Referat Sindrom Stevens-johnson.docx

  • Uploaded by: Ghina Said
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Sindrom Stevens-johnson.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,667
  • Pages: 26
BAB I PENDAHULUAN 1.1

LATAR BELAKANG Sindroma Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessnger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindroma mukokutaneokular, dermatostomatis1 Penyakit kulit seringkali mempunyai gejala klinis dalam mulut. Salah satunya adalah Sindrom Steven-Johnson. Sindrom Stevens Johnson pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua orang dokter, dr. Steven dan dr Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur,disertai makula, vesikel, bulla dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. Sindrom Steven-Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pada pria. Tanda-tanda oral Sindrom Steven-Johnson sama dengan eritema multiforme, perbedaannya yaitu melibatkan kulit dan membran mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang lebih parah, termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia2 Sindrom Steven-Johnson mempunyai tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis, serta kelainan oral berupa stomatitis. Lesi oral didahului oleh makula dan papula yang segera diikuti vesikel atau bulla, kemudian pecah karena trauma mekanik menjadi erosi dan terjadi ekskoriasi

1

sehingga terbentuk ulkus yang ditutupi oleh jaringan nekrotik berwarna abuabu putih atau eksudat abu-abu kning menyerupai pseudomembran. Ulkus nekrosis ini mudah mengalami perdarahan dan menjadi krusta kehitaman. Lesi oral cenderung lebih banyak terjadi pada bagian anterior mulut termasuk bibir, bagian lain yang sering terlibat adalah lidah, mukosa pipi, palatum durum, palatum mole, bahkan dapat mencapai faring, saluran pernafasan atas dan esofagus, namun lesi jarang terjadi pada gusi. Lesi oral yang hebat dapat menyebabkan pasien tidak dapat makan dan menelan, sedangkan lesi pada saluran pernafasan bagian atas dapat menyebabkan keluhan sulit bernafas2 Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindrom adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom Steven-Johnson muncul biasanya tidak lama setelah obat suntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien2

1.2

TUJUAN Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan dalam penulisan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, hingga tatalaksana yang tepat dalam menangani kasus Stevens-Johnson Syndrome . Informasi tersebut diharapkan nantinya dapat membantu dokter layanan primer untuk bertindak secara cepat dan tepat dalam menghadapi kasus Stevens-Johnson Syndrome.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1

DEFINISI Sindrom stevens-johnson (SSJ) didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala

sistemik

dengan

karakteristik

yang

mengenai

kulit,

mata

(konjungtiva) dan selaput lendir orifisium. Sindrom Stevens-Johnson merupakan bentuk berat dari eritema multiforme, sehingga SSJ dikenal juga dengan sebutan eritema multiforme mayor. Penyakit ini disebabkan oleh reaksi hipersensitif (alergi) terhadap obat; infeksi HIV, penyakit jaringan ikat dan kanker merupakan faktor resiko penyakit ini. Beberapa kasus berhubungan dengan infeksi Mycoplasma pneumonia, kasus lainnya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya3 Syndrome Steven Johnson adalah suatu reaksi hiersensitivitas (pembentukan kompleks imun yang disebabkan obat, virus dan keganasan), yang biasanya timbul generalisata, kecuali pada kepala yang berambut4. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan histopatologis, faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat epidemolisis sebesar <10% luas permukaan badan (LPB)5.

2.2

EPIDEMIOLOGI Angka kejadian SSJ di dunia diperkirakan sebanyak 12,6-6 kasus/juta penduduk/tahun dan NET 0,4-1,2 kasus/juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi pada berbagai usia, tetapi lebih sering terjadi pada usia diatas 40 tahun. Valeyrie daan Roujeau melaporkan bahwa perempuan lebih banyak dari pada laki-laki dengan perbandingan 5:3. Angka kematian lebih

3

dari 30% pada kasus NET dan pada SSJ 5-12%. Terdapat 5000 kasus rawat inap diAmerika Serikat dengan diagnosis utama eritema multiforme, sindrom Steven-Johnson 35% dari kejadiann ini berhubungan dengan penggunaan obat1. Suatu penelitian di sebuah rumah sakit umum di Singapura pada Januari 2004-November 2010, didapatkan kejadian SSJ 18 kasus. Thaha (2009) melaporkan bahwa di Rumah Sakit Umum Pusat Mohammad Husein (RSUP MH) Palembang periode 2006-2008, didapatkkan43 pasien dengan nekrolisis epidermal (NE) yang terdiri atas 35 orang (81,4%) SSJ, diikuti SSJ/NET overlap 5 orang (11,6%) dan NET 3 orang (7%). Perhitungan angka kejadian SSJ di RSUP MH Palembang adalah berkisar 0,096% sampai dengan 0,18% antara tahun 2006-2008. Studi di RSUP MH Palembang membandingkan SSJ-NET rawat inap dibandingkan dengan seluruh kunjungan pasien antara 2006-2008 inap. Tidak ada pasien NET yang meninggal di RSUP MH Palembang. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok usia terbanyak pasien SSJ ialah 26-36 tahun, SSJ-NET overlap <37 tahun dan NET pada kelompok usia ≥37 tahun1.

2.3

ETIOLOGI Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial, sedangkan etiologi pasti belum diketahui. Faktor yang diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat secara sistemik, infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pasca vaksinasi, terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen2. Sebagian besar SSJ disebabkan karena alergi obat. Berbagai obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ. Obat-obat yang sering menyebabkan SSJ adalah sulfonamide, antikonvulsan aromatic, allopurinol, anti-iflamasi non steroid dan nevirrapin.pada beberapa obat tertentu, misalnya karbamazepin dan allopurinol, factor genetic yaitu system HLA berperan pada

proses terjadinya SSJ. Infeksi juga dapat menjadi penyebab SSJ

4

namun tidak sebanyak pada kasus eritema multiforme; misalnya infeksi virus dan mycoplasma5. Penyebab SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai factor, walaupun pada umumnya sering berkaitn dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50% penyebab SSJ adalah obat. Peringkat tertinggi adalah obat-obat sulfonamide, B-lactam, imidazole dan NSAID, sedangkan peringkat menengah adalah quinolone, atikonvulsan aromatic dan allopurinol. Beberapa factor penyebab timbulnya SSJ diantaranyya : (virus herpes simplex dan mycoplasma pneumoniae), makanan (coklat) dan vaksinasi. Factor fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X) rupanya berperan sebaagai pencetus6

Gambar 1. Daftar obat yang menjad resiko penyebab Stevens-Johnson Syndrom Dikutip Fitzpatricks Dermatologi in General Medicine 2012

2.4

PATOGENESIS Sindrom Steven-Johnson merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang disebabkan oleh beberapa jenis obat ataupun infeksi. Sindrom Steven-Johnson bisa terjadi karena adanya kompleks imun di dalam tubuh. Kompleks imun yang merupakan ikatan

5

antara antigen dan antibodi tersebut akan menimbulkan reaksi pada tempat dimana dia mengendap sehingga menimbulkan kerusakan jaringan7 Mekanisme pasti tejadinya SSJ belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik tehadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam pathogenesis penyakit ini yaitu : IL-6, TNF-a, IFN-y, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim B5. Reaksi hipersensitivitas pada SSJ kemungkinan terjadi rekasi tipe III dan IV. Reaksi tipe III

terjadi akibat terbentuknya kompleks Antigen

Antibodi yang membentuk Mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistim komplemen. Akibatnya terjasi Akumulasi Neutrofil yang kemudian melepaskan Lisosim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran ( Target Organ ) . Reaksi tipe IV terjadi akibat Limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian Limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang8

Gambar 2. Mekanisme terjadi reaksi hipersensitivitas tipe IV Dikutip dari Buku ajar Imunologi Dasar 2014

6

Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa dan dan paru-paru tanpa bantuan komlplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Baik CD4+ maupun Cd8+ berperan dalam reaksi tipe IV. Sel T melepas sitokin,bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat9 Peristiwa molekul dan seluler tidak sepenuhnya dipahami, beberapa penelitian memberikan petunjuk penting untuk patogenesis EN.Pola imunologis lesi awal menunjukkan areaksi sitotoksik yang dimediasi sel melawan keratinosit mengarah ke apoptosis masif imunopatologis penelitian telah menunjukkan kehadirannya di awal lesi sel sitotoksik termasuk pembunuh alami Tsel (NKT) dan limfosit CD8 + T spesifik obat;monosit / makrofag dan granulosit jugadirekrut. Namun, umumnya diterima itu sel sitotoksik spesifik dan nonspesifik terlalu sedikit dalam lesi untuk menjelaskan kematian sel di ketebalan penuh dan area epidermis yang luas dan membran mukosa. Amplifikasi oleh sitokin memiliki Sudah dicurigai bertahun-tahun, terutama untuk faktor pengaktifan "Reseptor kematian" pada selaput sel, terutama antitumor necrosis factor (TNF) α dan larut Ligan Fas (Fas-L). Dalam dekade terakhir ini telah terjadi diterima secara luas bahwa Fas-L menginduksi apoptosisdari keratinosit dalam EN meski ada bukti parsialdan temuan sumbang. Yang penting baru-baru ini studi telah menantang dogma ini dengan menunjukkan peran kunci dalam EN granulysin. Granulysin dulu hadir dalam cairan blister EN pada konsentrasijauh lebih tinggi dari pada perforin, granzyme B, atauFas-L. Pada konsentrasi seperti itu, hanya granulysin, dan ke perforin yang jauh lebih rendah, mampu membunuh manusia keratinosit in vitro; Fas-L tidak. Selanjutnya injeksi granulysin pada dermis tikus normal mengakibatkan lesi klinis dan histologis EN9.

7

Bila digabungkan, hasil di atas sangat disarankan bahwa mekanisme efektor EN telah diuraikan. T-sel sitotoksik berkembang dan biasanya secara khusus diarahkan terhadap bentuk asli obat daripada melawan metabolisme reaktif, sebaliknya untuk apa yang telah didalilkan selama 20 tahun. Sel-sel ini membunuh keratinosit secara langsung dan tidak langsung melalui perekrutan sel lain yang melepaskan kematian yang bisa larut mediator, kepala sekolah menjadi granulysin9. Sedikit yang diketahui tentang apa yang awal dan menengah tangga. Kami masih belum mengerti mengapa sangat beberapa individu mengembangkan respons kekebalan tubuh yang kejam untuk obat-obatan dan mengapa sel efektor terutama diarahkan ke kulit dan epitel lainnya. Sebenarnya paling banyak Obat yang terkait dengan "risiko tinggi" untuk EN juga bisa menginduksi berbagai reaksi yang lebih ringan dan lebih sering. T-limfosit sitotoksik spesifik CD8 juga Sering ditemukan pada reaksi kulit dengan fenotipe lebih jinak. Oleh karena itu, tergoda untuk berspekulasi tentang abnormal regulasi respon imun. Resmi CD4 el CD25 + T telah terbukti berpotensi penting dalam pencegahan epidermis yang parah kerusakan yang disebabkan oleh limfosit T sitotoksik reaktif dalam model tikus EN. Sel regulator serupa mungkin berperan dalam letusan obat pada manusia. Diubah regulasi respon imun terhadap pengobatan di Indonesia Pasien dengan EN bisa berakibat dari komorbiditas itu sring terjadi, misalnya kanker, infeksi HIV, kolagen penyakit pembuluh darah; Dari komedian, misalnya, kortikosteroid; atau dari latar belakang genetik9. Kerentanan genetik memainkan peran penting dalam pengembangan EN ke beberapa obat "berisiko tinggi". Sebuah asosiasi yang kuat diamati pada orang Cina Han dari Taiwan antara antigen leukosit manusia HLA-B * 1502 dan EN yang disebabkan oleh karbamazepin, dan antara HLA-B * 5801 dan EN yang disebabkan oleh allopurinol. B * 1502 berhubungan dengan carbamazepine Kasus dikonfirmasi di beberapa negara Asia, dengan pengecualian yang luar biasa dari Jepang dan Korea.Hubungan antara EN

8

carbamazepine-induced dan HLA-B * 1502 tidak ada pada pasien di Eropa yang tidak memiliki keturunan Asia. Di sisi lain, HLA-B * 5801 dikonfirmasi untuk dikaitkan denganallopurinol terkait EN di Jepang dan Eropa,tapiKekuatan asosiasi lebih rendah daripada di Taiwan9.

2.5

GEJALA KLINIS Secara umum gejala klinis sindrom Steven-Johnson didahului gejala prodormal yang tidak spesifik seperti demam, batuk, sakit kepala, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia. Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik, sedangkan keadaan yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran pasien menurun bahkan sampai koma10. Gejala SSJ timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat. Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala, batuk/pilek dan maile 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan, dan bagian proksimal ekstermitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ alam juga dapat terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna dan ginjal5. A. Gejala Pada Kulit Lesi kulit pada Sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan ukuran lesi bervariasai dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi ulit berupa erupsi 9

yang bersifat multiformis yaitu eritema yang menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu 4 hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang sedang lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh. Eritema akan menjadi divesikel dan bula yang kemudian pecah dan erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas meninggalkan ulkus nekrosis dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krusta yang umumnya berwarna coklat gelam sampai kehitaman. Variasi lain dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa terbakar. Terbentuknya purpura pada lesi kulit memberikan prognosis yang buruk2.

10

A

B

C

D

Gambar 3. A. Erupsi dini. Erythematous makula merah kehitaman (lesi target atipikal datar) yang semakin menyatu dan menunjukkan detasemen epidermal. B. Presentasi awal dengan vesikula dan lecet, perhatikan warna kusam atap blister, sangat menyarankan nekrosis epidermis. C. Letusan lanjut. Lepuh dan detasemen epidermis telah membesar erosi terkonsentrasi D. Nekrolisis epidermal penuh ditandai dengan daerah erosif besar yang mengingatkan pada panas mendidih Dikutip Fitzpatricks Dermatologi in General Medicine 2012 B. Gejala Pada Mata Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien Sindrom StevensJohnson.

Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivis. Selain

konjungtivitis kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitiss

purulen,

photophobia,

panophtalmitis,

deformitas

11

kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, indosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan2.

Gambar 4. komplikasi okuler terlambat SJS. Catatan epitel kornea buram, neovessels, dan bulu mata yang iritasi di kelopak mata bagian bawah. Dikutip Fitzpatricks Dermatologi in General Medicine 2012

C. Gejala Pada Genital Lesi pada genital dapat menyebabkan uretritis, balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis. Uretritis merupakan peradangan ada uretra dengan gejala klasik berupa secret uretra, peradangan meatus, rasa terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina, iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman dan gangguan buang air kecil. Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflammed anal2

12

Gambar 5. Gejala Pada Genital Dikutip dari Laporan kasus Dokter Intrinship Kalimantan Barat 2014

D. Gejala Pada Oral Lesi oral mempunyai karakteristikk yang lebih bervariasi daripada lesi kkulit, seluruh permukaan oral dapat terlibat, namun lesi oral lebih cenderung banyak terjadi pada bibir, lidah, palatum mole, palatum durum, mukosa pipi sedangkan pada gussi relative jarang terjadi lesi oral didahului oleh makula, apula, segera diikuti oleh vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah pecah karena gerakan lidah dan friksi pada waktu mengunyah dan bicara sehingga bentuk utuh jarang ditemuan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral. Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi erosi, kemudian ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna abu-abu putih atau eksudat abu-abu kuning

13

menyerupai pseudomembran. Jaringan nekrotik mudah mengelupa sehingga meninggalkan suatu ulkus yang terbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitman yang tebal dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut. Pada palatum mole maupun palatum durum dapat terjadi dilesi oral. Lesi oral diawali oleh vesikel maupun bula yang mudah pecah menjadi erosi, ekskoriasi dan ulkus. Erosi seringkali ditutupi pseudomembran dan dikelilingi daerah berwarna kemerahan. Ulkus dapat meluas terutama terjadi pada palatum durum. Pada mukosa pipi terjadi juga pola perkembangan lesi seperti lidah, vesikel atau bula dimukosa pipi jarang ditemukan utuh, hanya berupa erosi atau ulkus yang ditutupi dengan pseudomembran2.

Gambar 6. Gejala Pada Oral Erosi dan nekrosis yang luas pada bibir bawah dan mukosa mulut Dikutip Fitzpatricks Dermatologi in General Medicine 2012 Manifestasi oral Sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti oleh pembesaran nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang hebat sekali 14

dan terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya akan mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan yang masuk ke dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke faring, saluran pernafasan bagian atas dan esophagus sehingga penderita mengalami kesulitan bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea, apabila keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli, sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta trakeobronkitis2.

2.6

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan histopatologis kulit dapat menyingkirkan dagnosis banding dan umumnya diperlukan untuk menghindari kepentingan medikolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan untuk evaluasi keparahan penyakit dan tatalaksana pasien. Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah; pemeriksaan darah tepi, darah lengkap analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis sepsis5. Biopsi kulit untuk histologis rutin dan mungkin imunofluoresensi studi harus sangat dipertimbangkan,terutama jika ada alternatif diagnosa mempertimbangkan. Pada tahap awal, keterlibatan epidermal ditandai dengan keratinosit apoptotik jarang di lapisan suprabasal, yang dengan cepat berkembang menjadi nekrosis full-thickness dan detasemen subepidermal. Apoptosis sel epitel mungkin melibatkan kelenjar keringat dan folikel rambut. Cukup padat sel infiltrasi sel mononuklear dari dermis papiler ini diamati, terutama diwakili oleh limfosit, sering CD8 + dan makrofag. Eosinofil tampaknya terjadi kurang umum pada pasien dengan bentuk paling parah EN. Hasil penelitian imunofluoresensi langsung adalah negatif. Histopatologi membran mukosa yang terlibat, jarang dilakukan, akan menunjukkan perubahan yang serupa9.

15

A

B

Gambar 7. Penampilan histologis nekrolisis epidermal toksik. (A) Nekrosis Eosinofilik epidermis di puncak Tahap, dengan sediki respon inflamasi di dermis. Perhatikan pembelahan di zona persimpangan. (B) Yang benar-benar nekrotik epidermis telah terlepas dari dermis dan dilipat seperti selembar kertas8. Dikutip Fitzpatricks Dermatologi in General Medicine 2012

2.7

DIAGNOSIS KLINIS Dasar diagnosis SSJ-NET adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit, diserta hubungan waktu yang jelas dengan konsumsi obat tersangka; dan gambaran klinik lesi kulit dan mukosa. Diagnosa SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan pada <10% LPB, NET bila epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30% LPB5. Diagnosis Sindrom Stevens-Johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya

16

gejala. Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris, kelainan pada mukosa dan demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinophil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tidak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosis3.

2.8

DIAGNOSIS BANDING Ada 3 penyakit yang sangat mirip dengan dengan Sindrom StevensJohnson: 1. Toxic Epirmolysis Necroticans. Sindrom Stevens-Johnson sangat dekat dengan NET. SSJ dengan bulla lebih dari 30% disebut NET. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan reaksi mukokutan akuut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang meluas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis dan histopatologisnya, faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja5. Etiologi dan patogenesis dari NET belum diketahui dengan jelas. Saat ini obat dianggap sebagai penyebab utama. Telah dilaporkan lebih dari 100 obat-obatan dapat menjadi penyebab terjadinya nekrolisis epidermal. Golongan obat yang memiliki risiko tinggi antara lain antibakterial sulfonamid, antikonvulsan, alopurinol, obat anti inflamasi non-steroid (OAINS), lamotrigin, dan nevirapin11

17

Gambar 8. Tampakan Nekrolisis Epidermal Toksik Dikutip dari Laporan kasus Satu Kasus Nekrolisis Epidermal Toksik diduga Disebabkan Oleh Kotrimoksasol Tahun 2017

2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) Sindrom ini disebut juga penyakit Ritter von Ritterschein (Ritter disease) pada bayi baru lahir atau Staphylococcal epidermal necrolysis atau pemfigus neonatorum adalah kelainan kulit yang disebabkan eksotoksin galur stafilokokus. Kejadian SSSS lebih sering terjadi pada neonatus dan anak-anak daripada orang dewasa, bila terjadi pada dewasa biasanya berhubungan dengan keadaan imunokompromais12. Penyebab dari SSSS ini adalah bakteri Staphylococcus aureus. Toksin eksfoliatif yang dilepaskan oleh Staphylococcus aureus yaitu exfoliatin type A dan B (ETA dan ETB) adalah karakteristik toksin yang menyebabkkan terbentuknya vesikel, bula dan terjadinya eksfoliasi kulit. Toksin ini berikatan dengan desmoglein-1 sehingga fungsi adhesi antar sel menjadi berkurang. Sindrom ini memiliki gambaran klinis mulai bentuk makula eritem yang diikuti lepuhan dan atau eksfoliasi difus diarea kulit yang terbatas hingga luas. Area kulit yang sering terlibat adalah area fleksural, sedangkan membran mukosa tidak terlibat. Gejala lain ialah adanya rasa tidak nyaman, nyeri kulit dan demam. Pada kasus yang berat, dapat terjadi gangguan sistemik12.

18

Gambar 9. Tampakan Staphylococcal Scalded Skin Sindrom Dikutip dari Laporan kasus Satu Kasus Staphylococca Scalded Skin Syndrome Tahun 2015

19

3. Fixed drug eruption. Erupsi obat pada tempat yang sama (fixed drug eruption) merupakan salah satu kelainan paling aneh yang dihadapi dalam praktek. Reaksi timbul pada tempat yang sama setiap kali obat yang menjadi penyebab diminum. Diagnosis kelainan ini sering dikelirukan dengan eksema yang kambuhan atau infeksi jamur13. Pada kelainan ini timbul bercak eritema kehitaman berbentuk bulat atau oval, seringkali dengan bagian tengah berwarna keunguan, dan kadang-kadang timbul bula dibagian tengah tersebut. Bila sembuh meninggalkan bekas radang dengan hiperpigmentasi.pada kelainan ini bisa terdapat hanya satu lesii atau bisa juga timbul dibanyak tempat. Fixed drug eruption dapat timbul dimanapun, tetapi yang paling sering adalah pada ektermitas dan genitalia. Penyebab yang umum, obat yang mengandung

fenolftalein,

sulfonamid,

daposon,

tetrasiklin

dan

barbiturat13.

Gambar 10. Fixed drug eruption Dikutip dari Jurnal Online Dermatologi tahun 2017

2.9

PENATALAKSANAAN SSJ-NET

adalah

penyakit

yang

mengancam

nyawa

yang

membutuhkaan tatalaksana yang optial berupa: deteksi dini dan penghentian 20

segera obat tersangka,, serta perawatan suportif dirumah sakit. Sangat disarankan untuk merawat pasien SSJ-NET diruang perawatan khusus5. Prinsip penatalaksanaan pasien SJS sebelum rumah sakit sama dengan penatalaksanaan

pasien

luka

bakar,

dengan

pencegahan

infeksi.

Penatalaksanaan pasien SJS meliputi penatalaksanaan simptomatik dan penatalaksanaan khusus. Penatalaksanaan simptomatik dari SJS ataupun TEN diasosiasikan dengan kehilangan cairan yang signifikan karena erosi pada

kulit

sehingga

dapat

terjadi

kondisi

hipovolemia

dan

ketidakseimbangan elektrolit. Maka harus dilakukan terapi pengganti cairan/fluid replacement yang adekuat sama halnya dengan orang yang mengalami luka bakar4. Perawatan suportif mencakup: mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, suhu, lingkungan yang optimal 28-300C, nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara aseptik tanpa debridement, perawatan mata dan mukosa mulut10.Berbagai terapi spesifik telah dipakai untuk mengatasi penyakit ini, namun belum diperoleh hasil yang jelas karena sulitnya mengadakan uji klinis untuk penyakit yang jarang ini. Penggunaan kortikosteroid sistemik sampai saat ini, hasilnya masih sangat beragam, sehingga penggunaannya belum dianjurkan. Kebijakan yang dipakai dituang rawat ilmu kesehatan kulit dan kelamin RSCM adalah menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJNET, dengan hasil yang cukup baik dengan angka kematian pada periode 2010-2013 sebesar 10,5%5. Penatalaksanaan utama adalah menhentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu kemungkinan infeksi herpes simplex dan mycoplasma pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan lebih bersifat simtomatik2 1.

Antihistamin dianjurkan untuk mengatasi gejala pruritus /gatal bias dipakai feramin hydrogen maleat dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3x/hari, diphenidramin hidrokloride 1mg/kg BB tiap kali

21

sampai 3x/hari. Sedangkan untuk Cetirizin dapat diberikan dosis untuk usia 2-5 tahun 2,5 mg/dosis, 1x/hari; lebih dari atau sama dengan 6 tahun 5-10 mg/dosis 1x/hari. 2.

Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan burowi

3.

Papula dan macula pada kulit baik intak diberikan steroid topical kecuali kulit yang terbuka

4.

Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah B-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spectrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.

Terapi infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang

jarang menimbulkan alergi, berspekrum luas, bersifat baktrisidal dan tidak bersifat nefrositik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2xhari.

Kortikosteroid: deksametason dosis awal 1 mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti menyetujui pemberian kortikosteroid sistemik beralasan bahwa kortikosteroid akan menurunkan beratnya penyakit, mempercepat kovalesensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan progresifitas penyakit dan mencegah kekambuhan. Beberapa literature menyatakan pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi molekul adesi. Selain itu kortikosteroid dapat meregulasi respons imun melalui down regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka, meningkatkan risiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastro-intestinal dana menigkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan

yaitu

tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan selama 3-5 hari, maka sebaiknya pemberian kortikosteroid dihentikan4.

22

2.10 PROGNOSIS Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat menglami penyulit yang mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure . prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, seperti terlihat pada tabel :4 Tabel 1. Faktor Prognostik

Tabel 2. Angka Kematian pasien SSJ-NET Berdasarkan Nilai SCORTEN

Pada pasien yang mengalami pnyembuhan, re-epitelisasi terjadi dalam waktu rerata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada mata dan gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku5.

23

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN 1. Sindrom Stevens-Johnson didefinisikan sebagai reaksi kumpulan gejala sistemik yang dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa 2. Pengobatan pada Sindrom Steven-Johnson pada anak ialah diberikan dengan antihistamin dan konrtikosteroid. Serta pengobatan kulit dengan antibiotik. 3. Sindrom Stevens-Johnson ditandai dengan tiga gejala yang khas yaitu kelainan pada mata berupa konjungtivitis, kelainan pada genital berupa balanitis dan vulvovaginitis, sertaa kelainan oral berupa stomatitis 4. Tanda-tanda klinis akut diperkirakan berkaitan dengan risiko tinggi prognosis buruk, akan tetapi dibutuhkan penelitian lebih lanjut. Mortalitas sebesar 5 – 12 % telah dilaporkan pada kasus SSJ berat.

3.2 SARAN Penting untuk mengetahui cara mendiagnosa pasien Syndrom StevensJohnson dengan tepat dengan cara mengenali tanda dan gejala awal yang ditimbulkan sehingga dengan demikian penanganan dapat diatasi dengan cepat dan tepat.

24

DAFTAR PUSTAKA

1.

Mochtar, M., Negara, P.W., Marasnita. 2015. Angka Kejadian Syndrom Stevens-Johnson & Nekrolisis Epidermal Toksik DiRS Dr.Moewardi Surakarta Periode Agustus 2011-Agustus 2013. Vol.42 No 2. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Surakarta.

2.

Ramayanti, S. 2011. Manifestasi Oral & Penatalaksanaan Pada Penderita Syndrom Stevens-Johnson. Jurnal Kedokteran Andalas. No.2 Vol 35.

3.

Darmawan,

H.

2014.

Syndrom

Stevens-Johnson

diduga

Akibat

Siprofloksasin. Laporan Kasus Dokter Internship RSUD Senggau. 4.

Putra, R. 2012. Penatalaksanaan Syndrom Stevens-Johnson Pada Wanita 45 Tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung: Lampung

5.

Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2010.. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. Eds 7. Badan Penerbit FKUI: Jakarta

6.

Slentzz, H.D., And H.D. 2013. Management of Stevens-Johnson Syndrom and Toxic Epidermal Necrolisis. Vol 8.

7.

Nur, S.D. 2011. Hubungan Antara Terapi Sulfadoksin Dengan Kejadian Syndrom Steven-Johnson Di RSU Dr.Soedarso Pontianak Periode 1 Januari 2007-31 Desember 2010. Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Tanjungpura: Pontianak

8.

Monica, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, 2001

9.

Goldsmith, A.L., Katz, I.S., Gilchrest, A.B. 2012. Dermatology in General Medicine. Eds 8. McGrawHill: NewYork

10.

Tan, T.S., Darmawan, H. 2016. Buku Panduan Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin. SagungSeto: Jakarta

11.

Gunawan, E., Wibawa,S.A,, Suling, L.P., dkk. 2017. Satu Kasus Nekrolisis Epidermal

Toksik

Yang Diduga

Disebabkan

oleh

Kotrimoksasol.

Vol9.No1.Jurnal Biomedik. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Samratulangi: Manado

iii

12.

Mowu, O.F., Pandaleke, J.E.H. 2015 Satu Kasus Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. Vol 42. No 2. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Samratulangi: Manado

13.

Brown, G.R., Burns, T. 2005. Lecture Notes Dermatologi. Eds 8. Erlangga Medical Series: Jakarta

14.

Mitre, V., Applebaum, S.D., dkk. 2017. Generalized Bullous Fixed Drug Eruption Imitating Toxic Epidermal Necrolysis: a Case Report and Literatur review. Vol 23. No 7. Dermatology online journal. Department of Dermtology Dallas: Texas

iii

Related Documents

Sindrom Hiperventilasi
October 2019 45
Sindrom Down.docx
December 2019 41
Sindrom Hunter
June 2020 22
Sindrom Down.docx
December 2019 39

More Documents from "Nurul Fitriani"