REFERAT HIPOKSIA ISKEMIK ENSEFALOPATI
Pembimbing: dr. Meiriani Sari, Msc, SpA
Penyusun: Rana Rick Winotho G 406171002
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT SUMBER WARAS PERIODE 13 AGUSTUS 2018 – 21 OKTOBER 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA JAKARTA 1
BAB 1 PENDAHULUAN Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau neonatus mengalami kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul laktik asidosis. Pengaruh hipoksia dan iskemia tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih. Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia.1-7 Asfiksia dapat terjadi pada waktu pre, peri dan postnatal.1-7
American Academy of Pediatrics (AAP) and the
American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) membuat definisi asfiksia perinatal sebagai berikut: (1) adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH<7.00) pada darah umbilikus atau analisa gas darah arteri apabila fasilitas tersedia; (2) adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit; (3) manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati hipoksik iskemik; dan (4) adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal.8 Tidak ada satu tes darah yang spesifik untuk mendiagnosis asfiksia perinatal.4 Nilai yang pasti untuk menentukan adanya asidemia yang merusak organ tidak diketahui dengan pasti. Pada pH<7.0 secara klinis menimbulkan asidosis, tetapi belum pasti cedera hipoksik telah terjadi. Nilai apgar berguna untuk menilai status keadaan bayi baru lahir, tetapi nilai apgar saja adalah paramater yang tidak dapat menentukan adanya asfiksia.8 Nilai apgar saja menurut AAP/ACOG tidak bisa digunakan sebagai bukti bahwa kerusakan neurologi karena hipoksia yang diakibatkan cedera saraf atau penatalaksanaan intrapartum yang tidak optimal.8 Istilah ensefalopati hipoksik iskemik perinatal sering ditulis ensefalopati hipoksik iskemik, sehingga istilah ensefalopati hipoksik iskemik lebih banyak digunakan dan dikenal orang.1-7 Ensefalopati adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi di mana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.1-5 Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium 2
yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.1-6 Diagnosis ensefalopati
hipoksik
iskemik
dibuat
berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik.1-3 Semua pemeriksaan dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang terjadi dan memonitor fungsi dari organ sistemik lainnya.1-7
3
BAB II ISI
2.1 Definisi Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi oksigen dalam darah arteri. Iskemia adalah istilah yang menggambarkan penurunan aliran darah ke sel atau organ (perfusi) yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ tersebut.1 Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau neonatus mengalami hipoksia dan atau iskemia ke berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul asidosis. Pengaruh hipoksia dan iskemia tidak sama, tetapi keduanya berhubungan erat saling tumpang tindih. Kedua faktor tersebut menyebabkan asfiksia. Ensefalopati sendiri adalah istilah klinis tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.10 Hipoksik iskemik Ensefalopati perinatal (HIE) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.1-6 Hipoksik iskemik Ensefalopati merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental Diagnosis HIE dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis HIE. Semua pemeriksaan dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang terjadi dan memonitor fungsi dari organ sistemik lainnya.2 2.2 Epidemiologi Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,0- 1,5% bayi lahir hidup.1 Insiden semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir.17
Insiden HIE di Amerika Serikat terjadi pada 2-9 per 1000 bayi aterm yang
lahir hidup.1 Angka kejadian di negara berkembang per 1.000 bayi aterm lahir 4
hidup, Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265,3 di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya 12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita asfiksia9 Angka kematiannya tinggi sekitar 50%, angka kecacatan berhubungan dengan beratnya penyakit10 Anggapan bahwa penyebab utama CP dan kemunduran mental karena asfiksia perinatal adalah tidak benar, hanya 8,2% kasus CP yang terbukti karena asfiksia perinatal1-4 Penanganan yang utama adalah pencegahan karena tidak ada satupun obat yang dapat memperbaiki sel syaraf yang telah mati1-7 Di samping mengatasi kejang, pengobatan suportif dengan resusitasi dan penanganan organ lainnya yang mengalami kelainan sangat diperlukan1-7,11,12. Saat ini sedang dilakukan penelitian pemberian obat neuroprotektif untuk mencegah atau mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.1-7 Penanganan harus cepat, tepat dan adekuat1-11
2.3 Etiologi Bermacam-macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu1-4: 1)gangguan oksigenasi pada ibu hamil, 2)penurunan aliran darah dari ibu ke plasenta atau dari plasenta ke fetus, 3)gangguan pertukaran gas yang melalui plasenta atau fetus, 4)peningkatan kebutuhan fetal oksigen. Faktor resiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor maternal, plasenta-tali pusat dan fetus/neonatus:1-3 -
Kelainan
maternal: hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug
abuse, penyakit jantung, paru, dan susunan syaraf pusat, hipotensi, infeksi, ruptura uteri, tetani uteri, panggul sempit. -
Kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah umbilikus
-
Kelainan fetus atau neonatus: anemia, perdarahan, hidrops, infeksi,
pertumbuhan
janin terhambat (intrauterine growth
retardation), serotinus.
5
2.4 Patogenesis Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan pada dewasa.1-2 Hal ini dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus berusaha mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi) dari paru-paru, gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot, dan kulit, menuju ke otak, jantung, dan adrenal (diving reflex). Pada fetal distress maka peristaltik usus meningkat, spinchter ani terbuka, mekonium akan keluar bercampur dengan air ketuban, skuama, lanugo, akan masuk ke trakea dan paruparu, sehingga tubuhnya berwarna hijau dan atau kekuningan. Kombinasi antara fetal hypoxia yang kronis dengan cedera hipoksik iskemik akut setelah lahir mengakibatkan kelainan neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya. Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun, meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak, meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut dengan hipoksia yang berat, dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, curah jantung yang menurun, dan menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan energi. Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek, maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik, maka asam laktat akan dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan perfusi. Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif serebral sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan proses glikolisis anaerobik tidak efektif dan produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya asidosis yang disertai dengan menurunnya glikolisis, hilangnya autoregulasi serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung, menyebabkan iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada setiap jaringan. Cadangan glukosa menjadi berkurang, cadangan energi berkurang, dan timbunan asam laktat meningkat. Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun, dan adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari oksidasi fosforisasi dan produksi ATP menurun. Karena 6
kekurangan energi, maka ion pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+, glutamat, dan aspartate ekstraseluler.1,2 Mekanisme kerusakan tingkat seluler pada neonatus yang mengalami asfiksia sekarang masih dalam penelitian.1 Teori yang dianut kematian sel otak melalui proses apoptotis dan nekrosis, tergantung perjalanan prosesnya akut atau kronis, lokasi, dan stadium perkembangan parensim otak yang cedera.1, 2 Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik ditandai dengan sekelompok sel neuron edema, disentegrasi dari membran, pecahnya sel, isi sel tumpah ke rongga ekstraselular yang memberikan reaksi inflamasi dan fagositosis. Apoptosis terjadi pada sel individu, sel mengerut/mengecil, kromatin kelihatan
piknotik,
membran
sel
membentuk
gelembung-gelembung
(“blebbing”), inti sel berfragmentasi dan sel terbelah-belah dengan masingmasing pecahan (yang mengandung pecahan nukleus dan organella) terbungkus oleh membran sel yang utuh, ini disebut “apoptotic bodies”. Apoptotic bodies ini kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag ataupun sel sekitarnya. Kematian sel nekrotik terjadi segera setelah adanya injury (immediately cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang mature. Sebaliknya kematian sel apoptotic terjadinya lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang immature.2
Nekrosis2 Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx Ca2+ ke dalam sel dan ekspresi gluatamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh hilangnya keseimbangan potensial membran dan terbukanya saluran ion yang “voltage-dependent” (VDCC = Voltage Dependent Calcium Channels). Metabolisme glukosa beralih ke proses yang anaerobik, ATP terkuras dan terjadinya lactic acidosis. Glutamat memicu reseptor NMDA (N-Methyl-DAspartate) dengan efek membuka reseptor tersebut untuk Ca2+ masuk. Ion Calcium yang masuk di dalam neuron mengaktifkan enzim-enzim seperti protease, lipase, endonuclease dan berakibat pada fosfolipid sebagai konstituen sel membran. Terjadi mobilisasi asam arakidonat yang diproses oleh lipoksigenase 7
dan siklo-oksigenase dalam sitosol menjadi leukotrienes, prostaglandin dan tromboksan. Proses ini diserta pelepasan radikal oksigen bebas yang berakibat terjadinya proses peroksidasi membran sel yang kemudian pecah dan isi sel mengalir keluar. Neuron mengalami kematian akibat nekrosis. Proses peroksidasi diperberat dengan terbentuknya NO (nitric oxide) sebagai akibat enzim Nitric Oxide Syntase diaktifkan oleh kadar ion Ca2+ intra-selullar yang meningkat tajam, NO dengan radikal oksigen bebas membentuk peroksinitrit suatu senyawa yang sangat reaktif (merusak) karena memacu proses peroksidasi lipid. Reaksi peradangan dan ekspresi sitkin pro-inflamasi berakibat mobilisasi lekosit polymorphonuclear dan timbulnya intercellular adhesion molecules (ICAM), lekosit beraggregasi di dinding
kapiler dan efek menyumbat ini
berakibat no-reflow phenomena yang menyebabkan secondary ischemia. Proses reperfusi yang terjadi spontan maupun karena upaya terapetik membuat pembentukan radikal oksigen bebas (Reactive Oxygen Species = ROS) meningkat karena pengaliran kembali darah ke jaringan di mana taraf ekstraksi oksigen sudah meningkat tajam. Kedua hal ini menyebabkan meningkatnya kerusakan jaringan yang dikenal sebagai “reperfusion injury”. Apoptosis2 Influx Ca2+ berakibat mitokondria menjadi “overloaded” dalam usaha mengatasi influx tersebut, terjadi kegagalan metabolik pada mitokondria. Akibatnya cytocrome-c bocor dari ruang intermembran mitokondria dan berikatan membentuk suatu kompleks dengan apaf-1 (Apoptotic Protease Activating Factor) dan pro-caspase9, yang disebut: “Apoptosome”. Apoptosome mengaktifkan caspase (Cysteine aspartic acid-specific protease)9, yang selanjutnya mengaktifkan pro-caspase3 menjadi caspase3 yang aktif. Caspase 8 dan 9 adalah “initiator caspase” sedangkan caspase 3,6, dan 7 disebut “effector caspases” karena mengeksekusi proses apoptosis, yaitu merombak enzim, unsur protein rangka sel (ßl-actin, lamins, fodrin, dan lain-lain), ICAD (Inhibitor of Caspase Activated DNAse) yang berakibat DNAse menjadi aktif dan merusak DNA nukleus dan protein-protein lainnya yang terlibat dalam regulasi 8
(ketahanan) “survival” sel seperti Bcl-2, Bcl- xL, phospholipase A2, dan protein kinase Co, hingga akhirnya mengakibatkan apoptosis, atau sering juga disebut: “programmed Cell Death”. Bcl-2, Bcl-xL, Bax, Bid, dan Bad adalah protein yang tergolong “Bcl2-family” dan bersifat pro-apoptotik (Bax, Bid, dan Bad) dan anti-apoptotik (Bcl-2, Bcl-xL). Bax dan Bid mengakibatkan terjadinya Permeability Transition Pore (PTP) pada membran luar mitokondria sehingga cytochrome-c bisa bocor keluar dengan akibat apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-xL mencegah terjadinya PTP ini. Bax bisa bekerja dengan membuat saluran untuk Ca atau meningkatkan Bcl-2 sehingga efek anti-apoptotik Bcl-2 terhalang, demikian pula Bad mengikat Bcl-xL. Kerusakan pada DNA terjadi karena antara lain: AIF (Apoptosis Inducing Factor) yang berasal
dari
ruang
intermembran mitokondria, bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan kerusakan, aktifnya endonucleases seperti Endonuclease G, PARP (Poly-ADP Ribose Polymerase) memicu kematian sel melalui apoptosis dengan menempuh berbagai jalur. Salah satu jalur melibatkan (protein) reseptor CD95 atau FAS receptor (yang tergabung dalam TNF receptor family) beserta Fas ligand, yang disebut TRAIL (TNF Receptor Apoptosis Inducing Ligand) yang membentuk jalur menuju apoptosis yang disebut jalur ekstrinsik atau juga “Death Receptor Pathway”. Dibedakan dengan jalur mitokondria yang disebut jalur intrinsik, keduanya melibatkan caspase. Disamping itu masih ada satu jalur yang tidak melibatkan caspase, dinamakan: “Caspase- independent Pathway” yang dipicu oleh keluarnya AIF dari mitokondria, dan karena pengaruh aktivasi PARP bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan fragmentasi DNA, diikuti apoptotic death.
2.5 Manifestasi klinis Ensefalopati hipoksik iskemik adalah merupakan sindroma dengan manifestasi klinisnya mulai dari yang ringan sampai yang berat.1,3,6 Sarnat dan Sarnat membagi ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus yang umur kehamilannya >36 minggu.10 American Medical Association pada tahun 1976 menerbitkan modifikasi pembagian ensefalopati hipoksik iskemik menurut Sarnat 9
dan Sarnat pada bayi aterm yang sampai sekarang masih dipergunakan.6 Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3
(Ringan)
(Sedang)
(Berat)
Tanda Klinis Tingkat kesadaran
Hyperalert/irritable Letargi
Stupor, koma
Tonus otot
Normal
Hipotonik
Flacid
Postur
Normal
Flexi
Decerebrate
Reflek tendon/klonus
Hiperaktif
Hiperaktif
Tidak ada
Mioklonus
Tampak
Tampak
Tidak tampak
Reflek moro
Kuat
Lemah
Tidak ada Tidak sama, reflek
Pupil
Midriasis
Miosis
cahaya lemah
Kejang
Tidak ada
Sering
Deserebrasi
Voltase rendah sampai
Burst suppression
EEG
Normal
bangkitan kejang
ke isoelektrik
Lamanya
<24 jam
24 jam sampai 14 hari
Beberapa hari - minggu
Hasil
Baik
Bervariasi
Meninggal atau cacat berat
Tabel 1. Pembagian ensefalopati hipoksik iskemik pada bayi aterm.6 (Dikutip dari Stoll BJ, Kliegman RM..Nervous System Disorders. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 55968).
Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ yaitu: otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna, dan sumsum tulang.1-7 Didapatkan satu atau lebih organ yang mengalami kelainan pada 82% kasus asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling sering terkena (72%), ginjal 42% kasus, jantung 29%, gastrointestinal 29%, paru-paru 26%.13 Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah sebagai berikut: 1-7, 13, 14
10
1.
Ginjal Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Waspadailah kemungkinan timbul acute tubular necrosis (ATN), dan gagal ginjal akut.
2.
Sistem kardiovaskuler Hipotensi, tricuspid insufficiency, nekrosis, iskemik miokardial, disfungsi ventrikuler, syok, gagal jantung congesif
3.
Paru Edema paru-paru, pendarahan paru-paru (shock lung), respiratory distress
syndrome, meconeal aspiration syndrome, dan persistent
pulmonary hypertension. 4.
Sistem saluran cerna Fungsional intestinal obstruction, paralytic ileus, ulkus, perforasi atau necrotizing enterocolitis.
5.
Metabolik Asidosis,
hipoglikemi,
hipokalsemi,
hiponatremi,
syndrome
of
inappropriate antidiuretic hormone (SIADH), 6.
Hepar Gangguan fungsi liver, pembekuan darah, metabolisme bilirubin, albumin dan shock liver.
7.
Hematologi Pendarahan-pendarahan, disseminated intravascular coagulation (DIC).
8.
Kematian otak (brain death). Belum ada kesepakatan umum yang mendefinisikan kematian otak pada neonatus, apalagi pada neonatus yang umurnya <7 hari.1-7 AAP membuat kriteria diagnosa kematian otak pada bayi yang umurnya >7 hari pada bayi aterm dan prematur dengan umur kehamilan >32 minggu sebagai berikut:15 a. Apnea dan koma: tidak responsif terhadap nyeri, rangsangan sinar/penglihatan. b. Hilangnya reflek batang otak (dilatasi pupil yang tidak ada respon terhadap rangsangan sinar, hilangnya gerakan spontan mata, 11
hilangnya
gerakan
otot
bulbar termasuk
otot
facial
dan
oropharyngeal, reflek kornea, batuk, menghisap, dan rooting, hilangnya gerakan pernapasan di mana penderita tanpa respirator). c. Penderita tidak hipotermi maupun hipotensi. d. Tonusnya flacid dan hilangnya gerakan spontan atau rangsangan. e. Observasi 2 kali pemeriksaan klinis dan EEG dalam waktu 48 jam Rekomendasi yang spesifik pada bayi umur <7 hari tidak ada karena tidak adanya data. Ada perbedaan yang mendasar antara evolusi kematian otak pada neonatus dan bayi yang umurnya lebih tua. Pada neonatus struktur suturanya paten dan fontanela yang masih terbuka membuat tidak terjadinya kenaikan tekanan intrakarnial dan menurunnya perfusi serebral. Reflek batang otak dan apnea yang dipakai sebagai dasar klinis untuk menentukan kematian otak sulit dievaluasi pada neonatus yang umur kehamilannya <32 minggu.16 Kriteria klinis 2 hari pada neonatus aterm dan 3 hari pada bayi prematur untuk memprediksi adanya kematian batang otak masih menjadi perdebatan.1,3-7 Sebetulnya untuk menentukan kematian otak pada neonatus diperlukan pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan EEG dan atau isotop aliran darah otak.1,3 Peranan EEG untuk menentukan kematian otak pada neonatus masih belum jelas.2 Tidak adanya cerebral blood flow pada radionuclide scans dan aktivitas elektrik pada EEG adalah tidak konsisten didapatkan pada neonatus yang secara klinis mengalami kematian otak.1 Diagnosis kematian batang otak pada pada neonatus cukup berdasarkan klinis di mana penyebab koma sudah diketahui dan semua pengaruh obat-obatan dan keadaan yang bersifat reversibel sudah disingkirkan.16 Jika secara klinis tidak ada perubahan selama 24 jam, maka dapat dibuat diagnosis kematian batang otak.16 Pada neonatus, sebagai tambahan petunjuk klinis kematian otak adalah fixed heart rate tanpa deselerasi atau akselerasi.1, 2
2.5 Diagnosa Banding Perlu dipikirkan penyakit atau keadaan lain yang manifestasi klinisnya berupa neonatal ensefalopati, yaitu:1-7 1)Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan, 2) Infeksi virus, sepsis atau 12
meningitis, 3) Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru, 4)Penyakit neuromuskular, 4)Trauma persalinan, 5) Kelainan metabolisme bawaan. Hal ini perlu dikomunikasikan kepada orang tua. Kalau neonatus nilai apgarnya rendah, beritahu pada keluarganya kalau bayinya nilai apgarnya rendah atau bayi dalam keadaan jelek, hindari kata-kata asfiksia sebelum penyebab asfiksia diketahui.3 Sebaliknya kalau nilai apgarnya baik jangan katakan bayinya dalam keadaan baik, tetapi katakanlah nilai apgarnya baik, bayi ini masih dalam masa transisi kehidupan intrauterine ke ekstrauterine antara 6 sampai 72 jam pertama.1,3
2.5 Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik. Pemeriksaan laboratorium dikerjakan untuk memonitor fungsi maupun kelainan organ sistemik dan cedera otak.1-7 Pemeriksaan antara lain: 1.
Pemeriksaan darah lengkap.
2.
Gula darah.
3.
Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
4.
Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg).
5.
BUN dan serum kreatinin.
6.
Faal pembekuan darah.
7.
Faal hati.
8.
Analisa gas darah.
9.
Foto torak.
10.
Pungsi lumbal dikerjakan untuk mendeteksi kemungkinan adanya pendarahan intrakarnial atau menyingkirkan adanya meningitis.2,7
11.
Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan prognosis penderita.2,3,4
12.
Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan ultrasonografi kepala sangat membantu pada bayi yang prematur. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya <30 minggu, minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14 hari, dan diperiksa kembali pada umur kronologisnya 36-40 minggu. Cara ini dapat 13
mengidentifikasi pendarahan intraventrikuler dan necrosis basal ganglia dan thalamus.4-5 13.
Computed tomography (CT) scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami cedera hipoksik iskemik biasanya dilakukan pemeriksaan CT scan kepala pada usia 2-5 hari, di mana pada waktu tersebut timbul edema cerebri yang maksimal. Proses perdarahan akut dan klasifikasi intrakranial akan lebih baik divisualisasi dengan pemeriksaan CT scan dibandingkan dengan pemeriksaan MRI. Pada bayi prematur yang mengalami hypoxic ischemic injury, pemeriksaan dengan CT scan kepala kurang memberikan hasil yang memuaskan karena pada bayi prematur struktur jaringan otaknya masih imatur dan lebih banyak mengandung cairan.2,4, 5
14.
Magnetic resonance imaging (MRI) kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi bayi prematur maupun aterm yang mengalami cedera hipoksik iskemik yang mungkin tidak bisa divisualisasi dengan cara neuro imaging lainnya. Jika pemeriksaan CT scan telah dilakukan dan tidak menghasilkan kesimpulan, maka MRI dikerjakan antara umur 2-10 hari. Tetapi karena kesulitan teknik, membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemeriksaan dan sulitnya monitoring bayi yang mengalami cedera hipoksik iskemik, maka penggunaannya dibatasi.2, 4, 5
2.6 Penatalaksanaan A.
Upaya yang optimal adalah pencegahan.1-7 Tujuan utama,
yaitu
mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai resiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga persalinannya. B.
Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan atau ensefalopati hipoksik iskemik.1-7 1.
Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2 dalam kadar yang fisiologis. Hypercarbia akan menyebabkan acidosis cerebral dan vasodilatasi pembuluh darah cerebral yang menyebabkan aliran perfusi pada daerah yang tidak terkena menjadi meningkat 14
dengan relatif iskemia merusak jaringan tersebut (steal phenomenon) memperluas infark, dan menimbulkan pendarahan intrakranial. Sebaliknya hipokarbia (Paco2 < 20-25 mm Hg) akan menyebabkan menurunnya aliran darah otak dengan akibat ischemic injury. 2.
Oksigenasi yang adekuat. Hypoxia akan menyebabkan pressure-passive circulation dan neuronal injury yang disebabkan karena adanya gangguan autoregulasi vaskuler serebral. Sebaliknya hyperoxia akan menyebabkan neuronal injury karena berkurangnya aliran darah otak dan
adanya
retinopathy
perubahan
vaso-obliterative
of prematurity.
Di
samping
yang itu,
menyebabkan
hyperoxia
akan
menyebabkan kerusakan jaringan bertambah berat karena adanya peningkatan radikal bebas. 3.
Perfusi yang adekuat. Mempertahankan tekanan darah arterial dalam batas normal sesuai dengan umur kehamilan dan beratnya. Jika terlalu rendah akan menyebabkan iskemik, bila terlalu
tinggi
akan
menyebabkan
matrix
dan
pendarahan
pada
daerah
germinal
intraventrikular pada bayi prematur. Hindarilah hematrocrit lebih dari 65% (hiperviskositas) yang dapat menyebabkan menurunnya cerebral blood flow velocity dan timbul ischemic dan pendarahan dengan gejala-gejala klinis neurologi kejang, letargi, atau apnea. 4.
Koreksi
asidosis
metabolik.
Tujuan
utama
untuk
memelihara
keseimbangan asam basa dalam jaringan tetap normal. Perfuse or lose gunakan
bikarbonat
hanya
bila
resusitasi
kardiopulmonar
berkepanjangan dan bayi tidak ada respon serta ventilasi sudah baik. Diberikan NaBic 4,2% dosis 1-2 mEq/Kg BB atau 2 ml/Kg BB. Penggunaan bikarbonat mungkin menyebabkan hypercarbia dan asidosis intraselular dan meningkatnya asam laktat. 5.
Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL, untuk menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak. Hindarilah
hyperglycemia
untuk
mencegah hyperosmolality dan 15
kemungkinan meningkatnya kadar asam laktat dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan edema cerebri dan mengganggu autoregulasi vaskuler sehingga timbul pendarahan. Bila kadar glukosa rendah dapat menimbulkan neuronal injury dan memperluas daerah yang mengalami infark. 6.
Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal. Hypocalcemia adalah suatu kelainan elektrolit yang sering dijumpai pada sindroma postasfiksia neonatal dengan gejala kejang. Diberikan Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2 ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan secara intravena dalam waktu 5 menit.
7.
Atasi kejang. Bila ada kejang maka phenobarbital adalah obat pilihan.1-7, 11, 12
Dosis 20 mg/kg diberikan iv dalam 10-15 menit.1-7 Dosis ini dapat
mencapai kadar dalam darah 20 g/ml. Sayangnya di Indonesia belum tersedia preparat phenobarbital yang diberikan intravena. Phenobarbital dapat diberikan secara intramuskuler.2
Dosis intramuskuler yang
diberikan adalah 10-15% lebih tinggi dari pemberian intravena.2 Jika kejangnya hilang diberikan dengan dosis rumatan 3-4 mg/kg BB/hari dengan selisih waktu 12 jam kemudian.1, 2 Secara teoritis, bila penderita masih kejang dapat diberikan tambahan phenobarbital dengan dosis 5 mg/kg BB setiap 5 menit sampai kejang berhenti, atau sampai dosis 40 mg/kg BB sudah tercapai. Tetapi kenyataannya pada neonatus yang mengalami asfiksia di mana telah mendapatkan phenobarbital dosis 20 mg/kg BB akan menyebabkan ngantuk dan sulit menganalisa neorologisnya. Oleh karena itu apabila neonatus yang mengalami asfiksia dan kejang yang telah diberikan phenobarbital dosis sampai 20 mg/kg BB tidak memberikan respon, maka diberikan fenitoin dengan dosis 20 mg/kg BB intravena dalam waktu 30 menit atau 1 mg/kg BB/menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 5-10 mg/kg/BB/hari diberikan setiap 8 jam.2 Perlu diperhatikan obat harus masuk dalam intravena karena pH larutannya 12 sehingga menyebabkan vena perifer mudah pecah. Di samping itu perlu diwaspadai kemungkinan timbulnya kardiak aritmia.2 Pada umumnya 16
dengan pengobatan kombinasi penobarbital dengan fenitoin maka 85% kejang dapat diatasi. Bila tetap kejang maka diberikan lorazepam.2 Lorazepam adalah suatu anti convulsan golongan benzodiazepim diberikan dengan dosis 0,05-0,10 mg/kg BB intravena dalam waktu beberapa menit. Dengan pengobatan ini, 95-100% kejang akan berhenti.2 Keuntungan lorazepam efek sampingnya terhadap depresi pernafasan dan hipotensi lebih ringan dibandingkan diazepam. Disamping itu pengeluarannya dari jaringan otak lebih lambat, tetapi preparat ini belum tersedia di Indonesia. Pemberian diazepam pada asfiksia perinatal yang mengalami kejang tidak begitu disukai apalagi dikombinasikan dengan
pemberian
phenobarbital.1,
diazepam dalam beberapa
3
Secara
menit sudah
teoritis, pemberian
dikeluarkan
dari otak,
menyebabkan depresi kardio pulmonar apabila dikombinasikan dengan phenobarbital, adanya Na-benzoate sebagai vehikulum akan terjadi kompetitif inhibitor terhadap ikatan kompleks albumin bilirubin sehingga bayi menjadi ikterus.2 Tetapi kenyataannya masih dapat diberikan pada neonatus yang mengalami asfiksia berat dengan dosis 0,3 mg/kg BB/jam secara continous infusion.2 Pemberian obat antikonvulsan dapat menghentikan kejang secara klinis, tetapi belum tentu menghilangkan kejang elektrografik.1,
2
Jadi hilangnya kejang secara klinis belum
menunjukkan keberhasilan pengobatan.2 Perlu dilakukan pemeriksaan EEG.1-7 Bila saat pulang pemeriksaan EEG normal maka antikonvulsan diberhentikan.
Jika
EEG
saat pulang
masih
abnormal,
terapi
antikonvulsan phenobarbital 3-4 mg/kg/hari dilanjutkan 1 bulan,
jika
menggunakan
antikonvulsan
fenitoin,
maka
dosis
rumatannya 3-4 mg/kg/hari. Apabila pemeriksaan EEG setelah 1 bulan normal, pengobatan dihentikan, tetapi bila hasil pemeriksaan EEG tetap abnormal, terapi dilanjutkan sampai 3 bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan EEG lagi. Bila pemeriksaan EEG tetap abnormal, terapi dilanjutkan sampai umur 1 tahun.2 8. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah 17
timbulnya edema cerebri dengan cara mencegah overload dari cairan. Restriksi cairan dengan pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah bayi kemungkinan timbul SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Deuretic Hormon). Penggunaan glucocorticoids dan osmotic agents tidak direkomendasikan.1-7, 11, 12 C.
Pengobatan potensial untuk mencegah kematian saraf secara lambat (delayed neural death).1-7 Secara estimasi, ada celah waktu (window of opportunity) 6-12 jam untuk mengurangi atau mencegah kerusakan otak pada neonatus yang timbul asfiksia dengan cara memberikan suatu neuroprotektif.2, 4 Mencegah otak dari kerusakan tergantung dari status dasar otak fetus. Banyak cara yang masih dalam penelitian, antara lain:1-7 1. Mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dengan memberikan allopurinol, superoxide dismutase, vitamin E, resusitasi dengan udara ruangan.1-5, 7 2. Hipotermi. Dengan cara selective head cooling, atau mild systemic hypothermia, atau selective head cooling dan mild systemic hypothermia dapat mencegah kerusakan otak17-20 dengan cara:2 a.
Mengurangi proses metabolisme dan energi yang hilang.
b.
Mengurangi pelepasan glutamat (excitatory transmitter).
c.
Mengurangi ion Ca yang masuk dalam sel.
d.
Menghambat produksi radikal bebas dan sintesis nitric oxide.
3. Pemberian phenobarbital sebelum kejang dosis 40 mg/kg BB intravena dalam waktu 1 jam.21 4. Ca2+ channel blockers.1-7 5. Magnesium sulfat.1-7 Saat ini, di antara beberapa macam cara pengobatan di atas, yang banyak menjadi perhatian untuk penelitian, yaitu dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dan hipotermi yang titik kerjanya di beberapa 18
tempat.1-2 Saat ini, di antara beberapa macam cara pengobatan di atas, yang banyak menjadi perhatian untuk penelitian, yaitu dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang berlebihan dan hipotermi yang titik kerjanya di beberapa tempat.1-2 D. Pengobatan supportive untuk organ-organ lainnya yang mengalami kelainan. Pada asfiksia perinatal pada umumnya terjadi kelainan dari berbagai organ. Pengobatan ensefalopati hipoksik iskemik perinatal secara holistik menyeluruh dan utuh, karena kelainan satu organ akan mempengaruhi organ lainnya.1-7 2.6 Prognosis Penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh total, cacat, atau meninggal dunia.1-7 Di Amerika Serikat angka kematian bayi secara keseluruhan pada bayi dengan ensefalopati hipoksik iskemik ringan sampai berat adalah 12,5%1, di Rumah Sakit Dr. Soetomo angka kematian 18,85%.9 Pada stadium ringan pada umumnya sembuh total, pada stadium sedang, 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya tetap ada lebih dari 5-7 hari.10 Pada abad 19 di Amerika Serikat ada anggapan bahwa penyebab utama dari CP dan retardasi mental adalah asfiksia intrapartum.22 Pendapat ini adalah keliru.3,5, 22 Hanya 8% penderita CP yang terbukti disebabkan karena asfiksia perinatal.23 Pada anak yang menderita serebral palsi, 80% nilai apgarnya normal. 80% palsi serebral terjadi antepartum.22-28 Menurut data dari National Collaborative Perinatal Project (NCPP) dan British National Child Development Study (BNCDS), faktor persalinan perinatal memberikan dampak yang kecil terhadap timbulnya retardasi mental dan kejang.1 Hanya 3-13% anak yang menderita palsi serebral terbukti menderita asfiksia intrapartum.1 Dikatakan CP menyebabkan asfiksia perinatal.22 CP yang disebabkan oleh karena asfiksia perinatal pada umumnya berupa serebral palsi quadri plegia spastik atau diskinetik.2,3 Ada beberapa faktor atau keadaan yang dapat dipakai untuk menilai prognosis. Prognosisnya jelek apabila:1-4,10 1. Asfiksia berat yang berkepanjangan (Apgar score =3 pada umur 20 19
menit). 2. Ensefalopati hipoksik iskemik stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat, 50% meninggal dunia, sisanya timbul gejala sisa yang berat. 3. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan multi organ. 4. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat dipulangkan, 50% akan timbul epilepsi. 5. Adanya oliguria persisten (produksi urine <1 ml/kg BB per jam selama 36 jam pertama). 6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio lingkaran kepala yang didapatkan pada waktu lahir dibandingkan dengan usia 4 bulan dibagi rerata lingkaran kepala pada usianya kali 100% > 3,1% merupakan cara untuk memprediksi timbulnya mikrosefali sebelum usia 18 bulan.29 7. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat.1,2,5-7 Adanya EEG yang normal atau ringan yang terjadi pada hari pertama setelah lahir merupakan tanda outcome yang normal, Adanya EEG yang normal atau mendekati normal yang terjadi pada hari pertama setelah lahir walaupun bayinya koma, merupakan prediksi yang kuat outcome neurologik yang baik. Pemulihan EEG yang normal pada hari ke-7 biasanya disertai dengan outcome yang normal.2 8. Adanya kelainan CT scan yang berupa pendarahan yang berat, periventrikuler leukomalasi (PVL) atau nekrosis. 9. Kelainan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir. Sebaliknya pemeriksaan MRI yang normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir selalu menghasilkan prediksi outcome yang baik, walaupun pada neonatus yang mengalami asphyxia berat.1, 2
20
BAB III KESIMPULAN Asfiksia perinatal adalah keadaan di mana fetus atau neonatus mengalami kekurangan oksigen (hipoksia) dan atau menurunnya perfusi (iskemia) ke berbagai macam organ. Keadaan ini menyebabkan gangguan fungsi dan perubahan biokimia sehingga dalam jaringan timbul laktik asidosis. Diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Tidak ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis ensefalopati hipoksik iskemik Semua pemeriksaan dikerjakan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang terjadi dan memonitor fungsi dari organ sistemik lainnya. Orang tua atau keluarga penderita perlu diberi penjelasan kemungkinan yang terbaik dan yang terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan fisik, rehabilitasi medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit, penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi secara berkesinambungan di poliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian disiplin ilmu, seperti neonatologi, pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh kembang anak, rehabilitasi medis, orthopedi, dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani penderita ensefalopati hipoksik iskemik.
21
DAFTAR PUSTAKA 1. Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR eds. Manual of Neonatal Care 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 536-55. 2. Volpe J.J. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In:Volpe J.J.eds. Neurology of the Newborn 4thed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394. 3. Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48. 4. Gomella
TL,
Cunningham
Asphyxia.In:Gomella
MD,
Eyal
FG,
Zenk
KE.
Perinatal
TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE eds.
Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 5th ed. New York, Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2004; 208- 11. 5. Hill A. Neurogical and Neuromuscular Disorders. In: MacDonald MG, Mullett MD, Seshia MMK eds. Avery's Neonatalogy Pathophysiology & Management of the Newborn 6th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1384-409. 6. Stoll BJ, Kliegman RM..Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM Jenson HB eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68. 7. Scher MS.Brain Disorders of the Fetus and Neonate. In: Klaus MH, Fanaroff AA eds. Care of The High Risk Neonate 5th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2001; 481-527. 8. American Academy of Pediatrics Committee on Fetus and Newborn and American College ofObstetrics and Gynecologists Committee on Obstetric Practice: Use and abuse of the Apgar score. Pediatrics 1996(98):141-2. 9. Laporan Tahunan Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2004. 10. Sarnat HB,Sarnat MS. Neonatal encephalopathy following fetal distress. A clinical and electroencephalographic study. Arch Neurol 1976(33):696-705. 22
11. Vannuci RC. Current and potentially new management strategies for perinatal hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 1990(85):961-8. 12. Vannuci RC, Perlman JM. Interventions for perinatal hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics 1997(100):1004-14. 13. Martin-Ancel A, Garcia-Alix A, Cabanas FGF. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia. J Pediatr 1995(127):786-93. 14. Perlman J.M., E.D. Tack, T. Martin, G. Shackelford, E. Amon. Acute systemic organ injury in term infants after asphyxia.Am J Dis Child 1989(143): 617-20. Ad Hoc Task Force. Guidelines for the determination of brain death in children American Academy of Pediatrics Task Force on Brain Death in Children. Pediatrics 1987(80): 298-300. 15. Ashwal S, Schenider S. Brain death in the newborn. Pediatrics 1989(84): 42937. 16. Gunn AJ,Gluckman PD,Gunn TR. Selective head cooling in newborn infants after perinatal asphyxia: A safety study. Pediatric 1998(102):885-92. 17. Battin MR,Dezoete JA,Gunn TR,Gluckman PD,Gunn AJ. Neurodevelopmental outcome of infants treated with head cooling and mild hypothermia after perinatal asphysia. Pediatrics 2001(107):480-4. 18. Rutherford
MA,Azzopardi
D,Whitelaw
AD,Thoresen M. Mild hypothermia lesions
in
neonates
with
and
A,S.Renowden the
distribution
FC,Edwards of
cerebral
hypoxic-ischemic encephalopathy. Pediatrics
2005(116):1001-6. 19. Battin MR,Penrice J,Gunn TR,Gunn AJ. Treatment of term infants with head cooling and mild systemic hypothermia (35.00C and 34.50C) after asphyxia. Pediatrics 2003(111): 244-51. 20. Hall RT,Hail FK,Daily DK. High-dose phenobarbital therapy in term newborn infants with severe perinatal asphyxia: A randomized,prospective study with three-year follow-up. J.Pediatr 1998(132):345-8. 21. Perlman JM. Intrapartum hypoxic-ischemic cerebral injury and subsequent cerebral palsy: medicolegal issues. Pediatrics 1997(99): 851-9.
23
22. Blair E,Stanley FJ. Intrapartum asphyxia: A rare cause of cerebral palsy. J.Pediatr 1998;112:515-9. 23. Freeman JM, Avery G, Brann AW. National Institutes of Health Report on Causes of Mental Retardation and Cerebral Palsy. Pediatrics 1985(76) :457-8. 24. Torfs CP, Van den Berg BJ, Oechsli FW, Cummins S. Prenatal and perinatal factors in the etiology of cerebral palsy. J Pediatr 1990: 615-9. 25. Freeman JM, Nelson KB. Intrapartum asphyxia and cerebral palsy. Pediatrics 1988(82):240-9. 26. Scher MS, Belfar H, Martin J, Painter MJ. Destructive brain lesions of presumed fetal
onset: Antepartum causes of cerebral palsy. Pediatrics
1991(88): 898-906. 27. Lupton BA, Hill A, Roland EH, Whitfield MF, Flodmark O. Brain swelling in the asphyxiated term newborn: Pathogenesis and outcome. Pediatrics 1988(82):139-46. 28. Cordes I,Roland EH,Lupton BA,Hill A.Early Prediction of the development of microcephaly after hypoxic-ischemic encephalopathy in the full-term newborn. Pediatrics 1994(93):703-7.
24