[referat] Ikhlasul Amal Abdal-laserasi Hepar.docx

  • Uploaded by: IkhlasulAmalAbDal
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View [referat] Ikhlasul Amal Abdal-laserasi Hepar.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,453
  • Pages: 24
LASERASI HEPAR Ikhlasul Amal Abdal, Metrila Harwati

I.

PENDAHULUAN Hepar adalah organ padat intra-abdominal terbesar dengan parenkim yang rapuh, kapsul tipis dan posisi relatif terfiksir terhadap tulang belakang yang membuat hepar sangat rentan terhadap cedera. Lobus kanan hepar memilki ukuran yang lebih besar dan dekat dengan tulang rusuk membuat lobus tersebut lebih rentan terkena cedera dibandingkan dengan lobus kiri. Hepar merupakan organ kedua yang paling sering terluka setelah trauma abdominal, tetapi kerusakan hepar adalah penyebab kematian paling terbanyak.(1,2) Manajemen trauma hepar dapat bervariasi mulai dari manajemen non operasi dengan atau tanpa angioembolisasi hingga tindakan pembedahan. Tindakan pembedahan betujuan untuk menghentikan pendarahan dengan melakukan vascular exclusion hingga transplantasi hepar. Karena tingkat mortalitas yang tinggi tindakan bedah sering diindikasikan pada pasien dengan trauma hepar. Namun dengan kemajuan pencitraan diagnostik, fasilitas monitoring yang lebih baik dan pengenalan strategi pengendalian kerusakan akibat trauma telah mempengaruhi pendekatan terhadap penatalaksanaan trauma hepar. (1,3)

II.

INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI Sebanyak 25% kasus trauma hepar merupakan trauma tumpul, sedangkan lebih dari 70% merupakan trauma tajam akibat luka tusukan atau tembakan. Meskipun persentase trauma tumpul hepar lebih sedikit, namun kerusakan hepar bertanggung jawab lebih dari 50% kematian akibat trauma tumpul abdomen. Trauma tumpul merupakan penyebab 80-90% dari semua cedera hepar di Eropa, sementara di Afrika Selatan dan Amerika Utara luka

1

penetrasi menjadi penyebab terbanyak cedera hepar yaitu masing-masing sebesar 66% dan 88%.(1,2,4)

III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Trauma tajam dan tumpul adalah dua mekanisme utama terhadap cedera hepar. Kecelakaan kendaraan bermotor menjadi penyebab utama trauma tumpul, sedangkan tusukkan pisau dan luka tembak menjadi penyebab utama trauma tajam.(4) Terdapat dua jenis trauma tumpul hepar yaitu trauma deselerasi (geser) terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh dari ketinggian di mana ada gerakan hepar dalam posisi yang relatif tetap, dengan demikian menghasilkan laserasi kapsul relatif tipis dan parenkim masih dapat difiksasi oleh diafragma. Jenis lain dari trauma tumpul hepar adalah crush injury. Crush injury menyebabkan trauma langsung ke bagian hepar. Trauma ini bersifat deselerasi yang menyebabkan laserasi di bagian posterior dan anterior kanan yang banyak mengandung pembuluh darah besar. Crush injury dapat menyebabkan kerusakan pada bagin sentral hepar dan juga dapat menyebabkan perdarahan di lobus kaudatus. Trauma tumpul dapat menyebabkan kerusakan parenkim hepar dengan kapsul glisson yang masih utuh, hal ini dapat menyebabkan hematoma intraparenchymal atau subkapsular.(5) Luka tembus biasanya berhubungan dengan luka tembak atau tusuk yang mengakibatkan kerusakan jaringan lebih karena efek kavitasi peluru melintasi substansi hepar. Trauma ini biasanya memerlukan tindakan operasi lebih sering dari pada trauma tumpul bila hepar terlibat. (5)

IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI 1. Anatomi Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh. Hepar memiliki banyak fungsi, salah satunya membentuk dan menyekresikan empedu ke 2

dalam tractus intestinalis. Warna coklat kemerah-kemerahan, bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Ukuran transversal kira-kira 20 cm, vertikal 15 cm, dan anteroposterior sebesar 10 cm. Dibungkus oleh kapsula glissoni, dan terletak intraperitoneal.(6,7) Titik tertinggi hepar di bagian kanan setinggi costa V pada linea midclavicularis dexter, sesuai cupula diaphragma dextra,

titik tertinggi di

bagian kirisetinggi ICS 5, 1-2 jari di medialis linea midclavicularis sinister,

Gambar 1. Permukaan anterior dan posterior hepar sesuai cupula diaphragma sinister. Tepi caudalnya mengikuti arcus costarum dexter et sinister. Permukaan hepar luas dan berbatasan dengan organ-organ di sekitarnya. Facies diaphragmatica hepatis, berbatasan dengan diaphragma, dan facies visceralis berbatasan dengan gaster, pars superior duodeni, polus superior ren dexter et sinister, flexura coli dextra, vesica fellea, oesophagus, dan vena cava inferior.(6,7) Hepar dibagi menjadi lobus hepatis dexter yang besar dan lobus hepatis sinister yang kecil oleh perlekatan peritoneale, ligamentum falciforme. Lobus hepatis dexter terbagi lagi menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh porta hepatis.(7)

3

Porta hepatis, atau hilus hepatis, terdapat pada facies visceralis. Pada tempat ini, terdapat ductus hepaticus dexter et sinister, ramus dexter et sinister arteri hepatica propria, venae portae hepatis,kelenjar limfe hepar, serta serabut-serabut saraf simpatis dan parasimpatis.(7)

Gambar 2. Sistem porta Pembuluh-pembuluh darah yang mengalirkan darah ke hepar adalah a. hepatica propria (30%) yang merupakan cabang dari truncus coeliacus, dan vena porta hepatis (70%) yang berasal dari pembuluh darah traktus gastrointestinalis (v. mesenterica superior dan v. lienalis). A. Hepatica propria membawa darah yang kaya oksigen ke hepar, dan vena porta membawa darah yang kaya akan hasil metabolisme pencernaan yang diabsorbsi dari traktus gastrointestinalis. Darah arteri dan vena dialirkan ke

4

vena centralis masing-masing lobuli hepatis melalui sinusoid hepar. Vena sentralis mengalirkan darah ke vena hepatica dextra et sinistra dan venavena ini meninggalkan pars posterior hepar dan bermuara langsung ke dalam vena cava inferior.(7) 2. Fisiologi Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Sirkulasi vena porta yang menyuplai 75% dari suplai asinusn memegang peranan penting dalam fisiologi hati, terutama dalam hal metabolisme karbohidrat, proteindan asam lemak. Fungsi utama hati adalah pembetukan dan eksresi empedu. Hati mengeksresikan empedu sebanyak satu liter per hari k dalam usus halus. Unsur utama empedu adalah air (97%), eektrolit dan gara, empedu. Walaupun bilirubin merupakan hasil

akhir metabolisme dan

secara fisiologis tidak mempunyai peran aktif, tapi penting sebagai indikato rpenyakit hati dansaluran empedu, karena bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan dengannya.(8) Hasil metabolisme monosakarida dari usus halus diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini disuplai glukosa secara konstn ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah menjadi glikogen atau lemak.(8) Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah menghasilkan protein plasma berupa albumin yang diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotic koloid, protrombin, fibrinogen, dan faktor pembekuan lainnya. Fungsi

hati

dalam

metabolisme

lemak

adalah

menghasikan

lipoprotein,kolestrol, fosfolipid, dan asam asetoasetat.(8)

V.

DIAGNOSIS Tanda dan gejala trauma hepar terkait dengan jumlah darah yang hilang, adanya iritasi peritoneal dan nyeri perut kuadran kanan atas. Nyeri alih 5

abdomen juga merupakan gejala umum trauma hepar namun tidak bersifat spesifik. Kadang-kadang pasien trauma tumpul abdomen terlihat baik beberapa saat setelah trauma namun kemudian terjadi abses hepar, mungkin pada saat itu belum ditemukan tanda-tanda kerusakan hepar. Pasien datang dengan tanda dan gejala infeksi yang hebat dan peritonitis berat akibat kebocoran empedu. Adanya tanda-tanda kehilangan darah seperti syok, hipotensi, dan kadar hematokrit yang menurun. Kehilangan darah segar menandakan tidak terjadinya iritasi peritoneal. Untuk penegakkan diagnosis serial pemeriksaan fisik perlu dilakukan secara cermat namun sangat sulit menilai keadaan perut dalam situasi setelah trauma dan semua tanda-tanda fisik dapat meragukan. Mekanisme cedera sangat penting dalam menilai potensi cedera perut. Informasi ini dapat diperoleh dari pasien, kerabat, polisi atau petugas perawatan darurat.(2,9) Setelah penilaian awal, pasien sadar dengan hemodinamik tidak stabil setelah trauma tumpul dan peritonitis general, harus menjalani laparotomy sesegera mungkin. Laparotomi juga diindikasikan pada pasien yang telah menderita luka tusukan ke perut dengan hemodinamik yang tidak stabil. Jika pasien stabil dan curiga hepar mengalami cedera, pemeriksaan penunjang harus dilakukan, walaupun pada pasien trauma hepar dengan hemodinamik stabil dapat ditentukan tahapnya berdasarkan sifat traumanya.(1) Foto x ray berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa alasan. Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal tersebut ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya cedera abdominal terutama cedera hepar dan lien. Fraktur tulang rusuk kanan bawah menunjukkan

kemungkinan

ruptur

hepar

yang

mendasarinya.

Pneumoperitoneum, cedera diafragma besar, dan logam benda asing contohnya peluru dan pecahan peluru dapat diidentifikasi. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera diafragma. Pada keadaan ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan diagnostik pada 27% kasus. Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang terjadi akibat perforasi hollow 6

viscus. Sama dengan fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang ditemukan pada xray pelvis dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera intra-abdominal sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan abdomenpelvis.(3) Ultrasonography (FAST) dapat melakukan evaluasi cepat pada pasien trauma tumpul atau tajam abdomen. FAST besifat murah, portabel dan noninvasif dibandingkan dengan lavage peritoneal dan tidak menggunakan radiasi atau media kontras seperti iodinasi. Sensitifitas FAST terhadap cairan intraabdominal setelah trauma mencapai 75-93,8% dan spesifisitasnya sekitar 97-100%. Cedera di segmen kubah atau lateral hepar susah dinilai dengan USG, terutama adanya ileus atau pada pasien tidak kooperatif akibat nyeri. Laserasi hepar atau hematoma biasanya sulit untuk dibedakan terutama pada fase akut, karena bersifat isoechoic terhadap hepar normal. kegunaan ultrasonografi dengan kontras pada trauma hepar tajam. Hal ini meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas USG dalam mengevaluasi deteksi cairan bebas peritoneal dan visualisasi terhadap laserasi parenkim hepar.(3) Ultrasonogram dapat menunjukkan jumlah lesi traumatik, seperti hematoma, memar, dan hemoperitoneum. Hematoma subkapsular biasanya muncul seperti kumpulan cairan berbentuk lengkung, echogenisitas bervariasi dengan waktu. Awalnya hematoma anechoic, kemudian terjadi perubahan menjadi echogenic dalam 24 jam. Selanjutnya echogenisitas hematoma mulai menurun, dan dalam 4-5 hari hematoma menjadi hypoechoic dan anechoic. Mirip dengan hematoma, memar awalnya hypoechoic selanjutnya transiently hyperechoic dan kemudian hypoechoic. Pola ultrasonografi yang paling umum diamati pada cedera parenkim hepar adalah area hyperechoic yang merata. Namun, gambaran hyperechoic menyebar dan kadang-kadang pola hypoechoic yang merata juga dapat terlihat. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa ultrasonografi dapat menggantikan prosedur invasif lavage peritoneal dalam evaluasi trauma tumpul abdomen. Penegakan diagnosa menggunakan 7

ultrasonografi pada pasien dengan trauma hepar masih diteliti. Keuntungan utamanya adalah dapat digunakan dalam keadaan gawat darurat. Beberapa rumah sakit menggunakan ultrasonografi sebagai pemeriksaan awal. Pasien yang tidak stabil dan terdeteksi memiliki sejumlah besar cairan pada ultrasonograms dapat segera dilakukan operasi. Jika temuan ultrasonografi positif untuk cairan intra-abdomen, CT scan adalah langkah berikutnya. Jika pada ultrasonograms abdomen tidak menunjukkan adanya cairan, pasien diobservasi selama 12 jam. Namun, jika nyeri perut terus berlanjut, selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan CT scan.(3)

Gambar 3. (Kiri)USG Oblique Abdomen menunjukkan akut hepatic hematoma: hyperechoic dibandingkan parenkim. Terdapat subtle extension ke permukaan posterior. (Kanan)USG Oblique Abdomen menunjukkan perubahan lentiform subcapsular hematoma dari isoechoic menjadi hypoechoic.(10)

Gambar 4. (Kiri)USG Oblique Abdomen menunjukkan resolving complex hepatic laceration dengan pemanjangan percabangan ke permukaan posterior. 8

(Kanan) USG Oblique Abdomen menunjukkan permukaan yang irregular hypoechoic organizing hematoma dengan dinding irregular dan internal echoes. (10)

Gambar 5. (Kiri) USG Oblique Abdomen menunjukkan hepatic hematoma dengan extension ke permukaan posterior hepar yang mengonfirmasi sebuah laserasi. (Kanan) USG Oblique Abdomen Transverse CECT menunjukkan hepatic hematoma dengan hypodense rim dan extension ke posterior permukaan hepar. (10)

Computed tomography (CT) adalah baku emas untuk mengevaluasi suspek trauma hepar pada pasien yang stabil. CT memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk mendeteksi cedera hepar pada saat setelah trauma terjadi, dan dapat membedakan hematoma dan laserasi dengan baik. CT dengan kontras, akurat dalam menentukan bagian hepar yang mengalami cedera dan luas cedera hepar serta memberikan informasi tentang tatalaksana pasien. CT intravena tanpa kontras berfungsi menilai derajat cedera hepar, namun juga dapat berguna dalam mengidentifikasi atau menindaklanjuti hemoperitoneum. CT scan akurat dalam menetukan grading cedera hepar dan menilai derajat kuantitas dari hemoperitoneum. CT scan disarankan bagi pasien dengan trauma tumpul cedera yang dimanajemen secara nonoperatif. Hasil positif palsu dalam diagnosis cedera hepar dengan CT scan dapat terjadi akibat adanya artefak dari

9

tulang rusuk berdekatan yang mirip dengan kontusio atau hematoma. Artefak biasanya terlihat saat pasien di CT dalam posisi dekubitus.(3) Temuan negatif palsu dapat terjadi jika fatty liver menyerap kontras. Pada gambar CT, fatty liver yang menyerap kontas bersifat isoattenuating relatif terhadap laserasi atau hematoma. Dalam situasi ini, CT scan non kontras dapat memberikan informasi yang berguna pada cedera hepar. Fokus infiltrasi lemak juga dapat mirip dengan hematoma hepar, laserasi, atau infark. Laserasi hepar dengan pola percabangan mirip unopacified portal atau vena hepatik atau dilatasi saluran empedu intrahepatik. Penting dilakukan evaluasi struktur cabang-cabang intrahepatik dan diagnosis dibuat dengan gambar seri untuk membedakan berbagai struktur.(3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki peran yang terbatas dalam mengevaluasi trauma tumpul abdomen dan memiliki keunggulan yang lebih sedikit dibandingkan CT scan. Secara teoritis MRI dapat digunakan dalam pemantauan tindak lanjut dari pasien dengan trauma tumpul abdomen dan MRI mungkin berguna pada wanita muda dan hamil yang mengalami trauma abdomen untuk mengurangi efek radiasi.(3) Angiography kurang memiliki peran dalam evaluasi pasien yang tidak stabil, namun jika pasien stabil angiography dapat memberikan detail yang cukup untuk mengobati pasien secara konservatif. Angiografi dinamis dapat menunjukkan

lokasi

perdarahan

aktif,

bila

dikombinasikan

dengan

embolisasiangiografi pada trauma hepar grade tinggi merupakan pilihan diagnostik dan treatment utama. (3) Laparoskopi diagnostik dan laparoskopik fibrin glue memiliki hasil yang memuaskanpada pasien trauma abdomen. Manfaat assessment laparoskopi antara lain mengurangi penggunaan negatif laparoskopi non terapeutik, tingkat morbiditas, lama pasien dirawat dan biaya pengobatan. Raphael, dkk mereview 37 studi terhadap 1.900 pasien trauma (termasuk yang dengan trauma liver) dan laparoskopi digunakan sebagai analisis skrining, diagnostik, atau alat terapi 10

dengan kesimpulan bahwa laparoskopi aman dan efektif diterapkan sebagai alat skrining pada pasien trauma abdomen akut dengan keadaan stabil. (3)

VI. KLASIFIKASI LASERASI HEPAR Range trauma hepar mulai dari robekan kecil kapsul dengan atau tanpa cedera parenkim, untuk luas cedera tergantung keterlibatan kedua lobus hepar, vena hepatik atau vena cava inferior. Pada tahun 1989, The Organ Injury Scaling Committee of The American Association for the Surgery of Trauma Produced a Hepatic Injury Scale membagi grade trauma hepar menjadi beberapa kelas seperti pada table 1. Kelas I atau II dikelompokkan dalam cedera ringan yang mewakili 80-90% dari semua kasus dan biasanya membutuhkan tindakan minimal atau pengobatan non operatif. Cedera kelas III-V umumnya dianggap parah dan sering membutuhkan bedah intervensi, sedangkan

cedera

kelas

VI

dianggap

sebagai

bertentangan

dengan

kelangsungan hidup.(11)

Grade I II

III

IV

V

VI

Type of Injury Hematoma Laceration Hematoma Laceration

Description of Injury Subcapsular, < 10% surface area Capsular tear, < 1cm parenchymal depth Subcapsular, 10% to 50% surface area Capsular tear, 1-3cm parenchymal depth and <10cm Length Hematoma Subcapsular, >50% surface area or expanding Laceration Intraparenchymal hematoma > 2cm or expanding Capsular tear, > 3cm parenchymal depth Hematoma Ruptured intraparenchymal hematoma with active Laceration bleeding Parenchymal disruption involving 25-50% of hepatic lobe Laceration Parenchymal disruption involving >50% of hepatic Vascular lobe Juxtahepatic venous injuries Vascular Hepatic avulsion Tabel 1. Klasifikasi Laserasi Hepar (11,12)

11



Grade I

Gambar 6. Gambaran CT Scan Grade I dengan menggunakan kontras menampilkan focal capsular tear pada lobus kanan posterior (13)

Gambar 7. Gambaran CT Scan Grade I(2)

12

Gambar 8. Sketsa CT Scan Grade I(2) 

Grade II

Gambar 9. Gambaran CT Scan Grade II Lateral(2)

13

Gambar 10. Gambaran CT Scan Grade II(13)

Gambar 11. Sketsa CT Scan Grade I(2) 

Grade III

Gambar 12. Gambaran CT Scan Grade III(13)

14

Gambar 13. Gambaran CT Scan Grade III(2)

Gambar 14. Sketsa CT Scan Grade III

15



Grade IV

Gambar 15. Gambaran CT Scan Grade IV(13)

Gambar 16. Sketsa CT Scan Grade IV(2)

Gambar 17. Gambaran CT Scan Grade IV(2)

16

Gambar 18. Gambaran CT Scan Grade IV(13)

Gambar 19. Sketsa CT Scan Grade IV(2)

17



Grade V

Gambar 20. Gambaran CT Scan Grade VI(2)

Gambar 21. Sketsa CT Scan Grade VI(2)

VII. PENATALAKSANAAN 1. Non Operatif Tiga alasan penting mengapa pengobatan non operatif dilakukan yaitu pertama, praktek pengobatan nonoperatif awalnya dianjurkan untuk 18

cedera limpa dan kemudian diperluas ke hepar. Keberhasilan pada anakanak menyebabkan upaya pengobatan nonoperatif dilakukan pada orang dewasa. Kedua, tingginya tingkat operasi non terapi pada banyak pasien dengan hepar tumpul luka tidak dalam kepentingan terbaik pasien. Ketiga, adanya fasilitas CT scan untuk diagnosis dan grading dari cedera. Kriteria untuk Non Operatif Manajemen, yaitu antara lain: a. Hemodinamik stabil b. Tidak adanya peritoneal sign c. Adanya modalitas CT scan d. Monitor ICU e. Fasilitas operasi segera f. Tidak adanya cedera organ lainnya(11) Kriteria ini telah menjadi lebih kompleks ketika non operative management menjadi pilihan dalam manajemen trauma hepar. Tidak ada batas waktu dalam melakukan manajemen non operatif, monitoring secara kontinu merupakan satusatunya kunci manajemen ini sampai pasien dilakukan tindakan operatif. Sebuah studi mengemukakanbahwa semua pasien trauma hepar harus dilakukan manajemen non operatif terlebih dahulu. Namun dijelaskan bahwa manajemen non operatif dengan penambahan angiografi dan embolisasi memberikan hasil yang lebih jauh memuaskan. Tingkat keberhasilan pengobatan nonoperatif sangat tinggi dengan kebutuhan operasi karena perdarahan sekunder hanya mecapai 515%.(11) 2. Operatif a. Damage Control Surgery Langkah pertama manjemen operatif adalah dengan melakuan damage

control

surgery.

Manajemen

ini

bertujuan

untuk

menyelamatkan nyawa pasien dan menghentikan proses perdarahan.

19

Keadaan ini membuat pasien lebih stabil secara hemodinamik dan fisiologissehingga dapat dilakukan pengobatan secara definitif.(11) b. Operasi Definitif Operasi defenitif dilakukan pada pasien yang stabil oleh seorang ahli bedah yang berpengalaman pada tahap kedua pada trauma hepar. Salah satu masalah yang paling umum adalah kebocoran empedu dengan kejadian 6-20% yang terjadi setelah pasien mengalami perbaikan. MRCP atau ERCP merupakan modalitas imaging dalam terhadap kasus tersebut, MRCP bersifat non invasif, namun tidak terlalu sensitive terhadap kasus tersebut. ERCP dianjurkan karena sangat baik dalam mengidentifikasi kebocoran kantung empedu dan dapat melakukan guiding terhadap sphinctrotomy dan pemasangan stent dengan tingkat kesuksesan yang tinggi. (11) Alasan lain melakukan operasi defenitif karena terdapat nekrosis hepar dan pembentukan abses yang terjadi setelah perdarahan berhenti. Nekrosis hepar mungkin meningkat setelah perdarahan berhenti dengan angioembolisasi pada manajemen non operatif atau setelah ligasi arteri dan packing pada operasi definitif. Pilihan terbaik adalah melakukan abses dengan guiding modalitas radilogi. Namun, jika pasien tidak bisa dilakukan operasi drainase dan reseksi hepar untuk mempertahankan jaringan hepar yang sehat dan suplai pembuluh darah maka operasi harus dilakukan oleh ahli bedah hepar yang berpengalaman untuk mendapatkan hasil yang maksimal. (11)

VIII. KOMPLIKASI 1. Non Operatif Komplikasi paling umun dari manajemen non operatif adalah kegagalan manajemen itu sendiri, sehingga pasien harus menjalani operasi defenitif. Keadaan ini terjadi akibat perdarahan berlangsung secara terus20

menerus dan tidak bisa berhenti. Rentang tingkat kegagalan manajemen non operatif mencapai 6-10% terutama ketika manajemen ini dikombinasikan embolisasi arteri rasio insidensi risiko nekrosis hepar menjadi lebih tinggi. Komplikasi trauma hepar umumnya tidak timbul saat kejadian setelah trauma, kemudian muncul setelah beberapa waktu kemudian karena proses delayed hemorahge.(3) 2. Operatif Perdarahan ulang pada periode pasca operasi adalah masalah yang menantang. Tertunda perdarahan adalah komplikasi yang paling umum dari manajemen non-operatif cedera hepar dan indikasi biasa untuk operasi tertunda. Koagulopati, tidak memadai awal bedah perbaikan dan merindukan cedera vena retrohepatic dapat mengakibatkan perdarahan lebih lanjut.dikonfirmasi cacat koagulasi harus diperbaiki secepat mungkin dengan fresh frozen plasma dan transfusi trombosit. (3) Beberapa penulis merekomendasikan operasi ulang setelah transfusi 10 unit darah dalam 24 jam. Namun batas 6 unit di pertama 12 jam tampaknya lebih masuk akal. Dalam kasus dengan perdarahan lambat ketika batas 6 unit belum terlampaui, embolisasi dari pembuluh darah dapat membantu. Beberapa kapal perdarahan biasanya penyebab kegagalan karena lesi vaskular distal ke daerah embolisasi dengan sirkulasi kolateral yang kaya, atau perdarahan dari portal atau vena hepatika. (3) Komplikasi terlambat seperti sepsis, empedu kebocoran dan gagal hepar terjadi pada tahap berikutnya. Intra-abdomen sepsis pada periode pasca operasi terjadi pada sekitar 7-12 persen pasien. Faktor predisposisi termasuk adanya shock dan peningkatan kebutuhan transfusi, peningkatan keparahan luka hepar, terkait cedera seperti usus kecil atau perforasi kolon, penggunaan kemasan perihepatik, penjahitan laserasi dangkal mendalam dengan intrahepatik pembentukan hematoma, dan adanya parenkim devitalized. Memadai awal bedah manajemen dalam upaya untuk 21

mengurangi kebutuhan transfusi, dengan

debridement dari semua

devitalized jaringan dan penghapusan awal paket perihepatik, telah direkomendasikan untuk mengurangi kejadian komplikasi septik. (3) Fistula arteriovenosa bukan merupakan komplikasi jarang dengan kejadian kurang dari 3%.Saya t dapat mewujudkan setelah cedera hepar sebagai fistula arterioportal yang dapat mengakibatkan hipertensi portal dan biasanya diobati dengan embolisasi. (3)

IX. PROGNOSIS Hasil Tingkat kematian dari trauma hepar telah jatuh dari 66 persen dalam Perang Dunia I, untuk 27 per persen dalam Perang Dunia II, tingkat saat ini 10-15 persen. Pengetahuan yang lebih baik mengenai patofisiologi hepar dan anatomi, dan ditingkatkan resusitasi, anestesi dan intensif perawatan, telah memberikan kontribusi untuk perbaikan ini. dibandingkan hasil untuk kelas cedera. Mortalitas keseluruhan adalah 12%, terutama dengan hepar yang sangat baik.(3) Mekanisme cedera memiliki pengaruh penting pada angka kematian dengan tumpul trauma tercatat tingkat yang lebih tinggi kematian (10-30 persen) dari trauma tembus liver (0-10 per persen). Sementara sebagian besar kematian dini pada pasien dengan trauma hepar tampaknya karena perdarahan yang tidak terkontrol dan cedera terkait, kebanyakan kematian akhir hasil dari cedera kepala dan sepsis dengan kegagalan organ multiple.(3)

22

DAFTAR PUSTAKA 1. Yu W, et.al. Treatment Strategy for Hepatic Trauma. Chinese Journal of Traumatology 19:(2016):168e-71. 2. Khan

AN,

Vadeyar

H.

Liver

Trauma

Imaging.

Avaliable

at:

http://emedicine.medscape.com/article/370508-overview. Access on: 2017, 17th August. 3. All-Jiffry

BO,

AlMalki

O.

Hepatic

Trauma.

Avaliable

at:

http://creativecommons.org/licenses/by/3.0. Access on: 2017, 17th August. 4. Sadro

C.

Laceration.

Avaliable

http://liveratlas.com/diagnosis/109/information/.

Access

on:

at: 2017,

17th

August. 5. Badger SA, et.al. Management of Liver Trauma. World J Surg (2009) 33:2522–2537. 6. Bagian

Anatomi

FK

Unhas.

Buku

Ajar

Anatomi

Biomedik

II.

Makassar:Universitas Hasanuddin. 7. Snell RS. Anatomi Klinis. Jakarta: EGC; 2011: 722-727. 8. Amiruddin R. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keenam. Jakarta: Interna Publishing; 2012: 1929-1930. 9. Paterson B. Core topics in general and emergency surgery. 3rd ed.: Elsevier; 2005. 10. Ahuja AT. Diagnostic Imaging Ultrasound. Amirsys; 2007:60-63(1) 11. Beardsley C, Gananadha S. An overview of liver trauma. MSJA. 2011 June; 3(1). 12. Knipe

H,

Gaillard

F.

AAST

Liver

Injury

Scale.

Avaliable

at:

https://radiopaedia.org/articles/aast-liver-injury-scale. Access on: 2017, 17th August.

23

13. Yoon

W,

et.al.

CT

in

Blunt

Liver

Trauma.

Avaliable

at:

http://www.rsna.org/education/rg_cme.html. Access on: 2017, 17th August.

24

Related Documents

Amal
October 2019 41
Amal
November 2019 37
Amal
October 2019 32
Amal Yaumi
April 2020 24

More Documents from "kastoto"