Referensi Tuanku Imam Bonjol.docx

  • Uploaded by: Sleeping Beauty
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referensi Tuanku Imam Bonjol.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,954
  • Pages: 15
Sejarah Singkat Pahlawan Indonesia - Tuanku Imam Bonjol

Biografi Pahlawan Nasional : Tuanku Imam Bonjol Lahir : Tanjung Bunga, Pasaman, Sumatera Barat 1772 Wafat : Manado, Sulawesi Utara, 8 November 1864 Makam : Lotan, Manado

Nama sesungguhnya adalah Muhammad Syahab. Semasa remaja , ia biasa dipanggil dengan nama Peto Syarif. Setelah menuntut ilmu agama di Aceh (1800-1802), ia mendapat gelar Malim basa. Tahun 1803, Malim Basa kembali ke Minangkabau dan belajar pada Tuanku Nan Renceh. Ia adalah murid kesayangan dari Tuanku Nan Renceh.Malim basa banyak mendapat pelajaran ilmu perang dari Tuanku Nan Renceh. Tahun 1807 Malim basa mendirikan Benteng di kaki bukit Tajadi yang kemudian diberi nama Imam Bonjol. Sejak saat itu ia dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol.

Pada waktu itu di Minangkabau, sedang terjadi pertentangan yang hebat antara kaum Paderi (kaum agama) dengan kamu adat. Pada awalnya, pertentangan ini hanya melibatkan kaum adat dan kaum paderi saja. Tapi karena kedudukan kaum adat semakin terdesak, Kaum adat lalu meminta bantuan kepada Belanda.

Sejak saat itu pulalah, Belanda ikut campur dalam pertentangan di Minangkabau. Lalu Belanda mulai mendirikan benten di Batu Sangkar dan di Bukit Tinggi untuk memperkuat kedudukannya. Tuanku Imam Bonjol memliki banyak pengikut yang membuat Belanda kewalahan.

Apalagi pada saat yang bersamaan, Belanda juga terdesak dengan Perang Diponegoro sehingga Belanda merasa perlu “berdamai sementara” dengan kaum paderi untuk mengalihkan kekuatan di Pulau Jawa menghadapi Perang Diponegoro.

Setelah berakhirnya perang Diponegoro, Belanda kembali menyerang Markas-markas Tuanku Imam Bonjol. Namun Tuanku Imam Bonjol adalah panglima perang yang handal sehingga membuat Belanda harus mengerahkan bantuan tambahan dan siasat-siasat licik.

Sehingga untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda menggunakan cara-cara kotor dengan cara mengajak berunding di seikitar Bukit Gadang dan Tujuh Lurah. Dan disitu pulalah Tuanku Imam Bonjol ditangkap pada tanggal 25 Oktober 1937.

Tuanku Imam Bonjol lalu ditawan di Bukit Tinggi lalu diasingkan dari Cianjur lalu ke Ambon dan terakhir di Manado. Tuanku Imam Bonjol akhirnya wafat di Manado pada tanggal 8 November 1864. Pemerintah lalu menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya berdasarkan SK Presiden RI No 087/TK/1973 KISAH PAHLAWAN TUANKU IMAM BONJOL “PEMIMPIN UTAMA PERANG PADRI” Posted: 30 Maret 2009 in Imam Bonjol, Kaum Adat, Kaum Agama 82

Oleh: Suryadi Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda. Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html). Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).

Mitos kepahlawanan Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa ini. Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis. Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini— yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-adakan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia. Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan. Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa. Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya. Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI. Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional. Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu. Bukan manusia sempurna Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat. Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41). Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri. Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39). Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 18341837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 18341837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB. Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda). Setelah berakhirnya perang Diponegoro & pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah HindiaBelanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yg sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau [darek]. Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupaken salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dlm liku-liku perdagangan di pedalaman & pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli. Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yg telah

dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yg merupaken salah satu kawasan yg mampu memproduksi mesiu & senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock. Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada dlm kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yg telah membelot & berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda sesudah usai perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yg ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yg telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot & legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, & Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa & mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan & ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi tentara Belanda. Sentot Prawirodirdjo, yg diilustrasikan oleh G. Kepper. Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dlm jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dlm kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi & berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak & bertahan di Bonjol. Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yg masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yg mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda. Namun dlm pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda. Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yg dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz & Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yg baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan & mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.

Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan & badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal & sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya. Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan & jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg dekat dengan kubu pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol & sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yg bergerak masing-masing dari Matur & Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu tengah dilanda banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung & menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol. Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol. Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang Lawas yg secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya. Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir & meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen Francis di Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi. Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan makanan & senjata pasukan Padri. Blokade yg

dilakukan ini ternyata tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda & bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid. Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg berada di Bukit Tajadi, & pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm merebut satu persatu kubukubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dlm Benteng Bonjol. Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit & terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager. Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang & Alahan Mati mengangkat senjata & menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi. Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum Padri kembali berhasil memporakporandakan musuh sehingga Belanda terusir & terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak. Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yg bernama Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel. Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh jenderal & beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4. 130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen [pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor

Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, & seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya. Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa & Sepoys, serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe. Serangan yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari pasukan artileri yg bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri & kavaleri yg terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, & pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak. Perundingan Tuanku Imam Bonjol Dalam pelarian & persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yg telah bercerai-berai & lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yg tinggal & masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih & gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 & kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, & pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah sesudah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya. Penangkapan Tuanku Imam Bonjol Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, & Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu & ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, & akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica & wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda. Sikap Patriotisme Kepahlawanan

Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing pihak yg terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu & dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum & monumen di Bonjol & dinamai dengan Museum & Monumen Tuanku Imam Bonjol. Perjuangan beberapa tokoh dlm Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional. Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.

Image courtesy of www.ridwanaz.com

Biodata Tuanku Imam Bonjol 1. Nama : Muhamad Shahab 2. Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia

3. Meninggal : 6 November 1864, Minahasa 4. Kebangsaan : Minangkabau 5. Agama : Islam 6. Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Baca juga: Biografi Teuku Umar Pahlawan Indonesia.

Perjuangan Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Image courtesy of www.profil.merdeka.com

Baca juga: Biografi Bung Tomo Pahlawan Indonesia.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.

3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.

Penghargaan Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973. Di awal abad ke-19 kondisi masyarakat Minangkabau mengalami perubahan setelah banyak warga Minangkabau kembali dari menunaikan ibadah haji di Mekkah. Kedatangan para haji tersebut membawa pandangan baru bagi masyarakat Minangkabau yang masih memegang teguh adat dan kebiasaan lama. Adat lama yang berlaku di Minangkabau adalah minum-minuman keras, menyabung ayam dan berjudi.

Kaum Padri Melawan Kaum Adat Para haji melihat bahwa tindakan masyarakat Minangkabau telah menyimpang dari ajaran agama Islam. Oleh karena itu, mereka hendak membersihkan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam yang ada di masyarakat Minangkabau dengan cara mengikuti ajaran Islam. Golongan yang ingin menjalankan aturan agama Islam di Minangkabau disebut Kaum Padri. Di lain pihak, Kaum Adat masih berpegang atas kebiasaan lama dan menentang usaha pembaruan yang dilakukan oleh Kaum Padri. Dengan demikian, lahirlah dua kelompok masyarakat Minangkabau dan menimbulkan pertentangan. Adanya dua pandangan yang berbeda tersebut menimbulkan ketegangan yang akhirnya meningkat menjadi bentrokan senjata. Walau sama-sama berdarah Minangkabau, pandangan yang berbeda menyebabkan pertikaian darah. Belanda Mendukung Kaum Adat Pertentangan semakin meningkat di daerah Bonjol sehingga Kaum Adat terdesak oleh Kaum Padri. Perlawanan Kaum Padri tersebut dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Pertentangan kedua golongan masyarakat di Minangkabau berubah setelah datangnya campur tangan dari pihak ketiga. Pihak lain yang masuk dalam konflik tersebut adalah Inggris yang dipimpin oleh Raffles dan Belanda yang menerima kembali kekuasaannya dari tangan Inggris. Keterlibatan pihak ketiga ini sangat ditentang oleh Kaum Padri. Mereka merasa terjajah oleh bangsa asing di tanah Minangkabau. Sementara itu, Kaum Adat meminta bantuan dari pihak penguasa asing untuk melawan Kaum Padri di Minangkabau. Dengan adanya campur tangan penguasa asing tersebut, Kaum Padri tidak hanya berhadapan dengan Kaum Adat tetapi berhadapan juga berlawanan dengan penguasa asing, yaitu Belanda, yang hendak menanamkan kekuasaannya di Minangkabau. Kebencian Kaum Padri terhadap Belanda diwujudkan dengan penyerbuan pos Belanda yang dimulai pada tahun 1821. Perlawanan tersebut dilakukan dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan Kaum Padri di daerah Boneo, Agam, Bonjol dan beberapa tempat lainnya. Pertempuran Kaum Padri melawan pasukan Belanda tersebut berjalan cukup lama, yaitu sampai dengan tahun 1825.

Konsentrasi Belanda Terpecah Bersamaan dengan berlangsungnya pertempuran di Minangkabau, Belanda juga sedang menghadapi perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa. Akibatnya adalah pasukan Belanda di Minangkabau banyak yang ditarik ke Pulau Jawa. Akibat kekurangan pasukan di Minangkabau, Belanda menggunakan taktik damai untuk meredam perlawanan Kaum Padri. Perdamaian tersebut tidak berlangsung lama karena Belanda sering menekan rakyat Minangkabau. Perdamaian yang gagal menghasilkan perlawanan hebat dari Kaum Padri dan banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, Belanda kembali mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyerang Kaum Padri. Penyerangan pasukan Belanda dibantu oleh pasukan yang baru pulang dari Pulau Jawa untuk menyerbu benteng pertahanan kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol Ditahan Pertempuran sengit berkobar pada tahun 1833 dan akhirnya melemahkan kekuatan Kaum Padri yang bermarkas di Tanjung Alam. Pemimpin Padri lainnya seperti Tuanku Nan Cerdik bahkan menyerahkan diri ke pihak Belanda. Sejak saat itu, Tuanku Imam Bonjol memimpin perlawanan rakyat Minangkabau seorang diri. Kegigihan Tuanku Imam Bonjol dalam memimpin perlawanan menyebabkan Belanda harus menambahkan pasukan gabungan orang Afrika, Eropa dan pribumi. Setelah mengalami tekanan-tekanan berat dari pihak musuh, Tuanku Imam Bonjol mengadakan perundingan damai dengan Belanda pada tahun 1837. Perundingan ini digunakan oleh Belanda untuk melihat kekuatan Kaum Padri yang ada di Benteng Bonjol dan Tuanku Imam Bonjol diharapkan agar rela menyerahkan diri. Perundingan tersebut gagal tercapai karena pihak Belanda telah melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Akhirnya, pertempuran pun meledak sehingga benteng Kaum Padri dikuasai oleh Belanda. Tuanku Imam Bonjol ditahan pada tanggal 25 Oktober 1837. Dengan ditangkapnya Imam Bonjol bukan berarti perlawanan rakyat Minangkabau terhenti sampai disitu. Perjuangan masyarakat Minangkabau terus berlangsung walaupun dalam skala kecil, seperti halnya pergerakan rakyat yang dipimpin oleh Tuanku Tambusi. Awalnya perang padri melibatkan kaum padri yang dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Tuanku Pasaman kemudian menyerang kaum adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Serangan pertama di Pagaruyung terjadi pada tahun 1815 dan kemudian pertempuran selanjutnya pecah di Koto Tengah dekat Batu Sangkar. Pertempuran ini kemudian membuat Sultan Arifin Muningsyah terdesak dan terpaksa melarikan diri dari kerajaanya di Lubukjambi.

Lukisan Perang Padri Tuanku Imam Bonjol Memimpin Perang Padri Akibat terdesaknya kaum adat ketika itu sehingga mereka kemudian meminta bantuan Belanda, secara resmi kemudian Belanda membantu kaum adat untuk berperang melawan kaum Padri melalui Advertisement ng. Untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol sendiri, Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh pada bulan Oktober 1837. Di tempat itu ia kemudian ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan di Cianjur, Jawa Barat. Dari Cianjur, ia kemudian dibawa ke Ambon hingga kemudian dipindahkan di Lotak, Minahasa, dekat Manado. Disana Tuanku Imam Bonjol kemudian meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864 dan kemudian dimakamkan ditempat tersebut.

Related Documents

Referensi
June 2020 20
Referensi
May 2020 17
Tuanku Kisa'i
May 2020 15

More Documents from "Prabu Suroguna"

Fisika Gelombang.docx
December 2019 23
Gagasan.docx
December 2019 21
Bekal Makanan.docx
December 2019 20
Hum 1 Ana.docx
December 2019 20