Presbang Skizofren Ytt - Dr Wi.docx

  • Uploaded by: Safina Firdaus
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presbang Skizofren Ytt - Dr Wi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,527
  • Pages: 25
PRESENTASI KASUS BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA F20.0 SKIZOFRENIA PARANOID

Penguji : dr. Wiharto, Sp. KJ, M. Kes

Oleh : Fikri Fachri P.B

G4A016039

Safina Firdaus

G4A017031

Nur Annisa Laras F

G4A017036

Dzaki Lukmanul H

G4A017051

M Reiza Primayana

G4A017055

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2018

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

F2 SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Prof Margono Soekarjo

Oleh : Fikri Fachri P.B

G4A016039

Safina Firdaus

G4A017031

Nur Annisa Laras F

G4A017036

Dzaki Lukmanul H

G4A017051

M Reiza Primayana

G4A017055

Disetujui Pada tanggal

Desember 2018

Penguji,

dr. Wiharto, Sp. KJ, M. Kes

2

LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PASIEN Nama

: Ny. I

Tempat, Tanggal Lahir

: Jakarta, 31 Mei 1978

Umur

: 40 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Alamat

: Perum Laban Permai Kebonmanis, Cilacap

Pekerjaan

: Pensiunan PNS

Pendidikan

: D3

Status Perkawinan

: Menikah

Tanggal Masuk RS

: 13 Desember 2018

No RM

: 00780826

II. ANAMNESIS Alloanamnesis (Suami) Alloanamnesis dilakukan di Bangsal Anggrek RSUD Margono Soekarjo pada hari Selasa, 18 Desember 2018. Identitas (Alloanamnesis) Nama

: Tn. A

Usia

: 50 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

:

Alamat

: Perum Laban Permai Kebonmanis, Cilacap

Hubungan

: Suami

3

A. Keluhan Utama Berbicara sendiri B. Keluhan Tambahan -

Mendengar bisikan

-

Mudah curiga dengan orang lain

C. Riwayat Penyakit Sekarang Alloanamnesis Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh suami pasien, pasien mulai berubah saat pasien hamil anak ke-2 (tahun 2005), saat sedang hamil pasien bercerita mendengar gunjingan dari tetangga tentang hal buruk mengenai dirinya padahal menurut logika suami hal tersebut tidak benar. Pasien sering sekali mendengar bisikan-bisikan yang terus menerus menganggu dirinya dan terus menceritakannya, sampai suami merasa lelah dan menggebrak meja memberi tahu untuk tidak mempedulikannya. Semenjak saat itu pasien mulai memendam segalanya terutama perasaan dan apa yang dirasakannya sendiri, tidak mau bercerita seperti dahulu sampai saat ini. Setelah anak ke-2 lahir, saat pasien sednag menyusi anaknya, selendang yang menutupi payudara dan bayinya menutup cukup rapat bayi sehingga suami membenarkan posisi bedongnya dan pasien marah menampik tangan suami, sehingga suami marah dan secara reflek menampar pasien namun hanya mengenai tangannya karena pasien menampik. Pasien dan suami sedang di Jakarta, pasien bercerita bahwa pekerjaan pasien akan dipindahkan dari Cilacap dari berita yang ia dengar melalui radio, serta pasien m erasa isi radio sedang membicarkan dirinya. Mulai saat itu suami merasa ada yang aneh dengan istrinya, lalu mulut pasien sering berkomat-kamit namun tidak tahu apa yang diucapakannya, sampai saat sedang menyusui anaknya, suami mendengar ucapan pasien yang berisi percakapan pendek dengan topik yang berbeda-beda. Saat pasien dan suami sedang istirahat, suami juga mendengar pasien berbicara sendiri, topik tidak jelas dan melompatlompat sehingga dibawa ke RS Jiwa di Jakarta dan dirawat selama 2

4

minggu. Setelah dirawat keadaan pasien membaik. Saat pasien melahirkan anak ke-2 menurut dokter terdapat gangguan pada rahim pasien sehingga tidak dapat dimasukkan KB dan disarankan jika melakukan hubungan suami istri dengan menggunakkan pengaman. Setelah dilakukan, pasien merasa tidak nyaman dan meminta untuk tidak menggunakkan pengaman saja, namun suami menolak karena berbahaya jika pasien hamil kembali. Semenjak itu pasien menolak melakukan hubungan suami istri. Pada tahun 2007, pasien pindah berobat ke RSUD Banyumas. Sejak tahun 2007 sampai saat ini pasien dirawat sebanyak 5x. setelah kepindahannya di Cilacap pasien sering pergi keluar baik sendriri maupun dengan anak. Semenjak rawat inap pertama di RSUD Banyumas, pasien mulai mencurigai orang, termasuk suami. Pasien merasa suami curang karena tidak memenuhi janjinya untuk mengganti uang yang telah ia pakai untuk membeli barang. Semenjak saat itu pasien tidak memperbolehkan suami, anak, dan orang lain melihat isi saku, dompet dan tas pasien. Setelah pengobatan di RSUD Banyumas pada tahun 2010 pasien sudah mau melakukan hubungan suami istri kembali dengan menggunakkan pengaman. Pasien pernah keluar dari rumah dan ternyata membeli sebuah rumah diperumahan cilacap tanpa sepengetahuan suami. Saat pasien kembali dirawat di RSUD Banyumas, suami baru mengetahui bahwa pasien membawa uang cash 60 juta, surat-surat berharga, dan perhiasannya. Setelah membaik, pasien kembali dibawa kerumah. Selang bebrapa bulan, saat rumah yang pasien beli sedang dalam proses pembangunan, pasien membawa kedua anaknya keluar rumah dengan motor dan menginap dirumah yang belum jadi tersebut.

Sebelumya

pasien juga sempat membawa anaknya untuk singgah sebentar di emperan toko untuk beristirahat pada tengah malam. Lalu pasien dirawat kembali di RSUD Banyumas. Setelah pasien pulang selang beberapa bulan pasien memutari Cilacap menggunakkan motor sejak sore hari sampai subuh dan suami diam-diam mengikuti dari belakang, karenahal ini maka pasien dirawat kembali. Suami akhirnya menginstal alat

5

tracking di hp pasien, lalu suami melihat bahwa pasien pergi ke stasiun lalu naik kereta menuju jatinegara, lalu dari jatinegara menaiki KRL jabodetabek lalu naik kereta dari bogor ke kota dan bolak-balik. Saat sore harinya pasien menaiki kereta kembali ke Cilacap dan sampai pukul 03.00 dini hari. Pada tahun 2014/2015 mulut pasien sering berkomat kamit kembali namun terlihat seperti menahan mulutnya. Keadaan ini muncul terutama saat pasien berfikir berbagai hal. Pada tahun 2016 pasien menolak kembali hubungan suami istri sampai sekarang. Setiap pasien akan dibawa kontrol suami dibantu satpam dan perawat untuk memaksa paien bernagkat. Suami pasien mengaku semenjak pasien mengalami halusinasi, pasien sering sekali memecat asisten rumah tangga yang baru saja masuk. Dalam 1 tahun sudah bergonta-ganti 40 asisten. Pasien merasa sayang kepada ke2 anaknya, dan suami. Pasien tetap memasak setiap hari, membereskan rumah.

Sejak 2 minggu terakhir, setiap hari pasien

membeli bahan makanan kering berlebihan sehingga menumpuk di dalam rumah, dan makanan yang sudah jadi dalam porsi berlebih dan hanya disimpan saja, tidak dibagikan ke orang sekitar rumah. Selama pengobatan suami melihat progress kesembuhannya menurun, setelah konfirmasi ternyata pasien tidak meminum obatnya, justru membuang obatnya dalam kamar mandi. Sehingga pasien dibawa ke poli kejiwaan RSUD Margono paviliun Abiyasa. Setelah 5 hari perawatan di bangsal Anggrek RSUD Margono Soekardjo suami pasien melihat ada perkembangan dari pasien, tampak lebih tenang, dan dapat tidur dengan nyenyak.

Autoanamnesis Pasien terlihat berhati-hati terhadap sekitar, saat ditanyakan mengenai keluhan, perasaan saat ini pasien menjawab biasa saja. Pasien tidak mau mengutarakan pemikiran, dan perasaannya. Pasien cenderung diam.

6

D. Riwayat Penyakit Dahulu 1. Riwayat Psikiatri Pasien riwayat dirawat di RS Jiwa jakarta tahun 2006, dan dirawat di Bangsal Wijayakusuma RSUD Banyumas sebanyak 5x 2. Riwayat Medis Umum a. Riwayat mengalami kejang disangkal. b. Riwayat mengalami trauma pada kepala disangkal. c. Riwayat mengonsumsi alkohol dan penggunaan zat adiktif disangkal. E. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit keluarga untuk gangguan psikisnya tidak ada yang menderita hal serupa. F. Silsilah Keluarga

G. Riwayat Pribadi 1. Riwayat Prenatal dan Perinatal Tidak ada informasi 2. Masa Kanak-Kanak Tidak ada informasi 3. Masa Remaja Pertumbuhan dan perkembangan pada masa ini normal.Pasien mampu mengikuti pelajaran di sekolah dan pasien memiliki beberapa teman. 4. Riwayat Perkembangan Seksual Pasien tidak mengalami gangguan dalam perkembangan seksualnya. 7

5. Riwayat Pendidikan Pendidikan terakhir pasien adalah lulusan D3 sastra arab UI. Saat kuliah pasien juga bekerja di Dinas Perikanan di Jakarta. Kemudian setelah menikah pasien dipindah kerjakan di BKD Cilacap mengikuti domisili suami. 6. Riwayat Perkembangan Jiwa Menurut suami, pasien merupakan tipe orang yang pendiam. Selama suami mengenalnya, pasien pencemas dan cenderung lebih sering berdiam dirumah, jarang bergaul, keluar sesekali dengan saudara. Sebelum sakit pasien sering bercerita kepada suami tentang pekerjaan, tetangga dan hal lain. Namun, setelah pasien bercerita sering mendengar bisikan yang menganggunya terus menerus, suami mulai merasa lelah hingga menyuruh pasien untuk tidak mendengarkan bisikannya dengan memukul meja. Sejak itu, pasien mengalami perubahan menjadi pribadi yang sangat tertutup. 7. Kegiatan moral spiritual Pasien beragama Islam. Sebelum sakit pasien rajin beribadah shalat 5 waktu, dan mengaji. Saat ini pasien sering menjamak shalatnya dan menolak jika diajak mengaji oleh suaminya. 8. Aktivitas sosial a. Dalam keluarga Pasien memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. b. Dengan tetangga Pasien jarang bergaul dengan tetangganya. 9. Sikap keluarga terhadap penderita Keluarga sangat peduli terhadap kondisi kesehatan pasien. H. Hal-hal yang mendahului penyakit 1. Faktor Predisposisi a. Jenis Kelamin perempuan b. Usia 40 tahun c. Kepribadian cenderung introvert 2. Faktor Pencetus

8

Stres psikososial: ?

III.

KESIMPULAN ANAMNESIS A. Pasien seorang laki-laki berusia 20 tahun, belum menikah, beragama Islam, suku Jawa, pekerjaan sebagai kuli bangunan. B. Pasien dibawa keluarganya ke poli Jiwa RS Margono Soekarjo pada tanggal 7 Juli 2018 karena pasien sering marah-marah. Selain itu pasien juga sulit tidur, bicara kadang melantur, mendengar bisikan-bisikan, melihat sesosok bayangan yang tidak dilihat orang lain dan nada bicara tinggi. C. Faktor pencetus dari munculnya gejala ini adalah perlakuan teman-teman sekolahnya yang mengejek tentang perceraian orang tua pasien dan keseharian pasien yang sering dimarahi oleh kakeknya. D. Pasien adalah pribadi yang intovert.

IV.

PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum

: perempuan, sesuai usia, tak tampak sakit jiwa

B. Kesadaran

: Compos mentis

C. Tanda vital Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 92 x/min

Respirasi

: 16 x/min

Suhu

: 36.5 C

D. Berat badan

: kg

E. Tinggi badan

:158 cm

F. Kepala

: Mesocephal

G. Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, 3mm/3mm, reflek pupil +/+

H. Hidung

: Tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum

I.

Mulut

: Tidak sianosis, tidak ada discharge

J.

Telinga

Tidak: ada kelainan bentuk dan ukuran, serumen (+/+) Tidak

ada

deviasi

trachea,

tidak

teraba

pembesaran kelenjar getah bening 9

K. Leher

:

L. Cor Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

Ictus :cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V

Perkusi

LMCS : cBatas kiri atas SIC II LPSS, batas kiri bawah SIC V LMCS, batas kanan atas SIC II LPSD, batas kanan bawah SIC IV LPSD

Auskultasi

: S1>S2 reguler, murmur -, gallop -

M. Pulmo Inspeksi

: Jejas (-), simetris kanan-kiri

Palpasi

: Vocal fremitus simetris kanan dan kiri

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar vesikuler +/+, tidak ada suara tambahan

N. Abdomen Inspeksi

: datar

Auskultasi

: Bising usus normal

Perkusi

: Timpani seluruh lapang abdomen

Palpasi

O. Ekstremitas

V.

Tidak: ada nyeri nyeri tekan, tidak ada defans muskular, tidak teraba masa, tidak teraba hepar Akral hangat (+/+/+/+), tidak terdapat edem pada : dan lien. keempat ekstremitas

PEMERIKSAAN PSIKIATRI A. Kesan umum

: Seorang perempuan, sesuai usia, tak tampak sakit jiwa perawatan diri cukup baik

B. Kesadaran

: Compos mentis

C. Orientasi O/W/T/S : Baik/baik/baik/baik D. Sikap

: Tidak kooperatif

E. Tingkah laku

: Hipoaktif

10

F. Proses pikir

VI.

Bentuk pikir

: Non-realistik

Isi pikir

: waham curiga

Progesi pikir

: poverty of speech, remming

G. Persepsi

: Halusinasi auditori (+), Halusinasi visual (-)

H. Roman muka

: curiga

I.

Afek

: inappropriate

J.

Mood

: disforik

K. Perhatian

: Mudah ditarik Sulit dicantum

L. Hubungan jiwa

: Sukar

M. Insight

: derajat I

SINDROM A. Sindrom skizofrenia: 1. Halusinasi auditorik 2. Waham curiga 3. Progresi pikir : poverty of speech, remming 4. Roman muka curiga 5. Gejala negatif : bicara sangat jarang, menarik diri dari pergaulan, menurunnya kinerja sosial

IV.

DIAGNOSIS BANDING 1. Skizofrenia paranoid 2. Skizoakfektif tipe manik

V.

DIAGNOSIS MULTI AKSIAL Axis I

: Skizofrenia paranoid

Axis II

: Gangguan kepribadian paranoid

Axis III : Tidak ada diagnosis untuk axis ini Axis IV : Masalah keluarga dan lingkungan sosial Axis V

: GAF 40-31

11

VI.

Penatalaksanaan 1.

Fase Akut a.

Farmakoterapi Pada

Fase

melukaidirinya

akut

atau

terapi

orang

bertujuan

lain,

mencegah

mengendalikan

pasien perilaku

yangmerusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejalaterkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah (Amir, 2010). 1) Langkah Pertama: Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan. 2) Langkah Kedua: Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatanatau

isolasi

hanya

dilakukan

bila

pasien

berbahayaterhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaharestriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukanhanya boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dandigunakan untuk memulai pengobatan. Meskipun terapioral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkanawitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejaladengan segera perlu dipertimbangkan (Amir, 2016).

a) Obat injeksi dapat berupa : i.

Olanzapine,

dosis

10

mg/injeksi,

intramuskulus,

dapatdiulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari. ii.

Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25mg/hari), intramuskulus.

iii.

Haloperidol,

dosis

5mg/injeksi,

intramuskulus,

dapatdiulang setiap setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari. iv.

Diazepam

10mg/injeksi,

intravena/intramuskulus,

dosismaksimum 30mg/hari. b) Obat oral Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalamanpasien

sebelumnya

dengan

antipsikotika

12

misalnya, responsgejala terhadap antipsikotika, profil efek samping,kenyamanan

terhadap

obat

tertentu

terkait

carapemberiannya.Pada fase akut, obat segera diberikan segera setelahdiagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjurandinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3minggu, sampai dosis optimal yang dapat mengendalikangejala(Hawari, 2016). b.

Psikoedukasi Tujuan

Intervensi

yangberlebihan,

adalah

stresor

peristiwakehidupan. ataumengurangi

lingkungan

Memberikan keterjagaan

baik,memberikan

mengurangi dan

ketenangan melalui

dukungan

menyediakanlingkunganyang

stimulus peristiwa-

kepada

pasien

komunikasi

yang

atau

nyaman,

harapan,

toleran

perlu

dilakukan(Hawari, 2016). 2.

Fase Stabilisasi a.

Farmakoterapi Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejalaatau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko ataukonsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi danproses kesembuhan (recovery).Setelah

diperoleh

dosis

optimal,

dosis

tersebut

dipertahankanselama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahaprumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat antipsikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4minggu(Amir, 2010). b.

Psikoedukasi Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orangdengan

skizofrenia

dan

keluarga

dalam

mengelola

gejala.Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih caramengelola

gejala,

kepatuhanmenjalani

merawat

pengobatan.

diri,

Teknik

mengembangkan intervensi

perilaku

bermanfaatuntuk diterapkan pada fase ini(Meltzer dan Fatemi,

13

2015). 3.

Fase Rumatan a.

Farmakoterapi Dosis

mulai

diperolehdosis

diturunkan

minimal

yang

secara masih

bertahap mampu

sampai mencegah

kekambuhan.Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai duatahun,

bila

sudah

berjalan

kronis

dengan

beberapa

kalikekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkanseumur hidup(Meltzer dan Fatemi, 2015). b.

Psikoedukasi Tujuan kembalipada

Intervensi kehidupan

spesifik,misalnya

remediasi

adalah

mempersiapkan

masyarakat.Modalitas kognitif,

pelatihan

pasien

rehabilitasi keterampilan

sosialdan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini.Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali danmengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampumencegah kekambuhan berikutnya(Meltzer dan Fatemi, 2015). 4.

Obat antipsikotik Secara umum antipsikotik sebaiknya dimulai pada dosis rendah. Dosis tersebut dipertahankan selama 4 - 6 minggu, kecuali terdapat gejala psikotik atau agresif atau sulit tidur yang parah. Peningkatan dosis yang terlalu cepat akan meningkatkan risiko terjadinya gejala ekstrapiramidal dan gejala negative sekunder tanpa adanya kegunaan dari antipsikotik itu sendiri. Penggunaan obat parenteral short-acting untuk pasien baru sebaiknya dihindari. Namun terapi dengan obat long-acting tidak boleh diberikan kecuali pada pasien dengan riwayat tidak responsive dengan bentuk pengobatan lain. Penggunaan dosis tinggi untuk pengobatan skizofren akut tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan penggunaan dosis rata-rata. Beberapa studi mengatakan bahwa penundaan pemberian antipsikotik akan memberikan outcome yang lebih buruk, diperkirakan karena beberapa aspek pada psikosis secara biologis toksik terhadap struktur otak (Kaplan dan Saddock, 2010).

14

Beberapa pasien memberikan respon terhadap antipsikotik dalam minggu pertama pengobatan atau bahkan pada hari pertama. Kebanyakan akan tidak memberikan respon dalam 2 – 6 minggu. Namun tidak disarankan untuk memutuskan obat dan mengganti dengan jenis yang lain sebelum pengobatan mencapai 4 – 6 minggu, kecuali terdapat efek samping atau gejala ekstrapiramidal yang tidak sesuai dengan pengobatan (Hawari, 2015).Penggunaan beberapa antipsikotik pada waktu bersamaan harus dihindari, khususnya penggunaan antipsikotik tipikal yang diberikan secara oral dan parenteral, kecuali pengobatannya memang sedang dialihkan dari intramuscular menjadi oral terapi. Pada beberapa kasus bila antipsikotik tidak dapat mengontrol rasa cemas dan agitasi yang berlebihan, penggunaan benzodiazepine dapat diberikan (Sinaga, 2010). a.

Antipsikotik tipikal Obat

antipsikotik

tipikal

disebut

juga

antipsikotik

konvensional atau antipsikotik generasi 1 (APG-1) (Kazadi et al., 2011). Obat antipsikotik tipikal ini memiliki mekanisme kerja sebagai dopamin reseptor antagonis (DRA). Sejak ditemukannya klorpromazine (CPZ) pada tahun 1950, pengobatan skizofren mengalami kemajuan. CPZ dan antipsikotik lainnya yang mirip mengurangi gejala positif dari skizofren sampai 70 %, Namun untuk gejala negatifnya, antipsikotik tipikal memiliki efek yang kurang, begitu juga efek terhadap gangguan mood dan gangguan kognisinya (Hawari, 2015). APG-1 dopaminergik

memiliki dengan

cara

cara

kerja

memblok

mengurangi reseptor

D2.

aktifitas dengan

pemanjangan inaktifasi mesolimbik dan dopamine mesokortikal dan dopamine pada badan nigra pada otak, akan memberikan efek antipsikotik dan ekstrapiramidal. Pada penggunaan benzamide (sebagai contoh sulpiride dan amisulpride) sebagai terapi substitusi, dimana benzamide merupakan antagonis D2 yang kuat dan juga selektif, obat ini juga memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor

15

neurotransmitter lainnya. Dengan kesamaan cara kerja ini, obat tersebut menunjukan sedikit perbedaan kemanjuran pada pengobatan (Kaplan dan Saddock, 2010).Pemilihan obat antipsikotik tipikal didasarkan oleh banyak pertimbangan, termasuk adanya preparat obat long-acting. Obat potensi ringan (dosis maksimal 300 mg/ hari seperti CPZ, thioridazine, mesoridazine) lebih memiliki efek sedative dan hipotensi dibanding dengan obat dengan potensi tinggi seperti haloperidol dan fluphenazine. Obat potensi tinggi dapat mengakibatkan gejala ekstrapiramidal lebih sering disbanding dengan potensi rendah. Namun kedua obat ini memberikan efek yang sama dalam mengurangi agitasi (Sinaga, 2010). Jika pasien memiliki riwayat pengobatan dan tidak terdapat gejala ekstrapiramidal, obat potensi tinggi seperti haloperidol dan fluphenazine menjadi pilihan utama (Kaplan dan Saddock, 2010). Jika terdapat gejala ekstrapiramidal, obat antikolinergik seperti benztropine, biperiden atau trihexyphenidyl dapat digunakan atau dapat

diganti

obat

menjadi

obat

potensi

sedang

(seperti

trifluoperazine) atau potensi ringan. Antipsikotik atipikal juga menjadi pilihan jika terdapat gejala ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal yang tidak teratasi dapat menyebabkan gejala negative dan kurangnya kepatuhan minum obat (Hawari, 2015).

Kemampuan terhadap reseptor D2, 5-HT dan muskarinik merupakan kunci dari sebuah obat antipsikotik menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Efek samping lainnya adalah ginekomastia, impotensi dan amenorea merupakan sebab dari blockade reseptor DA. Peningkatan berat badan adalah karena blockade reseptor 5-HT dan H1 (Sinaga, 2010). Penelitian mengatakan bahwa dosis rendah antipsikotik tipikal (haloperidol dan risperidone) lebih efisien karena dapat memberi perbaikan secara cepat dan tanpa efek samping yang berarti. Sebagai contoh, dosis haloperidol 5 – 10 mg/hari sudah cukup untuk kebanyakan pasien dengan psikosis akut. Meningkatkan

16

dosis tidak boleh dilakukan sebelum 4 minggu terapi. Untuk risperidone 1 – 4 mg/hari sudah cukup untuk menghindari efek samping ekstrapiramidal (Amir, 2010). Untuk pasien kronik yang tidak patuh untuk terapi oral, setiap 2 minggu atau setiap bulan dapat diberikan injeksi fluphenazine decanoate 12.5 – 50 mg atau haloperidol decanoate 25 – 100 mg. Hal tersebut akan mengurangi gejala kambuh secara signifikan (Meltzer dan Fatemi, 2015). b.

Antipsikotik atipikal 1) Clozapine Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang memperlihatkan efek yang dapat mengurangi gejala positif dan negatif pada pasien yang gagal dengan terapi antipsikotik tipikal. Obat ini juga hampir tidak memberikan efek ekstrapiramidal,

termasuk

akathisia.

Hal

ini

mungkin

disebabkan oleh karena clozapine memiliki daya ikat yang kuat terhadap

reseptor

serotonin

(5-HT),

adrenergik

(α1,2),

muskarinik, dan histaminergik (Meltzer dan Fatemi, 2015). Clozapine telah digunakan pada ratusan pasien di negara barat selama kurang lebih 20 tahun dan tidak ada kasus tardive

diskinesia

yang

dilaporkan.

Respon

terhadap

penggunaan clozapine bisa mencapai 6 bulan. Sindrom negatif cenderung membaik paling lama. Respon terhadap clozapine biasanya hanya sebagian, namun untuk pasien-pasien parah yang tidak memberikan respon terhadap terapi lain, perubahan dengan obat ini bisa terlihat drastis. Keuntungan terbesar dari clozapine adalah rendahnya kemungkinan untuk menyebabkan granulositopeni dan agranulositosis (sekitar 1%)(Kaplan dan Saddock, 2010).

Sehingga di Amerika Serikat, clozapine

digunakan hanya untuk pasien-pasien

skizofren yang telah

gagal dengan terapi antipsikotik tipikal atau dengan antipsikotik tipikal

memberikan

gejala

ekstrapiramidal

atau

tardive

diskinesia. Meskipun jarang terdapat efek agranulositosis, sel

17

darah putih pasien harus dimonitor setiap 2 minggu. Bila sel darah putih turun di bawah 3000 /mm3, pemakaian harus dihentikan. Clozapine juga dapat menyebabkan leukositosis dan eosinofilia

pada

tahap-tahap

awal

(Hawari,

2015).

Perkembangan dari gangguan tersebeut tidak dapat dijadikan patokan sebagai terjadinya agranulositosis.

Efek samping

lainnya dari clozapine adalah sedasi, peningkatan berat badan, kejang, gejala obsesif kompulsif, hipersalivasi, takikardi, hipotensi, hipertensi, gagap, inkontinensia urin, konstipasi, dan hiperglikemi. Efek samping tersebut biasanya dapat diatasi dengan penurunan dosis. Untuk kejang harus ditangani dengan anti konvulsan seperti asam valproat (Amir, 2010). Dosis clozapine untuk kebanyakan pasien antara 100 – 900 mg/hari. Peningkatan dosis harus dilakukan perlahanlahan mengingat adanya efek samping takikardi dan hipotensi. Dosis biasanya dimulai pada 25 mg/hari, kemudian sampai pada dosis 500 mg/hari dan biasanya diberikan sehari 2x (Hawari, 2015). Clozapine terbukti dapat mengurangi depresi dan gejala ingin bunuh diri. Clozapine juga dilaporkan dapat meningkatkan beberapa aspek kognitif terutama kemampuan bicara, pemusatan pikiran, dan memory recall. Clozapine juga menunjukan dapat meningkatkan fungsi bekerja dan kualitas kehidupan pasien. Tidak ada data yang menunjukan bahwa clozapine efektif terhadap kasus skizotipal atau gangguan personalitas skizoid (Sinaga, 2010). 2) Risperidon Risperidon

merupakan golongan benzisoxazole.

Risperidon memiliki efek mengurangi gejala positif dan negatif yang lebih baik daripada haloperidol. Namun tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa risperidon efektif terhadap pasien yang gagal terapi dengan antipsikotik tipikal. Risperidon juga dapat meningkatkan fungsi kognitif (Hawari, 2016). Risperidon

18

mempunyai kecenderungan untuk dapat menyebabkan tardive diskinesia, sehingga pemakaian risperidon biasanya dalam dosis rendah (4 – 8 mg/hari) namun lebih efektif dibanding dengan obat antipsikotik tipikal dengan dosis yang sama. Beberapa pasien memberi efek pada dosis 2 mg/hari, namun ada juga yang memberi respon pada 10 – 16 mg/hari. Pada dosis 2 -4 mg/hari, gejala ekstrapiramidal biasanya ringan. Risperidon memiliki ikatan pada reseptor D2 yang lebih kuat daripada clozapine (Meltzer dan Fatemi, 2015). Risperidon merupakan pilihan untuk pasien yang memberi respon baik terhadap antipsikotik tipikal yang ditandai dengan penurunan gejala positif, namun memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal dan gejala negatif sekunder (Sinaga, 2010). Risperidon juga efektif untuk menekan tardive diskinesia. Efek samping risperidon selain gejala ekstrapiramidal adalah akathisia, peningkatan berat badan, disfungsi seksual, penurunan libido, dan galaktorea. Tidak seperti clozapine, risperidon meningkatkan serum prolaktin. Tidak ada laporan bahwa risperidon dapat menyebabkan agranulositosis (Hawari, 2016). 3) Olanzapine Merupakan salah satu obat antipsikotik tipikal yang terbaru. Olanzapine memiliki struktur yang mirip dengan clozapin, dan memiliki risiko yang rendah untuk terjadinya gejala ekstrapiramidal, efektif terutama dalam mengatasi gejala negatif, dan memiliki efek minimal terhadap prolaktin (Kaplan dan Saddock, 2010). Olanzapine terbukti lebih efektif daripada haloperidol dalam mengatasi gejala positif. Dosis anjuran olanzapin dimulai pada 10 mg/hari, sehari sekali. Kebanyakan pasien memerlukan 10 – 25 mg/hari, namun dosis sebaiknya dinaikan secara perlahan. Sama seperti clozapine, respon perngobatan dapat baru terlihat setelah beberapa bulan. Olanzapine memberi efek samping gangguan ekstrapiramidal

19

dan tardive diskinesia yang lebih ringan dibanding haloperidol. Efek samping terbesar dari olanzapin adalah peningkatan berat badan dan sedasi. Efek samping lainnya adalah mengantuk dan peningkatan kadar transaminase hepar (Sinaga, 2010). 4) Quetiapine, Sertindole dan Ziprasidone Ketiga obat tersebut merupakan obat antipsikotik terbaru

yang

dapat

memberikan

efek

samping

gejala

ekstrapiramidal lebih sedikit. Seperti clozapine, risperidon dan olanzapin, ketiga obat ini lebih poten terhadap reseptor 5HT antagonis dibanding dengan D2 antagonis (Hawari, 2016). Quentiapine merupakan dibenzothiazepine dengan potensi yang kuat tehadap reseptor 5-HT2, α1, dan H1. Quentiapine juga memiliki kemampuan memblok yang sedang terhadap reseptor D2 dan kemampuan yang kecil pada reseptor M. Dengan dosis 150 – 180 mg/hari dalam 2 – 3 sehari, quetiapine memberi hasil dalam mengatasi gejala positif dan negatif. Efek samping utama dari obat ini adalah rasa mengantuk, mulut kering, peningkatan berat badan, agitasi, konstipasi, dan hipotensi ortostatik (Amir, 2010). Sertindole merupakan golongan imidazolidonone yang memiliki potensi kuat terhadap reseptor 5-HT2, D2, dan α1. untuk mengurangi gejala positif, digunakan dosis 12 – 24 mg/hari, setara dengan haloperidol dengan dosis 4 – 16 mg/hari. Sertindole pada dosis 20 – 24 mg/hari memiliki efek lebih besar pada gejala negatif dibanding dengan haloperidol. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala, takikardi, pemanjangan interval Q-T, penurunan pompa jantung, peningkatan berat badan, kongesti nasal, mual, dan insomnia. Sertindole memiliki masa kerja yang panjang, yaitu 1 – 4 hari, sehingga dapat diberikan sehari 1x (Kaplan dan Saddock, 2010). Ziprasidone memiliki potensi 10x lebih kuat terhadap reseptor

5-HT2 dibanding

dengan reseptor D2. Ziprasidone hampir tidak memberikan

20

gejala

ekstrapiramidal

namun

sama

efektifnya

dengan

penggunaan haloperidol. Ziprasidone efektif untuk menangani gejala positif dan negatif pada pasien dengan gejala skizofren akut. Efek samping ziprasidone adalah terutama sedasi (Amir, 2010).

Tabel

1Daftar

Obat

Antipsikotika,

Dosis

dan

Sediaannya(Amir, 2010).

21

5.

Terapi Kejang Listrik Terapi kejang listrik (TKL) atau yang dalam bahasa Inggris Electroconvulsive Treatment (ECT) jarang digunakan saat ini karena begitu mudahnya pemakaian obat-obatan antipsikotik. Terapi TKL dapat berguna sebagai terapi tambahan pada terapi obat antipsikosis berbagai jenis, termasuk clozapine, terutama untuk pasien yang memiliki respon yang kurang terhadap dan perlu pengontrolan perilaku agitasi dengan cepat. TKL dapat digunakan pada pasien yang tidak merespon terhadap obat-obatan, namun tidak ada data yang menunjukan pemakaian TKL dapat dilakukan pada pasien skizofren (Kaplan dan Saddock, 2010).

6.

Terapi Psikososial Meskipun obat antipsikotik merupakan pilihan utama dari pengobatan skizofrenia, terapi nonfarmakologis juga mempunyai peran yang penting bagi kesembuhan pasien. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, mendukung pasien, melatih pasien untuk mandiri, meningkatkan fungsi sosial dan

22

fungsi

bekerja

serta

mengurangi

beban

orang

yang

menanggungnya. Memberi pelatihan dan dukungan kepada anggota keluarga merupaqkan hal yang penting terhadap keseluruhan proses pengobatan (Hawari, 2016). Pada kebanyakan system kesehatan, program manajemen pengobatan telah dikembangkan menjadi model program yang tidak mahal, dibandingakan dengan pasien yang dirawat di rumah sakit. Terdapat seorang pengelola yang akan membantu pasien mencari tempat tinggal, mengatur keuangan, memperoleh akses ke klinik psikiatri maupun tempat rehabilitasi, dan akan menjelaskan tentang kegunaan obat-obat yang dipakai. Dengan demikian, hal tersebut akan memunkinkan pasien untuk hidup seminimal mungkin, atau bahkan tidak sama sekali, dalam pengawasan tenaga medis, khususnya tenaga medis bagian kejiwaan (Sinaga, 2010).

VII.

Penatalaksanaan Efek Samping Bila

terjadi

ekstrapiramidal(distonia

efek akut

samping,

atau

misalnya

parkinsonisme),

sindrom

langkah

pertama

yaitumenurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi,berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil,benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi IM atau IV.Untuk efek samping tardif diskinesia, turunkan

dosisantipsikotika.Bila

gejala

psikotik

tidak

bisa

diatasi

denganpenurunan dosis antipsikotika atau bahkan memburuk, hentikanobat dan

ganti

dengan

klozapin(Meltzer

golongan

dan

Fatemi,

antispikotika

generasi

2015).Kondisi

keduaterutama

Sindroma

Neuroleptik

Malignansi (SNM) memerlukanpenatalaksanaan segera atau gawat darurat medik

karena

SNMmerupakan

kehidupan.Dalamkondisi

ini

kondisi semua

akut

yang

penggunaan

mengancam antipsikotika

harusdihentikan.Lakukan terapi simtomatik, perhatikan keseimbangancairan dan observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperatur,pernafasan dan kesadaran). Obat yang perlu diberikan dalamkondisi kritis adalah : dantrolen 0.8 – 2.5 mg/kgBB/hari ataubromokriptin 20-30 mg/hari dibagi dalam 4

23

dosis. Jika terjadipenurunan kesadaran, segera dirujuk untuk perawatan intensif(ICU)(Hawari, 2016). Tabel 2Daftar Obat Yang Digunakan Untuk MengatasiEfek Samping Anti Psikotik(Amir, 2010).

a.

VIII.

PROGNOSIS A. Premorbid Faktor yang mempengaruhi

Prognosis

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada

Baik

Stressor psikososial

Ada

Buruk

Sosial ekonomi

Ada

Buruk

Riwayat penyakit yang sama

Tidak ada

Baik

B. Morbid Faktor yang mempengaruhi

Prognosis

Onset usia

18 tahun

Buruk

Jenis penyakit

Psikotik

Buruk

Perjalanan penyakit

Kronik

Buruk

Kelainan organik

Tidak ada

Respon terapi

Belum

Baik -

Kesimpulan prognosis Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam 24

Quo ad sanationam

IX.

: dubia ad bonam

KESIMPULAN A. PasienSdr. H berusia 20 tahun, belummenikah, beragama Islam, suku Jawa, pendidikan SMP, datang dengan keluhan mudah marah.Selain itu pasien juga sulit tidur, bicara kadang melantur, mendengar bisikanbisikan, melihat sesosok bayangan yang tidak dilihat orang lain dan nada bicara tinggi. B. Riwayat pribadi pasien baik. Sejak kecil pasien merupakan pribadi yang baik, tertutup, termasuk dengan teman-temannya. Pasien pernah memiliki masalah keluarga yang berasal dari riwayat pernikahan kedua orangtuanya dan juga dengan kakek pasien. Pasien juga memiliki masalahdengan lingkungan sosial yaitu dengan teman-temannya. C. Pada pasien tampak sikap nonkooperatif. Tingkah laku hiperaktif. Waham diejek, logorrhea, flight of idea, tangensial. Terdapat halusinasi. Roman muka hipermimik. Afek labil dengan mood iritabel. Perhatian pasien sulit ditarik sulit dicantum, dengan hubungan jiwa sukar, dengan tilikan diri derajat III. Axis I

: Skizofrenia yang tidak tergolongkan

Axis II

: Gangguan kepribadian skizoid

Axis III

: Tidak ada daignosis untuk axis ini

Axis IV

: Masalah keluarga dan lingkungan sosial

Axis V

: GAF 60-51(gejala sedang, disabilitas sedang).

D. Terapi yang diberikan berupa terapi farmakologis, berupa pemberian dan non farmakologis.Alprazolam 2x1mg PO, Risperidone 2x2mg PO, Clozapin 1x50mg PO, Triheksilfenidil 2x2mg PO.

25

Related Documents

Skizofren Jadi.docx
April 2020 5
L Anxietas Ytt
October 2019 22
Dr
November 2019 18
Dr
November 2019 16

More Documents from ""