Republik Artis Nasional Oleh : Adi Surya Ketua DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumedang Mahasiswa FISIP Unpad Coba kita bayangkan ketika para politisi yang memimpin bangsa ini
digusur dan
ditendang keluar oleh artis-artis yang terjun ke dalam dunia politik ?. Presidennya berasal dari artis sinetron, ketua DPR dari pelawak, dan ketua DPD dari penyanyi dangdut. Judul di atas bukan untuk memberikan stigmaisasi kepada kalangan selebritis bahwa mereka sedang bermain dagelan politik dan tidak boleh terjun ke dunia politik. Semua orang dijamin oleh konstitusi untuk memiliki hak yang sama berpolitik. Namun, melihat dunia politik sangat berbeda dengan “alamnya” para selebritis, membuat cara beberapa partai dalam merekrut artis sebagai politisi merupakan cara instan untuk memperoleh kekuasaan. Dunia artis adalah dunia hiburan, sedangkan dunia politik adalah dunia mewujudkan kesejahteraan bersama. Hasrat berkuasa partai bertemu dengan kepentingan mencari popularitas para artis yang membuat parpol dan artis berjalan berkelindan bergandengan tangan. Sampai saat ini sudah ada enam puluh tiga artis yang dicalonkan dan mencalonkan diri menjadi calon legislatif (caleg) 2009. Sementara peringkat partai teratas yang paling banyak mengusung artis adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dengan jumlah enam belas artis. Peringkat kedua ditempati oleh Partai Persatuan pembangunan(PPP) dengan jumlah dua belas artis. Kemudian Partai Demokrat dengan sembilan artis,kemudian Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan enam artis, Partai Golkar, PDI-P dan Partai Patriot mencalonkan empat artis, PDS, Partai Demokrasi Pembaruan dengan tiga artis dan Partai Hanura ada dua artis ( Rakyat Merdeka 14/08). Banyaknya artis yang masuk parpol dituding sebagai kegagalan partai dalam menghasilkan kader-kader yang popular dan berkualitas. Sebenarnya fenomena artis yang menjadi politisi bukan barang baru. Di luar negeri ternyata hal ini juga terjadi. Kita lihat di Filipina dan AS dengan terpilihnya Joseph Estrada sebagai presiden dan Arnold Swarchzenegger menjadi Gubernur California dan Ronald Reagan
sebagai Presiden.. Di Indonesia sendiri juga pernah pernah ada Sophan Sopian, Basofi Sudirman, Rano Karno dan yang terkhir Dede Yusuf. Dari sini terlihat sebenarnya artis pun diakui dunia sebagai pemimpin sebuah negara atau daerah. Meskipun setiap orang yang di jamin dalam memiliki kesempatan yang sama untuk berpolitik,namun ada proses-proses yang tidak bisa dilompati begitu saja. Artis yang ingin menjabat pada level eksekutif maupun legislatif harus memiliki kapasitas dan kualitas dalam hal kepemimpinan dan juga prosesproses legislasi. Menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah artis-artis yang sekarang berhasrat ingin terjun ke dunia politik juga memiliki kualitas dan kapasitas tersebut ? Darrell West, penulis buku "Celebrity Politics", berpendapat bahwa artis dan pelawak tergiur terjun ke jabatan publik akibat perkembangan media, khususnya televisi, dan demokrasi.Televisi menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk mendulang kemasyhuran dan citra diri. Persinggungan antara politik dan media, telah menghasilkan pendangkalan dan populerisasi politik, sebagaimana persinggungan antara politik dan kapital telah menghasilkan komodifikasi dan komersialisasi politik (Deleuze & Guattari, dalam Piliang, 2004). Sementara sistem pemilihan langsung, telah membuat selebriti yang sudah populer dan dikenal publik menjadi pilihan rakyat. Dengan perubahan sistem demokrasi langsung, partai politik berpeluang akan semakin lemah karena faktor yang paling determinan adalah popularitas calon. Hal ini berbeda ketika zaman orde baru, dimana parpol memiliki kuasa untuk menentukan siapa-siapa saja yang akan didistribusikan ke pusaran kekuasaaan. Demokrasi langsung mensyaratkan kader-kader parpol harus bekerja keras untuk bisa tampil di ruang publik. Kini, popularitas menjadi faktor signifikan yang mendorong seseorang memilih
figur
meskipun
kadang
belum
tentu
berkualitas.
Namun,
yang
terjadi
sebaliknya,parpol malah mengakali demokrasi langsung dengan mengambil jalan pintas (shortcut) dengan mendukung artis yang tentunya sudah popular menjadi pendulang suara. Secara tidak langsung, partai politik sebenarnya telah menunjukkan wajah buramnya dalam proses kaderisasi. Melihat biaya politik untuk mempopulerkan calon dari parpol agar dikenal masyarakat sangat tinggi, jalan pintas lantas menjadi pilihan. Parpol kemudian berbondong-bondong berburu selebriti yang dianggap bisa diterima oleh publik. Akibatnya,
kaderisasi parpol menjadi stagnan, karena yang diprioritaskan bukan regenerasi melainkan hasrat berkuasa semata dengan menggunakan artis sebagai pemoles atau alat marketing belaka. Dalam jangka panjang, akan lahir sebuah generasi politikus karbitan yang akan memerintah negeri ini. Bakal-bakal politikus yang tidak pernah “berjuang dari bawah”, namun bisa duduk empuk di kursi kekuasaan. Seharusnya partai politik bisa memberikan pendidikan politik di masyarakat. Melihat tingkat pendidikan masyarakat yang belum dapat dikatakan melek politik, ketakutan akan terjadi pembodohan publik akan terjadi. Masyarakat disuguhkan dengan calon-calon artis yang hanya bermodalkan popularitas semata sehingga membuat alasan memilih adalah asal kenal dan senang. Padahal kita ketahui bersama bahwa perkembangan demokrasi ditentukan oleh kualitas para politikus. Karena merekalah aktor utama yang menjalankan atau mendesain sistem demokrasi itu sendiri. Jika yang membuat sistem adalah orang-orang yang hanya bisa menghibur bukannya memerintah dan menyejahterakan, maka demokrasi hanyalah panggung hiburan dengan peran-peran palsu. Partai politik hanya menjual kemasan bukan isi, padahal untuk mejadi pejabat publik tidak hanya cukup bermodalkan popularitas. Artis-artis juga dituntut memiliki track record seperti pengalaman politik, kepemimpinan, pengetahuan dan keterampilan di bidang yang berhubungan dengan publik. Kita bisa lihat Ronald Reagan yang tidak serta merta jadi presiden. Setidaknya dia memiliki karier politik yang dimulai dengan menjadi anggota liberal Partai Demokrat dan diteruskan dengan memimpin Screen Actors Giuld (SAG) dan bertugas membongkar pengaruh komunis di Holywood sampai pada tahun 1966 terpilih menjadi Gubernur California dan 1981 menjadi presiden. Dari tanah air, Marissa Haque, Adjie Massaid, Sophan Sophian, Basofi Sudirman, Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka adalah artis– artis yang memiliki rekam jejak yang cukup untuk dijadikan modal berpolitik. Artinya, artis manapun asalkan memiliki kemampuan,kualitas dan akseptabilitas yang tinggi layak untuk mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Bagi
artis-artis
yang
hendak
dicalonkan
ataupun
mencalonkan
diri
dengan
kemampuan serba tanggung, sebaiknya sadar diri untuk tidak maju dan tidak menjual mimpi
ke masyarakat. Begitu juga dengan partai yang tidak asal membajak artis hanya sebagai polesan dan pajangan pengumpul suara (vote getter). Jika terwujud sebuah republik artis dengan
kemampuan
minimalis
akankah
mampu
membuat
rakyat
miskin
memiliki
penghasilan yang lebih baik dengan nyanyian dan dangdutan?, atau perihnya perut kaumkaum yang lapar akankah hilang dengan lawakan ? Tentunya hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi selebriti yang terjun ke politik untuk membuktikan diri bahwa mereka juga pantas memimpin. Tanpa itu semua artis hanya dianggap sebagai benalu dan hanya berfungsi sebagai alat parpol untuk memuaskan hasrat kekuasaannya.