Ramli Hamzah Fansuri.docx

  • Uploaded by: AhmadDhani
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ramli Hamzah Fansuri.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,734
  • Pages: 15
PERBANDINGAN PARADIGMA KEILMUAN DI INDONESIA Islamisasi, Integrasi, Interkoneksi dan Frikatifisasi Ilmu Ramli Cibro STIT Hamzah Fansuri Abstrak Tulisan ini hendak membandingkan empat model paradigma keilmuan studi keislaman yang telah dirancang di Indonesia. Tulisan ini akan mencoba memaparkan berbagai perbedaan dan persamaan model-model paradigma keilmuan tersebut berikut kelebihan dan kekurangannya. Beberapa sudut pandang yang akan dilihat misalnya persoalan paradigma, status keilmuan (ontologi, epistimologi dan aksiologi), sasaran (keprihatinan yang menjadi sasaran), solusi (baik praktis maupun teoritis) dan kelemahan dari masing-masing model pemikiran tersebut. Tujuannya adalah kesadaran akan adanya kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh setiap mazhab keilmuan sehingga memungkinkan terjadinya dialog dan situasi saling melengkapi antara mazhab keilmuan tersebut. Kata Kunci: Islamisasi, Integrasi, Interkoneksi dan Frikatifisasi Ilmu. Abstrac This paper will compare the four models of Islamic scholarship study paradigm that has been designed in Indonesia. This paper will try to explain the differences and equations of models of the scientific paradigm and its advantages and disadvantages. Some points of view will be seen, for example paradigm, status of science (ontology, epistimology and axiology), target (targeted concern), solutions (both practical and theoretical) and the weaknesses of each model of thought. The goal is the awareness of the advantages and disadvantages possessed by each school of science so as to enable dialogue and complementarity between scholastic schools. Key Word: islamization, integration, inter-connection and fricatification.

A. Pendahuluan Setidaknya, ada dua alasan yang mendorong pemikir Nusantara untuk mencoba menawarkan paradigma studi keislaman. Pertama adalah kegagalan metodologi ilmiah sekuler (paradigma Barat) dalam mensejahterakan umat manusia. Hal ini diyakini merupakan akibat dari tercerabutnya nilai-nilai sakral 1

keagamaan (desakralisasi) dari wajah pengetahuan. Sehingga memunculkan pengetahuan yang dekonstruktif dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Kedua adalah paradigma dikotomis antara satu ilmu dengan ilmu yang lain. Sehingga tidak ada kerjasama yang sinergis antara disiplin pengetahuan yang kemudian menghambat kemajuan peradaban manusia secara komprehensif. Hanya karena perbedaan metodologis dan ego ilmiah antara disiplin keilmuan, mereka saling merendahkan dan mengkafirkan antara satu dengan yang lain. Bahkan, ada kecenderungan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain, atau antara ilmu sains, ilmu sosial dengan ilmu agama untuk berjalan sendiri-sendiri memaksakan ‘kebenaran,’ nya. Hasilnya, di sekolah-sekolah, pelajaran umum yang diberikan cenderung tidak memasukkan muatan nilai-nilai keagamaan. Karena nilai-nilai agama akan diajarkan terpisah pada pelajaran-pelajaran agama saja. (Mulyadi Kartanegara, 2005:20-25) Hasilnya terjadi sekulerisasi dimana-mana. Seorang tidak akan merasa bersalah ketika mengamalkan prinsip-prinsip kapitalisme hanya karena menganggap Tuhan hanya ada di mesjid, bukan di pasar. Sementara dikalangan tradisional-islami terjadi sakralisasi ‘budaya agama’ yang menjauhkan mereka dari prinsip-prinsip ilmiah dan nalar logis. Konsep air dua kullah syafi’iah misalnya telah membawa santri pada prinsip bahwa setiap air dua kullah layak dikonsumsi selama tidak berubah warna, tanpa memperhatikan prinsip kesehatan. Begitupun tradisi merokok di kalangan santri, dianggap sebagai sebuah kewajaran walaupun mengganggu orang lain atau anak kecil. Fenomena yang paling jelas di Indonesia adalah pertentangan antara ilmuilmu sains dan ilmu-ilmu agama. Sehingga bagi sebahagian kelompok agama, ilmu-ilmu sains adalah ilmu-ilmu yang haram dipelajari. Di Aceh sendiri, sejak tahun 70-an hingga akhir tahun 90-an kita mengenal pepatah Jak sikula jeut ke kaphe (belajar di Sekolah dapat membuat anda kafir). Ditambah lagi dengan gerakan GAM yang ‘mencoba’ menghapus sekolah-sekolah nasional yang secara tidak sengaja mematahkan sebelah kaki pendidikan di Aceh. Hal ini diperparah oleh kenyataan umat Islam yang sekarang menduduki barisan terbawah peradaban dunia dan juga karena perasaan inferioritas. Ditambah lagi sebagian umat Islam kemudian mengagumi pemikiran Barat secara membabi buta. (Nurcholis Madjid, 2001:21) Sikap inferioritas yang berlebihan pada diri sendiri atau disisi lain, kekaguman yang membabi-buta pada Barat semakin memperkokoh hegemoni Barat atas umat Islam, khususnya di bidang pengetahuan.

2

Akhirnya, untuk menjawab dinamika tersebut, tawaran-tawaran paradigma keilmuan keislamanpun mulai digalakkan. Tawaran ini diharapkan mampu menggalakkan kembali gairah keilmuan dalam diri umat Islam. Selain itu, tawaran tersebut di harapkan mampu mengembalikan ilmu kepada tujuan asalnya yaitu terwujudnya hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhannya dan antara manusia dengan lingkungannya. B. Pembahasan Hingga hari ini, di Indonesia bermunculan begitu banyak model paradigma keilmuan. Beberapa diantaranya yaitu Islamisasi Ilmu (dari ISTAC Malaysia dan dikembangkan di INSIS Indonesia), Integrasi Ilmu (UIN Jakarta), Interkoneksi Ilmu (UIN Yogyakarta) dan Prikatifisasi Ilmu (UIN Banda Aceh). Proyek-proyek sejenis ini walaupun dengan resiko mempertaruhkan objektivitas pengetahuan, dipercaya mampu mengembalikan ilmu ke dalam fitrahnya, yaitu memanusiakan manusia. Selain itu, dengan proyek integrasi diharapkan mampu menciptakan keadaan saling menghargai antar disiplin ilmu dan saling bersinergi untuk pembangunan peradaban dan kemanusiaan. Walaupun kempat konsep tersebut rata-rata memiliki lebih dari satu tokoh namun dalam pembahasan ini setiap konsep hanya akan diwakili oleh satu tokoh representatif. Dengan demikian, penulisan ini mencapai tujuan awal yaitu memetakan berbagai paradigma keilmuan, menginventarisir kelebihan serta mengorganisir berbagai kekurangannya. Diharapkan, paradigma keilmuan tersebut akan saling mengisi satu dengan yang lain. Beberapa paradigma keilmuan tersebut diantaranya: 1. Islamisasi Ilmu Islamisasi Ilmu adalah proyek yang digagas oleh Syed Naquib Al-Attas setelah melihat fenomena sekulerisasi yang merajam dunia pendidikan. Ide Islamisasi ini berangkat dari kekecewaan Al-Attas pada konsep pengetahuan Barat yang menghancurkan kehidupan dan manusia serta tidak mampu memberikan kedamaian dan keadilan. Pengetahuan yang dianggap sebagai sebuah kebenaran justru menimbulkan kebimbangan dan skeptisisme. Pengetahuan yang dipercaya memiliki metodologi yang bagus dan epistimologi yang valid namun justru menghancurkan tiga dimensi kehidupan (Three Kingdom of Nature) yaitu binatang (termasuk manusia sendiri), tumbuhan dan mineral (Syed Naquib Al-Attas, 1993:133). Proyek Islamisasi Ilmu sendiri – dalam tataran teoritis - merupakan upaya formulasi intelektual yang formal dan sistematis. Ini bukan berarti bahwa 3

sebelumnya tidak ada upaya menanamkan spirit Islam kedalam Ilmu pengetahuan. Persis seperti Syafi’i yang mengembangkan formulasi fikh setelah ‘dipraktekkan,’ oleh kaum muslimin sejak masa Rasul SAW, atau Asy’ari yang mengembangkan formulasi teologi dan tauhid setelah lama diamalkan oleh orang Islam. Hari ini AlAttas, mencoba memformulasikan konsep Islamisasi Ilmu walaupun lagi-lagi semangat islamisasi itu sendiri sudah ada sejak Zaman Rasulullah (Wan Mohd Wan Daud, 2004:312). Al-Attas mendefenisikan Islamisasi sebagai berikut: “Islamization is the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national -cultural tradition, and then from secular control over his reason and his language.” “Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi tahayul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan kemudian pembebasan akal dan bahasa dari pengaruh sekularisme. (Syed Naquib Al-Attas, 1993:44) Islamisasi menurut Al-Attas akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (dhann) dan argumentasi kosong (mira’) menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible, dan materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu pengetahuan kontemporer dari ideologi, makna dan ungkapan sekuler (Wan Mohd Wan Daud, 2004:312). Islamisasi ilmu yang ditawarkan tidak semata berupa pelabelan sains dengan ayat-ayat al-Qur’an atau hadis yang dipandang relevan dengan penemuan ilmiah, tetapi beroperasi pada level epistemologis, di mana dilakukan “dekonstruksi” terhadap epistemologi Barat yang berkembang sekarang dan kemudian “merekontruksi” epistemologi alternatif dengan meramu secara kritis bahan-bahan yang ada pada “tradisi intelektual Muslim” yang telah dibina selama lebih dari satu millennium oleh para filosof dan ilmuan klasik (Ismail Toyyib Al Mukhlis, 2013:75). Kritik Al-Attas - dalam tatanan praktis – dimulai dari konsep ‘tarbiah’ dalam Islam. Dimana konsep tersebut berasal dari prinsip manusia sebagai alhayawan al-‘aqil yaitu konsep kemanusiaan yang lebih mengutamakan prinsip rasionalitas (al-aql) yang dipercaya oleh Al-Attas justru menjauhkan manusia dari tujuan kehidupan itu sendiri. Prinsip seperti ini sangat mirip dengan konsep pendidikan Barat yang cenderung hanya berorientasi pada pemberian suplemen pada pemikiran (akl) semata, namun mengabaikan pembinaan fisik, dan rohani (Syed Naquib Al-Attas, Tanpa tahun: 27-28). Al-Attas mendefenisikan tarbiah sebagai proses pendidikan yang mengabaikan pembinaan karakter secara tepat. Bahwasanya pendidikan tanpa pengembangan karakter kebiasannya adalah sia-sia (Syed Naquib Al-Attas, Tanpa tahun: 49). 4

Ini dibedakan dengan konsep ‘Adab (ta’dib) yang dianggap sebagai proses pembinaan bukan hanya sekedar akal tapi juga meliputi fisik dan jiwa. Inilah yang dipercaya oleh al-Attas sebagai dasar struktur pendidikan Islam. Al-Attas menuliskan bahwa pembinaan terhadap tubuh, akal dan jiwa perlu untuk membangun insan yang kuat fisiknya, kuat akalnya dan kuat ruhaninya. (Syed Naquib Al-Attas, Tanpa tahun:40) Konsep inilah yang menjadi salah satu prinsip pendidikan Al-Attas, bahwa pendidikan Islam adalah salah satu pendidikan yang tidak hanya berbicara pada rasionalitas empiris semata namun terkadang mengabaikan pembinaan badan (fisik) dan ruhiyah (spiritual). Al-Attas melalui konsep ini sering mengutip hadits Nabi, “Tuhan memberikan pendidikan adab kepadaku, maka adabku kemudian menjadi lebih bagus.” Artinya, konsep islamisasi ilmu dalam prespektif Al-Attas akan bermuara pada proses pendidikan Islami yang dia sebut sebagai ta’dib (Syed Naquib Al-Attas, Tanpa tahun, 45-46). 2. Integrasi Ilmu Gagasan Integrasi Ilmu yang sering dikait-kaitkan dengan khususnya di UIN Jakarta, memperoleh gaungnya di tangan Mulyadi Kartanegara. Sebelumnya telah ada gagasan re-integrasi ilmu oleh Azyumardi Azra, namun seutuh konsep integrasi Mulyadi Kartanegara atau konsep islamisasi ilmu Naquib Al Attas. Gagasan Mulyadi berangkat dari kegusarannya atas dikotomi yang ketat antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Menurutnya, ilmu seharusnya membawa seseorang kepada semakin dekat kepada Pencipta-nya. Syeed Hossein Nashr – seperti dikutip oleh Mulyadi – mengatakan bahwa ketika ilmuan-ilmuan muslim mempelajari fenomena alam yang begitu kaya, mereka menggunakannya bukan hanya sekedar memuaskan rasa ingin tahu belaka, melainkan untuk mengamati dari dekat jejak-jejak Ilahi (Mulyadi Kartanegara, 2005:30). Jadi dalam prinsip ini, ilmu itu seharusnya semakin mendekatkan manusia pada penciptanya. Menurut Mulyadi, Islamisasi (dalam bahasa Mulyadi juga disebut sebagai integrasi) merupakan suatu hal yang perlu. Karena kenyataannya pandangan keilmuan modern (Barat) – terlepas dari segala kemajuan yang dicapainya – telah menimbulkan persoalan khususnya dalam dimensi teologis. Kajian-kajian Barat yang umumnya bersifat indrawi telah “membatasi,” cara pandang barat dalam melihat kehidupan (word view). Imbas dari paradigma ilmiah positivistik misalnya lambat laun justru melahirkan faham-faham materialisme, sekularisme dan positivisme. Model pemikiran ini kemudian mengesampingkan posisi Tuhan dan agama (Mulyadi Kartanegara, 2002:08-13). Walhasil tidak dapat dipungkiri,

5

keberadaan ilmu yang bebas nilai justru mengancam sendi-sendi keharmonisan alam dan memicu eksploitasi yang berlebihan terhadap alam dan manusia. Karena ketika itu, nilai-nilai moral, norma dan agama serta keimanan benar-benar ditiadakan. Mulyadi memulai gagasan integrasi dengan mengajukan prinsip Tauhid sebagai landasan integrasinya. Lebih khusus, Mulyadi - secara radikal - kemudian memajukan konsep Wahdatul Wujud - Mulla Sadra sebagai basis ontologis bagi semua jenis pengetahuan. Konsep Wahdatul Wujud Mulla Sadra adalah konsep yang meyakini bahwa segala hal yang ada di alam ini, baik yang rill, yang abstrak maupun yang non-riil berasal dari satu kesatuan yang sama. Dengan basis ontologis model ini, Mulyadi mengharapkan bahwa semua ilmu, walaupun berbeda metodologisnya, akan memiliki kesamaan kedudukan ilmiah sehingga tidak ada lagi diikotomi ilmu dimana satu ilmu merendahkan ilmu yang lain. Lagi pula, ketika satu objek pengetahuan tidak mampu ditelaah oleh observasi – indrawi, maka sudah sepantasnya ia dikaji dan ditelaah oleh metodologi yang lain, seperti filsafat dan metode intuitif (Mulyadi Kartanegara, 2005:39-40) . Dan ini hanya akan terjadi jika setiap ilmu mengakui eksistensi ilmu lainnya sebagai bagian yang bersumber dari ilmu Tuhan. Singkatnya, untuk dapat mencapai kajian keilmuan yang komprehensif dan bersinergi (integral) maka perlu ada pencarian kesamaan-kesamaan. Untuk dimensi ontologis, ditemukan bahwa basis utama dari segala jenis ilmu adalah Tauhid. Sedangkan dalam dimensi epistimologi, keragamaan metode dan sumber pengetahuan dapat dicarikan titik ‘setara,’ yang akan membuat setiap ilmu dapat saling menghargai dan dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya menurut metodologinya masing-masing. Adapun dari dimensi aksiologi, mesti ada nilainilai keislaman (atau minimal moral dan etika) yang menjadi alat kontrol bagi pengunaan dan pengaplikasian ilmu-ilmu tersebut. 3. Interkoneksi Gagasan Interkoneksi berangkat dari basis keilmuan ‘Studi Agama,’ yang ditekuni oleh Amin Abdullah. Ia berangkat dengan mencoba menjernihkan konsep truth claim, yaitu klaim keyakinan dikotomis atas kebenaran dan menegasikan kebenaran yang berbeda. Dimana klaim ini, disatu sisi menjadi semacam doktrin (yang membawa kepada fanatisme yang destruktif) namun disisi lain memberi dampak yang cukup besar, apalagi di tengah masyarakat pluralistik di Indonesia. Amin Abdullah dalam buku Studi Agama (1996) menuliskan bahwa dalam tatanan metafisis dan psikologis, truth claim memang dapat dimengerti. Namun pada ruang lingkup pergumulan sosial-kultural terkadang terasa mencekam. Untuk itu dibutuhkan kajian yang bersifat empiris-historis-kritis yang mampu mengurai dan 6

meredakan ketegangan itu. Oleh karenanya, selain kajian keagamaan doktrinalnormatif, Amin juga menawarkan model kajian historis-sosial-filosofis yang akan memunculkan model kajian keagamaan multi dan interdisipliner (M Amin Abdullah, 1996:15). Amin Abdullah melihat hubungan antara agama dan sains kedalam empat sisi, yaitu Conflict (Bertentangan); Independence (Berdiri sendiri-sendiri; tak berhubungan; tidak bertegursapa); Dialog (Berdialog; Berinteraksi, Bertegursapa); dan Integration (Satu kesatuan yang utuh; saling memerlukan satu sama lain). Dari keempat pilihan ini, Amin Melihat pola Dialog adalah model yang paling memungkinkan dan paling praktis tanpa harus mengobok-obok bangunan ontologi maupun epistimologi pengetahuan. Oleh karenanya Amin kemudian mengembangkan pola Dialog yang ia namai sebagai IntegrasiInterkoneksi atau Interkoneksi saja.

7

Gambar jaring laba-laba ilmu M Amin Abdullah (Musliadi, 2014:39)

Menurut Amin, filsafat ilmu yang dikembangkan oleh Barat seperti rasionalisme, empirisme dan pragmatisme tidak begitu cocok digunakan untuk menjadi kerangka teoritis analitis terhadap pasang surut dan perkembangan Islamic Studies. Perdebatan, pergumulan dan perhatian epistimologi keilmuan di Barat tersebut lebih terletak pada wilayah natural science dan sebagian pada wilayah humanities dan social science. Sedangkan Islamic Studies dan ‘Ulum AlDin, khususnya syari’ah, akidah, tasawuf, ulum al-hadits lebih terletak pada wilayah classical humanities. Untuk itu menurut Amin Abdullah, diperlukan perangkat kerangka analisis epistimologis yang khas untuk pemikiran Islam, yakni apa yang disebut oleh Muhammad ‘Abid Al Jabiri dengan epistimologi bayani, burhani dan irfani (Musliadi, 2014:39). Dengan kata lain, interkoneksi yang ditawarkan oleh Amin Abdullah merupakan inspirasi lanjutan dari pemikiran epistimologi Muhammad Al-Jabiri. Yaitu pengakuan terhadap keragaman epistimologi (dengan tidak saling menegasikan antara ilmu pengetahuan) sambil terus mencari format kerjasama dan sinergi antar ilmu pengetahuan demi kemajuan peradaban yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam.

8

4. Frikatifisasi Ilmu Frikatifisasi Ilmu adalah wacana keilmuan yang digagas oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad untuk menjadi paradigma keilmuan baru baik di UIN Ar-Raniry. Wacana ini dimunculkan sebagai alternative bagi kajian AcehStudeis yang selama ini lebih didominasi oleh sejarah perang. Menurut Kamaruzzaman, Kajian Aceh pasca kolonial adalah kajian perlawanan terhadap pemerintahan pusat. Sehingga, kajian-kajian mengenai konsep dasar keilmuan dalam kehidupan rakyat Aceh sangat sulit di jumpai. Bahkan para Acehnologis seperti Reid dan Lombard lebih tertarik menulis Aceh pada abad ke 16 hingga 19 Masehi. Yang menarik semua asset budaya dan sejarah Aceh dialihkan menjadi semacam kajian pengetahuan sejarah yang diupayakan memiliki semangat ideologis. Kajian Ibrahim Alfian misalnya, mencoba mendiskusikan bagaimana semangat Perang Sabil di Aceh. Kajian Nazaruddin Syamsuddin juga mendiskusikan bagaimana kisah Perang Aceh. Paling tidak, dominasi karya mengenai perang di Aceh telah menyebabkan sisi-sisi kefalsafahan ke-Aceh-an menjadi reduo dan sulit dikenali oleh generasi muda saat ini. Karya-karya yang ditulis Naquib tentang Pemikiran Hamzah Fansuri adalah sebuah contoh kajian yang paling komprehensif mengenai falsafah keacehan yang dibingkai dengan tasawuf. Hal ini belum lagi muncul karya seperti yang ditelaah oleh Ahmad Daudy mengenai pemikiran Nuruddin Ar-Raniry. Hingga hari ini, karya Nuruddin Ar-Raniry masih dibaca oleh masyarakat Aceh, khususnya kawasan pendesaan. Namun demikian, kajian falsafah dan mistik yang menjadi fondasi pemikiran di Aceh yang telah menopang studi Aceh perlahan-lahan meredup dengan maraknya studi Aceh yangdiisi oleh semangat perang (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, 2012:16-17). Prikatifisasi Ilmu berangkat dari falsafah keilmuan Islam, ilmu itu sinar atau ilmu itu menyinari sebuah peradaban (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, 2013:1-2). Paradigma ini berbeda dengan paradigma integrasi, interkoneksi, dan islamisasi. Letak perbedaannya adalah paradigma frikatifisasi ini berangkat ilmu itu diperoleh melalui ilmu-ilmu keilahian yang didasarkan pada tiga hal yaitu adalah cahaya, akal, dan qalam. Ini semua bersumber dari Allah melalui divine knowledge (ilmu kewahyuan). Ilmu ini hidup, karena itu disebut sebagai spirit. Karena ilmu ini memvisualkan sesuatu, maka disebut sebagai cahaya (nur). Karena ilmu ini berisi tentang gagasan mengenai sesuatu, maka disebut sebagai intelek. Karena ilmu membentuk tentang sesuatu, maka disebut dengan qalam. (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, 2013b:18) Proses pencarian akar ilmu di atas merupakan usaha independen ilmu yang bangkit kemudian menyinari semua aspek pengetahuan yang ada di dalam

9

masyarakat. Aspek cahaya didapati oleh Nur Muhammad. Sedangkan aspek akal (intelek) ditemui pada Angel of Knowledge (Malaikat Jibril). Adapun aspek qalam ditemukan pada tradisi filsafat yang kerap dikenali sebagai Hermes (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, 2013b:18). Tawaran ini berangkat dari “kepercayaan diri” bahwa Aceh melalui tiga ulama besar (Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkily) telah memiliki tradisi keilmuan yang kuat dibandingkan dengan daerah lain. Menurut Kamaruzzaman, distingsi atau menyinari adalah dua hal yang dipraktekkan oleh para ilmuan di Aceh (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad,2013:1-2).

Fr ik a t Implikatf f Interpretatf Diskursif Eksplanatf Desktptf Gambar piramida level keilmuan (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, 2013c:228)

Pola fikir pada level ini lebih banyak dilakukan dalam bentuk diam. Kelompok pemikir ini sudah berada di atas lima kelompok di atas. Mereka tidak mendapat tempat di kalangan masyarakat, karena pola fikir mereka yang sukar diterima. Kelompok ini boleh jadi para ahli kebijaksanaan yang mampu menghubungkan diri dan jiwa mereka dengan alam sekitar. Disini juga bisa terdiri dari para pujangga, atau para penuntut ilmu hikmah. Ciri khas dari pemikiran ini bukanlah ingin mempengaruhi pemikiran lain, melainkan memberikan “sinar” pada setiap pemikiran yang ada. Sehingga dengan sinar tersebut, orang lain mampu memahami tidak hanya pemikiran yang difahaminya, tetapi juga dampak pemikiran tersebut. Sinar oleh para hukama sering diandaikan dengan ketimuran (ishraqy). (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad,2013:2-3) Sepertinya, paradigma keilmuan prikatif adalah model keilmuan pasif (diam) yang tidak terlibat langsung dalam proses diskursus pengetahuan, namun ia menjadi semacam ‘hikmah’ yang menyinari perjalanan pengetahuan itu sendiri.

10

Keunggulan dari pola ini yang berbeda dengan pola-pla sebelumnya, diantaranya: Pertama, Model ini terbilang praktis dan non-konfrontatif karena tidak adanya perombakan besar-besaran atas bangunan metodologi keilmuan yang sudah ada. Frikatifisasi Ilmu bermain di ranah spirit, pasif dan bersifat diam, namun tetap menjadi pijakan bagi perkembangan dan pengembangan pengetahuan. Kedua, pola frikatifisasi (distingsi;menyinari) menyelamatkan objektivitas ilmu dari kemungkinan kontrol dan ‘subjektivitas yang berlebihan’ dari norma maupun agama. Ini mengingatkan kita pada apa yang terjadi pada ilmuan abad pertengahan Eropa yang harus menyembunyikan pengetahuannya karena dianggap bertentangan dengan nilai kristiani. Pola Frikatifisasi justru mendorong perkembangan pengetahuan. Dengan cahayanya, ia memberikan inspirasi dan imajenasi untuk pengembangan pengetahuan secara menyeluruh dan besar-besaran. Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, dalam Kajian Islam Nusantara menawarkan jenis konsep:… “Islam Nusantara merupakan bagian dari ‘meneguhkan’ identitas Islam yang bersifat keindonesiaan dan kenusantaraan” (Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, 2018:12) Dari kalimat tersebut jelas wilayah cakupan Frikatifisasi hanya berkisar pada spirit keilmuan (meneguhkan), tanpa ada upaya merombak bangunan-bangunan epistimologi yang sudah ada. Hanya saja perlu disuntikan spirit falsafah dan mistik yang akan menyinari dan menginsipirasi serta memberi ‘nilai lebih’ dari keilmuan untuk kebahagiaan manusia. Adapun perbedaannya, diantaranya : Tema Tokoh Utama

Islamisasi Naquib Al Attas

Integrasi Mulyadi Kartanegara

Interkoneksi M Amin Abdullah

Ontologi Epistimologi

Tauhid Al-Qur’an dan Al Hadits

Unity Burhani, Bayani, Irfani

Aksiologi

Mengembalikan Ilmu pada khittah yang munasabah dengan Islam

Al Qur’an Rasional, Empiris, Intuisi Upaya menyamakan legitimasi ilmiah yang setara hingga tidak ada celah

11

Saling sapa, saling menghormati dan saling memberi masukan antar setiap disiplin ilmu

Frikatifisasi Kamaruzzam an Bustamam – Ahmad Unity Burhani, Bayani, Irfani Meniupkan spirit Islam kepada setiap disiplin ilmu.

Keprihatinan Utama

-

Desakralisasi/ Sekulerisasi Sekulerisme pengetahuan yang ternyata bersifat dekonstruktif dan gagal memberi kebahagian yang menjadi tujuan akhir dari manusia

Solusi Teoritis

Membangun Konsep Keilmuan berlandaskan Ketuhanan, Kemanusiaan dan The University

Solusi Praktis

Membuat ISTAC di Malaysia

untuk saling (sinergis) tidak mengakui - Dikotom - Ego - Despiritua i Antara lisasi - Saling Subjek - Hilangnya mengeje Pengetahu Spirit k dan an keislaman tidak - Kepincang dalam mengaku an setiap i antar peradaban ilmu ilmu karena pengetahu pengetah antara an uan tidak (bahkan khususn adanya termasuk ya antara kerjasama di dalam ilmu yang pengetahu agama bersinergi an dan ilmu antara Agama) umum. berbagai ilmu dan sudut pandang. Sehingga pembangu nan tidak menjadi komprehe nsif dan tidak efektif karena jalan sendirisendiri. Membangun Menciptakan Membangun Epistimolog konsep sebuah y bersama kerjasama sintesa yang yang antar ilmu mencoba mampu pengetahuan memadukan diterima antara oleh semua pengetahuan jenis timur dan pengetahuan Barat Membuat Membangun - Mengajuka Fakultaskerjasama n konsep 12

Kritik

Model ini mudah terjebak dalam ayatisasi atau malah terjadi subjektifikasi dan kontrol yang berlebihan atas pergerakan pengetahuan.

fakultas Umum namun berbasiskan Islam di UIN Jakarta, seperti fakultas Kedokteran yang dipercaya sesuai dengan konsep perpaduan antara Islam dan Barat

penelitian dan pendidikan antara UIN – UGM di UIN Yogyakarta dan membentuk kajian-kajian yang sinergis diantara keduanya.

Sangat berkaitan dengan persoalan teologis yang justru memperleba r ruang perdebatan dan menyibukka n umat. Apalagi

Batasan Interkoneksi dan saling sapa harus diperjelas hingga tidak terjebak dalam situasi saling mencampuri

13

Frikatifisasi Ilmu sebagai Paradigma UIN Banda Aceh. - Mengupaya kan Narasi dan Diskursus Aceh Studies (Acehnolog i) - Kemungkin an merencanak an sebuah lembaga serupa ISTAC yang akan menaungi dan menyemara kkan AcehStudies berperspekt if fenomenolo gi Irfani (Acehnolog i) Karena metode ini adalah metode pasif, perlu ada konseptualisa si yang utuh bahwa ia memang akan memberi pengaruh yang positif

dalam dimensi irfani, bahkan tidak semua teolog mengakuiny a.

bagi perkembanga n setiap dimensi pengetahuan.

C. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini bahwa keempat wacana ini, walaupun memiliki kesamaan-kesamaan – dalam kajian selanjutnya – tetap harus dibedakan. Setidaknya selain karena latar belakang kemunculannya yang berbeda-beda, problema yang disorot, solusi, dan kekurangan-kekurangannya juga berbeda. Kebanyakan proyek tersebut terkendala persoalan teologi dan etik dimana secara ontologi, epistimologi dan ontologi, ada kesan bahwa Islam harus menjadi alat kontrol bagi gerak pengetahuan. Untungnya, sekularisasi ilmu kemudian dapat diatasi dan tindakan-tindakan destruktif akibat ilmu yang bebas nilai dapat dihindari. Namun kerugiannya, kontrol yang berlebihan terhadap ilmu (baik itu kontrol teologi maupun kontrol politik) dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Kita tentu tidak ingin paradigma keilmuan yang hadir justru menghambat kemajuan pengetahuan dan memunculkan kemunduran. Justru sebaliknya, paradigma keilmuan yang ditawarkan harus mendobrak kejumudan umat dan membawa sinar kemajuan bagi pengetauan.

14

DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, Arasy-Mizan, Bandung, 2005. Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar; Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Erlangga, Jakarta, 2002. Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban, Paramadina, Jakarta, 2001. Syed Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993. Syed Naquib Al-Attas, Mafhum Al-Ta’lim fi Al Islam; Itaar Al-Tasawwur li Falsafah Islamiyah li Al – Ta’lim, ISTAC, Kuala Lumpur, tanpa tahun. Wan Mohd Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, terj. Hamid Fahmi, Mizan, Bandung, 2004. Ismail Toyyib Al Mukhlis, Dari Islamisasi Ilmu Menuju Pengilmuan Islam; Melawan Hegemoni Epistimologi Barat, Jurnal Studi Keislaman Ulumuna, Volume 17 Nomor 1 (Juni) 2013, IAIN Mataram, Mataram 2003. Musliadi, Epistimologi Keilmuan Dalam Islam, Kajian terhadap Pemikiran M. Amin Abdullah, Jurnal Ilmiah Islam Futura, Vol. XIII, No. 2, Februari 2014. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Acehnologi, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2012. Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, Mengagas Paradigma Frikatifisasi Ilmu Bagi UIN Ar-Raniry, Makalah Konferensi Internasional, Cultivating Research Culture on Islamic Education, Law and Civilization Issues among Islamic Academia, Fakultas Tarbiah dan Keguruan IAIN Ar Raniry, Banda Aceh, 2013. Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, Menggagas Paradigma Keilmuan UIN ArRaniry, Kolom Opini Harian Serambi Indonesia, Banda Aceh, Senin, 7 Oktober 2013b. Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, Wahdatul Wujud; Membedah Dunia Kamal, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2013c. Kamaruzzaman Bustamam – Ahmad, Kontribusi Charles Taylor, Syed Naquib AlAttas dan Henry Corbin dalam Studi Metafisika dan Meta-Teori terhadap Islam Nusantara, Bandar Publishing, Banda Aceh, 2017.

15

Related Documents

Hamzah
April 2020 20
Hamzah Fansuri
May 2020 25
Saidina Hamzah
April 2020 18
Hamzah Fansuri
October 2019 37
Hamzah Fansuri
October 2019 33

More Documents from "Nur Ain Mohd Amin"