Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
Unipolaritas Damai? Menggugat Justifikasi Dominasi AS Review Mata Kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan Amerika William C. Wohlforth, “Unipolarity, Status Competition, and Great Power War”, dalam World Politics 61, No. 1 (Januari 2009), 28-57
Dalam esainya, William C. Wohlforth (2009) berusaha menghubungkan variabel kompetisi status dengan perang negara besar. Wohlforth memulai dengan mempertanyakan pandangan bahwa walaupun konflik muncul dari interaksi kompleks antara power dan ketidakpuasan terhadap status quo, hal tersebut tidak terkait dengan polaritas sistem, serta mempertanyakan konsensus bahwa konsekuensi unipolaritas terhadap konflik negara besar tidak dapat ditentukan dan perubahan power yang mengakibatkan kembalinya bipolaritas atau multipolaritas takkan memperbesar kemungkinan perang negara besar. Ia menunjukkan bahwa 1) konsensus tersebut bergantung pada asumsi bahwa manusia sebagian besar didorong motivasi pencarian instrumental akan tujuan yang nyata, padahal manusia memiliki banyak motif noninstrumental; 2) distribusi kapabilitas antara negara-negara besar membantu perkembangan hierarki status ambiguistik, yang membangkitkan ketidakpuasan serta perselisihan tentang status quo. Wohlforth melanjutkan dengan mendebat hipotesis bahwa perang besar muncul dari perubahan power di mana suatu negara naik dengan ketidakpuasan terhadap status quo serta dibela oleh negara yang puas namun mengalami kemunduran. Debatnya adalah: 1) Apabila hanya untung-rugi material status quo yang penting, mengapa suatu negara tidak puas terhadap status quo yang telah membantu kenaikannya (Sparta terhadap Athena, Prancis masa Louis XIV dan Napoleon, Jerman 1914 terhadap Inggris)? 2) Apa yang mencegah negara melanggar persetujuan yang menghindarkan kerugian perang? (James Fearon, 1995.) Mengapa negara tak dapat melakukan negosiasi ulang tata internasional sementara distribusi kapabilitas pokok mengubah posisi tawar mereka? Wohlforth kemudian mengungkapkan bahwa negara besar pun peduli terhadap status, bahwa preferensi terhadap status adalah watak dasar manusia dan lebih daripada sekadar strategi untuk mencapai tujuan lain. Ia menghubungkan temuan teori identitas sosial (SIT) dengan politik internasional serta mengungkapkan bahwa preferensi individual terhadap status yang lebih tinggi akan memengaruhi interaksi antarkelompok, bahwa mereka yang bertindak atas nama negara dan beridentifikasi dengan negara tersebut akan memperoleh keuntungan dari statusnya dalam masyarakat internasional. Wohlforth melanjutkan dengan menjelaskan bagaimana polaritas memengaruhi kompetisi status. Dalam politik internasional, konflik terjadi ketika suatu negara memilih negara lain sebagai pembanding relevan yang menjadikannya tidak puas terhadap statusnya, kemudian memilih strategi pemeliharaan identitas sebagai respon
1
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
yang membawanya ke dalam konflik dengan negara lain yang juga bersedia berjuang demi posisinya. Perangkat keyakinan dan strategi ini kemungkinan besar terjadi ketika negara berada pada kapabilitas yang relatif sama. Kompetisi status lebih sering terjadi pada hubungan antara negara-negara pemimpin dengan kapabilitas yang dekat namun juga tak sebanding. Ketika diaplikasikan terhadap tata politik negara besar, Wohlforth mengajukan hipotesis bahwa dalam multipolaritas terdapat inkonsistensi status dan tekanan intens terhadap tiap negara untuk mengubahnya, menjadikan seluruh negara revisionis. Dalam bipolaritas, tiap kutub akan mencoba mendirikan hierarki di mana masing-masing ingin menjadi nomor satu. Sementara, dalam unipolaritas, keunggulan material sang kutub tunggal menihilkan strategi pemeliharaan identitas untuk kompetisi sosial, sementara negara-negara tingkat dua akan berekonsiliasi. Wohlforth kemudian mengungkapkan bahwa implikasi empiris teori status adalah bahwa kompetisi status takkan menyebabkan konflik militer negara besar dalam sistem unipolar. Berbagai kajian pada level diadik pola-pola bukti umum hal ini: Eropa pascaabad ke-16, Eropa pasca-1815, Asia Timur antara 1300 dan 1900 dengan China sebagai kutub tunggal, Roma, Assyria, serta Amarna. Dalam hal ini, penulis berargumen bahwa dalam sistem unipolar pun, konflik tetap terjadi; walaupun seringkali tidak melibatkan negara besar, indikasi keterlibatan negara besar tetap ada. Pada sistem unipolar sekarang, kita dapat melihat keterlibatan AS dalam berbagai konflik, seperti dalam perang di Afghanistan sejak 2001 serta Perang Irak. Hal ini juga dapat dilihat pada periode-periode yang disebutkan Wohlforth: Eropa pascaabad ke-16 menjadi panggung Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) dan berbagai perang lainnya, sementara Eropa pasca-1815 malah menjadi pusat dua Perang Dunia pada abad ke-20. Asia Timur pada periode tersebut juga mengalami konflik: invasi Jepang atas Korea antara 1592 hingga 1598 serta Perang Sino-Jepang (1894-1895) memperebutkan kendali atas Korea. Hal ini dapat dijelaskan dengan menarik kesimpulan bahwa konflik tidak seluruhnya didorong oleh kompetisi status; perebutan power dan kapabilitas material masih tetap relevan dalam menganalisis konflik. Fakta-fakta di atas menggemakan kembali kritik para pemikir neorealis bahwa sistem unipolar justru lebih berbahaya. Kenneth Waltz dan John Mearsheimer mengungkapkan bahwa, “Dalam politik internasional, power yang tidak seimbang merupakan suatu bahaya, bahkan apabila power AS yang tidak seimbang.” Waltz percaya bahwa “perdamaian dan keadilan” yang diklaim kaum liberal “akan didefinisikan sesuka negara yang kuat”. Menurut Mearsheimer, salah satu faktor yang menghasilkan perdamaian panjang dalam Perang Dingin adalah distribusi kekuatan militer yang bersifat bipolar di Eropa kontinental, yang hilang ketika Uni Soviet kolaps. 1 Studi Byoung W. Min tentang pengaruh variabel polaritas terhadap kemungkinan perang mendukung hal ini:
Scott Burchill, “Realism and Neo-realism” dalam Scott Burchill et. al., Theories of International Relations (New York: Palgrave, 2001) 1
2
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
Min menemukan bahwa kemungkinan perang adalah paling rendah ketika jumlah negara utama dalam polaritas adalah dua atau tiga. Dalam kasus ini, perang terjadi hanya pada rasio 17,47% dan 17,09%. Sementara, ketika hanya terdapat satu kekuatan utama dalam sistem, kemungkinan perang lebih tinggi (21,41%). Setelah itu, trend keseluruhan adalah kemungkinan perang meningkat dengan lambat seiring dengan meningkatnya jumlah negara utama. 2 Artikel William R. Thompson pun membuktikan bahwa bipolaritas memiliki ancaman yang lebih rendah terhadap stabilitas sistemik daripada multipolaritas, walaupun ia hanya berbicara mengenai jangka pendek. 3 Terkait bipolaritas, penulis berargumen bahwa dalam keadaan bipolar, terjadi balance of power antara kedua negara utama. Keseimbangan yang dicapai dalam balance of power menjadi faktor penstabil esensial, sebagaimana, menurut Hans J. Morgenthau, tanpa keadaan seimbang ini satu negara akan memperoleh kekuasaan, melanggar kepentingan dan hak negara lain, serta pada akhirnya memusnahkan mereka. 4 Keadaan tanpa balance of power inilah yang kini memberi legitimasi bagi AS untuk bertindak sesuka mereka di Afghanistan serta Irak, sebagaimana diprediksi kaum realis. Wohlforth melanjutkan esainya dengan mencoba memberikan pola-pola umum bukti pemikirannya. Ia mengilustrasikan kompetisi status dalam seluruh tata politik: multipolaritas, bipolaritas, dan unipolaritas, dan menunjukkan bukti pandangannya dengan studi kasus. Multipolaritas diilustrasikan dengan mendemonstrasikan Perang Krimea (Oktober 1853–Februari 1856) antara Kekaisaran Rusia melawan sekutu yang terdiri dari Prancis, Inggris Raya, Kerajaan Sardinia, dan Kesultanan Ottoman. Eropa pertengahan abad ke-19 dicirikan dengan lima negara besar dengan kapabilitas sebanding, namun Inggris adalah kekuatan terbesar dengan kekuatan ekonomi dan industri yang naik sementara Rusia masih dalam jalan untuk menyainginya, sehingga terdapat ambiguitas hierarki. Wohlforth berargumen bahwa Perang Krimea adalah perang memperebutkan status: Rusia, yang memandang dirinya mempertahankan identitasnya sebagai penegak status quo, menjadi revisionis tanpa alasan material atas ketidakpuasan terhadap status quo; Inggris dan Prancis melawan walaupun keamanan dan kekayaan mereka tidak terlibat. Wohlforth kemudian mengilustrasikan kompetisi status dalam bipolaritas dengan mendemonstrasikan Perang Dingin. Ketidaktentuan status terjadi karena Uni Soviet lebih kuat atau sebanding dengan Amerika Serikat (AS) dalam kapabilitas militer dan industri mentah konvensional, namun AS mendominasi seluruh kategori power lainnya. Masing-masing memandang yang lain sebagai referensi out-group utama, dan Byoung W. Min, “Polarity and War: Simulating Power Concentration in Virtual World Politics”, http://www.allacademic.com/one/mpsa/mpsa06/index.php?cmd=Download+Document&key=unpublished_manu script&file_index=2&pop_up=true&no_click_key=true&attachment_style=attachment&PHPSESSID=149ce22 b485e321d7b09a7fb02f663e2 diakses pada 12 Oktober 2009 4:09 3 William R. Thompson, “Polarity, the Long Cycle, and Global Power Warfare ”, dalam The Journal of Conflict Resolution, Vol. 30, No. 4 (Des., 1986), h. 587-615 4 Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Brief Edition (Revised by Kenneth W. Thompson) (New York: McGraw-Hill, Inc., 1985), h. 185 2
3
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
persaingan mereka satu sama lain untuk mendirikan atau mengubah hierarki adalah latar belakang interaksi mereka selama Perang Dingin. Détente terkait dengan status: Uni Soviet merasa AS muncul pasca-Perang Dunia II dengan hak-hak istimewa yang tidak dimiliki Uni Soviet dan berhasrat mencapai paritas adidaya yang nyata, sementara AS menyadarinya. Menurut Wohlforth, Uni Soviet mencoba menyamai kekuatan status superior dengan berkompetisi dengan AS demi pengaruh di luar lingkungan pengaruh tradisional Soviet. Strategi pemeliharaan identitas kompetitif Uni Soviet ini mengubah pandangan AS menjadi hawkish. AS menyandera hubungan sentral ini demi persaingan status, menerima penukaran antara keamanan dan status dengan mendekati China. Pada beberapa titik waktu, Uni Soviet menawarkan resolusi konflik kooperatif, yang merefleksikan desakan Soviet atas paritas adidaya (status yang AS hanya bersedia akui dalam negosiasi persenjataan strategis), yang ditolak AS sebagai cara provokatif. Wohlforth menyebutkan bahwa sumber-sumber yang ada membuktikan hubungan antara selisih kapabilitas yang kecil dan asimetris, ketidakcocokan status, dan kesediaan mengorbankan kepentingan keamanan dan kekayaan dalam kompetisi status. Wohlforth melanjutkan dengan ilustrasi unipolaritas dengan kompetisi status dengan mengilustrasikan sistem pasca-Perang Dingin. AS sebagai kutub tunggal memiliki kebijakan luar negeri yang menghargai status keunggulannya: investasi massif di wilayah-wilayah tanpa ada kompetisi, seperti dalam memelihara keunggulan nuklir; peran besar di hampir seluruh kawasan di dunia walaupun tanpa saingan sebanding. Satu penjelasan mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan AS memperoleh manfaat bebas dari status AS sebagai kutub tunggal. Diskursus kebijakan luar negeri AS ini tak terkait dengan persepsi Soviet sebagai serangan terhadap keunggulan global AS. AS pun sering mengadopsi kebijakan mempertinggi keamanan Rusia, China, Jepang, dan India sebagai negara besar tingkat dua, dengan tekanan pada peran regional mereka. Sementara, pada negara besar tingkat dua, tidak terbukti adanya ketidakcocokan status. China lebih menginginkan multipolaritas di mana tidak ada negara dengan keunggulan tunggal dan klaim tunggal kepemimpinan, namun mereka mengakui sifat unipolar dunia sekarang. Rusia menjalankan strategi pemeliharaan identitasnya dalam batasan material; mereka mencoba menempatkan Rusia sebagai pemimpin moral dan visioner, namun tidak memiliki kapabilitas material untuk meyakinkan AS untuk menerima redefinisi status tersebut. Baik kasus bipolaritas dan unipolaritas yang diilustrasikan Wohlforth memiliki catatan arsip yang ekstensif, sehingga mudah untuk mencari penjelasan alternatif dari perilaku ini, yang berpusat pada politik domestik dan gagasan. Oleh karena itu, penulis akan berfokus pada mengkritik ilustrasinya tentang multipolaritas dalam Perang Krimea. Penulis merasa dalam ilustrasinya ini, Wohlforth terlalu naïf ketika tidak melihat alasan material bagi negara-negara yang berperang. Rusia jelas memiliki kepentingan melindungi para peziarah Rusia di Yerusalem. Peziarah Rusia pada periode akhir Ottoman adalah yang terbanyak dari negara lain manapun, karena di belahan bumi tersebut penganut agama Kristen cenderung berasal dari Gereja Ortodoks
4
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
Timur.5 Sebelum Perang Dunia I, jumlah peziarah Rusia rata-rata per tahun berkisar 14.000 jiwa.6 Selain itu, Rusia memiliki hasrat ekspansi ke selatan ke arah Kesultanan Ottoman, yang makin mampu mempertahankan perbatasannya, serta melihat peluang mengambil alih kendali Dardanella 7 (selat sempit di barat laut Turki yang menghubungkan Laut Aegea, cabang Laut Tengah, ke Laut Marmara, Laut Hitam), yang merupakan salah satu tujuan kebijakan luar negeri Kekaisaran Rusia selama abad ke-19. Hal ini akan mengancam Terusan Suez yang vital bagi kepentingan Inggris dan Prancis, di mana Terusan Suez adalah jalur bagi Inggris menuju India. Penulis takkan berkomentar tentang perebutan status, namun akan berargumen bahwa bukan hanya hal tersebut yang menyebabkan Perang Krimea (melainkan juga force material). Penulis telah menunjukkan bahwa sistem unipolar justru lebih berbahaya dan bahwa kemungkinan perang adalah paling rendah dalam sistem bipolar. Penulis ingin menutup review ini dengan mengaitkan esai Wohlforth tentang unipolaritas ini terhadap hubungan luar negeri dan keamanan AS. Tentu saja, tidak ada signifikansi sama sekali, kecuali sebagai justifikasi pilihan AS menjadi dominator dan pemimpin global. Dalam keadaan unipolar pasca-Perang Dingin di mana AS kini berkuasa, ia dapat dengan bebas melanggar kepentingan dan hak negara lain, sebagaimana apa yang kini mereka lakukan di Afghanistan dan Irak.
http://www.victorianweb.org/history/crimea/immcauses.html diakses pada 12 Oktober 2009 2:46 http://www.mfa.gov.il/mfa/mfaarchive/1990_1999/1999/4/focus%20on%20israel-%20jerusalem%20%20architecture%20in%20the%20l diakses pada 12 Oktober 2009 2:48 77 http://histclo.com/essay/war/war-crimea.html diakses pada 12 Oktober 2009 3:02 5 6
5