Membangkitkan Bangsa Bersarana Spirit Pembelajar

  • Uploaded by: Abu Bakar Fahmi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Membangkitkan Bangsa Bersarana Spirit Pembelajar as PDF for free.

More details

  • Words: 1,640
  • Pages: 4
Membangkitkan Bangsa Bersarana Spirit Pembelajar oleh: Abu Bakar Fahmi

Sesungguhnya Allah meninggikan orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat Al-Qur’an Siapapun yang memiliki alasan untuk hidup, ia dapat menyelesaikan masalah dengan cara apapun F. Nietszche Kebangkitan bangsa diungkit-ungkit, dikenang, sebagai momentum yang hendak dimekarkan. Sealaf berlalu sejak 1908, kebangkitan dirayakan. Serupa kuntum bunga, wanginya membuncah dimana-mana. Dari gerak jalan, seminar seharian, dan berpuncak di Gelora Senayan. Semakin terus dirayakan, kebangkitan jadi sosok penasaran yang kehadirannya selalu dirindukan. Karena, sampai kini, tanda-tanda kebangkitan belumlah kelihatan. Yang nyata terlihat adalah bangsa yang tak putus dirundung malang. Dari bencana alam yang merusak infra-suprastruktur masyarakat (tsunami Aceh 2004, gempa Jogja 2006, banjir Jakarta tiap tahun, lumpur Sidoarjo –bertahun-tahun? kalau boleh disebut bencana alam), sampai ulah manusia yang merusak tatanan : pohon hijau ditebang, tanah-tanah kota disemen, eksplorasi hasil bumi dan industri menyisakan ampas meracuni. Kita jadi anak bangsa yang tidak bersahabat dengan alam, sesama, bahkan dengan dirinya sendiri. Kekerasan memercik dalam pergaulan antarkampung, sebagai bumbu pedas dalam demonstrasi, kelabu dalam rangkaian pemilihan kepala daerah (selisih suara yang menyulut perselisihan), alat pembelaan agama atas penodaan terhadap agama, bahkan pengikat pergaulan remaja! –seperti kasus geng Nero di Pati. Korupsi tumbuh seperti pohon subur yang merambat, menjalar kemana-mana, bahkan sampai ke Kejaksaan Agung yang harusnya memberangus korupsi. Parlemen jadi medan terhormat yang menyelubungi tindak korupsi, semacam democratic corruption. Kebijakan pemerintah yang tidak mementingkan rakyat, pada dasarnya pembodohan dan pemiskinan rakyat. Saat gegap demokrasi terlalu akrab, diam-diam kita membiarkan tumbuh budaya bisu! Tapi, akan tetap ada orang yang tidak betah membisu. Pengakuan jujur Saini KM (1938- ) mungkin sebentuk kesadaran realitas. Katanya, “secara kultural, kita sebenarnya telah kalah”.[iii] Tentu ucapannya disertai kepekatan empati atas runyam kondisi. Namun tidak semua orang mengamini. Kita!? Yang tidak mengamini mungkin hanya bergeliat untuk tidak mau disebut kalah. Ia ingin bangkit dari kondisi kalah. Caranya? Sayangnya pertanyaan ini tidak bisa jawab dalam rumus-rumus yang bisa dibakukan. Budaya itu proses belajar Bagaimana mengatasi kondisi bangsa yang tak lekang oleh problema? Jangan sekali-kali ditanya pada seorang ahli –yang makin tak ahli oleh kepicikan bidangnya. Ahli ilmu politik akan mengatakan problem bangsa bisa diatasi melalui kekuasaan, ahli hukum : penegakan konstitusi, ekonom : kesejahteraan ekonomi, psikologi : penyehatan jiwa, agamawan : penguatan aqidah atau ketuhanan, pengusaha : kemandirian ekonomi. Mari kita menilik dalam perspektif yang lebih pada dimensi kemanusiaan. Tentang baiagimana manusia hidup bersama alam, bahkan menguasai alam. Berbeda dengan binatang, yang pada dasarnya adalah alam itu sendiri—bagian yang juga ditaklukkan manusia. Manusia berkembang dan harkatnya meninggi : dari berburu-meramu, mengolah tanah (agraris), industri, dan informasi. Bahkan manusia bisa memadukan gaya hidup yang

melingkupi era itu : petani bisa saja memanggul pacul di pundak kiri dengan tangan kirinya, dan menggenggam handphone di tangan kanannya. Budaya berkembang, tidak lain dan tidak bukan adalah melalui proses belajar. Karena, “belajar merupakan suatu proses yang lebih bersifat kultural daripada alamiah”[iv]. Jadi, kehidupan ini merupakan sekolah alam yang melangsungkan proses belajar dengan guru yang bisa ditentukan manasuka. Karena, proses belajar yang dilakukan di kehidupan ini adalah peneguh atas eksistensi manusia sebagai homo educandus dan homo educandum sekaligus. Namun, tidak semua orang mampu jadi pembelajar yang baik. Proses-proses budaya sering kali ditangkap dalam jala yang terlalu longgar : lepas begitu saja. Budaya ditangkap hanya sebagai gejala yang alamiah. Kita jadi tidak peka dalam berbudaya. Budaya dicerna sebagai lalu-lalang biasa dan membuat kita tidak lagi awas dengan gejala-gejala itu. Semisal, disini, masuk gerai-gerai penyedia fast-food meningkatkan prestisius—dan itulah yang dicari: bukan kualitas jenis makan, tapi kualitas diri yang terangkat statusnya. Cara hidup yang berorientasi hedonistik terpelihara oleh tayangan-tayangan televisi yang mengumbar kelimpahan dunia. Kita jadi bangsa yang mudah disetir oleh kebutuhan yang dicipta oleh beragam jenis iklan! Hidup lebih ringan dijalani dengan agenda-agenda yang melena dalam kepasifan. Padahal, dalam melakukan proses budaya, kita membutuhkan orang-orang yang aktif. Dialah orang yang mau terus belajar. Kembali ke pertanyaan di atas, problem bangsa bisa diatasi oleh orang-orang yang memiliki spirit pembelajar. Pembelajar : Menjadi, bukan memiliki Pelajar adalah atribusi yang melekat pada siapapun yang melewati fase belajarnya dalam pendidikan formal. Masyarakat mafhum, siapa saja yang belajar di sekolah dia disebut sebagai pelajar. Namun, predikat pelajar dijalani dalam laku peran yang belum tentu sama satu orang atas yang lain. Sebagai predikat yang melekat, pelajar mendalami kemelekatannya dalam taraf yang hanya kulit di satu sisi, dan isi pada sisi lain. Merujuk dua modus eksistensi Erich Fromm[v], pelajar mendekati perannya dalam modus ‘memiliki’ pada satu sisi, dan modus ‘menjadi’ pada sisi lain. Pelajar yang mendekati perannya dalam modus ‘memiliki’ memandang predikat pelajar sebagai objek semata. Karena sebagai objek, tidak jarang predikat ini membawa pada kondisi yang menderita. Semisal : pelajar terpusingkan oleh kewajiban-kewajiban sebagai pelajar: belajar, mengerjakan PR, ujian. Tidak ada yang keluar dari mulut pelajar yang ‘memiliki’ ini selain merapal keluhan. Pada sisi lain pelajar tersenangkan oleh statusnya: bersenang-senang dengan teman sebaya (berkelahi, mengguna narkoba, adu motor, lalu jika dituntut hukum akan berdalih dengan status yang dimilikinya : masih pelajar). Pelajar menggunakan status sebagai pelajar untuk meraup keuntungan : merengek pada orang tua untuk dipenuhi keinginannya (beli buku, bel motor, minta tambahan uang jajan dengan dalih biar prestasi belajar meningkat). Pelajar dengan modus modus ‘menjadi’ memandang predikat pelajar sebagai subjek. Ia mendekati peran ini sebagai proses yang terus berlangsung. Ia menjadi pelajar. Ia memenuhi segala apa yang harus dipenuhi untuk layak disebut pelajar (yakni belajar itu sendiri). Dalam melakukan proses belajar, pelajar dengan modus ‘menjadi’ ini tidak menggantungkan proses belajar pada orang lain (orangtua, guru), tapi pada diri sendiri. Ia menyimpan motivasi belajar yang tinggi. Ia menyadari atas manfaat belajarnya, baik secara teoritis maupun praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pelajar yang ‘menjadi’ lebih punya kemauan dan kemampuan melakukan kontekstualisasi atas apa yang dipelajarinya. Karena, kehidupan sehari-hari pada dasarnya adalah sebuah dialektika yang tak pernah selesai. Pelajar hendak melakukan kristalisasi eksistensinya bahwa ‘aku belajar maka aku ada’ (I learn therefore I am). Pribadi pembelajar adalah pribadi yang menyadari bahwa jalan untuk menjadi pelajar hanya ini : terus menerus melakukan proses belajar. Dengan kata lain, karena budaya adalah proses belajar, menjadi pelajar tidak lain sekaligus menjalani laku budaya. Membangun spirit pembelajar

Belajar adalah proses mengetahui. Dalam filsafat ilmu, terdapat tiga aspek pengetahuan, yakni ontologis, epistemologis dan aksiologis. Dalam tiga aspek inilah spirit pembelajar itu terbangun. Alinea selanjutnya akan mengulas bagaimana spirit pembelajar tumbuh dalam tiga aspek itu. Pertama, aspek ontologis memungkinkan pembelajar mengeksplorasi segala jenis pengetahuan, baik fisik maupun metafisik. Pembelajar tidak dengan mudah membatasbatasi pengetahuan yang dikajinya. Hadist Nabi bahwa “tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina” adalah spirit bagi pembelajar yang mengkaji segala jenis ilmu, tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Pada aspek ini, pembelajar menyadari bahwa segala jenis ilmu pada mulanya bebas nilai. Pembelajar menyadari bahwa apapun yang terhampar di bumi adalah objek ilmu. Allah tidak menciptakan makhluknya dengan sia-sia. Kedua, aspek epistemologis memungkinkan pmbelajar menjalani proses-proses mengetahui. Ia mengoptimalisasi potensi akalnya dalam berlogika dan melakukan penalaran. Ia mencari data-data baru, membuat premis-premis baru, melakukan analisaanalisa yang menyegarkan. Ia pantang melakukan epigonisasi bagi pikirannya sendiri. Pembelajar terpanggil untuk menjadi ulul albab yang senantiasa memikirkan tanda-tanda kehidupan dalam kondisi apapun[vi]. Ketiga, aspek aksiologis memungkinkan pembelajar menampilkan apa yang diketahuinya sebagai perihal yang bermanfaat buat siapapun. Karena, apa yang diketahui pada dasarnya adalah sarat nilai. Pada aspek ini, pembelajar menyadari atas fungsi kekhalifahannya. Fungsi kekhalifahan memungkinkan pembelajar menjadi muslim terbaik : sebaik-baik muslim adalah yang berguna bagi sebanyak-banyak orang. Pada aspek ini, pembelajar turut serta menyumbang norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Bukan hanya norma dan etika yang bersifat privat, semata-mata hanya untuk dirinya dan kelompoknya sendiri, tapi norma dan etika publik yang lebih luas. Van Peursen menegaskan bahwa : “etika bukan lagi sejumlah kaidah bagi orang perorangan, mengenai apa yang khalal atau haram, tetapi berkembang menjadi etika-makro, yaitu merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri.”[vii] Cendekia dan beradab Pembelajar tidak hanya bergerak dalam ruang privat. Karena belajar merupakan proses yang terjadi dalam ruang sosial, belajar memendam potensi sosial juga. Seorang sahabat Nabi berujar bahwa ilmu akan makin bertambah jika diajarkan pada orang lain. Pada masyarakat Jawa dikenal, ilmu iku klakone kanti laku, bahwa seseorang belum dikatakan belajar sampai apa yang dipelajarinya bermanfaat bagi orang lain. Pembelajar dalam hal ini tidak lepas dari perannya sebagai cendekia dan pribadi yang beradab. Ia menjadi cendekia : secara ontologis dan epistemologis ia menggali ilmu. Juga, ia beradab : secara aksiologis ia membangun moral, etika, norma, akhlak dan memberi manfaat bagi kemajuan peradaban umat. Banyak baiknya jika kita merenungi ulang harapan Bung Hatta yang makin meneguhkannya sebagai pribadi pecinta ilmu yang memahami masyarakatnya itu. Bung Hatta mengajak pelajar menjadi pembelajar yang cendekia sekaligus beradab. Pada sebuah kongres di hadapan para pelajar ia berujar : "Apabila pelajar-pelajar Islam benar-benar mencintai masyarakat yang berdasarkan keadilan Ilahi, yang bebas dari penindasan dan kesengsaraan hidup, sejak dari sekolah ia harus menyiapkan diri untuk jadi pembangunnya dalam bidang masing-masing. Dimulai dengan melatih diri, supaya tingkah laku dalam pergaulan menjadi contoh dan teladan. Rangkaian pengetahuan yang dipelajari dan ilmu yang dituntut dengan jiwa Islam yang dibawa dari rumah dan dipupuk di sekolah. Barulah ilmu pengetahuan dapat dipergunakan kelak untuk membangun suatu masyarakat yang berdasarkan keadilan Ilahi, keadilan sosial yang setinggi-tingginya."[viii] Jakarta-Pontianak, 5 Juli 2008

[i] Disampaikan dalam Seminar Pendidikan bertema “Menuju Kebangkitan Pendidikan Kita : Membangun Jatidiri Bangsa yang Cendekia dan Berbudaya” pada Ahad, 6 Juli 2008 di Pontianak. [ii] Penulis adalah ketua Bidang Kaderisasi PB Pelajar Islam Indonesia (PII) periode 2006-2008. Pernah belajar di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM). [iii] Dalam Kompas, 22 Juni 2008. [iv] C.A. Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm143-144. [v] Lihat Erich Fromm. Memiliki dan Menjadi, tentang Dua Modus Eksistensi. Jakarta: LP3ES, 1987. [vi] QS Ali Imran ayat 120. [vii] C.A. Van Peursen. Op Cit, hlm. 192. [viii] Pidato Mohammad Hatta dalam Muktamar ke-9 Pelajar Islam Indonesia (PII) di Medan, 17 Juli 1962. Lihat Mohammad Hatta. Kumpulan Pidato III. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985, hlm. 185. Tulisan lainnya bisa dibaca di http://abubakarfahmi.blogspot.com

Related Documents


More Documents from ""