REFARAT
April 2018
PEMFIGUS VULGARIS
Disusun Oleh: Chinthya Prilly Claudia S. N 111 17 170
PEMBIMBING KLINIK dr. Nur Hidayat, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemfigus Vulgaris (P.V) merupakan bentuk penyakit autoimun kronik yang berbula yang paling sering dijumpai, sekitar 80% dari semua kasus. Penyakit ini menyerang kulit dan lapisan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat proses akantolisis (hilangnya daya kohesi antar sel-sel epidermis) dan secara imunopatologik akan ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit. 1 Pemfigus vulgaris tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Didapatkan frekuensi yang tidak jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan.1 Angka kejadian pemfigus vulgaris bervariasi 0,53,2 kasus per 100.000 populasi. Pemfigus vulgaris merupakan penyakit bula autoimun yang sering terjadi di negara-negara timur seperti India, Malaysia, China dan Timur Tengah. 2 Penyebab pasti penyakit pemfigus vulgaris belum diketahui. Kemungkinan yang masih relevan adalah pengaruh genetik dan lebih sering menyerang pasien yang telah memiliki penyakit autoimun lainnya sebelumnya. 2 Pemakaian dosis tinggi diperlukan saat pada pengobatan pertama kali. Kadang-kadang dosis tinggi diberikan dengan cara i.m atau i.v. Dosis dikurangi bila lesi melepuh dan telah berhenti terbentuk. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis terendah yang diperlukan untuk mengendalikan gejala dimana dosis yang diperlukan bervariasi antara pasien. Yang sering digunakan adalah prednison dan dexametason.1,11
1.2. Tujuan Tujuan dari pembuatan refarat ini adalah untuk :
Memahami pengertian dari Pemfigus vulgaris
Memahami etiologi dari Pemfigus vulgaris
Memahami manifestasi klinis dari Pemfigus vulgaris
Memahami prinsip dasar diagnosis Pemfigus vulgaris termasuk anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, memahami prinsip tatalaksana baik non medikamentosa, dan medika-mentosa dari Pemfigus vulgaris.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemphigus Vulgaris 2.1.1 Definisi Pemfigus merupakan kumpulan penyakit kulit autoimun kronik yang berbula yang menyerang kulit dan lapisan membran mukosa.1 Secara histologik akan ditemukan autoantibodi terhadap sel-sel keratinosit yang secara langsung akan merusak kohesi epidermis atau akantolisis. 3 Pemfigus vulgaris (P.V) adalah bentuk pemfigus yang paling sering dijumpai (80% dari semua kasus).1 Penyakit ini merupakan jenis penyakit autoimun dengan manifestasi berupa lepuhan pada permukaan kulit dan atau membran mukosa. 2 2.1.2 Epidemiologi Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Angka kejadian pada kedua jenis kelamin pada umumnya sama, didapatkan frekuensi kejadian pada wanita sedikit lebih tinggi yaitu 1:2. Pemfigus vulgaris biasanya mengenai usia pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), tetapi juga dapat mengenai semua umur termasuk anak.1,3 Pada kurun waktu 8 tahun, jumlah pasien pemfigus yang dirawat di RSU Sanglah Bali berjumlah 33 pasien (5,8% dari jumlah pasien rawat). Terdiri dari 20 pasien wanita dan 14 pasien laki-laki. Pemfigus yang terbanyak ditemukan adalah pemfigus vulgaris sebanyak 26 pasien (78,78%).4 2.1.3 Etiologi Pemfigus merupakan penyakit autoimun, karena pada serum penderita ditemukan antibodi, juga disebabkan oleh obat (drug induced pemphigud), misalnya D-penisilamin dan kaptopri. Pemfigus yang diinduksi oleh obat dapat berbentuk pemfigus foiaseus atau pemfigus vulgaris. Pemfigus dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun yang lainnya seperti lupus eritematosus sistemik, pemfigoid bulosa, miastenia gravis dan anemia pernisiosa.1
2.1.4
Patogenesis Lesi yang terjadi pada pemfigus vulgaris terjadi karena reaksi autoimun terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan transmembran glikoprotein dengan berat molekul 130 kD yang terdapat pada permukaan sel keratinosit. Target antigen pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral adalah desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Desmoglein adalah salah satu komponen desmosom. Fungsi desmosom adalah meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. Pada pemfigus vulgaris. Autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi tersebut bersifat patogenik.1,5,6 Antigen pemfigus vulgaris (P.V) yang dikenali sebagai desmoglein 3, merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interseluler pada epidermis. Antibodi yang berikatan dengan rantai amino pada desmogelin 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi kaderin. Desmoglein 3 dapat ditemukan pada desmosom dan pada membran keratinosit. Desmoglein 3 ini dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis bawah dan lebih padat pada mukosa bukal dan kulit kepala. Hal ini berbeda dengan antigen pemfigus foliaseus yaitu desmoglein 1, yang dapat ditemukan pada epidermis dan lebih padat pada epidermis atas. Tanda utama pada PV adalah dengan mencari autoantibodi IgG pada permukaan keratinosit. Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara sel-sel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser yang merupakan gambaran pada penyakit pemfigus vulgaris.5,6
2.1.5 Manifestasi klinis Keadaan umum penderita biasanya buruk. Penyakit pemfigus vulgaris biasanya diawali dengan lesi di kulit kepala yang berambut atau di rongga mulut kira-kira pada 60% kasus, berupa erosi yang disertai pembentukan krusta, sehingga sering salah didiagnosis sebagai piaderma pada kulit kepala
yang berambut atau dermatitis dengan infeksi sekunder. Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama beberapa bula hingga timbul bula generalisata.1,7 Bula pada pemfigus vulgaris berdinding tipis, relatif flaksid, dan mudah pecah yang timbul pada kulit atau membran mukosa normal maupun diatas dasar eritematous. Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan pecah sehingga terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi akan tertutup krusta bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut. Tanda Nikolskiy positif disebabkan oleh adanya akantolisis. Cara mengetahui tanda tersebut ada dua, pertama dengan menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan terkelupas. Cara kedua dengan menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan yang didalamnya mengalami tekanan. Pruritus tidak biasanya dikeluhkan oleh penderita pemfigus vulgaris, tetapi pasien sering mengeluh nyeri pada kulit yang terkelupas. Epitelisasi terjadi setelah penyembuhan dengan meninggalkan hipopigmentasi dan hiperpigmentasi dan biasanya tanpa jaringan parut.1,7
Gambar 1. dikutip dari sumber: Fitzpatrick’s Edisi 7 2.1.6 Diagnosis Penyakit autoimun kulit yang menyebabkan kerusakan pada perlekatan antar sel telah banyak ditemukan dan sukar untuk dibedakan karena memiliki manifestasi klinis yang mirip. Ciri klinis seperti tanda Nikolsky tidaklah spesifik untuk penyakit ini saja. Karena itu ,selain dari anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik lesi yang muncul, pemeriksaan biopsi, histopatologi dan immunologi yang baik merupakan hal yang perlu diindikasikan. 2.1.7. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis pasien berupa keluhan yang membawa pasien datang untuk berobat. Biasanya keadaan umum pasien tampak buruk. Anamnesis dilengkapi dengan mengetahui perjalanan penyakit pasien. Kemudian pemeriksaan fisik terhadap lesi yang timbul dimulai dari awal timbulnya lesi berupa erosi dan krusta hingga terdapat bula generalisata. Pemeriksaan awal biasanya dilakukan pada tempat yang sering muncul di awal perjalanan penyakit yaitu di kulit kepala yang berambut dan di rongga mulut. Tanda khas penyakit ini berupa tanda nikolskiy yang positif yang disebabkan adanya akantolisis.8 Semua selaput lendir dengan epitel skuamosa dapat diserang yakni selaput lendir konjungtiva, hidung, faring, laring, esofagus, uretra, vulva, dan serviks. Kebanyakan penderita menderita stomatitis aftosa sebelum
diagnosis pasti ditegakkaan. Lesi di mulut ini muncul dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan membentuk krusta. Keterlibatan tenggorok akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat, dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans superficialis sebagai akibatnya.8,13,14 2.1.8. Biopsi dan Histopatologi Metode biopsi dilakukan dengan cara sampel diambil pada daerah erosi atau bula setelah kulit atau mukosa dianastesi dengan injeksi anastesi lokal. Sampel kemudiannya diperiksa secara histologis dibawah mikroskop untuk melihat adakah sel terpisah antara satu sama lain. Pada gambaran histopatologik didapatkan bula intraepidermal suprabasal dan sel-sel epitel yang mengalami akantolisis pada dasar bula yang menyebabkan terbentuknya bula di suprabasal dan membuat percobaan Tzanck positif. Percobaan ini berguna untuk menentukan adanya sel-sel akantolitik, tetapi bukan diagnostik pasti untuk penyakit pemfigus.8 2.1.9. Immunopatologi A. Immunoflourescen langsung Pada pemeriksaan immunoflourescen langsung didapatkan antibodi interselular tipe IgG dan C3 di subtansi interselluler epidermis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampurkan spesimen jaringan mukosa yang dibiopsi dengan beberapa siri immunoglobulin. Immunoglobulin ini telah ditandai dengan bahan fluoresense (fluorochrome) yang digunakan untuk menunjukkan kehadiran autoantibodi yang melekat pada sel jaringan pasien.9,10 B. Immunoflourescen tidak langsung Test ini dilakukan dengan mengukur jumlah autoantibodi di dalam darah. Pada test ini biasanya ditemukan antibodi pemfigus tipe IgG interselluler, terdapat pada 80-90% penderita. 9,10
2.1.10 Diagnosis Banding Pemfigus vulgaris dibedakan dengan dermatitis herpetiformis dan pemfigoid bulosa. 1. Dermatitis Herpetiformis Dermatitis herpetiformis ialah penyakit yang menahun dan residif. Penyakit ini dapat mengenai anak dan dewasa, keadaan umumnya baik, keluhannya sangat gatal, ruam polimorf, dinding vesikel/bula tegang dan berkelompok. Tempat presdileksinya ialah di punggung, daerah sakrum, bokong, daerah ekstensor di lenggan atas, sekitar siku dan lutut. Ruam berupa eritema, papulo-vesikel, dan vesikel/bula yang berkelompok dan sistemik.5,10 Pada pemfigus vulgaris keadaan umumnya buruk, tidak gatal, kelainan utamanya ialah bula yang berdinding kendur, generalisata dan eritema bisa terdapat atau tidak. Pada gambaran histopatologik dermatitis herpetiformis, letak vesikel/bula di subepidermal sedangkan pada pemfigus vulgaris terletak di intraepidermal dan terdapat akantolisis. 5,10
Gambar 2. Tampakan ujud kelainan pada pasien dengan dermatitis herpetiformis (Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology Edisi 7)
2. Pemphigoid Bulosa Pemfigoid bulosa adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang dan pada pemeriksaan imonupatologik ditemukan C3 (komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone. Keadaan umum pasien
baik, dijumpai pada semua umur terutama pada orang tua. Kelainan kulit terutama terdiri atas bula dapat bercampur dengan vesikel, berdinding tergangm sering disertai eritema, tempat predileksinya ialah di ketiak, lengan bagian fleksor dan lipat paha. Jika bula-bula pecah terdapat daerah erosif yang luas, tetapi tidak bertambah seperti pada pemfigus vulgaris. 5,10
Gambar 3. Tampakan ujud kelainan kulit pada pasien pemfigoid bulosa (Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology Edisi 7) 2.1.11
Pengobatan
A. Pengobatan sistemik Pengobatan sistemik kortikosteroid merupakan cara terbaik dalam terapi pemfigus vulgaris. Steroid mengurangi inflamasi dengan cara menekan sistem kekebalan tubuh. Perbaikan klinis akan terlihat setelah beberapa hari pengobatan kortikosteroid kira-kira 2-3 minggu, dan 6-8 minggu untuk hasil yang lebih baik.1,11 Pemakaian dosis tinggi diperlukan saat pada pengobatan pertama kali. Kadang-kadang dosis tinggi diberikan dengan cara i.m atau i.v. dosis dikurangai bila lesi melepuh dan telah berhenti terbentuk. Tujuannya adalah untuk menemukan dosis terendah yang diperlukan untuk mengendalikan gejala dimana dosis yang diperlukan bervariasi antara pasien. Yang sering digunakan adalah prednison dan dexametason. Dosis prednison bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgbb sehari bagi pemfigus yang berat. Pada dosis yang tinggi sebaiknya diberikan dexametason i.m
atau i.v. jika tidak ada respon perbaikan, yang berarti masih timbul lesi baru setelah 5-7 hari, dosis pengobatan ditingkatkan 50-100% sampai ada perbaikan. Kalau sudah ada perbaikan, dosis diturunkan 10-20 mg ekuivalen prednison atau diturunkan hingga 50% setiap 2 minggu.1,11 Untuk
mengurangi
efek
samping
kortikosteroid
dapat
dikombinasikan dengan ajuvan yang terkuat ialah sitostatik. Efek samping kortikosteroid yang berat adalah atrofi kelenjar adrenal bagian korteks, ulkus peptikum, dan osteoporosis yang dapat menyebabkan fraktur. Obat sitostatik yang direkomendasikan adalah azatiporin karena cukup bermanfaat dan tidak begitu toksik. Dosis azatiporin 50-150 mg sehari atau 1-3 mg per kgBB. Efek terapeutik azatiporin baru terjadi setelah 2-4 minggu. Obat-obat sitostatik diberikan jika dosis prednison mencapai 60 mg sehari untuk mencegah sepsis dan bronkopneumonia. Jika telah tampak perbaikan dosis prednison diturunkan lebih dahulu, kemudian dosis azatiporin diturunkan secara bertahap. Obat sitostatik yang lainnya adalah siklofosfamid, metroteksat, dan mikofenolat mofetil.11 Kortikosteroid Obat utama ialah kortikosteroid karena bersifat imunosupresif. Terapi lini pertama yaitu glukokortikoid sistemik, dimulai dengan dosis 1 mg/kgBB/hari. Respon klinis yang bagus biasa nyata tampak setelah 2-3 bulan, kemudian dosis dapat diturunkan menjadi 40 mg/hari dan di tapering of selama 6-9 bulan sampai dosis pemeliharaan 5 mg selang sehari. Tapering dapat dilakukan baik dengan menurunkan dosis 10 mg/bulan dan kemudian 5 mg/bulan. Kortikosteroid yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. a. Prednison Prednison adalah obat golongan kortikosteroid yang berfungsi untuk mengurangi peradangan dalam beberapa kondisi medis, seperti artritis, asma, kelainan sistem kekebalan tubuh, kelainan darah, gangguan paru dan pernapasan, alergi parah, penyakit persendian dan
otot, serta penyakit kulit. Selain itu, obat ini juga dapat membantu dalam pengobatan penyakit kanker. Secara umum, predison bekerja dengan menekan sistem kekebalan tubuh untuk mengurangi peradangan dan pembengkakan.15 Penggunaan prednisone pada kasus pemfigus adalah bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, yakni 60-150 mg sehari. Ada pula yang menggunakan 3 mg/kgBB sehari bagi pemfigus yang berat.14 Lever dan White mengajukan dosis 180-360 mg prednisone setiap hari sampai remisi lengkap, biasanya 6-10 minggu. Contoh: bila dosis awal prednisone 180 mg perhari diberikan sampai 6 minggu dan terjadi remisi lengkap, dosis segera diturunkan menjadi 90 mg perhari selama 1 minngu. Dan kemudian berturut-turut dosis diturunkan sebagai berikut: 45 mg setiap hari selama 1 minggu 30 mg setiap hari selama 2 minggu 20 mg setiap hari selama 3 minggu 15 mg setiap hari selama 4 minggu Selanjutnya dosis bertahan (maintenance) sampai kurang dari 15
mg/ hari.15 b. Metilprednisolon Metilprednisolon adalah salah satu jenis obat kortikosteroid yang dapat menekan sistem kekebalan tubuh dan mengurangi reaksi peradangan serta gejalanya, seperti pembengkakan, nyeri, atau ruam. Obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi peradangan (inflamasi) dalam berbagai penyakit, misalnya penyakit Crohn, kolitis ulseratif, alergi, arthritis rheumatoid, asma, multiple sclerosis, serta jenis-jenis kanker tertentu.14 Obat ini dapat juga digunakan pada kasus pemfigus vulgaris dengan terapi denyut. Metil prednisolon diberikan secara i.v. selama 2-3 jam, diberikan jam 8 pagi untuk lima hari. Dosis sehari 250-1000 mg (10-20mgper kgBB), kemudian dilanjutkan dengan kortikoisteroid
per os dengan dosis sedang atau rendah. Efek samping yang berat pada terapi denyut tersebut di antaranya ialah, hipertensi, elektrolit sangat terganggu, infark miokard, aritmia jantung sehingga dapat menyebabkan kematian mendadak, dan pankreatitis.14 Untuk mengurangi efek samping dari penggunaan kortikosteroid dikombinasikan dengan sitostatik sebagai tambahan pada pengobatan pemfigus meskipun cara pemberiannya masih terdapat dua pendapat : Sitostatik Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel – sel secara fraksional (fraksi tertentu mati), sehingga 90 % berhasil dan 10 % tidak berhasil. Sitostatik dapat diberikan, bila : a.
Kortikosteroid sistemik dosis tinggi kurang memberi respons.
b.
Terdapat kontraindikasi, misalnya ulkus peptikum, diabetes melitus, katarak, dan osteoporosis.
c.
Penurunan dosis pada saat telah terjadi perbaikan tidak seperti yang diharapkan. Pemberian siklofosfamid (1,5 – 2,5 mg/kg/hari) atau azathioprine (1,5 – 2,5 mg/kg/hari) bisa bersamaan dengan kortikosteroid ataupun setelah pengobatan dengan kortikosteroid.14
Siklosporin Siklosporin adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu siklosporin tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika. Dosis siklosporin pada penderita pemfigus adalah 5-6 mg/ KgBB per os.14,15
B. Pengobatan Topikal Pada pasien dengan lesi ringan hiingga sedang dan didapatkan sebatas pada permukaan mukosa bisa menggunakan terapi steroid topikal saja. Pada pemfigus oral, penggunaan sikat gigi yang lembut sangat disarankan untuk mengurangi trauma lokal. Analgesik dan anastesi topikal seperti benzydamine hydrochloride 0,15% bisa digunakan untuk menghilangkan nyeri pada lesi oral, terutama sebelum membersihkan mulut dan gigi. Kebersihan rongga mulut penderita pemfigus vulgaris harus dijaga untuk mencegah lesi yang lebih luas. Saat menyikat gigi sebisanya untuk menggunakan larutan kumur antiseptik seperti chlorhexidine glukonat 0,2%. Untuk erosi oral yang banyak, digunakan obat kumur seperti larutan betamethasone sodium phosphate 0,5 mg tablet dicampurkan dalam 10 ml air dan dapat digunakan 4 kali sehari selama 5 menit setiap pemakaian. Pada daerah lesi yang erosif dapat juga diberikan silver sulfadiazine, yang berfungsi sebagai antiseptik dan astringen. Pada lesi pemfigus yang sedikit dapat diberikan kortikosteroid secara intradermal dengan triamsinolon asetonid 0,1%.11 Rawat Luka Bila banyak lesi erosive atau ekskoriasi dapat diberikan krim mupirosin 2% atau asam fusidat 5%. Untuk membersihkan krusta dapat dilakukan kompres terbuka dengan NaCl 0.9%.14 2.1.12 Prognosis Angka kematian pasien pemfigus vulgaris mencapai 75% sebelum digunakannya kortikosteroid dalam pengobatannya. Setelah dimulainya penggunaan kortikosteroid pada pemfigus, angka kematian menurun menjadi 30% dengan angka kekambuhan sekitar 13-21%. Penyebab kematian yang sering terjadi ialah sepsis, kakeksia dan ketidakseimbangan elektrolit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan pengobatan menggunakan kortikosteroid sesuai prosedur yang telah ditentukan maka prognosis pasien pemfigus vulgaris akan lebih baik.11
BAB III KESIMPULAN Pemfigus vulgaris merupakan suatu kumpulan penyakit autoimun kronik yang berbula yang tersering dijumpai (80% dari semua kasus), menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan
bula
intraepidermal
akibat
proses
akantolisis
dan
secara
imunopatologik ditemukan antibodi terhadap komponen desmosom pada permuakaan keratinosit jenis IgG. Keadaan umum pasien biasanya buruk. Gambaran umum dari lesi pemphigus vulgaris ialah munculnya ulser yang menyakitkan, ditandai dengan bula dan vesikel yang sudah pecah dan kemunculan lesi baru bila lesi lama mula membaik. Untuk
mendiagnosis
pemfigus
vulgaris
dapat
dilakukan
pemeriksaan Tzanck smear, histopatologi, dan imunologi. Pengobatan pada pemfigus dapat menggunakan terapi kortikosteroid yang didukung dengan terapi ajuvan dan dengan terapi topikal berupa steroid, antiseptik maupun astringen.
DAFTAR PUSTAKA 1. Benny E,W. Dermatosis vesikobulosa kronik. Dalam: Mochtar H, Siti A,editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta : EGC;2015. h 204-208 2. Muhammad A,S. A 56 years old man with pemphigus vulgaris. J Medula Unila 2014; vol.3(2): 68-72 3.
Frank A, Eric T, Victoria P. Pemphigus. Dent Clin North Am. 2013 Oct ; 57(4)
4. Wardhana M, Rusyati L. Prevalence and quality of life of pemphigus patients at sanglah general hospital Bali-Indonesia. Bali Medical Journal(BMJ) 2013; Vol.2(1):42-45 5. Stanley JR. Pemphigus. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New york. McGraw-Hill; 2008.h.459-68 6. Velez, A.M.A, Calle. J, Howard, M.S, Autoimmune Epidermal Blistering Diseases. Georgia Dermatopathology Associates, Atlanta, Georgia, USA (MSH, AMAV).Our Dermatol Online Journal. 2013; 4(Suppl. 3): 631-646 7. Ali.F.A, Ali.
J.A,
Pemphigus Vulgaris And Mucous
Membrane
Pemphigoid: Update On Etiopathogenesis, Oral Manifestations And Management. Journal section: Oral Medicine and Pathology. J Clin Exp Dent. 2011;3(3):e246-50. 8. Rezeki S, Titiek S. Pemphigus vulgaris : Pentingnya diagnosis dini, penatalaksanaan yang komrehensif dan adekuat (Laporan kasus). Indonesian Journal of Dentistry 2009; 16(1):1-7 9. Weller.R, Hunter. J, Savin.J, Dahl.M, The pemphigus Family. Dalam: Clinical Dermatology. Edisi ke-4.Singapore: Blackwell Publishing.2008.h 129-30 10. Ramona DL. Gambaran Histopatologis Pemphigus Vulgaris. Repository USU;2009 11. Harman KE, Albert A, Black M. Guidelines for the management of pemphigus vulgaris. British journal of dermatology 2003; 149: 926-937
12. Syuhar. M. A.2014. “A 56 Years Old Man With Pemphigus Vulgaris. Jurnal Fakultas Kedokteran Lampung volume 3 nomor 2. Diakses dari http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/455. 13. Nguyen. V.T. 2003. “Pemphigus Vulgaris IgG and Methylprednisolone Exhibit Reciprocal Effects on Keratinocytes”. Jurnal Departmen Of dermatology
University
of
California
volume
1
diakses
dari
http://anothersample.net/pemphigus-vulgaris-igg-and-methylprednisoloneexhibit-reciprocal-effects-on-keratinocytes 14. V. Ruocco.2013. Contraversies
“Pemphigus and Managemen Guidilines, Fact and Vulgaris
journa;
of
Punmed
diakses
dari
”.http://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-3-662-07131-1_70 15. Mohammad A,H.
2012.
Pemphigus
Vulgaris
:
Mekanisme
dan
Penanggulangan Artikel Kedokteran Indonesia, Diakses dari https:\ www.research gate. net