PROFIL PROVINSI SULAWESI UTARA (Karakteristik Wilayah, Pola Hidup Masyarakat, Jumlah Populasi Terancam dan Kerawanan Bencana)
I.
Sejarah Provinsi Sulawesi Utara Sejak pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-undang nomor 13 tahun 1964 tanggal 23 September 1964, maka Sulawesi Utara ditetapkan sebagai daerah otonom tingkat I. Dengan Manado sebagai ibu kotanya. Secara de fakto daerah tingkat I Sulawesi Utara membentang dari Utara ke Selatan Barat Daya, dari pulau Miangas ujung utara di kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo. Selanjutnya seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka telah dilakukan pemekaran daerah dengan terbentuknya Provinsi Gorontalo sebagai hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara melalui Undang-undang nomor 38 tahun 2000. Dengan demikian wilayah Provinsi Sulawesi Utara setelah pemekaran provinsi meliputi: Kabupaten Sangihe dan Talaud, Kabupeten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kota Manado dan Kota Bitung, hingga saat ini telah terjadi pemekaran kabupaten dengan ketambahan kabupaten baru yaitu Kabupaten Talaud berdasarkan UU Nomor 8 tahun 2002 serta Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Kota Tomohon berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2003 dan Kabupaten Minahasa Utara berdasarkan UU Nomor 33 tahun 2003 . Dalam perkembangan selanjutnya, terbentuklah Kota Kotamobagu berdasarakan UU Nomor 4 tahun 2007, Kabupaten Minahasa Tenggara berdasarkan UU Nomor 9 tahun 2007, Kabupaten Bolmut berdasarkan UU Nomor 10 tahu 2007, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro berdasarkan UU Nomor 15 tahun 2007 dan pada tahun 2008 bertambah lagi 2 kabupaten yakni Kabupaten Boltim dengan UU Nomor 29 tahun 2008 dan Kabupaten Bolsel berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2008, sehingga jumlah daerah otonom di daerah Provinsi Sulawesi Utara menjadi 11 Kabupaten dan 4 Kota.
II. Kondisi Geografis 2.1 Letak dan Luas Wilayah Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah utara Pulau Sulawesi dan merupakan salah satu dari tiga provinsi di Indonesia yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa. Dua provinsi lainnya adalah Provinsi
Sumatera Utara dan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dilihat dari letak geografis provinsi Sulawesi Utara terletak antara 00ᵒ15’-05ᵒ34’ Lintang Utara dan antara 123ᵒ07’-127ᵒ10’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Laut Sulawesi, Republik Filipina dan Laut Pasifik di sebelah utara serta Laut Maluku di sebelah Timur. Batas sebelah selatan dan barat masing-masing adalah Teluk Tomini dan Provinsi Gorontalo. Luas wilayah Sulawesi Utara tercatat 15.273 km² yang terbagi atas 11 Kabupaten
yakni
Kabupaten
Bolaang
Mongondow,
Kabupaten
Bolaang
Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Tenggara, Kabupaten Minahasa Utara, dan 4 kota yakni Kota Bitung, Kota Kotamobagu, Kota Manado dan Kota Tomohon. Bolaang Mongondow merupakan kabupaten dengan wilayah terluas yaitu 3.022 km² atau 19,78 % dari wilayah Sulawesi Utara (Sulawesi Utara Dalam Angka 2015). Di Sulawesi Utara terdapat 46 gunung yang terletak di sembilan kabupaten/kota. Sedangkan jumlah danau tercatat ada sebanyak 17 danau dan sejumlah sungai yang mangaliri wilayah sulut sebanyak 30 sungai. Berdasarkan pencatatan stasion klimatologi Kayuwatu Manado rata-rata temperatur di kota Manado dan sekitarnya sepanjang tahun 2014 adalah sekitar 26,6ᵒC, Rata-rata hari hujan sepanjang tahun adalah 20 hari dan bulan Januari merupakan bulan yang paling sering hujan yakni 28 hari hujan. (Sulawesi Utara Dalam Angka 2015). Gambar 1: Peta Wilayah Provinsi Sulawesi Utara
2.2 Demografi Kependudukan 2.3.1 Jumlah Desa, Kelurahan dan Kecamatan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015 Dari 11 kabupaten dan 4 kota yang ada terdapat 169 kecamatan dan 1840 desa/kelurahan, seperti yang terganbar dalam tabel di bawah ini : Gambar 2: Jumlah Desa, Kelurahan dan Kecamatan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015
Sumber : Sulawesi Utara Dalam 2015
Jumlah penduduk provinsi Sulawesi Utara tahun 2015 berdasarkan data yang diperoleh dari Penduduk Sasaran Program yang dikeluarkan oleh Pusdatin Kemenkes RI, maka pada tahun 2014 adalah 2.412.118 jiwa yang terdiri dari laki-laki: 1.230.810 dan perempuan 1.181.308. Seperti terlihat pada gambar 3, di bawah ini di mana jumlah penduduk ini berbeda dengan proyeksi penduduk versi BPS Sulut bahwa jumlah penduduk Provinsi Sulut tahun 2015 adalah 2.386.600 yang terdiri dari 1.217.800 penduduk laki-laki dan 1.168.800 penduduk perempuan.
Gambar 3: Jumlah Penduduk Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015 Menurut Jenis Kelamin 250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
0
Sumber : BPS Sulawesi Utara Tahun 2016
Dari gambar tersebut, terlihat bahwa jumlah penduduk terbanyak ada di kota Manado dengan jumlah penduduk 425.634 jiwa atau mencapai 18 % dari total jumlah penduduk di prov. Sulut, kemudian di kabupaten Minahasa dengan jumlah penduduk: 329.000 jiwa atau 14% dari total jumlah penduduk Prov. Sulut, dan selanjutnya di Kabupaten Bolaang Mongondow, kemudian Kabupaten Minahasa Selatan, kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara, Kab. Kep Sangihe, Kota Kotamobagu, Minahasa Tenggara, Kota Tomohon, Kab. Kep Talaud, Kab Bolmong Utara, Kab Bolmong Timur, Kabupaten Bolmong Selatan, dan terakhir Kab. Kep Sitaro. Prosentase jumlah penduduk provinsi Sulawesi Utara dapat dilihat dalam gambar 4 di bawah ini sebagai gambaran penyebaran penduduk di Provinsi Sulawesi Utara.
Gambar 4: Prosentasi Kepadatan Penduduk Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015
Sumber : BPS Sulawesi Utara
Dari jumlah penduduk tersebut, terdistribusi berdasar jenis kelamin dan golongan umur yang digambarkan dalam piramida penduduk, seperti yang terlihat pada gambar 5 berikut ini, di mana sumber data jumlah penduduk diperoleh dari data Penduduk Sasaran Program yang dikeluarkan oleh Pusdatin. Gambar 5: Piramida Penduduk Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015
Sumber : Pusdatin
Dari gambar piramida penduduk di atas, maka jenis piramida penduduk Provinsi Sulut tahun 2015 mendekati stasioner, di mana angka atau jumlah penduduk dewasa
hampir sama dengan angka/jumlah penduduk muda. Hal ini menggambarkan bahwa angka kematian relative tetap, sedangkan angka kelahiran berkurang atau rendah. Menurut beberapa literature hal ini terjadi karena pelayanan kesehatan makin meningkat yang dibuktikan dengan rendahnya angka kematian dan menurunnya angka kelahiran seperti yang dialami oleh negara negara maju. Dan dari gambar piramida tersebut, terlihat bahwa ada peningkatan jumlah penduduik pada usia lanjut yang didominasi oleh penduduk wanita. Jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduk di Prov. Sulut pada tahun 2015, maka akan terlihat seperti gambar di bawah ini: Gambar 6: Tingkat Kepadatan Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2015
Sumber : BPS Sulut Tahun 2015 Bila melihat tingkat kepadatan penduduk tahun 2013 yakni 161.13 jiwa/km 2, dan pada tahun 2014 naik menjadi 163/km2 dan kemudian pada tahun 2015 juga naik menjadi 165,01jiwa/km2. Hal ini mungkin akan terjadi peningkatan yang sama pada tahun selanjutnya. Kepadatan penduduk tertinggi masih berada di ibu kota Prov Sulut yakni di Kota Manado, kemudian diikuti oleh Kota Kotamobagu dan selanjutnya di 2 kota lainnya yakni Bitung dan Tomohon. Untuk daerah kabupaten, kepadatan tertinggi berada di kabupaten kepulauan Siau Tagulandang Biaro dan Minahasa Selatan.
Dari jumlah penduduk yang ada, penduduk laki laki masih lebih tinggi dibanding dengan penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin: 104, 19 jiwa. Jika dibanding dengan angka ratio jenis kelamin tahun lalu, yakni hanya sebesar 48.916 jiwa, maka ternyata rasio jenis kelamin telah mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil registrasi jumlah warga asing di seluruh Sulawesi Utara tahun 2014 tercatat 3.569 jiwa dan paling banyak berasal dari Singapura yakni sebanyak 1.650 orang. Pada dasarnya penduduk dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja mereka yang seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan baik yang bekerja maupun sementara tidak bekerja, termasuk mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi sedang mencari pekerjaan / mengharapkan pekerjaan. Penduduk 15 tahun ke atas yang bukan angkatan kerja adalah mereka yang selama seminggu yang lalu mengurus rumah tangga dan kegiatan lainnya. Pada tahun 2014, (Sulut dalam Angka 2015) penduduk usia kerja di Sulawesi utara yang masuk angkatan kerja berjumlah 1.060.752 orang dan dari angkatan kerja yang ada, tercatat 980.756 orang yang sedang bekerja. Sementara yang bukan angkatan kerja berjumlah 707.410 orang dan dari bukan angkatan kerja yang ada tercatat 173.111 orang yang bersekolah dan 420.168 orang yang mengurus rumah tangga.
2.3 Keadaan Iklim Iklim daerah Sulawesi Utara termasuk tropis yang dipengaruhi oleh angin muson. Pada bulan-bulan November sampai dengan April bertiup angin barat yang membawa hujan di pantai utara, sedangkan dalam Bulan Mei sampai Oktober terjadi perubahan angin selatan yang kering. Curah hujan tidak merata. Suhu udara berada pada setiap tingkat ketinggian makin ke atas makin sejuk seperti daerah kota Kota Tomohon, Langowan di Minahasa, Modoinding di Kabupaten Minahasa Selatan, Kota Kotamobagu, Modayag dan Pasi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Daerah yang paling banyak menerima curah hujan adalah daerah Minahasa. Suhu atau temperatur dipengaruhi pula oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut. Semakin tinggi letaknya, maka semakin rendah pula suhunya, dengan perhitungan setiap kenaikan 100 meter dapat menurunkan suhu sekitar 0,6°C.
III. Karakteristik Sosial 3.1 Pendidikan Salah satu komponen yang berkaitan langsung dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) adalah pendidikan. Karena itu, kualitas SDM selalu diupayakan untuk ditingkatkan melalui pendidikan yang berkualitas demi tercapainya
keberhasilan pendidikan.
Berdasarkan Survei
Sosial
Ekonomi
Nasional (Susenas) Maret 2017, persentase partisipasi sekolah penduduk Sulawesi Utara usia 7-24 mencapai 64,52 persen. Terdapat 35,18 persen penduduk usia 7-24 tahun yang tidak bersekolah lagi. Data Susenas juga memberikan informasi bahwa terdapat 0,30 persen penduduk usia 7-24 tahun yang tidak/belum mengenyam bangku pendidikan. Untuk mengukur proporsi anak yang berskolah tepat pada waktunya dapat dilihat dengan indikator Angka Partisipasi Murni (APM). APM menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai dengan usia pada jenjang pendidikannya. APM Sulawesi Utara tahun 2017 untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA masingmasing sebesar 94,46; 73,87; 62,81. Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio antara siswa dari segala usia termasuk yang melebihi usai sekolah resmi terhadap jumlah siswa yang memenuhi syarat untuk kelas pendidikan tertentu. Jadi, jika ada mendaftar terlambat, mendaftar lebih awal, atau mengulang, jumlah siswa terdaftar melebihi populasi kelompok usia sekolah resmi maka APK di atas 100. APK Sulawesi Utara tahun 2017 jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA masing-masing sebesar 108,74; 88,52; dan 91,73.
3.2 Kesehatan Pada hakikatnya pembanguan kesehatan bertujuan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi seluruh rakyat agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal. Adalah relevan bila perbaikan derajat kesehatan masyarakat tersebut dibarengi pula dengan ketersediaan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit umum (RSU) dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Fasilitas kesehatan yang tersedia di Sualwesi Utara di antaranya rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas, posyandu, klinik/balai kesehatan dan polindes. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan Sulawesi Utara dibantu oleh 9.817 tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian, dan tenaga kesehatan lainnya. Tahun 2017,
kasus Diare paling banyak terjadi dibandingkan kasus lainnya di Sulawesi Utara. Kasus Diare yang paling banyak terjadi di tahun 2017 terjadi di kabupaten Minahasa dengan kasus 11,28 persen di seluruh Sulawesi Utara. Upaya lain yang dilakukan pemerintah sejauh ini dalam pelayanan kesehatan masyarakat adalah melalui program Keluarga Berencana (KB). Program KB merupakan suatu usaha langsung yang ditujukan untuk mengurangi tingkat kelahiran terutama melalui program penggunaan alat kontrasepsi secara konsisten dan berkesinambungan. Disamping juga bertujuan membangun keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera dalam rangka usaha pembinaan dan peningkatan mutu fisik SDM. Peserta KB aktif tahun 2017 berjumlah 382 ribu orang, terbesar di Kota Manado yaitu 69 Ribu Orang. Lebih jauh jika ditinjau dari cara pemakaian alat/metode kontrasepsi, metode yang paling banyak dipakai peserta KB aktif adalah suntikan, dengan pengguna 40,23 persen.
3.3 Krimininalitas Pembangunan diharapkan dapat membawa penduduk ke arah yang lebih maju masih sering dibarengi dengan tindak kriminalitas, terutama dari sisi kuantitas. Akibatnya, keamanan dan ketertiban masyarakat menjadi terganggu. Sepanjang tahun 2017, jumlah laporan tindak pidana yang masuk ke kepolisian resort di Sulawesi Utara meningkat hampir 3 kali lipat jika dibandingkan tahun 2016 dengan laporan terbanyak terdapat di Polres Bolaang Mongondow.
3.4 Agama Kehidupan beragama yang damai danharmonis sangat didambakan masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari keberadaan tempat-tempat peribadatan seperti masjid, gereja, pura, vihara dan lainnya, yang terus bertambah di sekitar permukiman warga. Tempat peribadatan umat Islam di Sulawesi Utara yaitu masjid pada tahun 2014 berjumlah 1.128 unit. Tempat peribadatan untuk umat Kristiani, Hindu, Budha, dan tempat ibadah lainnya (Litang) masing-masing berjumlah 4.960 gereja Kristen, 31 pura, 31 vihara, dan 3 Litang.
IV.
Pola Hidup Masyarakat Keragaman pola konsumsi pangan masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda, tergantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat. Pola konsumsi masyarakat Indonesia umumnya masih didominasi oleh padi-padian terutama beras, dan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras maka perlu menggali potensi lokal yang berbasis non beras untuk memenuhi kebutuhan. Konsumsi pangan masyarakat Sulawesi Utara berada diatas Angka Kecukupan Energi Ideal sebesar 2.000 kkal/kapita/hari, yakni sebesar 2.021 kkal perkapita perhari., termasuk dalam kategori normal(90-<120%AKE/G), sedangkan Angka Kecukupan Protein mencapai 110,5% yakni 57,5 g/kapita/hari berada diatas angka
rata-rata
nasional
50,1
g/kapita/hari.
Kelompok
Pangan
padi-padian
menyumbangkan energi paling besar yaitu 1166,9 kkal perkapita per hari (58,3 % dari angka kecukupan energi), diikuti Minyak dan Lemak 256,8 kkal ( 12,8 %), Pangan Hewani 212,9 kkal (10,6 %), sayur dan buah 171,0 kkal (8,5 %) dan Umbi-umbian sebesar 64,5 kkal (3,2 %), sedangkan Kelompok Pangan Buah/Biji Berminyak dan Kelompok Pangan Lain-lain menyumbangkan energi paling kecil, masing-masing yaitu 28,2 kkal ( 1,4%), dan 27,5 kkal (1,4%). Pola Konsumsi Pangan masyarakat masih belum beragam, bergizi dan seimbang. Hal ini ditunjukkan dari skor PPH baru sebesar 89,8 atau kurang dari skor PPH ideal sebesar 100. Aspek sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, jumlah anggota rumah tangga, dan pendapatan rumah tangga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap tingkat kecukupan gizi (AKE dan AKP). Rata-rata Komsumsi bahan Pangan/Hari/Tahun/Kapita masyarakat Sulawesi Utara, Tahun 2017
POPULASI HEWAN TERANCAM
Sulawesi Utara memiliki beragam habitat untuk penyebaran jenis-jenis burung. Salah satu tipe habitat itu adalah hutan pegunungan yang berada pada ketinggian lebih dari 800 meter dari permukaan laut (dpl) dengan karakternya yang unik. Hutan pegunungan merupakan suatu tipe habitat yang umum terdapat di Sulawesi Utara karena sebagian besar dataran daerah ini berupa gununggunung dengan ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Hutan pegunungan memiliki beberapa ciri khas di antaranya adalah suhu yang lebih sejuk dibandingkan dengan hutan dataran rendah yang panas. Pepohonan lebih pendek dan kecil dengan epifit yang tumbuh di permukaan batang dan cabang-cabangnya. Di atas ketinggian 1500 m, permukaan pohonpohon ditumbuhi lumut dan lumut kerak sehingga orang sering menyebut hutan yang seperti ini dengan nama hutan lumut (Kinnaird, 1997). Hutan pegunungan Sulawesi Utara merupakan habitat yang penting bagi keberadaan jenis burung, terutama jenis-jenis burung endemik Sulawesi (Coates dan Bishop, 2000). Hutan pegunungan menyediakan sumber pakan serta menjadi tempat berlindung yang aman bagi burung, sehingga mempengaruhi keanekaragaman jenis-jenis burung. Burung pemangsa (Raptor) adalah salah satu jenis burung yang hidu di hutan pegunungan di Sulawesi Utara. Burung pemangsa memiliki tipe paruh penusuk dan pengoyak (Piercing and Tearing Type). Paruh tipe ini memiliki ciri-ciri berukuran pendek, tebal dan kokoh, meruncing, ujung paruh atas agak berbentuk seperti kait, serta bertepi tajam. Tipe paruh ini teradaptasi untuk menusuk dan mengoyak daging mangsanya (Verma, 1997). Setelah dilakukan pengamatan, burung pemangsa yang hidup di hutan Gunung Empung terdiri 3 jenis yaitu: 1.
Accipiter griseiceps (Elang-alap Kepalakelabu/Sulawesi Goshawk) Merupakan salah satu jenis burung pemangsa yang penyebarannya endemik di sub-kawasan Sulawesi, Kepulauan Togian, Muna dan Butung. Menghuni hutan pamah, hutan perbukitan dan hutan pegunungan, juga mangrove; dari permukaan laut sampai ketinggian 2200 m (Coates dan Bishop, 2000). Di hutan Gunung Empung ditemukan sekali pada ketinggian 1020 m dpl, dengan densitas 10 individu/km2 dan frekuensi 0.9615%. Ciriciri burung ini adalah: mahkota dan wajah berwarna abu-abu tua, tidak berjambul. Punggung coklat tua, mesial bercoret gelap, dada dan bagian perut bercoret tebal coklat tua, paha berpalang. Pada individu immature (remaja atau belum dewasa kelamin) bagian kepala berwarna coklat, coretan pada bagian dada dan perut berwarna merah
karat, serta garis-garis berpalang pada paha lebih tebal (Coates dan Bishop, 2000; White and Bruce, 1986). 2.
Accipiter gularis (Elang-alap Nipon/Japanese Sparrow-hawk) Merupakan jenis burung pemangsa migran (visitors) selama musim dingin di daerah utara (Oktober-April). Sering mengunjungi tepi hutan, hutan sekunder dan lahan budidaya berpohon jarang. Ditemukan dari permukaan laut sampai ketinggian 1600 m (Coates dan Bishop, 2000). Di Gunung Empung burung ini teramati pada ketinggian 1160-1200 m dpl, dengan densitas 20 individu/km² dan frekuensi 2.8846%. Ciri-ciri burung ini adalah: pada individu jantan tubuh bagian atas (dorsal) berwarna abu-abu, dada dan perut berpalang merah-karat pucat, serta setrip mesial tipis. Pada individu betina, tubuh bagian atas coklat tua (bukan abu-abu), dada dan perut berpalang coklat. Pada individu remaja dada bercoret merah-karat. Semua individu mempunyai ekor berwarna abu-abu dengan beberapa palang gelap (Coates dan Bishop, 2000; Prawiradilaga et al, 2002).
3.
Milvus migrans (Elang Paria/Black Kite) Jenis burung pemangsa yang merupakan penetap (resident). Sering dijumpai di pedesaan yang terbuka dengan pohon-pohon yang jarang dan terpencar, di danau, rawa-rawa, kota-kota pesisir serta pelabuhan, dari permukaan laut sampai ketinggian 1100 m (Coates dan Bishop, 2000; White and Bruce, 1986). Di hutan pegunungan Gunung Empung, burung ini tercatat pada ketinggian 1020 m dpl, dengan densitas 40 individu/km² dan frekuensi 1.9231%. Ciri-ciri dari burung ini adalah: tubuh berwarna coklat dengan bagian kepala yang berwarna agak lebih pucat dan terdapat bercak putih pucat di bagian bawah sayapnya. Ciri khas yang membedakan jenis elang ini dengan jenis-jenis elang lainnya adalah ekornya yang bercabang (menggarpu) (Coates dan Bishop, 2000; Holmes dan Phillips, 1999; Verma, 1997). Gunung Empung terletak di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Variasi habitat di Gunung
Empung cukup beragam, mulai dari daerah perkebunan di kaki gunung yang berbatasan dengan hutan, hutan pegunungan dengan sedikit daerah hutan yang terbuka hingga, alangalang yang berada di bagian puncak gunung. Habitat yang beragam ini menunjang kehidupan berbagai jenis burung, termasuk juga burung pemangsa. Dari 3 jenis burung pemangsa yang ditemukan, 1 jenis adalah “Endemik” Sulawesi yaitu hanya ditemukan di Sulawesi. Karena itu kelestarian hutan Gunung Empung sebagai habitat dari burung-burung endemik Sulawesi perlu ditingkatkan. Terdapat 3 jenis burung pemangsa (raptors) yang hidup di hutan Gunung Empung, Tomohon, Sulawesi Utara. Ketiga jenis burung pemangsa tersebut adalah Accipiter griseiceps
yang merupakan hewan endemik Sulawesi, Accipiter gularis dan Milvus migrans. Burung pemangsa dengan kepadatan tertinggi adalah Milvus migrans dengan 40 individu/km², kemudian Accipiter gularis (20 individu/km²) dan Accipiter griseiceps (10 individu/km²). Sedangkan burung pemangsa dengan frekuensi tertinggi adalah Accipiter gularis dengan persentase kehadiran 2.8846%, disusul Milvus migrans (1.9231%) dan Accipiter griseiceps (0.9615%).
BENCANA NON-ALAM 1. Kegagalan Teknologi Informasi Awal Pusat Krisis Kesehatan terhadap bencana Gagal Teknologi yang terjadi di 1 kecamatan, yaitu Kauditan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Material proyek pembangunan jalan tol di Minahasa Utara, Sulawesi Utara runtuh, 19 Pekerja berhasil menyelamatkan diri sedangkan 3 pekerja proyek tertimbun. Ketiga nama yang tertimbun itu adalah: 1. Subang asal Blitar 2. Dadi asal Bandung 3. Mustari asal Blitar (sudah dievakuasi ke RS Lembean, kondisi selamat). Sampai saat ini proses evakuasi korban masih terus dilakukan. Dalam data awal yang diperoleh dari dinas kesehatan setempat berkoordinasi dengan beberapa dinas terkait maka jumlah korban yang dapat diinformasikan adalah sebanyak 3 Orang, terdiri dari 0 orang meninggal, 2 orang hilang, 1 Luka Berat/Rawat Inap , 0 Luka Ringan/Rawat Jalan dan 0 Orang pengungsi. Upaya yang dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota yaitu Melakukan Pemantauan dan Koordinasi dengan lintas sektor terkait. Memberikan Pelayanan Kesehatan Terhadap Korban. Upaya yang dilakukan dinas kesehatan provinsi yaitu melakukan koordinasi dengan dinkes kabupaten Minahasa Utara. 2. Wabah Penyakit WABAH penyakit demam berdarah menyeran gwilayah Sulawesi Utara (Sulut). Terhitung 1 hingga 6 Januari 2019 tercatat di Dinas Kesehataan Provinsi Sulut, 67 kasus. Tiga warga yang mengidap penyakit berbahaya tersebut meninggal dunia. Gubernur Sulawesi Utara telah membuat surat edaran ke pemerintah kota/kabupaten hingga ke kecamatan dan kelurahan yang isinya mengajak semua lapisan masyarakat yang ada di daerah bumi Nyiur Melambai (Sulawesi Utara) bersama-sama mencegah penyebarluasan penyakit demam berdarah. Berdasarkan laporan Surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulut distribusi kasus demam berdarah di Provinsi Sulut 2015 - 2019 menunjukan kenaikan. Pada 2015, kasus demam berdarah sebanyak 1.546 kasus. Pada 2016, sebanyak 2217 kasus, 2017 sebanyak 578 kasus. Pada 2018, Sulut mengalami kenaikan sebanyak 1.713 kasus, dan 2019 sejak 1-6 Januari sebanyak 67 kasus. Sementara kasus kematian akibat penyakit demam berdarah di Provinsi Sulut, 2015 sebanyak 21 orang meninggal, 2016 sebanyak 17 orang, 2017 sebanyak 9 orang,
dan 2018 mengalami kenaikan sebanyak 24 orang meninggal. Pada 2019, sejak 1-6 Januari sebanyak 3 orang yang meninggal akibat kasus DBD. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara mengingatkan kembali akan tiga langkah pencegahan (3MPlus) penyakit demam berdarah (DBD) yakni, menguras dan menutup tempatpenampungan air, memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas. 3. Bencana Sosial a. Konflik Agraria Pada 2018, beberapa daerah di Sulawesi Utara menghadapi konflik agraria. Dampak dari konflik itu, masyarakat terancam kehilangan tanah, mata pencaharian, hingga berurusan dengan hukum karena menolak penggusuran Sepanjang 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menerima 19 dari total 99 laporan terkait kasus perdata dengan obyek sengketa tanah. Jika melihat laporan serupa pada 5 pengadilan negeri di Sulawesi Utara, perbandingan kesuluruhannya adalah 180 dari 1319 perkara perdata atau 13,6% Temuan tadi disebut dalam laporan berjudul “Catatan Akhir Tahun 2018: Potret Penegakkan Hak Asasi Manusia di Sulawesi Utara”. Variasi laporan terkait kasus itu antara lain, tumpang tindih sertifikat, penyerobotan lahan, sengketa jual beli tanah, pembagian warisan dan hibah, hingga sengketa tanah Selain sengketa tanah bersifat antar individu, mereka juga mendapati konflik agraria antara kelompok masyarakat dengan korporasi. LBH Manado menilai, ada beberapa faktor yang mendorong lahirnya konflik tersebut. Pertama, minimnya pemahaman masyarakat mengenai regulasi pertanahan. Masyarakat baru menyadari tanahnya bermasalah, ketika telah merasakan kerugian atau tidak dapat menikmati hak atas tanah. Kedua, kantor pertanahan tidak teliti dalam melaksanakan kewenangan, sebagaimana dimandatkan Undang-Undang. Faktor lain adalah regulasi yang tumpang tindih, rumitnya birokrasi, kesalahan penerbitan sertifikat hingga harga ganti kerugian pembebasan hak atas tanah yang tidak sesuai. Ketiga, masih menurut laporan itu, adanya keterlibatan alat-alat negara seperti TNI dan Polri dalam kasus masyarakat yang berhadapan dengan perusahaan. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi korban diskriminasi, kekerasan bahkan kriminalisasi. Sejak 2017, LBH Manado telah mendampingi masyarakat desa Tiwoho, Minahasa Utara, yang terancam kehilangan lahan garapan. Padahal, sebagian warga telah memegang sertifikat tanah, dan sebagian lainnya tercatat dalam register desa. Jekson Wenas, Direktur LBH Manado menceritakan, sekitar tahun 1990, sebuah perusahaan yang memegang izin Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 120 hektar, datang membeli sebagian tanah warga. Namun, Bupati waktu itu menyatakan, tanah tersebut tidak bisa digunakan sebelum adanya pelunasan. Di penghujung 2017, Komisi Informasi Pusat (KIP) membuat putusan bahwa Pemkab Minut harus membuka dokumen perusahaan. Kemudian, surat Bupati Minut menyatakan, perusahaan tersebut tidak mempunyai izin. Berdasarkan surat Bupati tadi, warga kembali mengolah lahan perkebunan.
b. Konflik Sosial Politik Bawaslu Kota Manado menyatakan Kecamatan Tuminting, sebagai wilayah yang paling rawan konflik sosial, dalam tahapan Pemilu legislatif maupun Pilpres 2019. Selain Tuminting, Kecamatan Malalayang dan Singkil, merupakan wilayah yang juga tingkat kerawanan konflik sosialnya tinggi, disebabkan beberapa hal. Karena itu dia mengatakan, Bawaslu sudah memiliki sejumlah tips untuk menghindarkan konflik yang bisa saja terjadi akibat Pemilu 2019 nanti, sehingga kondisi tetap aman dan tentram. Dia menyebutkan, cara-cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik antara lain dengan deklarasi kampanye damai, hingga seminar pendidikan politik. Bilfaqih mengatakan dengan melakukan berbagai langkah tersebut, diharapkan bisa mengantisipasi potensi konflik sosial yang bisa saja pecah akibat pemilu nanti.Di sisi lain, dia menyebutkan, berdasarkan pemetaan yang dilakukan potensi konflik paling berpeluang terjadi antar para pendukung Caleg maupun Capres kemudian diikuti oleh peserta dengan penyelenggara, serta antara peserta pemilu. Sedangkan potensi penyebab lainnya adalah kecurangan, kemudian ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu dan provokasi yang biasa terjadi di saat-saat kampanye berlangsung. c. Konflik Bersenjata Marawi Keamanan di Sulawesi Utara dinyatakan siaga satu menyusul konflik bersenjata di Kota Marawi, Filipina. Sulawesi Utara, terutama tiga pulau di wilayahnya, merupakan daerah paling dekat dan berbatasan dengan Marawi, yang kini dikuasai kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Tiga pulau itu adalah kabupaten yang menjadi bagian administratif Sulawesi Utara, yakni Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Gubernur Olly Dondokambey menyatakan, provinsinya ditetapkan siaga satu dalam rapat koordinasi nasional soal terorisme di Indonesia dan konflik Marawi di kantor Gubernur Sulut, Manado, pada Rabu, 14 Juni 2017. Aparat TNI dan Polri sudah siaga dengan mengirimkan pasukan dan pemantauan ke pulau-pulau. TNI Angkatan Laut bahkan telah mengirimkan kapal perang dan selam ke perairan perbatasan Filipina. Polri telah mengirim satu SSK (satuan setingkat kompi) personel Brimob. TNI AU juga melakukan pengintaian di udara untuk melihat apakah ISIS sudah masuk Sulut atau belum. Gubernur memastikan sejauh ini belum ada ISIS dari Marawi yang masuk Sulawesi Utara.
POTENSI DAN KEJADIAN BENCANA PROVINSI SULAWESI UTARA 1.
Deskripsi Ekosistem Provinsi Sulawesi Utara Ekosistem wilayah Provinsi Sulawesi Utara dipengaruhi oleh letak geografisnya yang terdiri dari dua ekosistem utama, yaitu daratan (terestrial) dan perairan (estuaria). Sebagian besar wilayah daratan Sulawesi Utara terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit diselingi oleh lembah yang membentuk dataran. Dataran rendah dan tinggi Sulawesi Utara secara potensial mempunyai nilai ekonomi bagi para penghuninya, terutama dalam komoditas pertanian (padi dan sayur-mayur) dan perkebunan (kelapa, cengkeh, pala, kopi, dan vanili). Di Sulawesi Utara, setidaknya ada 12 dataran yang tersebar di kabupaten-kabupaten yang ada di Sulawesi Utara. Gunung-gunung terletak berantai dengan ketinggian di atas 1000 m dari permukaan laut (dpl). Jumlah keseluruhan gunung yang tersebar di Kabupaten Bolaang Mongondow adalah 41 (empat puluh satu) gunung, lalu diikuti oleh Kabupaten Minahasa sebanyak 16 (enam belas) gunung dan di Kabupaten Sangihe dan Talaud sebanyak 8 (delapan) gunung. Provinsi Sulawesi Utara dialiri 30 (tiga puluh) buah sungai. Di Kabupaten Bolaang Mongondow mengalir 18 (delapan belas) sungai dengan panjang keseluruhan 472,4 km, di Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan dan Minahasa Utara terdapat 12 (dua belas) sungai dengan panjang sungai keseluruhan 362,7 km. Selain itu, Sulawesi Utara sendiri memiliki 16 (enam belas) Daerah Aliran Sungai (DAS) (berdasarkan Peta Pembagian DAS Sulawesi Utara). Keanekaragaman hayati tinggi di pesisir dan laut juga dimiliki oleh Sulawesi Utara. Flora dan fauna yang terdapat di pesisir seperti habitat bakau, padang lamun dan juga yang terdapat di laut seperti teripang, udang barong, ikan hias, dll memiliki nilai ekonomi tinggi. Sektor perikanan Sulawesi Utara juga termasuk salah satu sektor unggulan provinsi ini. Sulawesi Utara merupakan pusat pengembangan industri perikanan sejak 2001, pemerintah setempat melaksanakan Gerakan Pengembangan Komoditas Unggulan Berbasis Agribisnis (Gerbang Kuba) meliputi industri ikan tuna, cakalang dan layang. Selain itu juga dikembangkan, “Daerah Perlindungan Laut yang Berbasis Masyarakat” (DPL-BM) yang ada di Kabupaten Minahasa Selatan (Desa Blongko), di Kabupaten Minahasa Tenggara (Desa Bentenan dan Desa Tumbak) dan di Kabupaten Minahasa Utara (Pulau Talise).
Luas hutan di Sulawesi Utara mencapai 788.691,88 ha. Fungsi hutan itu dibagi menjadi hutan lindung, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi konversi. Gambar 1. Luas Kawasan Hutan (Ha) di Povinsi Sulawesi Utara Luas (ha) Kawasan Hutan Sulawesi Utara
Minahasa , 23348
Minsel , 88353 Minut , 72276
Tomohon , 2895
Manado , 16192 Bolmong , 513815 Bitung , 15643
Talaud , 42351
Sangihe , 13820
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya adalah penggunaan lahan di luar kawasan lindung yang kondisi fisik dan potensi sumber daya alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan baik bagi kepentingan produksi maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat dan permukiman. Kawasan-kawasan budidaya tersebut meliputi Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Pertanian, Kawasan Pertambangan, Kawasan Industri, Kawasan Pariwisata, dan Kawasan Permukiman. Berikut adalah tabel tentang luas penggunaan lahan di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu: Tabel 1. Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Penggunaan Lahan Sawah Ladang/ tegalan Pemukiman Padang rumput/ Perkebunan Danau dan rawa-rawa Kolam/ Tambak Lahan kering tidak digarap Hutan Lain-lain Total
Luas (ha) 57.096 261.877 48.573 323.277 8.390 3.588 74.352 519.806 236.366 1.533.325
% 3,72 17,08 3,17 21,08 0,55 0,23 4,85 33,90 15,42 100
Lain-lain
Sawah
Ladang/ tegalan Pemukiman
Hutan
/Padang rumput Perkebunan -Danau dan rawa rawa
Lahan kering tidak digarap Kolam/ Tambak
Keadaan suhu di Sulawesi Utara rata-rata per tahun dalam kurun tahun 1998–2005 adalah 26,5º C dengan sebaran 26,2º C - 26,8º C. Sedangkan curah hujan rata-rata tahun 1998 – 2005 ialah 289,1 mm dengan sebaran 220-309 mm. Kecepatan angin rata-rata (1998 – 2005) ialah 2,7 knot dengan sebaran 1,9-3,6 knot. Iklim di daerah Sulawesi Utara dipengaruhi oleh Angin Muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan ke barat laut. curah hujan di darerah pedalaman Sulawesi Utara terhitung tinggi, yaitu 4188 mm/tahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari. Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan.
2.
Potensi Bencana Alam Provinsi Sulawesi Utara Berdasarkan kondisi geografis dan ekosistem Provinsi Sulawesi Utara, maka provinsi ini ternyata menyimpan beragam potensi bencana yang tidak kalah banyaknya dengan potensi sumber penghidupan untuk masyarakatnya. Apalagi selain kondisi tersebut, faktor lain yang juga berkontribusi adalah faktor kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Utara terus mengalami degradasi. Kekayaan sumberdaya alam makin menipis, sementara ancaman bencana alam karena kerusakan lingkungan makin besar. Menurut Badan Penanggulangan Bencana, Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman per Kabupaten/Kota Tahun 2013 pada Kabupaten/Kota Minahasa, Minahasa, Tenggara Siau Tagulandang Biaro, Minahasa Selatan, Kota Bitung, Minahasa Utara, Bolaang Mongondow Timur, Kepulauan Sangihe, Bolaang Mongondow, dan Bolaang Mongondow Selatan diketahui memiliki indeks risiko bencana multi ancaman yang tinggi, sedangkan pada Kabupaten/Kota Bolaang Mongondow Utara, Kota Manado, Kota Tomohon, Kepulauan Talaud, Kota Kotamobagu diketahui memiliki indeks risiko bencana multi ancaman yang sedang. Pada tahun 2013, provinsi Sulawesi Utara memiliki indeks risiko bencana sebesar 151 (tinggi) menurut Badan Penanggulangan Bencana (BNBP). Dari hasil identifikasi yang dilakukan terhadap wilayah ini, maka beberapa potensi bencana yang ada yaitu:
2.1. Gempa Bumi Provinsi Sulawesi Utara tergolong daerah berpotensi tinggi atau rawan dan rentan terhadap bencana gempa bumi, baik tektonik maupun vulkanik. Gempa bumi yang terjadi di daerah Sulawesi Utara antara tahun 1990 sampai dengan bulan April tahun
2007 (kurun waktu ± 17 tahun) tercatat sebanyak 397 kali dengan kisaran magnitude 4,0-7,4 skala Richter (SR). Dari data yang ada, gempa dengan magnitude 4,0-5,0 SR terjadi sebanyak 131 kali (33,08%), gempa bumi dengan magnitude 5,1-6,0 SR sebanyak 227 kali (57,32%), gempa bumi dengan magnitude 6,1-7,0 SR sebanyak 36 kali (9,09%), dan gempa bumi dengan magnitude 7,1-8,0 SR sebanyak 2 kali (0,51%). Umumnya pusat gempa terletak di Laut Maluku dan di samping itu juga terdapat di Laut Sulawesi, di Laut Kepulauan Talaud, di Laut Kepulauan Sangihe, di Laut Banda dan di Laut Teluk Tomini. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan gempa bumi yang dirasakan di Sulawesi Utara. Tabel 2. Gempa Bumi di Sulawesi Utara dan Sekitarnya (Tahun 1990- April 2007) Tahun
Kekuatan Gempa (Skala Richter)
Jumlah
4,0-5,0
5,1-6,0
6,1-7,0
7,1-8,0
1990
14
7
0
0
21
1991
9
1
1
0
11
1992
11
19
1
0
31
1993
4
21
3
0
28
1994
5
9
0
0
14
1995
5
7
0
0
12
1996
0
6
2
0
8
1997
3
7
2
0
12
1998
10
9
3
0
22
1999
2
11
4
0
17
2000
5
11
3
0
19
2001
4
11
4
0
19
2002
10
11
0
1
22
2003
7
11
1
0
19
2004
8
7
0
0
15
2005
10
17
3
0
30
2006
6
18
5
1
30
2007
18
44
4
0
66
Jumlah
131
227
36
2
396
%
33,08%
57,32%
9,09%
0,51%
100%
Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Manado, 2007.
Data terakhir dari Bakornas-PB mencatat, kejadian gempa bumi terakhir yang melanda Sulawesi Utara adalah pada pertengahan Januari 2007 menyebabkan enam orang tewas, dan ± 19.322 orang mengungsi yang sebagian besar berasal dari Kota Manado, Bitung dan Kabupaten Minahasa Utara.
2.2. Gelombang Pasang/Tsunami Pesisir pantai utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara berpotensi mengalami gelombang pasang/tsunami, mengingat wilayah ini merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi. Gambar 2. Peta Daerah Berpotensi Tsunami
Sumber: BMG Jakarta
Sumber: Badan Metereologi dan Geofisika, Jakarta
Pantai kritis di Provinsi Sulawesi Utara membentang sepanjang 49,50 km dari garis pantai 1.767,68 km. Sampai dengan tahun 2004, pantai kritis yang sudah tertangani mencapai 11,02 km. Tujuan penanganan daerah pantai adalah untuk melindungi prasarana umum dan pemukiman dan bahaya gelombang pasang, abrasi pantai dan mundurnya garis pantai. Jumlah pantai kritis yang makin meningkat ini, juga membawa
potensi dampak kerugian yang lebih masif apabila terjadi gelombang pasang/tsunami dalam skala besar.
2.3. Letusan Gunung Berapi Sebagian besar kondisi topografi di Provinsi Sulawesi Utara dikelilingi oleh daerah pegunungan, terutama gunung api aktif (vulkanik) yang berjumlah sekitar 65 (enam puluh lima) gunung. Letusan gunung api di Sulawesi Utara, umumnya memiliki tipe letusan “freatomagmatik” yang ditandai dengan semburan material pijar, dan kadang-kadang diikuti oleh leleran lava pijar. Selain itu, ciri khas gunung api di Sulawesi Utara menampakkan gejala perpindahan pusat letusan, semisal Gunung Lokon dan Soputan yang sangat umum terjadi. Perpindahan ini mengikuti garis lemah pada kerak bumi yang di wilayah Sulawesi Utara berarah utara selatan agak timur laut-barat daya. Hampir semua gunung api di Sulawesi Utara terletak pada arah dominan ini. Karena itu pula, bentuk daratan Sulawesi Utara memanjang pada arah ini. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 1991, untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari potensi bencana letusan gunung api, maka pemerintah setempat didukung instansi terkait lainnya di tingkat pusat (Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, ESDM) menyusun peta kawasan rawan bencana letusan gunung api. Pengertian Kawasan Rawan Bencana ini adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami letusan gunung api. Sulawesi Utara sendiri memiliki sembilan gunung api aktif, yaitu: a G. Awu (± 1.320 m dpl, + 3.300 m dari dasar laut), berada di bagian utara Pulau Sangihe. b G. Karangetang (± 1.820 m dpl, + 2.700 m dari dasar laut), berada di bagian utara Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro. c G. Ruang (± 714 m dpl, + 1.700 m dari dasar laut), G. Submarin Banuawuhu (+ 400 m dari dasar laut), dan G. Soputan (+ 1.784 m dpl), terletak di perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa dan Minahasa Tenggara. d G. Lokon (± 1.579 m dpl) dan Gunung Mahawu (± 1.331 m dpl), terletak di perbatasan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa. e G. Ambang (± 1.689 m dpl) di perbatasan Bolaang Mongondow dan Minahasa Selatan. f G. Tangkoko (G. Tangkoko 1.149 m dpl) di Kota Bitung.
Gambar 3. Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Api di Sulawesi Utara
Sumber: Badan Metereologi dan Geofisika, Jakarta Namun dari sekian banyak gunung api yang mengelilingi sebagian besar wilayah Sulawesi Utara, ada beberapa gunung api yang perlu diwaspadai, terutama luasan daerahnya yang terkena dampak letusan tersebut. Tabel-tabel berikut akan memaparkan lebih lanjut mengenai risio dari potensi bencana gunung api: Tabel 3. Tabel Letusan Gunung Api Dengan Luasan Daerah Berbahaya
No.
1.
2.
3.
Kabupaten/Kota Nama Gunung Bolaang Mongondow G. Ambang Minahasa Selatan G. Soputan Kep. Sangihe G. Karangetang G. Ruang G. Banuawuhu G. Awu
4.
Kota Tomohon G.Lokon
Tinggi
Daerah
Daerah
Letusan
DPL
Berbahaya
Waspada
Terakhir
(m)
(km2)
(km2)
(thn)
1.689
62,9
70,2
1967
1.783,3
74,0
126,5
2000, 2008
1.820
28,0
6,0
2001
1700
78,6
122,5
1949
0
78,6
122,5
1919, 1922
1.784
144,5
55,3
1966
1.579,6
30,5
55,5
2001
G. Mahawu Kota Bitung
5.
G. Tangkoko
1.331
28,7
66,8
1958
1.149
100,5
89,4
1880
Sumber: Sulawesi Utara Dalam Angka Tahun 2006 (BPS)
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa 5 dari 9 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara memiliki gunung api dengan berbagai risiko, baik bencana maupun kesuburan lahan. Daerah berbahaya terluas akibat letusan adalah daerah sekitar G. Awu di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan daerah waspada terluas adalah di sekitar G. Soputan di Kabupaten Minahasa Selatan.G. Tangkoko di Kota Bitung, selama 127 tahun terakhir tidak menampakkan aktivitas letusan. Sedangkan G. Soputan, G. Karangetang dan G. Lokon relatif lebih aktif dibanding lainnya. Tabel berikutnya adalah tabel mengenai “Daftar Gunung Api Di Provinsi Sulawesi Utara Yang Perlu Diwaspadai” (Data terakhir: 13 Juni 2008). Tabel ini biasanya dipakai sebagai dokumen resmi yang dikirimkan kepada pejabat pemerintah setempat dimana lokasi gunung api tersebut berada, sehingga mereka dapat mempersiapkan semua warga dan perlengkapan dalam situasi darurat. Tabel 4. Daftar Gunung Api Di Provinsi Sulawesi Utara Yang Perlu Diwaspadai Nama
Posisi
Status
Gunung Api
Geografis &
Kegiatan
Rekomendasi
Keterangan
Administratif
LOKON
1 21’ 30” LU
(1579 m)
124 47’ 30” (Waspada)
berkemah di kawah
Freatik secara tiba-
BT
dan Puncak G. Lokon.
tiba melontarkan
Kab. Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara
Level
2 Tidak diperbolehkan
Bahaya Letusan
pasir, batu.
Nama
Posisi
Status
Gunung Api
Geografis &
Kegiatan
Rekomendasi
Keterangan
Administratif
MAHAWU
1 21’ 30” LU
(1331 m)
124 51’ 30” (Aktif
Level 1
Normal)
BT
Tidak diperbolehkan
Tingginya
berkemah di Puncak G.
konsentrasi gas
Mahawu.
Sulfur yang
Kota Tomohon,
berbahaya bagi
Provinsi
kehidupan.
Sulawesi Utara
AMBANG
0 44’ 30” LU
(1689 m)
124 243’ 00” (Aktif
Level 1
Tidak diperbolehkan
Semburan gas-gas
turun ke kawah.
beracun yang dapat
Tidak diperbolehkan
membahayakan
Kab. Minahasa,
berada di beberapa
bagi kehidupan.
Kab.
titik hembusan
Normal)
BT
Bolaang
Mongondow
Solfatara dan
Provinsi
Fumarola.
Sulawesi Utara.
SOPUTAN
1 06’ 30” LU
(1783 m)
Level
3
Masyarakat agar
Tanggal; 6 Juni - 7
124 43’ 00” (SIAGA)
tidak beraktifitas
Jun 2008, terjadi
BT
pada radius sekitar 6
letusan magmatik
Kab. Minahasa,
Km dari puncak G.
G. Soputan.
Provinsi
soputan, guna
Sulawesi Utara
menghindari
Bahaya Letusan
ancaman guguran
abu, lontaran pijar
lava dan awan panas
dan awan panas
guguran.
guguran serta aliran
Untuk masyarakat
Lahar jika terjadi
yang bermukim di
hujan.
luar radius 6 Km dari puncak G. Soputan
Nama
Posisi
Status
Gunung Api
Geografis &
Kegiatan
Rekomendasi
Keterangan
Administratif tidak perlu dilakukan pengungsian.
Dilarang melakukan pendakian ke puncak dan tidak melakukan aktivitas pada dan sekitar camping ground.
Mewaspadai terjadinya ancaman banjir lahar, terutama pada sungai-sungai yang berhulu di sekitar lereng G. Soputan, seperti S. Ranowangko, S. Pentu, S. Lawian dan S. Popang.
Jika terjadi hujan abu, masyarakat dianjurkan menggunakan masker penutup hidung dan mulut, guna mengantisipasi terhadap gangguan saluran pernapasan.
RUANG
02o17’ LU
Level 1
(1700 m)
125o 25’30” BT
(Aktif
Tidak diperbolehkan
Semburan gas-gas
berada di bibir
beracun yang mem
Nama
Posisi
Status
Gunung Api
Geografis &
Kegiatan
Rekomendasi
Keterangan
Administratif Pulau Ruang,
Normal)
Kab. Sitaro,
kawah.
bahayakan bagi
Tidak diperbolehkan
kehidupan
Provinsi
berada di beberapa
SulawesiUtara.
titik hembusan di sekitar G. Ruang.
AWU
03o40’ LU
Level 1
(1320 m)
125o 30’ BT
(Aktif
Kab. Sangihe,
Normal)
Tidak diperbolehkan
Kawah sebagai
turun ke kawah.
pusat letusan
Tidak diperbolehkan
mempunyai
Provinsi
berada di beberapa
kandungan gas
SulawesiUtara.
titik hembusan
beracun yang
Solfatara dan
membahayakan
Fumarola.
bagi kehidupan
KARANGET
02o47’ LU
Level
ANG
125o 29’ BT
(Waspada)
(1820 m)
2
Bagi penduduk yang bermukim di sekitar
Letusan asap/abu
daerah aliran K. Batu
hingga lontaran
Pulau Siau,
Awang, K. Kahetang,
batu, Guguran
Kab. Sitaro,
K. Keting, K.
Awan Panas, aliran
Provinsi
Bahembang, K.
lava, berpotensi
SulawesiUtara.
Kinali dan K. Nanitu
aliran Lahar jika
agar tetap
terjadi hujan
meningkatkan kewaspadaannya terhadap bahaya awan panas guguran dan guguran lava yang sewaktu-waktu dapat terjadi karena kubah lava masih
Nama
Posisi
Status
Gunung Api
Geografis &
Kegiatan
Rekomendasi
Administratif belum stabil.
Bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Gunung api Karangetang, direkomendasikan agar: a. Tetap waspada dan tidak mendekati kawah - kawah yang ada di G. Karangetang mengingat kawah aktif tersebut sebagai pusat aktivitas letusan dan gas yang membahayakan bagi kehidupan. b. Pada musim hujan masyarakat yang tinggal di sekitar aliran sungai Batuawang dan Kahetang tetap waspada terhadap bahaya sekunder berupa aliran lahar.
Keterangan
Nama
Posisi
Status
Gunung Api
Geografis &
Kegiatan
Rekomendasi
Keterangan
Administratif
Sumber: Situs resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Dep. ESDM, Bandung, www.vsi.esdm.go.id
Kerugian akibat potensi letusan gunung api yang selama ini terjadi di Sulawesi Utara kebanyakan mendatangkan kerugian dalam urusan material, terutama ketika status letusan gunung api mengharuskan warga yang tinggal di sekitar lereng tersebut harus mengungsi ke daerah yang lebih aman. Biaya selama di masa pengungsian inilah yang cukup memakan anggaran pemerintah setempat untuk membantu para warganya.
2.4. Banjir Daerah rawan banjir di wilayah Provinsi Sulawesi Utara meliputi daerah muara sungai, dataran banjir dan dataran aluvial, terutama di sepanjang Sungai. Faktorfaktor penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang tinggi, penutupan lahan di daerah hulu berkurang dan kapasitas alur sungai terutama di daerah hilir berkurang karena sedimentasi dan topografis daerah. Kota Manado yang terletak di bagian hilir daerah aliran Sungai Tondano (DAS Tondano) merupakan kawasan rawan banjir, terutama di kawasan permukiman dekat bantaran sungai. Menurut Dinas PU Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2000, banjir yang tergolong ekstrim terjadi di Kota Manado dengan luas genangan mencapai + 761 ha pada tahun 1996 pada saat tinggi muka air mencapai + 7,04 meter di atas permukaan air laut. Khusus untuk konteks kejadian banjir di Kota Manado yang hampir tiap tahun terjadi, maka berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Dinas Kehutanan Sulawesi Utara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano (2005), maka faktor yang berpengaruh dalam memberikan kontribusi banjir secara langsung adalah kondisi drainase yang buruk, tingginya intensitas hujan, dan kapasitas sungai yang tidak mampu menampung seluruh air hujan, dan pasang surut air laut. Pada tahun 2000, dengan tinggi genangan mencapai 2,5 meter, kota Manado kembali dilanda banjir. Kejadian banjir lainnya yang melanda wilayah Provinsi Sulawesi Utara adalah di daerah Inobonto, sekitar Desa Kaiya (Kabupaten Bolaang
Mongondow) yang terjadi pada awal tahun 2006 dan di wilayah Tanawangko, Kabupaten Minahasa (hilir Sungai Ranowangko) serta di Kota Tomohon pada Februari 2005. Pembabatan hutan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab dan maraknya penambangan emas serta penebangan kayu untuk pembuatan rumah, pengalokasian transmigrasi di Sulawesi Utara menyebabkan kerusakan hutan. Hal inilah yang ikut menyumbangkan terjadinya frekuensi banjir hingga banjir bandang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Kejadian bencana banjir di Sulawesi Utara kebanyakan diikuti dengan kejadian tanah longsor yang membawa dampak kerugian jiwa dan harta-benda yang cukup masif. Berdasarkan data dari PPK-Depkes dan Bakornas-PB, maka frekuensi kejadian banjir dan banjir yang diikuti tanah longsor dapat dipaparkan dalam tabel berikut ini:
Tabel 5. Kejadian Bencana Banjir dan Tanah Longsor Di Sulawesi Utara (2005-2007) Korban Tempat
Estimasi
Tanggal Bencana
Jumlah Tewas Hilang Mengungsi
Kota Manado
200503-25
Banjir
1
0
0
Kerugian ± Rp. 38 M 400 rumah
Banjir Kab. Minahasa
200602-14
dan tanah
rusak, 75 4
3
0
longsor
rumah penduduk hilang dan rusak berat di 5 desa. ± Rp. 100 M
Banjir Kota Manado
200602-19
1.526 rumah
dan Tanah Longsor
26
0
12965
tergenang air, 139 rumah rusak berat,
Korban Tempat
Estimasi
Tanggal Bencana
Jumlah Tewas Hilang Mengungsi
Kerugian 31 rumah hanyut dan 40 rumah rusak ringan. ± Rp 283 miliar Bendungan di Sawangan dan tanggul
Banjir
Kab.
rusak berat
dan
Minahasa
Tanah
Utara
2
-
-
Longsor
serta sejumlah lahan pertanian dan rumah penduduk rusak parah.
Kab
dan
Minahasa
Tanah
Selatan
390 rumah 6
0
2441
2006-
Banjir
Mongondow
04-12
Bandang
Kab. Bolaang
2006-
Mongondow
06-23 200707-25
Kab. Minahasa
2007-
Utara
03-25
tergenang air, 57 rumah
Longsor
Kab. Bolaang
Kab. Minahasa
± Rp. 42 M
Banjir
rusak berat. 1
0
37596
Banjir
4
0
31996
Banjir
2
0
105
Banjir
3
0
477
Korban Tempat
Estimasi
Tanggal Bencana
Jumlah Tewas Hilang Mengungsi
Kerugian
Banjir Kab. Minahasa
2007-
dan
Utara
07-25
Tanah
3
0
105
3
0
341
1
0
0
1
0
0
30
5
3790
Longsor Banjir Kab. Minahasa
2007
dan Tanah Longsor Banjir
Kota Manado
2007
dan Tanah Longsor Banjir
Kab. Minahasa Tenggara
2007
dan Tanah Longsor Banjir
Kab.Kepulauan
2007-
dan
Sangihe
01-11
Tanah Longsor
2.5. Tanah Longsor Peristiwa tanah longsor yang terjadi di Sulawesi Utara pada umumnya terdapat pada daerah dengan kondisi geologi yang tidak stabil dan seringkali dipicu oleh terjadinya hujan deras yang melebihi titik tertinggi, terutama bulan-bulan di penghujung tahun hingga awal tahun (Desember-Maret). Keadaan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang tidak lestari (Illegal Logging and Trading) dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini ternyata juga menjadi faktor penyumbang tingginya intensitas terjadinya longsor di Sulawesi Utara. Hal ini khususnya terjadi di ibukota Sulawesi Utara, yaitu Kota Manado, dimana hal tersebut menunjukkan
terjadinya penyimpangan terhadap standar hunian yang disyaratkan secara teoritis dan juga penyimpangan terhadap peraturan yang ada.
Gambar 4. Peta Prakiraan Wilayah Berpotensi Longsor pada Bulan Oktober 2006
Kawasan rawan longsor di daerah Provinsi Sulawesi Utara tersebar di beberapa wilayah kabupaten dan kota, seperti daerah Manganitu, Tamako dan Siau Timur (Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Sitaro), pada delapan Kecamatan di Kota Manado, yaitu Kecamatan Wanea, Winangun, Singkil, Tuminting, Tikala, Mapanget, Bunaken dan Malalayang. Juga pada jalur jalan Manado-Amurang, Manado-Tomohon, AmurangModoinding, Tondano-Airmadidi dan jalur jalan Noongan-Ratahan-Belang, serta wilayah Torosik Kabupaten Bolaang Mongondow. Panjang sungai rawan longsor di Sulawesi Utara sekitar 1.523,15 km, dan sampai tahun 2004 tebing sungai kritis yang telah berhasil ditanggulangi baru sekitar 16 km.
EVALUASI SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI SULAWESI UTARA Julukan “supermal” bencana alam kiranya pantas diberikan kepada Provinsi Sulawesi Utara mengingat begitu banyaknya potensi bencana alam yang mengancam maupun yang telah sering terjadi. Oleh sebab itu, sudah semestinya bila daerah ini memiliki kebijakan dan strategi serta program-program yang tidak hanya diarahkan untuk mengatasi situasi darurat ketika terjadi bencana, namun program yang bersifat antisipatif dan terencana dengan baik. Paparan berikut ini akan menampilkan sejauh mana kebijakan Penanggulangan Bencana yang ada di Sulawesi Utara dan implementasinya dapat bersinergi dengan dengan julukan “supermal” bencana alam di provinsi ini dalam kurun waktu 2002-2007.
1.
KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN
BENCANA
PROVINSI
SULAWESI
UTARA Kebijakan penanggulangan bencana akan ditinjau dari beberapa sisi, yaitu dari sisi berbagai peraturan yang secara khusus mengatur tentang bencana itu sendiri, kebijakan lain yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan bencana, sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana dan kebijakan yang terkait dengan alokasi anggaran di bidang kebencanaan.
1.1. Peraturan tentang Penanggulangan Bencana Bila ditinjau dari sisi peraturan yang terkait dengan penanggulangan bencana, maka saat ini Pemerintah Provinsi belum memiliki peraturan setingkat Perda yang secara khusus mengatur mengenai upaya penanggulangan bencana di Sulawesi Utara. Hasil wawancara dengan pihak Bappeda Provinsi menjelaskan bahwa keinginan untuk menyusun Perda mengenai penanggulangan bencana sudah mulai dibicarakan oleh Gubernur Sulawesi Utara dalam beberapa raker bersama beberapa bupati yang wilayahnya sering sekali dilanda bencana, namun untuk saat ini, Pemerintah Provinsi sedang sejak berkonsentrasi melakukan revisi terhadap aturan tata ruang Sulawesi Utara.
1.2. Kebijakan Terkait Lainnya Pada dasarnya terdapat berbagai kebijakan yang terkait erat dan mempengaruhi kebijakan penanggulangan bencana. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan
tata ruang. Sejak tahun 2007 hingga saat ini, Pemerintah Provinsi sedang memfokuskan melakukan revisi terhadap PERDA No. 3 Tahun 1991 (5 Desember 1991) tentang Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi (RSTRP) Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Peninjauan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang bila dikaitkan dengan urusan penanggulangan bencana, maka pertimbangan untuk dilakukannya peninjauan kembali Tata Ruang Sulawesi Utara untuk tahun 2007-2027 (sesuai Revisi Undang-Undang Tata Ruang No. 27 Tahun 2007) adalah:
1) Pertimbangan Keserasian Lingkungan Mengingat RTRW Provinsi Sulawesi Utara adalah acuan bagi penyusunan RTRW Kabupaten/Kota, maka RTRW Provinsi diharapkan mampu menserasikan pembangunan dengan tetap memperhatikan keserasian antar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, juga keserasian dengan wilayah provinsi terdekat. Apalagi hal pemanfaatan ruang wilayah Sulawesi Utara sangat dipengaruhi oleh Gorontalo yang memisahkan diri menjadi Provinsi tersendiri. (UU No. 38 Tahun 2000).
2) Pertimbangan Kelestarian Lingkungan Salah satu perubahan pemanfaatan ruang yang signifikan adalah luasan pemanfaatan ruang untuk hutan lindung. Perubahan luasan ini terjadi karena rona daratan yang masuk ke wilayah Provinsi Gorontalo pasca pemekaran didominasi untuk hutan lindung. Selain akibat pemekaran, juga disebabkan belum efektifnya RSTRP (Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi) sebagai pengendali pemanfaatan ruang dimana beberapa lokasi telah mengalami alih fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi atau hutan konversi, atau bahkan berubah menjadi kegiatan bermukim atau permukiman. Pemerintah Sulawesi Utara sendiri saat ini sudah memiliki peta KRB (Kawasan Rawan Bencana) yang berbasis tata ruang yang lama, maupun dalan draft revisi tata ruang yang saat ini tinggal menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat. Peta KRB ini khususnya mengatur kawasan untuk potensi bencana letusan gunung api saja, belum jenis bencana lainnya yang dapat menjadi ancaman untuk masyarakatnya. Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap aturan tata ruang yang ada, maka aspek bencana telah menjadi salah satu faktor yang turut diperhitungkan dalam penyusunan rencana tata ruang. Ini terbukti dari argumentasi kuat yang disampaikan pihak Pemerintah Sulawesi Utara dalam dokumen revisi tata ruangnya (2007-2027)
untuk tidak mengubah peruntukan kawasan di Kabupaten Minahasa Utara menjadi kawasan pertambangan, karena hal ini akan bertentangan dengan peruntukkan kawasan yang sudah ada dan berkembang saat ini, yaitu kawasan perikanan dan pariwsata. Kedua sektor tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini ternyata telah menjadi salah satu andalan peningkatan PAD provinsi ini (sekitar 30% dari total PAD).
1.3. Sistem Kelembagaan Sistem kelembagaan merupakan salah satu faktor penting yang memiliki pengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem penanggulangan bencana di suatu wilayah. Bila sebelumnya Pemerintah Daerah membentuk Satkorlak sebagai organisasi yang bertugas mengatasi kejadian bencana, maka dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB), maka terjadi perubahan kelembagaan, dari Satkorlak menjadi Badan Penanggulangan Bencana Daerah/BPBD (Pasal 18 UU PB). Amanat Pasal 18 UU PB ini ternyata ditanggapi positif oleh Pemerintah Sulawesi Utara dan segera mengimplementasikannya melalui evaluasi SOTK yang baru sesuai amanat Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Perangkat Organisasi Daerah. Dalam SOTK yang telah disahkan oleh DPRD Sulawesi Utara dan tinggal menunggu penandatangan dari Gubernur, maka Pemerintah Provinsi membuatkan satu “struktur” tersendiri untuk Badan Penaggulangan Bencana Daerah. Untuk sementara, jabatan kepala Badan akan dijabat oleh Sekda secara ex officio. Kedepannya akan menunjuk kepala pelaksana harian. Provinsi Sulawesi Utara mungkin adalah provinsi pertama di Indonesia Timur yang sudah membentuk kelembagaan baru untuk urusan penanggulangan bencana, namun Kota Bitung mungkin juga bisa dinobatkan menjadi kota pertama di Indonesia Timur atau bahkan mungkin di republik ini, karena juga sudah membentuk kelembagaan
urusan
penanggulangan
bencana
untuk
daerah
pemerintahan
setingkatnya. Kelembagaan ini dikukuhkan dalam Perda No. 20 Tahun 2008 (12 Agustus 2008) Tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badana Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan Lembaga Lain Kota Bitung. Dalam aturan ini, pada Paragraf 2, Pasal 12 dijabarkan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bitung. Fungsi Satkorlak-PB Sulawesi Utara sampai saat ini, kebanyakan berperan pada masa tanggap darurat ketika suatu bencana terjadi dan melakukan beragam kegiatan
kesiapsiagaan (preparedness), termasuk peningkatan kapasitas para personilnya (SDM) khusus untuk urusan respon (tanggap darurat). Sedangkan untuk urusan pasca bencana, terutama kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, maka masih tetap diemban oleh masing-masing SKPD terkait, semisal Dinas Kesehatan, dan Dinas Pekerjaan Umum serta masih menerapkan pola koordinasi yang telah diterapkan sebelumnya.
1.4. Kebijakan di Bidang Penganggaran Sebuah kebijakan tanpa disertai anggaran akan sulit mencapai tujuannya dengan efektif. Provinsi Sulawesi Utara sendiri melihat hal ini sebagai salah satu masalah penting untuk dicarikan solusinya, sebab sampai saat ini belum ada kebijakan khusus yang mengatur tentang alokasi anggaran untuk masalah kebencanaan. Anggaran kebencanaan sampai saat ini masih dalam bentuk “dana tak terduga”. Dana tersebutpun tidak semuanya dapat digunakan untuk kebencanaan, namun bercampur dengan urusan-urusan lain terkait fungsi pemerintahan dalam urusan pelayanan kepada masyarakat.
2.
STRATEGI PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI SULAWESI UTARA Pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana perlu diikuti dengan penyusunan
sejumlah strategi. Dalam kegiatan telahaan ini, maka strategi yang dimaksud adalah menjadikan penanggulangan bencana sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan di daerah, karena upaya ini semestinya dapat menjamin keberlangsungan program dan implementasi kegiatan, termasuk alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan.
2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Hasil wawancara yang dilakukan dengan berbagai responden baik dengan aktor pemerintah dan non-pemerintah di Sulawesi Utara, maka diperoleh informasi bahwa urusan penanggulangan bencana saat ini sudah mulai dibahas dan akan menjadi bagian dari Program pembangunan Jangka Panjang untuk Sulawesi Utara, sehingga diharapkan program-program penanggulangan bencana akan tetap mendapat perhatian dari berbagai kalangan terutama dari pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat sendiri.
2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Penjelasan yang ditemui dalam Dokumen RPJMD Provinsi Silawesi Utara tahun 2005-2010 merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah (Gubernur Sulawesi Utara) yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional. Dokumen RPJMD Provinsi Sulawesi Utara tahun
2005-2010
ternyata
belum
secara
deskriptif
memasukkan
urusan
penanggulangan bencana menjadi salah prioritas pembangunan provinsi ini.
2.3. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB) Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara belum memiliki rencana aksi tertentu yang memang secara khusus bertujuan mengurangi risiko bencana dalam satu sistem manajemen penanggulangan bencana yang holistik, baik itu risiko yang timbul dari bencana alam maupun non alam.
2.4. Rencana Kerja Tahunan SKPD Upaya-upaya penanggulangan bencana sudah menjadi bagian dari Renja SKPD meskipun rencana tersebut masih bersifat sektoral dan lebih mengarah pada upaya antisipatif dan responsif. Dari sebagian besar program dan kegiatan yang ada di SKPD, sebagian besar diarahkan pada upaya penanggulangan bencana letusan gunung api, banjir dan tanah longsor serta upaya pemulihan lingkungan, khususnya di wilayah hutan lindung yang semakin rusak karena kegiatan pembalakan liar dan penambangan serta wilayah pesisir yang juga makin meningkat kerusakannya, terutama persoalan abrasi pantai dan vegetasi tanaman/hutan penahan gelombang/tsunami.
2.5. Strategi Alokasi Anggaran untuk Penanggulangan Bencana Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana tersebar di seluruh SKPD/dinas teknis terkait secara reguler, sesuai dengan Tupoksinya masing-masing. Besaran anggran masih terbatas untuk kegiatan rutin yang mendukung Tupoksi. Bila terjadi bencana bisa juga diambilkan dari pos anggaran ”dana tak terduga” yang dimilki ada di biro keuangan, dimana pencairannya membutuhkan persetujuan dari DPRD Sulawesi Utara.
3.
SISTEM OPERASI PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI SULAWESI UTARA Dalam telahaan ini yang dimaksud dengan sistem operasi penanggulangan bencana
adalah prosedur-prosedur tetap yang dipergunakan Pemerintah Daerah dalam urusan penanggulangan bencana, termasuk tata komando dan tata komunikasi serta aspek-aspek operasional lainnya.
3.1. Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Sama seperti di daerah lain di Indonesia, maka untuk urusan penanggulangan bencana di Provinsi Sulawesi Utara, pemerintah setempat masih menggunakan berbagai pedoman yang dikeluarkan Pemerintah Pusat melalui sejumlah Departemen yang memiliki kaitan erat dengan penanggulangan bencana, semisal BNPB, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan Departemen Dalam Negeri. Selain menggunakan pedoman tersebut, Pemerintah Sulawesi Utara juga telah menyusun beberapa pedoman yang terkait dengan penanggulangan bencana, terutama pada saat tanggap darurat dalam hal pembagian tupoksi masing-masing SKPD/dinas teknis, penetapan status aktivitas gunung api dan pemberian bantuan serta proses rehabilitasi/rekonstruksi pasca kejadian bencana.
3.2. Tata Komando dan Komunikasi Penanggulangan Bencana Lembaga yang mengemban tugas dalam urusan penanggulangan bencana di Provinsi Sulawesi Utara saat ini adalah Satkorlak-PB dalam naungan Kesbang Provinsi, sehingga ini mempengaruhi tata komando dan komunikasi upaya penanggulangan bencana. Pelaksanaan tata komando jika terjadi bencana sampai sekarang masih berada pada kendali Ketua Satkorlak-PB dengan Kepala Kesbang sebagai sekretaris harian Satkorlak-PB dan menjadi ”the leading sector”. Sebagai pelaksana langsung komando tersebut adalah SKPD/dinas teknis terkait sesuai dengan bidang keahliannya. Komunikasi internal dan intra SKPD/dinas teknis relatif berjalan lancar. Komunikasi
kemudian
akan
bersifat
koordinatif
antar
masing-masing
SKPD/dinas teknis ketika memasuki masa pasca dan sebelum terjadi bencana kembali. Pada pasca bencana, cukup fungsi koordinatif yang dilakukan, karena masing-masing SKPD/dinas teknis terkait (rehabilitasi dan reskonstruksi) akan mengambil peran sesuai dengan tupoksinya. Komunikasi koordinatif dan reguler juga dilakukan ketika sedang
tidak terjadi bencana antar SKPD/dinas terkait di Sulawesi Utara dengan tujuan membangun kesiapsiagaan (sosialisasi, drill, dll) yang serupa dari segi kualitas skill dan substansi tentang penanggulangan bencana dengan paradigma baru.
REFERENSI
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, 2016. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara 2015. Manado : Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara, 2016. Profil Penduduk Provinsi Sulawesi Utara Hasil SUPAS 2015. Manado : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara, 2018. Provinsi Sulawesi Utara Dalam Angka 2018. Manado : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara, 2015. Provinsi Sulawesi Utara Dalam Angka 2015. Manado : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara Gabriel H. Joseph, 2017. Analisis Pola Konsumsi Pangan Di Propinsi Sulawesi Utara. Sulawesi Utara : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara, 2015. Statistik Daerah Provinsi Sulawesi Utara 2015. Manado : Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2009. Badan Penanggulangan Bencana (BNBP), 2014. Indeks Risiko Bencana Indonesia Tahun 2013. Sentul: Direktorat Pengurangan Risiko Bencana Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan. Ulfah Maria, 2009. Konservasi Species Endemik Dan Terancam Punah , Yaki (Macaca nigra) di Cagar Alam Tongkoko-Batuangus Sulawesi Utara :Kajian Ekologi Nutrisi dan Regim Kompetensi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Manado. 2011. Info Balai Penelitian Kehutanan. Manado : Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Balai Penelitian Kehutanan Manado. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2018. Gagal Teknologi di Minahasa Utara.2018. Minahasa : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Mongabay.co.id. 2018. Catatan Akhir Tahun Suara Sumbang Konflik Agraria Di Sulawesi Utara. Diakses pada tanggal 7 April 2019 pukul 14.00. Gorontalo Antar News. 2018. Tuminting Manado Paling Rawan Konflik Sosial. Diakses pada tanggal 7 April 2019 pukul 15.05. BAPPENAS.go.id. Indeks Rawan Bencana. 2018. Viva.co.id. 2018. Sulawesi Utara Siaga Satu Akibat Konflik Bersenjata Marawi. Diakses pada tanggal 7 April 2019 pukul 16.00
Media Indonesia. 2019. Demam Berdarah serang SULUT, 3 warga Meninggal dunia. Diakses pada tanggal 7 April 2019 pukul 17.07 WIB.