A. Latar Belakang Masalah Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyebutkan bahwa “Perjanjian merupakan suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.1 Dalam melaksanakan perjanjian ada beberapa syarat yang harus di penuhi, sehingga perjanjian tersebut bisa sah menurut Undang-Undang. Perjanjian merupakan hal yang sering dilakukan, karena dalam melaksanakan perjanjian ada kesepakatan yang timbul didalamnya. R. Subekti mengatakan : “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.2 Selain itu ada istilah lain yakni persetujuan dan kontrak, dimana untuk istilah yang terahir ini lebih sempit pengertiannya karena lebih ditujukan pada perjanjian atau persetujuan yang sifatnya tertulis. Dari semua istilah tersebut, kata perjanjian lebih umum digunakan oleh masyarakat, serta tepat untuk menggambarkan janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh hukum. Perjanjian bagi hasil yang umum dan telah dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat sejak dahulu adalah perjanjian bagi hasil di bidang pengolahan tanah pertanian. Menurut Abdul Ghofur Anshori dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian Islam di Indonesia mengatakan :“Perjanjian bagi hasil adalah
1
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, Hal. 328 2 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Pembimbing Masa, jakarta,1970, Hal. 1.
1
pengelolaan tanah dengan upah, berupa sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu”.3 Perjanjian bagi hasil dalam arti kata hukum teknis, ialah perjanjian paruh hasil tanam (deelbouw transactie), yaitu suatu perjanjian yang terkenal dan lazim dalam segala lingkungan-lingkungan hukum. Dasarnya perjanjian paruh hasil tanam ialah saya ada sebidang tanah tapi tidak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasil, tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada saya sebagian hasil panennya.4 Maksud dari pada Ter Haar diatas adalah “Saya mempunyai sebidang tanah tetapi saya tidak ada waktu untuk mengerjakannya sendiri. Maka dari pada itu saya mempekerjakan orang lain untuk menggarapnya dengan melakukan perjanjian dan meminta sebagian hasil dari garapan tersebut. Dalam prakteknya, perjanjian bagi hasil yang berlaku di Indonesia. Biasanya dilakukan antara pihak pemilik lahan atau pemilik suatu hak istimewa, dengan pihak yang bersedia untuk mengolah lahan tersebut atau pihak yang hendak memanfaatkan dan menyelenggarakan usaha atas hak istimewa yang dimaksud. Kemudian, hasilnya akan dibagi antara pihak pemilik dan pihak yang memeliharanya. Dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian secara adat di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun, dimana para pihak melakukan perjanjian secara lisan, bukan secara tertulis. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang
3 Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep,Regulasi,Dan Implementasi), Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta, 2010, Hal. 102 4 Ter Haar; terjemahan, Soebakti Poesponoto: Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Beginselen en Stelsel Van Het Adatrecht), cet.11. PT.Pradnya Paramita, jakarta, 2001, hal.102
2
mengatur mengenai bentuk perjanjian bagi hasil pertanian yang mana menyebutkan bahwa: “Semua perjanjian bagi hasil pertanian harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan Kepala Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan. Selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Kepala Desa“ dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.”5 Adapun pembagian bagi hasil antara kedua belah pihak (persentasenya) tidak ditentukan secara khusus, akan tetapi dikembalikan kepada kesepakatan dari para pihak. Perjanjian bagi hasil ini biasanya didasari oleh alasan : 1. Keterbatasan dana 2. Resiko yang tinggi 3. Efisiensi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya beberapa pelanggaran terhadap kerjasama yang sudah disepakati sehingga merugikan salah satu pihak, seperti misalnya pemilik kebun menetapkan harga karet secara diam-diam dan penggarap menjual hasil kebun tanpa diketahui oleh pemilik kebun kepada toke lain. Dalam kehidupan sebagai petani, tidak semua anggota masyarakat yang memiliki lahan tidak luas, dan ada juga yang memiliki lahan atau tanah yang secara berlebihan tetapi tidak dimanfaatkan, sehingga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya berbagai cara yang ditempuh oleh sebagian masyarakat guna menanam karet, seperti mengadakan perjanjian sewa menyewa, bagi hasil dan lain sebagainya. Maka diperlukan adanya aturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perjanjian tersebut, yang mana bagi masyarakat Desa Singkut
5
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU Nomor 2 Tahun 1960
3
Kabupaten Sarolangun hukum adat lebih berperan dalam mengatur cara kehidupan, baik menyangkut pelaksanaan perkawinan, pembagian harta warisan, perjanjian bagi hasil dan lain sebagainya. Menurut I Gede A.B Wiratama, menyebutkan bahwa pengertian hukum adat yaitu: “Hukum adat pada hakekatnya merupakan kebiasaan, artinya kebiasaankebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka, merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang dalam bentuk yang sama yang menuju pada rechtvardigeordening der samenleving”.6 Maka jelaslah bahwa hukum adat itu merupakan keseluruhan kelaziman atau kebiasaan yang telah berlaku dalam suatu masyarakat dan benar-benar telah menjadi suatu ikatan yang mempunyai kekuatan hukum dalam masyarakat yang bersangkutan, seperti halnya dengan kebiasaan pembuatan perjanjian bagi hasil. Perjanjian bagi hasil dapat dikatakan berlaku diseluruh wilayah indonesia yang dilakukan menurut hukum adat setempat yang masing-masing dari setiap daerah tersebut mempunyai istilah sendiri-sendiri, seperti: “Di Sumatera Barat dikenal dengan istilah memperduai, di Minahasa (Tayo), di Jawa dikenal dengan istilah Maro (separuh lawan separuh) atau mertelu (satu lawan dua), di Periangan nengah (setengah lawan setengah) dan jejuron (satu lawan dua), Lombok dikenal dengan (nyakap), Sulawesi Selatan dikenal dengan (tesang).”7 Sedangkan di Desa Singkut sendiri perjanjian bagi hasil dikenal dengan istilah “Paroan”. Perjanjian tersebut telah dilakukan secara turun temurun menurut kebiasaan adat istiadat itu sendiri. masyarakat setempat menyebutnya “Adat Bersendi
Syara’
Syara’
Bersendi
Kitabullah”
6
yang
mana
merupakan
I Gede A.B Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hal. 24 7 Ter Haar, Op.Cit., hal. 104
4
pedoman/pokok aturan yang mewarnai kehidupan mereka sehari-hari. Maksudnya adalah kedua aturan atau pedoman hidup tersebut bersumber pada ajaran agama dan adat istiadat yang keduanya saling berkaitan satu sama lain dan sekaligus dijadikan pegangan hidup sepanjang masa. Dalam hukum adat yang diterapkan di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun, Perjanjian bagi hasil juga biasanya dilakukan atas dasar kekeluargaan dan kepercayaan masing-masing pihak, yang seharusnya dalam hal ini disaksikan oleh perangkat desa yang ada, biasanya dalam hal ini Alim Ulama Cerdik Pandai berperan besar dalam hal penengah atau menjadi tempat bertanya, sebagaimana tertuang dalam pepatah adat (Kesiko Gena Betanyo Balek Gena Becerito), ( Bekaul di Tempat Keramat, Betanyo di Tempat nan tau ) yang maknanya jika hendak melakukan sesuatu maka Alim Ulama adalah tempat bertanya. Namun selain itu ada juga yang namanya Tuo Tengganai yang merupakan tempat bertanya juga atau termasuk sebagai salah satu perangkat desa yang lain yang dapat menjadi penengah. Dalam masyarakat Desa Teluk Kuali ketiganya merupakan suatu pemerintahan desa yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan yang merupakan unsur yang disebut ( Tali Tigo Beselampit, Tungku Tigo Sejerangan ). Dan yang tidak ketinggalan dalam hal tradisi adat masyarakat setempat yaitu berpantun. Salah satu pantun yang menyangkut tentang perjanjian bagi hasil ini yaitu ( Berat Basamo di Pikol Ringan Basamo di Jinjing, Kabukit samo mendaki kelurah Samo Merugi Balamo Samo Mendapat ) yang
5
maksudnya yaitu dalam hal pembagian hasil harus adil dan tidak merugikan salah satu pihak sehingga perjanjian dapat berlangsung lama.8 Tetapi dalam hal ini tidak semua orang melakukan perjanjian bagi hasil yang disaksikan oleh Kepala Desa atau pemuka adat tersebut, dikarenakan sudah ada dasar saling percaya antara satu pihak dengan yang lainnya. Perjanjian bagi hasil antara pemilik kebun karet dengan petani penyadap (pemotong) karet di Desa Singkut terdiri dari dua jenis, yaitu: 1. Perjanjian bagi hasil yang dimulai dari penanaman hingga penyadapan dilakukan oleh penyadap dan pemilik hanya menyediakan lahan 2. Perjanjian bagi hasil yang dimulai pada saat akan melakukan penyadapan atas kebun karet yang telah siap disadap. Dari kedua jenis perjanjian bagi hasil tersebut, perjanjian bagi hasil yang dimulai pada saat akan melakukan penyadapan atas kebun karet yang telah siap di sadap yang akan diangkat dalam penulisan ini. Dimana dalam jenis perjanjian bagi hasil itu sendiri telah ditentukan bahwa atas hasil sadapan, pemilik mendapatkan 50% (Lima puluh persen) bagian dan penyadap mendapatkan 50% (Lima puluh persen) bagian dengan ketentuan karet dari hasil sadapan penggarap harus dijual kepada pemilik dengan harga yang ditentukan oleh pemilik. Selanjutnya Setelah adanya kata sepakat maka yang perlu dibicarakan adalah mengenai hak dan kewajiban dari para pihak tersebut yaitu pemilik kebun karet dan petani penggarap, adapun hak dan kewajiban dari pemilik kebun secara terperinci adalah sebagai berikut:
8
Wawancara, Zakaria Tokoh Adat desa Teluk Kuali, tanggal 30 Januari 2017
6
a. Kewajibannya menyerahkan kebun karet kepada penyadap untuk merawat dan melakukan penyadapan serta menyuruh pengadap menjaga sebaikbaiknya batang-batang karet, agar hasil sadapan karet terus banyak dan juga bertahan lama. b. Haknya memperoleh bagian dari hasil kebun yang digarap oleh penggarap sesuai dengan kesepakatan yaitu 50% bagian dari hasil panen yang ditentukan sebelumnya. c. Kewajibannya membeli karet yang telah dibagikan sebelumnya kepada pihak penyadap 50% bagian, dengan harga yang tidak merugikan pihak penyadap karet. d. Kewajibannya menegur pihak penggarap yang kurang bersungguh-sungguh dalam bekerja menggarap dan merawat kebunnya tersebut. Sedangkan hak dan kewajiban dari petani penggarap secara terperinci dapat dikatakan sebagai berikut: a. Kewajibannya merawat dan melakukan penyadapan terhadap kebun karet yang telah diterimanya secara bersungguh-sungguh. b. Kewajibannya membagi hasil panennya dengan pemilik kebun sesuai dengan kesepakatan 50% bagian untuk pemilik. c. Haknya memperoleh bagian hasil panen 50%
bagian dari hasil yang
didapat. d. Kewajibannya menjual hasil sadapan karetnya kepada si pemilik tanpa terkecuali sesuai dengan kesepakatan 50% bagian yang sudah dibagi sebelumnya dengan pemilik.
7
e. Mendapatkan harga yang pantas tidak merugikannya dari hasil penjualan karet yang dijual kepada pemilik kebun karet. Namun dalam kenyataannya yang terjadi dilapangan yaitu di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun tidak semua pemilik maupun penyadap karet memenuhi hak dan kewajiban yang telah dibicarakan sebelumnya seperti pemilik karet memutuskan secara sepihak perjanjian bagi hasil tanpa membicarakan atau menegur pihak penyadap, membeli karet dari pihak penyadap dengan harga karet (getah) perkilogramnya sepenuhnya ditentukan oleh pemilik kebun atau (toke). Idealnya penetapan harga jual dari suatu produksi karet di sesuaikan dengan harga pasaran, namun demikian hal itu tidak berlaku di Desa Singkut, dimana penetapan penjualan harga karet (getah) ditentukan langsung oleh (pemilik kebun). Sedangkan dari Pihak penyadap dalam melaksanakan kewajibannya kadang kala tidak selalu sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati. Pihak penyadap dalam membagi hasil sadapannya, dari hasil kebun misalnya 60 (kg) karet (getah), disembunyikan 10% terlebih dahulu oleh penyadap setiap selesai panen sebelum dibagikan kepada pemilik kebun. Kemudian setelah merasa cukup banyak terkumpul maka dijual kepada toke lain. Dan permasalahan lainnya yang dilakukan oleh penggarap Dalam hal merawat kebun, pihak penggarap tidak bersungguh-sungguh misalnya, membersihkan kebun jarang dilakukan. Sementara dalam hal penyadapan, penyadap asal-asalan sehingga menyebabkan pohon karet cepat rusak dan tidak bisa bertahan lama, ini yang membuat kerugian bagi pemilik kebun.
8
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang sampai sejauh mana ketentuan-ketentuan yang mengatur perjanjian-perjanjian bagi hasil antara penyadap karet dengan pemilik kebun karet secara adat di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun. Untuk itu penulis melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk sebuah skripsi dengan judul “ Perjanjian Bagi Hasil Antara Penyadap Karet Dengan Pemilik Kebun Karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas yang telah dipaparkan dari latar belakang di atas, maka dapat didefinisikan beberapa permasalahan yang penulis rumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara penyadap dengan pemilik kebun karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun? 2. Apasajakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara penyadap dengan pemilik kebun karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Penelitian ini ditujukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara penyadap dengan pemilik kebun karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun; 2) Untuk mengetahui apa saja kendala yang timbul dari perjanjian bagi hasil dan bagaimana upaya penyelesaiannya. b. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dilakukan adalah berupa: 1) Secara Teoritis
9
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat menjadikan bahan kajian bagi penelitian-penelitian lebih lanjut. 2) Secara Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah: 1) Dapat digunakan sebagai sumber informasi dan bacaan bagi pihakpihak yang memerlukannya; 2) Menambah litelatur perpustakaan. 3) Dapat menjadi masukan bagi masyarakat dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan perjanjian bagi hasil di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun pada khususnya. D. Kerangka Konseptual Untuk memahami maksud dari penelitian ini perlu diuraikan beberapa penafsiran dan definisi yang merupakan hubungan antara konsep-konsep khusus yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yaitu; 1. Pelaksanaan Pelaksanaan dalam Kamus umum Bahasa Indonesia artinya proses, cara, perbuatan melaksanakan (rancangan, keputusan, dan sebagainya).9 2. Perjanjian Didalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih atau sebaliknya”. 3. Perjanjian Bagi Hasil Didalam Pasal 1 huruf (c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil (tanah pertanian), menyebutkan :“Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain, yang dalam UU ini disebut sebagai penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan 9
https://www.google.co.id/webhp?sourceid=chromeinstant&ion=1&espv=2&ie=UTF8#= pelaksanaan+menurut+kamus+besar+bahasa+indonesia.Diakses tanggal 31 Januari 2017.
10
usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara dua pihak.”10 4. Pemilik Lahan Pemilik Lahan ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak mengenai tana, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1960 tentang Perjanjin Bagi Hasil. 5. Petani Penggarap atau penyadap Petani Penggarap atau penyadap adalah mereka yang mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya dengan memikul seluruh atau sebagian dari resiko produksinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara penyadap karet dengan pemilik kebut karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun adalah suatu perbuatan yang merupakan kesepakatan antara penyadap dengan pemilik kebun karet untuk melakukan pembagian hasil antara penyadap sebagai pihak yang memelihara tanaman karet dengan pihak pemilik yang menyediakan lahan. E. Landasan Teoritis Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) didalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata memberikan pengertian tentang perjanjian yaitu menyatakan “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih atau sebaliknya”. Selanjutnya para sarjana memberikan perumusan perjanjian sebagai berikut:
10
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU Nomor 2 Tahun 1960
11
Subekti, mengemukakan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. R. Setiawan, persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”11 Menurut Ter Haar dasar perjanjian bagi hasil atau perjanjian paruh hasil tanaman (deelbouw transactie) ialah: “Saya ada sebidang tanah tapi tidak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasilnya; tapi walaupun begitu saya hendak memungut hasil tanah itu dan saya membuat persetujuan dengan orang lain supaya ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan kepada kepada saya sebagian hasil panennya.”12 Latar belakang terjadinya perjanjian bagi hasil menurut para ahli antara lain disebutkan sebagai berikut: a. Bagi pemilik tanah (1) Mempunyai tanah tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk mengerjakan tanah sendiri; 11
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Prenadamedia Group, jakarta,2014, Hal. 285-
286 12
Ter Haar, loc. Cit. Hal. 102
12
(2) Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan pada orang lain mengerjakan tanah miliknya. b. Bagi penggarap/pemaro (1) Tidak/belum mempunyai tanah garapan dan atau tidak mempunyai pekerjaan tetap. (2) Kelebihan waktu bekerja karena milik tanah terbatas luasnya, tanah sendiri tidak cukup. (3) Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.13 Pada hakekatnya perjanjian bagi hasil yang diadakan oleh pemilik kebun karet dengan penyadap/penggarap terdapat 3 faktor utama, yaitu: a. Dasarnya; Pada saya ada tanah; Tetapi tidak ada kesempatan/semangat untuk mengusahakannya sendiri sampai berhasil; Namun saya ingin memungut hasilnya; oleh karena itu saya membuat transaksi dengan orang lain, supaya ia mengerjakannya, menanaminya dan memberikan sebagian hasil panennya kepada saya. b. Fungsi; membuat berhasilnya milik tanah tanpa pengusahaan tanah sendiri dan mempergunakan tenaga pekerjaan dari orang lain yang tanpa milik tanah sendiri. c. Obyeknya; tenaga kerja dan tanaman (bukan tanah). Pembagian bagi hasil tersebut didasarkan atas hal-hal sebagai berikut : 1. Pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan penggarap harus membersihkan tanah, menyediakan bibit, menanami bibit dan merawatnya hingga tanah tersebut menghasilkan sesuai bibit yang ditanam. 2. Pemilik tanah menyediakan tanah dan menyediakan bibit, sedangkan penggarap harus membersihkan tanah, menanam bibit tersebut dan merawatnya hingga tanah tersebut menghasilkan.
13
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 1994,
hal. 141
13
3. Pemilik tanah menyediakan tanah, menyediakan bibit dan menanggung biaya hidup penggarap hingga yang digarap menghasilkan. Sedangkan penggarap harus membersihkan tanah, menanam bibit tersebut dan merawatnya hingga dapat menghasilkan. Jadi bagi hasil dalam perjanjian bagi hasil yang diadakan antara pemilik tanah dan penggarap adalah sesuai dengan kesepakatan para pihak itu sendiri. Dalam hukum adat, perjanjian bagi hasil mengenai segi bentuk atau formalnya patut diperhatikan; a. Bantuan kepala persekutuan hukum tidak merupakan syarat untuk syahnya; untuk berlakunya tidak usah ada perkisaran/peralihan yang harus terang; jadi transaksi itu terlaksana diantara kedua pihak saja.
b. Jarang dibuat akte dari perbuatan hukum itu. c. Perjanjian itu dapat dibuat oleh; (1) Pemilik tanah; (2) Pembeli gadai; (3) Pembeli tahunan; (4) Pemakai tanah kerabat; (5) Pemegang tanah jabatan. d. Hak Pertuanan tidak berlaku terhadap perbuatan hukum itu; jadi tidak ada pembatasan tentang siapa yang dapat menjadi pembagi hasil.14 F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Dalam hal ini, penulis mengambil lokasi penelitian di daerah Desa Singkut Kabupaten Sarolangun. 2. Metode Penelitian 14
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, liberty Yogyakarta,1981, hal.37-38
14
Metode pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris, yaitu dengan melihat dan meneliti pelaksanaan perjanjian bagi hasil antara penyadap karet dengan pemilik kebun karet serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kemudian menganalisa permasalahan yang ditemui atau kendala dalam perjanjian bagi hasil penyadap karet serta bagaimana upaya penyelesaiannya. 3. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian memberikan gambaran tentang objek yang diteliti berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian bagi hasil penggarap karet dengan pemilik lahan di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun. 4. Sumber Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam rangka penelitian dan penulisan ini maka penulis melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, yaitu; a. Data Sekunder penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa aturan perundangundangan dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. b. Data Primer (lapangan) Untuk memperoleh data primer ini penulis melakukan penelitian lapangan dengan cara mengadakan wawancara kepada pihak-pihak
15
terkait diantaranya tokoh masyarakat, Kepala desa, ketua adat, pemilik kebun karet dan penggarap atau penyadap. 5. Teknik Penarikan Sample Teknik penarikan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling, dimana dengan metode ini penulis hanya melakukan penelitian terhadap pihak-pihak tertentu saja yaitu mereka yang mengerti dan mengetahui dengan permasalahan yang akan diteliti oleh penulis, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil penyadap karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun. Maka Terpilih 5 orang pemilik kebun karet dan 5 orang penyadap karet di Desa Singkut Kabupaten Sarolangun yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Selanjutnya untuk menambah informasi sehubungan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis menetapkan beberapa pihak sebagai informan diantaranya; a. Kepala desa b. Ketua adat c. Tokoh masyarakat. 6. Pengumpulan Data Adapun metode dalam pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan cara: a. Wawancara
16
Wawancara dilakukan dengan cara bebas terpimpin dengan terlebih dahulu disiapkan pokok-pokok tertanyaan sebagai pedoman wawancara yang dilakukan dengan informan dan responden terkait dengan penelitian. b. Studi Dokumen Studi dokumen dilakukan dengan mengambil data dari buku-buku kepustakaan yang terkait dengan permasalahan dan data yang sudah diolah dan disusun secara sistematis. 7. Analisa Data Semua data yang telah diperoleh dikumpulkan, disusun, diolah dan diklasifikasi kedalam bagian-bagian tertentu kemudian dianalisa dengan metode kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan data dalam bentuk kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis dan terperinci sehingga kalimat-kalimat yang tersusun diperoleh gambaran dari permasalahan yang dibahas untuk ditarik kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran. G. Sistematika Penulisan Guna memperoleh
gambaran dan
mempermudah pemahaman secara
menyeluruh dari skripsi ini kearah permasalahan yang sebenarnya, maka penulis memaparkan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, bab ini merupakan kerangka dasar bagi bab-bab selanjutnya yang menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
17
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual serta metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka, bab ini merupakan landasan teori untuk menuju bab selanjutnya, yang menguraikan tentang perjanjian pada Umumnya, tinjauan umum tentang perjanjian bagi hasil dan perjanjian menurut hukum adat. BAB III Pembahasan, Bab ini merupakan bab yang terpenting, karena bab ini landasan teori untuk menuju bab pembahasan yang merupakan bab inti dalam skripsi ini. Dalam bab ini penulis menguraikan mengenai bagaimana pelaksanaan perjanjian bagi hasil, hak dan kewajiban para pihak serta hapusnya perjanjian bagi hasil. BAB IV Penutup, pada bab ini penulis akan menyajikan beberapa kesimpulan yang ditarik dari uraian-uraian pada bab sebelumnya. Disamping itu penulis juga akan mengemukakan saran-saran yang mungkin berguna untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dari perjanjian bagi hasil.
18