Kti Poligami 2018-2019.docx

  • Uploaded by: AhmadDhani
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kti Poligami 2018-2019.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,427
  • Pages: 15
ABSTRAK Nama NIDN PT

: Saddam Husin. M.TH. : 2009089101 : STAI Sepakat Segenep Kutacane Aceh Tenggara

Penelitian ini terdapat permasalahan yang harus dikemukakan, di sisi lain agar penulisan mudah untuk ditelaah dan dipahami, maka perlu adanya perumusan masalah yaitu bagaimana pendapat Quraish Shihab tentang poligami, bagaimana maksud keadilan tentang ayat tersebut dan apa hikmah dari poligami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana latar belakang timbulnya poligami, untuk mengetahui bagaimana pendapat Quraish Shihab tentang poligami dan juga untuk mengetahui berbagai hikmah dan makna keadilan dalam poligami. Metodologi Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan dan digunakan teknik analisis isi yang dilakukan dengan cara mendapatkan data melalui bukubuku yang berhubungan dengan objek yang dibahas. Adapun sumber data primer yang digunakan adalah buku-buku karangan Quraish Shihab yaitu Tafsir Al-Mishbah, sedangkan yang menjadi sumber sekunder adalah yang diperoleh dari berbagai literature yang berkaitan dengan masalah poligami. Adapun temuan dari penelitian ini adalah menurut Quraish Shihab poligami mengandung beberapa hikmah yakni sebagai sistem yang memberikan solusi problematika dalam masyarakat. Hikmah ini muncul dari Islam yang telah menjadi sistem kehidupan dan sistem ini tidak menyalahi fitrah, realitas dan kebutuhan manusia serta sesuai dengan berbagai kebutuhan yang selalu berubah dimanapun dan kapanpun saatnya. Kemudian Quraish Shihab juga menyatakan bagi yang ingin melakukan poligami harus pula benar-benar dapat berlaku adil kepada istri-istrinya. Sesungguhnya meyakini dan menerima hukum Allah SWT yang ditetapkan kepada umat Nya merupakan suatu kewajiban dan merupakan bagian dari penerimaan kita terhadap rukun iman. Termasuk perihal poligami yang memunculkan pro dan kontra dikalangan umat Islam sendiri. Meskipun sebagian non muslim ada yang mencela poligami, namun bagi kaum muslimin selayaknya memerlukan kedewasaan dan pemahaman yang tepat dalam menyikapi poligami sesuai dengan konteks Al-qur’an dan Sunnah Rasul SAW.

A. Latar Belakang Masalah Al-qur’an sebagai kitab hidayah dengan ayat-ayat yang mengatur tingkah laku dan sikap tindak Bani Adami, bukan saja hubungan vertikal antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Khaliq (Maha Pencipta), melainkan juga hubungan horizontal antara insan yang satu dengan manusia yang lain sebagai sesama makhluk. Dalam hal ini termasuk juga ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Allah berfirman dalam Q.S An-Nur ayat 32 yang berbunyi:

                    Artinya: “Kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”. (Q.S An-Nur ayat 32).

Ayat tersebut menyatakan bahwa Allah memerintahkan agar manusia untuk bersegera menikahi orang-orang yang sendirian. Hal ini didukung oleh hadits Nabi yang diriwayatkan oleh muttafaqun ‘alaih yang artinya “Dari Abdullah bin Mas’ud ra. Ia berkata, Rasulullah bersabda kepada kami ” Hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan. Dan barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya.” (Muttafaqun ’alaih). Ayat-ayat Al-qur’an yang mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Allah (Habl Minallah) lazim disebut dengan istilah ayat-ayat hukum ibadah, sedangkan ayat-ayat

yang mengatur interaksi horizontal antara sesama manusia (Habl min an-nas), lazim disebut dengan ayat-ayat hukum muamalah. Dalam hal ini contohnya poligami.1 Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan maka poligami akan memiliki arti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya juga disebut dengan poligami.2 Sedangkan pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersamaan.3 Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan gune berarti perempuan. Sedangkan seorang istri yang mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata polus yang berarti banyak dan andros berarti lakilaki. Jadi, kata yang paling tepat bagi seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan adalah poligini bukannya poligami. Meskipun demikian, dalam perkataan sehari-hari pada umumnya yang dimaksud dengan poligami itu adalah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan poligini itu menurut masyarakat umum adalah poligami.4

1

Moh. Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, (Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.1. Supardi Mursalin, Menolak Poligami,Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), h.15. 3 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Cet 25, (Jakarta: Surabaya, 2002), h. 904. 4 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 352. 2

Sementara itu dalam antropologi social, poligami merupakan praktek pernikahan lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, dimana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris : group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah namun poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan, terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. Sebaliknya poliandri tidak banyak dipraktekkan, poliandri hanya ditemukan pada suku-suku tertentu seperti pada suku Tuda dan suku di Tibet.5 Sejarah mencatat bahwa poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Berkaitan dengan masalah poligami yang ada pada umat terdahulu, Islam tidak menghapus. Islam menjelaskan tujuan puncak dari sebuah perkawinan dimana poligami juga merupakan salah satu kajian, dalam masalah poligami, Islam memberikan beberapa aturan, syarat-syarat dan batasan-batasan tertentu telah disiapkan. Tentunya hal itu tidak lain untuk menanggulangi dampak sosial yang bakal terjadi. Selain itu karena pembuat hukum ini adalah yang Maha Mengetahui dan Maha bijaksana. Bayangkan monogami yang dilakukan Nabi Muhammad ditengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi bersama istri tunggalnya Khadijah binti Khuwalid r.a, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian dua tahun sepeninggal 5 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender dan Solidaritas Perempuan, 1999), h. 2.

Khadijah, Nabi berpoligami itupun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari perhitungan dan kondisi yang ada pada waktu itu, serta konteksnya pada masa kini sangat wajar kalau ada gerakan kaum wanita yang mempertanyakan keabsahan berpoligami. Bukti bahwa perkawinan Nabi Muhammad untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda yang ditinggal mati kecuali Aisyah binti Abu Bakr r.a. Pernikahan Rasul dengan para janda adalah mengangkat harkat dan martabatnya, dimana pada saat itu mereka merasa sangat terhormat setelah dinikahi Rasulullah .6 kitab Ibn al-Atsir menjelaskan bahwa poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial7. Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan wanita dalam tradisi feodal Arab pada abad ke 7 Masehi. Saat itu nilai sosial seorang wanita dan janda demikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat ber sebanyak mereka sukai. Sebaliknya yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh wanita, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat saja. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah Al-Tsaqafi r.a, Wahb Al-Asadi dan Qais Al-Harits. Dan inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasaan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.8

6

Jefri Al-Bukhari, Ada Apa Dengan Wanita, (Jakarta: Al-Mawardi, 2008), h. 27-28. Ibn Al-Atsir, Jami’ Al-Ushu lJuz XII, h. 108. 8 Jefri Al-Bukhari, Op.Cit, h. 29. 7

Pada banyak kesempatan, Nabi Muhammad justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan” Barang siapa mengawini dua wanita, sedangkan dia tidak bisa berlaku adil terhadap keduanya, pada akhirat nanti separoh tubuhnya akan lepas dan terputus.9 Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar Al-qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan Al-qur’an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dari pada pakar Al-qur’an lainnya, dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudhu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Al-qur’an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Adapun sedikit keterangan yang dapat diambil dari pemikiran Quraish Shihab tentang poligami, bahwa beliau menegaskan dalam Q.S An-Nisa ayat 3 tersebut bukanlah merupakan anjuran agar laki-laki berpoligami, akan tetapi pada hakikatnya ayat itu merupakan penegasan dari Allah untuk tuntutan berlaku adil bagi para laki-laki yang menikahi anak yatim.10 Poligami telah disebutkan kebolehannya dalam Al-qur'an (QS. 4 :3). danTidak sedikit dari para perempuan yang menerima keberadaannya sebagai madu atau dimadu karena ingin mempertahankan mahligai rumah tangga yang sebenarnya telah berantakan akibat sikap suami. Mungkin mereka dengan tenang mengatakan "kami akan mencoba bersabar dan menerima kenyataan ini apa adanya". Sebab, perceraian bukan saja berdampak secara psikis bagi perempuan, melainkan juga nasib anak-anak mereka kelak.

9

Ibn Al-Atsir, Op.Cit, h.168. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 407.

10

B. Hikmah Poligami Menurut Muhammad Quraish Shihab Poligami mengandung beberapa hikmah, yakni sebagai sistem yang memberikan solusi problematika dalam masyarakat mengingat kuantitas perempuan yang terus bertambah. Hikmah ini muncul dari Islam yang telah menjadi sistem kehidupan, dan sistem ini tidak menyalahi fitrah dan kebutuhan manusia serta sesuai dengan berbagai kebutuhan yang selalu berubah dimanapun dan kapanpun berada. Islam memberikan berbagai keringanan yang mampu menjawab beberapa realitas fitrah dan kehidupan, dan menjaga masyarakat dari berbagai kriminalitas dibawah tekanan kebutuhan primer masyarakat yang terus mengikat dan realitas yang berbeda-beda kearah perubahan.11 Sementara itu menurut Muhammad Quraish Shihab hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan poligami, beliau menjelaskan kenyataan menunjukkan bahwa jumlah laki-laki bahkan binatang jantan lebih sedikit dari pada jumlah wanita atau betinanya. Hal ini dijelaskan didalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas Rasulullah bersabda, “Bahwa salah satu tanda hari kiamat bertambahnya jumlah perempuan sehingga setiap laki-laki mendapatkan lima puluh perempuan”. Rata-rata usia wanita lebih panjang daripada usia laki-laki, sedang potensi membuahi bagi laki-laki lebih lama dari pada potensi wanita, bukan saja karena wanita mengalami masa haid tetapi juga karena wanita mengalami menopouse, sedangkan pria tidak mengalami keduanya. Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan, peperangan yang hingga kini tidak kunjung dapat dicegah lebih banyak merenggut nyawa laki-laki dari pada perempuan dan kenyataan ini yang mengundang beberapa tahun yang lalu sekian banyak wanita di Jerman Barat menghimbau agar poligami dapatdibenarkan walau untuk beberapa tahun. Kemandulan atau 11

Viii

Karim Hilmi Farhat Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah, (Jakarta: Senayan Publishing, 2007), h.

penyakit parah merupakan suatu kemungkinan yang dapat terjadi dimana-mana. Apa yang menjadi jalan keluar yang dapat diusulkan kepada sang suami menghadapi kasus yang demikian. Bagaimana seharusnya ia menyalurkan kebutuhan biologisnya atau memperoleh dambaan keturunan. Kondisi ini tidak mendapat jalan keluar kecuali dengan mengambil salah satu dari dua alternatif, yaitu mengganti dengan menceraikannya sehingga dia menjadi janda yang akan menderita karena kehilangan teman yang melindunginya dan tidak mempunyai tempat untuk mencurahkan isi hati atau menambah istri. Muhammad Quraish Shihab menyatakan poligami ketika saat seperti itu adalah solusi yang paling tepat. Namun yang perlu di ingat bahwa ini bukan berarti anjuran apalagi berarti kewajiban. Ayat ini hanya memberi wadah atau solusi bagi laki-laki yang membutuhkannya ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu seperti yang di kemukakan diatas. Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan tidak dapat dikatakan bahwa Rasul menikah lebih dari satu kali harus diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan Rasulullah perlu diteladani. Sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang dari beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya, perlu disadari bahwa semua wanita yang Rasul nikahi kecuali Aisyah ra adalah janda-janda dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu serta pada umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.12 Dengan demikian, secara umum para ulama berkesimpulan bahwa poligami pada dasarnya diizinkan bukan diperintahkan. Demikianlah berbagai hikmah poligami yang penulis paparkan yang mana begitu penting dan adanya hikmah mengapa Islam memperbolehkan poligami dengan memberikan jumlah batasan. Begitu indahnya ajaran 12

Ibid, h. 412.

Islam yang telah disyari’atkan, dan tentunya dalam mempraktekkan poligami diwajibkan memenuhi syarat yang tidak ringan yang telah ditentukan. C. Penafsiran Quraish Shihab Terhadap Konsep Poligami Dalam Tafsir AlMishbah Al-Quran Surah An-Nisa ayat 3. Allah Swt Berkata :                                Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,13 Maka (kawinilah) seorang saja,14 atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dalam menafsirkan ayat tersebut diatas Muhammad Quraish Shihab Menghubungkan antara ayat ini dengan ayat sebelumnya, dimana pada ayat kedua dari surah An-Nisa ini menjelaskan sekaligus memerintahkan kepada para wali yang memelihara anak yatim yang belum dewasa agar memberikan harta milik anak-anak yatim yang dipelihara tersebut ketika telah dewasa.15 Hubungan antara ayat tersebut dapat dilihat ketika Muhammad Quraish Shihab memberikan penafsiran berdasarkan keterangan istri Nabi , Aisyah ra, Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud serta Tirmidzi yang meriwayatkan bahwa Urwah Ibn Zubair tentang ayat yang berbunyi “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuanperempuan yatim bilamana kamu mengawininya........” beliau menyatakan

bahwa itu

berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, dimana hartanya

13

Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lainlain yang bersifat lahiriyah. 14 Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. 15 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 405.

bergabung dengan harta wali dan sang wali senang akan kecantikan dan harta anak yatim tersebut, maka dia hendak menikahinya tanpa memberikannya mahar yang sesuai.16 Lebih lanjut Aisyah menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat tersebut para sahabat bertanya lagi tentang perempuan, maka turunlah firman Allah SWT Q.S An Nisa:127                                            Artinya: ”Mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita . Katakanlah Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Alqur’an (juga memfatwakan) tentang wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu enggan menikahi mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah, dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan , maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui. (Q.S An-Nisa:127). Aisyah ra, kemudian melanjutkan keterangannya bahwa firman Allah yang menyatakan “Sedang kamu enggan menikahi mereka” itu adalah keengganan para wali untuk menikahi anak yatim yang sedikit harta dan kecantikannya. Maka sebaliknya dalam Q.S AnNisa ayat 3, mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya tetapi enggan berlaku adil terhadap mereka.17 Karena itu dalam menafsirkan ayat ini Quraish Shihab menyatakan jika seorang lakilaki tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim dan percaya diri akan dapat berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yang yatim itu, maka nikahilah apa yang disenangi sesuai

16 17

Ibid, h. 409. Ibid, h. 410.

keinginan kamu dan halal dari wanita-wanita yang lain itu, kalau perlu kamu dapat menggabung dalam saat yang sama dua, tiga atau empat, tetapi jangan lebih. Kemudian Quraish Shihab menjelaskan jika seorang laki-laki tidak akan dapat berlaku adil dalam hal harta dan perlakuan lahiriah, bukan dalam hal cinta bila menghimpun lebih dari satu istri, maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya wanita yang dimiliki. Karena menikahi anak yatim yang mengakibatkan ketidak adilan dan mencukupkan satu orang adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya yakni mengantarkan kepada keadilan.18 Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan penyebutan dua, tiga atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil terhadap anak yatim. Beliau mengatakan redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain untuk makan makanan tertentu dan untuk menguatkan larangannya itu dikatakannya “ Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, habiskan saja makanan selainnya dihadapan anda” Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu. Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya. Ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Lalu Quraish Shihab menjelaskan tentang firman Allah SWT (‫ “ )ما ملكت ايمنكم‬ma malakat aimanukum” yang diterjemahkan dengan hamba sahaya wanita yang kamu miliki, ini

18

Ibid, h. 407.

menunjukkan kepada satu kelompok masyarakat yang ketika itu merupakan salah satu fenomnena umum masyarakat manusia diseluruh dunia. Di dalam tafsirnya Quraish Shihab menyatakan kenyataan menunjukkan bahwa jumlah lelaki lebih sedikit dari pada jumlah wanita, dan rata-rata usia wanita lebih panjang dari pada usia laki-laki, sedangkan potensi membuahi bagi laki-laki lebih lama dari pada potensi wanita, bukan saja karena wanita mengalami masa haid akan tetapi karena wanita juga mengalami menopouse, sedang pria tidak mengalami keduanya.19

Namun penulis pribadi setuju dengan apa yang dikatakan oleh Quraish Shihab bahwa hal ini bukan berarti kita harus menutup rapat akan keabsahan berpoligami karena Islam adalah agama yang mudah, tidak mempersulit. Penulis memahami bahwa ayat 3 dari Q.S AnNisa ini merupakan solusi bagi manusia yang membutuhkan dan itupun bisa dilakukan jika mampu berlaku adil.20

19

Ibid, h. 411. Faqihuddin Abdul Kadir, Memilih Monogami, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), h. 218.

20

PENUTUP A. Kesimpulan 1. M. Quraish Shihab mengemukakan bahwa Islam tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syari’at serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat 3 dari Q. S. An-Nisa ini. Akan tetapi ayat ini hanya menyatakan tentang bolehnya poligami, itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. M. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa pembahasan poligami dalam dalam surah An-Nisa ini hendaknya tidak ditinjau dari segi baik buruknya, akan tetapi dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi. 2. Keadilan yang dituntut dalam surah An-Nisa ayat 3 ini menurut Quraish Shihab yaitu berupa keadilan dalam hal muamalah, pemberian nafkah, pergaulan dan seluruh urusan lahiriyah. Dimana tidak seorang istripun dikurangi haknya dalam urusan ini, dan tidak seorangpun dari mereka yang lebih diutamakan dari yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Adapun masalah perasaan, hal itu tidak dituntut untuk melakukannya, karena hal itu diluar kehendak manusia. 3. Menurut Quraish Shihab, poligami mengandung beberapa hikmah, yakni kenyataan menunjukkan bahwa jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan jumlah perempuan, selanjutnya rata-rata usia wanita lebih panjang dibandingkan usia laki-laki, sedangkan potensi membuahi laki-laki lebih lama dari pada potensi membuahi pada wanita. Begitu juga dengan kemandulan atau penyakit parah

merupakan suatu kemungkinan yang dapat terjadi dimana-mana. Dalam hal ini jelas bahwa poligami merupakan solusi yang paling tepat untuk menghindari maksiat. B. Saran-saran Setelah penulis mengemukakan beberapa kesimpulan diatas, maka berikut ini dikemukakan pula beberapa saran sebagai berikut: 1. Penulis berharap kiranya para ulama dan para pendidik berperan aktif untuk menyampaikan kepada umat Islam tentang pengetahuan yang berkaitan dengan poligami agar tidak terjadi kekeliruan bagi masyarakat awam dalam memahami konteks poligami. 2. Penulis mengharapkan bagi Generasi Islam agar menumbuhkan pada dirinya untuk selalu belajar dan menelaah ayat-ayat Al-qur’an dengan teliti agar mendapat suatu hikmah maupun tujuan dikemukakannya suatu ayat yang ada di dalam Alqur’an.

Daftar Pustaka Suma Moh. Amin, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarata: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.. Mursalin Supardi, Menolak Poligami,Studi tentang Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Cet 25, Jakarta: Surabaya, 2002. Tihami dan SahranSohari i, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009. Mulia Musdah, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender dan Solidaritas Perempuan, 1999. Al-Bukhari Jefri, Ada Apa Dengan Wanita, Jakarta: Al-Mawardi, 2008. Shihab M.Quraish, Tafsir al-Mishbah Volume 2, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Kadir Faqihuddin Abdul, Memilih Monogami, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.

Related Documents

Poligami
April 2020 19
Poligami
June 2020 20
Poligami
June 2020 25
Poligami
May 2020 25
Poligami
June 2020 23

More Documents from ""