Profil

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Profil as PDF for free.

More details

  • Words: 626
  • Pages: 1
p

r

P

o r

o

f

f i

l

i

l

Siti Ruhaini Dzuhayatin

“Sebagai Perempuan, Saya Merasa Tidak Beruntung”

“Ngurus anak kan bukan hanya urusan perempuan, to?!”, ini potongan dialog dua suami muda di sebuah bilik kantor dalam iklan layanan masyarakat (ILM) produksi tim LP3Y Yogyakarta 13-15 Februari 2002. Diceritakan, salah satu di antara keduanya memutuskan cuti tiga bulan dari perusahaan untuk mengurus anaknya yang masih balita. Saat berkomentar terhadap pesan ILM ini, Siti Ruhaini Dzuhayatin atau akrab dipanggil mbak Aini langsung setuju. Pesan kesehatan reproduksinya jelas, juga pesan kesetaraan gendernya. Di Amerika Serikat, menurut dosen fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga dan kepala Pusat Studi Wanita IAIN Yogyakarta ini, suami cuti secara bergiliran dengan isterinya untuk mengurus anak adalah hal yang wajar dan biasa. Di Indonesia, wacana cuti dengan alasan “domestik” itu justru hanya berlaku untuk perempuan, bahkan proses cuti itu pun masih sering dipersulit perusahaan tempat perempuan itu bekerja. Apabila ada suami yang memilih cuti mengurus anak, awalnya mungkin terdengar ekstrim, tetapi lama-lama publik akan terbiasa. Dan spot ILM yang direncanakan beredar tahun 2003 itu, dapat dianggap sebagai “pemanasan” wacana cuti untuk suami. Di kalangan aktivis perempuan dan pemerhati kesetaraan gender di Yogyakarta, sosok Ruhaini dengan berbagai pernyataan kritis seputar gender dan kesehatan reproduksi jelas tidak asing lagi. Ruhaini ibarat “juru bicara” yang baik perihal bagaimana Islam secara kontekstual melihat gender dan kesehatan reproduksi. Mengapa mbak Aini “ikut-ikutan” mengomentari iklan layanan? Menurut peneliti di pusat studi kependudukan dan kebijakan UGM ini, peran media sangat penting dalam mengakomodir dan mereproduksi persepsi yang berkembang di masyarakat. Acara radio dan TV seperti iklan layanan masyarakat sangat efektif membentuk ideologi baru yang pro-gender dan kesehatan reproduksi. Saat ini, Ruhaini menilai media radio dan TV masih berperan menegaskan (securing) ketimpangan gender, membedakan perempuan-laki-laki

menurut klasifikasi domestik dan publik, ruang dapur-anak dan ruang tamu-kantor. Penegasan serupa diulang lagi ketika ia mengisi workshop yang sama, 6-8 Maret 2003 lalu. Bagaimana awalnya Siti Ruhaini tertarik dengan wacana gender dan kesehatan reproduksi? Jawabannya, “Sebagai perempuan muslimah, saya merasa tidak beruntung hidup di dunia ini”. Ketidakberuntungan itu bermula saat mondok di pesantren, menjadi siswi di madrasah tsanawiyah di pondok pesantren Pabelan Magelang. “Hampir semua materi Hadits (Sabda Nabi Muhammad) yang diajarkan, membuat saya tidak nyaman, karena memposisikan perempuan sebagai pihak yang selalu bermasalah, sehingga timbul pertanyaan pribadi saya, apa yang salah dalam ajaran Islam sehingga mendiskriminasi perempuan dalam kehidupan sosial?” Jawaban atas pertanyaan itu baru ketemu saat saya kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fak. Syari’ah, tahun 1982 hingga 1987. Sejak saat itu, bisa dibilang saya beruntung. Selain didukung kolega di kampus, keluarga juga mendukung sepenuhnya gerakan yang saya lakukan”. Setelah merampungkan kuliah Ruhaini jadi staf pengajar di almamaternya dan berkesempatan mendalami masalah-masalah perempuan dan agama di Australia, hingga memperoleh gelar MA. Kesimpulan penting yang diperoleh dari pergulatan pendidikan itu antara lain, bahwa bukan agama Islam-nya yang keliru, tetapi penafsiran atas ajaran agama itulah yang bias gender alias berbau maskulin. Pemikiran yang hanya mewajibkan perempuan mengurus anak sejak balita hingga dewasa termasuk yang keliru itu. Sejak tahun 1999, sejumlah aktivitas penting ditekuni sosok yang bisa cepat akrab dengan siapa saja ini. Antara lain, menjadi pengurus LSM perempuan Rifka Annisa Women Crisis Centre, Direktur Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga 2000-2003, Kepala divisi wanita dan keluarga PP. Muhammadiyah. Ditanyakan apa hasil yang sudah diperoleh dari gaung gerakan pro-feminis, Ibu satu anak berumur 8 tahun itu menjawab, setidaknya stigma bahwa “feminisme” impor dari barat sudah makin pudar; makin tinggi kesadaran bahwa isu gender dan kespro merupakan fenomena sosial yang harus menjadi komitmen bersama, institusi hukum dan norma sosial yang mengikat perempuan dalam posisi sekunder kian mencair, serta perubahan ke arah paradigma pengkajian Islam yang lebih mengacu pada pendekatan historis-sosial makin mendapat tempat, kouta 30 % kursi untuk perempuan di parlemen sudah pula tercapai. (Masduki) $

Related Documents

Profil=
December 2019 59
Profil
November 2019 69
Profil
December 2019 57
Profil
December 2019 58
Profil
December 2019 56
Profil Blk.docx
April 2020 11