Religious Culture di Sekolah: Menggugah hakekat Pendidikan Agama= o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" />
Oleh: Abu Bakar Fahmi Alih-alih sekolah sebagai sarana/infrastruktur pendidikan, di dalamnya bertaburan perilaku yang menjauhkan penghuninya dari rasa nyaman mendapat keindahan atas pelangi kesopanan, kasih sayang, empati, penghargaan, prestasi, spiritualitas dan aktualisasi diri. Hakekat pendidikan adalah proses pembudayaan. Sekolah diselenggarakan dengan maksud melangsungkan proses pembudayaan itu. Namun, budaya malas (lalu mencontek saat ujian), individualitas (lalu menyelimuti sikap empati), tindakan permusuhan (menyelubungi kasih sayang lalu menimbulkan kekerasan), pemuasan diri (lalu mengumbar nafsu diri dengan pornografi, minum minuman yang memabukkan, narkoba dan seksualitas) merebak marak dan bukan hal yang sulit ditemukan di sekolah. Guru mengajar pelajaran di tengah arus budaya yang dengan mudah menggerus apapun yang terangkai dalam anjuran positifnya. Guru agama melafadzkan dalil-dalil yang segera menguap oleh suhu panas pergaulan bebas! = st1 ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" />Ada apa dengan sekolah kita? Memang, sekolah hanyalah salah satu dari banyak pranata di masyarakat. Sekolah merupakan salah satu dari banyak mata rantai pendidikan. Tapi, jika dihitung dengan keterlibatan siswa yang menyedot porsi minimal seperempat hari di sekolah, keberadaannya penting dan berharap tetap jadi ikatan kuat dalam mata rantai pendidikan itu. Sekolah diharapkan tetap jadi mata rantai pendidikan yang akan terjaga kelangsungannya dan terandalkan keberlanjutaannya (sebagai bekal) setelah siswa selesai sekolah dan melanjutkan ke pranata pendidikan yang lainnya. Sekolah seyogyanya jadi pranata pendidikan yang bisa diandalkan dan terhindar dari keterkoyakan apalagi ke’bolong’an. Di sekolah kita ada keterkoyakan budi pekerti. Di sekolah kita ada kebolongan akhlak mulia. Tapi ini mungkin argumen yang terlalu berlebihan. Yang bisa digelar hanyalah fakta-fakta yang kasat mata: di sekolah para siswi berseragam minimalis, di luar jam sekolah (baik di dalam sekolah maupun di luar) berdandan a la artis. Para siswa menunjukkan kejantanan dengan sembarang merokok di jalanan. Handphone jadi sarana penyebaran pornografi yang disepakati oleh hasrat nafsu diri. Ada siswi yang menanggung beban berat akibat janin yang mengembang dalam perut yang ketat. Zat adiktif menyebar terlalu dekat dalam lingkungan pergaulan siswa, bahkan sampai di kolong meja kelas sekolah! Namun, sekolah tidak sedang dalam kekoyakan yang sempurna. Juga tidak dalam bolong yang bulat utuh. Ada realitas sekolah yang sesaat bisa menambal kekurangan itu. Sekolah banyak menggelar ritual keagamaan. Sekolah tiada lengkap tanpa musholla. Musholla padat dengan sholat dhuha. Para siswa mengorganisir diri dalam pengajian-
pengajian. Sekolah tidak kehabisan stok siswa yang diutus dalam lomba kaligrafi atau musabaqah tilawatil Qur’an. Sekolah masih cukup fakta untuk dikatakan memiliki religiusitas yang langgeng. Namun, yang seperti itukah? Pada satu hal, fakta-fakta religius di sekolah tersebut ada baiknya. Pada hal lain, fakta-fakta tersebut belum bisa memenuhi keunggulan religius itu sendiri. Fakta-fakta religius itu pada satu sisi membanggakan, pada sisi yang lain melenakan. Adanya perilaku negatif siswa seperti tersebut di atas menunjukkkan bahwa ada fungsi pendidikan yang perlu dilempengkan, ada peran pendidikan yang perlu segera ditambal. Sebagai kawah pendidikan bagi anak remaja, kita banyak berharap dari sekolah. Tapi, lebih dari itu, sesungguhnya sekolah banyak berharap dari kita! Lantas apa yang bisa kita lakukan? Konteks yang kompleks Pada abad 21 ini manusia berada dalam kompleksitas hidup yang diciptakannya sendiri. Manusia makin bisa mengatasi masalah dalam hidup dan, pada saat yang bersamaan, masalah hidup itu makin semarak berkembang biak. Manusia mengagumi kemampuannya dan norma moral yang menghalangi perkembangan kemampuannya hanya menghambat kemajuan. Pada sebagian lain, manusia memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengatasi kompleksitas kemajuan. Yang tersisa hanyalah anomali, mungkin Thomas Kuhn berkata demikian. Itu pula yang menggelisahkan Fuad Hassan (2001) yang mengingatkan bahwa, “kita berada di ambang suatu masa yang akan digoncang oleh terjadinya krisis nilai dan heteronomi (bahkan anomi). Memudarnya nilai-nilai peri kehidupan serta normanorma perilaku akan makin menggelisahkan dan mencemaskan, karena menjadikan manusia makin tercengkeram oleh relativisme. Bertubi-tubinya dampak proses globalisasi niscaya akan melahirkan perikehidupan yang ditandai oleh kesegeraanserba-kesementaraan…” (hlm 16) Kalau pada negara maju globalisasi berefek pada kemampuan kompetisi, pada Dunia Ketiga (Third World), termasuk Indonesia, globalisasi berefek antara lain pada penyesuaian (adjustment) dan tantangan budaya (cultural challenge). Yang terjadi adalah kegamangan masyarakat kita dalam menanggapi globalisasi. Globalisasi jadi gurita yang mencengkeramkan kaki-kakinya melalui struktur (pembagian kerja, hak, modal dan resiko), pembudayaan (identitas, kognisi, nilai, norma dan bentuk simbol) dan tindakan—berupa interaksi global (Thernborn, 2000). Pada resonansi budaya yang kurang berimbang, masyarakat hanya meniru saja budaya baru yag timbul dari luar—dan dengan bangga ditonjolkan sebagai apresiasi atas globalisasi demi menghindari tuduhan anti kemajuan. Masyarakat kita mengalami kegamangan penyesuaian dalam menghadapi budaya akibat globalisasi (cultural maladjustment). Contoh yang dekat dengan masyarakat adalah televisi. Kalau dahulu haya ada satu stasiun (channel) televisi, sekarang ada lebih dari sepuluh channel. Kalau dahulu hanya sedikit tayangan yang diproduksi dari luar negeri, sekarang banyak tayangan yang diproduksi luar negeri yang bahkan menuntut
partisipasi banyak pemirsa. Program penjaringan penyanyi berbakat yang diadopsi dari American Idol banyak menyedot kalangan remaja untuk berpartisipasi. Popularitas pun jadi obsesi. Popularitas bisa dicapai oleh siapa saja tanpa mengenal latar belakang sosial. Akibat ikutannya, anak dan remaja dilibatkan dalam program yang hanya menguntungkan sebagian kecil pemodal saja. Anak dan remaja terobsesi oleh popularitas dan menggunakan berbagai cara untuk mencapai obsesinya itu. Untuk tidak sekedar mengandalkan, sekolah sebagai agen pendidikan berada di ruang yang jauh dari kondusif dalam melakukan proses pendidikan. Sekolah perlu memperbarui peran agar sesuai dengan tuntutan konteks kekinian. Jangan sampai, alih-alih menciptakan ruang sosial yang mendidik, yang terjadi adalah pengasingan siswa dari realitas di masyarakat. Religiusitas sebagai budaya tanding Tiada budaya tanding yang kuat selain menggali dari warisan purba dalam mayarakat yang akan terus dipegang teguh, yakni agama. Agama adalah senjata! Dengan agama, orang akan tergerak memberi sesuatu setulus-tulusnya sampai sepaksa-paksanya merampas. Dengan agama orang akan menebar kasih sayang sampai menyebar kebencian. Melalui agama akan tergelar kedamaian dan juga terselimuti permusuhan. Dari agama akan muncul sebajik-bajiknya amalan dan sekaligus sekeji-kejinya perbuatan. Dari agama kita berharap akan energi positif yang turut serta membangun peradaban. Diharapkan religiusitas jadi sumber rujukan dalam menghampiri globalisasi. Sebagai seorang muslim, modalitas itu sudah ada. Namun, apakah modalitas itu hanya ada secara potensial atau aktual, itu tergantung kita sendiri. Religiusitas itu ada secara esensial maupun kontekstual dalam tiga unsur globalisasi itu sendiri, yakni struktur, pembudayaan dan tindakan. Sekolah sebagai agen budaya diharapkan berperan di aspek pembudayaan (identitas, kognisi, nilai, norma dan bentuk simbol) dan tindakan. Religiusitas sebagai nilai ditatap oleh Hassan (2001) sebagai “jauh dari relativisme. Maka dapatlah disimpulkan bahwa nilai-nilai religius bisa berlaku sebagai andalan bagi kemantapan orientasi manusia dalam perilakunya. Ini terutama berlaku bagi perilaku manusia yang disebut ‘akhlak’, yaitu segala penjelmaan perilakunya yang dinilai pada rentangan skala ‘baik-buruk’ (‘good-evil’). Pada segala perilakunya yang tergolong sebagai ‘akhlak’ inilah melekat ‘adab’ sebagai acuan normatif dalam interaksinya dengan manusia sesamanya maupun sikapnya terhadap kemanusiaan umumnya. Bagi seorang yaang religius mestinya agama yang dianutnya cukup memberi tuntunan untuk tampil dengan perilaku berakhlak dan beradab, sebab sebagai suatu sumber keyakinan dan keimanan, agama secara keseluruhan dan keutuhan mestinya merupakan carapandang bagi penganutnya mengenai manusia dan dunianya maupun perikehidupannya (Mensch-, Welt- und Lebensanschauung).” (hlm 15) Hasil akhirnya adalah religius dalam tindakan. Akhlak, inilah esensi hadirnya agama. Ini pula esensi diutusnya Rasulullah saw. Allah swt berfirman dalam QS. Al-Qalam ayat 4, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” Dalam hadits
riwayat Ahmad dan Baihaqy, Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keutamaan akhlak.” Dengan penekanan yang tidak kalah kuat akan pentingnya akhlak, seorang penyair, Ahmad Syauqi Bey berkata, “kekalnya suatu bangsa adalah selama akhlaknya kekal, jika akhlaknya sudah lenyap, musnah pulalah bangsa itu.” Lantas, apa itu akhlak? Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin memberikan pengertian bahwa “akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan yang mudah tanpa memerlukan pertimbangan pikiran”(Razak, 1989). Pada tingkat identitas dan kognisi (cara pandang), religiusitas yang tinggi pada seseorang akan nampak seperti kesadaran atas eksistensi ketuhanan pada sosok penggembala kambing yang ditemui Umar bin Khattab ra. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Dinar bahwa pada suatu hari dia berjalan bersama Umar bin Khattab ra. Dari Madinah ke Mekkah. Di tengah jalan mereka berjumpa dengan seorang anak gembala yang sedang turun dari tempat penggembalaan dengan kambing-kambingnya yang banyak. Khalifah ingin menguji sampai dimana anak gembala itu bersikap amanah. Khalifah bertanya, “wahai gembala, juallah padaku seekor anak kambing itu.” Gembala itu menjawab, “aku hanya seorang budak”. Lalu khalifah menimpali, “katakan saja pada tuanmu kalau anak kambing itu telah dimakan serigala.” Segera anak gembala itu menjawab, “kalau begitu dimana Allah?” Religiusitas yang muncul dari nilai-nilai ketauhidan menjelmakan kesadaran atas Tuhan-hamba. Manusia adalah pengabdi. Manusia juga adalah pemimpin-pengelola (khalifah) bagi jagad raya. Dimanapun berada kita adalah seorang muslim yang punya hubungan relasional dengan Tuhannya. Dimanapun berada kita adalah seorang muslim yang punya hubungan interaksional dengan manusia lain dan makhluk Allah lainnya. Hakekat pendidikan agama Pendidikan agama memiliki peran dalam melakukan transformasi religiusitas pada siswa. Pendidikan agama akan mengena jika di dalam terkandung pesan-pesan religius yang membangkitkan potensialitas siswa sebagai seutuh-utuhnya manusia. Karena tujuan utama pendidikan agama, menurut Imam Tolkhah (2006) sejatinya bukanlah sekedar mengalihkan pengetahuan dan keterampilan (sebagai isi pendidikan), melainkan lebih merupakan suatu ihktiar untuk menumbuhkembangkan fitrah insani (ranah afektif) sehingga peserta didik bisa menjadi penganut atau pemeluk agama yang taat dan baik (paripurna). Jangankan pendidikan agama, pendidikan apapun (matematika, kimia, fisika, ekonomi, sejarah, dan sebagainya) bisa membangkitkan fitrah insani yang mampu memberikan kesadaran sebagai hamba Allah. Ali Issa Othman (1981) menggambarkan tentang potensi pengetahuan manusia menurut AlGhazali seperti berikut ini. "Walaupun manusia terbawa oleh fitrahnya untuk mengenal Allah, ia tidak dapat tertarik ke dekat Allah melalui fitrah atau melalui prinsip-prinsip akali, kecuali melalui ilmu-ilmu yang diperolehnya. Dengan perkataan lain, perolehan ilmu pengetahuan sangat penting di dalam mencari pengetahuan tentang Allah. Pengetahuan tentang alam semesta merupakan tangga menuju pengetahuan (ma’rifah) tentang pencipta-Nya.
Alam semesta merupakan ‘tulisan Allah’ di mana terdapat tulisan-tulisan dan perwujudan kebenaran-kebenaran ilahi." (hlm 73) Karena itu, pendidikan agama harus bisa membangkitkan religiusitas. Karena kahekat pendidikan Islam adalah kesadaran atas identitasnya sebagai seorang muslim dan mampu mewarnai diri dan di luar dirinya agar sejalan dengan Islam. Pesan Islam adalah akhlak. Dari akhak inilah pondasi peradaban terbangun. John Gardner, seorang cendekiawan Amerika yang pernah menjadi Menteri Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan (Health, Education and Welfare—HEW) dalam pemerintahan Presiden John F. Kennedy mengatakan, “no nation can achieve greatness unless it believes in something, and unless that something has moral dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang mampu mencapai kebesaran kecuali jika bangsa ini percaya kepada sesuatu, dan kecuali jika sesuatu itu memiliki dimensi moral untuk menopang suatu peradaban yang besar). Agama, menurut Madjid (2004), adalah sistem kepercayaan, dan agama yang besar memiliki dimensi moral yang besar untuk menopang peradaban yang besar. Peradaban besar terbangun dari keteladanan! Bangsa yang religius ini merindukan siswa yang giat belajar mandiri (sebagai ganti dari mencontek), siswa yang hormat pada yang lebih tua, tenggang rasa pada yang seusia dan mencintai pada yang lebih muda, siswa yang menebarkan kebaikan tanpa pandangpilih, siswa yang mampu mengelola energinya dengan prestasi dan aktualisasi kemampuan. Siswa yang tegar dengan segala lika-liku hidup (sehingga tidak mudah terjerumus pada kenikmatan yang melalaikan). Siswa yang memiliki otonomi moral atau akhlak sehingga tidak mudah terbawa oleh ajakan-ajakan negatif, bakhan mampu mengingatkan jika orang lain terlanjur berperilaku negatif. Ini bukan doktrin, ini harapan yang terkumpul oleh kerinduan atas budaya religius yang makin terkikis oleh derasnya kemajuan peradaban—sehingga lupa menyingsingkan lengan baju, bergegas membenah diri. []