Diantara Belantara Jermal.pdf

  • Uploaded by: Tressi A Hendraparya
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Diantara Belantara Jermal.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 110,368
  • Pages: 375
1

Tressi A.Hendraparya

Diantara Belantara Jermal Dinamika Sosial di Bagansiapiapi dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah

Penerbit Soreram Media Pekanbaru, Tahun 2016

2

3

Tressi A.Hendraparya

DIANTARA BELANTARA JERMAL Dinamika Sosial di Bagansiapiapi dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah

Soreram Media Pekanbaru - Tahun 2016

4

Judul

:

DIANTARA BELANTARA JERMAL Dinamika Sosial di Bagansiapiapi dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah

Penulis

:

Tressi A.Hendraparya

Penerbit

:

Soreram Media Pekanbaru

Gambar Cover

: Een Djermal met opgetrokken netslurf en Pra bijbehoorende uw bij Bagan Si Api Api.

Sumber

:

Algemeenhandelsblad, 10 April 1929.

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved Dicetak di Pekanbaru: Cetakan I, Tahun 2016 ISBN

5

Suatu Pengantar “Selamat Datang di Bagan!” Demikian seorang jurnalis menuliskan kata-kata tersebut dalam salah satu laporannya tentang Bagansiapiapi di tahun 1930-an setelah ia berkunjung dari Medan ke Bagansiapiapi. Perjalanannya saat itu ditempuh dari Medan ke Tanjung Balai dengan menggunakan jasa Kereta Api yang saat itu dikelola oleh D.S.M. (Deli Spoor Maatschappij) kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kapal dari K.P.M. melewati Labuhan Bilik di Muara Panei terus ke Bagan. Perjalanan yang tidak sebentar, melainkan memakan waktu hingga sehari semalam. Bagansiapiapi, sebagai sebuah kota yang hingga saat ini berusia lebih dari satu abad, maka kota ini telah dilintasi oleh berbagai perubahan dan berbagai zaman. Yang jelas dimulai dari era Kolonial hingga otonomi daerah dengan segala konsekuensinya. Mekipun demikian, untuk tetap dapat diingat bahwa Bagansiapiapi juga memiliki perkembangan yang terkait dengan kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu, yang telah dikenal Eropa semenjak awal abad ke-18; melalui serangkaian kisah sang pendiri kerajaan Siak Raja Kecil dalam penaklukan Johor tahun 1718. Kondisi ini mengisyaratkan, bahwa kesejarahan eks kewedanaan Bagansiapiapi bukanlah kejayaan industri perikanan semata, melainkan sekelumit kisah “anak bumi” dalam pergulatan ruang dan waktu dialiran sungai Rokan yang telah bersinggungan dengan lingkup perdagangan internasional di Selat Melaka semenjak era Sriwijaya. Akibatnya, Jejak tapak ini menghendaki penggalian yang begitu beratnya dalam upaya menelusuri kearifan-para pendahulu yang tersebar dalam rekaman tradisi-lisan, catatan para pengamat Eropa dan juga yang terproyeksikan dalam kehidupan sosial kontemporer. Pemahaman ini dibutuhkan agar seorang pengamat tidak terjerat dalam ego kepentingan, apapun bentuknya. Bagansiapiapi, tidak asing dalam literatur kolonial, bahkan pers pun ikut meramaikan pemberitaan. Begitu pula beberapa karya kontemporer yang turut memperkaya khasanah kepustakaan Bagansiapiapi, akan tetapi, secara umum berbicara hanya tentang perikanan saja, belum menyentuh aspek lain dari Bagansiapiapi, terutama kehidupan sosial masyarakat sebagai pelaku perekonomian, kebudayaan dan politik yang saling berpengaruh satu sama lainnya. Tentu saja, Bagansiapiapi sebagai pusat pemerintahan kewedanaan, memiliki wilayah yang membentang hingga kehulu sungai Rokan, memerlukan penjelasan yang memadai berkaitan dengan booming perekonomian dan urbanisme yang mengiringinya di Bagansiapiapi, dan dalam konteks semacam itulah buku ini hadir untuk mencoba turut memperkaya kepustakaan Bagansiapiapi itu, terutama yang berlatar kesejarahan sosial. Sejarah dapat bermakna personal bagi individu yang melihat dan mengalaminya secara

6 langsung peristiwa ataupun momen yang melekat pada lintasan waktu sejarah masyarakat itu sendiri. Sepotong Besi tua yang terletak di halaman Kantor Pabean Bagansiapiapi, bukan hanya sekedar besi tua, melainkan dahulunya adalah bagian dari konstruksi dermaga yang disana tersimpan kisah dan cerita tentang kejayaan dermaga tersebut sebagai Pelabuhan Ikan terpenting II di dunia. Dengan mencermati besi tua itu, maka bentangan imajiner akan segera diisi oleh riuhnya situasi, hiruk-pikuknya pekerja, dan kesibukan tinggi segala aktifitas pelabuhan ikan terpenting itu, betapa sepotong besi tua telah merekam jejak aktifitas para pelaku ekonomi dari segala bangsa; sepotong besi yang tidak saja merupakan bahagian dari sejarah kejayaan, melainkan juga kolonialisme Belanda, eksploitasi muara dan perang dunia II. Besi tua itu, dahulu adalah pintu masuk dari para raksasa penjajah yang mencoba meraja, hingga akhirnya sang waktu pun menghentikan mereka, dan tinggallah puing besi tua, diam membisu diapit kesibukan warga kota. Bahwa “tak ada gading yang tak retak”, mungkin ini ungkapan yang paling tepat, mengingat bahwa buku ini sendiri bagaimanapun juga berisi catatan tentang kisah kehidupan masyarakat di masa yang telah lampau yang biasanya akan sarat polemik dan perdebatan, seperti kisah tentang Onderafdeeling Bagansiapiapi saat mengalami masa kejayaan sebagai Penghasil Ikan terbesar II di dunia – pada era Kolonial terdapat juga pendapat bahwa Bagansiapiapi sebenarnya adalah penghasil ikan yang terbesar dibandingkan Bergen-Norwegia, sebab Bagansiapiapi menghasilkan ikan sepanjang tahun tanpa mengenal musim; sebaliknya, musim membatasi Bergen.1 Dalam kesempatan ini Selain menyampaikan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT, Kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, kepada Bapak Bupati Rokan Hilir, Bapak Wakil Bupati, Bapak Sekretaris Daerah, kepada Bapak Ketua dan anggota DPRD, unsur pimpinan instansi, hormat kami kepada para tokoh masyarakat, cerdik pandai, alim ulama, rekan-rekan, kepada Opa RM.Djajeng Pratomo, Iljunah & Marjati Pratomo, Arsip Nasional Jakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan Wilayah Soeman HS Pekanbaru, KITLV, Royal Tropical Instituut, Nationaal Archief; kepada, kepada Penerbit Soreram Media Pekanbaru, untuk kakekku alm.Letkol.H.Idris Sutrisna juga alm.R.Soekabat Wonodirdjo, kepada ayahku alm R.H.Soekabat dan ibuku Hj.Tuti Suparyati,BA, H.Sardjoko,MPd dan Keluarga besar; Kanda H.Ferry H.Parya dan kakakku Frissa Hendraparya atas suportnya, keluarga besar, kerabat, isteriku Agustina Srihastuti,SPi, dan anak-anak dirumah; Mutiara Cahaya Negeri, M.Bintang Cahaya Negara dan M.Buminata Cahaya Negara, juga kepada berbagai pihak atas dukungannya, yang telah banyak membantu namun tidak dapat Kami sebutkan satu persatu, dan semoga Allah SWT memberkahi segenap upaya ini. 1

Sebagaimana diberitakan dalam Indische Caourant, 10 Maret 1928, “Bagan Si Api Api.”

7

Bagansiapiapi, 30 Maret 2016 Hamba Allah,

Tressi A Hendraparya

8

9

Untuk mengenang Segenap Masyarakat yang dalam suasana batin kebersamaan Memperjuangkan pembentukan Daerah Otonom Swatantra Tingkat II Bagansiapiapi 1963/4, Dan Kabupaten Rokan Hilir tahun 1999

10

11

Militer Belanda di Pantai Bagansiapiapi. Sumber ANRI

12

13

Kesibukan di Pelabuhan Bagansiapiapi, 1930-40, KITLV.

14

15

Lokus Kajian: Onderafdeeling Bagansiapiapi

16

17

DAFTAR ISI Hal.

Daftar Judul Kata Pengantar Penulis

5

Daftar Isi

17

1. Pendahuluan …………………………………………………….

17

2. Keadaan Alam, Wilayah dan Kependudukan……….

27

3. Rekonstruksi Ruang ……………………………………….

45

4. Kekerabatan dan Kekuasaan……….……………………..

91

5. Sejarah Perikanan Bagansiapiapi ……………………….

123

6. Pendangkalan Muara …………………………………………..

173

7. Perkembangan Kota ………………………………………………

185

8. Konfigurasi Sosial…………………………………………………

215

9. “Perang Bagan”…………………………………………………..

257

10. Reorientasi Identitas……….. ………………………………

285

Daftar Pustaka ……………………………………………………..

313

Kronik Bagansiapiapi………………………………………………..

333

Warta Mutasi Pegawai Hindia di Onderafdeeling Bagansiapiapi……………………………….

355

Nama Ikan di Muara Rokan tahun 1929 …………………….

369

18

Kontrak 1884 antara Siak & Belanda …………………………

371

Staatsblad 1894, No,93 & 94 ……………………………………..

373

Nama Kepala Suku dan Hinduk ……………………………………

429

19

1 Pendahuluan Latar Belakang Buku ini bermaksud mempelajari dinamika sosial suatu masyarakat di pesisir, tepatnya di hilir aliran sungai Rokan yang pernah dikenal sebagai kewedanaan (wedanaschap atau Onderafdeeling) Bagansiapiapi; meliputi tiga kenegerian kuno yang mulai eksis pasca periode kejayaan Melaka,2 dan juga suatu pusat pemerintahannya; sebuah kota, terutama meliputi peristiwa-peristiwa sinkronik dan diakronik.3 Suatu upaya untuk memahami perilaku masyarakat dalam menghadapi arus perubahan ekologi, ekonomi dan politik itu, memiliki konsekuensi logis bahwa telaah akan meliputi serangkaian peristiwa dalam keruangan yang umum; dalam buku ini yaitu “kewedanaan,” dan juga tidak terelakkannya untuk menyajikan proses-proses sosial yang terjadi dalam keruangan kota, dimana ternyata penulisan sejarah kota itu sendiri merupakan garis terdepan dalam penulisan sejarah nasional.4 Kewedanaan Bagansiapiapi meliputi lanskap disepanjang aliran sungai Rokan dari pedalaman hingga pesisir, sementara kota Bagansiapiapi yang berlokasi ditepian muara sungai Rokan di pantai timur Sumatra, menjadi contoh nyata bagi suatu perubahan yang merupakan respon suatu perubahan lingkungan ekologi. Buku ini bermaksud menampilkan gambaran tentang Bagansiapiapi; terutama sebagaimana telah disampaikan, lingkungan ekologi yang berubah dan hubungannya dengan struktur sosial dalam masyarakat majemuk 5 yang diproduksi oleh Belanda dan juga dualisme sistem perekonomiannya; 6 konsekuensi logis dari penulisan serupa ini, akan membawa telaah sebahagian besar berada dalam rentang awal keterlibatan Belanda tidak saja selama separuh pertama abad ke-20,

2

Diperkirakan pasca penaklukan Melaka oleh Portugis 1511 juga diiringi dengan keruntuhan politi Rokan yang terletak di hulu aliran sungai Rokan, dan kemudian sejarah bergeser pada peranan sebaran lanskap disepanjang aliran sungai Rokan; dipesisir, meliputi tiga kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu. 3 Galtung, Theory and Methods of Social Reasearch, 1969. 4 Kuntowijoyo, dalam “Metodologi Sejarah,” Edisi kedua tahun 2003, hal.72. 5 Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, 1967, hal.446-449. 6 Boeke. Julius H., Economics and Economics Policy of Dual Soceities as Exemplified by Indonesia, New York: Instituute of Pasific Relation, 1953.

20 melainkan juga beberapa waktu mundur kebelakang hingga satu titik dimana jejaring perdagangan kuno yang bersinggungan dengan lanskap dialiran sungai Rokan bermula. Dengan demikian, tulisan ini juga memuat sejarah dalam artian kronologi peristiwa yang dapat memberikan deskripsi perubahan-perubahan dalam masyarakat, sehingga kesimpulan umum akhirnya dapat dicapai. Untuk memenuhi tujuan ideal itu, maka didalam buku ini, rekonstruksi masa lampau tidak dihindari, sembari berupaya mencari penjelasan-penjelasan sosiologis dari runutan peristiwa yang ditampilkan. Dan ini menjadikan studi sejarah menjadi landasan awal dari maksud penulisan; dengan maksud penelusuran histori tersebut dapat memberikan penjelasan tentang situasi sosial yang terakhir. Yang menarik adalah, bahwa setelah lebih 60 tahun terlepas dari cengkraman kolonial Belanda, keruangan terakhir Bagansiapiapi cenderung memiliki pola serupa dengan masa Hindia Belanda, terutama dari sisi “pluralisme”nya, sebagaimana hasil observasi lapangan pasca pemekaran Kabupaten 1999.7 Sebagaimana telah disampaikan, persoalan ini, tentu tidak dapat dijawab hanya dengan melalui pengamatan-langsung tanpa melihat situasi ekonomi, budaya dan politik yang berlaku dalam rentang panjang kesejarahan Bagansiapiapi. Dengan demikian, maka buku ini berupaya untuk: Pertama, merekonstruksi ruang perekonomian, sosial dan politik dari ruang eks kewedanaan Bagansiapiapi ini; Pencaharian tentang situasi kekinian yang dilakukan tanpa mengabaikan apa yang berlangsung di era terdahulu, diyakini bahwa jawaban-jawaban atas apa yang terjadi pada masa silam, menjadi fondasi bentukan dimasa sesudahnya, begitu seterusnya hingga era terakhir. Wajar saja, buku ini juga, mengandalkan temuan-temuan para ahli sejarah dan arkeologi yang menunjang rekonstruksi perjalanan kesejarahan lanskap disepanjang aliran sungai Rokan. Dalam konteks ini, maka studi dan garis pemikiran seperti Manguin, 8 Coedes,9 Wolters, 10 Miksic, 11 Leonard Y Andaya,12 tentang jejaring perdagangan kuno di Selat Melaka dan kawasan yang merupakan arbitrasi keruangan 7

Salah satunya adalah sebagaimana dalam laporan M Subhi Azhari; Proyek Identitas dan Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi antara Etnis China dan Melayu di Bagansiapiapi, hal.261-348, dan Hikmat Budiman; Mendiskusikan kembali Furnival: Satu Cerita Lagi dari Bagansiapiapi, hal.459-508; dalam Kota-Kota di Sumatra; Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi, The Interseksi Foundation Jakarta, 2012. 8 Manguin, “Archaeology of Early Maritime Polities,” 9 Coedes, G. Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center Press, 1968. 10 Wolters, O.W., Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca,N.Y.: Cornell University Press, 1967. 11 Miksic, Jhon, ”Trade Routes and Trade Centres.” The Encyclopedia of Malaysia. Early History. Vol. 4. Singapore: Archipelago Press, 1998, 78–9. 12 Para ahli meyakini bahwa kehidupan masa silam terutama awal masehi warnai dengan proses Indiaisasi, sebagai dampak dari kehidupan perdagangan di Selat Melaka, laut sempit antara pantai timur Sumatra dan Semenanjung yang menghubungan politi-politi di seluruh dunia. Proses perdagangan ini, tidak saja menjadi cikal bakal terbentuknya politi-politi yang saling berkompetisi memperebutkan sumber daya di selat, bahkan, dalam jangka panjang mempengaruhi etnisisasi bagi entitas dalam lingkaran jalur perdagangan selat. Jelasnya, lihat Leonard Andaya, Leaves of the Same Tree: trade and Ethnicithy in Mellaca Strait, University of Hawai’i Press, Honolulu, 2008.

21 Sriwijaya, Pagaruyung dan Melaka, menjadi acuan pemahaman akan keruangan dihulu sungai Rokan; setidaknya menjadi kerangka acuan dalam upaya memahami bagaimana ruang-ruang lanskap terbentuk dalam masa-masa Hindu Budha dan Melaka. Selain itu, berbicara tentang lanskap sebagai bentuk suatu pengorganisasian ruang, yang terpenting disini adalah para “khalipah penguasanya.” Individu manusia yang membentuk kesatuan organisasi masyarakat, yang bermukim dikewilayahan lanskap disepanjang aliran sungai Rokan sebagai bahagian dari dunia yang lebih luas: ALAM MELAYU, maka dalam tema itu, buku ini tidak hentinya berterimakasih atas pemikiran Barbara Andaya13 yang menjadi titik tolak dan perspektif dalam upaya melihat lebih dekat “kekerabatan Melayu,” terutama di aliran sungai Rokan. Meskipun demikian, kami berkeyakinan bahwa suatu penelaahan proses sosial menuntut relevansi dengan situasi terakhir, sebab bagaimanapun juga, kita hidup disaat ini, dan tentu cenderung meminta keterkaitan lebih atas apa yang terjadi di masa lampau dengan sekarang ini. Untuk itu, kami mencarinya pada bentukan dimasa lampau yang telah bersinggungan dengan dunia modern, tepatnya dimasa kolonial Belanda. Bahwa Bagansiapiapi, melejit menjadi sebuah kota yang mendunia seiring dengan masuknya Belanda yang mendorong indutri perikanan menjadi terkemuka, hingga surutnya industri. Tentu saja, ini memerlukan penjelasan dan argumentasi lebih, berkaitan dengan kondisi-kondisi kekinian, bahwa apa yang tampak saat ini, tentu berkaitan dengan apa yang terjadi sebelumnya dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian, tatanan sosial terakhir adalah proyeksi dari apa yang berlangsung sebelumnya; maka dari itu, fokus kedua buku ini adalah: berupaya menjelaskan konfigurasi sosial di Bagansiapiapi pada masa Hindia Belanda. Kami percaya, bahwa pembentukan konfigurasi sosial dalam suatu keruangan, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan juga budaya dalam skala dan dalam rentang waktu tertentu. Pentingnya melihat konfigurasi sosial masa kolonial itu, dilandasai kenyataan bahwa Bagansiapiapi pada tahun 1946 mengalami konflik berat berdimensi ras dan tentu dibayang-bayangi kepentingan politik Belanda yang ingin kembali berkuasa menjajah dan berhadap-hadapan dengan segenap kekuatan rakyat Indonesia, suatu periode yang juga menandai suatu perubahan besar disana. Untuk mencapai tujuan pemahaman kedua itu, maka diperlukan serangkaian pemandu yang akan melihat kepada perkembangan ruang-ruang dan segala aktifitas perekonomian yang berlangsung disana. a. penjelasan logis atas dinamika perkembangan kota Bagansiapiapi terutama semenjak kehadiran penjajah Belanda di Bagansiapiapi yang membawa serta struktur perekonomian kapitalis-kolonialnya dan menyebabkan terbentuknya “masyarakat plural,” dan ini berarti juga; b. menyusun suatu deskripsi tentang industri perikanan masa Hindia Belanda, dan

13

Bagaimana Barbara Andaya merekonstruksi kekerabatan di Sumatra, lihat “To Live as Brothers,” 1993.

22 c. menyusun suatu penjelasan tentang dampak “booming” industri perikanan terhadap struktur sosial di Bagansiapiapi, begitu pula saat surutnya kejayaan industri;

Landasan Teori Tanpa dipandu oleh suatu kerangka teoritik, maka tampilan kronologi data dalam suatu penulisan akan cenderung menjadi tidak bermakna.14 dengan demikian, disini akan ditampilkan serangkaian kerangka teori yang menjadi landasan pemikiran dan alur penulisan. Melihat dari persoalan yang sudah diketengahkan, maka buku ini terutama berupaya menggunakan pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan. Dalam perspektif evolusi, maka alur dapat menyerupai garis linear perkembangan ruang sosial semenjak terbentuknya; hingga pembentukan kota. Jika perubahan sosial itu sendiri terlihat sebagai gejala umum yang berlaku pada masyarakat manusia diseluruh dunia, maka, perubahan struktur dan fungsi ini, dalam perspektif materialisme akan dilihat terutama mengacu pada perubahan infrastruktur-sosial yang melandasinya, sehingga diharapkan tidak akan bias dalam upaya memberikan penjelasan-penjelasan yang dianggap memadai dan logis; asumsi-asumsi dasar terutama kondisi material dari eksistensi manusia – seperti tingkat teknologi, pola kehidupan ekonomi, dan ciri-ciri lingkungan alamiah merupakan penyebab yang menentukan pengorganisasian masyarakat manusia dan perubahan penting didalamnya.15 Intinya, kajian masyarakat akan meliputi pengalamannya dalam rentang waktu yang berbeda, komparasi historis merupakan basis dalam penelitian, seperti Max Weber yang berupaya menjelaskan tumbuhnya kapitalisme. Masyarakat, akan dianalogikan seperti alam yang memiliki hukum-hukum pasti; keteraturan yang deterministik. Sebaliknya, dalam paradigma yang berbeda, ternyata perilaku tatanan sosial itu sendiri tunduk pada skenario drama yang dimainkan para pelakunya, secara sadar atau tidak aktor akan melakukan ekspansi aktif dalam merajut sulaman struktur ini yang pada akhirnya benar-benar menjerat dirinya sendiri dalam sikap kepasifan yang khas; selain itu, terdapat juga tuntutan untuk tidak terlalu memaksakan desain kerangka pada suatu rentang perjalanan sejarah, disebabkan pertimbangan keunikan yang dimiliki pada fase-fase kesejarahan. Meskipun demikian, apapun drama yang dimainkan, akan tetap juga melihat pijakan landasan tempat pagelaran drama digelar; infrastruktur sosial. Seperti pada masyarakat tradisional; pemburu, pengumpul dan peramu, yang nyata-nyata sangat tergantung pada lingkungan ekologi, maka ekologi yang berubah akan mendesakkan pengaruhnya pada struktur masyarakat yang berdiri diatasnya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian pada ekologi yang berubah itu, maka perubahan sosial dari tatanan sebelumnya ke yang berikutnya, strutur lama ke

14 15

Kuntowijoyo, 2008. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadao realitas Sosial, edisi ke-2, hal.21.

23 struktur baru, akan segera terjadi dalam tahapan-tahapan perubahan itu sendiri. Tentu saja, tema besar yang relevan adalah bagaimana perubahan sosial dalam suatu masyarakat itu terjadi berkenaan dengan berlangsungnya perubahan lingkungan ekologi. Selain itu, buku ini, terutama memanfaatkan sifat dari sosiologi yang memiliki paradigma ganda;16 dapat melihat realitas sosial dengan menggunakan kerangka fakta sosial,17 sebaliknya dapat pula berlandaskan pada definisi sosial. Penulisan ini, sebagaimana telah tampak diawal, secara prinsip mengacu pada perspektif materialism – evolusionis; 18 yang melihat bahwa perubahan sosial berlangsung sebagai perubahan dalam rentang diakronis; bagaimana suatu tatanan sosial beralih kedalam bentuknya yang baru; hal ini mengindikasikan perubahan yang lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Perubahan masyarakat dari meramu, ke masyarakat pertanian, atau perubahan masyarakat pertanian ke perdagangan merupakan perubahan kualitatif. Akan tetapi, peningkatan jumlah desa, atau penduduk dengan kharakteristik yang sama, bukanlah suatu perubahan kualitatif, melainkan perubahan kuantitatif semata. Halnya dengan muatan dari struktur sosial, dalam perspektif ini tentu akan mengacu pada perilaku aktual. Perilaku aktual teridentifikasi melalui; ada tidaknya pelapisan sosial; ada atau tidaknya pemisahan etnis atau rasial; cara bagaimana masyarakat mengorganisir dirinya dalam upaya penegakan aturan-aturan; pembagian kerja dan kekerabatan. Perspektif materialism ini, nampaknya lebih mengutamakan identifikasi struktur sosial bermula dari kondisi infrastruktur sosial yang terdiri dari; teknologi, perekonomian, lingkungan ekologi yang diartikan sebagaai lingkungan fisik yang dihadapi dimana struktur harus mampu beradaptasi, dan kemudian adalah demographi. Selain melihat dari bangunan bawah struktur sosial, ketika penjelasan yang diharapkan ternyata tidak memadai, maka perspektif materialism akan melihat juga kepada alam gagasan; suprastruktur sosial, seperti: ideologi umum; agama; kesenian; dan kesusastraan, dimana disini nampaknya tradisi lisan,19 digunakan sebagai sarana untuk memperoleh pemahaman suatu peristiwa dimasa lampau. Selanjutnya, mengacu pada permasalahan yang telah disampaikan, maka penulisan ini menggunakan kewilayahan Kewedanaan (Onderafdeeling) Bagansiapiapi sebagai unit analisis; dengan pertimbangan mengingat bahwa satuan geografis ini merupakan tempat keberlangsungan hubungan antara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi obyek dari penulisan. Untuk diketahui, Kewedanaan Bagansiapiapi yang meliputi tiga sub-distrik, Tanah Putih, Bangko dan Kubu; areal yang meliputi aliran sungai Rokan dari hulu dengan jarak 70 km dari pantai. Tersebab untuk memahami kharakter masyarakat yang mendiami tiga lanskap ini yang teridentifikasi sebagai 16

George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science(Boston, Allyn and Bacon Inc.,1980. Fakta social, sebuah terminology yang terutama dikembangkan oleh Emille Durkheim; 18 Sanderson, Sosiologi Makro. 19 Untuk kajian lebih mendalam, sepertl artikel dari James Danandjaja, Pendekatan Folklor dalam Penelitian bahan-bahan Tradisi Lisan, dalam “Metodologi Kajian Tradisi Lisan,” Edisi Revisi, Editor Prudentia MPSS, 2015, hal.63-78. 17

24 Melayu, maka, upaya yang dilakukan akan menyangkut juga hal-hal kuno. Akan tetapi ini tidaklah berarti Melayu itu kuno; beberapa penjelasan dalam upaya melakukan rekonstruksi ruang; memang akan membawa perhatian pada hubungan-hubungan yang terjadi jauh kebelakang dimasa kuno itu. Kami berpendapat, bahwa hal-yang menyangkut kekinian bukanlah phenomena yang bersifat serta-merta, melainkan melalui suatu proses panjang dalam rentang waktu dan ruang yang relevan. Proses sosial dinamis yang berlangsung di pesisir sungai Rokan, diyakini sebagai pengalaman bersama dalam berbagi ruang dan pengetahuan, yang menghendaki pemahaman yang tidak sepenggal saja, bagai notasi yang berdiri sendiri dari sebuah rangkaian irama; terbaca, tetapi tidak bermakna. Akan tetapi disini, empati utuh terhadap serangkaian peristiwa yang tidak dibiarkan begitu saja berdiri sendiri, akan lebih membantu untuk mengerti bagaimana suatu masyarakat dapat bertahan dalam menghadapi tekanan ketidaksamaan dan ketimpangan dalam keruangan yang bernama Bagansiapiapi.

25

Onderafdeeling Bagansiapiapi.20

20

Dilihat dalam MVO (Memorie van Overgave); Memorie van overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934, koleksi ANRI.

26

27

2 Keadaan Alam, Administrasi Wilayah dan Kependudukan Ekologi Muara Rokan Sebagaimana lazimnya kawasan pantai timur Sumatra, maka kecenderungan wilayah daratannya yang terus saja meluas kearah lautan, disebabkan terbawanya pasir di hulu sungai dan gerakan lapisan tektonik di wilayah perairan Selat Melaka, delta-delta yang terbentuk pada muara sungai secara terus menerus dan secara alamiah semakin memperluas wilayah daratan. Dapat juga dikatakan pesisir Timur Sumatra dibentuk oleh endapan laut dan endapan alluvial sehingga mengalami proses akresi. Proses ini dihasilkan oleh endapan sedimen sungai-sungai besar yang mengalir dari arah pegunungan menuju selat Melaka, dangkalnya laut yang menutupi paparan Sunda, dan gerakan-gerakan tektonik itu.21 Bagansiapiapi sebahagian besar meliputi perairan Muara Rokan yang tepiannya rimbun ditumbuhi mangrove, suburnya hutan bakau seperti pepohonan bakau(rizhopora); tengar (Ceriops Candolleana); nibung (Oncosperma Filamentosum); api-api(Avicennia); dan nipah (Nipa Fruticans) yang merupakan kesatuan ekosistem di pantai timur Sumatra, khususnya di muara Rokan. Muara Sungai Rokan mengandung Kekayaan akan fish fauna, dimana tercatat lebih dari 100 jenis ikan beredar di perairan ini. Zat organik secara terus menerus terbawa oleh aliran sungai Rokan dari pedalaman Sumatera, berpadu dengan kondisi hutan bakau yang padat dan air pasang telah menyebabkan oksigenasi dan menyuburkan elemen zat makanan ikan, plankton, sehingga memicu pertumbuhan ikan, diantaranya jenis ikan dari berbagai perairan lain yang mendatangi daerah ini. Seperti dikemukakan oleh Hardenberg, Bahwa dari 149 jenis ikan di perairan muara rokan, 80 diantaranya adalah tamu musiman;22 Melimpahnya ikan di Muara Rokan ini, tentu dapat dilihat dari kondisi ekologis perairan muara Rokan itu sendiri. Laut Bagansiapiapi yang tergolong Paparan Sunda ini, diketahui tingkat kekeruhannya

21

Bahkan Daniel Peret lebih jauh mengatakan akibat proses demikian, pesisir Timur Sumatra bertambah sekitar 100 meter setiap tahunnya (hal-27-28). Daniel Peret, Kolonialisme dan Etnisitas, Tahun 1995; 22 Hadenberg, sebagaimana dikemukakan oleh Azmi Fitrisia dan Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, Tahun 2007;

28 tinggi dan banyak mengandung pitoplankton. Pitoplankton merupakan makanan utama Zooplankton. Zooplankton merupakan makanan utama bagi berbagai jenis ikan. Volume zooplankton (cc/1000m3) di Laut China Selatan, misalnya rata-rata relative tinggi, yakni 273 cc. Disebelah Pulau Bangka kearah Pulau Sumatra, terutama Bengkalis/Bagansiapiapi, kepadatannya justru lebih dari 500cc.23 Selain itu, arus pasang laut yang datang menghampiri Muara Rokan, benbenturan dengan bibir pantai sehingga air mengalami kondisi turbulensi, yang akhirnya akan mengangkat Lumpur yang berada di dasar. Lumpur yang mengandung banyak zat makanan ikan, berpadu dengan arus Lumpur dari hulu sungai yang terbawa, terutama saat musim hujan, diduga merupakan penyebab suburnya perairan Muara Rokan. Oksigenasi sebagaimana disampaikan; sungai Rokan, yang memiliki pinggiran yang bukan merupakan suatu garis lurus, melainkan berbelok-belok mengakibatkan hantaman arus sungai memperkuat turbulensi yang berdampak pada kayanya kadar oksigen di sungai, dan kondisi ini bagus untuk pertumbuhan ikan. Mudahnya, seperti kita melihat akuarium, adanya airator akan menjaga ketersediaan kadar oksigen pada air. Terlebih lagi hamparan Mangrove, yang merupakan tempat tumbuhnya anak ikan di daerah pantai; juga faktor yang mempengaruhi kesuburan seperti dedaunan yang jatuh dan membusuk diantara akar mangrove, kesemua ini merupakan suatu kesatuan logis melimpahnya ikan di Muara Rokan. Ahli yang mempelajari secara intensif kondisi sumber daya ikan di Muara Rokan sebagaimana namanya telah disebutkan, adalah Hardenberg,24 yang laporannya diterbitkan di majalah Treubia pada tahun 1931. Hardenberg yang melakukan penelitian pada rentang awal tahun (Januari-Februari) 1929, dan kemudian pada periode Oktober; memaparkan kondisi muara Rokan dengan areal laut yang luas, dengan ukuran dari arah utara - selatan sekitar 20 mill laut, dan arah timur-barat mencapai 40 mill laut. Areal luas membentang dari Bagansiapiapi, Panipahan dan Sinaboi. Untuk Panipahan, maka arah ke sebelah barat, terdapat muara yang juga luas, Panei. Pulau Pedamaran di leher sungai Rokan, Pulau Halang Besar yang terletak sebelah barat pantai, dengan kedalaman pasang surut mencapai 3-4 m, dan pulau Halang kecil yang sebelum tahun 1920 masih terpisah dari Pulau Induk (Sumatra), namun saat itu telah menyatu akibat timbunan lumpur. Tentu saja, saat pasang tiba, maka diantara pulau tersebut akan menyebabkan air pasang tersebut menjadi sangat kuat; meski disini terdapat ceruk yang agak dalam terbentuknya, namun tidak terjadi suatu endapan lumpur: Fakta tersebut, ternyata memiliki pengaruh besar terhadap perikanan disini. Ceruk yang agak dalam juga terdapat disebelah timur Pulau Halang Besar, yang berisi air bahkan saat surut perbani. Kondisi ini terjadi di sepanjang Pantai timur. Untuk dua ceruk terakhir,

23

Azmi Fitrisia dan Sugianto Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.499 24 Dr. J.D.F. Hardenberg, “The Fishfauna of the Rokan Mouth, Laboratorium voor het Onderzoek der Zee, Batavia, dalam Treubia: reeueil de travaux zoologiquess, Hydrobioloqeues et oceanographiques /’s Lands plantentuin = Jardin botanique de Buitenzorg, Jaargang 13, Aflevering 1, 1 Januari 1931.

29 memiliki sejumlah besar endapan Lumpur, dan biasanya menjadi kering pada saat air surut. Bentuknya seperti segitiga yang berpuncak di muara Rokan dan berbasis di Laut lepas. Endapan Lumpur ini terjadi hingga arah barat-laut digugusan Pulau Aroea, Selat Malaka. Kedalamannya berkisar 8-9 m yang diindikasikan dengan keadaan perangkap ikan yang terdapat disana. Sentra endapan ini terbentuk dari lumpur cair, dan fakta ini merupakan penyebab mengapa untuk mengetahui kedalaman dasar laut, metode SOUNDING25 tidak dapat digunakan. Di tempat lainnya, juga terbentuk penumpukan endapan, namun lumpurnya lebih keras. Endapan-endapan ini terdapat di laut dekat Sinaboi, dan juga dekat pulau Halang Besar, baik untuk kelangsungan didalam laut dan terlihat berlumpur. Menuju arah barat laut; Pulau Halang Besar, disepanjang pantai kondisi dasarnya semakin hari semakin keras, lebih jauh lagi dari pantai, ditemui Lumpur yang bercampur dengan pasir; Bahkan didekat Panipahan hanya dijumpai pasir. Dekat arah pantai, yang berhadapan dengan Pulau Halang Besar airnya terlihat berlumpur, akan tetapi berpasir disekitar Panipahan, dengan sejumlah endapan lumpur ditemukan di depan muara beberapa sungai kecil. Disebelah timur dekat Bagansiapiapi kondisinya berlumpur serta ditumbuhi dengan mangrove. Untuk lingkungan di Sinaboi, ditemukan tumbuhan mangrove, yang menyebabkan garispantai bergeser kearah laut. Antara Pulau Halang Besar dan Bagansiapiapi terhadap sentra endapan, dan dari sini air secara berangsur-angsur semakin mendalam. Kedalaman berkisar 8-9m yang pada saat surut perbani ditemui garis batas areal melimpahnya ikan yang terletak di sebelah barat-laut itu.26 Halnya Muara Rokan, memiliki kharakteristik arus yang kuat, cocok dengan keberadaan alat penangkapan ikan yang lazim ditemui di muara Rokan, JERMAL. Kita menjumpai bahwa di Selat Malaka, terjadi air surut sebanyak dua kali sehari. Ini tidak mengejutkan bahwa dalam mendistribusikan bentuk bagian dari laut, terdapat perbedaan yang sangat besar pada kondisi pasang-surut. Perbedaan ini berkisar 3-4 m, dan pada saat spring-tide, yang biasanya sebanyak dua kali sebulan, mencapai hingga 5-6m. Saat musim hujan ketika air sungai melimpah, akan meningkatkan ketinggian air dan daratan akan tergenang. Satu hal menarik adalah phenomena sebuah danau kecil berisi air tawar di Pulau Pedamaran. Informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa fauna yang ditemui disana adalah fauna yang hidup di air tawar. Dua kali sehari pulau di kelilingi pasang besar oleh air payau dengan kadar garam mencapai 8 – 10%. Fauna yang ditemui disini adalah fauna yang biasa ditemui di muara. Telah disebutkan bahwa arus besar yang datang bersamaan dengan musim penghujan telah menggenangi pulau, dan ini yang menyebabkan pulau tersebut kembali memperoleh pasokan air tawar, bersamaan dengan datangnya fauna. Terjadinya perbedaan yang cukup besar pada lavel air, tentu saja, dikondisikan oleh kuatnya arus pasang. Dengan demikian, seluruh perikanan disini tentu tergantung 25

Sounding merupakan metode pengukuran kedalaman laut dengan gema suara yang terpantul dari benda yang dijatuhkan kedasar laut; 26 Hardenberg, “The Fishfauna of The Roan Moth”, Treubia: Jaargang 13, Aflevering 1, 1 Januari 1931.

30 pada arus pasang ini. Kecepatan maksimalnya berkisar antara 3-4 mill laut perjam dan di musim penghujan dapat lebih kuat lagi. Arah arus juga sangat berpengaruh terhadap perikanan. Ini disebabkan alat penangkap ikan jermal dengan sumbu panjangnya harus memiliki arah yang sama dengan arus. Ini adalah kondisi esensial yang menyebabkan jermal dapat bekerja dengan baik. Bentuk V seperti sayap yang menangkap ikan saat pasang dan menempatkannya ke jaring yang terletak di belakang jermal. Arus pasang di Selat Malaka diarah tenggara dan arus surut berlawanan arah di barat-laut, terletak di sepanjang sumbu dari Selat tersebut. Pada awal pasang-surut , air yang tiba, mengalir bergerak memutar keluar dari Muara Rokan Oleh karena itu, aliran ini bergerak kearah barat-laut disepanjang pantai Panipahan. Di sepanjang Pantai Bagansiapiapi aliran ini menuju arah utara, yang berganti arah menuju timur dekat Sinaboi. Berdasarkan hal tersebut, arah dari sumbu jermal bervariasi antara utara-barat-tenggara dan barat-timur. 27 Selain itu, dapat juga dikatakan, Sungai Rokan adalah sungai pasang surut dan juga disebut “sungai laut” yang air lautnya mencapai bagian hulu meski sudah berpuluh Km jauhnya dari Muara hingga mencapai Tanah Putih yang berjarak sekitar 70 Km.28 Selain kekayaan lautnya, kewedanaan Bagansiapiapi memiliki potensi sumber daya hutan yang pada era pra-kolonial, dipastikan masih sesak dengan keragaman hayati hasil hutan. Bahwa di pantai timur yang garis pantainya dipenuhi dengan hutan bakau yang terkadang mencapai hingga hampir 50 km, seperti ditemui pula di sungai Kampar. Di sungai Rokan, ditemui suburnya tanaman bakau pada lanskap Bantaian yang berjarak lebih 20km dari bibir pantai. Keanekaragaman ini terpelihara melalui kearifan lokal yang dinamakan “Larangan Raja.” Akan tetapi, maraknya industri perikanan dipantai timur pada abad ke-19, dan masuknya perekonomian kolonial diyakini telah merusak kesetimbangan sumber daya hutan ini.

Administrasi Kewilayahan Belanda, yang mengalami kerugian besar akibat perang Jawa(1825-1830), telah menerapkan secara massif cultuurstesel (tanam-paksa) 29 dimana pada tahun 1877, telah memperoleh keuntungan hingga ratusan juta gulden! Jumlah fantastis yang menggerakkan roda perekonomian, dan Belanda yang sebelumnya sempat terpuruk tersebab kekalahannya atas Inggris, kembali menjadi pemasok bahan mentah bagi kebutuhan dunia. Perluasan penjajahan di nusantara pun menjadi begitu luasnya. Di

27

Hardenberg, 1931. Controleur Baalbaren, MVO van Onderafdeeling van Bagansiapiapi, 1931. 29 Tanam Paksa sebagai sistem penggantian pajak tanah kepada penyerahan hasil bumi sesuai dengan nilai pajak itu, dapat 2/5 atau 1/5, atau menukar dengan 1/5 waktunya dalam setahun untuk suatu kerja wajib. Lihat Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, 2003. 28

31 Sumatra, periode merkantilisme30 digunakan Belanda untuk menekan kerajaankerajaan di pantai timur Sumatra, dan juga Semenanjung. Pasca kekalahan Portugis dari VOC di Melaka 1641, mengakibatkan berubahnya peta kekuatan disepanjang rute perdagangan selat. VOC Belanda, tak ubahnya seperti “Tuan” yang secara aktif dan pasif, turut mengatur dominasi perdagangan. Kita bisa mengingat, betapa berang-nya paduka raja Johor sebagai akibat begitu pasifnya Belanda saat kerajaan Jambi menyerang menghancurkan dan menjarah Johor; mungkin saat itu VOC lupa betapa sebagai akibat peranan yang dimainkan oleh Johor-lah VOC dapat mendepak Portugis dari Melaka; atau, VOC yang lagi-lagi hanya duduk-duduk menonton saja ketika sepasukan Raja Kecil menyerang aliansinya itu di tahun 1718. Akan tetapi, VOC Belanda, turut aktif menyerang, ketika kepentingannya secara langsung tergangggu; seperti pada peristiwa Pulau Guntung. VOC, mengerahkan kekutannya secara besarbesaran menyerang Siak, mengusir Raja Ismail dari tahta. Akan tetapi, kepentingan yang tidak memperoleh imbalan sepadan, menyebabkan VOC angkat kaki dari Pulau Guntung – Siak. Dan kemudian, Belanda melibatkan diri dalam peperangan hebat di pantai barat Sumatra; Perang Padri, yang berakhir di hulu sungai Rokan tahun 1838. Pada tahun yang sama, Belanda yang telah memadamkan perlawanan di pantai barat, diketahui telah memasuki wilayah pantai timur, tepatnya di hilir Indragiri; dalam upaya perluasan dan peningkatan perannya sebagai “Tuan.” Siak, menjadi sasaran aneksasi berikutnya. Belanda, tidak menguasai Siak melalui peperangan sebagaimana “perang Guntung,” melainkan memanfaatkan situasi konflik internal yang berpuncak di tahun 1857, antara Sultan Ismail dan Tengku Putra, dengan alasan menjaga ketertiban yang lebih luas, Belanda menekan Siak melalui perjanjian 1858 yang menghilangkan kedaulatan Siak, menjadi bahagian dari wilayah Hindia Belanda. Selain itu, nampaknya ekspansi penjajahan Belanda pasca perjanjian Siak 1858, tidak lagi sebagai dominasi penjajah dalam hal perdagangan saja, akan tetapi dimulainya era dimana Eropa secara langsung turut dalam kegiatan produksi hasil bumi; perkebunan, seperti tampak pada upaya komersialisasi perkebunan di pantai timur Sumatra. Perilaku ini, diperkuat oleh Traktat Sumatra 1871 yang membagi wilayah Sumatra untuk Belanda dan Malaysia untuk Inggris, maka bangsa Eropa khususnya Belanda, akhirnya benar-benar dapat melangsungkan misi dan kepentingannya atas Sumatra; invasi besar-besaran. Jika invasi Belanda ke wilayah Aceh dilakukan dengan menyertakan bala pasukan militer dalam jumlah besar, maka di kawasan Pantai Timur Sumatra, Belanda masuk dengan membawa serta sejumlah modal Eropa untuk pengusahaan perkebunan, terutama Perkebunan Tembakau dan karet. Tentu saja, perilaku penjajah ini ditopang oleh suatu rasa percaya diri yang besar; Wacana yang berkembang di kalangan orang Belanda, bahwa merekalah yang menghidupkan Lanskap di kawasan Pantai Timur Sumatra; melalui industri yang dikembangkan oleh orang-orang Eropa. Seperti yang terdapat pada warta Algemeen Handelsblad Tahun

30 Merkantilis merupakan kebijakan bea

barang yang tinggi bagi para pedagang asing yang masuk, begitupula dikenakan pajak yang tinggi bagi pemasaran barang hasil industri dari negara pusat ke daerah jajahan, juga kebijakan monopoli perdagangan di koloni.

32 1889, bahwa opini yang dikembangkan adalah di kerajaan ataupun lanskap yang diwilayahnya tidak terdapat industri Eropa, maka lanskap tersebut akan cenderung tidak berkembang.31 Deli in woord en Beeld yang terbit tahun 190532 secara jelas dan rinci dapat mendeskripsikan serangkaian gambar elok yang sekaligus menjelaskan lompatan perubahan kehidupan ekonomi di pantai Timur Sumatra, melalui pengusahaan perkebunan, juga perubahan-perubahan lainnya. Sementara itu, arus migrasi dari China dan Pulau Jawa, menjadikan kawasan Pantai Timur menjadi cenderung heterogen, dan juga telah merubah komposisi masyarakat berdasarkan etnis, yang biasanya diikuti dengan proses peng-kota-an kawasan di Pantai Timur Sumatra. Sementara telah berkembang pantai timur dengan pola perkebunannya, halnya diwilayah pesisir, tepatnya di muara Rokan juga telah berkembang sebuah desa nelayan, dimana awal mula perkembangannya pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 telah menjadi tempat industri perikanan terpenting di Hindia Belanda, yaitu; Bagansiapiapi. Masuknya Belanda itu, tidak saja telah mempengaruhi tatanan struktur pemerintahan negeri setempat, juga membawa berbagai perubahan; terutama perubahan-perubahan ekonomi, hingga perubahan struktur politik dan kependudukan. Sebagaimana telah disampaikan, dengan ditandatanganinya kontrak politik oleh Sultan Siak dengan Belanda Tahun 1858, maka politik imperialis ini terus berlangsung hingga ke wilayah kerajaan lainnya di Sumatra Timur.33 Bahwa di Sumatra Timur, sampai pertengahan abad ke-19, Pemerintah Belanda terus saja melancarkan politik imperialismenya. Pengaruhnya semakin kuat setelah Sultan Serdang (Basyaruddin) menandatangani perjanjian acte van erkening tanggal 16 Agustus 1862 yang menyatakan takluk kepada pemerintah Belanda. Setelah itu menyusul kerajaan Asahan 2 Maret 1886, Langkat 21 Oktober 1885 dan sebagainya. Pada tanggal 15 Mei 1873 Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang ibukotanya di Bengkalis (Riau). Mengingat perkembangan ekonomi yang pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun 1887 ibukota keresidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima afdeeling, yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli dan Batubara.34 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pasca Traktat 1871 (Perjanjian Inggris Belanda) telah menyebabkan “booming” industri perkebunan swasta di kawasan Pantai Timur Sumatra yang berdampak pula pada reorganisasi pemerintahan kolonial;

31

Dilihat dalam Koran ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 Juni 1889 hal.1 Lihat Deli in Word en Beeld, oleh J.H.De Buussy, Amsterdam, Tahun 1905; Kemajuan Pantai Timur Sumatra yang dianggap sebagai akibat masuknya Modal Eropa; 33 Dalam perjanjian disebutkan bahwa Siak mengakui kekuasaan Belanda yang juga meliputi Kerajaan di Pantai Laut Siak: Pantai Bilah, Kualuh, Asahan, Batu Bara, Padang-Bedagai, Deli, Serdang, Percut, Langkat, Tamiang dan Perbaungan: Dalam “Politiek Verslak Van Het Residentie Riouw Over Het Jaar 1858. Bundel Riouw No.58. 34 T. Luckman Sinar, 1986: 154; Tim Penulisan Sejarah Pemda sumatra Utara, 1990: 3-6, dalam Historisisme, Edisi 21 Tahun X Agustus 2005 32

33 seperti pada tahun 1873 melalui Staatsblad 1873 No. 81 dibentuklah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis, Laboehan Batoe dan Asahan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkebunan tersebut yang diiringi dengan kontrak-kontrak baru antara Belanda dan Siak termasuk kontrak dimana pemerintah Hindia mengeluarkan kebijakan akuisisi hak “pacht” atas lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko – hal ini berarti perluasan kewenangan Kolonial di kerajaan Siak - maka sebagai konsekuensi logisnya adalah pendirian kantor Belanda dan ditempatkannya seorang pejabat kontrolir di Tanah Putih di tahun 188535; bahwasanya salah satu butir kontrak – Pasal 4 dari perjanjian 23 Juni 188436 antara wakil Pemerintah Hindia dengan Sultan Siak, Mangkubumi dan para “Rijksgrooten” (para pembesar) Tanah Putih atas hak pungutan pajak pada wilayah Tanah Putih, Kubu dan Bangko yang ditetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari 1886; terjadinya perubahan pengelolaan sumber daya kepada pemerintah Belanda, terutama mengenai pemungutan pajak(belasting).37 Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa Tanah Putih adalah Lanskap dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi kapal dari pedalaman hingga era 1880-an. Secara bertahap, Pemerintah Hindia pun sebagaimana telah disampaikan mulai melengkapi komponen pemerintahannya dengan sumber daya personil mulai dari tenaga administrasi pemerintahan hingga satuan polisi, segala sesuatu yang nampaknya telah dipersiapkan jauh sebelumnya ditahun 1865 dengan mengirim seorang utusan menuju tiga lanskap di hilir sungai Rokan: Boerhanuddin. 38 Akan tetapi, implementasi kontrak tentang pungutan tersebut pada awalnya diwarnai dengan pembangkangan oleh komunitas nelayan Bagansiapiapi terhadap pemerintah kolonial, dengan insiden perlakuan “tidak sopan” yang dilakukan oleh komunitas China terhadap Kontrolir Tanah Putih yang berkunjung kesana untuk melakukan pengumpulan pajak dari hak atas sewa (pacht) garam dan opium yang telah diserahkan Sultan Siak kepada pemerintah Hindia. Seperti kisah lainnya di tanah jajahan, penolakan selalu diasosiasikan dengan pembangkangan atau ketidaksopanan, maka, ada penolakan tentu akan ada reaksi. Pemerintah Kolonial melakukan aksi militer dengan memblokade jalur opium, pacht garam dan aktifitas penangkapan ikan

35

Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas pengumpul bea, meainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: seorang kontrolir, yang juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang joeroe moedi dan 6 orang awak kapal, dan sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura- maka Tanah Poetih masuk dalam kategori Kelas 2a. dilihat dalam Soerabaiasch Handelsblad; 27 Juni - 1Juli 1885. 36 Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer, 17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel. 37 Dilihat dalam T.Lukman Sinar Basyarsyah dalam Makalah “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur: Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. 38 Dilihat dalam ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 Juni 1889. Bahwa pemerintah telah menurunkan timnya ke Lanskap Tanah Poetih, Koeboe dan Bangko pada waktu jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1865, berita dalam De Sumatra Post, tanggal 6 Oktober 1902.

34 di Bagansiapiapi selama lima hari dengan menggunakan kapal uap Belanda – “M.S.Djambi” dan beberapa kapal uap kecil, maka selanjutnya yang terjadi pada sikap orang-orang China di Bagansiapiapi adalah meletakkan kepala di pangkuan (mengalah), akan tetapi ditemui, bahwa sang Kontrolir tersebut kembali ke Tanah Putih. 39 Kontrolir kemudian kembali lagi ke Bagansiapiapi dengan bersama satu kesatuan polisi, dan komunitas China Bagansiapiapi tersebut diharuskan membayar biaya kerugian serta pajak atas hak sewa (pacht) garam dan opium sebesar 1500 dollar. Kontrolir dan satuan polisi tersebut lalu mengadakan sensus di “kampong” Bagansiapiapi40. Setelah itu, orang China di Bagansiapiapi pun melakukan kegiatan seperti biasa, yaitu menjalankan bisnis penangkapan ikan. Pemerintah Penjajah menganggap bahwa mereka memenangkan momen tersebut berdasakan kelemahan komunitas China Bagansiapiapi itu sendiri. Peristiwa tersebut, menjadi pemicu hadirnya Hindia dalam industri perikanan di Bagansiapiapi: bahwa, diakhir abad ke-19, seluruh sumber daya komunitas ini dikerahkan untuk mendukung industri tersebut. Berkaitan dengan keadaan Muara Rokan khususnya Bagansiapiapi dengan pelabuhannya, kondisi ini jelas menguntungkan Penguasa Kolonial pada saat itu. Pada tahun 1887 kembali terjadi reorganisasi pemerintahan, bahwa melalui Staatsblad 1887 Nomor 21 dibentuklah beberapa Afdeeling yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen; yang mana diantaranya adalah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Bengkalis, Siak dan Tanah Putih. Perkembangan tersebut, nyata-nyata terlihat dari keadaan kependudukan yang bahkan pada tahun 1888, tepatnya dua tahun sesudah peristiwa blokade, populasi China Bagansiapiapi tumbuh dengan sangat pesat, yakni mencapai 4000 jiwa (Bagansiapiapi sejumlah 2500 dan Panipahan sejumlah 1500 jiwa; bandingkan dengan laporan Rijn Alkamade Tahun 1884 yang hanya berjumlah 1000-an jiwa di Bagan dan sejumlah lainnya di Panipahan dan Tanah Putih), dimana sebagian besar dari mereka didorong untuk melakukan

39

Dilihat dalam Butcher, 1996,Juga seperti terdapat pada “Chineezen buiten China,” Tahun 1909, — Bijlage 11. (Zie blz. 322). B elangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]: “In Januari 1886 zag ons bestuur zich genoopt om eenige aan den mond der Rokanrivier, te Baganapiapi, gevestigde Chineezen, die aldaar de visch – en de garnalenvangst uitoefenen, tot gehoorzaamheid te brengen, daar zij geweigerd hadden den pachter, wien de Sultan van Siak het opium en zoutmiddel aldaar had afgestaan, te erkennen en tevens een onbetamelijke houding hadden aangenomen tegen den controleur van Tanah Poetih, die naar baganapiapi was gekomen om er de bedrijf belasting te innen. Toen geleden verlies te vergoeden en de verschuldigde bedrijf belasting te betalen, werd als dwangmaatregel haar de uitoefening van haar bedrijf belet waartoe het gouvernements-stoomschip Djambi met een paar stoomsloepen naar Baganapiapi werd afgezonden. Nadat de maatregel gedurende 5 etmalen met klem gehandhaafd was, legden de Chineezen het hoofd in den schoot. 40 Dilihat dalam BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's Oostkust.

35 penangkapan ikan.41 Tahun 1880-an ini, seperti dicatat oleh Van Rijn, jumlah penduduk Bagansiapiapi baru mencapai sekitar 1000 jiwa, yang hampir seluruhnya terdiri dari laki-laki China. Selain itu, pasca blokade 1885, dimulai juga berdatangan orang-orang China gelombang kedua di Bagansiapiapi menjelang akhir abad ke-19, yang berasal dari Tanwa, Amoy, Teng Hai, Hai Jib dan Shantung,42 terutama melalui Singapura. Secara politik, Belanda yang sebelumnya ditahun 1885 telah menempatkan pejabat kontrolirnya di Tanah Putih dan menjadikan Tanah Putih sebagai pelabuhan transit produk dari pedalaman, namun tidak sampai sepuluh tahun berikutnya, tepatnya ditahun 1894 (Stbld 1894 Nomor 93 dan 94), telah menyebutkan perlunya pemindahan pusat onderafdeeling dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi dalam rangka pemudahan pengumpulan pajak dan bea. Niat pemerintah Belanda ini, terakhir adalah dengan pemindahan kantor kontrolir ditahun 1900 melalui terbitnya Staatblad 1900 Nomor 64. Menetapnya pemukim China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan lingkungan pemukiman untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana wilayah Afdeeling Bengkalis ditetapkan; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat, Bagansiapiapi, Tanah Putih dan Penipahan sebagai lingkungan pemukiman orang China. Adapun untuk pemukim China di Sinaboi, sebagaimana ditetapkan dalam Staatsblad Tahun 1908 Nomor 662. Untuk penduduk China, maka kelompok ini dikepalai oleh seorang dengan jabatan Luitenant, sebuah lembaga buatan Pemerintah Hindia Belanda; kedudukan dan jabatan yang kemudian di Bagan dikenang sebagai Kapitan. Sebagai Onderafdeeling dibawah Afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi membawahi tiga subdistrik, yakni Bangko, Tanah Putih dan Kubu; dengan ibukota Bagansiapiapi. Wilayah subdistrik Bangko dan Kubu merupakan wilayah pesisir, sedangkan subdistrik Tanah Putih terletak di Hulu Rokan. Wilayah BANGKO meliputi Kota Bagansiapiapi sendiri hingga Sinaboi berbatasan dengan Selat Malaka dan Onderafdeeling Bengkalis, kemudian arah ke Hulu hingga Bantaian. Adapun sebelah Barat berbatasan dengan onder-distrik KUBU, yang wilayahnya meliputi; panipahan, Kubu sendiri dan Pulau Halang, kemudian berbatasan dengan Afdeeling Laboehan Batu. Arah ke selatan, tepatnya di pada Hulu Sungai merupakan sub distrik TANAH PUTIH, yang meliputi Siarang-arang, Sintong, Rantau Bais Sidinginan. Subdistrik Tanah Putih berbatasan 41

Bahwa pesatnya arus migran China yang bergerak dibidang perikanan dan panglong di Bagansiapiapi, selain disebabkan oleh dorongan pemerintah Kolonial, juga melibatkan Rijksgrooten Siak; salah seorang pembesar Siak yang memperoleh hak atas distrik Tanah Poetih, melakukan perjalanan ke Singapura guna menemui para nelayan dan Panglong China disana, mengajak mereka untuk bermigrasi menuju Bagansapiapi yang dikatakan memiliki prospek yang bagus. Dan hasilnya, dikatakan oleh sumber warta kolonial memang banyak dari mereka akhirnya bermigrasi ke Bagansiapiapi, dari laporan kunjungan seorang Eropa ke kediaman Tongkoe Mangkoeboemi, dalam “Sultan van Siak”, De Sumatra Post, 31 Januari 1899. 42 Fitrisia dan Padmo, 2002, hal.499; lihat juga In en om de Chineesche kamp: Page 19, Moerman, J. Hardeman, J.Landsdrukkerij, 1929.

36 kearah selatan dengan Onderafdeeling Boven-Rokan (Pasir Pangaraian). Pemetaan batas-batas wilayah yang demikian, menyebabkan dalam mendefinisikan Bagansiapiapi, dapat dalam konteks Bagansiapiapi sebagai wilayah administrasi pemerintahan (onderafdeeling), atau dalam konteks ibu kenegerian dari tiga landschap dimaksud, yakni Kota Bagansiapiapi di Muara Rokan. Wilayah onderafdeeling Bagansiapiapi yang mencapai 9718 km2 dengan batas-batas yang sangat luas dapat menimbulkan persoalan sengketa batas. Namun, akhirnya pada tahun 1927 diadakan pertemuan untuk membahas sengketa batas dan dapat diselesaikan, yakni hampir disepakati persoalan batas dengan semua pihak kerajaan, kecuali dengan Kota Pinang.43 Adapun kewedanaan Bagansiapiapi secara tradisional, merupakan bagian dari wilayah kerajaan Siak bersama dengan tiga kenegerian; Tanah Putih, Bangko dan Kubu, namun bukanlah eigenlijk (wilayah asli) Siak, melainkan sebagai wilayah dependensi.44 Persoalan kewilayahan dihilir sungai Rokan ini, seperti sebagaimana perjanjian yang ditandatangani antara Sultan Siak dengan Belanda tanggal 5 Februari 1890, juga perjanjian sebelumnya tanggal 28 Maret 1863, Tanah Putih, Kubu dan Bangko merupakan wilayah dari kerajaan Siak;45 Sebagaimana telah dibakukan dalam perjanjian Siak – Belanda tahun 1858. Kewilayahan yang dibakukan kembali melalui Bab Al-Qawaid,46 sehingga segala pergerakan Belanda untuk memperluas wilayah administrasinya di Bagansiapiapi harus melalui persetujuan Penguasa Siak. Adapun tiga kenegerian di Onderafdeeling Bagansiapiapi sebagaimana tertera dalam Baboe’lkawaid Bab yang pertama sebagai berikut47: “Fasal 5. Bahagian provincie negeri Bangko; dari soengai Sineboei mengikut tanah besar masoek kesoengai Rokan sebelah kiri, moedik sampai sesoengai siarangiang dan mengikoet sebelah kanan, moedik soengai Rokan, dari soengai Doea Pekaitan sampai ketandjoeng Sigerah dan poelau2 yang kecil2, mana jang masoek didalam keradjaan Siak Seri Indrapoera, jang dekat sitoe. Fasal 6. Bahagian provincie negeri Tanah Poetih: Dari Tandjoeng Sigerak mengikoet soengai Rokan sebelah kanan, moedik, laloe masoek kesoengai Rokan kiri sampai ke Pasir roempoet watasan dengan

43

Baalbergen, ANRI (MVO), 14 Mei 1931, hal.29 Traktat 1858 antara Siak dan Belanda, membagi wilayah Siak atas Eigenlijk Siak(wilayah asli Siak) dan dependensi Siak; Lanskap Tanah Putih, Bangko dan Kubu, merupakan wilayah dependensi Siak. 45 Bahwa Lanskap Tanah Poetih, Koeboe dan Bangko dikatakan menjadi bahagian dari Kerajaan Siak adalah pada tahun 1795 – dimasa Said Ali bertahta di Siak; yang dikatakan oleh sumbersumber Belanda sebagai Radja Siak yang paling energik dan Siak banyak memperoleh wilayah taklukkannya, Sebagaimana dilihat dalam Java Bode: Siak, 21 Juli 1886. 46 Dilihat melayuonline.com; Hukum Adat Tentang Batas Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura. 47 BABOE’LKAWAID: Almoestachaza billah, Keradjaan Siak Seri Indrapoera, 1901, dilihat dalam Tijdshrift voor het Binnenland Bestuur Negen-en-Derstigste Deel, Batavia, G.Kolf & Co, 1910, hal.87-88. 44

37 koenta di Kota Intan dari soengai Siarangiang mengikoet soengai Rokan sebelah kiri, moedik, laloe masoek ke batang Koemoe sampai ke moeara batang Boereoek, watasan dengan Tamboesai dan laloe kesoengai Rokan sampai ke ke-Air Mindah, watasan negeri Kepenoehan dan lagi masoek kesoengai Rajoeng sampai bertemoe watasan batin Delapan Sakai dan poelau2 jang ketjil2, mana jang masoek didalam keradjaan negeri Siak Seri Indrapoera, jang dekat disitoe. Dan lagi ditarik satoe garis dari tandjoeng Sigerak teroes ke hoeloe soengai Dahoen dan teroes kehoeloe soengai Sipangambat, teroes kehoeloe soengai Mahta sehingga soengai koening dan laloe menikam batang Boeroek dan Lengkoeas, berwatas dengan Tamboesai. Fasal 7. Bahagian provincie negeri Koeboe. Dari soengai Doea Pekaitan mengikoet tanah besar laloe sampai ketelaga Tergenang berwatasan dengan negeri Panai dan kedaratnja sampai ke Beroehoel berwatasan dengan negeri Kota Pinang dan poelau Djemoer dan poelau Tokong Simbang dan poelau Lalang Besar dan poelau Lalang Ketjil dan poelau jang ketjil2, mana jang dekat disitoe; dan ditarik satoe garis dari telaga tergenang melaloei Beroehoel menoedjoe hoeloe soengai Dahoen, jang didalam batang Koemoe berwatasan dengan Tanah Poetih.” Secara umum, kondisi utama yang berlaku adalah banyaknya wilayah onderafdeeling yang di bentuk Pemerintah Kolonial saat itu sebagai akibat reorganisasi Sumatra Timur, dan Besluit Gubernur 6 Juli 1915 dimana status Residensi Sumatra dinaikkan menjadi Gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan, dan secara administrasi wilayah Sumatra Timur dibagi menjadi lima afdeeling, dimana Onderafdeeling Bagansiapiapi masuk dalam Afdeeling Bengkalis.48 Model ataupun sistem pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang disebut Binnenland Bestuur dimana orang-orang Belanda sebagai penguasa pemerintahan dimulai dari Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen hingga Kontrolir, adalah dengan menempatkan penguasa kerajaan tradisional-lokal dalam wilayah administrasi pemerintahannya, sehingga Belanda akan mudah untuk mengontrol segala tindakan penguasa tradisional-lokal. Kondisi ini juga telah menyebabkan terbatasnya kewenangan rajaraja penguasa kawasan Hindia Belanda, khususnya di Pantai Timur Sumatra. Raja, yang selayaknya dalam kondisi normal bebas, adalah lazimnya merupakan kewenangan raja dalam hal pemungutan bea, terbatasi oleh perangkat aturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Bahkan, raja sebagai penguasa wilayah secara tradisional, memiliki level yang sama dengan perwakilan Belanda di landschap, yaitu Kontrolir. Kontrolir sebagai pengawas, yang merupakan wakil penguasa kolonial terendah yang tidak bertanggung jawab kepada Raja, melainkan kepada Asisten Residen. Kontrolir dalam konteks hubungan dengan Raja adalah sebagai penasihat. Raja sebagai penguasa tradisional, dalam melaksanakan praktek kekuasaannya diawasi oleh kontrolir, meski Raja tidak merupakan bawahan kontrolir. Akan tetapi, 48

Tengku Lukman Sinar, 1985.

38 segala persoalan selalu dalam kondisi pengawasan kontrolir, sehingga melemahkan kekuasaan tradisional Raja. Kekuasaan Raja secara tradisional adalah membawahi para Datuk, dan Datuk membawahi para Penghulu. Sebagaimana halnya di Bagansiapiapi, maka hukum yang berlaku adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh Raja (Sultan Siak), bahwa organisasi pengadilan Zelfbestuur49 mengacu pada aturan hukum Siak50. Untuk Bagansiapiapi, setidaknya sekali dalam 4 bulan dilaksanakan sidang yang dihadiri oleh Sultan Siak ataupun pejabat Kerajaan Siak yang mewakilinya.51 Datuk, selain sebagai kepala pemerintahan tradisional diwilayahnya, juga merangkap jabatan sebagai Hakim Polisi. Menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda, Bagansiapiapi merupakan sebuah kota, ibukota Onderafdeeling, kewedanaan. Sebuah kota yang tidak terlalu luas, namun sebagai pusat pemerintahan memiliki keluasan hingga lebih 9000 km2; digambarkan Vleming merupakan daerah yang padat, sibuk, dan menghasilkan pajak yang besar untuk pemasukan Kas Pemerintah Kolonial.52

Kondisi Kependudukan Untuk mengetahui bagaimana kondisi kependudukan pada masa lampau, ada baiknya sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Peret, melihatnya dari keadaan sekarang ke masa lampau; untuk mengetahui sejarah migrasi penduduk. Kewedanaan Bagansiapiapi pada saat sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Rokan Hilir, dimana jumlah penduduknya pada tahun 2010 mencapai lebih dari 700.000 jiwa. Berdasarkan pengamatan lapangan, tidak terdapat sebuah desa dengan komposisi yang homogen, melainkan memiliki varian etnis. Varian ini, meliputi dominasi Melayu, Jawa, Batak, Bugis, dan Minangkabau; diketahui tumbuh pesat pasca booming kelapa sawit di Riau, dimana terjadi lonjakan pertambahan penduduk yang sangat pesat; terutama juga setelah diberlakukannya otonomi daerah di tahun 1999. Selain itu, jumlah desa bertambah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan penduduk, yang nampaknya juga mengikuti tren perkembangan ekonomi; daratan. Pusat-pusat pertumbuhan desa baru mengikuti perkembangan jalan raya, terutama jalan raya

49

Zelf Bestuur adalah bagian dari Sistem pemerintahan Kolonial Belanda, dimana kerajaan memiliki pemerintahannya sendiri; 50 Dilihat dalam Controleur Van Durren, ANRI-MVO: Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagan Si Api Api, 30 Agustus 1934, Hal 45: De rechterlijk organisatie voor "zelfbestuur" zonder hoorigen bleef nagenoeg ongewijzigd; t.d.s. worden verwezen naar het rechtsregelling siak. van belang en een groote verbetering is de uitbreiding van de bevoegdheid van de districts echter tot kennis neming van de lichte nisdrijven (uitvoeriger besluit van zijne hoogheid den sulthan van siak ddo.11 agustus 1932 No.193). 51 Dilihat dalam Controleur Van Durren, ANRI-MVO: Memorie Van Overgave, ddo, 11 Agustus 1932. 52 Dilihat dalam Vleming Jr.De Chineesche Zakenleven in Nederland Indie, 1926.

39 lintas Sumatra yang membelah wilayah ini menjadi dua bahagian utama; bahagian kearah selatan atau ke pesisir merupakan eks wilayah sub-distrik Kubu dan Bangko, sementara arah ke utara sebahagian besar merupakan eks sub-distrik Tanah Putih. Meskipun demikian, mantan pusat Distrik Tanah Putih(Onderafdeeling Tanah Putih), terletak dibahagian arah pesisir yang sekarang dikenal dengan Tanah Putih Tanjung Melawan. Sebahagian desa-desa itu juga, berada pada kawasan yang saat ini diketahui sebagai area pengembangan budidaya kelapa sawit. Bukan urusan kita disini untuk mengetahui bagaimana perkebunan itu begitu dominannya, akan tetapi, kepentingan kita adalah menyangkut bagaimana pertumbuhan penduduk di kawasan ini pada era kekinian; diasumsikan kondisi yang merupakan akumulasi serangkaian gerak migrasi penduduk dari kawasan lainnya; dan untuk mencapai tujuan ini, maka kita akan melihatnya dari kharakteristik perkembangan desa itu sendiri. Perkembangan terakhir, wilayah ini menjadi Kabupaten Rokan Hilir melalui pemekaran Kabupaten Bengkalis, melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999. Pada lintasan jalan raya arah perbatasan Sumatra Utara, maka ditemui sejumlah besar kepenghuluan yang dalam konteks kekinian, dapat dipahami sebagai dampak pembukaan jalan raya tersebut. Akan tetapi, jika kita melihat kebelakang, maka wilayah itu merupakan hulu dari sungai Kubu, Senembah, yang pada tahun 1920-an dibuka perkebunan karet oleh pihak kolonial, dan perkebunan komersil ini menarik kedatangan sejumlah pemukim tidak saja dari pesisir sungai Kubu, melainkan juga yang berasal dari arah Sumatra Utara. Perkembangan penduduk selanjutnya, nampaknya para migran berasal dari pedesaan di Jawa melalui kebijakan pembukaan pemukiman transmigrasi Bagan Sinembah, dan pada beberapa dekade menjelang akhir milennium kedua, kembali sejumlah besar migran dari Sumatra Utara berdatangan seiring tingginya tingkat perkembangan perkebunan sawit.53 Bahwa sebelum tren perkebunan sawit begitu meluas disini, maka berkembang juga pemukim terutama bergerak dalam pengupayaan padi-sawah(wet culture) yang didominasi oleh etnis Jawa. Sebaran pemukim ini, terutama pada lanskap pesisir di Kubu; bentangan lautan sawah dapat ditemui yang dikembangkan oleh orang Jawa yang berasal dari Jawa dan Sumatra Utara. Selain itu, hamparan padi sawah juga ditemui di wilayah hulu dari eks pusat lanskap Bangko, tepatnya di Teluk Pulau – Rimba Melintang, dan juga ke arah utara Bagan disebahagian jalan raya Bagansiapiapi Sinaboi. Memasuki era booming perkebunan kelapa sawit, terjadi pula perkembangan varian etnis. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa secara umum Melayu merupakan kelompok etnis terbesar yang mendiami wilayah mulai dari pesisir hingga pedalaman, terutama dititik lanskap kuno. Beberapa peristiwa besar era republik, diasumsikan merupakan sumbangan penting terhadap gerak penduduk menuju wilayah eks kewedanaan Bagansiapiapi ini; seperti peristiwa Bagansiapiapi 1946, PRRI tahun 1958, peristiwa 1965 dan terakhir adalah reformasi yang berbuah otonomi daerah ditahun 53

Lihat C. Hoshour, “Resettlement and the politicization of ethnicity in Indonesia” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 557-576.

40 1999. Selain itu, gerak perekonomian danbangke merupakan daya tarik tersendiri bagi pelaku perdagangan di jalur Selat Melaka yang juga menjadi daya tarik bagi migran. Perfoma varian penduduk tampak dari lapisan birokrasi yang meskipun didominasi Melayu, juga menunjukkan heterogenitas dalam skala terbatas; kemudian para pelaku perdagangan di seantero pasar rakyat, atau juga dalam pagelaran pasar pekan di wilayah ini, orang-orang dari Sumatra timur laut dominan sebagai pelaku dalam gerak mobile yang cukup tinggi. Di kota utama, Bagansiapiapi, terdapat lebih 80 varian etnik54 yang didominasi beberapa etnis; mulai dari Melayu, Jawa, China, Batak dan sejumlah Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang; meskipun tampilan pusat kota merupakan pecinan sebagai warisan dari masa lampau. Sementara tarikan pusat pemerintah ke wilayah sebelah selatan, Bagan Punak, merupakan refleksi elit pemerintah dalam suatu upaya menempatkan kharakter dasar Melayu, Islam, dimana wilayah ini sekarang dikenal dengan sebutan “Negeri Seribu Kubah.” Suatu tampilan upaya penguatan identitas di era otonomi daerah. Pada era awal penempatan ibukota kewedanaan Bagansiapiapi, Belanda, diketahui hadir dengan sejumlah polisi pribumi, dan juga narapidana yang juga pribumi dan berasal dari berbagai wilayah. Dalam sistem pemerintahan kolonial, maka lazim dikerahkan narapidana dalam suatu kerjapaksa terutama untuk membuka lahan-lahan baru. Kemudian, ditahun 1911, diketahui sejumlah tiga puluh orang pekerja dari Yogya tiba di Bagansiapiapi atas kemauannya sendiri.55 Bahkan, keberadaan orang-orang Jawa di kewedanaan Bagansiapiapi telah mencapai sekitar 500 jiwa di tahun 1930, akan tetapi luput dari catatan kolonial tentang varian pribumi itu dilokus perkebunan.

54

Dilihat dari BPS Kabupaten Rokan Hilir wilayah Kecamatan Bangko tahun 2011. Dalam suatu sumber disebutkan bahwa awal mula kedatangan orang Jawa ke Bagansiapiapi bersamaan dengan dokter RM Pratomo (1911-an), yang berencana mendirikan Rumah Sakit disana, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Dokter Pratomo bersama-sama dengan E.C.A. Herbst, seorang mantan perwira Belanda berkebangsaan Jerman, banyak melakukan kegiatan sosial, seperti memberikan pelatihan ketrampilan pada penduduk. Atas bantuan Kepala Distrik (Hoofd district) saat itu, diberikanlah kepada “paguyuban” tersebut tanah pemukiman diarah timur Bagan., yang menjadi cikal bakal Kampung Jawa di Bagansiapiapi. 55

41

Sebaran pusat pemerintahan desa(kepenghuluan) di Kabupaten Rokan Hilir tahun 2010. .

Dari perkembangan demografi, dapat diduga bahwa era booming perkebunan di Sumatra Timur telah menarik migran, khususnya Migran China, yang didatangkan via Penang ataupun Singapura. Bahwa migrasi orang-orang China ke Hindia, khususnya pantai timur, yang terjadi dalam dua gelombang besar; pertama masa tahun 18601900; dan tahun 1900-1930. Dalam gelombang pertama, meskipun kedatangan orang-orang China diluar Jawa dominan berada di pantai timur, menunjukkan jumlah

42 yang masih terbatas di muara Rokan. Sebaliknya, gelombang kedua menunjukkan jumlah mereka yang meningkat pesat bersamaan dengan perkembangan industri perikanan. B.J.Haga, dalam jurnalnya tahun 1917 mengidentifikasi jumlah penduduk Bagansiapiapi, khususnya orang China yang populasinya tersebar di wilayah Onderafdeeling Bagansiapiapi yang mencapai 12.012 jiwa, sebagaimana terdapat dalam tabel berikut:

Sumber: Haga56, 1917 Data diatas menunjukkan bahwa kondisi Bagansiapiapi sendiri hingga tahun 1917, terdiri dari sejumlah 8800 orang China, kelompok dominan yang memiliki konsekuensi logis atas perkembangan warna kota Bagansiapiapi itu sendiri, bahwa realita kehidupan orang China adalah yang dominan di Bagansiapiapi. Mengenai komposisi penduduk berdasarkan etnis ini, dapat dikatakan bahwa sejak awal Desa Nelayan Bagansiapiapi terbentuk, ditinjau dari sisi etnik, masyarakat tidaklah homogen, melainkan telah ada varian meskipun dalam perbandingan yang tidak seimbang. Laporan Kolonial juga menunjukkan bahwa di Bagansiapiapi, tidak saja berdiam Orang-orang China, melainkan juga kelompok Bumiputra, dalam jumlah ratusan; Komunitas Pribumi ini juga terlibat dalam usaha perikanan jauh sebelum orang China mendatangi wilayah ini. Hanya saja, usaha perikanan tersebut tidak dalam skala yang sama dengan yang diupayakan oleh komunitas China, melainkan dalam skala terbatas. Sensus Penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa di Onderafdeeling Bagansiapiapi memiliki jumlah Penduduk sebanyak 43.467 jiwa, dengan rincian; Bangko sejumlah 25.355 jiwa; Tanah Putih sejumlah 7.500 jiwa dan Kubu sejumlah 10.782 jiwa. Adapun 56

salah satu tulisan terpenting tentang Perikanan Bagansiapiapi adalah seperti yang dilakukan oleh B..J.Haga, dalam “De Beteekenis Der Visscherij Industrie Van Bagan Api Api en Hare Toekomst” yang dipublikasikan Tahun 1917 dalam jurnal De Economist Januari 1917 (66: 237262). Tulisan ini secara rinci menggambarkan keterkaitan antar elemen dalam suatu industri perikanan, seperti alat produksi, transportasi, kebijakan penguasa kolonial terhadap garam, kondisi penduduk dan perhitungan ekonomi produksi – industri Bagansiapiapi. Tulisan yang terdiri dari delapan bab ini merekomendasikan hal yang menjadi dasar penyusunan kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani Industri perikanan tersebut era Bank Bagan Madjoe.

43 di Bagansiapiapi sendiri, pada saat itu jumlah pemukim China diperkirakan sejumlah 13.000 jiwa, dimana penduduk Bagansiapiapi sendiri mencapai hampir 15.321 jiwa; 3266 diantaranya adalah inlanders (Bumiputra), 28 jiwa adalah orang Eropa, 11.998 jiwa adalah orang Cina dan 29 jiwa adalah orang yang termasuk golongan Timur atau Asia lainnya.57 Untuk jelasnya, dapat dilihat pada Tabel berikut: SubDistrik Bangko trmask Bagan siapiapi Tanah Putih

Tahun 1920 Erp

Prib

Chi

Tahun 1930 Total

Erp

Prib.

Chin

Total

10

7.266

8.421

15.697

28

12.232

13.066

25.326

-

4.546

103

4.749

-

7.305

191

7.496

Kubu

-

4.986

4.565

7.551

-

7.652

3.118

10.770

Total

10

16.898

11.089

27.967

28

27.189

16.375

43.592

Sumber: Data Kependudukan Tahun 1920, dilihat dalam MVO - Controleur Te Velde Tanggal 5 Januari 1925, untuk data Kependudukan Tahun 1930; dilihat dalam Volkstelling Tahun 1930: Del IV Inhemsche Bevolking Van Sumatra- Departement Van Economische Zaken, 1935 Batavia.

Data diatas belum termasuk sejumlah orang yang dikategorikan sebagai orang Asia lainnya, yakni sejumlah 50 orang yang tersebar di subdistrik; Bangko sejumlah 5 jiwa, Tanah Putih sejumlah 3 jiwa, Kubu sejumlah 13 jiwa dan ibukota Bagansiapiapi sejumlah 29 jiwa. Laporan Volkstelling 1930 juga memisahkan penduduk ibukota Bagansiapiapi, dengan subdistrik Bangko, yakni: Dengan demikian, penduduk subdistrik Bangko diluar ibukota Bagansiapiapi adalah; Pribumi sejumlah 9.006 dan orang China sejumlah 1.068 jiwa. Tingginya jumlah penduduk China di Bagansiapiapi yang mencapai 78,3%; kondisi itu bukanlah merupakan gejala umum, sebab di daerah lain situasinya akan berbeda. Dengan statistik seperti ini, tidak mengherankan Bagansiapiapi tak ubahnya seperti sebuah China Town di Kawasan negeri Melayu. Tidak hanya di Bagansiapiapi terdapat penduduk China, di Tanah Putih, jumlah orang Cina yang berdiam disana sekitar 200-an jiwa. Adapun di Panipahan-Kubu, orang Cina jumlahnya mencapai 3000-an jiwa. Orang Melayu pada saat itu berjumlah sekitar 27.000 jiwa atau sekitar 60 persen dari total populasi. Sebagaimana populasi orang China di Hindia Belanda, yang biasanya di daerah di luar Jawa, terdiri dari Kaum Singkeh atau Totok,58 begitu pula orang China yang bermukim di Onderafdeeling Bagansiapiapi. Pertumbuhan kota Bagansiapiapi, jelas merupakan cerminan perkembangan varian etnis, ras, sesuai dengan kepentingan perkembangan kota; bahkan perayaan kota ala pemerintahan Hindia, merangkum berbagai varian etnis untuk terlibat didalamnya.

57

Volkstelling 1930, hal.131. Dilihat dalam The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese Establishment in Colonial Society, oleh Mona Lohanda, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2, Tahun 2001, hal.11. 58

44 Pasca pendudukan Jepang, lazim ditemui dalam catatan ataupun laporan tentang varian etnis yang terdapat terutama di kota Bagansiapiapi, tentunya, selain dari orangorang China sebagai pelaku utama industri perikanan. Kita kembali menuju pada masa lampau di Bagansiapiapi sebelum didatangi oleh pelaku industri, orang-orang China dan kemudian, Belanda; terdiri atas orang-orang Melayu yang terdapat pada tiga kenegerian (Sub-Distrik); Bangko, Tanah Putih dan Kubu. Penduduk Pribumi pada onderafdeeling Bagansiapiapi, dikatakan oleh Baalbergen;59 penduduk dari seluruh sub-distrik Bangko, kawasan pantai ke perbatasan Sungai Daun terus ke Hiir Labuhan-Bilik, Tanah Putih-ke-Rantau Bais, mereka menganggap dirinya sebagai ras dari aristokrasi kesultanan Siak. Halnya dengan penduduk Melayu di desa-desa pesisir Kubu, mereka menganggap dirinya sebagai penghuni asli Kubu. Orang melayu adalah orang laut dan nelayan, berkaitan dengan penduduk asli pada onderafdeeling, memiliki lebih banyak kontak dengan Labuhan-Bilik dan Tanjung Balei, Onderafdeeling (khususnya-Tanah Putih), Rantau Bais yang merupakan perkampungan yang memanjang ke hulu, dihuni oleh orang Tambusai, yang bermigrasi dari daerah Rokan. Orang Benai di Bagan-Senembah yang merupakan bagian dari Sub-distrik Kubu. Data sebelum abad ke-20, bahwa penduduk sub distrik Tanah Putih berjumlah ±700 jiwa, dimana sejumlah ±150 terdapat di desa Tanah-Putih yang menghuni ±60 rumah. Perkampungan terlihat cenderung berada di tanah yang rendah, dan beberapa orang China telah menetap di sana guna membeli hasil hutan. Hijman van Anrroij mengemukakan bahwa populasi Bangko seluruhnya terdiri dari satu suku yang berasal dari Aceh, bahkan lebih jauh; ia mengatakan dapat terihat dari pengamatannya atas orang Bangko yang menunjukkan setipe dengan orang Aceh: suatu entitas melalui interaksi asimilasi dengan penduduk asli. Disini dapat ditemui beberapa rumah, namun, penduduk disini hidup (menetap) dan berladang, dan bukan dalam kehidupan nomaden(berpindah/ tidak menetap). Bangko, negeri ini memiliki populasi yang mencapai 1.000 jiwa, sementara Rijn van Alkemade mencatat penduduk Labuhan Tangga mencapai 150 jiwa yang mendiami lebih 60 rumah tinggal. Untuk Kubu, pada kurun 1880-an, wabah-kolera berdampak pada penurunan jumlah masyarakat Kubu; seluruh keluarga merupakan sasaran wabah penyakit, dan dikenal dengan nama dari penjakit tahunan, sehingga jumlah jiwa yang tersisa hanya ±1200. Populasi ini sebagian besar terletak di daerah rendah, dekat Sungai Kubu, di jalan lain di Selat Melaka yang diketahui memimpin dirinya sendiri, kecuali di Sungai Daun dimana dapat ditemui suatu kehidupan orang China, yang melakukan kegiatan penangkapan dan pengeringan ikan. Lokasi Kepala dari permukiman Cina tersebut berada di Sungai Panipahan.

59

Controleur Baalbargen, MVO Bagansiapiapi tanggal 14 Mei 1931, Hal 12

45

3 Rekonstruksi Ruang Mencari Titik Awal Perdagangan di Selat Melaka Lebih dari dua ribu tahun Selat Melaka merupakan rute penting di Asia Tenggara, dan komunitas yang bermukim dipesisir berkecimpung dalam jalur perdagangan komersil disana. Di sisi semenanjung, dilokasi situs cekungan sungai Kelang dan Langat di Selangor yang berasal dari abad terakhir SM, telah mengungkapkan sekumpulan artefak lokal dan impor. Disini termasuk perlengkapan adat dan alat-alat dari perunggu, manik-manik dan gerabah dari India, dan menyisakan lonceng perunggu dan juga gendang Dongson di Vietnam Utara.60 Sementara itu, Sumatera di sisi lainnya, memiliki tiga situs pada awal abad ke-5 dan berkemungkinan juga lebih awal pada abad pertama SM, dengan artefak baik pembuatan lokal maupun asing: Air Sugihan, Karang Agung, dan dihulu sungai Karang Agung. Lokasi itu berdekatan dengan Sungai Musi yang menempatkan mereka secara strategis di jalur perdagangan internasional melalui selat Melaka dan Bangko terus ke bahagian barat; Jawa, Bali, dan pulau-pulau dengan rempah-rempah. Barang-barang asing menembus jauh ke pedalaman Sumatera, seperti yang dibuktikan oleh keberadaan manik-manik India, artefak Dong Son, dan kendi berleher tinggi di situs megalitik di Pasemah. Seperti di situs semenanjung, barang tersebut ditukarkan dengan hasil hutan dan emas. Meskipun hanya sedikit yang diketahui tentang kompleksitas arkeologi di Sumatera selatan, akan tetapi mereka menyediakan bukti yang jelas dari daerah yang juga terbiasa dengan cepat menanggapi peluang perdagangan baru yang mengalir melalui Selat Melaka.61 Sebagaimana diketahui bahwa titik penting dalam jaringan masyarakat “laut Melayu” adalah Selat Melaka. Hari-hari pelayaran kapal di selat, merupakan lokasi untuk pedagang pada awal dan akhir dari musim angin muson. Antara November dan Februari, angin muson timur laut membawa kapal dari Asia Timur, serta antara bulan Juni dan Agustus pedagang dari India, Timur Tengah, dan Eropa pada saat angin muson barat daya ke selat dan lebih lanjut ke arah timur. Di antara dua pola yang dominan tersebut, angin bergerak searah jarum jam, memungkinkan pedagang dari berbagai negara di Asia Tenggara untuk mencapai entrepot besar yang terletak di atau dekat Selat Melaka. Karena selat memberikan perlindungan dari 60 61

Christie, “Trade and State Formation,” 50–1. Manguin, “Archaeology of Early Maritime Polities,” 287–8.

46 kekuatan angin muson, akibatnya, port pada kedua tepi selat secara historis bersaing untuk meraih status sebagai entrepot terkemuka di kawasan ini. Bukti untuk rivalitas ini sebagai bursa awal, disediakan oleh penelitian terbaru terhadap perdagangan manik Indo-Pasifik, yang telah menunjukkan bahwa Asia Tenggara dan India sudah menjadi mitra perdagangan penting di masa sebelum Masehi, yang sering dianggap sebagai awal Indianisasi di Asia Tenggara. Di China, penjualan kargo dan pemuatan pengiriman barang baru dapat diselesaikan pada waktunya untuk menangkap angin muson timur laut yang bertiup lebih kencang; dan dengan unsur penarik yang lebih konsisten dari China menuju Selat Melaka. Dengan mengandalkan angin tersebut, Pedagang Arab dan Persia bisa membuat round trip sekali setiap tahun.62 Hingga tibanya teknologi untuk melakukan pelayaran di laut terbuka banyak digunakan pada abad pertama, sebelumnya, kapal cenderung berlayar dengan berpandu pada garis pantai. Akan tetapi, bahkan ketika pelaut menguasai pelayaran di laut terbuka, kapal terus saja setia dengan garis pantai karena keuntungan yang akan dibuat dengan membeli dan menjual sesuatu dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya. 63 Sebuah rute laut awal, bertolak dari pantai timur India di sepanjang pantai Teluk Benggala, kemudian Semenanjung Burma dan Thailand, atau wilayah Isthmian, dan kemudian ke selatan ke bagian utara Semenanjung Melayu. Dari Kra-Isthmian dan Pelabuhan utara Semenanjung Malaya, Kapal bisa terus melaju melalui Selat Melaka ke Teluk Siam, atau mereka bisa membongkar barang-barang yang telah mereka kapalkan untuk dialihkan melalui rute darat. Wolters berpendapat bahwa Selat Melaka biasanya tidak digunakan oleh kapal-kapal yang datang dari barat di abad pertama dan kedua Masehi.64 Penggunaan rute Transpeninsular65 meningkat pada saat terjadi gejolak politik di selat. Jalur terpendek yang hanya enam puluh lima kilometer di Tanah Genting Kra, akan tetapi terdapat pihak lain diantara Tanah Genting Kra dan Kedah yang dapat disilangkan dengan sedikit kesulitan. Salah satunya dari Kedah ke Songkhla, dan satu lagi dari Trang dibagi menjadi tiga cabang yang berbeda yang mengarah ke Phattalung, Nakhon Si Thammarat, dan Bandon di Teluk Siam. Rute dari Takuapa di pantai barat yang memandu untuk melintasi tanah genting ke Chaiya, tetapi karena situasi politik, rute ini mungkin telah ditinggalkan pada pertengahan abad ke-11 untuk lebih jauh ke selatan di Kedah.66 Pada berbagai waktu, kekuatan pun bersaing di wilayah yang menggunakan rute berbeda di seluruh Tanah Genting Kra dan Semenanjung Malaya. Paul Wheatley telah mengidentifikasi sebelas rute yang membentang dari Tanah Genting Kra ke ujung selatan Semenanjung Malaya.67 Beberapa rute yang lebih sulit daripada yang lain dan melibatkan berbagai moda transportasi: perahu, rakit, gerobak, pak gajah, kuda, dan kerbau. Tergantung

62

Hourani, Arab Seafaring, 69–75; Flecker, Archaeological Excavation, 33, 37. Leonard Andaya, 2008, hal.31. 64 Wolters, Early Indonesian Commerce, hal.34. 65 Rute yang meliputi Tanah Genting Kra menuju sebelah utara Semenanjung. 66 Lubeigt, “Ancient Trans-peninsular,” 50, 52–4, 61. 67 Wheatley, Golden Khersonese, xxvi. 63

47 pada musim dan rute yang digunakan, mengambil rute mana saja untuk dapat melintasi tanah genting atau semenanjung, dengan waktu dari seminggu untuk sekitar satu bulan, meskipun individu yang tanpa banyak muatan atau kargo bisa membuat perjalanannya menjadi lebih cepat. Barang dikirim menggunakan rute Martaban / Moulmein dengan Kokarit, maka lalu dengan menggunakan karavan menuju Three Pagodas Pass dan Sungai Kwai. Barang-barang itu kemudian dimuat ke perahu atau rakit, yang membawa mereka ke pelabuhan di Teluk Siam. Rute Tavoy disepanjang Sungai Kwai ke Kanchanaburi dan ke Ayutthaya walau lebih pendek, akan tetapi jauh lebih sulit. Hal itu terutama disebabkan pedagang harus menyeberangi serangkaian pegunungan terjal dan lembah sebelum tiba di Sungai Kwai, dan barang diangkut dengan menggunakan gajah atau kuli. Meskipun demikian, selama berabad-abad, masalah transportasi melalui beberapa lanskap yang keras secara bertahap dapat diatasi. Pada rute-rute ini ditemukan pos penjaga, rumah istirahat, dan kuil-kuil kecil yang didedikasikan untuk dewa. Setiap sarana transportasi mulai kuli hingga gerobak/kereta dengan tenaga hewan dapat disewa, dan pedagang asing yang bermukim di di pelabuhan menjabat sebagai juru yang menyediakan informasi tentang bisnis, jenis transportasi, jalan, Penginapan, dan bahkan rute alternatif dalam masa perang.68 Ini akan menjadi kepentingan pemerintahan pada kedua ujung rute untuk menjaga keamanan dari ketentuan tersebut untuk menjamin arus perdagangan barang atas tanah mereka. Bukti dari Buddha China: It-Shieng menunjukkan bahwa Sriwijaya mungkin telah terlibat dalam urusan di Kedah menjelang akhir abad ke-7, pada saat ekspansi Sriwijayan. Abad ke-8, prasasti Ligor di Nakhon Si Thammarat menegaskan keterlibatan ini.69 Kedah dan Ligor adalah termini dari rute Transpeninsular dan jelas masih cukup penting untuk menjaminnya dengan peningkatan kekuatan Sriwijayan. Alternatif untuk jalur darat adalah semua-rute laut, yang pada abad sebelumnya juga punya masalah. Berlayar sejauh delapan ratus kilometer melalui Selat Melaka memerlukan waktu sekitar satu bulan, dan kondisi angin yang berubah-ubah akan sering menyebabkan penundaan pelayaran. Akan tetapi penghalang utama untuk menggunakan rute ini bukanlah masalah angin saja, melainkan suatu ancaman bahaya untuk suatu pelayaran di laut disepanjang rute perdagangan. Ancaman itu berasal dari Orang Laut, yang menghuni pulau-pulau dan pantai di pintu masuk selatan ke selat yang terkenal berbahaya dan biasa memangsa kapal-kapal yang melintas. Bahkan jika kapal selamat dari serangan tersebut, masih harus menghindari beting berbahaya, gumuk pasir, dan pulau di perairan di sebelah selatan Singapura. Oleh sebab itulah untuk keamanan dan kenyamanan, pedagang, diplomat,dan pejabat lainnya di abad sebelumnya lebih suka menggunakan jalur darat. Selama periode berikutnya ketika semua rute laut pada umumnya lebih disukai, setiap pergolakan politik di Selat Melaka dengan hasil peningkatan kegiatan pembajakan, memaksa pedagang untuk menggunakan rute Transpeninsular.

68 69

Lubeigt, “Ancient Trans-peninsular,” 60, 62–3, 68. Miksic, “Entrepots,” 117; Wolters, Early Indonesian Commerce, 15.

48 Suatu ketika diantara abad ke-5 hingga ke-7, telah terjadi pergeseran dalam kepentingan relatif dari jaringan perdagangan maritim. Sampai abad ke-5, China telah menerima barang dari negeri-negeri ini ke barat, serta produk-produk eksotis dari Asia Tenggara. Mereka datang melalui Laut jaringan Melayu, dengan termini timurnya di salah satu pelabuhan lembah Mekong milik kompleks budaya Oc Eo dan di beberapa pelabuhan Cham di Vietnam tengah. Pergolakan di China utara dan pergeseran yang dihasilkan dalam kekuasaan politik di selatan mendorong perkembangan perdagangan maritim China. Dalam mencari sebuah bagian yang lebih aman untuk barang-barang yang sebelumnya telah datang dari daratan melalui Asia Tengah, kerajaan di China selatan mulai menggunakan rute maritim menggunakan kapal laut asing. Meskipun China memiliki kapal besar, mereka terutama ditujukan untuk sungai dan transportasi danau. kapal utama yang membawa barang ke dan dari China disebut kunlun bo atau "kapal kunlun."70 Manguin telah menunjukkan bahwa beberapa fitur dari kunlun bo dijelaskan dalam era China dari abad ke-3 dan lainnya dari abad ke-8 masih dipertahankan oleh pembuat kapal di pulau Asia Tenggara. Hal ini sangat mungkin, karena itu, bahwa orang-orang di sepanjang Selat Melaka, termasuk Sriwijaya dan pendahulunya, berpartisipasi sebagai operator pada kunlun bo mereka.71 Pada abad ke-7 yang disebut sebagai kapal kunlun datang setiap tahunnya ke Guanzhou dan Ton King. Seorang Budhis China- Yijing, yang mengunjungi Sriwijaya dan Melayu pada akhir abad ke-7, membuat perbedaan antara kunlun tersebut, juga penduduknya yang ia digambarkan sebagai gelap dan berambut keriting, 72 lebih wajar dari penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara.73 Penjelasan ini tampaknya merujuk kepada penduduk pulau-pulau dan lebih khusus untuk Orang Laut. Dalam sumber-sumber China abad ke-15, kunlun disewa untuk memandu kapal-kapal China melalui wilayah tersebut dan keluar ke Samudera Hindia, Praktek juga diikuti oleh Portugis di abad ke-16.74 Sementara tugas-tugas ini biasanya dilakukan oleh Orang Laut, Kunlun digunakan lebih umum pada abad ke-7 untuk merujuk kepada orangorang di pulau-pulau dan penduduk di sepanjang Selat Malaka, dengan siapa China telah sebagian besar kontak dalam periode awal ini. Meningkatnya penggunaan rute laut memungkinkan disukainya pelabuhan selatan di selat karena pintu masuk selatan adalah "titik akhir" dari muson timur laut, yang memberikan daya tarik yang kuat bagi para pedagang yang berasal dari China dan tempat lain di Asia Timur. Pendaratan di suatu tempat di Sumatera Selatan membuat "pantai disukai" dan mendorong

70

Dalam suatu waktu di era lalu, orang China telah menggunakan “kunlun” untuk menunjuk kebanyakan prominent dari masyarakat Asia Tenggara; termasuk Malayu. 71 Manguin, “Southeast Asian Ship,” 274–5; Manguin, “Trading Ships,” 258–63. 72 Ada yang menarik, bahwa Yijing juga mencatat bahasa yang digunakan di Sriwijaya sebagai bahasa Malayu Kulon, yang digunakan oleh Ptolemy diabad ke-2; suatu identifikasi Melayu sejak periode awal masehi. 73 Wolters, Early Indonesian Commerce, 153, 199–200; Yijing, Record of the Buddhist Religion. 74 Wade, “Ming Shi-lu,” 353.

49 munculnya pemukiman yang bercita-cita menjadi entrepot.75 Situs arkeologi awal disebutkan di atas adalah indikasi bahwa penduduk daerah ini di Sumatera akrab dengan dan menerima peluang ekonomi yang ditawarkan oleh perdagangan internasional. Kapal dagang yang berasal dari China dengan menggunakan angin musim timur laut tertiup langsung ke pantai Sumatra Selatan. Salah satu yang paling awal untuk mendapatkan keuntungan dari perkembangan ini adalah port pemerintahan Sumatera diketahui terdapat dalam sumber-sumber China sebagai Gantoli (Khan-to-li), letaknya di provinsi Lampung sekarang). Nama ini muncul untuk pertama kalinya dalam sumber China tahun 441 Masehi dan berkemungkinan mencakup baik Palembang dan Jambi.76 Khan-to-li pun mengirimkan misi upeti dan dihargai dengan patronase yang melimpah dan berharga dari kaisar China. Akibatnya, segera saja menjadi pelabuhan favorit dari kapal-kapal yang berasal dari China, dan pada gilirannya menarik pedagang daerah yang mencari barang-barang China; dan terus berkembang di bawah kondisi ini sampai setidaknya pada awal abad ke-6.77 Salah satu alasan untuk keberhasilan Khan-to-li adalah kemampuannya untuk mendapatkan keuntungan dari Permintaan tak terpuaskan China untuk kemenyan Arab dan mur karena kualitas styptic dan fumigatory mereka. Pada abad ke-5 dan ke6, Kamper dan benzoin, semua tumbuh secara luas di bagian utara Sumatera, ternyata sedang berada dalam tahap pemunculannya untuk kemudian lebih disukai di selatan China.78 Kamper adalah barang mewah yang sangat berharga dan sangat dihargai di China yang ditempatkan setara dengan emas.79 Selain kemampuannya banyak digembar-gemborkan mereka untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan kekurangan, oleoresin Sumatera ini juga sulit diperoleh, yang selanjutnya memberikan kontribusi terhadap harga tinggi yang mereka bisa memintanya.80 Kamper dan benzoin merupakan produk yang diminati di pelabuhan utama di Selat Melaka dari awal abad ke-5 . dan di Sriwijaya antara abad ke-7 hingga ke-11. Produk bernilai ini ditemukan di hutan Sumatra sebelah utara di negeri Batak, dan perdagangan kamper serta benzoin-lah yang menyediakan bukti tidak langsung partisipasi Batak dalam perdagangan internasional.

75

Wolters, Early Indonesian Commerce, ch. 13. Wolters, Early Indonesian Commerce, hal.165. 77 Wolters, Early Indonesian Commerce, 220–5; Manguin, “Archaeology of Early Maritime Polities,” 303–4. 78 Wolters, Early Indonesian Commerce, 106, 111, 126–7, 129, 181–3. 79 Donkin, Dragon’s Brain Perfume, 127. Pada abad ke-19, diperkirakan bahwa dari 280 gram hingga 8,4 kg champor dapat dikumpulkan dari setiap pohonnya, dan 1 pikul (56 kg) champor bernilai hingga ribuan guilders;. Zeijlstra, “Boschproducten,” 826. Selain itu disebabkan, pengiriman yang terbatas ke China, India dan Asia Tengah pada abad ke-6 membuat nilainya tetap terjaga tinggi. 80 Wolters, Early Indonesian Commerce, 118–9; Ptak “Possible Chinese References,” 138; Stephan, “Le Camphre,” 234–9; Marsden, History of Sumatra, 153, 155. 76

50

Gambar 3.1. Peta “Laut Malayu,” Sumber: Cartography by Manoa mapwork, Leonard Andaya,2007, hal.23.

Pohon kamper adalah satu dipterocarps di Indonesia barat yang tingginya mencapai 60-70m diketinggian 60-365m dari permukaan laut. Kondisi ini ditemui di tanah Batak

51 antara Singkel dan Air Bangis. Begitu pula pohon benzoin yang memiliki kondisi yang sama dengan kamper. Ditemukan di utara Padang Sidempuan diseputaran Tarutung; Dapat diasumsikan bahwa pengumpulan kamper dilakukan secara tradisional dibawah pimpinan seorang pawang. Beberapa meyakininya bahwa pengiriman kamper dimulai selambatnya pada abad ke-8 atau ke-9. Peningkatan permintaan untuk kamper dan benzoin dengan pelakunya Sriwijaya, dominan pada entreport selat antara abad ke7 dan ke-11. Inskripsi Ligor bertahun 775 mengindikasikan ekspansi kekuasaan Sriwijaya di sepanjang Selat. Berkemungkinan motivasi terpenting ekspansi ini adalah kontrol atas persediaan kamper Tanah Genting Kra dan Semenanjung. Laporang dinasti Liang yang berkuasa di China dari tahun 502 hingga 556 menyebutkan bahwa kamper datang dari Funan dan langkasuka. Funan dipastikan mengimpor Kamper dan mendistribusikannya sejak tidak lagi memproduksi varian dryobalanops aromatic dan membawanya ke China. Pengaruh Sriwijaya di semenanjung telah melindungi ekspor lebih jauh dari kamper ke pelabuhan di Lembah Mekong. Bagaimanapun juga, berkemungkinan Sriwijaya berhasil memonopoli penjualan kamper dan benzoin diwilayah ini pada abad ke-8. Dimana sumber utama Sriwijaya bagi produk Kamper dan benzoin adalah pada hutan-hutan di barat-laut Sumatra. tersedia rute dari hutan ini menuju Sriwijaya; menuju Padang Lawas via Sipirok dan lembah Batang Toru. Ada sedikit bukti bahwa Padang Lawas pernah menjadi pemukiman besar, akan tetapi mungkin telah menjadi suatu pusat perdagangan yang terhubung dengan arah baratlaut dari area produksi ke pantai timur Sumatra. Dari sini terdapat rute langsung menuju Barus, sama dengan dua alternative rute di arah selatan. Satu dari rute arah selatan melalui Padang Sidempuan meuju lembah Batang Angkola, sementara lainnya melalui dekat Sibuhuan di padang Lawas melintasi pengunungan di Lembah Angkola dekat Si Abu. Dari lembah Angkola rute arah selatan berlanjut melalui Bonan Dolok ke Penyabungan dan Hutanopan di lembah Batang Gadis. Ini berarti melintasi pegunungan didekat Muara Sipongi menuju Rao. Dari Rao seseorang dapat langsung menuju Muara Takus di lembah Batang Mahat, anak sungai dari Kampar Kanan. Akan tetapi, lebih sering digunakan rute melalui lembah Batang Sumpur, anak sungai Rokan melalui Tanjung Medan dan juga Lubuk Sikaping via Bonjol menuju wilayah Minangkabau.81 Batak seringkali mengirimkan produknya ke Minangkabau, yang mana melengkapi perjalanan melintasi negerinya menghilir ke Melayu di Sriwijaya. Produk lain yang diinginkan yang menarik Tionghoa adalah kayu gaharu, rotan, mutiara, dan rumput laut yang dapat dikonsumsi. Melemahnya dinasti di China pada abad ke-6 menyebabkan penurunan dalam permintaan untuk barang-barang impor dan mungkin telah berkontribusi terhadap kematian Khan-to-li, yang terakhir disebutkan oleh orang China di tahun 563. Pada awal abad ke-7 sebuah toponim baru, "Melayu," muncul dalam jadwal dari utusan China yang dikirim kadang-kadang antara tahun 607 dan 610 Masehi oleh kaisar Sui ke “komunikasi yang terbuka” dengan Asia Tenggara. Kemudian pada tahun 644 dari tempat yang disebut Melayu; mengirim misi

81

Leonard Andaya, hal.148-150

52 ke kerajaan China.82 Kemunculannya di pantai Sumatera Selatan tidak mengherankan dan akan dibangun di atas pengalaman pendahulunya seperti Kan-to-li.83 Pada tahuntahun 1024-5, Chola dari India Selatan menyerang dan menghancurkan pelabuhan Sriwijaya di kedua sisi Selat Melaka. Baik alasan untuk serangan maupun waktunya, dapat ditentukan oleh sumber, meskipun persaingan perdagangan mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Penghancuran pusat Sriwijaya di Palembang menyebabkan kenaikan pentingnya Zhanbei (Chanpei, Jambi), yang pertama kali muncul dalam sumber-sumber China di tahun 840,84 yang mengirimkan misinya ke dinasti Tang China di tahun 1053 dan ke dinasti Sung China ditahun 1079 dan 1088.85 Restorasi kekuasaan Jambi/Melayu melanjutkan tradisi Sumatra Selatan dalam rangka merespon perdagangan internasional. Palembang kembali menjadi pelabuhan dagang yang seringkali melibatkan pedagang China diabad ke-12 dan 13, tetapi Zhou Zufei (1178) dan Zhao Rugua(1225) yang menyebut negara “Sanfoqi” atau “Shihlifoshih,” the previous rendering of Sriwijaya.86 Pada abad ke-13, wilayah Jambi-Palembang benar-benar telah menjadi bahagian Jawa, dan ekspedisi Pamalayu yang dikirim dari Jawa Timur di tahun 1275 adalah bukti dari kemunduran mereka.87 Beberapa ahli meyakini bahwa maksud dari ekspedisi Pamalayu adalah sebagai pemberian hukuman, dan sebagaian lainnya memandang sebagai upaya memproteksi negeri vassal dari invasi Mongol.88 Bahwa tidak pernah diketahui motivasi sesungguhnya dari digelarnya ekspedisi Pamalayu, lebih jauh lagi terindikasi bahwa penguasa Melayu berkemungkinan menghindar lebih jauh dari serangan Jawa dengan pemindahan pusat kerajaan; dari pantai ke pedalaman. Akan tetapi, perpindahan tidak membuktikan sebagai suatu penghalang bagi ambisi dari pulau Jawa. Tahun 1286, Kertanegara, seorang penguasa Singasari dari Jawa, memerintahkan ekspedisi ke suatu tempat suci di Dharmasraya, ibukota Melayu di Padang Roco di dataran tinggi dihulu sungai Batang Hari.89 Selain memperingati kemurahan kerajaan ini, prasasti menyatakan bahwa semua penduduk Melayu (mengacu kepada penduduk Dharmasraya) -brahmana, Ksatriyas, vaisas, dan sudras-dan terutama raja, Srimat 82

Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kalinya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke negeri China pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot 1904:324- 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang berlokasi di pantai timur Pulau Sumatera, dan pemerintahannya berada di sekitar Jambi. 83 Wang, Nanhai Trade, 96; Wolters, Early Indonesian Commerce, 230, 235. 84 Geoffrey Wade, dalam Andaya. 85 Wang, Nanhai Trade, 96; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 66 fn 18. 86 Wolters, Fall of Srivijaya, 45, 194 fn 9; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua,66 fn 18. 87 Banyak ahli sependapat bahwa nama Malayu menunjukkan suatu ekspedisi obyektif, hanya saja, terdapat juga yang melihatnya sebagai “tidak jelas, apakah ini menunjuk pada politi Melayu di Jambi atau area yang lebih luas di Sumatra sebagai Melayu. Who knows? 88 Berg, “Pril Majapahit I,” 485; Casparis, “Sriwijaya and Malayu,” 247–8. 89 Berg berpendapat bahwa pengiriman Amoghapasa Buddha menuju Dharmasraya ekuivalen dengan kehadiran seorang putrid suci dari Tapasi ke Champa. Dalam kedua kasus ini, menyimbolkan sebuah transfer kekuatan sakti. Berg, “Pril Majapahit I,” 501; Berg “Pril Majapahit II, 195.

53 Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, Bersukacita atas penganugerahan hadiah. sebelumnya, tradisi Sriwijaya tentang penyebaran dokumen sakral yang tertera pada batu pada lokasi-lokasi krusial. Dharmasraya sendiri berada dalam zona transisi antara hilir dan lokasi baru di hulu yang dikembangkan di pegunungan Minangkabau. 90

Pusat Melemah, Mandala Menguat Keruntuhan sebuah kerajaan besar seperti Sriwijaya, akan diiringi dengan kemunculan negeri-negeri ataupun sebagai kelanjutan eksisistensi mereka yang semula berada dalam naungan negeri pusat tersebut, semisal Barus dipantai barat, yang awal kemunculannya cukup menggoyahkan kerajaan pusat Sriwijaya dimana para pedagang dari arab-India, bahkan China cenderung untuk melakukan transaksi langsung kesana dalam rangka mengurangi bea-ketimbang berhubungan melalui kerajaan pusat. Sementara dialiran sungai Rokan, tepatnya di wilayah onderdistrik Tanah Putih, dapat ditemui situs candi era Hindu-Budha yang diperkirakan didirikan pada abad ke-12/13.91 Bahwa di cekungan yang lebih rendah dari hulu Rokan ini, didekat kampung Sintong, ditemukan reruntuhan situs Hindu; 92 dan berdasarkan sebuah prasasti abad ke-14 yang ditemui di bagian hulu aliran sungai Rokan, dipercayai itu diperuntukkan bagi seorang Tuan Tanah yang tunduk kepada Adityawarman.93 Bahwa terdapat juga situs-sItus yang berlokasi disebelah timur dari 90

Krom, Hindoe-Javaansche, 235–6, 393–4. Dominasi Hindu ini, selanjutnya diikuti dengan periode pengaruh dari Minangkabau. Sebagaimana diketahui, kondisi matrilineal di Minangkabau telah mendorong ramainya migrasi (merantau), sekelompok besar migran telah mencapai daerah timur. Kondisi tersebut menyebabkan orang Asli yang bermukim di sana (Orang Bonai, Orang Sakai, Orang Akit dan Orang utan) didesak mundur ke hutan dan rawa-rawa, dan ketika kerajaan Minangkabau berada di puncak kekuasaannya; mendirikan kewenangannya di wilayah perbatasan, termasuk dibagian hulu dari daerah tangkapan air Kampar dan Rokan sebagai “Rantau-Minangkabau.” Hingga memasuki awal abad ke-20, kawasan Rantau ini dihuni oleh keturunan Minangkabau, akan tetapi terdapat kesamaran lebih-lebih ketika didapati realita disuatu masa tentang adanya invasi dari sisi lain (Johor) yang juga menunjukkan pengaruhnya disana. Bahwa disuatu masa RokanTambusai yang berbentuk kerajaan, kesemua wilayah yang tercakup dalam Rokan-staatjes di eraHindia, bermukim orang-orang Minangkabau. Lihat Tideman, Land en Volk Bengkalis, 1935. 92 Lokasi situs Candi Sintong dan Sedinginan, bercirikan sebagaimana yang telah disampaikan; seperti candi Sintong yang memiliki ketinggian tanah hingga 10m dari garis ketinggian air sungai, dimana disebelah tenggara terdapat jejak situs kolam yang disebut-sebut sebagai kolam pemandian Putri Hijau. Kemudian sejauh 200m rah barat daya dari candi Sintong, terdapat sebuah pertapakan yang dikelilingi parit sepanjang 2m dan terdapat nisan yang dikenal dengan nisan Aceh. Kemudian di desa Sedinginan, dikenal candi Sedinginan yang berlokasi 22m diatas permukaan laut; Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau, Tim Balai Arkeologi Medan dan Universitas Sumatra Utara.hal.35-7 93 Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977, hal.6, juga hipotesis Carparis bahwa Adityawarman betul-betul memerintah atau menuntut kuasa atas seluruh bagian barat 91

54 kompleks candi yang juga diperkirakan sezaman, candi di kompleks Padang Lawas. Penanggalan dicandi-candi Padang Lawas, menunjukkan angka 1175 Caka yang sama dengan 1235M, dan yang lebih tua menunjukkan tahun Caka 1101 yang setara dengan 1179M. Bahwasanya juga, situs-situs candi ini didirikan pada era yang sama dengan candi Muara Takus dialiran sungai Kampar; akan tetapi, Krom meyakini pendapat yang berbeda, bahwa Muara Takus didirikan jauh sebelumnya; pada tahun 825M. Melihat penanggalan pada candi Padang Lawas, spekulasi berkembang tentang pendirinya; dimulai oleh Chola dari India Selatan yang melakukan penyerangan ke Sriwijaya, Panei, Lamuri ditahun 1024-5; sebuah kemenangan gemilang atas wilayah Panei di Padang Lawas, dan sang Raja penakluk memerintahkan pembangunan candi. Sayangnya, terdapat kesenjangan yang cukup panjang antara kedatangannya ke lembah Padang Lawas itu dengan angka yang tertera di candi. Jika benar, maka berkemungkinan pendirian candi-candi berikutnya dilakukan oleh keturunan penerusnya. 94 Akan tetapi, tampilan candi mengindikasikan bahwa disuatu periode pra-Islam, di kawasan ini bermukim orang-orang Hindu-Budha, meski hanya sedikit saja informasi yang diketahui; model arsitektural dan kesenian yang ada menunjukkan pengaruh dari asli Sumatra, Jawa dan juga Tamil; selain juga dari timur tengah antara abad ke-10 dan 14 Masehi. Semula situs Panei ini diperkirakan menghilang seiring dengan runtuhnya Majapahit, namun dalam surat raja Aceh ditahun 161595 menunjukkan tidak memudarnya eksistensi Panei, meski berstatus sebagai dependensi. Meskipun demikian, dalam upaya menapak lebih dalam ke lanskap dialiran sungai Rokan, ada baiknya kita menarik lebih lebar rentang telaah, tidak saja meliputi situasi di selat Melaka sebagaimana telah sampaikan, juga melihat ke arah pedalaman; situs yang terkait dengan keberadaan lanskap-lanskap di pesisir timur Sumatra, terutama dibentangan antara aliran sungai Panei dan Rokan; dan ini berarti kita akan melihat kepada salah satu sumber peradaban kuno Sumatra; Pagaruyung, yang tentu dalam kaitannya dengan Panei.

Dipesimpangan Jejaring Kekuasaan Ruang-ruang Jejaring Pedalaman, Semenanjung dan Aceh Melihat situs candi di Sintong dan Sedinginan yang diperkirakan didirikan sezaman dengan candi di kompleks Padang Lawas, maka diasumsikan bahwa dialiran sungai Rokan, terdapat peradaban Hindu-Budha yang lebih tua dari perkiraan periode

dan tengah pulaunya, termasuk Melayu yang artinya berkemungkinan saja sama dengan Sriwijaya ataupun Sumatra, lihat dalam Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998. Hal ini juga menunjukkan bahwa candi itu tetap bertahan setidaknya hingga era berdirinya Pagaruyung 1347-1375 94 Meuraxa, Kerajaan Melayu Purba, 1971, hal.12-15. 95 Peret, hal.124.

55 kerajaan Rokan di pedalaman seperti di Kotalama,96 atau juga situs kerajaan Rokan yang terletak dikawasan hilir sungai Rokan pada era sesudahnya. Letak situs candi yang berada di hilir pertemuan anak sungai rokan kanan dan rokan kiri, diyakini merupakan sebuah bahagian entryport dengan pintu keluarnya menghadap selat Melaka. Sebelumnya, diketahui bahwa Panei telah menjalin hubungan dengan Sriwijaya sebagai pemasok Kamper, bahkan kemudian Pagaruyung, hingga akhirnya era Melaka dan Johor yang bersamaan dengan invasi Aceh, mengkondisikan bahwa sejak era perdagangan Sriwijaya dengan Panei dimana Kamper dan benzoin sebagai produk primadona, maka diyakini situs-situs di hulu sungai Rokan bersinggungan atau setidaknya merupakan salah satu rute perdagangan dari pedalaman melintasi pegunungan, dan atau menuju Selat; dan ini merupakan poin penting bagi upaya melihat kembali kehidupan disepanjang aliran sungai Rokan. Selain itu, pentingnya juga melihat peranan Pagaruyung dan Panei, disebabkan ini merupakan suatu fase pasca Sriwijaya dan sebelum hubungan Rokan dengan Melaka sebagaimana terdapat dalam SEJARAH MELAYU, suatu masa pra-Islam di aliran sungai Rokan, dan dipercaya juga, bahwa periode ini merupakan periode Melayu yang diwariskan oleh Sriwijaya sebelum menyebarnya Islam di politi-politi Rokan. Berdasarkan lokasi dari tiga puluh prasasti yang dikeluarkan oleh Adityawarman antara tahun 1347-1375, adalah pemerintahan yang mungkin telah diperluas dari tepian Sungai Sinamar dimana Buo berada, Sungai Selo, situs Pagaruyung dan Suruaso.97 Prasasti pertama Adityawarman ditahun 1347 mengacu pada penyelesaian sebagai Melayupura, atau "kota (yang) Melayu," mengindikasikan bahwa pemerintahan itu sendiri dikenal sebagai “Melayu.” Dalam prasasti yang sama ia diberikan gelar tradisional yang digunakan di Sriwijaya dan Melayu. 98 Prasasti terakhir bertahun 1375 menambahkan gelar lebih lanjut “Kanakamedinindra”, dimana diyakini hal ini identik dengan Suvarnadvipa (pulau emas), sebuah nama kuno untuk Sumatra.99 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Adityawarman menganggap dirinya sebagai bagian dari kontinum Sriwijaya dan penguasa Melayu yang pusatnya telah berpindah dari pantai ke hulu sungai Batang-Hari dan akhirnya ke dataran tinggi Minangkabau. Hanya untuk alasan itulah sudah tepat bahwa ia menganggap gelar Kanakamedinindra sebagai Tuan Sumatera (lord of Sumatera). Sesuai dengan tradisi Sriwijaya dan Melayu, Adityawarman Sebagai datuk dari Melayu, berusaha untuk menarik dan mempertahankan kesetiaan rakyatnya melalui demonstrasi kecakapan spiritual. Sepanjang masa pemerintahannya, diciptakan gambaran untuk menekankan pada kualitas supranatural.100 Patung megah besar 96

Kerajaan Rokan, terdapat juga yang memperkirakan eksis pada abad ke-15 dilihat dalam kaitannya sebagai kerajaan mitra Melaka;. Lihat Wan Saleh Tamin, 1972, hal.13. 97 Krom, Hindoe-Javaansche, 393–4; Westenenk, “Opstellen II,” 261–2. 98 Coedes, Indianized States, 232; Kern, Verspreide Geschriften, vol. VII, 172. 99 Kern, Verspreide Geschriften, vol. VII, 219; see also Krom, Hindoe-Javaansche,413. 100 prasasti tahun 1347 menyebutkan upacara Tantra Buddha menampil-ulangkan peluncuran patung Amoghapasa di lokasi baru di Suruaso, dan memperingati inisiasi Adityawarman sebagai

56 Bhairawa ditemukan di dekat desa Sungai-Langsat di Suruaso mungkin saja telah dianggap sebagai perwakilan dari Adityawarman dan pengingat yang menakjubkan atas klaim penguasa untuk kekuatan supranatural. Akhirnya, di prasasti di Kuburajo I, Adityawarman disebut sebagai Kalpataru, “Pohon Keberkatan”, di mana diberikan sumpah, kutukan dan pengabulan permohonan.101 Bahasa dan skrip yang digunakan dalam prasasti Suruaso I perlu juga diperhatikan. Kata-kata di sisi kiri prasasti dalam bahasa Sansekerta dan ditulis dalam varian aksara Jawa kuno, menurut Krom, ini adalah “Keanehan Sumatera.” Ini adalah skrip yang paling sering dikaitkan dengan prasasti Adityawarman itu. Sementara di sisi kanan, pesan yang sama ditulis menggunakan skrip India Selatan Grantha, yang meningkatkan kemungkinan bahwa ada kehadiran yang kuat India di dataran tinggi tersebut.102 Sebuah prasasti abad ke9 ditemukan di Takuapa di utara Semenanjung Malaya yang menyebutkan kehadiran anggota Manikkiramam, seorang pedagang serikat Tamil. Setelah invasi Chola ke wilayah Sriwijaya di tahun 1024-5, Kegiatan ekonomi Tamil di kepulauan barat meningkat pesat. Bukti arkeologi dan paleographik dari LoboTua di Barus dan Kota China di timur laut Sumatera menunjukkan keunggulan pedagang Tamil dibidang perniagaan emas, kapur barus, dan benzoin.103 Dengan India Selatan yang terlibat dalam perdagangan emas, ada kemungkinan kuat bahwa mereka akan mendirikan pemukiman di Melayupura. Negeri Adityawarman sendiri terletak di jantung daerah penghasil emas di daerah yang berdekatan dengan lembah dan bukit-bukit Sungai Selo dan Sinamar dan Sumpur. Sebuah komunitas pedagang India Selatan juga diperkirakan telah tinggal di Pariangan.104 Jadi, Krom berkemungkinan benar dalam asumsinya bahwa prasasti Adityawarman ini dimaksudkan untuk orang India selatan yang tinggal dinegerinya. Pedagang India Selatan, serta gagasan India, bisa juga datang ke Melayupura dari arah daratan utara melalui Padang Lawas. Bahwa hingga abad ke-14; Padang Lawas adalah pusat seremonial utama dari pemerintahan Panei dan terletak di posisi strategis konvergen rute perdagangan. Gabungan dari pusat-pusat keagamaan dan komersial merupakan fenomena umum di dunia kuno, di mana para dewa dipanggil untuk melindungi serikat pedagang. Sebelah selatan dari Padang Lawas adalah string candi antara Tapanuli dan Minangkabau, yang membentuk bagian pertama dari rute yang baik untuk bepergian. Hal ini disebabkan dewa Tantra Siva-Buddha Bhairawa. Ia menggambarkan dirinya memegang pisau di tangan kanan, tengkorak di kirinya, dan berdiri pada seorang pria dilipat ke belakang dalam posisi korban yang dikelilingi oleh delapan tengkorak manusia yang besar. Bertahta di atas tumpukan mayat dan dilalap asap berputar-putar pengorbanan manusia, dia minum darah korbannya sambil tertawa. Moens, “Buddhisme,” 579; Schnitger, Forgotten Kingdoms, 31; Krom, HindoeJavaansche, 394. 101 Diyakini bahwa Bhairawa, memiliki posisi seperti Ganesa di Jawa, yang ditempatkan dalam sebuah ruang publik. Reichle, “Violence and Serenity,” 284–5 fn 88. 102 Krom, Hindoe-Javaansche, 414–5. 103 Nilakanta Sastri, “Takuapa,” 25–30; Miksic, “Cola Attacks,” 120–1; Edwards McKinnon, “New Light,” 87. 104 Dobbin, Islamic Revivalism, 60–2.

57 tersedianya kapur barus dan benzoin dari hutan di kawasan sekitar Danau Toba di Sumatera Utara, Rao di Minangkabau, kemudian ke hulu Sungai Jambi, dan akhirnya keluar ke Selat Melaka melalui aliran penyaluran di Jambi atau Palembang.105 Kuil-kuil dan patung yang ditemukan di Padang Lawas mengungkapkan bahwa tempat itu dihuni oleh penganut Vajrayana Tantra Buddhisme, Siva, dan dari sinkretisme SivaBuddha. Pada salah satu kuil adalah tubuh dari Ratu diyakini ditahbiskan sebagai Bhairawi. Di antara temuan lainnya adalah gambar langka Heruka, Dewa yang jarang digambarkan dari Tantra Vajrayana Buddhisme, mengenakan kalung tengkorak manusia dengan rambut berapi dan hiasan kepala yang berisi Bodhisattva Aksobhya. Penemuan ini umumnya diyakini berasal dari abad ke-13 dan ke-14, meskipun beberapa diantaranya lebih cenderung dalam jangkauan yang lebih tua; dari abad ke-11 hingga ke-14.106 Bukti kehadiran Tantra Buddhisme dan kultus Bhairawa di Padang Lawas menunjukkan afinitas budaya yang kuat dengan Melayu Adityawarman. Afinitas tersebut akan juga telah diperkuat melalui pengaruh yang datang dari selatan. Para ahli telah menunjukkan bahwa pengaruh Jawa pada seni, bahasa, dan gaya penulisan dari bagian selatan Sumatera secara bertahap meningkat pada awal abad ke-10 dan diperpanjang sejauh sebelah utara Padang Lawas.107 Panei telah cukup penting pada abad ke-11 setelah menjadi salah satu dari kelompokkelompok mandala Sriwijaya yang diserang oleh Chola. Pada abad ke-14, Panei pun berkembang menjadi sebuah entitas mandiri yang kuat, dan bahkan mungkin saja menjadi saingan Melayu Adityawarman. Untuk alasan inilah arkeolog Satyawati Suleiman percaya bahwa penempatan prasasti Adityawarman itu di Lubuk Layang di distrik Pasaman, di perbatasan antara pemerintahan Melayunya dan kompleks Padang Lawas, dimaksudkan untuk melindungi perbatasan terhadap suatu invasi. 108 Ditegaskan oleh Andaya, bahwa meskipun Panei dan Melayu berbagi warisan sejarah yang sama dari Sriwijaya dan Melayu, pada abad ke-14 mereka mulai menganggap satu sama lainnya sebagai saingan. 109 Dalam mencari keuntungan ekonomi dan politik, masing-masing akan berusaha untuk menekankan perbedaan daripada kesamaan, hasilnya; sebagai tampak di era terkini.

105

Edwards McKinnon, “Kota Cina,” 31–3. Parkin, Batak Fruits, 84–6; Schnitger, Forgotten Kingdoms, 96. 107 Miksic, “Archaeology,” 93; Parkin, Batak Fruit, 87. 108 Satyawati, “Archaeology and History,” 6. 109 Andaya, 2008, hal.88. 106

58

Gambar 3.2. Kawasan Panai, Padang Lawas dan hulu Rokan. Bentukan masing-masing terproyeksi terpisah dari Melayu, dan penguatan Melayu justru tumbuh diseberang Selatan Sumatra; Melaka. Sementara itu, sebagaimana kita telah melihat kepedalaman dan hubungannya dengan lanskap pesisir, dengan rute bepergian yang membentang mulai dari sungai Panei, pegunungan Minangkabau dan berlanjut di hulu Batang Hari hingga ke selat. Kembali dapat dikatakan bahwa diantara Panei dan dataran tinggi, kita telah melihat pula bagaimana ruterute darat dan anak sungai akan bersinggungan dengan sepanjang punggung Sumatra di pedalaman hulu Panei hingga Batang Hari; yang tentu melalui rute pedalaman Rokan sebagaimana ditunjukkan oleh keberadaan situs candi Sintong dan Sedinginan yang terletak dijejaring perdagangan Melayu, seperti juga Candi Muara Takus di pedalaman Kampar. Berikutnya, kita akan melihat pula pengaruh yang datang dari seberang pesisir, tepatnya dipusat peradaban Melayu di Semenanjung; Melaka. Sebagaimana dikisahkan dalam “Sejarah Melayu”, bahwa seorang pangeran dan pengikutnya bertolak dari Pelembang (situs Sriwijaya) menuju Semenanjung disuatu waktu

59 menjelang akhir abad ke-14.110 Disini kita tidak mempersoalkan asal-usul Melaka ini, hanya saja seorang Pangeran dari Palembang nampaknya melarikan diri sewaktu terjadinya serangan Majapahit ditahun 1377 dan akhirnya tiba di Melaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini, sang pangeran yang bernama Prameswara menemukan tempat sebagai pelabuhan yang baik dimana seluruh kapal-kapal dapat berlabuh disegala musim, dan Melaka sendiri terletak dibahagian paling sempit dari Selat Malaka. Dengan bersekutu dengan para orang laut, ia memaksa kapal-kapal yang melintas disana untuk menggunakan pelabuhannya, dan iapun mencukupi kebutuhan kapalkapal tersebut, dan ini menjadikan Melaka segera menjadi pelabuhan internasional yang besar, sekaligus juga sebagai pelabuhan transit. Sebagaimana dalam Sejarah Melayu, Sri Tri Buana kemudian bermukim di pulau Temasek. serta mengganti nama itu menjadi Singapura. Hingga kematiannya, ia digantikan oleh putranya; Singapura tumbuh berkembang, makmur, dan ketenarannya ini mengundang kompetitornya untuk memeranginya; Ayutthaya atau Siam. 111 Sementara itu, Pasai yang juga berkembang di timur laut pesisir Sumatera, ikut menderita sebagai akibat serangan yang dilakukan oleh orang-orang Siam. Dalam Sejarah Melayu, bahkan penguasa Samudera Pasai ditahan oleh penguasa Sharu'n-nuwi.112 Bukti serangan Siam ke dunia Melayu dikuatkan dalam catatan Ming Shi-lu bertanggal 20 November 1407: Raja-raja dari kedua negara Samudera dan Melaka juga mengirim orang untuk mengeluhkan bahwa Siam dengan sombong telah mengirim pasukan untuk mengambil segel dan gelar yang telah mereka terima dari Kerajaan. Mereka juga mencatat bahwa orangorang di negara mereka merasa takut dan tidak mampu tinggal dalam kedamaian. 113 Kelanjutannya, dInasti Ming nampaknya menjalin hubungan yang lebih dekat dengan politi-politi dilingkungan selat Melaka hingga pertengahan abad ke-15 (tahun1434); Bukti hubungan ini, pada tanggal 11 November 1405, Kaisar memberikan kepada Melaka prasasti yang disusunnya sendiri untuk ditempatkan di bukit Melaka (sekarang Bukit China). Hanya tiga negara lain diberi simbol kehormatan oleh Kaisar; Jepang pada 1406, Brunei pada tahun 1408, dan Cochin pada tahun 1416.114 Keinginan China untuk menemukan pusat perdagangan yang nyaman di selat dan perjalanan yang aman ke India bertepatan dengan harapan Melaka sendiri untuk menjadi sebuah

110

Meskipun banyaknya tradisi memiliki banyak varian kisah dalam Sejarah melayu, awal mula kisah ini sebagaimana terdapat diabad ke-15, sebagaimana “Raffles 18” yang menggunakan sumber manuskrip tahun 1612. Untuk jelasnynya, lihat Roolvink, “Variant Versions.” Halnya Sejarah Melayu versi Raffles 18 dapat dilihat dalam Cheah, SejarahMalayu. Penulis yang juga melihatnya sebagai Sulalatu’l-Salatin atau dalam Malayu Penurunan Segala Raja-Raja (The Genealogy of Kings). Roolvink meyakini bahwa apa yang diketahui sebagai Sejarah Melayu bermula pada pengkronologisan raja-raja berdasarkan waktu, akan tetapi, kemudian, unsure waktu tidak lagi dominan melainkan diwarnai juga dengan beragam tempat dalam kurun berbeda yang menunjukkan juga varian versi. 111 Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 232. 112 Brown, Sejarah Melayu, 35–6. 113 Wade, “Ming Shi-lu,” 413–4. 114 Andaya, 2008, hal.69.

60 entrepot utama. Ini konvergensi kepentingan yang memungkinkan Melaka sedari awalnya telah serius menanggapi ancaman terhadap eksistensinya; dari Ayutthaya dan Majapahit, dan memilih menjalin aliansi dengan dinasti China. Aliansi Melaka – China ini, diyakini dapat memberikan gambaran situasi diseberang Melaka dipantai timur Sumatra tepat pada saat hubungan itu berlangsung pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15.

Rokan dan Pekaitan (Negara Laut Air Tawar) Sebagaimana diketahui bahwa para ahli memandang pusat perkembangan Sriwijaya pertamakali bukan terletak dipesisir, melainkan jauh dipedalaman Sungai Musi. Penyebabnya, mungkin dapat dilihat dari wilayah pantai timur Sumatra yang didominasi oleh mangrove, dengan kondisi garis pantai yang tidak ramah; memang, menyediakan sumber daya bagi orang laut akan tetapi tidak untuk suatu pemukiman komunitas yang mapan. Dikatakan juga orang-orang akan lebih suka untuk tinggal di pedalaman di sepanjang tepian sungai. Lokasi dari pemukiman utama merupakan alur pengangkutan dan rute dari negeri, dan dengan struktur kecil yang sama, komunitas menyediakan bahan bagi pelabuhan utama.115 Terdapatnya sungai besar yang mengalir dari dataran tinggi melalui hutan pedalaman menuju laut; kondisi yang memungkinkan untuk menetap di sepanjang tepian sungai dan anak sungainya, dan mereka menciptakan bentuk pemerintahan yang cocok dengan lanskap tersebut. Konsentrasi penduduk dalam struktur permanen yang cukup besar seperti yang ditemukan dalam masyarakat pertanian sawah, bahwa kondisi tersebut tidaklah praktis atau tidak mungkin diterapkan dalam lanskap seperti itu. Sebaliknya, masyarakat kecil dengan rumah perahu atau panggung yang dibangun di atas air dan beberapanya didirikan di darat pada bidang yang datar; suatu lokasi yang dibersihkan di tepian sungai atau anak sungai. Komunikasi antara masyarakat dengan menggunakan perahu melalui berbagai jalur air dan darat yang singkat, untuk menghubungkan mereka, atau dengan jalan kecil yang menghubungkan dusun tetangga. Sifat pemerintahan tersebut, sebagaimana disampaikan Leonard Andaya 115

Ini merupakan varian model dari Bronson, dimana ia melokasikan port utama sebagai disepanjang pantai; Bronson, “Exchange,” hal.42. Meskipun demikian, Sumatra menyediakan sebuah landasan bagi modelnya, bahwa pemukiman di selatan Sumatra berlokasi jauh dipedalaman disebabkan kondisi mangrove di sepanjang pantai. Begitu pula Miksic yang meyakini bahwa situs utama adalah tempat dimana gelombang tidak mengancamnya; pohon nipah (sebagai sumber pembangunan dan juga makanan) dapat berkembang, dan kapal besar tidak dapat menjangkau lebih kepedalaman tersebab dangkalnya perairan. Lebih jauh, seperti kota-kota “hilir” ataupun situs Hindu Budha yang ditemukan terletakjauh ke pedalaman, seperti Palembang di Sungai Musi; Jambi di sungai Batang hari, Rengat di sungai inderagiri, Muara takus di Pedalaman Kampar, dan situs Sintong di pedalaman Rokan.

61 hanya dapat disimpulkan dengan unit analisis administratif sebagaimana terdapat dalam prasasti kuno Melayu; kedatuan, vanua, samaryyada, mandala, dan bhumi. Akan tetapi, ketika alam pesisir menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk kelangsungan suatu pemukiman seperti ketersediaan air tawar, maka tentunya cerita akan berbeda. Ketika situasi geographi pesisir memungkinkan untuk dibangunnya suatu tatanan sosial yang mapan, maka segera saja lanskap ditepian garis pantai sebagai suatu pelabuhan entriport terbentuk. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan bahwa pendirian lanskap pantai tentunya memiliki resiko berada dalam kerentanan situasi terhadap serangan-serangan luar. Untuk itu, sebagaimana kharakter Melayu yang mengacu pada perluasan jejaring kekerabatan, maka, aliansi kekerabatan dengan negara yang lebih besar dan kuat, menjadi mutlak. Kondisi ini dilandasi dalam upaya mencari keuntungan ekonomi di lingkungan pasar yang sangat kompetitif di Selat; sebagaimana dikatakan, Melayu berusaha untuk meningkatkan efektivitas mereka dengan memperluas jejaring keluarga atau kerabat mereka. Berbagai strategi pun digunakan untuk memasukkan orang luar ke dalam keluarga. Yang paling jelas adalah melalui perkawinan yang sangat memperluas kelompok kekerabatan. Berkaitan dengan ide ini, politi di aliran sungai Rokan sebagaimana tersebut dalam “SEJARAH MELAYU,” kerajaan Rokan menjalin hubungan baik dengan Melaka dimana Sultan Melaka menikah dengan salah seorang anggota keluarga penguasa Rokan. 116 Perluasan jejaring kekerabatan ini, dapat dipahami juga sebagai salah satu bentuk perluasan kekuasaan kerajaan Melaka itu sendiri, bentuk mutualisme; kerajaan Rokan merupakan salah satu pemasok sumber daya bagi pendayung ataupun prajurit kemiliteran Melaka, dengan sendirinya Rokan memiliki sekutu yang kuat sebagai bentuk “proteksi” terhadap ancaman serangan negara lain. Prestise ini, juga ditunjukkan ketika penguasa Rokan berkunjung ke Melaka ia memperoleh sambutan layaknya keluarga Raja. Bahkan, ketika Sultan Muhammad Syah sebagai raja ketiga kesultanan Melaka wafat, putranya Sultan Ibrahim yang ibunya adalah putri dari Raja Rokan, ditabalkan sebagai Sultan Melaka. Jenazah Sultan Muhammad Syah dinaikkan ke atas perarakan lalu ditabalkan; sudah itu maka Raja Ibrahlm117 pula ditabalkan. Setelah sudah maka jenazah diarak ke masjid dengan alat pawai dan bunyi-bunyian. Pertama berjalan dahulu dian; sudah itu orang menyelarupai kain; sudah itu perasapan; sudah itu orang menyelarupai tetarupan; sudah itu maka perarakan keranda. Setelah datang ke masjid, disembahyangkan di sana. Setelah itu maka anakanda baginda, Raja Ibrahlm kerajaan menggantikan ayahanda baginda, gelar baginda Sultan Abu Syahid. Tetapi baginda Raja Ibrahlm itu budak, tiada ia 116

Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak menurunkan Raja Ibrahim. 117 Raja Ibrahim yang merupakan raja keempat dari Kesultanan Melaka dan bergelar SRI PARAMESWARA DEWA SYAH (1444-1446).

62 hiraukan kerajaan; tiada lain pekerjaan baginda melainkan bermain bantak sama-sama dengan budak-budak banyak; itulah dibuat orang nyanyi: 118 Mana Sultan Abu Syahid, Budak-budak bermain bantak; Tuan seorang dipandang baik, Bagai cincin kena pennata. Maka Raja Rekanlah memangku Sultan Abu Syahid memerintahkan negeri Melaka. Sayangnya, intrik dan persekongkolan Raja Kassim, telah mengakibatkan terbunuhnya Sultan Ibrahim, sehingga ia memerintah Melaka hanya dalam kurun satu tahun dan lima bulan saja. 119 Maka baginda pun masuklah melanggar ke dalam. Orang pun geruparlah mengatakan Raja Kasim melanggar ke dalam; segala Orang Besar-besar dan hulubang sekalian pun datang mengusir Bendahara, sekalian mereka itu bertanya "Mana Bendahara?" sahut orang itu, "Bendahara pergi bersamasama dengan Raja Kasim." Maka pada hati segala Orang Besar-besar itu. Bendaharalah yang empunya pekerjaan ini. Maka sekalian mereka itu pun mendapatkan Bendahara dan bersertalah dengan Raja Kasim. Maka dalam pun alahlah. Akan Raja Rekan tiada bercerai dengan Sultan Abu Syahid. Maka kata Seri Nara Diraja, "Bahawa titah menyuruh merebut Sultan Abu Syahid, takut dibunuh oleh Raja Rekan." Maka orang berseru-seru melarang jangan menikam Raja Rekan dahulu. Maka tiada didengarkan oleh sekalian, kerana sangat sabur. Maka ditikam oranglah Raja Rekan terus-menerus. Setelah Raja Rekan merasai luka itu, maka ditikamnya Sultan Abu Syahid. Maka baginda pun syahidlah. Adapun umur baginda di atas kerajaan setahun lima bulan. Setelah Sultan Abu Syahid sudah mangkat, maka Raja Kasim pun masyghul akan adinda baginda itu, maka ditanamkanlah seperti adatnya. Syahadan maka Raja Kasimlah menggantikan kerajaan adinda baginda. Maka baginda pun ditabalkan oranglah; Sebagaimana telah kita lihat, kharakteristik populasi di aliran sungai Rokan ini menunjukkan “silang budaya” dari Pagaruyung dan Melaka-Johor; serta tidak dapat diabaikannya eksistensi Panei di bentangan Padang Lawas dan pengaruh migran Aceh; menunjukkan bahwa sebagaimana sebuah jalan raya, sungai Rokan yang begitu strategis sebagai kongruen jalur perekonomian dipedalaman, begitupula dipintu keluarnya di muara yang menghadap langsung ke Selat Melaka. Bahwa perkiraan lokasi kerajaan Rokan di Kota Lama di sungai Rokan Kiri, 120 selanjutnya ditemui suatu lanskap dipesisir Rokan sebagai entitas yang diyakini berbeda dengan kerajaan Rokan 118

A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-101 A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-101 120 Wan Saleh Tamin, 1972, hal.13. 119

63 awal, akan tetapi kisahnya terpelihara dalam memori kolektif lanskap hingga era terkini. Bahwa lokusnya di pesisir yang dipenuhi dengan suburnya mangrove dan kaya akan ikan, praktek mata pencaharian lanskap di pantai dengan yang salah satu teknologinya menggunakan alat tangkap ikan jenis bubu atau jermal, merupakan bentuk eksisnya teknologi hingga abad ke-19 yang diamati oleh para petualang China yang baru-baru saja tiba di Muara Rokan; tepat diseberang sungai yang kemudian berkembang dan dikenal sebagai Bagansiapiapi. Diyakini bahwa bagi Melayu yang terkait dengan kosmopolitan perdagangan Selat; kemapanan dan upaya pemeliharaan suatu basis perekonomian adalah perkara yang dapat berlangsung berabad lamanya; hingga suatu periode memperoleh benturan besar dari perubahan peradaban yang mampu mengubahnya secara radikal. Politik di Selat dapat saja berubah menjadi ancaman mematikan, terutama terhadap lanskap yang berada digaris pantai, sebagaimana dikatakan rentan terhadap serangan-serangan dari seberang lautan. Walau begitu, teknologi mata pencaharian yang merupakan basis perekonomian, dapat saja bertahan kukuh dalam memori penduduk yang telah beralih kedalam bentuk politi yang berikutnya; sebagai salah satu pewarisan kultur perekonomian di lanskap yang hadir kemudian. Bahwa jejak memori kolektif dihilir sungai Rokan yang nampaknya merekam kemegahan sebuah bandar yang ramai disinggahi kapal yang berlalu-lalang di Selat, sebahagian mungkin saja untuk mengambil perbekalan dan air minum, sebahagian lagi untuk berdagang dan barter. Letaknya disekitar tepian muara, mengingatkan lokasinya pada situs Melaka, hanya lokus ini tepat diseberangnya arah ke barat di pulau Sumatra. Keriuhan, ramainya persinggahan kapal, maka diimbangi dengan hamparan tiang-tiang sebagai tempat “pengait” tali kapal, dan legenda mencatatnya sebagai PEKAITAN.121 Kisah kerajaan diseberang Semenanjung ini, Rokan atau Pekaitan, menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab; seperti detail titik lokus, periode atau para pelaku dengan sistem sosial yang berlaku; mungkin ini sama dengan Sriwijaya yang hingga hari ini masih terus saja mengundang perdebatan, terutama berkaitan dengan pertanyaan yang telah disebutkan. Meskipun demikian, dapat pula kita cermati laporan Groeneveldt yang meneliti lembaran catatan-catatan China tentang situasi nusantara, terutama di sepanjang pantai timur Sumatra. Bahwa salah satu catatan itu membahas sebuah kerajaan yang diperkirakan berlokasi di muara sungai Rokan pada abad ke-15. Kerajaan yang diidentifikasi sebagai “DAN-YANG” (NEGARA LAUT AIR TAWAR), berbatasan dengan Aru, dan berjarak tiga hari pelayaran dari Melaka. Bahwa lokus ini dikenal dengan terdapatnya teluk luas sebagai sebuah muara aliran sungai, dimana air tawar cukup jauh mengalir kelaut sehingga airnya jernih dan manis. Dengan demikian, pelaut yang melintas disana menyebutnya dengan laut air tawar; laporan Hardenberg atas penelitiannya di tahun 1929 tentang adanya danau air tawar di pulau Pedamaran seperti mengingatkan situasi muara Rokan berabad 121

Wan Saleh Tamin, 1972, hal.17-21.

64 silam itu. Tanahnya yang subur, dan menghasilkan bulir beras yang kecil namun dikatakan memiliki rasa yang cukup menggugah selera untuk dikonsumsi, ditunjang pula dengan iklim hangat sepanjang tahun. Selain itu, diberitakan juga kondisi penduduk yang cukup baik, dimana dimiliki kebiasaan bagi lelaki dan perempuan menyanggul rambutnya, dan menutup bagian bawah tubuh dengan sehelai kain sarung bergaris: sebuah kebiasaan saat itu yang juga terdapat di negeri-negeri Sumatra seperti Aceh, dan bahkan juga ditemui di Melaka. Barang yang diimpor adalah emas, perak, besi dan tembikar. Dikatakan bahwa lokus ini berada disebelah selatan gugusan pulau Aru (dikenal juga dengan gugusan pulau Aruah); sebuah muara sungai yang luas dimana sebagai pertemuan dua aliran sungai penting mengalirkan airnya kelaut. Dimusim penghujan, maka lapisan air tawar menutupi permukaan air laut disana.122 Berkembangnya sebuah negeri dimuara Rokan, kontras dengan perspektif Sriwijaya, Jambi, Kampar, Siak, Panei; sebagai “negeri pesisir” yang berlokus lebih kepedalaman, tentu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan geografis pesisir saat itu. Bagaimanakah sebenarnya kondisi topographi pesisir timur lima abad lampau terutama disekitar muara Rokan? Atau lebih jauh lagi, delapan hingga sepuluh abad lampau? Dimanakah garis pantai timur itu sebenarnya, mengingat pantai yang terus saja bertambah menjorok kelautan yang dapat mencapai hingga 100 meter pertahunnya. Perubahan ekologi pantai, jelas akan mempengaruhi struktur sosial, selain juga pengaruh dari tekanan kolonialime barat mulai abad ke-16. Terekamnya Negara laut air tawar di muara Rokan, nampaknya sezaman dengan periode naungan dinasti Ming atas Melaka dari invasi Siam ditahun 1405. Dan menjadi logis, bila negerinegeri diseberang pantai Melaka sebagai kawasan yang masuk dalam rute perjalanan utusan sang Kaisar, tercantum dalam lembaran catatan mereka. Negara laut air tawar, dengan periode yang diperkirakan sama dengan kerajaan Rokan sebagaimana terdapat dalam SEJARAH MELAYU, keunikannya sebagai kawasan pesisir dengan kondisi air tawar, menjadikan muara Rokan berbeda dengan kawasan pesisir lainnya disepanjang pantai timur yang sebagaimana telah disebutkan, dikenal sebagai kawasan rawa mangrove yang tidak ramah bagi sebuah situasi pemukiman, seperti di pesisir sungai Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak dan Panei. Catatan China itu, bisa saja menjadi salah satu pentunjuk awal bagi perkembangan dikawasan muara Rokan, yang nampaknya juga berubah seiring runtuhnya Melaka 1511. Sementara itu, pertanyaan yang lebih jauh adalah apa yang terjadi di muara Rokan pasca kerusuhan Portugis itu. Beberapa abad kemudian, terutama abad ke-18 William Marsden, dengan “Sejarah Sumatra” yang terbit ditahun 1811; mencatat bahwa 122

Berdasarkan catatan Xingcha Shenglan yang berarti “Catatan Umum Perjalanan di Lautan,” diterbitkan tahun 1436 oleh Fei Xin, bahwa orang ini berasal dari Fang Zhou dan Selma 20 tahun mengadakan empat kali perjalanan luar negeri bersama Cheng He; tidak diketahui secara pasti jabatan atau kedudukannya, hanya saja ia adalah seorang Tionghoa Muslim dan mengerti bahasa Arab. Dilihat dalam Groeneveld, 1880, terbitan Komunitas Bambu, tahun 2003, hal.xx, dan hal.130-131.

65 muara Rokan lebih menyerupai suatu teluk yang luas, dimana pelaut-pelaut Eropa, akan berpikir ulang untuk menyusurinya hingga kepedalaman dengan arus Bono yang berbahaya dan mematikan itu. Sayangnya, Marsden tidak menyebutkan tentang keadaan pantai lebih jauh terutama menyangkut keberadaan kampung-negeri disana. Hanya saja, Netscher, menunjukkan bahwa sebelum Raja Kecil invasi ke Johor 1718, ia menjadikan salah satu lanskap di pesisir Rokan: Kubu, sebagai basis militernya. Pemilihan lokus sebagai sebuah basis penyerbuan negeri yang cukup kuat saat itu seperti Johor, tentu dengan pertimbangan dukungan sejumlah besar sumber daya manusia yang cukup; situasi yang juga menunjukkan suatu perkembangan lanskap pesisir disekitar muara Rokan. Selain itu, runtuhnya Melaka akibat serangan Portugis ditahun 1511 sebenarnya telah menghancurkan perdagangan Selat itu sendiri yang bersumbu di Melaka; sentral yang menghilang akan memunculkan sejumlah titik perdagangan baru yang lokasinya tersebar. Meskipun tidak sestrategis Melaka sebagai pelabuhan dipersimpangan dunia, secara tidak langsung telah menumbuhkan Aceh sebagai kekuatan baru yang memperoleh suntikan kekayaan dari pedagang-pedagang muslim yang menggelar jual-beli di sebaran titik pelabuhan perdagangan itu. Segera saja, konflik merebak diantara Aceh dan Johor sebagai klaim pewaris Melaka, dan Portugis yang mempertahankan benteng Melaka untuk memperoleh pengaruh di Selat. Masa kegemilangan Aceh (Sultan Iskandar Muda), ditandai dengan invasi kedua sisi pantai Sumatra; barat dan timur. Jejaknya masih dapat ditemui, baik berupa nama desa, seni arsitektural, dan juga cerita rakyat yang berkembang dan dikenali oleh masyarakat lanskap. Pada tahun 1564, Aceh merebut kembali Haru yang jatuh ketangan Johor pada 1540; menyerbu ibukota dan menawan semua anggota keluarga kerajaan Johor. Perang yang berlangsung pada abad ke-16 dan 17 ini, akhirnya diakhiri di tahun 1641; dimana VOC dengan sekutu Johornya, memblokade Melaka, dan Melaka pun jatuh ketangan VOC. Melalui perjanjian damai, Johor tidak lagi mampu berposisi seperti sebelum kedatangan Portugis, melainkan mendominasi diwilayah vassal, seperti Siak di tahun 1622 dan Inderagiri ditahun 1669. Aceh dan Portugis, disebut tidak lagi sebagai rival penting bagi Johor. Bahwa keruntuhan Melaka tahun 1511 ini diasumsikan merupakan titik menguatnya Islam di kawasan Selat Melaka disebabkan Islam disini sebagai memperoleh musuh bersama; Portugis. 123 Cerita rakyat yang terdapat dilanskap di aliran sungai Rokan, menunjukkan gerakan menghulu orang-orang Melaka yang eksodus sebagai akibat penyerbuan Portugis. 124 Para pelarian Melaka ini, nampaknya diburu oleh Portugis tidak saja ke pedalaman Rokan, juga mencapai pedalaman Siak dan Kampar, dimana mereka membawa misi

123

Tidak hanya Sumatra, penguatan Islam yang juga berlaku di Maluku dan Jawa sebagai akibat invasi Portugis, lihat C.J.van Leur, Indonesian Trade and Society, Essays in Social and Economic History, Vol I Den Haag/Bandung, 1955, hal.160-9. 124 Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak menurunkan Raja Ibrahim.

66 lainnya; menguasai bandar-bandar yang terdapat disepanjang aliran sungai sebagai jalan raya penghubung dengan kawasan pedalaman. Bahwa meriam dan bekas benteng di Batu Hampar (Rokan) diyakini merupakan bukti kedatangan Portugis ke negeri tersebut. Di Batu Hampar juga ada lokasi yang dikenal sebagai Parit Peringgi.125 Dalam bahasa setempat/Melayu, kata peringgi kerap dikaitkan dengan orang Portugis. Seperti halnya politi Gasip di sungai Siak, maka politi Rokan ini mengalami perkembangan dalam rentang yang relative sama dengan Melaka, dan kemudian menghilang seiring runtuhnya Melaka dan juga masa invasi Aceh abad ke-16 dan 17. Dengan demikian, kerajaan Rokan di Kota Lama dialiran sungai Rokan Kiri, dapat diasumsikan eksis sebelum abad ke-15;126 sebagai lanskap dengan lokus lebih kehulu dari lokasi situs Candi Sintong dan Sedinginan; Bahwa pudarnya kerajaan Rokan yang berlokasi dianak sungai Rokan Kiri ini dilanjutkan dengan kerajaan Rokan di Pekaitan atau juga sebagai “Negara Laut Air Tawar” dimuara yang sezaman dengan periode kegemilangan Melaka, diyakini pasca invasi Portugis tahun 1513127 digantikan oleh sebaran lanskap yang berlokasi disepanjang aliran sungai Rokan. Selanjutnya, Meleburnya Rokan kedalam sebaran politi; hulu, dan juga di hilir dalam tiga lanskap; Tanah Putih, Bangko dan Kubu, menunjukkan periode perubahan; semakin menguatnya Islam diwilayah sepanjang aliran sungai Rokan. Bahwa, kemunculan tiga lanskap ini, tentu saja bersamaan dengan periodesasi invasi Aceh. Bahwa situasi ini terekam dalam legenda yang dikenal disepanjang aliran sungai Rokan. Kisah Aceh di sungai Rokan, diperkirakan menguatkan proses terpisahnya lanskap menjadi dua bahagian besar, bahagian hulu dan hilir. Proses dalam rentang periodesasi perebutan hegemoni Melayu di Selat Melaka antara kekuatan Aceh dan Johor, yang turut menghimpun sebaran politi-politi guna menghadapi kompetitor. Seperti Johor yang sepanjang dekade ke-3 dan ke-4 abad ke-17, melakukan aliansi dengan Inderagiri, Siak dan Kampar dalam menghadapi Aceh; atau seperti di hulu sungai Rokan, ancaman invasi Aceh menyebabkan lanskap hulu kembali menguatkan aliansinya dengan kekuatan pedalaman; Pagaruyung. Sebelum invasi Aceh mencapai pedalaman sungai Rokan, bermula di ranah Kepenuhan disepanjang sungai Rokan sampai Kuwala, situasi yang terproyeksikan hingga 125

Darmawi, 2008, hal.117. Sebagaimana nama Rokan terdapat dalam catatan Majapahit, Kitab Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII dan XIV, kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 dimasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Meski Majapahit mengklaim negeri-negeri di Sumatra itu yang dikatakan sebagai Malayu sebagai negeri taklukkan, akan tetapi tidak pernah ditemui klaim pengakuan dari negeri yang tercantum dalam kitab itu. 127 Tahun 1513 ini Portugis menyerang pelabuhan Pekaitan, dan juga istana Raja. Terdapat kisah Raja yang tengah asyik bermain catur dengan Datuk Bendahara, saking asyiknya, Baginda Raja tidak menyadari jika “Peringgi” atau “Pertukal” (Portugis) telah datang menyerang; Lihat Wan Saleh Tamin, 1972. Hal.48-50. 126

67 beberapa abad menjelang akhir abad ke-19, negeri itu terbagi menjadi dua. Bahagian pedalaman tetap berada dibawah penguasa Kepenuhan, sementara dihilirnya, dibawah kendali Raja Lontar yang merupakan keturunan Pangeran Johor dan menikah dengan Raja Siti, seorang putri Kepenuhan. Selama beberapa waktu, wilayah hilir sungai Rokan dilingkup Tanah Putih, berada dibawah penguasaan Johor; wilayah ini dikatakan dihuni oleh suku-suku Melaka yang bermigrasi ketika kerajaanya dihancurkan Portugis; hingga paruh abad ke-17, bahagian pesisir Rokan tersebut dikendalikan oleh pejabat yang diangkat oleh dinasti Johor, seorang Sahbandar. Sementara di bahagian hulu, sebagai lanskap perbatasan, pangeran Johor meminta pangeran dari hulu - Tambusai dimana telah bermukim penduduk Minangkabau, untuk dilengkapkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian, muncul kerajaan Kepenuhan, Kota Intan dan Kota Lama, kedua terakhir ini, berlangsung sampai pada suatu masa dimana terjadi penyatuannya kedalam “Kunto.” Bahkan Pangeran Johor pun ternyata dapat memenangkan tahta Tambusai, sehingga Johor kemudian memperluas pengaruhnya sampai ke Rambah. Ketika pasukan Aceh melakukan penyerangan ke daerah-daerah di pedalaman; wajar bila politi-politi ini beraliansi dengan Pagaruyung untuk menahan laju ekspansi Aceh, hubungan yang telah ada semenjak masa Adityawarman.128 Akan tetapi, kisah Aceh di aliran sungai Rokan tidak hanya berisi cerita invasi semata, melainkan juga migrasinya orang-orang Aceh terutama sebagai akibat tekanan internal kerajaan; dimana yang berdatangan ke lanskap dihilir sungai Rokan ini juga adalah kaum ulama. 129 Terdapat situs, dan sebagaimana disampaikan, juga cerita yang beredar tentang bangsa Aceh ini, yang kisahnya memiliki kesamaan dengan cerita yang terdapat di Sumatra Timur Laut. 130 Dialiran hilir sungai Rokan, kita akan menemukan situs ulama Aceh yang terletak di Batu Hampar, pusat lanskap Bangko dan bahkan disebutkan sang ulama Aceh sebagai pendirinya.

Diantara Siak dan Kolonialisme Belanda

128

dan akibatnya, tentu saja memperkuat kembali pengaruh Minangkabau di negara-negara darat tersebut. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dapat dijumpainya campuran antara unsur aristokrat dan demokratis (Masing-masing dari Johor dan Minangkabau) dalam sistem pengaturan masyarakat di sana. Nampaknya ini juga harus disebutkan bahwa untuk pengangkatan Raja Tambusai yang baru, terdapat dalam tulisan Hindu – yang disebut sirih - teks itu mengatakan bahwa penguasa Pagaruyung melimpahkan pangerannya ke negeri Tambusai. Sebagaimana dikisahkan Rijn van Alkemade dalam kunjungannya ke hulu sungai Rokan, 1884. 129 Datuk Batu Hampar di Bantaian di pesisir sungai Rokan, adalah seorang ulama yang berasal dari Aceh. 130 Seperti Legenda Putri Hijau, selain terdapat di Deli Tua, juga terdapat dialiran sungai Rokan. Lihat B.van Durren kontrolir Bagansiapiapi(MVO.19334, Wan Saleh Tamin(hal.35-8), sebagaimana dikisahkan dalam Riau Daratan: dari darat sampai pesisir, 2015, hal.55-60.

68 Pada periode pertengahan abad ke-17, sebagaimana telah disampaikan bahwa wilayah dihilir sungai Rokan (Tanah Putih) dikendalikan oleh Sahbandar sebagai wakil dari dinasti kesultanan Johor. Akan tetapi, pada perjalanan paruh kedua berikutnya, kesultanan Johor melemah terlebih dengan peristiwa terbunuhnya Sultan Mahmud di tahun 1699. Sumber-sumber hikayat, maupun laporan pengamat Eropa menyebutkan bahwa disuatu periode sebelum invasi Raja Kecil ke Johor di tahun 1699, sebagaimana disebutkan; Kubu dipesisir muara Rokan merupakan salah satu basis bagi Raja Kecil dalam menggalang pasukannya, tersebut juga diantaranya adalah Batu Bara. Kemenangan Raja Kecil dan dibangunnya dinasti Siak di awal abad ke-17, menandai terusirnya pejabat Sahbandar itu dari kawasan pantai timur. Akan tetapi klaim pertama atas lanskap dilakukan oleh anak sulung Raja Kecil, yaitu Raja Alam, kemudian juga oleh Raja Ismail (cucu Raja Kecil) yang menjadikan kawasan Rokan sebagai salah satu basis kekuatannya, hingga akhirnya; Said Ali yang bertahta di Siak tahun 1791, memasukkan tiga lanskap dilairan sungai Rokan kedalam wilayah Siak. Sebagaimana diketahui, sebelum ditandatanganinya perjanjian Siak tahun 1858 antara Siak dan Belanda, bahwa dalam tubuh pemerintahan kerajaan Siak di abad ke-19, telah ditandai dengan berulangkali terjadinya aksi pengusiran Raja, baik ke Asahan, Batu Bara, maupun distrik Rokan: keadaan yang menyebabkan Siak “beristirahat” dari upaya ekspedisi atau ekspansi keluar wilayah kerajaannya. Dapat dikatakan, bahwa pergolakan internal Siak yang berlangsung terus menerus telah melemahkan kekuatan kerajaan, mengurangi pengaruhnya, terutama terhadap negeri-negeri dependensinya sendiri. Hal berlangsung hingga era Said Ali yang naik tahta Siak pada tahun 1791. Hingga abad ke-19, Belanda memandang Said Ali sebagai Raja paling energik yang pernah ada di Siak, memiliki kemampuan mempertahankan keamanan Siak serta wilayah yang menjadi dependensinya dan bahkan memperluas wilayah di pesisir timur hingga keperbatasan Aceh, meski untuk itu ia harus menggunakan senjata. Pada ekspedisinya ke Tanah Putih, ia telah menunjukkan dan mengukuhkan pengaruhnya, bahwa ia layak menjadi Sultan Siak. Hal Ini cukup bagi Said Ali untuk menunjukkan eksistensi dirinya di Muara Sungai Rokan, untuk menerima baiat dari orang-orang Tanah Putih, Kubu dan Bangko dengan cara yang paling elegan. Sejak hari itu, Siak tetap tak terbantahkan berada dalam kepemilikan atas dependensi, bahwa Sultan menganggap hak atas tanah adalah sebagai “tanah lungguh” Sultan sendiri, memperoleh penghasilan dari sana, dan atau diserahkan kepada keluarganya. Kondisi ini, selanjutnya dibakukan melalui perjanjian Siak dengan Belanda di tahun 1858, dimana wilayah Siak juga meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Peristiwa ini juga menandai pemisahan lanskap di sepanjang aliran sungai Rokan antara bahagian hulu dan hilirnya, dimana wilayah hilir aliran sungai Rokan masuk kedalam wilayah jajahan Hindia Belanda. Meskipun demikian, ditegaskan bahwa ketiga kenegerian di hilir sungai Rokan ini bukanlah wilayah “Eigenlijk” Siak(wilayah asli Siak), melainkan sebagai wilayah dependensi. Penegasan kembali klaim Siak atas Tanah Putih, sebagaimana oleh Marhum Besar, dimana ia memberikan lanskap sebagai tanah lungguh untuk keponakannya Tengku Besar. Nampaknya, hal ini berkaitan dengan

69 sengketa batas-batas antara Siak dan Rantau Binuwang terkait atas kewilayahan Tanah Putih. Pada tahun 1881, Sultan Siak mengklaim supremasi atas semua wilayah Tambusai, dikatakan bahwa Rantau Binuwang berada di daerah yang termasuk kedalam wilayah Tanah Putih, yang dianggap sebagai dependensi Siak. 131 Kemudian kepala Tambusai, Mohamad Zainal Abidin, menemui residen di Bengkalis untuk pembelaannya. Bahwa pembentukan Rantau Binuwang sebagian besar terjadi di wilayah Kepenuhan, dan kemudian Kepenuhan pun muncul dengan segala konsekuensi tuntutannya. Sementara sang Residen, ia mengklaim dapat membangun batas-batas antara Kepanuhan dan Rantau Binuwang yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Akan tetapi, dalam hal ini dikatakan Siak hanya memberikan sebahagian; yang disetujui lebih kepada bagian hulu dari Tambusai (Dalu-Dalu) yang dianggap tidak memiliki otoritas, dan tentu saja ini diklaim oleh Rantau Binuwang. Sebaliknya, Zainal Abidin menunjukkan klaimnya yang diletakkan di Negeri Tinggi, 132 wilayah yang menurut Siak pada era sebelumnya selalu berada di bawah lanskap Tanah Putih; dan dengan demikian, tidak lagi diragukan sebagai bahagian dari Siak. Perkara ini, penjajah menganggap sebagai bagian dari tanggung jawab Zainal Abidin; dan terdapat berita yang mengatakan bahwa ia dipanggil ke Batavia(?). Nampaknya, perjanjian tanggal 12 Januari 1885 dirasa tidak memihak Rantau Binuwang; bahwa dinyatakan telah didudukinya secara illegal wilayah di Tanah Putih; tentang dihapuskan dan juga kemampuan upeti dari Rantau Binuwang di Siak; dan juga untuk berperilaku sesuai dengan keinginan pemerintah Belanda. Terutama pembayaran upeti sejumlah $300 per tahunnya. Akan tetapi, pembayaran dari jumlah ini dihilangkan; setelah beberapa tahun, Mohamad Zainal Abidin dibebaskan dari kewajiban membayar; akan tetapi, pada saat yang sama residen menarik kewenangan yang diberikan kepada Mohamad Zainal Abidin sebagai Raja dari Tambusai dan Rantau Binuwang, meskipun kepala Tambusai tersebut telah tinggal di Rantau Binuang selama puluhan tahun. Sementara Siak, tetap bersikukuh bahwa Rantau Binuang merupakan bahagian dari wilayahnya. Hal itu, menyebabkan penguasa Rantau Binuang, Zainal Abidin berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan Siak, dimana hak-haknya di Tanah Putih, Kubu dan Bangko ditolak, dengan kata lain, Zainal Abidin tidak mengakui kekuasaan Siak atas lanskaplanskap tersebut. Zainal Abidin, secara pribadi mengajukan kasusnya dan menyatakan sudah terlebih dahulu mengajukan sebagai bahagian dari “rechtstreeksch” kepada pemerintah di Bengkalis, untuk menghindari tuntutan Siak dengan melakukan penyerahan. Belanda sendiri berupaya meyakinkan dirinya bahwa telah dilakukan upaya-upaya untuk membawa pihak-pihak yang berselisih agar menuju pemulihan hubungan; dan ternyata gagal. Zainal Abidin tinggal beberapa bulan di Bengkalis,

131

Schadee: Geschiedenies van Sumatra’s Oostkust, 1919, hal.79. Dalam lawatannya ke Rantau Binuwang, Rijn van Alkemade melaporkan bahwa Negeri Tinggi dihuni oleh pemukim dari Tambusai. 132

70 kemudian menuju Batavia membawa keluhan terhadap Siak dan klaim atas wilayah Rokan.133 Upaya lebih jauh dikerahkan untuk menyelesaikan isu tersebut, akan tetapi, daerah terakhir itu kembali dialihkan ke Siak ditahun 1888. Bahwa kemudian Zainal Abidin diketahui “meninggalkan” lanskap ini, sementara Belanda menganggapnya sebagai sikap “merajuk” terhadap pemerintah dan otoritas Hindia menyangkut hal di bagian yang tersisa dari kerajaannya. Akan tetapi, dari beberapa catatan Belanda, memang menunjukkan bahwa Belanda menganggap Zainal Abidin tidak memiliki batas-batas nyata atas Rantau Binuang. Berikut catatannya: “…Beberapa dokumen menunjukkan, bahwa Raja Tambusai telah menerima pinjaman dari Sultan Siak berupa tanah yang terletak di antara hulu Ajer Meminda dan hilir Pagaran Itik. Pada awalnya, ia menyangkal supremasi Siak, atau bahwa ia menikmati saja suatu keramahan dalam batas-batas negara tersebut, dan kisah pengembaraannya tersebab ia terusir dari negerinya pun berakhir. Bagaimanapun juga, berangsur-angsur kekuatan rezim di Siak terlihat mulai mengendur, dan sebaliknya, Raja Tambusai pun bertahap mulai menganggap diri mereka merdeka secara keseluruhan dari Siak, bahkan memberanikan diri melakukan klaim atas tanah di hilir Pagaran itik, berikut dengan kekayaan didalamnya(hutan dan lainnya), dan seluruh wilayah Tanah Putih, serta seluruh sisa area Rokan, diklaim sebagai properti wilayah hukumnya.” 134 Sikap penjajah ini, tentu saja dilandasi telah dikukuhkannya kewilayahan Siak melalui perjanjian 1858, yang memang bisa saja dirasa berlebihan. Penyelesaian persoalan, akan lebih dominan kepentingan penjajah dan terutama dalam kerangka perluasan kewenangan atas wilayah jajahan. Seperti kasus perbatasan dengan Aceh di Sumatra Timur Laut; menyebabkan berkobarnya perang Aceh yang begitu hebatnya menguras sumber daya.135 Di aliran sungai Rokan, sikap kolonialis Belanda, lebih didasarkan rasa ketakutan berlebihan terhadap segala potensi gejolak yang mungkin muncul dari tokoh yang dianggap berpengaruh. Seperti kedatangan Muhamad Zainal Abidin ke lanskap Tanah Putih dalam rangka kunjungan berziarah, telah direspon dengan penyiagaan satu kesatuan polisi dari Bengkalis yang tiba dengan kapal perang. Meski akhirnya diketahui bahwa ini dikatakan Belanda merupakan sesuatu rasa ketakutan yang terlalu dibesar-besarkan, pengalaman traumatik Perang Padri di hulu sungai Rokan, menyebabkan Belanda merasa perlu melakukan penangkapan terhadap Mohamad Zainal Abidin ditahun 1904, dan diinternir ke Madiun hingga wafatnya disana.136 Sebagaimana halnya politik aneksasi Belanda terhadap pantai timur 133

Dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, 1883 (2e deel) [volgno 5]: 01-10-1883, hal. 264 – 265. 134 Hijman van Anrooij, hal.380. 135 Lihat Anthony Reid, sebab-sebab perang Aceh. 136 Dikisahkan bahwa Pakir Saleh, yang berjuang bersama kaum Padri, dan dikenal dalam sejarah sebagai Tuanku Tambusai: Raja dari Tambusai, setelah melalui peperangan ganas di benteng Dalu-Dalu di tahun 1838, beliau menyingkir ke Linggi di Pantai Barat Melaka. Bahwa Pangeran

71 Sumatra; perluasan Wilayah Hindia atas kawasan Siak ini juga memungkinkan bagi penjajah untuk melakukan apa yang dinamakan sebagai “mempelajari” lanskap. Pengamat seperti Anderson, Raffles, dan sejumlah pengamat asing pun berdatangan guna memperoleh informasi mengenai wilayah jajahan atau bakal calon jajahan; sejumlah informasi-yang mendukung eksploitasi sumber daya di tanah jajahan. Dua tahun sesudah penandatanganan perjanjian 1858 yang sangat merugikan Siak, pemerintah Hindia mengutus seorang pegawai pribumi, “Boerhanddin” ke lanskap Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Akan tetapi, catatan yang lebih detail tentang tiga kenegerian tersebut, dapat diproleh dari Hijman van Anrooij yang menuliskan laporannya atas wilayah Siak ditahun 1884, dan juga laporan dari Rijn van Alkemade 137 dalam lawatannya ke Rantau Binuwang dihulu sungai Rokan. Dari catatan dua hamba Hindia tersebut, dapat ditelusuri kehidupan sosiobudaya di sepanjang hilir sungai Rokan, yang meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Aparat pemerintah Hindia ini, nampaknya kesulitan dengan sumber informasi terutama untuk sejarah awal Bangko, dan ini juga berlaku untuk Kubu, minimnya keterangan atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Adapun batas-batas Tanah Putih dengan Kubu dan Bangko adalah dengan Kota intan, juga Kunto, Rantau Bais, di tepi kiri sungai Rokan, perbatasan dan di Kapenuhan di Ayek-Meminda yang merupakan anak sungai sebelah kanan (RokanKanan) dari Sungai Rokan ini. Hijman van Anrooij, membatasi konsepnya atas Tanah Putih, yang dikatakannya bahwa ketika berbicara tentang Tanah Putih, dengan demikian yang dimaksudkan adalah sebagai tanah hilir Pagaran itik. Tideman mengemukakan bahwa mata pencaharian Melayu di kewilayahan afdeeling Bengkalis (Onderafdeeling Bengkalis, Onderafdeeling Bagansiapiapi, Onderafdeeling Siak, Onderafdeeling Rokan, dan Onderafdeeling Kampar Kiri) terpokok pada tiga hal; nelayan, berdagang dan pengumpul hasil hutan. 138 Ketiga sumbu perekonomian populasi ini, seringkali berpotongan dengan apa yang dinamakan hak privilege Sultan atas lanskap yang juga menyimbolkan kekuasaan dan perlindungan penguasa terhadap hamba secara mutualistik.

Ramba dan Kepenuhan, mungkin saja tidak seperti Sultan Achir Lamaan yang semakin melemah, dan segera menuju Sungai Krangin Penei, dimana ia wafat disana. Putra dan sebagai penggantinya; Djamaloe Talair menetap di Sungai Daun di Kubu hingga wafatnya. Ia, digantikan oleh putranya, Sultan Abdul Wahid, yang bermukim di Rantau Binuwang; penerusnya adalah Sultan Mohamad Dzen yang bergelar Yang dipertuan Besar di Rantau Binuwang dan menambahkan kata “Sakti” pada nama kerajaannya, sehingga bernama Rantau Binuwang Sakti. Sang pangeran, berusia sebelas tahun sebagai Madjalelo dan pada usia lima belas tahun; Soetan Dzainal hingga ia dinyatakan sebagai raja, lihat Rijn Van Alkemade, 1884.hal.35-8. Kisah penangkapan Muhammad Dzainoel Abidin, sebagaimana diberitakan oleh De Sumatra Post, 4 Oktober 1905; Koloniaal Verslag 1905; lihat juga Soerabaijasch Handelsblad tanggal 28 Juli 1906, bahwa beliau ditangkap Belanda dalam suatu operasi militer dibulan Juni 1904. 137 Sebagaimana diterbitkan tahun 1885. 138 Tideman, Land en Volk Bengkalis, 1935.

72

Tanah Putih dan Tambusai, Peta Tahun 1883-5. 139 Selain itu, masyarakat juga terlibat dalam perladangan terutama untuk memenuhi subsistensi ekonomi. Kegiatan dalam skala komersil, terutama dipastikan akan berkaitan dengan kelas pedagang yang didominasi “Orang Kaya.” Seperti di Tanah Putih, secara keseharian, penduduk akan berada di wilayah perladangan dan juga perdagangan; seorang kepala pedagang di Tanah Putih tercatat ditahun 1885 bernama

139

KIT, Dutch Colonial Map: Nomor: 11964-08. Skala 1:900.000.

73 Haji Muhammad Taib; tengkulak yang posisinya ada diantara Pemerintah dan Pribumi serta dengan pedagang yang datang dari tempat lain.

Perekonomian Anak Bumi Demikian halnya populasi Bangko yang bergerak dalam perladangan padi, menangkap ikan, perdagangan, pengumpul hasil hutan, budidaya gambir dan gendies adalah mata pencaharian penduduk, banyak kebun gambir musnah oleh kebakaran hutan di tahun 1880-an yang berkobar dan membentang melampaui Kepenuhan, Tanah-Putih, mengakibatkan kehancuran, namun kemudian telah dibuka kembali kebun-kebun baru. Ketika Rijn van Alkemade berkunjung ke Rantau Binuang melintasi lanskap Bangko, dikatakan negeri ini memiliki populasi yang terlibat dalam budidaya padi, menangkap ikan dan pengumpul hasil hutan sebagai sumber mata pencahariannya. Untuk populasi di Labuan Tangga, Rijn van Alkemade mengatakan bahwa mereka semua berasal dari Kubu dan terutama berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan (vischvangst), mengumpulkan buah dan hasil hutan. Adapun populasi Kubu terfokus pada perladangan dan penangkapan ikan (vischvangst), sementara itu mereka juga mengumpulkan hasil hutan. Akan tetapi, Pemerintah Belanda cenderung untuk mengabaikannya, tersebab dikatakan mereka memperoleh hasil yang tidak signifikan. Apakah memang benar demikian adanya? Sebagaimana telah disampaikan, bahwa kegiatan perekonomian orang Melayu yang terkait dengan pengumpulan hasil hutan, merupakan salah satu basis dari perekonomian kesultanan; Sultan memperoleh hak konsesi atas komoditi itu yang juga seringkali menyangkut pula dengan hubungan antar lanskap. Perekonomian tradisional yang ditopang oleh hak-hak tradisional, disini, di Pantai timur titik ini bertemu dengan perekonomian kapitalis-kolonial. Tidak terlalu bergairahnya penjajah pada sektor perekonomian pribumi tidak lantas menyurutkan aktifitas kuno tersebut. Diyakini, bahwa bentuk-bentuk perekonomian tradisional Melayu mampu bertahan, sebagaimana bentuknya yang memang sederhana itu. Sementara disisi lainnya, perdagangan yang telah menjadi ciri dari kehidupan dikedua sisi selat Melaka, diyakini menumbuhkan kelompok pedagang pribumi dalam batasbatas tertentu, sebagaimana “Orang Kaya” yang merupakan kelompok penting pedagang Melayu di Pantai Timur.140 Orang kaya, bagaimanapun juga, merupakan satu mata rantai dari struktur kekuasaan sultan yang memiliki kewenangan tertentu dan terbatas atas sumber daya. Bahwa pengiriman produk sebagai bahagian dari aktifitas perekonomian asli ini, juga dilakukan oleh kalangan Melayu sendiri dengan 140

Anderson, 1971.

74 dukungan sarana pengangkutan yang dimilikinya, atau milik dari “Orang Kaya.” Kondisi ini merupakan juga sebuah mata rantai dari jejaring yang lebih luas, baik di pantai timur Sumatra maupun semenanjung. Hingga akhir abad ke-19, minimnya populasi141 dan begitu luasnya wilayah, benar-benar mendukung kehidupan tradisional yang bertumpu pada istana. Sementara itu Sang Sultan, dengan kenangan akan kewilayahan kunonya yang membentang di sepanjang pesisir timur hingga perbatasan Aceh, sehingga akan sulit bagi Sultan jika dihadapkan dengan kondisi bertatap-muka dengan penguasa kesultanan di Sumatra Timur Laut yang pernah menjadi bawahannya. Sultan terakhir, meski tidak lagi memegang otoritas sebagaimana pendahulunya, ia tampil sebagai sosok yang mengesankan dan sebagaimana ia kemudian dikenang oleh masyarakat Riau sebagai tokoh pendorong bagi perkembangan enterpreneurship pribumi; bahwa pada tahun 1920-an, hanya di Siak-lah jumlah terbanyak pedagang pribumi Melayu di pantai timur Sumatra yang memiliki penghasilan hingga f700. 142

Ruang Perekonomian masa Kolonial Sebagaimana telah disampaikan, sebelum Belanda tiba di Tanah Putih; lanskap dependensi Siak merupakan wilayah tanah lungguh dari seorang keluarga Sultan. Sebagai pemegang otoritas, keluarga Sultan menerapkan aturan yang tidak disukai Belanda. Pemerintah Hindia menuding Mangkubumi melakukan penyimpangan disana-sini, menggunakan hak-hak jauh melebihi kewenangannya, seperti ditahun 1882, lintas perdagangan di sungai Rokan yang sedianya akan menuju Tanah Putih dipedalaman, akan tetapi pedagang mengalihkannya menuju Labuhan Batu yang dikatakan oleh pemerintah diakibatkan “kesewenang-wenangan” dalam menetapkan bea;143 akan tetapi, tidak jelas besaran bea yang dituduhkan itu. Sebagaimana diketahui, di Tanah Putih bertempat Sahbandar Siak yang menetapkan bea sebesar lima persen bagi komoditi yang bernilai f5 per pikul; untuk kayu laka dibayarkan sebesar f2.50 per tiga pikul; 100 batang rotan tidak melebihi f5, dan garam dibeli dari Sultan Siak sebesar 72 rijksdaalder per koyangnya. 144 Pada tanggal 23 Juni 1884, Siak Sri Indrapura menandatangani suatu kesepakatan yang sangat penting, dimana Sultan Siak beserta Mangkubumi dan pembesar yang semula dipandang Belanda berada

141

Salah satu akibatnya, sebagaimana dicatat oleh Rijn van ALkemade adalah serangan wabah penyakit, sebagaimana terjadi di Lanskap Kubu, yang mengakibat sejumlah 1000jiwa menjadi korban; diprediksi ini adalah separuh dari populasi disana. Selanjutnya diawal abad ke-20, juga terjadi di Tanah Putih. Lihat Laporan dr.R.M.Pratomo. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan sebagai apa yang dituduhkan Belanda dengan praktek “Mal-administrasi, sehingga sejumlah besar orang Melayu di wilayah Siak eksodus ke semenanjung. 142 Reid, 1979. 143 Dilihat dalam Koloniaal Verslag 1882,kol.14. 144 Dilihat dalam Koloniaal Verslag 1877, kol.12-13.

75 dalam rentang jarak yang sangat jauh dengan Hindia, kemudian berada dalam perjanjian yang sama untuk meningkatkan pengaturan Perjanjian dari 7 Oktober 1863 dan 4 November 1875 beberapa pengaturan lebih lanjut mengenai pajak dan monopoli dari wilayah asli Siak dan beberapa pulau milik Siak, lanskap Tanjung, SiParé Paré dan Pagurawan, untuk akuisisi biaya tahunan - biaya disetujui sebelumnya ƒ40.000.- per tahun dan sebagian besar masih berasal dari pendahulunya - sebesar ƒ51.285.-, ini dibebaskan. Dari f40.000.- per tahun f22.000.- dimaksudkan untuk Sultan sendiri, sedangkan sisanya dari berbagai Kepala dan pejabat di Siak dan Tanjung, Si Pare Pare dan Pagurawan yang akan dibayarkan. Sultan mengambil untuk dirinya dari Datuk suku Pesisir di Batu Bara sejumlah f500.- per tahun selama hidupnya; sebagai bagiannya dari pendapatan di Si Pare Pare. Pada saat yang sama, kontrak kedua ditutup untuk mengambil alih tugas retribusi Tanah Putih, akan tetapi, perjanjian yang dibuat beberapa waktu setelah itu; sehubungan dengan beberapa pernyataan yang dibuat oleh pemerintah, digantikan dengan yang baru. Untuk kompensasi ini diberikan setiap tahunnya sejumlah f7.500.- kontrak akuisisi bea dan pajak yang ditandatangani Belanda dan Sultan Siak beserta Mangkubumi dan Rijksgrooten Tanah Putih 23 Juni 1884, menyebutkan pelaksanaannya pada 1 Januari 1886. Sehubungan dengan perkara itu, dimulai pada tanggal 1 Januari 1886, di Tanah Putih ditempatkan seorang kontrolir untuk melakukan tugas akuisisi pajak itu. Sebelumnya di tahun 1884, oleh Sultan tiga konsesi diberikan untuk penggergajian Siak, w. o. Konsesi Sungai Rawah; dikenal saat itu sebagai "Asosiasi Perdagangan F. Kehding”(Handelsvereniging). Pada tahun 1886, dua konsesi pertanian yang pertama di Siak dikeluarkan, dan cepat saja diikuti oleh yang lain di tahun-tahun berikutnya. Tengkoe Soeloeng Moeda, pada tahun 1891 oleh Sultan ditunjuk sebagai perwakilannya di Sungai Rokan, akan tetapi, pada tahun berikutnya ia kembali ke Siak dan mengajukan pengunduran dirinya; diberitakan bahwa terdapat kehidupan di Tanah Putih yang tidak menyukainya. Lantas, Sultan kemudian meminta salah satu sepupunya menjadi perwakilan untuk Tanah Putih, Bangko dan Kubu; Setelah empat tahun berjalan, diberitakan pula bahwa ia harus dialihkan karena laporan tentang pemerasan(?) yang telah dilakukannya.145 Wilayah dependensi kesultanan ini secara umum kurang digarap oleh para pemodal perkebunan dibandingkan kesultanan lainnya di Pantai Timur. Disini, semula direncanakan dibuka perkebunan-modern sebagaimana hak konsesi atas penggunaan lahan terutama setelah berkantornya seorang kontrolir diawal tahun 1886. Tercatat seperti “Tanah Poetih Plantagien Actien Gesseschaft,” o;ch.Muller, yang memiliki hak konsesi mencapai 6000ha guna pembudidayaan tembakau.146 Kemudian masih dalam jenis perkebunan yang sama adalah “Siak-Kampar Syndicate” dengan bentangan konsesi hingga 10.000ha.147 Akan

145 146 147

Schadee, “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust,” 1919, hal.63. Dilihat dalam Hans Koloniaal verslag, 1890; Dilihat dalam Koloniaal Verslag, 1895.

76 tetapi, ternyata budidaya tembakau di Tanah Putih hasilnya tidaklah seperti yang terjadi di wilayah Sumatra timur laut; Deli Serdang misalnya, hasil yang cukup mengagumkan para pemodal Eropa. Tekstur, ataupun juga kondisi topographi itu menjadi alasannya bagi gagalnya budidaya ini. Bahwa setelah dilakukan uji coba penanaman tembakau yang ternyata mengalami kegagalan, sejumlah perusahaan yang telah berdiri pun akhirnya terpaksa ditinggalkan di tahun 1891/2.148 Adapun karet, nampaknya dipertimbangkan sebagai komoditas yang tetap dibudidayakan. Karet, terutama berhubungan erat dengan industri mobil yang barubaru saja muncul. Asli pohon karet (ficus elastica) telah diupayakan tidak hanya di Jawa Barat, melainkan juga di Sumatra sejak tahun 1864; akan tetapi benar-benar berhasil pada mulai era 1900-an, nampaknya dengan menggunakan karet jenis lain; Hevea Brasiliensis. Karet jenis inilah yang benar-benar berhasil dikembangkan, terutama di Sumatra. Tanaman karet ini mencapai puncak produksinya hingga ditahun 1930, dimana dari areal perkebunan di Hindia, sebesar 44 persen ditanami pohon karet; jumlah total produksinya mencapai hampir separuh produksi di dunia. Depresi besar 1930, membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap industri ini. 149 Kebun-kebun karet ini terletak sekitar 30 Km kearah hulu Rokan, terutama yang dimiliki orang-orang China, mereka dapat mencapai daerah tersebut, terutama dengan kapal motor. Ditepi kanan Rokan, areal perbukitan yang subur sepenuhnya ditanami dengan karet. Sementara di aliran sungai Rokan, hasil produk karet memang tidak sebesar di Pekanbaru, akan tetapi Bagansiapiapi tetap merupakan tempat penting dalam pengiriman produk karet, dan hasil-hasil bumi lainnya. Dapat berkembangnya pengusahaan perkebunan karet di wilayah hulu di Onderafdeeling Bagansiapiapi ini, terutama disebabkan tumbuhan inilah yang tumbuh dengan baik di sini, bukan jenis tanaman produk unggulan seperti di tempat lainnya. Hingga tahun 1938, luas kebun-kebun karet telah mencapai 3000ha, sementara di hulu Rokan mencapai 10.000ha.150 Catatan Bank Bagan Madjoe nampaknya juga menyinggung tentang usaha pengiriman bahan makanan, dan barang-barang lainnya. Sedangkan untuk dua terakhir nampaknya dilakukan dalam kegiatan menghulu di Sungai Rokan. Seperti dari hasil sensus, bahwa sekitar 200-an orang China telah menetap di Tanah Putih. Dalam konteks ini, menghulu adalah suatu kegiatan ekonomi yang biasanya berkaitan dengan sumber daya alam di Hulu sungai, seperti telah disebutkan; panglong, hingga usaha perkebunan; pinang, kopra, nipah, atap-nipah, kulit kayu, dan terutama; perkebunan karet.

148

Sebagaimana seorang Kontrolir mencatat, bahwa pertanian Eropa (tembakau) sia-sia saja diupayakan di Tanah Putih, maka di wilayah Kubu pun telah dibudidayakan, akan tetapi dilaporkan nampaknya ini tidaklah terlalu berhasil; bahwa ternyata kondisi tanah terlalu banyak mengandung air. 149 Ricklefs, 1981, hal.331. 150 Di Pantai Timur Sumatra, pada tahun 1938 itu tercatat mencapai 42.000ha, dan Afdeeling Bengkalis seluas 35.000ha; De Sumatra Post, 25 Mei 1938.”Uitbreiding Rubberareal.”

77

Konsesi Perkebunan Karet di Tanah Putih. 151

Pengupayaan perkebunan karet milik orang-orang China, selain berada di Tanah Putih, juga berada di daerah Pematang Langgadei, Jumrah dan Bangko, akan tetapi untuk tanaman yang lebih muda, ditemui lebih ke arah Bagansiapiapi. Mengacu pada realita itu, tidaklah berlebihan jika Bagansiapiapi dahulu memiliki sebuah pabrik karet, yang letaknya arah ke darat (barat) kota, Rokan Rubber Faktorie; yang barangkali sekaligus merupakan garis demarkasi Kota yang berbasis etnis. Keseluruhan produk karet, terutama dikoordinir di Tanah Putih, dan pengirimannya dilakukan dengan

151

Peta Thematic tahun 1930, Sumber Universiteit Leiden, Dutch Colonial Map No.05888.

78 menggunakan jasa pelayaran KPM dimana orang Cina sebagai agennya. Pengiriman dilakukan terutama ke Singapura dengan harga yang mencapai f0.7 per pikul. Kualitas karet, ditentukan terutama oleh kadar kebasahan/ kering karet; merupakan salah satu potensi unggulan yang juga menjelaskan alasan kehadiran orang China hingga ke hulu Rokan di Tanah Putih. Sebagaimana yang dicatat Baalbergen; bahwa di wilayah hulu yang jauh, dilakukan penanaman pohon karet dimana dalam waktu singkat segera saja menghasilkan kekayaan yang menyebabkan hingga hari ini masih terus disadap, selain karena kurangnya budidaya tanaman lain, budidaya karet masih dianggap sebagai bisnis yang menguntungkan. Sementara di areal pesisir, terhampar kebun kelapa; meskipun harga kopra hingga tahun 1930-an telah turun, namun masih dipandang menguntungkan. Selain itu, komoditas Karet, kopra, dan juga pinang yang masa sebelumnya merupakan produk yang berkembang di kawasan hulu, tidak menutup kemungkinan juga berkembang di pesisir melihat bentangan kebun kelapa itu. Kondisi kawasan Hulu sebagai penghasil karet, Kopra dan Pinang, dapat dilihat sebagai berikut; ekspor kopra, pinang dan karet pada Onderafdeeling Rokan-Streken, Tahun 1924-1930):152 Tahun

1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934

Copra (Kg)

Pinang (Kg)

Karet (Kg)

676.706 820.042 815.038 765.441 1.235.075 1.223.924 1.247.197 1.087.620 1.614.197 1.772.789 824.321

308.947 356.352 383.307 135.598 357.601 357.176 390.722 401.881 502.324 365.018 66.470

807.923 1.721.314 1.709.335 2.018.259 1.688.884 2.156.298 1.888.917 2.268.898 1.198.733 1.845.815 2.343.299

153

Rotan (Kg)

Atap Kadja ng (f)

Nilai EksporImpor (f)

440.761 322.724 554.037 804.755 292.782

f 2.014 f 798 f 848 f 1.148 f 571

f273.696,91 f 222.855,41 f 209.538,52 f134.662,18

Sebagaimana telah disampaikan tentang elastisitas Melayu dalam menghadapi perubahan akibat penetrasi kolonial, meskipun dipedalaman telah mulai dikembangkan perkebunan komersil, sebagaimana masa sebelumnya, masyarakat pribumi Melayu tetap bertahan terlibat dalam upaya pengusahaan hasil hutan; diantaranya adalah pucuk nipah yang digunakan untuk sigaret dan juga produk atap, rotan, kulit tengar (Ceriops Condolleana), bakau (Rhizophora), balam dan suntai, yang produknya dikirimkan hingga ke Deli-Asahan. Terdapat bea sebesar f2.50 dari sejumlah 40 pikul kulit tengar dan kulit bakau. Sayangnya, belum ditemukan catatan

152

Data tahun 1931, 1932, 1933, 1934 dilihat dalam Laporan Boudewijn Van Duuren, Memorie Van Overgave, 30 Agustus 1934 153 Van Duuren, hal.27

79 rinci tentang kulit tengar dan kulit bakau di onderafdeeling Bagansiapiapi, akan tetapi sebagai komoditi khas hutan rawa di pantai timur, dapat dilihat betapa signifikannya produk ini dikalangan masyarakat Melayu. Berikut adalah ekspor hasil hutan mangrove (Kulit Tengar dan Kulit Bakau) ;154 Tahun 1908 1909 1910 1911 1912 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920

Pantai Timur Sumatra (1000 Kg) 4744 3486 2360 1120 4162 5303 5475 6006 6041 2386 643 742 197

Mencermati apa yang disampaikan Tideman, bahwa anak bumi terfokus pada kegiatan; nelayan, perdagangan dan pengumpulan hasil hutan, maka berikut ini, kita akan memusatkan perhatian kita pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan sumber daya muara; pengumpulan hasil hutan. Kontrolir Baalbargen sendiri telah menunjukkan bahwa, di onderafdeeling Bagansiapiapi, selain industri perikanan, juga terdapat apa yang dinamakannya sebagai homeindustri. Ia menunjuk kepada produk “kadjangmatten” (tikar), Atap-nipah, “rotannetten” (jaring terbuat dari rotan) dan pembuatan sampan.155 Pekerjaan ini, pada pembuatan jala rotan dan sampan atau perahu/sampan, mungkin saja tidak dilakukan dalam skala seperti yang diproduksi oleh para tauke di pantai Bagan, akan tetapi untuk tikar kadjang dan atap nipah, terutama yang terakhir, kegunaannya terlihat berkaitan juga dengan booming kegiatan produksi komoditi lainnya di pantai timur Sumatra. Van Heurn dalam kajiannya atas kawasan mangrove di Sumatra Timur Laut,156 telah menunjukkan signifikansi ekonomi dari pepohonan bakau di sepanjang pesisir timur Sumatra, dimana potensi hutan bakau tersebut dapat dilihat dari dua unsur utama pemanfaatannya; batang kayu dan daunnya. Untuk pemanfaatan kayu, maka 154

Dilihat dalam : “Gronden van Het Cultuurgebied van Sumatra’s Oostkust en Hunne Vruchtbaarheid voor Cultuurgewassen,” JH De Bussy, 1922, hal.40. 155 Lihat Baalbargen, 1931, hal.28. 156 Lihat Frans Cornelis Van Heurn, “De Gronden Van Het Cultuurgebied Van Sumatra’s Oostkust en Hunne Vruchtbaarheid Voor Cultuurgewassen,” Juli 1922.

80 pertama-tama adalah fungsi utamanya dalam konsumsi rumah tangga, dan penunjang kegiatan ekonomi sosial; kita berbicara mengenai ruang-waktu dimana bahan bakar masih ditopang oleh ketersediaan kayu bakar, baik rumah tangga maupun sebahagian industry diakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Penggunaannya dalam skala besar untuk memasok kebutuhan sarana transportasi seperti bantalan rel kereta api, mulai dari Sumatra Timur Laut hingga wilayah menuju Aceh. Sementara di wilayah pesisir sendiri, dapat dikatakan seluruh pembangunan menggunakan kayu, terlebih dengan mulai berkembangnya industri perikanan. Di muara Rokan, berbagai laporan menyebutkan bahwa pemasok kebutuhan kayu dari pedalaman terutama untuk pembuatan jermal dan ambai, tidak hanya dilakukan oleh panglong yang dikelola oleh orang-orang China, melainkan juga dilakukan oleh Melayu; sebuah jermal besar membutuhkan kayu besar, ribuan kayu kecil, dan juga rotan, menghabiskan biaya hingga f5000; dan jumlah jermal besar itu mencapai hingga ratusan unit. Jumlah ini diluar alat tangkap lain seperti jermal kecil, bubu, ambai, belat, dan juga ratusan perahu besar –kecil; hamparan pelantaran yang luasnya meliputi sepanjang pantai Bagansiapiapi; bangliau-bangliau, gudang-gudang, toko-kedei, rumah; dan sejumlah keperluan lain. Jumlah kekayaan muara guna pemanfaatan kayunya, jelas merupakan suatu perekonomian yang signifikan bagi pemanfaatan ruang kota Bagansiapiapi. Besarnya nilai perekonomian ini, belum termasuk yang digunakan anak bumi dalam lingkup lanskap, yang tersebar. Bahwa penggunaan kayu yang tentu membutuhkan pemeliharaan, seperti penggantian disebabkan lapuk, kerusakan lain ataupun karena peristiwa kebakaran, menjadi sebuah proses pemanfaatan sumber daya hutan muara yang cukup besar. Adapun pemanfaatan mangrove yang kedua, kita dapat melihat pada dedaunan-nya. Seperti dillaporkan Hijman van Anrooij bahwa populasi lanskap Bangko, terlihat terlibat dalam industri pembuatan rokok yang biasa dikonsumsi dikalangan pribumi; Pucuk Nipah. Sebagaimana telah disampaikan halnya di kawasan Sumatra Timur Laut, anak bumi sungai Rokan turut memasok kebutuhan pucuk nipah hingga ke kawasan Deli. Selain itu, hasil dari dedaunan mangrove lainnya, adalah: atap-nipah. Van Heurn membahasnya secara lebih mendetail tentang apa yang dilihatnya di Sumatra Timur Laut. Bahwa dikatakan kegiatan itu sebagai suatu industri, sebab skala produksi yang dihasilkannya semenjak kehadiran Eropa, melonjak cukup tinggi. Semula, atap-nipah hanya digunakan bagi kebutuhan populasi Melayu sendiri sebagai bahagian atap ataupun dinding rumah, sehingga pembuatannya juga terbatas dan skala kecil. Atap serupa dipedalaman, bahan pembuatannya menggunakan alang-alang, halnya nipah, hanya ditemukan dibahagian pesisir. Akan tetapi, kehadiran secara luas perkebunan tembakau yang ternyata membutuhkan keberadaan atap nipah bagi gudang-gudang tembakau; dikatakan memiliki efek yang lebih baik bagi penjagaan kualitas tembakau, atap nipah memungkinkan tersedianya semacam ventilasi bagi tembakau sebagai sifat porositas-nya; dinding dan atap harus cukup tebal untuk kondisi sehari-hari dimana fluktuasi suhu menjadi serendah mungkin; selanjutnya cukup dekat untuk menjaga dari kabut malam, akan tetapi cukup sejuk dan berpori untuk memberikan

81 penyegaran udara yang cukup bagi keadaan ideal tembakau;157 sehingga tidak terelakkan pemesanan atap nipah secara besar-besaran bagi penunjang perkebunan Eropa itu. Pesatnya penggunaan atap Sumatra Timur Laut, telah mencapai 25 juta keping ditahun 1887, dengan nilai mencapai 8-14 dollar per seribunya. Sementara pada tahun 1871, nilainya sudah mencapai f15 per seribunya. Tidak heran, bahwa terdapat suara-suara di “Deli Plantersvereeniging” untuk memohon bantuan administratif guna pengawasan produksi atap dan mempromosikan penanaman nipah. Kesulitan ini tentu berasal dari sana, bahwa pasokan atap-nipah bervariasi dalam musim yang berbeda. Seperti keluhan pada tahun 1891 terutama di bulan Maret, April dan Mei, di mana kebutuhan besar mendesak dihadapkan dengan rendahnya pasokan, sehingga harga melonjak pada bulan Juni. Angka-angka yang tertera pada 1890 pada bulan Januari dan Februari; lebih dari dua juta atap dibawa dengan sejumlah tongkang dan memiliki harga berkisar 13 hingga 16.5 dollar per seribunya. Pada bulan Maret dan April angka tetap di bawah dua juta, tetapi harga dipertahankan. Pada bulan Mei, jumlah belum jatuh, Namun, harga telah pindah dari 13 ke $ 17,75. Pada bulan Juni dan Juli dibesarkan lagi lebih dari 2 juta atap dan harga telah 17,5 hingga 30 dollar. Agustus dan September memiliki persediaan, Masingmasing sekitar 2 juta unit terhadap harga 12,5 hingga 15 dollar; pada bulan Oktober hingga Desember, ada lebih dari 2 juta per bulan dijual sekitar 13.5 dollar per seribu. Halnya para pemilik kebun, peminat atap-nipah di Bagansiapiapi sebahagian memiliki lebih banyak agen untuk pembelian atap-nipah dan membayar mereka komisi. Hak “pacht”perdagangan hasil ini dikalangan Melayu, dimiliki oleh Sultan dan dijalankan oleh kelompok pedagang yang telah ditunjuk. Sejumlah besar pohon nipah juga tumbuh di di sepanjang muara sungai Kampar sebagaimana disebutkan oleh IJzerman ;158 dan ini memungkinkannya industri atap nipah untuk muncul tumbuh menjadi lebih besar lagi : tanaman nipah dan industri atap pribumi secara bertahap telah berkembang menjadi sangat penting. Sebaliknya, kemandegan produksi atap nipah pada sepuluh tahun sebelumnya, oleh van Heurn dituding sebagai akibat minimnya sumber daya pekerja, kurangnya kewirausahaan pribumi dan pengaruh kebijakan penguasa Melayu. Dikatakan bahwa para kepala dan orang-besar, dalam sifat pemerintahan tradisionalnya telah membatasi populasi pelaku industri untuk bergerak dalam wilayah yang lebih luas. 159

157

Mededeelingen van het Deli Proefstation I (1906— 1907), hal.149, wordt hieromtrent gezegd: „Atapschuren verdienen de voorkeur door hunne poreusheid, die eene voortdurende ventilatie toelaat. De wanden en het dak moeten dik genoeg zijn om de dagelijksche schommelingen der temperatuur zoo laag mogelijk te houden; verder dicht genoeg om de binnendringende nachtlucht van nevel te zuiveren, maar luchtig en poreus genoeg om voldoende luchtverversching mogelijk te maken. 158 Ijzerman, 1895. 159 Van Heurn mengemukakan bahwa itu terkondisikan melalui kekuasaan antar datuk dalam wilayah-wilayah yang berbeda di pantai timur, sebagaimana Hijman van Anrooij, “De grenzen van

82 Tudingan ini pada faktor pertama dan ketiga, mungkin saja ada benarnya, mengingat minimnya populasi Melayu dipesisir timur Sumatra, serta hak dan batas tradisional dikewilayahan yang didominasi oleh klan berbeda, meskipun kepemilikan perdagangan memang ditetapkan oleh Sultan, akan tetapi kawasan sumber daya hutan nipah, merupakan bahagian real dari kekuasaan nyata para datuk disebaran lanskap pesisir. Faktor kedua, tentang ketiadaan jiwa kewirausahaan pribumi? Kondisi ini, persis sebagai tudingan Max Weber atas kebangkitan peradaban yang dikatakannya hanya muncul di Barat, tidak di Timur. 160 Dunia konservatif tradisional anak bumi, dipaksakan untuk beradaptasi dan memenuhi tuntutan kapitalisme kolonial barat hanya dalam rentang dua sampai tiga puluh tahun saja, dan ini tentu, rasa cultural schock tentu tidak hanya melanda kalangan anak bumi saja, melainkan juga orang barat itu sendiri. Tidak terbayangkan stress yang dialami para manajer pekebun modern itu dalam menghadapi hitungan atap-nipah yang tidak sesuai dengan kebutuhan! Atau penggunaan tenaga kerja anggota keluarga secara maksimal dan optimal dalam industri atap-nipah, telah menekan pola kerja yang selama berabadabad telah mereka pahami dan terserap dalam kolektif kekerabatan sebagai pemenuhan kebutuhan sendiri, menjadi pemenuhan kebutuhan untuk orang asing. Dan ini berarti, anak bumi telah nyata memasuki dunia komersil secara signifikan yang semula dari tatanan subsisten saja; atap-nipah, terutama semenjak kedatangan orang China dan Eropa kesana. Hingga ditahun 1920-an, masih lazim digunakan atap nipah dalam “industri modern,” dan tidak terbatas pada kegiatan diperkebunan komersil saja. Penggunaannya juga ditemui dalam keberlangsungan industri perikanan di pesisir, seperti di Bagansiapiapi. Keberadaan bangliau, gudang, toko-kedei dan rumah, hingga sebelum kebakaran besar tahun 1908, umumnya masih menggunakan atap nipah. Seperempat abad semenjak pemantauan Hijman van Anrooij di lanskap Bangko, atap-nipah adalah suatu

de Residentie Sumatra’s Oostkust en van haar samenstellende deelen. Tijdschrift van het Ned. Aardr. Genootschap. Tweede Serie, I (1884), 291. 160 Kapitalisme Belanda, menemukan musuh sejatinya dalam diri tradisionalisme anak bumi; iming-iming peningkatan pesanan yang berarti penambahan penghasian, dalam rasionalitas instrument barat maka anak bumi akan menambah produksinya itu untuk memenuhi pesanan yang berarti peningkatan kekayaan. Sebaliknya, yang terjadi adalah anak bumi akan bekerja tetap dalam skala yang biasa sebagaimana rasionalitas nilai telah mengingatkan; betapa untuk tidak bertanya berapa produk yang harus dikerjakan dalam upaya mencapai penghasilan sebanyak mungkin, melainkan dalam skala waktu yang sama, seberapa banyak yang harus dikerjakan untuk mencapai hasil yang biasanya diperoleh, sinisme ini nampaknya melekat dalam tradisi barat dalam melihat dunia timur.

83 komoditas yang umum diproduksi dikalangan anak bumi. Mungkin saja, saat kedatangan pengamat Eropa itu, industri perikanan belumlah seperti setelah kedatangan Belanda di Bagansiapiapi, sehingga permintaan akan kebutuhan, dipenuhi untuk kebutuhan sentra perkebunan tembakau yang memang telah tumbuh pesat di Sumatra Timur Laut, seperti Deli. Pengiriman, dilakukan dengan junk milik orang China dan kapal-kapal milik pedagang Melayu. Pesatnya industri, berarti tingginya permintaan akan atap-nipah yang terspesialisasikan sebagai produk dari anak bumi. Nilai dari atap-nipah hingga tahun 1920-an, sebagaimana telah dihitung oleh van Heurn, mencapai 7 dollar perseribu-nya. Sementara kebutuhan untuk perkebunan tembakau, bangliau, gudang, kedei, rumah, bahkan kapal dan perahu nelayan, dapat mencapai ratusan ribu hingga jutaan unit, dan ini memerlukan pergantian yang lama dengan atap nipah baru setiap 3-4 tahun sekali. Dengan demikian, dipastikan terdapat hitungan tinggi nilai ekonomi disini, dan dapat dikatakan bahwa, “tidak dapat diabaikan nilai dari industri atap-nipah Melayu pesisir, baik bagi pemasokan kebutuhan sentra perkebunan tembakau di Sumatra Timur Laut, maupun sentra industri perikanan di Bagansiapiapi.” Tentu saja, signifikansi produk atap-nipah berkaitan dengan pekerja yang terserap kedalam industri ini, biasanya terdiri dari anggota keluarga atau kerabat “rumah produksi.” Penggunaan atap nipah, nampaknya mulai berkurang diruang perkotaan Bagansiapiapi pasca kebakaran 1908. Belanda, melakukan penataan ulang kota pasca kebakaran, sehingga tampilan kota lebih modern dan menggantikan atap nipah disebabkan alasan mudah terbakar, dan tampilannya yang terkesan tradisional. Akan tetapi, penggunaannya pada industri sebenarnya belum banyak berubah. Hasil hutan yang dicatat oleh Haga di tahun 1915 sebagai berikut: 161

Hasil Hutan Rotan Pinang Atap-Nipah Kopra Damar Balam - Sunkei

Jumlah 263.000 Kg 261.000 Kg 246.810 potong 143.000 Kg 44.000 Kg 43.000 Kg

Sebahagian hasil hutan itu, sebagaimana dilaporkan Haga, dikirimkan ke Melaka dan Singapura dengan menggunakan tonkang China dan juga jaringan KPM, sebagai hasil 161

Haga, “De Beteekenis Der Visscherij van Bagan Api Api en Hare Toekomst, 1920, hal.240.

84 yang tidak hanya berasal dari onderafdeeling Bagansiapiapi, melainkan juga distrik di pedalaman Rokan. Sebagaimana diketahui, Onderafdeeling Bagansiapiapi yang wilayahnya terdiri dari pesisir dan pedalaman (hulu), maka memiliki konsekuensi logis corak mata pencaharian yang berbeda; terutama mengikuti garis geografis tempat penduduk berada. Di Pesisir, atau muara, maka tidak diragukan lagi penduduk mayoritas adalah nelayan dan pengumpul hasil hutan. Adapun di hulu sungai, maka didominasi oleh pengumpul hasil hutan, peladang dan pekebun. Sebagaimana disampaikan bahwa terdapat juga komunitas China diluar kota Bagansiapiapi: komunitas yang tersebar di subdistrik Bangko, terutama dalam pengusahaan sebagai pekebun ataupun Panglong.

Atap-nipah di pantai timur Sumatra, dilihat dalam laporan van Heurn.

85

Situasi rumah dan pohon kelapa di Bagansiapiapi tahun 1930-40.KITLV

Adapun lanskap Bangko, adalah sebuah desa ditepi sungai yang nampaknya aman, terbebas dari satwa liar seperti halnya Harimau yang banyak terdapat pada saat itu. Untuk Kampong Siak, maka ditemui dengan menelusuri Sungai Rokan mulai dari Sekeladi, Sintong, Sedinginan, Tanah Putih hingga Rantau Bais; dimana ladang dan perkebunan karet terdapat di sekitar lingkungan areal pemukiman penduduk. Selain Tanaman Keras (seperti; Karet, Kelapa, Pinang), maka penduduk setempat melakukan kegiatan penanaman padi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Pertanian padi ladang, seperti lazimnya ditemukan dibahagian lain di Sumatra. Meskipun demikian, kegagalan panen subsistensi yang disebabkan banjir dan arus pasang-surut Sungai Rokan tidak pernah berdampak besar bagi penduduk, terdapat kekuatiran Pemerintah Kolonial tentang produksi yang diasumsikan tidak dapat mencukupi untuk sekitar 16.000 jiwa penduduk China di Bagansiapiapi dan juga penduduk lainnya; yakni penduduk Melayu sejumlah 27.250 jiwa, maka tentu saja impor beras diperlukan; terutama berasal dari lanskap lainnya masih dari kawasan di pantai timur Sumatra. Berbeda dengan Kehidupan di ibukota Onderafdeeling Bagansiapiapi yang didominasi oleh industri perikanan, maka di hulu, orang-orang China dan Belanda berperan sebagai pengurus perkebunan, juga tumbuhnya panglong 162 yang dijalankan terutama oleh orang-orang China; hidup berdampingan dengan kehidupan tradisional masyarakat Melayu. 162

Kontrak politik 25 Oktober 1890 hanya diberikan gouv. Keputusan 27 April1893. Kecuali untuk beberapa perubahan kecil yang di dalamnya membayar suplemen lebih menarik, n.1. pemerintah ditetapkan untuk dirinya sendiri hak untuk memungut beban pada penggergajian (panglong).

86 Bahwa penggergajian tersebut hanya bisa didorong oleh kongsi-kongsi China setidaknya untuk melibatkan 25 orang pekerja, dan juga telah memperoleh izin untuk tujuan ini. hasil temuan tersebut adalah sejumlah f2,25 per pekerja per bulan. Pungutan pajak ini disewakan. Dalam lingkup afdeeling Bengkalis, jumlah panglong pada tahun 1893 mencapai sekitar 70 unit dengan pekerja mencapai 1.600 orang. Penggergajian kayu ini, menghasilkan ribuan ton per tahun, dan bahkan sebagian besar diekspor ke Singapura dan dibawa ke pasar internasional. 163 Mengingat luasnya wilayah Onderafdeeling dan potensi hasil bumi yang dihasilkan, menurut Baalbergen maka pada era kontrolir Haga, direncanakan pembangunan jalan yang diharapkan dapat menghubungan antar sub-distrik, bahkan antar Onderafdeeling. Bahwa perencanaan itu adalah pembangunan jalan di Telok Palas pada areal perkebunan kelapa milik orang China hasil dari “Haga-Weg”(jalan Haga). Juga direncanakan pembangunan jalan sepanjang 139 km dari Bagan melewati Labuhan-Tangga, SungaiSialang, Bantaian, Lenggadai, Teluk-Pulau, Jumerah, Tanah-Putih, Sedinginan (pinggir jalan Sikeladi 20km), Sintong, Siarang-Arang, dengan rute jalan mengikuti alur yang telah ada dari Rantau Binuang terus mengikuti rute pada Onderafdeeling RokanStreken menuju Pasir Pangaraian. Rencana pembangunan jalan ini dapat dipahami, mengingat pembangunan ataupun pengembangan kawasan kolonial berhubungan dengan ketersediaan pengangkutan hasil bumi menuju pelabuhan, untuk selanjutnya dapat dilanjutkan dengan transportasi laut. Akan tetapi, nampaknya rencana rute antar onderafdeeling ini tidak terealisasi. Disebutkan bahwa rute jalan tersebut dibatalkan karena faktor ketidakmampuan Pemerintah Hindia pada saat itu. Kondisi resesi dan biaya yang besar merupakan kendala utama, disamping masih eksisnya transportasi sungai. Begitu pula seperti diuraikan bahwa jalan-jalan penghubung antar desa pada awalnya adalah tanah yang dibiarkan kosong selebar “punggung kuda”. Pembangunan jalan setapak terutama pada tanah bencah, paling tidak saat itu berkemungkinan hanya dapat dilewati oleh angkutan sepeda. Untuk wilayah pedalaman yang memiliki tanah padat dan keras, dilaporkan terdapat alat angkut-transportasi Kuda Beban, seperti yang terdapat di Sidinginan. Alat transportasi kuda ini, bahkan digunakan oleh dokter Pratomo sewaktu melakukan tourney pengobatan masyarakat dipedalaman; kuda yang disediakan oleh pihak kesultanan Siak. Baalbergen mencatat kondisi infrastruktur jalan di Onderafdeeling Bagansiapiapi sebagai berikut: bahwa jalan dari Bagan ke Bantaian di musim kemarau dapat dilalui. Sebaliknya dimusim hujan, jalan penuh Lumpur oleh air hujan ataupun air pasang. Jembatan sebagian besar masih tradisional dan sering hancur karena gelombang Beno (Bono). Jalan Bantaian – Lenggadei kemudian dipadatkan, kondisi ini hanya memungkinkan dilakukan pembangunan hanya dengan cara yang sangat tepat untuk tanah gambut, dan biasanya biaya konstruksi akan sebanding dengan manfaatnya. Dari Lenggadei melintasi pematang menuju Jumrah. 163

Schadee, “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust,” 1919, hal.61.

87 Terusan jalan menuju Teluk Pulau, melalui rawa gambut, akan tetapi dengan dibuatnya parit sepanjang jalan, maka diperoleh hasil kondisi yaitu dari semula tanah rawa berair menjadi tanah yang kering. Jalanan disekitar ibukota Onderafdeeling, terlihat bagus, padat, terutama jalan-jalan yang berhubungan dengan Perkebunan Karet milik orang China, dimana jalan tersebut digunakan untuk kepentingan skala lokal. Situasi pemukiman sebagaimana diterdapat pada peta hingga tahun 1900, menunjukkan bahwa konsentrasi pemukiman pada kampung-kampung di tepian sungai dan menggunakan sungai sebagai transportasi. Berbeda dengan peta pada tahun 1930-1940-an, bahwa mulai dari Bagansiapiapi hingga Jumrah yang berjarak 60km di pedalaman, pola pemukiman menunjukkan bahwa desa-desa dialiran sungai utama juga dihubungan dengan “voedweg” (jalan setapak); suatu periode bahwa wilayah dalam lingkup kewedanaan Bagansiapiapi, diarahkan sebagai sentra-sentra hasil sumber daya yang akan dibawa menuju Bagansiapiapi. Suatu kebijakan rezim kolonial dalam menghimpun surplus dari desa menuju kota. Perkembangan jalur transportasi diwilayah pedalaman yang semula hanya diakukan melalui sungai. Bahwa Belanda adalah pihak yang menfasilitasi ini, dapat dimengerti; sehubungan dengan kepentingannya untuk mengangkut hasil bumi menuju pelabuhan di Bagansiapiapi. Meskipun demikian, keberadaan jalan setapak ini, tidak pernah disebut-sebut pada masa pasca perang; bahkan eksodusnya Melayu yang menghindari “perang Bagan” 1946, tidak dikatakan menggunakan jalan setapak ini: berkemungkinan masa pendudukan Jepang telah melumpuhkannya. 164 Bagaimanapun juga, sebelum kita melihat bagaimana perkembangan kota Bagansiapiapi, pada bahagian berikut, terlebih dahulu ditelusuri industri perikanan terpenting di dunia setelah Norwegia yang diasumsikan menarik kedepan perkembangan-kewedanaan secara keseluruhan. Dan ini juga berarti, bahwa memasuki abad ke-20, orang Melayu yang bermukim di kampung-kampung di sepanjang tepian sungai dan anak sungai Rokan, Belanda telah merancangnya untuk secara gradial “ditarik” guna mendukung pola perekonomian Hindia; Meskipun demikian, nampaknya hingga runtuhnya Hindia Belanda, Melayu tetap bertahan dengan lingkungan pola tradisional, hanya saja lapisan pedagang dari anak bumi pasca perang mulai tumbuh secara perlahan menuju suatu dunia yang merupakan kharakter dari “Laut Melayu”, dunia yang direduksi oleh penjajahan Belanda, suatu alam kosmopolitan yang direngutkan dan didiperoleh kembali dalam periode yang bersamaan antara surutnya industri dan rentannya masa-awal republik; Smokkelhandel di Selat Melaka. Gambar berikut (3.5) menunjukkan bahwa pola pemukiman Melayu dalam sebaran hunian kampung-kampung, tidak saja hanya berlokasi mengikuti alur anak-anak sungai, melainkan juga mengikuti alur jalan

164

Jalan setapak atau jalan tanah, merupakan jalan yang dengan cepat akan ditumbuhi belukar yang menyamarkan kondisinya. Masa 3 tahun pendudukan Jepang dengan ketiadaan kegiatan ekonomi yang berarti, dan ini cukup untuk menumbuhkan belukar sehingga tidak lagi diminati bagi para pelintas.

88 setapak yang menuju ke Bagansiapiapi. Jelas saja, bahwa pengembangan Bagansiapiapi sebagai pelabuhan ikan terpenting di Hindia, disertai juga dengan terbawanya daerah pedesaan kedalamnya. Pada tempat dibukanya perkebunanperkebunan Eropa dan China, maka dipastikan diiringi dengan pembukaan pemukiman bagi pekerja, terutama yang didatangkan dari luar. Seperti pada outlet dipedalaman, tepatnya Tanah Putih yang berjarak 80km, sebagaimana dicatat oleh seorang Belanda yang berkunjung disana, bahwa terdapat pemukiman yang dihuni oleh orang-orang China, dan dikatakannya sebagai miniatur Bagansiapiapi. 165

165

Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 7, 23 May 1923, Edition 007-1923-0008 — Page 123,

89

Sebaran pemukiman dari Bagansiapiapi menuju Labuhan Tangga yang dihubungan dengan jalan setapak.166

166

Graadafdeelingblad van Sumatra’s oostkust No.19/XII, dated 1931.

90

91

4 Kekerabatan dan Kekuasaan Signifikansi Kekerabatan dalam Kehidupan Sosial Dalam perspektif adaptasi, maka yang terpenting adalah melihat bagaimana suatu masyarakat dapat bertahan dan melakukan penyesuaian menyangkut kondisi-kondisi lingkungan fisiknya. Dalam masyarakat pemburu dan peramu sekalipun menunjukkan betapa pentingnya keluarga dalam kelangsungan hidup (survive). Kekerabatan yang ada, dipastikan merupakan bahagian dari sistem yang mengatur kelangsungan dan kebertahanan suatu jejaring sosial; kekerabatan mengatur bagaimana harta didistribusikan melalui sistem pewarisan dan juga, mengatur peranan bagi setiap anggota keluarga kekerabatan. Hal ini berarti, kesinambungan keluarga, merupakan hal mutlak untuk keberlangsungan entitas yang lebih luas; keturunan merupakan hal penting menyangkut kesinambungan generasi yang akan mewarisi tidak saja kepemilikan materi, juga kekerabatan itu sendiri. Kematian anak, atau ketiadaan keturunan, akan menjadi momok menakutkan bagi kalangan orangtua; keterputusan eksistensi mereka dan juga keluarga kekerabatan diatas kehidupan dunia. Dan jika pun memang terjadi hal-seperti itu, maka sebagaimana terjadi pada raja di rantau Kuantan yang tidak memiliki keturunan, menarik “anak” yang berada di Lubuk Ramo perbatasan Jambi yang masih memiliki geneologi kekerabatan sebagai penggantinya. 167 Dalam situasi seperti ini, maka tidak mengherankan bila suatu produk dari hasil kekayaan alam yang memiliki khasiat sebagai ramuan penyubur akan cenderung bernilai tinggi, dan terutama menjadi hak privilege dari penguasa. Selain itu, kondisi demographi sendiri dapat kita lihat dari ketergantungan populasi atas kondisi ekologinya; kegiatan pengumpulan hasil alam yang terbukti hingga abad ke-19, hanya mendukung pertumbuhan populasi yang cukup rendah. Terdapat juga wabah penyakit yang begitu mematikan; laporan penyebaran wabah di lanskap Kubu yang memakan korban hingga 1000 jiwa, dan di Tanah Putih di abad ke-20. Apa yang terjadi di Kubu, menyebabkan populasi hanya tinggal separuhnya.168 Bahkan di dataran tinggi, wabah penyakit yang menyerang dapat menyebabkan korban ribuan jiwa dalam satu bulan saja. Situasi kehidupan yang seringkali berada didalam ketidakpastian, akan menyebabkan begitu pentingnya kekerabatan. Seseorang, bisa meminta tolong pada 167IJzerman,

1895. Rijn van Alkemade, 1885.

168

92 anggota kerabatnya yang lebih kuat atau makmur, atau paling tidak banyaknya anggota kerabat meminimalisir kekuatiran diri akan resistensi lingkungan. Dalam kehidupan yang diselimuti ganasnya rimba dengan hewan pemangsa, maka bentuk keluarga luas menjadi alasan pembenaran bagi terciptanya rasa aman. Sekelompok keluarga besar, akan cenderung lebih siap dalam menghadapi serangan harimau, atau buaya yang seringkali mengintai diperairan. Begitu pula dengan akses terhadap sumber daya, luasnya jejaring kekerabatan akan memudahkan pencapaian akses yang dimiliki alam, pekerjaan akan terselesaikan lebih cepat dan juga mengurangi resiko kegagalan. Hal ini berarti; semakin luas kekerabatan, akan semakin meningkatnya rasa aman bagi setiap individu anggota kekerabatan. Sebaliknya, minimnya jumlah kaum kerabat hanya bisa menggugah perasaan cemas. Bisa saja, seseorang mungkin tidak pernah tahu tiap-tiap orang di keluarganya dalam kekerabatan yang lebih luas, akan tetapi ia harus tetap selalu berada dalam kondisi siap untuk klaim dari segenap kerabatnya. Kerabat, berarti keamanan, karena tentu saja mereka ini bisa dipercaya; wajar, dan yang berada di luar “lingkaran keajaiban” dari kekeluargaan, dianggap berpotensi sebagai ancaman, sebaliknya, rasa percaya diri yang menguat dan optimisme, seringkali sebagai hasil dari perolehan dukungan kerabat. Ditambahkan pula, terdapatnya kisah-kisah menyeramkan tentang bajak laut, pemburu kepala (headhunter), penculik manusia untuk dijadikan budak, dan monster jahat; dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk persaingan antar suku untuk menguasai sumber daya yang sama; lembah-lembah sungai datar dan wilayah yang dapat diakses dari hutan hujan. Individu, secara tidak sengaja berburu atau memancing di luar domain klan mereka, bisa dikenakan hukuman berat jika ditemukan oleh orang-orang yang bisa saja mengklaim sebagai tidak adanya hubungan kerabat dengan dirinya. Dampak dari kondisi ini, maka semakin kuat hubungan antar klan, semakin besar pula kewajiban antara kedua pihak untuk saling memberi dan menerima bantuan. Dapat dikatakan, bahwa ketergantungan dan kepercayaan kepada kerabat dekat, maka didalamnya ditempatkan fungsi yang sedianya diperkuat oleh lingkungan ekonomi. Dalam perladangan berpindah yang menjadi khas daerah-daerah di Sumatra, unit kerja dasar bersifat tidak begitu banyak melibatkan garis keturunan secara keseluruhan, akan tetapi terbatas pada kelompok keluarga kecil orang tua dan anakanak. Dalam bentuk perekonomian seperti ini, sedikit saja diperlukan tingkat kerjasama, berbeda dengan skala besar seperti yang diperlukan dalam pengerjaan sawah (wet culture) di desa-desa Jawa. Bahwa seorang Kubu atau Bangko, akan membutuhkan kerjasama dari keluarganya; isteri dan anak, untuk mengerjakan atapnipah, ataupun memotong rotan; begitupula halnya seorang nelayan yang bekerja dengan istri dan anak-anaknya secara bersama, dan bahkan keluarga ini bisa saja dibawa pada suatu ekspedisi perdagangan. Pada kesempatan tersebut setiap anggota keluarga akan memiliki tugas-tugas tertentu sebagai bagian dari keluarga dengan basis ekonomi, interaksi diperkuat oleh kecenderungan untuk menganggap orang tua dan anak-anak sebagai satu kesatuan. Kesatuan dan kebersamaan yang merupakan berkah, dalam segala situasi yang melahirkan sikap-sikap kebersamaan sebagai sesama anggota keluarga; dalam senang atau susah, dalam suka atau duka, dalam

93 kebahagian ataupun kepedihan, dalam kejayaan ataupun kemunduran. Dengan demikian, Sama hal layaknya sebuah kebersamaan dalam suatu keluarga yang turut serta dalam kesenangan atau perayaan, sebaliknya, mereka pun akan berbagi malu atau hukuman secara bersama. Aib individu, akan menyangkut aib keluarga, bahkan dialami kekerabatan dalam skala yang lebih luas. Mengacu pada pertimbangan lingkungan, sebagaimana telah disampaikan; tidak ramah ini, pada prinsipnya sebagai suatu sikap respon terhadap lingkungannya, maka Melayu cenderung akan meluaskan kekerabatannya; dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap suatu kesetimbangan ekologi dan demographi. Segala kondisi lingkungan ini, diantisipasi dengan perilaku perluasan jejaring kekerabatan. Leonard Andaya mengemukakan bahwa perluasan kekerabatan dikalangan Melayu, terjalin melalui; Perkawinan, hubungan persusuan dan adopsi.169 Hal itu dikatakannya mengacu pada asumsi bahwa genealogi sangat penting dalam masyarakat Melayu-Polinesia disebabkan merupakan determinan pokok dari suksesi dan status kelas. Seleksi tentang dengan siapa akan dilangsungkan perkawinan, bagaimanapun juga, dapat menjadi dasar lainnya atas prinsip keturunan atau aliansi.170 Sebuah analisis pada awal abad ke-17, Raffles, dan pada akhir abad ke-18, Shellabear atas “Sejarah Melayu;” mengungkapkan pergeseran penekanan dari aliansi untuk keturunan,171 yang nampaknya sesuai dengan perubahan politik di dunia Melayu. Dimulai pada akhir abad ke-18, akan tetapi berpuncak pada abad ke-19, pemerintahan kolonial secara perlahan-lahan menekan dunia Melayu. Konflik antara Inggris dan Belanda sebagaimana terefleksi dalam Traktat 1824, membagi dunia Melayu ini berada dibawah pengaruh Inggris dan Belanda. Maka dimulailah proses dimana kedua pemerintah kolonial berusaha untuk menjamin stabilitas di wilayah pemerintahan mereka dengan mengandalkan keluarga-keluarga dengan legitimasi hak untuk memerintah; Legitimasi ditentukan dengan silsilah, dan karena itulah keluarga kerajaan dipaksa untuk melakukan penulisan dan menyalin ulang teks 172 untuk memajukan kasus mereka dengan orang Eropa.173 “Shellabear recension” ditulis dalam kerajaan Bugis-Melayu Riau, sebagai dua teks utama Melayu pada abad ke-19: “Salasilah Melayu Dan Bugis”, dan “Tuhfat al-Nafis.” Pada saat yang sama Minangkabau-Melayu Siak juga masuk dalam kehingaran dengan versi mereka,

169

Andaya, 2008. Bowen, “Cultural Models,” hal.164. 171 Bowen, “Cultural Models,” hal.173. 172 Andaya memandang bahwa dalam dunia Melayu, penyalinan kembali teks dilakukan dengan “improvisasi” mengacu pada realita sosial dan politik. Ini seringkali berakkibat in the expunging Dan memasukkan informasi guna mendukung klaim geneologi dari kekuasaan keluarga. 173 Schulte Nordholt menggambarkan situasi di Bali pada pertengahan abad ke-19 ketika Belanda menyuburkan konflik sebagai akibat persaingan antar faksi; dan beberapa keluarga menulis ulang sejarah (babad) untuk menguatkan posisi otoritas mereka di pulau Bali. Schulte Nordholt, Spell of Power, 1; Schulte Nordholt, “Origin”, hal.54–5. 170

94 peristiwa yang dikenal hari ini sebagai “Hikayat Siak”.174 Dalam situasi inilah dilakukan penulisan atau re-diedit “Sejarah “ Melayu yang menekankan keturunan dan asal terkenal (asal) dalam menceritakan silsilah kerajaan mereka. Sementara posisi penguasa dengan keturunan unggul adalah bagian penting dari pemerintahan Melayu, bahkan lebih penting lagi adalah aliansi jaringan kekerabatan yang merupakan dunia politik itu sendiri. Jaringan tersebut difasilitasi oleh praktek menelusuri garis melalui keduanya; laki-laki dan perempuan, Sehingga hampir tak terelakkan bahwa akan terjadi tumpang tindih kerabat di "tepinya." Seperti dalam model pemerintahan mandala, "pinggiran" adalah situs kontestasi antara keluarga. Bahwa perluasan kekerabatan ini, memiliki serta potensi konflik di tepinya: yang secara alami menyentuh satu sama lain dan dapat mengatur friksi.175 Lebih jauh dikemukakan; Untuk meminimalkan konflik tersebut, mungkin saja terdapat kecenderungan untuk "re-enter" anggota periferi atau sepupu ketiga dengan menikahi mereka. Dalam pencarian acak "pupu" (kelas, derajat hubungan) hubungan terdaftar hanya sejauh Tiga pupu; hal ini tampaknya menjadi batas paling umum langsung ego "keluarga," dan karena itu menjadi keharusan untuk menikahi sepupu ketiga untuk mencegah mereka meninggalkan keluarga dan menjadi orang luar. Tetapi masing-masing individu dalam unit keluarga inti tersebut akan memiliki jaringan kerabatnya sendiri, berkontribusi terhadap proliferasi jaringan kekerabatan. Penekanan pada prinsip aliansi dalam pernikahan antara Melayu sebelum abad kesembilan belas membantu untuk memperpanjang keluarga. Karena pentingnya jaringan keluarga, cara lain yang bekerja selain pernikahan untuk memperluas keanggotaan. Salah satu cara yang paling umum adalah melalui silsilah fiktif untuk memasukkan tokoh sejarah yang kuat sebagai nenek moyang. Seperti nenek moyang fiktif tidak hanya memenuhi fungsi yang berguna sebagai pembawa budaya, tetapi juga memungkinkan keluarga ambisius untuk melegitimasi klaim mereka atas bagian dari sumber daya politik atau ekonomi yang dikendalikan oleh nenek moyang tertentu langsung ke kelompok kerabat.176 Alasan utama berlangsungnya pernikahan, adalah kelahiran anak-anak. Selain sebagai penerus kekerabatan, dan ternyata terdapat alasan bernilai tinggi untuk memiliki anak-perempuan. Perempuan memainkan penting bagian dalam pemeliharaan garis keturunan, selain tanggungjawab penjagaan simbolisasi kesepakatan yang dicapai oleh nenek moyang mengenai batas-batas wilayah. Kita tidak dapat mengatakan bahwa hal ini terjadi hanya pada daerah yang berada dibawah pengaruh Minangkabau bahwa garis keturunan dan warisan melewati garis perempuan; seperti di Semendo, bahwa putri sulung, selain menjadi ahli waris, juga bertanggung jawab untuk

174

Andaya, “Bugis Diaspora, Identity.” Brown, Malay Sayings, 126; Andaya, hal.74. 176 Situasi peran tertentu dari kekuasaan moyang merupakan suatu phenomena umum. Lihat Andaya, To Live as Brothers, ch. 6; Andaya, Heritage of Arung Palakka. Andaya, hal.74. 175

95 mengawasi upacara terhubung dengan kuburan leluhur. Para anak perempuan, merekalah yang akan merawat orang tua atau mertua di usia uzur mereka, kondisi yang lebih diinginkan daripada anak laki-laki, bahkan terdapat kekerabatan yang meyakni bahwa ini sekaligus pertanda hadirnya bantuan khusus dari nenek moyang. Disepanjang peradaban Melayu dari Palembang dan Jambi, terdapat kisah-kisah betapa elite penguasa menginginkan kelahiran anak perempuan. Sebaliknya, laki-laki; tentu saja, sering meninggalkan keluarga mereka ketika terlibat dalam pelayaran perdagangan ataupun untuk pergi berperang, akan tetapi tetap kondisi itu dipandang sebagai suatu kemalangan; berpisahnya dari keluarga untuk jangka waktu yang sangat lama; Rokan pada masa Melaka, yang diketahui merupakan salah satu pemasok bagi kebutuhan tentara Melaka; merupakan contoh dekat bagaimana lelaki dikalangan Rokan meninggalkan keluarganya untuk rentang waktu yang panjang. Selain itu, utusan yang tidak ingin melakukan sebuah perjalanan yang mahal ke negeri jauh atau juga perjalanan menghulu dan menghilir; tentu berupaya memaafkan diri mereka sendiri dengan mengatakan bahwa mereka tidak ingin “pergi begitu jauh dari istri dan keluarga.” Sampai batas yang tentu jauh lebih besar daripada laki-laki, perempuan akan menghabiskan seluruh hidupnya dikelilingi oleh kerabat dekat. Dengan begitu, tidak terlalu mengherankan jika dipesisir Rokan terdapat kisah tentang dua pulau(Halang Besar dan Kecil) yang terkait dengan perginya sang anak laki-laki ke perantauan; meninggalkan orang tua mereka.177 Di muara sungai terdapat dua buah Pulau, yakni pulau Lalang (Halang)Besar dan Pulau Lalang (Halang)Kecil, yang terakhir berada di Muara Sungai Kubu. Terdapat legenda tentang asal-usul pulau-pulau tersebut. Sebelumnya di muara Sungai Rokan tinggal seorang laki-laki dan perempuan yang menemukan diri mereka dalam keadaan yang sangat membutuhkan dan hidup dari sedekah yang diberikan oleh orang yang lewat disitu. Mereka memiliki seorang putra bernama “Lalang”(atau Halang), yang pergi merantau untuk melakukan kegiatan perniagaan di tempat lain. Setelah mengumpulkan banyak harta ia menikah dengan seorang wanita dari kelas atas, dan suatu saat dia memutuskan untuk kembali ke bekas rumah kampung halamannya dulu. Di muara sungai Rokan, dia berlabuh dengan kapal besar dan kecil, di mana ia menemukan orangtuanya, tapi ia tidak mengenalkan mereka kepada istrinya karena dia malu dengan asal kelahirannya yang rendah. Setelah sang orang tua mengenali anaknya, mereka berupaya keras untuk mencapai anak mereka, namun mereka (sang anak), bergerak meninggalkan ayah dan ibu dengan sampan, dimana sang putra mereka disertai oleh banyak pengikut.. Tak lama setelah itu kapal tenggelam berikut dengan sampan kecil yang dihubungkan dengan tali ke kapal yang lebih besar. Kapal besar menjadi pulau Halang besar, dan perahu kecil menjadi Pulau Halang Kecil, dan tali yang

177

Sebagaimana dicatat Rijn van Alkemade, 1884. Lihat juga Wan Saleh Tamin, 1972.

96 menghubungkan dua perahu itu, merupakan beting178, yang sekarang ditemukan antara kedua pulau tersebut. Orang tua Lalang berubah menjadi dua pokok (kayu), satu condong ke darat, lainnya condong kearah ke laut. Kemudian cara lain untuk memperluas kelompok kekerabatan adalah melalui hubungan menyusui, atau “susu ibu.” Kepercayaan pada kekuatan susu juga ditangkap dalam Salasilah Melayu dan Bugis, di mana air susu Engku Raja Fatimah digambarkan sebagai begitu kuatnya, bahwa seorang anak yang diasuhnya akan memperoleh keberuntungan khusus (Bertuah).179 Ikatan kedekatan antara ibu susu dan anak, dibuat jelas dalam sebuah episode Hikayat Hang Tuah. Ketika fitnah menyebabkan penguasa Melaka menghalau Hang Tuah, ia pun melarikan diri ke Indrapura. Untuk mendapatkan kembali budi penguasa, Hang Tuah mencoba untuk meyakinkan Tun Teja, putri penguasa Indrapura, untuk menjadi pengatin dari penguasa Melaka. Karena itu ia berhasil diadopsi oleh ibu susu Tun Teja sebagai cara terbaik untuk mendapatkan akses istimewa ke keluarga. 180 Bahwa dalam dunia Melayu, orang luar dapat dimasukkan ke dalam keluarga melalui hubungan menyusui. Obligasi yang diciptakan melalui ASI, sangat meningkatkan kesempatan untuk membuat unit kekerabatan menjadi lebih besar dan efektif. Seorang anak memberikan keluarga dengan kesempatan untuk memajukan keberuntungannya; sehingga akhirnya menikah atau ia dengan kelompok kerabat lain. Hubungan persusuan, di sisi lain, dapat menjangkau kelompok yang lebih besar dari keluarga melalui praktek "mengundang" para perempuan berkeluarga yang berguna untuk berbagi dalam keperawatan anak. Praktek kekerabatan bilateral dan Islam membuat setiap anak sangat berharga di kalangan orang Melayu. Melalui hubungan darah atau persusuan, baik laki-laki dan anak perempuan bisa memberikan dua sumber yang berbeda dari perekrutan untuk kelompok kekerabatan. Hubungan saudara yang timbul antara orang-orang yang telah menyusui pada ibu yang sama dianggap menjadi sekuat orang-orang dari saudara sedarah.181 Praktek ini diasumsikan memberikan kontribusi terhadap penguatan kelompok kekerabatan, meski ditemui seringkalinya tumpang tindih jaringan kerabat disebabkan populasi relatif yang terbatas dikalangan Melayu. Cara terakhir dalam memperluas kekerabatan, adalah adopsi (Mengangkat anak); digunakan untuk memasukkan orang luar ke dalam keluarga, meski cara ini sering dianggap mengaburkan batas-batas kekerabatan. Kisah adopsi yang paling menonjol adalah yang melibatkan Raja Kecil; mengaku sebagai anak mantan penguasa Johor

178

Disebut juga beting, semacam timbunan(endapan) pasir atau Lumpur yang mengendap di laut dan menghubungkan kedua pulau. 179 Mohd. Yusof, Salasilah Melayu dan Bugis, 120, line 16. 180 Kassim, Hikayat Hang Tuah, 170–1. 181 Dalam berbicara tentang saudara angkatnya (yaitu, "saudara sepersusuan") Aziz, kaisar Mughal Akbar (1542-1605) dianggap telah mengatakan, "Antara aku dan Aziz adalah sungai susu yang aku tidak bisa menyeberanginya, dalam Lai, “Settled,” 14–9; Andaya, 75-6.

97 dibunuh oleh bangsawan di tahun 1699.182 Menurut versi Melayu, Raja Kecil dibawa sebagai seorang pemuda ke kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, di mana ia diadopsi oleh Putri Jamilan, ibu dari penguasa Pagaruyung. Ia adalah orang luar, Keturunan yang diduga keluarga kerajaan Johor, tetapi melalui adopsi ia menjadi Minangkabau penuh dan bahkan menikmati hak istimewa menjalani sistem kerajaan Minangkabau. Ini adalah penyerapan Raja Kecil ke dalam keluarga kerajaan Minangkabau yang menyediakan kunci penting untuk kemampuannya membangkitkan dukungan di kalangan Minangkabau di rantau timur (Daerah yang ditetapkan oleh Minangkabau diluar tempat asalnya di dataran tinggi Sumatera bagian tengah). Kualitas khusus Raja Kecil yang ditekankan oleh Putri Jamilan saat upacara pengukuhannya. Contohcontoh yang dikutip di atas menyorot fitur tertentu dalam praktek adopsi di dunia Melayu. Pertama-tama, adopsi terjadi tidak pada saat lahir, tetapi di kemudian hari ketika karakter individu telah ditentukan. Kedua, orang tua angkat merupakan elit masyarakat Melayu, dan ketiga, individu yang diadopsi merupakan orang luar yang penggabungan akan bermanfaat bagi kelompok. Melalui penerapan kelompok tidak hanya meningkatkan keanggotaannya tetapi juga manfaat dari infus darah segar dan bakat. Relasi persaudaraan yang ditetapkan melalui hubungan darah, hubungan per susuan, atau pun juga adopsi; membentuk inti dan obligasi terkuat dalam kelompok kekerabatan; saudara dikatakan saling mengasihi sejak usia dini, dalam sakit dan sehat, bahagia dan kesusahan, akan membantu satu sama lain dalam masa-masa sulit tanpa keraguan sedikitpun.183 Hubungan yang lebih jauh hingga sepupu level ketiga (tiga pupu) mungkin disini tidak dapat dinikmati kedalaman yang sama dari loyalitas dan pengabdian sebagai saudara kandung, akan tetapi mereka tetap dalam posisi dihormati sebagai anggota keluarga. Contohnya, ketika penguasa Rokan di pantai timur Sumatera mengunjungi Melaka, ia "diperlakukan dengan perbedaan besar" karena istrinya adalah saudara penguasa Melaka. Hatta Raja Rekan pun datang mengadap ke Melaka, maka sangat dipermulia oleh Sultan Muhammad Syah, kerana Raja Perempuan itu saudara sepupu kepada Raja Rekan. Adapun Raja Rekan itu anak Sultan Sidi, saudara Sultan Sujak. Apabila Raja Rekan akan masuk mengadap, orang menitir gendang ria, sekalian orang berkampung. Itulah maka diperbuat orang pantun: Gendang ria dapat berbunyi, Raja Rekan masuk mengadap Orang kaya apa disembunyi

182

Andaya, Kingdom of Johor; Barnard, Raja Kecil. Bahwa even ini disebutkan baik dalam catatan Belanda sebagaimana dalam Hikayat Siak, Salasilah Melayu dan Bugis, dan juga Tuhfat al-Nafis. 183 Kedalaman hubungan ini ditangkap di Salasilah Melayu dan Bugis, yang berbicara tentang hubungan yang sangat dekat antara lima bersaudara Bugis, terutama bertanggung jawab untuk membangun kehadiran Bugis di dunia Melayu pada abad kedelapan belas. Menurut Salasilah, ditulis oleh keturunan Bugis bersaudara ini, Mohd. Yusof, Salasilah Malayu dan Bugis, 229, line 33.

98 Dendam sahaya dapat berdapat. 184 Kekerabatan, juga menyangkut keuntungan dalam suatu transaksi perdagangan dan bisnis, sebab, kepercayaan yang lebih besar ditempatkan pada anggota keluarga daripada dengan orang luar, sehingga mendorong pedagang asing untuk mencari isteri dari warga lokal. Melalui pengaturan tersebut, saudagar memperoleh kepercayaan dari masyarakat dan agen permanen untuk memfasilitasi pertukaran barangbarang.185 Selain itu, keuntungan selanjutnya dari menjadi bagian dari sebuah keluarga adalah pemahaman bahwa setiap hutang dapat dibagi dan diwariskan oleh norma kekerabatan(kinfolk); 186 seperti yang terjadi di lanskap Rokan dimana hutang atau kesalahan anak laki-laki akan dibayarkan oleh pihak anak perempuannya. 187 Area ini, dipandang sebagai sebab mengapa Raja Alam cenderung untuk tidak begitu mempedulikan Belanda mengenai hutangnya.188 Cara yang bervariasi di mana pembicaraan lebih banyak lagi tentang kelompok kekerabatan dapat diperluas, maka diskusi akan lebih banyak lagi ditemui berkisar tentang pentingnya "keluarga" dalam efektifitas fungsi organisasi dan masyarakat. Dalam dunia Melayu dan tempat lain pada era pra-kolonial di Asia Tenggara, kelompok kekerabatan membentuk blok bangunan utama pemerintahan (negara). Hal itu merupakan pergeseran aliansi antara kelompok-kelompok kekerabatan yang menyumbang volatilitas dan paradoks kekuatan politik. Yang terkuat adalah pihak yang paling sukses dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan menata ulang aliansi kekerabatan. Raja Kecil merupakan contoh nyata sebagaimana ia memperluas kekuasaan politiknya direntang paruh pertama abad ke-18 melalui aliansi kekerabatan dengan sebaran entitas disepanjang pantai timur, gugusan pulau-pulau, diantaranya melalui hubungan pernikahan.189 Dalam dunia Melayu, arena fluks terbesar adalah berada pada margin, di mana individu disajikan dengan sejumlah pilihan karena tumpang tindih kelompok kerabat yang ditetapkan melalui hubungan darah, persusuan, dan adopsi. Melaka, mirip dengan Sriwijaya yang memiliki hubungan ketergantungan pada jaringan keluarga sebagai dasar dari pemerintahan Melayu. Meskipun sumber-sumber Sriwijaya tidak mengungkapkan bagaimana obligasi tersebut ditempa, dokumen Melayu dari Semenanjung Malaya memberikan bukti yang kuat dari perluasan dan perkuatan hubungan keluarga untuk memapankan kekuasaan mereka melalui 184

A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-99;B-99. Foreest and Booy, De Vierde Schipvaert, vol. 1, 225; Hamilton, A New Account, vol. 2, 28, 96. 186 Andaya, “Orality, Contracts,” hal.25. 187 Wan Saleh Tamin, hal.70. 188 Betapa Belanda mengikuti Raja Alam hingga ke Sungai Pelam untuk “menagih” hutang; lihat Netscher, 1871. 189 Barnard, dalam Multiple centre of Authority: Society and Environment in Siak and East Sumatra, 1674–1827. Leiden: KITLV Press, 2003. 185

99 praktek hubungan pernikahan, persusuan, dan adopsi. Fitur besar budaya ini adalah kemampuan mereka untuk secara progresif memperbesar lingkaran kerabat dekat mereka, kemampuan tercermin dalam terminologi kekerabatan yang dapat dengan mudah diterapkan untuk kerabat dekat atau jauh, dan sama sebagai tanda penghormatan atau kasih sayang. Akan tetapi, bentuk-bentuk perluasan kekerabatan, seperti adopsi dapat mengaburkan hubungan antara anggota keluarga, diduga terdapat ambivalensi terhadap praktek adopsi tersebut. Adopsi bisa saja mengangkat kedua prospek yang memperluas batas-batas kelompok, tetapi juga sekaligus menjadi “momok” konflik akibat tumpang tindih keluarga di tepi silsilah. Meskipun demikian, jika ketakutan lebih bersifat nyata daripada kebaikannya, tentu saja adopsi sudah lama ditinggalkan. Idealnya, hubungan paling dekat satu sama lainnya adalah yang terjadi dikalangan saudara kandung, kemudian antar saudara-kerabat. Meskipun masih terdapat sebuah hirarki lebih tua dan lebih muda, rumus sekelompok saudara-tiga, lima, tujuh, atau sembilan yang tidak hanya berbagi petualangan tapi saling mendukung lainnya dalam kesulitan muncul berulang kali dalam legenda. Ikatan "persaudaraan" ini, paling sering dipanggil antara teman-teman yang terikat bersama-sama oleh asosiasi panjang dan kepentingan bersama daripada oleh ikatan darah. Dengan tidak adanya kerabat, hubungan tersebut dapat memberikan bantuan yang biasanya diperoleh dari kerabat. Meskipun demikian, tanpa ikatan hubungan keluarga, persaudaraan semacam ini dapat dipertahankan hanya jika kewajiban bersama secara cermat tertunaikan. Contoh yang dekat adalah petualangan Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir dan Hang Kasturi. 190 Namun motif persaudaraan seringkali juga digambarkan sebagai salah satu sisi gelap dalam hubungan manusia, hubungan yang tidak hanya dihiasi dengan kasih sayang dan dukungan, tetapi juga dengan kecemburuan, kebencian, dan bahkan pembunuhan antar saudara. Dalam kehidupan sehari-hari, emosi yang sama dimainkan dalam kehidupan nenek moyang, juga bisa memporak-porandakan sulaman hubungan keluarga yang idealnya adalah suatu kedamaian. Ternyata, ditemui bahwa sesama saudara seringkali terjadi pertengkaran. Bahwa pertikaian antara anak-anak Raja Kecil; antara Raja Alam sang sulung dengan adiknya, Raja Mohamad mewarnai kekisruhan tahta generasi kedua dari dinasti Siak; dan “Syair Perang Siak” menggambarkan dengan jelas situasi ini.191 Tiada berapa lama antara Tiadalah mufakatnya dengan saudara Hampirlah negeri huru hara Hendak menanggung duka sengsara Dengan saudara tidak mufakat

190

Seperti dalam Hikayat Hang Tuah. Syair Perang Siak, a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay Royal Family in exile, edited and translated by Donald J Goudie; MBRS 1989, Kuala Lumpur, Malaysia, hal.96-100; dilihat dalam Tenas Efendi, Catatan Singkat Tentang: Peranan SAYID OSMAN STAHABUDDIN di Kerajaan Siak Sri Indrapura; 24 Oktober 1993, hal.3-4. 191

100 Masing-masing dengan hakikat Sebab kebesara tiada serikatt Kurang pendapat laksana sikat Sudahlah takdir khaalikulbahri Alamat susah isi negeri Segaa hulubalang dengan menteri Gundahnya tidak lagi terperi Mendirikan kubu sebelah menyebelah Orang negeri sudah berbelah Sudahlah dengan takdir Allah Tidak mencari benar dan salah Banyak orang berhati pilu Seorang dihilir seorang dihulu Banyaklah kena sudah berlalu Sebelah menyeblah menjadi malu Berperang itu sama senegeri Gundahlah hati segala menteri Heran memandang tidak berperi Karena berkelahi sama sendiri Yang keempat suku tidak bersatu Baginda melihat berhati mutu Remuk redam tidak bertentu Laksana kaca jatuh kebatu Demikianlah konon khabarnya Gerang Mufakat tak dapat, lalu berperang Didalam itu serang menyerang Ada yang lebih ada yang kurang Baginda pun tahu lalulah murka Merah padam warna muka Haram sekali tidak disangka Akan menjadi malapetaka Datang titah duli baginda Menyuruh memanggil paduka anakanda Pergilah menteri anum berida, Tuanku dipersilakan paduka ayahanda Datang menghadap paduka anakanda Serta dengan adinda dan kakanda Lalu bertitah paduka baginda “Apa diperkelahikan dengan saudara muda?”

101 Betapa kronik Siak dalam pandangan Belanda, penuh dengan catatan konflik antar saudara;192 Pertentangan Raja Ismail dan Mohamad Ali, hingga terusirnya Sultan Yahya oleh Said Ali. Bahkan, aneksasi Belanda atas Siak pada tahun 1858, didahului oleh meruncingnya pertikaian Sultan Ismail dengan Tengku Putra. Akan tetapi, pertikaian tidak terbatas pada sesama saudara saja, persengkataan dalam keluarga juga dapat terjadi antara ayah dan anak; bisa saja hubungan berubah menjadi sebuah persaingan keji; Tun Talanai, penguasa legendaris Jambi, telah membiarkan anaknya sendiri terkunci dalam peti dan membuangnya ke laut karena kekhawatiran bahwa sang anak mungkin saja suatu hari akan merebut takhta; atau juga kemarahan sang penguasa Labuhan Papan di hulu Sungai Rokan sehingga membunuh anak-anak dan isterinya, tanpa terlebih dahulu secara cermat melihat apa yang telah diyakini keluarganya itu.193 Sang ayah atau Ibu, mungkin saja dapat bersikap berat sebelah; mendukung anak yang satu ketimbang anak yang lain, sikap pilih kasih, atau juga, loyalitas perempuan pun sering terpecah diantara suami mereka dan lingkungan kerabatnya sendiri. Bahwa isteri dari Raja Kecil; Tengku Kamariyah, terombangambing dalam lingkaran konflik antara suaminya dan saudaranya; Sultan Sulaiman. 194 Di balik persepsi hubungan kekerabatan sebagai bentuk interaksi sosial, adalah kesadaran bahwa mereka selalu tunduk pada gangguan. Karena kecaman atas ketidakpantasan bisa begitu luas dan dampaknya pun begitu jauh ke depan; salah satuny adalah perbuatan asusila, mungkin saja merupakan ancaman terdalam untuk kerukunan tatanan kekerabatan. Nilai normatif tentu terbentuk untuk mengantisipasi ancaman dan pemeliharaan kedamaian; maka memata-matai perempuan yang terbuka aurat misalnya, dianggap sebagai penghinaan besar dan merupakan pelanggaran; lainnya adalah mengintai keberadaannya di luar rumah seperti sedang mandi di sungai, diam-diam menonton gerakan provokatif tubuh saat ia beraktifitas, atau bahkan mencoba untuk berada didekatnya yang bukan muhrim, atau mengandung nilai-nilai yang tidak patut. Hal itu tidak hanya menodai kehormatan perempuan, akan tetapi juga berarti penghinaan terhadap keluarganya, saudara lakilakinya akan terikat untuk membalas dendam; dan itu juga diyakini bahwa mencemoohkan kebiasaan seksual yang halal, lazim dan ideal merupakan tantangan bagi hal-hal yang sangat kosmos. Keyakinan bahwa konsekuensi dari kejahatan seksual seperti perzinahan dan hubungan “sumbang” bisa menjadi bencana bagi keseluruhan kekerabatan; dijelaskan dari tingkat beratnya hukuman yang diterapkan. Pada abad ke-13, deskripsi Cina tentang Palembang berkomentar bahwa perzinahan adalah satu-satunya kejahatan yang layak dikenakan hukuman mati, dan bahkan komentar senada masih menggema hingga ratusan tahun kemudian. Di abad ke-19, alasan umum untuk menjelaskan rasa malu dari suku kubu di Jambi adalah bahwa nenek moyang mereka yang berlindung di hutan, dikucilkan karena perilaku hubungan sumbang. Atau seperti yang terjadi dengan kelompok petualang Raja Ismail, dimana 192

Seperti yang dikisahkan oleh Netscher dalam “De Nederlanders in Djohor en Siak”, Wan Saleh Tamin, 1972. hal.29-34. 194 Lihat dalam Netscher, 1871. 193

102 perilaku yang dilakukan seorang kerabatnya dijatuhi hukuman berat; 195 sementara di hulu sungai Rokan dikenal legenda “anak raja jatuh.” 196 Prinsip yang melekat untuk sikap-sikap budaya adalah asumsi bahwa semua anggota masyarakat, mulai dari kelahiran terendah sampai tertinggi, harus sadar akan bahaya yang melekat dalam hubungan laki-laki-perempuan. Betapa masyarakat dengan serangkaian legenda yang dimilikinya, menerapkan nilai normatif bahwa tidak peduli ia seorang raja atau hamba, sama-sama akan menerima sebuah pembalasan atas tindakan yang tidak bermoral. Dengan demikian Tun Talanai, yang menyingkirkan anaknya sendiri, menerima hukuman karena ketika sang pemuda kembali dengan balatentara Siam untuk menghancurkan Jambi; sementara Aria Damar membunuh dirinya sendiri karena tidak menghormati istri orang lain; Perpatih nan Sebatang, pahlawan Minangkabau yang memainkan peran penting dalam banyak legenda dari pedalaman Jambi, melarikan diri karena malu ketika ia menemukan ia tanpa disadarinya terlibat dengan adiknya yang lama hilang; Puteri Pinang Masak.197 Bahwa sebagaimana diketahui, dalam budaya yang bahkan bisa menghukum mati seorang putri karena perbuatan perzinahan, pembicaraan mencolok tentang amoralitas kerajaan akan memiliki makna lebih mendalam ketimbang hanya skandal semata. Dengan demikian, rumor “mengkhianati” bukan hanya mengenai rasa ketidakpuasan dengan perilaku seorang penguasa, akan tetapi ketakutan mendalam tentang bahaya bencana yang akan menimpa bagi seluruh masyarakat, sebagai akibat perilaku penguasa. Menurut Barbara Andaya, pandangan bahwa standar yang mengatur kehidupan manusia biasa dan perempuan, harus sama diberlakukannya terhadap para penguasa, memiliki dampak penting bagi hubungan antar negara.198 Pernikahan antara keluarga tinggi selalu menjadi letak dasar diplomasi, dan kelalaian yang dirasakan sebagai kewajiban yang telah didikte oleh norma kekerabatan bisa menjadi pemicu krisis antara kerajaan dengan mengasingkan seluruh garis keturunan kerajaan; pada tahun 1616 misalnya, kerajaan Jambi dan Indragiri berada pada istilah miskin karena penguasa Jambi telah menyisihkan istrinya Indragiri-nya. Berulang kali di tahun-tahun yang diikuti, hikayat ataupun sumber VOC memberikan contoh buruk tentang aksi satu kerajaan terhadap lainnya; dan satu lagi karena beberapa penghinaan hampir selalu melibatkan perempuan. Salah satunya yang sarat emosi misalnya menyangkut penolakan pewaris Jambi untuk mengakhiri hubungan dengan mantan budak gadis Bugis, dan selanjutnya bertunangan dengan putri raja Palembang. Bertahun-tahun kemudian kenangan penghinaan ini muncul dalam sumpah Sultan Palembang, bahwa ia akan "membasmi" semua klan kerajaan Jambi. 195

Barnard, Timothy P.,“Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, First Edition, 2004. 196 Wan Saleh Tamin, hal.22-25. 197 de Kock, "Legenden van Djambi," pp. 36-41; "Piagam atau sejarab Marga Air Hitam," fo. 4; Westenenk, "Rentjong-schrift," p. 104; VOC 1498 Palembangto Batavia, 22Jan. 1691, fo. 147v.; Barbara Andaya, hal.28-9. 198 Barbara Andaya, hal.28-9.

103 Kewajiban bagi raja menghormati komitmen keluarga mereka dimaksudkan bahwa pergeseran dalam hubungan kekerabatan antara keluarga kerajaan, dapat menjadi sangat signifikan dalam peristiwa diplomatik. Dan Eropa, segera menyadari situasi ini; bahwa seperti kejadian seorang putri yang diabaikan, tidak dapat dianggap hanya sebagai gosip sepele, karena mereka bisa jadi membawa perubahan besar dalam aliansi regional. Peristiwa tidak jadinya Tengku Tengah dipersunting oleh Raja Kecil, menyebabkan bergesernya aliansi kubu Johor kepada petualang Bugis yang pada babak berikutnya berakibat tersingkirnya Raja Kecil dari Johor dan Riau;199 sementara itu di hulu sungai Rokan, ancaman terhadap keberlangsungan hubungan cinta antara Hitam Manih dengan putri di kerajaan Tanjung Bunga, menyebabkan peperangan. 200

Raja dan Hamba: Pusat dan Dependensi Dalam tatanan feodal, Raja adalah personifikasi dari kerajaan, sementara hamba adalah tiang kerajaan. Di luar kerajaän, mungkin mereka bukanlah apa-apa, akan tetapi sebaliknya, kerajaan tidak bisa eksis tanpa mereka. Terdapat bahagian dari hamba, yang menyebut dirinya dengan “tiang kerajaän,” dan mereka sadar untuk menjaga dengan cukup baik posisi independennya, setidaknya untuk lebih baik, Sementara di sisi lainnya, terdapat elemen hamba sebagai subyek langsung dari sang pangeran. Hamba, yang bernaung dibawah kedatuan, di Siak, sebagaimana yang terdapat pada “Anak IV Suku”201 dan lainnya sebagai langsung dibawah sultan; anak raja, hamba raja dan rayat raja. Pengamat Eropa, mencatat terjadinya perbedaan perlakuan terhadap kedua kategori itu. Jika dikelompok pertama, maka sang datuk cenderung berperan sebagai pelindung dengan posisinya; sebaliknya, ditempat kedua peran datuk tidak sekuat seperti dalam Anak IV Suku.202 Sultan, memiliki kewenangan untuk langsung mengatur kehidupan hingga di level anak buah dari kepala suku; dimana jika terjadi pertentangan antara anak buah dengan sang kepala, maka sultan dapat menempatkan anak buah itu ke tempat lain dan kepala suku tidak memiliki kewenangan lagi untuk melakukan pengerahan kerja terhadapnya, sebagaimana berikut: Dan djikalau anak boeah kepala soekoe sekalian mana2 djoeapoen bersalahan pikiran dengan kepala soekoenja, terang dilihat olëh Seri Padoeka Soeltan kepala soekoenja itoe hendak mentjarikan djalan kesoesahan diatas anak boeahnja, maka sebab itoe bolêh anak boeahnja, jang bersalahan pikiran itoe 199

Netscher, Hoofdstuk III, hal.47-66 Koba Hitam Manih, Tradisi Lisan Suku Bonai, 2014. 201 Anak IV Suku; Suku Pesisir, suku Limapuluh, Suku Tanah Datar dan Suku Kampar. 202 Pengamat atau komentator, sering mengaitkan kondisi itu pada masa invasi Raja Kecil ke Johor 1718, dimana Raja Kecil dibantu oleh sepasukan Minangkabau dapat menaklukkan Johor. 200

104 keloear dari kepala soekoenja, masoek ianja mendjadi orang Radja, tiada bolëh di kerah oleh kepala soekoenja lagi. 203 Anak IV Suku, keturunan Said, Syarief, Syekh dan bangsa raja dari tempat lain, tidak diperkenankan berada dalam kelangsungan kerja kerah ditempat semenda-nya, hanya Sultan-lah yang dapat melakukan perintah itu.204 Sebagaimana diketahui, tatanan feodal menempatkan Raja sebagai pemilik negeri/tanah, sehingga, melekat dalam kekuasaan raja apa yang dinamakan sebagai sistem serah dan sistem kerah. 205 Di satu sisi, penguasa adalah orang dengan kepemilikan harta-kekayaan yang sunguhsungguh besar, sumber segala kesaktian dan keramat, kemampuan yang besar dan luasnya kemurahan hati; sementara di sisi lain, ia bisa saja menjadi serakah, penuh dendam, sewenang-wenang dan tidak adil. Kontradiksi yang bisa saja merupakan kharakter khas individu. Sifat-sifat alamiah ini, terefleksikan dalam kehidupan terutama dalam lingkup kewenangan yang dimilikinya, menyangkut pada lingkaranlingkaran diluar diri mulai dari yang terdekat hingga terjauh. Seberapa besar porsi sikap ini ditunjukkan sang raja, akan mengikuti latar dan kepentingan yang tidak sama pula. Kategorisasi hamba, merupakan bentuk nyata dari konvergesi sikap-sikap alamiah tadi, dan ini tidak terbatas disini saja, melainkan meliputi pula areal kewilayahan kekuasaan yang meliputi bahagian asli(pusat) dan dependensi, atau juga, wilayah kekuasaan atas bahagian hulunya. Legenda dan dokumentasi Eropa menunjukkan, bahwa dalam era pra-kolonial, meskipun kekuasaan khusus dikaitkan dengan mereka, otoritas sebenarnya dari penguasa pusat seringkali minim, terutama terhadap hulu atau wilayah dependensinya. Sriwijaya, dengan kekuasaan yang begitu luasnya, kita tidak dapat membayangkan bagaimana pusat mampu mengekang dependensi yang letaknya begitu jauh, meliputi kawasan hutan-hutan lebat, lautan ganas dengan sejumlah besar pulau-pulau kecil sebagai tempat bersembunyi para pembangkang. Dengan demikian, sebagaimana telah disampaikan, sang raja sebagai pusat kesaktian dan kekuatan, akan menempatkan kutukan bagi para pengkhianat kerajaan yang dibakukan dalam prasasti-prasasti. Begitu pula Pagaruyung, patung yang menggambarkan kekuasaan supranatural merupakan alat efektif dalam memelihara kewibawaan dan kekuasaan berlandaskan kharisma; dan yang terakhir 203

Sebagaimana terdapat pada pasal 13, Bab keduapuluh satu, Baboelkawaid, hal.130. Pasal 14, Bab Keduapuluh satu, Baboelkawaid, hal.131. Bahwa dimaksudkan seseorang dari kelompok yang dimaksudkan itu, melakukan ikatan kekerabatan melalui perkawinan dengan salah satu suku, dan kepala suku tidak dapat mengikutsertakannya dalam kerja kerah kecuali Sultan yang memerintahkannya. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlaku bagi “Orang Dagang;” sebagai orang yang lahir diluar wilayah Siak dan dependensinya, maka ia akan disertakan kerja kerah dimana ia bersemenda. 205 Sistem Serah berasal dari anggapan bahwa pemilik tanah disuatu negeri adalah raja, dan tanah juga dapat diberikan kepada pembesar tertentu; maka, sang hamba yang melakukan pengambilan hasil tanah/hutan, akan menjualnya kepada pembesar dengan harga yang ditetapkan; Sistem Kerah, merupakan kewajiban bagi hamba untuk melaksanakan kerja seperti pembangunan jembatan, gedung, atau sarana lain, yang diatur secara berkala. 204

105 ini, benar-benar merupakan unsur kekuasaan yang merekatkan bagi kewilayahan kekuasaan Raja Kecil di abad ke-18.

De Sultan Van Siak met rijksgroten in de afdeeling Bengkalis, Oostkust Van Sumatra, 1888, Koleksi Tropen Museum.

Bentukan kekuasaan politi yang menghimpun kekuasaan yang sangat luas ini, tentu pula ditopang oleh sebaran politi-politi dalam wilayah taklukan pusat, yang menegakkan supremasi berdasarkan kesetiaannya terhadap pusat. Konsekuensi logis, maka kekuasaan pusat, semakin jauh akan semakin berkurang, semakin memasuki wilayah arbitrer diwilayah tepi yang berbatasan dengan politi kompetitor. Ketegangan akan menjadi situasi yang umum terjadi, seperti Siak dengan Aceh, atau Siak dengan hulu sungai Rokan. Situasi varian politi penuh kompetisi ini, dengan baik dimanfaatkan penjajah, bahwa kehadiran mereka disana juga merupakan pertanda bagi berubahnya hubungan antar politi. Belanda, mememiliki alasan bahwa ketika akan menemui “raja,” seorang putra mahkota (biasanya disebut Raja Muda), dan sejumlah kerabat kerajaan, bangsawan, dan para pengikut, Belanda mengeluhkan situasi dimana efektifitas Raja menjadi sangat terbatas dimata Eropa, dimana begitu banyak Raja akan menyebabkan banyaknya permintaan ini-itu dan ini dianggap tidak efektif bagi ekspansi kolonial. Raja pusat, bisa saja menandatangani suatu perjanjian dengan Belanda, akan tetapi, sebaran raja-raja belum tentu merupakan suatu alur pemahaman yang sama dengan sang pusat. Kondisi ini disebabkan meskipun secara umum, penguasa pusat mengklaim sebagai penguasa atasan yang samar-samar atas

106 dependensi dan jarang melanggar kehidupan hambanya yang secara geografis begitu jauh darinya, penguasa perwakilannya bisa saja menggunakan kesempatan untuk kepentingan sepihak tanpa persetujuan penguasa pusat. Kondisi ini diantaranya disebabkan di daerah pinggiran (dependensi), pengaruh yang lebih besar sering bersumber dari individu-individu yang menjadi anggota “jauh” dari garis keturunan kerajaan dan yang leluhurnya telah memilih untuk tinggal di sepanjang sungai telah ditugaskan sebagai tanah lungguh. Mereka dan keturunannya tampaknya hadir bukan sebagai wakil raja, melainkan sebagaimana penguasa pada diri mereka sendiri. Para ahli sering melihat periode masuknya kolonialis Eropa diiringi dengan penguatan atas satu kerajaan (kerajaan induk), dan melemahkan yang lain untuk mematuhi mutlak kerajaan induk. Perilaku ini, digambarkan sebagai bentuk ketidaktahuan Eropa atas kharakter negeri jajahannya, sekaligus juga dampak keserakahan imperialis yang ingin secara mudah saja mengatur negeri-negeri yang tersebar dalam suatu wilayah yang begitu luasnya. Tidak banyak informasi, bagaimana kenegerian di hilir sungai Rokan mengatur dirinya sendiri, terutama pada periode sebelum tibanya Belanda yang mengatur ulang pemerintahan tradisional itu melalui perjanjian tahun 1858. Berbagai laporan yang dicatat para penjelajah disana, terutama setelah negeri-negeri itu ditransformasi melalui perjanjian versi barat; bahwa dalam konteks barat, kerajaan induk sebagai pusat, dan negeri dependensi sebagai pheripheri. Dan ini cukup untuk memberikan gambaran betapa sebuah pusat menerapkan kekuasaannya diwilayah tepian, yang barangkali jauh dari gambaran sebagai “negeri naungan” dalam masa kejayaan Melaka; sebagaimana hubungan antara Melaka dan Rokan. Dan anehnya, Belanda, sebagai tokoh yang menjadi “pembelok” arah evolusi negeri-negeri di pesisir Rokan, merasa tidak siap dengan apa yang telah dimulainya disana. Untuk melihat persoalan bagaimana kekuasaan negara pusat diselenggarakan di pheripheri itu, kita menuju lanskap Tanah Putih. Bahwa pendapatan Sultan Siak yang berasal dari Tanah Putih, pertama diserahkan kepada adik perempuannya; Tengku Maklugsun, yang menikah dengan Tengku Kelana dari Pelalawan, dan kemudian setelah kematiannya, beralih kepada saudaranya, Mangkubumi dari Siak. Yang kedua, sebagai kompensasi atas pengambilalihan pulau Bengkalis oleh Sultan kepada Pemerintah Belanda dengan kesepakatan; bahwa sejumlah $400 per tahunnya akan dibayar kepada Datuk Tanah Putih. Akan tetapi, Hijman van Anrooij dalam catatannya mengatakan bahwa dokumen tersebut yang pastinya dicatat oleh Mangkubumi, ternyata dipalsukan, bahwa bagi Mangkubumi, perolehan dari Tanah Putih dianggap sebagai perdikan turun-temurun. Kondisi itu, menyebabkan hal yang terdapat pada akte tersebut, bagi Belanda nampaknya semua harus ditolak. Hijman van Anrooij melukiskannya sebagai berikut:206 bagi orang dengan pengetahuan yang lebih luas, maka orang tersebut dapat memastikan bahwa hak pendapatan Mangkubumi berasal dari catatan yang dipalsukan, dimana isinya tidak konsisten dengan adat, bahwa tidak ada 206

Hijman van Anrooij, hal.377-9

107 pangeran Melayu memiliki hak untuk otoritas sendiri atas sebahagian negerinya kepada pihak ketiga – siapa pun mereka yang mungkin untuk memberikannya. Sementara itu, Mangkubumi tidak luput, sekarang dan kemudian begitu baik untuk berperilaku sebagai pangeran berdaulat dari Tanah Putih, oleh Sultan, bahkan terhadap larangan-nya, untuk memberhentikan atau menunjuk kepala, dan untuk mengatur orang-orang pada kedudukannya, tanpa Sultan terlibat di dalamnya. Sultan, bagaimanapun, tidak pernah memiliki keberanian untuk bertindak atas penyalahgunaan kekuasaan ini. Akan tetapi, memasuki tahun 1879, sikap tidak senang Hindia semakin menguat, dinyatakan oleh Belanda bahwa Mangkubumi dengan sikap arogan-nya telah membuat plakat: sebuah segel Sultan dan juga dirinya sendiri, serta menetapkan sanksi berat bagi setiap pelanggaran bagi masing-masing kepala di Tanah Putih, Kubu dan Bangko. Dan untuk menentukan apakah akan menerima satu janji tunduk, tetapi sebaliknya, Mangkubumi mengabaikan apa yang bisa dilakukan, Ia dikatakan semacam memperoleh suatu kekebalan atas apa yang dikerjakannya dihadapan pandangan Sultan. Semakin bersemangat, pengamat Eropa itu menambahkan dengan pertanyaan serupa ini, seberapa jauhkah kesewenang-wenangan yang dilakukan Mangkubumi? menurut redaksi dari “acte van aanstelling” (riwayat pengangkatan), pada tanggal 8 Dzoelhidjah 1294, terhadap Bimbang dan Badu, Mangkubumi mengangkat mereka sebagai kepala suku Batu Hampar dan Mesa, dan mereka ditunjuk di tempat yang sah sebagai hak dari Sultan: dimana sebelumnya sultan tidak pernah memecat para kepala tersebut. Berarti, terjadi pemecatan kepala sebelumnya, tidak pernah dilakukan sultan. Lebih jauh dalam catatan menunjukkan bahwa, “tidak terdapatnya peran dari Sultan Siak, dan bahkan tempat bagi sultan untuk menentukan. Apa yang penting disini bahwa yang tidak dapat diputuskan di Tanah Putih maka akan diadili bukan oleh Karapatan di Siak, atau hakim yang berwenang, Melainkan oleh Mangkubumi pribadi!” 207 “Absolutely power, absolutely corrupt.” Jika ia memiliki kekuasaan tak terbatas atas Tanah Putih, maka tentu saja akan ada tindakan-tindakan yang tidak memerlukan pertimbangan lainnya. Mangkubumi memiliki alasan, bahwa berdasarkan penggalan editorial yang tertera bahwa Tanah Putih menyerahkan kepemilikan penuh; dan menurut Belanda, bukan tidak mungkin bahwa seseorang telah melakukan ini secara tidak wajar, setelah bagian itu dibuat sedemikian rupa, secara eksplisit dinyatakan diantaranya terdapat kata-kata "Sampei-anak-tjoetjoenjda" sebagai satu keturunan, hingga semua quaesties berikutnya, baginya, dan tidak ada penghambat untuk pelaksanaannya. Situasi inilah yang dikatakan Belanda sebagai praktek-praktek yang telah menimbulkan kekacauan di Tanah Putih, yang tidak dapat dikesampingkan adalah bahwa hal ini ternyata relevan dalam posisinya saat itu secara politik sebagai

207

Hijman van Anrooij, hal.396

108 wilayah dependensi.208 Tentang lanskap Kubu dan Bangko, juga terdapat suatu kebijakan Sultan yang tercantum dalam akte, dimana dikatakan bahwa lanskap ini juga dibawah pengaruh Mangkubumi, meskipun demikian, di bawah persyaratan dimana setengah dari pendapatan harus dibayarkan kepada Sultan, sementara separuh lainnya akan diserahkan untuk Mangkubumi. Akan tetapi, Keabsahan dokumen tersebut seluruhnya ditolak oleh Sultan. Elemen kunci dalam pelaksanaan kewenangan dalam komunitas dalam suatu negeri dependensi adalah tidak adanya paksaan atau bahkan ketiadaan ancaman kekerasan; akan tetapi, tradisi dan sikap masyarakat wilayah pheripheri pada akhirnya akan disesuaikan dengan keinginan dari “saudara tua.” Kondisi itu, sebagaimana terdapat ungkapan yang dapat menjelaskan kedudukan Tanah Putih, Kubu dan Bangko dihadapan kerajaan pusat sebagai berikut: “Berimam ka ampat soekoe, bertoewan katoewan Sultan Siak,” Ungkapan diatas yang berarti bahwa mereka berada dibawah datuk empat suku (di Siak), Sultan Siak sampai kepada bangsawannya. Ketika Datuk dari tiga lanskap di hilir Rokan berkunjung ke Siak, maka terlebih dahulu mereka selalu menemui datuk di sana, untuk membahas urusannya dengan mereka. Kewajiban penduduk terhadap sultan Siak yang memiliki lanskap seperti terdapat dalam seluruh kerajaan, sebagaimana yang bernama “Larangan Raja” yang memuat produk seperti; gading gajah, Rhino, guliga , atau cula, di sini mereka mengatakan, tidak pernah ditemukan komoditi tersebut. Sultan mungkin memiliki nilai pada 4/5 bahagian. Selain itu, populasi menurut adat juga dikenakan apa yang disebut sebagai “bunga padi” yang dikerahkan sebagai pajak atas padi tanaman 1 sumpil (sekitar 1 Gantang)beras. Selain itu, orang-orang dari Tanah Putih, Bangko dan Kubu, juga memiliki kewajiban atas pemanggilan terhadap mereka untuk datang ke Siak, dan terlibat dalam pekerjaan mendirikan benteng, jasa pemeliharaan, membuat jalan, selokan dan pekerjaan lainnya. Untuk pembangunan istana baru Sultan Siak, penduduk lanskap harus memberikan sebesar f5 per rumah tangga, sebagai salah satu bentuk kontribusi moneter terhadap kerajaan. Sayangnya, sebagaimana dampak yang dikuatirkan terhadap kebijakan itu, dikatakan dalam laporan van Anrooij, bahwa Masyarakat di Tanah Putih, Bangko dan Kubu umumnya menjadi tidak sejahtera, bahkan dilaporkan umumnya populasi dari Tanah Putih hidup sangat bersahaja. Pandangan bahwa raja sebagai kepala keturunan, memiliki efek signifikan pada asumsi mengenai hubungan antara penguasa dan hamba. Terhadap hambanya, tentu tugas utama raja adalah untuk bertindak, seperti orang tua dan seperti kepala desa, sebagai sumber nasihat dan terutama sebagai mediator dalam perselisihan. Di kampung (desa) pertengkaran tersebut mungkin berkisar dari isu-isu serius seperti zinah sampai hal-hal yang lebih biasa seperti di mana padi dapat menyebar di bawah sinar matahari sampai kering dan jauh dari penjelajahan menjengkelkan dari ayam tetangga. Demikian pula, seorang raja juga diharapkan dapat memberikan kebijaksanaan yang akan mendinginkan 208

Hijman van Anrooij, hal.397

109 semua pihak-pihak yang bersengketa. Tradisi yang berlaku di lanskap pesisir, bahwa keterlibatan Sultan hanya ketika pihak berwenang setempat telah gagal untuk mencapai suatu solusi, dan tidak mungkin untuk mencapai kompromi, dan kasus itu perlu untuk meminta bantuan kepada otoritas yang lebih tinggi. Di hilir sungai Rokan, maka penyelesaian dibawa ke kerapatan dengan otoritas empat datuk; terlebih ketika Belanda telah ikut sebagai “Saudara Tua” dari Siak, maka dipastikan jalannya penyelenggaraan ketertiban mengikuti kehendak penjajah. Terbitnya Baboe’l Kawaid, sedikit banyaknya menunjukkan kepentingan Belanda dalam birokratisasi penyelesaian permasalahan mengenai hamba-hamba(rakyat) sultan. Pada era sebelumnya, pada banyak kesempatan Belanda menyebutkan kepergian perwakilan penguasa untuk menyelesaikan perselisihan, seperti pada perkara pembunuhan; begitu pentingnya yang dirasakan penjajah untuk masuk dalam berbagai persoalan, meskipun pada akhirnya ruang zelfbestuur menunjukkan bahwa Belanda sebenarnya juga tidak sepenuhnya paham atas persoalan-persoalan tradisional negeri jajahannya. Untuk itu, “Banding” bisa menjadi sangat penting dalam menyelesaikan sengketa karena suatu keputusan yang dianggap tidak adil, dapat dituntut kembali bagi perolehan kompensasi memadai. Secara teoritis, misalnya, pada perihal pembunuhan maka diperlukan kepada kerabat pelaku menyerahkan anggota keluarga sebagai pengganti, akan tetapi penguasa bisa mengkondisikan kompensasi dalam bentuk uang atau bentuk “wang bangun” –yang dibayarkan sebagai gantinya. Dikatakan di Bangko, bahwa hak bea 10 persen atas pancong alas diberikan kepada Daëng Puwarih, untuk menyelesaikan utang darah sebesar $1000(?), yang sebelumnya dikenakan pada rakyat Tanah Putih; atas pembunuhan yang dilakukan terhadap Daëng Basok, relatif jauh dari Daëng Puwarih, dan ini nampaknya tidak pernah dibayar. Sebaliknya, informasi yang diperoleh dari SIak, ini tidaklah akan benar, karena jelas saja kontrak Bangko tidak untuk membayar utang darah Tanah Putih yang terletak lebih ke hulu, sementara Daeng Puwarih berada di Bangko ketika Daëng Basok tewas. Tentu saja, Sultan dalam pelaksanaan keputusan, harus menggunakan persuasi dan konsultasi, dan bukan paksaan. Otoritas Kerajaan, seperti itu dari sesepuh kekerabatan, harus bergantung bukan pada hukuman fisik tetapi pada hubungan timbal balik dan saling kewajiban. Idealnya, raja harus memperlakukan rakyatnya seperti kaum kerabat. Berkaitan dengan itu, tentu kita dapat mengingat bagaimana Raja Kecil yang menghimpun pasukannya, tidak hanya berdasarkan plakat dari Raja Pagaruyung, melainkan berdasarkan kapabilitas personal; kemampuan yang muncul dari kharismatik yang dimilikinya, sehingga orang-orang menjadi pengikut yang berada dibawah kekuasaan dan mengikuti apa yang diperintahkannya. Seperti sebentuk lembaga sesepuh “Orang Besar” yang merupakan dasar dari pemerintahan desa, bisa saja pada suatu kesempatan didominasi oleh individu tunggal, terutama di masa krisis. Untuk mencapai dan mempertahankan posisi ini orang tersebut jelas memerlukan untuk memiliki kemampuan luar biasa yang akan memperoleh ketaatan dari rekan-rekan mereka. Bukanlah hal yang aneh jika kisah heroik seorang pemimpin, juga ditopang kecerdikan ataupun kemampuan supranatural. Raja Kecil, memasukkan kayu kedalam air asin dan berubah menjadi tawar dalam upaya menunjukkan bahwa

110 ia adalah sebenar-benarnya keturunan Raja Mahmud: Sultan Johor yang dibunuh tahun 1699. Atau juga Sultan dari Jawa yang dipercaya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan penguasa gaib dari pantai Selatan; dan tokoh yang menurunkan raja-raja Jawa sendiri adalah orang biasa yang kebetulan minum air kelapa dimana ada suara gaib, bahwa yang meminum air kelapa tersebut dalam sekali alur, akan menurunkan raja-raja Jawa. Ilham, ataupun sebagai dianggap wahyu, akan dapat diperoleh sesiapa pun hamba yang terpilih untuk melakukan peralihan kekuasaan istana. Hal ini berarti, bahwa selalu terdapat kemungkinan untuk menjadi raja bagi siapa saja; kalangan orang biasa, terlebih lagi dalam statusnya sebagai anakanak raja yang bukan ditetapkan statusnya sebagai pewaris tahta. Sebagaimana terdapat dalam kisah-kisah intrik dikalangan istana, maka keberadaan paman, ipar, ataupun perempuan istana, membuat kondisi menjadi lebih rumit. Seringkali kedudukan raja junior, menghasilkan ketidakstabilan sebagaimana ditunjukkan antara Tengku Putra sebagai Raja Muda dengan Sultan Ismail, sebagai Sultan. Kebingungan ini, mengkondisikan sultan Ismail jauh dari sultan sebenarnya, ia tidak berkuasa sebagaimana seharusnya; hingga ia akhirnya dijatuhkan oleh Kerapatan yang disetujui Belanda. Halnya Tengku Putra, dipertahankan sebagai Raja Muda, hingga akhirnya persoalan ketidaksepahaman dengan Belanda dan juga Sultan, mengakhiri jabatan tidak hanya atas dirinya, melainkan juga jabatan Raja Muda itu untuk selamanya. Dalam praktek, apapun kondisinya, sang penguasa haruslah terus-menerus menampilkan keunggulan diri atas kompetitornya. Misalnya saja ia menunjukkan kemampuannya untuk menahan sakit atau peragaan ilmu magis belaka. Penguasa sama bisa menarik kekuatan dari hubungannya dengan lainnya tempat kekuasaan penuh seperti gunung suci, lembah datar, rawa dipesisir Sumatera bahkan bukit kecil melambangkan energi yang sangat besar yang melekat di bumi. Bukit Siguntang di Sumatra Selatan adalah contoh bagaimana kisah awal mula raja-raja Melayu bermula, sekaligus menunjukkan kaitannya dengan dunia Semenanjung. Selain itu, komoditi yang termasuk dalam l”Larangan Raja” dapat diklaim bahwa berbagai item-bezoar batu, cincin, dan khusus pakaian-dipercaya untuk mewujudkan kemampuan supranatural. Senjata selalu dipamerkan dalam penghormatan khusus, dan orang-orang penguasa sendiri, mampu membuat barangbarang seperti yang dilihat, seperti pandai besi, sebagai orang tenaga yang cukup besar. Dan juga secara arti sebenarnya, senjata sebagai alat untuk berperang, akan memiliki nilai lebih ketika benar-benar digunakan untuk mengalahkan musuh; seperti salah satu datuk di Siak yang dengan bangga menunjukkan keris yang masih terdapat bercak darah orang Belanda yang dibunuh buyutnya dalam peristiwa Pulau Guntung. Senjata, juga memiliki fungsi supranatural yang dapat menjadi kekuatan bagi pemegangnya, pedang Sapuryaba yang dianugerahkan Penguasa Pagaruyung kepada Raja kecil, telah digunakan dalam peristiwa hingar bingar di Johor pada bulan Maret 1718. Salah satu hal mendasar dalam mempertahankan kekuasaan, adalah kemampuan untuk meminta dukungan kerabat; ini bisa menjamin penguasa pada kelanggengan kekuasaannya, ini berarti, hilangnya setiap anggota dari klan kerajaan

111 merupakan suatu keprihatinan besar. Setelah kematian, tidak ada urusan kerajaan dilakukan, sedekah dibagikan, dan raja berkabung secara terbuka di kuburan, kadangkadang selama berminggu-minggu. Sebagaimana di hulu sungai Rokan, pada saat wafatnya sang raja, maka seluruh orang harus mengetahui berita ini, utusan pun dikirim kepada penguasa Kepenuhan, Rambah dan Kunto, dan ini juga mengenai pengenaan “toedoeng moeka.” 209 Ukuran utama keberhasilan seorang raja adalah jumlah pengikutnya, Belanda sendiri mengatakan, "Orang-orang tertarik ke arah orang yang paling berkuasa, disukai oleh karena keberuntungannya. Di daerah dependensi ini, nampaknya jumlah penduduknya hingga menjelang akhir abad ke-19 sangat rendah, kondisi yang berlaku umum di Siak, sumber daya manusia adalah sesuatu yang paling berharga. Nampaknya, lebih mudah bagi hamba untuk menemukan seorang tuan daripada seorang tuan menemukan hambanya yang setia. "Tanpa pengikut, seorang raja tidak memiliki prestise atau kekuasaan. "Jika tidak ada rakyat," dalam Kisah Melayu ataupun Hikayat, "siapa yang akan membuat penghormatan kepada raja?" Sebagaimana dicatat oleh Rijn van Alkemade di Rantau Binuwang: Bandahara dan Orang Besar lainnya dari sang pangeran, orang-orang dikumupulkan dalam Balei, dimana Raja ditempatkan pada satu kain berwarna kuning… , dan tulisan-tulisan dari Siri dibaca oleh salah satu dari para Imam. Kemudian bandahara kepada orang-orang (sakalian orang dan orang dagang di mana mana negri) diumumkan Soetan Dzènal sebagai Yang dipertoewan besar, oleh orang diikrarkan tiga kali “Daulat Toewankoe”.. Jelaslah bahwa acara ini bagi masyarakat menyambut sang Raja. Pemimpin heroik yang melegenda selalu dibedakan oleh kemampuannya untuk mempertahankan pengikut, sehingga dapat dikatakan loyalitas pengikut tidak akan mengkondisikan kekerasan terhadap sang raja; apatah lagi pembunuhan terhadap raja; hampir-hampir perilaku ini tidak dikenal; di Jambi Belanda mengatakan bahwa orang-orang bahkan tidak akan menggunakan kekuatan terhadap raja, apalagi terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap dirinya. Perbuatan kekerasan terhadap raja, merupakan perbuatan “derhaka” yang sangat tercela. Sama halnya dengan perbuatan sumbang yang merusak kedamaian, perbuatan “derhaka” terhadap penguasa, dianggap akan mengalami akibat yang sangat berat. Pembunuhan Sultan Mahmud tahun 1699, menjadi alasan pembenaran bagi sebahagian kalangan Johor untuk membalas peristiwa pembunuhan tersebut dengan membelot mendukung Raja Kecil. Dari keseluruhan rangkaian kisah ini, maka dapat dipastikan bahwa sebelum kedatangan Eropa, terdapat jurang perbedaan yang besar antara konsepsi barat dan Melayu dalam hal hubungan penguasa politik dan hubungan dengan hambanya. Seperti yang berlaku di Sriwijaya, kekuatan memaksa lebih kepada ancaman atau kutukan dari sumpah yang tertera di prasasti, merupakan metode ampuh untuk membingkai luasnya wilayah mandala-mandala. Begitu pula raja-raja Melayu pewaris 209

Rijn van Alkemade, hal.38

112 Sriwijaya. Ketika kekerasan digunakan, maka sang hamba, akan dengan mudah beralih kepada tuan baru, atau ia eksodus meninggalkan tuannya kedaerah lain yang lebih permisif dan kompromis bagi dirinya. 210 Bahwa penting untuk memahami sepenuhnya implikasi dari fakta bahwa raja-raja Melayu di Sumatera kekurangan kekuatan memaksa sebagaimana rekan-rekan mereka di belahan benua Eropa. Penguasa ini hanya tidak bisa mempertahankan posisi mereka di dependensi sematamata atau bahkan terutama melalui kekuatan. Meskipun keuntungan mungkin saja adalah hasil dari kerjasama antara dependensi dan pusat yang nampaknya masihlah jauh, ikatan yang dikembangkan tidak berarti tak terelakkan. Masyarakat dependensi nampaknya melihat penerimaan raja pusat jauh sebagai bersyarat, dan mereka menjadi "hamba" hanya sejauh mereka setuju untuk menganggapnya sebagai tuan mereka. Begitu penetrasi ekonomi kolonial dimulai, para pemodal asing datang membawa harapan akan sumber daya, penguasa tradisional di hulu bisa saja segera bersiap untuk terlibat meskipun dengan penggunaan senjata. Kekerasan yang terjadi antara Kota Intan di hulu sungai Rokan dan Siak adalah contoh betapa penetrasi modal kolonial telah merubah hubungan tradisional antar politi Melayu. 211 Bahwa raja pusat, bersiap dalam upaya pengetatan sumber daya kekayaan mereka, dipusat atau dependensi, bahkan diwilayah-wilayah pedalaman. Sementara itu, Eropa sudah jauh melompat dalam rentang kemajuan peradaban; mereka telah menggenggam dunia dalam tangannya. Lompatan ilmu pengetahuan memungkinkan mereka lebih siap, tidak hanya dibidang militer, melainkan juga pengetahuan yang memungkinkan eksploitasi lebih luas dan dalam terhadap sumber daya. Selain itu, dapat dipastikan perubahan besar dengan bergesernya iklim politik yang telah dimasuki kapitalismekolonial, maka, bentukan tatanan masyarakat yang mengikut ruang-ruang budaya dan lokalitas beserta faktor kepemimpinan disini jelas-jelas tergerus oleh penetrasi kekuasaan penjajahan yang tidak pernah puas, dan dapat dipastikan pula situasi benar-benar berubah, tidak lagi sama seperti ketika Eropa belum tiba disana.

Struktur Kekuasaan Lanskap Situasi Menjelang Akhir Abad ke-19 Sebagaimana diketahui, bahwa pada tahun 1887, berlangsung reorganisasi pemerintahan di pantai timur Sumatra, dan lokasi kepala pemerintahan daerah pun dipindahkan ke Medan. Siak ditempatkan di bawah Asisten Residen Bengkalis dengan ditambahkan pula penempatan tiga kontrolir; untuk pengelolaan onderafdeeling di

210

Netscher, mengemukakan bahwa akibat pertikaian antara Sultan dan Tengku Putra, mengakibatkan eksodusnya sebahagian populasi diseputaran wilayah konflik, atau kebijakanyang dilakukan penguasa di Indragiri, menyebabkan hal yang sama. 211 Konflik antara Kota Intan dan Siak berkaitan dengan konsesi di lanskap Tapung. Lihat Hendraparya, dalam “Riau Daratan: dari darat sampai pesisir,” tahun 2015.

113 Bengkalis, Siak dan Tanah Putih (Staatblad 1887, No. 21). Pada tahun 1885, anak tertua Sultan; Tengku Muda Anom; sebagai penerus sultan, menikah dengan putri seorang raja muda RIAU. Sebelum tahun 1887; dilimpahkan kepadanya berdasakan pengamatan Dewan karena sakitnya Sultan. Terbetik berita, bahwa forum seperti ini tentunya tidak memuaskan. Seperti Mangkubumi; Tengku Putra, berbagai keluhan menyebabkan sang sultan mengambil tindakan terhadap dirinya. Dewan Negara (Kerapatan) kini telah diinvestasikan sementara dengan otoritas sultan, dan sebagai kepala, ditunjuk atas usulan rijksgrooten; Tengku Ngah Said Hassim, anak bungsu Sultan. Pada tanggal 21 Oktober 1899, Sultan Sharif Kassim wafat. Sebagaimana hari sebelumnya, para rijksgrooten telah memilih Tengku Ngah sebagai penggantinya. Sebelumnya, sebagaimana kisah penjajah dinegeri koloninya, maka Belanda selalu mengajukan pembaharuan kontrak untuk menggantikan kesepakatan sebelumnya yang terus saja mereduksi kekuasaan tradisional Sultan; seperti menggantikan item yang terdapat dalam perjanjian 1858. Salah satunya, adalah menghapuskan jabatan rajamuda (Onderkoning). Pada tanggal 25 Oktober 1890, dilakukan penunjukkan sultan baru yang disahkan pada 7 Januari 1891. Dan pada hari yang sama, juga disahkan sebuah kontrak politik. Bahwasanya menurut kontrak politik tertanggal 25 Oktober 1890, diberikan suatu definisi baru, berbeda dengan perjanjian Februari 1858, terutama menyangkut hal-hal berikut: bahwa ranah kerajaan Siak dihitung mulai dari lanskap Teratak Buluh; sebagai wilayah dependensi dari kerajaan, disebutkan lanskap Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko dan Kubu; disebutkan tentang kepemilikan pulaupulau secara lebih akurat, akan tetapi tidak lagi meliputi pulau Bengkalis; bahwa pemerintahan kerajaan Siak terdiri dari Sultan, empat Datuk Kepala Suku dan Laksamana; pelaksanaan eksekusi (hukuman mati), hanya berlaku dengan izin dari residen; pengaturan wilayah untuk orang-orang non pribumi dan batas hukum wilayah Hindia; kontrak diberlakukan sesuai dengan konsepsi baru dari pemerintah; pemerintah Hindia dapat menolak orang untuk bermukim diwilayah Siak sepanjang dianggap membahayakan keamanan umum; pengaturan dan polisi pelabuhan menjadi wilayah yuridiksi pemerintah Hindia; Sultan dan rijksgrooten berkontribusi terhadap kepentingan bea dan pajak terhadap pemerintah Hindia di semua wilayah bagian mereka, dan dilakukan sebagaimana perjanjian sebelumnya, yang belum dilakukan; Mengenai yang terakhir itu, dikecualikan hak-hak tradisional Sultan: 1)“Barang Larangan;” Hak sultan atas “Barang larangan,” atau sebagai hak prerogatif kerajaan untuk dapat memiliki yang dikandung oleh kekayaan alamnya yang dianggap sebagai komoditi “mewah.” Hamba mengumpulkan benda-benda yang termasuk dalam kategori barang larangan, sejauh itu, menyerahkannya sebagai penghormatan kepada sultan. Sultan kemudian memberi imbalan hadiah atau persalinan, biasanya terdiri dari satu set pakaian. “Barang larangan” seperti gading, (gajah), sumbuh badak (tanduk

114 badak), goeliga (Bezoar-batu), gaharoe meroepa, dan lainnya, sampai batas tertentu adalah; kamper. Sumbuh badak umumnya dipandang sebagai perlindungan terhadap kecelakaan dan sebagai obat untuk racun dan gigitan ular. Guliga adalah batu yang terdapat di dalam perut seekor landak, yang sangat spesifik dan berlaku di hulu Mandau. Terdapat hak-hal tertentu yang terkadang menyebabkan benda ini bernilai hingga ratusan dolar. Gaharu merupa berbentuk tidak teratur sebagaimana sepotong dahan gaharu, dan juga dalam pencahariannya terkadang ditemukan juga beberapa jenis kayu dupa. Begitu pula halnya dengan Kamper, yang menuntut otorisasi raja; 2)Tapak Lawang; adalah sejenis sewa tanah, bahwa penduduk dipungut oleh panghulu yang di daerah mereka ingin pembukaan tanah dan penanaman, sejumlah 10 gantang padi per ladangnya; 3) Pancong Alas; dipungut oleh panghulu, yang datang untuk mengumpulkan hasil hutan di daerah mereka, untuk sejumlah 10 persen dari nilai; 4) Hasil Tanah atau sewa tahunan, diatur dalam penerbitan surat tanah atau mijnbouwconcessiën; 5) Sewa hasil hutan atau konsesi Sungei Rawah dan Kota Boeroek. 212 Kekuasaan Sultan secara tradisional adalah membawahi para Datuk, dan Datuk membawahi para Penghulu. Ditiga kenegerian dihilir Rokan, masyarakat terdiri atas suku; dan yang mengetuai suku adalah Kepala Suku dimana pengangkatannya dilakukan oleh Sultan Siak dan mereka menerima penganugerahan gelar. Adapun masyarakat TANAH PUTIH terbagi menjadi suku: Melayu Besar, Melayu Tengah, Mesah dan Batu hampar. Masing-masing suku memiliki Datuk hingga kepala, dan lagi di bagian-bagian yang lebih tua, Hinduk yang terbagi dan dipimpin oleh seorang tokoh; Tongkat. Hanya tiga suku memiliki Oetan tanah; adapun suku Batu Hampar tidak. berkemungkinan suku ini awalnya terdiri dari imigran, akibatnya; mereka tidak memiliki pancong alas, atau hasil tanah; sebaliknya, mereka harus membayar kepada suku lainnya, jika mereka memungut hasil hutan atau ladang. Oetan tanah tidak termasuk dalam tiga suku secara keseluruhan, tetapi masingmasing anggota memiliki bagiannya dalam warisan. Pemilik dari perantauan ini berhak atas pancong alas dan hasil tanah disana karena, disediakan, bagaimanapun, bahwa tongkat yang bebas dari pajak; bebas, di perantauan itu anak induk dan Datuk di sukunya. Kedua, sebagai adat, orang-orang dari Bangko dibebaskan bea atas rotan yang berasal dari Tanah Putih, dan sebaliknya, bahwa di Tanah Putih dibebaskan bea atas atap yang berasal dari Bangko. Suku Melayu besar terbagi menjadi 4 induk dan 3 Tongkat; Melayu tengah atas 2 induk dan 1 Tongkat; Mesah di 2 hinduk dan 1 Tongkat; Batu Hampar dalam 3 Induk dan 2 Tongkat; Dimana Datuk sendiri adalah merupakan Kepala induk. Suku Mesah pada saat itu tidak memiliki tongkat; Datuknya dipecat oleh Mangkubumi, dan mantan Tongkatnya, Badu: didudukkan dijabatannya 212

Geschiedenies Sumatra Oostkust, 1919. hal.60-61

115 itu. Sebelumnya, Tongkat bukan merupakan instrumen pengangkatan, akan tetapi di tahun 1878, oleh Mangkubumi diberikan terhadap mereka, ketika mereka datang untuk merayakan pesta di Siak(?) Martabat Datuk atau tongkat turun dari ayah ke anaknya, tetapi hanya jika ia adalah putra dari seorang Toekoe atau hindoek. Bukankah dalam tradisi, lazim didapati anak begitu patuhnya dan martabat mengikuti garis kemenakan. Begitu juga hukum warisan sebagian besar untuk anak-anak, tapi sebagian tetap untuk kemenakan. Tongkat memiliki hak mereka, anak hinduk, untuk menghukum hingga sebesar $10, sementara Datuk dapat mengenakannya ke anak Toekoe denda sejumlah $20; Untuk denda sebesar $20 - $40, ditentukan oleh para Datuk tersebut. Issue atau masalah yang lebih besar, dibawa ke Kerapatan Siak. Akan tetapi Datuk di Tanah Putih mengeluh, bahwa meski suatu urusan yang bisa ditangani dengan sangat baik di tingkat lokal, tetap saja ditarik ke kerapatan, sehingga mereka kehilangan segmen. Hasil dari denda didistribusikan oleh Datuk dengan mereka tongkat itu: suku Melayu Besar mendapatkan sendi (3) tongkat itu sebanyak setengah bagian, dan suku lainnya, mereka menerima sepertiga. Bea impor dan ekspor, cukai, bea lainnya, sejumlah $400 berasal dari Datuk; "Sebelumnya, dikumpulkan oleh Tengku Kelana untuk; Tengku Mak Ingrun, sejumlah $800 untuk hak sewa. Pada tahun 1882, Mangkubumi menyerahkan hak kepada Eropa di Bengkulu untuk sejumlah $1200, dan atas orang China di Singapura, telah dilakukannya dengan memperoleh keuntungan sebesar $200. Dengan cara ini, Mangkubumi telah memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan kepada para Datuk sejumlah $400 per tahunnya, dimana Mangkubumi telah memenuhi kewajibannya $400 setiap tahun untuk para Datuk, dari sisi yang lain ternyata situasi ini berulangkali melahirkan keluhan. Karena hak sewa untuk setiap orang Eropa, dimaksudkan dapat dilakukan dengan lebih baik, sejak kontrak ditandatangani, sejumlah $400 langsung dibayarkan kepada penerima, dimana dari sejumlah $400; Datuk Melayu besar memperoleh 2/5 bagian atau sejumah $160, dan tiga orang lainnya masing-masing 1/5 bagian atau sejumlah $80. Yang pertama perolehannya sejumlah $160 atau ¼ atau $40 lagi untuk tongkat utamanya, Lela Raja, sehingga ia sendiri menikmati hanya sebesar $120. Datuk Melayu Besar seharusnya mendapatkan lebih banyak, Karena dia memiliki sejumlah besar anak buah. Jumlah keluarga punggawanya diduga sekitar 150 keluarga, sementara yang lainnya; Melayu tengah dan Mesah masing-masing sekitar 25 keluarga, dan Batu hampar sekitar 35 keluarga. Secara keseluruhan Tanah Putih memiliki sekitar 250 keluarga, sehingga jumlah total mencapai 12-1500 jiwa. 213 Kepala Suku Malayu Besar menerima porsi pendapatan terbesar yaitu 2/5 bagian, sementara kepala suku lainnya menerima 1/5 bagian. Kepala Suku Malayu besar memiliki tiga pembantu (Tongkat): satu dari suku Malayu Tengah dan dua dari suku Batu Ampar. “Tongkat” ini dahulunya ditunjuk oleh Kepala Suku, dan memiliki gelar Datuk. Pada era Mangkubumi, tidak sesuai dengan adat, mereka ditunjuk oleh Mangkubumi. Kecuali berbagi hak sewa, penghasilan kepala suku terdiri dari denda, sewa (tapak Lawang) dan sepersepuluh dari hasil hutan (pancong alas), suksesi akan 213

Hijman van Anrooij, hal.384-5.

116 berlangsung pada cara sama seperti yang dilakukan di Bangko. Melalui pengaruh Tengku Mangkubumi dan anaknya Tengku Mansur yang tinggal di Tanah-Putih, sebagaimana catatan Belanda diduga terjadi pelanggaran hak-hak Kepala Suku setempat, yang menyebabkan ketidakpuasan besar, seperti, menurut hukum adat bahwa tanah dan kepala hanya tunduk terhadap tuan mereka; Sultan Siak. Selain itu, terdapat pula kewajiban memasok persembahan tahunan (hadiah) dalam bentuk tunai, Beras, kelapa, dan lainnya. Catatan pengamat nampaknya lebih cenderung untuk menampilkan keberlangsunggan mal administrasi di negeri Tanah-Putih; dimana seharusnya tidak seperti itu; untuk diakhirinya semua pelanggaran hukum, bahwa kemakmuran negara dikorbankan untuk hanya kepentingan aneh penguasa.214 Di BANGKO, pemberian gelar kepada kepala kenegerian; Datuk Bangko, adalah Indra Pahlawan, yang mewakili Sultan Siak dan bermukim di Bantaian.215 Hingga akhir abad ke-19, anak hasil pernikahan mengikuti suku ibu, membicarakan suku berarti bahwa fungsi di atas diturunkan ke saudara laki-laki atau anak-anak saudara perempuan, tapi karena perkawinan dalam suku sendiri tidak dilarang, juga dapat terjadi bahwa dalam hal itu anak akan mengikuti garis ayah. Rijn van Alkemade berspekulasi bahwa hal ini merupakan pengaruh dari menangkabau, meskipun adat Minangkabau tidak secara tegas diterapkan. Lebih kehilir dari Bantaian, terdapat lanskap Labuhan Tangga; nama yang berasal dari nama Sungai dan berjarak sekitar dua jam berlayar dari Bagan ApiApi. Dikatakan sebagai adik dari ibu sang Datuk Bangko; hadir di sana dan dipimpin oleh Orang Kaya Jalil, terdapat sebidang tanah yang diberikan sebagai hadiah oleh Sultan kepada mereka untuk menetap di sana, Rijn van Alkemade mengatakan bahwa ini diperkuat dengan bukti tertulis pengangkatannya; Orang Kaya Jalil sebagai kepala. Nama Labuhan sendiri menunjukkan bahwa di situ adalah tempat yang cocok untuk berlabuhnya perahu. Dalam hak usaha kecil dimaksud dibicarakan Orang Kaya Jalil yang urusannya dibantu oleh saudaranya Abas dan adiknya Ma Jewa. Sungai Labuhan Tangga dapat dilalui, akan tetapi hanya saat permukaan air berada pada kondisi tertinggi (air pasang). Kepala Bangko pemerintahannya terdiri dari 6 tongkat. Mata pencaharian penduduknya terutama dari perladangan dan penangkapan udang, yang terakhir ini ditemukan dalam jumlah besar di kawasan pantai lanskap, akan tetapi tidaklah signifikan, berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh sekitar 400 sampai 500 orang China di kampong Bagansiapiapi, yang telah sangat disibukkan dengan hasil tangkapan ikan dan udang. Produksi tangkapan (udang) tersebut dikeringkan, sebagai sebuah bisnis yang baik – dijadikan sebagai belacan. Tanah di Bangko dibagi di antara berbagai hinduk dengan Datuk. Mereka datang sebagai hasil dari hukum dan pancong alas yang sayangnya, pada saat kedatangan Eropa kesana, masih jauh dari hasilnya. Akan tetapi, diyakini bahwa dimasa silam, mereka menikmatinya. Dan kemudian,

214

Hijman van Anrooij, hal.374. Berdasarkan catatan Baalbargen, 1931, lokus ibukota kenegerian Bangko di Bantaian, berdasarkan perpanjangan kontrak 1 Januari 1910, berlokasi di Bagansiapiapi(?). 215

117 pendapatan Sultan dari sungai Bangko diberikan untuk mengamankan Hadji Math Seh, ayah dari seorang selir Sultan, saat itu ia diserahkan hak pancong alas dari semua produk hutan yang berasal dari Sungai Bangko, dan juga dari semua yang terkumpul di sana, maka sejumlah $25 (yaitu sekitar 40% dari nilai) akan diserahkan kepadanya. Sungai Bangko, yang bagaimanapun juga memiiki banyak pohon bakau, saat ini telah menjadi begitu baik. Selanjutnya, Sultan dengan kebijakannya untuk mengamankan seorang Bugis, Daëng Puwarih, hampir terjadi di semua tanah dan bagian lain dari Bangko telah diberikan kepadanya. dikatakan bahwa Daeng akan memiliki hak eksklusif perdagangan nibung dan atap-nipah di Sungei Raja Bejamu dengan sekitar 20 orang pengikutnya. Selain itu, semua pohon baru (seperti halnya pancong alas) dari Sungai Sinaboi (perbatasan dengan Dumai) sampai sungai Suwasa besar yang diserahkan kepada Daeng, dan “kendala alam” lainnya kepada penduduk Bangko sendiri. Bahkan pada anak-anak negeri, ketika mereka ingin mengirim atap-nipah atau nibung ke Deli atau di tempat lainnya, mereka harus membayar 10% bea pancong alas untuk mantan tentara Bugis tersebut.216 Di tempat ketiga, hak Sultan untuk mengamankan Hadji Mohamad Noer sejumlah $250 untuk hak eksklusif, hak sewa untuk apa yang disebut dengan “pucuk nipah kering” (daun nipah yang belum matang, yang dikenal dengan “strootjes” (untuk pembungkus sigaret) yang dibuat oleh penduduk asli) yang bahannya sangat dicari dan dibayar dengan baik, terutama di Deli. Haji Mohamad Noer. Ia membawa kargo pucuk nipah ke Deli, dan sesampainya di Kwala di sungai Deli, saat itu sedang terjadi wabah kolera, sehingga ia dengan terburuburu saja kembali ke Bangko. Sayangnya, ternyata ia tidak bisa bertahan hidup. Pendapatan sah kepala Bangko secara keseluruhan adalah pancong alas, kecuali sialang, yang sebahagian hasil denda dicabut dari mereka. Tongkat dapat menghukum mereka dengan tanggungan hingga sejumlah $10, dan "Datuk bisa melakukannya sampai $20. Menurut adat di Bangko, bahwa semua denda yang diterima oleh Datuk, setengah darinya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Sementara setengah lainnya, umumnya berada di bawah Tongkat itu. Apakah itu benar, seperti halnya keluhan Tongkat, bahwa denda yang diterapkan Datuk tidak menghasilkan apa-apa untuk mereka, tidak dapat dikomunikasikan. Akan tetapi, Belanda menolak keluhan itu, dirasakan sebagai tidak mungkin terjadi. Salah satu biaya lainnya terhadap penduduk Bangko, pengiriman tapak lawang kepada Sultan, menjadi 10 Gantang beras per rumah tangga. Sebelumnya mereka membayar atas hasil ladang yang terdapat di Bangko, sebagai pajak atas tanaman padi (bunga padi). Bahwa kemudian oleh Tengku Ngah - anak sultan, dikenakan pajak atas nama ayahnya. Sebelumnya Jare dapat ditemui tersebar diladang diseluruh negeri, dimana terdapat perintah bagi masyarakat untuk kembali ke desa. Mungkin untuk mengumpulkan pendapat penduduk di kampung, tidak diragukan lagi bahwa saat-saat itu, sangatlah buruk dengan dipilihnya tujuan ini disebabkan penduduk telah menyiapkan ladangnya hanya untuk

216

Hijman van Anrooi, hal.386-7.

118 penanaman padi. Akan tetapi, perintah tertinggi tidak mentolerir adanya penundaan, sebagai alibatnya, bahwa hampir seluruh penduduk Bangko diharuskan menanam jare, sehingga tidak lagi terdapat penanaman padi hingga periode 1880-an. Realita ini dilaporkan Belanda sebagai suatu ketidakwajaran; bahwa penduduk telah terlalu lama dieksploitasi, tentu akan tetap di lanjutkan dengan pemerintah Hindia sendiri menjaga jarak untuk tidak terlibat masalah. Dikatakan ini adalah adat, bahwa orangorang dapat berdiam di rumahnya dan kemudian membayar sampai $5 per kepala. Dan bantahan atas tuduhan ini, adalah sebagai biaya bagi kehadiran dalam perayaan ditahun 1880. Tengku Ngah mengambil langkah-langkah tersebut di Bangko sehubungan dengan Tapak Lawang; untuk menyatukan kampung penduduk, ia juga telah ditahbiskan di Kubu, sementara tentu saja penduduk setempat, serta orangorang dari Tanah Putih, telah disebutkan hal itu berkaitan untuk perayaan. Akan tetapi, penduduk sebagaimana disebutkan, didapati berada dalam suatu kondisi sulit akibat berjangkitnya wabah kolera yang belum mereda; dan ini tentu berdampak pada kontribusi moneter atas tiga lanskap itu.217 Masyarakat KUBU awalnya terdiri dari tiga suku sebagai berikut: Suku Hamba Raja, yang berasal dari Johor; Suku Rawa, yang berasal dari Rau; dan Suku Haruh; yang berasal dari Haru. Kepala masing-masing tiga suku ini adalah seorang Datuk. Datuk dari suku Hamba Raja dan suku Rawa masing-masing memiliki tongkat di antara mereka sendiri; Sedangkan Haru tidak. Selain dari tiga suku yang telah disebutkan, terdapat suku keempat, yang dinamakan dengan Suku Bebas. Sebahagian Suku ini terdiri dari orang-orang asal Siak, dan sebagian lain anggotanya dari tiga suku lainnya, yang keluar dari suku mereka sendiri, karena perselisihan atau karena alasan lain. Mereka tidak memiliki Datuk, akan tetapi disertai dengan empat panghulu, kepala, yang masing-masing memiliki bawahan mereka sendiri. Orang bebas dianggap berada langsung dibawah Sultan Siak; kepala suku mereka dinamakan sebagai “Mata-Telinga” dari Sultan Siak(Alkemade). ketika mereka datang ke Siak, mereka sebagai bagian Hamba Raja Dalam; bahwa kelompok ini berasal dari pengikut RajaKecil. Sebagaimana telah disampaikan, Raja Kecil menjadikan Kubu sebagai salah satu basis pendukungnya dalam melakukan invasi ke Johor, melakukan petualangan bersama, hingga mendukung Raja Kecil mencapai tahta Johor. Wajar saja, bila kedudukan Hamba Raja Dalam ini, secara umum lebih baik dalam stratifikasi masyarakat Siak. Selain di Kubu, Hamba Raja Dalam juga ada yang bermukim di sepanjang tepian sungai Siak, dan bahkan sebahagian besar bermukim disekitar kediaman Sultan. Kepala mereka, Datuk yang bergelar Maharajadewa, menikmati penghasilan f1000 pertahun dari Sultan. 218 Adapun Oetan tanah di Kubu milik dari tiga suku; dimana setiap suku atau induk memiliki bagiannya sendiri. Dengan maksud untuk terjadinya suku behau tak usah dikatakan, supaya mereka tidak menguasai oetan tanah. Menjelang akhir abad ke19, meskipun masyarakat Kubu berkaitan dengan Johor, dapat kita amati bahwa di 217 218

Hijman van Anrooi, hal.387-9 Hijman van Anrooij, hal.389-390.

119 sini juga terdapat pengaruh adat menangkabau, akan tetapi, di sini suku anak-anak berasal dari ayah, atau mengikuti ayah. Untuk kelompok suku di Bangko, terlihat bahwa di sini pengaruh Minangkabau telah berkurang. Penghasilan lainnya dari para Kepala Suku adalah dapat dilihat pada contoh dari pada Datuk Bangko yang telah ditetapkan. Kepala Suku-Hamba Raja, meskipun ia memiliki penghasilan khusus, tetapi yang pertama di pertimbangkan adalah yang berada di bawah para kepala suku. Terhadap Sultan Siak, orang-orang Bangko dan Kubu wajib memenuhi panggilan untuk datang ke Siak dan memberikan layanan mereka, baik untuk perang atau untuk membuat Benting jalan, adalah hak Sultan jika itu memang diperlukan, dan dilaporkan masing-masing rumah tangga dibebani lima dolar untuk biaya perbaikan. Akan tetapi, Sultan, bagaimanapun, memilih tidak menggunakan hak-hak ini, oleh Sultan, mereka diberkahi dengan penghasilan yang berasal dari Bangko dan Kubu, memiliki hak sewa dan kompensasi atas sumber daya. Pendapatan yang dimiliki Datuk dari Kubu; pancong alas dari dalam hutan, dimana mereka mengumpulkan hasil hutan, di samping bagian mereka atas denda yang dikenakan. Tongkat, memperoleh juga hasil dari denda yang dikenakan. Tongkat dapat memberikan hukuman sejumlah $20 sampai dengan $ 1,0, dan Karapatan bersama-sama dengan Datuk, juga penghulu bebas yang turun (tapi bersama-sama mewakili satu suara) senilai $60. Untuk hal-hal yang lebih besar akan ditetapkan di Karapatan Siak. Retribusi dari beberapa hak yang terletak di Kubu dimana terdapat komunitas China di Penipahan, digunakan oleh kapiten China di Bengkalis sebagai hak sewa senilai $450 pertahun, sedangkan Bagansiapiapi dalam komplotan dengan kongsi-kongsi Singapora diberikan untuk $2800 pertahunnya. Datuk mengklaim, bahwa mereka sebelumnya memiliki hak untuk untuk menangani bea pajak ikan tangkapan sebesar 1 real ($ 0,20) per pikulnya, sementara saat itu, tidak hanya bahwa hak-hak mereka telah dirampas, bahkan tanggungan mereka sejumlah lima persen dari ikan yang ditangkap oleh penyewa terpaksa dilepaskan. Untuk klaim yang satu itu, beserta yang lainnya, sayangnya ditolak oleh pihak Siak. Tentang Tapak Lawang dipungut oleh Tengku Ngah, serta pada kebijakan yang diambil oleh putra raja Kubu, sudah dikomunikasikan. Ini masih akan dapat ditambahkan, dimana keturunan Raja beberapa kasus bersedia untuk membuat kunjungan terakhirnya ke Kubu, untuk beberapa pelanggaran kecil dikenakan denda sebesar $60. Ketika pelakunya mengajukan banding ke Karapatan ke Siak, denda dikurangi menjadi $20.219 Memasuki abad ke-20, pengaruh Pemerintah Hindia terhadap organisasi asli Siak, semakin dalam saja, dan mulai diterapkan, bahwa lanskap di sini, Belanda memahaminya sebagai pemberian waktu yang lebih baik yang akan segera tiba; dan bahwa orang-orang yang tinggal di sini pun akan segera dapat menikmati kemakmuran yang dikatakan oleh penjajah bersumber dari eksploitasi sumber daya alam dimana negara bisa mendapatkannya; dan tentu terutama menguntungkan Eropa. Akan tetapi, dengan sifat perekonomian kolonial yang dualistis itu, benarkah kehadiran Belanda ini sebagaimana diklaimnya memang memakmurkan anak-bumi di lanskap pesisir sungai Rokan? Selain itu, 219

Hijman van Anrooij, hal.389-390

120 Kolonialisme Eropa dalam satu titik tertentu, telah menyebabkan terhentinya evolusi masyarakat yang dijajahnya; 220 Reorganisasi pemerintahan versi Belanda sebagai bentuk “pembunuhan” evolusi pemerintahan asli ini, mungkin teramat mencolok dengan tereduksinya kewilayahan Sultan ditahun 1915-1916, semakin menyempit saja kewilayahan onderafdeeling bersama empat onderafdeeling lain. Selain itu, sebelumnya penetapan kewilayahan kenegerian dari bentuk tradisional menjadi hanya bentuk “onderdistrick,” atau subdistrik, penyatuan komunitas-komunitas tradisional dalam kewilayahan distrik dan sub-distrik, tentu memiliki konsekuensi-konsekuensi hilang dan lenyapnya kekuasaan dan kewenangan yang dimilki perangkat lanskap dalam batasan tertentu. Dan ini berarti, evolusi terhenti, atau setidaknya berubah arah dalam derajat yang mungkin Belanda sendiri tidak mengetahuinya sebatas kepentingan-kepentingan imperialiskapitalisnya saja. Dapat dikatakan, sebelum mapannya administrasi pemerintahan kolonial Belanda di hilir sungai Rokan, posisi “raja-lokal” sebagai kepala lanskap diketahui merupakan pucuk dari tatanan kepala penduduk asli, yang dilengkapi dengan berbagai gelar.221 Pendapatan (penghasilan) mereka, meskipun sangat acak, terutama berasal dari hutan dan juga denda; akan tetapi, periode ini juga dituding Belanda sebagai masa yang penuh dengan penyimpangan seperti penyitaan properti; Sebagaimana telah disampaikan, telah diatur oleh Sultan mengenai pendapatan para pemimpin suku menurut daerah (rantau). Struktur sosial di hilir sungai Rokan yang terdiri dari suku, hinduk, dan juga tongkat dimana keseluruhan komponen sosial ini memiliki perannya masing-masing. Pada masing suku, terdapat hinduk yang ditunjuk dari yang tertua; bertugas membantu kepala suku. Kepala suku yang tertua, 222 memimpin negeri dengan posisinya yang juga sebagai Hakim Polisi, 223 dibantu oleh tongkat. Suku-suku lainnya, terbatas kewenangannya pada anak buah. Dalam menangani suatu perkara, putusan tidak hanya ditetapkan hakim polisi sendiri saja, melainkan dengan kepala suku yang bersangutan berperkara. Meskipun demikian, hakim polisi dan para kepala suku memiliki kewenangan yang terbatas dan dalam perkara tertentu, Sultan dapat menetapkan untuk dilakukannya kembali proses peradilan, kepada kerapatan atau kepada diri sultan sendiri. 224 Selain itu, telah dilihat juga kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh orang-orang besar di kenegerian, mulai dari datuk hingga kepala hinduk, yang akhirnya situasi ini, sebagaimana disampaikan, mangalami perubahan seiring kebijakan reorganisasi yang diterapkan pemerintah kolonial. Reorganisasi ditahun 1915-16 dianggap sebagai suatu 220

Ankie, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, 1986, hal.169-190. Boudewijen van Duuren, `1934, hal.9-10. 222 Di Bangko, maka terdapat Datuk Dewa Pahlawan sebagai kepala Suku Tujuh Hinduk; di Tanah Putih terdapat Datuk Setia Maharaja kepala Suku Melayu Besar atau Paduka Meraja Lela kepala Suku Melayu Tengah; sementara di Kubu adalah Datuk Jaya Perkasa kepala Suku Rawa atau Datuk Raja Indera Setia kepala Suku Hamba Raja. 223 Sebagaimana terdapat pada Baboelkawaid, Bab yang kedua, pasal 5, 6 dan 7, tahun 1901. 224 Sebagaimana terdapat pada Baboelkawaid, Bab yang ketigabelas pasal 1, 1901. 221

121 kelanjutan dari perubahan pajak raja di tahun 1908, dan ditahun 1909 mulai dikenalkannya “Oeang Kerahan” dimana pengumpulannya diserahkan kepada kepala suku dan kepala hinduk. Pendapatan ini yang awalnya diterima sebesar 8 persen, dan kedua sebesar 5 persen; pembagian ini datang dari kaki-Kepala suku itu. Oeangkerahan awalnya sejumlah f2,50 diterapkan terhadap penduduk laki-laki, dan kemudian meningkat menjadi f3. Sebagai konsekuensi reorganisasi 1915-16 itu, diidentifikasinya seluruh kepala suku dan induk, oleh kontrolir, sebagai kepala distrik didudukan orang setempat yang dirasa cocok dari kepala kampung; 225 Penempatan kepala di distrik utama, merupakan seorang wakil Sultan yang tunduk kepada Kerapatan; sebuah kekuasaan yang terbatas. 226 Posisi ini, Sultan mengangkat dan memberhentikannya sesuai dengan rekomendasi pejabat Binnenlandsch Bestuur. 227 Selain itu, tiga orang kepala negeri(sub-distrik) dan seorang Letnan China memperoleh penghasilannya sebesar tiga persen dari hasil pengumpulan pajak. Aturan itu, dikecualikan untuk orang-orang Tambusai, dimana adat suku masih sangat kuatnya, sehingga pengaruh terhadap penghulu masih dalam wilayah teritorial mereka, terutama penghulu pucuk utama yang senior, dimana masih diberlakukan gelar Datuk. 228

225

vgl.dezz.geheim Higenhandig Schrijven ddo. 28 Agustus 1934 no.23. Phenomena ini juga ditambahkan dengan penghapusan Pancung Alas pada 1929. 227 Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan daerah Binnenlandsch Bestuur merupakan bahagian dari Bestuur ter Plaatse yang ditetapkan melalui Ind.Stb.1866 Nomor 127. 228 Baalbargen, MVO van Bagansiapiapi, 14 Mei 1931, hal,41. 226

122

5 Sejarah Perikanan Bagansiapiapi Kajian tentang industri perikanan Bagansiapiapi, telah dimuat dalam bentuk laporan ataupun artikel, dimulai dari A.G.Van Der Land229, A.L.J.Sunier dengan dua artikel: yang pertama adalah “Nog Eens de Vischindustrie te Bagan Si Api-Api”230; kemudian “Nawoord over de Vischindustrie te Bagan Si Api-Api,”231 penulisan tentang industri perikanan Bagansiapiapi yang dilakukan kontrolir Bagansiapiapi(1915-1917) B.J.Haga, dalam “De Economist”, “De Beteekenis Der Visscherij Industrie van Bagan Api-Api En

229

Artikel dalam Tijdscrift voor Hetbinnenlandschbestuur, 4p.,P.215-219, Tahun 1912. Artikel dalam Tijdscrift voor Hetbinnenlandschbestuur, 4p.,P.44-56, Tahun 1913. 231 Artikel dalam Tijdscrift voor Hetbinnenlandschbestuur, 4p.,P.57-62, Tahun 1913. 230

123 hare Toekomst232” tahun 1917, dan terbit setahun berikutnya “Economische Nalezingen en Berichten233”, CH Kampen234, Vleming235, Horsting,236 juga artikel seperti termuat dalam INDIE Geillustreed Indisschrift Voor Nederland en Kolonien; dengan tim redaksi Prof Dr.A.W.Nieuwenhuis, Prof.Dr.I.P.B.Dejosselin De Jong, M.Joustra dan C.Clekkerkerker,237 Schipers238, Haderberg, Markus239, Bottemane240, hingga Ph.Jordaan. 241 Adapun Studi ataupun penulisan tentang Bagansiapiapi di era kontemporer mengenai sejarah perikanan Bagansiapiapi juga telah dilakukan, terutama oleh Jhon G Butcher, melalui “The Salt farm and The Fishing Industry of Bagansiapiapi” Tahun 1996242; yang banyak memberikan informasi mengenai kondisi keterkaitan antara garam dengan melimpahnya produksi ikan Bagansiapiapi. Kemudian Azmi Fitrisia, dalam studinya tentang “ Perikanan di Bagansiapiapi 18711942” (tahun 2002);243 kemudian studi yang dilakukan oleh Setyawati Shanti, dalam; Pasang Surut Perikanan di Bagansiapiapi 1889-1936, tahun 2008244; memaparkan kondisi pasang surut industri Perikanan Bagansiapiapi era pemerintahan Belanda, dan beberapa artikel yang memuat berita Bagansiapiapi seperti yang ditulis oleh Masyhuri.245 Berdasarkan seluruh hasil riset para ahli dimaksud, bagaimanapun juga, industri perikanan Bagansiapiapi diasumsikan adalah suatu kondisi yang didukung oleh Faktor sebagai berikut; Kondisi sumber daya alam; Adanya kebijakan harga Garam; Ketersediaan Modal; Ketersediaan Tenaga Kerja, yakni orang China; 232

Artikel dalam De Economist Tahun 1917 Volume ; 66, Number 1, P.237-262 Artkel dalam De Economist tahun 1918 Volume 67 hal 75-76 ; 234 Hadenberg, dilihat dalam beberapa artikel; Butcher, Azmi Fitrisia dan Padmo; 235 De Chineesche Zakenleven In Nederland Indie, Vleming Jr. Tahun 1923; 236 L.H.C.Horsting, Bagansiapiapi, The largest and the Most importand Fishing Centre of Netherland India, Published in: Inter-Ocean.A Dutch East Indian Magazine covering Malaysia and Australasia, Vol. 4, Number 9, September 1923. 237 H.J.H dengan artikel Dwars Door Sumatra dilihat dalam INDIE Geillustreerd Weekblad Voor Nderland Kolonien Jaargang No.8 Tanggal 23 Mei 1923; Artikel Het Chinesche Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi, Jaargang No.17 Tanggal 12 November 1924; Artikel De Bedrijf Industrie Te Bagansiapiapi, jaargang No.19 Tanggal 10 Desember 1924. 238 Schipers,1928, dalam Butcher Tahun 1996; 239 B.Markus, Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher: Batavia:Instituut Voor Zeevisscherij, 35p., Tahun 1941 240 C.J.Bottemane, Verslag over de Visscherij en de Vischhandel Van Bagan Si Api-Api, Publisher Batavia: Instituur Voor Zeevisscherij, 37p., Tahun 1929; dicetak kembali Tahun 1941 241 Ph.Jordaan: Het Zoutverbruik bij de Visscherij Van Bagan Si Api-Api, dipublikasikan oleh Batavia Instituut voor de Zeevisscherij, Tahun 1941. 242 Artikel yang dimuat dalam jurnal Southseast Asian Program, Publications at Cornell University, Volume 62, Oct, 1996; 243 Azmi Fitrisia, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, Tesis, Universitas Gajah Mada, Tahun 2002; 244 Pasang Surut Perikanan Bagansiapiapi (1896 -1936), Tesis, oleh Santi Setyawati, pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008 245 Usaha Penangkapan Ikan dan Masyarakat Nelayan di Indonesia 1880-1940, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tahun XX, No.1, Tahun 1993. 233

124 Perkembangan Pantai Timur Sumatera; Adanya Pangsa pasar yang besar, khususnya wilayah Jawa dan Madura. Meskipun demikian, lazimnya sebagai suatu sentra industri, industri perikanan Bagansiapiapi juga tidak lepas dari berbagai persoalan; Haga Mendidentifikasi beberapa persoalan berkaitan dengan industri perikanan, seperti; Kenaikan harga garam, kenaikan harga kayu, persoalan upah kuli, Pendangkalan Muara Rokan, Penurunan harga Trassi, yang nampaknya berkaitan erat dengan persoalan kurangnya modal, tingginya suku-bunga kredit, tingginya spekulasi pemberian kredit, tingginya resiko, munculnya persaingan ketat dengan Siam di pasar Jawa, kemudian dugaan terjadinya overfishing dan meningkatnya operasionalisasi di industri perikanan. Turunnya harga ikan di pasaran Jawa menyebabkan pukulan bagi sejumlah pedagang yang bahkan menyebabkan kebangkrutan. Peningkatan produksi perikanan di Hindia Belanda, sering digambarkan sebagai era Comercial Revolution, yaitu ketika ikan tangkapan tidak lagi diproduksi sebatas kebutuhan (subsisten), melainkan telah diorganisir dalam jumlah masal terutama untuk memenuhi kebutuhan daerah yang kurang akan ikan. Periode ini, diperkirakan dimulai tahun 1860 di jawa sebagai sentra penghasil ikan, yang secara berangsur berpindah ke Pantai Timur Sumatra. Bahwa Bagansiapiapi pernah menjadi sentra ikan terpenting di Hindia Belanda, merupakan suatu realita historis keunggulan sumber daya alam perikanan di Hindia Belanda. Dalam pandangan Penguasa Kolonial, berkembangnya Bagansiapiapi sebagai sentrum perikanan di Hindia Belanda, khususnya setelah era tahun 1900-an, tidak lepas dari peran Pemerintah Kolonial, meskipun upaya awal yang dilakukan oleh sekelompok komunitas China di Perairan Muara Rokan. Pada tahun 1899, Bagansiapiapi tercatat menghasilkan ekspor ikan mencapai 12.729.123 KG. Kelimpahan produksi ikan ini diasumsikan menjadikan Bagansiapiapi sebuah negeri pesisir yang makmur berkelimpahan, seperti yang digambarkan oleh Colijn dalam laporan kolonial tentang Bagansiapiapi pada tahun 1905, “a good livelihood for the fisheres, a great profit for the (Netherlands Indies) treasury, and certainly, a gold mine for the farmer”. 246 Hal ini tidak berlebihan mengingat besarnya produsi ikan dari Bagansiapiapi, bahkan tahun 1924, ekspor ikan, udang dan trassi telah mencapai 39.322.609.kg.247 Berikut (dalam Kg.) ekspor ikan, udang dan Trassi Bagansiapiapi:248 Tahun 1900 1905 1920 1921 246

Ikan Kering 12.078.653 24.170.663 27.700.000 22.700.000

Udang Kering 268.998 520.295 1.200.000 2.300.000

Trassi 193.946 4.152.491 8.700.0000 9.700.000

Schipers,1928; Kampen, 1909, Hardenberg, 1931; Data 1921,1922,1923 dari Kolonial Verslag 1922, dilihat dalam Mashyuri: Usaha Penangkapan ikan dan masyarakat Nelayan di Indonesia 1880-1940; LIPI, Tahun XX, No.1, Tahun 1993, hal.26 247 Colijn Tahun 1905, dalam Jhon G.Butcher; The Marine Fisheries of Western Archipelago: Towards an Economic History, 1850 to the 1960s, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996 248 ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 juni 1889;

125 1922 1923

24.496.500 21.180.000

9.192.846 10.550.000

852.017 8.800.000

Bahwa pada awal mula perkembangan Bagansiapiapi memasuki era ekspor ikan, terutama ke Pulau Jawa dan Madura, memiliki beberapa hambatan, seperti tercatat dalam Laporan kontrolir Bagansiapiapi, B.J.Haga tentang pentingnya perindustrian perikanan Bagansiapiapi, dan upaya-upaya yang perlu dilakukan; Penurunan harga garam dari f3,50 menjadi f2,50; 249 Penghapusan pajak atas Terassi, udang dan kerang; Mendirikan Bank untuk pemberian kredit murah bagi pedagang ikan; Agar segera menghubungankan Bagansiapiapi dengan Kabel Telegraf; Memasuki abad ke-20, terutama juga oleh kenaikan industri trassi, Bagan lebih menjadi tempat penting, tetapi juga berbagai peristiwa pada tahun-tahun 1916-1920 telah memberikan kontribusi bagi kemakmuran tempat ini: Pendirian onderafdeeling Bank Bagan Madjoe 1917); Diberlakukannya kontrol garam, mulai berlaku pada tanggal 1 April 1920, membuat posisi patcher dalam pengurusan garam dihapuskan; Pengadaan komunikasi telegraf; dan Sambungan langsung Bagansiapiapi – Jawa250 dengan menggunakan jasa K.P.M.251 Meskipun demikian, kondisi umum yang terjadi di Hindia Belanda menjelang tahun 1920-an adalah permodalan biasanya dipegang oleh satu orang, yang memiliki hubungan baik dengan penguasa kolonial hingga dapat memperoleh hak sewa (pacth) dengan membayar sejumlah kompensasi terhadap pemerintah; Pacht adalah semacam pemegang Hak sewa, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial sehubungan dengan pengadaan urusan tertentu. Vleming menjelaskan bahwa sebelum adanya lembaga perbankan, tanpa adanya modal dari “pachter-garam”, mustahil binis ikan akan tetap dapat berjalan. 252 Hal yang juga dikemukakan oleh Azmi fitrisia dan Padmo, bahwa ketersediaan dana yang menggerakkan industri perikanan Bagansiapiapi, sebelum era tahun 1920-an, dihidupkan oleh Pachter. 253 Kondisi ini disebabkan Pemerintah yang berkuasa saat itu tidak mempu untuk melakukan pungutan sendiri terhadap berbagai bea yang berlaku. Hak Sewa tersebut diadakan secara terbuka, atau dilelang; Pemenangnya adalah penawar tertinggi Dengan hak sewa tersebut, seseorang dapat melakukan upaya 249

Seruan untuk penurunan harga garam telah dilakukan sekurang-kurangnya oleh para pedagang sendiri, kemudian seperti yang dilakukan oleh Kepala Departeman Perikanan, Gobee, dari semula f5,0 menjadi f3,50 sebagaimana dalam Staatsblad 1913 No.49. Laporan Gobee 14 Februari 1916 yang juga didampingi oleh Mouw (Pejabat urusan China di Hindia) yang datang ke Bagansiapiapi kurun tahun 1914 -1916 merekomendasikan penurunan harga garam hingga f2,50; Mouw, Batavia, 16 Januari 1916. 250 ANRI-MVO; Memorie Van Overgave van Dr.H.D.Von Meyenfrldt, 6 Maret 1937 - 27 Oktober 1938; Bijlage VIII, Iets Over Het Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi, Hal 1-2; 251K.P.M. singkatan dari Koninkiljke Pakeetvaart Maatschappij, sebuah perusahaan Pelayaran Belanda yang didirikan pada Tahun 1888, terfokus pada pelayaran regular penumpang dan kargo antar pulau di Hindia Belanda atau lebih popular dengan sebutan Pelayaran Pos antar Pulau;. 252 Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indid: door Vleming, J.L. Landsdrukkerij, 1926. 253 Fitrisia dan Padmo: Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, 2007

126 eksploitasi produk sumber daya alam tertentu di wilayah yang menjadi teritori penguasa kolonial. Khusus untuk eksploitasi perikanan laut, maka pemegang hak sewa (pacther) biasanya akan meminjamkan sejumlah modal kepada nelayan, dapat berupa kapal/sampan hingga alat penangkap ikan. Pachter akan menanggung semua permodalan, dan sebagai imbalannya maka nelayan akan menjual hasil tangkapannya kepada pachter. Seperti hak untuk pengadaan garam di Bagansiapiapi. Pemerintah Kolonial menyadari bahwa ketersediaan garam sangat berpengaruh dalam meningkatan produksi dengan kebutuhan garam yang mencapai hampir sekitar 15 juta K.g. pertahunnya, sehingga dengan hak monopolinya, pemerintah dapat menetapkan harga garam murah, untuk wilayah Bagansiapiapi, yakni seharga f3 per pikul. Pachter, dan keterkaitannya dengan garam adalah untuk; mengadakan, mendistribusikan atau menjual garam kepada toke dan nelayan. Pachter mengimpor garam yang biasanya berasal dari Singapura, atau langsung dari Timur Tengah. Pachter dapat menentukan harga jual garam, namun tetap tidak melampaui harga yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Selain itu, nampaknya pachter dalam hubungannya dengan toke dan nelayan, memiliki peran sebagai berikut:254 Pachter berperan atau bertindak selaku pedagang yang menampung hasil tangkapan ikan; Pachter juga berperan aktif menyalurkan peralatan penangkapan ikan kepada nelayan yang biasanya dilakukan dengan menggunakan pembayaran kredit. Kondisi tersebut memungkinkan Pacther memperoleh keuntungan yang besar karena nelayan dikondisikan untuk menjual hasil tangkapan ikannya kepada sang pachter255; berkaitan dengan hasil produksi perikanan yang sudah diolah, maka pachter akan meyediakan jasa pengiriman, baik melalui K.P.M. maupun jasa pengiriman lainnya. Untuk kebutuhan sumber daya pekerja, maka pachter bertindak selaku agen yang mendatangkan tenaga kerja yang biasa didatangkan via Singapura atau tempat lainnya, dan biasanya sering secara gelap. Pachter secara umum memperoleh keuntungan dari bunga pinjaman yang diberikannya kepada toke dan pedagang. Secara umum, keuntungan pachter diperoleh selain sebagai pemegang hak sewa, juga bertindak selaku penarik pajak. Selain itu, juga diperoleh keuntungan dari bunga pinjaman yang diberikannya kepada toke dan pedagang. Dalam industri perikanan Bagansiapiapi, nampaknya Nelayan memiliki posisi yang relative kuat, hal ini didasari oleh realita sebagai berikut; Bahwa Nelayan tidak perlu menanggung kerusakan alat sebab disediakan oleh tauke ataupun Pacther; Selain itu, sengitnya persaingan antar pedagang akan menyebabkan nelayan tidak perlu bersusah payah mencari pembeli. Biasanya Nelayan menjual hasil tangkapan ikan kepada Touke, dengan harga yang ditetapkan oleh touke. Hal ini ditambah dengan pembagian hasil sebesar 30 % disetor

254

Dilihat dalam Setyawati, tahun 2008 Akan tetapi, pachter telah memilih untuk mengambil berbagai resiko, seperti; Nelayan yang melarikan diri setelah memperoleh uang bayaran di muka, resiko pengiriman, jatuhnya harga dan lainnya. Dilihat dalam Vleming, 1926. 255

127 kepada Touke dari hasil penjualan kotor. Sisanya, setelah dipotong dari hasil pembelian garam dan operasional, dibagi diantara para nelayan. Dengan dana inilah nelayan membayar pinjamannya kepada Touke.256 Kondisi ini menunjukkan hubungan mutualistik, yakni saling ketergantungan antar keduanya; nelayan dan tauke. Nelayan tidak disulitkan dengan upaya untuk mencari pembeli. Hasil pembelian ikan, biasanya diolah oleh Touke menjadi hasil setengah jadi, untuk kemudian dijual kepada Pedagang dan pedagang mengolahnya menjadi hasil jadi, untuk di ekspor. Sebagaimana dikemukakan oleh Butcher257, bahwa ketika ikan diproduksi dengan orientasi pasar, maka nelayan mengorganisir diri mereka pada perkumpulanperkumpulan yang disebut Kong-si, yang bekerja di bawah seorang Touke, pada suatu unit pengolahan hasil penangkapan ikan pada tempat yang disebut Bang-liau. Kepala Bangliau adalah Touke, dan kepada Touke inilah para pekerja dan Nelayan bergantung. Adapun sebagai kepala Bangliau, Touke bergantung kepada para pemilik modal atau pacht. Pada unit Bangliau inilah segala hasil tangkapan ikan diolah, dijadikan hasil produk perikanan seperti; Udang Kering, Trassie, Ikan Kering, Sisik Ikan, cincalok, dan Isi perut ikan/ kulit udang. Selama kurun waktu sekitar 40-an tahun, yang dimulai dari akhir abad ke-19 hingga tahun 1930-an, dari Bangliau-bangliau ini telah diproduksi hasil ikan mencapai rata-rata 32 juta Kg per tahun. Jumlah ini bukanlah jumlah yang kecil, sebab produk ini didominasi oleh produk ikan kering yang mencapai rata-rata 50 persen dari total produk; memberikan gambaran kesibukan yang tinggi dari unit-unit bangliau ini. Dapat dikatakan, sumber daya manusia yang terlibat dalam kerja industri mulai dari menangkap hingga mengolah hasil ikan adalah terdiri dari Orang China; Adapun orang Melayu terlibat dalam usaha penyediaan Kayu, ataupun rotan untuk digunakan sebagai jaring (ambai) pada jermal. Meskipun Nelayan Bagansiapiapi dikenal sebagai nelayan yang sangat mandiri, akan tetapi peningkatan produksi ikan di Bagansiapiapi diasumsikan berkaitan dengan masuknya orang Belanda ke sana. Berpindahnya Orang Belanda ke Bagansiapiapi itu, sebagai kondisi yang diasumsikan pula telah mengurangi peran Singapura sebagai exporter utama ikan menuju pulau Jawa, yang selanjutnya berhadapan dengan Bagansiapiapi yang semakin berperan dalam lintas perdagangan ikan di Hindia Belanda, dan didukung oleh meningkatnya transportasi antara Bagansiapiapi dan Pulau Jawa. Armada pelayaran kapal yang dimiliki oleh orang Inggris, Jerman, Siam dan Cina telah mendukung pemasaran hasil ikan Bagansiapiapi, yaitu statistik tahun 1930, tercatat sebanyak 600-an kapal singgah di Pelabuhan Bagansiapiapi.258 Kegiatan penangkapan ikan di Bagansiapiapi sendiri telah intensif sejak sebelum tahun 1910, dimana kebakaran besar yang terjadi tahun 1908 telah terlihat seperti menyebabkan kemunduran produksinya. Halnya produksi ditahun 1904 hingga 1911, Butcher

256

Nelayan diasumsikan memiliki penghasilan berkisar antara 100 – 150 gulden sebulannya; Vleming: 1926. 257 The Marine Fisheries of Western Archipelago: Towards an Economic History 1850- 1960s , Tahun 1996 258 Azmi Fitrisia dan Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, Tahun 2007

128 menandainya dengan dua peristiwa berikut; meningkatnya bea pacht dan stagnan-nya produksi. Tingginya harga garam, membuat nelayan menguranginya dalam proses produksi, dan mengakibatkan pada penurunan kualitas dan membuat jatuhnya harga di Jawa. Gobee mencatat bahwa setelah kenaikan tinggi harga garam ditahun 1910, membuat banyak nelayan meninggalkan jermal-jermalnya dan menggantinya dengan udang kering – trassi yang sedikit membutuhkan garam dalam proses produksi. Sebagaimana terjadi, Bottemane menggambarkan kondisi perikanan Bagansiapiapi yang mengalami era penurunan sebagai berikut: 259 1.

2.

Hasil kerja tangkapan sangat rendah, rendahnya harga ikan rendah di Jawa ditambah tingginya harga garam per pikul setelah dimulainya batas waktu perjanjian baru (1 April 1910) bersama-sama dengan ekspor pada tahun tersebut untuk secara signifikan berkurang; Bahwa sehubungan dengan semua keadaan yang tidak menguntungkan, di paruh pertama 1910-an, sekitar 1500 orang nelayan eksodus dari Bagansiapiapi, dimana sebahagian menarik diri ke selat, dan sebagian lagi kembali ke China.

Pasca achteruitgang 1910 ini, menyusul pula ditahun 1913-1915 situasi yang dikatakan sebagai “kekacauan.” Menurut Mouw,260 “kekacauan” di Bagansiapiapi ini dapat dipahami dari kondisi perikanan itu sendiri yang telah mengalami perkembangan pesat, perusahaan yang telah berdiri bertahun-tahun, yang menghasilkan f1.200.000,- pertahun untuk Kas Hindia, meskipun para pedagang ikan di sana telah menghasilkan keuntungan yang begitu signifikan, akan tetapi hal ini bahkan tidak bisa mencegah “kekacauan” itu terjadi selama tiga tahun (1913-1915) dimana pedagang ikan hampir setengahnya jatuh bangkrut dan menghilang. Sebelum dianalisis, harus dikatakan bahwa terdapat hal yang kontradiktif dengan hal tersebut, bahwa diperkirakan jumlah nelayan terus meningkat, kemudian perekonomian mereka secara umum lebih menguntungkan daripada sebelumnya, dan bahwa ekspor ikan asin, sejak yang menurun di tahun 1904, sejak 1910 terkadang meningkat atau berkurang, sedangkan ekspor trassie sejak 1899 dengan sedikit variasi terus mengalami peningkatan. “Harta karun” dari pemasukan “pacht” pada tahun 1895 adalah sebesar f3.500 per bulan, selanjutnya pada tahun 1913 mengalamin lompatan besar dengan terjadinya peningkatan hingga sejumlah f36.200 per bulan. Dari hasil pemasukan garam untuk jangka waktu tertentu mungkin tidak hanya konsumsi garam dapat diturunkan, karena keduanya sebelumnya dan pachter hadir sesuai dengan harga garam, dan juga terkadang hadir dalam jumlah besar sekaligus, kemudian lagi dengan kuantitas lebih kecil. Dengan demikian, kehadiran pachter di awal April 1915, hal tersebut hanya sebulan sebelum harga garam meningkat dari 91 ct hingga f1.40.

259

Bottemane, lihat juga Dr.A.L.J.Sunier, Nog Eens De Vischindustrie te Bagan Si Apiapi, Batavia, 6 Oktober 1912; dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur: vier en veertigste Deel, Batavia G.Kolff & Co, 19 hal..44-55. 260 Nota Mouw, 16 Januari 1916,

129 “Sebagian besar kemakmuran nelayan terutama karena otonomi mereka lebih besar, yang memungkinkan mereka untuk menegosiasikan harga yang lebih baik untuk produk ikan tangkap dan ikan asinnya.” Pada masa sebelumnya dimana masih sepenuhnya tergantung pada para pemimpin bisnis mereka, bangliao, pada usaha tersebut pachter memberikan bahan yang diperlukan dan garam, serta uang muka, dan sejumlah besar dari mereka, bersatu di kongsie kecil saja terutama untuk kepentingan mereka sendiri. Namun, ini kurang berhasil jika dilihat dari kemajuan nelayan atau konsekuensi atas kerusakan pada bang-liao, yang jumlahnya dalam tiga tahun terakhir diperkirakan dari kondisi semula berjumlah 80 buah jatuh menjadi 50 bangliao saja. Sebagian besar hasil produk perikanan, yang pada periode sebelumnya mengalir ke kantong bangliao, sesudahnya mengalir untuk kepentingan nelayan. Penurunan jumlah bangliao pada gilirannya adalah konsekuensi dari penurunan jumlah pedagang, yang biasanya diantaranya adalah mantan nelayan yang menyediakan garam secara kredit, dan dengan demikian terlibat dalam perputaran uang secara mandiri. Tampaknya juga, krisis ekonomi yang terjadi mendadak di era 1913, akan tetapi disembunyikan dari masyarakat dan ketika di tahun pertama pacht-kongsie dari Oei Koen Poey diberi tempat bersama-sama dengan Khoe Tjin Tek. Peran yang sangat besar bagi pachter garam dalam memainkan bisnis perikanan ini, ditunjukkan sekaligus; andai saja ada yang tahu bahwa ia sebenarnya adalah pemonopoli garam dan bahwa ikan asin atau basah, dengan persentase garam adalah 43%, sedangkan setiap pikul trassie persentase garam diperkirakan berada pada 20% hingga 25%. Pachter, sejauh ini meraup keuntungan terbesar dalam pendapatannya terutama berasal dari penjualan garam, yang memperbolehkan pachter menetapkan harga maksimum penjualan hingga f3,50 per pikul, dan ini penting baginya di satu sisi perusahaan, sejauh memungkinkan, dengan tingginya harga seperti yang akan dilakukan oleh pemasok garam secara kredit, setelah pacht-nya diperkirakan telah membayar keuntungan yang layak, tetapi di sisi lain untuk juga untuk memastikan bahwa tidak terlalu banyak jatuh korban akibat penyediaan kreditnya. Sayangnya, pola itu adalah bentuk kongsie pacht-lama yang hanya sampai batas tertentu saja dapat berhasil. Namun setelah itu, selama jangka waktu tertentu; mereka memiliki monopoli (1900-1913) yang membuat mereka menjadi kaya-raya. Akan tetapi, ketika nilai sewa sejumlah f32.000 dimana yang demikian itu mencapai lebih dari dua kali lipat batas yang sebelumnya telah dicapai; terbukti, mereka melakukan pemesanan maksimal untuk marangsang tumbuhnya perusahaan garam besar, akan tetapi ternyata upaya ini sia-sia belaka. Pada tahun 1913, kondisi ini telah mengalahkan pacht. Seperti pemesanan yang telah mencapai total f202.054, dalam 25 klaim saja. Pacht-kongsie baru segera berdiri sendiri di Singapura dan mengatur perdagangan garam, dan ini juga memungkinkan mereka untuk memperkirakan harga garam 35 sen per pikul lebih murah, apa yang harus dimulai dengan penjualan 20.000 pikul per bulan, memberikan keuntungan mencapai f7.000 per bulan. Jika yang satu ini menambah biaya transportasi dan lainnya sampai ke gudang di Bagan, pachter lama memperoleh 48 sen per pikul, sedangkan pachter baru memperoleh 38 sen, maka diperoleh lagi keuntungan yang lebih besar, belum

130 lagi jika didukung oleh administrasi yang jauh lebih baik, setidaknya keuntungan akan mencapai f9.000 per bulan. Pachter baru tidak akan diijinkan menetapkan nilai sewa tinggi yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, jika saja, tidak terjadi salah satu peristiwa yang tak terduga, yakni; perang Eropa. Dampak perang ini menyebabkan harga garam meningkat ke taraf yang belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, dari sumber catatan keuangan, pertamakali terjadinya kenaikan yang melebihi kenaikan normal adalah pada Mei 1915, jadi ini, delapan atau sembilan bulan setelah pecahnya perang. Mungkin saja terlihat pada awal perang, belum ditetapkannya kontrak selama delapan bulan dari harga pembelian f0,91 per pikul di Singapura. Pada bulan Mei 1915 garam dari f 0,91 per pikul sekaligus untuk f1,40, 8 bulan kemudian (Desember 1915 kembali meningkat menjadi f5,75. Sayangnya, Mouw nampaknya hanya memiliki akses ke catatan-catatan tertanggal April 1915 - Desember 1915. Dalih bahwa buku catatan tahun sebelumnya tidak ada dan ditolak akses kesana. Meskipun demikian, pachter pada tahun-tahun tersebut telah berhasil meraup keuntungan. Karena itu, kongsie ini dapat saja mengelak, walau tidak dengan meraup keuntungan besar. Dari pachter-lama dalam kongsie Bengkalis, bahwa pachter hadir selama masa perang, dan membeli garam sebesar US17,50 perkoyang untuk 40pikul (beberapa bahkan ditetapkan US12) dan kemudian US 26 dan US 40 per koyang. Angka ini ditempatkan sempurna mengalahkan semua pernyataan dari catatan yang ada. Jika demikian apa yang begitu murah adalah bahwa pachter telah membeli selama masa perang maka dapat dimengerti mengapa akses hanya diberikan untuk catatan tahun 1913 dan 1914, dimana telah terjadi penurunan.

Mengenai Pacht Seperti telah disampaikan, pachter-lama, ketika bisnis mulai limbung, sia-sia saja mencoba dengan kredit garam untuk merangsang perusahaan besar. Dalam satu tahun (1911-1912) terjadi peningkatan penjualan garam sebesar 25%. Hasilnya adalah bahwa para pedagang dan bangliau melakukan spekulasi secara “sembrono” bersama dengan pachter yang nampaknya bertentangan dengan nelayan dalam hal pembelian trassi. Mereka mengatakan bahwa kadang-kadang ikan tersebut telah dbeli sebelum mereka melakukan penangkapannya. Hal itu karena kenaikan harga ikan dan kekuatan tawar nelayan di Bagan, akan tetapi, terkadang para pedagang di pasar spekulasi Jawa, juga mengalami kerugian dengan cara seperti ini. Pada tahun 1913 pachtkongsie lama dipaksa untuk kebelakang melihat nilai sewa, dan akhirnya bom waktu itu meledak juga. Dengan menunjuk seorang pengacara, Mr.DEVE, diakseptasi jumlah keseluruhan dari penawaran berbagai debitur yang mencapai nilai f202.054.99. Hingga beberapa tahun sesudahnya, sebagian sebagai akibat dari tindakan pachtbaru, yang berhati-hati untuk tidak mengambil pemesanan begitu besar jumlahnya yang seperti dilakukan pendahulunya, kondisi di tahun 1913, 1914 dan 1915 dimana tidak kurang dari 23 pedagang ikan dinyatakan bangkrut, dari total sejumlah 50 pedagang, menjadi hampir setengahnya saja. Pada tahun 1916, hanya 27 pedagang

131 Bagan termasuk 10 diantaranya dengan omset tahun ini yang lebih besar dari f50.000. Di antaranya yang bangkrut tersebut terdapat sejumlah 9 perusahaan besar. Meskipun demikian, nampaknya masih terdapat sedikit harapan, kredit ini – angin segar untuk perdagangan dapat berdiri bila kita menganggap bahwa akibat tindakan pachter sebelumnya yang jumlah keseluruhan lebih dari f30.000. Bahwa dengan jatuhnya pedagang dengan sejumlah bangliao, berhamburanlah hutang-hutang pedagang yang nampaknya melibatkan pedagang lainnya yang masih eksis, dan ini tentu saja tidak memerlukan argumen nadir. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelesuan ekonomi Bagan ini disebabkan oleh peningkatan drastis persewaan, yang tumbuh dan berkembang di Bagan namun tidak diiringi oleh elemen lainnya. Sejumlah besar pacht, yang dibayar langsung oleh rakyat, telah menekan perusahaan begitu beratnya dimana seharusnya perusahaan-perusahaan tersebut telah dapat membentuk modal jika tidak terjadi penekanan tersebut. Pedagang, terutama harus fokus pada perdagangan kredit dan mencari peluang sedikit untuk beralih ke kredit yang lebih besar dan menghindari hilang dan meningkatnya penutup omset, yang dalam banyak kasus kegagalan mengakibatkan ia sendiri tertimpa lebih dalam lagi pada hutang-hutang baru. Pachter hanya untuk memastikan bahwa keuntungan yang diperoleh lebih tinggi disebabkan peningkatan penjualan garam, dan masih cukup lebih besar dari kerusakan yang diderita pada kemungkinan kepailitan debiturnya. Pada penanganan pertengahan era malaise ini adalah untuk menghilangkan penurunan harga garam, setidaknya f1 per pikul. Kemudian para pedagang dapat membuat keuntungan yang wajar tanpa mereka melakukan spekulasi. Akan ada modal di Bagan untuk membentuk pacht-ikan dan perdagangannya. Bahkan para pedagang tanpa berputus asa melalui petisi tanggal 8 Maret 1914; permintaan tertutup untuk mengurangi harga garam dari semula f3,50 hingga f 2,50, kemudian menghapuskan cukai, serta dimasukkannya Bagan dalam jaringan kabel telegraf, dan masih memiliki beberapa kesempatan dan saran lainnya yang memungkinkan untuk diterima pemerintah. Dengan sambungan telegraf, tentu saja para pedagang dapat memprediksi waktu yang tepat untuk melepas komoditi yang paling tepat ke Jawa sebagai pasar terbesar, bahwa pra-telegraf, para pedagang hanya menebak-nebak, berspekulasi tanpa dukungan informasi yang kuat.

Pendirian Bank Bagan Madjoe Adapun untuk pendirian bank Perkreditan, bahwa dengan difasilitasi oleh kontrolir Haga, diajukan surat oleh sejumlah warga China dan Melayu untuk pendirian perserikatan perkreditan, yang sedianya akan membantu para pedagang ikan dari kekurangan modal.261 Setelah melalui diskusi dengan para pemegang kebijakan, 261

Surat bertanggal 14 September 1915 yang juga untuk pengakuan sebagai sebuah lembaga berbadan hukum yang menaungi kepentingan para pelaku industry perikanan. Selain itu, pendirian Bank Bagan Madjoe yang berbasis untuk memajukan kepentingan perikanan, juga

132 akhirnya atas prakarsa dan saran dari kontrolir Haga; petisi bertanggal 8 Maret 1916 nomor 43, di bawah kondisi visibilitas dan kontrol oleh Konsultan perkreditan rakyat; sebagai dasar, onderafdeeling Bank Bagan Madjoe akhirnya dapat tercapai, dan didirikan pada tahun 1916(Indie;GNIK: 1924). 262 Kebijakan ini dapat dipahami mengingat pentingnya impor ikan di Pulau Jawa dan Madura yang sebahagian besar berasal dari Bagansiapiapi yang tentu saja layak untuk dikembangkan. Kondisi ini juga mengingat aplikasi oleh pedagang China pada tahun 1914; permintaan untuk pengurangan harga garam, kepala departemen perikanan, didampingi oleh Mouw, pejabat untuk urusan China, berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 1 Oktober 1915 Nomor 41, diputuskan pada bulan Januari 1916 untuk mengadakan penyelidikan keadaan industri perikanan, dan apa yang sebelumnya dikenal sebagai “Catatan Tuan Mouw; 263 Bahwa Mouw dalam penyelidikannya ini telah memegang buku dari beberapa pedagang dan pachter garam, dan terbukti dengan angka, kurangnya besaran modal dari para pedagang, tingkat ketergantungan mereka pada sisi keuangan dari pachter garam, dan juga, kondisi tingkat bunga yang tinggi. Bahwa rekomendari Mouw, tahun 1916 perdagangan di Bagan berada pada sekrup longgar, dan tanggal perubahan radikal tanpa memperhitungkan adanya sistem kredit yang berlaku, kejutan yang paling menyenangkan mungkin diperlukan. Untuk menghindari komplikasi yang tak terduga adalah metode paling aman untuk pacht dengan harga maksimum garam f2,50 per pikul selama masih ada perdagangan dan agak diperbaiki kondisinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan harga maksimum garam f2,50, jumlah pacht diperkirakan menurun secara signifikan. Konsekuensi terhadap hal itu diprediksi bahwa, “dalam waktu tidak terlalu lama, orang Bagan akan duduk menghitung kekayaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.” Oleh sebab itu, pendirian Bank perkreditan murah Bagan Madjoe, paling tidak dikondisikan oleh beberapa hal sebagai berikut:264 memberikan kredit untuk kebun dan pertanian kecil. Seperti yang terdapat disepanjang jalan antara Bagansiapiapi dan Labuhan Tangga, diberikan kesempatan yang luas kepada petani kecil untuk memperoleh kredit. 262 Het Chineesche Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi; A.W.Niewenhuis; INDIE geillustreed Indschrift Nederland En Kolonien, 10 Desember 1924, Hal.300-308; Bank ini didirikan oleh vereeniging yang beranggotakan B.J.Haga (Kontrolir sebagai ketua); Mohamad Arsad (sebagai vice president); Lim Tek Soei (sekretaris); J.Koppelle; dokter R.M.Pratomo,; Oei I Tam (Luitenant Chineezen); Sim Tjeng Song(wijkmeester der Chineezen); Ang Boen Koa, Oei Tong Kim; Li Tek Goan, Ban Hong Hin(Pedagang) semuanya berasal dari Bagansiapiapi, dilihat dalam “De Sumatra Post, Dondendarg, 28 Februari 1918.” Sebelum dana awal dikucurkan, juga tiba Dr.JH.Boeke dibulan Agustus 1916 untuk secara bersama-sama melakukan penelitian bagi dasar pendirian Bank. Setelah melalui diskusi dengan Asisten Residen Bengkalis dengan vorzitter, mereka tiba pada kesimpulan bahwa kredit memang benar-benar diperlukan. Hasilnya, Bank Bagan madjoe, mulai aktif bekerja pada tanggal 1 Februari 1917. 263 Laporan Mouw, bertanggal 16 Januari 1916. 264 O.P.Besseling, “De Visscherijbank “Bagan Madjoe” en de visscherij-industrie te Bagan Si Api Api, dalam Koloniale Studien: Tijdschrift van de Vereeniging voor Studie van KoloniaalMaatschapij Vraagstukken, Volume 1, Number 1, 12 November 1916, p.340-349.

133 1.

2.

3.

4.

5.

Pendirian Bank Kredit murah diarahkan untuk dapat meningkatkan pasokan ikan sebagai bahan makanan yang bergizi dan juga dengan harga murah. Hal ini juga didasarkan pada realita bahwa Pemerintah Kolonial telah melihat perlunya harga garam yang murah untuk mendorong meningkatkan produksi ikan. Jika melihat data statistik, maka harga garam masih relative tinggi; berturut-turut: Tahun 1895(f1,2), 1900(f1.45), 1905(f 2.30), 1910(f 3.85) dan 1913 (f 4). Harga ideal yang ingin dicapai adalah maksimal f3.50; Tingginya harga garam tidak saja mempengaruhi produksi ikan, juga menyebabkan menurunnya kualitas pengolahan ikan, disebabkan nelayan banyak yang melakukan pencampuran ikan dengan bahan yang tidak berkualitas dan ini menyebabkan harga ikan di pasaran, jatuh; Pada saat didirikannya Bank ini, Bagansiapiapi memiliki 8800 jiwa penduduk dengan 3200 KK. Adapun jumlah nelayan diperkirakan mencapai 4800 jiwa, yang berarti memiliki kecukupan sumber daya manusia pengelola kelangsungan industri ikan. Tahun 1915 mencapai hampir f4.000.000,dihasilkan dari total produksi ikan yang mencapai 36 juta Kg; Meskipun demikian, ditemui bahwa setahun sebelumnya dari sekitar 50 pedagang, 23 diantaranya jatuh bangkrut, dan sebahagian bangliau tutup. Dikatakan bahwa penyebab kebangkrutan ini yang terutama adalah akibat persaingan yang tidak sehat antar pedagang dalam membeli ikan dari nelayan. Akibatnya, pedagang membeli ikan dengan harga yang terlalu tinggi; Faktor lainnya yang juga krusial, adalah belum tersedianya telegraf. Alat komunikasi ini dapat menghubungan Bagansiapiapi dengan dunia luar sehingga dapat memantau situasi pasar; Selain itu, Sebuah Pelabuhan dengan ketiadaan fasilitas komunikasi dapat membahayakan. Kondisi pasang surut dengan banyaknya djermal yang terdapat di perairan dapat membahayakan pengiriman dan arus lintas disana; Tepatnya waktu pendirian bank perkreditan di Bagan, berhubung situasi kebijakan yang hanya menetapkan pacht sekali setahun dan penyediaan jasa pengangkutan pengiriman ikan, tidak lagi dikelola pachter Kondisi ini. berkemungkinan dapat menciptakan hubungan bebas antara pihak Bank dengan nelayan, bahkan pedagang dengan pachter;.

Besseling menyarankan beberapa perbaikan dalam menata peningkatan produksi, seperti; penyediaan koneksi telegraf, mencegah pencampuran produk ikan dengan bahan tidak berkualitas, penambahan dermaga untuk menghubungkan berbagai gudang ikan, menata jermal dengan mencabut yang telah ditinggalkan pemiliknya. Bagaimanapun juga, dengan didirikannya Bank Bagan Madjoe, dapat dikatakan bahwa nelayan dapat terbebas dari renternir dan tekanan-tekanannya, dan dapat memulai upaya ekonomi dengan modal perkreditan dari perbankan. Hal ini memungkinkan nelayan untuk lebih dapat meningkatkan produksi dan kesejahteraannya. Nampaknya realitanya memang demikian, bahwa sejak dihapusnya sistem Pacth tahun 1920, produksi perikanan Bagansiapiapi mengalami peningkatan; yang semula maksimal

134 produksi ekspor tertinggi pada era pacth yakni Tahun 1919 mencapai 35,3 Juta Kg, pada Tahun 1926 telah mencapai 43 juta Kg, dengan kondisi pinjaman terhadap nelayan yang mencapai f1000,- De Sumatra Post, pada tanggal 5 Maret 1919 memberitakan Bank Bagan Madjoe sebagai berikut: Kita menerima dari Laporan Tahunan dari Kontrolir Bagansiapiapi tentang Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe tahun 1918, sebuah bank perkreditan untuk industri perikanan di sana. Ada bukti pemberian kredit hingga sebesar f200.000, dari kas sentral. Hanya separuh yang dijamin oleh pemerintah. Kas Sentral menjadwalkan pelatihan pengontrolan keuangan terhadap kondisi pembukuan tersebut. Akhir tahun 1918, uang yang terdapat di bank sejumlah f154.224,98, dari Kas sentral diperoleh f182.487,78, tabungan yang diinvestasikan sejumlah f12.753,82.. terutama pada tahun 1920 saat kontrol garam diberlakukan, daripada disediakan untuk kredit zout-pachter lebih baik disediakan untuk pembelian garam. Jumlah uang yang dipinjamkan meningkat dari semula f103.549,85 menjadi f174.190,07. Saldo pada keadaan 31 Desember 1917 sejumlah f103.549,85. Pemberian pinjaman sebesar f347.659,13 dan pembayaran pelunasan sebesar f277.018,91. Sejumlah 321 debitur terkemuka terlibat, terutama orang-orang China. Penyempurnaan aturan kredit terutama terhadap sejumlah besar perjanjian overkredit dari para pedagang kecil. Dilakukan penghitungan jumlah persentase bunga perbulan. Atas kewajiban yang berlapis-lapis diiganti dengan rente 5 persen. Kas Sentral berpendapat bahwa kewajiban yang berlapis-lapis akan menyebabkan keterlambatan waktu pembayaran. Selanjutnya dalam Laporan Bank Bagan Madjoe pada tahun 1923, bahwa pihak Bank melalui Visscherijfonds telah memberikan pinjaman mencapai f422.000,- dengan rincian; untuk jermal sebesar f104.900,- untuk pasar ikan sebesar f15.050,- Impor sebesar f68.696,- untuk ritel sebesar f44.500,- untuk peternakan sebesar f 1400,untuk perkapalan sebesar f9300,- untuk rumah mencapai f107.510,- aneka lainnya sebesar f61.345,-. Dari total seluruh pinjaman, sebesar f390.000,- dipinjamkan kepada peminjam China; mungkin ini sebabnya surat jaminan hampir seluruhnya dalam bahasa China. Laporan Onderafdeeling Bank Bagan Madjoe Tahun 1928; bahwa peningkatan pinjaman biasa, dari f366.700 pada tahun sebelumnya menjadi f417.600, terutama terkait dengan konversi beberapa kredit besar. Para pedagang diberitakan membuat hutang dengan kantor-kantor Bank Jawa melalui transfer Telegraph, yang kesemuanya ditujukan kepada Bank Bagan Madjoe, dilaporkan juga bahwa tunggakan pinjaman menurun drastis, disebutkan pula bahwa pinjaman guna usaha impor barang-barang seperti; minuman, beras, tepung tapioka, gula, tali dan lainnya dalam beberapa tahun terakhir dibeli melalui Singapura.265

265

De Sumatra Post, warta tentang Bagan Madjoe, tanggal 5 Juni 1929.

135

Ketersediaan Garam Adapun kelimpahan ikan, dapat menjadi kelimpahan produksi ikan ketika ditunjang oleh faktor utama produksi ikan selain alat tangkap, sebab menghasilkan ikan dalam jumlah besar membutuhkan suatu sistem pengawetan yang memadai. Adanya kebijakan harga Garam yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial pada saat itu, bahwa; Kondisi ini ditunjukkan dengan data statistik bahwa sebesar 76.5% garam yang ada di seluruh wilayah Hindia Belanda di gunakan di Bagansiapiapi; Kondisi ini melihat realita bahwa seluruh produksi ikan tergantung pada garam. Tidak seperti pada wilayah lainnya di Hindia Belanda, dimana Garam mencapai harga yang tinggi yang merupakan produk kebijakan monopoli Pemerintah Kolonial. Era tahun 1900-an pada saat kondisi industri perikanan di Jawa mengalami kelesuan, dan sentra perikanan bergeser ke Sumatra Timur khususnyya Bagansiapiapi, hal ini ditengarai sebagai dampak kebijakan garam murah yang diterapkan Pemerintah Kolonial. Persoalan produksi perikanan ini Sebenarnya telah dilihat oleh Haga, juga Butcher, tidak lepas dari peran ketersediaan garam; yang berfungsi sebagai pengawet dan bahan pengolah hasil ikan. Sebagai contoh ketersediaan garam, pada tahun 1910, dari 20 juta Kg per tahun garam yang di kirim ke Singapura dari Arabia (kawasan Laut Merah), 9 juta Kg digunakan di Bagansiapiapi. Ketersediaan garam mempengaruhi jumlah produksi ikan. Untuk menjaga kelangsungan industri ikan, bagaimanapun juga, diperlukan untuk mengimpor sejumlah besar garam. Biasanya garam dibeli dari Laut Merah di Singapura. Garam, sebagai sebuah komoditas, dikontrol oleh Pemerintah Kolonial. Pada masa itu, pendapatan Pemerintah Kolonial dari hak monopoli garam pada tahun 1902 mencapai f9.456.466, Tahun 1913 meningkat menjadi f12.633.988,21 dan Tahun 1922 meningkat lagi mencapai f17.221.346,50, dimana kondisi ini belum termasuk monopoli garam di Bagansiapiapi yang diperlakukan secara istimewa; Seperti pada Tahun 1905 Pemerintah Kolonial memperoleh masukan sekitar f325.000 dari Industri gram dan industri lain yang terkait. 266 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di Bagansiapiapi garam adalah bagian yang utama dari suatu proses pengasinan ikan, kemudian terassi, udang kering yang membutuhkan garam dalam jumlah besar. Van Kempen dalam laporan kunjungannya di tahun 1908, menyebutkan nama pemegang hak pacht garam adalah “Oey I Tam”, mantan Kapiten China Bengkalis yang juga tercatat sebagai pendiri Jalur pelayaran yang beroperasi di Bagansiapiapi. Selain Oey I Tam, nampaknya bisnis pengadaan garam ini juga di ikuti oleh pengusaha dari Medan, Singapura atau Penang, sebagaimana digambarkan oleh Vleming: Tidak terdapatnya lembaga perbankan, maka modal pun diperoleh dari Singapura atau Penang,. meskipun tidak ditemui adanya hubungan erat khususnya dengan Bagansiapiapi. Salah satu sumber adalah kredit, tentu saja, dengan bunga yang tinggi, biasanya tergantung pada “pachter-garam” (kongsie antara Ju Tjong A Fie Mayor China Medan dan Mayor Khoe Tjin Tek yang hadir bersama juga dengan pedagang Cina

266

Kolonial Verslag, 1904; 1915; 1923; Kemudian Butcher 1996 dalam Yety Rochwulaningsih: Petani Garam Dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah.

136 lainnya yang turut berpartisipasi).267 Selain itu, menjelang akhir abad ke-19, tepatnya ditahun 1897, dari sindikasi pedagang China di Medan, juga terdapat nama Tan Tang Ho(1860-1916) yang turut dalam kontrak Pacht garam di Bagansiapiapi. 268 Bagaimanapun juga, saat itu di Bagansiapiapi, bisnis pengadaan garam adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Dikatakan sangat menguntungkan disebabkan terdapat keuntungan langsung dan tak langsung dari bisnis garam ini. Keuntungan langsung diperoleh dari penjualan garam melalui Hak pacht yang diperoleh dari Pemerintah. Adapun keuntungan tidak langsung diperoleh dari kewajiban untuk menyelenggarakan ekspor terassi dan udang kering di Bagansiapiapi. Dikatakan bahwa “pisau pemegang hak Pacht garam dapat memotong dua sisi”. Sebagai contoh, Gobee dan juga Colijn yang melakukan kalkulasi secara teliti atas keuntungan bersih yang diperoleh dari pachter atas penjualan garam adalah mencapai 112.000 gulden, juga keuntungan yang dikumpulkan dari kewenangan penjualan terassi sebesar 14.000 gulden dan penjualan udang kering sebesar f5350. Pada tahun 1896 – 1904, keuntungan pachter hamya mencapai 3500 hingga 6060 gulden per bulan. Akan tetapi pada saat terjadi lonjakan penggunaan garam yang semula 4.9 menjadi 15.7 juta kg., kondisi ini juga menyebabkan lonjakan ekspor ikan kering dan produk ikan lainnya. Hendrikus Colijn menghitung penerimaan kas Pemerintah dari sektor pajak bisnis sejumlah f35.000,-, bea impor dan ekspor sejumlah f65.000,-, dan sejumlah f100.000,- dari opium, dan total seluruhnya adalah sebesar f350.000,-. Untuk pembiayaan pemerintahan di Bagansiapiapi, seperti gaji kontrolir dan sejumlah pegawai lainnya, diperkirakan sejumlah f25.000,-. Singkatnya, Pemerintah Kolonial menerima pemasukan sejumlah f325.000,- di tahun 1905 dari industri perikanan di Bagansiapiapi. Bagi pemerintah kolonial, van Kampen menyebutkan, Bagansiapiapi jelas merupakan “Tambang Emas Kecil.” Masih dalam dekade yang sama, ketika Pemerintah Kolonial mengambil sikap untuk lebih represif terhadap persoalan yang berkaitan dengan sistem pacht, dimana di Jawa telah dihapuskan, Colijn menentang keras pendapat yang berkaitan dengan perlunya penghapusan sistem pacht, bahkan yang berada di luar Jawa. Colijn mengemukakan dalam laporannya bahwa lebih baik untuk melakukan kebijakan lainnya ketimbang penghapusan pacht, seperti penaikan pajak atas garam; dikatakannya bahwa menghapuskan “pacht-garam” di Bagansiapiapi seperti “membunuh angsa yang bertelur emas”. 269 Sukses di Bagansiapiapi, Colijn tidak hanya terfokus pada area ini, melainkan juga, ia melirik Panei, 270 yang terletak di

267

Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indid: door Vleming, J.L. Landsdrukkerij, 1926. Weight, tahun 1909,581-582; dilihat dalam Dirk A Buiskool, “The Chinese Elite Comercial of Medan: 1890-1942, The Penang Connection, JMBRAS, Vol.82,part 2, 2009.p.113-129. 269 Butcher, 1996; hal.100-101. 270 Seperti diwartakan oleh De Sumatra Post, 8 Agustus 1905, “Het laastste punt van de opdracht waarmede Kapitein Colijn hierterkuste is gekomen, luidt: ‘middelen te beramen om door een 268

137 sebelah utara sepanjang pantai timur, dimana sekelompok pengusaha China mengajukan petisi kepada pemerintah kolonial untuk melakukan pengusahaan pacht disana. Penguasa kolonial di Panei mengemukakan bahwa impor ikan ke Jawa menurun sejak pertumbuhan industri ikan di Bagansiapiapi. Dan Jika, Panei menjadi “Bagansiapiapi kedua,” maka, Pemerintah akan kehilangan banyak dari impor dan beberapa bea lainnya. Colijn membantah argumen ini bahwa Pemerintah memaksakan bea kecil dari kebijakan impor ikan ke Jawa dari daerah di luar Hindia Belanda, akan tetapi Konsil Hindia, seiring dengan kebijakan etis membujuk Gubernur Jenderal untuk tidak membebani rakyat dengan membuat mereka membayar lebih hanya untuk salah satu jenis makanan yang mampu mereka peroleh. Sebagaimana telah disampaikan, terdapat kenaikan pemasukan yang cukup tajam dari pacht-garam (zoutpacht) bagi pemerintah kolonial antara tahun 1904 hingga tahun 1910, dimana tahun 1904 hanya mencapai f6060 per bulan, di tahun 1910 menjadi f13.500 per bulan. Kondisi menjelang tahun 1910 ini, dirasakan cukup stabil dan tidak ada dilaporkan terjadinya suatu persaingan sengit para pelaku bisnis. Hanya pada Tahun 1910 terdapat Laporan dari Residen Pantai Timur Sumatra tentang adanya percekcokan serius dalam tubuh sindikat. Salah satu kelompok sindikat yang berbasis di Singapura memisahkan diri dan menjadi rival dari sindikat. Tujuannya bukan hanya mendapatkan pacht, melainkan juga menghancurkan pachter, yang diidentifikasi oleh Residen sebagai “Kapiten China Oei Koen Poey, meskipun penyebab “dendam kesumat” ini tidak begitu jelas. Dengan dorongan dari Residen, sang rival melakukan penawaran sangat tinggi atas tender pacht, penawaran yang sangat tinggi tersebut diharapkan mereka akan mengalami kerugian jika benar-benar mereka memperoleh pacht. Sebaliknya, ternyata Oei dapat mempertahankan pacht dengan mengajukan penawaran yang lebih tinggi lagi, namun kemenangannya dirusak ketika pemerintah di Batavia menarik penawarannya untuk mengalihkannya kepada pacht di Panei. Oei kuatir jika pacht jatuh ke tangan rivalnya, maka mereka akan menyelundupkan garam murah ke wilayah pacht-nya yang akan menyebabkan kehancuran bisnisnya. Atas intervensi Residen Pantai Timur Sumatra, dia dapat menangani pacht di Panei dengan baik meskipun dengan sewa yang lebih besar ketimbang pada awal penawarannya. Residen berkomentar, “ini sudah pantas bagi kita untuk memperoleh keuntungan dari permusuhan antara kompetitor dalam menaikkan sewa pacht, tetapi bukan dalam rangka menfasilitasi kebangkrutan mereka(pachter)”. 271 Terjadi puncak produksi pada tahun 1904, yakni sebesar 25,9 juta kg. Bandingkan dengan produksi tahun 1909 yang mencapai 20 juta kg., disaat yang sama ekspor trassi meningkat menjadi 10.1 juta kg., dan menurun di tahun 1910. Tahun 1912, dikatakan sebagai “achteruitgang” atau penurunan dari industri perikanan di Bagansiapiapi.

gewijzigde zoutpolitiek is het Panei-kustgebied een visch industrie in het leven te reopen, gelijk thans reeds bestaat te Bagan Api Api.” 271 Dalam Butcher, 1996; hal.103.

138 Beberapa studi tentang dua phenomena pun dilakukan, yakni phenomena kenaikan bea pacht-garam di satu sisi dengan penurunan produksi disisi lainnya. Dapat dikatakan, terjadi hubungan kausal antar keduanya, dimana pachter memiliki kewajiban untuk lebih memenuhi kewajiban pembayaran sewa pacht, yang membawa akibat dari penurunan produksi ikan. Bahwa kenaikan harga garam telah menyebabkan berkurangnya keuntungan industri dan lebih jauh mengurangi produksi. Kenaikan sewa pacht juga telah mengakibatkan kenaikan harga garam. Berapapun keuntungan yang dihasilkan oleh pachter, jelas menunjukkan bahwa, industri perikanan di Bagansiapiapi tidak lagi seperti tambang emas kecil yang digambarkan Colijn disaat kunjungannya ke Bagansiapiapi; kondisi hanya pada tahuntahun awalnya saja. Antara tahun 1910 – 1914, pemasukan yang diperoleh berkisar antara f1.000.000 – f2.000.000 per tahun, yang diperoleh dari sewa pacht, pemasukan dari penjualan opium, bea impor dan ekspor dan sejumlah pajak lainnya. Meskipun demikian, Butcher meyakini bahwa pada era ini, pemerintah telah mengupayakan pemasukan kas yang sebesar-besarnya dari industri perikanan, begitu pula dengan pachter, yang tidak saja memaksimalkan ekploitasi atas hak pacht, melainkan juga melalui monopoli atas pengelolaan kredit. Pemerintah Hindia Belanda dan juga pachter, mengeruk hampir seluruh surplus dari bisnis industri perikanan, dan ini menyebabkan mustahil bagi pedagang yang berada di bawah pachter untuk mengakumulasi modal sehingga dapat melepaskan diri dari pachter. Nampaknya, era ini juga ditandai dengan kondisi bahwa eksploitasi sumber daya muara telah berada pada ambang batas, seperti terefleksi pada statistik dengan tidak adanya peningkatan produksi antara tahun 1910 – 1914. Kondisi ini berdampak pada ketidakmampuan pedagang untuk bertahan, sehingga mereka collaps yang membawa serta tauke yang berada dalam naungan pedagang tersebut. Para nelayan, mereka terkondisikan sebagai “kuli dan hanya sedikit yang mengeluhkan tentang hal itu”, sebagaimana telah dicatat oleh seorang administrator, tetapi, keuntungan mereka terjadi bukan disebabkan oleh perluasan produksi, melainkan disebabkan sekarang mereka menerima sejumlah pemasukan yang sebelumnya adalah milik pedagang dan tauke.272 Meskipun telah terjadi “achteruitgang” atau penurunan produksi ikan, namun secara umum industri perikanan di Bagansiapiapi mengalami peningkatan semenjak masuknya orang Belanda kesana diakhir abad ke-19.. Sebuah warta pada tahun 1916273, dapat menjelaskan bahwa selama kurun waktu penempatan kontrolir di Bagansiapiapi, telah terjadi lonjakan tajam pemasukan pemerintah dari garam, yang semula di tahun 1900 pemasukan adalah sebesar f6.510 perbulan, meningkat menjadi f36.200 perbulan di tahun 1915, dimana harga garam di tahun 1900 adalah senilai f2.05 per pikul naik menjadi f4.00 per pikul di tahun 1911 dan harga tersebut turun di tahun 1913 sebesar f3.50 per pikul. Hal ini dapat dipahami mengingat impor garam yang mencapai 16.700.000 kg dan produksi ikan yang mencapai 36 juta k.g. dengan nilai mencapai f3.900.000. Berikut rinciannya: 272 273

Butcher, 1996: 118. De Sumatra Post, 8 Mei 1916: Een groot vissbedrjf in Indie.

139

Gedroogde Visch Trassie Gedroogde Garnalen Garnalenschillen Nat geconserv.garn. Vischmaag

Hoeveelheid in Pikol 300.000 200.000 20.000 40.000 20.000 -

Waarde in guldens 2.100.000 1.200.000 300.000 200.000 60.000 40.000 3.900.000

Hingga tahun 1917274, sistem pacht-garam di Bagansiapiapi adalah satu-satunya yang tersisa di Hindia Belanda dimana pemerintah telah memutuskan untuk mengakhirinya. Pada Bulan November 1917, Konsil Batavia merekomendasikan agar sistem pacht(farm) dihapuskan, dengan tidak mempedulikan beberapa faktor penyebab penurunan dari produksi ikan di Bagansiapiapi. Konsil juga mengumumkan bahwa penarikan keuntungan Pemerintah dari pacht akibat dari penerapan pacht yang berlebihan. Gubernur Jenderal Mendukung pernyataan konsil yang digambarkan sebagai “menyalahi prinsip dan tidak adil secara ekonomi.” Di Bagansiapiapi pada akhirnya pacht-garam dihapuskan yang bukan disebabkan oleh hal lain melainkan disebabkan sistem pacht itu sendiri. Setelah memutuskan untuk menghapuskan sistem pacht, pemerintah menyiapkan alternatif untuk mensuplai kebutuhan garam bagi nelayan. Lebih dari sebelumnya, kali ini monopoli penyediaan garam langsung ditangani sendiri oleh Pemerintah. Pemerintah memutuskan untuk mensuplai garam kepada serikat yang berbasis di Bagansiapiapi dan mewajibkan serikat ini untuk menjualnya dengan harga tetap dengan atas nama pemerintah. Bersamaan dengan dihapus secara keseluruhan pacht di tahun 1920, Serikat Tjin Tong mengelola bisnis garam dan menjualnya dengan harga 3 gulden per pikul. Pemerintah nampaknya melanjutkan model pengadaan garam yang sebelumnya di tangani oleh pebisnis China, akan tetapi kali ini, Serikat Tjin Tong tampil dengan pola yang benar-benar berbeda dengan pacht; disini semua pedagang memiliki saham, tidak satupun dizinkan untuk menyimpan saham lebih dari yang lain, dan pemegang saham terikat untuk meninggalkan bahagian sahamnya jika ia meninggalkan Bagansiapiapi. Dengan metode seperti ini tidak ada satu pedagang pun yang dominan di industri seperti di era sistem pacht. 275 Berikut adalah pasokan garam untuk memenuhi kebutuhan industri perikanan Bagansiapiapi Tahun 1901 – 1930: 274

Serikat garam yang berperan pada era Tahun 1917 adalah serikat yang dimotori oleh Khoe, bekerjasama terutama dengan Tjong A Fie, kapiten China dari Medan, yang juga merupakan bagian dari sindikasi Straits Settlement: “In 1917, Khoe obtained the salt farm of Bagan Si Api Api with Tan Tang Ho and Tjong A Fie as guarantors for f.38,000 a year”. Dilihat dalam Mailrapport 413/1917/, Extract uit het register der besluiten van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie, Tjipanas, 15 February 1917, dilihat dalam The Chinese Comercial of Medan, 1890-1942:The Penang Connection, oleh Dirk A.Buiskool, JMBRAS Vol.82 Part 2, 2009, p.113-129 275

Butcher, 1996: 119

140

Tahun 1901 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1911 1912 1913 1914 1915

Garam (Juta Kg) 12,3 14,4 15,17 14,3 14,3 14,3 10,4 10,8 9,3 9,5 13,1 14,7 13,8 16,7 16,7

Natrium Chlorida (keukenzout) Calcium sulfat Calcium Cholride Natrium Sulfat Magnesium chloride Organische stof Kiez elzuur en silicaten Yzeroxide Air Calcium Carbonaat Sumber: Markus, 1929

Perdagangan Ikan

Tahun 1916 1917 1918 1919 1920 1921 1922 1923 1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 Garam Singapore 94.43% 0.84% 0.15% 0.15% 0.55% 0.08% 0.11% 0.03% 2.97% 2.97%

Garam (Juta Kg) 18 17,9 18,5 18,8 23 22,7 Garam Madoera 87.73% 0.80% 0.80% 0.58% 1.43% 0.08% 1.03% 0,.05% 6.46% 0.46%

141

Jawa merupakan pasar utama dari produk Bagansiapiapi. Menurut Colijn, sejumlah 14.0 dari 26.0 juta kg. ikan kering diekspor ke Jawa. Sebagaimana telah diketengahkan bahwa data Van Kempen menunjukkan ekspor ikan kering Bagansiapiapi ke Jawa sejumlah 56 persen dari 23.1 juta kg, 25 persen ke Malay Peninsula, dan 19 persen ke sejumlah wilayah di Sumatra Timur. Jawa, wilayah pantai Barat Malay Peninsula, sekitar medan dan Sumatra Timur, jumlah penduduk meningkat dengan pesat, terutama dikalangan imigran di pertambangan dan perkebunan di Malaya dan Sumatra Timur, menyebabkan permintaan akan ikan sebagai sumber protein hewani juga meningkat. Disaat yang sama, produksi ikan di Jawa mengalami penurunan, paling tidak, produksi ikan di Jawa tidak dapat mengimbangi jumlah populasi yang terus meningkat.Selain itu, kondisi harga garam yang dimonopoli oleh Pemerintah Kolonial telah menahan laju industri ikan disana. Kondisi ini telah mengindikasikan kesiapan Bagansiapiapi dengan produk ikan keringnya, akan tetapi, untuk halnya pemasaran di Jawa, terdapat produk saingan yang diimpor, terutama dari luar Hindia Belanda, yakni Siam. Di Tahun 1903, dari total impor ikan dari luar Hindia Belanda yang berjumlah 19 juta kg berasal dari Bagansiapiapi. Akan tetapi ketika produk Siam memasuki Jawa, produk yang berasal dari Bagansiapiapi menurun. Kondisi ini terutama disebabkan ikan yang dihasilkan oleh Siam, adalah ikan yang bernilai lebih dari ikan produksi Bagansiapiapi. Ikan Siam diasinkan, namun dilakukan lebih baik dari produk Bagan. Colijn mengomentari produk terassi dari Bagansiapiapi sebagai “vogue” (kabur).276 Bagansiapiapi sebagai salah satu pemasok ikan bagi Pulau Jawa, dengan komoditis perikanan yang terjamin kualitasnya. Untuk mempertahankan kualitas tersebut, pada tahun 1915 Gubernur Sumatra Timur mengeluarkan peraturan memberikan sanksi hukuman (straf) pada pengusaha yang dalam pengolahan ikan memberikan campuran yang dapat mempengaruhi kualitas, yakni hukuman 30 hari kurungan (Indie;GINK,1924). Pada era 1913-1915, dimana harga garam meningkat, nelayan mencampur produk trasi guna mengurangi penggunaan garam, dan ini berakibat pada buruknya kualitas yang menyebabkan harga trasi produk Bagan di Jawa jatuh. Seperti yang terlihat bahwa pasar utama produk Bagan adalah di Jawa, ikan kering, terutama trassi. Akan tetapi, kenyataannya menunjukkan bahwa di Jawa itu sendiri juga menghasilkan trassi. Desa di sana juga melakukan penangkapan ikan lebih dari yang dipikirkan orang, akan tetapi ini terjadi jauh lebih luas daripada di Bagan; sementara kualitas produk yang dihasilkan jauh lebih tinggi daripada ikan boesoek. Unit Jawa dan Madura memproduksi mungkin lebih dari impor yang berasal dari Bagan, sedangkan untuk pasar lain; Melaka bahkan produk utama. Melaka menandakan tidak hanya Singapura, tapi Penang dan InggrisMalaya, pusat pelabuhan; Benteng Settenham, untuk yang terakhir juga cukup besar, tidak termasuk dalam jumlah statistik ikan muncul. Bagi udang asin basah di Kantor Statistik Singapura dikirim ke pelabuhan tertentu, akan tetapi dalam kenyataannya mereka mengirimnya ke China. jumlah ikan kering, yang terutama berasal dari 276

Butcher, 1996, hal.96-97.

142 Seneboi jauh lebih besar dari ikan kering, Selanjutnya mengenai transportasi di Panipahan sehubungan dengan posisinya, terutama untuk kegiatan ekspor ikan kering ke Deli, Jawa dan Singapura. Hal ini, bahkan telah merupakan rute dari kapal pengiriman yang telah ada. 277 Bahwa ekspor dari Bagansiapiapi ditujukan ke Singapura dan juga Melaka.

Bagansiapiapi dalam jejaring pelayaran KPM. 278

277 278

Bottemane, 1929, hal.21 Dutch Colonial Map, Thematic Map, name:08271.

143 Terlihat perbedaan menyolok antara pengiriman dari Bagan ke Jawa dibandingkan dengan yang menuju Deli atau Melaka. Ekspor asal Sinaboi ke Jawa juga berbeda dengan yang berasal dari Bagan, berkemungkin terkait dengan ekspor ikan yang relative besar,khususnya di akhir tahun. Anehnya, pergerakan angka ekspor ke Jawa terutama di arah yang sama dengan angka impor di Jawa dari "Siam". hanya di bulan Maret dan Oktober menunjukkan gerakan berlawanan; Dalam kasus terakhir, ini berbeda dengan berkurangnya ikan tangkapan Bagan. Kenyataan ini dikatakan oleh Haga, ekspor ikan dari Siam ke Jawa tampaknya berkurang, atau tidak ada. Total ekspor trassi berubah lebih kuat dari ikan. Angka ekspor ke Jawa bergerak kearah yang sama, akan tetapi nampaknya tidak terlalu berfluktuasi. Jumlah ekspor dari Bagan ke Melaka, nampaknya diakhir tahun menurun. Penjelasan akan hal ini menjadi tidak mungkin jika tidak didukung oleh data-data tambahan. Pertama yang perlu dilakukan adalah dengan melihat pada statistik harga untuk menunjukkan akurasi dan nilai, kemudian pengetahuan yang lebih memadai dari konsumsi - hubungan di Jawa dan kondisi nelayan di China dan Siam. Jawa adalah pasar utama penjualan dari produksi trassi juga untuk ikan. Pedagang di Bagan memiliki hak untuk melakukan kontak langsung. Sebelumnya, direntang awal abad ke-20, ekspor ikan dan trassi untuk Jawa terutama singapura, sampai ia menyimpulkan bahwa bahkan hukum penjualan wilayah itu memungkinkan. Saat itu juga hanya sebagian kecil yang menjalankannya dari Singapura. Sebuah warta kolonial melaporkannya sebagai berikut: 279 “Pemasukan ikan kering dari Bagansiapiapi di Semarang, mengalami peningkatan drastis semenjak K.P.M. melakukan pelayarannya dijalur ini. Sebelumnya, ketika kapal tidak melintas disana seperti untuk melakukan impor ikan kering dari singapura dimana muatan dari Bagansiapiapi diangkut dari sana, Ini berarti sebelumnya importir membayarkan kesana karena ikan dianggap di impor dari singapura. tak seorangpun disini akan membuat perubahan, jika tidak disebabkan oleh seorang reserse yang cerdas, dan begitu ia ditempatkan di Bagansiapiapi, idenya langsung menuju titik dimana pedagang ikan kering yang berada pada keuntungan yang mengirimkannya langsung ke semarang, dan tempat lain di Jawa pun akan dilibatkan…..” Untuk perkembangan pada tahun 1920-an, juga memberikan kontribusi untuk K.P.M. yang dalam 10 hari dengan cepat memberikan layanan kargo besar langsung dari Bagan ke Jawa. Transportasi terutama menyangkut pengangkutan udang dan ikan boesoek. Kualitas dari tiga kelompok terakhir dibedakan, yang juga perbedaan harga yang juga cukup signifikan. Penambahan dari tangkapan dibuat bervariasi bahkan lebih baik, dengan penetapan harga yang lebih tinggi, tapi hal itu tidak dicegah di jumlah yang besar tersebut. Pada saat ini diuraikan dalam pengorganisasian yang lebih rinci. Pada periode berikutnya, mungkin tidak dicantumkan harga yang telah

279

18 Desember 1903, Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie: “Handel de Droge Visch.”

144 biasa dituliskan hanya rata-rata saja dan berupa perkiraan. Angka yang akan dicantumkan hanya berupa asumsi, meskipun dengan keyakinan bahwa ini benar. Akhirnya dapat diasumsikan bahwa jumlah ini adalah sekitar f8.000.000,-. Bottemane juga membahas akan nilai keuntungan dari sebuah bisnis ikan di Bagansiapiapi. Mulai dari biaya produksi, seperti; pembangunan alat penangkapan ikan, biaya pemeliharaan hingga upah buruh nelayan. Dari laporan setebal tiga puluh tujuh halaman tersebut, secara singkat pemikirannya adalah sebagai berikut: 1.

2. 3. 4 5 6 7. 8. 9. 10.

Haruslah dilakukan upaya penelitian biologis atas kondisi setempat di Bagan atau di luar itu, sedangkan pengetahuan jangka panjang dari perilaku ikan yang diinginkan sebagai dasar untuk menilai efek dari penangkapan yng dilakukan oleh kapal ikan; Penelitian kelautan di sini adalah berbeda dan lebih besar dari yang biasanya berlangsung dalam perikanan laut; Haruslah di tunjuk Mantri polisi untuk kepentingan hal-hal yang terkait masalah perikanan; Sementara itu juga dilakukan pengumpulan data; Penetapan tarif haruslah dicatat secara teratur untuk berbagai jenis dan kelas kapal ikan, sehingga tersedia dasar untuk penelitian biologi; Menghimpun hal-hal rinci hingga yang terbaru, terutama ekspor yang diperlukan untuk penelitian biologi. Masalah pelayanan kayu mengikuti pedoman tertentu untuk diatur; Penyelidikan atas kemungkinan bantuan teknis perbaikan atau perangkat berubah, yang dapat memiliki bobot pengurangan biaya; Penyelidikan lebih lanjut ke kemungkinan yang lebih baik dan industri "pengolahan" hasil tangkapan (tepung ikan?) sangat diinginkan; Bank menyediakan suatu divisi khusus untuk menangani persoalan ini; Dimungkinkan untuk terjadinya beberapa perbaikan dalam metode pemasaran; Akhirnya, dibutuhkan suatu pengaturan batas jermal 3-mil di "Selat" dan Hindia Belanda;

Telegraf dan Transportasi Laut Seperti saran Haga untuk segera dilakukan pemasangan telegrapf, maka pemasangan telegrapf dilihat sebagai kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan industri perikanan Bagansiapiapi, mengingat bahwa era kolonial dengan segala keterbatasan. Nampaknya, Teknologi komunikasi ini memungkinkan suatu koneksi bisnis yang lebih cepat, suatu lompatan yang sangat baik, sebab pengusaha tidak akan menunggu terlalu lama untuk melakukan suatu transaksi hingga pengiriman ikan. Dipasangnya kabel telegraph di Bagansiapiapi merupakan kunci utama arus hubungan Bagansiapiapi dengan daerah lainnya, yang tidak saja tentang pengiriman hasil ikan, melainkan juga pengiriman (impor) garam, dan barang kebutuhan lainnya. Bahkan dari

145 warta yang terbit tahun 1929, diberitakan bahwa pedagang membuat hutang pada Kantor-kantor Bank Jawa, melalui Telegraph.280 Lazimnya telegraph pada masa itu, maka operasionalisasi teknologi ini membutuhkan hingga 6 petugas dengan beragam ketrampilan, Jumlah tenaga yang terlibat dalam urusan operasional telegraph, nampaknya berkaitan dengan beban kerja unit tersebut dalam melayani jasa telegraph, seperti pada tahun 1932, telegraph masuk sejumlah 9390 dan keluar sejumlah 3192; di tahun 1933 telegraph masuk sejumlah 9096 dan telegraph keluar 3213. Dari aktifitas telegraph ini, dilaporkan bahwa terdapat penghasilan yang pada tahun 1932 mencapai f790.875,98 kemudian pada Tahun 1933 mencapai f936.495,96.

Rute Pelayaran Perdagangan Sementara itu, posisi Bagansiapiapi yang berada ditengah lintas Pengiriman produk juga jalur perdagangan lainnya seperti garam, sebenarnya menunjukkan bahwa Bagansiapiapi saat itu adalah sebuah Bandar ikan yang ramai, dipenuhi dengan kapal uap dan kapal layar yang singgah untuk memenuhi kebutuhan pengangkutan, aspek yang tidak kalah pentingnya dari cerita suatu industri perikanan. Hingga peristiwa kebakaran besar yang melanda Bagansiapiapi di tahun 1908, tercatat sebanyak enam rute pelayaran yang melayani Bagansiapiapi dalam pengiriman produknya antara Bagan dan Singapura, begitupula antara Bagan dan Jawa. Lima kapal memiliki kapasitas hingga 200 ton, sementara yang keenam dari Batavia, mencapai hingga 1400 ton. 281 Di awal abad ke-20 ini, tercatat juga kapal-kapal yang singgah dipelabuhan Bagansiapiapi, seperti; “De Brouwer” dengan jalur pelayaran Asahan, Panei, Bagansiapiapi, Bengkalis, Siak dan Singapura; kemudian “De Van Der Para”, yang melayani rute Asahan, Panei, Bagansiapiapi dan Singapura; terdapat juga “De Reynst yang melayani pelayaran Belawan, Bagansiapiapi dan Singapura; “De Koek” yang merupakan armada dari K.P.M., mengambil rute yang sama dengan “De Brouwer”, yaitu Asahan, Panei, Bagansiapiapi, Bengkalis, Siak dan Singapura; “S.S.Medan” dengan rute Asahan, Panei, Bagansiapiapi dan Singapura, lalu ada “S.S.G.G.V.Lamberge dengan rute Palembang, Singapura dan Bagansiapiapi. Sementara rute langsung Bagansiapiapi – Batavia ditempuh oleh “S.S.Swaardecroon”; dan rute menuju Riau(kepulauan) dari Bagansiapiapi dilayani oleh “S.S.Cheang Hock Kian.” Kondisi riunya pelayaran dari, via atau menuju Bagansiapiapi ini, dapat dikelompokkan dalam dua kategori kapal; kapal uap dan layar. Kondisi ini, tercatat jelas seperti yang terdapat pada tulisan Dr.R.Broersma, dalam Oostkut Van Sumatra ; Tweede Deel; De Ontwikkeling Van Het Gewest, tahun 1922, sebagai berikut:

280 281

De Sumatra Post, 5 Juni 1929; Pemberitaan dengan judul “Bagan Madjoe.” De Sumatra Post, 30 Juni 1909, Bagansiapiapi.

146

Keadaan Kapal uap dan layar di Pelabuhan Bagansiaiapi Tahun 1913 - 1920 1913 1914 1915 1916 1917 1918 1919 1920

Stoomer (kapal uap) Aantaal Inhouden M2 292 71273 261 72985 287 88438 223 57985 213 59109 298 71794 263 70693 214 63610

Zeilschepen(kapal layar) Aantaal Inhouden M2 527 27185 457 26785 551 34856 586 33839 597 28316 750 35054 821 28097 865 35663

Sumber: Oostkut Van Sumatra ; Tweede Deel; De Ontwikkeling Van Het Gewest, tahun 1922 hal.276-277.

Adapun pada tahun 1920, juga tercatat adanya kapal motor (motorschip) dengan jumlah pertahun 35 unit, dan muatan tercatat 13055 M2. Koneksi Bagansiapiapi dengan Bengkalis, Singapura dan Jawa, terutama dipelihara oleh armada K.P.M. dan perusahaan Kapal milik orang China. Sedangkan arus lintas lokal dipenuhi oleh sampan dan kapal motor (Vleming, 1926). Mengenai K.P.M., memiliki rute pelayaran dari Bagansiapiapi menuju Singapura, Penang, Belawan, Jawa dan Kalianget; masingmasing satu kali sebulan, hanya Singapura mencapai dua belas kali dalam satu bulannya.282

282

ANRI MVO; Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934, hal.40

147

Belanda dan Buaya di Muara Rokan, 1930-40, KITLV.

Sumber: KITLV.

148

Sumber: KITLV

Sumber: Sin Po, 25 Mei 1940, “Saingan Bagansiapiapi.”

149

Sumber: Inlichtingen en Onderzoekingen Van de Afdeeling Museum, Tahun 1932

Grafik Produksi Ikan kering, garam dan trassi hingga tahun 1922.

150

Sumber : KITLV

151

Sumber: IGTVNK, 12 November 1924.

Pengolahan Trassi, Sumber: Weekblad voor Indie, 9 Mei 1920

152

Pengolahan Trassi, Sumber: Weekblad voor Indie, 9 Mei 1920

Pengolahan Trassi, Sumber: Weekblad voor Indie, 9 Mei 1920

153

Teknologi Penangkapan Ikan Ir.B.Markus melihat perikanan Bagansiapiapi ditinjau dari sisi metode dan produksi. 283 Bahwa di Bagansiapiapi, dinarasikan suatu metode perikanan, yang utama dan dipraktekkan di Muara Rokan oleh orang China (Hokkien) terutama Baganapiapi dan nelayan tetangga seperti; Panipahan, Seneboi dan Halang. Disini, Perikanan, sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi yang berlaku, yaitu: arus pasang- surut yang kuat Sebuah laut dangkal dengan bank lepas pantai yang kaya ikan, dan air berlumpur. Keadaan arus pasang surut pada waktu tertentu, saat pasang perbani (keadaan tinggi air saat pasang tertinggi dan surut terendah) dari 5 kaki, dan pasang besar 18 kaki. Kedalaman perikanan pesisir, berkisar dari 0.5 sampai 5m. Alat penangkapan ikan orang Melayu adalah penting, sebab di sini pada masa lalu oleh orang Melayu sebagai nelayan asli alat ini (jermal) telah digunakan, dan oleh orang China yang menetap di sini diadopsi dan dikembangkan. Alat Tangkap ikan di perairan Bagansiapiapi yang utama adalah jermal, terutama sekitar tahun 1901 hingga akhir tahun 1920-an. Setelah itu, nelayan mulai mengenal alat tangkap lain yang lebih sederhana, yakni cici, kelong dan bubu. Alat-alat terakhir ini terutama dipergunakan setelah pendangkalan muara yang menyebabkan jermal menjadi kurang efisien. Berikut adalah distribusi alat tangkap ikan yang utama di Muara Rokan berdasarkan lokus penangkapan dan jenis: Tempat Bagan Panipahan Seneboi Halang

Jermal 225 40 5 -

Vaartuigen 275 46 6 -

Bubu Trassi 52 15 -

Bubu Udang 66 -

vaartuigen 172 -

Sumber: Bottemane, 1929

Hingga menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang ditahun 1942, jermal dan ambai masih merupakan sarana penangkapan utama, disamping alat tangkap cici yang digunakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih ekonomis.

Jermal Jermal yang dikenal di perairan Pantai Timur Sumatra, dan menjadi khas alat penangkapan ikan di Bagansiapiapi, pada prinsipnya sama dengan sistem bagan, yaitu mengangkat ikan dari laut setelah terkumpul dari jaring yang ditenggelamkan sebelumnya kedalam laut. Jermal beroperasi tergantung pada arus laut. Dengan

283Ir.B.Markus,

Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher: Batavia: Instituut Voor Zeevisscherij, 1941.

154 jaring yang berbentuk huruf V, maka ikan yang masuk dalam jarring akan ditangkap dengan cara mengangkat jaring. Alat seperti ini, memungkinkan semakin kuat arus akan semakin efektif penangkapan ikannya. Akan tetapi, kelemahan dari jermal adalah alat ini tidak dapat dipindah-pindahkan mengikuti perpindahan ikan. Pada tahun 1919, di Bagansiapiapi ditugaskan Mantri-Polisi khusus tentang perikanan, dimana penduduk menyebutnya sebagai Mantri Ikan, dimana dalam permohonan pembangunan jermal baru, maka sang Mantri-Ikan ini akan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan tempat yang menjadi usulan lokasi pembangunan dan membandingkannya dengan peta yang dikeluarkan oleh pihak angkatan laut Belanda. Setelah melalui proses pemerikasaan, pendaftaran dan pemberian nomor registrasi, maka jermal pun siap untuk dibangun oleh sang pemohon dengan berada dibawah pengawasan sang Mantri Ikan; untuk memastikan bahwa jermal memang dibangun sesuai dengan izin lokasi yang diberikan. Jermal adalah alat tangkap dengan biaya yang cukup mahal, pada tahun 1916 mencapai hingga sekitar f5000, kemudian tahun 1926 sebesar f8000, dan nampaknya pada tahun 1937 mengalami penurunan hingga f6400. Seperti alat tangkap jermal, yang berbiaya mahal, rincian biaya satu buah jermal sebagai berikut: 60 buah tiang @ f6,- ……………. f 360,2000 tiang kecil f2,20 ……….. f 4400,Jaring Rotan …………………….. ..f 140,2 perahu ………………………... f 1500,Sehingga totalnya menjadi …….. f 6400,Kemudian untuk membuat sebuah jermal kecil, berikut rincian biayanya: 60 tiang ………………..……….. f 210 2000 tiang jajar …………….......f 2000 1 jaring rotan …………………… … f 140 2 perahu ……………………… ………..f 1500 Sehingga totalnya menjadi ……… f 3850 Kondisi ini ditambah lagi dengan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi, yang biasanya dilakukan 2 hingga 3 kali setahun. B.Markus mendeskripsikan alat tangkap djermal sebagai berikut: Pertama, yang disebut jermal adalah peralatan penangkapan ikan dengan fokus sejumlah besar ikan kecil, untuk kemudian diolah menjadi ikan asin dan ikan kering kering sebagai penghasil utama “produk Bagan.” Jermal ditempatkan dalam barisan tegak lurus searah aliran air. Alat tangkap ikan jermal merupakan alat tangkap yang penting dalam perikanan di Bagan. Sekitar 400 unit alat penangkap ikan jenis ini berada di Muara Rokan sampai sejauh 16 mil dari lepas pantai. Untuk usaha sederhana, dengan kepemilikan sebuah jermal yang dibangun di lepas pantai, diperlukan modal lebih dari f20.000, termasuk 2 buah sampan untuk mengendalikannya. Dua baris kayu memanjang dan rapat saling berhadapan menimbulkan arus bolak-balik dan menggoyang kutub tipis (jajar) di dasar laut dan akan berfungsi saat air pasang di atasnya. Dua baris kayu ditempatkan dalam bentuk

155 V ke sisi terbuka dari V yang terbalik, masing-masing baris dengan ukuran beberapa ratus meter panjangnya dan terdiri dari; sebagian besar (dan ini berlaku terutama untuk jermals di dalam laut yang paling bertahan lama) dari kayu Nibung, bahan yang kuat akan tetapi berharga mahal. Dalam dua barisan ini, misalnya, diperlukan sejumlah 1250 potong, jadi keseluruhannya bersama-sama menjadi 2500, dengan biayanya tidak lebih dari f16.000, jumlah biaya ini adalah sebesar 2/3 dari biaya keseluruhan jermal. Semakin pendek kutub jajar jermal akan semakin lebih dekat pula keluasannya. Sebagian besar bahan lain misalnya kayu bakau (Rhizophora) atau kayu Tengah (Ceriops) diproduksi untuk keperluan ini. Kutub nibung, yang sering lebih dari 8 depa panjangnya, mampu bertahan beberapa tahun, sementara lainnya bertahan hanya beberapa bulan saja. Mereka berakhir di sisi ujung V yang difokuskan dalam kumpulan tiang kayu (perepat atau nibung), sangat dilengkapi dengan setumpuk kutub, dan bambu, yang terletak beberapa meter di atas dari permukaan laut, pada dua panjang sisi persegi panjang, terdapat 30 sampai 40 tiang.

Sumber: B.Markus, 1929. Bagan ikan ini, memiliki luas permukaan 5,5-16,5 m persegi, memungkinkan berbentuk sebidang horizontal, pada pertengahan poros angin (6 sisi keduanya sama), yang disebut "daun jermal" (China = pin). itu adalah kombinasi dari tikar rotan, dengan tepi yang sangat kuat, sekitar seluas lantai atau lebih besar lagi. Daun ini terbuat dari anyaman rotan, di mana berfungsi untuk mengisi celah yang ada. Ikan tertangkap hanya saat air surut, dua kali sehari, arus pasang surut yang kuat untuk ikan kecil diantara barisan jajar. Semua jenis ikan, besar dan kecil, dan udang yang tertangkap di jermal, diambil, terutama spesies yang lebih kecil. Adapun ikan besar yang tertangkap menjadi milik nelayan kuli. Spesies utama yang tertangkap, teri, senangin (Kuru) Timah (lajoer) samgo (golamah) nomeh, bawal Putih.

156

Sumber: B.markus, 1929. Daun jermal yang terdiri dari tiga bagian yang telah terikat satu sama lainnya, berada di kedua sisi panel samping, yang cenderung mencegah ikan dapat melarikan diri ke arah samping. Sebagaimana dikatakan, keseluruhan prosesnya pada saat penurunan air, ikan dengan cepat menuju daun yang miring ke atas, di mana mereka hampir tidak berdaya pada bagian yang kering, dan seringkali didapati saat pengambilan hasil masih terdapat ikan disana.

Sumber: B.Markus, 1929. Kantong, ujung kecil antar jarig, di papan perahu nelayan ditarik melepas ujung bawah, ruang vakum dikosongkan untuk beberapa jam selama aliran pasang surut sehingga ikan terkumpul. Lalu hasil tangkapan diletakkan di palka dan dicampur dengan sejumlah garam. Dikatakan bahwa penangkapan ikan terjadi pada waktu air surut; bentuk usaha tetap dari alat tangkap-berarti hanya satu sisi, berbeda dengan Ambai, dimana perubahan dari air pasang kondisinya dapat diubah. Jermals, kecuali untuk

157 sekitar Bagan, 2 kano (sampan) dengan 2 kuli, Sebuah perahu menetap selama 2 minggui. Kembali ke jermal dan kemudian ke pantai untuk digantikan oleh yang lain. Berbeda dengan alat jaring perangkap (atau bubu Ambai) yang dilakukan justru adalah sebaliknya.

Sumber: Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie, by Dr.H.C.Delsman, 1939.

Jermal di Muara Rokan: Sumber : INGIK, Tahun 1923

158

Sumber: Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie, by Dr.H.C.Delsman, 1939. Pada tahun 1916, pemerintah Hindia mengeluarkan aturan tentang jermal bertanggal 21 Januari 1916; “Keur op de oprichting, de registratie en de opruiming van djermals en op de zoogenaamde bangliau's in de Afdeeling Bengkalis.” Peraturan yang biasa disebut Viscerijkeur ini, terutama mengatur pembangunan jermal hingga pembersihan jermal yang telah ditinggalkan pemiliknya disebabkan timbulnya keluhan tentang gangguan pelayaran yang berasal dari jermal-jermal yang sudah tidak berfungsi lagi. Selain itu, Visscherijkeur juga mengeluarkan aturan tentang izin pembangunan jermal, pendaftaran dan penomoran, hingga pencahayaan jermal yang dimulai dari terbenam hingga terbitnya matahari; poin yang dirasakan berat mengingat biaya yang cukup mahal. Akan tetapi, pelanggaran atas aturan ini, dikenakan sanksi denda hingga f100, dan hukuman kurungan yang mencapai tiga bulan. Hasilnya, jermal di muara Rokan, terlihat di gelapnya malam bagaikan sekumpulan kunang-kunang bercahaya; dan pers Belanda menyebutnya “De Ville Lumiere in het donkere Afdeeling van Bengkalis” (Kota Cahaya dikegelapan malam Afdeeling Bengkalis). Bahwa juga, terbitnya visscherijkeur ini juga nampaknya sebagai

159 respon pemerintah Hindia atas situasi “achteruitgang” pada setengah dasawarsa sebelumnya, dan juga, fluktuasi kualitas sebagai mahalnya harga garam yang menyebabkan jatuhnya harga produk Bagan di pasar Jawa.

Sumber: Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie, by Dr.H.C.Delsman, 1939.

160

Bubu / Ambai Sebagaimana jermal, maka Bubu digunakan untuk penangapan ikan dengan menggunakan 21 Tiang berdampingan dan pemasangan jaring. Adapun rician biaya pembuatan Bubu adalah sebagai berikut: 21 Tiang Nibung @ f 1,50 …… f 31,50 20 netten ad ongeveer f 15 …… f300,Perahu dan sampan………………... f 400,Total ……………….…………… f 731,50 Untuk bubu/ambai, Markus menuliskannya sebagai berikut: Di bawah jaring perangkap besar yang biasanya terbuat dari rami, terutama untuk menangkap udang (udang) dan rebon (udang kecil). Penempatan jaring adalah tegak lurus terhadap arah aliran diantara 2 sisi air laut pada kutub (ujung poros) yang disediakan, sementara ada yang berbeda (12-15) di samping satu sama lain, antara deretan tumpukan yang terpasang. 535 baris bubu seperti yang terdapat di muara Rokan.. Kami memisahkan dua jenis alat penangkapan ikan ini, perlunya memilah, dan dapat ditemukan bahwa dalam bisnis ini; Ambai berlaku untuk udang atau Ambai untuk menangkap rebon yang kadang-kadang disebut belacan, yang terakhir ditujukan untuk pembuatan trassi. Perangkap jenis pertama memiliki ujung kecil dengan bahan jaring yang lebarnya sekitar 1 cm. ukurannya sama dengan bagian belakang secara berangsur semakin menyempit.

Sumber : B.Markus, 1929.

161

Sumber: B.markus, 1929. Seperti kita lihat dalam sketsa kantong udang sebagai perangkap. Udang yang berada dalam perangkap di area Bagansiapiapi atau Pulau Halang, dibawa sesegera mungkin ke lantai pengeringan. Lebih jauh ke laut dapat ditemukan suatu susunan kayu yang tinggi yang merupakan bangunan gubuk nelayan berdampingan sebuah lantai kering yang luas, di mana hasil tangkapan bagan-ikan sebelahnya dibawa kembali dan diolah (direbus dengan garam dan kering). Mereka menyebutnya dengan “tah-Liau”, yang berfungsi untuk pengeringan ikan. Metode perangkap dari 2 jenis bubu itu (Ambai) juga sama. Jala melekat pada tali antara kutub, meskipun penangkapan ikan adalah pada bagian bawah hampir ke dasar laut.

Sumber: B.Markus, 1929. Berbeda dengan jermal, saat air pasang dan surut, ikan dapat tertangkap, jadi alat ini dapat mencapai 4 kali sehari melalui jaring untuk mengambil hasilnya dibagian dalam. Secara substansial, - ini berbeda dengan perikanan jermal, - saat pasang kecil, 4 hari sebelum dan sesudah penangkapan ikan, setengah bulan kurang lebih 7-8 hari. Pada musim panas berdasar keadaan dilapangan, tampaknya waktu ini tidak cocok digunakan untuk menghasilkan udang dan rebon. Para nelayan pun menetap saja di rumah, dan kesempatan tersebut digunakan untuk memeriksa jaring yang rusak, lapuk dan memperbaikinya untuk dapat digunakan kembali. Nelayan rebon menggarami

162 produk mereka dan untuk sementara waktu tidak melaut selama periode 7 sampai 8 hari di tempat mereka. Sementara itu nelayan udang, yang alat-jaringnya berposisi di Bagan, dan masing-masing tetangganya di Pulau Halang atau Seneboi, bertungkuslumus setiap hari dengan hasil tangkapan mereka di laut. Dengan ambai itulah mereka dapat jauh ke tengah laut, memperoleh kesempatan menangkap dan segera menuju lantai kering di "tah-Liau" itu untuk mengolah hasil tangkapan. Pengorganisasian dari 2 bentuk usaha, sesuai dengan produknya, ternyata sebagaimana kita lihat memiliki perbedaan besar.

Alat Tangkap Bubu

Cici Mahalnya alat tangkap jermal, memunculkan inovasi alat tangkap di perairan Muara Rokan, yakni alat tangkap Cici yang berbiaya lebih murah dan bersifat mobile (dapat dipindahkan). Tjitji adalah sejenis alat penangkap ikan yang digunakan untuk tempat dangkal yang tidak lebih dari 3m saja kedalamannya. Bentuk cici seperti kantong yang dipasang pada tiang yang ditanam kelaut. Bentuknya yang sederhana memungkinkan pembuatannya yang jauh lebih murah daripada jermal, dan keunggulannya adalah cici dapat menangkap ikan pada saat air pasang dan surut. Adapun biaya pembuatan cici, hanya mencapai sekitar f200, dengan rincian: 10 Tiang, 5 Jaring dan touw. 5 x f40 = f200. Alat Penangkapan ikan Cici, sebagaimana tercatat dalam laporan B.Markus: Sebuah jenis jaring penangkap ikan yang ketiga adalah yang terdapat di sini, yakni: Cici bubuh, nama ini berasal dari bahasa China, yakni “tsiet” untuk 7, tujuh jala mengapung, yang dalam hal inilah alat tangkap digunakan. Ini adalah bubuh yang sangat luas jaringnya (fuiknet) melayani semua jenis ikan untuk ditangkap; pada barisan alat trietsji, sisi demi sisi melebar kearah luar dan luas, dan lagi jalanya mudah untuk digerakkan.

163

Sumber: B.markus, 1929. Penampangnya sangat luas, kantong kain belacan, bahkan terbukti dengan hasil penangkapan rebon kecil. Kantong yang dilindungi oleh perangkap dengan lingkaran, terhadap serangan lumba-lumba, hiu, dan lainnya, hasil tangkapan berada di ujung kantong. Konfirmasi tersebut tidak seperti pada alat tangkap ambai. Bagian atas pembukaan oleh tujuh batang bambu (pelampung), dan di setiap sisi sebesar (5-6 m), lebih jauh lagi terdapat lima potong yang lebih kecil (2,5 - 3m). Jaring yang berbeda (8-10) sering diatur berdampingan di sudut kanan ke arah aliran, dikendalikan oleh sebuah perahu dengan dua laki-laki dan dengan demikian dapat meliputi areal yang lebar. Di sekitar Panipahan banyak didapati jermal yang di dekatnya, seringkali di bagian atasnya dikondisikan dan dibentuk sedemikian rupa untuk menakuti para pesaingnya.

Sumber: B.Markus, 1929.

164 Menurut nelayan jermal, alat cici ini sangat mengurangi hasil tangkapan mereka. Akibatnya, dilakukan pelarangan keberadaan alat cici di sekitar jermal. Cici banyak terdapat di dekat Senaboi dan Pulau Halang. Selain persoalan cost (biaya) yang cukup mahal, ternyata dengan munculnya alat tangkap cici, seperti telah diuraikan oleh Markus, menimbulkan persoalan baru, yakni persaingan dalam memperebutkan areal perairan tempat beroperasinya alat-alat penangkapan ikan tersebut. Persaingan ini dapat dimengerti mengingat jumlah nelayan yang cukup besar dibandingkan dengan luas perairan Muara Rokan itu sendiri. Persaingan ini berujung pada konflik, hingga perkelahian phisik antar kelompok nelayan pengusaha jermal, dan juga cici. Dipandang konflik tersebut cukup memprihatinkan, Pemerintah Kolonial akhirnya campur-tangan dalam persolan tersebut; Dengan melakukan serangkaian pertemuan, diaturlah areal pemasangan jermal, Takliauw, bubu dan cici sebagai berikut284: I.

3 mil dari pantai antara 3 dan 2 km dari sungai, adalah Bubu ikan milik nelayan Bagansiapiapi; II. Di seberang Sungai Raja Bejamu sampai 5 mil dari pantai ke perbatasan untuk “takliauw” Nelayan Bagansiapiapi; III. Antara Sungai Siandam dan Sungai tengah yang berjarak 3 mil dari pantai, bubu hanya milik orang Bagan; IV. Sebaliknya, antara kubu dan Sungai Jermal diseberang Pulau Halang pada kejauhan 3 mil, wilayah bubu hanya untuk orang kubu; V. Sekitar Pulau Halang, Bubu dan cici khusus untuk penduduk pulau ini; VI. Sekitar Pulau Halang Kecil untuk Bubu dan cici dari penduduk Sinaboi dan Sungai Bakau: VII. Disekitar Pulau Sinaboi, bubu hanya untuk warga Sinaboi dan Sungai Bakau. Untuk mencegah permusuhan antara nelayan Sinaboi dan Ujung Sinbu - untuk memastikan yang terbaik); VIII. Ujung Sinbu arah berlawanan dengan antero timur hanya untuk cici milik nelayan Ujung Sinbu; IX. Antara panipahan dan sungai Tawar dan pada jarak tiga mil dari pantai, jermal diperuntukan bagi nelayan Panipahan. Kondisi diatas, Tiang Bubu dan Jermal, selain telah diarasa cukup padat, dianggap oleh Pemerintah Kolonial telah mengganggu bahkan membahayakan lintas pelayaran, oleh sebab itu Pemerintah Kolonial mengeluarkan ketentuan yang mengatur pemasangan Tiang Jermal dan alat penangkap ikan lainnya. Aturan tersebut meliputi pemasangan jermal yang harus berada pada jarak tertentu dengan jermal lainnya, sebagai berikut: 285

Jarak antar dua alat 284 285

Jarak depan dan belakang

Jarak kiri dan kanan

Boudewijn Van Duren, ANRI-MVO; Memorie Van Overgave; 30 Agustus 1934. Hal.32. Menurut Keputusan Gubernur Sumatra Timur Tanggal 13 Desember 1933.

165 Jermals Takliaw Bubu Cici

2000 depa 2000 depa 300 depa 300 depa

500 depa 500 depa 20 depa 20 depa

Berikut adalah jumlah jermal dalam 10 tahun yang terdapat di perairan Muara Rokan; Tahun 1921 sejumlah 430-an; Tahun 1922 sejumlah 400-an; Tahun 1923 turun menjadi sejumlah 300-an; Kemudian tahun 1924 sedikit peningkatan menjadi sekitar 325; Pada Tahun 1925, naik lagi menjadi kurang lebih 350-an jermal; akan tetapi pada tahun 1926 turun menjadi 321; Tahun berikutnya naik kembali menjadi 339; Tahun 1928 tercatat kurang lebih 400-an djermal; Tahun 1929 dan 1930 kembali turun menjadi 300-an saja (MVO, 1936). Ikan yang sudah terjerat pada jaring jermal, kemudian diambil oleh Nelayan. Letak jermal yang berada di perairan membutuhkan sarana perahu untuk transpotasi pengangkutan nelayan dan hasil tangkapan ikan untuk dibawa menuju bangliau-bangliau. Maka tidak lah berlebihan jika dikatakan jumlah perahu Nelayan di Bagansiapiapi, cukup banyak untuk ukuran luas Bagansiapiapi sendiri. Seperti pada Tahun 1921 dampai dengan tahun 1924, terdapat sejumlah 1200-an perahu nelayan; adapun selama 2 tahun berikutnya terjadi peningkatan jumlah menjadi 1300-an perahu; Kemudian pada tahun 1927 tercatat sejumlah 1200-an perahu; dan dua tahun terakhir terjadi penurunan menjadi masingmasing untuk tahun 1929 sekitar 1000-an perahu dan tahun 1930 menjad 950-an perahu (MVO: 1936).

166

Peta jermal, bubu, takliauw dan cici di Muara Rokan 1930-an.286

286

ANRI-MVO, Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934

167 Pukat atau jaring Perikanan dengan drijftnets, atau juga disebut pukat adalah alat tangkap ikan paling dalam yang dapat digunakan di laut, dengan tujuan untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar seperti: hiu, pari-pari (ikan pari), ikan Bator, senohong, geret-geret dan lainnya. Untuk perikanan lebih dekat, di mana spesies yang lebih kecil (seperti senangin) yang tertangkap, jaring dengan ukuran mata 3cm. Metode penangkapan ikan ini adalah: ikan berenang di antara jaring (atau terbawa oleh arus menuju jaring) hanya kepala antara celah-celah, karena insang ikan tersangkut tali jaring, ikan pun tidak lagi bebas. Ukuran ikan menjadi tergantung dari lebar jerat. Djaring terdiri dari banyak potongan diatur sisinya dengan ukuran hanya 8,5 x 5 m. Mereka berdiri di dalam laut ditempatkan di antara dua buah adalah pelampung (bambu buah) dan masing-masing tujuh keping kayu mengapung pada keseluruhannya. Sampan memiliki jaring dengan sendirinya, misalnya, 32 buah, yaitu panjangnya mencapai beberapa ratus meter.

Sumber: B.Markus, 1929. Dari jarings lebih kecil (jaring halus) dengan ukuran lobang kurang lebih 3 cm, Orang menemukan berbagai bentuk, misalnya panjang dari hanya 40 x 1,25 m dengan 50 pengapung. Jaring apung yang ditemui di Panipahan dan Seneboi.

168 Berlayar secara bersama-sama, lalu seluruh nelayan dari tongkang (kano Cina) itu melemparkan jala mereka (a) membiarkannya dengan mengikuti arus dan mengambil setelah jala mereka kembali (b) dimana ikan akan didapat. Perikanan rawai, berada di tempat yang berbeda, alat ini dihubungkan secara substansial dan dalam operasinya lebih jauh ke laut. Ada 2 jenis garis, ini adalah baris dengan banyaknya kait ikan. Pertama, satu dengan yang cukup kait pancing rawai panjang, yang umpan dikonfirmasi (untuk hiu, dan lainnya). Dengan kondisi ia menggigit umpan, kait di rahang, maka ikan tertangkap.

Sumber: B.Markus, 1929. Jalur ini hampir di bagian bawah dan di satu sisi dengan jangkar diturunkan, di sisi lain dari sampan dan kemudian dilemparkan ke perahu. Pada beberapa tempat di jalur pelampung bambu, ditandai dengan bendera. Di kedua tempat, garis yang lebih kecil atau garis, yang bekerja tanpa umpan, dan dengan pengapung yang diupayakan tidak banyak muncul dipermukaan.

Sumber: B.Markus, 1929.

Alat Penangkapan Ikan Lainnya Berturut-turut selanjutnya di sini alat penangkap ikan: Di Panipahan, diperlukan 2 - 3 atau bahkan 4 orang (yang besar). Ini adalah alat penangkapan ikan di lepas pantai, yang beberapa dari jaring terdapat disana. Maka cara operasi alat ini adalah dalam sebuah lekukan dimana ikan tertangkap di bagian tengah, semakin dekat ditarik akan menghasilkan kantong,.

169

Sumber: B.Markus, 1929. Jaring yang luas dan memiliki bentuk skema berikut:

Sumber: B.Markus, 1929. Secara umum ukurannya sama, 1 inci, sayapnya sebagaimana terlihat memiliki banyak pelampung kayu (lima buah per meternya) dan di bawah tendon, tali tebal dengan blok timah (satu buah per empat meternya). Secara keseluruhan, panjang sayap masih bervariasi; mulai dari 90 hingga 150cm. Spesies ikan yang ditangkap di pantai ini meliputi: Sembilang, gelamah, dan sejumlah ikan kecil. Belat (penduduk setempat menyebutnya;bolek) adalah alat pemancing, yang terdiri dari rangkaian panjang yang ditempatkan dilaut pada tikar yang terbuat dari batang rotan, yang dalam bentuk V didirikan di laut, antara lain terdapat di Panipahan. Pengaturan alat ini adalah bertempat di pantai, sehingga ketika air surut ikan terperangkap dalam pola V, kemudian pada permukaan kering di bawahnya. Panjang sayap adalah 90 m, tinggi 90 cm tikar. Kemudian adalah tikar yang masing-masing selebar 7 m yang melekat satu sama lain.

170

Sumber: B.Markus, 1929.

Alat Pengolah; Sumber: B.Markus, 1929.

171

172

6 Pendangkalan Muara Kontrolir Haga pada dasawarsa kedua awal abad ke-20, dalam Laporannya menyebutkan bahwa proses pendangkalan diasumsikan telah menyebabkan berkurangnya produksi ikan. Namun argumentasi ini pada saat itu masih terlihat meragukan, atau bahkan ada yang menyangkal, mengingat proses pendangkalan yang teleh berjalan sekian lama, sedangkan penurunan produksi terjadi dalam waktu mendadak atau singkat. Untuk jelasnya, dapat kita ilustrasikan sebagai berikut: Jika pada tahun 1896 produksi ikan mencapai 7.5 juta Kg, maka secara pasti mengalami peningkatan seperti pada tahun 1901 ketika diberitakan memasok kebutuhan ikan Pulau Jawa melalui Singapura yang mencapai 12 juta Kg, maka produksi ikan pada tahun itu mencapai 17 juta Kg; terus meningkat hingga mencapai 25.8 juta Kg pada tahun 1904, tahun-tahun setelahnya memang mengalami penurunan hingga 18 juta Kg pada kurun waktu 1910-1911, namun kemudian mengalami kenaikan kembali. Kontrolir Haga menulis Laporan hingga akhir tugas nya tahun 1917, dimana produksi naik lebih sedikitnya 1 juta Kg, atau 19juta Kg pada tahun 1917. Meskipun demikian, turunnya produksi ini, sebahagian elit Pemerintah Kolonial di Batavia tidak melihatnya sebagai akibat dari gejala pendangkalan. Jurnal Kolonial Bulan Desember 1924 antara lain menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian, sebagaimana juga telah disampaikan Haga, yaitu: Terjadinya pendangkalan di Muara Sungai Rokan secara cepat dan terus-menerus; Pendangkalan muara adalah proses yang alamiah. Akan tetapi di Bagansiapiapi, seperti dikemukakan oleh Butcher bahwa pendangkalan yang seharusnya terjadi dalam kurun waktu ratusan hingga ribuan tahun, disini berlangsung begitu cepat; sebagai ilustrasi cepatnya pendangkalan ini adalah, Pelabuhan modern yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial, saat ini letaknya adalah di tengah kota yang berjarak sekitar 3 km dari bibir pantai, pendangkalan ataupun perubahan dari laut menjadi daratan sejauh 3km dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun. Haga, juga Butcher menyinggung persoalan penebangan hutan di hulu sungai, dan mangrove di muara. Sekitar tahun 1910 nelayan telah melakukan sejumlah besar penebangan hutan mangrove dikawasan ini, yang digunakan untuk jermal dan ambai. Setiap jermal membutuhkan sejumlah kayu besar dan ribuan yang lebih kecil untuk pembangunan sayapnya, dan sejumlah besar lagi untuk pembangunan pelantaran, gudang, rumah dan panglong. Belum lagi pembangunan ulang akibat pelapukan, kebakaran yang sering menghanguskan bangunan dalam jumlah besar. Menurut Kontrolir Haga (1916) kondisi ini telah berlangsung sejak awal kedatangan pemukim China ke Bagansiapiapi, yang berlangsung terus menerus dan

173 mencapai jauh ke pedalaman. Selain itu, mangrove sebenarnya juga berfungsi dalam menyediakan nutrisi bagi ikan di muara; penebangan mangrove secara besar-besaran tentu saja berdampak pada kesetimbangan ekosistem penyedia makanan bagi ikan. Kondisi ini, juga di lengkapi oleh penanaman tiang-tiang penopang jermal dan ambai, yang pada akhirnya tidak saja menghalau atau menggiring ikan ke arah jermal dan ambai oleh derasnya arus, melainkan juga membawa seluruh Lumpur endapan hingga tertahan disana. Pada era kontrolir Haga, kondisi ini telah berlangsung dan berjalan dengan cepat, dimana secara pasti disekitar Pelabuhan Bagan Siapiapi telah terjadi pembentukan pulau-pulau kecil, meluasnya Pulau Halang besar dan kecil, serta Pulau pedamaran yang telah membentuk pintu aliran sungai; Keseluruhan ini berlangsung dengan cepat, diawal paruh abad ke-20. Adapun Verstappen (1975) melihat bahwa Bagansiapiapi dan daerah lainnya seperti; Pulau Rupat, Bengkalis dan Tebing Tinggi kondisi pendangkalannya diasumsikan oleh gejala gerakan lapisan Tectonic. Penjelasan yang logis adalah bahwa garis pantai dipengaruhi oleh kondisi punggung dasar samudera yang dalam kondisi pasang akan membawa material pasir-tanah menuju garis pantai. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya pendangkalan. Sulitnya untuk tetap dapat memenuhi permintaan akan peningkatan ataupun perbaikan jermal yang mengalami kerusakan; laporan menunjukkan bahwa pada tahun 1920 tidak kurang dari 170 Jermal yang tidak dapat digunakan, bahwa Hardenberg menemukan perubahan konfigurasi dasar muara dan sebaran jermal yang begitu banyak dan luasnya; berkemungkinan disebabkan juga oleh keberadaan jermal. Gobee287 ditahun 1911 melaporkan bahwa sejumlah 250 jermal telah ditinggalkan pemiliknya, dan atau ia memindahkannya ketempat yang lebih jauh di lepas pantai; bahwa, kondisi ini memungkinkan untuk mulai dibangunnya rumah (shelther) ditas jermal tersebut. Kemudian pada pulau di seberang Sinaboi, juga ditemukan sebaran luas dari jermal disana; di tahun 1914, Sunier melaporkan bahwa dari sekitar 400 jermal di Bagansiapiapi, separuhnya tetap berada dilokasinya, sisanya dibangun oleh orang yang telah meninggalkan jermal pertamanya. Kondisi ini berkaitan dengan telah mendangkalnya sebahagian area muara dimana jermal menjadi tidak efisien. Pentingnya persoalan perbaikan Jermal tersebut, mengingat bahwa penempatan dan pemasangan Tiang Jermal haruslah sesuai dan tepat, Kuat, dan mampu menahan terpaan ombak. Mengenai kekuatan arus di Muara Sungai Rokan, ada baiknya kita melihat tulisan seorang opsir Belanda, dalam lawatan nya ke Bagansiapiapi dari Medan. Bagansiapiapi yang sangat berbeda dibandingkan dengan daerah lain yang sudah ia kunjungi sampai saat ini. Kota ini terletak di muara yang luas dari sungai Rokan, dimana perbedaan antara pasang tinggi dan rendah adalah 17 sampai 18 kaki, dan air berjalan dengan kecepatan yang tinggi dan mematikan….. selain itu kapal yang ditumpanginya telah terjebak dalam arus surut, sehingga ia harus menunggu sekitar 6 jam untuk dapat mencapai

287

Gobee, achteruitgang, Butcher, 1996: 111

174 pelabuhan. …..……. Bahwa sisi kapal di kelilingi oleh Lumpur, bahkan telah nampak adanya pulau-pulau di sekitar pelabuhan….(1906-1911). Seperti telah dikemukakan di muka, Verstepphen dan juga beberapa ahli menyinggung tentang pendangkalan pantai, sebagai gejala progradasi, gejala yang mungkin berlaku di seluruh muara, berikut ulasannya: Di bagian timur Sumatera, progradasi tampaknya telah sangat cepat terjadi dalam sejarah, meskipun demikian belum ada informasi yang cukup untuk memungkinkan rekonstruksi rinci dan detail dari urutan garis pantai. Studi peta awal, akurasi yang tidak pasti, dan interpretasi dari deskripsi oleh wisatawan Cina, Arab, dan Eropa yang terutama Obdeijn (1941) mengemukakan bahwa ada progradasi hingga 125 kilometer di delta Kuantan sejak sekitar 1600 Masehi. Dalam artikelnya lebih lanjut, Obdeijn (1942a, 1942b, 1943, 1944) menemukan bukti pendukung untuk progradasi garis pantai yang luas di sepanjang Selat Malaka dan di selatan Sumatera. Pada abad kelima belas Palembang, Jambi, dan Pelabuhan Indragiri yang dekat dengan laut terbuka atau jarak pendek sampai muara (Van Bemmelen 1949). Baru-baru ini, garis pantai delta Jambi telah ter-progradasi sampai 7,5 kilometer antara 1821 dan 1922, sedangkan di pantai timur pelabuhan nelayan Bagansiapiapi telah tertimbun lumpur, dan Pelabuhan Sri Vijayan sekarang telah menjadi darat (Verstappen 1960, 1964b). 288 Butcher (1996) mencoba untuk menguraikan persoalan pendangkalan yang terjadi di Muara Rokan sebagai berikut: Pada gambar pertama, kondisi Muara Rokan pada Tahun 1893, dimana berselang waktu selama 20-an tahun, yakni tahun 1918, (gambar kedua) Kondisi Muara Rokan telah memperlihatkan perbedaan yang nyata. Jika dilihat kondisi saat ini, yakni, maka perbedaan tersebut benar-benar memperlihatkan perubahan garis pantai dan pulau-pulau di perairan Muara Rokan, seperti Pulau Barkey yang semakin menutup pintu pelabuhan Bagansiapiapi. Pada Tahun 1931, hadenberg melaporkan bahwa pada lokasi pantai telah bertambah pulau baru yang diikuti dengan tumbuhnya pohon Api-Api. When Hadenberg revisited Bagan Si Api-Api in 1933, just four years after his major study, he found that the configuration of the bottom of the estuary had changed quite considerably and that a new island (of several hectares and cover with young Avicennia-trees) had formed to the southwest of the town…289 Pada peta Hardenberg I, adalah kondisi muara Rokan terdapat dalam laporannya yang diterbitkan pada tahun 1931: Sedangkan peta Hardenberg II, terdapat pada laporannya yang diterbitkan pada tahun 1932, yang mendeskripsikan dalam laporan tersebut adanya “new Island”, atau pulau yang baru saja terbentuk. Dampak nyata 288 289

Dilihat dalam “Environmental Changes on the Coast of Indonesia”, Tahun 1980; Dilihat dalam Butcher, 1996 , hal 111.

175 dari terjadinya perubahan fisik muara Rokan akibat perubahan ekologis, ekosistem muara yang berdampak pada menurunnya hasil penangkapan ikan Tahun 1934, kontrolir mencatat bahwa Pulau Barkey telah semakin terbentuk. Berikut perkembangan Muara Rokan dalam sketsa. 290 Pembabatan hutan, terutama mangrove dan Kayu Niboeng dianggap sebagai penyebab kerusakan ekologi Muara. Meskipun pada saat itu telah dilakukan upaya untuk menjaga kelestarian hutan, seperti pelarangan penebangan Hutan Nibung melalui Keputusan Gubernur Nomor 16 Tanggal 9 April 1934; namun dalam prakteknya; Panglong Bengkalis yang notabene kayunya banyak berasal dari Hulu Sungai Rokan tetap melakukan ekspor Kayu Nibung dalam jumlah besar. Kembali pada persoalan pendangkalan muara Rokan, bahwa tidak saja lintas perairan kapal menjadi terganggu, tetapi juga menyebabkan ikan-ikan hasil tangkapan berkurang. Seperti dikemukakan oleh Van Duuren tahun 1934, bahwa Variabilitas air Teluk Rokan, sulit dilayari. Nampaknya juga, cukup sulitnya melintasi perairan ini berkaitan dengan endapan lumpur yang menyebabkan berkurangnya kedalaman muara. Bahkan sekitar tahun 1930-an, disekitar pelabuhan telah terbentuk pulau Barkey, sehingga kapal-kapal terpaksa untuk merubah jalur pelayarannya. Konsekuensi logis atas permasalahan ini adalah jenis-jenis ikan yang tidak mampu bertahan pada perairan yang dangkal, menyebabkan ikan-ikan ini cenderung berpindah ke perairan yang lebih dalam. Disamping itu, proses pendangkalan ini diasumsikan telah menyebabkan adanya perubahan pola arus sungai, berkurangnya kekuatan arus, dan juga dimana pertemuan air laut dengan air tawar telah berpindah juga ke tempat yang lebih dalam, sehingga alat tangkap jermal yang sedianya adalah alat tangkap utama tidak maksimal.291

Terjadi Kelebihan Tangkap di Muara Rokan(?) Selain faktor yang telah diuraikan, dapat dicermati bahwa sumber daya perikanan di Bagansiapiapi adalah sebagai suatu “Sumber daya alam dengan akses yang terbuka”. Siapa pun dapat menangkap ikan disana; sebagaimana dikemukakan oleh ekonom bahwa “one owned by no one but available for exploitation by all.” Meskipun seluruh nelayan terikat dengan pachter-garam, mereka dalam melakukan operasinya berada dalam kelompoknya sendiri, disebabkan tidak adanya pembatasan jumlah kelompok nelayan yang dapat melakukan ekploitasi perikanan di muara. Kelompok-kelompok nelayan tersebut melakukan penangkapan ikan sebanyak yang dia mampu untuk menghasilkan profit. Setiap kelompok berupaya memaksimalkan hasil penangkapannya, begitu pula dengan kelompok yang lain. Tidak ada upaya yang dilakukan kelompok ini dalam menjaga (konservasi) sumber daya, sebab jika salah satu 290

Sketsa Muara Rokan, berturut-turut dimulai Tahun 1896, 1916, 1920, 1932 dan terakhir Tahun 1944. Sketsa dibuat berdasarkan Peta sebagaimana terdapat pada KIT Library: Royal Tropical Institute: Dutch Colonial Maps; 291 ANRI MVO; Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,

176 kelompok meminimalkan upaya dalam rangka penjagaan sumber daya, hal ini akan menguntungkan kelompok lainnya, begitupula sebaliknya- nampaknya ungkapan ekonom bahwa, keserakahan yang satu akan dibatasi dengan keserakahan yang lain tidak berlaku disini. Halnya dengan pachter, meskipun diuntung dengan perolehan profit dari pengelolaan pacht, maka yang menjadi orientasi dari pachter adalah bagaimana dia dapat menghasilkan keuntungan dan membayar hak sewa tersebut kepada Pemerintah. Jelas bahwa pachter tidak dapat diharapkan dalam upaya konservasi. Kelompok yang dianggap mampu dan berkompeten untuk upaya konservasi muara, jelas adalah pemerintah. Hanya pemerintahlah yang berada dalam porsi untuk melakukan konservasi sumber daya. Akan tetapi nampaknya, di kalangan pejabat Hindia Belanda di Batavia terdapat anggapan bahwa “achteruitgang” (penurunan) dari produksi bukan disebabkan oleh overfishing (kelebihan eksploitasi sumber daya ikan), melainkan oleh kenaikan harga garam.292 Meskipun demikian, teknologi penangkapan ikan menggunakan jermal dan ambai di Bagansiapiapi, sepertinya telah terbukti memiliki dampak destruktif terhadap kelangsungan fauna di muara. Sebagaimana disampaikan van Kampen bahwa jermal yang disaksikannya di tahun 1908, telah menggiring semua jenis ikan ke jermal, membunuhnya bahkan ikan yang masih muda dan tidak memiliki nilai ekonomis. Meskipun demikian, segala bukti yang ada itu, belum benar-benar membuktikan bahwa jermal dan ambai telah menyebabkan overfishing di muara Rokan. Memasuki dasawarsa pertama abad ke-20, dan pada masa ini, nelayan benar-benar memperoleh berkah dari kondisi kekayaan alam muara, sehingga nelayan terus membangun jermal menyebabkan alat ini menjadi sangat banyak dan berdekatan di muara Sungai Rokan (“a few hundred” altogether in 1908293); alat tangkap ikan jermal benar-benar bersifat “most exlusively”, menangkap apa saja yang masuk dalam perangkapnya. Selain itu, nelayan juga melengkapi jermal untuk menangkap prauwn dan belacan, dan membangun ambai yang secara khusus di desain untuk menangkap ikan ini. Singkatnya, nelayan membangun alat penangkapan ikan semaksimal mungkin bahkan melebihi kapasitas dari ketersediaan fauna yang terdapat di muara. Sebagaimana disampaikan bahwa dalam pengoperasiannyanya, alat jermal menangkap fauna apa saja yang masuk ke jermal. Ikan kecil, bahkan yang tidak memiliki nilai ekonomi pun dapat tertangkap, terluka, yang menyebabkan matinya ikan-ikan tersebut. Van Kempen menyebutnya dengan “murderous way of fishing.” Jumlah jermal sendiri hingga tahun 1930-an tercatat sejumlah 205 jermal besar (taam Pe) dan jermal sedang (Ta Liau), 47 jermal kecil (Taam Pe Bang), 461 Bubu, 124 cicih dan 71 Bangpo.294 Investigasi diseberang

292

Butcher, 1996: hal.106. Van Kampen, dalam Butcher, 1996: 105. 294 De Sumatra Post, 28 Oktober 1936, “Ville Lumiere der Donkere Bengkalis-Afdeeling:Wereld’s Grootste Plaats: De Zaken Staan Steeds op Roegi en toch wordt er Verdiend.” 293

177 pantai timur Sumatra tepatnya disepanjang pantai barat Malaya, seperti di muara Kuala Selangor, dilaporkan bahwa jermal tidak hanya menangkap fauna muda, melainkan juga persediaan makanan bagi kelangsungan fauna ikan. Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan belacan juga telah menghancurkan sejumlah besar makanan ikan. Begitu pula halnya dengan hasil investigasi atas sejumlah ambai di Tanjung Piandang di Pantai Perak, dimana ditemukan bahwa ambai telah memusnahkan sejumlah besar ikan yang tidak dikonsumsi manusia, melainkan sebagai bahan makanan bagi ikan lainnya. Laporan pada periode yang sama juga menunjukkan bahwa sejumlah besar ikan yang ditangkap yang berasal dari jermal dan ambai disepanjang pantai barat Malaya, digunakan untuk pakan ternak, atau untuk pemupukan tanaman tebu. Oleh sebab itu, nampaknya di Thailand, dihentikan izin bagi usaha serupa jermal dan ambai disebabkan alat itu diklaim dapat menghancurkan sejumlah besar larva yang berguna bagi kelangsungan fauna ikan. Keseluruhan data ini, belum menunjukkan dampak secara langsung dari jermal dan ambai yang menunjukkan terjadinya overfishing di muara Rokan. Akan tetapi, overfishing atau tidak – apa pun itu, yang terjadi di muara Rokan, dikatakan oleh Butcher bahwa nelayan Bagansiapiapi telah mengeksploitasinya hingga mencapai ambang batas. 295 Menjelang runtuhnya Hindia, pendangkalan akibat timbunan lumpur di pelabuhan Bagansiapiapi, benar-benar mulai mengkhawatirkan. 296 Phenomena perubahan alam ini, nampaknya direspon dengan sikap pasif dari pemerintah, 297 tidak jelas apa tindakan yang diambil berkaitan dengan semakin terancamnya fungsi pelabuhan, selain itu juga alat tangkap ikan telah beroperasi semakin jauh saja dilepas pantai. Masa pendudukan, Jepang, industri perikanan benar-benar terhenti, dan mulai kembali beroperasi efektif pasca konflik 1946. Pada saat ini, dipastikan alat-alat tangkap yang tersebar di lepas pantai muara Rokan, banyak yang mengalami kerusakan sebagai akibat terhenti dari penggunaan; yang berarti juga tidak adanya pemeliharaan yang dilakukan pemiliknya semasa perang. Tercatat bahwa dari sejumlah 600 sero yang ada disana, hanya 60 saja yang masih dapat beroperasi. Selain itu, kondisi perairan muara semakin dangkal saja. Melihat ini, Belanda, sebagai pihak yang telah mendorong industri perikanan selama lebih separuh abad, dan ingin kembali berkuasa disana, melaporkannya dengan rasa pesimis yang teramat besar: “Bahwa tidak mungkin Bagan Si Api-Api akan dapat mengambil kembali posisinya dahulu sebagai pelabuhan perikanan terbesar kedua di dunia, karena meningkatnya timbunan Lumpur di Sungai Rokan sehingga perikanan disini menjadi kurang berdaya.” 298 295

ANRI MVO; Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934, Indische Courant, 23 Maret 1940, “Bagan Si Api Api: Verzanding ven den Rivier Mond”; 297 De Sumatra Post, 18 Agustus 1941, “De Haven van Bagan Api Api”. 298 Tweede Kamer, Rijksbegrooting voor het dinstjaar 1949 1000 XIII 13, .Brief van de Minister Zonder Portefeuille aan de Heer vorzitter van de tweede Kamer der Staten-Generaal, ‘sGravenhage, 14 Juni 1949; Mitz deze heb Ik de eer U Hoogedelgestrenge te doen toekomen het verslag omtrent de economisch toestand van Indonesie in 1948, hal.9 296

178 Pasca Perang Dunia II, para pedagang ikan dari Bagansiapiapi saat itu dapat kembali melakukan kegiatan penjualan secara teratur ke pasar Batavia, sementara itu KPM, seperti sebelum masa perang telah meminta koneksi langsung dengan Cirebon untuk pemulihan, sehingga barang tidak lagi – seperti yang sebelumnya dilakukan - dikirim melalui Singapura. Sementara itu peredaran uang sebahagian hampir normal disebabkan pembukaan kembali Bank kredit Rakyat di Bagan.299 Sementara itu, arus lalu lintas di perairan Bagansiapiapi khususnya di Pelabuhan, terganggu dengan timbunan Lumpur, dan nampaknya perlahan-lahan mengalami pendangkalan.

Pelabuhan Terapung di Bagansiapiapi. Sumber: Java Bode,19 September 1949.

Sekilas terlihat dari dek adalah "Brielle”: Sebuah instalasi Pelabuhan terapung yang dikonversi di laut akan lebih ringan, dimana penempatannya di Bagansiapiapi adalah agar kapal menjadi lebih mudah dalam melakukan kegiatan bongkar muat barang. Hal ini diperlukan sehubungan dengan kenyataan, bahwa pelabuhan nelayan terpenting ini, secara berangsur-angsur mendangkal akibat penimbunan lumpur. Saat itu, pelabuhan yang merupakan tempat perikanan terbesar di kepulauan bekas jajahan Hindia, praktis dianggap tidak lagi dapat digunakan dan dengan demikian dapat

299

Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 15 September 1949, “Volkecrdietbanks Open Kantooren.”

179 dikatakan Pelabuhan Bagansiapiapi terancam mengalami kehancuran. Untuk mencegah kehancuran ini atau paling tidak menundanya, telah disarankan suatu gagasan untuk sementara menempatkan pelabuhan terapung (“Brielle”). 300 Kapalkapal selama terdapat "Brielle" disana, dapat memuat dan membongkar barangbarang mereka dengan “Brielle” yang ditempatkan pada sungai.301 Meskipun kondisi pelabuhan yang sudah mulai menjadi “darat’, perekonomian Bagansiapiapi pasca perang tetap kembali berjalan normal, terutama sektor produksi dan perdagangan ikan.

Kapal yang terdampar dilumpur muara Rokan tahun 1930-40. Sumber KITLV

300

Dilihat dalam Java Bode, 1949, juga pada Documentatie van de Afdeeling handelsmuseum van het Indisch instituut, Volume 4, 19 March 1949, Edition 004-1949-0006 — Page 148 “De haven van Bagan Si Api-Api is verzand”. 301 Het Nieuwsblad voor Sumatra: Drijvende Haven voor Bagansiapiapi, 19 November 1949.

180

Muara Rokan Tahun 1899, muara yang luas; Dutch Colonial Map, name: 08862.

181

Muara Rokan 1918, pasca achteruitgang 1910-1915, pendangkalan yang mulai meluas, Sumber : Butcher, 1996.

182

Situasi Muara Rokan hasil investigasi Hardenberg, Peta I (atas) dan II(bawah), 1930 dan 1931. Telah menyatunya Pulau Halang Kecil dengan pantai Kubu, dan mulai tumbuhnya Pulau Barkey tepat di pintu masuk sungai Rokan.

183

Lautan dipantai Bagan yang telah menjadi daratan dan tertutup oleh Pulau Barkey; dilihat dengan Google map, 2016.

184

7 Perkembangan Kota Dari Kampung Nelayan Hingga Metropol Dalam menulis bahagian ini, kami meyakini bahwa berbeda dengan apa yang terjadi di Jawa dimana keruangan kota akan mengikuti pertimbangan sosio-tradisional, maka sejarah kota di luar Jawa, terutama Sumatra bahagian pesisir timur akan merefleksikan suatu tipe kota perdagangan, dengan demikian kota akan tumbuh secara alami mengikuti perkembangan perekonomian kota. Sejarah kota, memuat proses transformasi sosial dan perekonomian yang juga merupakan bahagian dari suatu perubahan sosial. Bagansiapiapi, sebagai sebuah kota yang dalam perkembangannya memperoleh sentuhan penataan Belanda, tentu saja, bentukannya menjadi khas kotakota kolonial terutama di pantai timur. Meskipun demikian, tidak dapat diabaikan adanya pengaruh pluratiltas kebudayaan; Perpaduan Eropa, China dan Melayu, terlihat jelas dalam pembentukan kota, baik dari segi model bangunannya maupun struktur keruangannya. Kesemuanya ini, merupakan hasil proses perkembangan yang berlangsung dalam periodisasi yang dimulai dari pra-kolonial, hingga akhirnya Belanda diusir oleh Jepang, kemudian Republik, bentuk keruangan yang nampaknya telah menjadi baku hingga saat terakhir. Jepang tidak melakukan perubahan-perubahan, sementara republik, denyut pemerintahan dan ekonomi masih bersumber dari ruang lama, sebagaimana halnya pemerintahan pusat dimana Gubernur Jenderal Hindia memerintah. Meskipun ada upaya untuk melakukan beberapa perubahan, hasilnya, dominasi kuno itu masih tetap diminati dan cenderung kokoh. Selain itu, berbicara tentang perkembangan sebuah kota, maka tidak akan dapat pula diingkari keterkaitannya dengan ekologi yang lebih luas, sebuah sistem jejaring perdagangan yang menempatkan kota tersebut sebagai titik entrypoint dari sejumlah noktah dalam perdagangan regional bahkan internasional. Begitupula Bagansiapiapi; Sebagai sebuah kota di pesisir timur Sumatra, mungkin akan berbeda dengan kebanyakan kota-kota di pulau Jawa, yang dikenal terutama bukan disebabkan produk kota itu sendiri, melainkan sebagai peran perdagangan perantara dari pedalaman sebelum mengirimkannya ke jejaring perdagangan dunia; gejala yang umumnya ditemukan di pesisir Jawa. Akan tetapi, Bagansiapiapi, dirinya dominan tampil terutama dengan produk sendiri yang pada periode kejayaan seolah-olah sumber daya ini tidak akan pernah ada habisnya. Surutnya produksi, lebih dituduhkan kepada faktor non-sumber daya alam, seperti kebijakan pacht garam dan imbas lesunya perekonomian dunia, serta terakhir adalah; pendangkalan muara. Perkembangan Bagansiapiapi yang pesat

185 dari sebuah kampung di muara Rokan, yang didirikan tidak jauh dan lebih ke hilir dari kampung asli Bagan Punak, mungkin saja pada awalnya hanya merupakan upaya sekelompok nelayan yang mencoba peruntungannya melalui usaha penangkapan ikan dengan memanfaatkan arus pasang-surut muara, bahkan pada awalnya mereka berposisi sebagai pengamat dari alat tangkap milik orang Melayu dilepas pantai Kubu yang terletak diseberang Bagansiapiapi, alat tangkap yang ditanam tidak jauh dari pantai dan lebih kecil, dan mereka para nelayan China itu berhasil mengembangkan alat serupa tadi secara lebih maju dan dengan hasil penangkapan yang jauh lebih besar. Meski mereka dikenal mandiri, campur tangan politik kolonial Belanda telah membawanya pada salah satu simpul perdagangan terutama di kawasan Selat Melaka. Bagansiapiapi dibawah Hindia, segera muncul sebagai pusat pelabuhan ikan terpenting di Hindia, bahkan didunia setelah Bergen. Sebagaimana telah disampaikan diawal, bahwa proses transformasi Bagansiapiapi dari pola Kampung menuju Kota, setidaknya dimulai dengan hadirnya pemerintah penjajah disana, proses yang berlangsung menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seperti tercatat dalam Staatsblad 1894 No.93302 kemudian No. 94, Kontrolir Onderafdeeling Tanah Putih dipindahkan ke Bagansiapiapi pada tahun 1900 sesuai dengan Staatsblad 1900 Nomor 64.303 Nampaknya, proses pemindahan ini berakhir ditahun 1901/02, dimana Seyne de Kock telah berkantor sebagai Kontrolir disana, dan dimulai pembangunan sarana kontrolir seperti pembangunan rumah dan kantor kontrolir. Dapat pula disampaikan bahwa pertimbangan Pemerintah Kolonial pada saat itu selain untuk mempermudah pemungutan bea ekspor-impor terutama dengan bentuk pemukiman dan usaha perikanan yang terletak disepanjang pantai, juga dapat dilihat dari letak Bagansiapiapi yang berada di lintas pelayaran Selat Melaka, berdekatan dengan Singapura. Sebagaimana diketahui, saat itu Singapura merupakan pelabuhan terbesar Kapalkapal Belanda di luar Eropa, Singapura yang berkembang dan menjadi pusat pelayaran bagi Hindia Belanda sendiri; Singapura sebagai pelabuhan persinggahan antara kepulauan dengan jalur-jalur internasional,304 dari ramainya Bandar Singapura sebagai pelabuhan re-ekspor-impor, termasuk pengiriman produk dari Bagansiapiapi via Singapura; Kemudian Bagansiapiapi sendiri yang telah mulai berkembang menjadi

302

Chineezen buiten China, 1909 — Bijlage 11. (Zie blz. 322). Belangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]. 303 Bertitik tolak dari Staatsblad sebelumnya, yakni No.93 dimana pemberlakuan ketentuan perubahan masalah pungutan pajak atas hasil laut adalah setelah Kontrolir bertempat di Bagansiapiapi, maka Staatsblad No.94 ini menegaskan pemindahan Kontrolir tersebut, sebagaimana tertera sebagai berikut: “Verplaatsing van de standplaats van den countroleur der Onderafdeeling Tanah Poetih…. In stede van Tanah-Poetih zal zijn Bagan api-api”. Bagaimanapun juga, pemindahan sebuah pusat administrasi pemerintahan akan memakan waktu, khususnya di era awal abad ke-20, April 1894 telah dicatat dalam Statblad, namun realisasinya seperti terdapat dalam Staatsblad 1900 nomor 64 adalah pada tahun 1900. 304 Anthony Reid, dalam “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit: KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011, hal.251

186 pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal, baik kapal uap hingga kapal layar dan motor, yang bahkan juga disinggahi oleh K.P.M. sejak tahun 1890.

Pembukaan Jalan di Bagansiapiapi tahun 1900.305 Rute transportasi via Bagansiapiapi, nampaknya dominan untuk pengangkutan produk perikanan, disamping sejumlah pengiriman produk lainnya. Adapun nama Bagansiapiapi, diduga berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang ditumbuhi pohon Api-Api306., atau nama tersebut diduga berasal dari “klip-klip” (kunang-kunang) yang bercahaya.307 Kata Bagan sendiri menunjukkan tempat, atau alat menampung ikan. Kesemua ini mengindikasikan, bahwa penjajah benar-benar berniat memantapkan cengkramannya di Bagansiapiapi sebagai pusat pemerintahannya disana yang berperan multiguna. Nampaknya juga, pada era ini Penjajah mulai 305

KITLV, 1901; pembukaan jalan di Bagansiapiapi dengan menggunakan tenaga kerja-paksa. Pohon Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae. Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau Akar napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Selain itu, seperti disampaikan oleh: J.A.Van Rijn Van Alkemade dalam “Beschrijving Eener Rels Van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier Naar Rantau Binoewang, Tahun 1884 (Deskripsi perjalanan sepanjang sungai Rokan: dari Bengkalis sampai Rantau Binoewang): Dikatakan sebagai berikut,”Wij waren al zoo te Bagan ApiApi, zoo genaamd naar het vele Brandhout’ dat hier kan worden verkregen,” (footnote:‘Api Api is de naam van een Boomsoort); hal. 29. Bahwa penamaan Bagan Api-Api nampaknya lebih dekat bersumber kepada kawasan yang banyak ditumbuhi pohon Api-Api tersebut. 307 ANRI MVO (Memorie Van Overgave); Memorie van overgave van de onderafdeeling Bagansiapiapi, 1925. 306

187 melengkapi fasilitas pemerintahannya, khususnya kantor kontrolir dan sarana pendukungnya. Ini dapat dilihat pada warta kolonial bahwa tahun 1902,308 bahwa secara de facto di Bagansiapiapi telah berdiri onderafdeeling, dan pembangunan sarana pendukung yang salah satunya adalah rumah kontrolir telah dimulai pada tahun 1903 yang membutuhkan dana hingga f35.548.309 Selain itu, dilakukan penempatan pasukannya guna menjaga kawasan pergudangan garam, dan mulai mendirikan bangunan bagi satuan reserse. 310 Pada masa ini juga, pemerintah mulai melakukan perluasan kawasan Bagansiapiapi arah ke timur yang merupakan wilayah hulu anak sungai, seperti pembukaan hutan bagi pembuatan jalan dengan menggunakan tenaga “pekerja-paksa.” Hasil yang besar bagi pemasukan kas Hindia dari Bagansiapiapi, tidak mengherankan bahwa pemerintah mulai membangun sarana penunjang bagi kelancaran pengiriman produk laut, seperti pembangunan kantor pos pembantu dan telegraph; 311 tidak mengherankan pula pesatnya prospek yang berasal dari sini sebagai “tambang emas kecil” telah mengundang juga hadirnya Hendrikus Collijn mantan kapten perang Aceh yang diutus langsung oleh Gubernur Jenderal Van Heuzt guna mendata “Kekayaan-Luar” Hindia;312 inspeksi Residen Bengkalis;313 serta kunjungan seorang pengawas Perikanan dari Batavia; Van Kempen. Akan tetapi, penataan Bagansiapiapi menuju benar-benar berpola kota, nampaknya dimulai pasca kebakaran besar tahun 1908314 dimana Pemerintah melakukan perancangan kembali Bagansiapiapi sebagai kawasan modern. Hingga pertengahan tahun 1909, wisatawan yang melancong ke Bagansiapiapi mungkin saja akan terkejut dengan puing sisa-sisa kebakaran yang nampak belum dibangun kembali, hanya terdapat rumah-rumah yang dibangun untuk sementara dan dengan kondisi sangat sederhana. Pemerintah Hindia memutuskan bahwa pembangunan kembali Bagansiapiapi dilakukan dengan penataan; jalan-jalan lebar yang berciri perkotaan, sederetan rumah-rumah dengan arsitektur yang teratur, dan bahkan mulai dilengkapi dengan fasilitas listrik dengan mendatangkan seorang insinyur dari Siemens Brother - Singapura. 315 Tindakan pemerintah Hindia ini juga dilakukan dengan penataan kembali bagi para pemukim China, terutama di Sinaboi yang terletak 60km sebelah utara Bagansiapiapi; melalui Staatblad Nomor 622 Tahun 1908. Periode awal perancangan kota Bagansiapiapi ini,

308

Dilihat dalam De Sumatra Post, “De Controleur van Bagan Si Api-Api, 30 September 1902, “De nieuw benoemde Controleur kromm zal morgen zijn bestemming naar Bagan Si Api-Api volgen.” 309 Dilihat dalam De Sumatra Post, Controleurswoning te Bagan Api Api, 24 Agustus 1903. Bahwa pada tahap awal ini, semua masih sangat sederhana dan terus mengalami peningkatan dan penyempurnaan di tahun-tahun berikutnya. 310 De sumpost 16 Oktober 1903, “Recherché te Bagan Api Api.” 311 De Sumatra Post, 27 April 1904, “Nieuwe Postkantoren ter Oostkust.” 312 De Sumatra Post, 13 Juni 1905, “De komst van Kapitein Colijn.” 313 De Sumatra Post, 3 Juni 1905, “Inspectiereis van den Resident.” 314 Het Nieuws Van den Dag Voor Nederlandsch Indie, 8 Juli 1908, “Kolonien: Brand ini Indie”; 315 Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 21 Juli 1908 (Uit de Indische Bladen. De Brand te Bagan Api-Api);

188 memasuki dasawarsa kedua diwarnai dengan masuknya masa “achteruitgang” atau penurunan produksi perikanan. Kondisi ini, ditandai juga oleh sejumlah besar pekerja dan pemodal yang eksodus meninggalkan Bagansiapiapi. Bahagian ini tidak turut memperdebatkan sebagaimana para komentator terlibat aktif dalam upaya mencari alasan mengapa perikanan Bagansiapiapi “collaps” pada era tersebut dan mengalami peningkatan kembali, atau bahkan yang benar-benar surut dikurun periode 1940-an, melainkan melihat dampak peristiwa itu pada perkembangan kota yang berada pada tahapan awal sejak menjadi ibukota pemerintahan kewedanaan. Meskipun demikian, nampaknya pada tahun 1912 di Bagansiapiapi dibangun pelabuhan modern 316 meski dibayang-bayangi krisis ekonomi 1913, akan tetapi ternyata dapat kembali mendongkrak kenaikan produksi ditahun 1915. Kontrolir Haga yang tiba di Bagansiapiapi tahun 1915, juga melaporkan bahwa Bagansiapiapi saat itu dicirikan dengan jalan-jalannya yang lebar; bahwa perencanaan pemerintah penataan kembali kota pasca kebakaran 1908, nampaknya benar-benar terlaksana. Kebakaran besar yang menghanguskan hampir seluruh kawasan, berdampak sukarnya untuk melihat jejak awal keruangan Bagansiapiapi. Koloniaal verslag Tahun 1917317 mencatat telah terjadinya perubahan status dari yang semula kantor pos pembantu menjadi Kantor Pos dan Telegraph yang semula didirikan tahun 1904. 318 Sarana komunikasi ini memudahkan pedagang ikan untuk melakukan pengiriman produk. Penampilan Bagansiapiapi tidak terbatas hanya pada penghasil ikan saja, melainkan juga pelabuhannya semakin berkembang sebagai entrypoint perdagangan dari pedalaman. Pelabuhan Bagansiapiapi sebagai tempat re-ekspor hasil-hasil pedalaman semisal karet, merupakan hasil bumi dari Boven-Rokan (Pasir Pangaraian) yang dibawa melalui Tanah Putih, dan kemudian ke Bagansiapiapi sebelum dikirimkan ke tempat tujuannya di Pantai Timur dan Semenanjung. Hasil perkebunan skala besar ini, lebih kepada kebun-kebun yang dibuka era 1880-an oleh orang China dan juga Eropa. Hingga tahun 1926, dilaporkan bahwa karet yang dihasilkan dan dikirim melalui Bagansiapiapi menduduki posisi ketiga dari tiga wilayah afdeeling yang menghasilkan karet; Bengkalis, Asahan dan Deli-Serdang. 319

316

Koloniaal Verslag Tahun 1912 seperti diberitakan dalam De Sumatra Post: “Haven werker ter Oostkust,” 16 Januari 1913. 317 Koloniaal Verslag 1917 – I Nederlandsch (Oost) Indie, Bijlage PP., Statistiek : betreffende den Post- Telegraaf en Telefoondienst in Nederlandsch Indie over 1916, meerendeels in vergelijking met de cijfers over 1914 en 1915, Handelingen der Staten Generaal, Bijlagen 1917/1918. 318 De Sumatra Post, 25 Mei 1904, dalam pemberitaan berjudul “Postwezen” dilaporkan pendirian Kantor Pos Pembantu di Bagansiapiapi; 319 Dilihat dalam laporan Departemen Van Landbouw, Nijverheid & Handel, “De Bevolkings Rubbercultuur in Nederlandsch Indie, VI.Riouw, Oostkust van Sumatra & Riouw en Onderhoorigheden, 1926.

189

Tongkang di Bagansiapiapi tahun 1930-40. KITLV Bagansiapiapi, dalam hal itu menjadi kota pelabuhan yang juga berfungsi melakukan transit produk ataupun pengiriman hasil-hasil pedalaman. Selain itu, perkembangan perekonomian seiring dengan berdirinya onderafdeelingsbank Bagan Maju, maka diberitakan bahwa menjelang tahun 1918 sarana pendukung kantor Bank didirikan, serta kantor Kontrolir yang baru.320 Layaknya sebuah ibukota onderafdeeling yang sedang berkembang sebagai akibat berlimpahnya hasil industri ikan, maka pada tahun 1930-an Pemerintah Kolonial membentuk perusahaan air (water leiding) melalui keputusan Gubernur Sumatra Timur dengan controleur sebagai ketua, sedangkan lembaga daerah dengan komisi pengawasnya yang beranggotakan delapan orang China dan tiga orang Melayu (Setyawati, 2008). Untuk kehidupan perdagangan, daerah ini sepenuhnya dibawah pengaruh hubungan perdagangan dengan Singapura, terutama dikalangan orang-orang China. Seluruh bisnis; baik eceran maupun grosir, impor dan ekspor ada di tangan mereka.321 Pada Tahun 1928 produksi ikan mencapai 50.700.000 k.g. bernilai f7.044.622. Pada tahun 1929 ekspor ikan dan produk ikan mencapai 52.160.000 k.g. yang bernilai f7.168.660. Ikan adalah khas Bagan yang dapat memberikan hasil untuk masyarakat, namun segala sesuatu harus diimpor dari luar, 320

Dilihat dalam De Sumatra Post, 5 Maret 1919, yang membahas laporan tahunan Bank Bagan Madjoe, diantaranya adalah pendirian gedung Kantor Bank dan Kantor Kontrolir yang baru di Bagansiapiapi. 321 Vleming, 1926.

190 menyebabkan Bagan menjadi tempat impor utama selain ekspor besar ikan keluar. Jawa adalah tempat impor garam (Madura), gula, tapioka dan jaring untuk perikanan. Bertahun-tahun Bagan memberikan kepada Singapura bagian terbesar untuk impor ini, akan tetapi dengan terjadinya perubahan dalam beberapa tahun terakhir dimana terdapat dukungan dari kawasan pantai timur Sumatra, terutama Pelabuhan BelawanDeli, dan Medan. Pentingnya impor langsung pada Bagansiapi yang terus meningkat, terlihat jelas dari angka-angka berikut; depot-depot di Bagan untuk berbagai pasar setara 11.510.000 Kg ikan. Pada tahun 1929, Singapura hanya setara dengan 1.590.000kg., pada tahun 1929 lebih jauh hanya setara dengan 400.000 Kg. Perdagangan luar memainkan peran penting dimana ada dan jelas bahwa Singapura sangat menekan dengan mengorbankan Jawa dan Pantai Timur. Dari sudut pandang komersial, tampaknya wajar saja karena Pantai Timur terletak jauh lebih baik daripada Singapura, yang akhirnya adalah posisi mana yang dipilih, yang selama bertahun-tahun benar-benar telah dilakukan, pasar Bagan harus meninggalkannya. Nampaknya, ini dilakukan demi kepentingan Hindia.

Pengolahan produk di Bagansiapiapi tahun 1930-40. KITLV

Aktifitas pegiriman hasil produksi perikanan yang mencapai 30 juta kg per tahunnya, maka dapat diasumsikan suatu tingkat kesibukan perekonomian yang tinggi, padat dan sesaknya aktifitas industri perikanan. Pelabuhan yang ramai dengan kapal-kapal yang singgah, aktifitas nelayan, hingga perdagangan dalam kota itu sendiri. Sejumlah kapal uap secara rutin memenuhi panggilan dari Bagan termasuk KPM, yang mulai mengambil peranannnya diantara kapal-kapal uap China, yang sebelumnya tidak

191 memperoleh rezeki disana. Diantaranya; Sri Pontianak, Esmeralda dan Ban Siong Bee dan lainnya, sementara juga KPM, dengan kunjungannya dan kapal-kapal yang melakukan bongkar-muat barang. Akan tetapi, sejumlah besar tonkang tetap mempertahankan koneksinya dengan Singapura, dengan konsekuensi serius bagi penyelundupan opium. Terkadang, warga yang tertangkap melakukan penyelundupan itu, menggantungkan beberapa kilo opium pada hewan yang dibawanya. Betapa pengiriman produk telah meningkatkan jumlah kapal uap dan berlayar dari Bagan dari 1099 dengan 160.000 ton pada tahun 1923; dan 1096 dengan 195.000 ton pada 1924; hingga 1201 dengan 248.000 ton pada tahun 1925; termasuk 281 kapal uap dengan 173.000 ton. 322 Berbeda dengan situasi Bagansiapiapi era sebelum tahun 1920 yang masih dilaporkan sebagai village (desa), H.P.H, seorang administrateur Belanda dalam lawatannya ke daerah Boven Rokan (Pasir Pangarajan), Sentang, Siarang-arang, Tanah Poetih, menuliskan Laporannya dalam, ”Swars Door Sumatra” sebagai berikut: “ …Pukul sebelas Kami tiba dengan selamat di Bagansiapiapi.. Kami bertemu dengan kontrolir dan Master Pelabuhan yang orang Eropa, dan dari mereka kami memperoleh banyak keterangan tentang Bagansiapiapi sebagai Pelabuhan nelayan terpenting ke dua di dunia… Desa ini dibangun diatas pantai yang merupakan rumah panggung yang tinggi, seperti “desa jalanan” dengan trotoar yang menyerupai rak panjang dan tinggi, sehingga ketika air pasang yang tinggi sekalipun rumah dan jalanan desa tetap kering.…. pada tempat pengeringan ikan (yang mungkin lebih tepatnya kondisi ikan yang membusuk) berkeliaran hewan-ternak peliharaan.. terlihat wajah riang yang tak dapat menyembunyikan keceriaan sebagai pertanda dari rasa syukur akan kelimpahan makanan! Ribuan jermal beroperasi, membuat Bagan menjadi sibuk dengan perdagangan, terutama yang datang dari luar. Seperti yang menarik perhatian Kami adalah pengiriman beberapa telegram ke Penang oleh Touke China. Kami mengetahui karena kebetulan sekali kami berada di Kantor Pos.. sebahagian pengiriman terkait dengan pengiriman garam.. Tidak dapat diragukan, bahwa di Bagansiapiapi banyak uang yang dapat diperoleh… Sepanjang pantai dipenuhi Panglong…..dan para nelayan berlayar dengan kapal-kapal layar….323 Sementara itu tahun 1926, dalam artikel yang berjudul Het Chineesche Zakenleven in Nederland Indie, door den Belasting-Accountantsdienst in Nederlandsch-Indië onder leiding van J.L. Vleming Jr., Bagansiapiapi adalah sebagai berikut: “….Terletak di Mulut Sungai Rokan dengan tempat utama adalah Bagansiapiapi dan sekitarnya Panipahan, Kubu, Sinaboi, Sungai Siandam dan Pulau Halang, tempat dimana penangkapan ikan dan perdagangan merupakan mata pencaharian penduduk. Jauh ke pedalaman merupakan

322 323

Het Nieuws Van Den Dag Vor Nederlands Indies, Lang Sumatra’s Oostkust, 2 Agustus 1926. H.J.H., 1923: 121-127.

192 daerah yang masih jarang penduduknya. .Adapun di Hulu Sungai ditemukan sejumlah penebangan Hutan (Panglong), yang secara keseluruhan nilainya praktis kecil.. terutama Bagansiapiapi yang merupakan Khas pusat Komunitas China dimana berkat dari kekayaan ikan dan keahlian khusus mereka.. serta dibawah kepemimpinan pemerintahan Belanda cepat mengambil psosisi ekonomi.. Kota hampir seluruhnya dihuni oleh orang China.. Dari sekitar 12 13 ribu jiwa penduduk Cina, terdapat 1600 wanita dan 3200 anak-anak..serta sekitar seratusan “bumiputra” dan sejumlah kecil Timur Asing lainnya.. Para pemilik toko kebanyakan adalah nelayan terutama berasal dari Hokkian; sedangkan untuk akuntan dan juru tulis yang dipekerjakan adalah “Tiotjoe”.. Hampir seluruhnya adalah Singkeh dan kebanyakan tidak berbahasa Melayu.. Penduduk bumiputra tempatan melakukan kegiatan penangkapan ikan terbatas pada skala yang kecil.. Bagansiapiapi sendiri tempatnya tidak besar.. Sejalan dengan Sungai Rokan yang ber-mil panjangnya, terletak papan kayu dengan model panggung, yang nyata merupakan jalan utama dengan deretan pertokoan China, Tempat pengolahan Ikan dan Dermaga. Gerakan arus keluar-masuk adalah nelayan dan pedagang. Sepanjang sisi jalan adalah toko-toko kecil dan restoraunt yang diupayakan sendiri oleh penduduk Bagan..“ Aktifitas orang Cina, terutama adalah nelayan, dengan jumlah sekitar 3000 orang yang terlibat dibidang industri perikanan ini, maka jumlah ini merupakan jumlah nelayan terbesar di kawasan Pantai Timur Sumatra; selain itu, maka sebenarnya kurang lebih sama, yakni 3000-an orang laki-laki usia produktif penduduk Bagansiapiapi, bekerja pada sektor perdagangan, berternak, tukang jahit, tukang kaleng, hingga sektor produktif lainnya. Jika pemukiman China di Pulau Jawa biasanya adalah suatu kawasan yang merupakan enclave, maka di luar Jawa, Pemukiman China adalah suatu kawasan yang mandiri, kompleks dan kental dengan karakter kota. Di Bagansiapiapi, maka dapat dikatakan pusat Kota adalah kawasan bisnis di Jalan Hai Khao Kue; yang bertitik tolak dari Pelabuhan dengan latar belakang gedung Pabean yang besar; sedangkan kearah utara; yakni kawasan sibuk Sungai Garam dan arah selatan adalah didominasi bangliau-bangliau. Sepanjang bibir pantai dipenuhi oleh perahu nelayan, Bangliau dan panglong. Sedangkan keluar Pelabuhan, maka ditemui areal pertokoan yang sekaligus menjadi rumah tinggal (ruko), hingga arah sebelah barat adalah perkampungan China yang padat. Sementara di kawasan Sungai Garam, persimpangan Jalan Perniagaan, banyak berdiri gudang-gudang besar tempat penyimpanan barang dari kapal yang baru berlabuh. Semakin ke arah darat, maka ditemui Kantor kontrolir Belanda dan kawasan pemukiman Eropa (Belanda), lengkap dengan bangunan khas gaya Belanda dipadukan dengan model rumah orang Melayu. Bangunan orang Belanda adalah bangunan yang terbuat dari Kayu, mengadopsi model rumah panggung yang khas Melayu. Orang Melayu menyebutnya dengan Rumah Tinggi, mungkin sama seperti orang di Pulau Jawa yang penduduk sering menyebut rumah orang Belanda dengan omah dhuwur (rumah tinggi). Adapun kebiasaan Nelayan China, dimana nelayan tidak selalu menghabiskan waktunya dengan melaut,

193 melainkan selama 14 hari didarat, dan 14 hari dilaut, meskipun terdapat juga nelayan yang berdiam di jermal-jermal yang tersebar di lepas pantai hingga bulanan lamanya. Di sini, sejumlah besar upah yang dibayarkan per kapita sekitar f40 hingga f50 per bulan, begitupula penghasilan dari pekerjaan sebagai kuli. Ketika mereka berada didarat, mereka banyak menghabiskan waktunya dengan berbelanja, menyenangkan diri hingga menonton wayang yang banyak terdapat di Kota.324 Kondisi ini diasumsikan, seperti ditempat lainnya dalam lingkup sentra industri yang melibatkan banyak pekerja, maka tidak terjadi akumulasi modal dikalangan pekerja (nelayan) disebabkan uang yang diperoleh terpakai untuk kegiatan yang unproductive. Dari kegiatan penangkapan ikan selama 14 hari sebelum mereka dapat melakukan pengiriman, dari sini saya memperoleh ide kecil tentang keterlibatan total para pemodal besar. Variasi harga yang tidak teratur terjadi sebagai akibat dari faktor spekulatif yang berlaku dalam usaha ini. Dengan demikian, berdiri atau jatuhnya potongan kredit permintaan pengimpor ke Bagan adalah sebagai berikut: di masa baik pembeli sering membayar sebelum jatuh tempo, tetapi dalam keadaan pasar yang buruk, sering terjadi beberapa bulan kredit ekstra terpaksa akan dikucurkan. Tidak ada salahnya, meskipun biasanya persoalan ini sangat sedikit yang dapat diketahui. Ini adalah masalah perasaan pribadi dan informasi yang tepat tentang tidak termasuknya kerjasama dengan calon pembeli. Dimanapun tidak dapat diketahui dan tidak mencurigakan….. Masalah-masalah moral di sini masih bersumber dari masyarakat China: kepercayaan dan kredit mudah saja dibuat dan komitmen pun dipenuhi, akan tetapi tidak selalu tepat waktu. Sebagai contoh adalah adanya dukungan keluarga terhadap kewajiban besar mereka yang jatuh dalam kesulitan, nampaknya hal ini tidak jarang terjadi. "kedeh" besar dalam 10 tahun terakhir yang jatuh pailit, terkadang diakibatkan tidak saja oleh kematian sang pemilik, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh persaingan yang tidak sehat. L.H.C.Horsting325 dalam kunjungannya ke Bagansiapiapi terkesan dengan bahagian pusat kota Bagansiapiapi, dimana terdapat sebidang tanah persegi berpotongan dengan paralelnya jalan-jalan. Disini, dijelaskannya, terdapat sebuah Tapekong China yang terbuat dari batu, dan tidak jauh terdapat pasar, kedei-kedei, restaurant dan, tukang pangkas. Orang China memangkas rapi rambut mereka, berbeda beberapa tahun saja sebelum kunjungan Horsting kesana, dimana mereka masih mengenakan kucir pada rambutnya. Berbeda dengan China Town yang memang berkarakter kota, maka pemukiman orang Melayu di Ibukota Bagansiapiapi yang berjumlah sekitar 3000 jiwa, adalah tersebar pada Kampong-Kampong Melayu. Untuk Bagansiapiapi sendiri, maka contoh bagus adalah seperti pada arah Timur Kota, biasa warga menyebutnya dengan “arah ke daek”(darat), tepatnya jalan Siak, Jalan Selamat, Jalan Bahagia - Madrasah sekarang, dimana pada areal tersebut masih terlihat bangunan-bangunan rumah orang Melayu yang dari desain arsitekturalnya, menunjukkan pengaruh era kolonial.

324

Vleming, 1926. Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, “Het Leestafel Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.” 325

194 Laporan sensus pada tahun 1930 menyebutkan Bagansiapiapi tidak lagi sebagai village(desa), melainkan sebagai Town(Kota). Meskipun demikian, Bagansiapiapi sebagai kota pusat Onderafdeeling yang membawahi tiga sub-distrik, secara umum hingga tahun 1930-an masih termasuk kedalam wilayah yang jarang penduduknya. Hal ini dapat dipahami dari keluasan wilayah yang mencapai 9718 km2 dan jumlah penduduk, dengan konsekuensi logis tingkat kepadatannya yang hanya mencapai 4,5 per km2, dibandingkan dengan kota lain pada saat itu, Bagansiapiapi termasuk dalam kategori Cijfer van 20 zielen per km2 en minder.326 Akan tetapi Bagansiapiapi secara khusus memiliki kompleksitas masyarakat yang tinggi, tercermin pada tingkat deferensiasinya yang mencapai 25%. Begitu pula jika dilihat dari kondisi tenaga kerja. Seluruh deskripsi ini, ingin menceritakan bagaimana Bagansiapiapi yang telah bertransformasi dari sebuah “Kampung nelayan menjadi kota nelayan atau bahkan; metropol,” dengan kesibukan produksi dan pengiriman hasil perikanan dan lintas perdagangan dengan volume yang tinggi. Kebakaran besar tahun 1920 nyaris menghanguskan seluruh kota yang terutama terbuat dari kayu. Pasca kebakaran ini, terutama pada tahun 1923, Bagansiapiapi mencoba bangkit dari puing-puing dan sisa abunya. Sebelumnya, pemerintah kolonial menetapkan kebijakan untuk membangun kembali pemukiman dengan sistem blok, sehingga bila terjadi kebakaran maka api diharapkan tidak dengan mudah menyebar dan merambat ke tempat lainnya. Selain itu, sistem blok ini juga dilengkapi dengan pompa-pompa kebakaran. Anjuran pemerintah untuk melakukan pembangunan ulang dengan bahan tahan api, nampaknya tidak sepenuhnya dituruti oleh warga; warga yang rumah atau tempat usahanya yang terbakar, cenderung untuk dibangun kembali dengan bahan yang sama seperti sebelumnya; kayu. 327 Kebakaran besar yang melanda Bagaimanapun juga, bencana kebakaran saat itu menyebabkan Bagansiapiapi menjadi pusat perhatian media, sebuah kota kecil yang memiliki peran yang signifikan di Hindia Belanda. Sejumlah warta memberitakan Bagansiapiapi, mulamula tentang kebakarannya, akan tetapi juga dengan perannya dalam perekonomian Hindia Belanda, sebagai pemasok ikan ke Pulau Jawa dan Madura.

326

Inlandsch Verslag, 1941. Dilihat dalam De Sumatra Post, 5 Maret 1919, yang membahas laporan tahunan Bank Bagan Madjoe, diantaranya adalah pendirian gedung Kantor Bank dan Kantor Kontrolir yang baru di Bagansiapiapi. 327

195

Seorang Pejabat Hindia didepan Kantor Kontrolir di Bagansiapiapi tahun 1930-40. Sumber KITLV Kondisi kota yang terbuat dari kayu, rapat dan padat, api adalah bahaya yang sempurna, sebab hanya dalam hitungan jam saja seluruhnya akan berubah menjadi abu. Rentannya kondisi ini juga dibahas dan ulas dalam beberapa laporan Media, sekaligus merupakan sarana “promosi’ Bagansiapiapi sendiri, sebab pasca kebakaran besar tahun 1920 ini, sebagaimana disampaikan, Bagansiapiapi nampaknya telah memasuki fase modernitas, dengan pembangunan ulang kota yang lebih terencana dengan sekat-sekat api (brandhuis), yang membagi kota dalam blok-blok untuk mencegah meluasnya api jika kebakaran terjadi kembali. Besarnya kerugian akibat kebakaran besar tahun 1920 ini, membuat Gubernur Pantai Timur Sumatra pada saat itu tergerak untuk melakukan kunjungan ke lokasi bencana kebakaran; Bagansiapiapi, dimana peristiwa ini dimuat pada halaman depan surat kabar De Sumatra Post selama 2(dua) hari, yakni tanggal 29 – 30 April 1920328. Berikut cuplikan kisahnya: ……….. Di pantai, di mana lantai dermaga yang kering dan panjang membentang ke sepanjang sungai terlihat kekakacauan..., kami melihat bukti

328

De Sumatra Post; edisi tanggal 29 – 30 April 1920, “Naar Bagan Si Api-Api ! Bagan Si Api-Api total afgebrand! Door Bios.

196 pertama dari kehancuran dan kerusakan… dan beberapa lantai kering di reruntuhan. Samar-samar ada beberapa gumpalan asap naik dari situ. …… Orang Eropa, pihak berwenang Cina dan pribumi maju dan ……Kemudian diikuti oleh “menshenmenigte” (kerumuman orang) yang padat, yang tahu bahwa kita telah membawa makanan dan bantuan, dimulai di sekitar koridor. …. Terletak di Bagan-Tengah, sebelah timur desa nelayan-,........ sebuah tempat terpencil yang reruntuhannya masih membara. …. Seluruhnya terbakar, tempat yang dulunya begitu hidup, distrik komersial yang sibuk. ….. Bagaimana itu: tiba-tiba di malam hari dari Sabtu ke Minggu alarm kebakaran yang sedianya akan didengar. Namun warga tidak terjaga …. atau api, di mana-mana di rumah-rumah kayu dan tanah gambut, api menemukan mangsanya….. seperti ditunjukkan oleh banyak harta di rumah Letnan China yang menjadi gunung api. Ia memiliki dua rumah di Bagan. Disebut perabotan mewah, ukiran mahal, gading dan marmer dipasang….. Rumah, itu yang paling dekat dengan pusat bisnis yang terletak ditepi laut, terbakar… Hampir menangis ia mengatakan kepada kami tentang kerusakannya. Kemudian Kami berbicara sebentar dengan istrinya, memikirkan gagasan tentang apa yang terjadi…. …adalah sejumlah Ratusan pedagang, hartanya telah terbakar, tidak meninggalkan apa-apa lagi. Tidak ada rumah tinggal, tidak ada tempat untuk tidur, tidak ada pakaian untuk melindungi dan melawan angin malam yang dingin. . Setengah telanjang para pria bergegas di antara reruntuhan di sekitar gudang ke sungai tempat mereka menghabiskan malam. Permintaan pertama mereka untuk gubernur itu: pakaian dan selimut. Ini akan segera dikirim. …. Tercatat bahwa sejumlah besar opium ikut terbakar, komoditi yang bernilai ribuan gulden perbulannya. Untuk sesaat saja sepertinya, gedung-gedung pemerintah itu bahkan akan musnah. Bunga api lebih intens dalam hitungan menit dan sudah mengancam kantor kontrolir, rumah pejabat eksekutif hingga sebuah kompleks hunian… Nyonya Boejinga329 merasa cemas dan meninggalkan semua perabotannya untuk bergegas keluar. Akan tetapi untungnya angin tiba-tiba saja berbalik dan bahaya pun berlalu.. ..Dalam 2,5 jam saja bahaya terbesar telah pergi. Bagan Tengah tidak lebih, yang tersisa hanyalah desisan dari kepulan asap… Selasa pagi, seluruh tahanan bekerja, dan kemudian dihitung kebutuhan yang akan segera dikirimkan ke Bagan, seperti atap ataupun juga sejumlah 800 karung beras. Orang-orang China menolak untuk menyediakan perahu-perahu mereka, bahwa mereka terlalu disibukkan dengan pekerjaan mereka sendiri. S.S.Singkel yang tertunda beberapa jam saja, ini berarti pemerintah sebagai pihak yang telah menyewanya, tentu saja menderita kerugian. Bahkan orangorang China menolak negosiasi tentang itu, akan tetapi ketika mereka mendapati polisi bersenjata yang diperkuat dari kesatuan Bengkalis telah terlihat mendekat, mereka pun menambatkan perahu, dan segera saja dikirim 329

Istri dari Mr.Boejinga yang merupakan kontrolir saat itu .

197 keluar. Dan ini, segera cukup bagi S.S.Sinkel Singkel untuk menurunkan muatannya. Sementara itu, gubernur dan otoritas utama mengadakan rapat dengan para tauke. Selama berjam-jam berada di gedung afdeelingsbank mengadakan pertemuan dan membahas banyak persoalan, yang pertama harus dilakukan untuk mengatasi bencana di Bagan untuk bencana seperti ini – dan ini bukan yang pertama! Jadi kita berdiri di sini untuk acara yang fatal, yang akan menunjukkan lagi dan lagi. Gubernur benar-benar bertanya-tanya tentang kenyataan bahwa terakhir api telah berkobar pada tahun 1908……… Tempat nelayan terbesar kedua di dunia membentang sepanjang sekitar 3 mil di pantai…… Apapun Bagan, seperti semua lokasi di Hindia, membutuhkan pemantauan secara teratur dalam pembangunan konstruksi dan kelanjutan dari lokasi keberadaan pemukiman…. Kontrolir Haga membawa kehormatan besar dan bekerja menciptakan afdeelingsbank dan ditingkatkan untuk populasi heterogen, Setengah China dan setengah Melayu. Dan Kontrolir Boejinga dengan karya besarnya dalam arah yang sama. - tidak ada ditemukan tempat yang lebih mudah terbakar selain yang terdapat di Pantai Timur…. Bios. Berkaitan dengan kebakaran tahun 1920 tersebut, Gubernur meminta agar usulan tentang rekonstruksi desa benar-benar didasarkan atas pertimbangan teknis dan keuangan. Lalu pada Tanggal 27 Desember, Gubernur diberitakan berkeberatan terhadap izin terhadap pembangunan kembali 4 kedei. Sang Gubernur meminta pertimbangan lainnya kepada Direktur Binnenlandsch Bestuur tentang bantuan terhadap pembangunan kembali “desa” Bagansiapiapi. Sementara itu, pemilik tanah yang melihat kegagalan usulan pertama – sebagaimana disampaikan telah mengakibatkan timbulnya keberanian pada diri mereka lalu membangun kembali kedei kayu sepertti dahulu, layaknya sebelum terjadi kebakaran. Gubernur melaporkan kepada Gubernur Jendral di Batavia, bahwa orang China di Bagansiapiapi tidak menuruti arahan dewan untuk membangun rumah tahan api disebabkan tidak memiliki modal yang cukup, sementara itu aturan tidak bisa lagi melarang orang untuk membangun rumah mereka sendiri dari kayu, yang tidak sesuai dengan plot yang ada. Akhir cerita kesedihan dari pembangunan kembali desa nelayan Bagansiapiapi yang telah mengalami dua kali kebakaran besar, dan upaya untuk menghidupkan kembali tempat yang telah menjadi abu ini adalah dengan membangun Bagansiapiapi dengan kayu seperti era “Tempo Doeloe.” Dilaporkan juga bahwa saat ini penduduk Bagansiapiapi telah mencapai sekitar 8000 jiwa, dengan 1600 kk. Perkiraan dari para ahli tentang peristiwa kebakaran tahun 1920, menyebabkan kerugian sampai f3.000.000. 330 Kemudian pada Tahun 1929, seperti diwartakan oleh De Sumatra Post telah terjadi kebakaran, yang untungnya, angin yang bertiup kearah laut telah mencegah terjadinya

330

De Sumatra Post; edisi tanggal 9 Januari 1922; “Bagansiapiapi.”

198 kebakaran yang lebih besar. Beberapa gudang, rumah hancur karena kebakaran tersebut. 331 Kebakaran tidak hanya terjadi di Bagansiapiapi, melainkan juga di Tanah Putih, seperti berita pada bulan Maret 1919. Selain bencana kebakaran, pada Bulan Desember 1920, tepatnya tanggal 11 Desember, Koran Het Vaderland memberitakan pula tentang adanya Bencana yang menimpa Bagansiapiapi, yakni; Badai. Dilaporkan dalam warta ini sejumlah bangunan, rumah, perahu nelayan mengalami kerusakan. Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun bencana, terutama bencana kebakaran, merupakan suatu pukulan bagi suatu sistem perekonomian. Begitu pula dengan Bagansiapiapi, Dampak yang paling terasa adalah diperlukannya lagi kayu sebagai bahan dasar untuk membangun, tidak saja rumah warga, melainkan juga infrastruktur kota; seperti tiang-tiang untuk pelataran, gudang dan bangliau. Kondisi ini diasumsikan telah menyebabkan pembabatan hutan semakin jauh ke Hulu Sungai dalam jumlah besar. Kondisi ini memiliki konsekuensi logis berubahnya ekologi, sebab bagaimanapun juga, Muara tergantung dari kondisi Hulu Sungai. Selain itu, persoalan yang dilaporkan berkaitan dengan pengiriman kayu dari Hulu sungai adalah tidak mudahnya transportasi sepanjang sungai. Kondisi arus pasang surut, dan juga; Bono. Gelombang pasang yang diakibatkan oleh pertemuan arus pasang dengan surut, seringkali membahayakan. Seorang administrateur Belanda, menuliskan laporannya tentang Bono dalam lawatannya ke Hulu Sungai sebagai berikut: Datuk (dari Tanah Putih) menyarankan waktu yang tepat esok hari bagi Kami agar menghindari air pasang yang disertai Bono yang bisa sangat berbahaya.. berasal dari mulut Sungai Rokan yang semakin dekat semakin kuat.. Banyak nelayan Cina yang bertemu Bono, seperti menipu kematian.. Kapal yang terkena Bono akan tertarik ke dasar sungai dan dengan suara yang keras dan terhempas hancur…. Itu suara yang menakutkan.. Bono datang dengan suara yang bergulung-gulung dan pohon-pohon disepanjang sisi Sungai terguncang dengan keras…. Jelas bahwa gelombang pasang ini tidak kondusif untuk aktifitas pengiriman rutin.332 Hardenberg juga mencatat tentang kejadian “Bono”, berikut ulasannya: Suatu sore tanggal 4 Oktober, saya berada disebuah perahu motor, di sebuah selat sempit disepanjang timur pantai (dekat Bagansiapiapi). Terjadi surut perbani, air pun menjadi sangat dangkal dan menyebabkan perahu motor terjebak dalam lumpur, sekitar 9 mill laut arah utara Pulau Pedamaran. Tibatiba, Sebentuk barisan terlihat di garis langit dan awak perahu berpikir itu adalah Bono. Sekitar 5 menit kemudian, terlihat dinding air setinggi 1,25 m datang mendekat… (1931). Kembali pada masalah kebakaran, meskipun pemerintah Hindia telah mengupayakan satuan unit pemadam api ini sejak 1907, akan tetapi seiring perkembangan, maka

331 332

De Sumatra Post; edisi tanggal 5 Juni 1929 H.J.H, 1923.

199 layaknya sebuah perkotaan, kemudian di Bagansiapiapi ditempatkan unit pemadam kebakaran yang dilengkapi dengan sirene atau alarm tanda bahaya kebakaran yang sengaja dipasang dengan volume tinggi; diharapkan dapat menjadi alarm penanda yang efektif sehingga kebakaran yang terjadi dapat ditanggulangi secara dini dan tidak meluas. Pada prinsipnya, kebakaran hanya dapat dipadamkan oleh petugas khusus dengan disiplin yang tinggi. Bahwa kemudian pemerintah Hindia mengirimkan petugasnya, kontrolir A.J.Van Wilgenburg yang nampaknya berangkat dengan segera kesana, disebabkan Bagansiapiapi harus memiliki seorang petugas yang sensitive akan api, selain itu, untuk selenggarakannya pelatihan bagi petugas yang ditunjuk. Setelah peralatan baru tiba, dimulailah pelatihan di lapangan untuk Petugas Kebakaran, tepatnya berlokasi disebuah lapangan pos polisi, dan sebuah gedung pemadam kebakaran pun dibangun. Mesin pemadam api ditempatkan diberbagai bagian kota, sementara keperluan personil juga telah tercukupi. Adapun panel api berada di ruang tunggu di areal kantor polisi. Mesin air dan saluran air untuk pemadaman api melalui pipa-pipa sepanjang kurang lebih 2 km, akan dipompa ke kota. Petugas pemadam api akan diperintahkan untuk siaga di Lapangan pada Bulan Oktober, dimana akan dimulai latihan sejak Bulan Januarinya. Bahwa Petugas pemadam api juga dibantu oleh Staf Pemerintah Kota yang cukup terlatih. Diadakan latihan rutin mingguan. Ternyata, keberadaan petugas pemadam kebakaran ini terbukti meyakinkan dalam beberapa kebakaran. Bahkan saat itu peralatan pemadam kebakaran di Bagan dianggap telah mencukupi dan dapat membatasi kobaran api. Bagi pemerintah, hanya petugas dengan kepemimpinan yang tegas dan berdisiplinlah yang mampu melakukan pekerjaan ini. Meskipun demikian, ditemui bahwa perusahaan asuransi ternyata masih enggan terlibat disini.333 Selain persiapan unit pemadam kebakaran, Bagansiapiapi juga diterapkan aturan untuk meminimalisir dampak kebakaran menjadi lebih besar, dengan aturan pembuatan bangunan hingga sekat dinding yang terbuat dari material yang tidak rentan terbakar, melalui regulasi Gubernur Sumatra Timur Tanggal 14 Mei 1930. Untuk mengurangi resiko kebakaran dengan didasarkan pada peraturan (didukung regulasi dan disetujui oleh Gubernur pantai timur Sumatera tertanggal 14 Mei 1930), jalan lebar dibangun, dan bangunan di ruang pertemuan utama yang lebih rendah…beberapa bagian dari rumah di blok.. dinding disekat dari material yang tidak mudah terbakar. Nampaknya, di Bagansiapiapi; Persiapan untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran benar-benar telah dipersiapkan mengingat 333

Belajar dari rencana kontrolir Van Wilgenburg sebelum ke daerah kebakaran untuk membangun juga taman Bermain dan olahraga, dan areal sekitarnya untuk penghijauan. Pelaksanaan rencana ini tentu akan memberikan kontribusi memperindah kota dan mencegah untuk meluasnya api.. Dikatakan oleh Pejabat setempat bahwa rencana ini diharapkan dibantu dan didukung oleh semua pihak… Selain kontrolir Wilgenburg yang lebih dari satu tahun lalu bertugas di Kisaran, pers menuliskan dengan “ditambahkan juga ucapan terima kasih kepada Petugas Kota Bagan…. Telah menunjukkan keberanian dan tidak kenal takut, Komandan H.P.O. Zijstra…juga ditujukan kepada Direktur Pekerjaan Umum Tuan Van Erden, yang telah menjamin pasokan air yang cukup untuk menanggulangi api… “ Dalam De Sumatra Post, tanggal 30 Mei 1932, SUMATRA: De Brand Te Bagan.

200 beberapa kebakaran besar menjelang tahun 1930. Meskipun telah sedemikian besar upaya dari pemerintah Hindia, “takdir” Bagansiapiapi saat itu seolah-olah memang lekat dengan namanya, dan kebakaran besar pun tetap terjadi kembali, sebagaimana peristiwa ditahun 1934; Sebuah kebakaran besar kembali melanda Bagansiapiapi, sebanyak 180 rumah, toko, gudang pengolahan ikan habis terbakar. Berita ini juga menyorot tentang banyaknya penduduk Bagansiapiapi yang kehilangan rumahnya, dan Pemerintah Kolonial mengambil langkah untuk membantu.334

Situasi Pelabuhan Bagansiapiapi 1930-40. Sumber: KITLV Api boleh saja berkobar dan membakar kota, akan tetapi perkembangan Bagansiapiapi terus saja bergulir seiring perubahan waktu, bahwa, memasuki tahun 1930-an, Kota ini semakin memperkuat kharakter ke-kota-annya dengan diterangi oleh aliran listrik yang pada tahun 1934 – yang telah dimulai perancangannya sejak pasca kebakaran 1908 - oleh Perusahaan Electriciteit Mastchappij Balik Papan, sebuah perusahaan Belanda. Kondisi ini ditengarai membuat Bagansiapiapi pada malam hari telah diterangi oleh lampu-lampu kota, dan mulai dipergunakannya alat-alat modern lainnya. Adapun untuk sarana air bersih, maka pada kurun tahun 1930-1931 dibangunlah di Bagansiapiapi Waterleiding – yang terus disempurnakan; mengingat

334

Het Vaderland: Staats En Letterkundig Nieuwsblad, GROOTE BRAND BAGANSIAPIAPI, tanggal 20 November 1934

201 kondisi tanah dan air asin, maka pada tahun 1937 didatangkan seorang Insinyur dari Afdeeling Gezondmakingswerken en Volkshuisvesting van den Dienst der Volksgezondheid (divisi Revitalisasi Pekerjaan dan Perumahan Departemen Kesehatan) di Batavia; Ir.Bleichrodt,335 dimana pada bahagian tertentu pipa dipasang diatas tanah, pekerjaan hingga tahun 1939 dengan pemasangan pipa-pipa besi cor hingga ke segenap kota, dimana sebelumnya menggunakan tabung baja yang telah mengalami korosi.336 Waterleiding sebagai bahagian dari rencana yang sudah dimulai tahun 1927 bahwa “MENGOEROES PERDJALANAN AIR AKAN MEMBIKIN SEHAT NEGRI.”337 Penjaringan air minoem boeat kota Bagan Siapi-api. Dengan penjaringan air sematjam ini, bisa dapat membeningkan, dari air jang beroepa koening, merah, (boetak), dan dapat teroes diminoem. Lebih doeloe air itoe dipompakan kedalam antara satoe dari doea coagulatiebak jang terbikin dari pada besi, dan tiap-tiap bak mi, isinja 50 M 3, dapat poela dipergantikan memakenja. Didalam bak mi, ada ditarokan obat, soda dan aluminiumsulfaat namanja. Sesoedah satoe djam dinenapin (dibeningkan), baroe air itoe mengalir kedalam tempat saringan (snelfilter), jang terbikin dari pada besi, jang dapat menjaring air 10 M3 dalam satoe djam. Air jang mengalir dari snelfilter mi, diatoerkan djalannja lagi oleh seboeah mesin, debietregulateur namanja, terbikin dari pada logam, dan teroes mengalir kedalam bak pandjang jang tertoetoep rapat (reinwatergoot), jang soedah ditaroki obat, caporiet namanja, boeat mengabiskan koetoe-koetoe (bacteriën). Dari reinwatergoot mi teroes mengalir kedalam bak besar, jang ditoetoep rapat, sehingga ta bisa masoek koetoe-koetoe (bacteriën), reinwaterkelder namanja, dan dari sini, mengalir teroes kedalam piggot tank jang isinja 30 M 3. Dari piggot tank inilah baroe dibagi-bagi pada jang'akan memakenja. Untuk sarana kesehatan, Pemerintah Kolonial memberikan dukungan untuk pembangunan Rumah Sakit tidak jauh dari pemukiman Eropa. Rumah Sakit Modern tempat salah seorang dokter awal yang bertugas, seorang bumiputra berasal dari pulau Jawa, yakni; dr.RM.Pratomo, yang namanya saat ini diabadikan sebagai nama pada RSUD Bagansiapiapi, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasanya; diberitakan wafat dalam kecelakaan kapal yang ditumpanginya dipedalaman sungai Rokan. 338 Selama tur-medis dipedalaman, ketika kapal itu dalam perjalanan di Sungai Rokan dekat Siarang-arang, pada tanggal 8 Februari 1939 dr. Raden Mas Pratomo dari Rumah 335

De Sumatra post, 03-03-1937, Waterleidingskwesties. IN BAGAN-SI-API-API EN BALIGE. Bevindingen van Ir. F. Bleichrodt. 336 Bataviaasch nieuwsblad, 19-10-1938: WATERLEIDING BAGAN SI API-API; 337 Colonial Collection (KIT) — Leiden University Libraries; Ketranganja soembangan dari Dienst der volksgezondheid di EHTINI, 1927 — X. ASSAINEERING (MENGOEROES PERDJALANAN AIR, AKAN MEMBIKIN SEHAT NEGRI). 338 Dilihat dalam “De Sumatra Post”, 13 Februari 1939, juga seperti diberitakan dalam “UTRECHT NIEUWSBLAD” 14 Februari 1939.

202 Sakit di Bagansiapiapi terjatuh dari kapal yang ditumpanginya, dihempas gelombang dan tenggelam dipedalaman sungai Rokan. Dokter Raden Mas Pratomo, berasal dari Paku Alaman Yogyakarta, sudah sejak 1911 di Bagansiapiapi sebagai dokter yang melakukan pelayanan kesehatan. Ia sekolah di Stovia (Sekolah untuk melatih dokterdokter Hindia) di Batavia dan lulus pada tahun 1906. Ia dikenal sebagai dokter pribumi yang ramah dan mahir berbahasa China, mengingat kota Bagansiapiapi yang dominan di huni oleh orang China. Rincian kecelakaan yang terjadi pada dokter Pratomo menurut warta tersebut belum diketahui. 339 Upaya pencaharian yang dilakukan disepanjang aliran sungai Rokan itu yang juga melibatkan datuk Tanah Putih, nampaknya tidak membuahkan hasil, dan dr.RM Pratomo pun tidak pernah diketemukan.340 Sementara itu pihak emerintah Hindia Belanda memandang serius peristiwa ini, bahkan, Gubernur Pantai Timur dari Medan tiba di Bagansiapiapi menemui keluarga sang dokter guna mengucapkan bela-sungkawa, 341 lalu dilakukan serangkaian penyelidikan mengenai peristiwa ini, dan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan, menunjukkan bahwa peristiwa itu memang sebuah kecelakaan. 342

Periode Tahun 1940-an Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa hingga menjelang tahun 1940-an, kota Bagansiapiapi telah menjelma menjadi suatu “modern town”, dengan kelengkapan fasilitas modern seperti listrik, air bersih hingga pemadam kebakaran. Pembangunan perkantoran yang berjalan menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia belanda, tercatat adalah pembangunan “kazerne veld politie”(tangsi polisi berlokasi di persimpangan “Societeit Straat dan Hospitaal Straat,” yang nampaknya perlu segera dibangun disebabkan kondisi bangunan yang sudah uzur dan rentan rubuh dan bahkan sebahagian sudah rubuh, sebagaimana diceritakan dalam surat Komandan polisi Bagansiapiapi, J.C.Kossen tertanggal 2 Februari 1937 perihal “Zeer bouwvallige toestand der kazarne Veldpolitie.”

339

Dr.RM.PRATOMO, seorang dokter lulusan Stovia Batavia yang bertugas di Bagansiapiapi semenjak tahun 1910/11, merupakan seorang dari keluarga Mangkunegaran Yogyakarta, ia datang ke Bagansiapiapi bersama sejumlah orang dan juga seorang tentara berkebangsaan Jerman. 340 Bahwa pencarian ini sebagaimana diceritakan oleh Syamsoeddin, salah seorang staf dokter yang turut dalam pelayaran dengan kapal F.II yang membawa dokter Pratomo itu. 341 Berdasarkan catatan dari salah seorang putri RM.Pratomo, 342 Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan polisi P.C.Kossen di Bagansiapiapi terhadap para penumpang kapal; H.J.Eldering (Rubberestrictieambtenar), Nain dan Naroep (awak kapal), Boeasim (juru-mudi), Sardijo (dokter), dan Samsoeddin (Zieken verpleger).

203

dr.RM.Pratomo (ketiga dari kiri) beserta anak tertua Djajeng Pratomo(kedua dari kiri berjas, masih hidup dan berdomisili di negeri belanda) dan sejumlah staf Medis Rumah Sakit. Gambar diambil tahun 1937 menjelang keberangkatan RM Djajeng Pratomo ke negeri Belanda. Sumber: Ibu Iljunah dan Marjati Pratomo.

Komandan Polisi Afdeeling Bengkalis menyarankan untuk sementara menggunakan Bangunan lain untuk menghindari terjadinya kecelakaan jika Bangunan itu rubuh. Pemerintah Batavia mengeluarkan kebijakan untuk membangun kembali, dengan bangunan yang lebih luas dan kuat, dengan fondasi yang kokoh. Kemudian pembangunan “opium depot/zouregie” di persimpangan “Wilhemina Straat” dan “Kerk Straat.” Proses pelaksanaannya sendiri telah dimulai sejak tahun 1938, dimana tanah lokasinya diserahkan oleh pihak Kerajaan Siak kepada Pemerintah Hindia Belanda.343 Pembangunan gedung kantor yang terakhir ini, nampaknya berjalan tidak sesuai rencana disebabkan telah pecahnya Perang Dunia II, yang sedikit banyak telah mengganggu arus pengiriman material untuk pekerjaan pembangunan tersebut; seperti kayu merbau yang diimpor via Singapura. Selanjutnya dapat diduga telah terjadi keterlambatan atau mundurnya waktu penyelesaian pekerjaan tersebut. 344 Dua bangunan itu, nampaknya tidak lagi dapat ditemui di Bagansiapiapi. Fasilitas ruang publik, berupa lapangan atau “voetbalveld” yang biasa digunakan sebagai 343

Surat penyerahan nomor 193 yang ditandatangani Sultan tanggal 23 Oktober 1938; dan Asisten Residen Bengkalis tanggal 6 Desember 1938. 344 Pekerjaan yang sedianya selesai pada 20 Desember 1940, nampaknya diperpanjang hingga 20 Februari 1941, surat Injo Tjiok Tjiauw, 30 Oktober 1940.

204 tempat bermain bola kaki, terletak di Wilhemina Straat, tempat yang sekarang dikembangkan menjadi “Taman Kota Bagansiapiapi.” Pada kawasan rumah sakit, yakni di “Kerk Straat” sekarang Jalan dokter RM Pratomo, berdiri sebuah bangunan milik Khatolik yang nampaknya juga berfungsi sebagai “ziekenhuis” (sekarang digunakan sebagai asrama polisi). Adapun rumah dinas Komandan Polisi tepat terletak diseberang kazerne veldpolitie yang merupakan persimpangan dengan “Juliana Straat” dan berdampingan dengan gedung “Inlanders School” (sekolah Pribumi), Telegraaf dan Postkantoor. Adapun arah ke barat menyeberangi Juliana Straat, maka terdapat areal BOW (departeman PU). Arah ke timur, maka terdapat “gevangenis” atau rumah tahanan dan Rumah sakit milik “vereeniging” yang terletak berseberangan dan sama menghadap ke “Kerk Straat”, selain itu juga tepat berhadapan dengan sebuah ziekenhuis milik khatolik(sekarang asrama polisi). Arah ke selatan dari rumah sakit, maka membentang Hospitaal Straat yang sekarang dikenal dengan Jalan Tugu dan jalan dokter RM Pratomo, dimana terdapat Holland Chineesche School dan Pastoor Kerk, dan juga Controleurswoning (rumah-Kontrolir) dipersimpangan Hospitaal Straat dan Societeit Straat. Diantara Pesanggrahan dan controleurswoning, terdapat Lapangan Tenis yang masih digunakan hingga saat ini. Yang dapat dicermati adalah bahwa Bagansiapiapi sebagai kota yang rentan terbakar, saat itu kota telah memiliki sejumlah gang (jalan kecil) yang disebut dengan “brandhuis” diantara pemukiman yang rapat dan padat, yang dimaksudkan untuk memudahkan pekerjaan pemadaman api bila terjadi kebakaran, solusi yang diberikan mengingat beberapa kebakaran besar pernah melanda kota ini. Dan kota sendiri, dibelah oleh “waterleidings Straat” yang saat ini adalah jalan Siak terus kearah “Zeestraat” yang sekarang adalah jalan Perdagangan/perniagaan. Waterleiding ini sendiri sangat penting dan mendesak; dengan pipa-pipa air dipompa keseluruh penjuru kota guna mengantisipasi bencana kebakaran. Dari sisi pendukung perekonomian kota sebagai pusat industri ikan, maka gudang-gudang garam terletak di sumbu teluk “Sei Garam” yang terletak di “Zeestraat”, begitu pula dengan kantor Serikat Tjin Thong, dan sebuah club terkenal: Soekarame. Dari sini arah utara, maka terdapat Kantor Pabean yang berdiri di depan Pelabuhan Utama Bagansiapiapi. Disisi utara kantor tersebut terdapat Pasar, yang terus kearah laut terdapat “visspasser” (pasar ikan) yang terletak memanjang searah dengan dermaga Pelabuhan. Kota sendiri memiliki jalan utama, yakni “Emma Straat” dimana berdiri gedung “Pesanggrahan”, “Magistraat Kantoor” dan “Volkscredietbank”. Tepat diseberang kantor utama tersebut, terdapat gang yang mengarah ke “Klenteng” yang juga nampaknya “Brandspuithuis” berdiri dipersimpangannya. Arah ke timur di kerk straat, terdapat rumah letnan China (Luitenantswoning). Masih di Kerk Straat, tepat disebelah Volkscredietbank, berdiri Pandhuis atau Kantor Pegadaian. Perkembangan kota adalah memanjang sepanjang garis pantai dari selatan kearah utara, dengan pusat pemerintahan dan klenteng diareal tengah. Arah barat, adalah pelabuhan yang sudah berangsur-angsur mengalami pendangkalan akibat timbunan lumpur. Lurus arah ke timur, sebelum ditemuinya pemukiman masyarakat Melayu dan areal kebunkebun karet, terdapat jalan Haga (sekarang jalan Pahlawan) yang membentang paralel

205 dengan garis pantai dari utara ke selatan, seolah-olah merupakan garis demarkasi kota berdasarkan etnis. Jalan Haga ini, penampilannya sekarang mungkin berbeda: bahwa jalan semasa Hindia yang merupakan suatu garis lurus menuju Bagan Punak yang merupakan rangkaian jalan setapak yang coba dibangun oleh Belanda menuju pedalaman.345 Kemudian pemukiman China yang padat, seperti Macaustraat (Jalan Makau) yang dideskripsikan oleh Haga sangat kental dengan Kharakter China. Siapakah sebenarnya Haga ini? Namanya, cukup sering terdengar dalam peran Hindia dalam mendorong industri perikanan Bagansiapiapi setelah terkena masa tekanan pertama; dengan melihat bahwa pada salah satu jalan di Bagansiapiapi menggunakan namanya, maka dapat dipastikan bahwa sang tokoh cukup berperan pada masanya. Bauke Jan Haga, adalah seorang kontrolir yang bertugas di Bagan Api Api kurun waktu 1915 – 1919. Haga dilahirkan di Groningen 9 November 1890. terdaftar sebagai mahasiswa hukum dan sastra di Universitas Leiden tanggal 23 September 1909, pada tanggal 8 Februari 1913 berangkat dari Amsterdam ke Batavia dengan kapal Rembrandt, bertugas sebagai Direktur Layanan Sipil di pantai timur Sumatera 7 Juli 1913, tinggal di Bindjei Langkat , kemudian di Siak tahun 1914, Sebagai adspirantinspektur Pematang Siantar Tahun 1914, bertugas sebagai Kontrolir Pemerintahan Sipil Bagan Api-Api (1915-1919), tinggal di Bagan Api-Api, juga pernah menjabat sebagai Presiden Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe (1917), sebagai PresidenBendahara Asosiasi (vereniging) untuk pembangunan dan pemeliharaan sebuah rumah sakit di Bagan Api-Api (1917), kemudian memperoleh Ph.D. dari Universitas Leiden pada bulan Desember 1924 dengan disertasi berjudul “Indonesische en Indische democratie,” buku yang banyak dibaca oleh tokoh pergerakan kemerdekaan nasional, seperti Dr.M Hatta. Karier terakhirnya adalah sebagai Gubernur Borneo tahun 1939 hingga masuknya tentara pendudukan Jepang dimana ia dan isterinya terbunuh disana. Belanda kembali memasuki Bagansiapiapi pada akhir tahun 1948, kali pertama “berkuasa” kembali setelah Jepang mengusir mereka di tahun 1942. Seorang jurnalis yang bersama-sama dengan tentara agresi itu melaporkan situasi kota Bagan sebagai berikut:346 Pelabuhan Bagan ini merupakan pelabuhan perikanan terbesar kedua di dunia, namun, belum mampu berbuat banyak karena mereka tidak memiliki sumber daya modern seperti kapal keruk pasir dan lainnya, untuk melakukan pengerukan itu. Sungai Rokan yang mengalir ke laut, telah berubah kekuatannya dalam beberapa tahun terakhir, dengan hasil bahwa port tersebut benar-benar tertimbun lumpur dan macet. Di mulut pelabuhan telah terbentuk ambang sekitar 1 meter. Sebagai tindakan penanggulangannya, diupayakan agar aliran air terus mengalir ke dermaga. Dengan demikian, terdapat satu-satunya titik di mana "pada 345

Bahwa jejak-jejak jalan ke pedalaman era Hindia, tidak selalu bertepatan dengan jalan yang sekarang digunakan. Hasil kontak pribadi dengan Nurhidayat,SH, seorang warga mantan Camat Bangko, 31 Maret 2016. 346 De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, tanggal 8 Januari 1949; Bagansiapi-api: „Staat in een Staat” Bevolking voelde niet veel voor republikeinse ideeën Troepen goed ontvangen.

206 saat pasang maka masih bisa kapal merapat ke kota. .. Mereka memperhatikan perkembangan terbaru dan kemajuan di berbagai wilayah, terutama pertumbuhan Negara Soematera Timur; menjadi perhatian khusus mereka… Semua bangunan publik di Bagan yang rusak mulai digunakan. Pasokan air dan listrik, bagaimanapun, mengalami stagnasi karena terdapat bagian dari yang tidak lagi digunakan dan tidak diganti selama bertahun-tahun. Rumah sakit selama bertahun-tahun berada di bawah kepemimpinan Republik. Pasien tidak ada, tapi terdapat sejumlah tiga belas staf lakilaki. Bangsal dibagi dan atap diperbaiki dalam bilik-bilik yang nyaman di mana staf telah bertempat tinggal. Dan juga, gaji yang besar. 'Obat-obatan dan peralatan medis tidak terdapat di sana, "lanjut dokter Belanda, yang kini telah mengambil alih rumah sakit itu. Akan tetapi, setelah penyelidikan; dan pengupayaan, pada hari kedua, rumah sakit telah mengalami metamorfosis secara lengkap. Rumor kehadiran dokter sudah merambah penduduk. Hasilnya adalah bahwa pada pagi hari ketiga, sejumlah 175 orang pasien telah datang menunggu didepan kliniknya.

Kontrolir B.J.Haga

207

Sketsa Situasi Bagansiapiapi Tahun 1941.

208

Sumber Weekblad voor Indie, 17de Jaargang No.5, 9 Mei 1920; “Een Bloeiend Bedrijf”

209

Pelabuhan Bagansiapiapi 1948. KITLV

210

Sungei garam Riwajatmoe doeloe, 1948. KITLV

211

Sinaboi 1948.KITLV

Panipahan 1948. KITLV

212

Pelantaran di Bagansiapiapi, tahun 1930-40. Sumber KITLV

213

214

8 Konfigurasi Sosial di Bagansiapiapi Kharakter Pemukim Awal Pembuatan peta, membutuhkan suatu ketrampilan khusus yang hingga menjelang akhir abad ke19 dan pertengahan abad ke-20, masih didominasi Eropa sebagai negeri penjajah. Proyeksi keruangan yang begitu luasnya dalam selembar kertas kerja, menjadikan lanskap bagai terpegang begitu mudahnya dalam genggaman kolonial. Pengkajian lanskap yang dilakukan para ahli dari bangsa Eropa, merupakan suatu fase dalam periodesasi penjajahan yang tentu membutuhkan informasi-informasi, terukur dalam serangkaian metode dalam alur hukum positif. Informasi yang diperoleh sangat berguna bagi kelangsungan ataupun prospek kolonisasi, terutama meliputi kondisikondisi fisik lingkungan ekologi. Untuk Bagansiapiapi, nama ini tidak tercantum dalam peta yang memuat gambar wilayah muara Rokan347 setidaknya hingga menjelang tahun 1870-an, bahwa saat itu Belanda terfokus pada tiga lanskap kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu, dimana pada wiilayah muara Rokan dituliskan sebagai Perbabean. Akan tetapi, sebenarnya yang sering tidak tercatat dalam tradisi kolonial ini adalah para aktor dari lanskap yang dipelajari, terutama bumiputera yang berada dalam area fokus kajian yang berperan dalam pergulatan ekonomi. Sepanjang abad ke17 hingga pertengahan petama abad ke-19, dengan situasi perdagangan yang begitu ketatnya dimonopoli oleh Belanda terutama wilayah sepanjang selat dipantai timur Sumatra, tentunya bukan situasi yang diminati oleh para migran China yang biasanya tiba dengan kepentingan berdagang; Sebut saja Kapten Forrest yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1762, 1775 dan 1784, tidak menemukan pemukim China disana, hanya saja ia menyebutkan pemukim China itu pada masa komodor Beaulieu di Palembang tahun 1722.348 Informasi keberadaan pemukim China itu, Marsden menyebutkan terdapatnya pemukim China di Bengkulu. Keberadaan pemukim China di kawasan Sumatra Selatan, juga Bangka, terkait dengan pertambangan timah dimana VOC memonopoli perdagangan barang tambang. Keberadaan pemukim China, terkait dengan keberadaan pertambangan dan bukan 347

Sebagaimana yang ditunjukkan dalam peta Hindia, “Kaart der residentie Riouw met onderhoorigheden, aangrenzende deel van Sumatra's Westkust en Schiereiland Malakka,” W.F.Versteeg, 1833 – 1867. Pada peta Muara, hanya terdapat nama: Og Perbabean, Pulau Halang Besar dan Kecil 348 Voyage to Mergui Archipelago, hal.50; Purcell, hal.425-428.

215 perdagangan; seperti penguasa Palembang yang menyadari keunggulan pekerja China sebagai pekerja tambang, segera mendatangkan mereka dari Tenggara China melalui agen untuk bekerja di Bangka.349 Hingga dekade ketiga atau keempat abad ke-19, kuantitas pemukim China di Sumatra tidaklah signifikan hingga dimulainya masa perkebunan tembakau di Deli, Langkat dan Serdang dipantai timur. 350 Sesudah tahun 1860-an, dikenal dengan periode tibanya migran China dikawasan pantai timur, sebagaimana telah disampaikan untuk bekerja di perkebunan tembakau yang dikatakan mereka memiliki ketrampilan sehingga memiliki hasil panen yang baik. Pertumbuhan migran China itu, nampaknya juga sejajar dengan yang berlangsung dikawasan lebih ketimur, tepatnya mengenai kisah pendirian “kampung nelayan” tepat ditepian muara Rokan oleh para pemukim China yang terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan. Sebagai sebuah kawasan yang tumbuh pesat awal abad ke-20, terdapat kisah ataupun legenda yang berkaitan dengan pangarungan samudera menggunakan tongkang oleh sekelompok China, yang dalam kegelapan malam lautan, tiba-tiba tampak cahaya yang berkedip-kedip dan dijadikan sebagai pemandu dalam mencapai daratan. Dengan mengikuti kerlap-kerlip cahaya itu, mereka tiba disuatu daratan di muara sungai Rokan, yang saat itu masih dikenal dalam peta kolonial sebagai kawasan Perbabean. Para awak Tongkang sejumlah 18 orang yang seluruhnya bermarga Ang, di antaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui. 351 Kelompok pertama itulah yang selanjutnya dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Terdapat juga yang memperkirakan kedatangan itu tepat pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16. Adapun tahun masehi pendaratan Tongkang itu, terdapat beberapa pendapat, dimulai dari tahun 1825, 1860, atau 1875. Pendapat pertama, 1825, berkaitan dengan masa sebelum kedatangan di muara Rokan, kelompok ini singgah di Songkla Thailand, akan tetapi, situasi yang tidak kondusif memaksa mereka untuk melanjutkan perjalanannya mengarungi lautan hingga akhirnya tiba di pesisir Rokan. Mengingat situasi politik di pantai timur, terutama yang relatif stabil pasca perang padri di pedalaman sungai Rokan tepatnya di Dalu-Dalu yang berakhir pada tahun 1838; kemudian ditandatanganinya perjanjian antara Siak – Belanda tahun 1858, dan Traktat 1871 antara Inggris-Belanda tentang pembagian Sumatra - Malaya, serta booming perkebunan di Sumatra Timur, maka mengacu pada suatu keberlangsungannya situasi kondusif bagi sebuah pengembangan pemukim yang berorientasi penangkapan ikan di kawasan pantai timur, dengan demikian, menjadi logis saja perkiraan kedatangan para pemukim awal Bagan pada tahun 1860-1875 (Bruin, Vleming, 1926).

349

Davidson, Trade and Travel, hal.87. J.A.Collet, Terres et Peuples de Sumatra, Amsterdam, 1925, p.193; Purcell, hal.427. 351 Sudarno Mahyudin, 2008. 350

216

Pemeriksaan Kedatangan pekerja China oleh Belanda di kawasan Pantai Timur. Sumber: Deli in Woord en Beld, Amsterdam, H.H.de Bussy 1905.

Bagansiapiapi, berbeda dengan Melayu yang cenderung mendirikan pemukiman yang berada di alur anak-anak sungai sebagai kampung yang eksis diera 1860-an itu. Posisinya berada di garis pantai muara yang rentan dengan hantaman arus pasang surut; kawasan padat mangrove dan berawa, dan juga setiap saat selalu berada dibawah ancaman hewan predator; buaya air asin. Meskipun makhluk terakhir ini tidak menjadi kendala utama bagi industri, terlihat bahwa hingga saat ini tetap menjadi predator utama yang sungguh-sungguh berbahaya: bahwa seperti diberitakan dimana sebuah sampan kecil yang ditumpangi seorang laki-laki dan perempuan yang tengah melintasi sungai Rokan terbalik, dan mereka diserang oleh buaya yang berukuran cukup besar hingga salah seorang dari mereka telah dimangsa predator itu.352 Telah disebutkan, kerasnya kehidupan nelayan di industri perikanan di Bagansiapiapi, diantaranya pula, bahwa pekerja selama periode menunggu jermal, mereka berada di lepas pantai dengan sejumlah pula tantangannya.353 Selain itu, kita 352

De Locomotief, 10 Juni 1892. Pada saat itu, ratusan jermal yang tersebar di lepas pantai, terdapat tonkang besar disampingnya sebagai tempat kediaman nelayan dan keluarganya – disamping sampan-sampan kecil untuk menampung hasil tangkapan. Sang nelayan, biasanya akan ke daratan dalam 2-3 bulan sekali untuk berbelanja kebutuhan harian. Untuk konsumsi rutin, mereka memasak bubur nasi dan ikan, ataupun sedikit sayuran; rutinitas ini ternyata menimbulkan berbagai macam 353

217 juga dapat melihat, betapa tanah tempat berdirinya pemukiman merupakan rawa gambut, yang akan memantul ketika kita melangkahkan kaki disana. Jelas saja, bangunan batu pada era awal bukan pilihan yang tepat untuk model bangunan disana. Dipastikan bahwa pada tahapan awal ini, para pemukim akan berhadapan dengan ganasnya alam pesisir yang begitu hebatnya menguji batas ketahanan phisik manusia, dan terbukti, para pemukim awal Bagansiapiapi ini berhasil melewati rintangan ekologis tersebut. Masyarakat Bagansiapiapi terutama nelayan China, berada dalam kehidupan yang keras. Menjelang akhir abad ke-19, Rijn van Alkemade mencatat bahwa di Bagansiapiapi ia menyaksikan, seorang pencuri dengan tangan dan kaki terikat; dilempar ke laut.354 Pembukaan lahan dan pendirian pemukiman tepat digaris pantai muara, jelas meletakkan fondasi bagi perilaku para pemukimnya. Alam yang keras membentuk kehidupan keras, dan tentu saja akan membentuk watak tertentu bagi para pemukimnya. Bahwa tidak mungkin dapat dijalankan industri perikanan disini tanpa kedisiplinan tinggi para pelakunya dan sikap sebagai pekerja keras. Dalam kaitan “semangat kerja” itu, L.H.C.Horsting menggambarkan orang China di Bagansiapiapi, terdapat jaringan seluruh keluarga untuk bergerak dalam usaha perikanan; laki-laki, perempuan, dan anak-anak, semua sesak dan berteriak dalam jalinan kerja. Orang Cina di disini (Bagansiapiapi), memang seperti semut, selalu sibuk, selalu aktif. 355 Lebih jauh lagi, dilaporkan bahwa dalam persinggahannya di Bagansiapiapi, Rijn van Alkemade juga mencatat bahwa dinegeri ini terdapat sejumlah 1000 jiwa orang China dilengkapi juga dengan senapan yang bermukim disana, dan kesemuanya itu adalah laki-laki!356 Kondisi menjelang akhir abad ke-19 ini dapat dipahami dari kharakter budaya masyarakat China itu sendiri; dimana tabu bagi seorang perempuan terhormat untuk melakukan perjalanan mengarungi lautan. 357 Pada awalnya, Bagansiapiapi terlihat berkharakter sebagai tempat para “pemburu” ikan yang mencoba peruntungannya disana; mereka tiba secara berkelompok, bertahap, mulai dari Taiwan, China Daratan hingga Singapura. Pertemuan para pelaku industri perikanan ini, terutama para “lajang” juga sekaligus memunculkan asumsi tingginya tingkat migrasi sirkuler. Para pekerja ini, mungkin saja setelah berhasil mengumpulkan uang, akan kembali ke negeri asal dan segera digantikan dengan pelaku lainnya. Akan tetapi, situasi ini tidak bertahan lama. Perubahan politik dengan masuknya penjajah Belanda yang begitu antusias untuk mengembangkan dan penyakit. Untuk menanggulanginya, maka seorang dokter dari Bagansiapiapiapi – dr.R.M.Pratomo, setiap pekan mengunjungi mereka di Jermalnya; dilihat dari catatan RR.Pratomo, putri ketiga dari dr.R.M.Pratomo. 354 Rijn van Alkemade, 1884, 355 Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, Het Leestafel Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust. 356 Rinciannya adalah China-Hokkian sejumlah 800 jiwa, yaitu China Tai Zjoe sejumlah 90 jiwa, untuk dipekerjakan pada pachter, sementara sisanya Haylam dan selusin Keh-China, sehingga totalnya adalah 1000 jiwa, dan Rijn van Alkemade tidak melihat adanya perempuan disana; lihat Alkemade, 1884. 357 Lihat “China Pesisir.”

218 meningkatkan produksi ikan tangkap ini, telah mengundang begitu banyaknya para pekerja; juga dengan berdatangannya kaum perempuan China, membentuk keluarga atau para pekerja ini membawa sendiri keluarga dari tempat asal. Meskipun demikian, komposisi kaum perkerja “lajang” nampaknya masih bertahan, seperti tercatat dalam laporan Kontrolir Haga(1915-1919) bahwa pada era tahun 1916, dari sejumlah 12.012 jiwa penduduk, laki-laki sejumlah 6825 jiwa dengan 4800 jiwa diantaranya adalah nelayan – sisanya merupakan kaum perempuan(1943jiwa) dan anak-anak (3717 jiwa). Selain itu, phenomena ini juga sekaligus menunjukkan tentang fluktuasi jumlah penduduk yang nampaknya sebanding dengan kondisi industri perikanan. Kita tidak akan merasa heran dengan eksodusnya dua ribu nelayan dari sini ketika terjadi masa surutnya produksi di tahun 1910. Begitu pula ketika memasuki era stagnan, secara kuantitas, para pemukim China ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pria berkeluarga, mungkin saja memiliki keturunan yang akan menambah jumlah penduduk, akan tetapi, para pemukim “lajang” yang cukup besar, jika melihat situasi yang tidak menguntungkan, memilih akan segera berlalu. Sensus 1930 menunjukkan bahwa penduduk China berjumlah 16.000 jiwa, dan hampir secara eksklusif-adalah Hokkian-Singkeh (totok), 358 Komposisi demografi ini, dari jumlah 16.000 jiwa yang berstatus lajang sekitar 8000 jiwa, kemudian sejumlah 2000 jiwa pria menikah namun tidak terdapat keluarganya disini, dan sejumlah 2000 menikah dilengkapi dengan anak-anak di Bagan. Kembali pada masa disaat Bagansiapiapi masih dikenal dengan Kawasan yang disebut sebagai Perbabean ini, pada awalnya tentu didirikan dengan dukungan hutan mangrove yang memberi pasokan kayu-kayu sebagai bahan pendirian rumah, pelantaran, hingga alat penangkapan ikan; jermal. Alam telah meyediakan kelimpahan kayu dari hutan disekitar Bagansiapiapi. Seorang pengamat Eropa359 akan dengan mudah mendeskripsikan bahwa hutan-hutan disepanjang aliran sungai yang berdekatan dengan Bagansiapiapi, telah gundul akibat ditebangi. Kesemua ini menunjukkan upaya kerja keras yang dilakukan secara intensif, mengingat perkembangannya yang memakan waktu tidak terlalu lama. Kesibukan awal ini, tentu juga menunjukkan geliat pelayaran perdagangan dari dan ke muara Rokan. Ramainya kegiatan, tentu bukan hanya penangkapan ikan dengan jermal saja, melainkan tahapan awal ini telah meliputi pengolahan yang membutuhkan sejumlah garam, dan aktifitas pengirimannya.

358

Totok adalah orang China yang secara kultural bukanlah peranakan, melainkan terlahir di daerah dan berakulturasi dengan budaya setempat, dan sebahagian kecil memperoleh pendidikan Belanda. Dengan demikian, seorang totok bisa jadi terlahir di Indonesia. Biasanya seorang totok kelahiran daerah setempat lebih berhubungan dekat dengan totok kelahiran China, secara sosial, linguistik, kultural dan bahkan dalam aktifitas ekonominya dibandingkan dengan peranakan. Lihat Peck yang, hal.xxi. 359 Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, Het Leestafel Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.

219

Muara Rokan, Peta. Kaart der residentie Riouw met onderhoorigheden, aangrenzende deel van Sumatra's Westkust en Schiereiland Malakka, W.F.Versteeg, 1833 – 1867.

Para pemukim ini, sudah tentu bukan pemukim yang berbasis ekonomi subsisten. Dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di negeri baru, subsisten bukanlah alasan yang tepat. Pengembaraan di samudera tidak dihentikan hanya dengan suatu alasan “secukup makan” saja, melainkan prospek pengembangan kemakmuran sebagai indikasi peningkatan kehidupan yang lebih baik. Fakta ini, dapat juga dilihat dari watak kegigihan yang dimiliki saudara dari timur asing ini, sehingga pada kurun tiga dekade menjelang tutup abad ke-19, memenuhi kawasan pantai timur Sumatra terutama pada sektor perkebunan; dimana keahlian dan keuletannya menjadi salah satu kunci penunjang keberhasilan perkebunan swasta Eropa yang kualitas panennya, diakui dunia. Sering disebut-sebut sebagai rentannya pemukiman pesisir dari berbagai ancaman seberang lautan, perompak yang berkeliaran360 dan para pemburu budak, atau bahkan sebagai “orang asing” dinegeri baru dalam ekologi dan pertetanggaan yang bisa saja bersahabat ataupun tidak, akan cenderung menjadikan para pemukim ini diorganisir dalam kelompok yang terintegrasi kuat dalam menghadapi perubahan lingkungan yang seringkali ekstrim.

360

Hingga memasuki abad ke-20, pemukim Bagansiapiapi ini rentan menghadapi perampokan di laut, seperti yang terjadi pada tahun 1906 dimana dua sampan nelayan Bagansiapiapi dirampok oleh empat orang perompak, lihat de Sumatra Post, 29 Juni 1906.

220

Bagansiapiapi, 1930-40, KITLV. Legenda kedatangan para pemukim ini mengarungi lautan yang menyisakan sejumlah tiga tongkang saja, mengisyaratkan bahwa para pemukim ini adalah mereka yang terbukti handal dan mampu menembus pelayaran dari hantaman badai dahsyat hingga setibanya dengan selamat di tanah tujuan. Akan tetapi bukan faktor ini saja yang ditengarai menyebabkan para pemukim awal Bagansiapiapi mampu bertahan dari keganasan alam pesisir. Bahwa ketiadaan kisah Bagansiapiapi sebelumnya, yaitu pada era sebelum traktat 1871, maka dapat dipastikan situasi politik di pesisir lebih kondusif disaat sesudah traktat itu, menguatnya kolonialisme Belanda di Sumatra dan Inggris di Semenanjung, merupakan alasan tersendiri berkurangnya konflik antar politi-politi Melayu di Selat Melaka. Konflik bergeser pada tema perluasan wilayah penjajahan Eropa yang menimbulkan perang dengan Melayu, seperti pecahnya perang Aceh. Begitu pula gejolak pedalaman yang telah dipadamkan di tahun 1838 dengan direbutnya benteng Dalu-Dalu di hulu sungai Rokan, selain perjanjian 1858 tentunya. Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan, pemukim awal ini bukan bertempat dinegeri tak bertuan, bahkan sebagai politi yang dianeksasi Belanda dan dibakukan melalui perjanjian 1858, memiliki penguasa kesultanan Siak sebagai tuannya. Struktur kekuasaan sultan, dimana wilayah dependensi dikuasakan kepada para datuk, maka wilayah muara Rokan ini merupakan bahagian dari kekuasaan Datuk Bangko dan juga arah ke sungai Panei: lanskap Kubu. Komunikasi antara pemukim awal dan kesultanan, tentu juga menyangkut kesepakatan yang dilakukan dengan para Datuk. Pertemuan antara wakil sultan, Datuk dan pemimpin para pemukim awal dari

221 kalangan orang China ini, merupakan pengulangan kisah dari berabad kegiatan perdagangan di selat Melaka yang telah intensif sejak era Sriwijaya, bahkan hingga kekuasaan Melayu Melaka; periode yang diingat juga melalui artefak tembikar, porselen dan barang niaga serta jejak-jejak kultural yang mewarnai perekonomian nusantara, seperti halnya jejak eksistensi pemukim China dalam kesejarahan Jawa yang dikisahkan secara rinci oleh Denys Lombard. 361 Bahwa, hubungan dengan dengan latar pacht di muara Rokan ini antara pemukim baru dengan tatanan kekuasaan Melayu, persinggungan itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang baru-baru saja dalam sejarah peradaban Melayu sebagaimana ditunjukkan dalam hubungan antara Sriwijaya, Panei dan Melaka, bukan mendadak saja dalam kepentingan ekonomi semu dibawah para tauke dan penguasa lokal, melainkan dilihat telah berakar jauh sebelumnya dalam terma “Perdagangan Selat Melaka”; hanya saja, hubungan kali ini berlangsung dibawah bayang-bayang sang tuan Belanda. Penjajah ini, dengan cermat mengikuti segala kesepakatan dan transaksi antara penyewa dan yang disewa; antara penguasa Rokan dan orang-orang China: Berbagai pendapatan di Bagan Api-Api (pemasukan dari opium dan arak, (387) permainan dadu dan pajak ekspor udang dan belacan) yang dikenakan sebesar $600 oleh Sultan disewakan ke orang China. Saat itu Bagan Api-Api dengan Penipahan (di Kubu) disewakan ke orang China di Singapura sebesar $2800. Dari sejumlah $2800 tersebut, Sultan berjanji sejumlah $150 per tahunnya untuk Datuk Bangko. 362 Hak penyewaan, dipegang oleh para pemukim awal Bagansiapiapi ini. Tidak didengar kisah bahwa Melayu turut serta dalam kepemilikan hak sewa penangkapan ikan sebagaimana saudara orientalnya. Ketika Belanda berkuasa disana, mereka tidak mempersoalkan hal ini, melainkan menyudutkan Melayu yang dianggap lebih memilih bersikap pasif dan enggan, dan segera penjajah melekatkan stigma seperti terjadi dikebanyakan tempat lain di nusantara. Betapa minim catatan Eropa tentang kehidupan pribumi di Bagansiapiapi, entitas yang tidak memiliki peran dominan dalam industri perikanan yang menjadi tambang emas kecil bagi penjajah. Bahwa, kondisi ini sebagaimana disampaikan dilihat oleh pengamat Eropa dengan penuh prasangka; Nampaknya tahun-tahun berlalu dimana hujan emas berjatuhan diatas hirukpikuknya ribuan orang asing…. dan semakin mereka menjauh saja dari pusat bisnis ini tanpa ada upaya mendekat untuk memperoleh bagian.. 363 Melayu, dilaporkan terfokus hanya pada penyediaan kayu yang menopang industri perikanan; selain itu juga terlibat dalam pekerjaan menyediakan rotan guna pembangunan ambai, dan jaring. Orang Eropa mungkin saja menyadari, bahwa, ketidakterlibatan pribumi dalam industri perikanan secara langsung, bukan hanya mengenai persoalan konservatifnya mereka, melainkan juga berkaitan dengan model

361

Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Bdaya Bahagian II: jaringan Asia, Bab IV Warisan China, 2005, hal.243-364. 362 Hijman van Anrooij, 1885, hal.386-7 363 Indische Rivieren II; 11 Juni 1924.

222 alat tangkap seperti jermal yang dikembangkan oleh orang China, membutuhkan dana yang cukup besar; alhasil, pengelolaan ini dikuasai oleh orang-orang China kaya saja. Dengan demikian, kita dapat untuk sementara mengasumsikan bahwa relasi awal yang terbentuk antar kelompok di muara Rokan merupakan pertemuan kepentingan yang dilandasi motif-motif ekonomi. Meskipun demikian, sultan tetap memiliki kekuasaan nyata atas pemukim terutama mengenai perwakilan otoritasnya disana. Pada Tahun 1889 Sultan Siak Syarif Hasyim yang dalam lafal Mandarin disebut Shao Ding, berkunjung ke Bagansiapiapi atas undangan yang dipertuan Raja Bangko yang dalam manuskrip disebut Raja Bungkuk atau Bongkok. Dalam kunjungannya Sultan disertai seorang Punggawa bernama Datuk Sontil, orang Melayu yang fasih berbahasa Tionghoa, yang kemudian ditunjuk sebagai administrator atau kapiten warga Tionghoa di Bagansiapiapi. Orang Tionghoa menyapanya Sun Cha; dengan sapaan lengkap Sun Cha (Datuk Sontil) menjadi Kapiten pertama warga Tionghoa di Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi. Setelah Datuk Sontil kembali ke Kerajaan Siak Sri indrapura, maka warga Tionghoa melakukan pemilihan Kapiten baru dan terpilih pengusaha bermarga Ong.”364 Menjelang berakhirnya abad ke-19 itu, nampaknya Belanda tidak begitu banyak bercerita tentang Bagansiapiapi, sebagaimana tampak dalam laporan yang terbatas; bahkan pejabat Hindia yang berperan sebagai “utusan”365 membuat laporan dan menceritakan perjumpaannya dengan pemukim Bagansiapiapi, dimana pertemuan itu bukan menempatkan Bagansiapiapi sebagai tujuan utama laporannya, melainkan disebabkan persinggahannya dalam menjalankan misinya menuju pedalaman sungai Rokan; Rantau Binuwang. Sepertinya Belanda belum peduli, atau setidaknya hingga saat mereka dikejutkan oleh kenyataan, bahwa, ternyata di pedalaman di Tanah Putih, kondisi lahannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya penanaman tembakau yang begitu bernilainya dipasaran dunia. Dan ini berarti, sebagai tuan pengeksploitasi sumber kekayaan alam, mereka harus melirik potensi lainnya diwilayah jajahan. Kebetulan pula, potensi ini berada tepat dihilir dari wilayah dimana banyak perusahaan Eropa pemegang konsesi tembakau memilih hengkang dari sana. Keberhasilan pemukim awal Bagansiapiapi dalam penangkapan ikan, juga membuat sang Belanda terkenang-kenang akan salah satu wilayah di negerinya yang memang juga mengandalkan hasil laut; Ijmuiden. Lihat saja betapa bersemangatnya kontrolir Haga bercerita tentang kegigihan kaumnya mengarungi laut dengan sejumlah produksi tangkapannya, dan bahkan menyepadankannya dengan Bagansiapiapi. Wajar jika Ini menjadi salah satu penyebab menguatnya motivasi Belanda untuk turut campur meluaskan kekayaannya di tanah Hindia; khususnya di Bagansiapiapi. Jika

364

Dalam “Sejarah Perguruan Wahidin, 11 April 2008; www.iapw.info Hingga memasuki abad ke-20, pemukim Bagansiapiapi ini rentan menghadapi perampokan di laut, seperti yang terjadi pada tahun 1906 dimana dua sampan nelayan Bagansiapiapi dirampok oleh empat orang perompak, lihat de Sumatra Post, 29 Juni 1906. 365

223 diwilayah lain di Hindia, Belanda memilih menggunakan orang-orang China sebagai hasil pengamatan atas sikap kompromistis, ramah dan menyenangkan dalam pergaulan, ini diluar realita bahwa kedatangan mereka mengisi celah pekerjaan tidak mengganggu struktur feodal tradisional pribumi,366 maka di Bagansiapiapi, Belanda menemui hal yang sebaliknya; penolakan orang China terhadap kedatangan Belanda. Akan tetapi, kontrak telah disepakati, dan bukan menjadi sikap penjajah barat yang akan mundur begitu saja, dan melalui serangkaian blokade penekanan mereka pun memenangkan pertarungan singkat. 367 Sembari mengupayakan pememenangan kepentingannya sendiri dalam sengketa batas-batas wilayah di pedalaman sungai Rokan, tepatnya saling klaim antara Siak dan Rantau Binuwang mengenai lanskap Tanah Putih, Belanda mulai mengeser hak-hak tradisional Siak yang berkaitan dengan bea, dan dengan cara ini pula sang penjajah bercokol di Bagansiapiapi menjelang abad ke-20. Sebagaimana halnya peluang bisnis, Bagansiapiapi tak ubahnya lokasi lain dilingkup kekuasaan Hindia, para pemodal akan melakukan investasi disana guna meraup laba dari kekayaan muara. Orang China, jelas saja sebagai pemain utama yang juga menghimpun dirinya tidak sebatas tauke, melainkan pada level sindikat. Melihat tren yang berkembang saat itu, pemain dalam sindikat selat tentu akan melibatkan kerjasama hingga ke wilayah lain baik di pantai timur maupun semenanjung. Jejaring China ini, dipastikan tidak melibatkan secara khusus pemain dalam industri perikanan saja, melainkan juga para investor yang telah biasa bergerak dibidang perkebunan, perdagangan hingga pelayaran. Kuantitas dan kualitas armada pelayaran yang dimiliki pedagang Bagansiapiapi saja, jelas tidak memadai bagi pengiriman ribuan ton itu, baik ikan ataupun garam; belum lagi komoditas perdagangan lainnya. Selain itu, jumlah pemukim yang terus saja bertambah pesat dalam dua dasawarsa menyebabkan lonjakan permintaan kebutuhan untuk pemukim itu sendiri. Hubungan perdagangan yang dominan melibatkan orang-orang China di Bagan, pantai timur dan semenanjung terutama Singapura, tak pelak merupakan jejaring yang mengakumulasikan begitu banyak kepentingan, yang biasanya akan meningkatkan kerjasama sekaligus juga persaingan. Rasa integrasi yang berwujudkan kekompakan sesama pemukim dalam lingkup jejaring tidak hanya di Bagansiapiapi, yang juga meliputi selat Melaka, itu tidaklah diragukan lagi. Akan tetapi, sumber daya terbatas yang diperebutkan oleh para pemain, akan membuahkan konflik yang memang seringkali dapat diatasi sebagai akibat rasa kuatnya integrasi internal, namun juga terkadang meledak muncul dipermukaan. Dalam skala terbatas, mungkin perkelahian sesama nelayan akibat tumpang tindih dan berdekatannya pemasangan alat penangkapan ikan menjadi hal biasa,368 akan tetapi, pertikaian di level bos besar seringkali akan menjadi begitu

366

Suhartono, China Klontng, Rural Peddler in the Residency of Surakarta 1850-1920, State and Trade in the Indonesia Archipelago; Ed.G.J.Schutte,(Leiden, KITLV, 1994); dalam Winarni, 2009, hal.100. 367 Schadee, Geschiedennis van Sumatra’s Oostkust, 1919, hal.82-3. Lihat juga BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's Oostkust. 368 Baalbargen, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 1931.

224 berbahaya, hingga pada upaya saling membunuh bisnis sang kompetitor, atau bahkan konflik yang mengarah pada antar politi; riuhnya persaingan, terkadang memunculkan insiden “pertarungan” antara sindikat, terutama yang berasal dari Singapura dan yang memiliki hak pengelolaan langsung dari Sultan Siak, seperti peristiwa di tahun 1886, antara 12 orang Sepoy Inggris yang bertemu dengan 40 orang dari Sultan di Bagansiapiapi; pertemuan yang hampir berujung dengan pertarungan mematikan.369 Orang Eropa, yang berlaku sebagai penguasa kolonial tentu akan dengan cerdik memainkan perannya sebagai “penyalib di tikungan,“ mengambil keuntungan dari api dendam yang menyala-nyala dikalangan para pelaku konflik. Selain juga tentu, Belanda mengincar surplus dari bea, pacht dan jasa pengiriman seperti ikut sertanya K.P.M. pada jalur pelayaran yang melibatkan Bagansiapiapi. Mungkin saja orang Eropa pengusaha, ikut serta menanamkan modalnya pada jasa perdagangan yang seringkali, ternyata tidaklah menggembirakan. Tidak seperti di Sumatra timur laut dimana penguasaha Eropa larut dalam alunan booming perkebunan, maka di aliran sungai Rokan mereka terbatas pada penanaman komoditi tertentu saja, seperti karet di wilayah hulu, di Tanah Putih maupun di hulu sungai Kubu; Senembah Estate. Kesemuanya ini, dipastikan akan memberikan warna bagi relasi antar kelompok yang memiliki kepentingan atas tambang dan hujan emas. Belanda yang telah tersadar akan situasi dan peluang dari “hujan emas” itu, segera saja memindahkan pusat pemerintahannya ke Bagansiapiapi dan segera saja secara bertahap Bagansiapiapi di tata menurut versi penjajah, hingga terbentuknya kota Bagansiapiapi dalam tata-hukum Hindia; kota yang dibangun berdasarkan politik segregasi.

Kota yang Tersegregasi: Hubungan ambigu Sebagai sebuah wadah bagi kehidupan bersama, maka dapat dipastikan pada sebuah kota akan berlangsung interaksi warga. Interaksi ini, dapat berujung pada suatu kondisi integrasi. Akan tetapi, integrasi sendiri nampaknya memiliki beberapa tingkatan; integrasi normative, integrasi fungsional dan integrasi koersif. 370 Dimasa colonial, maka terjadinya integrasi normative; yaitu terjadinya konsesnsus atas suatu nilai-nilai dasar, rasanya sulit tercapai. Integrasi fungsional yang memiliki corak ekonomi dan menyiratkan situasi saling ketergantungan, akan lebih dapat dipahami

369

The Straits Times, 8 Agustus 1886, page 7, Translated for the Straits Times: A war in miniature. 370 Konsepsi integrasi ini berasal dari “Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial” (KIIS-AIPS), dilihat dalam Nurhadiantomo, hal.35-7.

225 dalam konteks ini. Adapun integrasi koersif yang merupakan adanya unsur paksaan dan biasanya berdimensi politik, merupakan sebuah bahagian dari sejarah kota itu sendiri. Melalui kebijakan yang ambigu, pemerintah Belanda menerapkan ruang kota sebagai alat untuk pencapaian integrasi sosial, sebagai contoh ketika berlangsung event perayaan besar Hindia.371 Pada momen itu, kantor kontrolir di hias dengan meriah, bahwa diperkirakan Resepsi akan berlangsung tepat disiang hari yang akan dihadiri oleh para pemuka masyarakat, Pejabat Pemerintahan Pribumi dan Eropa, serta para Tauke; dimeriahkan dengan nyanyian dari murid sekolah pribumi dan China, kemudian kontrolir Baalbargen memulai pidato sambutan perayaannya, dilanjutkan dengan sambutan dari Kepala distrik Pemerintahan setempat dan juga Letnan China. Dalam suasana upacara yang khidmat itu, Kepada Inyo Beng San dianugrahi Bintang Emas Kesetiaan oleh Kepala administrasi pemerintahan setempat. Selanutnya adalah prosesi parade melalui kota yang dihiasi dengan meriahnya bendera, korps musik China juga Pribumi. Dalam Perayaan malamnya, yang juga diadakan terpusat di lapangan tenis yang dihiasi dengan meriah dan antusiasme yang tinggi; dimeriahkan juga oleh Orkes Batak, Band Melayu dan China yang terkenal, bahkan dimeriahkan juga dengan berbagai atraksi, seperti; Pencak. Pada kesempatan yang sama dihidangkan Sate kambing dan minuman dingin sebagai pelepas rasa haus. Dikatakan, “Kesuksesan penyelenggaraan acara ini disebut-sebut sebagai hasil kerja keras secara bersama-sama dari seluruh anggota komisi perayaan, yang meliputi; Datuk Comel, Achmad, dan Sujadi yang saat itu mereka duduk berdampingan dengan Kontrolir Tuan Baalbargen.” Tentu saja, ketika kita membaca situasi perayaan dimana kolektif kota ikut terlibat aktif didalamnya, hal ini merupakan situasi kota khas kolonial, pengerahan partisipasi warga dalam perayaan Hari Ratu. Bahwa pada saat itu, tercipta situasi kerjasama antar komponen warga dalam perayaan dengan Pejabat pemerintah Hindia dalam hal ini kontrolir sebagai perwakilan sang Ratu. Realita ini mengindikasikan, penataan Bagansiapiapi tidak dilakukan oleh para pemukim China atau Eropa-Belanda saja, melainkan juga melibatkan Pribumi-Melayu. Keteraturan dan keelokkannya, menjadikan seorang jurnalis Belanda tidak dapat memungkiri kerjasama antar entitas tersebut. “Angkat topi untuk kontrolir, tauke dan kepala distrik, tidak mungkin Bagansiapiapi tampil seperti ini tanpa peran mereka semua!” Pernyataan Eropa itu, pada dasarnya mengakui bahwa langgengnya struktur kekuasaan kolonial sebenarnya tergantung dari kemampuan mereka memadukan berbagai komponen masyarakat majemuk yang terikat secara fungsional, masingmasing entitas menyuplai kebutuhan keberlangsungan sistem masyarakat kolonial; 371Seperti

yang diberitakan dalam De Sumatra Post tanggal 12 September 1928, dalam pemberitaan berjudul “Koninginne_Dag Te Bagan Api-Api” (Perayaan Hari Ulang Tahun Ratu Belanda di Bagansiapiapi);

226 konsensus nilai, jelas berada dalam masing-masing sub-sistem; tetap berdiri sendiri, terpisah, dan integrasi semu yang menjadi kebanggaan Hindia ini dipertahankan hingga saat-saat terakhir.

Kawasan pertokoan di Bagansiapiapi tahun 1920-an.

Dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa elit Pribumi, memiliki kuasa pada hal yang berkaitan dengan kewilayahan, dan juga secara terbatas pada persoalan adat, hukum dan sosial. Akan tetapi di lapisan massa, tidak ada jaminan akan terjadi persentuhan intens selain dalam suatu media perayaan kota, kecuali dalam hubungan-hubungan ekonomi semata. Politik kolonial, memang telah membelah-masyarakat jajahan sehingga mereka akan terpisah, dan cenderung berhubungan intens dalam diri entitasnya sendiri, tidak terkecuali Bagansiapiapi. Pendirian sekolah, organisasi umum yang massive, akan terbatas dan bernuansa etnis, dan ini juga dipertajam dengan religi yang berbeda. Sebaliknya, hubungan antar entitas yang memiliki jarak sosial yang teramat lebar, diindikasikan juga memiliki sifat ambigu. Lapangan bola yang ada di Bagansiapiapi (sekarang Taman Kota), menjadi saksi bisu bagi berlangsungnya kegiatan olah raga disana, yang juga bermain antara orang China dan Melayu. Sulit untuk mengatakan bahwa antar entitas benar-benar berada dalam situasi saling berhadap-hadapan. Dualisme ini, mungkin merupakan ciri dari interaksi antar entitas yang terjadi. Situasi ini, nampaknya bertahan hingga pasca revolusi 45, hingga terjadi suatu konflik horizontal yang cukup besar. Meskipun demikian, jika melihat formasi sosial yang terbentuk dalam periode yang cukup lama, selama kurang lebih 70 tahun, diduga tidak terdapat cukup potensi internal untuk

227 meledakkan situasi yang memang sebenarnya berada dalam ketegangan, hingga diperlukan pemicu eksternal; perubahan besar kenegaraan, dari jajahan Hindia Belanda dan kemudian Jepang, menjadi Republik yang merdeka.

Ruang-Ruang Berbeda Pada awal abad ke-20, di Bagansiapiapi berdiri kantor kontrolir yang merupakan representasi dari ibukota Onderafdeeling yang sebelumnya berada di Tanah Putih. Pada masa ini, sebagaimana disampaikan bahwa Belanda memulai pembangunan infrastruktur pemerintahannya guna melayani kepentingan pemungutan pajak dan bea; dan tentu diiringi dengan pembangunan jalan dan juga; pelabuhan. Kota ini, didirikan diatas tanah bencah berlumpur dimana kuda beban tidak dapat melintas diatasnya; dengan demikian, pembangunan jalan hanya efektif dilakukan di areal inti dari perkantoran dan pemukiman Belanda dan juga kawasan pergudangan, sementara dibahagian lainnya hingga dasawarsa kedua masih berupa bentangan pelantaran. Sarana transportasi dan pengangkutan dari desa-desa disekitarnya terutama ke wilayah hulu sungai Rokan, benar-benar dilakukan melalui sungai yang memiliki arus yang cukup kuat. Bahwa, disepanjang pantai Bagansiapiapi, merupakan areal tangkahan (pelabuhan) bagi ratusan perahu-perahu nelayan, dan juga tempat bagi bangliau-bangliau melakukan proses produksinya. Orang-orang China membuka toko-kedei yang menjadi wilayah dalam lingkaran primer komersil, dimana pada akhir musim akan dikunjungi oleh ratusan nelayan China termasuk dari luar Bagansiapiapi, seperti Panipahan dan Sinaboi. Situasi keramaian ini, tidak hanya pembukaan kedeikedei, juga memunculkan jenis pekerjaan baru diluar industri perikanan yang diciptakan sendiri oleh pemukim China Bagan seperti halnya terdapat di sentra-sentra Pecinan di Hindia, seperti; pertukangan, shinse, tukang jual obat, guru silat, tukang pangkas rambut, tukang jam, pemilik rumah judi, bahkan yang juga seiring, pelayanan jasa jago yang memeriahkan keramaian aktifitas perekonomian kota Bagan. Keramaian kota hingga paruh kedua awal abad ke-20, sebagaimana digambarkan pengamat, merupakan khas pecinan. Sehingga dapat dikatakan, bahwa interaksi aktif dan intensif antara Pribumi dan China tidak terjadi disini. Begitu pula orang Belanda, yang tiba disana bekerja sebagai kelompok birokrasi penguasa, cenderung akan menjalin kontak intensif dikalangan kelompok birokrasi itu sendiri. Seiring dengan periode kolonialisme, hingga periode 1920-an perkembangan Bagansiapiapi memperlihatkan kharakter khasnya seperti kota-kota kolonial lainnya di Hindia Belanda. Kharakter khas pusat kota yang biasanya adalah kantor Pemerintah dan Pasar. Khusus untuk kantor pemerintah, maka lokasinya berdekatan dengan gereja dan tempat tinggal pegawai Kolonial yang biasanya dihuni oleh lapisan elit yakni; orang-orang Eropa. Atau dengan kata lain, Pemerintah Kolonial merupakan suatu komunitas eksklusif dengan pola tata kota yang membatasi interaksi warga,

228 sehingga interaksi intensif hanya terjadi dalam kelompok-kelompok komunitas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa Bagansiapiapi memiliki karakter pemukiman yang ter-segregasi. Kebijakan Pemerintah Kolonial saat itu mungkin dapat dianggap sebagai faktor utama terbentuknya segregasi yang menjadi pola saat itu, seperti dikemukakan oleh Mona Lohanda bahwa Pemerintah Kolonial mengadopsi Kebijakan Segregasi, dimana stratifikasi sosial dilandasi oleh Ras dan agama,372 atau dengan kata lainnya, segregasi adalah proyeksi sosio-kultural atas ruang kota. Segregasi dalam pengertian yang lebih luas tidak terpaku pada “ruang”, tetapi juga akan meliputi pengertian sosio-ekonomis, politis dan kebudayaan. Selanjutnya segregasi dapat diukur dengan melihat aspek “keleluasaan tempat tinggal; Tingkat monopoli etnis atas tempat pemukiman dan pemasukan serta taraf perkawinan, komposisi etnis, serta tingkat asimilasi etnis.373 Dalam konteks pemerintahan Kolonial, pembagian golongan warga negara pada tiga golongan, yakni; Golongan Eropa, Golongan China dan Asia; Golongan Bumiputra, nampaknya benar-benar terealisasi, yang memungkinkan terbentuknya konsentrasi pemukiman berdasarkan etnis; Seperti yang terjadi di Bagansiapiapi, atau bahkan Kota-Kota lain di Hindia Belanda. Dalam perspektif Levi-Strauss,374 maka relatifitas budaya ini, tidaklah sekokoh jika kita melihatnya lebih pada perspektif ekonomi dan politik, bahwa masalah bermula dari dari kependudukan rezim kolonial dan berlakunya kategorisasi. Bahkan, secara tegas nyatakan bahwa kechinaan sebenarnya merupakan konstruksi politik kolonial, dibuktikan dengan seperangkat hukum dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial semenjak masa “tanam paksa” (cultuurstelsel, 1830-1870); di Bagansiapiapi dengan diterbitkannya peraturan tentang pemukiman Orientalis. Kondisi ini, diasumsikan telah memproduksi batas-batas identitas secara tegas; apakah bangsa Eropa, pribumi, arab atau China. Pemerintah secara aktif memelihara batas-batas guna mengingatkan kesadaran seseorang akan identitas ras-nya yang terasosiasi juga dengan peran ekonomi sosial dan politiknya dalam masyarakat kolonial. batas-batas itu selain mengatur hak dan kewajiban administratif masyarakat china hingga yang sifatnya personal. Dalam “Riwayat Semarang” Liem Thian Joe (riwajat semarang, 1933) mencatat bahwa ada seorang pengusaha cina yang didenda karena membuat bangunan mirip bangunan pemerintahan kolonial di semarang, yang menandakan bahwa kategorisasi ‘gaya arsitektur’ berdasarkan etnis/ras juga diterapkan. Pemerintah kolonial juga mengatur tipologi ruang jalan dan lingkungan kota berdasarkan ras, sehingga dapat dikenali secara visual yang mana itu pecinan atau kampung melayu. Meskipun demikian, diyakini bahwa dalam kenyataannya, kategorisasi tidak selalu ditepati secara kaku pula. Bahwa pengenaan atribut identitas tidaklah suatu tembok tak tertembus. Terdapat juga sekelompok masyarakat yang

372

Dilihat dalam The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese Establishment in Colonial Society, oleh Mona Lohanda, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2, Tahun 2001, hal.1 373 Dilihat dalam Hans Dieter Evers dalam Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Tahun 1986; Cetakan keempat, Tahun 1996, hal.78 374 Claude Levi-Strauss, Race in History, 1957.

229 berdiri-mengangkang pada dua kategori berbeda, sehingga memunculkan identitas “hybrid”. Pemerintah kolonial, membentuk selapisan kalangan baik dari pribumi maupun China yang kebarat-baratan; guna menopang masyarakat rasial-kolonial Hindia. Dari sini, dapat kita katakan bahwa, Konsentrasi pemukiman di Bagansiapiapi yang mencirikan kharakter berdasarkan basis identitas China, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi kebudayaan antar China, Pribumi dan Eropa akan tetap terjadi, walau dalam taraf minimal sekalipun; dan ini terefleksi pada ruang arbitrer penampilan kota, dan kehidupan elite yang mendominasi kehidupan sosial; Asumsi ini didukung oleh gaya bangunan rumah orang China di Bagansiapiapi yang sebagaimana disampaikan, mengadopsi model rumah panggung orang Melayu. Akan tetapi, ketatnya segregasi disini, bagaimanapun juga, menempatkan pemukiman pribumi ditepi garis demarkasi kota: yang nampaknya juga dilandasi pelapisan ekonomi. Catatan seorang wartawan Eropa pada tahun 1920, secara sederhana dapat membantu memberikan gambarannya; bahwa situasi kota Bagansiapiapi, maka pemukiman orang Melayu terletak pada lingkaran ke-3, bersama-sama dengan pemukim China dari lapisan nelayan dan buruh yang merupakan lingkaran terluar dari pemukiman China. Baris pertama menunjukkan konsentrasi lokus industri pemukiman yang terdiri dari sekumpulan Gudang, Bangliau ataupun plantaran yang mengikuti dan memenuhi garis pantai; sedangkan baris kedua adalah baris komersil. Pemukiman Melayu jauh terpisah dari pusat industri perikanan, mereka melakukan interaksi pada perdagangan kecil-kecilan hasil kebun atau pertanian dengan pemukim China; digambarkan bahwa para pemukim Melayu ini hidup terpisah dari komunitas padat – industri perikanan, melakukan penangkapan ikan dan bertanam untuk kebutuhan mereka sendiri – selain dijual dalam skala kecil, terutama disekitar lokasi pemukimannya. Sebaliknya, untuk lapisan elit; golongan Eropa (Belanda), menempati pusat kota atau Pemerintahan, dimana terdapat juga sekelompok misionaris.

230

Bagansiapiapi tahun 1920-30.KITLV.

Komunitas China menempati pemukiman daerah tepi laut, atau pantai, kemudian area perdagangan seperti pada jalan kho kue; Orang Melayu menempati pemukiman arah ke darat (hulu), sedangkan sekelompok migran Jawa menempati pemukiman arah ke darat, sebagai suatu Kampung Jawa. Adapun pertokoan, sebagai pusat perekonomian, juga merupakan pemukiman Cina yang nampaknya tersebar secara berkelompok mengikuti garis pantai dalam lingkaran kedua, pemukiman yang lebih baik ketimbang para pemukim yang menghulu. Beberapa catatan kontrolir juga menunjukkan bahwa kondisi pemukiman di pesisir ditemukan lebih baik. Dapat diasumsikan kondisi perekonomian yang lebih baik berada di pesisir, sebagai lokus sentra industri ikan. Lebih jauh lagi, perkembangan era kejayaan produksi ikan, membawa arah menuju proses peng-kota-an Bagansiapiapi. Pribumi, hingga laporan tahun 1920-an, dikatakan cenderung bergerak dalam upaya pengelolaan penangkapan ikan sebagai subsisten, dan bukan komersil. Meskipun demikian, orangorang Melayu yang mendiami sekitar muara Rokan seperti di Bagan Punak, Pekaitan dan Kubu, terlibat dalam upaya perekonomian tradisional seperti perladangan; padi ladang(dry-culture), kelapa, damar, pinang, nipah dan atap, dan pengumpulan hasil hutan selain penebangan kayu tentunya. Mereka mendiami pemukiman berpola kampung, dan biasanya ditepian anak-anak sungai Rokan, hingga ke Tanah Putih di bahagian hulu. Sebaran penduduk dalam area yang begitu luasnya, akan memudahkan untuk memahami mengapa pemukim China yang mengelompok secara ketat dan

231 bercorak kota, begitu dominan di wilayah-wilayah yang kaya akan ikan. Orang-orang China ini, sebahagian besar datang memang dikhususkan sebagai orang-orang yang terlibat dalam sektor perikanan tangkap, baik sebagai pemodal maupun pekerja. Kedatangan mereka, tentunya dengan membawa serta teknologi penangkapan ikan yang terbukti handal ditempat lain, sehingga kombinasi sumber daya alam dan teknologi memungkin mereka untuk memimpin dalam industri perikanan ini. Selain itu, orang Melayu, nampaknya lebih terkonsentrasi pada bisnis hasil hutan yang laku dipasaran, semisal; nipah. Kisah tentang pengupayaan jenis ini, sudah tidak asing didengar dalam kisah-yang terdapat tentang keberhasilan perdagangan yang dilakukan orang Melayu, baik ke Pantai Timur Sumatra sendiri, maupun ke Semenanjung. Segala upaya pribumi, baik perikanan, pertanian, ataupun perdagangan, terlihat kecil dimata penguasa penjajah; laporan pejabat Hindia ataupun para pelancong dan jurnalis cenderung untuk mengabaikan kegiatan perekonomian pribumi, mereka terpaku pada ladang emas kecil yang sangat menguntungkan politik imperialis Hindia. Selain itu, kebijakan politik ekonomi baik yang dilakukan melalui hak tradisional maupun kolonial, nampaknya tidak memihak pribumi. Cerita tentang kegelisahan lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko, tentu bukan riwayat yang tidak memliki kausalitas dengan keterpinggiran pribumi dari perekonomian utama di Muara kedepannya, melainkan, merupakan salah satu bahagian tahapan dari marginalisasi peran pribumi dalam lingkaran hujan emas tersebut. Pemegang hak sewa yang semula dikelola secara tradisional dengan melibatkan peran kedatuan lanskap, tidaklah begitu menggembirakan bagi elite lokal yang berada dibawah kekuasaan Siak. Kemudian, kedatangan penjajah Belanda mengebiri kekuasaan tersebut menjadi semacam penerima gaji saja; pemilik hak sewa digantikan dengan sistem gaji oleh pemerintah Hindia. Peminggiran ini, yang dilakukan dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, benar-benar mapan diparuh pertama abad ke-20. Pembelahan peranan ekonomi di muara, antara orang-orang Melayu dan China, menjadi bahan fondasi bagi menguatnya ketimpangan; dan struktur sosial baru pun segera dimulai, ketidakmerataan yang tidak hanya berdasarkan ekonomi saja, melainkan juga terlihat sebagai ketidaksamaan ras. Phenomena yang berlangsung tepat di jantung industri perikanan muara Rokan di Bagansiapiapi. Meskipun demikian, yang dapat dipahami disini, jika kita menyadari bahwa eksistensi masyarakat China di seluruh wilayah Hindia Belanda; Entitas China dibentuk oleh beragam strata sosial, dan masing-masing strata pun memiliki kepentingannya masing-masing. mereka dari kelas sosial yang sama dari kelompok etnis yang sama bisa jadi memiliki kepentingan yang sama; akan tetapi kelas-kelas dalam kelompok etnis seringkali gagal berbagi kepentingan, kecuali disaat seluruh kelompok etnis menghadapi bahaya. 375 Sebagaimana telah disampaikan bahwa segregasi di Bagansiapiapi, tidak melulu berbasis etnis, melainkan juga, pelapisan sosial didalam kelompoknya sendiri; Hingga 375

Peck Yang, 157.

232 tahun 1930-an, tercatat sejumlah besar orang China mendirikan "Kongsie", semacam N.V, atau perusahaan yang mengerahkan dan mempekerjakan ribuan orang. Kongsie atau firma tersebut dapat dibedakan dalam beberapa kategori sebagai berikut: Para pemilik sero ataupun jermal; Ini adalah jaringan besar alat penangkap ikan, semacam perangkap ikan besar yang menangkap ikan dengan memanfaatkan kondisi pasang-surut dari air, yang di sini sangat berbeda dalam tinggi - atau rendahnya air. Nilai rata-rata mencapai f15000 per unit., untuk yang lebih besar biayanya mencapai f25.000 hingga f30.000, untuk diketahui terdapat 350 sero. Mereka kadang-kadang berlokasi hingga 16 mil dilepas pantai di laut; “Pemilik bangliauw atau "plantaran dengan gudang” di sepanjang pantai untuk mengeringkan dan mengolah produk ikan; Kombinasi dari pemilik Sero, bangliauw dan pemilik alat penangkapan ikan hingga produk jadi yang dimulai atau diproses dan dikerjakan sendiri; Sejumlah besar anak perusahaan (industri-hulu), langsung terhubung dengan sektor perikanan seperti sebagai pembuatan kapal, jaring, perangkap kepang, dan lainnya; Pemilik toko, yang disebut "Kedeh", yang secara tidak langsung terkait dengan bisnis perikanan ini; seperti: menjual pakaian untuk buruh, makanan, minuman, dimana di sini terdapat sangat banyak minuman, bagaimanapun, banyak perusahaan besar yang memiliki usaha perikanan mereka sendiri, mengambil barang-barang untuk dijual kepada buruh. Diluar mereka yang tergabung dalam kongsie dan firma, adalah mereka yang dikategorikan sebagai lapisan pekerja, bukan pemilik modal. Modal mereka adalah tenaga dan ketrampilannya, bekerja pada tauke, pedagang, nelayan ataupun pemilik toko-kedei. Kelompok ini merupakan yang terbesar di Bagansiapiapi, dan kedudukannya dalam sistem sosial Bagansiapiapi, meski mobile, namun lemah dan cenderung berada pada lapisan yang terendah. Sebagaimana proletar dalam sebuah industri, pekerja yang didatangkan dari China Daratan via Singapura ini rentan menerima ketimpangan perlakuan, berbanding terbalik dengan para tauke, pemilik modal dalam industri perikanan ataupun panglong. Seorang penjelajah menulis: Itu tidak diragukan lagi, bahwa ada banyak uang di Bagansiapiapi, tapi ini hanya bagi taukeh kaya (patron), sementara tidak buat kuli-pekerja; dan terkadang-dimanfaatkan dengan cara yang mengerikan oleh rekan-rekan mereka yang kaya itu. Disepanjang pantai ditemui panglong (milik orang China sebagai tempat pemotongan kayu), yang terkadang, seolah-olah benarbenar terisolir dari dunia luar; kuli-kuli yang didatangkan dengan kapal, berlayar dari seberang pantai, biasanya tidak terdapat orang Melayu di panglong ini, dan mereka itu (para pekerja) berada pada belas kasihan dari bos mereka, yang memang banyak memberi makan (Ini dihitung dengan pemotongan gaji), akan tetapi, di luar itu mereka hampir dianggap sebagai budak… dapat dimengerti bahwa sangat sulit bagi Hindia mengendalikan

233 panglong; beberapa keberadaannya, bahkan tidak diketahui, sampai ditemukan secara kebetulan. Banyak informasi akan memberitahu anda melalui jalan dimana kuli direkrut secara gelap di Singapura. 376 Kondisi itu juga berarti membenarkan, bahwa masyarakat China di Bagansiapiapi dicirikan oleh pelapisan sosial dikalangan mereka sendiri. Struktur Pecinan yang membagi habis peran dalam “pembagian kerja” serupa ini, sebagaimana disampaikan tentang corak keruangan kota yang khas Bagansiapiapi, jelas-jelas meminimkan kontak antar entitas. Kerjasama sebagaimana telah tergambar dalam klasifikasi para tauke dan pemilik modal, serta kelas pekerja yang terdiri dari hanya orang-orang China, juga menyebabkan persaingan bahkan yang paling sengit sekalipun dikalangan mereka sendiri. Selain itu, orang Melayu, sebagaimana disampaikan bermukim dilingkaran ketiga, dan terutama juga tersebar disepanjang tepian sungai dan anak sungai, menjadikan interaksi antara dua kategori kultural itu tidaklah intens. Seperti yang dilaporkan oleh kontrolir bahwa hingga menjelang tahun 1930-an, di Bagansiapiapi, tidak terjadi interaksi antar etnis yang intensif antara penduduk China dan Melayu. Kondisi ini dijelaskannya melalui model pengajaran pendidikan dikalangan penduduk China yang lebih cenderung pada pelajaran tentang ke-China-an saja, sehingga menjadi wajar, bila dikalangan generasi penerus dari penduduk China tidak mengetahui dan mengenal Melayu. Berikut catatan Belanda tentang phenomena ini; kurang intensnya interaksi:377 Orang Melayu awalnya bermukim di tepi sungai-Rokan dengan Tanah Putih sebagai pusatnya, tempat berdirinya mantan kontrolir Onderafdeeling ini. Sekitar setengah abad yang lalu, adalah Penduduk China yang pertama menetap di sini(Bagansiapiapi), yang secara bertahap muncul pemukiman Sinaboi, Panipahan dan Bagansiapiapi sebagai ibukota saat ini. Pemukiman ini merupakan kepulauan Datuk China, yang juga berarti bahwa karakter Cina dipertahankan dan tidak ada pencampuran terjadi dengan penduduk asli. Mempertahankan kebudayaan sebagai kharakter khas suatu kelompok, ini adalah lumrah saja terjadi. Akan tetapi, ketika kharakter ini begitu menguatnya, sehingga tidak mengenal kelompok lain, maka logis untuk dicari penjelasan yang memadai ketimbang sosialisasi nilai yang hanya melalui pengajaran formal saja. Bagansiapiapi, yang memiliki pemukim yang sangat mandiri, dimana berbagai status dan peran antar komponen masyarakatnya benar-benar dipegang sendiri oleh orang-orang China; dan bahkan situasi yang masih bertahan hingga pasca revolusi. Para pengamat Eropa, tidak henti-hentinya mengagumi sebidang totalitas kharakter China di hamparan negeri Melayu itu, bahkan untuk pulau Sumatra, tidak ada bandingannya!

376

Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 7, 23 May 1923, Edition 007-1923-0008 — hal. 126. 377 Sumber : Controleur , ANRI – MVO, 1938. Hal 1-2

234 Hiruk-pikuk pekerja dan kuli dipelabuhan dan bangliau-bangliau, nelayan, pedagang, tauke, dan juga para tukang dan seniman; bahkan, gangster yang sempat “merajalela” di Bagansiapiapi sebagaimana juga orang-orang yang berasal dari China Daratan. Untuk lebih memahami kondisi Bagansiapiapi, terutama kharakter kota yang tersegregasi, maka ada baiknya dicermati paparan Haga atas kondisi Kota Bagansiapiapi yang diterbitkan dalam jurnal economist 1917: Bagan Api Api (Pemerintah Gubernemen pantai timur Sumatera, Afdeeling Bengkalis, Onderafdeeling Bagan Api Api), yang terletak di Muara sungai Rokan, merupakan pusat industri Perikanan dan pemukiman utama pesisir terletak Onderafdeeling Bagansiapiapi yang terdiri dari Kubu, Pulau Halang, Sungai Tengah, Sungai Siandam,Panipahan dan Sinaboi. Tidak seperti yang sering diduga secara keliru, bahwa seolah-olah bisnis utama penduduk Cina terdiri dari nelayan keliling yang tidak menetap, ini adalah tempat menetap Masyarakat yang berdiam disana yang berjumlah 8800 orang China.Populasi orang China di Onderafdeeling Bagan Api Api sejumlah 12-13000 jiwa, tersebar….. (diseluruh wilayah onderafdeeling Bagansiapiapi)… Baganapiapi sendiri adalah sebuah tempat dengan jalan yang lebar, kedei-kedei yang lengkap dan besar, banyaknya kedei kopi,…. penerangan jalan, Bagansiapiapi yang dikenal sebagai "de ville lumiere" (Kota Cahaya), terletak dalam Afdeeling Bengkalis yang gelap (dimalam hari). Sebuah pusat kehidupan orang Tionghoa di mana didominasi oleh China singkeh, yang menjadi kharakter Bagan Api Api. Sejalan dengan itu, Hotel-hotel di Bagan dengan kharakter Cina yang khas dapat terlihat di berbagai penjuru tempat,, …….. dan kebiasaankebiasaan yang ada dalam masyarakat China,, dimana corak kebudayaan patriarkal yang hadir setiap malam di jalan Makau dengan kerumunan di sekitarnya, juga dengan lampu-lampu khas di sampingnya, bersanjak, terdengar cerita dari kitab-kitab kuno…. Para China singkeh, yang disebut oleh teman-teman dan kerabat, hingga kerabat yang datang dari China, diminta memainkan musik dengan sebuah alat musik seperti biola yang berbentuk kotak khusus, juga berfungsi sebagai bantalan, dan kadang-kadang dengan hanya sehelai celana cadangan, ia memainkan alat tersebut dengan penghayatan yang membawa hati melayang jauh hingga ke kampung halaman….. Dalam pergantian dengan kehidupan kasar mereka di laut, para nelayan sewaktu berada di Bagan, mereka memiliki klubnya sendiri. Kemudian di Jalan Makau di malam hari lampu menyala di kedai-kedai, bergerak kerumunan besar para lelaki China dan berbicara, tersenyum, kemudian pergi ke sana dan berpesta menyantap beberapa makanan lezat Cina, mendengarkan syair patriarkal, dan akhirnya kemudian di salah satu rumah kopi yang banyak ditemui untuk menghisap dan tenggelam dalam kenikmatan pipa candu di klubnya, menghayal, melamun dan merenungkankan “oentoeng” atau “roegi.” Jadi kita telah melihat bahwa di Bagan Api-Api adalah suatu bagian dari kehidupan masyarakat China.

235 Selain Haga, nampaknya jurnalis yang berkunjung ke Bagansiapiapi sependapat bahwa kehidupan di Bagansiapiapi adalah khas karakter China, seperti yang diulas dalam Nieuwsblad Van Het Noorden di Tahun 1930, sebuah laporan wartawan dari Medan dengan judul Een China in Nederlandsch-Indie : “Het Visscherijbedrijf te Bagansiapiapi op Oostkust’s Sumatra,” Berikut petikannya: Pembaca, Anda akan memiliki gagasan tentang apa itu Bagansiapiapi; sebuah tempat penting yang terletak di pantai timur Sumatera tepatnya di muara sungai Rokan. Kombinasi ini tidaklah mengherankan bila kita menganggap bahwa sebagian besar pantai timur itu sendiri diketahui tidak lebih dari apa yang berasal dari ikan. Kebetulan, saya pribadi mengunjungi Bagansiapiapi dan ingin menunjukkan beberapa gambaran tentang tempat ini. Dari Medan kita akan melakukan perjalanan menuju Tanjung Balei dengan menggunakan kereta api D.S.M. (Deli Spoor Maatschapij) atau Jawatan Kereta Api Deli, di mana kemudian dilanjutkan dengan sebuah kapal K.P.M . Keberangkatan dari sana sangat tergantung pada arus air, dan kali ini keberangkatannya adalah pada jam 8 jam malam. Dapat dikatakan kapal memiliki ruang yang terbatas. Makanan laut, jembatan, meja, ruang percakapan, semua bersatu berkumpul dalam anjungan kapal dimana kapten pada saat yang sama juga nertindak sebagai navigasi! Kontras dengan pembangunan kapal mewah kali ini. Namun saya tidak akan mengatakan bahwa perjalanan tersebut dengan tatakan gelas kecil yang tidak ramah, akan tetapi sebaliknya! Jam 8 pagi Kami tiba di Labuan Bilik, di Muara Panei yang luas, di selatan Asahan dimana di tempat ini masih eksis Perkebunan Karet "Foot Wing" yang memasok “Goodyear.” Sekitar tengah hari setelah berangkat dari Labuan Bilik, kita tiba di Bagansiapiapi dimana perlu diperhatikan adalah begitu kentalnya aroma ikan di udara setiap kita menghirup udara memenuhi dada,, betapa Nahkoda dapat mengetahui jalur Sero dan djermal (Fulk jenis ukuran besar)…..sementara kami tetap berbaring… dan terdengar sebuah pertengkaran kecil dan sumpahserapah, semua dalam bahasa China yang kami tidak mengerti……. “Selamat Datang" di Bagan!” Mereka adalah para awak perahu kecil yang datang untuk menyiapkan transportasi kargo dari kapal Kami ke pantai, dan karena tidak cukup semua perahu untuk menyelesaikannya, dapat dimengerti pertengkaran ini…… Pada pagi hari kami pergi ke darat untuk melihat dan mengunjungi bagian khas China. Semuanya rumah panggung dari kayu, dengan perancak yang tinggi dan curam di atas kami karena menyesuaikan dengan tinggi rendahnya air pasang. Tidak seperti bagian lain dari Hindia Belanda, di sini masyarakat seluruhnya hampir secara eksklusif adalah China, bahkan seperti masyarakat yang hampir terisolasi…. Bahasa yang umum digunakan adalah bahasa China. Sedangkan Bahasa Melayu hampir tidak terdengar. Kontak perdagangan dengan hak langsung dimungkinkan, tetapi hanya melalui agen China yang bertindak sebagai perantara…. Ikan di sini dikeringkan di bawah sinar

236 matahari dan, seperti yang disebutkan, untuk dikirimkan keluar. Di setiap toko China terdapat ikan kering, sering dalam bentuk yang paling menakjubkan dan spesimen aneh, hanya orang China yang dapat mengolahnya. Mereka digoreng dengan minyak dan dimasak renyah. Kemudian dalam rijstafel diolah dengan melalui berbagai bumbu. Ini menyangkut semua potongan yang lebih besar. Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa Ikan yang lebih kecil diolah menjadi "terasi" di mana setiap penduduk aslinya(orang Melayu) mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, akan tetapi apa yang paling orang Eropa benci adalah baunya (terasi) yang mengerikan, namun setiap koki yang handal selalu mencoba memprosesnya di rijsttafel, untuk disesuaikan dengan selera. Dan ini berarti segudang kelezatan, namun bahan ini juga kadang-kadang digunakan orang sebagai pupuk, ini pula yang dianggap sebagai penyebab kawasan lingkungan yang dihuni orang Eropa ini seperti tak tertahankan! Udang kering yang diekspor dalam jumlah besar ke China, dimana digunakan kerabat untuk pemasaran disana. Akhirnya, kita memiliki apa yang disebut “Ikan Boesoek,” maksudnya adalah ikan boesoek diterjemahkan secara harfiah dimana penanganannya dilengkapi dengan perahu khusus yang disebut "Sampit". Produk ini terutama digunakan untuk pupuk dan pakan ternak. Sama seperti di Belanda di kawasan dataran tinggi dengan komposisi lebih banyak air, yang disebut “sarang” untuk bebek dan digunakan untuk pakan ayam. Sepenggal khas Cina di Hindia Belanda Timur untuk tempat ini memang sebuah nama yang benar. Pakaian, tata krama dan bangunan, bahasa dan orang tidak lupa semuanya di sini bernafaskan spirit khas China. Pada malam hari mereka hampir seluruhnya memenuhi jalanan. Ratusan warung kecil, makanan, dedaunan, udara, Kantor, pengkhotbah, bau lampu minyak tanah, semua tersedia dan dapat dilihat dari jauh, donat Belanda serta aroma wafelen dihidung yang menggoda selera. Namun sebanyak apapun yang kita hirup, selalu terasa aroma Naga China! Ya, dan memang begitulah adanya.

Birokrasi, Bangsawan dan Tauke Sang pegawai Belanda, secara tiba-tiba memperoleh kejutan psikologis setibanya di tanah jajahan bahwa mereka menemukan diri mereka sebagai seorang TUAN yang begitu dihormatinya(sebenarnya karena rasa takut), kekuasaan yang besar dan lingkungan masyarakat yang dianggap jauh tertinggal dari bangsanya. Upaya adaptasi terhadap lingkungan baru, setidaknya berhasil hingga ditemukannya teknologi transportasi yang memungkin mereka menjadi lebih cepat untuk melakukan gerakan pergi – pulang antara Belanda dan Hindia; dan ini, membuat mereka mengisolasi diri sebagai kelompok ekslusif diantara lautan pribumi yang lambat-laun semakin sadar

237 akan posisinya. Budaya Indie pun memudar, sebaliknya pada era abad ke-20, Belanda semakin menguatkan ke-Eropa-annya, terutama dalam berhadap-hadapan dengan pribumi. Lihat saja, betapa tidak lagi terdapat gambar-gambar Belanda bersarung dan batik diabad ke-20, atau menyaksikan pagelaran kesenian tradisional rakyat; sebaliknya, ekslusivisme Eropa bahkan menghampiri sekelompok lapisan pribumi yang mengenyam pendidikan Belanda; pengenaan busana tradisional segera saja menempatkan penggunanya sebagai kolot, tidak modern dan cenderung terendahkan. Pengalaman Sultan Hamid dari Kalimantan, sang Founding Father Bung Karno, dan sejumlah tokoh pergerakan nasional merupakan rekaman betapa hegemonik budaya barat dalam kemasan penjajahan Belanda menistakan budaya Inlander. Dalam suasana seperti itulah Belanda tiba di Bagansiapiapi, berinteraksi intensif di muara Rokan. Sementara dikalangan China, rasa untuk “setara” semakin menguat, terutama secara ekspresif dengan ditinggalkannya potongan rambut kucir yang menjadi khas tanah leluhur; sebelumnya Belanda menerapkan peraturan yang melarang orang China memotong kucirnya sehingga mudah ditandai, hingga akhirnya seorang pengusaha dengan seizin gubernur Jendral Hindia, berhasil memotong kucirnya tersebut. Belanda, setengah mati berupaya menjaga citra tampilan diri, akan tetapi, realitanya ia juga berposisi sebagai pemerintah dari negeri yang dijajahnya, akan dikondisikan untuk memiliki sifat-sifat mendua yang semakin kuat saja; sama dengan phenomena kekuasaan raja-raja tradisional. Sang Belanda, sebagai kelompok yang terakomodir dalam kelas B.B. atau Binnenlandschbestuur, berfungsi melakukan penyelenggaraan pemerintahan; memasuki era kontemporer tentunya dituntut untuk menyediakan fungsi pelayanan kemasyarakatan. Sementara disisi lain, sebagai penjajah dengan tujuan utama menghasilkan pemasukan sebesar-besarnya bagi kas Hindia, akan selalu berada dalam posisi “culas dan serakah” dalam mengeksploitasi kekaayaan alam negeri, tidak peduli bagaimana pun cara, tempat dan waktunya. Seluruh laporan pejabat, utusan ataupun pengamat, tidak pernah terlepas dari laporan dan catatan potensi sumber daya bagi pemasukan kas Hindia; apa yang dapat dikembangkan, siapa pelakunya, bagaimana caranya, termasuk penilaian perlu tidaknya didatangkan pekerja-pekerja Jawa ataupun China dalam suatu pekerjaan eksploitasi. Untuk mencapai tujuan “ideal” penjajah ini, maka tenaga Eropa tentulah tidak mencukupi, secara umum di Hindia sangatlah minimnya, bahkan, hingga tahun 1930-an saja orang Eropa yang bedomisili di Bagansiapiapi hanya terbatas pada 50-an orang saja, dimana angka ini juga termasuk keluarga; isteri dan anak pegawai Belanda. Kondisi ini, menyebabkan bahwa lapisan birokrasi Hindia Belanda, juga meliputi sekelompok pribumi terdidik yang “tercerahkan” melalui pendidikan yang dibuka oleh pemerintah Hindia bagi pribumi, seperti dibangunnya sebuah Inlandsch School (Sekolah bagi Pribumi) di Bagan kurun 1916-1918.378 Tidak terdapat jumlah pasti

378

Bahwa perkembangan pendidikan diabad ke-20 di Hindia Belanda, dapat dibagi atas periode berikut: 1900 – 1915; percaya akan nilai pendidikan Barat bagi pribumi, walaupun terdapat sekolah desa yang didirikan Van Heutsz, pendidikan Barat sangat menarik perhatian; 1915-1927; timbul reaksi yang menghendaki pendidikan yang lebih cocok bagi pribumi, agar mereka tidak

238 berapa sebenarnya pribumi yang bekerja sebagai pegawai pemerintah di Bagansiapiapi, akan tetapi, pada masa pasca Jepang, ditemui sejumlah 800 orang (pegawai negeri dengan keluarganya)379 diantara 3000 orang jumlah masyarakat pribumi pada saat itu; sebenarnya ini bukanlah jumlah yang kecil. Sebagaimana diketahui pula, pelayanan kesehatan yang ditangani oleh seorang dokter lulusan Stovia yang tiba di Bagansiapiapi pada tahun 1911,380 kemudian didirikannya Sekolah: Holland Chineesch School ditahun 1920-an, pembukaan sekolah ini bahkan dihadiri oleh Sultan Siak; menunjukkan berlangsungnya proses pengkotaan Bagansiapiapi terutama pada dasawarsa pertama dan semakin meningkat dalam dasawarsa kedua. Jika yang pertama terutama cenderung pada upaya melengkapi Bagansiapiapi dengan sarana penunjang industri perikanan, maka yang kedua untuk melengkapi sarana dan prasarana warga Bagansiapiapi sendiri. Kelompok pegawai pemerintah, pada awalnya memang berasal dari kelompok yang lebih besar; pemerintah pusat di Batavia sebagai pengendali langsung disamping struktur dibawahnya; Gubernur Pantai Timur dan asisten residen Bengkalis; bertugas sebagai ambtenar dalam waktu dan daerah tertentu; ditengarai akan memiliki orientasi lebih luas ketimbang lokalitas tempat mereka bertugas. Akan tetapi, seiring dengan semakin terbukanya kesempatan pendidikan bagi pribumi, maka akan semakin terbuka bursa ketersediaan sumber daya terdidik untuk mengisi posisi di pemerintahan ini, maka jajaran birokrasi di Bagansiapiapi juga diisi oleh penduduk lokal terdidik, baik dibidang pemerintahan, pendidikan ataupun kesehatan. Perluasan dan pengembangan kota selalu diiringi dengan kebutuhan akan tenaga-tenaga baru terdidik dan terampil. Pada awal pendirian kantor Telegraph di Bagansiapiapi saja, telah membutuhkan sejumlah tenaga terampil untuk mengisi posisi beheerder (tenaga administrasi), Radio Monteur (teknisi radio), klerk(juru tulis), dan mekanik.381 Yang dapat dicermati pula adalah, bahwa periode Hindia Belanda merupakan spektrum waktu dimana penjajah memberikan ruang bagi keberlangsungan tatanan tradisional; kerajaan, sehingga corak kelompok pegawai pemerintah ini tentunya tidak saja hanya berasal dari bentukan pendidikan barat, akan tetapi juga sangat diwarnai oleh nilai-nilai tradisional kebangsawanan yang tetap bertahan. Kelompok birokrasi pribumi dan Belanda, dipastikan menjadi kelompok yang memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan sosial di Bagansiapiapi dan lingkungan kampung – pedesaan disekitar Bagansiapiapi dan dalam wilayah yang lebih luas yang meliputi onderafdeeling.

terlepas dari kebudayaan aslinya. 1927-1942; Pemerintah mengakui secara terbuka bahwa karena kekurangan biaya dan tenaga guru, maka pendidikan harus dibatasi. Lihat IJ Brugmans, geschiedenis van het Onderwijs in Ned.Indie, Groningen Batavia, 19938, hal.353-354; dalam H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal.46. 379 Bertitik jumlah ini didapat dari laporan BA.Mokhtar: Tim perdamaian Bagansiapiapi 1946. 380 Dokter R.M.Pratomo tiba di Bagansiapiapi bersama seorang Jerman dan serombongan pekerja dari Yogya. 381 Dilihat dalam MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, Boudwijen van Duuren, tahun 1934.

239

Dokter Pratomo dan keluarga, bersama keluarga Eropa di Bagansiapiapi. 382

Selain kelompok bangsawan kesultanan, di Bagansiapiapi, juga terdapat kelompok bangsawan dari tiga kenegerian yang eksis dalam menjalankan fungsi pemerintahan asli (zelf bestuur). Selain kelompok pegawai pemerintah Hindia, juga terdapat kelompok Eropa perkebunan yang berdiam diwilayah perkebunan itu sendiri, juga orang-orang China yang mencoba membuka kebunnya sendiri dipedalaman. Dapat dipastikan, politik segregasi yang diciptakan oleh orang Belanda, maka mereka terlebih dahulu pula yang akan mengimplementasikannya dengan lebih cenderung untuk hidup terpisah dalam dunianya sendiri; yang dirasakan lebih nyaman ketimbang dunia pribumi yang asing dan aneh bagi mereka, dan kontak-kontak yang terjadi akan lebih berada pada kelompok birokrasi dimana mereka menjadi tuan langsung disana; pertemanan boleh jadi terbina, dan ini semakin menjauhkan mereka pada masyarakat yang dijajahnya, terpisah dari dunia yang memberikannya kemakmuran sebagai “tambang emas kecil.” Ketika komunikasi antar ras ini terhambat, maka terkadang perkawinan dilihat sebagai sebuah jalan keluar yang paling “baik” dalam suatu masyarakat multikultural. Akan tetapi, di Bagansiapiapi nampaknya cara ini pun jarang ditemui; antara pribumi – China, pribumi Eropa, atau Eropa – China. Tokoh Van Hengst,383 mungkin adalah contoh dari terjadinya perkawinan seorang Eropa dengan

382

Gambar dari Iljunah dan Marjati Pratomo. De Sumatra Post, 9 Agustus 1929, Sluipmoord op de Rokan Rivier; Surabaiasch Handelsblad, 8 Agustus 1929, “De Moord op den heer Van Hengst”; 383

240 perempuan China, dimana setelah peristiwa pembunuhan yang menimpa diri Eropa ini, anak-anaknya yang berjumlah enam orang, si bungsu laki-laki diangkat anak oleh dokter Pratomo, dan yang lainnya para kakak perempuannya pindah mengikuti keluarga ibunya di Singapura: Sebagaimana diberitakan oleh pers di Hindia Belanda pada kurun pertengahan tahun 1929, ramai memberitakan terbunuhnya seorang Eropa; Van Hengst, seorang Gemeente Opzichter di Onderafdeeling Bagansiapiapi. Kisahnya, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media pada masa tersebut adalah sebagai berikut: pada tanggal 22-23 Juli 1929, Van Hengst mengadakan tornee ke pedalaman sungai Rokan yang berjarak selama dua hari perjalanan dengan tim sejumlah delapan orang Polisi dan 60 orang pekerja-narapidana. Hingga suatu malam, diketahui seorang polisi - seorang Timoor - bernama Nisunkoebira meninggalkan posnya tanpa izin dengan membawa senjata dan amunisi, kondisi diluar rencana. Guna mengantisipasi keadaan yang tidak diniginkan, Komandan pos jaga memerintahkan untuk melakukan pemadaman lampu di tenda-tenda dan juga telah mengingatkan Van Hengst akan situasi tersebut bahwa sang disertir tersebut bisa saja berbahaya dan ia memilih untuk memberikan pengamanan ekstra terhadap pos-pos tersebut. Akan tetapi, nampaknya Van hengst memiliki pendapat lain dan mengatakan, “Wie zal mij, ouden man, kwaad doen, ik heb geen vijanden." Van Hengst, ia merasa tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu dan tetap menyalakan lampu diluar tenda dimana ia tidur disana. Menjelang jam 5 pagi, sang disertir kembali, dan dengan senjata ditangan ia membunuh Van Hengst dengan tiga kali tembakan. Beberapa jam setelah perbuatannya tersebut, sang polisi disertir itu menyerahkan diri kepada polisi di pos. Dari hasil interograsi dan di persidangan dimana jaksa menanyakannya, pembunuh tersebut mengatakan bahwa ia “silap.” Meskipun demikian, Pengadilan di Medan tetap menjatuhinya dengan vonis hukuman mati. Van Hengst adalah seorang Eropa tertua di Bagansiapiapi, dimana pada saat wafatnya ia berusia 60 tahun. Selain itu, Van Hengst telah bertempat tinggal di Bagan sekitar 30 tahun. Ini berarti Van Hengst memasuki Bagansiapiapi pada kurun tahun 1899 – yang menempatkannya sebagai salah satu orang Eropa pertama yang tinggal disana. Bahwa kurun perjalanannya di Kota-nelayan selama puluhan tahun tersebut telah menjadikannya seorang pebisnis hingga kebakaran besar telah menghancurkan usahanya yang tidak dijamin oleh asuransi dan membuatnya harus kembali memulai segalanya dari awal. Van hengst menikahi seorang wanita China Bagan, dan memiliki enam orang anak. Anak terakhirnya lahir dua tahun menjelang kematiannya di tahun 1929. Sejatinya, Van hengst adalah seorang pebisnis dan bukan birokrat. Namun melihat kondisi bisnisnya, Pemerintah mengangkatnya menjadi seorang “Gemeente Opzichter” sehingga ia dapat memperoleh penghasilan yang lumayan dan dapat mencukupi keluarga besarnya. Selain itu, Van hengst adalah salah seorang tokoh Eropa yang ikut andil dalam mewarnai modernisasi Kota Bagansiapiapi; dimana ia termasuk yang turut mempelopori pendirian “Water Leiding” Bagansiapiapi. Water

241 Leiding terus mengalami penyempurnaan hingga tahun 1938 dimana dilakukan penggantian pipa-pipa yang mengalirkan air bersih ke segenap kota Bagansiapiapi. Warga tua Tionghoa Bagan, mungkin saja mengenangnya dengan penuh rasa hormat. Episode kisah ini, memperlihatkan betapa masyarakat Bagansiapiapi yang tersegregasi secara kuat, namun terdapat juga benang halus interaksi berupa asimilasi, peleburan kebudayaan yang mengikat kuat antar kebudayaan yang jauh berbeda. Integrasi yang terjadi antara Belanda – China kedalam struktur perkotaan, ada, akan tetapi berlangsung lamban dan terbatas pada ruangruang tertentu. Berkaitan dengan kelompok birokrasi yang berasal dari pribumi, sebagaimana dikatakan juga berkaitan dengan negara Hindia yang bersifat sentral, sehingga memungkinkan penempatan pegawai secara periodik, dan tentu saja penempatan pegawai pemerintah ini akan membentuk kemajemukan pegawai pribumi yang tidak saja berlaku di Bagansiapiapi, melainkan juga di seluruh Hindia Belanda. Kedatangan pegawai pemerintah yang dimutasikan ke Bagansiapiapi, ada juga diiringi dengan keluarganya, dan bahkan dalam kasus tertentu membawa sekelompok pekerja untuk turut membantu pelaksanaan tugas-tugas ditempat baru.384 Phenomena ini, telah memberikan warna bagi perkembangan Bagansiapiapi, bahwa kepala distrik Bangko, memberikan sebidang lahan yang diperuntukkan bagi bermukimnya para pekerja asal Yogya tersebut ditepian Bagansiapiapi, tempat yang lambat laun berkembang dengan semakin riuhnya kota, tempat yang sekarang dikenal sebagai Bagan Jawa. Dinamika hubungan yang terjadi pada kelompok ini, tidak dapat dipungkiri akan pengaruh aristokrasi, baik yang dibawa oleh pegawai sendiri dari lingkungan budaya asalnya, maupun sifat-sifat yang telah menjadi kharakter khas pangreh praja hasil didikan Belanda, yang sering dikaitkan dengan sifat feodal-kapitalis. Tentu saja, kita tidak membayangkan atau mengimajinasikan pegawai pemerintah Hindia di Bagansiapiapi akan menyerupai pegawai pemerintah yang kita temui di era kekinian. Selain lapisan birokrasi ini, di Bagansiapiapi, dapat pula ditemukan lapisan bangsawan yang kedudukannya, terutama diangkat oleh Sultan Siak, menempati posisinya yang khas dalam masyarakat Melayu, seperti Datuk sebagai kepala distrik, maupun datuk sebagai seorang kepala kampung. Pertambahan penduduk Bagansiapiapi dari kalangan pribumi-Melayu, tidaklah terlepas dari peranan pejabat asli ini, yang memiliki kekuasaan kewilayahan yang ditetapkan melalui hak-hak tradisional.

384

Seperti dokter R.M.Pratomo yang tiba di Bagansiapiapi pada tahun 1911 dengan membawa sejumlah 30-an rombongan pekerja yang berasal dari Yogya.

242

Van Hengst beserta keluarganya. 385

Seperti kebijakan Datuk Bangko yang menyediakan sebidang tanah pemukiman bagi kaum pekerja migran, maka dapat pula didengar kisah serupa terutama yang berkaitan dengan migrasi pribumi-Melayu masih dari lingkungan di Onderafdeeling Bagansiapiapi; dalam masa sesudah perang, orang akan dapat mengenang berdirinya KPL di sebelah selatan kota Bagan sebagai bentuk kemurahan hati sang datuk Bagan Punak. Bahwa semasa awal terbentuknya pemukiman Bagansiapiapi oleh orang-orang China, kampung yang dihuni oleh orang-orang Melayu berlokasi disebelah selatan kota; Bagan Punak. Tidak terdapat informasi tentang jumlah kependudukan disini pada masa-awal, akan tetapi nampaknya jumlah pemukim dikampung-kampung Melayu disekitar Bagansiapiapi ini, diketahui berdasar sensus pada tahun 1930-an berjumlah 3.000 jiwa dari laporan keseluruhan sejumlah 15.000 jiwa di Bagansiapiapi, sementara sisanya sejumah 9000 jiwa menyebar di kampung-kampung di seluruh wilayah distrik Bangko. Orang China masih dominan sebagaimana sensus ini, yaitu sejumlah 13.000 jiwa. Pesatnya pertumbuhan penduduk pribumi ini, yang sebelumnya luput dari catatan pengamat Eropa, nampaknya berkaitan dengan fungsi masyarakat China Bagansiapiapi sebagai sumber daya pekerja industri perikanan. Catatan Haga yang detail tentang industri di tahun 1915-1916, tidak merekam keberadaan jumlah pribumi. Meskipun lompatan demographi ini sendiri telah menunjukkan bahwa pribumi, memiliki peran dalam perkembangan Bagansiapiapi, peran unik dalam kaitannya dengan kampung-kampung tradisional yang tersebar di wilayah yang begitu 385

Gambar milik Ibu Hj.Eva, menantu dari van Hengst.

243 luasnya di lingkungan hilir sungai Rokan. Begitu pula populasi di wilayah onderafdeeling Bagansiapiapi secara keseluruhan; bahwa statistik tahun 1920 tercatat sejumlah 27.967 jiwa, dengan jumlah di Bagansiapiapi tercatat 9.000 jiwa, sementara catatan tahun 1930 menunjukkan bahwa penduduk sejumlah 43.592 jiwa, dengan sejumlah 13.000 jiwa di Bagansiapiapi. Phenomena ini, menunjukkan bahwa semenjak “achteruitgang” (penurunan produksi industi perikanan) di tahun 1910, berdampak pada pertumbuhan penduduk yang mengalami stagnasi, hanya saja, populasi pribumi mengalami peningkatan, baik secara keseluruhan diwilayah onderafdeeling maupun secara parsial di Bagansiapiapi. Dari keterangan warga kota, hingga era tahun 1980, Bagansiapiapi masih dicirikan oleh rapatnya pemukim China di Pecinan, tidak diselingi oleh pemukim pribumi; kharater sebagaimana digambarkan oleh para pengamat diparuh pertama abad ke-20. Akan tetapi, tekanan ekonomi sebagai akibat achteruitgang dan desakan lapisan pribumi yang berada di tepian pemukiman, menunjukkan bahwa interaksi telah semakin meningkat antara pribumi-Melayu dan China dalam kegiatan perekonomian kota. Hanya saja, gambar yang diambil dengan latar pelabuhan, nampaknya terdapat pribumi yang mungkin saja sedang melintas disana, bepergian, sebagai pelancong, pekerja atau pengusaha(?), sayangnya terlepas dari sang pengamat. Dalam suatu skenario, kita tentu tidak dapat menolak adanya kisah tentang seorang tauke China dengan sekelompok pekerja pribumi. Akan tetapi, seorang tauke dengan seorang pribumi kepercayaan sang tauke, mungkin lebih menyerupai kisah drama sejarah, atau film nasional dan impor. Peck Yang menuliskan catatannya tentang kisah ini yang benar-benar nyata, seorang elite China Bagansiapiapi yang cukup berpengaruh pada masa peralihan; dimana dengan menggunakan orang kepercayaannya, seorang pribumi; Boerhanuddin, dapat membeli senjata di Singapura yang bahkan diawali dengan modal orang Singapura itu berkat negosiasi yang dilakukan Boerhanuddin, senjata yang sedianya digunakan pejuang republik melawan penjajah yang mencoba kembali berkuasa dalam masa revolusi phisik.386 Secara skematis, maka interaksi di Bagansiapiapi akan mengikuti hubungan-hubungan yang berlangsung dalam birokrasi pemerintahan, industri perikanan, dua hal ini telah dijelaskan, dan terakhir adalah perkebunan dan pasar. Yang terakhir ini adalah tempat bertemunya tidak saja para pedagang dan pembeli, atau dikalangan pedagang sendiri, melainkan juga keseluruhan perilaku ekonomi warga yang biasanya akan memotong batas-batas etnis, ras, dan kelas-kelas sosial di Bagansiapiapi; phenomena yang umum ditemui.

386

Twang Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia.

244

Pelabuhan Bagansiapiapi tahun 1920-an. Sumber: NGIK Mungkin saja pengamat Belanda dan Eropa, yang hanya terfokus pada perekonomian industri perikanan akan “melewatkan” pencermatannya atas perubahan komposisi demographi dan kaitannya dengan keberlangsungan kota yang memang memiliki landasan utama; industri perikanan. Akan tetapi, Bagansiapiapi yang sejak awal abad ke-20 telah mapan sebagai ibukota onderafdeeling yang wilayahnya mencapai lebih 9000km2, dengan sejumlah kampung-kampung yang tersebar ditepian anak-anak sungai dan terutama, aliran sungai utama; Rokan sebagai sarana “jalan-raya” tempat menghilirnya segala produk pedalaman, selain itu juga lompatan industri perikanan dipastikan akan “menyeret” Bagansiapiapi dalam jejaring perdagangan regional, bahkan internasional; kesemua ini merupakan faktor pendorong bagi urbanisasi Bagansiapiapi, proses pengkotaan yang secara pasti akan menyingkirkan homogenitas menjadi heterogenitas dalam batas-batas tertentu. Wajar saja jika proses yang seharusnya berlangsung diasumsikan sebagai berikut; Urbanisasi diiringi diferensiasi sosial, sebagaimana keberagaman status dan peran dalam masyarakat perkotaan. Akan tetapi, realitas sosial disini menunjukkan kokohnya dominasi orang China di Bagansiapiapi dalam seluruh tatanan dan peranan, terutama dikaitkan dengan kehadiran mereka disana yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan produksi ikan; terutama oleh pemerintah Belanda. Keberadaan orang China ini, selain sebagai investor, pemilik alat tangkap, ataupun buruh-pekerja, mereka juga terlibat dalam perdagangan hasil tangkapan laut tersebut; Ketika upaya produksi ikan diorganisir

245 untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka yang terjadi adalah para nelayan mengorganisir diri mereka pada Kongsi, yang diketuai oleh seorang Touke Bangliau, yang menyediakan modal untuk kelangsungan usaha dan keuntungan berupa uang kontan untuk nelayan. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Fitrisia dan Sugianto Padmo, Kedatangan Orang Belanda dan Cina migran dari Tanwa, Amoi,Teng Hai, Hai Jib dan Shantung telah mendorong berlimpahnya hasil tangkapan ikan di muara Rokan ini, 387 sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Bruin bahwa orang Cina merupakan bagian penting dari kelompok komunitas nelayan di onderafdelling Bagansiapiapi. Asumsi yang dapat diketengahkan, sebagaimana dikemukakan Boejinga bahwa Masyarakat China di Bagansiapiapi era kolonial adalah masyarakat yang sangat mandiri.388 Keberlangsungan industri perikanan, yang diiringi proses pengkotaan Bagansiapiapi, tetap membagi peranan sosial dalam ruang-ruang kota dominan dikalangan mereka sendiri, begitu pula hingga era revolusi phisik. Halnya di Bagansiapiapi menunjukkan, bahwa keberagaman peran tetap dominan berada dikalangan orang-orang China, sebagai entitas sosial awal yang bermukim di Bagansiapiapi. Peranan yang tidak goyah, hingga pasca perang, dimana industri perikanan yang mulai mencoba bangkit dari keterpurukan akibat perang disambut oleh periodesasi menghebatnya pendangkalan muara, beralihnya para pemegang kebijakan terutama yang menangani industri perikanan di Bagansiapiapi, dan peranan pemerintahan yang berada dikalangan republik. Periode revolusi phisik, seorang Tokoh pendamai konflik sebagai akibat peristiwa Bagansiapiapi, dalam laporannya menuliskan bahwa masyarakat China Bagansiapiapi adalah masyarakat yang sangat lengkap, mulai dari nelayan, tukang, tani, cerdik pandai hingga kuli. Begitu pula dengan kepemilikan alat produksi; serupa Tongkang, Jermal, bahkan kebun-kebun karet yang luas sebagai milik mereka.389 Lebih jauh, dalam laporannya, BA.Mokhtar menyadari bahwa Bagansiapiapi, meskipun juga dihuni oleh orang-orang pribumi yang bermukim terutama dikampung-kampung disekitar kota, tidaklah merupakan masyarakat yang padu, 3000 jiwa penduduk pribumi diantara 15000 jiwa total warga kota, bahkan dalam peranan perekonomian tidak menggambarkan dskripsi suatu jejaring sosial yang mapan, 12000 jiwa orangorang China disini tidak hanya dominan dalam perekonomian, melainkan juga dalam jejaring perekonomian hingga unit yang terkecil; sarana yang sedianya menjadi jembatan komunikasi antar entitas. Selama periode Hindia, jelas, kemapanan ini dipelihara oleh politik rasis kolonial yang menempatkan pribumi dalam posisi yang kurang menguntungkan.

387

Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.497 – 506, dalam SOSIOHUMANIKA, 15, (3), September 2002. 388 Boejinga, 1926. 389 BA Mokhtar, Laporan tim pendamai Bagansiapiapi, 1946.

246

Aangeboden door de N.V.Handelsvereeniging v.h.KEHDING 1930 Masa pendudukan Jepang, sebagaimana disampaikan, menghancurkan tatanan lama dan bahkan di Bagansiapiapi menyebabkan stagnannya industri yang menjadi dasar perekonomian kota, menguatnya kedudukan pribumi dan memunculkan lapisan elit pribumi baru. Ketika Jepang takluk, situasi pun segera berubah. Persoalan kota yang tidak memiliki frasa keterpaduan ini, tidak menghilang dengan menyingkirnya

247 Belanda, akan tetapi warisan segregasinya lantas memunculkan friksi-friksi dilapisan massa.

Ang Gio, Bagansiapiapi, 1930-40, Sumber KITLV.

Jejaring Komunitas Rahasia Halnya sebuah kawasan tempat berlangsungnya industri, maka di Bagansiapiapi masyarakat pun terstruktur mengikuti kondisi infrastruktur ekonomi,yakni; terbentuknya pelapisan sosial berdasarkan perannya dalam industri perikanan. Pembentukan strata ini, berlangsung sejak awal berdirinya desa hingga perubahan dalam skala makro, yakni masuknya balatentara Jepang ke Bagansiapiapi. Dapat diidentifikasi bahwa disini masyarakat terbagi atas; Kelompok birokrasi, Tauke, pedagang, pengrajin, seniman, nelayan, buruh dan pekebun. Akan tetapi, inti dari Bagansiapiapi adalah industri perikanan; maka, kelompok yang berpengaruh tentunya adalah para pelaku industri perikanan itu sendiri. Tingginya curah “hujan emas” di muara sungai Rokan berupa jutaan ikan yang seolah tiada habis-habisnya ini, telah turut pula mengundang kelompok lain terutama dari China Daratan. Bahwa selain dari kelompok lapisan masyarakat berdasarkan profesi sebagaimana teah disebutkan, dapat dilihat juga bermunculannya kelompok-kelompok “informal” di Bagansiapiapi. Kelompok ini muncul sebagai respon tingginya persaingan dalam memperbutkan sumber daya, khususnya perikanan. Pada dua dasawarsa 1920-an hingga 1930-an,

248 pers era Kolonial sempat menyebut Bagansiapiapi sebagai “Klein Chicago” (Chicago Kecil) dalam laporan beritanya. Sebutan ini mengingat bahwa kehidupan komunitas China di Bagansiapiapi, terindikasikan memiliki kemiripan dengan yang terdapat di Chicago, Amerika Serikat, yakni; adanya kelompok gangster yang melakukan teror terhadap masyarakat, Dalam melakukan aksinya, kelompok ini tidak segan-segan untuk melakukan intimidasi, pemerasan, hingga pembunuhan. Kelompok gangster melakukan pemungutan uang terhadap para pengusaha /tauke dan pedagang di Bagansiapiapi. Meskipun terdapat tindakan dari Pemerintah Hindia terhadap keberadaan gang ini, yaitu dengan ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, laporan Kontrolir Baalbargen nampaknya mengindikasikan keberlangsungan kejahatan terorganisir tersebut. 390 Bahwa kelompok organisasi rahasia China ini, tidak segansegannya untuk membunuh dan khususnya mereka adalah petarung yang berasal dari China Daratan.391 Terdapat teror yang cukup dalam terhadap para nelayan, terutama berasal dari utusan kongsie agresif rahasia. Para tauke, dan tidak ada menyangkut hal lain, akan tetapi hanya tentang “pembayaran” saja. Tauke mungkin saja melawan, tapi dalam kenyataannya ia tetap saja membayar karena ia tahu, jika tidak, usahanya akan segera dihentikan oleh mereka. Intimidasi terutama dilakukan terhadap nelayan dan kuli, dalam waktu singkat saja telah menandakan kerugian sejumah besar uang. Mereka kemudian memilih membayar daripada mengambil berisiko. Orang akan bertanya-tanya mengapa mereka tidak meminta bantuan Dewan Kota untuk segera diambil tindakan. Jawabannya sederhana saja; Pertama, tidak adanya hubungan darah dengan Dewan Kota, kedua; juga bukan oleh sulitnya perlindungan oleh polisi terhadap nelayan dan kuli di laut, tetapi oleh sedemikian luasnya percabangan kongsie rahasia, bahwa mereka memiliki "agen"- nya di Melaka, Penang dan Singapura, di tempat-tempat dimana pedagang ikan Bagan berada dan ia cepat atau lambat akan jatuh sebagai korban balas dendam dari gang jika ia berani melaporkan intimidasi gang tersebut. Tauke mungkin terhalang, namun akan ada campur tangan polisi, dengan senyum ramah ia memastikan bahwa ia tidak punya uang untuk membayar, bahkan hanya sedikit pengetahuan tentang komunitas Rahasia. Kadang-kadang orang menemukan sejumlah kecil pesan keluar yang dikenal sebagai "tangan hitam” atau sebagai sebuah kata yang harus ditebak. Kita tidak boleh berpikir bahwa kongsie tidak melakukan apa-apa sama sekali untuk melindungi apa yang tauke lakukan. Bukan begitu, mereka memang dilindungi terhadap kelakuan buruk lainnya dari kongsie itu, khususnya terhadap pembajakan. Pertanyaannya, Siapa sajakah yang terlibat? Jawabannya, tidak terpikirkan untuk tidak berafiliasi dengan kongsie. Jaring dan alat penangkap ikan lainnya, sampan, bahkan barang dalam gudang akan menghilang bagai “udara menguap” yang diakibatkan oleh berbagai pencurian, karena setiap orang tahu bahwa mereka dapat melakukan apa-pun sebagai balasannya. Hanya

390

De Sumatra Post, De Terreur van Bagan Si Api-Api; 16-12-1925. Bahwa sekitar 200 orang yang terlibat dengan aksi kejahatan ini telah ditahan, dan dihukum penjara. 391 De Sumatra Post; GANGSTERS OP SUMATRA: Chineesche Geheime Genootschappen te Bagan Si Api-Api. 9-11-1932,

249 kongsie agresiflah yang dapat melakukan untuk "mendapatkan uang" dan keunggulan pun diperoleh melalui jumlah keanggotaan yang besar, hal ini diasumsikan telah menggring nelayan dan tauke pada situasi suram; dan mereka pun menghadapinya dengan cemas. Kadang-kadang terjadi, bahwa kota tiba-tiba berada dalam kekacauan, di mana-mana suara gagap ketakutan dan histeris terdengar dari kedei China dengan suara keras, "Sauve qui peut", ya, selamatkan diri masing-masing, yaitu seruan untuk warga yang tengah melintas dan berada di jalanan dan segera saja situasi itu tertutup untuk umum, hingga orang-orang tergesa-gesa mencoba untuk segera mencapai rumah atau pun “club house,” biasanya kelompok ini kemudian menghilang dengan meninggalkan lawan di dekat anak tangga dengan beberapa luka yang bisa saja parah yang diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. “Pekerjaan” yang sebenarnya dilakukan oleh "petarung profesional" yang sering tak terduga dan secara rahasia tiba dari China Daratan; Orang tidak perlu berpikir bahwa apa pun berita tentang korban yang terjadi karena dendam dan dalam upaya terus mempertahankan eksistensi kongsie tersebut. Pembunuhan terakhir dengan cara yang sama terjadi di akhir bulan Desember 1927. Kongsie Ho Hm yang berada dibawah pengawasan polisi nampaknya telah bertindak di luar koridor; berikut ini adalah nama bersalah lainnya seperti; Hok Gie, dan lainnya yang secara substansial memiliki kepentingan "pendirian Serikat Pedagang Ikan,” dan akhirnya adalah upaya pembersihan pengikut Sara Tiam Boei pada tahun 1925 yang dilakukan oleh Kontrolir Smith. Para pedagang, dipimpin klan Oei, merupakan bagian terkecil dari Populasi. Kongsie Rahasia kecil yang kepentingannya dilindungi setelah “penghinaan” Sara Tiam, juga menjadi sibuk dengan urusan kongsie tersebut.

“Chicago Kecil” Banyak tauke kecil, yang sebelumnya berkontribusi pada Sam Tiam (serikat pekerja “Chin Liong Tong”), berpikir ia telah tiba dengan selamat dibawah pengawasan Pemerintah. Sam Tiam, bahkan pergi sendiri setelah melakukan intimidasi kecil terhadap Ho Hm. Sam Tiam (Chin Liong Tong) tidak dapat memenuhi pembayaran secara bertahap akan kewajiban keuangannya, kemudian petarung dan pemimpin mereka bertemu untuk penghormatan dan pemulihan reputasi. Pemimpin mereka Kho Poei Loy semacam imam "terkenal" dan pawang hujan akhirnya memutuskan untuk melawan intimidasi tersebut. Karena visibilitas polisi menyababkan ia meninggalkan segalanya termasuk pengembangan bisnisnya di Klang dan Pulau Ketam. Ketika akhirnya para petarung Ho Hm begitu berani yang disebabkan istri dari Sam Tiam mengalami penghinaan kasar - saudara perempuan dari salah satu petarung Sam Tiam, berakibat pada diputuskannya kematian bagi dua orang dari pihak lawannya terutama yang terlibat dalam penghinaan berat tersebut. Keputusan itu adalah “menembaknya” dengan menggunakan revolver di Kota didepan umum, yang juga memiliki fungsi sebagai propaganda balas dendam, uang sangat dibutuhkan untuk membayar tiga petarung bersenjata sejumlah seribu gulden. Kebiasaan korban diidentifikasi, kongsie tahu bahwa untuk pembunuhan hanya ditakuti di daerah

250 terpencil dari kota, akan tetapi, siapakah yang merasa cukup aman berada di pusat kota tersebut? bahwa pada realitanya semua kedei Kopi dan hiburan, terutama berada di bawah kendali kongsie mereka sendiri. Beberapa kedai kopi tetap dalam "diatas jam" malam yang diatur oleh “sahabat” yang sering mengunjungi mereka, ini bagai menjadi “berbagi” dari pemiik kedei kopi sebagai ganti “perlindungan” mereka. Setiap waktu di akhir Desember, dimasa yang tenang bagi Perikanan, kota penuh sesak dengan nelayan muda; pada sore harinya di pusat kota di luar restoran, orang Cina di teater dan banyak lagi kedei kopi, tempat mereka mencari hiburan. Banyak wajah-wajah yang asing, bahkan juga nelayan muda dari pemukiman tetangga, sehingga tidak terlihat dan tidak disadari adanya puluhan orang asing tiba disana. Pada tanggal 23 Desember 1927 di malam hari jam Sembilan, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang aneh di saat itu, dipersimpangan paling ramai yang terang benderang, tepat sebelum teater China. Tiga laki-laki keluar dari kerumunan kemudian pergi dan mereka berjalan di bawah keremangan yang samar-samar gelap di kaki lima (jalan wilayah untuk pertokoan) pada arah sudut kedei kopi, terdengar beberapa tembakan dan terlihat dua korban mati terhempas. Penduduk yang melihat kejadian pun buruburu meninggalkan lokasi kejadian dan menghilang. Seorang anggota polisi kota bergegas menuju ke lokasi. Sementara beberapa orang dari kelompok gang itu menjalankan “strategi pengalihan perhatian” dengan berteriak kebakaran, dan dengan demikian menarik perhatian warga di bahagian lain kota. Ini adalah kebingungan besar karena rumah-rumah kayu yang dibangun di Bagan telah dikenal dengan ancaman bencana kebakaran yang mengerikan dan "alarm kebakaran" segera membawa serta seluruh penduduk pada suatu kondisi “ketakutan yang menggila,” dinyatakan dalam sebuah “home run” sesegera mungkin untuk menutup dan mengambil segala langkah-langkah yang diperlukan untuk keselamatan keluarga dan harta benda. Sebelum kita tahu persis apa yang terjadi, para pelaku telah melarikan diri dengan menggunakan sampan.392 Persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas, ternyata telah menimbulkan sebuah persoalan sosial dalam komunitas industri ikan di Bagansiapiapi seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa warta di era Kolonial. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial adalah dengan dilakukannya penahanan terhadap sejumlah orang yang dianggap terlibat dalam keanggotaan “Gangster”. Riuhnya kekayaan muara Rokan, telah mengundang petualang-petualang yang datang dari berbagai penjuru, dengan kekuatan sindikasi mencoba dengan berbagai cara melakukan teror dan intimidasi terhadap tauke, pedagang dan nelayan di Bagansiapiapi. Pada era ini juga, riuhnya industri perikanan yang ternyata, dibayang-bayangi oleh sindikasi gangster dan dimana membawa Bagansiapiapi juga pada maraknya

392

Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, “Het Leestafel Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.”

251 “kehidupan malam.” Prostitusi,393 merupakan salah satu sisi kelam yang seolah beriringan dengan judi(diantaranya permainan dadu), dan opium. Bisnis primitif ini, bahkan bukan tidak mungkin berbasis pada sebuah jejaring trafficking sebagaimana yang berhasil diungkap polisi di tahun 1940. Tangisan seorang gadis muda di pelabuhan Tanjung Balai yang hendak bepergian ke Bagansiapiapi, menarik perhatian seorang mantri-polisi yang kemudian menghampirinya. Interograsi yang dilakukan terhadap gadis itu, mengarah pada seorang perempuan tua. Kemudian gadis itu dipulangkan ke Medan, sementara, polisi terus memeriksa sang perempuan tua, yang mengatakan bahwa ia menebus gadis itu dari orang tuanya senilai f104. Kasus ini, dibawa sampai ke pengadilan di medan yang diketuai oleh Hymans, dimana sang perempuan tua mengaku bahwa ia telah berbicara dengan sang ayah dari gadis, untuk menikah dengan cucunya yang tinggal di Bagan, dan tentunya sang gadis harus pergi kesana. Akan tetapi, gadis itu sadar bahwa ia telah dikhianati, sehingga, ia menangis sebagaimana diketemukan oleh mantri polisi dalam perjalanannya menuju Bagansiapiapi. Menurut keterangan dari polisi di Bagan, ternyata perempuan tua itu dikenal sebagai pemilik rumah bordir. Pengadilan lalu menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada sang perempuan tua itu. 394 Bahwa permulaan abad ke-20 sebagai awal bermulanya kelompok nasionalis Kuo Min Tang dan tumbangnya dinasti kerajaan tradisional, selain juga kelompok komunis dibawah Mao Zedong. Tidak dapat dipungkiri sebaran pengaruh berbagai kelompok tadi, terutama pada orang-orang China di negeri rantau, tidak terkecuali di Hindia Belanda, terutama di sentra-sentra pemukiman orang China atau Pecinan. Bagansiapiapi, jelas saja yang telah menjadi bahagian dari sistem perdagangan dunia ikut terkena pengaruhnya. Sebagai totok atau singkeh yang masih memiliki keterikatan yang tinggi terhadap tanah leluhurnya, memungkin pemukim China di Bagansiapiapi memiliki hubungan yang intens dengan kelompok-kelompok di China Daratan. Tidak seperti decade kedua abad ke-20 sebagaimana yang dilaporkan kontrolir Haga bahwa orang China di Bagansiapiapi, persoalan revolusi China: Joen Sie Kay , mereka menanggapinya dengan cukup dingin dan lebih terfokus ke laut dan harga ikan di pasar Jawa; Belanda mencatat bahwa hingga tahun 1930-an, telah berdiri beberapa kelompok diantaranya adalah kelompok pro-Kuo Min Tang yang memiliki pengaruh kuat dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Pengaruh ini, ternyata juga memiliki dampak psikologis terutama masa pasca perang dunia II dimana negeri China terlibat didalamnya dan masuk sebagai kelompok negara pemenang perang, dengan Jepang sebagai rivalnya.

393

Persoalan prostitusi di Bagan ini, pernah diuangkap oleh kontrolir B.J.Haga; De Sumatra Post, 3 April 1918, “De Verlei Prosititutie.” 394 De Sumatra post, 14-02-1940; “Een Chineesch meisje „verhandeld” De politie kwam er tusschenbeide.”

252

Periode Pendudukan Jepang Ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda dan kemudian menjadi penguasa militer, terutama di Sumatra; diawali dengan pendaratan balatentara Jepang di utara dan timur Sumatra yang segera saja menyebar kearah selatan pulau ini. Diakhir Maret 1942, komandan militer Hindia untuk Sumatra menyerah tanpa syarat, dan Sumatra ditempatkan dibawah Departemen Pemerintahan Militer Tentara ke-25 di Singapura(Gunseibu), yang dipindahkan ke Bukit Tinggi pada Mei 1943.395 Afdeeling Bengkalis, disatukan dengan residensi Riau sebagai RiauShu dengan beribukota di Pekanbaru, yang berarti dipisahkan dari residensi Sumatra Timur. Sebagaimana diketahui, bahwa susunan pemerintahan yang semula beralih kedalam susunan pemerintahan ala Jepang sebagai berikut: Unit dalam Pemerintahan Shu -------------- Residentie Shi/Ken ----------Regentschap Gun ---------------District Son ---------------Onderdistrict Struktur Pemerintahan Jepang. 396

Pejabat/Kepala Shuchokan -----------Resident Shico/Kencho -------Walikota Guncho ---------------Wedana Suncho ----------------As.Wedana

Kedatangan tentara Jepang ini, pada awalnya disambut dengan sukacita oleh masyarakat Indonesia, yang menandai runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda; Jepang menangkapi orang-orang Eropa dan memasukkannya dalam kamp-tahanan; orang Eropa di Bagansiapiapi sebagaimana juga diwilayah lain di lingkup Afdeeling Bengkalis, ditempat dalam kamp di Siantar dan Bangkinang. Bagansiapiapi merupakan salah satu kota yang ikut menderita. Industri perikanan terhenti total, segenap daya dan upaya benar-benar dikerahkan untuk mendukung kepentingan militer Jepang dalam memenangkan perang Asia Timur Raya. Kekejaman Jepang, tentu kita tidak meragukannya lagi, juga berlaku di Bagansiapiapi. Akan tetapi, sifat hubungan yang ambigu, barangkali telah menyelamatkan banyak warga. Bahwa warga Bagansiapiapi, ikut menyumbangkan tiga unit pesawat tempur pada balatentara Jepang, 397 merupakan mekanisme penyelamatan diri yang wajar-wajar saja pada masa perang.

395

Lihat dalam “Chronology of events Japan and Japanese Occupied Countries; April 1945; Procereur Generaal bij het Hooggerechtshaf in Nederlands Indie, No. 181. 396 Aiko Kurasawa 1993, hal.291; Noordjanah, 2004, hal.21. 397 Pesawat tempur dari jepang yang tiba di Pekanbaru ini, adalah berasal dari hasil sumbangan masyarakat China Bagansiapiapi sejumlah f250.000, penyerahan dilakukan di Pekanbaru pada tanggal 15 Maret 1945, dengan nama Bagansiapiapi nomor I, II dan III. Dalam “Sinar Baroe,” 29 Maret 1945.

253 Meskipun demikian, menarik apa yang disampaikan oleh Jenderal Yamamoto; salah seorang panglima militer Jepang, bahwa, “masyarakat China tampak patuh diluar, tetapi tidak didalam.”398 Pada waktu-waktu berikutnya, sumbangan masyarakat China ini diiringi dengan penekanan akan ketulusan hati mereka, dan sangat diragukan bahwa pihak militer Jepang mempercayai akan hal itu. Dampaknya, loyalitas masyarakat China ditanggapi secara skeptis oleh penguasa Jepang yang cenderung bersikap negative terutama terhadap kalangan pengusaha China. Sebaliknya, penguasa militer Jepang lebih kompomistis terhadap pribumi. Meskipun demikian, pada masa ini, perdagangan yang terjadi antara pantai timur Sumatra dengan Semenanjung, terutama dilakukan oleh kelompok China dengan menggunakan tonkang mereka. Perdagangan ini menggunakan nama Jepang, dan orang China lebih hanya kepada penyedia Tonkang, dan menerima upah pembayaran atas jasanya itu. Hal ini sungguh merupakan pelayaran perdagangan yang berat, disebabkan aksi blokade oleh pihak sekutu; rute pelayaran melalui Belawan, Saynon dan akhirnya menuju Semenanjung, menjadi rute biasa saat itu. Masa pendudukan Jepang, adalah periode dimana rasa kebangsaan nasional Indonesia Menguat. Segala unsur yang berbau Belanda, dihapuskan, mulai dari penggunaan bahasa, firma, organisasi, hingga nama-nama jalan. Masa sebelum perang, jalan di Bagansiapiapi didominasi oleh nama Belanda, seperti; Haga, Kerk, Wilhemina atau pun Zee-Straat; nama-nama ini tidak lagi ditemui pasca pendudukan Jepang digantikan dengan nama-nama dalam bahasa Indonesia. Penguatan keIndonesia-an ini, juga secara tidak langsung didukung oleh kelompok pengusaha China, dimana Jepang mewajibkan mereka memberikan dukungan dana atas pendirian organisasi-organisasi pribumi, dan sepertinya, proses perubahan ini tidak mencirikan sistem pergerakan lokal yang terbatas, akan tetapi meliputi suatu jejaring gerakan kaum nasionalis yang tumbuh subur diseluruh wilayah pendudukan Jepang. Contohnya Kita dapat melihat pada pembentukan organisasi Ikatan Pemuda Riau399, Riau Ksoyey kai, dan juga Riau Syu Sangi Kai,400 yang memiliki perwakilan dari Sembilan daerah di Riau, termasuk Bagansiapiapi. Pada periode ini, kebijakan politik kewilayahan penjajahan Jepang, mengkondisikan orang Riau dalam upaya penegasan identitas kebangsaan yang nampaknya parallel dengan identitas kewilayahan. Kondisi ini, menjadikan peranan elit pribumi pun menguat, begitu pula dengan yang terjadi di Bagansiapiapi. Dijatuhkannya Bom Atom di Hirosima dan Nagasaki pada Agustus 1945, membuat Jepang takluk, dan kemenangan berada di tangan Sekutu, termasuk 398

KYP 19 Maret 1942, dalam Twam Peck Yang, hal,96. Ikatan Pemuda Riau, didirikan pada 12 Desember 1943 di Pekanbaru. Dalam “Kita Sumatora SInbun,” 29 Desember 1943. 400 Riau Syangi Kai didirikan pada tanggal 8 Desember 1943, dan memulai persidangannya di Pekanbaru, dihadiri oleh Sembilan perwakilan dari daerah-daerah di Riau, dimana untuk Bagansiapiapi, anggota-pilihan diwakili oleh Abdoerrab dan untuk anggota angkatan diwakili oleh Oei Tek Sek; dalam “Kita-Sumatora-Sinbun”: Surat Kabar Harian, tanggal 18 Desember 1943. 399

254 negara China sebagai sekutunya. Situasi ini, memberikan efek nyata kepada pemukim Bagansiapiapi, efek yang berkembang menjadi suatu peristiwa yang menjadi catatan suram sebagaimana dipaparkan dibahagian selanjutnya.

255

9

256

“Perang Bagan” Kapitulasi Jepang dan Kemerdekaan Republik Pada bulan Juli 1945 seorang Inggris mantan pekebun di Sumatra: Kapten Lodge, bersama sepasukan kecil dengan parasut mendarat disebuah kampung didekat Bagansiapiapi (sebuah tempat dimana tidak adanya jalan raya), dimana dalam posisinya itu ia mencoba melihat apakah terdapat peluang guna mengumpulkan orang-orang untuk menghadapi Jepang di Bagansiapiapi; dikatakan bahwa ia bisa menyediakan senjata untuk sejumlah 50 orang pasukan. Selain itu, penempatan pasukan ini sebagai bahagian dari rencana menjalin kontak dan mengorganisir gerakan bawah tanah untuk menyediakan kekuatan guna membantu pendaratan Sekutu ditiga titik: Rantau Prapat, Kutaraja dan Bagansiapiapi.401 Akan tetapi, tidak jelas rencana ini dengan terjadinya kapitulasi Jepang tanggal 15 Agustus 1945;402 Bangsa Indonesia membuat suatu peristiwa yang sangat penting dan mendasar, diproklamasikannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan segera sesudahnya pemerintahan pun dibentuk; Sukarno dan Hatta ditunjuk sebagai Presiden dan wakil presiden. Sementara itu, Sumatra menjadi sebuah provinsi dengan Medan sebagai ibukota dan mengutus Mr.Hassan sebagai gubernurnya. Mr.Hassan adalah seorang tokoh yang terlibat aktif dalam pergerakan ini, sebaliknya, sulitnya akses komunikasi saat itu, menjadikan peristiwa yang sangat besar dalam sejarah republik seolah-olah teramat jauhnya bagi khalayak di pantai timur Sumatra. Yang sangat nyata adalah berhentinya rezim fasis Jepang sebagai pemegang kekuasaan dan beralih menjadi penjaga belaka dengan sia-sia menanti kedatangan Sekutu sebagai sang pemenang perang. Pemberlakuan ketat atas informasi, menjadikan hanya sedikit saja orang Indonesia yang mengetahui khabar proklamasi itu, beberapa hari setelah dilakukannya rapat panglima Jepang di Singapura yang akhirnya menerima kekalahannya. Melalui siaran radio, pengumuman peristiwa itu juga sekaligus penetapan Jepang sebagai pihak yang bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban umum menjelang kedatangan Sekutu. Belanda, yang mencoba menempatkan kembali pasukannya pada tahun 1946, nampaknya diiringi dengan meluasnya antagonisme terhadap orang China di eks Hindia. Belanda berupaya menerapkan kebijakan rekrutmen terhadap orang-orang China sebagai bahagian dari kekuatannya; suatu posisi yang akan menyebabkan orang China di Indonesia akan terombang-ambing dalam sebuah gelombang besar

401

Het Koninkrijk Der Nederlanden in De Tweede Wereldoorlog, 1939-1945, Deel IIc, Dr.L.De Jong, tahun 1986, hal.245, 247, 280. 402 Bahwa diketahui juga, seorang officer Inggris mengunjungi Bagansiapiapi pasca Kapitulasi, dan mengadakan kontak dengan pemukim China; tidak diketahui apakah orang Inggris itu adalah orang yang sama yang terdapat dalam catatan Le Jong, 1986. Lihat Wan Saleh Tamin, 1972.

257 perubahan. Tsiang Tiang Chun, seorang konsul jendral China di Batavia yang mengetahui rencana ini, menulis kepada Letnan Jendral Belanda; van Mook, meminta agar Belanda membatalkan rencana itu yang akan membahayakan keselamatan orang China lainnya diseluruh wilayah republik, akan tetapi, ternyata permintaan ini nampaknya sia-sia saja. Belanda, dalam tahun-tahun revolusi juga melakukan propaganda termasuk melalui media pers untuk secara ekspresif menyatakan bahwa masyarakat China di eks Hindia merupakan salah satu unsur dari kekuatannya. Meskipun, aksi ini nampaknya tidak berhasil menghimpun sejumlah kekuatan yang sedianya menjadi modal dalam melakukan re-kolonialisme, akan tetapi Belanda telah berhasil menanamkan politik adu-dombanya yang memposisikan sikap berhadaphadapan antara orang Indonesia dan China, seperti yang terjadi di Bagansiapiapi; bahwa akhirnya Belanda benar-benar kembali ke Bagan dalam suatu aksi militer ditahun 1948, saat itu, situasi secara umum bahwa Bagansiapiapi tidak dalam posisi untuk berpihak pada Belanda.403 Bagaimanapun juga, sedari awal sesungguhnya Belanda tidak pernah benar-benar berniat untuk melepas Bagansiapiapi. Pada bulan Oktober, konsul Belanda di Singapura, meminta kepada perwakilan China disana untuk segera mengirimkan bantuan obat-obatan ke Bagansiapiapi menggunakan kapal perangnya, permintaan yang lagi-lagi ditolak dengan alasan yang memang dapat dipahami mengingat latar konflik 1946.404 Belanda, akhirnya kembali memainkan peran lamanya sebagai suatu kekuatan utamanya di perairan selat Melaka; aksi blokade. Meskipun demikian, nampaknya untuk suatu alasan, Belanda mengizinkan suatu pelayaran dari Singapura menuju Bagansiapiapi yang bermuatan obat-obatan, makanan dan pakaian; dan kapal kembali dengan memuat kayu dan ikan menuju Singapura.405 The Singapore Free Press tanggal 10 Oktober 1946 menulis sejumlah 1500 pengungsi berasal dari Bagansiapiapi, telah mencapai Pulau Ketam dan sejumlah lainnya mendarat dipantai Selangor Malaysia, yang terbagi dalam perahu-perahu kecil, pengungsi yang dikatakan berasal dari konflik rasial.406 Beberapa kelompok yang terus saja berdatangan ini, separuh dari mereka adalah perempuan dan anak-anak; dipantai Kuala Selangor mencapai 350 orang, dan sebagaimana diketahui bahwa

403

Serangkaian catatan menunjukkan bahwa Belanda begitu percaya diri, bahwa mereka akan kembali lagi berkuasa di wilayah eks Hindia, termasuk Bagansiapiapi. 404 Konsul Belanda di Singapura, M.F.Vigeveno, menyampaikan tiga ton obat-obatan kepada Konsul Jendral Tiongkok di Singapura, dr.Wu Paak Shing, yang dimaksudkan untuk korban konflik di Bagansiaiapi. Semula obat-obatan telah dimuat dikapal Perang Belanda, akan tetapi segera dipanggil pulang dan selanjutnya dua orang utusan Tionghoa-indonesa yang akan pergi ke Bagansiapiapi untuk mencoba mencari suatu solusi damai. Pandji Ra’jat, 11 Oktober 1946. 405 Akan tetapi, sebelum kembali ke Singapura diharuskan untuk diperiksa oleh Belanda terlebih dahulu, Pelita Ra’jat, 30 September 1947. 406 Berita berjudul “Chinese Evacuate Api Api.” Sementara itu, pemberitaan yang sama dari The Straits Times, 10 Oktober 1946, Bagan Api Api Fisherfolk To Settle Here.

258 hingga awal Oktober 1946 sejumlah kelompok kecil masih terus saja berdatangan 407 sehingga tercatat telah mencapai angka lebih 2000 jiwa.408 Sementara itu pula, simpang siur berita tentang konflik anti China yang beredar di Singapura dan Semenanjung, berita yang umumnya terlihat memojokkan pemerintah republik: seperti jumlah korban jiwa yang belum melalui penyelidikan resmi, perlakukan terhadap perempuan dan anak-anak diluar batas, dan tekanan-tekanan terhadap pemerintah Indonesia atas peristiwa itu; Sebuah sumber di Singapura menuliskan: “….Mengapa Hitler gagal? Dan mengapa pula imperialisme Jepang dikalahkan? Setiap orang tahu kisah ini dengan benar. Sejarah memberikan kita bukti lainnya bahwa negeri yang menjadi tempat imperialisme dan kekerasan akan menghancurkan dirinya sendiri. Kita telah beberapa kali mengingatkan pemerintah Indonesia, sebagaimana presiden Chiang telah berulangkali mengungkapkan melalui korespondensi luan negeri, bangsa China bersimpati terhadap pergerakan Indonesia…. Permintaan serius agar pemerintah Indonesia menghentikan adanya tindakan pembantaian terhadap orang China… darah di Tangerang belumlah mongering, disini muncul pula insiden lainnya di Bagan, kami tidak dapat menanggungkannya lebih lama lagi…”409 Tekanan kuat bagi perjuangan republik ini, sebagaimana digambarkan oleh H.M.Lutfi410 dalam tulisannya sebagai: “Badai Taufan yang kita tempoeh; Oetang Bidoek Beloem Loenas, Toekang Dajung Menagih Poela.” Pasca pertempuran dua hari 18-19 September itu, antara TRI dan orang China di Bagansiapiapi, Bagan pun telah terputus hubungannya dengan pedalaman yang berarti tidak terdapat lagi persediaan makanan yang akan datang dari sana, lalu meminta bantuan ke Medan dan juga Singapura. Terdapat juga berita, bahwa jika pihak TRI melakukan penyerangan kembali, maka pemukim China Bagan akan melakukan taktik bumi hangus.411 Tidak cukup disitu, dikatakan dalam editorial Chung Nan Jih Pao yang ditulis Ta Kung Pao, berencana akan mengirimkan kapal perang “FU PO” yang sedang bersandar di pelabuhan Singapura menuju Bagansiapiapi untuk

407

“More Api Api refuges reach Malaya.” Singapore Free Press, 11 Oktober 1946. Surat Sekretariat Jendral Inggris di Singapura kepada Konsul Belanda, tanggal 18 Oktober 1946. 409 An Urgent Appeal for the Overses Chinese in the Netherlands East Indies, Ed, Te Kung Pao, 24 Sptember 1946. 410 Sumber Penerangan, 30 September 1946. 411 Soeloeh Ra’jat, 27 September 1946: “Keadaan di Bagan Si Api Api, Tuan Gani akan Bertindak;” menurut berita surat kabar “Mayung Siang Pao, kalangan Tionghoa di Singapura berpendapat, orang-orang Tionghoa di Bagansiapiapi itu, akan terpaksa menjalankan politik “Boemi Angoes” apabila orang-orang Indonesia menyerang kembali. 408

259 mengevakuasi terutama kaum perempuan dan anak-anak menuju Singapura.412 Salah satu sumber Belanda bahkan menyebutkan bahwa hasil diskusi perwakilan Chiang Kai Sek memandang bahwa diperlukan untuk mengirim pasukan untuk mengamankan kepentingan China disana.413 Akan tetapi, munculnya rumor, ataupun dugaan akan sikap-sikap itu, nampaknya lebih didasari rasa cemas dan kekuatiran bahwa pihak Indonesia akan menghimpun bantuan dan melakukan serangan balasan yang lebih besar dan berdampak meluas ketempat lainnya. 414 Hal itu terlihat dari sikap Konsul China di Singapura dan Medan yang mendesak untuk segera dilakukannya suatu upaya penyelesaian konflik di Bagan, dengan mengirimkan delegasi kesana; bahkan, konsul China di Kuala Lumpur, menurut sebuah sumber korespondensi China disana, telah meninggalkan Kuala Lumpur menuju Bagansiapiapi, sebelum delegasi konsul China SIngapura dan Medan, beserta delegasi dari Gubernur Sumatra. 415 Betapa pun juga, konflik September 1946 itu memunculkan beragam penafsiran diberbagai kalangan, seperti; Antara, melansir bahwa pertikaian Bagansiapiapi itu merupakan hasil konspirasi Imperialisme Inggris-Belanda dengan memanfaatkan pihak China Bagan yang dikatakan kurang berpengetahuan dan juga unsur di pihak Indonesia yang tidak bertanggungjawab, bahkan dikemukakan bahwa sebelum konflik September, telah terjadi gesekan dengan skala dan intnsitas yang lebih rendah berkaitan dengan insiden Bendera pada bulan Maret 1946, kemudian disusul dengan tibanya sepasukan kecil Belanda di Bagan dan kemudian mereka pun berlalu, yang memunculkan dugaandugaan telah meninggalkan sejumlah senjata disana. 416 Adapun Peristiwa sebelumnya, Maret 1946 yang dikenal dengan “Insiden Bendera”, Gubernur Sumatra, Mr.Hassan melihat bahwa pecahnya konflik sebagai akibat adanya upaya pendirian “negara dalam negara”(Een Staat in Staat). Berita jang diterima menerangkan, bahwa baroe2 ini telah terjadi insiden antara bangsa Indonesia dan Tionghoa di Bagan Siapi-api, Soematra Timoer, karena pendoedoek Tionghoa jang terbesar disana mempoenjai persendjataan yang lebih banjak dari bangsa Indonesia dan berniat

412

Cosulaat Generaal der Nederlanden te Shanghai, 9 Oktober 1946, Chineesche Pers: “Chinese Warship Asked To Go To Save the Chinese in Bagan,” Ta Kung Pao. Pemberitaan surat kabar di Singapura juga terdapat kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Bagan. 413 Bahwa perwakilan Kuo Min Tang di Padang; Oeh Kioeh Peng melalui diskusinya, dalam Lembar Geheim, “Het Incident Bagan Si Api Api (De Onlusten in Bagan Si Api Api in Maart – September 1946, afgesloten, 20 Oktober 1948, Koleksi ANRI. 414 Soeloeh Ra’jat, 26 September 1946, “Perkelahian Hebat di Bagan Si Api Api: Perkelaihan chawatir akan meluap ke tempat lain.” 415 Sebagaimana diberitakan oleh The Straits Times, 27 September 1946, Consul For Bagan Api Api: bahwa Konsul China di Kuala Lumpur, Mr.M.S.Hsu, dengan kapal motor yang disediakan oleh asosiasi perdagangan di Klang, segera menuju Bagan. 416 Antaria(Pematang Siantar), 5 Oktober 1946, “Bagan Si Api Api.”

260 mendirikan negara dalam negara, serta menaikan bendera Tiongkok, tapi tidak mengibarkan sang Merah Poetih. 417 Pers republik memandang bahwa kejadian Bagansiapiapi itu terus saja dibesarbesarkan NICA yang menginginkan perpecahan diantara kelompok-kelompok di Indonesia. Tentu saja, kekisruhan politik dan keamanan di Bagan dapat dimanfaatkan bagi Belanda yang ingin kembali berkuasa sebagai Tuan seperti saat sebelum Jepang tiba. Reaksi pemerintah Indonesia, untuk benar-benar dapat menepis tuduhantuduhan yang sedianya akan merugikan perjuangan repubik; bukanlah mengirimkan pasukan perang, melainkan diutusnya tim pendamai menuju Bagansiapiapi yang terdiri dari orang-orang Indonesia dan China pada akhir September 1946. Sementara tim pendamai masih melakukan pekerjaannya, Gubernur Hassan, dalam pertemuannya dengan Konsul China, menyatakan bahwa kerusuhan di Bagansiapiapi juga disebabkan orang-orang China itu tidak mau menyerahkan senjatanya. Dan pada kesempatan itu juga sang Gubernur menolak permintaan konsul untuk mengirimkan bantuan dengan menerjunkannya melalui pesawat udara. Sebab dikuatirkan pihak Indonesia disana akan menyangka merupakan bantuan NICA sehingga konflik serupa akan terulang kembali.418 Sementara itu hasil amatan tim pendamai Bagansiapiapi bahwa mereka tidak menemui serdadu NICA yang dikabarkan telah berada di Bagansiapiapi; kantor pemerintahan tidaklah mengalami kerusakan berat, melainkan rusaknya pintu-jendela sebagai akibat pengrusakan dan penjarahan; tidak ditemui jejak tembakan hebat dari senapan mesin atau granat dan semacamnya, bahwa juga tidak didapati adanya bangunan-bangunan pemerintah maupun penduduk yang hangus terbakar dan rubuh, bahwa pemandangan menyolok di Bagansiapiapi, seluruh penduduk Indonesia (pribumi), telah kosong semuanya ditinggalkan sang pemilik, dimana penghuninya telah mengungsi ke Tanah Putih dan sebahagian ke hutan-hutan disekitar Bagansiapiapi. Bekas-bekas pertempuran adalah sebagaimana pemandangan di jalan raya yang menunjukkan masih terdapatnya barikade yang dijaga oleh orang China bersenjata api. Meskipun dilaporkan situasi telah aman, tidak dipungkiri kondisi masih tetap dalam keadaan gelisah. 419 Nampaknya, dukungan persenjataan yang dimiliki oleh pemukim China di Bagansiapiapi, menyebabkan mereka sebenarnya berada diatas angin pada konflik di Bagan, akan tetapi, tidak sebagaimana yang terjadi di Panipahan, Kubu, Labuhan Tangga, dan Tanah Putih. Dari segi phisik, seperti di Panipahan dari sejumlah 328 rumah, telah habis terbakar dan hanya menyisakan sejumlah 27 rumah saja.420 Konflik antara TRI dan orang-orang China ini, nampaknya hanya terjadi di lingkup Kewedanaan khususnya kota Bagansiapiapi, sementara dibanyak diwilayah-wilayah kekuasaan Republik dimasa 417

Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, 28 Maret 1946, koleksi: Nederlands Instituut voor oorlogsdocumentatie. 418 Soeloeh Ra’jat, 5 Oktober 1946; “Kegadoehan di Bagansiapiapi, Penjelasan Gubernur Hassan.” 419Merdeka: Suara Rakjat Republik, 25 Oktober 1946, “Pemberesan Bagansiapiapi: Keadaan aman, tetapi masih gelisah.” 420 Nedelandsch Indisch Roode Kruis, Afdeeling Oostkust van Sumatra, 25 Oktober 1946,

261 revolusi phisik, TRI dapat mengontrol situasi. Kasus di Bagansiapiapi, terjadi perlawanan hebat terhadap TRI yang disebabkan kelengkapan senjata. Twang Peck Yang berpendapat bahwa pengalaman sebagai pedagang danbang dimasa kekuasaan Jepang, dan fungsi baru Singapura sebagai sentra penjualan senjata gelap, menyebabkan dapat dipahami kelengkapan persenjataan pemukim China di Bagansiapiapi.421 Semenjak iklim anti China merebak, sejumah besar orang China eksodus ke Singapura dan semenanjung, seperti hingga pertengahan tahun 1946, tercatat sekitar 5000 orang dari Jawa dan Sumatra menuju Singapura, bahkan, dari pantai timur mencapai 10.000 jiwa hingga berakhirnya aksi militer I Belanda. 422 Di Bagansiapiapi, konflik yang pecah terutama pada 18-19 September 1946, telah menimbulkan serangkaian dampak pengungsian besar-besaran terutama yang berasal dari Panipahan. Meskipun demikian, merebaknya iklim anti China pada era revolusi phisik, tidak dapat dilihat sebagai phenomena yang berdiri sendiri, melainkan sebagai salah satu dampak dari kebijakan rasis khas kolonial yang membelah keberpaduan masyarakat Indonesia untuk berdiri dalam posisi saling curiga dan penuh prasangka. Untuk itu, kita akan memulai penjelasan konflik 1946 di Bagan ini dengan menelusuri keberadaan Orang China di Hindia beserta sikap-sikap politis dan kaitannya dengan Revolusi Indonesia. Bahwa sebagaimana para ahli sosial terutama multikulturalisme, persoalan-persoalan pemukim China di Indonesia sebagai akibat latar historisnya.

Konfigurasi Etnis China di Hindia Belanda Indonesia sebagai negara bangsa, memiliki pemahamannya sendiri dalam memaknai masyarakat multikulturalisme. Secara konsepsi, negera lebih merujuk pada sifat-sifat hukum, dan sementara “bangsa” terkait pada tatanan sosiobudaya dan politik; bangsa adalah komunitas sejarah yang lebih kurang lengkap secara kelembagaan yang menduduki wilayah tertentu atau tanah air, yang berbagi bahasa dan budaya yang spesifik. 423 Indonesia sebagai bangsa, muncul sebagai akibat tekanan penjajahan kolonial Belanda kemudian Jepang, dan bertujuan terutama mengusir para penjajah itu, dan segera bernaung dalam satu kesatuan negara modern, setara dengan negara dan bangsa lainnya dalam perdamaian dunia. Sayangnya, pada masa pembentukan benih-benih nasionalisme kebangsaan itu, tokoh China cenderung tidak terlibat dan tidak dilibatkan, dan bergerak pada nasionalismenya sendiri, tidak tergabung dalam pergerakan nasionalis pribumi; meski ada yang bergabung, namun tidak terlalu berhasil. Alasan situasi itu, dapat ditemukan dalam kesejarahan nasionalisme China

421

Tan Pok, seorang China terkaya di Bagansiapiapi pada masa revolusi, meskipun diduga atas peran dalam perdagangan penyelundupanlah berasalnya senjata orang China di Bagansiapiapi, akan tetapi, Tan Pok jugalah yang diakui dari kelompok China bagan, berperan dalam penyelesaian damai sengketa Maret dan September 1946. Lihat Twang Peck Yang, hal.432. 422 Twang Peck Yang, hal.194. 423 Kymlicka, 1995, hal.11.

262 itu sendiri. Leo Suryadinata, membagi dalam empat golongan besar orang China sejak era Hindia Belanda hingga pendudukan Jepang; Sin Po, Chung Hwa Hui, Partai Tionghoa Indonesia, Identitas Ganda di era Jepang. Sin Po, sebagai surat kabar yang dikelola peranakan didirikan pada tahun 1910 di Jakarta; merupakan pendukung nasionalis China; mendukung penyatuan peranakan & totok, pemberian status Eropa bagi China lokal serta pendidikan bagi anak-anak peranakan; dukungan terhadap gerakan politik di China serta tidak ambil bagian dalam politik lokal. Chung Hua Hui, didirikan oleh kaum peranakan tahun 1928 yang berbeda dengan Sin Po yang melihat Negara China sebagai pelindung, melainkan menempatkan sepenuhnya kerangka kolonial sebagai tempat bernaungnya. Kemudian Partai Tionghoa Indonesia, berbeda dengan dua sebelumnya, partai ini berdiri tahun 1932 yang benar-benar melihat Indonesia untuk melakukan pembangunan ekonomi, sosial dan politik, bahwa, penguatan kaum peranakan pada dasarnya untuk pencapaian tujuannya itu. Terakhir, seiring masuknya Jepang, maka situasi berubah. Para pemimpin anti-Jepang ditawan, dan ada yang bekerja sama dengan pihak Jepang, dan juga terdapat didalam BPUPKI(Badan penyelidik usaha-usaha kemerdekaan Indonesia). 424 Bahwa sebelum sikap politis China ini mengkristal sedemikian, maka konstruksi sejarah masyarakat China di Hindia Belanda pada abad ke-19, awalnya mereka belumlah terkondisikan dominan dalam perekonomian; akan tetapi pada tahun 1854 mereka diperlakukan tidak sama dengan pribumi dengan berbagai macam alasan. Atas permintaan dari para pedagang Belanda, orang Timur Asing hak-hak perdagangan Timur asing di Hindia Belanda sama sebagai halnya orang Eropa. China, yang jatuh di bawah Timur Asing ini, memiliki hak-hak tertentu yang tidak dimiliki orang Indonesia. Pemerintah kolonial membuat perbedaan yang jelas antara pribumi dan China di Hindia Belanda. China, mampu mengambil keuntungan dari posisi mereka yang baru diperoleh, yang ternyata menjadi keuntungan besar bagi mereka dalam jangka panjang. Di kalangan penduduk China berpegang pada tradisi untuk mempertahankan budaya dan kembali ke kampung halaman. Banyak dari imigran China di Hindia Belanda meninggalkan negerinya sebagai buruh berharap untuk akhirnya, kembali ke tanah air. Namun, tampak bahwa semakin banyak migran China menetap di periode ini di koloni. Pemetaan China, semakin jelas, menunjukkan dominasi ekonomi di Jawa berada pada peranakan, sementara kaum singkeh berada diluar Jawa seperti Sumatra. Perbedaan umum lainnya menyangkut domisili; perkotaan didominasi peranakan, singkeh biasanya berada di pedesaan. Meningkatnya jumlah imigran China pada abad ke-19, ternyata tidak disertai kaum perempuan; hal yang berbeda di abad ke-20. Sebagaimana yang juga terjadi di Bagansiapiapi, adalah penting, karena lebih banyak perempuan China di Bagansiapiapi yang tiba, sehingga kaum lelakinya yang sudah tiba lebih dulu tidak lagi “terpaksa” untuk menikahi perempuan diluar kelompoknya. Hal ini menyebabkan generasi anak-anak China dibesarkan dengan bahasa, budaya dan tradisi China sendiri. Selain itu, peningkatan imigran China ini yang menumbuhkan kekuatan tersendiri dalam lingkup Hindia, bertepatan dengan munculnya gerakan 424

Suryadinata, 2002, hal.28-39.

263 nasionalis China yang mempromosikan ide identitas China secara umum. Kondisi ini, ditengarai menjadikan Batas-batas antara orang-orang China dan Indonesia, akhirnya menjadi lebih tajam dari sebelumnya. 425 Gerakan reformis Khonghucu Kang Youwei dan aliran lainnya dari gerakan Pan China telah mendorong nasionalisme China baik peranakan maupun totok, penyebaran besar-besaran sekolah China di tahun 1900 yang dipelopori Tiong Hoa Hwee Koan di Batavia; bahwa organisasi ini didirikan untuk menyatukan peranakan dan totok di Hindia Belanda. Penyatuan ini, menjadi kekuatan yang dikuatirkan Belanda, bahwa mereka akan menjadi lebih sulit untuk dikontrol; realita bahwa Tiong Hoa Hwee Koan merupakan refleksi dari menghadapi satu lawan bersama: Belanda. Selain itu, tentu saja keputusan itu telah melahirkan generasi-generasi yang cenderung tidak koorporatif dengan Belanda. Menghadapi ini, Belanda bergerak untuk melakukan pemecahan orientasi dari kerangka masyarakat China di Hindia, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai macam kelompok dan aliran, dialek, yang terkutub pada peranakan dan singkeh. Salah satunya, Belanda mendorong untuk didirikannya sekolah dasar dan membujuk orang China peranakan untuk menjauhi nasionalisme China dan menjadi warga Hindia Belanda yang setia.426 Pada saat itu di Hindia Belanda terdapat 75 sekolah China modern, dengan total sekitar 5500 siswa. Pemerintah kolonial melihat sekolah-sekolah ini semakin hari sebagai ancaman dan mereka mulai merasa takut akan kehilangan pengaruh pada populasi ini. Hal yang menyebabkan pada tahun 1908 dengan berdirinya HCS., dimana dengan pertumbuhan dan reorganisasi sekolah Tionghoa, berarti bahwa semakin banyak orang Tionghoa berbahasa China di Hindia Belanda dan menyadari asal China mereka, termasuk budaya dan tradisinya. Tidak hanya dikalangan orang-orang China saja, akan tetapi juga negara China sendiri memberikan pengaruhnya pada hubungan sosial antar kelompok etnis di Hindia Belanda. Pengaruh pemerintah China misalnya muncul dalam memberi dukungan kepada organisasi pendidikan Cina di Hindia Belanda. Pemerintah China, selain mengirim guru, juga mengirimkan pengawas sekolah ke Hindia Belanda untuk memastikan tingkat pendidikan. Pada saat yang

425

Hingga periode 1930, diketahui bahwa mayoritas China di Hindia didominasi oleh keturunan pertama dan kedua yang berasal dari Tiongkok, perolehan pengajaran ke-China-an disekolahsekolah, sosialisasi nilai budaya oleh keluarga dimana ayah dan ibunya adalah totok, dan juga kondisi bangsa Indonesia yang sedang bangkit nasionalismenya, menyebabkan tumbuhnya juga kesadaraan nasionalisme dikalangan China Hindia, yang berorientasi pada tanah leluhurnya. Coppel, 1983, hal.34. 426 Aksi Belanda ini, bertujuan memecah-belah masyarakat China Hindia seiring dengan menguatnya nasionalisme pan China, dan kali itu, Belanda berhasil membentuk kelompok China berpendidikan Belanda, dan bahkan menjadi warga Negara Belanda-Eropa; kondisi ini tidak saja menjauhkan kelompok ini pada kelompok China lainnya di Hindia, juga menjauhkannya terhadap gerakan nasionalisme kebangsaan Indonesia yang sedang tumbuh subur. Lihat Peck Yang

264 sama, digunakan metode pengajaran dan kurikulum yang sama di sekolah-sekolah China layaknya di China. Tidak terkecuali Bagansiapiapi, kehidupan bidang Pendidikan mulai bergerak, paling tidak telah dimulai pada tahun 1912, dimulai dari Perpustakaan Bing Tik (Ya zi bo Xia).427 Lebih jauh diceritakan bahwa tahun 1916 berdiri secara resmi Sekolah King Jun yang berlokasi di Jalan pelabuhan Hai Khao Kue (sekitar Sungai Garam). Setelah terjadi kebakaran besar di Bagansiapiapi tahun 1920-an yang menyebabkan dunia pendidikan Bagansiapiapi terkendala, kembali pada tahun 1923 Sekolah Bingtik diresmikan. Adapun tahun 1930-an, dunia pendidikan di onderafdeeling Bagansiapiapi berdasarkan catatan kontrolir sebagai berikut: selama Tahun 1933 ……. Sekolah negeri saat ini di lanskap Labuhan Tangga, Bantayan, Tanah Putih, Rantau Bais, Sedinginan, Sintong, Bangko, Kubu dan Pasir. Akan tetapi di Bagansiapiapi terdapat dua Sekolah China modern Keng Tjoen; sekolah dengan 9 guru dan 250 murid, dan kemudian sekolah dengan 5 guru dan 150 siswa, yakni sekolah Hin Tek; Sejak April 1928 untuk sementara didirikan Sekolah Belanda-China yang disubsidi di bawah pimpinan misi Katolik dengan 5 guru dan 120 siswa. Beberapa pribumi terkemuka juga telah menciptakan kesempatan khusus untuk mengajarkan Bahasa Belanda, salah satunya guru di HCB di bawah pengawasan distrik negara dan Dewan Jaksa sebagai direktur. juga tempat sekolah pribumi kelas kedua dengan 5 guru dan 271 murid 428 ….Di sekolah China Partikelir sekarang banyak diajarkan penulisan karakter China dan juga tentang China..… oleh karena itu dapat dimengerti bahwa generasi muda, tidak seperti di tempat lain, disini (kaum muda China) tidak mengerti bahasa Melayu).429 Di Bagansiapiapi, pencapaian pendirian Sekolah Belanda China juga terlibat disana misi Khatolik. Adapun kehadiran kelompok misionaris ini adalah pada tahun 1928, dimana sekelompok misionaris kapusin pimpinan Benitius Pijnenburg menetap di Bagansiapiapi. Kehadirannya diawali dengan pembukaan sekolah “Holland Chineesch School” sebagaimana tercatat pada tahun 1928, yang acara pembukaannya dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintahan distrik, mulai dari Kontrolir, Luitenan der Chineezen, kepala distrik, sampai dengan hadirnya Sultan Siak di Bagansiapiapi. Selain itu, nampaknya organisasi ini juga membuka sejumlah kursus dan panti jompo, dan hingga tahun 1941 tercatat sejumelah 375 orang China dan 39 orang Eropa memeluk

427 Sejarah Pendidikan

di Bagansiapiapi 1912 – 1953, bersumber dari Buku San Nian Hen Yu (Jejak 3 Tahun), Tahun 1953, sebagaimana diceritakan dalam Bagansiapiapi Online Network; 428 Dilihat dalam ANRI (MVO) Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi; 30 agustus 1934 Hal 36. Laporan dari Controleur Boudewijn van duuren. 429 MVO van Bagansiapiapi, 1938. Hal 1-2

265 agama katholik.430 Adapun Kisah Biarawati yang bertugas di Bagansiapiapi 431 hingga era perang Dunia II, dimana kelompok warga Eropa Bagansiapiapi di internir Jepang di Kamp Padang, Bangkinang dan Sumatra Timur, dapat menjelaskan situasi orang Eropa Bagansiapiapi pasca Kapitulasi Belanda kepada Jepang Tanggal 8 Maret 1942.432 Untuk kehidupan keagamaan Orang Melayu, dalam hal ini Agama Islam, sejak diterbitkannya Baboel Kawaid tahun 1901, Sultan mendorong penerapan Islam diseluruh kewilayahan Siak, termasuk juga pada sub-sub distrik onderafdeeling Bagansiapiapi. Hal yang menyolok adalah, kuatnya perkembangan tarekat yang terkonsentrasi di distrik Bagansiapiapi lebih dari distrik-distrik lainnya dalam wilayah kesultanan Siak;433 bahwa Bagansiapiapi saat itu sebagaimana terdapat sebuah berita tentang pendirian Mesjid di Brastagi yang ternyata didukung oleh komunitas Islam yang berada di Bagansiapiapi.434 Hal ini adalah salah satu realita tentang terjalinnya suatu jejaring hubungan antara komunitas muslim di kawasan pantai timur Sumatra termasuk Onderafdeeling Bagansiapiapi; bahwa masa sebelumnya, kelompok Tarekat yang berkembang menjelang akhir abad ke-19, sejumlah khalifah yang berasal dari Tanah Putih dan Kubu telah dilantik dari Kelompok Tarekat Naqsabandi yang terletak di Besilam Langkat.435 Bahwa sekolah China sebagai sekolah China-Belanda, yang didanai oleh pemerintah kolonial, akan tetapi tidak dapat diakses oleh penduduk pribumi; selain juga sebagaimana telah disampaikan, model pendidikan membuat banyak generasi muda China tidak mengerti selain etnisnya sendiri. Selain itu, di Bagansiapiapi menunjukkan keterlibatan penuh Eropa dalam “kesuksesan” sekolah itu; sesuatu yang tidak dilakukan terhadap kalangan pribumi. Dan ini, tentu menjadi salah satu penyebab terjadinya penekanan perbedaan etnis antara China dan Indonesia. Selain itu,

430

End & Weitjens, 2003: 448-449, dilihat dalam Laporan “Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau”, oleh Tim Balai Arkeologi Medan, Universitas Sumatra Utara dan Akademi Pariwisata Medan: Lucas Partanda Koestoro, Taufiqqurahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna & Rita Margaretha Setianingsih, (tanpa tahun). 431 Seperti kisah dalam “Verlag Van Het Eerste Jaar Dat de Zusters op Sumatra werkten, dalam Sumber Online; 432 Seperti kisah berikut: Zuster Margaretha werkte vanaf 1928 tot aan de oorlog in Bagansiapiapi in het tegenwordige bisdom Padang,…… Dalam “Abstracts Van Interviews met Missionarissen”: Pijnappels,C.M, dalam Sumber Online. 433 Amir Luthfi dalam “Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942,” tahun 1991. 434 Dilihat dalam Daniel Peret, (Terjemahan)Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, Judul asli: La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & malais de SumatraNord-Est, Paris 1995, Edisi terjemahan Cetakan pertama Tahun 2010, hal.236 435 Dilihat dalam Buku Sejarah “Syekh Abdul Wahab: Tuan Guru Babussalam”, H.Ahmad Fuad Said, Penerbit Pustaka Babussalam, Cetakan ke-2 Tahun 1976, hal.119-120. Tarekat Naqsabandi ini benar-benar dikembangkan di wilayah kesultanan Siak pada sekitar tahun 1912, Amir Luthfi, 1991.

266 tumbuh dan berkembangnya keorganisasian Islam di Bagansiapiapi, juga merupakan tanda penguatan simbol-simbol yang berbeda antara pribumi dan China di sana, ataupun keberadaan organisasi China di Bagan tidak dapat menjadi katalisator integrasi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.436 Dengan demikian, bahwa kesemua itu menunjukkan tertanamnya benih-benih mempertajam konfigurasi sosial berlatar etnis di Bagan Api Api.

yang

Akan tetapi, sebagaimana telah disampaikan, etnis China sendiri bukanlah kelompok yang homogen; dimana terdapat perbedaan budaya yang besar dan dialek yang berbeda, sebagai situasi umum saat tiba di Hindia Belanda. Perbedaan dalam masyarakat Tionghoa ini, kemudian diperkuat dengan munculnya perbedaan yang berasal dari totok (imigran Cina di koloni) dan Peranakan (keturunan campuran). Menjelang keruntuhan dinasti Qing di China Daratan, pemerintahannya meminta bantuan orang-orang China di Hindia Belanda, dan kemudian Undang-undang yang disahkan pada tahun 1909 menyatakan bahwa semua etnis China adalah warga China. Runtuhnya dinasti lama berganti dengan republik ditahun 1911; meraih banyak dukungan dan simpati dikalangan China di Hindia Belanda, dengan demikian, harapan pembauran antara kelompok pribumi nasionalis dengan orang-orang China, semakin menjauh saja. Jika terjadi masuknya seorang dari kelompok etnis China kedalam organisasi pergerakan nasionalis, maka biasanya akan diterima dengan status yang tidak penuh, dan ini, nampaknya berkaitan dengan konsep bangsa yang terkait dengan apa yang disebut Belanda sebagai “Inlanders” atau pribumi.437 Tidak terintegrasinya orang China dengan pribumi ini, menurut Hatta, pasca pendudukan Jepang, orang China tetap memiliki posisi ekonomi lebih tinggi daripada orang-orang Indonesia pada umumnya, salah satu faktor bagi suburnya sentimen anti China pada masa revolusi. 438 436

Bahwa terdapat suatu organisasi China dimana keanggotaannya harus melalui pengucapan sumpah menurut adat dan kepercayaan China, sehingga dipandang oleh kerapatan di Bagan telah melanggar adat kesultanan Siak; sebagai suatu ancaman terhadap identitas Melayu, orang Melayu yang masuk menjadi anggota organisasi ini, dipandang telah melanggar adat, Amir Luthfi, 1991. 437 Anderson, 1991, jelas saja, Belanda menempatkan pribumi dalam strata terendah masyarakat Hindia Belanda. 438 “Pihak Jepang… telah memanfaatkan warga China sebagai alat. Memang benar bahwa masyarakat China sendiri telah mengalami banyak kesulitan dalam posisi mereka sebagai alat Jepang, namun demikian, mereka tetap mampu mempertahankan posisi ekonomi mereka untuk tetap diatas. Karena alasan inilah masih dijumpai sebentuk perasaan tidak suka terhadap masyarakat China. Suatu perasaan yang cenderung menguat. Sering kita dengar orang mengeluh, orang China selalu punya kedudukan yang bagus. Dizaman kolonial Belanda mereka diatas. Ketika Jepang berkuasa, mereka masih tetap diatas. Jika Jepang menang, mereka akan dilindungi pemerintah Nanking, jika sekutu yang menang mereka akan dilindungi pemerintah Chunking, inilah bentuk-bentuk perasaan yang terungkap dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Perasaan ini pula yang seringkali membangkitkan rasa permusuhan yang berujung kerusuhan antara masyarakat Indonesia dengan China.” Hatta pada dalam Twang Peck Yang, 166-7.

267 Jika pada masa sebelumnya, dominasi ekonomi dikuasai oleh peranakan, maka masa pendudukan Jepang menunjukkan pertumbuhan kaum totok mengejar posisi peranakan yang dominan pada masa sebelumnya.439 Akan tetapi, nampaknya hak-hak istimewa ekonomi China bukan satu-satunya alasan untuk tumbuhnya sentimen anti-China dari orang Indonesia. Politisasi kelompok-kelompok etnis menyebabkan ketegangan yang meningkat antara kelompok-kelompok ini. Pentingnya melihat betapa terhalangnya “pembauran” antara orang China dan pribumi dalam rentang periode kolonial, bukan sebagai sebuah sikap-kebijakan Belanda semata, melainkan juga pilihan-pilihan baik sadar ataupun tidak yang dilakukan oleh orang-orang China, terutama terkait dengan hal-hal politis.440 Seperti yang terjadi di Jawa, dimana kolonialisme telah menyebabkan surutnya prestise elit pribumi dan menaikkan kelompok China ke lapisan penting dalam struktur masyarakat Hindia, sehingga, orang-orang China menjadi tidak tertarik untuk berpihak kepada pribumi. Sementara itu meluasnya kekuasaan Belanda di wilayah pantai timur termasuk Siak dimana berlokasinya Bagansiapiapi, dan serangkaian proses menyebabkan merosotnya prestise penguasa Melayu dan menguatnya posisi China di Bagansiapiapi; penguasaan pengelolaan sumber daya sebagai daya dorong keatas; akan mengukuhkan jejaring orang-orang China disepanjang pantai timur dan juga Semenanjung. Bermula sebagai pemegang pacht(hak sewa), kekuatan ekonomi menempatkan kemudahan dalam jalinan hubungan tradisional dan orientasi yang tidak melibatkan pribumi. Pada tahun 1928, Orang China mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan, Chung Hua Hui; yang dimana dimotori oleh kelompok peranakan dan tidak melibatkan totok. Arah dari institusi ini menjadi jelas dengan digunakannya bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Bahwa satu dekade setelah pendirian sekolah Belanda China, Belanda kembali menawarkan status kewargaan (kekawulaan) yang jumlahnya terus meningkat. Disebut-sebut pendirian Chung Hua Hui telah berhasil memecah masyarakat China yang semula sangat berorientasi negeri leluhur, sebahagian berpindah kepada Belanda; memisahkan sekelompok elit dari kelompoknya yang lebih besar. Anti tesa dari kondisi ini adalah seperti pada tahun 1932, Partai Tionghoa Indonesia didirikan. Jika sebelumnya Chung Hua Hui merupakan lembaga ekslusif yang semakin melebarkan jurang keterpisahan dengan pribumi, pendirian Partai oleh peranakan China ini, bertujuan untuk mereformasi Indonesia secara ekonomi, sosial dan politik di negara di mana setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Partai Tionghoa Indonesia yakin bahwa China harus dimasukkan dalam masyarakat Indonesia, tetapi, populasi ini bisa sekaligus berpegang pada budayanya sendiri. 441 Meskipun upaya dari pihak China peranakan untuk memberikan kekuatan etnis bagi perjuangan Indonesia, diyakini saat

439

Hal ini merupakan inti dari tesis Peck Yang. Muaja, The Chinese problem in Indonesia, Jakarta, 1958, dalam Coppel, 1983, hal.37. 441 Suryadinata, indegenous Indonesia, 64, 74-77. 440

268 itu kalangan Indonesia tidak siap menerima peranakan China sebagai warga negara penuh Indonesia.442 Sayangnya, politisasi etnis ini, tidak mendorong asimilasi penduduk China kedalam masyarakat Indonesia, tetapi sebaliknya, semakin memperkuat saja perbedaan etnis itu. Batas-batas yang dibangun antara kelompok etnis bisa saja menyebabkan masalah sosial. Ketika kelompok etnis diletakkan berlawanan satu sama lain, maka dapat menyebabkan bentrokan. Para penguasa kolonial di Hindia Belanda menggunakan pluralitas masyarakat untuk mengkonsolidasikan posisi mereka. Sebagaimana telah disampaikan, kebijakan terhadap timur asing dan penduduk pribumi di bidang-bidang tertentu seperti hak-hak perdagangan, yurisdiksi, pendidikan, segregasi pemukiman, menghasilkan kelompok-kelompok yang terpisah muncul terpisah antar satu dengan lainnya. Perbedaan di bidang ekonomi, dibentuk oleh pemerintah kolonial melalui kebijakan dua sistemnya. Dua entitas ini sendiri pada dasarnya berbeda, terciptanya konflik etnis, tercermin dalam setiap pergolakan terhadap kebijakan kolonial oleh masyarakat Indonesia, maka penduduk Cina sering menjadi korban. Tegangnya hubungan antara orang Indonesia dan China sebagai kelompok etnis, selama perjuangan kemerdekaan terefleksi dalam kerusuhan besar; seperti di Tangerang dan Bagansiapiapi. Orang China, selama era pendudukan Jepang dan transisi ke awal Revolusi Indonesia, batas kelompok etnis China berubah dari dominasi peranakan menuju pada dominasi kaum totok, sehingga varian China China dengan posisi yang berbeda dari sebelumnya. Selain itu, menguatnya nasionalisme China, meningkatnya aspirasi rakyat Indonesia untuk kemerdekaan, dan masa peralihan pasca perang dunia II, menjadi alasan dalam hal ini. China di Asia Tenggara dijelaskan oleh banyak ahli sebagai minoritas perdagangan, minoritas perantara atau borjuasi bisnis. Di daerah padat penduduk seperti Jawa, China terutama terlibat dalam perdagangan, sedangkan di daerah dengan kepadatan penduduk rendah, seperti di Sumatera Timur, mereka berperan sebagai nelayan, petani atau bahkan pekerja tambang. Akan tetapi, apapun status dan peranannya, orang China sering dilihat oleh orang Indonesia sebagai penduduk kaya. Posisi ekonomi China itu adalah akibat langsung dari kebijakan kolonial Belanda dengan beberapa posisi monopoli dikalangan China. DI Bagansiapiapi, pengelolaan pacht bagi pengupayaan sumber daya muara perikanan, terbatas pada kalangan China dan tidak melibatkan Melayu. Selama rentang kekuasaan Belanda, pribumi dipaksa untuk menjadi penonton pasif dan stigma pun dilekatkan kepada mereka sebagai justifikasi situasi ini. Dengan diberlakukannya politik etis, telah merubah posisi China dalam batas tertentu. Monopoli ditarik oleh penguasa kolonial dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Memang telah terjadi

442

Para ahli cenderung melihat macetnya hubungan antara Indonesia dan China, terutama dimasa revolusi, yang memiliki akar permasalahan yang panjang.

269 peningkatan persaingan dari pertumbuhan pedagang pribumi Islam seperti di wilayah kesultanan Siak. Akan tetapi, secara umum tidak merubah pada posisi ekonomi antar kelompok di Hindia, terutama dikewedanaan Bagansiapiapi. Dalam bulan-bulan sebelum pecahnya Perang Dunia II, fasilitas ekonomi Belanda dibawa menjauh dari kota-kota besar ke pedesaan dan kota-kota kecil karena takut invasi dari Jepang. Banyak orang China mengikuti contoh dari Belanda. Beberapa yang dari pengusaha China yang dipaksa oleh Belanda untuk eksodus sehingga Belanda mampu melaksanakan taktik bumi hangus. Disisi lain, warga China melarikan diri karena takut menjadi korban Jepang, sebab negara China kala itu tengah berperang dengan Jepang. Ketika Jepang menyerbu Indonesia Maret 1942 pecah kerusuhan besar dan kekacauan. gudang dan pabrik Belanda dijarah, China menjadi korban penjarahan yang telah meluas. Baik di kota maupun di pedalaman adalah kekacauan, akan tetapi, sikap keras Jepang dapat menekan kerusuhan itu dalam relative singkat saja. Pendudukan Jepang dari tahun 1942 sampai '45 menyebabkan perubahan besar bagi para pengusaha China. Tujuan Jepang untuk menduduki Indonesia adalah ingin menjadikan tempat eksploitasi untuk bahan baku dan ekspor produk jadi. Perekonomian Indonesia pun berubah menjadi perekonomian perang di tangan tentara Jepang. Situasi Ini dibentuk dengan mengorbankan pengusaha China yang memiliki posisi ekonomi yang kuat untuk pendudukan. Sebagian besar harta mereka disita oleh pemerintah Jepang. Banyak China peranakan berpendidikan diberi posisi di pemerintahan Jepang dan berkolaborasi dengan pasukan pendudukan untuk memimpin perusahaan-perusahaan Belanda yang ditinggalkan. Sementara China pemilik perusahaan besar menderita kerugian besar selama pendudukan Jepang, terutama juga berkaitan dengan taktik bumi hangus Belanda dan aksi-aksi kerusuhan yang mengambil keuntungan dari suatu situasi chaos. Selama pendudukan, Jepang ingin meningkatkan hubungan perdagangan antara daerah luar yang berbeda. Ini mereka ingin mencapai dengan mendirikan kumiami, serikat subjek khusus yang semua perusahaan, diwajibkan untuk bergabung. Hal ini membuat Jepang bisa dengan mudah secara bersamaan memberikan pengaruh atas mayoritas perusahaan Indonesia. Meskipun demikian, era perang nampaknya masih memungkinkan bagi kapal-kapal untuk berdagang di sekitar Indonesia, yang berdagang menggunakan perahu kecil dan tumbuh secara eksplosif: perdagangan selundupan pun menjadi sangat populer. Bentuk baru dari perdagangan yang terdiri dari pedagang independen dan keliling yang dikenal dengan danbangke, disebutkan bahwa penyelundupan melayang bebas dan berdagang dalam skala yang sangat kecil. Perdagangan selundup berlangsung baik di darat dan laut; dan skala kecil sebagai kharakteristik perdagangan, ini berarti bahwa perdagangan selundup bisa didorong tanpa pengaruh langsung dari Jepang. Skala kecil perdagangan ini, oleh penjajah tidak dianggap sebagai ancaman langsung. Dengan demikian, bentuk selundupan tumbuh pesat selama pendudukan dan penting selama awal revolusi Indonesia.443

443

Twang Peck Yang, hal.111-122.

270 Selama periode revolusi, perdagangan penyelundup memastikan fungsinya sebagai salah satu pemasok republik, baik orang Indonesia maupun China, pemuda-pemuda dan kelompok militan lainnya, tetapi bentuk penyelundupan ini juga telah memberikan kontribusi terhadap sikap independen dari orangorang China. Kelompok etnis ini memiliki peran utama dalam perdagangan penyelundup dan dengan demikian mendapatkan posisi yang menguntungkan selama pendudukan Jepang dan revolusi awal. Pengaruh pendudukan Jepang itu tidak hanya di bidang ekonomi, melainkan juga memberikan pengaruh besar terhadap konfigurasi sosial. Selama pendudukan Jepang semua partai politik sebelum perang dilarang. Para pemimpin dipenjara, atau bekerja sama dengan penjajah atau bergerak dibawah tanah. Bahkan sebelum perang, hanya sebagian kecil dari aktifis politik China sebagai pendukung gerakan nasionalis Indonesia. Chung Hwa Hui, partai politik terbesar dari Peranakan, berdiri di samping; dan hanya tertarik pada kepentingan rakyat China. Beberapa nasionalis China melihat mereka sebagai sesama pejuang melawan kolonialisme, tapi pada akhirnya, hanya Partai Tionghoa Indonesia yang sepenuhnya bergabung dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Efek akhir dari perang dan pendudukan adalah bahwa semua etnis Tionghoa menjadi lebih sadar akan identitas mereka sendiri, sehingga semakin jelas saja perbedaan antara Peranakan dan totok. Akan tetapi, pada tanggal 15 Oktober 1945, Cong Hoa Tsung Hui (Federasi Asosiasi Cina) didirikan dengan tujuan untuk menyatukan semua organisasi Tionghoa di bawah satu organisasi. Dapat dikatakan, organisasi ini adalah wakil dari sikap orang China dalam revolusi Indonesia awal. Sebagaimana telah disampaikan; menguatnya nasionalisme China, meningkatnya aspirasi rakyat Indonesia untuk kemerdekaan, masa peralihan pasca perang dunia II, menjadi alasan bagi terbentuknya sikap netral; yang bahkan, di Bagansiapiapi sikap ini menjadi salah satu poin yang harus dipatuhi oleh orang-orang China masa perundingan perdamaian. 444 Dengan demikian, terasa logis bila tokoh-tokoh China, berada dalam posisi netral selama perjuangan kemerdekaan; yang sering digambarkan sebagai sikap “Tunggu-dan-lihat.” Sikap pragmatis dari orang-orang China ini, menyebabkan sentimen antiChina yang kuat dikalangan republik yang dipandang sebagai salah satu penyebab pecahnya aksi kekerasan terhadap orang China di tahun 1946. Sikap pragmatis, dapat juga dipandang sebagai sikap keragu-raguan; dan orang Indonesia akan memandang sikap keragu-raguan ini sebagai sikap pro Belanda. Bahwa pada akhir Perang Dunia II, Tiongkok diberikan status sebagai salah satu dari the Big Five(Lima Besar); lima anggota tetap dewan keamanan PBB. SItuasi ini, tentunya membangkitkan kebanggaan tertentu terhadap kalangan China Indonesia, terutama dikalangan pendatang belakangan. Selain itu, kemenangan kaum komunis di Tiongkok pada tahun 1949 menambah satu lagi dimensi yang memperkukuh tingkat politisasi dikalangan China Indonesia; terpecah antara yang menyokong Kuo Mintang 444

BA Mukhtar, 1946, poin ke-6.

271 dan RRC.445 Pengakuan dan hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRC pada tahun 1950, tentu menguntungkan kelompok pro RRC dan sekaligus merugikan kelompok pro Kuo Min Tang; bahwa, orang-orang China di Bagansiapiapi, yang selalu berada dalam pengawasan Belanda terutama menyangkut dengan dinamika politik di China daratan, pasca revolusi phisik terpolarisasi dalam dua kutub besar itu. Laporan tahun 1950, memuat ketegangan dua kelompok China ini di Bagansiapiapi yang meskipun tidak berujung pada kontak phisik, namun informasi bantuan “segerombolan orang bersenjata” (sekitar dua puluh orang) dari Bagan menuju “Sei Bakau” cukup memberikan suasana mencekam dan menegangkan dikalangan aparat saat itu.446 persoalan ini semakin kompleks ketika pecahnya pemberontakan PRRI dimana China nasionalis ternyata memberikan dukungan terhadap gerakan ini. Bagaimanapun juga, organisasi Cong Hoa Tsung Hui ini, terbukti efektif dalam upaya pendamaian konflik di Bagan, bahwa meredanya aksi-aksi kekerasan orang China menjelang kedatangan tim pendamai itu, diakui sebagai hasil keterlibatan Cong Hoa Tsung Hui.

Taktik bumi hangus oleh Belanda menjelang kedatangan balatentara Jepang di Pantai Timur Sumatra

445

Coppel, 1983, hal.54-55. Surat Djaksa Agung kepada Mahkamah Agung Indonesia bertanggal 13 Desember 1950; koleksi ANRI. 446

272

Ketegangan dan Konflik di Bagansiapiapi Sebagaimana diketahui, penghentian mendadak dari pendudukan Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945 menyebabkan banyaknya kerusuhan politik. Proklamasi dikumandangkan, akan tetapi, Belanda menganggap bahwa menyerahnya Jepang berarti ini adalah kekosongan kekuasaan yang akan mengembalikan dominasinya seperti sebelum Jepang tiba. Bulan-bulan pertama setelah Jepang menyerah merupakan situasi yang sangat keras, terutama disebabkan oleh begitu bersemangatnya pasukan republik. Akan tetapi, perjuangan Indonesia itu, tidak hanya dengan tentara resmi, Tentara Rakyat Indonesia (TRI), akan tetapi juga oleh kelompok-kelompok pemuda yang berbeda, milisi dan pasukan perjuangan yang memproklamirkan dirinya. Kelompok-kelompok ini sering terlibat dan mengambil inisiatif dalam perjuangan kemerdekaan dan terfokus secara khusus terhadap China, terutama oleh orang-orang yang mengaku tidak punya tempat di era republik Indonesia merdeka. Pada awalnya tampak kekerasan anti-China yang disebabkan oleh perbedaan ekonomi, dan ini tentu bernuansa kelas. Akan tetapi, fakta yang berlaku bahwa tidak hanya terhadap kaum totok, melainkan juga meliputi juga peranakan sebagai kelahiran lokal yang terkena kekerasan. Kekerasan itu tidak hanya didasarkan pada perbedaan kekayaan, tetapi juga berdimensi ras. Sebagai reaksi terhadap kekerasan anti-Cina di periode setelah Jepang menyerah, didirikan Komite China untuk menjaga ketertiban umum pada tanggal 13 Desember 1945. Komite ini dibiayai oleh swasta dan mempekerjakan penjaga keamanan China atau Indonesia untuk menjamin ketertiban. Jika dirasa perlu, maka panitia akan membayar “geng lokal” ketika dirasa terdapat ancaman bagi orang-orang China. Cara organisasi-organisasi keamanan yang berbeda muncul selama periode ini. Pada bulan-bulan pertama tahun 1946 didirikan organisasi keamanan pertama di Medan yang disebut Po An Tui. 447 Organisasi ini didukung oleh Konsul China dan pada bulan Maret 1946 penguasa Inggris menunjukkan dukungan dengan memberikan senjata kepada pasukan keamanan China. Para anggota korps keamanan ini layaknya militer terlatih, mengenakan seragam tentara nasional China dan memiliki senapan, pistol otomatis, revolver, granat, pisau dan bahkan beberapa senapan mesin. Selama 1946 ada beberapa bentrokan antara Po An Tui dan pasukan Republik. Takut terjadinya aksi kekerasan terhadap China, membuat beberapa divisi dari Po An Tui bisa bertahan sampai akhir tahun 1947. Pada bulan Agustus 1947, komite sentral dari Po An Tui mendirikan markas di Jakarta; seragam, senjata dan amunisinya disediakan oleh Belanda. Masyarakat China membayar sendiri untuk barang yang dikirimkan guna menekankan bahwa mereka independen. Namun, pasokan senjata ke korps keamanan China oleh Belanda, tidaklah sepenuh hati. Belanda memberikan secukup saja senjata untuk mempersenjatai sepertiga dari anggota terdaftar dari korps, karena mereka hanya 447

Pao An Tui adalah organisasi perlindungan Cina kohesif. Sebuah Pasukan Keamanan Cina di Belanda Pendudukan Indonesia, 1945-1948.

273 perlu senjata selama layanan mereka, dan Belanda yakin bahwa hanya sepertiga dari pasukan keamanan yang bertugas di setiap momen sebagai orang-orang China yang berkelanjutan untuk jangka waktu yang signifikan. Meskipun beberapa kelompok telah melakukan beberapa upaya; membentuk sebuah komunitas kohesif dan kuat dengan bantuan partai politik dan organisasi ekonomi, kelompok keamanan seperti Pao An Tui, akhirnya dikalahkan di masa Revolusi Indonesia. Bahwa penyelundupan yang dilakukan orang-orang China, memainkan peran penting dalam perkembangan setelah perang. Terdapat sekelompok besar China yang mendominasi perdagangan penyelundupan antara Indonesia dan semenanjung. 448 Selama periode revolusi, orang-orang China menyelundupkan berbagai produk dari Singapura; dan Bagansiapiapi dengan cepat membangun pertukaran mata uang setelah perang. Hal yang mencolok adalah adanya manfaat bagi republik; sejumlah senjata yang telah dibawa oleh penyelundup begitu besarnya dan bahwa pihak berwenang tidak dapat melacak asal-usul senjata. Setelah Perang Dunia II, Inggris adalah pihak yang bertanggung jawab atas ketertiban dan perdamaian di Indonesia. Dalam upaya untuk mencegah pembentukan kekosongan kekuasaan dan kurangnya tenaga kerja mereka mengenakan penegakan hukum itu kepada tentara Jepang yang ditempatkan di Sumatra.449 Akan tetapi, hal ini dilihat sebagai solusi sementara. Pada bulan-bulan pertama tahun 1946 dimulai dengan penarikan Inggris dan evakuasi pasukan Jepang dan Inggris dari Indonesia. Tentara republik, yang didirikan pada bulan Oktober 1945, menyatukan kekuatan Indonesia yang independen dan membentuk pasukan terorganisir untuk Republik. Beberapa anggota tentara Republik memiliki pengalaman selama pendudukan Jepang dan juga dari Belanda dilatih untuk menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). TRI dikembangkan selama bulan-bulan pertama tahun 1946 untuk kekuatan sejati di Sumatera. Ada beberapa kamp pelatihan untuk tentara dan angkatan laut didirikan di Sumatera. Salah satu cabang dari ALRI, angkatan laut TRI, terletak di Tanjung Balai, sebuah kota pelabuhan sebelah utara dari Bagansiapiapi. Seperti halnya di Medan dengan Po An Tui, maka di Bagansiapiapi, korps keamanan China yang serupa pun didirikan, tapi itu tidak berada di bawah pengawasan dan kebijakan Belanda seperti di Medan. Korps keamanan di Bagan terutama terdiri dari anggota China dari masyarakat, memiliki senjata sendiri dari penyelundupan di Singapura untuk membela diri terhadap kekerasan revolusi. Pada bulan Februari, pasukan Inggris dan Belanda menduduki Bangka, sebuah pulau timur dari Palembang. Tentu aja ini menciptakan suasana tegang di Palembang. TRI menduga akan terjadi invasi dan pertahanan kota itu pun diperkuat.450 Di berbagai tempat di Sumatera dimulai persiapan pasukan TRI untuk mengusir invasi Belanda. Sementara di Bagansiapiapi, pada bulan Februari 1946 berada dalam penguasaan TRI. TRI memiliki sekitar 300 orang tentara bersenjata dengan sekitar 100 pucuk senapan 448

Peck Yang menduga, bahwa telah dilakukan penyelundupan senjata dan amunisi yang sebagaimana dimiliki orang China di Bagan yang tampak dalam insiden September 1946. 449 Reid, 1979. 450 OB III: 556. Ramco, Ramco Raben, hal.23.

274 dan tiga senapan mesin. Mereka memeriksa kapal-kapal yang memasuki pelabuhan dan menjaga keamanan dan ketertiban di kota Bagan. Akan tetapi, nampaknya suasana antara pasukan Republik dan penduduk China sangat tegang. Komisaris polisi Riau di Sumatera, P.A. van der Poel, pada Juni 1946 melaporkan suasana tegang antara TRI dan China di bulan Februari. Ketengangan ini dipicu kesenjangan yang cukup tinggi tentang arti proklamasi republik; bahwa penaikan bendera Kuo Min Tang dan tidak dikibarkannya bendera Indonesia. Peristiwa serupa, sebagai insiden bendera di Hotel Yamato Surabaya 1945, merupakan contoh betapa persoalan ini merupakan hal mendasar dalam sebuah revolusi. Akan tetapi, disisi lain, Belanda menganggap bahwa meningkatnya ketegangan itu disebabkan konflik kepentingan antara keinginan rakyat China yang memiliki tempat untuk kembalinya Belanda(?).451 digambarkan terjadinya beberapa bentrokan kecil dalam laporan bulan Februari dari polisi Bagan, beberapa bentrokan antara orang Indonesia dan China. Situasi ini diperuncing dengan melintasnya pesawat terbang di atas kota dan melemparkan kertas keluar, Belanda meyakini bahwa China melihatnya sebagai tanda bahwa pendudukan oleh pasukan Belanda atau sekutu sudah dekat(?). Hal ini ditandai dengan sikap yang lebih kuat terhadap tentara Republik. Ketegangan antara China dan pasukan TRI Bagan memunculkan konflik yang meletus 12 Maret 1946. Selama peringatan Sun Yat-sen, presiden pertama Republik China, orang-orang China di Bagan menolak perintah dari TRI untuk menaikkan bendera merah putih disamping bendera China. Ketika TRI memutuskan untuk menurunkan bendera, orang-orang China pun protes. Situasi ini berakhir dengan terbunuhnya letnan CHina, Lu Ching Po, ketika ia mencoba untuk menenangkan situasi sehingga pecah pertempuran sengit.452 Jelas saja, Sejak insiden bendera 12 Maret 1946, dapat dikatakan bahwa hubungan antara TRI dan orang-orang China Bagan menjadi semakin menegang saja. Komite Nasional Indonesia di Bagan meminta TRI di Tanjung Balai untuk memperkuat dan juga menambah persediaan makanan tambahan, karena mereka untuk yang terakhir ini masih tergantung pada penduduk China. Sementara orang China di Bagan adalah mayoritas, dan memiliki akses untuk memiliki berbagai senjata. Menurut kepala urusan politik di Kantor Gubernur Sumatra, Kepala Komandan-Amacab,453 J.J. van de Velde, bahwa apa yang telah terjadi di Bagan pada bulan Maret 1946, sebenarnya telah menciptakan situasi yang menguntungkan bagi pendaratan tentara Belanda disana. Bahkan lebih jauh, hal ini dapat dipandang mampu mengembalikan dominasi Belanda atas Sumatra, akan tetapi, kurangnya pasukan menjadikan hal itu belum mungkin dilaksanakan.454 Bahwa kemudian segalanya ditetapkan oleh kepala polisi Indonesia dan perjanjian dibuat mengarah ke perdamaian bersenjata. 451

E-Hana, NEFIS dan CMI, 2.10.62, inv 758. DB IV.dalam Ramco Raben, hal.23. Bagaimana pecahnya pertempuran ini, lihat Sudarno Mahyudin, 453 Kepala Komandan-AMACAB menjabat gubernur selama perjuangan kemerdekaan di Indonesia. CCO AMACAB diadakan tugas militer dan sipil setelah NICA berganti nama akhir Oktober 1940 Sekutu Militer Urusan Sipil Administrasi Cabang.Lihat Ramco Raben, hal.24. 454 E-Hana, NEFIS dan CMI, 2.10.62, inv 758.Ramco Raben, hal.24. 452

275 Penolakan China untuk menaikkan bendera merah putih bersama bendera China, dilihat oleh Belanda sebagai penyebab langsung dari konflik, dan harus disebutkan sebagai akar penyebab dari hubungan yang tegang dari suasana anti-Republik dan sikap China. Representasi dari Republik Pekanbaru membuat beberapa konsesi untuk suatu upaya damai. TRI menarik diri dari kota dan diizinkan untuk masuk lagi. Terjadi gencatan senjata dan korps keamanan China pun dibekukan. Akan tetapi, jurang konflik telah muncul dan hidup diantara TRI dan orang China Bagan.455 Selama masa gencatan senjata ini, di bulan-bulan berikutnya hubungan antara TRI dan China semakin menegang saja. Terdengar khabar bahwa pihak TRI akan menduduki Bagan sebagaimana telah dikuasainya Panipahan. 456 Pertempuran di Bagansiapiapi pun pecah tanggal 18 September 1946 setelah orang-orang China menolak perintah dari pasukan TRI untuk menyerahkan senjata. Pada hari pertama dari pertempuran, korban paling banyak berjatuhan di pihak China; gabungan TRI dan polisi di Bagan dengan ALRI, menyebabkan banyak kerugian pada pihak China. Akan tetapi, segera orang-orang China mampu untuk berkumpul kembali dan membentuk sebuah front defensif terhadap serangan dari TRI. Setelah pertempuran sengit yang berlangsung dua hari, orang-orang republik harus menarik diri dengan kerugian dan jatuhnya korban tidak saja dari kalangan tentara yang gugur dihari kedua, melainkan juga penduduk sipil Indonesia.457 Kemudian kota dikuasai oleh China. Takut akan tibanya aksi pembalasan, dikirim kembali pesan ke markas Sekutu di Batavia di mana mereka meminta dukungan militer; akan tetapi, satu-satunya aksi sebagai reaksi dari Sekutu adalah pamflet yang berserakan di sekitar Bagan yang meminta pihak-pihak yang bertikai dalam konflik itu menahan diri.458 Keterangan yang diperoleh dari pengungsi China, bahwa pasukan ALRI mundur ke Panipahan setelah terdesak keluar dari Bagan; sebelumnya, pemukim China di Panipahan itu sudah melarikan diri dari sana. Kota ini kemudian benar-benar dibakar oleh kaum republik.459 Oleh Residen Riau, ditugaskan delegasi China-Indonesia menuju Bagan guna menyelidiki peristiwa yang terjadi dan untuk membawa kesepakatan antara para pihak yang bertikai. Pada tanggal 27 September, delegasi mencapai wilayah ini dan pada tanggal 11 Oktober delegasi mampu menyimpulkan gencatan senjata. Sebuah komite gabungan dibentuk di Bagan yang disusun oleh kerjasama dari kedua belah pihak. Penduduk China Bagan yang

455

(OB V: 452, 453).Ramco Raben, hal.25. Oficiele Bescheiden Betreffende de Nederlansch-Indonesische Betrekkingen, van der Wal, vijfde deel, 16 Juli – 28 Oktober 1946, hal.464-5. Tentara ALRI yang berasal dari Sumatra Utara itu, dikenal dengan Tentara Janggut atau Jambang. 457 BA Mukhtar, 14 November 1946. 458 E-Hana, Nefis dan CMI, 2.10.62, inv 637. Ramco Raben, hal.26. 459 Sumber Belanda menyebutkan, setelah di Panipahan, pasukan pergi ke Kubu dan ada mendatangkan pembantaian di kalangan penduduk Cina. semua ini terjadi antara 24 dan 30 September, dengan 280 korban. Akan tetapi, laporan Tim Pendamai BA Mokhtar menyebutkan bahwa populasi China di Kubu, diamankan oleh pejabat setempat, sehingga tidak terjadi korban jiwa sebagaimana diberitakan oleh Belanda. 456

276 telah kehilangan harapan, mereka pun akhirnya menerima suatu pemerintahan gabungan antara orang Indonesia dan China.

Siapa yang diuntungkan? Tentu Saja Belanda yang Menunggu ditikungan Nampaknya, penduduk China Bagan memiliki alasan sendiri untuk mempersenjatai dirinya. Argumen yang muncul tentu adalah rasa takut orang China ini untuk konflik dengan TRI, telah memaksa mereka untuk membela diri. Bahwa tidak seperti di banyak tempat lainnya dimana pemukim China merupakan kantong-kantong minoritas, di Bagan, situasinya jauh berbeda. Disini mereka mengisi posisi mayoritas, hidup sekitar 15.000 Cina vs 4.000 Indonesia. Bahwa orang-orang China, mengharapkan perlindungan dari Republik China pasca Perang Dunia II dengan kedudukannya sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, itu terbukti mengecewakan bagi orang China di Indonesia. Akhirnya, orang China terutama di Bagansiapiapi melihat pada kekuatan dirinya sendiri sebagai solusi satu-satunya jalan untuk melindungi diri mereka. Hal ini menyebabkan, seperti di Medan pada bulan Februari 1946 didirikan Pao An Tui; korps keamanan China. 460 Korps keamanan China ini bagai militer terlatih dan memiliki sumber daya untuk melindungi orang-orang China. Akan tetapi juga, Po An Tui dikatakan sebagai salah satu kelompok yang ikut andil dalam memburuknya hubungan antar etnis; Po An Tui Medan, kemudian dibubarkan di bulan Maret 1948, akan tetapi, bukan disebabkan faktor yang merugikan hubungan antar etnis, melainkan semakin terkonsolidasikannya kekuatan Belanda disana.461 Di Bagan, korps keamanan China serupa didirikan untuk melindungi orang-orang China. Pada 12 Maret 1946 menunjukkan bahwa korps keamanan setempat memiliki senjata dan pasukan untuk memproteksi diri sendiri terhadap aksi kekerasan. Pada tahun 1946, setelah pecahnya konflik antara China dan republik, Republik China memprotes penganiayaan warga China selama revolusi Indonesia, Inggris sendiri, juga melihat ke Belanda, akan tetapi, sikap ini dihentikan oleh Belanda dengan menunjukkan bahwa mereka tidak punya kendali atas segala kekacauan dan bahwa para korban yang telah jatuh seperti di Tangerang, bukanlah warga negara China. Berita tentang dukungan dari negara China seperti rumor pengiriman kapal perang, ternyata tidak pernah terbukti, 462 membuat hilangnya harapan untuk perlindungan dan dukungan dari negara China itu. Dalam 460

Heidhues, Etnic Chines, 125-128.Ramco Raben, hal.28. Twang Peck Yang, hal.192. 462 Sebagaimana dilansir The Strait Times, 13 Oktober 1946, “FU PO Not To Go To Api Api, bahwa kapal perang itu tetap bersandar di Singapura dan tidak memperoleh perintah dari Nanking untuk menuju Bagansiapiapi. 461

277 konteks seperti ini, sebagaimana telah disampaikan, dapat saja dikatakan bahwa orang China melihat diri mereka terpaksa untuk mengangkat senjata guna melawan pasukan Republik yang telah menduduki Bagansiapiapi; juga sebagai hasil sikap nasionalis China yang berlebihan itu. Ini dapat dijelaskan atas dasar fakta bahwa telah terbentuknya komunitas totok di Bagan sebagai hasil periode waktu yang panjang. Komunitas totok yang otonom ini, merasa sedikit mirip dengan penduduk Indonesia; bahkan, bisa saja dianggap “pribumi” Bagan. Sejak kedatangannya di Bagan pada akhir abad ke-19, sekelompok masyarakat kecil China ini masuk ke dalam ruang kontak dengan masyarakat Melayu, terutama dalam hubungan ekonomi yang pada awalnya diatur dalam kewenangan tradisional. Akan tetapi, selama periode kolonial Belanda, masing-masing komunitas ini mulai dipisahkan terutama berkaitan dengan penguatan sistem pemasukan bagi kas Hindia. Belanda terus saja “menyapih” China di Bagan terpisah dari penduduk asli disekitar Bagan. Hal yang serupa juga berlaku selama periode pendudukan Jepang. Seperti Belanda, Jepang juga mengakomodir orangorang China, menyangkut juga tradisi dan bahasa; disamping memanfaatkan sekelompok China bagi kepentingan perdagangan Jepang masa itu. Selama perjuangan kemerdekaan, jelas saja bahwa kaum nasionalis Indonesia mengharapkan orang-orang China-lah yang akan beradaptasi dengan Republik yang baru merdeka: Indonesia. Sayangnya, orang China di Bagan menolak, seperti pada insiden bendera tanggal 12 Maret 1946 bahwa orang-orang China bertepatan dengan peringatan Sun Yat Sen; mereka mengibarkan bendera China, akan tetapi tanpa adanya bendera Merah Putih, protes pemuda dan TRI tidak diindahkan, maka pecahnya konflik bersenjata antara kaum republik dan orang China pun tidak terelakkan.

“De vrije pers: ochtendbulletin,” 6 Januari 1949; pers kolonial yang melaporkan situasi kota Bagan pada saat aksi militer Belanda kesana.

278 Masyarakat China di Bagan adalah totok yang terdiri dari etnis China yang merasa lebih kuat terkait dengan asal, budaya dan tradisi China. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan, tentu mereka harus menyesuaikan diri dibawah pemerintahan republik. Meskipun terdapat peluang bagi Belanda untuk masuk ditengah kalutnya perang Bagan, akan tetapi, Belanda, bagaimanapun, tidak cukup siap untuk menaklukkan pantai timur Sumatera yang berada ditangan republik. Bahkan, kebijakan Belanda sendiri atas Bagansiapiapi tidak begitu jelas. Hasilnya, pada September 1946, China kembali memilih untuk mengangkat senjata berhadaphadapan dengan TRI dan ALRI setelah mereka menolak perintah dari TRI untuk menyerahkan senjata; dengan alasan senjata itu digunakan saat mereka melaut guna melindungi diri dari kemungkinan serangan bajak laut. 463 Seiring berlalunya waktu, nampaknya semakin banyak saja orang China kehilangan harapan dari periode transisi revolusi; harapan saat Jepang takluk kepada Sekutu. Pasca peristiwa September, terjadi kekosongan kekuasaan di Bagan, maka melalui gencatan senjata yang ditandatangani pada 11 Oktober: dimana sebelumnya tanggal 2 Oktober, delegasi China-Indonesia tiba di Bagan dari Bengkalis, dan juga tanggal 6 Oktober tiba tim pendamai dari Pematang Siantar; untuk bertindak sebagai mediator antara kedua belah pihak. China di Bagan yang dituliskan BA Mukhtar sebagai tidak mudah patuh, akhirnya menyetujui pembentukan sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh Badan Keamanan yang anggotanya mewakili orang-orang Indonesia dan juga China. 464 Badan keamanan ini, memiliki alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban; kepolisian, dengan proporsi anggota sejumlah 60 : 60 untuk masing-masing orang Indonesia dan China. Konflik 18-19 September sebagai sebuah konflik politik, dibantah oleh Tim Pendamai Bagan. Bahwa ketegangan antara China dan Indonesia yang meledak pada tahun 1946 di Bagan, lebih bernuansa rasial ketimbang beradunya kekuatan antar negara Indonesia dan China. Jelas saja, negara China tidak memiliki kepentingan politik dalam kekalutan rasial di Bagan, meski pada awalnya, berita yang didengar sepihak, cukup untuk memberikan dasar bagi sikap pengiriman kapal perang yang ternyata tidak pernah dikirimkannya itu ke Bagan. Yang jelas, pihak konsulat China, memiliki kepentingan dengan keselamatan orang-orang China di Indonesia. Konflik yang terjadi, berupaya di block untuk tidak meluas kesegenap wilayah lainnya di Indonesia dan sesegera mungkin diselesaikan dalam upaya-upaya damai; sebagai persoalan sendiri sebagaimana dinyatakan pemimpin China di Bagan dan juga merupakan segenap sikap yang dikeluarkan oleh pihak konsulat China. Selain itu, ketua tim pendamai, BA Mukhtar, mengatakan bahwa saat mereka tiba di Bagan, mereka disambut oleh kibaran sang merah putih dan bendera Tiongkok, yang semakin mempertegas keyakinannya bahwa

463

Sin Po, 30 September 1946. BA Mukhtar, Verslag laporan Tim Pendamai Persengkataan Bagansiapiapi, 14 November 1946. 464

279 konflik ini, bukanlah konflik politik sebagaimana diklaim oleh Belanda; juga, tulisan ini membantah apa yang diyakini oleh Ramco Raben yang cenderung melihat konflik “perang Bagan” sebagai suatu wujud keberpihakan orang China kepada Belanda. 465 Jika sebaliknya, tentu saja tawaran Belanda berupa obat-obatan, makanan dan senjata, tidak akan ditolak oleh pimpinan China Bagansiapiapi. 466 Dituliskan oleh BA Mukhtar, Ketua Tim Pendamai Bagansiapiapi: “Persengketaan ini (18-19 September 1946) hanya pergaduhan segolongan penduduk bangsa Tionghoa dengan golongan penduduk bangsa Indonesia. Sekali-kali tidak ada bersangkut paut dengan dasar cita-cita Negara Republik Indonesia dan dasar Republik Tiongkok..” Dalam laporannya itu, BA Mukhtar memperkuat argumentasinya dimana saat berlangsungnya perundingan perdamaian, diterima surat dari Consulate Generaal of the Republic China di Singapura bertanggal 1 Oktober 1946 yang wujudnya penghargaan atas usaha-usaha rombongan pendamai Bagansiapiapi dan mengharuskan supaya Indonesia – Tionghoa akan sama-sama menyadari sebagai bangsa yang sudah lama mempunyai perhubungan rapat untuk bersama-sama mencari kemakmuran bersama dimasa yang akan datang. Sikap negara Tiongkok ini, dapat dipahami bahkan pada masa Hindia, ketika orang-orang China merasa tidak puas dengan undang-undang kekawulaan yang mewajibkan wajib militer bagi orangorang China, dilakukan kampanye menentang undang-undang ini, akan tetapi tidak berhasil, disebabkan negara China menghargai perjanjian konselir tahun 1911 yang menyatakan bahwa selama orang China yang lahir Hindia Belanda dan masih bertempat tinggal di Hindia Belanda, mereka wajib tunduk kepada hukum Belanda.467 Ketika Hindia Belanda tamat dan digantikan oleh Republik Indonesia, maka sangat logis konsulat China di Singapura menuliskan surat semacam itu. Sementara itu Belanda, sebagaimana era dahulu yang selalu berupaya mengambil keuntungan dari situasi serupa ini. Ketika agresi militer digelar, segera tampak bentangan kampanye Belanda sebagai “sang pembebas Bagansiapiapi;” seperti dilansir sebuah surat kabar: “gerakan militer dimaksudkan untuk membebaskan rakyat yang sedang menderita.” 468 Bahwa pemberitaan secara gencar dimana daerah yang baru diduduki Belanda, menderita kelaparan dan kehadiran Belanda dikatakan akan membawa Bagansiapiapi kembali kepada kehidupan normalnya. Sebuah gambar, masyarakat-pasar, yang diambil pada tahun 1948 ini, mungkin dapat memberikan sebuah gambaran betapa sebenarnya kampanye tersebut dilakukan disana. Bahwa gambar berikut dan sejumlah lainnya menunjukkan betapa masyarakat dapat melakukan kegiatan 465

Raben, De Strijd Rondom Bagan Si Api Api, 2015. Lihat Suara Rakjat Republik Indonesia, 19 Oktober 1946; Bagan Si Api Api diselesaikan; 467 Suryadinata, 2002, hal.29. 468 Pelita Rakjat, 22 Desember 1948, “Hasil Gerakan Pembersihan: Madjoe Teroes dengan tidak ada perlawanan jang dahsjat.” 466

280 perekonomian, seperti jual-beli di pasar dengan tenang sebagai dampak “pembebasan” yang dilakukan oleh “aksi polisionil” Belanda di Bagansiapiapi.

Bevrijding van Bagan Siapi-api (Sumatra). De bevolking kon weer onmiddellijk na aankomst van de Nederlandse troepen op de pasar de dagelijkse inkopen doen. Tanggal 21 december 1948, lokasi Bagansiapiapi, Indonesia, koleksi “Nationaal Archief;” 2.24.04.01, 4327.

281

Tentara Belanda di Bagansiapiapi Masa Agresi Militer 1948. Sumber: KITLV

282

Patroli Belanda menangkap salah satu kapal penyelundup diperairan Bagan. 1948, “Nationaal Archief;”

283

284

10 Reorientasi Identitas Periodesasi Anak Bumi: Dari Era Candi Sampai Kewedanaan Melalui rekonstruksi ruang perekonomian, diketahui bahwa keberlangsungan perdagangan semenjak periode awal terutama digiatkan dengan memanfaatkan arah angin. Sementara di pantai timur, perdagangan Selat telah menarik berbagai entitas dalam sebuah paradigma perdagangan yang semula didominasi kerajaan besar, semisal Sriwijaya, Pagaruyung dan kemudian Melaka. Kompetisi dalam memperebutkan pengaruh sentral di selat, menyebabkan perang berabad antara kekuatan Johor-Melaka di Semenanjung dan Aceh diujung barat Sumatra, turut mempengaruhi dan membentuk keunikan lanskap disepanjang pantai timur, hingga akhirnya, dominasi semenanjung dipatahkan oleh kemunculan tokoh legendaris: Raja Kecil sebagai pendiri Siak. Jauh sebelum kemunculan tokoh pendiri Siak ini, telah muncul sebaran lanskap disepanjang aliran sungai Rokan, mulai dari pedalaman hingga pesisir. Kejayaan lanskap Rokan, kemudian Pekaitan dimuara Rokan sebagai Negara Laut Air Tawar, nampaknya beriring dengan kejayaan Melaka, hingga akhirnya Portugis menghancurkannya, dan menyisakan sebaran politi-politi, yang selalu berada dalam bayang-bayang kekuatan agresor yang datang dari arah lautan. Periode abad ke-17 dan awal abad ke-18, merupakan masa hegemoni Johor hingga tibanya Raja Kecil di pesisir Rokan, menggalang dukungan sebagai salah satu basis kekuatannya untuk menginvasi Johor. Dominasi nampaknya terus berlanjut hingga masa Said Ali, yang menaklukkan sejumlah besar lanskap di pantai timur terutama dengan kekuatan senjata; termasuk juga Tanah Putih, Kubu dan Bangko. Cucunya, Sultan Ismail, melakukan kesepakatan dengan Belanda, dimana wilayah pesisir Rokan itu dibakukan menjadi bahagian dependensi Siak di tahun 1858. Dalam konteks seperti itu, Ankie MM.Hogvelt469 menyoroti maksud kolonialisme barat yang ingin memanfaatkan struktur kekuasaan tradisional dalam penegakan hukum kolonial, ketertiban, terutama bagi kelancaran pengumpulan pajak, ternyata telah menimbulkan deformasi struktur tradisional.470 Bahwa kondisi ini disebabkan terjadinya 469 470

Ankie MM Hogvielt, hal.184-187. Hijman van Anrooij, hal.389-390.

285 kesalahpemahaman penjajah atas fungsi dan peranan para pemimpin tradisional itu. Pada lanskap dipesisir sungai Rokan, maka, kita dapat melihat hal serupa sebelum Belanda benar-benar menerapkan hukum kapitalis-kolonial berdampingan dengan struktur feodal tradisional. Penempatan kewilayahan kenegerian hanya sebatas subdistrik, digambarkan sebagai sebuah upaya mereduksi kekuasaan tradisional yang tersebar merata disegenap kenegerian; suatu bentuk administrasi pemerintahan yang menguntungkan Belanda, bahwa Hindia dapat dengan mudah mengendalikan “negeri” melalui kepala distrik, subdistrik, dan para kepala kampung. Masuknya Belanda dalam upaya pengembangan ekonomi komersil yang dilakukan besarbesaran, atau upaya pengalihan pengumpulan pajak-bea, akan menempatkan struktur tradisional bagai antek-antek penjajah saja. Menguatnya barat dalam setiap transaksi kontrak, menyebabkan semakin tergantungnya tatanan tradisional terhadap sandarannya itu. Kekuasaan yang berawal mandiri, menjelang berakhirnya Hindia terlihat semakin tidak memiliki kekuasaan nyata di masyarakat, terutama dengan dihilang-paksanya kekuasaan para pejabat tradisional dalam pengumpulan hasil sumber daya. Belanda menyadari ini, bahwa, penduduk asli suatu negeri dibuktikan dengan kepemilikan komunal atas akses terhadap sumber daya yang berada dibawah kekuasaan Sultan. Belanda sendiri pula yang menyatakan, bahwa suku negeri yang tidak memiliki akses sumber daya, sebagai bukan asli, melainkan newcomers yang datang belakangan. Tentu, keterikatan tradisional antara suku dan penguasaan akses sumber daya merupakan nafas dan inti dari struktur komunal tradisional di Tanah Putih, Kubu dan Bangko; yang telah lama beralih dari pemerintahan “Yang dipertuan” masa pra-Siak. Setelah melalui serangkaian tuduhan pemerasan dengan sewenangwenang dan kekacauan lanskap,471 penjajah menghapuskan hak-hak itu secara bertahap; dimulai dari kontrak 23 Juni 1884, reorganisasi 1915/16, hingga penghapusan pancung alas tahun 1929. Jika dicermati perjalanan kesejarahan tiga kenegerian ini, maka, sebenarnya lanskap memiliki beban ganda; berkaitan dengan kewilayahan tradisional, lainnya kepada Belanda. Beban pertama menyangkut status negeri yang dikatakan bukan eigenlijk Siak, bukan asli Siak, atau sebagai bukan wilayah inti, melainkan dependensi. Predikat ini, tentunya bukan tanpa konsekuensi; sebagaimana telah disampaikan, penetrasi kerajaan induk terhadap dependensi salah satunya pada level kepala suku. Pengangkatan kepala suku oleh kerajaan induk menyebabkan komunitas telah kehilangan hak komunal tradisionalnya, berganti dengan semacam jabatan yang dimiliki oleh privilege raja pusat. Sebagaimana telah kita lihat, betapa lanskap yang berada dibawah kekuasaan kerajaan induk, berlangsung beberapa kebijakan yang telah melemahkan kepemimpinan kepala suku; penggantian yang didahului pemecatan terhadap kepala sebelumnya. Pemecatan ini, bagaimanapun juga membuat malu kepala suku didepan komunitasnya. Selain itu, kepala suku yang baru juga akan memiliki ketergantungan besar kepada yang mengangkatnya, yang tidak pernah dialami oleh para pendahulu sebelum dirinya. 471

Boudewijen van Duuren, 1934, hal.9.

286 Perubahan makna tradisional kepemimpinan kepala suku, berarti melemahkan ikatan solidaritas pengikutnya. Dalam jangka panjang, jelas saja berpengaruh terhadap tatanan kekuasaan tradisional dalam skala yang lebih luas. Mengapa terjadi demikian? Dapat dijelaskan bahwa, sebelum penguasaan wilayah berlangsung dalam lingkup distrik, atau bahkan regional, maka keberlangsungan solidaritas sosial dari komunitas, terutama berlangsung dibawah daulat kepala suku yang dipilih oleh anggota komunitas yang senior atau para tetua, dari garis keturunan yang terpenting atau yang berkaitan dengan kelompok-kelompok keturunan. Kepala suku yang terpilih, akan memimpin komunitas untuk sepanjang hidupnya, yang bahkan dapat diturunkan sepanjang bersesuaian dengan adat pusaka. Selain itu, sebagaimana Sultan membawahi datuk negeri, dan datuk negeri terhadap tongkat, hinduk dan kepala suku; sultan, membagi habis seluruh masyarakat negeri dalam suku-suku, dimana hamba sultan menjadi pertanggungan kepala suku sebagai “anak boewah” atau anggota suku. Meskipun demikian, terdapat Kewenangan langsung sultan terhadap hamba, seperti dalam suatu penyelenggaraan persidangan oleh kepala suku terhadap anak boeah, dan jika sultan mendengar ketidakadilan, ia dapat langsung memerintahkan persidangan ulang, atau membawanya kepada kerapatan atau kepada kebijakannya sendiri. Pola ini, benar-benar menempatkan kepala suku tidak berdaya ketika keadaan berlaku sebaliknya. Apakah kepala suku mampu melindungi anggotanya dari kesewenang-wenangan sultan? Bahkan, kepala suku tidak mampu melindungi dirinya sendiri, seperti dari pemecatan sepihak. Beban berikutnya, penjajahan Belanda. Dengan politik diskriminasi, baik dalam perekonomian maupun sosial, menempatkan kenegerian yang terbawa dalam euforia pertumbuhan, anak bumi menjadi pasif dalam lingkungan ambiguitas kolonialisme. Kondisi ini, juga diperparah dengan stigma ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang dilekatkan oleh penjajah,472 menambah sisi kelam dalam ekspoitasi suatu bangsa terhadap bangsa lainnya. Bahwa peralihan tatanan tradisional asli Melayu Rokan kedalam bentuk-bentuk dibawah kesultanan Siak dan terakhir kolonialisme Belanda, membawa lanskap pada tingkat ketergantungan yang tinggi pada tatanan induknya; tidak hanya tatanan politik, bahkan pada tatanan sosiobudaya masyarakat lanskap. Ketika kemerdekaan diproklamasikan dan kerajaan induk pun melebur kedalam republik, maka, tatanan tradisional, mulai dari datuk kenegerian dan segenap orang besar dan kepala suku, termasuk yang turut melebur kedalam tatanan baru itu. Perubahan, selalu menjatuhkan beberapa dan menaikkan pula beberapa yang lain. Yang mampu bertahan, adalah pihak yang dapat dengan segera melakukan tindakan penyesuaian terhadap situasi-situasi baru; memilih dan menguasai peran dalam tatanan sosial baru untuk memulai perjuangan baru. Tidak saja berlaku dalam bidang perekonomian, juga politik. Dalam bidang politik, alam demokrasi pada masa 472

Salah satunya sebagaimana laporan Boudewijen van Duuren, 1934.

287 Republik tidak mendukung pranata feodal itu. Mungkin saja, pranata ini terutama menyangkut keterkaitannya dengan kekuasaan politik, dapat menghilang sesuai dengan semangat baru di alam kemerdekaan. Akan tetapi, aktor pelaku sosial, dapat mempertahankan eksistensinya dalam leburan republik, terutama orde lama yang masih diwarnai euphoria kemerdekaan. Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan ternyata perubahan iklim politik tidak berarti mengikis habis nilai-nilai tradisional; sebagaimana pranata suku hingga kini masih dapat ditemui di eks lanskap kuno Tanah Putih, wujud kukuh terpeliharanya tradisi para tetua di bahagian hulu sungai Rokan eks kewedanaan. Situasi ini, menunjukkan kemandirian dalam menghadapi tekanan-tekanan Belanda terutama masa reorganisasi pemerintahan 1915/16. Belanda menyebutkan terdapat lanskap yang bertahan dalam kukuhnya tradisi, terutama pada wilayah Tanah Putih yang dihuni oleh orang-orang Tambusai dan disekitarnya itu; bahkan reorganisasi pada awalnya tidak dapat secara signifikan mengurangi pengaruh Penghulu yang juga masih melampaui wilayah teritorial mereka, terutama poetjoek Penghoeloe utama yang masih memberlakukan gelar Datuk. Akan tetapi, tekanan-tekanan dari reorganisasi 1915/16 itu, bagaimanapun juga, pranata ini akhirnya bertransformasi menjadi kepala kampung dan berada dalam kerapatan dibawah distrik setelah penyerahan pancong alas tahun 1929.473 Selanjutnya, berkaitan dengan migrasi orang-orang China di Bagansiapiapi, sebagaimana telah disampaikan meningkat pesat pada gelombang kedua yang bersamaan dengan perkembangan industri perikanan; perkembangan ini, paralel dengan kebijakan dualisme ekonomi yang diterapkan penjajah. Pendudukan balatentara Jepang memang menghentikan diskrimanasi ekonomi dan sosial ini, akan tetapi, tidak berarti benar-benar telah menghentikannya. Saat ini di Bagansiapiapi, secara khusus kita dapat menemukan dimensi keruangan kota yang bercorak segregasi seperti yang lazim terjadi pada masa lampau. Bahwa peralihan dari era kolonial menuju republik, dimulai dari orde lama, orde baru, dan kemudian reformasi, tidak merubah tampilan wajah dari kota tua ini. Sebagaimana telah diketahui, meskipun pemukiman di Bagansiapiapi dahulu didominasi oleh orang-orang China dan Belanda, akan tetapi sebagai bahagian dari wilayah tradisional Siak, maka dipastikan bahwa Bagansiapiapi menjadi ruang pertemuan bagi tiga entitas; Melayu, China dan Eropa; menjadikan Bagansiapiapi tidak saja tersegmentasikan menurut pola pelapisan sosial berdasarkan ekonomi, melainkan juga kultural. Orang China dengan kepemilikan dibidang industri perikanan dan perdagangannya, sementara pribumi melayu dengan kegiatan tradisional; nelayan, pengumpulan hasil hutan, perladangan dan juga perdagangan; terutama disokong oleh kebijakan Siak dalam hak pengelolaan hasil-hasil bumi, terutama dipedalaman. Bagansiapiapi, memang menjadikan penangkapan ikan sebagai penghasilan utamanya, akan tetapi, tidak pula dapat dihambat menghulunya orang-orang China dalam upaya panglong 473

Baalbargen, MVO Bagansiapiapi 1931, hal.41.

288 kayu, perkebunan terutama karet, dalam skala yang tidak pernah dimiliki oleh orang pribumi sebelumnya. Arus kegiatan ekonomi alternative dari perikanan ini, menempatkan orang-orang China hingga berdampingan dengan pribumi dipedalaman, menambah riuhnya kegiatan di muara yang masih didominasi orangorang China. Anak bumi, nampaknya memposisikan dirinya dalam perekonomian yang juga ditopang oleh kekayaan alam pesisir; mangrove. Turut sertanya Melayu dalam penyediaan kayu, rotan hingga atap, menumbuhkan industri atap-nipah hingga dalam batas-batas tertentu, mengalami kemandegan. Kondisi ini, sebenarnya lebih layak dilihat pada keterbatasan sumber daya pekerja, dan kondisi kewilayahan hutan mangrove yang masih dikuasai antar klan secara tradisional, akan tetapi, penjajah lebih suka untuk melihatnya sebagai suatu kondisi dari ketiadaannya spirit kewirausahaan anak bumi. Meskipun demikian, situasi gemerlapnya industri ini, ditengarai telah memicu mulai berdatangannya Melayu menuju kota pesisir ini guna terlibat dalam jejaring konsumsi kolektif kota.474 Konsumsi kolektif kota dalam konteks ini, adalah relung yang terkondisikan oleh riuhnya perekonomian industri perikanan di Bagansiapiapi yang diyakini, memiliki sebaran jejaring ekonomi yang tidak mampu jika hanya dipegang oleh orang-orang China saja. Meskipun demikian dipercaya, pokok-pokok, sumbu-sumbu utama, masih terpolarisasi mengikuti pemukim awal itu. Dengan demikian, pada periode ini, tidak mengherankan bahwa Bagansiapiapi yang mulai bertransformasi menjadi “metropol,” masih berkharakter “naga” yang mungkin akan dianggap berlebihan ketika dikatakan bahwa aromanya tercium bahkan sebelum pengamat Eropa yang berkunjung menjejakkan kakinya dipelabuhan. Bahwa persoalan yang mengemuka dalam rentang perkembangan kota hingga empat dasawarsa diawal abad ke-20, dimana terdapat indikasi yang menunjukkan ketidakpaduan struktur sosial yang mengisi ruang Bagansiapiapi; terutama yang dilatari etnis. 475 Akan tetapi, diyakini bahwa persoalan tidaklah hanya kepada hal itu semata yang dipercaya hanyalah sebagai tampilan puncak gunung es, melainkan hasil dari perjalanan keruangan perekonomian Hindia yang timpang beriringan dengan feodalisme Pribumi dan perekonomian tradisionalnya.476 Puncak-puncak interaksi antar entitas akan berlangsung di relung-relung kota sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian; dan untuk Bagansiapiapi sebagai sebuah kota pesisir, dipastikan akan lebih dinamis dibandingkan dengan kawasan lain yang bercorak tradisional. Hingga dasawarsa pertama abad ke-20, Bagansiapiapi dikenal dengan kejayaannya sebagai

474

Melayu, meskipun berupaya dalam tatanan tradisional, akan tetapi secara berkala mengirimkan surplus ekonominya pada jejaring perdagangan di kota, baik yang akan memenuhi perdagangan ekspor maupun lokal, seperti pada pasar. Konsep Konsumsi Kolektif Kota ini, untuk penjelasan lebih mendalam, lihat Hans Dieter Evers, 1986. 475 Kondisi ini terutama dari catatan para pengamat, wisatawan ataupun pejabat Belanda yang berada di Bagansiapiapi hingga tahun 1940. 476 Kita akan kembali melihat terminologi Boeke, bagaimana dualisme perekonomian kolonial.

289 penghasil ikan terpenting di Hindia Belanda, bahkan di dunia setelah Norwegia. 477 Dengan dukungan ekologi-selain tentunya faktor teknis; sumber daya alam muara yang kaya akan fish fauna, menyebabkan lompatan besar produksi ekspor ikan ke Jawa, Malaya, Vietnam, Thailand bahkan China. Bertitik-tolak dari kondisi sumber daya alam, kebijakan kolonial, modal, sumber daya manusia dan teknologi; maka dapat dikatakan bahwa Bagansiapiapi saat itu adalah tempat yang sibuk dan makmur, dan karena itu juga merupakan sumber pendapatan yang penting bagi Pemerintah Kolonial Belanda. Seperti pendapatan pada tahun 1923 yang mencapai f205.354,- dari bea masuk, dan pendapatan sebesar f1.264.328,- dari monopoli opium, impor yang sebagian besar dari Singapura.478 Diimajinasikan bahwa perkembangan perekonomian yang begitu pesatnya, terwujud dalam meluasnya secara cepat pula perkembangan institusi pelayanan pemerintah; peningkatan fasilitas perkotaan dan pertambahan penduduk, yang kesemuanya mencirikan urbanisasi dalam kurun dua dasawarsa saja. Akan tetapi, kejayaan ini ternyata dibayang-bayangi pula oleh gejala perubahan alam; pendangkalan muara; yang juga ditengarai sebagai akibat perilaku penangkapan ikan yang cenderung tidak terkendali, meskipun pihak pemerintah kolonial mengklaim telah berupaya melakukan serangkaian kebijakan untuk meredam dan membatasi produksi yang cenderung tidak ramah lingkungan. Akan tetapi, sang waktu membuktikan bahwa perubahan ekologi merupakan phenomena yang tidak terelakkan dan terus saja menggerogoti industri. Penumpukan lumpur diantara ratusan jermal dan ambai di muara, telah merubah peta wilayah penangkapan ikan menjadi semakin jauh di lepas pantai, dan ini berarti pendangkalan yang menghebat sebagai konsekuensi penimbunan lumpur yang terus berlangsung mengiringi arus pasang surut muara. Pada awalnya, klaim perubahan – pendangkalan sempat kabur dan tidak jelas sebagai akibat dari penolakan atas phenomena alam ini, bahwa penurunan produksi tangkapan ikan, lebih dominan dilihat dari kebijakan pacht garam yang berdampak pada berkurangnya impor garam sebagai bahan utama dalam proses produksi ikan kering di Bagansiapiapi, meski diakui juga, bahwa kontrolir yang bertugas disana telah menyampaikan kekuatirannya akan penimbunan lumpur dan pendangkalan yang menyebabkan jermal, ditinggalkan pemiliknya untuk berpindah ketempat yang lebih dalam dan ini juga berarti, semakin menjauh saja dari garis pantai. Phenomena penurunan yang dikenal sebagai “achteruitgang” ini, telah terbukti menyebabkan pelaku industri; ribuan nelayan dan pedagang China eksodus dari Bagansiapiapi pada masa penurunan pertama (1910-1915), dan tentunya, kondisi fluktuatif industri akan selalu diikuti perubahan perilaku dari para pelaku industri tersebut. Gerak sejarah industri perikanan Bagansiapiapi, diklaim Pemerintah Belanda benar-benar menjadi 477

Dilihat dalam Indische Varslag 1931, Tekst Van Het Verslag Van Bestuur En Staat Van Nederland-Indie Over Het Jaar 1930: Gedrukt Ter Algemeene Landsdrukkerij – 1931/1932’s : disebutkan bahwa Bagansiapiapi adalah penghasil ikan terbesar kedua di dunia sesudah Norwegia; 478 Vleming, 1924.

290 tidak berdaya pada masa pasca perang, dimana pelabuhan terpenting Bagansiapiapi, tidak lagi menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal yang sebelumnya bebas berlabuh, dan menghilangnya sejumlah bangliau sebagai sentra proses produk. Bahwa kemerosotan produksi ini, nampaknya benar-benar mengikuti perubahan peta penangkapan ikan yang didominasi jermal dan ambai. Tidak cukup berhenti disini, bahwa pukulan depresi ekonomi 1930, telah menyebabkan naiknya harga garam, tingginya biaya pengiriman, sehingga menyebabkan kenaikan harga ikan dipasaran Jawa. Pengaruhnya di Jawa, maka penduduk setempat cenderung akan membeli ikan tangkapan nelayan lokal yang tidak terkena kenaikan biaya pengiriman sehingga menjadi lebih murah.479 Sementara di sentra produksi ekspor seperti di Bagan, penurunan produksi menjadi jawaban atas depresi itu. Akan tetapi, seperti telah disampaikan, Kehadiran nelayan cici, merupakan respon logis situasi ini. Teknologi penangkapan yang berbeda, akan mengkondisikan situasi perekonomian yang berbeda pula. Berbeda dengan Jermal yang membutuhkan sejumlah besar biaya untuk bahan kayu, dan juga upah pembuatannya, buruknya perekonomian tentu akan memutus koneksi dengan para pemasok kebutuhan bahan baku Jermal beserta pekerjanya. Jermal yang pembuatannya menghabiskan hingga f5000, berbeda jauh dengan cici yang hanya f200. Tingginya nilai ekonomi Cici, membuatnya menjadi pilihan yang tepat dan segera menjarangkan penggunaan Jermal. Bahwa dalam dua tahun saja setelah awal masa depresi ekonomi 1930, jumlah cici menjadi dua kali lipat Jermal, dan mampu menaikkan produksi ikan kering. Akan tetapi, statistik telah menunjukkan bahwa selama dekade depresi(1930-1940), produksi dapat dikatakan mengalami masa stagnan, bahkan cenderung menurun menuju periode tahun 1940. 480 Dan pada era ini, surat kabar mulai memberitakan betapa lumpur dan pendangkalan, telah mempengaruhi tidak hanya produksi ikan, melainkan juga mengganggu jalur pelayaran. Sebelum menuju lebih jauh pada situasi perubahan ekologi yang dirasakan terlalu cepat lompatannya setelah berlangsung selama kurun ribuan tahun, ada baiknya mencari penjelasannya pada faktor perilaku aktor, individu sebagai katalisator perubahan ekologi. Bahwa berbicara tentang perubahan ekologi yang cepat ini, maka kita akan membahas industri dan sifatnya di era penjajahan Belanda; keterpisahan dan ketimpangan masyarakat kolonial Hindia di Bagansiapiapi. Kita tidak dapat mencari penjelasan ini hanya dengan melihat kelompok yang termarginalkan saja, sebab upaya ini biasanya akan memunculkan prasangka ataupun “stigma” sebagaimana telah kita temui dari catatan para pengamat Eropa. Semenjak 479

Abdul Wahid, Bertahan ditengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon, pada masa depresi ekonomi 1930-1940, tahun 2009. 480 Meski ditengarai tahun 1940 ini perikanan berada dalam kondisi stagnan, akan tetapi dibandingkan dengan kewilayahan lain di pantai timur, Bagan masih tetap dominan; seperti tampak pada penggunaan garam hingga 18.000 ton, bandingkan dengan wiayah pantai timur yang membentang dari Bagan hingga Palembang yang keseluruhan penggunaannya hanya mencapai 1200 ton saja.

291 masa orientalis, ideologi evolusi dari Eropa yang mengedepankan bahwa bangsa barat lebih unggul, cenderung menempatkan bangsa timur dalam posisi yang berlawanan, lemah, dan harus dikuasai untuk “memanusiakannya.” Dalam terminologi barat itu sendiri, seperti Max Weber yang melihat perkembangan peradaban yang “hebat” itu hanya ada di dunia barat, bukan di timur. sebaliknya, upaya telaah dilakukan terutama terhadap diri pemerintahan Kolonial itu sendiri, institusi yang melahirkan kebijakan perekonomian saat itu. Bagansiapiapi sebagai bahagian dari wilayah yang dipenetrasi kolonialisme Belanda dengan modal-modal asing dan telah merubah struktur perekonomian dan sosial kawasan menjadi bersifat ganda secara menyeluruh. Bahwa keberadaan perkebunan ataupun suatu industri, merupakan suatu kesenjangan yang cukup tinggi antara perusahaan raksasa dengan sistem perekonomian desa-pribumi. Penanaman modal asing ataupun investasi kolonial biasanya akan memiliki lokus pada wilayah yang “kosong,” sehingga segala kebutuhan untuk menopang kegiatan investasi akan berasal atau didatangkan dari luar; Bagansiapiapi, adalah pemukiman yang didirikan oleh orang China yang kemudian dibakukan oleh pemerintah, dan bukan berasal dari pemukim “kampung” pibumi sebagai kampung atau desa terdekat; dimana seperti di Bagansiapiapi, Bagan Punak sebagai “tetangga-terdekat.” Dualisme perekonomian ini, logis saja melahirkan segregasi ruang kultural di Bagansiapiapi, garis demarkasi yang begitu tegasnya menjadi khas kolonial yang juga menyumbat interaksi. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin terjadi integrasi? Meskipun demikian, terminologi Boeke ini, mungkin agak berbeda untuk kasus di luar Jawa; bahwa pengembangan ekonomi hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu dan tidak lagi ditujukan pada bahan rempah-rempah, manisan dan perangsang, melainkan bahan mentah industri, dan juga kaum petani memainkan peranan yang lebih besar dalam ekspor.481 Yang menjadi fokus disini, bahwa investasi tidak menyentuh lingkungan sekitar; hanya saja dalam taraf tertentu memberikan pengaruhnya pada kehidupan tempatan. Struktur perekonomian kapitalis yang dibangun Hindia, salah satu kakinya akan bertumpu juga diatas struktur perekonomian pribumi yang tradisional; hidup berdampingan antara investasi asing dengan pribumi, menyerupai pemisahan antara riuhnya imperialis-kapitalis dengan kearifan tradisi lokal. Selain itu, dalam implementasi imperialis-kolonial, pemerintah menggunakan struktur foedal masyarakat pribumi, memanfaatkan lapisan elit peribumi dalam upaya memapankan eksistensi investasi modal asing. Belanda mengalihkan hak-hak tradisional elit pribumi atas pengelolaan sumber daya kedalam bentuk-bentuk kontrak; dan ini berarti, terjadi rasionalisasi tindakan482 dalam pengelolaan sumber daya. Sayangnya, kondisi ini menjurus pada apa yang sampaikan Weber sebagai “rasionalitas instrumen.” 483 Kontrak memuat hak penggunaan, pengelolaan dari pemilik modal dalam berinvestasi

481

Geertz, dalam Involusi Pertanian, hal.109-111. Rasionalisasi tindakan diartikan bahwa segala tindakan tidak lagi berdasarkan hal-hal yang berada diluar rasionalitas, seperti magis ataupun hal-hal supranatural dan menggunakan kalkulasi rasional, lihat Tiryakian, 1992. 483 Rasionalitas Instrument merupakan kharakter masyarakat industri. 482

292 disuatu lokasi; pemilik modal mengejar profit, dan pemerintah Hindia menunggu pembayaran pacht, pajak dan bea diujung lainnya. Elit pribumi, yang berabad-abad bertumpu pada rasionalitas nilai,484 secara perlahan dipaksa bertransformasi pada struktur perekonomian kolonial. Posisinya sebagai bangsa yang dijajah, menyebabkan tidak banyak ruang negosiasi dalam pembuatan suatu keputusan, situasi yang juga berbanding lurus dengan memudarnya rasionalitas nilai atas hak tradisional penguasaan sumber daya. Lemahnya kontrol rasionalitas nilai dari elit pribumi atas “rasionalitas instrumen” industri perikanan kolonial, telah menyebabkan meluasnya “perlombaan keserakahan” atas ekploitasi sumber daya; menghebatnya pendangkalan muara adalah buah pahit akibat esploitasi penebangan kawasan mangrove dan hulu sungai yang berpengaruh pada kesetimbangan ekologi, dan pada akhirnya berdampak pada surutnya kejayaan industri perikanan Bagansiapiapi. Model perekonomian yang dibangun Hindia, sebagaimana telah disampaikan akan membawa situasi dimana terjadinya polarisasi sosial; antara yang menguasai aset-aset ekonomi dengan yang tidak, antara kota dengan desa; yang kesemua ini, terkondisikan dalam hubungan rumit jejaring pelapisan sosial, bahkan etnik dan ras. Sebagaimana diketahui, kehadiran suatu industri dengan sifatnya yang mekanis, akan memunculkan beragam strata yang memungkinkan persaingan sengit didalamnya. Di Bagansiapiapi, ini berarti pertentangan akan terjadi dikalangan komunitas China sebagai pelaku sentral industri, intensitas konflik yang tinggi akan berlangsung lebih tajam didalam kotak-kotak yang keberadaannya terpisah dari lingkungan setempat akibat politik segregasi kolonial; kompetisi penguasaan pacht, sindikasi hingga perseteruan gangster menjadi bahagian kelam masyarakat industri. Selain itu, massa proletar yang terbentuk sebagai anak kandung dari industri perikanan, keberadaannya tidak saja berhadap-hadapan dengan kelompok pemodal, juga terpisah dari kebersahajaan masyarakat pedesaan disekitarnya. Akan tetapi, tekanan demographi dipastikan akan mendesakkan pengaruhnya pada tatanan sosial yang tertutup dari luar ini, terutama dengan lahirnya elite pribumi tersebab urbanisme Bagansiapiapi itu sendiri, dan meningkatnya migrasi dari pedesaan sebagai akibat tarikan magnet perekonomian kota. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masyarakat majemuk sebagaimana yang ditemui pada ruang-ruang kota kolonial, merupakan hasil kebijakan penjajahan Belanda yang memisahkan secara tajam antar kelompok-kelompok masyarakat. Furnival melihat bahwa antar kelompok ini, masing-masing akan cenderung untuk mempertahankan identitas dan eksistensi beradasarkan alasan-alasan primordial. Masyarakat jamak dalam definisi ini, akan melihat tatanan masyarakat yang terbentuk dari identitas yang berbeda, bersama-sama dalam satu ruang dan berdampingan, namun tidak terintegrasi. Sementara itu, dalam perspektif berbeda akan tetapi merupakan area konvergesi dari pemikiran Furnivall, Boeke, yang mengemukakan 484

Rasionalitas nilai dikatakan bukan sebagai tipe masyarakat industri, melainkan tradisional.

293 bahwa perekonomian kolonial ditopang oleh perekonomian ganda, mendua, yang lebih menekankan pada fokus sistem dari tatanan masyarakat: pola yang bertahan bahkan setelah Belanda angkat kaki dari sana. Sebagaimana yang telah ditampilkan antropolog Geertz, bahwa meski perang sudah usai, masyarakat tetap berada dalam kondisi labil, selalu mencari-cari bentuknya yang baru untuk meninggalkan situasi lama dibawah tatanan penjajahan. Kelompok-kelompok lama, sub-sistem sub sistem; cenderung terikat kepada tatanan kulturalnya sendiri. Situasi kekosongan di ruang kota yang dikatakannya sebagai “kota hampa.” 485 Hingga tahun 1930-an, orang-orang China terus berdatangan memenuhi ruang-ruang dalam industri perikanan Bagansiapiapi yang juga didorong oleh pemerintah kolonial guna memenuhi pundi-pundi kas mereka dari pintu pacht dan bea, orang Belanda yang sibuk dengan pengawasan dan upaya peningkatan produksi yang juga berarti, pemasukan dari tambang emas kecil, sementara orang-orang Melayu berada disebaran pemukiman khas Melayu; kampung-kampung ditepian anak-anak sungai; maupun yang mendiami kantong-kantong ditepian dan diluar keruangan kota, semakin menguatkan tipe segregasi khas kolonial. Belanda menyadari ini – jika bukan merekalah yang mengkondisikannya melalui dualisme perekonomian; sementara itu, mungkin untuk mengimbanginya, ruang integrasi kota dibuka luas dalam parade perayaan kejayaan penjajah, juga beberapa hubungan ekonomi berlangsung yang melibatkan pribumi dan China, akan tetapi, pada masa menjelang perang, keterpaduan ini semu, dan segera saja dapat diseret kedalam kancah kekacauan pada masa peralihan, revolusi, yang mengakibatkan kerusakan dan jatuhnya korban. Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa pemerintah penjajah mewariskan segregasi atas masyarakatnya yang begitu ketat hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia dengan masuknya balatentara Jepang. Stratifikasi sosial tertutup yang mengikat dan telah mengklasifikasikan kelompok-kelompok secara terpisah dalam keruangan kota, ataupun wilayah kewedanaan Bagansiapiapi, memuncak dengan pecahnya konflik ditahun 1946. Meledaknya kerusuhan berdarah yang merefleksikan polarisasi antar dua entitas ini, mengindikasikan bahwa elemen-elemen dari struktur sosial yang ada pada saat itu, tidak pernah terintegrasi utuh dalam keruangan Bagansiapiapi. Kehadiran orang-orang China dalam kurun tujuh puluh tahun, tidak lantas memupuk keterpaduan; masyarakat tidak pernah terkondisikan dengan kharakter paguyuban, melainkan hanyalah patembayan semata.486 Struktur, lebih menyerupai sekumpulan kotak-kotak yang tidak berkaitan, terasing satu sama lain namun bertempat dalam suatu wadah yang sama. Beberapa hubungan kerja yang terbentuk, tidak menjadi pola yang bermakna; Interaksi semu, dominan diseluruh perilaku interaksi antar entitas. Jika pada era awal kehadiran industri membawa pelakunya dalam jumlah

485

Geertz, dalam Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, 1963. Kenangan suatu diskusi pribadi yang ramah dengan almarhum Bapak Sudarno Mahyudin, dirumahnya di Bagansiapiapi pada tahun 2004. 486

294 dominan di ruang kota yang terbatas, maka memasuki tahun 1930-an, situasi berubah dalam tatanan yang lebih luas dalam lingkup kewedanaan. Komparasi populasi kota masih didominasi pemukim awal sebagai pelaku industri, akan tetapi, secara keseluruhan lingkup kewedanaan, penduduk pribumi mengalami peningkatan jumlah yang signifikan. Tekanan demographi ini, tidak diimbangi dengan kapasitas ruang dalam industri perikanan, maupun posisi-posisi strategis perekonomian yang telah mapan dikuasai orang-orang China. Sementara itu, hadirnya industri yang mendunia disisi lainnya, telah melahirkan sejumlah tatanan baru yang melakukan fungsi pelayanan, baik pemerintahan maupun industri itu sendiri yang bermuara pada kepentingan khas penjajah. Belanda, menciptakan elite birokrasi pribumi yang tidak pernah benar-benar dipercayainya; diyakini, bahwa situasi masyarakat seperti ini menyuburkan kecurigaan-kecurigaan, prasangka-prasangka, lebih dari pada kesamaan visi dan tujuan bersama dalam lingkup kota dan kewedanaan. Selain itu, dinamika orientasi politik warga dan gerakan nasionalis yang tumbuh subur di tahun 1920-an dan diperkuat dengan masa pendudukan Jepang, membuat orang Indonesia sudah begitu tidak sabarnya untuk segera menggantikan dominasi Belanda yang begitu ekslusive-nya berkuasa dan memerintah dan menempatkan anak-anak negeri sebagai warga kelas tiga; sementara Belanda terlalu percaya diri bahwa bangsa yang dijajahnya akan membela ketika musuh mereka (Jepang) datang menyerang. Meski begitu, tidak dapat pula diabaikan situasi yang terjadi dalam skala nasional, bahwa pada era sezaman, konflik serupa yang dialami Bagansiapiapi di tahun 1946, juga terjadi didaerah lainnya. Periode perubahan dari alam penjajahan menuju masa kemerdekaan, merupakan masa transisi singkat yang merubah secara radikal tatanan lama ke baru, dari masyarakat kolonial menuju masyarakat republik; periode singkat yang ternyata berisi letupan-letupan dari potensi ketegegangan yang telah terakumulasi dalam kurunisasi Hindia secara simultan. Dan ini menunjukkan, bahwa, gelombang revolusi 1945 idealnya dapat memecah kebuntuan dari masyarakat produk kolonial Hindia; masyarakat majemuk yang terpisah, penuh ketimpangan, dan tidak terintegrasi; tidak hanya di Bagansiapiapi, melainkan juga di seluruh wilayah mantan Hindia Belanda. Pasca perang nampaknya benar-benar paralel dengan surutnya industri perikanan gelombang kedua yang nampaknya kondisi ini tidak pernah berubah kembali hingga saat terakhir, dan juga turut merubah komposisi pelaku perekonomian Bagansiapiapi yang semula cenderung bertumpu pada industri perikanan, secara berangsur-angsur juga pasca perang, mulai didominasi dengan berbagai kegiatan perdangangan, terutama menuju Semenanjung. Ketika hutan belum benar-benar habis dan teralihkan menjadi lahan perkebunan, maka masih terdapat sumber daya yang dapat dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan pembangunan kota Bagansiapiapi dan perdagangan kayu serta hasil hutan lainnya didunia selat. Kebun-kebun karet masih mengeluarkan getahnya yang dalam penanganannya akan melibatkan juga anak bumi disana. Mulai dari produksi, pengangkutan hingga pengiriman, dipastikan melibatkan anak bumi dalam proses ekonomi tersebut.

295 Periode ini, akan dikenang sebagai masa hiruk-pikuk anak bumi dalam aktifitas “hujan emas”, yang melibatkan tidak hanya pemodal pedagang besar, melainkan juga kelas buruh-pekerja dan mengakibatkan melonjaknya jumlah anak bumi yang berdatangan terutama dari berbagai penjuru eks kewedanaan Bagansiapiapi, dan juga yang berasal dari luar. Bahwa memasuki akhir tahun 1949, situasi berangsur pulih, dan tatanan ekonomi yang semula berada dalam penguasaan orang-orang China, tidak banyak berubah. Meskipun Belanda dalam laporannya menyebutkan tidak berdayanya industri perikanan sebagai akibat pendangkalan muara, betapa pun jua, Bagansiapiapi selama dekade awal pasca Hindia, tetap mengemuka. Kondisi ini terutama disebabkan sumbu perekonomian perikanan tangkap yang telah mapan selama masa pemerintahan Hindia. Pada masa Sumatra tengah (1948-1958), industri hasil muara ini tetap berjalan meski tertatih, atau, terseret langkahnya mengingat sang induk semang telah digantikan dengan pemerintah Republik Indonesia yang masih relative baru, berada dalam masa transisi yang benar-benar berat sehingga perioritas lebih kepada konsolidasi politik. Pada saat aksi militer Belanda tahun 1948, Belanda pada awal pendudukannya disana melihat phenomena ini memburuk disebabkan ketiadaan peralatan modern untuk dilakukannya pengerukan, hal yang tidak mungkin dilaksanakan pada situasi seperti itu. Pembahagian wilayah dimana Kewedanaan Bagansiapiapi merupakan bahagian dari Bengkalis-Riau, dimana wilayah ini pun berada dibawah Provinsi Sumatra Tengah dengan keterbatasan personel aparat jawatan perikanan. Meskipun demikian, nampaknya pada periode Sumatra Tengah ini Bagansiapiapi masih dominan menggunakan alat tangkap ikan jermal, bubu dan ambai, begitu pula dengan armada kapal yang sedianya digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan; Bagansiapiapi dominan dengan sejumlah 50 kapal motor, 516 kapal berukuran besar, 834 kapal berukuran sedang dan 750 kapal berukuran kecil. Produksi perikanan Bengkalis, yang meliputi Bagansiapiapi, Bengkalis, Selat Panjang dan Tanjung Medang mencapai sekitar 50 juta Kg pada tahun 1953.487 Selain itu, beberapa organisasi perikanan masih menunjukkan eksistensinya seperti; Hai Giap Hwa di Sinaboi, dan Persatuan Djermal (Hwa Kiauw) di Bagansiapiapi yang memiliki 92 anggota. 488

487 488

Makruf Siregar, hal.17-20. Provinsi Sumatra Tengah, Jawatan Penerangan, 1953.

296

Berita dari “De Nieuwsgier,” tanggal 24 Mei 1956; Suara sember dari pusat ikan terbesar: Pelabuhan Bagansiapiapi mendangkal.

Akan tetapi, secara phisik, tampilan Bagansiapiapi memang saat itu tidak lagi meyakinkan sebagai pelabuhan ikan terpenting kedua didunia, setidaknya dimata orang Eropa yang berkunjung kesana. Sang jurnalis Belanda, membandingkan kondisi pantai Bagan yang pada sepuluh tahun sebelumnya, masih merupakan pelabuhan kapal-kapal nelayan dan ekspedisi pengangkutan, saat itu telah berdiri sekolah, rumah, bahkan lapangan sepak bola. Kapal K.P.M yang diingatnya masih melakukan pelayaran kesana, saat itu benar-benar menjadi mustahil untuk dilakukan. Surutnya industri perikanan, juga dikaitkan dengan pelarangan oleh pemerintah tentang penggunaan areal Pulau Barkey untuk tempat pengolahan ikan.489 Penampilan Bagansiapiapi yang berhadapan dengan pulau Barkey yang semakin meluas, sehingga aliran laut diantaranya menjadi semacam sungai saja, menutupi wajah pelabuhan Bagansiapiapi. Tentu saja, alasan ini merupakan konsekuensi dari perubahan ekstrim ekologi muara; dan surutnya industri menjadi salah satu pertimbangan untuk melindungi ekologi muara. Hasil perikanan Bagan pada kurun 1956 ini, seorang pejabat di distrik, Tuan A.Wahab, menjelaskan kondisi bulanan dari hasil produksi dari pelabuhan terpenting ke-2 dunia ini setiap bulannya hanya berkisar 600 ton saja; yang setara dengan 600.000 Kg dan setahun sekitar 7.200.000 Kg. Jumlah ini, tentu jauh berbeda pada masa Hindia Belanda. Lebih jauh dijelaskannya, bahwa ikan tidak lagi sebagai “primadona” yang disebabkan tidak mewakili nilai yang tinggi, akan tetapi lebih kepada perdagangan karet dan hasil hutan.490 Dan Belanda pada saat-saat terakhirnya, lebih tampak bagai seorang pemuda frustasi yang akan kehilangan gadis pujaannya. Sebelum benar-benar pergi, Belanda yang sakit hati mendapati pula kenyataan bahwa mereka tidak mampu menggeser dominasi Singapura atas perekonomian Selat. Belanda menemui bahwa Oeang Repoeblik tidak berlaku di Bagan, begitu pula halnya dengan mata uang mereka; Belanda tidak berhasil 489

De Nieuwsgier, 24 Mei 1956, “SEMBERE GELUIDEN UIT GROOTST VISCENTRUM: haven Bagan Si Api Api Slipt Aan.” 490 Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie 11-07-1956, Visopbrengst.

297 mengganti dolar Singapura dengan mata uang NICA, yang dirasakan membebani para pedagang. Dolar Singapura, menjadi tuan dikawasan yang terkena efek langsung perdagangan Selat, termasuk kewilayah republik yang tentu saja, ini jelas-jelas merugikan.491 Dominasi yang berlangsung bahkan hingga pasca Sumatra Tengah; dimana Presiden Republik, Ir.Sukarno, dengan berang mengatakan bahwa separuh Singapura dibangun dari hasil sumber daya Sumatra; dan dikatakan juga bahwa sistem perekonomian dollar Singapura dan barter telah merugikan bangsa. Akan tetapi, nampaknya dominasi dolar itu menemui akhir dengan era konfrontasi; sebagai suatu periode yang dikenal dengan “Ganyang Malaysia.”492 Bahwa pemutusan hubungan diplomatik Indonesia – Malaya, berbuntut pada aksi blokade seluruh kegiatan perdagangan ekspor-impor di Selat; benar-benar dirasakan dampaknya pada masyarakat yang terutama menggantungkan mata pencahariannya dari ekonomi selat. 493

491

Sebenarnya Lembaga Deviezen (Deviezeninstituut) bagi Indonesia, dalam surat edarannya tentang ekspor barang dari pelabuhan Sumatera Timur (dimana tidak ada bank) mengumumkan bahwa terhitung sejak 1 September 1949 jumlah uang Straitsdollar yang harus disetor ke bankbank di Singapura sebelum barang-barang tiba, akan dinaikkan dari 60% menjadi 70% dari total harga. Dalam surat edaran itu juga diadakan pembedaan antara: (1) Daerah Rupiah, yang meliputi Tembilahan (afd. Indragiri), Siak, Sri Indapura, Pakan Baru (afd. Bengkalis) dan Bagan Siapi-api; (2) Daerah Straitsdollar, meliputi Bengkalis dan Selat Panjang. Ekspor yang dimaksud adalah: ekspor barang-barang yang untuk pengirimannya diterima connossement atau sesuatu dokumen untuk keperluan pengangkutannya dari Indonesia ke Singapura. Dengan surat-surat tersebut barang-barang tadi bisa diambil dari pengangkutnya, melalui Konsulat Jenderal Belanda di Singapura. Berita Antara, 27 Agustus 1949 - LSB. Koleksi ANRI. 492 Bahwa diyakini politik konfrontasi salah satunya adalah untuk menyingkirkan dominasi dollar Singapura di Selat Melaka, terutama diwilayah Republik, Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era Sukarno, 1985. 493 Dampak aksi blokade masa Ganyang Malaysia ini di kewedanaan Bagansiapiapi, sebagaimana tampak dalam karya sastra tentang seorang tokoh yang berasal dari Pujud(dipedalaman sungai Rokan) H.Saleh Djasit, dimana pada masa konfrontasi ayahnya tidak lagi dapat menjual hasil kebun karet ke Malaysia untuk kebutuhan biaya sekolah. sebagaimana dikisahkan M.Amin dalam “AYAH KEDUAKU,” cet.II tahun 2014.

298

Kantor Kewedanaan Bagansiapiapi dalam sebuah acara tahun 1950-an. Sumber: Pemkab.Rokan Hilir

Perdagangan Selat dan Otonomi Daerah Keadaan industri perikanan pasca perang yang tidak lagi seperti era Hindia Belanda, nampaknya disambut dengan suatu kegairahan baru yang merupakan bentuk perekonomian kuno Selat: sebagaimana telah disampaikan bahwa lanskap disepanjang pantai timur, dari hulu sampai hilir, ditarik dalam suatu pola kosmopolitan perdagangan selat Melaka. Sebelum dunia Melayu selat dikuasai Eropa, tentu saja, perdagangan yang menjadi basis perekonomian disesaki oleh berbagai entitas dari penjuru dunia dimana anak bumi terlibat didalamnya. Akan tetapi, traktat 1824, telah membelahnya secara administrasi kolonial; tidak secara phisik, melainkan membatasi dan mereduksinya dalam tatanan birokrasi modern yang jika tidak dilalui, akan menempatkan pelakunya dalam posisi sulit saat berhadapan dengan para penjaga perbatasan, dan juga, para pemungut bea. Mapannya dominasi Belanda dan Inggris dimasing-masing tepian selat, sedikit banyaknya telah mempersulit gerak pedagang danbangke ini, hingga tibanya masa pendudukan Jepang. Perubahan tatanan secara drastis dari Belanda ke Jepang, telah menjatuhkan satu pihak dan memakmurkan

299 pihak yang lain. Blokade perairan selat oleh Sekutu disatu sisi, berhadapan dengan kebutuhan Jepang akan barang-barang disisi lain, telah menumbuhkan pelaku penyelundup; sementara di Bagan sendiri, kerugian Belanda atas pemasukan dari bea sering dikaitkan dengan perdagangan ini. Perilaku yang terpola hingga berakhirnya Jepang, telah menguatkan sekelompok, terutama orang China dalam perdagangan danbang itu. Dapat dikatakan, tidak hanya periode Jepang, kawasan pantai timur yang langsung berhadapan dengan Semenanjung, semasa revolusi phisik pun (1945-1949), telah akrab dengan perdagangan penyelundupan (smokkelhandel). Dimasa pendudukan Jepang, perdagangan diarahkan untuk kepentingan militer Jepang, maka pasca Jepang, terutama untuk memenuhi kebutuhan tentara Repubik dalam persenjataan. Pasca perang, beralih menjadi penyelundupan barang-barang yang diantaranya termasuk jenis impor dengan bea tinggi hingga dua ratus persen. Belanda dahulu mengkategorikan perdagangan dari pantai timur ke Semenanjung sebagai smokkel(selundupan) yang berada diluar wilayah kontrolnya; dan jumlah pada saat sang Meneer berkuasa tidaklah seramai era republik. Para pemain smokkelhandel atau juga danbangke di Bagan ini, tidak saja didominasi orang-orang China, melainkan juga orang-orang Indonesia. Riuhnya perekonomian Bagansiapiapi, tidak lagi sematamata hanya bersumber dari penangkapan ikan di muara Rokan, melainkan juga sebuah perdagangan lintas batas negara yang melibatkan jejaring perdagangan internasional yang melintas didepan mata. Arbitrasi relung ekonomi menandai periode yang menjadi kegairahan perekonomian, hingga menjangkau sudut terdalam dari jejaring anak bumi tidak saja di area pesisir, melainkan hingga jauh ke pedalaman. Kegiatan perdagangan ini benar-benar bernilai tinggi, tentu juga berdampak pula pada tingginya kerugian negara dalam hal bea, bahwa dalam setahun nilainya mencapai hingga empat juta dollar, sementara pada tahun sebelumnya yaitu 1955, pengiriman barang yang dilakukan secara resmi tercatat hanya bernilai setengah juta dollar saja. 494 Dalam periode dimana diskriminasi warga oleh negara tidak lagi berlaku, maka ini benar-benar merupakan masa keemasan, setidaknya yang terlibat dalam jejaring perdagangan Selat. Dalam konteks ini, kita tidak dapat membayangkan bahwa pelabuhan akan disibukkan, atau tidak lagi didominasi produk perikanan saja, melainkan juga pengiriman berbagai barang-barang; dari pedalaman ke pelabuhan Bagan, Bagan ke kawasan lain di pantai timur, Semenanjung Malaysia dan juga Singapura. Sebaliknya, perdagangan yang meluas dan tidak tercatat ini, adalah dimana ketika sembari melaut dan menjual hasil ikan, nelayan akan membawa hasil bumi untuk diperdagangkan barter, atau pun jual-beli yang dibayar dengan dolar. Kegiatan ini, dimulai dari seluruh jejaring pelabuhan rakyat yang tersebar disepanjang pantai, sungai dan anak sungai. Komposisi demographi pun berubah drastis, dan tidak pada periode sebelum perang, dimana struktur sosial cenderung hampir-hampir statis, periode ini ditandai dengan tatanan baru sebagai juga akibat tekanan demographi terutama dari kalangan pribumi yang semakin mendesakkan warnanya 494

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, “Smokkel uit Bagan Siapi-Api : 4 miljoen dollar schade,” 11 Juli 1956.

300 pada wilayah yang lebih luas; tumbuhnya organisasi dan bahkan politik yang terlepas dari unsur-unsur lama, merupakan salah satu bentuk nyata suatu kesadaran kebangsaan; akibatnya, tatanan yang mulai terbentuk mungkin saja masih labil dan cenderung menimbulkan ketegangan-ketegangan; bertemunya semangat perubahan dengan kokohnya tembok warisan penjajah, segregasi; juga berpotongan dengan hiruk-pikuk politik nasional kurun orde lama. Pada masa ini, perubahan mendasar dapat dilihat diantaranya dengan ditunjukkannya oleh masyarakat secara terbuka atas ketidaksetujuan terhadap “permainan dadu.” Permainan dadu, mungkin saat itu usianya sama dengan keberadaan kota Bagansiapiapi sendiri, sebagaimana dicatat oleh Hijman van Anrooij sebagai salah satu kegiatan yang dikenakan bea. Dimasa republik, tercatat bahwa permainan dadu telah menghasilkan sejumlah 875.000 rupiah. Aksi demo yang meliputi seluruh organisasi kemasyarakatan termasuk Masyumi ini, meminta keberadaan permainan dadu dihentikan, dan selain itu sepuluh teman mereka yang menandatangani deklarasi dan ditangkap, agar dibebaskan. 495 Perlu dipertimbangkan, bahwa hingga awal tahun 1958, kawasan Sumatra Tengah berada dibawah tekanan rezim Dewan Banteng, yang arah kebijakannya, semakin menjurus pada persinggungan dengan pemerintah pusat, kemudian masa leburnya Sumatra Tengah tahun 1957-8 menjadi tiga provinsi dimana Bagansiapiapi menjadi bahagian Bengkalis-Riau: suatu periode yang berlangsung hingga pergolakan revolusi 1965. Akibatnya, diasumsikan bahwa perubahan yang idealnya berlangsung dengan deras dibawah pengaruh perubahan ekologi, tekanan demographi dan perubahan struktur, ternyata tersendat; bagai sebuah perahu yang terseret arus perubahan menuju lautan dangkal berlumpur dan terdampar disana, karam-tenggelam tidak, bergerak pun tidak. Sebelumnya, hantaman keras gelombang revolusi 1945, merubah tatanan ideologi negara kolonial menuju alam kemerdekaan, yang tidak lagi toleran terhadap ketimpangan lama. Sebagaimana kapal yang terperangkap ditengah-tengah lumpur; Struktur sosial yang begitu tajamnya tersegregasi, didobrak oleh kaum republik yang disikapi pula dengan keras oleh orang-orang China Bagan. Bentuk pemerintahan campuran yang dibentuk oleh tim pendamai 1946, merupakan solusi temporer hingga mapannya pemerintahan republik pasca pengakuan kedaulatan 1949. Kekisruhan politik ditingkat nasional hingga era pasca Sumatra Tengah; Provinsi Riau, direspon oleh berbagai kalangan di kewedanaan sebagaimana tampak dalam semangat pembentukan daerah otonom, daerah Swatantra Tingkat II ditahun 1963-4; bahwa penguatan dan kesadaran akan suatu nasionalisme pesisir Rokan diujung era orde lama, bahwa perjuangan yang diketuai oleh (Alm) Husin Rambah ini, sayangnya, saat itu belum berhasil.496 Embrio ini, kemudian memperoleh tekanan politik yang kuat

495

De waarheid, 15-08-1957, Een „fooi”. Permainan dadu ini, ditengarai dipertahankan dengan jaminan uang tip bagi seorang oknum aparat sebesar 100.000 rupiah. 496 Perjuangan pembentukan daerah otonom: daerah swatantra tingkat II Bagansiapiapi yang diketuai Husin Rambah, melibatkan unsur-unsur di kewilayahan Kewedanaan Bagansiapiapi yang

301 pasca 1965; peralihan politik dari orde lama ke orde baru. Sentralistik orde baru, untuk sementara menekan semangat lokal dan menarik elit pada pusat-provinsi dan nasionalisme ala orde baru. Sementara itu, pewarisan segregasi kemudian ditekan dengan serangkaian kebijakan asimilasi. Kebijakan yang membekas dibenak warga adalah seperti pada kebijakan dibidang pendidikan; penempatan silang siswa antar sekolah yang bercorak etnis; ketat pada awal mulanya, akan tetapi berangsur-angsur kembali seperti kesetimbangan semula. Bahwa alasan diberlakukannya kebijakan ini adalah orde baru menginginkan lembaga sekolah dapat berperan sebagai “melting Pot,” yaitu wadah pembauran dengan harapan kelompok tertentu akan meleburkan diri dan kelompoknya kepada budaya yang lebih dominan; Pada era itu juga, seorang nelayan tua berkisah bagaimana di tahun 1970-an, ia melaut bersama kelompok nelayan China yang menggunakan jaring apung. Alat ini, membutuhkan sejumlah tujuh orang pekerja untuk mengoperasikannya. Dirinya bersama dua teman Melayunya, dan empat orang China mengoperasikan alat ini. Dan situasi ini, menjadi gejala umum disaat itu, bahwa telah terjadi varian pekerja berdasarkan etnis, tidak seperti periode sebelumnya dimana masih didominasi oleh nelayan China. Penerapan kebijakan asimilasi dengan memposisikan warga untuk saling berbaur seperti disekolah, diketahui, tidaklah berhasil mencapai taraf yang diinginkan; masing-masing kelompok tidak meleburkan identitas mereka, seperti dikemukakan Gazer dan Moynihan497 atas phenomana di New York dimana belasan kelompok berdasarkan identitas etnik yang hidup berdampingan dalam rentang waktu yang lama tidak meleburkan identitasnya; begitupula kebijakan asimilasi sekolah era orde baru, sehingga Melting Pot nampaknya lebih kepada mitos belaka.498 Jika dicermati, kebersamaan yang “dipaksakan” rezim Orde Baru pada ruang-ruang pendidikan, kebersamaan dalam ruang perekonomian, atau yang lebih umum adalah kebersamaan dalam ruang-ruang kota semenjak masa Hindia, tidak menjadikan masing-masing entitas meninggalkan identitasnya. Dalam ruang publik dimana interaksi berlangsung sebagai hasil gerakan “pergi-pulang” masing-masing individu dari rumahnya ke ruang interaksi; dari rumahnya individu membawa identitas asalnya ketempat dimana berlangsungnya praktek kebudayaan yang lebih luas; maka yang terjadi, adalah “pengayaan akan kehidupan bersama yang tidak diiringi penanggalan identitas.”

terdiri dari tokoh cerdik pandei, partai politik, unsur dari Tanah Putih, Bangko dan Kubu, serta birokrasi. 497 Glazer dan Moynihan, Beyond the Melting Pot, Cambrigde MIT Press, 1963. 498 Usman Pelly, Murid Pri dan Non Pri dalam Sekolah Pembauran: Kebijakan Asimilasi Orde Baru dibidang Pendidikan dan dampaknya terhadap Masyarakat Multikultural, Antropologi Indonesia Tahun XXVII Nomor 71, hal.34-45.

302

Husin Rambah, Sumber: Museum Sejarah Rokan Hilir Bahwa masing-masing individu akan terbawa kepada kehidupan sosial yang bercirikan plural, dan dengan pengalaman interaksi ini akan membuat individu lebih mudah dan cenderung memilih gaya dan ekspresi yang lebih cocok bagi kehidupan bersama. Proses yang baik untuk terwujudnya masyarakat multikulturalisme, akan tetapi ini semua tentu memerlukan proses yang tidak sebentar, bahkan tidak terelakkan dukungan kebijakan pada level makro yang kondusif bagi keberlangsungan suatu masyarakat pluralisme; yang seringkali tidak disadari pengamat atau komentator ketika berada di Bagansiapiapi; cenderung menyalahkan dan mencari kambing-hitam atas situasi sosial yang sedang terjadi disini. Perlu juga diketahui, bahwa, pada era 1970-an, Bagansiapiapi sebagai kota dengan ruang terbatas masih didominasi oleh orang-orang China, setidaknya dengan nominal umum termasuk pribumi mencapai 25.000 jiwa; jumlah yang signifikan dalam menggerakkan perekonomian kota seluas Bagansiapiapi. Meskipun telah meninggalkan periode keemasan hingga hampir 30 tahun lamanya, industri perikanan Bagansiapiapi saat itu masih tetap dominan, terutama diwilayah provinsi Riau. Akan tetapi, bukan industri ini yang menarik perhatian rezim Orde Baru pada dekade awal pemerintahannya, ditahun 1970-an, melainkan adalah begitu banyaknya tersebar rumah-rumah candu yang jumlahnya mencapai 63 unit, dan penggunanya mencapai 4500 orang, terbesar di provinsi Riau

303 (daratan-kepulauan).499 Alasan yang berkembang adalah bahwa “herbal” ini digunakan nelayan untuk keperluan melaut, ketahanan phisik bagi penggunanya dalam berhadapan dengan kerasnya alam pesisir. Laporan itu menyebutkan, bahwa penggunaan candu didaerah ini, tidak menimbulkan dampak ataupun ekses dalam bentuk perbuatan kejahatan, seperti; pembunuhan, dan kriminalitas semacamnya. Sebagaimana tercatat, penggunaan candu untuk sekitar 4500 orang ini, setiap harinya setiap orang pecandu akan membutuhkan sekitar 3 bungkus dan bahkan maksimum yang dapat dikonsumsi hingga 20 bungkus, dimana berat perbungkus adalah 0,9 gr dengan berat bersih sekitar 0,72 gr. Maka perhitungan kebutuhan konsumsi harian di wilayah ini adalah: 4500 x 3 x 0,72 g = 9,72 Kg. dalam setahunnya, maka dibutuhkan sekitar 3504 Kg. angka ini, jika dikalikan dengan perkiraan (black number) maka akan menghasilkan 7008 Kg atau 7 ton setahunnya. Bahwa persoalan penggunaan candu ini, telah ada semenjak masa Hindia Belanda yang diatur dalam Opium en Zoutregie, guna penyaluran candu kepada penggunanya. Semenjak masa Republik, aturan Hindia Belanda ini tidak lagi berlaku, dimana sesuai dengan konvensi Jenewa, telah diberlakukan larangan penggunaan candu ataupun narkotika lainnya diluar kepentingan ilmiah ataupun kedokteran. Kondisi ini, menyebabkan candu yang semasa penjajahan, sebagai komoditas resmi, akan tetapi sebaliknya di masa republik dimasukkan secara gelap, guna memasok kebutuhan pengguna yang telah sekian lama menjadi penggunanya, dan sukar untuk melepaskan diri. Sebagaimana telah dilihat, bahwa perkiraan kebutuhan candu Bagansiapiapi, mencapai angka tujuh ton pertahun, yang didatangkan dari seberang-Semenanjung; diangkut dengan kapal motor ikan ke tepian pantai pulau Halang, Panipahan, Sinaboi dan sejumlah tempat lainnya. Jika dimasa Hindia, keuntungan yang tidak kecil ini dari pemasukan penjualan candu jatuh ke pemerintah, sebaliknya, di masa republik, keuntungan ini dinikmati oleh penyelundup dan pengecernya.500 Realita ini juga menunjukkan bahwa jejaring “Smokkelhandel” dengan begitu leluasa memasok kebutuhan pengguna disepanjang pantai timur, berdampingan dengan industri perikanan yang mungkin saja lambatlambat surut. Dilepas pantai, masih terdapat nelayan cici dan sejumlah jermal, yang

499

Surat Jaksa Agung, Laporan Khusus Badan Koordinasi Pelaksana INPRES Nomor 6/1971, Nomor: 11/LAPSUS/BAKOLAK/V/1973, tanggal 23 Mei 1973 tentang Pemakaian Candu dan Jumlah Addicts di Daerah Bagansiapiapi. 500 Harga pembelian candu di Malaysia saat itu M$200 per 1 Kg, dalam setahun pelaku importir akan memasukkan candu senilai 3.504 Kg X M$200 = M$ 700.000. Pengecer, membeli dari importer gelap seharga M$300 per kilonya, naik M$100, maka dalam setahunnya, pengecer memberli senilai 3.504 X M$300 = M$ 1.051.200,- maka keuntungan pengecer gelap dalam setahunnya bisa mencapai M$1.051.200 – M$700.000 = 350.400,- dikurskan ke rupiah, maka bernilai Rp.50.808.000,- Selain itu, pengecer candu di Bagansiapiapi, dan sekitarnya menjual candu senilai Rp.100,- perbungkusnya, bahwa, 2Kg candu murni setelah diolah akan menghasilkan 1250 bungkus. Maka keuntungan penjualan 2 Kg nya mencapai: 1250 X Rp.100 = Rp.125.000 yang setara dengan M$860. Keuntungan per 2 kilonya, M$ 860 – M$300 = M$ 560, maka, keuntungan pertahun: 3.504Kg/2 X M$560 = M$981.120, yang sama dengan Rp.142.262.400,-

304 kuantitasnya jelas-jelas jauh berbeda pada masa jayanya dibawah Hindia. Akan tetapi, pada tahun 1980-an, pemerintah dengan pertimbangan kesetimbangan ekologi, mengeluarkan peraturan pelarangan penggunaan trawl(pukat harimau) yang ditengarai mengakibatkan kerusakan berat sumber daya ekologi perairan. Dampaknya, secara berangsur-angsur sebahagian nelayan China meninggalkan Bagansiapiapi menuju tempat lain yang masih memungkinkan dilakukannya penangkapan ikan dalam skala yang memadai, atau juga, beralih kepada pekerjaan lainnya. Bahwa, mobilitas orang-orang China pelaku industri perikanan ini, juga diikuti dengan sejumlah pribumi, yang mencoba “mematutkan” dirinya agar terserap kedalam sektor perekonomian lain masih dalam keruangan Bagansiapiapi. Jejak peralihan struktur ini, masih terekam jelas dalam ingatan pelaku yang kini menikmati masa tuanya dalam berbagai varian pekerjaan yang tersedia di relung-relung kota. Seorang mantan pekerja pembuat kapal, mengenang bagaimana ia dahulu memimpin tim kerja yang membutuhkan keakuratan tinggi; atau seorang pria tua sembari menyeruput kopinya, mengingat betapa sibuk dirinya menahkodai kapal menuju Belawan, Bengkalis, bahkan Malaysia, atau seorang mantan nelayan baru-baru saja ia kembali dari Melaka di Semenanjung, mengingat bahwa sebelum ia merantau ke Malaysia, selepas Sekolah ia melaut mencari ikan bersama teman-temannya. Sebut saja Ud, seorang pemukim ditepian kota yang mengaku berasal dari Panipahan, mengenangkan kembali saat ayahnya mengajak melaut dalam kegiatan perdagangan selat; dan bagaimana pula saat sebelum hijrahnya ke Bagansiapiapi, hutan disekitar tempat bermukimnya begitu memanjakan diri dengan hasil-hasil yang melimpah; situasi yang tidak lagi ditemui pada milenium ketiga. Untuk menyambung hidup, maka ia terlibat dalam pengupayaan sawit yang tidak seberapa luas, dan bekerja pada orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Bagi kaum pekebun, peladang, kelompok ini bukanlah seperti yang digambarkan Geertz sebagai proletariat kota. 501 Kepemilikannya atas sumber daya lahan, lebih didasarkan pilihan diri pada sektor pencaharian di darat, dan bukan lagi laut semasa pendahulunya dan serentang masa dimana ia sempat turut andil disana. Sementara sebenar-benarnya proletariat, terhimpun disekitar kota terutama di sebelah selatan kota dalam pemukiman padat khas perkotaan. Disini, meski terdapat pasar rakyat yang mewadahi segala aktifitas perekonomian warga, sejumlah individu masih berkutat dengan jenis pekerjaan yang mengandalkan tenaga. Terdapat alat transportasi pengangkutan barang, yang spesifik ditemui disini, gerobak yang ditarik oleh sepeda motor. Alat angkutan serba guna ini, mengangkut berbagai jenis barang; mulai dari barang harian hingga material, atau bahkan kayu hasil hutan yang panjangnya mencapai delapan meter. Ketika kita menyaksikan phenomena ini, maka mitos “Melayu malas,” tidak menemui pembenarannya;502 itu adalah stigma yang ditemui dalam catatan penjajah sebagai suatu pembenaran sikap

501 502

Sebagaimana pengamatan Geertz atas Mojokuto. Suatu diskusi pribadi dengan seorang warga Bagan, Drs.Acil Rustianto,M.Si pada tahun 2004.

305 keengganannya melibatkan anak bumi dalam perekonomian komersil; dampak kebijakan perekonomian dualisme. Seorang pemalas tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh uwak sang operator gerobak, bukan pekerjaan ringan yang dapat dilakukan sesiapa saja sekehendak hati. Tentu saja, untuk mengetahui hal sebenarnya kita harus melihatnya jauh kebelakang dimana keserakahan kolonialisme barat belum menjamah mereka. Anak bumi, yang terbiasa menghadapi ganasnya arus pasang surut muara, gelombang dahsyat selat Melaka, atau rimbunnya pepohonan hutan pedalaman, dinginnya tatapan nafsu memangsa para predator, dan kejamnya para perompak mengintai harta benda dan jiwa, menghimpun dirinya dalam kekerabatan yang sadar bahwa semakin besar luas kekerabatan yang berarti penambahan jumlah anggota, maka akan semakin memberikan rasa aman. Bahwa tatanan tradisional, memiliki kearifannya sendiri dalam pengelolaan sumber daya, sementara perekonomian komersil skala besar, menuntut suatu perilaku yang telah diatur sedemikian rupa guna memenuhi penghitungan untung-rugi dalam suatu bisnis modern. Modernitas bertemu dengan dunia tradisional, perusahaan berorientasi profit berhadap-hadapan dengan kearifan tradisi anak bumi; kesemua ini menimbulkan guncangan bagi pelaku interaksi. Belanda, cenderung akan bersikukuh sebagai seorang kapitalis tulen yang memproyeksikan kegiatan perekonomiannya dalam angka-angka semata, mengemasnya dengan rapi dalam seperangkat kontrak dan konsesi yang cenderung meminimalkan keterlibatan anak bumi; ketidakterampilan503 dan perbedaan persepsi antara orang Barat dan Sumatra seperti menyangkut jam kerja,504 akan diterjemahkan saja secara mudah yang sebenarnya adalah rasa frustasi aparat Eropa; sebagai bentukbentuk sikap malas dari anak bumi. Untuk mengatasi persoalan ini, yaitu menjembatani pertemuan dua entitas, Belanda menempatan lapisan perantara, yaitu orang-orang China. Belanda, bukan saja berhasil membentuk lapisan tengah ini, juga sekaligus membuktikan bahwa dominasi kolonial seperti di Bagansiapiapi benar-benar bertumpu pada kebijakan yang timpang itu. Kebijakan ini, akhirnya menempatkan orang China dalam superioritas ekonomi termasuk di Bagansiapiapi. Konstruksi keberhasilan ekonomi China itu, juga ditopang oleh pemberitaan para pejabat kolonial, wisatawan atau wartawan yang berkunjung ke Bagan, bahwa kejayaan ini, sekali lagi akan terkait dengan etos yang dimiliki suatu entitas. Akan tetapi, ada yang menarik berkaitan dengan pencitraan yang menjadi mitos, laten dalam benak para pemukim; bahwa keberhasilan dan kejayaan yang dimiliki orang China, tidak terkait dengan sikap sebagai pekerja keras - membanting tulang, mengetatkan ikat pinggang, rajin, hemat atau hal semacamnya. Jika hal-hal itu dikaitkan dengan kapitalis, tentu ribuan atau jutaan orang yang juga menjalani hidup serupa akan menjadi jutawan, 503

Didatangkannya pekerja seringkali dikaitkan dengan ketrampilan yang dimiliki kelompok pekerja, meskipun ketrampilan itu sendiri sebenarnya dapat dibentuk melalui pelatihan; sesuatu yang tidak terdapat dalam politik perekonomian dualism. 504 Pengalaman IJzerman saat menelusuri pedalaman Sumatra Tengah merupakan salah satu dari sejumlah perbedaan pemahaman akan jam kerja. Lihat IJzerman, 1895, hal.

306 sayangnya, itu tidaklah terjadi.505 Sebagaimana telah kita lihat, sang uwak gerobak tidak kurang kerasnya dalam berkerja atau nelayan yang menyabung hidup dilautan, dan tidak pula semua orang China itu berhasil meski ia juga telah bekerja keras. Mitos, telah menjadi alat bagi sekelompok untuk memanfaatkan kelompok yang lainnya, atau sekurang-kurangnya; digunakan untuk membujuk orang lain agar mau bekerja keras dan hemat. Keberhasilan mendominasi perekonomian, terkait dengan akses terhadap sumber daya. Dan penguasaan akses atas sumber daya di Bagansiapiapi, dimiliki oleh orang-orang China; mulai dari penangkapan, garam, pengiriman dan jejaring perdagangan. Lantas, sekali lagi dikatakan, tentu ini bukan masalah spirit, etos ataupun budaya; melainkan persoalan ketimpangan struktur. Memasuki periode reformasi, maka Bagansiapiapi kembali dikejutkan dengan konflik sosial yang mengarah pada keadaan chaos. Yang terasa di peristiwa 1998 ini, adalah sebagai dampak domino guncangnya struktur politik nasional dimana runtuhnya rezim orde baru, mewarnai permulaan menguatnya daerah-daerah yang selama ini mengalami perlakuan ketimpangan dari rezim yang sentralistik. Kami disini, tidak membiarkan diri terbawa pada sikap prasangka dalam upaya memperoleh deskripsi aktual tentang relasi antar entitas di Bagansiapiapi. Sebaliknya, sebagaimana telah dijalankan dengan konsisten dari awal, perilaku aktual akan merefleksikan daya adaptasi terhadap situasi-situasi ekologi yang berubah, atau setidaknya rentan berubah. Situasi anarkhi dalam suatu kerusuhan rasial, bagaimanapun juga dapat dipicu juga oleh pra-kondisi sebelumnya. Penelitian sumber daya perikanan demersal506 di Selat Melaka pada kurun 1969-1975 menunjukkan bahwa kawasan pantai timur Sumatra saat itu secara umum telah terlihat gejala lebih tangkap.507 Begitu pula sumber daya hutan sebagai penopang industri pembuatan kapal yang mulai mengalami kesulitan dengan terbitnya UU Nomor 12 tahun 1970 tentang HPH, dimana masyarakat tradisional yang mengandalkan sumber hasil hutan menjadi cenderung terpinggirkan, 508 gairah perdagangan selat yang redup, menjadi dasar logis bagi stagnannya perekonomian Bagansiapiapi. Situasi ini, jelas berimbas pada kondisi demographi dan meluasnya kesenjangan. Situasi yang sempat direkam oleh BAPPENAS menjelang runtuhnya Orde Baru menyangkut stagnan-nya Bagan dibanding kota-kota lain yang berdekatan, seperti pertumbuhan demographi dari empat kota; Dumai, Bagansiapiapi, Dumai dan Duri. Data tahun 1980-1990 505

Ong Hok Kan, Terbentuknya Kapitalisme dikalangan Peranakan Tionghoa di Jawa, dalam Sekitar Pembauran Bangsa di Indonesia, Yayasan Kesejahteraan Pemuda 66 Jakarta, Cetakan Pertama, 1985, hal.27-31. 506 Bahwa diketahui ikan dapat dibedakan jenisnya kedalam demersal dan pelagis; demersal adalah ikan yang berada didasar, sementara pelagis berada dipermukaan air. 507 Martosubroto,P., T Sujastani &D.Pauly, De Mid 1970s Demersal Resourches in the Indonesian Side of Melacca Strait, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996.hal. 40-46. 508 Bahwa semakin terbatasnya area hutan yang telah dikuasai pemegang HPH, mengakibatkan terjadinya kriminalisasi atas masyarakat yang mencari kayu, sumber baku bagi industri pembuatan kapal di Bagansiapiapi, lihat Kusnadi, Jaminan Sosial Nelayan, tahun 2007, hal.62.

307 menunjukkan bahwa Bagansiapiapi memiliki populasi sejumlah 23.3133 jiwa; kedua setelah Dumai. Jika Dumai memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi, sebaliknya Bagansiapiapi memiliki laju pertumbuhan penduduk terendah diantara empat kota itu. 509 Pada masa otonomi terlihat kuantitas pemukim China di Bagansiapiapi, telah jauh mengalami perubahan, menyusut tajam dibandingkan Melayu dan etnis pribumi lain yang cenderung melonjak tinggi. Meskipun demikian, data kependudukan Bagansiapiapi di tahun 2010, memberikan sebuah “kejutan” tentang bagaimana para pemukim awal di kota Bagansiapiapi ini menghadapi tekanan ekologi dan demographi. Dalam menghadapi perubahan ekologi yang semakin menyempitkan peluang perekonomian, tidak banyak jenis pekerjaan ataupun usaha yang berperan membuka lebar kesempatan kerja. Phenomena menyebarnya usaha sarang wallet di Bagansiapiapi, bukanlah jawaban umum komunitas atas perubahan ekstrim ekologi terutama dibidang kesempatan kerja khusus pada lapisan bawah. Sektor padat modal dan minim pekerja ini, hanya menyediakan ruang sangat sedikit bagi kebutuhan tenaga kerja, satu orang saja dapat mengawasi dan mengelola lebih dari satu lokasi sarang walet, tidak sebanding dengan pertambahan penduduk dari kalangan orangorang China sendiri. Setiap tahunnya, lembaga sekolah menengah setingkat SLTA melepas ratusan lulusannya; sebagai tenaga usia produktif. Kemanakah mereka pergi setelah itu? Keadaan perguruan tinggi di Bagansiapiapi jelas bukan jawabannya, atau peluang kerja formal seperti di pemerintahan. Kali ini, kita akan mendengar apa yang dikatakan dan dilakukan seorang warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi, 510 berkaitan dengan arah yang dituju oleh anak-anaknya. “Dn, kalau lulus sekolah SMA, dia ikut kakaknya yang di Pekanbaru. Kakaknya itu sudah tiga tahun disana, ikut kerja orang Bagan juga.” Dn tidak sendiri di Bagan, ia bersama ratusan temannya bagai ritual tahunan akan segera “berlayar” untuk mengisi peluang kerja atau usaha yang terdapat di kota-kota besar. Pekanbaru, mungkin saja yang terdekat, Medan, Jakarta, Bali, atau bahkan keluar negeri. Kuatnya jejaring “ke-Bagansiapiapi-an” merupakan katup penolong bagi mereka yang tidak tertampung dalam relung-relung sumber daya di tanah kelahirannya. Dan perilaku aktual ini, juga membantu mengatasi tekanan demographi dikalangan mereka sendiri, para pemukim China di Bagansiapiapi. Dengan demikian, grafik kependudukan tidak mengalami peningkatan berarti yang dapat memberatkan kapasitas ruang struktur, 511 melainkan sebaliknya. Secara kasat mata, tampak pada 509

Profil Perkotaan 111 kawasan andalan di Indonesia, BAPPENAS Deputi Bid.Regional dan Daerah, 1997, hal1489-1491. 510 Terakhir, sang informan memutuskan mengirimkan anaknya ke Jakarta, dan ia pun beserta seluruh keluarganya akhirnya pindah juga kesana. 511 Konsepsi kapasitas ruang struktur ini, semula berasal dari daya dukung atau carrying capacity(Sumarwoto, 1995), mengacu juga pada konsepsi daya tampung sosial yang dikembangkan oleh Faturochman dan Widaningrum(1993), atau secara mudah, sebagaimana disampaikan Edi Susilo sebagai “kondisi sumpeg yang dirasakan oleh anggota komunitas: kapasitas ruang struktur sosial adalah kemampuan struktur social untuk mendukung atau

308 tampilan pecinan yang dikatakan seorang warga, areal tepian dari sentral pecinan akan terlihat “bolong-bolong,” bahwa dahulu, pemukim China merupakan barisan rapat tanpa kehadiran pemukim diluar kelompoknya.512 Akan tetapi, nampaknya perubahan merupakan penguasa sesungguhnya dalam kehidupan sosial. Suatu ketika, masih di pecinan, seorang ibu tua yang kesehariannya bekerja memperbaiki jaring ikan yang rusak berkata, “Sekarang ini Melayu senanglah hidupnya, kerja banyak, proyek banyak, tak macam kami inilah.” Mungkin ucapan itu ada benarnya, atau bagai sebuah ungkapan putus asa saja mengenang kejayaan yang dulu pernah ada. Bahwa ia, seorang janda tua, yang kesehariannya duduk berkutat dengan perbaikan jaring dari pagi hingga petang, dengan bayang-bayang tanggungan cucunya yang masih kecil sebab orangtuanya telah tiada. Di pemukim oriental seperti Bagansiapiapi, Panipahan dan Sinaboi, terdapat kantong-kantong tempat lapisan “proletar kota” yang tidak memiliki akses sumber daya. Ibu tua di pecinan ini, orang tua mantan pembuat kapal, mantan nahkoda, atau bahkan mantan nelayan, memiliki kenangan yang sama tentang kejayaan Bagansiapiapi; terutama dalam rentang keemasan perikanan dan perdagangan yang telah membuka selebar-lebarnya relung sumber daya disana; meskipun dengan konsekuensi resiko yang tinggi pula. Bahwa, era keemasan Bagansiapiapi itu, melibatkan hampir seluruh sumber daya, sehingga tingginya resiko dalam berhadap-hadapan dengan negara berbanding lurus dengan keuntungan yang diperoleh.513 Seorang lulusan strata dua mengenangkan sang uwak-nya, yang dengan penghasilan dari perdagangan di jalur Selat itulah untuk membiayai sekolah anak, adik dan keponakannya. Anak bumi yang memperoleh kesempatan bersekolah tinggi di kota, sebahagian ada yang terserap oleh pekerjaan dan relung sumber daya disana, dan terdapat juga yang kembali untuk mengisi peluang pekerjaan yang terbuka semenjak era otonomi; pekerjaan di pemerintahan, ataupun pembukaan lahan-lahan baru, perdagangan yang mencukupi Bagansiapiapi ataupun disebaran sentra-sentra ekonomi baru. Halnya dengan anak bumi yang banyak terserap dalam relung sumber daya seiring bergulirnya otonomi daerah; begitupula yang tidak, mungkin saja jumlahnya melebihi mereka yang beruntung. Tidak semua pekerjaan di era otonomi ini membutuhkan pendidikan tinggi, atau, ketiadaan sumber daya akan menyebabkan generasi penerus cenderung bertahan dalam kultur nelayan, ataupun perladangan menampung pertukaran sosial yang terjadi dalam struktur internal atau ketika struktur berinteraksi dengan elemen suatu suatu struktur lokal atau struktur diluar lingkungan luar komunitas; suatu konsepsi yang benar-benar elastis. Lihat Edi Susilo, 2010, hal.72. 512 Diskusi pribadi dengan seorang warga Bagan, Nurhidayat,SH, tahun 2010. 513 Bahwa Smokkelhandel yang berkonotasi tanpa pengenaan bea, jelas melanggar hokum formal yang memiliki resiko-resiko. Akan tetapi, begitu besarnya keuntungan dari sekali perdagangan saja, dikatakan akan menutupi kerugian akibat tertangkap petugas. Seorang informan mengatakan bahwa kerugian dari tiga kali tertangkap dapat tertutupi dari satu kali keuntungan perdagangan saja.

309 dalam cara-cara tradisional yang sama digunakan pendahulunya. Pendidikan, ketrampilan, menyelamatkan individu dari menyempitnya relung sumber daya terbatas pada hal-hal menyangkut kompetensi, sisanya, akan menempuh pekerjaan sebagaimana para pendahulu dari masa pra-kolonial. Mungkin saja, ada benarnya pernyataan bahwa masyarakat seringkali berada dalam situasi yang sebenarnya tak disukai dan terpaksa untuk menjalaninya. Akan tetapi, ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari perubahan-perubahan sebagai akibat beralihnya situasi ekologi, ataupun ekonomi; tingginya persentase “massa apung” di kota Bagansiapiapi, 514 lapisan sosial yang terlepas dari kepemilikan dan akses atas sumber daya, berjuang dalam kehidupan perekonomian dengan mengandalkan tenaga fisiknya. Otonomi Daerah, merupakan berkah bagi penguatan identitas lokal, reorientasi yang menapak pada eksistensi dan kejayaan silam yang pernah ada, juga sebagai arena elit dalam mengekspresikan segala potensi dan sumber daya sekaligus peragaan kemahiran politik yang setelah sekian waktu ditekan dibawah rezim represif orde baru. Sebagaimana diketahui, Belanda telah menarik pusat dunia anak bumi lebih seabad yang lalu, dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi; dari pusat dunia Melayu tradisional menuju dunia metropol. Tanah Putih saat itu, merupakan representasi kekuasaan kesultanan, tereduksi melalui pendirian pusat pemerintahan Hindia tahun 1900 di Bagansiapiapi, reorganisasi pemerintahan tahun 1915/16, hingga leburnya identitas tradisional kedalam Republik. Pukulan perubahan terhadap tatanan lama, bukan berarti benar-benar membawanya dalam kematian sebagaimana tampak dari kukuhnya penjagaan dan pemeliharaan tradisi pranata suku di sebahagian eks lanskap, adaptasi dan penyesuaian yang semasa orde lama tampak berupaya bangkit dalam kerangka eks kewedanaan, hingga akhirnya otonomi mengantar wilayah ini sebagai suatu kabupaten yang mandiri, terlepas dari kabupaten induk: Bengkalis. Ketika iklim politik dirasakan kondusif bagi penguatan identitas, maka, jejak tiga kenegerian dapat menjadi sumber penggalian kebudayaan yang idealnya mendukung penguatan identitas ke-ROKAN HILIR-an; proses ini diyakini “berlangsung dinamis” dalam menumbuhkan imagined community sebagai “bangsa Rokan Hilir,” wujud kesinambungan rasa kebersamaan para pendahulu yang secara sadar mengekspresikannya ditahun 1963 dan 1999. Saat ini, otonomi daerah, dapat menjadi wahana aspirasi elit dan massa tentang jati diri anak bumi yang semakin mengkristal sebagai bangsa Melayu: entitas yang terkait dengan pesisir, sungai dan anak-anak sungai. Wajar, ketika upaya menggali potensi akan bertemu dengan realita, bahwa Bagansiapiapi Tempo Doeloe adalah sebuah kota dalam jejaring perdagangan dunia; suatu hal yang hilang diera Jalan Raya Daratan. Rancangan pembangunan lintas pesisir, merupakan jawaban atas dominasi daratan yang seolah-olah hendak menjauh saja dari dunia maritim yang menjadi kharakter negara kepulauan. Sementara itu, dibalik otonomi daerah sebagai buah kebebasan 514

“Massa apung,” konsep ini mengacu pada apa yang disampaikan oleh Evers(1986). Bahwa pekerja buruh lepas, adalah kelompok terbesar di Bagansiapiapi.

310 berdemokrasi, tersurat dan tersirat tugas mulia bagi para aparat, birokrat, dan teknokrat untuk berupaya bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, terutama di wilayah eks kewedanaan Bagansiapiapi yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Rokan Hilir: mengingat betapa BELANTARA JERMAL yang dahulu merupakan kharakter khas disini, tidak lagi terlihat, menghilang seiring masa dalam situasi ekologi yang berubah.

311

Daftar Pustaka

312 Ahmad, Zuarman & Yoserizal Zen, KOBA HITAM MANIH, Titu Nai: Tradisi(Sastra) Lisan Orang Bonai, Editor Alang Rizal, Penutur Norma, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, 2013. Amin, Mohd, AYAH KEDUAKU, Penerbit Pustaka pelajar Yogyakarta, Cet.II. tahun 2014. Andaya, Barbara Watson, To Live as Brothers, University of Hawai Press, Honolulu, 1993. Andaya, leonard Y, Leaves of the Same Tree: Trade and Etnicithy in Mellaca Strait, University of Honolulu, Hawai’i, 2008. Anderson, Benedict, Imagined Communities: Komunitas-komunitas terbayang, Pustaka Pelajar, Cetakan ke-3, tahun 2008; judul asli: Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. Ankie, MM.Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Penyadur Alimandan, cetakan pertama tahun 1986. Basyarsyah, T.Lukman Sinar, dalam Makalah “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatra Timur: Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985. ————, 1986: 154; Tim Penulisan Sejarah Pemda sumatra Utara, 1990: 3-6, dalam Historisisme, Edisi 21 Tahun X Agustus 2005. Benda, Harry J., BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, cetakan kedua, 1985, judul asli: The Cresent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under Japanese Occupation 1942-1945, Copyrigt 1958 pada N.V.Uitgeverij W.van Hoeve, Den Haag. Boejinga, De Vischerij van Bagan Api-Api, Koloniaal tijdschrift / Vereeniging van ambtenaren bij het binnenlandsch bestuur in Nederlandsch-Indië, de economist, Volume 15, Number 1, 1 January 1926; Boeke. Julius H., Economics and Economics Policy of Dual Soceities as Exemplified by Indonesia, New York: Instituute of Pasific Relation, 1953. Bottemane, C.J., Verslag over de Visscherij en de Vischhandel Van Bagan Si Api-Api, Publisher Batavia: Instituur Voor Zeevisscherij, 37p., Tahun 1941. Brown, C. C. “Sejarah Melayu or Malay Annals,” JMBRAS 25, 2 and 3 (October 1952). Bronson, Bennett. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes toward a Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” In Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives from Prehistory, History, and Ethnography, edited by Karl L. Hutterer. Ann Arbor: University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies, 1977. Bruin, A.G., “De Chineezen Teer Oostkust Van Sumatra, Mededeeling No.1, Uitgave Van het Oostkust Van Sumatra Intitute, Leiden 1918. Budiman, Hikmat (editor), KOTA-KOTA DI SUMATRA; Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi, The Interseksi Foundation, Jakarta tahun 2012: M.Subhi Azhari: Proyek Identitas dan Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi antar Kelompok Etnis China dan Melayu di Kota Bagansiapiapi, hal.261-

313 348. Hikmat Budiman, Mendiskusikan Kembali Furnivall: Satu Cerita Lagi dari Bagansiapiapi, hal.459-508. Buiskool, Dirk A., The Chinese Comercial of Medan, 1890-1942:The Penang Connection, oleh Dirk A.Buiskool, JMBRAS Vol.82 Part 2, 2009, p.113-129. Butcher, Jhon G., The Salt Farm and The Fishing Industry in Bagan Siapi-api, Artikel yang dimuat dalam jurnal Southseast Asian Program, Publications at Cornell University, Volume 62, Oct, 1996; ———., The Marine Fisheries of Western Archipelago: Towards an Economic History, 1850 to the 1960s, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996, hal.24-39. Buusy, JH De., Deli in Woord en Beeld,, Amsterdam, Tahun 1905; Casparis, J. G. de. Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to c. AD 1500. Leiden: E. J. Brill, 1975. ———. “Kerajaan Malayu dan Adityawarman.” Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7–8 December 1992. Christie, Jan Wisseman, “Trade and State Formation in the Malay Peninsula and Sumatra, 300 B.C. – A.D. 700.” In The Southeast Asian Port and Polity: Rise and Demise, edited by J. Kathirithamby- Wells and John Villiers. Singapore: Singapore University Press, 1990. Coppel, Charles A., Tiong Hoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, Tahun 1994, Judul asli: Indonesian Chinese in Crisis, Oxford University Press, 1984. Coedes, G. Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center Press, 1968. Coedes, G., Damais, Kulke & Manguin, “KEDATUAN SRIWIJAYA: Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi, kumpulan artikel pilihan, Komunitas Bambu- Ecole Francais d’Extreme –Orient dan Pusat Arkelogi Nasional, Edisi kedua 2014. Cortesao, Armando, ed. The Suma Oriental of Tomé Pires. London: Hakluyt Society, 2 vols., 1944. Creutzberg, Pieter dan J.T.M.Van Laaren, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Darmawan, Salman, Jagad Maritim: Dialektika modernitas dan Artikulasi Kapitalismepada komunitas Konjo di Sulawesi Selatan, penerbit Ininnawa, tahun 2006. Delsman,H.C., Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie, 1939. Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847. London/Malmo: Curzon Press, 1983. Donkin, R. A. Dragon’s Brain Perfume: A Historical Geography of Camphor. Leiden: E. J. Brill, 1999. Drakard, Jane. A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1999.

314 Edwards McKinnon, E. “Kota Cina: Its Context and Meaning in the Trade of Southeast Asia in the Twelfth to Fourteenth Centuries.” 2 vols. Ph.D. dissertation, Cornell University, 1984. Evers, Hans Dieter, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia, Tahun 1986; Cetakan keempat, Tahun 1996. ————, Rudiger Korff, URBANISME DI ASIA TENGGARA: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2002. Fitrisia, Azmi, Perikanan Bagansiapiapi (1871-1942), Tesis, Universitas Gajah Mada, Tahun 2002; Fitrisia, Azmi dan Soegijanto Padmo, Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.497 – 506, dalam SOSIOHUMANIKA, 15, (3), September 2002. Fox, James J., PANEN LONTAR: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu, Pustaka Sinar Harapan, 1996. Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambrigde, 1967. Geertz, Clifford, MOJOKUTO: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Pustaka Grafitipers, Cetakan pertama 1986, judul asli: The Social History of Indonesian Town, The Massachussets Institute of Technology, Cambrigde, 1963. ————, INVOLUSI PERTANIAN: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, diterjemahkan oleh S.Supomo, Kata Pengantar Prof.Ir.Sajogjo, diterbitkan untuk Lembaga Pendidikan Sosiologi Pedesaan Intitut Pertanian Bogor, Yayasan Obor, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, 1983. Gobee, E., De Oorzaken van de achteruitgang van de vischindustrie te Bagan Siapiapi. Mededeelingen van het Visscherijstation VII, 1912. Groeneveldt, W.P., Nusantara dalam Catatan Tionghia, Komunitas Bambu, cetakan pertama 2009, judul asli: Notes on the Malay Archipelago and Mallaca Compiled from Chinese Sources: Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen, Jil XXXIX, 1880. Guillot, Claude (Penyunting), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Seri Terjemahan Arkeologi No.12, Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, 2014. Haga, B.J., De Beteekenis Der Visscherij Industrie van Bagan Api-Api En hare Toekomst dalam De Economist Tahun 1917 Volume ; 66, Number1, P.237-262 ————, Economische Nalezingen en Berichten dalam De Economist tahun 1918 Volume 67 Number 1 hal 75-76 Hardenberg, J.D.F., “The Fish Fauna of Rokan Mouth,” TREUBIA, Institut Scientifiques De Buitenzorgs Lands Pantentuin, Volume XIII, 1931. Harsono, Ganis, Cakrawala Politik Era Sukarno, Inti Idayu Press, 1985. Hefner, Robert W., GEGER TENGGER: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, LKIS, Cetakan pertama 1999, judul asli: The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History, University of California Press, 1990.

315 Hendraparya, Tressi A., ONDERAFDEELING BAGANSIAPIAPI: Negeri Penghasil Ikan Terbesar di Dunia, Soreram Media, Cetakan I, Pekanbaru, tahun 2011. —————, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir, Soreram Media, Cetakan I, Pekanbaru tahun 2015. Horsting, L.H.C., Bagansiapiapi, The largest and the Most importand Fishing Centre of Netherland Indie, Published in: Inter-Ocean.A Dutch East Indian Magazine covering Malaysia and Australasia, Vol. 4, Number 9, September 1923. Hourani, George F. Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Early Medieval Times. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1995. Jahja, Juni Sjafrien, Perang Tuanku Tambusai Sang Harimau Rokan Melawan Penjajahan Belanda: Dalam Perspektif Kebangsaan Indonesia, Visimedia, Cetakan pertama, tahun 2015. Jhonson, Doyle paul, Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia Jakarta, 1994. Jordaan, P.H., Het Zoutverbruik bij de Visscherij Van Bagan Si Api-Api, dipublikasikan oleh Batavia Instituut voor de Zeevisscherij, Tahun 1941. Jufrida, “Masuknya Bangsa China ke Pantai Timur Sumatra,” Balai Arkeologi Medan, Historisme, Edisi No.23/ Tahun XI/2007; Kahin, Audrey, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta tahun 2008. Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka Utama, 1992. Kern, Hendrik. Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1936. Krom, N. J. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1931. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara wacana Yogyakarta, Tahun 2003. Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan, LKIS, Cetakan I, 2002. Kusnadi, Jaminan Sosial Nelayan, Editor: Ainur Rahim, Penerbit LKIS Yogyakarta, Tahun 2007. Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-Hak Minoritas, Jakarta, LP3ES, 2002. Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu, Buku 2, Jakarta Tahun 2005, Judul asli: LE CARREFOUR JAVANAIS; Essai d’Histoire Globale, 1990. Lohanda, Mona, “The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese Establishment in Colonial Society”, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2, Tahun 2001. Lubeigt, Guy. “Ancient Trans-peninsular Trade Roads and Rivalries over the Tenasserim Coasts.” In Trade and Navigation in Southeast Asia (14th–19th centuries), edited by Nguyen The Anh and Yoshiaki Ishizawa. Paris: L’Harmattan, 1999. Luthfi, Amir, “Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942,” tahun 1991.

316 Mahyudin, Sudarno, Gema Proklamasi RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi, penerbit Adicita Yogyakarta, Tahun 2006; ————, Sejarah Perguruan Wahidin, dalam www.iapw.info., 11 April 2008. Manguin, Pierre-Yves. “The Archaeology of Early Maritime Polities of Southeast Asia.” In Southeast Asia: From Prehistory to History, edited by Ian Glover and Peter Bellwood. London/New York: RoutledgeCurzon, 2004. Markus, B., Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher: Batavia:Instituut Voor Zeevisscherij, 35p., Tahun 1941. Marsden, William, Sejarah Sumatra, diterjemahkan dari History of Sumatra, the third edition, 1966, Oxford University Kualalumpur, Cetakan pertama Komunitas Bambu, Juni 2008. Martosubroto,P., T Sujastani &D.Pauly, De Mid 1970s Demersal Resourches in the Indonesian Side of Melacca Strait, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996.hal. 40-46. Mashyuri: Usaha Penangkapan ikan dan masyarakat Nelayan di Indonesia 1880-1940; LIPI, Tahun XX, No.1, Tahun 1993, hal.26 Meuraka, Dada, Keradjaan Melaju Purba (Sekitar suku-suku di Sumatera), Penerbit “Kalidasa” Medan, 1971. Miksic, John. “Archaeology, Ceramics, and Coins.” JESHO 39, 3 (1996): 287–97. ———. “Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra.” Ph.D. dissertation, Cornell University, 1979. ———. “Classical Archaeology in Sumatra.” Indonesia 30 (October 1980). ———. “The Cola Attacks.” The Encyclopedia of Malaysia. Early History. Vol. 4. Singapore: Didier Millet, 1998, 120–1. Nas, P.J.M., Kota di Dunia Ketiga, Pengantar Sosiologi Kota dalam Tiga Bagian, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Insitut Antropologi Kebudayaan Universitas Leiden, Penerbit B.H.Ratara Karya Aksara, 1979. Netscher, E. De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602–1865. Verhandelingen Van Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Deel XXXV, Batavia: Bruining & Wijt, 1870. Nilakanta Sastri, K. A. South India and South-East Asia: Studies in Their History and Culture. Mysore: Geetha Book House, 1978. ———. “Takuapa and Its Tamil Inscription.” JMBRAS 22 (1949): 25–30. Noordjanah, Andjarwati, Komunitas Tiong Hoa di Surabaya (1910-1946), Penerbit Messias, Cetakan pertama tahun 2004. Nurhadiantomo, HUKUM REINTEGRASI SOSIAL: Konflik-konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadyah University Press, Surakarta, 2004. Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras: 1978. Patilima, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta Bandung, Tahun 2005. Peret, Daniel, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, KPG(Kepustakaan Popular Gramedia) Tahun 2010; Judul Asli, La

317 Formation d’un Paysage Ethique: Batak & Malaise de Sumatra Nord Est, Ecole Francaise d-Extreme Orient, 1995. Profil Perkotaan pada kawasan Andalan di Indonesia, Deputi Bidang Regional dan Daerah BAPPENAS, 1997. Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove, Pekanbaru 15-18 September 1998, MAB Indonesia LIPI, Purcell, Victor, The Chinese in Souteast Asia, Oxford Uinversity Press, first published in 1951, Reprinted 1981. Reichle, Natasha Ann. “Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture in Indonesia.” University of California at Berkeley, 2002. Reid, Anthony. “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit: KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011. —————, Sumatra: Revolusi dan Elit Tradisional, terjemahan Komunitas Bambu, tahun 2011, judul asli, The Blood of the People: Revolution and the End of tradisional Rule in Northern Sumatra, Oxford University Press, 1979. Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (1200-2008), terjemahan, Cetakan I, November 2008, Judul Asli: A History of Modern Indonesia since c,1200, Polgrave, 2008. —————, SEJARAH ASIA TENGGARA: Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer, Komunitas Bambu, tahun 2013. Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science(Boston, Allyn and Bacon Inc.,1980. Rochwulaningsih, Yety,: Petani Garam Dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang.. Setyawati, Santi, Pasang Surut Perikanan Bagansiapiapi (1896 -1936), Tesis, oleh Santi Setyawati, pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tahun 2008. Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro: Sebuah pendekatan terhadap Realitas Sosial, Penerbit Rajawali Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Tahun 1993, Judul asli: Macrosociology, Tahun 1991. Satyawati Suleiman. “The Archaeology and History of West Sumatra.” Bulletin of the Research Center of Archaeology of Indonesia 12 (1977): 1–25. Scott, James C., MORAL EKONOMI PETANI: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, LPP3ES, diterjemahkan oleh Hasan Basri, Cetakan keempat 1994. Judul asli: The Moral Economy of Peasant, Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, Yale University Press L.t.d., 1976. Siregar, Makruf, 127 Tahun Jejak Perikanan Riau: 1866-2013, Lahir Terperangkap Hutang Matipun Meninggalkan Hutang, Zanafa Publishing, Pekanbaru, Mei 2014. Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Cetakan ke-2, Komunitas Bambu tahun 2009, judul asli: Social Changes in Yogyakarta, 1962, Cornell University Press.

318 Soemardjan, Selo (Kata Pengantar), Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial, Yayasan Ilmu-iImu Sosial, Pustaka Grafika Kita, 1988. Strauss, Amselm & Juliet Corbin, Dasar-sadar Penelitian Kualitatif: tatalangkah dan teorisasi data, Pustaka Pelajar, tahun 2003. Sumarno, Edi, “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatra Timur pada Priode Kolonial, dalam Buletin Historisisme; Edisi No.22/Tahun XI/Agustus 2006. Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Cetakan Pertama, Bulan Februari Tahun 1985. Suryadinata, Leo, Etnis Tiong Hoa dan Pembangunan Bangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta Tahun 1999. Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tiong Hoa: Kasus Indonesia, LP2ES, Jakarta Tahun 2002. Susilo, Edi, Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir, Pengantar Prof.Dr.Ir.Keppi Sukesi, UB Press, 2010. Sutjiatingingsih, Sri, Gatot Winoto, Kepulau Riau pada Masa Dollar, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal dan kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. Syafri, Yulizar, Kontekstualisasi Kesukubangsaan di Perkotaan, Institut Antropologi Indonesia, Cetakan I tahun 2010. Tabrani, Sejarah Kabupaten Rokan Hilir, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008. Tamin, Wan Saleh, Lintasan Sejarah Rokan, Badan Pembina Kesenian Riau, Januari 1972. Tideman, Land en Volk Bengkalis, Mededeeling No.9, Van Het Encyclopedisch Bureau Van De Koninklijke Vereeniging Koloniaal Intitute, Opgenomen In Het Tijdschrift Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, November Tahun 1935; Van Gorsel, J.T., Bibliography of the Geologi of Indonesia and Surrounding areas, 3rd Edition, April 2011, II Sundaland. Vermeulen, Johanes Theodorius, Tiong Hoa di Batavia dan Huru-Hara 1740, Komunitas Bambu Jakarta 2010, judul asli: De Chineezen te Batavia en de Troebelen van 1740, Universiteit Leiden, 1938. Vickers, Adrian, Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, Kata Pengantar Bambang Puwanto, Pustaka Larasan, Udayana University Press, 2009. Vleming Jr, De Chineesche Zakenleven In Nederland Indie, Tahun 1923; Wade, Geoffrey. “The Ming Shi-lu (Veritable Records of the Ming Dynasty) as a Source for Southeast Asian History: Fourteenth to Seventeenth Centuries.” Ph.D. dissertation, Hong Kong University, April 1994. Wahid, Abdul, Bertahan ditengah Krisis: Komunitas Tiong Hoa dan Ekonomi Kota Cirebon pada masa Depresi Ekonomi 1930-1940, Penerbit Ombak tahun 2009.

319 Wang Gungwu. The Nanhai Trade: The Early History of Chinese Trade in the South China Sea. Kuala Lumpur: Malayan Branch of the Royal Asiatic Society, 1958. ———. “The Opening of Relations between China and Malacca, 1403–5.” In Malayan and Indonesian Studies, edited by John Bastin and R. Roolvink. Oxford: Clarendon Press, 1964, 87–104. Weber, Max, The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Routledge, London and New York, 1992. Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Tiara Wacana Yogya, Cetakan pertama 1999. Wheatley, Paul. The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: Pustaka Ilmu, 1966. Winarni, Retno, Cina Pesisir: Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir Utara Jawa Timur Sekitar Abad XVIII, Pustaka Lrasan, 2009. Wirawan, Verry, Sejarah Masyarakat Tiong Hoa Makassar: dari abad ke-17 hingga ke20, Pustaka Hikmah Disertasi(PhD), KPG(Kepustakaan Popular Gramedia) bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient(EFEO), KITLV Jakarta, Cetakan pertama Desember 2013. Wolters, O. W. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1967. Yang, Twam Peck Yang, Elite Bisnis China di Indonesia: dan masa transisi kemerdekaan 1940-1950, Penerbit Niagara, tahun 1998. Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda “66”: SEKITAR PEMBAURAN BANGSA DI INDONESIA, Cetakan pertama 1985. Yunus, Hadi Sabari, Klasifikasi Kota, Pustaka Pelajar, Mei 2005. Zuhdi, Susanto, CILACAP (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, KPG(Kepustakaan Popular gramedia), 2002.

Artikel, Arsip dan Surat-surat Era Kolonial dan Revolusi Phisik: 1.

2.

3. 4.

Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 32, No 1 (1884) Beschrijving eener Reis van Bengkalis langs de Rokan-Rivier naar Rantau Binoewang, A. van Rijn van Alkemade (KITLV); Handelingen der Staten-Generaal, Bijlagen, 1885-1886, (110.1.) Geleidende brief, aan de Heer Voorzitter van de Tweede Kamer der Staten Generaal, ‘S Gravenhage, den10den December, 1885 Bijdragen tot de Taal-, Land – en Volkenkunde, Vol. 37, No.1, 1888, De Verbreiding Van Het Matriarchaat Op Sumatra door DR.G.A.Wilken; ENCYCLOPEDIE Nederlandsch-Indie: Met Medewerking van Verschillende, Ambtenaren, Geleerden en Officieren, Samengesteld door P.A.Van Der Lith en Joh.F.Snelleman, Deerde Deel, “S-Gravenhage-Leiden, Martinus Nijhoff – E.J.Brill, 1896, Centrale Boekerij Kon.Ins.&Tropen Amsterdam;

320 5.

6. 7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

ZEEMANSGIDS voor den Oost-Indieschen Archipel. Deel II, Noord en Oostkust Atjeh: Straat Malaka; Straat Singapoera; Riouw en Lingga-Arcipel; Straat Banka; Oost en zuidoostkust Sumatra tot hoek Kangalan en Duizend Eilanden: Ministerie van Marine, Afdeeling HYDROGRAPHIE, ‘S Gravenhage, Mouton & Co., 1900, hal.174-176; Koloniaal Verslag 1901, Nederlandsch (oost) Indie, Bijlage F.J.; Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur; Negen-en-dertigste deel, Batavia, G.Kolff & Co, 1910: Baboe’lkawaid Almoestachaza billah, tertjap ditjetakan, Kerajaan Siak Seri Inderapoera, 1901, Koninklijk Instituut voor de Troepen Museum; CHINEEZEN BUITEN CHINA – Hunne Beteekenis voor de ontwikkeling van zuid-oost-azie, Spesiaal van Nederlandsch-Indie door L.H.Van Sandick, Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur op de Bezittingen buiten Jawa en Madoera, ‘S gravenhage M.Van der Beek’s Hofboekhandel, 1909, hal.337338; Tijdscrift voor Het Binnenlandsch Bestuur, Drie en veertigste deel, Batavia, G.Kolff & Co, 1912.hal 215-221; Het De Vischerij Industrie Te Bagan Si ApiApi door A.G.Van Der Land, Weltevreden, 6 Agustus 1912 Tijdscrift voor Het Binnenlandsch Bestuur, Vier en veertigste deel, Batavia, G.Kolff & Co, 1913, p.44-62, “Nog een de vischindustrie te Bagan Si Api Api” door Dr.A.L.J.Sunier, Batavia, 10 januari 1913 Koloniale studiën : tijdschrift van de Vereeniging voor studie van koloniaalmaatschappelijke vraagstukken, Volume 1, Number 2, 21 July 1917 — Persoverzicht; Koloniaal Verslag 1917, - Nederlandsch (Oost) Indie, Bijlage PP., Statistiek: betreffende den POST, TELEGRAAF, en TELEFOONDIENST in NederlandschIndie over 1916, meerendeels in vergelijking met de cijfers over 1914 en 1915, Handelingen der Staten Generaal. Bijlagen 1917/1918; KOLONIALE STUDIEN – Tijdschrift van de Vereeniging voor Studie van Koloniaal Maatschapelijke vraagstukken, Deerde Jaargang Eerste deel, Albrecht & Co.- Weltevreden 1919; “De Garnalenvisscherij van Bagan ApiApi” door B.J.Haga, Bagansiapiapi Juni 1918, hal.151-159; Geschiedenis van Sumatra's Oostkust. DEEL II. De Oostkust als zelfstandig gewest van 1873 tot 1900. OOSTKUST VAN SUMATRA- INSTITUUT, Mededeeling N9. 2. DOOR W. H. M. SCHADEE. AMSTERDAM 1919. WEEKBLAD voor INDIE: Onafhankelijk Indisch Weekblad Onder Hoofdredactie van J.Verboom, 17 de jaargang No.5, 9 Mei 1920: De Kerk en de Vrijmetselarij;

16. Mededeeling / Afdeeling tropische hygiene, Koloniaal instituut te Amsterdam, 1 January 1920, Edition 000-1920-0008 — HOOFDSTUK II MALARIA. “De Inl.arts Pratomo te Bagansiapiapi (S.O.K) vond eenmaal de larven van M.Leucosphyra in de holle stomp van en Nipapalm (Snijders).”

321 17. INDIE Geilustreerd Weekblad Voor Nederland en Kolonien, Onder Redactie van prof Dr.A.W.Nieuwenhuis; Prof.Dr.PB Dejosselin De Jong; M.Joustra en C.Clekkerker. Redactrice in Indie Mevrouw Mereitsma-Brutel De La Riviere; Jaargang No.6, 11 Juni 1924, “Indische Rivieren” door L.TIP, hal 92-96. 18. INDIE Geilustreerd Weekblad Voor Nederland en Kolonien, Onder Redactie van prof Dr.A.W.Nieuwenhuis; Prof.Dr.PB Dejosselin De Jong; M.Joustra en C.Clekkerker. Redactrice in Indie Mevrouw Mereitsma-Brutel De La Riviere; HPH dalam artikel “Swars Door Sumatra”: Jaargang No.8 Tanggal 23 Mei 1923, Nederlandsch Oost indie: Administratie en redactie : bandoeng-Nieuw Merdika 17; Kemudian Artikel “Het Chineesche Visscherij te Bagansiapiapi,” jaargang No.17 Tanggal 12 November 1924 Hal.260-271: Serta Artikel berjudul “Het Chineesche Visscherijf Bedrijf Te Bagansiapiapi,” Jaargang No,19 Tanggal 10 Desember 1924 hal.300-308. 19. Memorie Van Antwoord (Ingezonden bij brief van 1 December 1925), Bijlagen Tweede Kamer 1184.6, Machtiging aangaan overeenkomst met de N.V. Koninklijke Paketvaart Maatschappij, gevistigd te Amsterdam; 20. “DE BEVOLKINGSRUBBERCULTUUR IN NEDERLANDSCH-INDIE”: Riouw En Onderhoorigheden, Oostkust Van Sumatra en Atjeh en Onderhoorigheden: Rapporten van Verschillende Commissies, Samengevat door den her C.G.Slotmaker en nadir Uitgewerkt door de Afdeeling Landbouweconomie Van het Departemen Van Lanbouw, Nijverheid en handel: Weltevreden 1926; 21. In en om de Chineesche Kamp: Moerman,J.Hardeman,J., Landsdrukkerij, 1929. – Chapter: 6.Immigratie; 22. Treubia: reeueil de travax zoologiques, hydrobiologiques et oceanographiques / ‘s Lands plantentuin = Jardin Botanique de Buitenzorg, Jaargaang 13, Aflevering 1, 1 Januari 1931; The Fishfauna of The Rokan Moth by Dr.J.D.F.Hardenberg (Laboratorium voor het Onderzoek der Zee, Batavia),; 23. Treubia: reeueil de travax zoologiques, hydrobiologiques et oceanographiques / ‘s Lands plantentuin = Jardin Botanique de Buitenzorg, Jaargaang 14, Aflevering 1, 1 Januari 1932; The Fishfauna of The Rokan Moth by Dr.J.D.F.Hardenberg (Laboratorium voor het Onderzoek der Zee, Batavia), 24. Koninklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam, Mededeeling No: XXXIII Afdeeling Handelsmuseum No.13, Inlichtingen en Onderzoekingen van de Afdeeling Handelsmuseum in 1932, Uitgave van het Instituut. Druk De Bussy, Amsterdam, 1932; 25. Koniklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam, Mededeeling No.XXXIII, Afdeeling Handelsmuseum No.13, Inlichting en Onderzoeken van de Afdeeling Handelsmuseum in 1932, Druk de Bussy, Amsterdam, 1933; 26. VOLKSTELLING 1930, Deel IV Inheemsche Bevolking van Sumatra, Departemen Van Economische Zaken, 1935 Batavia;

322 27. INDISCHE VERSLAG 1931: Tekst Van Het Verslag Van Bestuur En Staat Van Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1930, Gedrukt Ter Algemeene Landsrukkerij – 1931/1932. 28. Mededeeling / Afdeeling handelsmuseum, Koloniaal instituut te Amsterdam, Volume 0, 1 January 1934, Edition 000-1934-0014. 29. INDISCH VERSLAG 1941: II.Statistisch Jaaroverzicht Van Nederlandsch-Indie over het jaar 1940, III.Netherlands Indian Report 1941, Landsdrukkerij – 1941 – Batavia. 30. Officiele Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen 1945-1949, uitgegeven door Dr.S.L.van der Wal, Vijf deel, 16 Juli – 28 Oktober 1946. 31. Documentatie van de Afdeeling handelsmuseum van het Indisch instituut, Volume 4, 19 March 1949, Edition 004-1949-0006 — Page 148; Verkeer, De haven van Bagan Si Api-Api is verzand. 32. B.A.Mukhtar, Laporan Tim Pendamai Bagansiapiapi, tanggal 14 November 1946.

Koleksi ANRI : 1. 2. 3.

Staatsblad 1894 No.93 & 94, 21 April 1894. Nota: Adviseur voor Chineesche Zaken te Batavia, Mouw, 16 Januari 1916. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 5 Januari 1925 (Controleur A.Te Velde); 4. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 14 Mei 1931 (Controleur C.Baalbergen); 5. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934 (Controleur Boudewijn Van Duuren); 6. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 1934 – 1936 (Controleur J.C.C.Haar); 7. Vervolg Memorie Van Overgave Van Dr.H.D.Von Meyenfeldt, 6 Maret 1937 – 27 Oktober 1938; 8. Keterangan/Verklaring No.193, tanggal 29 Oktober 1938, 6den December 1938. Sultan Siak Sri Indrapura en de Assistant Resident van Bengkalis. 9. Hoofder Opium en Zoutregie, aan den Directeur van Verkeer en Waterstaat, 16 December 1938 No.9895, Onderwerp: Nieuwbouwen regiebouwen te Bengkalis Bagansiapiapi. 10. Afschrift, de Veld Politie te Bagansiapiapi, 2 Februari 1937, No.180/8, onderwerp: Zeerbouwvallige toestand der kazerne Veld Politie te Bagansiapiapi. 11. Afschrift, De Afdeeling Veld Politie ter oostkust van Sumatra, Bengkalis, 6den Februari 1937, No.3884/4, Onderwerp: Zeerbouwvallige toestand der kazerne Veld Politie te Bagansiapiapi.

323 12. Situatie Bagan Si Api Api, 0.29 No.45-39, schaal 1:2000,1941. 13. Telegrammen van Medan, verzonden 23 September 1946, 1852/3. 14. Afshcrift: Algemeene Politie Riouw: K.P.M.Building Singapore, Singapore 23 September 1946. Geheim Eighandig, No.183. 15. An Urgent Appeal For The Overseas Chinese in The Netherlands East Indies (Editorial, Ta Kung Pao, 24 September 1946). 16. Afschrift: Rapport van den Politiken Inlichtingen dienst van de Residentie Riouw, Singapore 24 September 1946, Geheim Eighandig No.184. 17. Afschrift: Rapport van den Politiken Inlichtingen dienst van de Residentie Riouw, Singapore 24 September 1946, Geheim Eighandig No.185. 18. Afschrift: Rapport van den Politiken Inlichtingen dienst van de Residentie Riouw, Singapore 25 September 1946, Geheim Eighandig No.186. 19. Codetelegram van Singapore: Verzonden 16-9-1946, Most Immediate, 1797, date 26 Sept.1946. 20. Note Verbal 0 35 No.9120, Nanking, 5 October 1946. 21. To Inquire the Overseas Chinese in The Netherlands East Indies (Editorial Shen Pao, 7 Oktober 1946). 22. Consulaat Generaal The Nederlanden te Shanghai, Chineesche Pers, 9 October 1946, Chinese Warship Asked To Go To Save The Chineese in Bagan. Singapore October 8th ( Ta Kung Po special correspondent). 23. Aanvullend Verslag van de Reis naar Kuala Lumpur van 12 tot 13 October 1946 voor den bezoek aan de Chineesche refuge’s uit Bagansiapiapi en omgeving, Singapore, 16 October 1946. 24. Geheim, Nanking, 17 October 1946, No.J-20/III/5385/387, Onderwerp: Incident te Bagansiapiapi. 25. Nedelandsch Indische Roode Kruis Afdeeling Oostkust van Sumatra, Medan 25 October 1946, No.1060/K/B, Onderwerp: Steunverleening aan Bagansiapiapi. 26. Dienst der Volksgezondheid, Batavia, 28 November 1946, No.8469/xxx-R Geheim, Onderwerp: Koepokstof en Typhus-Cholera-Vaccin voor de Bevolking van Bagansiapiapi. 27. Verslag van de derde dienstrreis naar Kuala Lumpur van 1 – 4 December 1946. 28. Afschrift 12157, Geheim, 4 December 1946. 29. Consulaat Generaal Der Nederlanden, Geheim, Singapore, 4 December 1946. 30. Departement van Binnenlandsch Bestuur, Batavia, 5 December 1946, Nomor B.Z.17/2/35, Onderwerp: Verzorging van Chineesche Vluchtelingen uit Panih Pahan. 31. Dpartement van Economisch Zaken, Batavia 21 December 1946, No.49.E.S.Geheim, Onderwerp: Verzorging van Chineesche Vluchtelingen van panih Pahan.

324 32. Departement van Binnenlandsch Bestuur, Batavia 17 Januari 1947, No.B.Z.17/1/1, Onderwerp: Verzorging Vluchtelingen uit Panih Pahan. 33. Departement van Binnenlandsch Bestuur, Batavia 14 Maart 1947, No.E.V.7/1/5, Onderwerp: Evacuatie van Chineesche Vluchtelingen uit Panih Pahan. 34. British Consulate Generaal, Batavia, 12 Juni 1947, No.16/27/47. 35. Geheim, 20 October 1948, Het “Incident Bagansiapiapi”: De Onlusten in Bagansiapiapi in Maart-September 1946. 36. Surat Djaksa Agung kepada Mahkamah Agung Jawatan Resersi Pusat, tanggal 13 Desember 1950 Nomor: Pol./C.4/2192/816 Perihal Ketegangan antara R.R.T. dan Kuo Min Tang di Bagan Si Api-Api; 37. Laporan Khusus Badan Koordinasi Pelaksana INPRES Nomor 6/1971, Nomor: 11/LAPSUS/BAKOLAK/V/1973, tanggal 23 Mei 1973 tentang Pemakaian Candu dan Jumlah Addicts di Daerah Bagansiapiapi.

Surat Kabar: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

De Locomotief: Samarangsch handles en advertentie-blad, 22 April 1884, “Werkundige Waarnemingen”; ALGEMEEN HANDELSBLAD: 18 Januari 1886, Binnenland: Tweede Kamer; JAVA BODE, 21 Juli 1886, “Siak II”; Bataviaasch Niewsblad, 28 Februari 1888, “De Politie Match ter Sumatra’s Oostkust”; JAVA BODE, 28 November 1888; De Locomotief: Samarangsch handles en advertentia – blad, 30 November 1888, “Uit de Indische Bladen”; Nieuwe Amsterdamsche Courant: Algemen Handelsblad : 2 Juni 1889 (Siak); Rotterdamsch Nieuwsblad, 1 Maret 1894, “Kolonien”; Utrechts Nieuwsblad, 30 April 1897, “Kolonien”; De Sumatra Post, 31 Januari 1899, “De Sultan Van Siak.” Algemeen Handelsblad, 30 Mei 1894, “Nederlandsch Kolonien: Engelsche Mail”; De Sumatra Post, 8 November 1900, “Telegrammen”; De Sumatra Post, 14 Maret 1902, “Vertrokken”; De Sumatra Post, 30 September 1902, “De controleur van Bagan Si Api Api”; De Sumatra Post, 6 Oktober 1902, “Een oude bekende ter Oostkust”; De Sumatra Post, 6 Maret 1903; “de invoer van droge visch uit Bagansiapiapi…” De Sumatra Post, 24 Agustus 1903, “Controleurswoning te Bagan Api Api”; De Sumatra Post, 18 Desember 1903, “De Droge Visch”;

325 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53.

De Sumatra Post, 27 April 1904, “Nieuwe Postkantoren ter Oostkust”; De Sumatra Post, 25 Mei 1904, “Postwezen”; De Sumatra Post, 14 Januari 1905, “Verpachting”; De Sumatra Post, 3 Juni 1905, “Inspectiereis van den Resident”; De Sumatra Post, 13 Juni 1905, “De komst van Kapitein Colijn”; De Sumatra Post, 8 Agustus 1905, “Visch-Industrie.” Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 12 September 1905, “Derde Blad: Bestuurs-Reorganisatie ter Oostkust van Sumatra”; Ons Dagelijksch Nieuws, 5 Oktober 1905, “De Malaya”. Sumatra’s Oostkust. De Sumatra Post, 12 Oktober 1905, “Zoutpacht.” Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 12 Desember 1905, “Zouthpacht”; De Sumatra Post, 15 Desember 1906, “Brandweer ter Oostkust”; Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 15 April 1907, “Chineezen-oploop te Bagan Api Api”; Algemeen Handelsblad, 11 Mei 1907, “Ontevredenheid”; De Sumatra Post, 1 Juni 1906; De Sumatra Post, 27 September 1906; De Sumatra Post, 12 April 1907, “De strijd met den dollar”; Het Nieuws Van den Dag Voor Nederlandsch Indie, 8 Juli 1908, “Kolonien: Brand ini Indie”; Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 21 Juli 1908 (Uit de Indische Bladen. De Brand te Bagan Api-Api); De Sumatra Post, 30 Juni 1909, “Bagansiapiapi”; Nieuw Rotteramsche Courant, 4 Mei 1910; Algemeen Handelsblad, 7 Juni 1910, “De Ned-Ind.Telegraaf-Commissie”; De Sumatra Post, 28 Juni 1912, “Bestuursindeeling van Bengkalis”; Nieuws Rotterdamsche Courant, 6 Agustus 1912, “De Visschindustrie te Bagansiapiapi”; De Sumatra Post, 16 Januari 1913, “Haven werker ter Oostkust”; De Sumatra Post, 5 Maret 1915, “Bagan Si Api-Api”; De Sumatra Post, 17 Maret 1915, “De heer Lovink”; De Sumatra Post, 4 November 1915, “Het vischbedrijf te Bagan Api Api”; De Sumatra Post, 18 November 1915, Bagan Si Api-Api II (slot)”; De Sumatra Post, 4 Januari 1916, “Een ziekenhuis voor Bagan Api Api”; De Sumatra Post, 6 April 1916, “Een Inlandsche School”; De Sumatra Post, 19 April 1916, “VELERLEI: Uit tempo doeloe (Nieuwe Serie) IV”; De Sumatra Post, 8 Mei 1916, “Een groote vischbedrijf in Indie”; De Sumatra Post, 28 Juni 1916, “Telegraafkabels”; De Sumatra Post, 7 Oktober 1916, “Raad van Justitie;” De Sumatra Post, 27 Maret 1917, “Koloniale Studien”;

326 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66.

67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84.

De Sumatra Post, 16 Juli 1917, “De beteenis van Bagan Api Api”; De Sumatra Post, 27 Februari 1918, “Bagan Si Api Api: I”; De Sumatra Post, 27 Februari 1918, “Bagan Si Api- Api: II”; De Sumatra Post, 30 Maret 1918, “Ziekenverpleging.” De Sumatra Post, 9 April 1918, “De 3.G.D. ter Oostkust”; De Sumatra Post, 12 April 1918, “De telegraaf”; De Sumatra Post, 18 Mei 1918, “De Chineesche Prostitutie”; The Strait Times, Singapura 20 April 1920 (Sumatra Village Destroyed); Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie : 27 April 1920, Aneta Dienst, “De Groote Brand.” Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 1 Mei 1920, “Bagansiapiapi”; Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederland Indie, 14 Juni 1920 (Bagan SiApi-APi, 14 Juni 1920. Rampspoedige plaats); Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederland Indie, Dendendarg 5 Agustus 1920; Voorwaarts:Sociaal-Democratisch Dagblad, 8 Desember 1920, “Gemengde berichten, Groote Storm in Indie: vermoedelijk 9 visschers verdronken”; De Sumatra Post, 9 Desember 1920, “Volkscrediet: Sumatra’s Oostkust”; Het Vaderland: Staat Letterkundig Nieuwsblad, 11 Desember 1920; Het Vaderland: Staat en Letterkundig Nieuwsblad, 2 Agustus 1921, “Gemengde Berichten: Een complot ontdekt”; De Sumatra Post, 28 Januari 1922, “Bagan Si Api-Api”; De Sumatra Post, 9 Januari 1922 (Bagan Siapi-api); De Sumatra Post, 24 Februari 1922, “Kabel-Storing”; De Sumatra Post, 5 April 1922, “Visscherij-Onderzoek”; De Sumatra Post, 4 Oktober 1923, “Medansche volkbank”; De Sumatra Post, 18 Agustus 1924, “De medische verzorging van Bagan Si Api Api”; De Sumatra Post, Medan 15 Agustus 1923 (Besluiten en Benoemingen); De Sumatra Post, 25 Februari 1924, “Iets over de Rokan Landen”; De Sumatra Post, 25 juli 1924, “Een vreemde beschikking van den Inspecteur de B.G.D.”; De Sumatra Post, 26 Juli 1924, “De dokter van Bagan Si Api Api”; Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 2 Agustus 1926, “Langs Sumatra’s Oostkust”; De Indisch Courant, 5 Agustus 1924, “Een vreemde Beschikking”; De Sumatra Post, 2 Desember 1925, “De afdeelingsbank van Bagan Si Api Api”; Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 2 Agustus 1926, “Langs Sumatra’s Oostkust”; De Sumatra Post, 4 Maret 1927, “Raad van Justitie”;

327 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99.

100. 101. 102.

103. 104. 105. 106. 107. 108.

De Sumatra Post, 30 September 1927, “Financien en Handel: Het Volkscredietwezen”; Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 30 November 1927, “Radio-Station Bagan Si Api-api.” De Sumatra Post, 13 januari 1928 “Rechten en accijnzen te Bagan Si ApiApi”; De Sumatra Post, 7 Maret 1928; Uitvoer en invoer; De Sumatra Post, 12 Maret 1928, “Een Holl.Chineesche School”; Utrechts Nieuwsblad, 5 April 1928, “Kolonien: De tweede vischstad van de wereld”; Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad,29 Mei 1928, “Van de Leestafel Chineesche Ijmuiden Sumatra’s Oostkust”; De Sumatra Post, 12 September 1928, “Koninginne-dag te Bagan Si Apiapi”; Nieuwe Rotterdamsche Courant, 19 Februari 1929, “De Economisch Kant van de Visscherij.” De Sumatra Post, Medan, 5 Juni 1929, “Bagan Madjoe”; ”De Visscherij van Bagansiapiapi”; De Sumatra Post, 4 Juli 1929, “Uit Bagansiapiapi Gezef”; Nieuwe Rotterdamsche Courant, 26 Juli 1929, “Bagan en de visscherij”; De Sumatra Post: 15 Agustus 1929, “Het B.B.op Sumatra”; De Sumatra Post, 27 Januari 1930, “Gebrek Aan Contanten in Bagansiapiapi”; Het Nieuwsblad voor Noorden, 31 Oktober 1930, Een China in Nederlandsch Indie: Het Vischerijbedrijf Bagansiapiapi op Oostkust’s Sumatra; De Sumatra Post, 11 November 1930, “Valsche Aanklacht”; Indische Courant van Woensdag, 19 November 1930, “de Kuo Min Tang ter Oostkust”; Het Nieuws Van Den Dag, 7 Agustus 1931, “Pandelingschap op Sumatra: Slavinnen-handel te Bagan Si Api Api: Valsche Geboorte aangiften om kinderen te kunnen Verkoopen;” De Sumatra Post, 3 September 1931, “Een Chineesche Kolonie Bagansiapiapi”; De Sumatra Post, 2 April 1932, “De Visscherij te Bagansiapiapi:Dreigt Zij te Verloopen?”; Het Nieuws Van den dag voor Nederlandsch Indie, 6 April 1932, “De Afdeeling Bengkalis”; De Sumatra Post, 9 April 1932, “Het Bestuur Over Bengkalis: Nieuw indeeling op 1 Mei”; De Sumatra Post, Medan 30 Mei 1932, “De Brand Te Bagan”; De Sumatra Post, 9 November 1932, “GANSTER OP SUMATRA: Chineesche Geheime Genootschappen te Bagan Si Api Api’;

328 109. De Sumatra Post, 9 November 1932, “Belangstellin Van de Politie”; 110. De Sumatra Post, 14 Maret 1934, “Watervliegtuigen: Op weg naar Bagan”; 111. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 16 Mei 1934, “ ‘s Werelds tweede visschershaven”; 112. Het Vaderland: Staat Letterkundig Nieuwsblad: 20 November 1934, “Groote Brand Te Bagansiapiapi”; 113. Het Nieuws Van den Dag voor Nederlandsch Indie, 21 November 1934, “Brand te Bagan Si Api-Api: officieele Mededeeling”; 114. Het Nieuws Van Den Dag, 3 Desember 1934, “De Brand in Bagan Si Api APi.”; 115. De Sumatra Post, 5 November 1935, “Somkkelhandel”; 116. De Sumatra Post, 6 Mei 1936, “Ijsfabriek te Bagan Si Api Api”; 117. De Sumatra Post, 23 Maret 1936, “Chineesche Consul te Bagan Si Api Api”; 118. De Sumatra Post, 3 Maret 1937, “Waterleidingskwesties: In Bagan-Si-ApiApi en Balige”; 119. De Sumatra Post, 3 Agustus 1937, “De Pater-Provinciaal der Capucijnen ter oostkust: Een Onderhoud met Dr.A.Snijders.” 120. De Sumatra Post, 18 Juni 1938, “Nieuw Waterleidingnet te Bagan Si Api – Api”; 121. De Sumatra Post, 11 Juli 1938, Voor den Politierechter: Ex-beheerder lichnet Bagan Si Api Api staat terecht”; 122. De Sumatra Post, 23 September 1939, “Oostkust van Sumatra”; 123. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 17 Februari 1939, “Dr.RM.Pratomo verdronken”; 124. De Sumatra Post, 16 Mei 1939, “D.V.G.Arts te Bagan Si Api Api”; 125. De Sumatra Post, 2 Juni 1939, “Fraude in Bagan si Api Api: Bij Electriciteitmaatschappij”; 126. De Sumatra Post, 5 Desember 1939, “Politie Patrolie Op Zoekk Naar Een Tijger: En Teruggekeerd met twee gewonden”; 127. Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch Indie, 2 Mei 1940, Van Visscherij en Visschen”; 128. Indische Courant, 23 Maret 1940, “Bagansiapiapi: Verzanding van den Rivier Mond”; 129. Sin Po editie, tanggal 25 Mei 1940, “Saingan Bagan Si Api-Api”; 130. Bataviaaschnieuwsblad, 20 Juni 1941, “Geen Goed Bebakening”; 131. Indische Courant, 23 Juni 1941, “De Haven te Bagan Api Api: Verbetering Noodzakelijk”; 132. De Sumatra Post, 18 Agustus 1941, “De Haven van Bagansiapiapi”; 133. Sumatra Sinbun, tanggal 13 Maret 1943, “Pulau Andalas dan Lingkoengan Kemakmuran Bersama: Bersatoe di Djawa, Bersatoe di Soematra dan Malai”; 134. Kita-Sumatra Sinbun, tanggal 18 Desember 1943, “Riau Syu Sangi Kai”;

329 135. Sinar Baroe, tanggal 29 Maret 1945, “Penduduk Daerah Bagan Si Api-Api: Menyumbangkan 3 Pesawat Penempur”; 136. Sin Po, tanggal 25 September 1946, “Bentrokan Tionghoa-Indonesia di Bagan Si Api-Api”; 137. Het Dagblad, 23 Juli 1946, “Sero’s te Bagansiapiapi”; 138. Sin Po, tanggal 25 September 1946, “Bentrokan Tionghoa-Indonesia di Bagan Si Api-Api”; 139. Soeloeh Ra’jat, tanggal 25 September 1946, “Kesoelitan2 orang2 Tionghoa di Andalas”; 140. Soeloeh Ra’jat, tanggal 26 September 1946, “Perkelahian Hebat di Bagan Si Api-Api: Perkelahian chawatir akan Meloeap ketempat-tempat lain”; 141. Het Dagblad uitgave voor de Nederlandsch: dagblad post te Bataviasch, 26 September 1946, “Bagansiapiapi in Noorr: Indonesier Overvallen Chineezen; Twee Dagen Zware Gevachten”; 142. Mimbar Merdeka, tanggal 26 September 1946, “200 orang Tionghoa Binasa”; 143. Merdeka; Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 26 September 1946, “Peristiwa Bagansiapiapi”; 144. Soeloeh Ra’jat, tanggal 27 September 1946, “Keadaan di Bagan Siapi-api: Toean Dr.Gani akan bertindak”; 145. Sin Po, tanggal 28 September 1946, “Bentrokan di Bagan Si Api-Api”; 146. Soeloeh Ra’jat, tanggal 30 September 1946, “Peristiwa2 di Bagan Siapi-api: Penjelasan Badan Penerangan Tentara”; 147. Sin Po, tanggal 30 September 1946, “Serangan pada Bagan Si Api-Api”; 148. Soember Penerangan, tanggal 30 September 1946, “Badai Taufan Jang Kita Tempoeh: Oetang bidoek belum lunas, toekang dadjoeng menagih pula”; 149. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 2 Oktober 1946, “Delegasi Pemberesan Bagan Siapi-api”; 150. Soeloeh Ra’jat, tanggal 5 Oktober 1946, “Kegadoehan di Bagan Siapi-api: Pendjelasan Gubernur Hassan”; 151. Merdeka; Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 7 Oktober 1946,”Bagansiapiapi”; 152. Soeloeh Ra’jat, tanggal 8 Oktober 1946, Obat2 an oentoek Bagan Siapiapi”; 153. Panji Ra’jat, tanggal 11 Oktober 1946, “Pengiriman Obat-obatan bagi Bagan Si Api-Api” 154. Pewarta, tanggal 12 Oktober 1946,”Orang Tionghoa pelarian dari Bagan Si Api Api”; 155. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 19 Oktober 1946, “Bagan Siapi-api diselesaikan”; 156. Merdeka; Suara Rakjat Repubik Indonesia, tanggal 25 Oktober 1946,”Pemberesan Bagan Siapi api: keadaan aman, tetapi masih gelisah”;

330 157. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 30 Oktober 1946, “Bagan Siapi api: Soesana Damai Soedah Kembali”; 158. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 1 November 1946,”Wakil konsulat Tiongkok di Bagan Siapiapi”; 159. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 6 November 1946,”Kesan-Kesan tentang Pemerintah Indonesia di Sumatra: Tulisan seorang koresponden “The Straits Times 4 November”; 160. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 8 November 1946,”Kesengsaraan dan Kemelaratan di Bagan Siapi api”; 161. Soeloeh Ra’jat, tanggal 13 Maret 1947, “Pendjelasan Verslag: Kongres Chung Hua Chung Hui”; 162. Saudara Seperdjoeangan, tanggal 1 September 1947, “Perikanan Laoet Indonesia”; 163. Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 19 Juli 1948, “Aanvallen op Bagansiapiapi”; 164. Pelita Rakjat, 22 Desember 1948, “Hasil Gerakan Pembersihan: Madjoe terus dengan tidak ada perlawanan jang dahsjat”; 165. De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad 08-01-1949 Bagan-siapi-api: “Staat in een Staat” Bevolking voelde niet veel voor republikeinse ideeën Troepen goed ontvangen; 166. Pelita Rakjat, 22 Februari 1949, “Perekonomian dalam Negeri”; 167. De Nieuwsgier, 24 Mei 1956, “SEMBERE GELUIDEN UIT GROOTST VISCENTRUM: Haven Bagan Si Api Api Slipt Aan.” 168. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11 Juli 1956, Visopbrengst.

Koleksi KIT Library dan KITLV: Royal Tropical Institute: Dutch Colonial Maps: Tahun 1896 (name: 09055), 1916(name: 08981), 1920 (name:09086), 1932(name: 08830) dan 1944 (name: 05377-16). Tropen Museum: Berbagai photo Bagansiapiapi dan Peta Tempo doeloe.

331

Kronik Bagansiapiapi TAHUN

PERISTIWA

Abad ke-12, dan ke-13

Perkiraan Pendirian Candi Sintong dan Sedinginan.

Abad ke-14

Eksisnya Kerajaan Rokan di Kota Lama di aliran sungai Rokan Kiri.

Abad Ke-15

Dimuara sungai Rokan, terdapat “Negara Laut Air Tawar,” yang diyakini juga sebagai Rokan –Pekaitan

Abad ke-16

Setelah menaklukkan Melaka tahun 1511, Portugis mengInvasi negerinegeri dialiran Sungai Rokan sekitar tahun 1513 dalam upaya memburu pelarian Melaka dan menguasai Bandar-bandar di sungai itu. Rokan Pekaitan merupakan salah satu kerajaan yang diduduki Portugis. Pasca penyerbuan Portugis ke sungai Rokan, diyakini sebagai fase tumbuhnya kenegerian Kubu, Tanah Putih dan Bangko.

332 Abad ke-17

Diusirnya Portugis dari Melaka oleh aliansi VOC dan Johor ditahun 1641; menandai juga dominasi Melaka-Johor dengan penempatan sahbandar Johor di sungai Rokan.

Awal Abad ke-18

Raja kecil, sebelum penaklukkannya atas Johor tahun 1718, menjadikan negeri Kubu dimuara Rokan sebagai salah satu basis kekuatan militernya.

1791-4

Tengku Said Ali, menjadikan kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu sebagai bahagian Siak.

1857

Terjadi konflik antara Sultan Siak dan rajamuda, konflik yang melibatkan petualang Inggris: Wilson, dapat diakhiri dengan campur tangan Belanda dalam suatu kesepakatan.

1858

Melalui Traktat 1858 antara Siak dan Belanda, tiga kenegerian dipesisir Rokan, yang meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu, dibakukan sebagai bahagian kewilayahan Siak, dan sekaligus merupakan titik awal kolonialisme Belanda di hilir sungai Rokan. Melalui Staatsblad 1858 No.132, Siak dan negeri dependensinya sebagai sebuah afdeeling dari keresidenan Riau dan Negeri Takluknya; Siak berada dibawah pengawasan seorang Asisten Residen dan juga kontrolir.

1860

Prediksi awal tibanya orang China di Bagansiapiapi. Saat itu, kawasan Bagansiapiapi didalam peta kolonial masih dikenal dengan nama “Perbabean.” Pada tahun ini juga, Belanda melaporkan kembali terjadi konflik antara Sultan dan Rajamuda. Nampaknya, Tengku Putra sebagai rajamuda berhasil dikalahkan. Kekalahannya itu, diiringi dengan dihapuskannya jabatan “rajamuda.” Sebagai gantinya, diangkat Tengkoe Sjarief Kesoema sebagai “Rijkbestuurder.”

1863

Perjanjian tanggal 28 Maret 1863 antara Siak – Belanda, yang berdasarkan Traktat 1858, menguatkan kewilayahan Tanah Putih, Kubu dan Bangko sebagai bahagian dari Siak.

1864

Perluasan staf administrasi Hindia, melalui Staatsblad 1864 No.64, dilakukan penambahan kontrolir pada kewilayahan Siak, Panei, Asahan, Batu Bara dan Labuhan Deli.

333 Sultan Ismail yang diberitakan mengalami “sakit,” digantikan oleh Tengkoe Sjarief Kesoema. 1865

Seorang utusan pemerintah Hindia, Boerhanuddin, mengunjungi lanskap dihilir sungai Rokan; Tanah Putih, Kubu dan Bangko, untuk pengumpulan informasi, kebiasaan yang dilakukan oleh Hindia sebagai bahagian politik aneksasi.

1868

Tengku Putra, mantan Rajamuda (onderkoning) Siak, diangkat menjadi Pangeran Mangkubumi.

1871

TRAKTAT 1871: antara Inggris – Belanda, yang membagi kewilayahan Semenanjung untuk Inggris, dan pulau Sumatra untuk Belanda.

1873

Melalui Staatsblad 1873 No. 81, maka kewilayahan Siak yang semula berada dibawah Riouw en Onderhoorigheden, berganti, dengan dibentuknya Residensi Sumatra Timur yang beribukota di Bengkalis. Afdeeling Bengkalis, membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis, Labuhan Batu dan Asahan. Berdasar surat tanggal 15 Mei 1873, kewilayahan Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang ibukotanya di Bengkalis (Riau). Pulau Bengkalis berada secara penuh dibawah pemerintah Hindia Belanda. Keberhasilan pengembangan perkebunan tembakau di Sumatra timur, mengakibatkan “ledakan migrasi” menuju areal perkebunan komersil; bahwa kawasan pantai timur ramai didatangi oleh pekerja dari Jawa, China, Keling, juga kaum pedagang.

1881

Sultan Siak mengklaim perbatasan wilayah Tambusai yang berbatasan dengan pagaran Itik – Tanah Putih.

1882

Belanda mencatat tejadi pemungutan bea dengan nilai yang sewenangwenang di Tanah Putih; sehingga, kapal yang sedianya akan melalui daerah itu menuju pedalaman, mengalihkannya ke tempat lain, tidak jelas besaran nilai “sewenang-wenang” sebagaimana yang dilaporkan itu.

1885

Penduduk Bagansiapiapi saat itu, dengan dihitung secara cepat berjumlah sekitar 1000 jiwa, yang seluruhnya terdiri dari laki-laki China, jumlah ini diluar yang mendiami Panipahan dan wilayah hulu Sungai.

334 Penduduk Labuhan Tangga saat itu berjumlah 150 jiwa orang Melayu yang berasal dari Kubu, Dilaporkan juga bahwa orang China tidak hanya bermata pencaharian menangkap ikan, juga melakukan kegiatan di hulu Sungai Rokan (Berkebun dan panglong); Laporan Rijn van Alkemade dan Hijman van Anrooij bahwa penduduk pribumi di kenegerian Bangko sejumlah 1000 jiwa, Tanah Putih 1500 jiwa dan Kubu sejumlah 1200 jiwa. Bahwa lanskap Kubu beberapa waktu sebelumnya mengalami wabah kolera yang menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa. Menetapnya Masyarakat China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan lingkungan pemukiman untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana wilayah Afdeeling Bengkalis ditetapkan wilayah; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat, Bagan Api-Api, Tanah Putih dan Penipahan sebagai lingkungan pemukiman Oriental. Mengacu pada traktat 1858 antara Siak dan Belanda, maka wilayah Tanah Putih, Bangko dan Kubu adalah bahagian dari Kerajaan Siak. Kemudian tanggal 23 Juni tahun 1884, ditandatangani pula kontrak tentang pungutan Pajak di wilayah Tanah Putih antara Belanda dan para penguasa Pribumi: Sultan Siak Yang Di Pertuan Besar Syarief Kasim Abdul Jalili Sarief Oedin, Mangkubumi Tengku Putra, dan para Datuk di Tanah Putih antara lain Datuk Suku Melayu Besar, Melayu Tengah, Mesah dan Batu Hampar. Bahwa Tanah Putih telah menjadi pusat pengiriman hasil bumi dari pedalaman sungai Rokan. 1885

Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas pengumpul bea, meainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: seorang kontrolir, yang juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang joeroe moedi dan 6 orang awak kapal, dan sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura- maka Tanah Putih masuk dalam kategori Kelas 2a.

1886

Telah ditetapkannya pungutan pajak atas wilayah pantai, khususnya di Bagansiapiapi, dan berdasarkan pasal 4 perjanjian 23 Juni 1884, ditetapkan waktu pelaksanaanya adalah 1 Januari 1886, maka kontrolir Tanah Putih datang berkunjung ke Bagansiapiapi untuk memungut pajak, akan tetapi. orang China menolak dan melakukan perbuatan yang dikatakan pemerintah sebagai tidak sopan terhadap pejabat Kontrolir. Sang kontrolir pun kembali ke Tanah Putih. Sebagai balasan, kemudian Belanda melakukan blokade atas Bagansiapiapi dengan

335 menggunakan kapal perang MS Djambi, dan dalam tempo 2 x 24 jam, orang China di Bagansiapiapi mengalah, dan memilih sikap untuk membayar pajak. Pemerintah Hindia mengatakan bahwa mereka mengalahkan Komunitas China di Bagansiapiapi dengan menggunakan kelemahan mereka sendiri, dan untuk peristiwa ini, Belanda menetapkan denda sebesar 1500 dolar. Satuan polisi ditempatkan di Bagansiapiapi untuk meninjau kampong dan melakukan sensus. Hampir terjadinya konflik mematikan di Bagansiapiapi antara 12 Sepoy dari Singapura dengan 40 orang pasukan Sultan Siak. 1887

Pada tahun 1887 kembali terjadi reorganisasi pemerintahan, bahwa melalui Staatsblad 1887 Nomor 21 dibentuklah beberapa Afdeeling yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen; yang mana diantaranya adalah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Bengkalis, Siak dan Tanah Putih. Mengingat perkembangan yang pesat di pantai timur, ibukota residensi dipindahkan dari Bengkalis ke Medan. Saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima afdeeling, yaitu; Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli dan Batubara.

1888

Pada bulan Februari dilaporkan bahwa Pemerintah bermaksud untuk menambah jumlah polisi yang saat itu hanya sebesar 18 orang yang bertugas di Tanah Putih – dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi gejolak di Bagansiapiapi. Dilaporkan bahwa penduduk China saat itu sudah berjumlah 4000 jiwa, 2500 di Bagansiapiapi dan 1500 jiwa di Panipahan. Pemerintah Hindia Belanda mendorong seluruh sumber daya penduduk China ini untuk melakukan penangkapan ikan.

1891-2

Belanda melakukan uji coba penanaman tembakau di wilayah Tanah Putih, ternyata, hasilnya tidak seperti yang diharapkan sehingga perusahaan yang telah berdiri disana, memilih untuk menutup perusahaannya itu.

1893

Kontrolir Tanah Putih C.E.P.van Kerekhoff, digantikan dengan kontrolir K.W.Gisolf.

1894

Aspirant Kontrolir Tanah Putih adalah G.M.G.Ingenwijf. Sedangkan Kapiten China atau dalam istilah Chineesche Bestuur adalah Luitenant der Chineezen te Bagansiapiapi tercatat bernama Ang Koen Djoe

336 Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblad 1894 No.93 menetapkan perubahan atas pungutan di wilayah lanskap Bangko dan Kubu yang berlaku jika Kontrolir sudah bertempat di Bagansiapiapi; Dengan dasar ini, maka ditetapkanlah Staatsblad berikutnya masih ditahun 1894, yakni Nomor .94 yang memindahkan Kontrolir dari Tanah Putih menuju Bagansiapiapi. Alasannya seperti telah dikemukakan adalah untuk memudahkan pemungutan pajak. Waktu penetapan Staatsblad adalah tanggal 21 April. 1895

Hingga tahun 1895, tercatat sejumlah perusahaan Eropa yang memperoleh konsesi di wilayah Onderafdeeling Tanah Putih terutama yang bergerak pada penanaman karet.

1897

Dilaporkan bahwa Zainal Abidin dari Rantau Kasei telah kembali, dan Belanda menganggap bahwa ia berkemungkinan berniat melakukan permusuhan terhadap Siak dan khususnya Tanah Putih, dimana penduduk segera berada dalam keresahan :Zainal Abidin adalah mantan kepala Tamboesie-Streek dan dianggap Belanda sebagai ancaman akan menyebabkan terjadinya gejolak di Tanah Putih yang berada di bawah kekuasaan Siak, setelah ia pernah dilarang kembali ke lanskap itu. Asisten Residen Bengkalis pun meminta kepada Garnizun pendudukan untuk melakukan perlindungan sementara, yang ditandai dengan hadirnya sebuah kapal. Residen wilayah ini pergi ke sana pada tanggal 27 Februari, menyelidiki masalah itu dan menemukan bahwa rasa takut terlalu dibesar-besarkan; dikatakannya tidak ada bahaya permusuhan pada bagian dari negeri “Rokan” atau Zainal Abidin. Bagaimanapun juga, kepada Asisten Residen diperintahkan agar beberapa hari tinggal di Bagan Api Api untuk menenangkan penduduk, lalu pergi mengunjungi Tanah Putih. Kemudian ia menerima Kontrolir Tanah Putih yang membawa serta surat sopan dari Zainal Abidin, berisi pemberitahuan pada waktu kedatangannya yang membesarkan ungkapan damai perasaannya. Asisten residen pun menjawab bahwa Zainal Abidin bebas untuk bergerak di mana saja, namun harus tetap berada di luar Tanah Putih.

1900

Terbitnya Staatsblad 1900 Nomor 64, kantor kontrolir dipindahkan dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi. Kontrolir Tanah H.H.F.J.Nusselein

Putih

(Bagan

Api-Api),

tercatat

bernama

Pembukaan jalan di Bagansiapiapi dengan mengerahkan para tahanan kerja-paksa.

337

Kapitan China Bagansiapiapi saat itu adalah ANG HOEN DJOE 1902

Diberitakan bahwa proses pemindahan kantor Kontrolir telah selesai, dan di Bagansiapiapi telah bertempat kontrolir tersebut. Kontrolir Bagansiapiapi pada saat itu bernama Seyne de Kock, yang tahun itu juga direncanakan akan digantikan oleh Kontrolir Kromm. Sebuah kapal S.S.Reynst, yang biasa berlayar dari pulau Jawa menuju Belawan, akan tetapi untuk kali pertama tidak menyinggahi Singapura sebagaimana biasanya, melainkan secara khusus merapat di pelabuhan Bagansiapiapi sebelum melanjutkan pelayaran menuju Belawan.

1903

Dilaporkan adanya penempatan satuan Reserse untuk menjaga pergudangan garam yang berada di Bagansiapiapi. Diberitakan bahwa telah dikeluarkannya izin oleh pemerintah Hindia guna pembangunan Perumahan kontrolir dengan total biaya sebesar f35.548; dan juga bagi pembangunan gedung Reserse. Pembangunan penjara dengan kapasitas 25 orang. Dilaporkan peningkatan pengiriman ikan kering ke Semarang semenjak Perusahaan Pelayaran Belanda K.P.M. memasukkan Bagansiapiapi kedalam rute pelayarannya.

1904

Sebagai tahun puncak produksi Ikan Kering yang mencapai 26 Juta Kg (jumlah ini diluar trassi dan produk lainnya). Pendirian Kantor Pos Pembantu di Bagansiapiapi. Kontrolir pada saat itu bernama van Roest.

1905

Hendrikus Colijn, mantan Kapten perang Aceh melakukan kunjungan ke Bagansiapiapi. Kedatangannya ini diutus oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda; Van Heuszt, untuk mendata “kekayaan luar” yang berada di Hindia Belanda, termasuk di Bagansiapiapi. Diberitakan juga adanya inspeksi dari Residen Bengkalis. Van Kempen seorang pengawas perikanan dari Batavia, berkunjung ke Bagansiapiapi; saat itu ia mengatakan Bagansiapiapi sebagai “Tambang Emas kecil.”

338

Diterbitkannya Staatblads 1905 No.622 tentang Pemukiman China di Sineboei. 1907

Sehubungan dengan kebijakan konversi mata uang koin tembaga, di Bagansiapiapi telah mengakibatkan keresahan dan aksi sejumlah 300400 nelayan yang menyebabkan kerusuhan di Bagansiapiapi. Untuk mengantisipasinya, pemerintah Belanda mengirim sejumlah 25-40 orang mantri polisi dengan kapal uap “Ceram” berangkat dari Medan ke Bagan; sepasukan barisan polisi dengan gendering ditabuh, mendatangi kedei-kedei dan memaksa untuk melakukan pertukaran mata uang disana.

1908

Terjadi kebakaran besar di Bagansiapiapi.

1909

Pasca Kebakaran, Pemerintah Kolonial mulai merancang tata kota modern dengan jalan yang lebar dan rumah yang teratur, bahkan, telah mulai merancang kelistrikan kota dengan mendatangkan salah satu insinyur dari perusahaan Siemens Brother di Singapura ke Bagansiapiapi; dengan target sejumlah seribu lampu dengan biaya per unit sebesar 1 dollar per bulannya.

1910

Industri perikanan mengalami masa “achteruitgang” (penurunan), yang berdampak pada eksodusnya sekitar 1500 nelayan dari komunitas China eksodus keluar dari Bagansiapiapi. Sejumlah 250 Jermal ditinggalkan pemiliknya disebabkan pendangkalan muara. Pada 19 September 1910, terjadi kebakaran di Sinaboi selama kurang lebih empat jam yang menghanguskan sejumlah besar bangunan. Kerugian ditaksir mencapai f40.000,Perpanjangan kontrak Siak(1 Januari 1910), dimana ditetapkannya wilayah Tanah Putih, Kubu dan Bangko sebagai Onderdistrick (subdistrik).

1911

Dokter RM.Pratomo tiba di Bagansiapiapi bersama seorang Jerman dan serombongan pekerja dari Yogya. Bertugas “Kapiten China” di Bagansiapiapi, Luitenant der Chineezen; Oei I Tam menggantikan Ang Tjeng Hoe yang berhenti atas permintaannya sendiri.

339

1912

Diberitakan pembangunan Dermaga Modern di Bagansiapiapi.

1913

Produksi Trassi diberitakan meningkat, akan tetapi secara kualitas jatuh disebabkan nelayan mencampurnya dengan bahan lain. Dari sejumlah 50 pedagang besar di Bagansiapiapi, 23 diantaranya jatuh bangkrut. Kondisi ini ditengarai juga akibat melonjak tajamnya pajak.

1914

Terdapat suatu Petisi terhadap Pemerintah mengangkut permintaan penurunan harga garam.

1915

Bertugas Seorang Kontrolir bernama B.J.Haga, mulai tahun 1915 hingga 1919. Pemerintah Hindia melakukan pengujian terhadap hukum tradisional menyangkut kepemerintahan; apakah bertolak belakang dengan hukum pemerintahan Hindia Belanda(?), dan hasilnya, dihapuskan hak pemungutan hasil-hasil bea, pajak dan denda oleh “orang besar” kenegerian. Terjadi reorganisasi pemerintahan; melalui Besluit Gubernur 6 Juli 1915, status Residensi Sumatra dinaikkan menjadi Gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan, dan secara administrasi wilayah Sumatra Timur dibagi menjadi lima afdeeling, dimana Onderafdeeling Bagansiapiapi masuk dalam Afdeeling Bengkalis. Reorganisasi yang mereduksi kewilayahan tradisional Siak; penetapan asisten residen (afdeeling) Bengkalis dengan lima kewilayahan: Onderafdeeling Bengkalis yang meliputi pulau Bengkalis dan sebahagian wilayah Siak serta Pelalawan dengan ibukota di Bengkalis; Onderafdeeling Siak dengan kewilayahan Siak dan pulau Merbau dan Padang dengan ibukota di Siak, Bagansiapiapi meliputi Tanah Putih, Kubu dan Bangko dengan ibukota di Bagansiapiapi; Onderafdeeling Rokan meliputi IV Kota diilir, Kunto Darelsalam, Kepenuhan, Rambah dan Tambusai dengan ibukota di Pasir Pangaraian; dan Kampar Kiri meliputi Gunung Sahilan, Sibayak, Singingi dan Logas dengan ibukota di Gunung Sahilan. Berkunjung seorang pejabat Hindia urusan Tiong Hoa dari Batavia: Mouw. Pejabat urusan masyarakat timur ini, melakukan investigasi mencari sebab-sebab menurunnya produksi perikanan. Hasilnya, suatu rekomendasi untuk bantuan penyaluran kredit bagi nelayan dan pedagang Bagan.

340

1916-1918

Pendirian Vereeniging yang beranggotakan Kontrolir, dan sejumlah anggota terdiri dari orang Melayu dan China; B.J.Haga (Kontrolir sebagai ketua); Mohamad Arsad (sebagai vice president); Lim Tek Soei (sekretaris); J.Koppelle; dokter R.M.Pratomo,; Oei I Tam (Luitenant Chineezen); Sim Tjeng Song(wijkmeester der Chineezen); Ang Boen Koa, Oei Tong Kim; Li Tek Goan, Ban Hong Hin(Pedagang) semuanya berasal dari Bagansiapiapi, salah satu kegiatannya adalah membantu pendirian rumah sakit partikelir yang saat itu dikelola oleh dokter RM.Pratomo. Vereeniging juga menfasilitasi pendirian Onderafdeelings Bank Bagan Madjoe; sebuah Bank yang didirikan untuk membantu penyediaan kredit bagi pedagang, nelayan dan petani kecil. Rencana Pembangunan Kantor Bank Bagan Madjoe dan Kantor Kontrolir yang baru. pemerintah Hindia mengeluarkan aturan tentang jermal bertanggal 21 Januari 1916; “Keur op de oprichting, de registratie en de opruiming van djermals en op de zoogenaamde bangliau's in de Afdeeling Bengkalis.” Peraturan yang biasa disebut “Viscerijkeur” ini, terutama mengatur pembangunan jermal hingga pembersihan jermal yang telah ditinggalkan pemiliknya disebabkan timbulnya keluhan tentang gangguan pelayaran yang berasal dari jermal-jermal yang sudah tidak berfungsi lagi. Selain itu, Visscherijkeur juga mengeluarkan aturan tentang izin pembangunan jermal, pendaftaran dan penomoran, hingga pencahayaan jermal yang dimulai dari terbenam hingga terbitnya matahari; poin yang dirasakan berat mengingat biaya yang cukup mahal. Akan tetapi, pelanggaran atas aturan ini, dikenakan sanksi denda hingga f100, dan hukuman kurungan yang mencapai tiga bulan. Hasilnya, jermal di muara Rokan, terlihat di gelapnya malam bagaikan sekumpulan kunang-kunang bercahaya; dan pers Belanda menyebutnya “De Ville Lumiere in het donkere Afdeeling van Bengkalis” (Kota Cahaya dikegelapan malam Afdeeling Bengkalis). Pada April 1916 diberitakan bahwa “Inlandsch School der 2de klasse” atau Sekolah Bumiputera akan segera dibangun di Bagan oleh B.O.W.. Pada tahun 1917, terjadi wabah disentri yang cukup serius di Tanah Putih. Pendirian kantor Telegraph di Bagansiapiapi(1918).

341 1919

Terjadi kebakaran di Tanah Putih. Pembangunan Kantor Bank Bagan Madjoe. Peningkatan status Kantor Pos pembantu menjadi Kantor Pos (1919)

1920

Terjadi kebakaran besar di Bagansiapiapi; Gubernur Pantai Timur Sumatra beserta serombongan pers, dengan kapal S.S.Singkel bertolak dari Tanjung Balai meninjau lokasi kebakaran dan memberi bantuan bagi korban. Kerugian mencapai f3.000.000. Untuk mengantisipasi kebakaran serupa, pemerintah merancang sistem blok pada pembangunan kembali kota, termasuk dengan menggunakan bahan tahan api. Sistem “Pacht”, terutama pacht-garam di Bagansiapiapi dihapuskan. Semenjak tahun 1920 ini, fungsi yang semula dipegang oleh pachter, beralih kepada Bank Bagan Madjoe yang menyalurkan kredit kepada nelayan dan juga pedagang. Garam, sebagai komoditi penting dalam industri perikanan Bagan, sebelum tahun 1920 dilakukan dengan sistem tender. Adapun pasca tahun 1920, menggunakan sistem monopoli. Pemerintah Belanda menghendaki pemasukan pajak dari diberlakukannya sistem monopoli ini. Akibatnya, berbeda situasi dengan sebelumnya, dimana begitu tingginya kompetisi dalam memperebutkan tender garam, yang sering berakibat konflik. Masa monopoli, juga memberlakukan tender, yang nampaknya tidak lagi dilakukan secara individual. Menghadapi situasi ini, orang-orang Tiong Hoa Bagan, mempersatukan dirinya dalam suatu persekutuan: Serikat Chin Thong. Kontrolir yang bertugas saat itu bernama K.Boejinga, sementara Kapitan Tiong Hoa saat itu, Luitenant der Chineezen; Inyo Beng San. Telah selesainya pembangunan gedung Bank Bagan Madjoe yang dikatakan sebagai bangunan yang indah dan “SEDAP DIPANDANG.” Terjadi badai besar, dimana Sembilan orang nelayan tewas tenggelam, sejumlah 250 kapal nelayan, 163 jermal dan 7 rumah mengalami kerusakan. Selain itu, 170 jermal tidak dapat digunakan sebagai akibat pendangkalan. Dimulainya pembukaan perkebunan karet di hulu sungai Kubu yang sekarang dikenal dengan Bagan Sinembah;

342

1922

Bertugas seorang Kontrolir yang sebelumnya bertugas di Siak; O.Treffers. Kongsi Tiong Hoa yang dominan pada periode 1922-1926, adalah kongsi Bantong yang memiliki hingga 14 buah galangan sampan. Besluit Gubernur Sumatra Oostkust tanggal 13 october 1922 no.1418 menyebutkan pentingnya jaringan air bersih dan kelitrikan bagi kota, seperti di Bagan.

1923

Terjadi kasus pembunuhan yang menarik perhatian media, yang dilakukan oleh seorang tahanan di Sungai Sialang. Terjadi penangkapan oleh polisi terhadap dua orang China di Bagansiapiapi yang terlibat dalam pemalsuan uang koin.

1924

Penganugerahan Bintang “Groote zilveren ster” dari Pemerintah Hindia terhadap Kepala Distrik Bagansiapiapi, Datuk Abdullah gelar Maharaja Isi Asmara. Dokter Pratomo mengadakan tournee ke negeri Rokan dipedalaman; Menurun secara tajamnya pemasukan pemerintah Hindia dari opium, sehingga segera dilakukan investigasi oleh kepala reserse van Der Spek, terhadap perdagangan opium di Selat, dengan hasil, sejumlah 8 pelanggaran dinegeri Simalungun dan Karo, 15 pelanggaran di Deli dan Serdang, 27 pelanggaran di Asahan, 17 pelanggaran di Langkat dan 35 pelanggaran di Bengkalis –termasuk Bagansiapiapi.

1925

Mengakhiri masa tugasnya di Bagansiapiapi sebagai seorang Kontrolir, A. Te Velde. Upaya pembersihan kota Bagansiapiapi oleh pemerintah Hindia dari para “GANGSTER.” Sejumlah 80 orang China dan 30 pribumi ditangkap polisi dan dikirim ke Bengkalis untuk proses lebih lanjut.

1926

“Bagan Rubber en Produce Estates” melaporkan produksi karet yang terjual 1.709.335 K.G, dan pada tahun berikutnya, dari panen di tahun 1927 diperkirakan mencapai hasil yang lebih besar.

343 Diberitakan bahwa telegraph di Bagansiapiapi mengalami kerusakan, dan komunikasi ini, untuk sementara di lakukan melalui Tanjung Balai dan Medan.

1927

Direncanakan pembangunan Waterleiding yang dikatakan akan “MEMBIKIN SEHAT NEGRI.” Diberitakan pendirian “Radio-Station” di Bagansiapiapi.

1928

Di Bagansiapiapi, diadakan perayaan dan parade berkenaan dengan “Koninginnedag” (Hari Ratu); selain itu, juga disematkan penghargaan terhadap sejumlah tokoh. Diberitakan kegiatan Ritual “Bakar Tongkang” yang telah berjalan semenjak kedatangan orang China di Muara Rokan, mulai dipusatkan disalah satu Klenteng di Bagansiapiapi. Kelompok Misionaris Katholik dibawah pimpinan Pijnenburg tiba di Bagansiapiapi. Diresmikannya Sekolah China Belanda, dihadiri juga oleh Sultan Siak. Department van Landbouw di Batavia mengirimkan petugasnya ke Bagansiapiapi untuk mempelajari industri perikanan.

1929

Terjadi pembunuhan seorang Eropa yang cukup menggemparkan saat itu; van Hengst, ia dibunuh oleh seorang polisi bernama Nisoenkoebira dalam tugas tournee nya dipedalaman. Meski sang pembunuh menyatakan bahwa ia “silap” di pengadilan Medan, hakim tetap menvonisnya hukuman mati. Van Hengst merupakan seorang Belanda tertua dan termasuk kelompok Eropa pertama yang tiba di Bagansiapiapi. Pemerintah Hindia Belanda mencabut hak tradisional “Pancung Alas.” Hardenberg, seorang ahli perikanan dan kelautan, tiba di Bagansiapiapi dan melakukan penelitian dimuara Rokan pada rentang JanuariFebruari. Dala laporannya yang diterbitkan tahun 1929, Bottemane dari Instituut voor de Zeevisscherij di Batavia memperkirakan bahwa Jermal yang

344 ditinggalkan akibat pendangkalan di muara Rokan mencapai kisaran 400-500 jermal. 1930

Hasil sensus penduduk di kota Bagansiapiapi, orang China berjumlah sekitar 15.000 jiwa, pribumi berjumlah sekitar 3000 jiwa. Adapun penduduk Onderafdeeling Bagansiapiapi secara keseluruhan telah mencapai lebih 40.000 jiwa. Total Produksi: Ikan Kering, Trassi, Udang Kering, Cincalok, Isi Perut dan Kulit Ikan, mencapai 59,4 Juta kg. Dimulainya Masa RESESI EKONOMI Harga Garam meningkat, semula dari f3 menjadi f4 per pikulnya. Dampak Resesi, bermunculannya Nelayan Cici, alat tangkap serupa jermal yang lebih ekonomis dan dapat dipindah-pindahkan; Jumlah Cici meningkat pesat menjadi dua kali jumlah jermal. Besluit tanggal 30 Juni 1930, kepada Tuan H.E.Ch.Poortman untuk menyelenggarakan kelistrikan diibukota Onderafdeeling Bagansiapiapi; N.V.Electriciteit Maatschappij Balikpapan. Perusahaan Belanda ini, dinasionalisasi pada tahun 1956. Pada tahun ini di Tanah Putih, didirikan “rumah perawatan anak” oleh

1931

Laporan Hardenberg atas penelitiannya mengenai ekologi Muara Rokan diterbitkan. Baalbergen mengakhiri masa tugasnya sebagai Kontrolir Bagansiapiapi, digantikan oleh Boudewijn Van Duuren hingga Tahun 1934. Telah dibangunnya Waterleiding yang dimulai tahun 1930 yang biayanya ditanggung oleh pemerintah, dan dilakukan pemungutan retribusi dari pengguna setempat. Bahwa waterleiding menggunakan air laut sebagai bahan dasarnya.

1932

Hardenberg menambahkan catatan mengenai hasil penelitiannya di Muara Rokan, termasuk laporan bahwa didapati semakin terbentuknya “New Island” (Pulau baru) yang disebut Pulau Barkey.

345 Bagansiapiapi diperlengkapi dengan satuan khusus pemadam kebakaran yang diberitakan diharapkan lebih siap guna mengantisipasi kebakaran yang menjadi gejala umum kota. Meskipun demikian, api tetap saja berkobar ditahun ini, menghanguskan empat blok dijalan Makau. Kepala distrik Bagansiapiapi saat itu adalah Datoek Tjomel Gelar Maharadja Lela Moeda. 1934

Dibangunnya jaringan pompa air yang terletak antar blok untuk mencegah kebakaran Pendirian Balikpapan Maatschappij Electriciteit (Perusahaan Listrik) di Bagansiapiapi. Terjadi kebakaran besar yang merusak 180 rumah dan kedei, dan kerugian mencapai f250.000. kebakaran ini dikatakan bagai menghanguskan separuh Bagansiapiapi. DIberitakan, bahwa kebakaran ini disebabkan kecerobohan dari sebuah kedai kopi, yang kemudian api dengan cepat membesar yang disebabkan juga kuatnya hembusan angin. Tercatat bertugas seorang Kontrolir bernama J.C.C.Haar, hingga tahun 1936 Penetapan aturan pembangunan dan wilayah alat tangkap ikan: Jermal, bubu, cici dan takliauw di muara Rokan. Federasi pedagang China “Shiang Hwee” didirikan di Bagansiapiapi, bersama sejumlah tempat lainnya di pantai timur.

1936

Angin Putting Beliung melanda wilayah sub-distrik Kubu di onderafdeeling Bagansiapiapi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dua orang anak-anak, dan rusaknya sejumlah 34 bangunan rumah dan toko. Perusahaan listrik Maatschapij Balik Papan, dibawah direksi van Swaay, meluaskan jaringannya di Bagansiapiapi dan berharap dalam sesegera mungkin dapat terlaksana.

1937

Komandan Polisi Bagansiapiapi, P.C.Kossen mengirimkan surat mengenai situasi bangunan kantor polisi lama yang berada dalam kondisi memprihatinkan tersebab dimakan usia. Komandan polisi di

346 Bengkalis, menyarankan untuk sementara menggunakan bangunan lain guna menghindari bahaya kecelakaan; Pemerintah Hindia sendiri memutuskan akan segera membangun kantor polisi yang baru di Bagansiapiapi. Diberitakan terdapat suatu permasalahan dengan Waterliding, bahwa kondisi air laut yang asin, nampaknya menjadi persoalan bagi jaringan pipa air bersih itu; dan pemerintah mengugaskan Ir.Bleichrodt dari afdeeling Gezondmakingswerken en Volkshuisvesting van den Dienst der Volksgezondheid (divisi Revitalisasi Pekerjaan dan Perumahan Departemen Kesehatan) di Batavia untuk menyelesaikan persoalan yang terkait dengan sarana air bersih itu dengan pemasangan pipa besi cor, yang jika perlu, dibahagian tertentu menerapkan jaringan pipa diatas tanah. Kembali terjadi tindakan pembunuhan di sebuah kampung di Bagansiapiapi, mirip dengan kasus yang terjadi di Sungai Sialang di tahun 1923. Perkara pembunuhan, terutama berkaitan dengan kisah cinta segitiga, selalu menyedot perhatian media masa kolonial. De Sumatra Post memberitakannya dengan judul: Moord bij Bagan Si Api Api: Een Vrouw perkara. Bahwa Sidin dan Sino, dua orang pribumi yang bekerja untuk China Bagan; Sidin yang suatu malam pulang dan menemui rumahnya terkunci, mendobrak, dan menemui sang nyonya rumah bersama Sino. Dalam kegelapan malam, Sidin menebaskan parang yang dibawanya ketubuh Sino. Meskipun Sino mampu meloloskan diri, luka yang dideritanya cukup parah, dan iapun tewas. Sementara SIdin, kemudian ditangkap oleh polisi. 1938

Penyempurnaan Pembangunan Waterleiding dengan jaringan pipa baru. Penyerahan sebidang tanah dipersimpangan Wilhemina Straat dan Kerk Straat dari Sultan Siak kepada Pemerintah Hindia, dan oleh Belanda tanah itu dilakukan pembangunan Opium Depot/Zoutregie. Bertugas Van Der Linden sebagai Kontrolir Bagansiapiapi. Suster Van Schijndel dari misi Katolik berencana akan membuka sebuah rumah sakit di Bagansiapiapi. Pembangunan sebuah panti asuhan untuk anak-anak China, “Armen Huis; dimana pihak perkebunan karet menyumbangkan sejumlah f16.000,-

347

1939

Pada Bulan Februari Dokter R.M.Pratomo diberitakan tenggelam saat bertugas ke wilayah pedalaman di hulu Sungai Rokan dekat Si ArangArang. Peristiwa ini memperoleh perhatian khusus dari Pemerintah Hindia Belanda, dimana gubernur Pantai Timur mengunjungi keluarga dokter RM Pratomo di Bagansiapiapi untuk menyampaikan belasungkawa. Hasil pemeriksaan komandan polisi Bagan; P.C.Kossen terhadap para penumpang kapal F-II; H.J.Eldering (Rubberestrictieambtenar), Nain dan Naroep (awak kapal), Boeasim (juru-mudi), Sardijo (dokter), dan Samsoeddin (Zieken verpleger), menyimpulkan bahwa hal itu memang suatu kecelakaan. Pada 13 Maret 1939, bertugas G.M.Roemers di rumah sakit Bagansiapiapi. Kontrolir pada saat itu bernama Van Der Linden. Pada Bulan April 1939 yang bersangkutan dimutasikan ke Jambi. Tahun ini Bagansiapiapi benar-benar dapat memperoleh manfaat dari jaringan pipa waterleiding yang baru.

1940-41

Pendangkalan Muara Rokan, telah berada dalam situasi memprihatinkan, sehingga tidak saja berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan, juga mengganggu pelayaran. Pembangunan Opium Depot/zoutregie di Bagansiapiapi. Pembangunan kembali tangsi Polisi di Bagansiapiapi.

1942

Jepang memasuki Bagansiapiapi, seluruh orang eropa di Bagansiapiapi di internir

1945

Diberitakan bahwa penduduk Bagansiapiapi menyumbangkan uang sejumlah f250.000 untuk pembelian pesawat yang bernama Bagansiapiapi No I, II dan III. Pesawat tersebut tiba di pekanbaru dari Jepang di Bulan Maret. Bulan Juli 1945, seorang Inggris: Kapten Lodjie dan pasukan kecilnya dengan parasut mendarat didekat Bagansiapiapi.

1946

Terjadinya “peristiwa” Bagansiapiapi pada bulan Maret dan September.

348 Sultan Siak menyerahkan tahta kerajaan kepada Republik; era yang menandai berakhirnya tatanan tradisional di kewedanaan Bagansiapiapi. Kepala negeri (subdistrik) yang terakhir; Kubu adalah Datuk Comel, Bangko adalah Datuk Abdurauf, Tanah Putih adalah Datuk Harunsyah. 1947

Pasca konflik 1946, dilaporkan penduduk Bagansiapiapi dilanda kekurangan obat-obatan dan bahan makanan.

1948

Tanggal 15 April diberlakukan UU Nomor 10 Tahun 1948 tentang Pembagian Sumatra dalam Tiga Provinsi. Kewedanaan Bagansiapiapi yang termasuk dalam keresidenan Riau bersama dengan keresidenan Sumatra Barat dan Jambi membentuk Provinsi Sumatra Tengah. Tanggal 25 Juni; di Laut Panipahan, 20 sampan Indonesia yang datang dari pantai Labuhan Bilik bermuatan barang-barang perniagaan diseret oleh Belanda ke Belawan; Tanggal 26 Juni malam hari, di Sinaboi, sebuah kapal motor merek SLO No.1322 bermuatan garam dari Singapura, diseret Belanda pula ke Belawan. Tanggal 27 Juni; wakil konsul Tiongkok di Bagansiapiapi; Lim Beng Phie bersama Tan Tjan Pok berangkat ke Medan. Tanggal 28 Juni; bahwa blokade Belanda semakin diperketat, sebuah kapal perang Belanda berlabuh di perairan Panipahan dan juga di perairan Sinaboi, dengan dibantu sebuah kapal motor memeriksa kapal dan sampan; Adanya telegram dari Kementerian Pertahanan tanggal 30 November 1948 yang menyatakan bahwa pihak Belanda melakukan blokade di perairan Bagansiapiapi, merampas kapal yang berakibat pelayaran terganggu dan aktifitas perekonomian terhenti. Tentara Belanda memasuki Bagansiapiapi. bangunan baru bagi rumah perawatan anak di Tanah Putih; Ny.dokter Tiong Thee Tiong dari “Vereeniging tehuis voor Chinese kinderen,” menjelaskan bahwa pada awalnya ditahun 1930, hanya terdapat lima orang anak yang diasuh, dan pada tahun 1940, tercatat sejumlah 45 orang anak yang diasuh disini.

1949

Selama pendudukan tentara Belanda, dilaporkan hal-hal berikut: Lintas pelayaran disekitar muara di Bagansiapiapi terganggu akibat timbunan Lumpur; selain itu, pemerintah Belanda juga menyatakan bahwa sulit bagi Bagansiapiapi mengembalikan kejayaannya sebagai penghasil ikan

349 terbesar II di dunia diakibatkan penimbunan lumpur (pendangkalan). Oleh sebab itu, di pelabuhan ditempatkan pelabuhan apung yang disebut “Brielle” yang dimaksudkan untuk membantu kapal melakukan aktifitas bongkar-muat barang. Dilaporkan juga bahwa aktifitas perekonomian pasca perang berangsur-angsur kembali noirmal, dan Bank Perkreditan Rakyat juga kembali berjalan. Seorang insinyur Belanda; Reuter, dari Departement van Economische Zaken en Landbouw & Visserij yang berkunjung pada awal tahun, mencatat sebagai berikut: bahwa pelantaran Bagansiapiapi nampak telah berjamur dan terlantar, penurunan produksi ikan asin dan trassi dari 3000 ton perbulan, menjadi tidak lebih dari 1000 ton saja; peredaran opium tercatat dilevel dealer (Chineesche opkoper verkocht) bernilai 700 dolar/ kg; dan 1 dollar per gramnya; situasi bagi aparat pemerintahan militer Belanda sendiri cukup sulit; mengingat kenyataan bahwa segala keuangan dan transaksi menggunakan mata uang gulden, sementara perdagangan gelap (black market) yang marak saat itu menggunakan mata uang dolar. Sementara upah seorang pekerja/kuli saat itu adalah sebesar 100 dolar perbulan, ditambah dengan bebas biaya makan yang diperkirakan sebesar 50-60 dolar perbulannya. Bertugas di rumah sakit Bagansiapiapi; dokter Maats. Pada bulan November, Belanda mendatangkan pelabuhan apung “Brielle” agar aktifitas pelabuhan dapat berjalan normal mengingat pendangkalan yang menyulitkan aktifitas bongkar-muat barang di Bagansiapiapi. 1950

Pada Bulan Oktober, terjadi ketegangan antara pendukung Kuo Min Tang dan RRC di Bagansiapiapi.

1952

Di Bagansiapiapi dibentuk “Badan Penjantun Pendidikan;” yang tujuannya untuk membantu meringankan beban hidup pendidik/pengajar yang dirasakan telah memberatkan.

1956

Diberitakan penurunan drastis dalam produksi perikanan, selain pendangkalan yang sudah sedemikian hebat hingga kapal harus berlabuh hingga jarak mencapai kiloan meter dari pantai, juga adanya pelarangan kegiatan aktifitas industri di Pulau Barkey, masa ini oleh pers barat sebagai era benar-benar mulai pudarnyanya kejayaan industri perikanan Bagansiapiapi. Saat itu, situasi Bagansiapiapi berbeda dengan sebelumnya, wilayah pantai tidak lagi digenangi air laut, melainkan telah terdapat bangunan sekolah, pemukiman dan

350 lapangan olah raga. Selain itu, pada malam hari dilaporkan situasi kota yang sunyi, dan tidak lagi ditemui keramaian. Meskipun demikian, dilaporkan juga bahwa dilakukan perluasan kota Bagan; pemerintah setempat bersama-sama masyarakat membangun jalan sepanjang 4km kearah barat kota. Untuk melaksanakan “proyek” ini, pemerintah setempat telah memiliki dana sejumlah Rp.240.000,selain itu, pemerintah dan masyarakat melakukan tuntutan kepada pemerintah Kabupaten dan Provinsi untuk menaikkan status kewilayahan sebagai sebuah “Kota Ketjil.” Juli 1956

Agustus 1957

Smokkel Handel dikawasan Selat, pelabuhan Bagansiapiapi mengumumkan nilai perdagangan gelap itu telah mencapai empat juta dolar dalam setahun. Ditetapkannya UU darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tk.I Sumatra Barat, Jambi dan Riau, tanggal 9 Agustus 1957. Unjuk rasa organisasi kemasyarakatan menentang “permainan dadu” di Bagansiapiapi.

Maret 1958

Diberitakan bahwa pasukan pemerintah telah berhasil menduduki Bagansiapiapi yang semula dikuasai pasukan PRRI.

1963-4

Terdapat rencana pembentukan daerah otonom: daerah Swatantra Tingkat II Bagansiapiapi dengan mengacu pada kewilayahan kewedanaan Bagansiapiapi yang diketuai oleh Husin Rambah.

1970-an

Suatu Laporan pemerintah menunjukkan peredaran candu yang cukup besar di Bagansiapiapi, terbesar di wilayah provinsi Riau (Daratan dan Kepulauan).

1998

Terjadi kerusuhan bernuansa Etnis di Bagansiapiapi.

1999

Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir, yang kewilayahannya merupakan kewilayahan eks kewedanaan Bagansiapiapi. Sebagai Plt.Bupati Rokan Hilir: H.Wan Syamsir Yus.

2002

Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hilir: H.Thamrin Hasyim dan H.Ilyas RB untuk periode 2011-2016.

351 Terjadinya kerusuhan bernuansa etnis di Bagansiapiapi. 2004

Terjadinya aksi massa memblokade jalan Bagansiapiapi – Ujung Tanjung di Simpang Poros.

2006

Terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Annas Maamun dan H.Suyatno untuk periode 2006-2011. Periode ini, sebagai dimulainya pembentukan visi “Negeri Seribu Kubah” dan pencanangan pembukaan Jalur transportasi darat pesisir dengan dibangunnya jembatan Pedamaran.

2011

Terpilih kembali Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Annas Maamun dan H.Suyatno.

2016

Terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Suyatno dan H.Jamiludin periode 2016-2021.

352

353

WARTA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA PADA ONDERAFDEELING TANAH PUTIH DAN BAGAN SI API-API AFDEELING BENGKALIS OOSTKUST VAN SUMATRA (1897 – 1939) Het Nieuws Van Den Dag 17-11-1897 Ned.Oost-Indie Het Nieuws Van Den Dag 09-10-1900 Binnenlandsch Bestuur

Ingetrokken: op verzoek, het aan den gewezen ontvager te Bagan Api-Api (Oostkust van Sumatra) H.W.Bangert , wegens langdurigen dienst, verleende een jaar verlof naar Europa. De controleur J.SEIJNE KOK, met het bestuur over de onderafdeeling Tanah Poetih afdeeling Bengkalis

Het Nieuws Van Den Dag 30-08-1901

Overgeplaatst: van Bagan Api-Api (Oostkust van Sumatra) naar Batavia de verifl. Van Hengst, van Batavia naar Bagan Api Api , de ontvanger van Rijgersma.

Het Nieuws Van Den Dag 30-03-1903 Besluiten en Benoemingen

Op f 200, J.A.RIJGERSMA, geplaatst te Bagansiapiapi

De Sumatra Post 16-07-1904 Binnenlandsch Bestuur

Om den nieuw benoemden controleur Roest als standplaats Bagan Api Api aan te wijzen.

Het Neuws Van Den Dag: Kleine Courant 06-04-1905

Overgeplaatst: naar Bagan Api Api (Oostkust van Sumatra), de ontvanger C.L.W.B.Von lienbenstein, …..

354 Ned.Oost Indie

De Sumatra Post 09-01-1906 Personalia

Wegens intrekking zijner betrekking eervol ontslagen de Instructeur van het koops gewapende politiedienaren te Bagan Api-api. E.Van der Velden.

De Sumatra Post 21-10-1907 Personalia

Tijdelijk belast met de function van tijd.civiel Gezaghebber te Bagan Api-Api de Controleur W.C. van Gelder. ………………………………….. Benoemd tot tijd. Chineeschen tolk bij den Civiel Gezaghebber te Bagan Api-Api Kap Soen Tek.

Het Nieuws Van Den Dag 03-02-1909 Personalia

De verificateur bij de in-en uitvoereechten en accijnzen te Belawan H.J.Fliers, is werkzaamgesteld als ontvanger te Bagan Api Api

Het Niews Van Den Dag 04-02-1909 Personalia

De ontvanger bij de in-en uitvoerrechten en accijnzen te Bagan Api-Api H.G.J.Coers, is werkzaamgesteld als verificateur en geplaatst te Batavia.

De Sumatra Post 24-09-1909 Mutaties

Idem van Bagansiapiapi de ontvanger der tolrechten H.G.J.COERS, die vervangen wordt door H.J.FLIERS, thans te Belawan.

De Sumatra Post 18-03-1910 Mutaties

Aan den Civ.Gezaghebber te Bagan Api-Api F.A.Bedier de Praririe is wegens familie aangelegenheden een maand binnenl. Verlof verleend naar Batavia en Padang.

Het Nieuws Van Den Dag 11-04-1911 Personalia

Aan de Luitenant der Chineezen te Bagan Api Api, Ang Tjeng Ho, is drie maanden verlof verleend naar Singapore.

De Sumatra Post 26-05-1911 Mutatie

Op verzoek is ontslagen de luitenant der Chineezen te Bagan Api-Api in Bengkalis Ang Tjeng-Ho.

Het Nieuws Van Den Dag 10-07-1911 Personalia

De ontvanger bij de in en uitvoerrechten en accijnzen te Bagan Api-Api H.J.FLIERS is werkzaamgesteld als verificateur en geplaatst te Bagan Api Api. De verificateur bij de in en uitvoerrechten en accijnzen te Belawan F.J.SEILEGER is werkzaamgesteld als ontvanger en geplaatst te Bagan Api Api.

355

Het Nieuws Van Den Dag 07-08-1911

WERKZAAM Gesteld: de ontvanger der accijnzen te Bagan Api Api H.J.Fliers als verificateur en geplaatst te Belawan; de verificateur der accijnzen te Belawan P.J.Seileger als ontvanger en geplaatst te Bagan Api Api.

Nieuws Rotterdamsche Crt 07-08-1911 Personalia

De ontvanger der accijnzen te Bagan Api-Api H.J.Fliers als verificateur en geplaatst te Belawan; de verificateur der accijnzen te Belawan P.J.Seileger als ontvanger en geplaatst te Bagan Api Api.

De Sumatra Post 09-08-1911 Mutaties

Benoemd is tot luitenant der Chineezen te Bagansiapiapi en Bengkalis, Oei Hi Tam, thans wijkmeester aldaar.

Het Nieuws Van Den Dag 26-02-1912 Personalia

De opziener bij de in –en uitvoerrechten en accijnzen E.Ch.de Bruin is van Semarang naar Bagan Api-Api overgeplaatst en zulke met intrekking van zijne overplaatsing naar Langsa.

Het Nieuws Van Den Dag 11-03-1912 Personalia

De ontvanger bij de in – en uitvoerrechten accijnzen te Bagan Api Api F.J.Seilberger werkznamgesteld als verificateur en geplaatst Soerabaja. Bij het magistraatsgereecht te Bagan Api-Api, tijdelijk djaksa bij dat magistraatsgerecht, Arip.

De Sumatra Post 21-01-1913 Mutaties

en is te de

Het Nieuws Van Den Dag 13-03-1913 Personalia

De civiel gezaghebber van Bagan Api Api T.A.BEDIER DE PRAIRIE heeft eervol ontslag uit zijne betrekkking gevraagd.

Het Nieuws Van Den Dag 24-05-1913 Personalia

De civiel gezaghebber J.G.Koene is belast met het bestuur over de afdeeling Bagan Api Api.

Algemeen Handelsblad 08-04-1913 Personalia

De civ.gezag. van Bagan Api Api, T.A.Bedier de Prairie, heeft eervol ontslag uit zijne betr.gevraagd.

De Sumatra Post 14-08-1913 De Ambtelijke Mutatie

Tot lid bij den landraad te Bengkalis J.G.Koene, civiel gezaghebber te Bagan Api Api

356 Het Nieuws Van Den Dag 05-11-1913 Civiel Departement

Als verificateur en overgeplaatst van Bagansiapiapi naar Batavia H.G.KEYNER, ontvanger; Als ontvanger en overgeplaatst van Pladjoe naar Bagansiapiapi G.BEER, verificateur;

Algemeen Handelsblad 19-01-1914 Personalia

H.J.Bernelot Moens over de onderafd.Bagan Si Api Api;

Het Nieuws Van Den Dag 10-06-1914 Besluiten en Benoemingen

Benoemd: Tot lid, bij den Landraad te Bengkalis (Oostkust van Sumatra), L.Th.van Heudsden, civiel gezaghebber te Bagan Api Api. Mein seint uit Batavia: De heer Lovink, Directeur van Landbouw, vertrok gisteren per Ophir naar Padang. Hij zal vandaar naar Atjeh en Medan vertrekken. Vervolgens gaat hij over Bagan Api Api

De Sumatra Post 26-02-1915 Het bezoek van den heer Lovink

De Sumatra Post 27-12-1915 Mutaties

In het Gouvernement Oostkust van Sumatra : Tot Inlandsch officier van justitie met den title van djaksa bij het magistraatsgerecht te Api Api , Achmad en te Bagan Api Api, de mantra voor den opium verkoop te Toentoengan, Mohamad Arsad.

Het Nieuws Van Den Dag 15-06-1916 Personalia

De gezaghebber B.Filet is belast met het bestuur over afdeeling, Bagan Api Api.

Het Nieuws Van Den Dag 16-06-1916 Personalia

Aan den controleur van Bagan Api Api B.J.Haga is wegens gewichtige redenen een maand verlof is verleend naar Java.

De Sumatra Post 27-08-1917 Mutatie

Verleend wegens gewishtige redenen een maand verlof naar Pasoeroean aan den ontvanger der I.U.A. te Bagan Si Api Api, G.A.Neyndorff, en belast met de waarneming van dienst function de assistant E.C.A.Hubat.

Het Nieuws Van Den dag 16-11-1917 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst: Van Batavia naar Bagan Si Api-Api J.J.B.Bruinendal, assistant.

357 De Sumatra Post 05-10-1918 Mutaties

De Sumatra Post 16-10-1918 Mutaties

Verleend wegens ziekte 2 maanden verlof naar Garoet aand den Controleur van Bagan Api-Api B.J.Haga. Belast met bestuur over de onderafdeeling Bagan Api-Api de gezag hebber te Bengkalis F.DE RIDDER Belast met het bestuur over de afdeeling: Bagan Api Api, de gezaghebber F.de Ridder,

Nieuwe Rotterdamsche Crt 03-12-1918 Sumatra en Omgeving

Het vonnis van den Raad van justitie te Medan, waarbij controleur van Bagan Si Api Api, Haga, wegens het als openbaar ambtenaar plegen van een dand van willekeur, waardoor inbrenk werd gemaakt op de persoonlijke vrijheid, verooploeld werd tot 14 dagen gevangenis, is in appel door het hof vernietigd en beklangde vrijgesproken van het hemten laste gelegde (Locomotief).

Het Nieuws van Den Dag 26-03-1919 Personalia

Benoemd tot commies op het kantoor van den controleur te Bagan Si Api Api A.A.Hillebrandt, laatstelijk commies te Pontianak van buitenlandsch verlof teruggekeerd. De commies der derde klasse bij den post en telegraafdienst, M.Van Houten, is van Djombang naar Bagan Si Api Api overgeplaastst.

Het Nieuws Van Den Dag 12-08-1919 Personalia De Sumatra Post 23-08-1919 Mutatie

Benoemd tot buitengewoon deurwaarder bij den Raad van justitie te Medan met woonplaatst Bagan Api-Api en Selat Pandjang, respectievelijk A.A.Hillebrandt en H.A.de Lizer.

De Sumatra Post 10-12-1919 Mutaties

Verleend wegens gewichtige redenen 14 dagen verlof, door te brengen te Poelau Djemoer , aan A.A.Hillebrandt , commies op het kantooer van den controleur van Bagan Api Api.

De Sumatra Post 12-03-1920 Besluiten en Benoemingen

Tijdelijk belast met de waarneming van de betrekking van commies 1e klasse kantoordienst bij den Post telegraaf en Telefoondienst Raden Abdoelradjab, thans commies bij genoemden dienst te Bagan Si Api Api.

358 Algemeen Handelsblad 24-06-1920 Mutatie

Overgeplaatst n. .Bagan Si Api Api de zoutpakhuismr. 1e kl. A.H.Bloem;

De Sumatra Post 30-09-1920 Besluiten en Benoemingen

Benoemd: Tot eersten commies op het plaatseliijk kantoor te Bagan Si Api Api A.A.Hillebrandt, thans commies op dat kantoor; Gedetacheerd te Bagan Si Api Api voor den tijd van 2 maanden, dan wel voor zooveel korter of langer als in het belang van den dienst der algemeene politie noodig mocht blijken, de politie-opzieners H.Haas en A.von Grappendonff en de hoofdagenten B.Benz, E.Bagusa, J.Schonberger, F.Budde en R.Burghart, allen van de politieschool te Weltevreden.

De Sumatra Post 23-11-1920 Besluiten en Benoemingen

De Sumatra Post 10-01-1921 Besluiten en Benoemingen

Bij gouvernementsbesluit is bepaald , dat gerekend van 1 juni 1920 af bijwijze van tijdelijken maatregel tenbehoeve van het kantoor van den controleur van Bagan Si Api-Api nog een Chineesche tolk op een bezodiging van f75 ‘s maands in dienst wordt gesteld.

De Sumatra Post 24-02-1921 Besluiten en benoemingen

Ter Beschikking gesteld van den leider Goudontginning in Bengkoelen, A.HILLEBRANDT, thans commies op het controleurs kantoor te Bagan Si Api Api. Tijdelijk geplaatst te Bagan Api-Api voor het uitoefenen van toezicht op, en de herstelling van de gewestelijke vaartuigen aldaar, de 2e werktuigkundige bij de gouvernements marine F.Arnold Bik.

De Sumatra Post 30-01-1922 Besluiten en Benoemingen

De Sumatra Post 04-02-1922 Besluiten en Benoemingen

Benoemd tot secretaries der residentie Bengkoelen J.Oberman, controleur van Bagan Si Api Api

De Sumatra Post 07-02-1922 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van Siak naar Bagan Api-Api, controleur bij het (B.B.) O.Treffers.

De Sumatra Post 11-07-1922 Besluiten en Benoemingen

Tot leden van den Landraad te Bengkalis zijn benoemd Riaw, onderdistrict Koeboe, en Oei Tek She, particulier te Bagan Si Api-Api.

de

359 De Sumatra Post 11-01-1923 Besluiten en Benoemingen

Herbenoemd tot commies bij de Post Telegraaf en Telefoon dienst en geplaats te Bagan Api-Api G.A.Tielman, ambt.van Buitenl. Verlof terug verwacht. Overgeplaatst van Bagan Api-Api naar Medan, de postcommies Alatoen.

De Sumatra Post 17-01-1923 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van de politic-school te Buitenzorg naar het Gouvernement Oostk.van Sumatra de waarnemend politie-opzieners 2c klas H. Hoss en A.van Grappendorf, thans reeds te Bagan Api Api gedetacheerd.

De Sumatra Post 31-07-1923 Besluiten en Benoemingen

Tot commies op het belastingkantoor te Medan is benoemd Mohamad Djoezat, thans commies te Bagan Si Api Api.

Het Nieuws Van den Dag 18-08-1923 Besluiten en Benoemingen

Belast: Met de waarneming der betrekking van commies op het controleurskantoor te Bagan Si Api Api G.Scheepmaker, thans wd.com,oh.ass.res.kantoor te Bengkalis. Tot buitengewon deurwaarder bij den Raad van Justitie te Medan met woonplaats te Bagan Api Api is benoemd Mohamad Joenoes gelar Soetan Parashoem. Als dienst doende havenmeester te Bagan Si Api Api is aangewezen de controleur aldaar.

De Sumatra Post 11-09-1923 Besluiten en Benoemingen De Sumatra Post 11-10-1923 Besluiten en Benoemingen De Sumatra Post 20-10-1923 Besluiten en benoemingen

Benoemd tot buitengewoon deurwaarder bij den raad van justice met Standplaats Bagan Api Api Mohamad Sjarif Gelar Baginda Srimoelia

De Sumatra Post 20-10-1923 Afdeelingsbank van Bagan Si Api-Api De Sumatra Post 14-12-1923 Besluiten en Benoemingen

Tot administrateur van de onderafdeelings bank te Bagansiapiapi is benoemd de heer SCHIPPER thans, chef bij Bernett Berg en Co. Overgeplaatst van Bagan Si Api Api naar Medan en van Medan naar Bagan Si Api Api respectievelijk de hoofdagenten 2e kl. Der algemeene politie F.Raguse en P.J.Wagner.

360 De Sumatra Post 03-03-1924 Besluiten en Benoemingen De Sumatra Post 29-04-1924 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van Bagan Api2 naar Batavia de pol.opziener 2e kl. A.van Grappendorf en van de resident Batavian naar het gewest Oostk.Sum: den idem S.Drievoet. Buiten bezwaar van den Lande toegevoegd als adjunct van den djaksa bij den Landraad te Bengkalis Asan Siregar gelar Soetan, Mantri Politie te Bagan Si Api-Api.

De Sumatra Post 13-05-1924 Besluiten en Benoemingen

Wegens gewichtige redenen is een binnenlandsch verlof van 3 weken verleend aan den controleur van Bagan Si Api Api A.te Velde. Gedurende zijn afwezingheid neemt de aspirant –controleur te Bengkalis G.Tichelman zijne function waar.

De Smatra Post 23-05-1924 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van Medan naar Bagan Api Api de politie-opziener 2e kl. F.van der Geugten.

Het Nieuws Van Den Dag 13-11-1924 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst: Van Bagan Api APi, gouv.Oostk.van Sumatra , naar de stadspol. Te Bandoeng, de opziener der 2e kl. L.A.Bertram. Benoemd tot hoofdagent van politie 1e.kl. te Bagan Si Api-Api , G.W.Heidenis, thans waarnemend.

De Sumatra Post 18-09-1925 Besluiten en Benoemingen De Sumatra Post 02-12-1925 De Afdeelingsbank van Bagan Si Api Api De Sumatra Post 08-12-1925 Besluite en Benoemingen

Naar wij vernemen is tot administrateur der afdeelingsbank van Bagan Si Api Api benoemd de heer RAESVELD

Algemeen Handelsblad 29-03-1926 Mutatie

Overgeplaatst n.Bagan P.R.Hazenberg ;

Algemeen Handelsblad 29-03-1926 Mutatien (officieel)

Werkz.gesteld b.d.uitvoer . en acc.als verificateur en overgepl.n.Soerbaja N.A.SCHUHERR, overgeplaatst n. Bagansiapiapi als.ont. P.R.HAZENBERG;

De Sumatra Post 31-05-1926 Besluiten en Benoemingen

Wegens Ziekte een maand binnenlandsch verlof van den controleur van Bagan Api-Api belast met de

Bij den kantoordienst van het Binnenlandsch bestuur over te plaatsen van Bagan Si Api Api naar Tandj.Balei, de commies Radan Achmad Soleman. Api

Api

als

ontv.

361 waarneming van diens function W.A.G.PERKS , Controleur te Bangoen Poerba. De Sumatra Post 10-06-1926 Besluiten en Benoemingen De Sumatra Post 03-11-1926 Besluiten en Benoemingen

De Sumatra Post 23-11-1926 Besluiten en Benoemingen De Sumatra Post 27-12-1926 Besluiten en Benoemingen

Belast met het bestuur over de onderafdeeling Bagan Api-Api de td.controleur C.S.O.Schijf, thans toegevoegd aan den assistant-Resident van Bengkalis. Bij de post teegraaf en telefoondienst, overgeplaatst van Medan naar Bagan Api Api de commies Abdul Gani; Idem van Bagan Api Api naar Medan de commies J.SILOOY. Gedetacheerd te Bagan Si Api-Api de verificateur der in – en uitvoerrechten en accijnzen te Belawan, M.G.Plaatsman.

De Sumatra Post 18-08-1927 Besluiten en Benoemingen

Bij den Post-Telegraaf en Telefoondienst is overgeplaatst van Bagan Si Api Api naar Tandjong Priok de commies J.SILOOY; Idem van Tandjong Priok naar Bagan Si Api Api de tijdelijk waarnemend commies 1ste klasse R.A.N.RIJKSHROEF, met bepaling dat hij wordt belast met het beheer over het post en telegraaf kantoor der 5e.klasse aldaar. De gewezen hoofdagent van politie der 1e klasse G.W.Heidenis te Bagan Api-Api is uit’s Lands dienst ontslagen.

De Sumatra Post 26-04-1928 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van de Radiobedrijfs centrale te Bandoeng naar Bagan Si Api Api de ajunct-Commis Djalioe.

De Sumatra Post 10-05-1928 Besluiten en Benoemingen

Belast met de werkzaamaeden in het resort Bagan Si Api Api, de Hoofdopziener bij het boschwezen M.Risa.

De Sumatra Post 29-05-1928 Besluiten en Benoemingen

Belast met de waarneming van de betrekking van commies 1e klasse bij den Post Telegraaf en Telefoondienst en geplaatst te Bagan Siapi-api L.J.Perk, ambtenaar van buitenlandsch verlof terugverwacht, laatselijk die betrekking bekleed hebbende.

362 De Sumatra Post 08-04-1929 Besluiten en Benoemingen

Met ingang van 1 April 1929 , belast met de werkzaamheden in het resort Bagan Si Api Api, de hoofd opziener bij het Boschwezen M.Riza, onder aanteekening dat hij geplaatst blijft te Bagan Siapiapi.

De Sumatra Post 05-08-1929 Personalia

Benoemd tot commies op het plaatselijk kantoor te Bagansiapiapi (Oostkust van Sumatra) A.A.HILLEBRANDT.

De Sumatra Post 29-03-1930 Besluiten en Benoemingen

Aan raden Mas Pratomo particulier Indisch Arts te Bagan Api-Api tevens belast met de waarneming van den dienst der volksgezondheid aldaar wegens gewichtige redenen een binnenlandsch verlof verleend voor den tijd van twee maanden door te brengen op Java en ingaande op den 29sten Maart 1930.

De Sumatra Post 04-12-1930

Toegevoegd aan de Hoofdopzichter bij den waterstaat en’s Lands burgerlijke Openbare werken te Tandjong Balei met standplaats Rantau Prapat, de tijdelijk waarnemend adspirant opzichter bij den waterstaat en’s Lands Burgelijke Openbare werken te Bagan Si Api Api en geplaatst te Pasir Pangarajan.

De Sumatra Post 08-04-1932 Personalia

Belast met de waarneming der betreking van Mantri Politie bij de Veld Politie te Bagansiapiapi, Seke Israel, Posthuis Commandant 1ste klasse bij de Veldpolitie te Bengkalis.

De Sumatra Post 24-05-1932 Personalia

3. Controleur van Laboehan Batoe , na beeindiging van zijne detachering te Bagansiapiapi,

De Sumatra Post 02-07-1932 Benoemingen

M.ZIJLSTRA, Hoofdpolitie opziener bij de algemeene politie te Bagansiapiapi, op verzoek met ingang van 31 December 1931. eervol en met recht op pensioen uit’s Lands dienst ontslagen.

De Sumatra Post 02-09-1932 Onderscheidingen

TJOMEL gelar Datoek Marahadja Lela Moeda, Districthoofd te Bagan Si Api-Api.

363 De Sumatra Post 16-09-1932 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van het kantoor van den controleur van Beneden Deli naar het controleurskantoor te Bagansiapiapi, de Klerk Adnan. Overgeplaatst van het controleurskantoor te Bagansiapiapi naar het kantoor van den controleur van Beneden Deli, De Klerk Raden Kadarisman;

De Sumatra Post 22-10-1932 Reorganisatie Weeskamerdienst

Met ingang van ultimo October 1932 eervol onhoven vn de fuctie van Agent der Weerskamer te Medan voor: ………………. Onderafdeeling Bagansiapiapi, Tengkoe Hasanoedin Commies o/h Plaatselijkkantoor aldaar.

De Sumatra post 20-07-1935 Besluiten en benoemingen

G.J.E.TAPIHEROE , ambtenaar 4e Klasse bij den Dienst der In – en Uitvoerrechten en accijnzen te te Bagansiapiapi, wegens achtjarigen dienst tien maanden verlof naar Europa verleend, met bepaling dat hij zijn betrekking zal nederleggen op 16 december 1935.

Het Nieuws Van Den Dag 25-11-1935 Mutatie

Verleend: Wegens langdurigen dienst een jaar verlof naar Europa aan H.J.M.Vodegel, Beheerder bij de Opium- Zoutregie te Bagan Si Api Api, met bepaling, dat hij zijne betrekking zal nederleggen op een door het Hoofd der Opium – en Zoutregie nader te bepalen datum in April 1936.

De Sumatra Post 25-02-1936 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van het post en telegraaf kantoor Bagan Si Api Api naar het Radio zendstation Djajeuhkolot met standplaats Bandoeng de tijdelijk waarnemend monteur Soleman. Benoemd tot beheerder bij de Opium en Zoutregie, en belast met het Opium en Zoutbeheer te Bagan Si Api Api , Ch.A.Tromp, ambtenaar met het m.s. “Johan van Olnenbarneveldt” van verlof naar Europa terugverwacht, laatstelijk beheerder bij de Opium en Zoutregie.

De Sumatra Post 19-03-1936 Besluiten en Benoemingen

De Sumatra Post 25-03-1936 Besluiten en Benoemingen

Op verzoek, wegens volbrachten diensttijd met ingang van 17 april 1936, eervol en met recht op pensioen, uit’s lands dienst ontslagen, L.H.Van

364 Asperen, Ambtenaar 8e klasse bij den dienst der in – en Uitvoerrechten en accijnzen te Bagan Si Api Api. De Sumatra Post 07-04-1936 Besluiten en benoemingen

Overgeplaatst van Belawan naar Laboehan Bilik als ontvanger, C.Rancurer, Ambtenaar 4de klasse bij den Dienst deer in –en uitvoerrechten en accijnzen.

De Sumatra Post 03-06-1936 Besluiten en Benoemingen

Aan J.C.C.Haar Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur te Bagan Si Api APi, wegens zesjarigen dienst acht maanden verlof naar Europa verleend, met bepaling dat hij zijne betrekking zal nederleggen op een door den Resident belast met het bestuur over het Gouvernement Oost kust van Sumatra nader te bepalen datum in de 2de helft van de maand October 1936 of in de 1e helft van de maand November d.a.v.

De Sumatra Post 01-09-1936 Kleine Goulden Sterren aan:

Raden Mas Pratomo, Indische Arts bij de Vereeniging ter oprichting en instandhouding van een ziekenhuis te Bagan Si Api-Api, tevens belast met den dienst der volksgezondheid te Bagan Si Api-Api

De Sumatra Post 28-09-1936 B.B.Mutatie

Bepaald dat J.C.C.Haar, Controleur bij het Binnenlandsch bestuur te Bagan Si Api Api, in verband met het hem verleend verlof naar Europa voor den tijd van acht maand, zijne betrekking zal nederleggen op den 2den November 1936.

De Sumatra Post 22-10-1936 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van: 1. de Veldpolitie te Bagansiapiapi naar dat te Loeboek Pakam den Inspecteur van Politie P.VAN DER PLANK. 2. de opiumrecherche te Selatpanjang naar het detachement Veldpolitie te Bagansiapiapi, den Inspecteur van Politie der 1e kl. P.C.KOSSEN. Geplaatst te Koedoes H.P.W.Pels, commies voor de belastingen te Bagan Si Api Api, ……

Het Nieuws Van Den Dag 06-01-1937 Mutaties.Dept van Financien De Sumatra Post 19-03-1937 Besluiten en Benoemingen

Overgeplaatst van de Veldpolitie: 1. te Bagan Si Api Api naar die te Laboehan Deli den Mantripolitie, Raden Djojooepojo

365 2.

te Laboehan Deli naar die te Bagan Si Api Api, den Mantripolitie 1e klasse, Bodjit.

3. De Sumatra Post 10-07-1937 Besluiten en Benoemingen

1. ………………. 2. het Controleurskantoor te Bagan Si Api Api naar dat te Pakan Baroe , de klerk Adnan.

Het Nieuws Van Den dag 24-07-1937 Telegraaf –en Telefoondienst De Sumatra Post 19-08-1938 Mutaties

Idem van Bandoeng naar Bagan Si Api-Api de tijdelijk waarnemend monteur Mas Kasmiri Soemamihardja.

De Sumatra Post 08-10-1938 Controleur Bagan Si ApiApi

Wegen ziekte is een binnenlandsch verlof van twee manden, door te brengen te Brastagi, verleend aan den heer F.J.M.VAN DER LINDEN, fd.Controleur bij het B.B. te Bagan Si Api-Api

De Sumatra Post 02-11-1938 Besluiten en Benoemingen

Wegens ziekte een binnenlandsch verlof verleend voor den tijd van 2 maanden door te brengen te P.Siantar , ingaande op 4 November 1939 aan Sjamsoeddin gelar Toeongkoe Mangaradja Baroemoen Moeda, Commies op het plaatselijkkantoor te Bagan Si Api Api.

De Sumatra Post 29-11-1938 Besluiten en Benoemingen

Wegen vertrek eervol ontslagen als brandspuitmeester bij den brandweer te Bagan Si Api Api , H.A.Pandelaki, W.H.Kelderman en Sjamsoeddin gelar Toengkoe Mangaradja Baroemoen Moeda, onder dankbetuiging voor de als zoodanig gepresteerde diensten. Benoemd tot brandspuitmeester aldaar V.F.L.Rummens, A.J.Koudstaal, en H.J.Eldering, resp.ambtenaar 4e kl. Bij den dienst der I.U. en A., Beheerder van het electriciteits bedrijf en ambtenaar bij de Rubberrestrictie te Bagan Si Api Api.

De Sumatra post 20-03-1939 Mutaties bij de Veldpolities

Overgeplaatst van het detachement veld politie te Bagansiapiapi naar het detachement veldpolitie te Pematang Siantar de Inspecteur van politie 1e klasse P.C.Kossen.

Benoemd: Tot mantri bij de dienst der I.U.A. te Meulaboh, Sahari, hoofddouane oppasser te Bagan Si Api-Api.

366 Overgeplaats van het detachement veldpolitie te Pematang Siantar naar het detachement Veldpolitie te Bagansiapiapi, de inspecteur van Politie 1e klasse A.C.J.Janssen De Sumatra Post 11-04-1939 Bestuur Bagan Si Api-Api

Met ingang van den dag van overgave en overname: a. eervol ontheven van het bestuur van de onderafd.Bagan Si Api Api, de afd. Controleur bij het Binnenlandsch bestuur, J.F.M.VAN DER LINDEN. b. Belast met het bestuur van de onderafd.Bagan Si Api Api, de gediplomeerd gezaghebber bij het Binnenlandsch Bestuur J.DE VISSER

De Sumatra Post 16-05-1939 D.V.G. Arts te Bagan Si ApiApi

Gerekend van 13 Maart 1939, belast met de waarneming van den dienst der volksgezondheid in het resort Bagan Si Api Api, G.M.ROEMERS arts in vrij beroep, in dienst van de gesubsidieerde Vereeniging ter oprichting en instandhouding van het ziekenhuis te Bagan Si Api Api.

Het Nieuws Van den Dag 12-06-1939 Belastingen

Geplaatst te Bagansiapiapi W.A.Ch.PAEHLIG, terrain ambtenaar 1e kl. Te Bengkalis

367

Nama-nama Ikan di Muara Rokan

368

369

Sumber: Hardenberg, 1931

370 23 Juni 1884: 515 CONTRACT betreffende de overneming van belastingen in TANAH-POETIH. Aangezien het Nederlandsch-Indisch Gouvernement, krachtens artikel 26 van het op den 1sten Februari 1858 met den Sultan en de rijksgrooten van Siak Sri Indrapoera en onderhoorigheden gesloten contract, de bevoegdheid bezit om de heffing van alle in dat gebied bestaande belastingen tegen de uitkeering van eene billijke schadeloosstelling aan de betrokken vorsten en hoofden, in overleg 21rekening te exploiteeren en de tarieven daarvan te wijzigen, het zij die af te schaffen of door andere te vervangen; Aangezien het wenschelijk is gebleken om van de voormelde bevoegdheid gebruik te maken, ten einde in Tanah Poetih, evenals in de overige landschappen ter Oostkust van Sumatra, in het belang van den algemeenen handel een meer gelijkmatig werkend belastingstelsel in het leven te roepen: Zoo is op heden den 23sten Juni 1884 door mij RENSE CHRISTIAAN KROESEN, ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, resident van de Oostkust van Sumatra, handelende uit naam van het Nederlandsch-Indisch Gouvernement en daartoe behoorlijk gemachtigd door Zijne Ex-cellentie den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie; ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, met Zijne Hoogheid den Jang di Pertoean Besar SJARIF KASIM ABDOEL DJALIL SAIFOEDIN, Sultan van Siak Sri Indrapoera en onderhoorigheden, ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, den mangkoeboemi Tongkoe POETRA, benevens de datoehs, rijksgrooten van het landschap Tanah Poetih, hoofden der soekoe's Melajoe besar, Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, te zamen voerende het bestuur over het landschap-TanahPoetih, onder nadere goedkeuring van Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal, de volgende overeenkomst gesloten: Art.1 Zijne Hoogheid de Sultan en de mangkoe boemi van Siak en de landsgrooten van Tanah Poetih, staan over het geheele gebied van laatstgemeld landschap aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement af het uitsluitend recht tot het heffen van inkomende en uitgaande rechten, en zulks tegen eenejaarlijksche schadeloosstelling van f7500 (zeven duizend vijfhonderd gulden), te verdeelen als volgt: 515

Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer, 17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.

371 aan Zijne Hoogheid den Sultan, ter uitkeering aan Toengkoe Poetra, f5625 (vijf duizend zeshonderd vijf en twintig gulden); aan het hoofd der soekoe Melajoe besar f 750 (zevenhonderd vijftig gulden); aan de hoofden der soekoe's Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, ieder f 375 (drie honderd vijf en zeventig gulden) 'sjaars. Art.2 Aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement blijft het recht voorbehouden om de aan zich getrokken belasting in het gebied van Tanah Poetih te wijzigen, dan wel nieuwe daarvoor in de plaats te stellen. Art.3 Zijne Hoogheid de Sultan en de hoofden van Tanah Poetih verbinden zich om het Nederlandsch-Indisch Gouvernement alle noodige hulp te verleenen ter verzekering van zijne rechten op de heffing der in-en uitgaande rechten in het landschap-Tanah Poetih, terwijl het Nederlandsch-Indisch Gouvernement zich het recht voorbehoudt alle zoodanige maatregelen te nemen, als ter verzekering eener richtige heffing noodzakelijk zullen worden geacht. Art.4 Het tijdstip van inwerkingtreding dezer overeenkomst wordt bepaald op 1 Januari 1886. Aldus ten dage voorschreven overeengekomen te SiakSriIndrapoera, waarna dit contract door ons is onder-teekend en bezegeld. De Resident der Oostkust van Sumatra, (get.) KROESEN. Stempels en handteekeningen in Arabische karakters. Dit contract is goedgekeurd en bekrachtigd op heden den 7den Juli 1885.

372

Staatsblad Nomr 94 Tahun 1894; Koleksi ANRI

373

374

Kepala Suku dan Hinduk Bab jang ketoedjoeh, Baboe’lkawaid sebagai berikut 516: Fasal 7.Bahagian provincie Bangka. No.1 Dewa Pahlawan kepala soekoe Toedjoeh hindoek. 2. Perkasa Radja kepala soekoe babajah 3. Bebas kepala soekoe Merah pandita. 4. Bebas kepala soekoe Haroe. 5. Bebas kepala soekoe Rambah 6. Bebas kepala soekoe Merah Djaman. Fasal 8. Jang dinamakan hindoek bahagian provincie negri Bangka. No.1 Bebas hindoek Toekamat. 2.Bebas hindoek Toekamat Siak. 3.Bebas hindoek Magaen. 4.Bebas hindoek Kepanoehan. 5.Bebas hindoek Loedin. 6.Bebas hindoek Basir 7.Bebas hindoek Djelas. 8.Orang Kaja Djalil hindoek orang koeboe di Laboehan Tangga. Fasal 9. Bahagian provincie Tanah Poetih. No.1 Setia Maharadja kepala soekoe Melajoe Besar. 2.Radja Lela Moeda kepala soekoe Melajoe Tengah 3.Padoeka Meradja Lela kepala soekoe Mesah. 4.Soera diradja kepala soekoe Batoe Hampar Fasal 10. Jang dinamakan hindoek bahagian provincie negeri Tanah Poetih. No.1.Lela Radja hindoek Lela Radja Melajoe Besar. 2.Mentara hindoek Mentara Melajoe Besar. 3.Rimau Soetan hindoek Rimau Soetan Melajoe Besar 4.Rebas hindoek djaoeh Rimau Soetan Melajoe Besar. 5.Simapahlawan hindoek Simapahlawan Melajoe Besar. Fasal 11. Bahagian provincie Koeboe. No.1.Djaja Perkasa kepala soekoe Rawa. 2.Indera Setia kepala soekoe Hamba Radja. 516

BABOE’LKAWAID: Almoestachaza billah, Keradjaan Siak Seri Indrapoera, 1901, dilihat dalam Tijdshrift voor het Binnenland Bestuur Negen-en-Derstigste Deel, Batavia, G.Kolf & Co, 1910, hal.103-104.

375 3.Padoeka simaradja kepala soekoe Haroe. 4.Indera boengsoe kepala soekoe Bebas. Fasal 12. Jang dinamakan hindoek bahagian prov.Koeboe. No.1.Panglima Moeda Setia Radja hindoek Bebas Panglima Moeda. 2.Pengoeloe Hamba Radja hindoek Hamba Radja soengai dahoen Koeboe. 3.Maradja Besar hindoek Rawa Meradja besar. 4.Bebas hindoek Hamba Radja Noehada penawar. 5.Bebas hindoek Rawa orang kaja Edar. 6.Bebas hindoek Hamba Radja Noehada imbab. 7.Penghoeloe Haroe hindoek haroe Pengoeloe Haroe. 8.Bebas hindoek Hamba Radja Oenik. 9.Bebas hindoek Boegis jang laki2. 10.Bebas hindoek Hamba radja Hadji Sema’il. 11.Bebas hindoek Haroe Besir.

Related Documents


More Documents from ""