengan bahagian depan setengah terbuka, sehingga gagang kerisnya terlihat keluar, dan juga penutup kepala berwarna hitam dengan garis emas yang luas. Pembicaraan dengan raja pagi dimulai hari Sabtu, tanggal 5 Agustus pukul 9 pagi dirumah raja. Sekarang ini adalah raja dengan para kerabatnya, seorang sepuh yang telah disebutkan sebagai Manti-Raja, kepala Tanah Darat, dan beberapa Penghulu itu (kepala kampung) dari Basarah dan Pangean. Secara umum diasumsikan bahwa distrik Kuantan berada di bawah Raja Basarah dan lima orang Gadang (orang besar), namun nampaknya, bahwa saat itu Raja RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

342

Hasan - memang hanya diakui dan dipatuhi oleh inuman, Basarah dan Pangean. Kepala ini memiliki tiga negeri, bersama dengan Tanah Darat, menyatakan secara tertulis untuk mematuhi peraturan, dan Raja menyerahkan sepenuhnya kepada O’Brien. Akan tetapi, penguasa V kota Taluk menolak hadir di Basarah untuk menemui O’Brien, meski disana berlangsung negosiasi substansial mengenai konsepsi dan pengembalian khusus para desertir dari Indragiri, yakni para narapidana yang melarikan diri. Raja bersumpah bahwa, apa yang diinginkan oleh pemerintah gubernemen tersebut, tidak satupun yang berada di wilayahnya yang meliputi negeri: Inuman, Basarah dan Pangean. Meskipun demikian, pada kesempatan itu dinyatakan kembali olehnya bahwa penghulu mereka akan melakukan upaya untuk mencari yuridiksi yang mencakup wilayah Tanah Darat. Namun sang Raja menginginkan keterangan tertulis dari O’Brien, yang kelak jika pemerintah Hindia berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan pihak oposisi - disertir, dan dari pihak pemerintah itu ada yang terluka atau terbunuh, bahwa pemerintah gubernemen tidak akan menuntutnya dengan harga darah (pampas atau dando). Pernyataan yang diminta Raja tersebut, kemudian diberikan oleh O’Brien. Dari informasi yang ada, tidak ditempat lainnya, para desertir tersebut terutama menghuni V kota Taluk, V kota ditengah (federasi Lubuk-Jambi), dan Federasi Lubuk-Ambacang, khususnya di Kota Tuo, bahkan di hilir Lubuk Ambacang terdapat para disertir, seperti halnya Angku-Kuning sebagai eks perang sipil di Singingi, selain itu, terdapat sekitar 20 kk orangorang Jambi yang oleh Angku Kuning ditempatkan di Kota Tuo dan Sarasah. Pada hari Senin, 7 Agustus O’Brien kembali menuju Gunung Sahilan dengan cara yang sama seperti yang saat dia pergi, dikawal oleh anak-anak dan keponakan dari Raja hingga ke Pangean, dilanjutkan oleh kepala Pangean sampai Perhentian Lawas, dan kemudian selanjutnya oleh kepala Tanah Darat. Menurut O’Brien, Kepala Tanah Darat mengatakan kepadanya akan mengikuti rencana dari pemerintah, sedangkan Raja-Hasan telah menunjukkan bahwa Tanah-Darat, berada di bawah kewenangannya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

343

Ekspedisi militer Terhadap Rantau Kuantan Dengan kedatangan pasukan Hindia Belanda ke Cerenti pada tahun 1905 (Bandingkan Koloniaal Verslag 1906, Kol.29/30) terdapat penawaran kepada baik Ongku-Sutan maupun Raja Hasan;425 Sebaliknya, pasukan yang berasal dari Pantai Barat Sumatra menghadapi perlawanan di Lubuk Ambacang. Oposisi sebagian besar berada di federasi Barat, IV Kota Lubuk-Ambacang dan IV Kota-di-Gunung, akan tetapi hanya federasi Lubuk Jambi dan Taluk-Kari yang didirikan oleh sekelompok pejuang yang diidentifikasi pemerintah Hindia sebagai “berbahaya” dari wilayah Jambi, dimana mereka menentang kedatangan pasukan Penjajah.426 Selain persoalan federasi Kuantan IV Kota di Mudik (Lubuk Ambacang) dan V Kota di Tengah (Taluk), terdapat juga Padang Tarab, kepala lanskap yang berdekatan dengan onderafdeeling Sijunjung, yakni; IV Kota dan V kota (V Kota ber-konfederasi dengan Padang Tarab) yang telah meminta agar diizinkan untuk berada di bawah administrasi Hindia, nampaknya telah berubah dan dibujuk untuk meninggalkan rencana kesepakatan tersebut. Oleh karena itu dengan Ord. 20 Agustus 1905 (Ind.Stbld.no.447) sebagai tindakan koersif, semua impor dan ekspor Kwantan ...dilarang. Sementara itu, Raja Hasan menyebut dirinya sampai saat itu sebagai Raja Kuantan, akan tetapi, sekali lagi pemerintah kolonial memandang tidak adanya hak apapun atas gelar tersebut. 425

Menurut Algemeen Oost-Indië. Tertanggal 5 agustus 1905, Middle Burgsche Courant menyebutkan bahwa Raja Basarah dari Rantau Kuantan, mengharapkan negosiasi untuk penyerahan dan jaminan keselamatan. Kondisi ini disikapi dengan suatu persiapan proses aneksasi dan resolusi damai. Kwantan sebagaimana telah beberapa kali disampaikan surat tentang kawasannya yang menjadi penampungan narapidana pelarian, namun dengan hasil yang tidak memuaskan; bahwa permintaan ekstradisi bagi Narapidana dan pelarian hingga batas waktu yang ditetapkan tidak dipenuhi...Akan tetapi, Raja sekarang cenderung untuk bekerja sama dan mencari solusi dari masalah yang ada... 426 Realita bahwa Pemerintah penjajah sejak September 1905 telah mempersiapkan sebuah konvoi militer kecil menuju Kuantan, seperti perwira infantri dan serdadu bayonet dari Riouw, juga juga petugas medis dari Siak (berita 23 September 1905), bahkan menurut berita yang lain, ekspedisi militer itu sendiri, memang telah dirancang untuk menguasai seluruh kawasan Sumatera Tengah secara bertahap, berita bertajuk “Een nieuwe expeditie”, tanggal 4 januari 1903. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

344

Dari berita kolonial, nampaknya beredar anggapan bahwa terdapat kepala federasi lainnya di Kuantan (IV Kota di Mudik atau Lubuk Ambacang, V Kota di Tengah atau Taluk, dan V Kota di Mudik atau Lubuk Jambi) yang tidak sependapat dengan penolakan Hindia, juga diyakini fakta bahwa terdapat beberapa kepala di Lanskap IV Kota di Mudik (Lubuk Ambacang) untuk tunduk kepada otoritas Hindia. Dengan kondisi seperti ini, detasemen dari Riouw dan dari Pantai Barat Sumatera segera menuju Kuantan. Detasemen dari Tanjung Pinang (Riouw) berangkat tanggal 7 Oktober dan tiba di Basarah pada tanggal 18 oktober, tanpa adanya perlawanan pihak oposisi. Setelah itu, Pada Tanggal 21 Oktober, Raja Hasan dan kepala Cerenti, Inuman, Kota Baserah (Kota Raja dan Kota Tuwa), Tanah Darat dan Kota Pangian melakukan apa yang dinamakan “de korte verklaring van onderwerping” (pernyataan singkat pengajuan penyerahan). 427 Sebaliknya, iring-iringan dari Pantai Barat Sumatera, bersama sepasukan dari Jambi, mengalami perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh Tuanku Nan Elok428 dari Lubuk Jambi bersama dengan orang-orang dari Lubuk Ambacang. Dalam satu penyergapan terhadap benteng di Lubuk Ambacang, kubu pertahanan tersebut dapat diambil alih oleh pasukan Belanda, dengan hasil dipihak kolonial seorang pemandu tewas dan dua serdadu pribumi bersenjata senapan terluka, sementara dipihak Kuantan didapati 18 orang pejuang gugur. Selanjutnya pemimpin Lubuk Jambi dinyatakan bersalah dan dipaksa menerima hukuman denda sebesar f10.000 untuk kepentingan Pemerintah penjajah. Tuanku Nan Elok melarikan diri ke Taluk, setelah perlawanan kuat dari Kariet, terdapat 2 pasukan penembak terluka dan 5 orang kuantan tewas. Berikut ini adalah beberapa catatan yang dikutip dari beberapa surat

427

Pada tanggal 11 oktober 1905 nampaknya pertahanan Taloek telah dipatahkan, dan pada bulan November ditempatkan semua yang tersisa dari Kwantan dengan Korte Verklaaring (pernyataan singkat), yang bersama-sama dengan orang-orang dari Raja Hasan dari IV Kota di Ilir, disetujui dan diratifikasi oleh Pemerintah tanggal 13 Maret 1900 No.142. Yang terakhir dilakukan pada tanggal 21 November deklarasi pengajuan yang tercantum di sini, Onderafdeeling Sidjoendjoeng batas-batas lanskap V Kota dengan Padang Tarab dan IV Kota ketika Gouv telah disebutkan . Bt . 13 Maret 1900 no24 . Kebijakan penutupan negeri Kwantan sendiri dihapuskan oleh Staatblad 1905 Nomor 576 tanggal 21 November 1905. 428 Sebagaimana diketahui, pemimpin perlawanan dari Lubuk Jambi adalah Tuanku nan Elok, adapun Datuk Sinaro Putih untuk Taluk. Pemerintah Kolonial, nampaknya juga memburu Datuk Maharaja, yang diduga terlibat atas tewasnya Van Raalten, anggota ekspedisi IJzerman; sejumlah 50-an orang disertir ditangkap, sebagaimana diberitakan tanggal 20 November 1905. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

345

kabar Kolonial, terutama berkaitan dengan kisah pendudukan Kuantan di Tahun 1905. Setelah rantau Kuantan diduduki (Taluk 11 Oktober oleh Detasemen dari Sijunjung–Cerenti tanggal 14 Oktober dan Inuman tanggal 16 Oktober), salah satu persoalan yang timbul adalah mengenai pembentukan pemerintahan disana, akankah Rantau-Kuantan tetap disatukan atau terpisah, dan menjadi bahagian dari pemerintahan Riouw atau Dataran Tinggi Padang? Dari Taluk tanggal 18 November, Batavia Nieuwswblad memberitakan429: Menulis dalam ruang dan waktu yang besar, terutama karena berbagai perubahan, berada di sini sejak kedatangan kami di posisi kepemimpinan tertinggi. Sebelumnya disebutkan bahwa setelah menaklukkan Taluk, satu detasemen kekuatan mobile di Jambi dan bagian dari detasemen Sijunjung bergerak menuju Jahei yang terletak disebelah utara Taluk, yang biasanya dapat dicapai dengan waktu sekitar tiga jam perjalanan darat, Pergerakan ini dilakukan setelah adanya pemberitahuan sehari sebelumnya bahwa pihak oposisi kampoeng akan melakukan penyerangan. Detasemen ini berada di bawah komando Letnan Nobele; letnan Meihuizen dan Van de Water juga hadir, Dr. Van der Laaren dari Sijunjung. Di Jahei, dimana-mana tidak hanya terlihat bendera putih sebagai tanda niat baik, alan tetapi juga berjumpa dengan detasemen dari Bangkinang yang sebelumnya baru saja tiba. Dikenali sebagai Letnan Holtoppel dan Jas, seorang petugas Kesehatan Masyarakat juga Kontrolir tersohor; O'Brien... Terjadi Pertemuan hangat dan tidak lama kemudian, Letnan Nobele kembali keTaluk. Saat ini, di Taluk, bagi Kapten Romswinckel tersedia kekuatan yang cukup untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Kwantan tengah dan barat; dan keesokan paginya menuju Lubuk Ramo di distrik Batang Hari, dimana yang bertindak sebagai komandan pasukan adalah Letnan Nobele. Akhirnya para “pejuang” pribumi itu menarik diri, itu adalah salah satu momen bahwa seseorang harus hadir sebagai penghargaan untuk mereka pasukan kita. Terdengar lagu "hoera" dinyanyikan oleh sekitar seratusan orang prajurit, yang sudah berbulan-bulan berkeliaran disebuah bagian wilayah di Sumatera 429

Algemeen Handelsblad, 2 Januari 1906, “De Annexatie der Kwantan Districten.” RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

346

tengah, teman kecil kita yang tenang, sesama serdadu sejak tiga hari yang lalu... bergerak dengan antusias dan mereka mengisi sekitar 200 stapler di sungai Kwantan yang luas bergemuruh.... Ini telah berakhir. Tanggal 16 Oktober, hari itu diterima telegram bahwa empat brigade Marsosse akan bergerak meninggalkan Padang Panjang, dan Kapten Bense, akan dilelahkan disebabkan kapasitasnya sebagai pemimpin harus segera bertindak, tidak hanya sebagai pemimpin militer melainkan juga sebagai pemimpin sipil Kwantan. Untuk mendukung kepemimpinan militer dan sipil Kwantan, adalah Kontrolir Hondius Van Herwerden ditambahkan ke jajaran perwira staf ini. Pesan untuk tetap mempertahankan detasemen Riouw di bawah wilayah tersebut, terlihat bahwa komando Militer Riouw berdiri. Tanggal 20 Oktober tibalah Kapten Bense, juga kapten Berenschot dan sepasukan Brigade Marsosse. hari berikutnya, dua brigade di bawah letnan Wasterval - Sementara itu Kapten Bense, melakukan pengaturan sebagai berikut: Letnan Holtappel, dengan detasemen nya ditempatkan di IX Kota dan Padang-Tarap. Letnan Jas dengan detasemen yang menjadi bagian dari Letnan Nobele, yang berbasis di Loeboek Djambi, sementara Letnan van Schelven dari penambahan brigade Marsosse .... Tiga komandan ini telah bertindak sebagai penguasa sipil sementara, dengan kantor pusat yang terletak di Taluk. Tanggal 22 Oktober detasemen melakukan pergerakan sejauh yang telah direncanakan dan diperlukan, mereka memulainya dengan orang-orang Kuantan, seperti; "Penyerahan senjata, pendataan, pembangunan jalan, membersihkan rumah dan pekarangannya..... Sementara investigasi seksama dilakukan terhadap pengungsi dan buruh paksa. Tuanku-nan-Elok melarikan diri ke Lubuk Jambi. Haji Jabur dan Datuk Simaraja ditangkap oleh Detasemen Riouw, sementara Datuk Senaro Putih, memegang perlawanan di Taluk, patroli mengejarnya kesana hingga keluar dari wilayah Indragiri.. Semua daftar buronan sekarang berada di tangan kita; mereka tentu akan mencari kesempatan untuk mengobarkan berbagai hasutan dan menjadi resistensi untuk waktu yang lama. Saya tambahkan sekarang, oleh patroli, ratusan desertir dan kuli kontrak kerja ditangkap... RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

347

Sekarang datang berita bahwa kapten Schröder dinominasikan disini sebagai pemimpin keseluruhan Kuantan dan Kapten Bense pun menuju Basarah, di mana kapten Schröder - komandan militer Riouw, juga berada. "Tidak ada dua kusir di atas satu kursi,” demikian dikatakan Kapten Bense, dan ia pun segera membentuk bestuur Kuantan Tengah dan Barat. Kapten Schroeder tidak melakukan perubahan terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pendahulunya, namun kapten Bense sekarang dengan Marsosse-nya ingin mengunjungi distrik Batang Hari, wilayah dimana setengah dari detasemen Nobele ditempatkan di Taluk. Beberapa hari kemudian Kapten Bense kembali dari Basarah dan Kerajaan Kuantan pun digulingkan,..... hal itu dilakukan pada waktu yang tepat. Sekarang, pemberitahuan diterima bahwa Kapten Colijn akan tiba dan mengambil keputusan akhir, dan kedatangannya dinantikan dengan begitu bersemangat. Catatan berikut, dari tanggal 26 – 28 Oktober 1905, merupakan catatan harian Komandan militer SCHRODERR selama berada di Kuantan, yang diberitakan dengan judul “Kwantan Districten” sebagai berikut430: Di kantor pers, kami menerima buku harian dari detasemen Kuantan, yang isinya sebagai berikut: 26 Oktober, Pukul 6.30 Letnan Agerbeek yang bertugas pada seksi mobile diberitakan menuju Pangean, jadi ada waktu selama beberapa hari untuk membawa pemerintahan daerah disekitarnya, begitu juga untuk memperoleh informasi tentang narapidana- pelarian, di Jambi dan Kuantan yang berasal dari V Kota.... Pukul lima memasuki Basarah, Kontrolir B.B. (Binnenlands-Bestuur) Hendius van Herwerden, juga datoek V Kota, Lubuk Jambi dan Lubuk Ambacang, dia mengatakan tentang isi telegram dari pemerintah tentang Besluit tanggal 16 Februari 1899 No.5, Kwantan, secara resmi merupakan bagian dari lingkup Residensi Riouw; Kapten Colijn telah memeriksa pemerintahan lokal dan penggabungan Kuantan dan wilayah sekitarnya, juga dilakukan konsultasi dengan kepala daerah administrasi bagaimana wilayah ini akan dikelola; landhoogd saat ini dan keinginan di Lubuk-

430

Berita Tanggal 13 November 1905; “Kwantan Districten”: “Catatan Komandan SCHRODEER.” RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

348

Ambacang dan Lubuk Jambi pengaruh dewan untuk melihat ke pantai barat Sumatera, sementara lainnya; Kwantan dengan Tanah Darat, ke Riouw, Penataan wilayah ini sesuai dengan keinginan dewan di Lubuk Ambacang dan Lubuk Jambi, Sementara batas tersebut tidak berlaku untuk aksi militer. Akan tetapi Kapten Bense beserta Herweden, bagaimanapun juga berpendapat bahwa pemisahan Rantau Kuantan akan menimbulkan permasalahan, karena seluruh Rantau-Kuantan sebenarnya adalah daerah yang terdiri dari Lubuk-Ambacang, Lubuk-Jambi, V kota ditengah dan V kota diilir... Tidak dilakukannya pemilihan raja atas seluruh Kuantan, bahayanya pemisahan dan kemudian penyelesaian akhir yang akan sulit untuk dijelaskan..Oleh karena itu, Kapten Bense menyarankan bahwa saya harus menerimanya. Dominasi Lubuk Ambacang dan Lubuk Jambi, hal ini akan dijelaskannya kepada Gubernur Pantai Barat Sumatra... Sebelum menyetujui permintaan Kapten Bense, saya pertama kali ingin meyakinkannya melalui diskusi dengan datuk nan berlima, apakah mereka menginginkan pemisahan Rantau-Kuantan atau tidak? 27 Oktober, Setelah diskusi dengan datuk nan berlima juga saya sampai pada kesimpulan bahwa, meskipun pemisahan RantauKuantan, sebagaimana dimaksud dalam telegram pemerintah, bukan tidak mungkin, namun hal tersebut tidaklah diinginkan, dan juga sehubungan dengan lembaga-lembaga yang ada dan adat RantauKwantan sementara ini berada di bawah satu administrasi sebagai satu penyelesaian akhir, masih perlu untuk meminta Rantau-Kuantan dibawah suatu manajemen pemerintahan, dengan kabupaten yang ada di bawah datuk-datuk; Hassan dan Sutan yang dianggap sebagai Raja, masing-masing pada Basarah dengan Pangean, dan Cerenti dengan Inuman. Alasan Dewan menerima seluruh Rantau Kuantan oleh saya atas saat ini. Dari Kontrolir Gunung-Sahilan, saya menerima satu catatan, bahwa ia telah membuka pernyataan singkat dengan kepala Tanah Darat yang sudah dinegosiasikan, berdasarkan administrasi pemerintahan, saya telah mengambil alih Rantau RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

349

Kuantan-dan-Tanah Darat.. jadi saya bertanya kepadanya juga untuk memberitahukan apa yang dilakukan olehnya dengan kepala Tanah Darat. Para kepala juga diminta untuk menuju Taluk, di mana saya akan pergi dengannya dalam beberapa hari. 28 Oktober, Kapten Bense dan kontrolir Hondius van Herwerden dan Meijer dengan Kapten Bense juga kembali ke Taluk. Kontrolir Meijer dengan perintah itu sendiri, memberitahukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan administrasi. Setelah menyerahkan administrasi kepada detasemen Pantai Barat Sumatera, awalnya ditempatkan di Sijunjung dan Muara Lembu, kemudian diberikan kepada komando saya. Pukul 6 sore, tibalah kembali Letnan Agerbeek dengan seksi Pangean, setelah melakukan patroli sekaligus pemetaan di sekitar Pangean, tidak ada ditemui hal yang janggal disini. ..Merkwaardigheden kwamen niet voor. De Militaire Commandant (w.g.) SCHRODERR Dilanjutkan kembali dengan catatan AlgemeenNieuwsblad, ditahun 1906:

yang

diterbitkan

oleh

Pada awal November (1905) kapten Bense meninggalkan Kapten Berenschot dan sepasukan Marsosse: seluruh Taluk dikuasai olehnya, bantuan Kolonel Romswinekel dikeluarkan untuk pasukan dari Pantai Barat, untuk saling menghormati dengan cara yang bermartabat yang mungkin diberikan. Sementara itu terjadi, dalam puasa mungkin akan terdapat beberapa kesempatan. Kapten Schroeder dan stafnya inspektur Meijer dan dokter Jensen - yang sekarang ini diperlukan untuk Taluk, telah datang dan pindah ke sana; sementara itu dari markas mereka, dokter Van Laaren dari Sijunjung dengan iring-iringan lengkap, Kapten Bense kemudian dokter dari Batang-Hari bergerak kembali menuju Padang. kontrolir Van Herwerden juga melakukan perjalanan ini, Namun, tidak sampai akhir karena ia dipanggil menuju Sijunjung dimana kapten Colijn akan mengunjungi Kuantan, sehingga ia pun bergegas kembali.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

350

Tanggal 11 November secara tak terduga, tibalah Asisten Residen Indragiri, Van der Velde - dengan kapal uap, yang telah disediakan oleh Pemerintah. Sebelumnya, ia tidak pernah menyusuri sungai Kuantan hingga jauh ke pedalaman, dan bertanya-tanya tentang fakta yang ditemuinya bahwa jumlah penduduk Taluk ternyata sangat besar. Malam berikutnya datang kapten Colijn dan asisten residen Fort van der Cape'len - dari Pantai Barat, membawa berita, bahwa Kontrolir Van Herwerden dan O'Brien akan turut serta dua hari kemudian, juga letnan Nobele dari Lubuk Jambi dan karena itu akan berpartisipasi dalam diskusi tersebut. Setelah penandatanganan pernyataan singkat (korte verklaring) dalam perjalanan bulan Oktober dan November, Lubuk-Ramo, IV Kota LubukAmbacang, V Kota Lubuk Jambi dan IV Kota di Tengah berada di bawah mereka: Datuk nan berlima, dan IV Kota Ilir di bawah Raja Hasan, dengan Ongku Sutan, kemudian adalah pengaturan sementara pada tanggal 17 November 1905, ditentukan, bahwa Raja Hasan diakui sebagai kepala IV Kota di Ilir Baserah, dan Pangean akan dibawah kewenangan langsung pemerintah, sedangkan Raja-Begab (atau Ongku-Sutan) di Cerenti dan Inuman. Situasi ini tidak berlangsung lama dan berakhir dengan wafatnya Raja Hasan pada tanggal 25 September 1906, kemudian, sesuai dengan keputusan Pemerintah Tanggal 6 Juli 1907 No: 13, Raja Begab (Ongku Sutan) ditunjuk sebagai satusatunya kepala IV Kota di Ilir. Adapun wilayah Tanah Darat terkait dengan pengukuhan penguasa IV Kota di Ilir, dan juga dengan alasan yang sama, untuk Lima Teratak pada IV Kota di Mudik.431 Berdasarkan Besluit Tanggal 9 Januari 1907 No.20 (Staatsblad No.9), Distrik Kuantan menjadi bahagian dari Afedeeling Indragiri, Residensi Riouw en Onderhoorigheden. Dengan demikian, dimulailah era pemerintahan dengan pengawasan seorang Kontrolir. Meskipun demikian, Rantau Kuantan tetap diberikan kewenangan untuk menjalankan sendiri sistem zelf-bestuur.

431

Nijhoff, 1908. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

351

8 Negeri dalam Transisi Pada bahagian ini akan dibahas Kuantan dan Bagansiapiapi, sebagai negeri yang mewakili darat–pesisir. Kuantan dihadirkan sebagai representasi negeri darat. Bahwa, lokasinya yang berada di sumbu perlintasan dataran tinggi – pesisir semenjak era Hindu Budha, dan indikasi perubahan pada bangunan supra sebagaimana ditangkap oleh para ahli menjelang tutup milenium ke-2, membuat tidak adanya alasan untuk tidak menampilkannya dalam konteks darat – pesisir di Riau Daratan. Kemudian, Bagansiapiapi yang berlokasi di muara sungai Rokan yang mulai tumbuh pesat diakhir abad ke-19, segera saja menarik pusat perekonomian dari hulunya di Tanah Putih. Sebagai wilayah dependensi Siak, Belanda menjadikannya sebagai pusat pemerintahan dari tiga sub distrik di hilir sungai Rokan yang kesemuanya juga merupakan dependensi Siak. Belanda nampaknya berhasil menjadikan Bagansiapiapi tidak hanya sebagai “tambang emas kecil” bagi kas Hindia, juga menjadikan kawasan ini sebagai yang terdepan semenjak era pra-kolonial. Meskipun saat kejayaannya mayoritas penduduk kota adalah nelayan Cina, akan tetapi merupakan bahagian dari politi lokal melalui hak-hak tradisional hingga Belanda tiba “menggantikannya” sebagai pemilik hak sewa. Signifikansi ditampilkannya Bagansiapiapi adalah bahwa kota ini semenjak era Hindia merupakan pertemuan aktif berbagai aktifitas ekonomi yang juga melibatkan puak-puak Melayu dari tiga politi kuno: Tanah Putih, Kubu dan Bangko, juga politi disepanjang pesisir timur dan pedalaman. Letaknya yang strategis ditepian Selat Malaka, dan begitu dinamisnya pembentukan identitas di alam otonomi daerah.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

352

Rantau Kuantan: Masyarakat Melayu Negeri Hulu kita fokuskan perhatian kepada lanskap darat yang berbatasan dengan Sumatra westkust; distrik Kuantan. Pada masa pra-kolonial, mengacu pada bagan silsilah kerajaan Pagaruyung yang disusun oleh IJzerman, terutama tentang garis Yang dipertuan nan Putih dan saudaranya; Raja di Buo; Kontrolir Schwartz ada menyebutkan beberapa pangeran, dan bahwa Yang dipertuan Putih-lah yang disebutkannya memiliki otoritas di Rantau Kuantan. Beberapa pihak menyebutnya Yang di Pertuan Panjang Lutut sebagai raja yang pertama, yang lainnya lagi menyebutkan; Yang dipertuan Tunggul. Terdapat juga pendapat menyatakan bahwa Tahta Raja Beniang diperselisihkan oleh adiknya, dan bahwa ia, telah didorong oleh mereka untuk berpindah ke Lubuk Tarab; Lebih lanjut dikatakan bahwa Yang dipertuan Tunggul atau keturunannya adalah pangeran Minangkabau, akan tetapi, ia tidak pernah menjadi penguasa di negeri Kuantan. Berkembang dugaan bahwa, nampaknya negeri di perbatasan eks Pagaruyung ini, kekalahan Padri diikuti dengan pembagian Rantau Kuantan dikalangan mereka sendiri dengan hasilnya; yang pertama adalah Yang dipertuan Putih, dimana ia berhasil diakui sebagai Raja yang berdaulat. Diberitakan bahwa pada bulan April 1838, beberapa pedagang menemui Residen Dataran Tinggi Padang; yaitu Steinmetz, dengan membawa serta surat dari Yang dipertuan Putih, sebagai raja Kuantan di mana ia meminta dibukanya suatu hubungan dengan pemerintah Belanda. Gubernur Michael menduga bahwa permintaan ini datang bersamaan juga dengan keinginan Sultan Indragiri, yang saat itu sebagaimana dilaporkan oleh Residen Palembang, permintaan ini disertai dengan tibanya anak Yang dipertuan. Sang Residen menerima permintaan ini secara tertulis tentang pembukaan negosiasi antara Hindia Belanda dengan Kuantan dan Indragiri. Persoalan dengan Indragiri, Belanda menganggap telah diselesaikan pada bulan September tahun itu juga, akan tetapi, tidak halnya dengan rantau Kuantan. Bahwa hingga akhir abad ke-19, belumlah diketahui bagaimana hasil kelanjutan proses hubungan tersebut yang melibatkan beberapa generasi, meskipun sebenarnya penjajah membayang-bayangi setiap proses dinamis terutama yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di Rantau Kuantan. Hingga akhirnya diawal abad ke20, sebagaimana telah disampaikan, dengan dalih bahwa para pempimpin di rantau Kuantan tidak mengindahkan permintaan penjajah untuk RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

353

mengekstradisi pelarian tahanan Belanda yang menyeberang kesana yang saat itu berstatus sebagai negara merdeka, maka tibalah ekspedisi militer Belanda pada tahun 1905.432 Rantau Kuantan pun dianekasi, seluruh kewilayahan “rantau nan kurang duo puluh” dimasukkan menjadi bahagian Residensi Riouw en Onderhoorigheden yang beribukota di Tanjung Pinang. Selanjutnya, uraian Kato Tsuyoshi akan membantu kita memahami, bagaimana distrik ini akhirnya beralih, dari awalnya sebagai lanskap perbatasan Minangkabau menuju tatanan baru dibawah administrasi Hindia, dan juga perkembangannya menjelang pergantian milenium. Pada saat ekspedisi IJzeman di tahun 1891 ke Rantau Kuantan, penjelajah tersebut diberikan catatan oleh Kontrolir Schwartz termasuk diantaranya tentang kondisi demographi rantau Kuantan, yang dikatakan telah terjadi penurunan drastis dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini, diyakini sebagai akibat dari migrasi yang dilakukan warga menuju ke Kepulauan, ataupun juga ke Semenanjung. Jika disebelah darat, pasca perang Padri, Belanda giat-giatnya melakukan perluasan budidaya dan pembangunan jalan-jalan raya yang menghubungkan pedalaman dengan Pantai Barat, maka disisi timur, masyarakat Kuantan seolah ditarik oleh magnet perkembangan di kepulauan Pulau Tujuh dan Semenanjung. Sesepuh di Kuantan sering menyebut sebagai “poi kalaui” atau pergi ke laut ketika menggambarkan migrasi keluar dari Kuantan pada periode ini. Bahwa migrasi ke kepulauan Pulau tujuh, terbukti lebih tua ketimbang ke Semenanjung. Di Pulau Tujuh, maka orang Kuantan terlibat dalam budidaya kelapa, baik sebagai petani penggarap maupun petani kecil; sementara di Semenanjung, mereka umumnya bergerak sebagai petani karet. Orang Kuantan mengalami perubahan substansial setelah budidaya karet rakyat diperkenalkan ke wilayah tersebut sekitar tahun 1910, terdapat dua booming karet di Riau Daratan pada umumnya, dan di Kuantan khususnya sebelum Perang Dunia II, yaitu paruh kedua tahun 1920 dan bahwa dari 1930. Ledakan kedua lebih baik diingat lokal daripada yang pertama, di sana adalah beberapa kemungkinan alasan untuk hal ini. Ledakan kedua, lebih jelas dalam pikiran orang. Kenangan yang baik dari ledakan pertama diimbangi oleh kenangan pahit Depresi Besar tahun 1929. Orang Kuantan, terlibat lebih mendalam dan luas pada era booming karet kedua, sebagaimana dirangsang oleh terjadinya booming pertama dari budidaya 432

IJzerman, 1895, hal.48-49. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

354

karet. Pada era kedua, dapat diingat dengan jelas sebagaimana era Kupon. Setelah mengalami penurunan harga yang drastis dari karet selama Depresi besar, pemerintah Belanda, Inggris, Perancis dan Siam menandatangani Perjanjian Peraturan karet internasional pada tahun 1934 dalam rangka untuk mengontrol produksi karet dan menstabilkan harga karet dunia. Untuk tujuan ini pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kupon triwulanan kepada petani kecil yang menentukan jumlah produksi karet yang diperbolehkan dari masing-masing pemegang selama kuartal tertentu. Untuk setiap kuartal, dealer karet hanya bisa mengekspor jumlah karet sesuai dengan spesifikasi pada izin ekspor yang terakumulasi di tangan mereka. Dengan demikian, kupon dipastikan membentuk pasarnya sendiri yang terpisah, namun terkait dengan pasar karet. Penghasilan ganda dari petani kecil dan kupon dan Kenyataan dari jual potongan kertas belaka di kalangan petani. Salah satu dampak langsung dari booming karet adalah penghentian migrasi keluar dari Kuantan. Tidak hanya orang berhenti bermigrasi, tetapi juga sebahagian orang-orang yang telah pergi ke Pulau Tujuh, Semenanjung Malaya dan di tempat lain, datang kembali ke kampung halamannya untuk tidak tertinggal ekonomi booming karet. Pada saat itu, Kuantan pada kenyataannya mulai menarik pendatang dari luar, terutama dari Sumatera Barat. Minangkabau datang pada masa booming ke Kuantan terutama sebagai penyadap, pedagang keliling dan seniman, juga sebagai guru Islam. Beberapa orang Kuantan yang bagus kedudukan ekonomnya mulai pergi melancong ke Sumatera Barat, yang menurut beberapa tetua Kuantan, jauh lebih maju dalam setiap aspek kehidupan daripada Kuantan. Beberapa diantaranya bahkan mulai menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah Islam modernis di Sumatera Barat. Beberapa pedagang lokal menjadi kaya oleh “babelok” ke Singapura, mengimpor barang asing seperti piring keramik, barang logam, kaca dekoratif, botol, brankas besi, kuningan, sepeda, mesin jahit dan gramofon. Hubungan ekonomi yang erat dengan Singapura selama ini sebagian dapat disimpulkan dari beberapa istilah bahasa Inggris dilaporkan digunakan di Kuantan sebelum perang, misalnya, sigaret, baisikal, stocking daripada Rokok, Sepeda, dan Kaus kaki, yang lebih umum digunakan di Hindia Belanda. Melihat kembali sejarah Kuantan Pra-Perang Dunia II, sangat intens terjadi dan berlangsung terus menerus interaksi antara Kuantan dan dunia luar dalam bidang ekonomi.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

355

Dua booming karet, membawa menghilir banyak orang Minangkabau dari Sumatera Barat ke Kuantan. Beberapa akhirnya menikah dengan wanita lokal, akan tetapi mayoritas pergi ke sana sebagai migran sementara. Mereka menemukan bahwa di Kuantan berperilaku sebagai Minangkabau – akan tetapi tidak benar-benar Minangkabau. Mereka juga melihat bahwa Kuantan menjadi lebih mundur daripada Sumatera Barat. Migran Minangkabau disana memperkenalkan reformisme Islam, pemikiran pendidikan Islam modern dan nasionalisme ke Kuantan. Setelah sekolah dasar setempat mulai dibuka di Kuantan di 1910-an, sebagian besar gurunya berasal dari Sumatera Barat. Fakta ini saja mengesankan langkah besar orang Minangkabau di Kuantan terhadap kemajuan. Dengan atau tanpa pengalaman pribadi pernah mengunjungi Sumatera Barat, Orang Kuantan sendiri mulai mengenal superioritas Sumatra Barat dibidang; ekonomi, pendidikan, agama dan budaya. Dengan kemajuan sistem komunikasi dan transportasi, orang Kuantan bepergian ke tempat yang jauh seperti Semenanjung Malaya dan Pulau Tujuh. dan lebih penting lagi, hal itu juga memungkinkan bagi mereka untuk dengan mudah datang kembali ke rumah bila diperlukan. Di masa lalu properti yang paling berharga atau kekayaan adalah tanah, baik bagi mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang bermigrasi. Ini berarti bahwa orang-orang, lebih atau kurang selalu membuat pergerakan permanen ketika melakukan migrasi. Meningkatnya penetrasi ekonomi uang di Hindia Belanda pada awal abad ke20 mengubah situasi ini. Uang yang dapat diakumulasikan dan disimpan sekarang menjadi sangat penting. Selain itu, terdapat pula banyaknya barang-barang aneh dan ganjil yang semakin tersedia saja dari Eropa, Jepang dan China yang bisa mudah dibawa kembali dan ditampilkan di rumah sebagai hasil kerja mereka. Singkatnya, sirkulasi populasi menjadi norma. Dengan jumlah penduduk lokal yang beredar, migran Minangkabau dari Sumatera barat membawa informasi baru mengenai perubahan dunia luar dan juga berbagai barang materi baru. Di tengah perubahan, orang Kuantan tumbuh lebih sadar tentang pertanyaan tentang siapa mereka. Kesadaran untuk tumbuh menjadi lebih seperti Minangkabau, dimana mereka mulai menyekolahkan anak-anaknya ke Sumatra Barat. Akan tetapi, masuknya bala tentara jepang telah menghentikan segala proses, termasuk kesadaran yang baru tumbuh ini. Pasca invasi tahun 1905, Belanda mencoba melakukan beberapa perbaikan infrastruktur, terutama yang terkait dengan transportasi. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

356

Bahwa, sungai sebagai sarana utama, maka tongkang pun ditarik oleh perahu bermotor untuk membawa karet ke dunia luar. Sementara era tahun 19201930, Belanda membangun jalan yang menghubungkan Kuantan dengan Padang melalui Kiliran Jao. Berdirinya provinsi Riau tahun 1958 dan pemindahan ibukota dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, dengan kondisi jalan raya yang masih minim, bagi orang Kuantan, membuat Pekanbaru menjadi lebih jauh dari Tanjung Pinang. Bahwa Tanjung Pinang dapat dicapai dengan mudah melalui transportasi air, sebaliknya, akan berbeda jika akan bepergian ke Pekanbaru. Akan tetapi, ini tidak berlangsung lama. Perbaikan dan penyempurnaan jalur transportasi yang menghubungkan dengan Pekanbaru, program TVRI dan TV swasta, menyediakan akses yang besar bagi Kuantan untuk menyerap homogenisasi nasional dalam ruang-ruang interaksi mereka. Jalur jalan raya, tidak saja memudahkan hubungan dengan ibukota provinsi di Pekanbaru, melainkan juga memperpendek jarak ke Jakarta. Dengan demikian, Kuantan menjadi semakin terbuka untuk menerima migran yang tidak saja dari Sumatra Barat, melainkan juga yang berasal dari Jawa.

Gambar 8.1. hoogwaardigheidsbekleders di Rantau Kuantan, akhir abad ke-20.Sumber: KITLV.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

357

Bagansiapiapi: Kejayaan yang Tak Pernah Padam Bahwa Traktat tahun 1871 (Perjanjian Inggris – Belanda) telah menyebabkan “booming” industri perkebunan swasta di kawasan Pantai Timur Sumatra yang menghasilkan hingga f2.5 juta yang berdampak pula pada reorganisasi pemerintahan kolonial; seperti pada tahun 1873 melalui Staatsblad 1873 No. 81 dibentuklah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis, Labuhan Batu dan Asahan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkebunan tersebut yang diiringi dengan kontrakkontrak baru antara Belanda dan Siak termasuk kontrak dimana pemerintah Hindia mengeluarkan kebijakan akuisisi hak “pacht” atas lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko – hal ini berarti perluasan kewenangan Kolonial di kerajaan Siak - maka sebagai konsekuensi logisnya adalah pendirian kantor Belanda dan ditempatkannya seorang pejabat kontrolir di Tanah Putih di tahun 1885,433 bahwasanya salah satu butir kontrak – Pasal 4 dari perjanjian antara wakil Pemerintah Hindia dengan Sultan Siak: Mangkubumi dan para “Rijksgrooten” (para pembesar kerajaan) Tanah Putih atas hak pemungutan pajak pada wilayah Tanah Putih, Kubu dan Bangko yang ditetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari 1886 – sebagaimana diketahui bahwa Tanah Putih adalah Lanskap dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi kapal dari pedalaman hingga era 1880-an. Kemudian secara bertahap, Pemerintah Hindia pun sebagaimana telah disampaikan mulai melengkapi komponen pemerintahannya dengan sumber daya personil mulai dari tenaga administrasi pemerintahan hingga satuan polisi. Berikut ini adalah kontrak sebagaimana yang ditandatangani oleh pihak Belanda dan Sultan Siak – Mangkubumi beserta para pembesar Tanah Putih pada 23 Juni 1884: 434 433

Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas pengumpul bea, melainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: yaitu seorang kontrolir yang juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang juru mudi dan 6 orang awak kapal, dan sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura - maka Tanah Putih masuk dalam kategori Kelas 2a. dilihat dalam Soerabaiasch Handelsblad; 27 Juni - 1Juli 1885. 434Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer, 17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

358

CONTRACT betreffende de overneming van belastingen in TANAH-POETIH. Aangezien het Nederlandsch-Indisch Gouvernement, krachtens artikel 26 van het op den 1sten Februari 1858 met den Sultan en de rijksgrooten van Siak Sri Indrapoera en onderhoorigheden gesloten contract, de bevoegdheid bezit om de heffing van alle in dat gebied bestaande belastingen tegen de uitkeering van eene billijke schadeloosstelling aan de betrokken vorsten en hoofden, in overleg 21rekening te exploiteeren en de tarieven daarvan te wijzigen, het zij die af te schaffen of door andere te vervangen; Aangezien het wenschelijk is gebleken om van de voormelde bevoegdheid gebruik te maken, ten einde in TanahPoetih, evenals in de overige landschappen ter Oostkust van Sumatra, in het belang van den algemeenen handel een meer gelijkmatig werkend belastingstelsel in het leven te roepen: Zoo is op heden den 23sten Juni 1884 door mij RENSE CHRISTIAAN KROESEN, ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, resident van de Oostkust van Sumatra, handelende uit naam van het Nederlandsch-Indisch Gouvernement en daartoe behoorlijk gemachtigd door Zijne Ex-cellentie den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie; ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, met Zijne Hoogheid den Jang di Pertoean Besar SJARIF KASIM ABDOEL DJALIL SAIFOEDIN, Sultan van Siak Sri Indrapoera en onderhoorigheden, ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, den mangkoeboemi Tongkoe POETRA, benevens de datoehs, rijksgrooten van het landschap Tanah Poetih, hoofden der soekoe's Melajoe besar, Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, te zamen voerende het bestuur over het landschap-TanahPoetih, onder nadere goedkeuring van Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal, de volgende overeenkomst gesloten: Art.1 Zijne Hoogheid de Sultan en de mangkoe boemi van Siak en de landsgrooten van Tanah Poetih, staan over het geheele gebied van laatstgemeld landschap aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement af het uitsluitend recht tot het heffen van inkomende en uitgaande rechten, en zulks tegen eenejaarlijksche schadeloosstelling van f7500 (zeven duizend vijfhonderd gulden), te verdeelen als volgt: aan Zijne Hoogheid den Sultan, ter uitkeering aan Toengkoe Poetra, f5625 (vijf duizend zeshonderd vijf en twintig gulden); aan het hoofd der soekoe Melajoe besar f 750 (zevenhonderd vijftig gulden); aan de hoofden der soekoe's Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, ieder f 375 (drie honderd vijf en zeventig gulden) 'sjaars. Art.2 Aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement blijft het recht voorbehouden om de aan zich getrokken belasting in het gebied van Tanah Poetih te wijzigen, dan wel nieuwe daarvoor in de plaats te stellen. Art.3 Zijne Hoogheid de Sultan en de hoofden van Tanah Poetih verbinden zich om het Nederlandsch-Indisch Gouvernement alle noodige hulp te verleenen ter verzekering van zijne rechten op de heffing der in-en uitgaande rechten in het landschap-Tanah Poetih, terwijl het Nederlandsch-Indisch Gouvernement zich het recht voorbehoudt alle RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

359

zoodanige maatregelen te nemen, als ter verzekering eener richtige heffing noodzakelijk zullen worden geacht. Art.4 Het tijdstip van inwerkingtreding dezer overeenkomst wordt bepaald op 1 Januari 1886. Aldus ten dage voorschreven overeengekomen te SiakSriIndrapoera, waarna dit contract door ons is onder-teekend en bezegeld. De Resident der Oostkust van Sumatra, (get.) KROESEN. Stempels en handteekeningen in Arabische karakters. Dit contract is goedgekeurd en bekrachtigd op heden den 7den Juli 1885.

Kontrak ini, sebenarnya telah mengalihkan hak kewenangan para elit lokal khususnya Siak dalam penguasaan langsung atas sumber daya. Sebagaimana diketahui, Sultan Siak dan pembesarnya beserta para pemimpin di tiga lanskap di hilir Rokan menerima hak-hak dari penyewaan yang dikelola langsung oleh Siak, akan tetapi, terjadi keluhan oleh para pemimpin lokal di tiga lanskap atas model pembahagian yang dilakukan, dan ini direkam oleh Belanda terutama menyangkut bea impor – ekspor, cukai dan juga sewa atas pulau-pulau. Pada tahun 1882, Mangkubumi menyerahkan hak kepada Eropa dan atas orang China di Singapura, sementara dari sisi yang lain, situasi ini berulangkali melahirkan keluhan, hal yang dikatakan hak sewa untuk setiap orang Eropa, dimaksudkan oleh mereka semestinya dapat dilakukan dengan cara yang lebih baik. Sejak kontrak ditandatangani pada saat itu, sejumlah $400 langsung dibayarkan kepada penerima, dimana dari sejumlah $400; Datuk Melayu Besar memperoleh 2/5 bagian atau sejumah $160, dan tiga orang lainnya masing-masing 1/5 bagian atau sejumlah $80. Yang pertama perolehannya sejumlah $160 atau 1/4 atau $40 lagi untuk tongkat utamanya, Lela Raja, sehingga ia sendiri menikmati hanya sebesar $120. Datuk Melayu Besar dikatakan seharusnya memperoleh lebih banyak, hal ini mengingat karena ia memiliki sejumlah besar anak buah. Jumlah keluarga punggawanya saja diduga sekitar 150 keluarga, sementara yang lainnya; Melayu tengah dan Mesah masing-masing sekitar 25 keluarga, dan Batu Hampar sekitar 35 keluarga. Secara keseluruhan Tanah Putih memiliki sekitar 250 keluarga, sehingga jumlah total mencapai 12-1500 jiwa.435 Sementara itu pendapatan sah kepala Bangko secara keseluruhan adalah Pancong Alas, 435

Hijman van Anrooij, hal.383-384. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

360

kecuali sialang, yang sebahagian dicabut dari mereka dan digantikan dengan; denda. Pejabat dibawahnya; Tongkat, dapat menjatuhkan hukuman dengan tanggungan sebesar $10, dan "Datuk bisa melakukannya hingga sebesar $20. Menurut adat di Bangko, bahwa semua denda yang diterima oleh Datuk, setengah-nya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Meskipun demikian, ia masih harus membagi sama besar dari setengah lainnya yang umumnya berada di bawah tongkat. Apakah ini benar, sepertinya Tongkat pun mengeluh, bahwa denda yang diterapkan Datuk tidak menghasilkan apa-apa untuk mereka, akan tetapi, kondisi ini tidak dapat dikomunikasikan lebih jauh lagi. Berbagai pendapatan di Bagan Api-Api (pemasukan dari opium dan arak, permainan dadu dan pajak ekspor udang dan belacan) yang dikenakan sebesar $600 oleh Sultan; disewakan ke orang China. Saat itu Bagan Api-Api dengan Panipahan (di Kubu) disewakan ke orang China di Singapura sebesar $2800. Dari sejumlah $2800 tersebut, Sultan berjanji sejumlah $150 per tahunnya untuk Datuk Bangko. Sementara di Kubu, retribusi dari beberapa hak dimana terdapat komunitas China di Panipahan, digunakan oleh kapiten China di Bengkalis sebagai hak sewa senilai $450 pertahun, berbeda dengan Bagan Api Api dalam komplotan dengan kongsi-kongsi Singapura yang diberikan untuk nilai $2800 per tahunnya. Datuk mengklaim, bahwa mereka sebelumnya memiliki hak untuk untuk menangani bea pajak ikan tangkapan sebesar 1 real($ 0,20) per pikulnya, sementara saat itu tidak hanya bahwa hak-hak mereka telah teralihkan, bahkan tanggungan mereka sejumlah 5% dari ikan yang ditangkap oleh penyewa pun terpaksa dilepaskan. Untuk klaim yang satu itu, juga beserta yang lainnya, sayangnya ditolak oleh pihak Siak. 436 Berkaitan dengan implementasi kontrak 23 Juni 1884 tentang pungutan pajak tersebut diatas, bahwa pada awalnya ditahun 1886 terjadi pembangkangan oleh komunitas nelayan Bagansiapiapi terhadap pemerintah kolonial, dengan insiden perlakuan “tidak sopan” yang dilakukan oleh komunitas China terhadap Kontrolir Tanah Putih yang berkunjung kesana untuk melakukan pengumpulan pajak dari hak atas sewa (pacht) garam dan opium yang telah diserahkan Sultan Siak kepada pemerintah Hindia. Seperti kisah lainnya di tanah jajahan, ada penolakan maka akan ada reaksi. Pemerintah Kolonial melakukan blokade atas jalur opium, pacht garam dan aktifitas penangkapan ikan di Bagansiapiapi selama lima hari dengan menggunakan kapal uap 436

Hijman van Anrooij, hal.386-387. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

361

Belanda – “M.S.Djambi” dan beberapa kapal uap kecil, maka selanjutnya yang terjadi pada sikap orang-orang China di Bagansiapiapi adalah meletakkan kepala di pangkuan (mengalah), akan tetapi ditemui, bahwa sang Kontrolir tersebut kembali ke Tanah Putih.437 Kontrolir kemudian kembali lagi ke Bagansiapiapi dengan bersama satu kesatuan polisi, dan komunitas China Bagansiapiapi tersebut membayar biaya kerugian serta pajak atas hak sewa (pacht) garam dan opium sebesar 1500 dollar. Kontrolir dan satuan polisi tersebut lalu mengadakan sensus di “kampung” Bagansiapiapi438. Setelah itu, orang China di Bagansiapiapi pun melakukan kegiatan seperti biasa, yakni menjalankan bisnis penangkapan ikan. Pemerintah Penjajah menganggap bahwa mereka memenangkan momen tersebut berdasakan kelemahan komunitas China Bagansiapiapi itu sendiri. Peristiwa tersebut, menjadi pemicu hadirnya Hindia dalam industri perikanan di Bagansiapiapi: bahwa, diakhir abad ke-19, seluruh sumber daya komunitas ini dikerahkan untuk mendukung industri tersebut. Kembali terjadi reorganisasi pemerintahan, bahwa pada tahun 1887 melalui Staatsblad 1887 Nomor 21 dibentuklah beberapa Afdeeling yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen; yang mana diantaranya adalah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Bengkalis, Siak dan Tanah Putih. Perkembangan tersebut, nyata-nyata terlihat dari keadaan kependudukan yang bahkan pada tahun 1888, tepatnya dua tahun sesudah peristiwa blokade, populasi China Bagansiapiapi tumbuh dengan sangat pesat, yakni mencapai 4000 jiwa (Bagansiapiapi sejumlah 2500 dan Panipahan sejumlah 437

Dilihat dalam Butcher, 1996,Juga seperti terdapat pada “Chineezen buiten China,” Tahun 1909, — Bijlage 11. (Zie blz. 322). B elangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]: “In Januari 1886 zag ons bestuur zich genoopt om eenige aan den mond der Rokanrivier, te Baganapiapi, gevestigde Chineezen, die aldaar de visch – en de garnalenvangst uitoefenen, tot gehoorzaamheid te brengen, daar zij geweigerd hadden den pachter, wien de Sultan van Siak het opium en zoutmiddel aldaar had afgestaan, te erkennen en tevens een onbetamelijke houding hadden aangenomen tegen den controleur van Tanah Poetih, die naar baganapiapi was gekomen om er de bedrijf belasting te innen. Toen geleden verlies te vergoeden en de verschuldigde bedrijf belasting te betalen, werd als dwangmaatregel haar de uitoefening van haar bedrijf belet waartoe het gouvernements-stoomschip Djambi met een paar stoomsloepen naar Baganapiapi werd afgezonden. Nadat de maatregel gedurende 5 etmalen met klem gehandhaafd was, legden de Chineezen het hoofd in den schoot. 438 Dilihat dalam BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's Oostkust. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

362

1500 jiwa; bandingkan dengan laporan Rijn van Alkamade Tahun 1884 yang hanya berjumlah 1000-an jiwa di Bagan dan sejumlah lainnya di Panipahan dan Tanah Putih), dimana sebagian besar dari mereka didorong untuk melakukan penangkapan ikan. Bahwa pesatnya arus migran China yang bergerak dibidang perikanan dan panglong di Bagansiapiapi, selain disebabkan oleh dorongan pemerintah Kolonial, juga melibatkan Rijksgrooten Siak; salah seorang pembesar Siak yang memperoleh hak atas distrik Tanah Putih, melakukan perjalanan ke Singapura guna menemui para nelayan dan Panglong China disana, mengajak mereka untuk bermigrasi menuju Bagansapiapi yang dikatakan memiliki prospek yang bagus. Dan hasilnya, dikatakan oleh sumber warta kolonial memang banyak dari mereka akhirnya bermigrasi ke Bagansiapiapi.439 Meskipun perkembangan perkebunan dengan modal Eropa di pedalaman menunjukkan peningkatan – bahwa di tahun 1895 tercatat sejumlah tujuh belas perusahaan Eropa pemegang konsesi perkebunan di Tanah Putih, sayangnya, ditahun 1892, setelah dilakukan pengujian penanaman Tembakau yang hasilnya ternyata tidak memuaskan, beberapa perusahaan yang sudah didirikan terpaksa ditutup. Kisah perkebunan komersil nampaknya berlanjut dengan pengembangan tanaman karet. Meskipun demikian, dengan pertimbangan untuk memudahkan urusan penanganan bea, maka, kontrolir yang semula di tahun 1885 ditempatkan di Tanah Putih, direncanakan dipindahkan ke Bagansiapiapi yang dimulai pada tahun 1894. Segera, segenap struktur pemerintahan Hindia, bermukim dan memulai serangkaian kebijakannya; mulai dari infrastruktur pemerintahan sendiri, hingga hal-hal yang mendukung industri yang pada akhirnya, juga ikut mendorong perkembangan, dari kampung Bagansiapiapi menuju “kota kecil nelayan” di muara sungai Rokan. Seperti tercatat dalam Staatsblad 1894 No.93440 kemudian No. 94, Onderafdeeling Tanah Poetih rencananya dipindahkan ke 439

Dari laporan kunjungan seorang Eropa ke kediaman Tengku Mangkubumi, dalam “Sultan van Siak”, De Sumatra Post, 31 Januari 1899. 440 “Sedert ingevolge Stbl.1894 No.93 ook in de landschappen Banka en Koeboe de heffing van in – en uitvoerrechten in onze handen gekomen is, en bij die gelegenheid de standplaat van den controleur verlegd is van Tanah Poetih naar Bagan Api Api, hebben de zaken aldaar en in de overage Chineesche nederzettingen langs de kust een veel geregelder verloop”; dilihat dalam Chineezen buiten China, 1909 — Bijlage 11. (Zie blz. 322). Belangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

363

Bagansiapiapi.441 Dapat pula disampaikan bahwa pertimbangan Pemerintah Kolonial pada saat itu selain untuk mempermudah pemungutan bea eksporimpor terutama dengan bentuk pemukiman dan usaha perikanan yang terletak disepanjang pantai, juga dapat dilihat dari letak Bagansiapiapi yang berada di lintas pelayaran Selat Malaka, berdekatan dengan Singapura. Sebagaimana diketahui, saat itu Singapura merupakan pelabuhan terbesar Kapal-kapal Belanda di luar Eropa, Singapura yang berkembang dan menjadi pusat pelayaran bagi Hindia Belanda sendiri; Singapura sebagai pelabuhan persinggahan antara kepulauan dengan jalur-jalur internasional,442 dari ramainya Bandar Singapura sebagai pelabuhan re-ekspor-impor, termasuk pengiriman produk dari Bagansiapiapi via Singapura; Kemudian Bagansiapiapi sendiri yang telah mulai berkembang menjadi pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal, baik kapal uap hingga kapal layar dan motor, yang bahkan juga disinggahi oleh K.P.M. sejak tahun 1890. Rute transportasi via Bagansiapiapi, nampaknya dominan untuk pengangkutan produk perikanan, disamping sejumlah pengiriman produk lainnya. Menjelang pemindahan Onderafdeeling dari Tanah Putih menuju Bagansiapiapi ini, terdapat beberapa peristiwa yang dapat dianggap penting, sebagaimana telah disampaikan tentang membangkangnya Komunitas China di Bagansiapiapi terhadap Belanda di tahun 1886, juga sebagaimana telah disampaikan bahwa

441Bertitik

tolak dari Staatsblad sebelumnya, yakni No.93 dimana pemberlakuan ketentuan perubahan masalah pungutan pajak atas hasil laut adalah Kontrolir akan bertempat di Bagansiapiapi, maka Staatsblad No.94 ini menegaskan rencana pemindahan Kontrolir tersebut, sebagaimana tertera sebagai berikut: “Verplaatsing van de standplaats van den countroleur der Onderafdeeling Tanah Poetih…. In stede van Tanah-Poetih zal zijn Bagan api-api”. Bagaimanapun juga, pemindahan sebuah pusat administrasi pemerintahan akan memakan waktu, khususnya di era awal abad ke-20, April 1894 telah dicatat dalam Statblad, namun realisasinya seperti dicatat oleh Butcher adalah pada tahun 1900, dengan terbitnya penempatan kantor Kontrolir berlokasi di Bagansiapiapi melalui Staatsblad 1900 Nomor 64. Adapun warta kolonial memberitakan bahwa Tahun 1902 Onderafdeeling telah berada di Bagansiapiapi, dan baru pada Tahun 1903 diberitakan pembangunan sarana pemerintahan, seperrti; Kantor dan perumahan kontrolir; adapun pembangunan dermaga adalah sebagaimana terdapat dalam Koloniaal Verslag Tahun 1912 seperti diberitakan dalam De Sumatra Post: Haven werker ter Oostkust, 16-01-1913. Adapun kewilayahan Onderafdeeling Bagansiapiapi meliputi; Onderdistrik Tanah Putih, Kubu dan Bangko. 442 Anthony Reid, dalam “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit: KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011, hal.251 RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

364

Zainal Abidin,443 mantan kepala Tamboesie-Streek, mengancam akan melakukan kerusuhan di wilayah Tanah Putih yang merupakan bagian dari Koloni Siak, sehingga menimbulkan ketidaktentraman dan juga rasa ketidakpastian dikalangan penduduk Bagansiapiapi.444 Nampaknya proses pemindahan pusat Onderafdeeling berjalan secara bertahap; semenjak terbitnya keputusan tahun 1894, diperoleh berita bahwa proses pemindahan tersebut sudah diselesaikan di tahun 1901. Bahwa juga sudah dapat diperkirakan bahwa Bagansiapiapi pun memperoleh sentuhan awal pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana modern ala kolonial dimulai dari periode ini. Adapun nama Bagansiapiapi, diduga berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang ditumbuhi pohon Api-Api445, atau nama tersebut diduga berasal dari “klip-klip” (kunang-kunang) yang bercahaya.446Kata Bagan sendiri menunjukkan tempat, atau alat menampung ikan. Vleming memperkirakan Bagansiapiapi, didirikan paling tidak pada tahun 1860-an atau 1875447 oleh sekelompok pelaut petualang dimana pada saat itu hanya berawal dari sekelompok kecil orang China 448, dengan 443

Pada catatan lainnya tertulis “Zainal Abidin” adalah Raja Tambusai, sebagaimana terdapat dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, Tahun 1896, hal.374. Zainal Abidin dalam salah satu riwayat dikisahkan berupaya untuk membangun kembali kerajaan Rokan yang meliputi wilayah hulu Rokan hingga hilir, akan tetapi untuk wilayah ini sebagaimana diketahui telah masuk kedalam wilayah Kerajaan Siak, sehingga terjadi gesekan antara Zainal Abidin dengan penguasa Kerajaan Siak yang nampaknya juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial dengan politik devide et impera (pecah dan kuasailah). lihat Lintasan Sejarah Rokan, Wan Saleh Tamin, tahun 1972; 444 UTRECHTS NIEUWSBLAD, 30 April 1897, hal.5 445 Pohon Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae. Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau Akar napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Selain itu, seperti disampaikan oleh: J.A.Van Rijn Van Alkemade dalam “Beschrijving Eener Rels Van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier Naar Rantau Binoewang, Tahun 1884 (Deskripsi perjalanan sepanjang sungai Rokan: dari Bengkalis sampai Rantau Binoewang): Dikatakan sebagai berikut,”Wij waren al zoo te Bagan ApiApi, zoo genaamd naar het vele Brandhout’ dat hier kan worden verkregen,” (footnote:‘Api Api is de naam van een Boomsoort); hal. 29. Bahwa penamaan Bagan Api-Api nampaknya lebih dekat bersumber kepada kawasan yang banyak ditumbuhi pohon Api-Api tersebut. 446 ANRI MVO (Memorie Van Overgave); Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagansiapiapi, 1925. 447 Vleming, Het Chineesche Zakenleven in Nederland-Indid, 1926 448 Menurut riwayat awalnya kedatangan orang China ke Bagansiapiapi berjumlah 18(delapan belas) orang China bermarga “Ang” yang terdiri dari 17(tujuhbelas) orang laki-laki dan 1(satu) RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

365

Tongkang berlayar dari negeri asal yang pada awal mulanya mereka para pelaut ini setelah terombang-ambing di lautan lepas menyusuri muara Rokan dengan melihat pada nyala cahaya atau api, tibalah akhirnya di pantai, dan memulai mendirikan pemukiman yang sekarang dikenal dengan Bagansiapiapi. Hingga Tahun 1880-an, seperti dicatat oleh Van Rijn van Alkemade, jumlah penduduk Bagansiapiapi baru mencapai sekitar 1000 jiwa, yang hampir seluruhnya terdiri dari laki-laki China. Menetapnya pemukim China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan lingkungan pemukiman untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana pada wilayah Afdeeling Bengkalis ditetapkan; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat, Bagan Api-Api, Tanah Putih dan Panipahan sebagai lingkungan pemukiman orang China. Adapun untuk pemukim China di Sinaboi, sebagaimana ditetapkan dalam Staatsblad Tahun 1908 Nomor 662. Halnya sebagai newcomers, para pemukim China mulai berinteraksi dengan penduduk tempatan, yakni orang Melayu, terutama dalam hal penangkapan ikan. Orang China mengamati penangkapan ikan yang dilakukan oleh penduduk setempat dan mencobanya, ternyata memperoleh hasil yang banyak. Sehingga mereka memutuskan untuk menetap dan mengembangkan teknologi penangkapan ikan, menjadi seperti yang dikenal saat industri perikanan telah mengemuka. Dengan teknologi yang telah dikembangkan sedemikian rupa, menghasilkan kelimpahan hasil ikan yang selanjutnya mempengaruhi perekonomian pemukim, dan merupakan berita baik untuk kerabat di negeri asal. Sehingga, seperti peribahasa “ada gula ada semut,” maka arus migran China untuk bermukim di Bagansiapiapi merupakan realita yang tidak terelakkan. Kondisi tersebut nampak jelas pada statistik, dimana pada sensus penduduk yang dilakukan pemerintah kolonial tahun 1920 penduduk Bagansiapiapi berjumlah hingga 11.000-an jiwa. Adapun Sensus Penduduk tahun 1930, sejumlah 15.000-an jiwa, data dari J.A. Van Rijn van

orang perempuan; Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cia Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui (nama-nama ini dilihat dalam tulisan Sudarno Mahyudin, “Sejarah Perguruan Wahidin” pada www.iapw.info Tahun 2008. Dari tiga kapal yang berlayar, dua buah kapal tenggelam dan hanya satu yang berhasil berlabuh di Bagansiapiapi. Diperkirakan orang China di Bagansiapiapi berasal dari Provinsi Tan Hai dan Amoy - China RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

366

Alkemade sekitar tahun 1880-an di Bagansiapiapi terdapat sekitar 1000-an jiwa penduduk, dimana hampir seluruhnya adalah orang China. Terdapat lompatan jumlah penduduk yang drastis dalam era 30 tahun.

Gambar 8.2.Para Penyelenggara Onderafdeeling Bagansiapiapi dalam suatu perayaan di Bagansiapiapi, tahun 1924. Sumber: KITLV.

Kenaikan Jumlah penduduk, dilihat pada situasi tersebut sebenarnya sudah dapat dikatakan mengindikasikan perkembangan yang bagus di kawasan Oostkust Sumatra, khususnya di kawasan pesisir. Akan tetapi di tempat lainnya, tren pembukaan jalur transportasi darat telah mengakibatkan stagnasi, bahkan kemunduran kota pelabuhan di Pantai Timur Sumatra. Sebagai contoh, Labuhan Deli, Rantau Panjang, Tanjung Beringin dan Bandar Khalipah. Akan tetapi, Bagansiapiapi sebagai wilayah yang tidak terkena jalur transportasi darat seperti pembangunan Jalan raya dan jalur kereta api, pada masa itu tidaklah terkena dampak yang sama. Bagansiapiapi, dengan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

367

Pelabuhannya pada masa Kolonial tetap bertahan.449 Sebagai Onderafdeeling dibawah Afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi membawahi tiga subdistrik, yakni Bangko, Tanah Putih dan Kubu; dengan ibukota Bagansiapiapi. Wilayah subdistrik Bangko dan Kubu merupakan wilayah pesisir, sedangkan subdistrik Tanah Putih terletak agak ke Hulu sungai Rokan. Dapat dikatakan, bahwa Bagansiapiapi saat itu, tidak saja telah menjadi pusat produksi ikan laut terbesar di dunia, 450 akan tetapi juga sebagai pusat pemerintahan Hindia dengan penempatan Kontrolir dan juga disini bertempat pertemuan antara tiga lanskap di hilir sungai Rokan dengan Siak. Hubungan dengan Siak, sebagai pusat penguasa tradisional, berlangsung dalam penyelenggaraan zelf-bestuur dimana perwakilan Siak menuju Bagansiapiapi sekali dalam dua minggu untuk memutuskan perkara yang menjadi yuridiksi kerapatan. Kondisi ini, berlangsung hingga masuknya tentara pendudukan Jepang seiring takluknya Hindia Belanda sebagai dampak perang dunia II. Bahwa, pasca Jepang, terjadi keterlambatan informasi tentang kemerdekaan republik sehingga menimbulkan kesimpang-siuran dan ketidakjelasan siapa penguasa berikutnya; kondisi ini ditengarai memicu konflik berdarah antara TRI dan warga Bagansiapiapi yang didominasi keturunan China. Memasuki masa kedaulatan Republik, kegiatan perekonomian yang semula terhenti dimasa Jepang, berangsur-angsur pulih kembali, akan tetapi, ternyata kepergian sang Toean Belanda ini diduga telah membawa juga bersamanya “struktur” yang kurang lebih setengah abad dibangunnya di sana451, maka secara perlahan, kejayaan Bagansiapiapi sebagai penghasil ikan terbesar dunia memudar yang nampaknya juga disebut-sebut sebagai konsekuensi logis perubahan ekologi: pendangkalan muara. Selain itu, perubahan ini berdampak pada beralihnya para pemodal sektor ikan-laut ini ke kawasan lain yang masih menjanjikan dan eksodusnya para pekerja terutama keturunan China keluar Bagansiapiapi. Pada masa ini hingga era pra-otonomi, digambarkan Bagansiapiapi bagaikan kota yang ditinggalkan, berbondong-bondong keluar setelah terlempar dari collaps-nya industri perikanan. Hingga suatu ketika, perubahan ditingkat 449

Dilihat dalam artikel “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatra Timur pada Priode Kolonial, oleh Edi Sumarno, dalam Buletin Historisisme; Edisi No.22/Tahun XI/Agustus 2006. 450 Bahwa bagi pemerintah Hindia, Bagansiapiapi tetap merupakan terbesar dengan produksi mencapai lebih 30.000.000 Kg pertahunnya, hal ini disebabkan peringkat pertama yang dikatakan sebagai Bergen-Norwegia, berlangsung hanya semusim dalam setahun, berbeda dengan Bagansiapiapi yang tidak mengenal musim. 451 Ide ini berasal dari Ny.Marjati Pratomo, kontak pribadi tahun 2013. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

368

negara telah membawa kembali lanskap di pesisir timur ini pada level penguatan ulang sumber daya, identitas dan juga orientasi.

Barat–Timur vs. Utara-Selatan Diskusi tentang asosiasi darat – pesisir, jika kita mencermati apa dikemukakan oleh Kato Tsuyoshi, sebenarnya secara sederhana dapat dijelaskan melalui dua perspektif yang digunakan untuk melihat seluruh Sumatera: perspektif Barat-timur dan utara-selatan. Dilihat dalam perspektif timur - barat, Sumatera pada dasarnya dipahami dalam hal hubungan antara daerah di atau dekat Bukit Barisan, pesisir daerah di kedua sisi Sumatera, dan sungai (dan jalan setapak) yang menghubungkan darat dan pesisir. Sumber daya pedalaman yang kaya, menyediakan produk hutan berharga, kadangkadang beras dan ternak, dan tenaga ekstra untuk daerah luar dan pesisir dan seterusnya. Pesisir daerah pada gilirannya berfungsi sebagai pintu gerbang ke dan dari dunia luar. Meskipun perspektif timur - barat dapat diterapkan lebih atau kurang pada setiap titik di sepanjang pulau, hal ini sangat bermakna di Sumatera bagian tengah di mana banyak sungai yang mengalir dari pegunungan di sebelah timur dan barat pantai dan melintasi bagian terluas dari pulau. Secara ekologis dan historis ,perspektif barat-timur (darat – pesisir) adalah yang paling banyak membantu dalam memahami lebih baik dinamika internal masyarakat Sumatera. Berbeda dengan perspektif Barat-timur, perspektif utara-selatan yang berbentuk lebih oleh kekuatan eksternal dibandingkan dengan dinamika internal Sumatera sendiri. Hal ini lebih hegemonik dalam penerapannya daripada perspektif timur-barat. Sementara disisi lainnya, perspektif barat-timur dikatakan lebih membumi atau lebih dan kurang terus-menerus operatif dalam sejarah Sumatera, perspektif utara-selatan menjadi penting hanya setelah Belanda mengkonsolidasikan kontrol mereka atas seluruh Sumatra pada awal abad ke20. Saat itulah perspektif utara – selatan mulai didirikan dan mengerahkan sebagaimana biasa, kekuatan dan keabadian pengaruhnya atas Sumatra dan terus menerus membayangi perspektif timur-barat. Perspektif utara-selatan tampaknya telah diadopsi dalam dokumen resmi akhir tahun 1930-an. Hal ini RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

369

ditunjukkan oleh fakta bahwa perspektif utara-Selatan tersebut menjadi perspektif politik- administratif, sebagaimana dicontohkan dalam urutan daftar unit administrasi di Sumatera. Perspektif administrasi utara-selatan tidaklah memiliki nilai intrinsik untuk Sumatera. Akan tetapi, hal ini berharga untuk kekuasaan kolonial Belanda di Batavia pada unit administratif: dari terjauh ke sudut terdekat dari pulau dalam kaitannya dengan dirinya sendiri, dan dengan demikian memberikan pemahaman yang mudah dari totalitas dan struktur batin dari ruang tertutup yang berada di bawah kontrol: Sumatera. Perspektif itu berarti, justru karena seluruh pulau saat itu benarbenar terletak di peta bidang hegemonik dominasi kolonial Belanda. Terbukti perspektif utara-selatan juga pada umumnya diadopsi pada sekolah di akhir 1930-an. Hal ini penting bahwa perspektif utara-selatan dari politikadministrasi; alam menjadi sadar dan bermakna hanya setelah seluruh pulau berada di bawah kendali langsung Belanda. Perspektif ini membantu kekuasaan kolonial menyapih Sumatera jauh dari Semenanjung Malaya, sebuah tujuan umum dan logis dari perspektif utara - selatan, dan dengan rapi melokalisasi unit administratif internal di Hindia Belanda dengan Batavia sebagai pusat gravitasi politik. Penurunan ekonomi setelah depresi besar, berkontribusi terhadap naiknya perspektif utara-selatan. Perubahan besar pasca Kemerdekaan, maka selanjutnya perspektif utara-selatan di Sumatera, kurang-lebih berada dalam genggaman totalitas administrasi Republik Indonesia. Lebih jauh dijelaskan Tsuyoshi bahwa salah satu perkembangan yang lebih signifikan untuk diskusi ini berlangsung selama periode Orde Baru. Perspektif utara-selatan di Sumatera dimasukkan ke dalam lanskap luas dari seluruh negeri. Saat itu, dalam setiap jenis daftar dari Indonesia yang terdiri dua puluh tujuh daerah provinsi, umumnya dicatat dari ujung utara Sumatera sampai ujung selatan, dari Jakarta ke Jawa Barat ke Jawa Timur, dari Bali ke Timor Timur, kemudian dari Kalimantan (dari barat ke timur), Sulawesi (dari utara ke selatan), ke Maluku dan akhirnya ke Irian Jaya. Ini adalah urutan di mana anak-anak sekolah menghafal nama-nama provinsi di Indonesia dan ibukota mereka di sekolah dan dengan yang satu provinsi ditampilkan di program siaran-tayang di televisi nasional TVRI, dari pertama sampai tanggal 27 bulan setiap bulannya. Suatu pandangan luas tentang Indonesia, sejauh yang bisa dipastikan dari Buku saku statistik Indonesia dan statistik Tahunan Indonesia, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

370

yang muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1978; buku tahunan ketika Timor Timur dimasukkan ke Indonesia dan saat ini batas nasional Republik Indonesia sudah final.452 Sebagaimana kita lihat, bahwa negara akhirnya bertransisi dengan keleluasaan lebih kepada daerah dengan kebijakan otonomi daerah di tahun 1999. Perjalanan sejarah yang cukup sarat dengan intervensi, penetrasi, kooptasi eksternal, menjadikan setiap entitas di Riau Daratan melakukan strategi adaptif terhadap perubahan lingkungan yang bermula sejak lebih separuh milenium lalu, sebagaimana digambarkan Leonard Y.Andaya, persaingan dalam memperebutkan akses terhadap sumber daya perdagangan di Selat Melaka, telah berdampak logis pada pembentukan kharakter dua kutub yang lambat laun semakin tegas perbedaannya, dan semakin jelas keterpisahannya diabad ke-16 dan 17. Perubahan-perubahan sosial ini, terefleksi dan terpola pada keruangan Riau Daratan; sebagai ruang interaksi dua kutub tersebut, dan menarik Suku-suku Asli dalam percaturan kompetisi antar keduanya. Silih berganti, pengaruh salah satu kubu mendominasi. Mengacu pada pemeriksaan atas entitas darat – pesisir yang terlihat dipengaruhi dua kutub; Minangkabau dan Melayu, sebagaimana digambarkan oleh para sarjana Eropa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah terdikhotomi dengan batas-batas tatanan kekerabatan yang seringkali bertumpang tindih dengan batas-batas politis; kesamaan yang ditemui, barangkali adalah kesamaan pengidentifikasian pada batas yang menjadi tema kita; darat dan pesisir. Darat, yang mewakili pengaruh politi Pagaruyung dipegunungan, dengan kekerabatan matrilineal dan adat kemenakan, menunjukkan jejaknya dalam adat yang terpelihara dikalangan masyarakat pedalaman, sebaliknya, pesisir sebagai eks perluasan wilayah Melaka-Johor di semenanjung, masyarakatnya teridentifikasi dengan kekerabatan parental; Melayu, sebagai kebudayaan yang menjadi identitas Riau Daratan. Bila kita mencermati Wilken, bahwa penyebaran matriarkhat di Sumatra, sedang berada pada peralihan yang signifikan dengan berlakunya “Hukum Ayah” diberbagai tempat yang sebelumnya berlaku “Hukum Ibu,” realitas sosial yang ditemuinya akhir abad ke-19. Bahwa proses parentalisasi berlangsung dengan sangat kuat, proses yang juga didukung oleh politi penguasa pada wilayah yang dikuasainya, dan tentu ini merupakan hal yang lumrah saja terjadi. Dapat juga digarisbawahi, 452

Kato Tsuyoshi, 1997, hal.752-755. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

371

bahwa dalam proses tarik-menarik pewarnaan ruang interaksi yang bernama Riau Daratan ini, sedianya dimotori oleh mesin politi dalam melancarkan ekspansi budaya; seperti Pagaruyung yang secara aktif menembakkan pengaruhnya melalui para utusan, dan dengan keruntuhan kerajaan pegunungan ini ditahun 1833, sebagaimana disampaikan telah merubah peta politi-politi di darat. Sebaliknya, lanskap pesisir dalam proses teridentifikasi sebagai Melayu, justru terjadi intens pasca kejatuhan Melaka sebagai akibat invasi Portugis di tahun 1511. Tentu saja, proses pengembangan Alam Melayu terjadi juga disebabkan kharakter Melayu yang sejak periode awal banyak diadopsi melalui hubungan perdagangan di “Laut Melayu.”453 Riau Daratan, sebagai bahagian dari Republik Indonesia, dan sebagai bekas jajahan Hindia Belanda, sudah barang tentu memiliki pengalaman sebagai lahan implementasi kebijakan pemerintahan yang dikatakan sebagai nontradisional, modern, diawali melalui suatu proses pembaratan oleh Belanda terutama dalam kehidupan politik kenegaraan. Belanda sebagai penjajah, jelas melucuti segala potensi yang dapat mengakumulasi kekuasaan dikalangan elit pribumi dan mengenalkan kharakter barat yang mudah untuk dikontrol; sebab, Belanda menginginkan hubungan dengan negeri jajahan dalam konteks di dikte, dan ini akan memudahkan dan meringankan pekerjaan pemerintahan Hindia dalam menggenggam wilayah jajahannya. Sebagaimana telah dipaparkan, Belanda lebih peduli bagaimana ia dapat secara efektif melakukan pengawasan, pengaturan atas jajahan, meskipun kebijakannya baik disadari ataupun tidak, akan mengabaikan batas-batas tradisional lanskap taklukkan. Belanda, dalam melakukan pengaturan, mungkin saja beranggapan telah berbuat yang terbaik dalam upaya untuk tidak mengabaikan konsepsi tradisional lanskap, akan tetapi, seringkali ditemui bahwa perluasan administrasi kewilayahan Hindia lebih kepada orientasi ekonomi imperialis dalam upaya eksploitasi sumber daya menuju pelabuhan, dan selanjutnya produk tersebut dibawa menuju pasar 453

Konsep laut Melayu ini, diyakini bermula dari dokumen Arab; Tibbetts, Study of the Arabic Texts, 43, 182, kemudiann diperkenalkan oleh Eredia pada tahun 1613, namun ia mengidentifikasi hal itu dengan “enclosed” laut antara daratan Ujontana (Semenanjung Malaya) dan Semenanjung Emas (Sumatera). Dengan mengistimewakan negeri di atas air, Eredia percaya bahwa "Laut Melayu" disebutkan hanya untuk Selat Melaka. Lihat Mills, Erdia’s descripstion,hal.42. Sementara Andaya, memandangnya secara lebih luas, sebagai suatu pentasrifan komunitas melalui interaksi ekonomi dan kultural yang luas dan intensif, Leonard Andaya, 2007. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

372

internasional. Kondisi ini, disebut sebagai proses teritorialisasi, yang didefinisikan sebagai proses yang dilalui oleh semua negara modern dalam membagi wilayahnya menjadi zona-zona politik dan ekonomi yang kompleks dan saling bertumpang tindih, mengatur kembali penduduk dan sumber daya didalam urut-urut ini, dan membuat aturan yang membatasi bagaimana dan oleh siapa wilayah ini dapat dimanfaatkan.454 Bahwa sebagaimana terlihat, model teritorialisasi, bukanlah suatu ciri pemerintahan dimasa pra-kolonial, akan tetapi dimasa kolonial dan sesudahnya, dengan tujuan utama; kontrol atas sumber daya. Akibatnya bagi politi darat dan pesisir, aksesnya untuk berhubungan dengan dunia luar mulai terkebiri seiring penetrasi kolonial yang mengalihkan sebahagian hak dan wewenang politi menjadi wewenang birokrasi penjajah dalam proses teritorialisasi itu, meski pada tahap tertentu Belanda tetap mengakui status dan kedudukan penguasa tradisional yang sebenarnya juga dominan memuat kepentingan penjajah. Memasuki periode Republik, hubungan dengan dunia luar ini pun berubah; kerajaan digantikan oleh negara pusat, maka proses pemencilan pun terjadi dalam kurunisasi panjang orde lama-orde baru. Selain itu, gelombang revolusi sosial yang berdarah-darah di Sumatra Timur dimasa revolusi phisik, dapat saja tidak terjadi di Riau Daratan, akan tetapi dipercaya memiliki efek yang sama terhadap keberadaan politi-politi kuno yang saat itu masih mampu bertahan, hingga akhirnya melebur kedalam republik baru dibawah SukarnoHatta. Pemerintahan Republik, nampaknya juga mengadopsi pola sama; perspektif utara-selatan, sebagaimana pusat mengendalikan pheripheri. Pembagian wilayah Republik dalam provinsi dan kabupaten, adalah menempatkan homogenitas dalam keruangan administratif. Akan tetapi, penyeragaman memencilkan keberagaman. Sebagai contoh adalah Siak, yang semula berstatus sebagai ibukota negara(kerajaan) hanya menjadi ibukota distrik ataupun kecamatan. Pemencilan hebat yang meminggirkan prestise; bahwa entitas yang semasa prakolonial hingga era Hindia masih menjadi pusat identitas Melayu di daratan yang memiliki koneksi langsung dengan negara-negara di dunia internasional, tiba-tiba terhenti dengan dimasukinya era republik. Bagi dunia Riau Daratan, disatu sisi adalah perwujudan nasionalisme Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II, sementara disisi lainnya, merupakan ironi dari suatu perubahan besar dalam 454

Definisi oleh Vandergeest dan Peluso,1995, 387, 21. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

373

sejarah Riau Daratan, sebagai imbas atas perubahan dari bangsa terjajah menuju alam kemerdekaan. Perjalanan kesejarahan dengan pengalaman traumatik dibawah Sumatra Tengah yang dituding sebagai Sumatra Barat sentris, menjadikan provinsi Riau pada awal berdirinya benar-benar memiliki rasa keberpaduan antara kepulauan – Daratan, 455 akan tetapi, ruang berbeda ini yang semakin dipertegas dengan penarikan ibukota provinsi dari Tanjung Pinang di Kepulauan ke pekanbaru di Daratan, pada akhirnya membuktikan, bahwa jejak independensi Riau Daratan yang digusung Raja Kecil dengan pendirian kerajaan Siak ditahun 1722 telah memenangkan dirinya atas batas-batas eks Melaka kuno melalui pertarungan Kepulauan – daratan, untuk masing-masing berdiri sendiri dan lepas-terpisah. Keterpisahan ini, memang semakin mempertegas bahwa Riau Daratan benar-benar satu entitas mapan yang dimulai lebih dari tiga abad lalu, sementara disisi lainnya, juga semakin meningkatkan hubungan fluktuatif darat – pesisir, terlebih di era otonomi daerah dimana masing-masing lokalitas diperkenankan untuk menggali tidak hanya potensi daerah, melainkan juga untuk menegosiasikan ulang identitas daerahnya sendiri. Perlu juga dipertimbangkan, mengingat bahwa dalam masyarakat tradisional, raja berfungsi sebagai pusat yang terhubungkan dengan dunia kosmis. Mithologi ini mungkin saja tergambar dalam pola keruangan didunia Melayu dimana pemukiman massa berorientasi kepada istana, dan bukan pasar. Ketiadaan raja sebagai sumber, menjadi sebab keterputusan koneksi yang telah berlangsung lama diera sebelumnya. Maka, massa-hamba seakan digiring menuju pada kesamaran identitas sebagai akibat proses de-legitimasi sang pusat dunia kosmis dan peradaban; sebagaimana telah disampaikan, bahwa raja dalam “Dunia Melayu,” raja adalah pusat segala aspek kehidupan. Akan tetapi, meskipun raja berperan sebagai sentral, ia tidak bekerja sendirian saja, melainkan dibantu oleh berbagai status yang diperankan dalam ruang yang aristokratis; dengan seperangkat gelar yang tidak saja berlaku dikalangan Melayu, bahkan juga Orang Asli. Status dan peran ini

455

“Keberpaduan” ini bahwa pembentukan provinsi Riau, dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai kalangan di Kepulauan dan Daratan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat; Tufik Ikram Jamil dikk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Cetakan ke-3, tahun 2003. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

374

bukanlah hampa, akan tetapi benar-benar merefleksikan situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan budaya politi-politi tradisional saat itu. Sebagaimana disampaikan, perubahan menggeser keseluruhan tatanan ini dengan orde yang sama sekali baru. Akibatnya, ekspansi dari berbagai ruang lingkungan terdekat terhadap ruang-ruang homogen dijawab dalam gambaran kerinduan akan periode yang terputus dan menghilang. Jika tidak, tentu saja di era otonomi daerah, daerah-daerah di Indonesia tidak perlu bersusah payah membangkitkan kembali keberagaman politi kuno tersebut sebagaimana terekam dalam Festival Kraton Nusantara. Dapat juga dikatakan, arah identitas yang guncang dengan runtuhnya tatanan lama, akan terus dipenetrasi oleh terma-terma baru yang dilancarkan oleh negara-pusat; identitas yang nampaknya sebagaimana telah disampaikan, dikonstruksi melalui penyebaran ruang-ruang homogen dari pembagian kewilayahan administrasi; penyeragaman dalam suatu provinsi yang jelas saja mengabaikan keberagaman lokal. Homogenisasi kewilayahan, di Kuantan telah membagi politi tidak persis sama dengan yang dahulu, dan sesuai dengan sifat perspektif utara-selatan yang mengedepankan kesamaan, jelasjelas Kuantan dikatakan tidaklah kebal dengan perlakuan situasi yang menggiringnya pada bentuk-bentuk lokalitas yang berbeda; selain itu, lima orang gadang dan penghulu yang berperan aktif membantu raja Kuantan dalam menyelenggarakan pemerintahan hingga era Hindia Belanda, menjadi tidak berdaya di masa Repubik terutama ketika memasuki era tahun 1970-an. Sebagaimana telah disampaikan, bahwa Kuantan masa Hindia, telah menempatkan ruangnya dalam kondisi interaksi intens - aktif dan terus menerus dengan dunia luar. Akan tetapi, terjadi “perubahan halus” yang dalam hal ini di bidang budaya. Kuantan berhenti menjadi bahagian dari Dunia Minangkabau456, dan sepertinya alam Minangkabau pun semakin teridentifikasi dengan Karesidenan Pantai Barat Sumatera. 457 Proses identifikasi Minangkabau dengan Pantai Barat Sumatra yang sekarang dikenal sebagai provinsi Sumatra Barat sebagaimana diuraikan Gusti Asnan, 456

Kato Tsuyoshi, 1997, hal. 749. Lihat Gusti Asnan, 8.Geography, Historirography and Regional Identity: West Sumatra in the 1950s. 457

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

375

maka tentunya, secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sumatra Barat sebagai Minangkabau, dan entitas diluar perbatasan sebagai bukan Minangkabau. Kondisi ini, menjadi penjelasan logis bahwa politi di “rantau timur” akan menegosiasikan kembali identitasnya, dan tentu saja yang relevan dengan ruang dinamis provinsi yang menaunginya; Riau, yang teridentifikasi sebagai Melayu. Proses ini, berlangsung dalam tahapan perkembangan sebagaimana yang terjadi di rantau Kuantan itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa pasca politi tradisional melintasi periode rezim Hindia Belanda, orde lama dan orde baru, identitas Melayu telah mapan diseluruh wilayah provinsi Riau (kepulauan maupun daratan), tak terkecuali pada darat – pesisir. Kebhinekaan diterjemahkan sendiri oleh penguasa, seperti Orde Baru yang memerlukan tingkat keberagaman yang pasti dan terkendali guna memperkuat “persatuan” versi pemerintah. 458 Para ahli, sering melihatnya pada maket ke-Indonesia-an di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dimana masing-masing provinsi diwakili oleh bentuk rumah adat sebagai yang ditetapkan secara resmi, baku, sebagai bentuk rumah adat di provinsi dimaksud. Sementara itu, model atap adat yang diterapkan pada bangunan-bangunan pemerintah, atau bahkan swasta, dikatakan sebagai manifestasi aspirasi elit penguasa yang terwakili pada gaya atap itu dan di provinsi Riau adalah selembayung sebagai khas identitas Melayu. Ini jelasjelas secara perlahan menjadi salah satu pendorong tumbuhnya kesadaran akan suatu rasa kesamaan identitas dalam suatu provinsi. Di Riau Daratan, jelas saja, kesadaran ini mewujud dalam pengakuan sebagai Melayu. Baik di darat ataupun pesisir, maka di era kekinian identitas Melayu sebagai jati diri yang dilafaskan dan dituliskan. Darat, dengan ciri adat Minangkabau, akan dikatakan sebagai adat yang berasal dari Minangkabau, akan tetapi dalam berbagai kesempatan, elit dan juga massa, senada akan menyuarakan bahwa mereka adalah Melayu, dan kondisi ini menjadi gejala umum 459 di pedalaman Riau Daratan menjelang dan memasuki milenium ke-3, kesadaran Melayu (Malay Conciousness). Phenomena perubahan ini, sebagaimana berlangsung 458

Kahn Bab 3, Pemberton, 1994, dalam Tania Muray Li, 2002, hal.19 Bahwa di Kampar, penguatan Kemelayuan salah satunya terutama dikaitkan dengan keberadaan situs Candi Muara Takus yang dikatakan sebagai “Pusat peradaban Melayu Tua di Nusantara” oleh Prof.Suwardi Ms, dalam seminar Nasional “Menelusuri Kegemilangan Muara Takus,” Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Lihat dalam “Muara Takus Sebagai Mata Air Peradaban,” Riau Pos, 1Juni 2015. 459

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

376

di hulu sungai Kampar sebagai dampak relokasi pemukiman, dimana pemukiman lama ditenggelamkan demi kepentingan pembangunan waduk pembangkit tenaga Listrik.460 Sehingga dapat dikatakan, bahwa mungkin saja “pengembangan Alam Melayu” tidak hanya mencakup lanskap di pesisir, akan tetapi telah meluas hingga ke wilayah pedalaman di Riau Daratan. Penetrasi perspektif utara – selatan telah mereduksi hubungan tua ekonomi pesisir - semenanjung ke dalam terma legal-formal. Bayangan akan perdagangan aktif di Selat yang telah berlangsung ribuan tahun dengan kompleksitas entitas sebagai pelaku aktifitas pertukaran komersial disana; perluasan jaringan kekerabatan yang melibatkan orang asli, Minangkabau dan Melayu yang melebur dalam ke-Melayu-an di pesisir timur, digantikan oleh dominasi superioritas Eropa Inggris-Belanda yang bahkan membelah terpisah antara pesisir timur dan Semenanjung bagai dua bersaudara yang coba direngut pertaliannya dan dikotak-kotakkan dalam politik teritori. Hubungan tradisional antar entitas sebagai suatu kelaziman dikalangan bangsa Melayu, digantikan oleh hukum positif barat yang menuntut berbagai varian campur tangan negara didalam aktifitas kuno tersebut. Perjanjian 1824 antara Inggris Belanda, menempatkan para penguasa Eropa ini tidak memiliki kewenangan untuk “mengatur” teritori sebagaimana yang dimilikinya, dan ini berarti mereka harus bertindak lebih; Tagliacozzo menggambarkan proses bertindak lebih ini sebagai proses pemetaan, eksploring, negosiasi, klasifikasi, pengumpulan, penetapan pajak, kebijakan dan pemerintahan batas-batas yang membagi antara British di Malaya dan Belanda di Hindia. 461 Salah satu dampaknya, lanskap di hilir sungai Rokan, bagaimanapun juga, diasumsikan secara bertahap mengalami resistensi dalam hubungan tradisional yang 460

Dikatakan bahwa pembangunan waduk Koto Panjang diperbatasan Riau – Sumatra Barat yang menenggelamkan 10 desa(dua di Sumatra Barat dan 8 di Riau) disertai relokasi pemukiman baru, telah menjauhkan generasi berikut dengan identitas lama, dan menyebabkan diadopsinya identitas baru yang sesuai dengan kerangka kewilayahan administrasi Riau: Melayu. Lihat Gusti Asnan, “Dinamika Sejarah dan Ulayat Rantau XIII Koto Kampar” dalam Alfan Miko (ed.), Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press, 2006, hal. 284-302. Lihat juga Witrianto, Pemukiman Baru Identitas Baru: Studi Kasus Masyarakat Relokasi Proyek PLTA KotoPanjang DI Perbatasan Sumatra Barat – Riau; Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Indonesia Malaysia tanggal 1-2 November 2010 di Universitas Andalas Padang. 461 Tagliocozzo, 1999, dalam “Secret Trades of the Straits: Smuggling and State Formation Along a South Eastern Sabah,” Kuala Lumpur, Oxford University Press. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

377

mengedepankan “jejaring persaudaraan” Ini. Akan tetapi, sulitnya akses ke pedalaman dan terlalu jauhnya jarak ke pusat, menjadikan hubungan dengan alam semenanjung tetap sebagai yang utama; seorang akan mengingat bahwa kaum doeloe biasa melakukan perdagangan ke Semananjung membawa hasil hutan untuk dipertukarkan, bahwa tidak mungkin menunggu barang-barang datang dari Jawa misalnya, yang tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama; kegiatan yang umum dilakukan di pesisir. Sementara itu juga, reorganisasi di era otonomi di hilir sungai Rokan yang mengambil batas-batas dari kewilayahan tua yang bersumber dari tiga lanskap; Tanah Putih, Kubu dan Bangko sebagai tradisi yang dibakukan oleh Belanda melalui penetapan Onderafdeeling Bagansiapiapi, menjadi bahan bakar bagi menguatnya gambar imajiner tentang kejayaan masa silam dimana hilir merupakan pusat pengendali negeri-negeri darat sebagai pheripheri; gambaran yang jika ditarik ke terma provinsi, akan bertolak belakang dengan kondisi faktual kekinian; lompatan kemajuan Pekanbaru sebagai ibukota provinsi yang berlokasi dipedalaman; dampak keberpihakan ekonomi ke daratan. Meskipun Pekanbaru awalnya berdiri sebagai representasi kekuasaan politi hilir tepat di jantung Sumatra Tengah, perkembangannya pasca kolonial hingga era kekinian, dapat saja membuat entitas dipesisir memandangnya bagai batas-batas yang berbeda layaknya tampak dari kejauhan. Dengan terbentuknya Provinsi Riau, maka Bagansiapiapi sebagaimana era Belanda, menjadi bahagian dari Daerah Swatantra Tingkat II Bengkalis dengan luas kewilayahan yang lebih kurang sama dengan Onderafdeeling Bagansiapiapi. Hingga era 1980-an, koneksi Bagansiapiapi dengan dunia luar adalah melalui jalur transportasi air; jika warga Bagansiapiapi ingin bepergian ke ibukota di Pekanbaru, maka ia harus terlebih dahulu menggunakan sarana transportasi air menuju Dumai, dan dari sana dilanjutkan menggunakan kendaraan darat. Suatu perjalanan yang memakan waktu, sehingga akan dikenang juga gambaran sebagai perjalanan dengan dilepas oleh ramainya kerabat sebagaimana layaknya perjalanan jauh. Bahwasanya, akan lebih dekat dan mudah bagi warga di pesisir Rokan ini untuk bepergian ke Malaysia, ataupun Kepulauan sebagaimana di era doeloe. Pada awal tahun 1990-an, dilakukan penyempurnaan pembuatan jalan darat dari Bagansiapiapi menuju Jalan lintas negara Jakarta – Aceh yang terletak 70km ke arah hulu. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

378

Kedekatan geografis, juga memungkinkan bagi kalangan di pesisir untuk lebih mudah memperoleh akses informasi dari semenanjung melalui media televisi ataupun radio, daripada penyampaian oleh pusat di pedalaman.

Riau Pasca Kerajaan Melayu Dapat dikatakan, proses identifikasi Riau sebagai Melayu, berpuncak pada masa kerajaan Melayu hingga menjelang pendudukan Jepang tiba. Sebagaimana yang terjadi dikalangan Suku Petalangan di Kampar, periode pedudukan Jepang diidentifikasi sebagai awal dari keterisoliran kembali mereka dari kehidupan sosial. Terdapat klaim bahwa kontak ekonomi dan sosial benar-benar eksis dibawah kerajaan Melayu, dan beberapa mengikuti pada era republik. Bagaimanapun juga, Revolusi sosial sebagai perubahan besar dan cepat dari tatanan politik, masyarakat, dan perubahan ekonomi menuju kondisi “susah” seiring collaps-nya pasar, penempatan nilai-nilai dan rasa “cemas” untuk menunjukkan dukungan atas struktur feodal dimasa lalu itu, dikatakan menimbulkan apa yang dinamakan sebagai “kebingungan budaya” (cultural confusion) dikalangan Melayu; yang terefleksi pada jarangnya penampilan kebudayaan yang merupakan ekspresi nilai adat budaya (Tenas Effendi, 1990b;5). Kondisi ini, bertepatan dengan lompatan kemajuan dibidang industri Televisi dan juga Radio, dimana era kevakuman budaya ini banyak diwarnai dengan penampilan budaya non-melayu.462 Ketika pemerintah Orde Baru menempatkan program pengembangan kebudayaan, sejumlah tradisi lisan ataupun kesenian telah punah sebagai akibat wafatnya para penjaga tradisi tersebut ataupun berada dalam kondisi “uzur” sehingga tidak lagi mampu untuk aktif dalam kegiatan pengembangan kebudayaan Melayu. Selama rentang periode ini pula; “kebingungan budaya,” suku Petalangan dan suku dari orang asli lainnya tidak terlibat aktif dalam parade tatanan ekonomi dan dunia baru. Sebaliknya, mereka terlihat kembali kepada akar tradisionalnya yang menyediakan tatanan subsistensi sosial dan ekonomi yang dirasa sebagai lebih aman. Dalam situasi ini, maka Orang Asli 462

Dalam era ini, sebagai ilustrasi adalah dalam penyiaran radio siaran sebagaimana terdapat di ibukota Provinsi; Pekanbaru, hingga memasuki awal tahun 1990, masih didominasi “gaya” Jakarta-Jawa, dan barat; hingga muncul satu radio siaran Soreram Indah’ (RSI), yang menfokuskan diri pada pengembangan budaya lokal; Melayu. Lihat Suryadi, “Identity, Media and the Margins: Radio in Pekanbaru, Riau”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol.36, tahun 2005. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

379

akan mempertahankan substansi dasar dari keseniannya; tradisi lisan, kerajinan tradisional dan produk budaya lain yang di masa kekinian, dilihat oleh sebahagian pihak sebagai elemen recovery dari identitas Melayu mereka sendiri.463 Selama periode ini pula, nampaknya kisah suram Melayu di Riau seakan menjadi bahagian dari lompatan perkembangan ekonomi yang ada; Rezim Orde Baru membuka seluas-luasnya perkebunan di Riau, sebagaimana provinsi tetangganya Sumatra Utara yang telah lebih dulu dan juga perkembangan perkebunan modern di luar Jawa. Selain itu, Riau juga merupakan lokasi yang kaya dengan sumber daya Minyak bumi. Bagaimanapun juga, perkembangan ekonomi telah meningkatkan heterogenitas di Riau. Akan tetapi, ekonomi perkotaan nampaknya didominasi non-Melayu yang sebahagian telah bermigrasi ke Riau bahkan sebelum Belanda tiba disini, dan mereka telah memiliki pengaruh yang signifikan dalam perdagangan di kawasan Riau. Hingga Indonesia berada pada periode booming minyak, menurut Laporan Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK), masyarakat Riau hanya memperoleh sedikit saja keuntungan dari distribusi bagi-hasil provinsi, dari kontribusinya untuk nasional melalui sumber daya; Minyak bumi, mineral, hutan, industri perkebunan, dan lainnya seperti dari pariwisata (Mubyarto, 1992; 4-6). Terjadi kesenjangan tinggi dalam pembangunan, baik makroekonomi maupun mikro ditingkatan desa; yang menunjukkan bahwa tidak “menetesnya” profit ekonomi pada tingkatan lokal di Riau. Pada tahun 1970-an, pemerintah pusat mendesain pulau Batam sebagai suatu pusat pertumbuhan ekonomi, dan ini nampaknya menjadi sebuah kisah sukses bagaimana tempat ini menjadi pusat perkapalan, kemajuan teknologi, perdagangan dan juga pariwisata. Sementara itu, tetangga-SIngapura, seakan menemukan tempat yang relative lebih murah bagi penempatan industrinya. Kita mengenal Barelang (Batam-Rempang dan Galang), kemudian SIJORI (Singapura-Johor-Riau) yang dimulai pada tahun 1978. Kondisi ini, menjadikan Riau “memimpin” pertumbuhan ekonomi dan juga nampaknya seiring dengan terjadinya peningkatan migrasi dari luar daerah menuju Riau. Diskursus kultural yang berkembang saat itu, bahwa meskipun Riau berada dalam lompatan ekonomi, Melayu Riau dikatakan kurang beruntung. Dikotakota Riau, Melayu termarginalkan secara ekonomi, dan issue yang 463

A.Turner, Cultural Survival, Identity and the Performing arts of Kampar’s Suku Petalangan, dalam Bijdragen tot de Taal-en Volkukende, Riau in transition 153, 1997. No.4 Leiden, hal.658. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

380

berkembang pun mengerucut sebagai akibat dari tekanan struktural dan ketimpangan dari rezim Orde Baru-Jakarta; yang mengkondisikan pribumi lokal menjadi tidak berdaya. Hanya sedikit saja Melayu Riau yang terlibat dalam sektor modern dan pertambangan minyak, perkebunan skala besar dan industri high technology seperti di Batam, sehingga, Melayu Riau tidak dapat menjadi Tuan di negerinya sendiri. Para pemimpin dan intelektual di Riau, meyakini bahwa otoritas Pusat sebagai penyebab dan harus segera menyelesaikannya. Dengan kebijakan otonomi daerah, maka Melayu Riau memperoleh kekuatan politik, yang sayangnya, hingga awal abad ke-21, marginalisasi ekonomi tampaknya tidak banyak berubah.

Gambar 8.3.Sultan Syarief Kasim II, gambar diambil antara tahun 1915-1925. Sumber:KITLV.

Bahwa kemakmuran Melayu di negeri jiran juga telah menarik Melayu Riau, yang terasa lebih dekat ke Kuala Lumpur dan Singapura daripada ke Jakarta. Namun, ketertarikan ini tidaklah berlangsung mutualis. Melayu Malaysia dan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

381

Singapura, memposisikan batas-batas yang tegas pada teritorinya, dan Melayu Riau yang memasuki Malaysia dan Singapura secara illegal, akan dikatakan sebagai “pendatang haram.” Hal ini, sebagaimana dikatakan Suryadi; merupakan kenyataan yang menyakitkan bila mengenang era pendahulunya yang dapat dengan mudah berlayar ke Semenanjung seperti Melaka, baik untuk berdagang ataupun untuk sekedar berkunjung. Pada situasi ini juga, marginalisasi Melayu Riau terefleksi pada karya-karya sastra. Nasib Melayu, menjadi topik utama dalam berbagai seminar ataupun pertemuan akademis. Kemuliaan tradisional politi-politi Melayu dihancurkan oleh koloni barat diabad ke-19, dan kemudian upaya serius untuk penguatan solidaritas dikalangan Melayu Riau, nampaknya tumbuh dalam bentuk diaspora Melayu. Identitas Melayu, juga dipromosikan dalam berbagai bidang, seperti karya seni, Sastra dan akademik. 464 Selain itu, pemerintah provinsi Riau menempatkan visinya sebagai pusat kebudayaan Melayu tahun 2020. Konsekuensi logis adalah, berbagai program budaya dan pariwisata telah dipromosikan dalam rangka merealisaskan visi ini, bahkan hingga level internasional. Meskipun even sejenis juga terdapat di provinsi lainnya, di Riau, menjadi berbeda. Hal ini disebabkan Melayu Riau memapankan hubungan hingga dengan entitas diluar Indonsesia, bahkan sesekali waktu dengan entitas di luar dunia Melayu. Menurut Suryadi, ini adalah aksi simbolik Melayu Riau yang menempatkan diri pada posisi inti, setelah berada pada penempatan posisi pheriperi oleh dominasi rezim Orde Baru. Selain itu, akibat dari menonjolnya realitas ketimpangan alokasi hasil sumber daya menjelang runtuhnya rezim orde baru; tampak sebagai ketidakadilan dan “pemiskinan struktural” yang menjadi pendorong hebat beberapa perkembangan politik dan budaya saat itu seperti “Gerakan Riau Merdeka,” pembentukan provinsi “Kepulauan Riau,” dan juga usulan untuk membuat provinsi “Riau Pesisir.” Akan tetapi, issue “merdeka” ini, nampaknya terdapat ahli yang melihatnya hanya memiliki sedikit kekuatan, dan Freek Colombijn mengaitkannya sebagai refleksi perjuangan Melayu Riau untuk menemukan suatu “identitas nasional Riau.” Mungkin saja, ini merupakan bahagian dari permasalahan yang ada, bahkan sebagaimana para ahli terkadang 464

Will Derks, “Poet and power in Pekanbaru: On burgeoning Malay consciousness in Indonesia”, in IIAS Yearbook 1994, ed. Paul van der Velde (Leiden: International Institute for Asian Studies, 1995), pp.60-72; Derks, “Malay identity works”, BKI, 153, 4 (1997): 699-716; Derks, “A literary mycelium: Some prolegomena for a project on Indonesian literatures in Malay'”, Journal of Southeast Asian Studies (henceforth JSEAS), 32, 3 (2001): 378-82. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

382

menuduhkan, bahwa secara kultural dan politik, Riau (Kepulauan dan daratan) tidak pernah benar-benar diikat dalam satu kesatuan; 465 jejak awalnya, sebagaimana dapat ditelusuri dari kesatuan politis eks wilayah Melaka, dimana pengaruhnya didaratan, semakin jauh ke pedalaman terihat semakin berkurang. Kondisi ini, dipertegas dengan keberagaman kultural yang paralel dengan kondisi-kondisi ekologi yang menjadi kharakter Sumatra. Menjelang pergantian milenium, reformasi 1998 telah membuahkan otonomi daerah (1999) yang juga berdampak pada Bagansiapiapi, pembentukan kabupaten Rokan Hilir. “Keterputusan” Bagansiapiapi dengan dunia luar, khususnya entitas di pedalaman Sumatra seolah saja terakhiri dengan penyempurnaan akses jalan darat menuju pedalaman, akan tetapi, bayangan akan kemegahan transaksi dalam perdagangan di dunia selat, tidak dapat terhapuskan dalam waktu satu malam saja. Jakarta, pada awal pendirian provinsi Riau tahun 1958, boleh saja telah menarik sumbu ekonomi ke jantung Riau Daratan (Pekanbaru) dipedalaman sebagai terletak ditepian arus ekonomi Sumatra - Jawa, akan tetapi bagi Bagansiapiapi dan secara umum di hilir sungai Rokan, ketertarikan dan kemudahan hubungan dengan seberang selat sebagaimana telah berlangsung berabad-abad, dan sulitnya akses ke ibukota provinsi di pedalaman, menjadi persoalan yang tapak-nya menjejak jelas hingga hari ini; orientasi yang berbeda dengan darat. Akan tetapi, ini saja belumlah cukup. Memori kolektif tentang masa lampau akan kejayaan Kerajaan Rokan dan Bagansiapiapi sebagai sentra penghasil ikan terbesar di Hindia bahkan dunia, dan pengalaman kegelisahan selama berada dibawah rezim Siak hingga orde baru, menjadi fitur utama yang dapat saja membayang-bayangi orientasi dalam pemapanan identitas saat ini dan kedepan. Bagansiapiapi, dengan pengalaman historis sebagai kota yang mendunia, dapat dengan mudah membangkitkan cita-cita yang mengacu pada kemahsyuran masa silamnya; cita-cita yang berarti melengkapi diri dengan peran abadi sebagai pusat sentrifugal layaknya politi-politi pesisir. Kesenjangan visi ini, diperlebar dengan ketidaksamaan sebagai akibat 465

Tsoyushi Kato, “Typology of cultural and ecological diversity in Riau, Sumatra”, in Transformation of the agricultural landscape in Indonesia, ed. Narifumi Maeda and Mattulada (Kyoto: Centre for Southeast Asian Studies, 1984), pp. 3-4; Colombijn, “When there is nothing to imagine”, hal. 346-51.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

383

“perbedaan” dunia pesisir dengan alam darat; sementara itu juga tarikan perspektif utara – selatan untuk menjauhkan pesisir dari semenanjung terlihat sebagai dampak perlakuan orientasi ekonomi darat(an); akan tetapi, nampaknya tidaklah benar-benar dapat membawa pesisir terbawa dalam tarikan darat yang berperan sebagai pusat gravitasi; bahwa politi-politi pesisir tetap bergerak dalam orbitnya sendiri. Otonomi daerah tahun 1999, telah membuka ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk mendefinisikan ulang identitas dan batas-batas jati diri terkait dengan kewilayahannya masingmasing. Kata “masing-masing” ini juga menunjukkan, bahwa arah perkembangan, meskipun dapat mengindikasikan tertarik pada kutub pesisir dan darat, entitas tetap berpijak pada latar kesejarahannya sendiri yang mungkin saja “overlap” antara batas-batas etnis dan administratif, atau bahkan, tidak hanya dapat menggeser relasi kuno antar politi, melainkan juga, tarik-menarik, dipastikan akan terjadi aktiff dalam konteks kategorisasi itu sendiri terlebih dengan dinamisasi proses kesejarahan hingga akhir abad ke20; Riau daratan sebagaimana telah diprediksi, pasca terpisahnya Kepulauan akan membangkitkan kembali dinamika barat – timur yang dimasa sebelumnya terbenam dalam “homogenisasi,” teritorialisasi dan juga “pemencilan” melalui perspektif utara – selatan. Penguatan lokal, membantu upaya negosiasi ulang identitas dan orientasi, dan kondisi ini akan berkembang dinamis selama menyangkut tema ataupun issue yang relevan bagi darat - pesisir. Sebagaimana telah berlangsung antara Kepulauan – Daratan, maka, reorientasi bangunan suprastruktur di darat dan juga perkembangan dinamis di pesisir, dipastikan menjadi pertanda, sebagaimana banyak terdapat dalam literatur barat menjelang tutup milenium ke-2, proses dinamis yang nampaknya masih terus berlangsung hingga saat terakhir, bahwa, Riau Daratan benar-benar tengah berada dalam transisi.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

384

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

385

9 Penutup Setelah melalui pemaparan dari bahagian-bahagian sebelumnya, bahwa terdapat pokok-pokok sebagai berikut: Kisah “Riau” (Kepulauan – Daratan) yang diawali dari wilayah eks kekuasaan imperium Malaka, sebagai bahagian dari “dunia Melayu,” secara teritorial dipisahkan dari dunia Melayu Semenanjung oleh perjanjian Inggris – Belanda tahun 1824; dan mencapai puncaknya pada pembentukan Provinsi Riau tahun 1958; Kepulauan sendiri sebagaimana telah berpisah melalui pemekaran provinsi Riau Kepulauan pada tahun 2002, sementara Daratan, memiliki sejarah panjang terutama hubungan darat – pesisir yang terkait dengan perdagangan di Selat Malaka; Perdagangan, sebagaimana di Selat Malaka dan belahan bumi lainnya, di Riau Daratan merupakan aktifitas kuno yang telah merekatkan darat – pesisir, bahwa gerakan menghilir para pembawa hasil sumber daya melalui sungai sebagai jalan raya, telah mempertemukan entitas dataran tinggi – hulu, dengan Orang Asli dan juga Melayu di pesisir dan Semenanjung; Kontak yang diyakini berlangsung berabad ini diyakini intensif terjadi pada paruh kedua milenium – sehingga pertemuan ini tidak hanya bersifat ekonomi semata, melainkan juga terjadinya akulturasi antar entitas yang terlibat dalam aktifitas perdagangan; Minangkabau, Orang Asli dan Melayu; Sesuai dengan sifat pengembangan alam Melayu yang terkait dengan perluasan jaringan kekerabatan, maka perdagangan telah menjadi media komunikasi antar entitas yang berbasis saling percaya, diyakini terwujud dalam hubungan kekerabatan diantaranya melalui perkawinan; bentuk-bentuk akulturasi yang terefleksi dalam forklore, hikayat ataupun legenda, dan nama atau gelar, serta struktur politi dan juga kekerabatan; RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

386

Struktur kekerabatan yang mencerminkan kondisi tatanan sosial dalam lingkup yang luas, di Riau Daratan merefleksikan dominasi dua entitas; parental dan matrilineal. Studi Wilken menemukan bahwa diwilayah pesisir yang berada dibawah hegemoni Melayu Johor selama dua abad adalah kekerabatan khas Melayu yang parental; adapun lanskap hulu, memiliki kekerabatan matrilineal seperti yang terdapat di lanskap dataran tinggi; Dengan melihat domain Siak dalam hubungan hulu – hilir, terutama semenjak Raja Kecil mendirikan kerajaan Siak di Buantan yang didukung oleh Minangkabau; diasumsikan mendekatkan otoritas pesisir dengan darat; Bahwa benar terdapat keseragaman yang tinggi di dataran rendah timur, yang meliputi bahasa, kebudayaan dan agama, meskipun situasi politi disatu sisi dapat memperkuat hubungan antar lanskap pesisir, akan tetapi dapat pula berbeda disisi lainnya. Seperti hubungan antara negeri di hilir sungai Siak dan Kampar, Siak dan Pelalawan yang merupakan hubungan “Saudara,” akan tetapi tidak terelakkan adanya rivalitas antar keduanya; kemudian hubungan dominasi Siak terhadap lanskap di hilir Sungai Rokan. Tiga lanskap; Tanah Putih, Kubu dan Bangko yang melalui perjanjian tahun 1858 antara Belanda – Siak dimasukkan sebagai wilayah taklukkan Siak, diasumsikan gelisah, dimana Belanda secara jelas merekam bentuk-bentuk kegelisahan disana pada akhir abad ke-19. Mungkin saja, sepanjang akhir abad ke19 dan awal abad ke-20, aspirasi untuk membentuk negeri berbasis kerajaan Rokan kuno yang meliputi kawasan sepanjang sungai Rokan mulai dari hulu hingga hilir terasa lebih “menggoda” ketimbang bergabung sebagai negeri bawahan Siak, bahwa ikatan eks kerajaan Rokan itu telah memotong dikhotomi darat – pesisir(?) konflik antara Zainal Abidin dengan Siak (tanpa mengabaikan sebagai ulah Belanda) merupakan salah satu contohnya. Halnya dengan negeri di hilir sungai Indragiri, mereka memiliki hubungan tradisionalnya dengan Riouw Lingga dimana Belanda sendiri tidak pernah merubah hubungan tersebut hingga berakhir masa kekuasaannya. Pemetaan politis ini, jelas merupakan sekat-sekat yang dapat memudarkan ikatan lama keMelaka-an; Penetrasi Kolonial Belanda di Riau Daratan telah membentuk tatanan baru hubungan darat - pesisir diawal abad ke-20, ketika negeri-negeri RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

387

dimodernisasi ala barat demi kepentingan ekonomi imperialis-kapitalis penjajah. Penggabungan wilayah yang dilakukan pemerintah Hindia, memang benar terlihat bagai telah mempertimbangkan konsepsi ruang tradisional politi lokal, namun tidak jika dilihat dalam konstelasi hulu – hilir. Penyatuan rantau Kuantan kedalam Afdeeling Indragiri yang berada dibawah residensi Riouw en Onderhoorigheden, sementara lanskap hulu lainnya berada di bawah Afdeeling Bengkalis yang merupakan bahagian residensi Pantai Timur Sumatra, dan lanskap hulu lainnya(V koto dan XII Koto Kampar) pada residensi Pantai Barat, terlihat seperti upaya pemecahan orientasi; hingga kedatangan balatentara Jepang tahun 1942-lah kondisi itu tidak benarbenar mengalami perubahan. Selain itu, di Riau Daratan, entitas darat – pesisir secara bersama-sama ditarik dalam suatu “lompatan” tahapan perkembangan masyarakat, dari tradisional menuju modern, dari ruang lingkup imajiner menuju kategorisasi modern dan angkaangka, tarikan guna perubahan orientasi dan juga gaya hidup yang terlihat nyata dalam pembahagian wilayah administratif ala kolonial, pembangunan jalan raya daratan yang tidak saja menggantikan jalan raya sungai, bahkan memperpendek jarak dan mempersingkat waktu hubungan antar lanskap; ini semua diasumsikan telah menimbulkan perubahan orientasi; Jauh sebelumnya, perubahan orientasi secara perlahan diasumsikan juga terjadi seiring runtuhnya monarkhi Pagaruyung pada 1833; perang sipil di Kampar Kiri merupakan salah satu contoh nyata perubahan orientasi dari lanskap hulu sebagai naungan Pagaruyung menuju politi merdeka; Bahwa ikut sertanya pemerintah Kolonial dalam pengupayaan pengalihan kekuasaan sebagai “tuan” baru dinegeri jajahannya, mengubah orientasi ataupun kecenderungan politi-politi darat dalam beradaptasi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang terlepas dari ikatan-ikatan tradisional darat-pesisir, walaupun mereka mengenali politi hilir, tajamnya politik “rumah-kaca” Belanda terhadap negara pesisir telah membatasinya hanya sebagai simbol tradisional dimana kekuasaan nyata lebih kepada superioritas Eropa yang menyentuh langsung kepada sendi-sendi kehidupan masyarakat Riau Daratan; Belanda mengenali kharakter masyarakat di dataran tinggi sebagai orang-orang yang biasa melakukan tradisi merantau, terutama menuju RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

388

Semenanjung dan juga pulau-pulau di Laut China Selatan. Sementara disisi lainnya, pertemuan antar kelompok masyarakat dari belahan dataran rendah timur dengan dataran tingggi di Pantai Barat, menimbulkan faksi-faksi, gesekan, kecemburuan sebagai akibat ketimpangan perlakuan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda maupun masa republik, baik disadari ataupun tidak;466 bahkan mungkin juga proses kristalisasi etnis, yang tengah deras-derasnya berlangsung di Sumatra Barat itu sendiri, bahwa identitas Minangkabau semakin teridentik-kan dengan kewilayahan Sumatra Barat;467 dengan kata lain tereduksi hanya sebatas wilayah administratif, benar-benar mempertegas perbedaan antar lanskap; Melayu di dataran rendah timur dan Minangkabau didataran tinggi dan pesisir barat; Penjajah boleh pergi, Belanda bisa saja angkat kaki, akan tetapi warisan hubungan antar lanskap yang ditinggalkannya, seringkali dikatakan sebagai sangat berbeda dan benar-benar terlihat nyata; bahwa sebaliknya, hal itu sebenarnya merupakan keberagaman yang menjadi identitas khas Sumatra, “dunia Melayu,” atau bahkan diseluruh wilayah bekas jajahan Hindia, bahkan sebagaimana telah ditunjukkan, dunia Melayu juga memiliki variannya sendiri; Kondisi tersebut dari Riau Daratan sendiri yang merupakan negeri di daratan Sumatra yang kaya dengan keberagaman identitas, sebagai akibat keberagaman geographis dan jalur-jalan raya (baca: sungai dan anak sungai) yang berbeda dengan tetangganya Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan - menuju selat Melaka; Memori riuh rendahnya pasar-pasar disepanjang aliran sungai dan pantai, pertukaran barang hasil hutan dan barang komersial unggulan, menjadi media pertemuan antara orang asli dan Minangkabau maupun Melayu, kesemuanya merupakan unsur pembentuk identitas darat – pesisir; penyerapan identitas Melayu sebagaimana era Raja Ismail dimana “Kemelayuan” melaka-Johor menjadi semacam panduan bagaimana membentuk jati diri berbasis identitas Melayu, dan ini juga 466

Barbara Andaya, 1997. Lihat Gusti Asnan, 8.Geography, Historirography and Regional Identity: West Sumatra in the 1950s. 467

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

389

menunjukkan bahwa entitas Siak dalam bertransformasi bahkan telah merefleksikan tidak lagi sekedar hubungan darat – pesisir dengan bayang-bayang Pagaruyung di Jantung Sumatra, melainkan juga telah terkoneksi dengan Alam Melayu yang meluas hingga ke Laut Cina Selatan. Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan Timothy P barnard, 468 mereka tidak pernah melupakan identitas ke-Sumatraannya, dan ini juga menunjukkan bahwa identitas Riau Daratan adalah juga bahagian dari identitas Sumatra; dan Sumatra seperti telah dituliskan pada abad ke-14; adalah sebagai Bhumi Malayu; Meleburnya Provinsi Sumatra Tengah di tahun 1958 menjadi tiga provinsi; Sumatra Barat, Riau (Kepulauan – daratan) dan Jambi, terjadi selain sebagai dampak politis pusat Jakarta, juga sebagai hasil akumulasi aspirasi dan kekecewaan wilayah dataran rendah timur dan kepulauan terutama berkaitan dengan persoalan ketimpangan dan juga kebudayaan; hingga mencetuskan Kongres Rakyat Riau I yang menginginkan berdirinya provinsi sendiri bagi rakyat Riau(KepulauanDaratan), terlepas dari Provinsi Sumatra Tengah.469 Selain itu, nampaknya juga, keberpisahan dari Provinsi Sumatra Tengah seolah menjadi berkah bagi pemapanan konsep Ke-Riau-an yang sempat berfluktuatif di masa Melaka sampai pasca kekuasaan Belanda. Seiring dengan pengembangan Alam Melayu pasca Melaka tahun 1511; yang meluas hingga sepanjang pesisir timur Sumatra, Laut Cina Selatan dan Kalimantan, wilayah Riau saat itu telah menuju suatu kesetimbangan baru sebagai “Bangsa Melayu,” tidak hanya Riau Kepulauan melainkan juga meliputi Riau Daratan yang identik dengan Melayu; yang ternyata, menyisakan konsepsi atas keruangan Kepulauan – Daratan sebagai pewarisan antara politi Riau di Kepulauan dan Siak di Daratan. Meskipun demikian, kebijakan penetapan kewilayahan melalui politik aneksasi oleh Belanda telah menyamarkan batas-batas politi tradisional, akan tetapi tidak benarbenar menghilangkannya; harapan untuk kewujudan kejayaan masa 468

Lihat Timothy P.Barnard, Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, First Edition, 2004, hal.107 -120 469 Bahwa ketimpangan seperti pada pemerataan pendidikan dan pengembangan perekonomian rakyat, juga pemerintahan; Lihat Taufik Ikram Jamil dkk., 2003. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

390

silam tidak pernah menghilang antar Kepulauan dan Daratan, sementara di daratan sendiri; antara darat dan pesisir; Bahwa kompleksitas dinamis darat – pesisir telah membawa Riau Daratan pada suatu perubahan pada tatanan suprastruktur terutama pada lanskap-lanskap darat, yang meskipun berkharakter berbeda dengan di pesisir, akan tetapi menuju pada suatu kondisi “kesadaran Melayu.” Bagaimanapun juga, kenangan akan hubungan lanskap darat dengan dataran tinggi, masih tersimpan dalam memori koletif yang terefleksikan dalam adat, bahasa, akan tetapi itu tidak mencukupi untuk keberlangsungannya politi-politi darat kedepannya. Bahwa orientasi politi-politi darat telah mengalami perubahan pasca runtuhnya Pagaruyung, dimana secara bertahap, hubungan tradisional, meski awalnya beralih kepada negara di pesisir timur, akan tetapi, selain sifat kemandirian yang dibentuk oleh varian jalur “jalan-raya”(sungai utama), telah berbelok atau dibelokkan oleh kekuatan kolonial pada suatu bentuk tatanan hubungan baru yang memencilkan peran negara pesisir untuk mengambil posisi strategis seperti era para pendahulunya; Berpisahnya Kepulauan dari Daratan, dapat juga dikatakan secara logis menciptakan konsekuensi penempatan kembali Riau Daratan dalam suatu tantangan klasik; hubungan Darat - Pesisir. Akan tetapi sebaliknya, dengan pertimbangan kesejarahan politi tradisional dan fregmentasi kolonial bahwa peristiwa berpisahnya Kepulauan diasumsikan telah menumbuhkan kesadaran untuk semakin mempertajam identitas ke-Riau-an(Daratan) yang dapat mempersempit atau bahkan sebaliknya mempertegas kegelisahan “politi-politi” lokal untuk tetap bernaung dalam satu payung saja: Riau (Daratan); Akhirnya, darat – pesisir, sebagaimana diketahui telah menjadi kategorisasi para ahli untuk membedakan antara dua entitas kalau bukan malah seringkali didapati semakin mempertajamnya, di Riau Daratan telah menjadi suatu kategorisasi yang fluktuatif sesuai dengan perkembangan kerangka yang manaunginya. Arah mana yang akan dituju, merupakan pertanyaan besar antar generasi yang membutuhkan tidak saja kearifan, melainkan juga kemampuan RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

391

personal untuk menekan ketimpangan ataupun kebijakan kaum elit politi-politi lokal yang dapat menguatkan ataupun melemahkan keberpaduan darat - pesisir, kondisi yang telah diperjuangkan jauh di era para pendahulu; terutama semenjak masa Raja Kecil.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

392

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

393

Daftar Pustaka Abdul Rahman Haji Ismail. “Teks/Text of the Raffles MS. No. 18.” In Sejarah Melayu: The Malay Annals, edited by Cheah Boon Kheng. Kuala Lumpur: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1998. Ahmad, Abdul Samad. “Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu).” Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979. Abu-Lughod, Lila. “Writing against Culture.” In Recapturing Anthropology, edited by R. G. Fox. Santa Fe, N.M.: School of American Research Press, 1991. Adatrechtbundels, bezorgd door de Commissie voor het adatrecht. Vol. 20 Sumatra en Riau. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922. Ahmad, Kassim, ed. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1971. Andaya, Barbara Watson. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1993. ———. “Orality, Contracts, Kinship and the Market in Pre-Colonial Island Southeast Asia.” In Ownership, Contracts, and Markets in China, Southeast Asia and the Middle East: The Potentials of Comparative Study, edited by Miura Toru. Tokyo: Islamic Area Studies Project, 2001. ———. Perak, the Abode of Grace: A Study of a Malay State in the Eighteenth Century.Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979. ———. “Upstreams and Downstreams in Early Modern Sumatra.” The Historian 57, 3 (Spring 1995): 537–52. ———. Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context, In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 483-508. Andaya, Barbara Watson and Virginia Matheson, 1979, 'Islamic Thought and Malay Tradition; The Writings of Raja Ali Haji of Riau (ca. 1809-1970)', in: Anthony Reid and David Marr, Perceptions of the Past in Southeast Asia, pp. 108-28, Singapore: Heinemann. Andaya, Leonard Y. “Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972.Hal.51-74. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

394

———. The Kingdom of Johor, 1641–1728. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975. ———. “Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaca”, University of Hawai‘i Press Honolulu, 2008. Anderson, Benedict. Imagined Communities. Revised Edition, London: Verso, 1993. Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971 [orig. 1826]. Asnan, Gusti, “Geography, Historiography and Regional Identity: West Sumatra in the 1950s”, tahun 2004. ———.Dinamika Sejarah dan Ulayat Rantau XIII Koto Kampar” dalam Alfan Miko (ed.), Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press, 2006, hal. 284-302. Barnard, Timothy P.,“Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the

Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, First Edition, 2004. ———., “We are Comfortable ridding the waves: Lanscape and the Formation of a Border State in Eighteen Century Island South Asia,” dalam “Borerlands in World History, 1700-1914, first published, 2014. ———. Multiple Centres of Authority: Society and Environment in Siak and East Sumatra, 1674–1827. Leiden: KITLV Press, 2003. ———. Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya. Riau: Pusat Pengajian Melayu Universitas Islam, 1994. ———., 1994, 'Taman Penghiburan; Entertainment and the Riau Elite in the Late 19th Century', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 67-2:17-46. Barth, Frederik. “Boundaries and Connections.” In Signifying Identities: Anthropological Perspectives on Boundaries and Contested Values, edited by Anthony Cohen. London/New York: Routledge, 2000. ———. “Enduring and Emerging Issues in the Analysis of Ethnicity.” The Anthropology of Ethnicity (1998): 11–32. ———. “Introduction.” Dalam Ethnic Groups and Boundaries, edited by Frederik Barth. Oslo: Norwegian University Press, 1969.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

395

———. “Pathan Identity and Its Maintenance.” In Barth, Ethnic Groups and Boundaries. Bellwood, Peter. “Aslian, Austronesian, Malayic: Suggestions from the Archaeological Record.” In Southeast Asian Archaeology: Willem G. Solheim II Festschrift, edited by Victor Paz. Quezon City: University of Philippine Press, 2004. ———. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformation.” In The Austronesians: Historical and Comparative Perspectives, edited by Peter Bellwood, James J. Fox, and Darrell Tryon. Benjamin, Geoffrey. “Austroasiatic Subgroupings and Prehistory in the Peninsula.” In Austroasiatic Studies, edited by B. Jenner, L. C. Thompson, and S. Starosta. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1976. Benjamin, Geoffrey, and Cynthia Chou, eds. Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives. Leiden/Singapore: International Institute for Asian Studies/Institute of Southeast Asian Studies, 2002. Boxer, C. R. “The Achinese Attack on Malacca in 1629.” In Malayan and Indonesian Studies, edited by John Bastin and R. Roolvink. Oxford: Clarendon Press, 1964. ———. Further Selections from the Tragic History of the Sea, 1559–1565. Cambridge:Hakluyt Society, 1968. Bronson, Bennett. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes toward a Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” In Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives from Prehistory, History, and Ethnography, edited by Karl L. Hutterer. Ann Arbor: University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies, 1977. Brown, C. C. “Sejarah Melayu or Malay Annals,” JMBRAS 25, 2 and 3 (October 1952). Bruijn Kops, G. F. de. “Sketch of the Rhio-Lingga Archipelago.” JIA 8 (1854): 386–402; 9 (1855): 96–108. Bulbeck, David. “Indigenous Traditions and Exogenous Influences in the Early History of Peninsular Malaysia.” In Southeast Asia: From Prehistory to History, edited by Ian Glover and Peter Bellwood. London and New York: RoutledgeCurzon, 2004. Bulbeck, David, et al., eds. Southeast Asian Exports since the 14th Century. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

396

Chou, Cynthia. “Contesting the Tenure of Territoriality: The Orang Suku Laut.” BKI 153, 4 (1997): 605–29. ———. Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku Laut. London/New York: RoutledgeCurzon, 2003. Butcher, Jhon G., The Salt Farm and the Fishing Industry in Bagansiapiapi, Journal Southeast Asian, Publication at Cornell University, Vol.62, Oct, 2006. Christie, Jan Wisseman. “Trade and State Formation in the Malay Peninsula and Sumatra, 300 B.C. – A.D. 700.” In The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, edited by J. Kathirithamby-Wells and John Villiers. Singapore: Singapore University Press, 1990. Colimbijn, Freek, “A Moving History of Middle Sumatra:1600-1870,” Modern Asian Studies 39, 1 (2005) pp. 1–38. C - 2005 Cambridge University Press DOI: 10.1017/S0026749X04001374 Printed in the United Kingdom. Collins, James T. Malay, World Language: A Short History. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998. Comaroff, Jean, and John L. Comaroff. Ethnography and the Historical Imagination. Boulder, Colo.: Westview Press, 1992. Couillard, Marie Andree. “The Malays and the ‘Sakai’: Some Comments on their Social Relations in the Malay Peninsula.” Kajian Malaysia 2, 1 (June 1984): 81–108. Dahlan, Ahmad, “Sejarah Melayu,” KPG, 2014, Cetakan ke-2. Dentan, Robert Knox. “Potential Food Sources for Foragers in Malaysian Rainforest:Sago, Yams and Lots of Little Things.” BKI 147, 4 (1991): 420–44. ———. The Semai: A Nonviolent People of Malaya. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1968. ———. “Semai-Malay Ethnobotany: Hindu Influences on the Trade in Sacred Plants, Ho Hiang.” In Minority Cultures of Peninsular Malaysia: Survivals of Indigenous Heritage, edited by Razha Rashid and Wazir Jahan Karim. Penang: Academy of Social Sciences, 2001. ———. “Spotted Doves at War: The Praak Sangkiil.” Asian Folklore Studies 58, 2 (1999): 397–434. Djatmiko, Edhie. “Masyarakat Traditional di Pedalaman (‘Masyarakat Terasing’).” dalam “Riau menatap Masa Depan,” editor oleh Mubyarto, Yogyakarta: Aditya Media, 1993. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

397

Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London/Malmo: Curzon Press, 1983. Dongen, C. J. van. “De Koeboes in de Onderafdeeling Koeboestreken der Residentie Palembang.” BKI 63 (1910): 181–288. Drakard, Jane. A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1999. ———. “Malay Frontier: Unity and Duality,” Cornell Southeast Asia Program, Newyork, USA, 1990. Drakard, Jane, tr. “A Mission to the Minangkabau King” by Tomas Dias. In Witnesses to Sumatra: A Travellers’ Anthology, edited by Anthony Reid. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995. Effendy, Tenas. Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan. Yogyakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 1997. ———. “The Orang Petalangan of Riau and Their Forest Environment.” In Benjamin and Chou, Tribal Communities in the Malay World. ———. “Petalangan Society and Changes in Riau.” In Riau in Transition, edited by Cynthia Chou and Will Derks. BKI 153, 4 (1997). Evans, Ivor H. N. “Notes on the Sakai of the Ulu Kampar.” Federated Museums Journal 7, 1 (August 1916): 23–30. ———. The Semang of Malaya. London: Frank Cass & Co. Ltd., 1968 [1937]. Faes, J., 1882, 'Het Rijk Pelalawan', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (TBG) 27:489-537. Falarti, Maziar Mozaffari, “Kedah: The Foundations and durability of Malay Kingship, 2009. Fix, Alan G. “Genes, Language, and Ethnic Groups: Reconstructing Orang Asli Prehistory.” In Indo-Pacific Prehistory: The Melaka Papers,” vol. 3, edited by Peter Bellwood et al., BIPPA 19 (2000). G. Du Rij van Beestholle, Aanteekeningen Betrefende de Landschappen VI Kotta Pangkalan en XII Kotta Kampar, Tijdschrift Voor Taal-, Land en Volkenkunde, 1877: 356-414. Gianno, Rosemary. “Malay, Semelai, Temoq: Semelai Concepts of Ethnicity in South-Central Malaya.” In Indigenous Peoples and the State: Politics, Land, and Ethnicity in the Malayan Peninsula and Borneo, edited by Robert Winzeler. New Haven, Conn.: Yale Southeast Asian Studies, Monograph 46, 1997.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

398

Glover, Ian. Early Trade between India and Southeast Asia: A Link in the Development of a World Trading System. Hull: Centre for South-East Asian Studies, 1989. ———. “The Southern Silk Road: Archaeological Evidence for Early Trade between India and Southeast Asia.” In Ancient Trades and Cultural Contacts in Southeast Asia, edited by Ian Glover and A. Srisuchat. Bangkok: Office of the National Culture Commission, 1996, 57–94. Glover, Ian, and Peter Bellwood, eds. Southeast Asia: From Prehistory to History. London/New York: RoutledgeCurzon, 2004. Gonda, J. Sanskrit in Indonesia. New Delhi: International Academy of Indian Culture, 1973. First published in 1952. Goudie, D.J., (ed. & trans.), Syair Perang Siak: A Court Poem presenting the state policy of a Minangkabau-Malay royal family in exile, Monograph no. 17, MBRAS, Kuala Lumpur, 1989. Graafland, A.F.P., De Verbreiding van het Matriarchaat in het Lanschap Indragiri, KILV, Vol.39 Nomor 1, 1890. Gramberg, J.S.G., “Reis Naar Siak,” Tijdschrift Voor Taal,- Land en Volkenkunde, XIII, Vierde Serie, 1864:497-530. Grijzen, H.J., Nota omtrent de XI Kota en Padang Tarap, (Midden-Sumatra), Tijdschrift Voor Taal-, Land en Volkenkunde, 1908, 62-121. Guillot, Claude(Penyunting), Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, Yayasan Obor Indonesia, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, 2014. Gullick,J.M., “Indigenous Political Systems in Western Malaya,” London, 1958, pp. 27. Haan, F. de. “Naar Midden Sumatra in 1684.” TBG 39 (1897): 327–66. Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century Aceh. Leiden:Brill, 2004. Hagen, Bernard. “De Koeboes op Sumatra.” IG, 2e jg, 1 (1907): 945–6. ———. Die Orang Kubu auf Sumatra. Frankfurt am Main: Joseph Baer & Co., 1908. Hale, A. The Adventures of John Smith in Malaya, 1600–1605. Leiden: E. J. Brill, 1909. Hall, Kenneth R. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu:University of Hawai‘i Press, 1985. Hamilton, Alexander. A New Account of the East Indies. London: Argonaut Press, 1930 [reprint of 1727 edition]. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

399

Hasselt, A. L. “Reizen.” In Midden-Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der Sumatraexpeditie uitgerust door het Aardrijkskundig Genootschap, 1877– 1879 / beschreven door de Leden der Expeditie, onder toezicht van P. J. Veth, edited by P. J. Veth. Leiden: E. J. Brill, 1881. Hasselt, A.L. van and H.J.E.F. Schwartz, 1898, De Poelau Toedjoeh in het Zuidelijk Gedeelte der Chineesche Zee, Leiden: Brill. ———., De inlijving der V Kota-Kampar. Amsterdam, K.N.A.G., 1900. 27p., with 1 large folding map, 8vo modern wrs. Original extract taken from the periodical K.N.A.G. (Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap), Vol. XVII. Hashim, Mohammad Yusoff (ed.), 1992a, Hikayat Siak, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. ———., 1992b, The Malay Sultanate of Malacca; A Study of Various Aspects of Malacca in the 15th and 16th Centuries in Malaysian History, D.J. Muzaffar Tate (trans.), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hendraparya, Tressi A., Onderafdeeling Bagansiapiapi: Negeri Penghasil Ikan Terbesar di Dunia, Soreram Media, Pekanbaru, Cet.I, tahun 2011. Hijman van Anrooij, “Nota Omtrent Het Rijk Siak”, Tijdschrift voor Indische, Taal, Land en Volkenkunde, Deel XXX, 1885, 259-390 Hood Mohamad Salleh. “Morality and Restraint among the Semelai of Malaysia.” In The Nascent Malaysian Society, edited by Dahlan H. M. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1986. Hooker, Virginia Matheson. Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam. Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991. ———.,A Short History of Malaysia, First published in 2003 by Allen & Unwin. IJzerman, J.W., Dwars Door Sumatra: Tocht van Padang naar Siak, Batavia,1895. Jamil, Taufik Ikram, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Yayasan Pustaka Riau, tahun 2003. Jones, Russell. “The Origins of the Malay Manuscript Tradition.” In Cultural Contact and Textual Interpretation, edited by C. D. Grijns and S. O. Robson. Jones, Sian. The Archaeology of Ethnicity: Constructing Identities in the Past and Present. London: Routledge, 1997. Josselin de Jong, P. E. de. Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1980. Kahn, Joel S. Constituting Minangkabau: Peasants, Culture and Modernity in Colonial Indonesia. Providence/Oxford: Berg, 1993. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

400

Kassim Ahmad, ed. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1971. Kato, Tsuyoshi. Matrilineality and Migration: Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca, N.Y./London: Cornell University Press, 1982. ———. “Social Change in a Centrifugal Society: The Minangkabau of West Sumatra.” Ph.D. dissertation, Cornell University, 1977. ———.“The Localization of Kuantan in Indonesia: From Minangkabau Frontier to Riau Administrative District,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Riau in Transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 737 – 763 Kielstra, E.B., De Afdeeling Indragiri, Onze Eeuw. Jaargang 15. 1915; p.33-65. Kipp, Rita Smith. Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian Society. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1996 [1991]. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana Yogyakarta, tahun 2003. Leyds, W. J. “Larassen in Minangkabau.” KS 10e jg, 10, 1 (1926): 387–416. Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. 2 vols. Jakarta: Penerbit Erlangga,1993. Lieberman, Victor. Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800– 1830. Vol. 1, “Integration on the Mainland.” Cambridge: Cambridge University Press, 2003. Loeb, Edwin M. Sumatra: Its History and People. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1972. Logan, J. R. “The Orang Benua of Johore.” JIA 1 (1847): 242–93. Lutfi, Muchtar et al., Sejarah Daerah Riau, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Maier, Hendrik. In the Center of Authority. Ithaca, N.Y.: Cornell University Southeast Asia Program, 1988. Maier, H. M. J. “Tales of Hang Tuah.” BKI 155, 3 (1999): 344–63. ———. “We Are Playing Relatives.” BKI 153, 4 (1997): 672–98. Manguin, Pierre-Yves (sebagai penyunting, George Coedis, Louis-Charles Damais, Hermann Kulke, “Kedatuan Sriwijaya:Kajian Sumber Prasasti dan Ekologi, Ecole Francaise d”Extreme-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional, Penerbit Komunitas Bambu, Edisi kedua, tahun 2014. Marsden, William. The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford Historical Reprints, 1966 [1783]. Martin, Jean, 1985, 'Ceramic Legacy of Asia's Maritime Trade on Tioman Island', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 53-1:81-90. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

401

Masefield, John, ed. Travels of Marco Polo. London: J. M. Dent & Sons Ltd., 1954. Matheson, Virginia, and Barbara Watson Andaya, eds. The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis) by Raja Ali Haji ibn Ahmad. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982. ———. Virginia, 1986, 'Strategies of Survival: the Malay Royal Line of LinggaRiau', Journal of Southeast Asian Studies 17-1:5-38. Meilink-Roelofsz, M. A. Asian Trade and European Influence. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962. Miksic, John. “Archaeology, Ceramics, and Coins.” JESHO 39, 3 (1996): 287– 97. ———. “Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra.” Ph.D. dissertation, Cornell University, 1979. ———. “Classical Archaeology in Sumatra.” Indonesia 30 (October 1980): 43– 66. ———. “Trade Routes and Trade Centres.” The Encyclopedia of Malaysia. Early History.Vol. 4. Singapore: Archipelago Press, 1998, 78–9. Mills, J. V. “Eredia [Emanual Godinho de]’s 1613 Description of Malaca and Meridional India and Cathay in Three Treatises.” JMBRAS 8, 1 (September 1930):1–288. ———. , J.V., 1974, 'Arab and Chinese Navigators in Malaysian Waters in about A.D.1500', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 47-2:1-82. Milner, A. C. Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule. Tucson: University of Arizona Press, 1982. ———. , “The Malays,” 2008, The Peoples of South-East Asia and the Pacific General Editors: Peter Bellwood and Ian Glover. MOSZKOWSKI, Max. Langs Nieuwe Wegen door Sumatra. (Ontdekkingsreizen in Midden-Oost-Sumatra, 1907). Haarlem, Kruseman & Tjeenk Willink, 1917. 56p., with 56 illustrations, 4to modern wrappers. - Taken from: De Aarde en haar Volken, Jrg. 53. Nagel, Joane. “Constructing Ethnicity: Creating and Recreating Ethnic Identity and Culture.” Social Problems 41, 1 (February 1994): 152–75. Naim, Mochtar, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University Press, tahun 1984.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

402

Netscher, E. De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602–1865. Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Deel XXXV, Batavia: Bruining & Wijt, 1870. ———. “Togtjes in het Gebied van Riouw en Onderhoorigheden.” TBG 12 (1862):233–54; 14 (1864): 1–23, 340–51. Neumann, Nota betreffende de onafhankelijke landschappen MapatToenggoel en Moewara-Soengei-Lolo VI Kota, Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Volk., dl. XXIX. Niewenhuijen,F.N.,”Het Rijk Siak Sri Indrapoera,” Tidschrift Voor Taal,- Land en Volkenkunde, Deel VII Derde Serie Deel I, 1858: 388-437. Nieuwenhuys, R., ed. Herman Neubronner van der Tuuk: De Pen in Gal Gedoopt: Een Keuze uit Brieven en Documenten. Amsterdam: Van Oorschot, 1962. Nijhoff, Martinus, Mededeelingen Betreffende de Kwantan-Districten. 's Gravenhage, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van NederlandschIndië, Zevende volgreeks, Deel 9. 1909. Ibrahim, Norhalim,“Sejarah Linggi: Pintu Gerbang Sejarah Pembangunan Negeri Sembilan.” Shah Alam, penerbit Fajar Bakti, 4, Kuala Linggi Semasa Pemerintahan Raja Kecil di Johor, 1998. Obdeyn, V. “De Langkah Lama der Orang Mamak van Indragiri.” TBG 69 (1929): 353–425. O’Brien, J.L., Rapport omtrent de tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-Landen. Amsterdam, K.N.A.G., 1906: 958-1003. O’Connor, Richard. “Agricultural Change and Ethnic Succession in Southeast Asian States: A Case for Regional Anthropology.” JAS 54, 4 (November 1995): 968–96. Oki, Akira, “Social Change in The West Sumatran Village, Tesis, 1977. ———. “The River Trade in Central and South Sumatra in the 19th Century.” In Environment, Agriculture and Society in the Malay World, edited by Tsuyoshi Kato, Mochtar Lufti, and Narifumi Maeda. Kyoto: Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University, 1986. Perret, Daniel, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, KPG(Kepustakaan Populer Gramedia), Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Jakarta, Tahun 2010. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

403

Pires, Tome, 1944, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt Society. 2 vols. Porath, Nathan. “Developing Indigenous Communities into Sakais: South Thailand and Riau.” In Benjamin and Chou, Tribal Communities in the Malay World. ———. “When the Bird Flies: Shamanic Therapy and the Maintenance of Worldly Boundaries among an Indigenous People of Riau (Sumatra).” Ph.D. dissertation, Leiden University, 2003. Raffles, Thomas Stamford. “On the Malayu Nation, with a Translation of Its Maritime Institutions.” Asiatic Researches 12 (1818). Reid, Anthony. “Elephants and Water in the Feasting of Seventeenth Century Acheh.” JMBRAS 62, 2 (1989): 25–44. ———. “Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia.” JSEAS 10, 3 (December 1969): 395–414. ———. Southeast Asia in the Age of Commerce. 2 vols. New Haven, Conn.: Yale University Press, 1988, 1993. Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c. 1300. Stanford, Calif.: Stanford University Press, 1993. Riddell, Peter. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and Responses. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2001. Rijn van Alkemade, J. A. van. “Het Rijk Gassip.” TAG, 2e serie, 2 (1885): 218–39. ———. “Reis van Siak naar Poelau Lawan,” TAG, 2e Serie, 111, 1 (1887): 100– 45. ———. Beschrijving eener Reis van Bengkalis Langs de Rokan Rivier naar Rantau Binoewang, KITLV, Vol 32, No. 1,(1884). Sager, S. “If We Cross over the Realms, the Gods Will Run Away: Maintaining Adat Boundaries in a Larger Malay World. The Orang Rimba of Jambi Sumatra.” Ph.D. dissertation, The Australian National University, 2007. Sandbukt, Oyvind. “Precolonial Populations and Polities in Lowland Sumatra, An Anthropological Perspective.” Kabar Seberang 22 (1991): 42–51. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

404

Satyawati Suleiman. “The Archaeology and History of West Sumatra.” Bulletin of the Research Center of Archaeology of Indonesia 12 (1977): 1–25. Schnitger, F. M. The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E. J. Brill, 1937. ———. Forgotten Kingdoms in Sumatra,1935. ———.,Het onstaan der rijken aan de Kampar Kanan. Amsterdam, K.N.A.G., 1940. 7p., with 1 sketch-map & 6 photographic illustrations on plates, 8vo modern wrs. Schwartz, H.J.E.F., Nota Over den politieken en economischen toestand van het landschap Kwantan, Indische Taal-, Land en Volkenkunde, Bataviaasch Genootschappen van Kunsten en Wetenschappen, Deel XXXVI, 1893, 325342. Shellabear, W. G., ed. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1967. Skeat, Walter William, and Charles Otto Blagden. Pagan Races of the Malay Peninsula.2 vols. London: Macmillan, 1906. Smith, Anthony D. The Ethnic Origins of Nations. Oxford: Blackwell, 1986. Soo, Kee-long. “Dissolving Hegemony or Changing Trade Pattern? Images of Srivijaya in the Chinese Sources of the Twelfth and Thirteenth Centuries.” JSEAS 29, 2 (1998): 295–308. Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998. Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977. Suparlan, Pusardi, et al., 1989, Interaksi Antar Etnik di Beberapa Poprinsi di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ———.”Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Tachimoto, Narifumi Maeda. The Orang Hulu: A Report on Malaysian Orang Asli in the 1960’s. Subang Jaya: Center for Orang Asli Concerns, 2001. Teeuw, A. “The History of the Malay Language.” BKI 115, 2 (1959): 138–56. Tideman, J. Land en Volk van Bengkalis, Opgenomen in het Tijdschrift Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, November 1935. ———. Hindoe-invloed in Noordelijk Batakland. Amsterdam: De Valk, 1936. Tsuyoshi, Kato, Valentijn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indien, vol. 5. Dordrecht: Johannes van Braam, 1726. Wells, J.Kathirithamby, Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before the Mid-Nineteenth Century, In: Archipel. Volume 45, 1993. pp. 77-96. RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

405

Westenenk, L. C. “Opstellen over Minangkabau I.” TBG 55 (1913): 234–51. ———. “Opstellen over Minangkabau II. Pariangan-Padang Pandjang in de Lareh nan Pandjang. Sang Sapoerba’s Boekit Si Goentang en de Goenoeng Mahameru.” TBG 57 (1916): 241–62. White, Walter Grainge. The Sea Gypsies of Malaya; An Account of the Nomadic Mawken People of the Mergui Archipelago. London: Seeley, Service & Co. Limited,1922. Wilken,G.A., De Verbreiding van het Matriarchat op Sumatra, KITLV, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 37, No 1 (1888), 163-215. Wilkinson, R. J. A History of the Peninsular Malays. In R. J. Wilkinson, Papers on Malay Subjects. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971. ———. A Malay-English Dictionary. 2 vols. London: Macmillan, 1959. Williams-Hunt, Anthony. “Land Conflicts: Orang Asli Ancestral Laws and State Policies.” In Indigenous Minorities of Peninsular Malaysia: Selected Issues and Ethnographies, edited by Razha Rashid. Kuala Lumpur: Intersocietal and Scientific Sdn. Bhd. (INAS), 1995. Winstedt, R. O. “Raffles Ms. No. 18.” JMBRAS 16, 3 (1938). Witrianto, “Pemukiman Baru Identitas Baru: Studi Kasus Masyarakat Relokasi Proyek PLTA Koto Panjang di Perbatasan Sumatera Barat – Riau,” Makalah disampaikan pada Seminar Hubungan Indonesia Malaysia tanggal 1-2 November 2010 di Universitas Andalas Padang. Wolters, O. W. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1967. ———. The Fall of Srivijaya in Malay History. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1970. ———. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Revised Edition.Ithaca, N.Y.: Cornell University Southeast Asia Program, 1999 [1982].

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir Tressi A.Hendraparya

Related Documents

Riau Daratan.pdf
April 2020 11
Dapil Riau 1
October 2019 18
Dapil Riau 2
October 2019 22
Visi Riau 2020
May 2020 5
Advantage Of Riau
May 2020 12
5300 Provinsi Riau-1
August 2019 55

More Documents from "Mbayak GintingSuka"