PREFERENSI PENGUNJUNG DARI LUAR DAERAH PADA PUSAT PERBELANJAAN ( STUDI KASUS : KOTA PADANG)
TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Strata Satu (S1)
Oleh:
Septyan Ningsih 1410015311074 Pembimbing
I
: Ir.Hamdi Nur. MTP.
Pembimbing
II
: Tomi Eriawan S.T, M.T
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS BUNG HATTA PADANG 2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki karakterisik yang sangat berpotensi bagi pengembangan perekonomian, hal ini didukung dengan tingginya angka demografi dan perilaku konsumsi masyarakat, disamping itu perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan yang surplus dan mengalami peningkatan yang signifikan dalam 10tahun terakhir, keadaan ini mengakibatkan timbulnya perusahaan-perusahaan baru yang memanfaatkan potensi ini. (Zakina Naomi, 2016:4) Suatu kegiatan perdagangan dan jasa, diperlukan berbagai pertimbangan baik dari lokasi maupun strategi pemasarannya. Dengan adanya analisis lokasi ini, akan memberikan pengaruh tertentu, misalnya apabila menentukan suatu lokasi bangunan swalayan ditengah lingkungan yang tidak padat penduduk, maka laba yang diperoleh tidak akan maksimal. Perhatian akan kondisi fisik penataan bangunan lainnya juga menjadi hal yang sangat dipertimbangkan. Selain itu, faktor kepadatan lalu lintas, kompetensi, gaya hidup, juga menjadi faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi perdagangan dan jasa. Disamping lokasi berdasarkan permintaan konsumen, faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah fasilitas. Hal ini dikarenakan kecenderungan masyarakat untuk memilih lokasi dengan kondisi fasilitas yang memadai. (Santika P, 2015:1). Pusat Perbelanjaan sedianya difungsikan sebagai pusat perdagangan seperti halnya pada pasar-pasar tradisional yang menjadi pusat jual beli masyarakat yaitu sebagai pemenuh kebutuhan masyarakat. Akan tetapi mall lebih mampu menciptakan daya tarik tertentu yang dapat menarik perhatian lebih banyak pengunjung. Makin besar daya tarik yang mampu diciptakan sebuah pusat perbelanjaan, maka makin banyak pula masyarakat atau konsumen yang akan melirik shopping mall tersebut. Sebagai tempat yang menyediakan kebutuhan masyarakat, shopping mall saat ini juga telah berevolusi ataupun berkembang dan berinovasi menjadi tempat aspirasi dan gaya hidup konsumen, sehingga dapat dikatakan bahwa kini mall tidak hanya menjadi tempat pusat konsumsi namun juga
menjadi tempat rekreasi yang menarik, menyenangkan, aman, dan nyaman bagi masyarakat untuk sekedar menghilangkan penat. Sesuai perkembangan tersebut, maka tidaklah salah jika para pengunjung memunculkan harapan lebih pada pelayanan yang berkualitas serta fasilitas yang bermutu dan berstandar tinggi untuk sebuah pusat perbelanjaan. Di era globalisasi sekarang ini kegiatan bisnis khususnya pemasaran semakin meningkat. Banyak perusahaan yang berusaha memenangkan persaingan dengan cara memanfaatkan peluang bisnis yang ada dan berusaha menerapkan strategi pemasaran yang tepat dalam rangka menguasai pasar. Penguasaan pasar merupakan salah satu dari kegiatan pokok yang dilakukan oleh pengusaha untuk mempertahankan hidupnya, berkembang dan mendapatkan laba maksimal. Hal tersebut bisa dicapai oleh suatu perusahaan melalui upaya menghasilkan dan menyampaikan barang serta jasa yang diinginkan konsumen, dimana kegiatan tersebut sangat tergantung pada perusahaan atau pedagang dengan bermacam atribut melalui harga, produk, pelayanan umum, lokasi dan perilaku konsumen dalam proses pengambilan keputusan untuk membeli. (Asri, Rani Hapsari Kusuma 2010:23) Di Kota Padang Pusat perbelanjaan sudah ada sejak tahun 1990-an, dan sampai saat ini sudah puluhan pusat perbelanjaan yang beroperasi di Kota Padang. Perekonomian di Kota Padang juga telah banyak mengalami perkembangan. Hingga tahun 2018 terdapat +/-43 unit pasar modern di Kota Padang yang saat ini beroperasi secara aktif. Namun yang akan menjadi penelitian adalah Basko Grandmall, Trans Mart Padang dan Plaza Andalas yang merupakan pusat perbelanjaan regional di Kota Padang. Perkembangan Kota Padang pun dipengaruhi oleh modernisasi yang mengubah karakter ruang kota dan pusat perbelanjaan di Kota Padang juga menjadi tujuan tempat pengunjung dari luar daerah Kota Padang berbelanja maupun berekreasi. Jika ditinjau pada saat hari libur di pusat perbelanjaan dipenuhi oleh pengunjung yang berasal dari luar daerah Kota Padang, hal ini dikarenakan jangkauan pelayanan Pusat perbelanjaan tersebut mampu melayani masyarakat baik
dari dalam kota maupun luar kota Padang. Sehingga jika pengusaha-pengusaha yang hendak mendirikan suatu pusat perbelanjaan hendak mengetahui kondisi persaingan antar pusat perbelanjaan dan persaingan yang terjadi ketika pengunjung (konsumen) memilih satu diantara keduanya sebagai tempat berbelanja. Dalam hal ini tentu saja sikap dan perilaku konsumen memiliki pengaruh yang sangat besar. Oleh karena itu, tugas yang mendasar dan menantang yang dihadapi perusahaan adalah mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen untuk mengetahui bagaimana cara konsumen berfikir, merasa dan bertindak didalam suatu pasar. (James F. Engel, Blacwell dan Miniard, 1995:82) Berdasarkan berbagai pemikiran diatas itulah penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan perbandingan karakteristik yang berbeda ditiap Pusat Perbelanjaan. Dengan uraian tersebut, dalam penelitian ini penulis memberikan judul ” Preferensi Pengunjung Dari Luar Daerah Pada Pusat Perbelanjaan ( Studi Kasus : Kota Padang)”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apa saja yang menjadi daya tarik pengunjung berbelanja di Pusat Perbelanjaan? 2. Bagaimana karakteristik pengunjung pusat perbelanjaan? 3. Bagaimana preferensi pengunjung dari luar daerah dalam memilih tempat berbelanja?
1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji daya tarik suatu Pusat perbelanjaan di Kota Padang oleh pengunjung luar daerah. Untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai maka sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi daya tarik pusat perbelanjaan
2. Mengetahui karakteristik pengunjung pada pusat perbelanjaan di Kota Padang 3. Mengidentifikasi karakteristik pusat perbelanjaan Kota Padang 4. Analisis Perbandingan Pusat Perbelanjaan di Kota Padang 5. Analisis Karakteristik Pusat Perbelanjaan.
1.4 Ruang Lingkup Agar dapat memberikan batasan dalam tahapan studi yang dilakukan maka ditentukan lingkup bahasan, pada lingkup studi ini terdiri dari ruang lingkup wilayah studi dan ruang lingkup materi. 1.4.1
Ruang Lingkup Studi Ruang lingkup wilayah studi dalam penilitian ini yaitu berada di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat dengan luas wilayah 694,96 km2 dan terdiri dari 14 Kecamatan Secara geografis wilayah Kota Padang berada antara 00º44’00”-01º08’35”LS dan 100º05’05”-100º34’09” BT. Dengan batas administrasi sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan Sebalah Barat berbatasan dengan Kabupaten Solok Sebelah Timur Berbatasan dengan Selat Mentawai dan Samudera Hindia Kajian studi berada diberbagai macam Kecamatan di Kota Padang, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.1 peta administrasi Kota Padang.
1.4.2
Ruang Lingkup Substansi Secara umum, ruang lingkup substansi pada studi ini dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif. Dalam studi ini yang ditinjau adalah sikap dan perilaku masyarakat secara internal dipengaruhi oleh faktor psikologis dan secara eksteral berkaitan dengan strategi pemasaran. Yang mempengaruhi konsumen berbelanja di pusat perbelanjaan merupakan salah satu dari bisnis ritel tersebut melibatkan bauran pemasaran ritel (retailing mix). Adapun batasan yang telah dijelaskan pernyataan diatas sebagai berikut :
1. Mengetahui klasifikasi Pusat perbelanjaan 2. Daya tarik pusat perbelanjaan 3. Perilaku konsumen dalam berbelanja
1.5 Metodologi Penelitian 1.5.1
Metode Pendekatan Dalam Penelitian ini ditetapkan beberapa metode pendekatan yang akan dilakukan dan dipergunakan sebagai dasar acuan suatu proses penelitian. Studi ini akan menganalisis data dari hasil survei primer dan survei sekunder sesuai variabel yang sudah ditentukan. Metode penelitian menggunakan metode statistik deskriptif yaitu statistika yang menggunakan metode numerik dan grafik untuk mencari pola dalam suatu kumpulan data, meringkas informasi yang terkandung dalam kumpulan data, dan menghadirkan informasi dalam bentuk yang diinginkan.
1.5.2
Metode Pengumpulan Data Proses metodologi penelitian meliputi identifikasi kebutuhan data, baik primer maupun sekunder dan teknik analisis data yang digunakan untuk mengolah data mendapatkan hasil sesuai dengan desain penelitian yang telah ditetapkan. Adapun metode yang digunakan adalah : 1. Pengumpulan Data Primer : Tahap pengumpulan data primer dilakukan dalam bentuk survey lapangan secara langsung untuk melihat kondisi eksisting melalui teknik observasi (pengamatan), kuesioner kepada konsumen pusat perbelanjaan luar daerah Kota Padang perihal preferensi dalam pemilihan pusat perbelanjaan di Kota Padang. 2. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder merupakan pengumpulan data-data instansi pemerintah dan tinjauan pustaka yang berhubungan dengan kajian penelitian baik itu data, angka atau peta. Hasil data sekunder ini bisa berasal dari data yang sudah pernah dikumpulkan atau pernah diolah.
Adapun data yang dikumpulkan tersebut adalah : Tabel 1.1 Kebutuhan Data Penelitian No
1
2
3
Sasaran
Mengidentifikasi Pusat Perbelanjaan yang ada di Kota Padang
Kebutuhan Data - Kota Padang dalam Angka 2018 - Referensi yang terkait dalam perilaku pusat perbelanjaan di Kota Padang
Mengidentifikasi karakteristik pengunjung dari luar - Daya tarik pusat daerah dan pusat perbelanjaan perbelanjaan di Kota Padang Analisis Perbandingan dan - Variabel yang Analisis terpilih dalam Karakteristik Pusat penelitian Perbelanjaan di Kota Padang
Jenis Data
Teknik Perolehan Data
Sumber Data
Sekunder
Kompilasi Data
1. BPS Kota Padang 2. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Padang 3. Disperindag Kota Padang
Primer
Kuisioner
Sekunder
Kompilasi Data
Primer
Kuisioner
1. Perpustakaan dan internet 2. Pengunjung (Konsumen)
Pengunjung (Konsumen)
Sumber : Hasil Analisis, 2019
1.5.3
Metode Pengambilan Sampel Menurut Sugiyono (2013:149), sampel merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Stratified Random Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang digunakan bila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. (Sugiyono, 2001:58). Sedangkan menurut Akdon dan Hadi (2004) stratified random sampling ialah pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proporsional, dilakukan sampling ini apabila anggota populasinya heterogen (tidak sejenis). Maka sampel yang akan dilakukan dalam penyebaran kuesioner terhadap pengunjung sebagai responden diasumsikan 10orang dapat mewakili setiap parameter (pertimbangan) dalam penelitian.
1.5.4
Metode Analisis Metode analisis merupakan suatu cara pengolahan data yang telah didapat melalui survei primer dan sekunder, sehingga dapat ditarik kesimpulan. Dalam melakukan analisis ini menggunakan metode analisis seperti metode deskriptif kualitatif. Metode analisis dengan menggunakan statistik deskriptif yang mana menceritakan hasil dari persentase dan mentabelkan dari hasil pernyataan kuesioner responden tersebut yang dilakukan secara deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan informasi yang terkait dari hasil survey lapangan yaitu mengenai variabel perbandingan karakteristik pusat perbelanjaan. Selanjutnya adalah analisis yang berkaitan dengan menentukan karakteristik suatu pusat perbelanjaan dengan menggunakan tabulasi silang.
1.6 Keluaran Berdasarkan tujuan dan sasaran yang telah dijelaskan diatas, maka keluaran yang diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengusaha yang hendak mendirikan pusat perbelanjaan agar nantinya dapat menemukan dan menerapkan strategi yang tepat agar menguasai pasar, misalnya dengan memiliki alternatif kepada pengunjung memilih tempat berbelanja untuk memenuhi kebutuhannya.
1.7 Kerangka Berfikir Gambar 1. 2 Kerangka Berfikir Penelitian
INPUT Data Pengunjung (Kuesioner) Jenis Kelamin Usia Pekerjaan Asal
Data Primer terhadap Variabel Barang Fasilitas Pendukung Aksesibilitas
ANALISIS
OUTPUT
Karakteristik pengunjung pusat perbelanjaan
Daya tarik pusat perbelanjaan Analisis Perbandingan pusat perbelanjaan
Analisis Karakteristik pusat perbelanjaan
Preferensi pengunjung dari luar daerah pada pusat perbelanjaan di kota Padang
Kesimpulan dan Saran Sumber : Hasil Analisis 2019
1.8 Sistiematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah yang akan dikaji, tujuan dan sasaran penelitian, ruang lingkup penelitian (meliputi ruang lingkup wilayah studi dan ruang lingkup substansi), jenis metode yang digunakan dalam penelitian (meliputi metode pendkatan, metode pengumpulan data, metode pengambilan sampel, dan metode analisis), kerangka berpikir sistematika penulisan dan keluaran.
BAB II
STUDI LITERATUR Dalam
bab
ini
diuraikan
mengenai
teori-teori
tentang
pusat
perbelanjaan, klasifikasi pusat perbelanjaan, perilaku konsumen, dan serta keputusan perilaku konsumen dan juga variabel-variabel yang menentukan indikator untuk dijadikan acuan dalam penelitian. Literatur dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis data. BAB III
GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Dalam bab ini diuraikan mengenai kajian umum wilayah studi, data dan informasi yang didapat dari hasil survey primer dan survey sekunder (instansi).
BAB IV
ANALISIS DATA Dalam bab ini menguraikan hasil paparan data yang didapat melalui survey primer, kemudian dilakukan analisis tabulasi silang untuk mengetahui karakteristik pusat perbelanjaan dan preferensi pengunjung dari luar daerah pada pusat perbelanjaan di Kota Padang, yaitu Basko Grandmall, Trans Mart Padang dan Plaza Andalas.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan yang dapat ditarik dan rekomendasi atau saran-saran yang dapat penulis berikan untuk kelanjutan penelitian ini.
BAB II STUDI LITERATUR 2.1. Konsep dan Definisi Pusat Perbelanjaan 2.1.1. Pengertian Pusat Perbelanjaan Di Indonesia penataan pusat pembelajaan haruslah mengikuti Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Pada Perpres ini menjelaskan tentang : a) Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern Lokasi pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. Batasan luas lantai penjualan Toko Modern adalah sebagai berikut:
Minimarket, kurang dari 400 m2 (empat ratus meter per segi)
Supermarket, 400 m2 (empat ratus meter per segi) sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter per segi);
Hypermarket, di atas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi);
Department Store, di atas 400 m2 (empat ratus meter persegi);
Perkulakan, di atas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi).
b) Pendirian Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern wajib:
Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat, keberadaan Pasar Tradisional, Usaha Kecil dan Usaha Menengah yang ada di wilayah yang bersangkutan;
Memperhatikan jarak antara Hypermarket dengan Pasar Tradisional yang telah ada sebelumnya;
Menyediakan areal parkir paling sedikit seluas kebutuhan parker 1 (satu) unit kendaraan roda empat untuk setiap 60 m2 (enam puluh meter per segi) luas lantai penjualan Pusat Perbelanjaan dan/atau Toko Modern; dan
Menyediakan fasilitas yang menjamin Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang bersih, sehat (hygienis), aman, tertib dan ruang publik yang nyaman.
c) Perdagangan hanya boleh berlokasi pada akses sistem jaringan yang sudah ditentukan sebagai berikut:
Hypermarket dan Pusat Perbelanjaan: Hanya boleh berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor; dan tidak boleh berada pada kawasan pelayanan lokal atau lingkungan di dalam kota/perkotaan.
Supermarket dan Department Store: Tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan lingkungan; dan tidak boleh
berada
pada
kawasan
pelayanan
lingkungan
di
dalam
kota/perkotaan.
Minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk system jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan.
Pemahaman terhadap definisi retail, akan jelas jika kita memahami posisi dari retail, dalam jalur distribusi barang/produk. Dimana terdapat 2 jenis jalur distribusi barang, yaitu jalur distribusi barang tradisional dan jalur distribusi barang vertikal. Kedua jenis jalur distribusi barang tersebut dapat dilihat dari gambar berikut ini: Gambar 2.1 Jalur Distribusi Barang Tradisional Produsen
Pedagang Besar
Ritel
Konsumen Akhir
Sumber: ibid, 2006:5
Dalam jalur distribusi barang tradisional masing-masing pihak memiliki tugas yang terpisah. Produsen memiliki tugas untuk membuat produk. Produsen tidak langsung menjual kepada konsumen. Sedangkan pedagang besar membeli, menyimpan persediaan, mempromosikan, memajang, menjual, mengirimkan dan membayar kepada produsen. Mereka biasanya tidak menjual langsung kepada
konsumen. Sedangkan retailer menjalankan fungsi membeli, menyimpan persediaan, mempromosikan, memajang, menjual, mengirimkan dan membayar kepada agen/distributor. Retailer tidak membuat barang dan tidak menjual kepada retailer lain. Dalam bahasa perancis Ritellier, yang berarti memotong atau memecah sesuatu. (Utami, 2006:4). Definisi lain, dapat mengacu kepada Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, toko modern, dan pusat perbelanjaan. Di Indonesia sendiri belum ada peraturan baku yang mendefinisikan pengertian pusat perbelanjaan. Namun berdasarkan rancangan peraturan daerah disebut pasar modern, yang dimana pasar dengan menggunakan manajemen pengelolaan gedung tetap berada di satu tangan yang kegiatan usahanya menjual dan / atau menyewa tempat usaha sebgai tempat belanja, yang menggunakan metode manajemen modern, didukung dengan teknologi modern serta mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja seperti plaza, mall, shopping center (pusat perbelanjaan) dan sejenisnya. Menurut Perwira dan Imansyah, 1998:22-23 (dalam Donny Hondy S,1999), tempat perbelanjaan modern di Indonesia terbagi secara umum : 1. Pusat Perbelanjaan (Shopping Center) Pusat perbelanjaan (Shopping center) adalah suatu gedung yang didalamnya mencakup berbagai toko, departemen store, supermarket, restoran, bioskop, dan tempat bermain anak. Dengan demikian pusat ritel merupakan bangunan besar dengan luas lantai mencakup ribuan meter persegi. Pusat perbelanjaan ini sehari-hari dengan sebutan plaza, mall, dan shopping center. 2. Departemen store Departemen store adalah usaha perdagangan eceran yang dilakukan oleh suatu group/perusahaan tertentu terutama yang menjual barang jenis pakaian, aksesoris, sepatu dan perlengkapan rumah tangga. Namun demikian suatu departemen juga dapat menjual kebutuhan sehari-hari. Tetapi hal ini tidak umum, kalaupun ada biasanya terbatas pada barang-
barang kelontongan. Barang barang yang dijual di tata berdasarkan kelompok jenis barang dan pembeli dipersilahkan melayani diri sendiri (self service), mulai dari memilih mengumpulkan barang belanjaan yang diakhiri dengan membayar pada kasir. Departemen store dapat berlokasi pada pusat perbelanjaan dan juga bisa berdiri sendiri. 3. Pasar swalayan (supermarket) adalah suatu usaha perdagangan eceran yang dilakukan oleh suatu perusahaan tertentu yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan kelompok jenis barang dan pembeli dipersilahkan untuk melayani diri sendiri (self service), mulai dari memilih, mengumpulkan barang belanjaan dan diakhiri dengan membayar kekasir. Pasar swalayan ini bias berlokasi pasa pusat perbelanjaan dan bias berdiri sendiri. Dalam sehari-hari dikenal juga toko serba ada (toserba), kios serba ada, warung serba ada, dan minimarket yang kesemuanya merupakan bagian dari pasar swalayan (supermarket). Pengertian pusat perbelanjaan adalah suatu fasilitas perdagangan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan akan barang (kegiatan membeli masyarakat) dan juga untuk maksud – maksud lain yang bersifat rekreatif, seperti kebutuhan akan perasaan aman, nyaman, dan stabil, kebutuhan yang berorientasikan pada peningkatan prestasi, gengsi, status kepercayaan diri, kebutuhan untuk mengetahui dan mengeksplorasi sesuatu kebutuhan akan keindahan serta kebutuhan - kebutuhan yang berhubungan dengan pengembangan diri (Mardanus, 1996 : 51). Kebutuhan akan barang ini meliputi barang – barang untuk kebutuhan sehari - hari seperti bahan pangan dan pakaian serta kebutuhan sekunder seperti peralatan rumah tangga dan dapur. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan pusat perbelanjaan adalah
suatu kompleks bangunan komersil yang dirancang dan
direncanakan beserta retail-retail dan fasilitas pendukungnya untuk memberikan kenyamanan dalam aktifitas perdagangan yang diwadahinya. Aktifitas perdagangan dalam pusat perbelanjaan modern ini tidak disertai
tawar menawar barang seperti halnya pasar tradisional. Pusat perbelanjaan modern merupakan pusat perbelanjaan dengan sistem pelayanan mandiri atau dilayani pramuniada, menjual berbagai jenis barang secara eceran.Pusat perbelanjaan modern biasanya terdiri dari tenant-tenant yang disewakan kepada pelaku usaha serta terdapat anchor tenant (Penyewapenyewa besar) yang berupa departement store atau supermarket. 2.1.2. Klasifikasi Pusat Perbelanjaan Pusat perbelanjaan dapat dibedakan berdasarkan skala pelayanannya, ambang batas penduduknya, barang dan jasa yang ditawarkan, serta fasilitas dan luasan bangunan yang disediakan. Adapun klasifikasi pusat perbelanjaan tersebut dijelaskan dalam beberapa sumber sebagai berikut: 1. Menurut Standar Perencanaan Shopping Center atau Pusat Perbelanjaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Pusat Perbelanjaan Lingkungan Jangkauan pelayanan meliputi 3000-30.000 penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang-barang primer (dipakai seharihari). Radius pelayanan 15 menit berjalan kaki, lokasinya berada di lingkungan pemukiman. b. Pusat Perbelanjaan Wilayah Jangkauan pelayanan meliputi 30.000-200.000 penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang sekunder (kebutuhan berkala). Radius pelayanan wilayah/ tingkat kecamatan. Pencapaian 2500 m dengan kendaraan cepat, 1500 m dengan kendaraan lambat, 500 m dengan berjalan kaki. Lokasinya berada di pusat wilayah. c. Pusat Perbelanjaan Kota Jangkauan pelayanan meliputi 200.000-1.000.000 penduduk. Jenis barang yang diperdagangkan lengkap dan tersedia fasilitas toko, bioskop, rekreasi, bank, dan lain-lain. Pencapaian maksimal 25 menit dengan kendaraan. Lokasinya strategis dan dapat digabungkan dengan lokasi perkantoran.
2. Perbelanjaan Menurut Hartshorn, (1992:378-382) Adapun hirarki pusat perbelanjaan menurut (Hartshorn, 1992:378-382) adalah: a.
Neighbourhood Shooping Center; adalah tipe pusat perbelanjaan yang didominasi oleh low order goods dan service yang hanya disediakan untuk konsumen sejumlah 7.000 – 15.000 orang, dengan luas lahan sekitar 6.500 m2. Barang yang diperdagangkan meliputi kebutuhan sehari-hari dan obatobatan. Supermarket menjadi daya tarik utama. Pola lokasi umumnya dipinggir jalan raya dan dekat lingkungan pemukiman atau perumahan.
b.
Community Shooping Center; Tipe pusat perbelanjaan yang relatif lebih besar dari tipe neighbourhood shooping center. Konsumen yang dilayani sekitar 30.000 – 50.000, luas area sekitar 15.000 m2. Daya tarik utama pusat belanja ini adalah department store, discount store, dan super store. Pertimbangan pemilihan lokasi, umumnya adalah lokasi yang mudah dijangkau dan ada tempat parkir khusus.
c.
Regional Shooping Center: Tipe pusat perbelanjaan yang melayani konsumen sekitar 50.000 – 200.000. luas area pusat perbelanjaan sekitar 46.000 m2. Kategori produk yang diperdagangkan adalah barang mewah dalam skala besar. Daya tarik utama adalah enclosed mall.
d.
Super Regional Shooping Center; Tipe pusat perbelanjaan ini hampir sama dengan tipe regional shooping center, namun skala dan jumlah produk yang diperdagangkan lebih besar. Dengan area luas lahan sebesar 95.000 m2 , sehingga tipe pusat perbelanjaan ini lebih dikenal sebagai mega mall.
3. Berdasarkan
U.L.I.
Standar
(Shopping
Centers,
Planning,
Development & Administration, Edgar Lion P.Eng) a. Berdasarkan Aspek Perkotaan 1) Regional Shopping Centers : Luas areal antara atau lantai penjualan (Gross Leaseble Area / GLA) antara 300.000 – 1.000.000 squarefeet (27.870 – 92.900 m2), terdiri dari 2 atau lebih yang seukuran dengan department store dan berbagai jenis toko. Skala pelayanan antara diatas 150.000 penduduk, Dengan
fasilitas-fasilitas meiputi pasar, toko, bioskop, dan ban yang terletak pada lokasi yang strategis, tergabung dengan lokasi perkantoran, rekreasi dan seni. 2) Community Shopping Centre : Luas areal atau lantai penjualan (Gross Leaseble Area / GLA) antara 100.000 – 300.000 squarefeet (9.290 – 27.870 m2), terdiri atas junior departmen store, supermarket dan toko-toko, melayani jenis barang variety store, shop unit dengan jangkauan pelayanan antara 40.000150.000 penduduk, terletak pada lokasi mendekati pusat-pusat kota (wilayah). Luas site yang diperlukan antara 10-30 Ha. 3) Neigbourhood Shopping Centre : Luas areal antara atau lantai penjualan (Gross Leaseble Area / GLA) antara 30.000 – 100.000 squarefeet (2.720 – 9.290 m2). Jangkauan pelayanan antara 5.000-40.000 penduduk. Unit terbesar berbentuk supermarket, toko-toko yang luas berada pada suatu lingkungan tertentu dan luas site yang dibutuhkan antara 3-10 Ha. Tabel 2.1 Klasifikasi Pusat Perbelanjaan Tipe Pusat Perbelanjaan
Penyewa Utama (sebagai dasar Klasifikasi)
Tipe (Area yang disewakan )
Batas luas dalam GLA (Gross Leasable Area)
Populasi pelayanan minimum (orang)
a. Neighbourh ood Shooping Center
Supermarket atau Drugstore
50.000 – 4.650 m2
2.800 – 9.300 m2
2.500 – 10.000
b. Community Shooping Center
Variety discount atau dugstore
150.000 – 14.000 m2
29.300 m2
40.000 – 150.000
c. Regional Shopping Centers
Satu atau lebih departemen store besar/lengka p dengan GLA 100.000
400.000 – 37.000 m2
27.900 – 83.700 m2
150.000 atau lebih
Pusat Perbelanjaan di Kota Padan - Grand Citra - Bigmart Swalayan - Minang Mart - Budiman - dll - Ramayanan - Matahari - Suzuya - SJS Plaza - dll
- Basko Grand Mall - Trans Mart - Plaza Andalas
d. Super Regional Shooping Center
Tiga atau lebih departemen store besar/lengka p dengan GLA 100.00
800.000 – 74.400 m2
46.500 – 93.00 m2
300.000 atau lebih
Sumber : Uli- The Urban Land Institude. Wasington: Shopping Center Development Handbook,1977
Berdasarkan pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pusat perbelanjaan dalam penelitian ini seperti Basko Grand Mall, TransMart dan Plaza Andalas termasuk pada klasifikasi Regional Shopping Center. b. Dilihat dari jenis barang yang dijual (Nadine Beddington, Design for Shopping Centre, Butterworth Scientific, London, 1982) 1) Demand (permintaan), yaitu yang menjual kebutuhan sehari-hari yang juga merupakan kebutuhan pokok. 2) Semi Demand (setengah permintaan), yaitu yang menjual barangbarang untuk kebutuhan tertentu dalam kehidupan sehari-hari. 3) Impuls (barang yang menarik), yaitu yang menjual barang-barang mewah yang menggerakkan hati konsumen pada waktu tertentu untuk membelinya. 4) Drugery, yaitu yang menjual barang-barang higienis seperti sabun, parfum dan lain-lain. c. Berdasarkan Bauran Jenis Usaha Berdasarkan bauran jenis usahanya, pusat perbelanjaan dibedakan menjadi : 1) Pusat perbelanjaan berorientasi keluarga Pusat perbelanjaan ini menyediakan semua hal dalam satu atap (all under one roof family–oriented shopping centre), dengan luas bersih area yang disewakan sekitar 400.000 – 500.000 kaki persegi. Dimana didominasi oleh hypermarket, pusat hiburan, cinema, area bowling dan biliar. 2) Pusat perbelanjaan spesialis (specialist shopping centre) Jenis pusat perbelanjaan ini lebih kecil dari pada pusat perbelanjaan berorientasi keluarga dan hanya menawarkan satu jenis perdagangan
utama, yang dilengkapi sejumlah toko lain yang mendukung bisnis utama, seperti makanan, minuman dan pelayanan pendukung lainnya. 3) Pusat perbelanjaan gaya hidup (lifestyle shopping centre) Pusat perbelanjaan ini melayani para professional muda yang bekerja di wilayah kota. Dan menawarkan produk tematis yang terkait dengan gaya hidup. Luas area ini sekitar 100.000 – 200.000 kaki persegi. d. Berdasarkan Kepemilikan Berdasarkan kepemilikannya, pusat perbelanjaan dibedakan menjadi : 1) Unit ruang usaha dengan hak milik bersusun (strata title lot) Merujuk pada pusat perbelanjaan dengan unit-unit toko yang dimiliki oleh banyak individu dan setiap pemilik unit individu bebas memperlakukan unit property miliknya sesuai keinginan. Pemilik unit dapat membuka toko ritel, kantor korporasi kecil, atau menyewakan propertinya karena setiap pemilik unit membuat keputusan sendiri berdasarkan kepentingan pribadi mereka. 2) Manajemen kepemilikan tunggal (single owner-ship manajemen) Dimana suatu tim professional di suatu pusat perbelanjaan dilibatkan untuk memaksimalkan hasil investasi dari satu property. Manajemen pusat
perbelanjaan
bertugas
merencanakan,
menetapkan
nama,
memasarkan, serta mengelola property tersebut. e. Berdasarkan Cara Pelayanan : 1) Shopping Existing Personal Services Pembeli dilayani langsung oleh para pelayan.Setelah transaksi, pelayan langsung meminta pembayaran dan membungkus barang tersebut. 2) Self Selection Pembeli dapat memilih dan membeli barang-barang, kemudian mengumpulkan ke pelayan dan meminta bon pembayaran, lalu ke kasir untuk membayar dan mengambil barang. 3) Self Services Pembeli dapat memilih dan mengambil barang-barang yang dibutuhkan, kemudian diletakkan pada keranjang / kereta dorong yang telah
disediakan, lalu langsung dibawa ke kasir untuk pembayaran dan pembungkusan. 4. Menurut SNI 03-1733-1989 Tentang Tata cara perencanaan kawasan perumahan kota, terdapat jenis sarana perdagangan dan niaga menurut fungsi dan skala pelayannannya, yaitu : a. Toko/ warung (skala pelayanan unit RT ± 250 penduduk), pada umumnya menyediakan barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun, teh, gula, rempah-rempah dapur,rokok, dan lainnya. Lokasi warung biasanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, dan letaknya di temgah kelompok tetangga. b. Pertokoan, (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barangbarang kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel, fotocopy, alat alat kecantikan, bat-obatan sederhan, P&D, minimarket dan sebagiannya. c. pusat pertokoan dan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan ≈ 30.000 penduduk), yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah-buahan, beras, tepung, bahan-bahan pakaian, pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat pendidikan, alatalat rumah tangga, serta pelayanan jasa seperti warnet, wartel dan sebagainya; d. Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan ≈ 120.000 penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unit-unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan niaga lainnya seperti kantorkantor, bank, industri kecil dan lain-lain. Tabel 2.2 Standar fasilitas Perdagangan dan niaga menurut SNI 03-1733-1989 No
Jenis Sarana
Jumlah penduduk pendukug (jiwa)
Kebutuhan persatuan sarana Luas Luas Lantai Lantai Min. (m2) Min. (m2)
Kriteria Standard (m2/jiwa)
Radius pencapaian
Lokasi dan penyelesaian
No
Jenis Sarana
Jumlah penduduk pendukug (jiwa)
Kebutuhan persatuan sarana Luas Luas Lantai Lantai Min. (m2) Min. (m2)
Kriteria Standard (m2/jiwa)
Radius pencapaian
250
50 (termasuk gudang)
100 (bila berdiri sendiri)
0,4
300 m’
Pertokoan
6.000
1.200
3.000
0,5
2.000 m’
3
Pusat Pertokoan+ Pasar lingkungan
30.000
13.500
10.000
0,33
3.000 m
4
Pusat Perbelanjaan dan Niaga (toko + pasar + bank + kantor)
120.000
36.000
0,3
1
Toko / Warung
2
Lokasi dan penyelesaian Di tengah kelompok tetangga. Dapat merupakan bagian dari sarana lain Di pusat kegiatan sub lingkungan. KDB 40% Dapat berbentuk P&D Dapat dijangkau dengan kendaraan umum. Jenis barang yang dijual kebutuhan primer dan sekunder dengan harga murah Terletak di jalan utama. Termasuk sarana parkir sesuai ketentuan setempat
Sumber : SNI 03-1733-1989 Tata Cara Perencanaan Kawasan Perumahan Kota
2.2. Perilaku Konsumen 2.2.1. Pengertian Perilaku Konsumen Perilaku konsumen sangat komplek dan sulit diprediksi. Pendekatanpendekatan yang selama ini banyak digunakan untuk menyingkap sikap, minat, dan perilaku konsumen mengansumsikan bahwa konsumen bersikap rasional dalam setiap keputusan pembelian. Perilaku konsumen menurut Basu Swastha D. H. dan T. Hani Handoko (2000:10): ”Perilaku konsumen adalah kegiatankegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan tersebut”.
Menurut Hawkins, Best & Coney, 2001 dalam Fandy Tjiptono (2005:40): “Perilaku konsumen merupakan studi mengenai individu, kelompok, atau organisasi dan proses-proses yang dilakukan dalam memilih, menentukan, mendapatkan, menggunakan, dan menghentikan pemakaian produk, jasa, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan, serta dampak prosesproses tersebut terhadap konsumen dan masyarakat”. Definisi tersebut menjelaskan bahwa perilaku konsumen adalah tindakantindakan yang dilakukan konsumen baik individu maupun organisasi dalam mendapatkan produk atau jasa untuk dikonsumsi, yang mana tindakan tersebut terdapat proses pengambilan keputusan yang mendahului tindakan mengkonsumsi. Perilaku konsumen ditinjau dari tingkat keterlibatan seseorang pada situasi pembelian. Pada keterlibatan yang berbeda akan menimbulkan perilaku berbeda pula. Menurut Huddleston dan Minahan (2011) ia mendefinisikan aktifitas berbelanja sebagai aktifitas yang melibatkan pertimbangan pembelian suatu produk maupun jasa, mencari toko yang menyediakan produk ataupun jasa yang terbaik, pencarian produk ataupun jasa yang diinginkan di dalam toko tersebut, serta menentukan keputusan untuk membeli. Perilaku konsumen (consumer behavior) merupakan interaksi dinamis antara afeksi dan kognisi, perilaku, dan kejadian disekitar kita dimana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. Dengan kata lain, perilaku konsumen melibatkan pikiran dan pengalaman perasaan orang dan tindakan yang mereka lakukan dalam proses konsumsi. Dari definisi tersebut terdapat 3 (tiga) ide penting perilaku konsumen, yaitu : 1. Perilaku konsumen bersifat di namis. Itu berarti bahwa perilaku seorang konsumen,grup konsumen, ataupun masyarakat luas selalu berubah dan bergerak sepanjang waktu. 2. Perilaku konsumen melibatkan interaksi antara afeksi (perasaan) dan kognisi (pemikiran), perilaku dan kejadian di sekitar. 3. Perilaku konsumen melibatkan pertukaran, karena itu peran pemasaran adalah untuk menciptakan pertukaran dengan konsumen melalui formulasi dan penerapan strategi pemasaran (AMA dalam Peter & Olson, 2012:5-10).
Sedangkan menurut Kotler & Keller (2012:173) bahwa, “perilaku konsumen adalah studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, menggunakan, dan bagaimana barang, jasa, gagasan, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka”. Menurut Tjiptono (2013) perilaku konsumen merupakan semuan individu atau pun rumah tangga yang memiliki sejumlah keinginan atau kebutuhan yang mendorong mereka untuk melakukan pembelian terhadap sejumlah produk atau jasa yang mereka butuhkan. Semakin tinggi dan mendesak kebutuhan yang di inginkan akan semakin mendorong meningkatnya hasrat yang dimiliki konsumen untuk melakukan pembelian sejumlah produk atau jasa yang dibutuhkan. Menurut Sopiah dan Syarifuin (2008:13), dimana perilaku konsumen bukanlan sekedar mengenai pembelian barang. Lebih dari itu Perilaku konsumen adalah suatu dinamis, yang mencakup suatu hubungan yang interaktif antara efektif dan kognitif, perilaku, lingkungan. Perilaku konsumen juga melibatkan pertukaran antara dua pihak atau lebih, dimana masing-masing pihak memberi dan menerima sesuatu yang berharga. Berdasarkan uraian ringkas tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang atau pun rumah tangga untuk melakukan tindakan pembelian terhadap sebuah produk atau jasa yang dibutuhkan, adanya kebutuhan akan mendorong setiap orang mencari informasi tentang cara mendapatkan produk atau jasa yang mereka butuhkan, informasi akan menciptakan alternatif pilihan, ketika konsumen telah memilih merek produk atau jasa yang di inginkan maka tindakan pembelian akan terjadi. Setelah produk atau jasa dibeli maka konsumen akan mengkonsumsi atau mengunakan produk atau jasa yang mereka butuhkan, perasaan yang muncul setelah terjadinya proses konsumsi akan menentukan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan konsumen pada sebuah produk atau jasa yang telah dibeli. Perilaku konsumen juga merupakan suatu cara mengubah pandangan jarak dari rumah dan kebutuhan ke toko dan pusat
perbelanjaan dari kombinasi perjalanan, informasi, prefernsi dan keputusan belanja. Untuk mengetahui perilaku konsumen yaitu dengan cara
mengetahui
perilaku yang diamati seperti jumlah yang dibelanjakan, kapan, dengan siapa, oleh siapa dan bagaimana barang sudah dibeli dan dikonsumsi. 2.2.2. Sifat Motivasi Pembelian Setiap konsumen mempunyai dua sifat motivasi pembelian yang saling tumpang tindih dalam dirinya, emosional dan rasional (Hendri Ma’ruf, 2006:51). 1. Emosional Motivasi yang dipengaruhi emosi berkaitan dengan perasaan, baik itu keindahan, gengsi, atau perasaan lainya termasuk rasa iba dan marah. Faktor indah atau bagus dan faktor gengsi akan lebih banyak pengaruhnya di bandingkan rasa iba atau marah saat berbelanja, umumnya para konsumen bukan dalam keadaan iba atau marah. 2. Rasional Sikap belanja rasional di pengaruhi oleh alasan rasional dalam fikiran konsumen. Cara berfikir seorang konsumen bisa begitu kuat sehingga membuat perasaan seperti gengsi menjadi amat kecil bahkan hilang. Pada proses membeli suatu barang, suatu sifat dapat mendominasi sementara sifat lainnya sedikit berperan. Pada kejadian yang berbeda mungkin saja dominasi terjadi sebaliknya. Sementara dikejadian lain dapat saja kedua sifat tersebut berimbang. Tetapi kita akan sulit melihat dengan jelas apakah kedua sifat itu sedang berimbang pada seseorang. Sebagian orang melihat kedua sifat itu sebagai value (nilai). Maksudnya adalah bahwa aktivitas pembelian oleh konsumen didorong oleh kombinasi nilai emosional dan nilai rasional atau oleh dominasi salah satu nilai. 2.2.3. Perilaku di Tempat Belanja Menurut David Cook dan David Walters dalam buku Hendri Ma’ruf (2006:53) menggambarkan perbedaan kedua jenis perilaku orang pergi berbelanja seperti dalam diagram berikut: Gambar 2.2 Perilaku Berbelanja Prabelanja (mencari dan memilih gerai) Lokasi mudah dicapai
Prabelanja (mencari dan memilih gerai) Bergengsi
Cukup parkir Dekat dengan gerai lain Pilihan marchandise pelengkap atau pengganti Selama belanja Barang yang tersedia Harga menarik Cepat proses pembayaranya (antrean di kasir tidak terlalu panjang ) Paska belanja (antaran barang, pemasangan, evaluasi, kunjungan ulang) Display barang Area informasi dan petunjuk bagi konsumen
Ada toko utama seperti hero, matahari Pilihan barang banyak Merchandise eksklusif Selama belanja Daya tarik ambience (suasana internal) Visual merchandising Fasilitas dalam gerai Pusat barang dan jasa Fasilitas kredit Paska belanja (antaran barang, pemasangan, evaluasi, kunjungan ulang) Display tema Area informasi dan petunjuk bagi konsumen
Sumber: Diadaptasi dari David Cook dan David Walters, Retail Marketing, New York et. al: Prentice-Hall, 1991, hlm.210, dalam Hendri Ma’ruf (2006:53)
Menurut David Cook dan David Walters dalam buku Hendri Ma’ruf (2006:53) menggambarkan perbedaan kedua jenis perilaku orang pergi berbelanja seperti dalam diagram Gambar 2. Perilaku Berbelanja Sumber: Diadaptasi dari David Cook dan David Walters, Retail Marketing, New York et. al: Prentice-Hall, 1991, hlm.210, dalam Hendri Ma’ruf (2006:53) Perbedaan itu mempengaruhi perilaku sebelum belanja dalam proses belanja dan setelah belanja. Kebanyakan konsumen di Indonesia yang berbelanja di gerai-gerai modern cenderung berorientasi “rekreasi”. 2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Perilaku Belanja Menurut Lovelock (2009) pada dasarnya setiap konsumen akan memiliki perilaku belanja yang berbeda beda antara satu dengan yang lain, kebutuhan dan jumlah anggaran yang berbeda . Oleh sebab itu bentuk perilaku belanja yang dimiliki konsumen dapat dikelompokan sebagai berikut: a) Planed Buying Merupakan perilaku belanja yang normal terjadi pada setiap orang, perilaku belanja tersebut didasari pada sebuah rencana yang dimiliki individu. Produk yang dibeli telah diketahui sebelum tindakan berbelanja muncul. b) Impulse Buying
Merupakan perilaku belanja yang muncul secara tiba tiba atau bersifat spontan, tanpa perencanaan sebelumnya. Perilaku belanja tersebut terbentuk karena adanya sejumlah anggaran yang siap dibelanjakan. Perilaku impulsive hanya terjadi pada produk produk tertentu yang berukuran kecil dan berharga relatif terjangkau. c) Repurchase Intention Merupakan perilaku belanja yang terjadi berulang ulang, repurchase intention tentu tidak terjadi pada semua jenis produk atau jasa melainkan hanya terjadi pada sejumlah produk yang sifatnya pokok, atau produk yang berharga relatif terjangkau.
Menurut Lovelock (2009) perilaku belanja merupakan tindakan yang muncul secara alami, perilaku tersebut muncul sebagai refleksi kebutuhan atau pun kondisi ekonomi yang dimiliki oleh orang yang akan berbelanja. Ketika kebutuhan muncul maka konsumen akan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut, akan tetapi tindakan tersebut akan terealisasi ketika konsumen memiliki anggaran dan bersedia untuk membelanjakan anggaran tersebut, Pada dasarnya konsumen dalam melakukan kegiatan berbelanja, dipengaruhi oleh 2 jenis kondisi (Erniwati, 1989:10 dalam aulia 2006) yaitu: 1. Kondisi Luar ( Eksternal) Kondisi ekternal merupakan ransangan pengaruh yang ditimbulkan oleh keadaan potensi dari tempat-tempat pembelanjaan syakni mencakup dalam hal yakninya (jarak tempuh ke lokasi berbelanja, daya tarik lokasi, kelengkapan fasilitas dan sebagiannya, jenis barang/produk yang dipilih.). 2. Kondisi dalam/ pribadi (Internal) Kondisi internal adalah kondisi rangsangan pengaruh yang timbul dai keadaan individu melalui struktur mental dan sistem nilainya (biasanya didekati dengan pengaruh dari faktor sosial ekonomi dengan karakteristik demografi berupa tingkat kepadatan, modal yang digunakan, usia, pekerjaan, dan motivasi berbelanja).
Menurut Kotler (2008), faktor-faktor utama yang mempengaruhi perilaku orang berbelanja di pengaruhi faktor eksternal dan faktor internal faktor eksternal utama yang mempengaruhinya adalah faktor kebudayaan, faktor sosial, sedangkan untuk faktor internal adalanya sendiri adalah faktor personal/pribadi, dan faktor psikologi. Pada faktor-faktor tersebut memilki karakteristik yang menjadi elemen pembentuknya diantaranya yaitu berbagai uraiannya: 1. Faktor Kebudayaaan Faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Kebudayaan adalah simbol dan fakta yang kompleks, yang diciptakan oeh manusia, ditirukan dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat yang ada. Faktor kebudayaan terdiri dari budaya, sub budaya dan kelas sosial. 2. Faktor sosial. Faktor yang di pengaruhi oleh dalam lingkungan, dalam hal ini berupa perilaku kelompok acuan, keluarga, teman serta peran dan status sosial konsumen, yang menentukan pilihan dalam benak konsumen ketika mengambil keputusan dalam berbelanja. 3. Faktor pribadi Yaitu faktor yang mencerminkan atau yang mempengaruhi pribadi ini meliputi dari situasi sosial ekonomi, gaya hidup, usia, pekerjaan, kepribadian dan konsep diri. 4. Faktor psikologi. Yang mempengaruhi dari faktor psikologi ini yaitu motivasi, prespsi, yang dimaksud dari presepsi ini adalah proses dimana seseorang memilih, mengorganisasi, dan menerjemahkan informasi untuk membuat sebuah gambaran yang berarti dari dunia. Dan pada faktor ini dapat mempengaruhi perilaku berbelanja konsumen dalam mengambil keputusan dalam memilih lokas belanja. (Kotler, Bowen, Makens, 2003). Selain dari prespsi ada terdapat juga dengan pembelajaran dan keyakinan sikap. Selain dari hal tersebut ada juga faktor lain yang mempengaruhi orang berbelanja yaitu dilihat dari :
a. Faktor spasial/ruang, yaitu memberikan pemahaman mengenai cara sesorang menggunakan ruang. Ruang tertentu akan mempengaruhi atau membentuk perilaku tertentu. b. Faktor waktu yaitu ‘bilamana’ dan ‘berapa lama’ suatu kegiatan yang dilakukan jika waktu berbeda , maka prilaku pun berbeda. Kebiasaan membeli para konsumen adalah merupakan dasar pokok bagi kualitas benda-benda konsumen seperti : 1. Barang kebutuhan Sehari-hari Merupakan ciri-ciri tertentu pada pembeli, biasanya pembeli memsbeli secara langsung ke mereka tidak perlu bersusah panyah dan dapat diperoleh dengan cepat, serta mudah dalam pencapaian. Contoh: Barang P&D, makanan, minuman, sabun, rokok pasta gigi dan laini-lainnya. 2. Barang -barang Mewah Secara teliti dibandingkan dengan pembelian convience goods biasanya orang baru mengambil keputusan untuk membeli, setelah membandingkan dengan produk lain. Contoh : perhiasan mahal, motor dan lainnya. 3. Barang-barang Tertentu (barang khusus) pada toko Pada dasarnya tempat ini menjual barang-barang tertentu dimana pembeli tidak perlu melihat ke tempat lain. Biasanya barang-barang tersebut mempunyai merek tersendiri, sehingga pembeli dapat mengenalinya. Contoh : Pakaian , sepatu, jam tangan dll. 2.2.5. Keputusan Membeli Dalam membeli suatu barang atau jasa, seorang konsumen akan melalui suatu proses keputusan pembelian. Terdapat tiga proses keputusan pembelian: 1. Proses keputusan panjang untuk barang yang durable menurut Berman dan Evans dalam buku Hendri Ma’ruf (2006:61). Gambar 2.3 Proses Keputusan Pembelian
Stimulus evaluasi
kebutuhan
mencari info
Transaksi perilaku pasca pembelian
Sumber: Berman dan Evans dalam Hendri Ma’ruf (2006:61)
Pengertian stimulus adalah situasi yang menyebabkan munculnya kebutuhan dalam diri konsumen, yang selanjutnya konsumen mencari informasi tentang kebutuhanya, info yang didapat kemudian dievaluasi sebelum akhirnya melakukan transaksi pembelian dan pada akhirnya ada perilaku pasca beli. 2. Proses kebutuhan terbatas sama dengan proses diatas tetapi terjadi secara lebih cepat dan kadang meloncati tahapan 3. Proses pembelian rutin keputusan pembelian yang terjadi secara kebiasaan sehingga proses pembelian sangat singkat saja begitu ada kebutuhan langsung dibeli saja tanpa adanya pertimbangan. 2.2.6. Pola Pergerakan Konsumen Pola pergerakan konsumen dipertimbangkan dalam penentuan lokasi pusat perbelanjaan. Pola pergerakan konsumen menggambarkan pola perjalanan belanja. Pola pergerakan konsumen diklasifikasikan sebagai berikut: (Hartshorn, 1980:350) : a. Singgle purpose trip; perjalanan belanja yang diawali di satu titik dan kembali pada titik yang sama. Rumah dijadikan titik awal dan pusat belanja dijadikan titik yang dituju. Ini merupakan pola yang sering dilakukan. Pertimbangan utama dalam pola ini adalah jarak, artinya pusat belanja dengan jarak terdekatlah yang menjadi titik tujuan. b. Multi purpose trip; perjalanan belanja dengan titik awal rumah, tetapi titik yang dituju lebih dari satu (pusat belanja) dan keanekaragaman barang yang dibeli lebih banyak dibandingkan dengan dengan pola singgle purpose trip, demikian halnya dengan variabel jarak yang ditempuh relatif lebih jauh. c. Combined purpose trip; perjalanan belanja sekaligus melakukan kegiatan bepergian lain seperti perjalanan kerja, baik sebelum/sesudah kerja. 2.3. Teori Lokasi Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegitan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai
macam usaha atau kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. Dalam mempelajari lokasi berbagai kegiatan, ahli ekonomi regional atau geografi terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis adalah datar dan kondisinya disemua arah adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan ‘gangguan’ ketika manusia berhubungan atau berpegian dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu hal yang banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi kelokasi lainnya (Tarigan, 2006). Aksesibilitas adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak. Tingkat aksesibilitas merupakan tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Menurut Tarigan, tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut. Adapun hasil kajian dan materi yang ada di teori ada beberapa variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian ini membahas tentang perilaku orang belanja dalam pemilihan lokasi belanja terhadap jenis barang Jadi adapun faktor yang digunakan yaitu “
Faktor Jarak Berdasarkan dari teori para ahli jarak merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi Belanja
Faktor internal dari pribadi benduduk dengan karakteristik demografi penduduk dengan status pekerjaan, pendapatan (biaya)
Lalu untuk perilaku yang dibahas dalam penelitian ini yaitu faktor dalam pemilihan lokasi beanja dan dilihat cara belanja nya Gaya hidup.
Faktor lokasi ini yang mana konsumen lebih suka berbelanja di tempat yang lokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka. Selain menghemat biaya transportasi. Kecuali untuk barang-barang yang memang diperjualbelikan terbatas seperti elektronik, peralatan rumah tangga, pakaian dan lainnya.
2.3.1. Faktor-Faktor Perkembangan Lokasi Diana (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor penentu berkembangnya lokasi perdagangan meliputi: 1) Jumlah penduduk pendukung Setiap jenis fasilitas perdagangan eceran mempunyai jumlah ambang batas penduduk atau pasar yang menjadi persyaratan dapat berkembangnya kegiatan. Jumlah penduduk pendukung dapat diketahui dari luas daerah pelayanan tetapi luas daerah layanan tidak dapat ditentukan sendiri karena faktor ini bergantung pada faktor fisik yang mempengaruhi daya tarik suatu fasilitas perdagangan. 2) Aksesibilitas Aksesibilitas berkaitan dengan kemudahan pencapaian suatu lokasi melalui kendaraan umum dan pribadi serta pedestrian. Untuk fasilitas perdagangan kemudahan pencapaian lokasi, kelancaran lalu lintas dan kelengkapan fasilitas parkir merupakan syarat penentuan lokasi dan kesuksesan kegaiatan perdagangan. 3) Keterkaitan spasial Pada kegiatan perdagangan yang bersifat generativ, analisa ambang batas penduduk dan pasar menjadi hal yang penting sedangkan pada lokasi perdagangan yang bersifat suscipient, analisa kaitan spasial dari kegiatan merupakan hal yang penting. 4) Jarak Kecenderungan pembeli untuk berbelanja pada pusat yang dominan, namun menyukai tempat yang dekat maka faktor jarak merupakan pertimbangan penting untuk melihat kemungkinan perkembangan suatu lokasi terutama pusat perdagangan sekunder yang menunjukkan trade off antara besarnya daya tarik pusat dan jarak antara pusat. 5) Kelengkapan fasilitas perdagangan Kelengkapan fasilitas perdagangan menjadi faktor penentu pemilihan lokasi berbelanja konsumen. Konsumen berbelanja barang-barang tahan lama yang tidak dibeli secara tidak teratur seperti pakaian, alat-alat elektronik pada
tempat perdagangan yang memiliki banyak pilihan barang yang dapat diperbandingkan. Oleh karena itu pembeli cenderung untuk berbelanja barangbarang tahan lama pada pusat perdagangan yang lebih lengkap, tetapi untuk kebutuhan standar sehari-hari seperti bahan makanan, para konsumen cenderung masih mempertimbangkan jarak yang dekat kalau terdapat fasilitas yang memadai. 2.4. Variabel yang Digunakan dalam Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 3 variabel yaitu: a. Barang (Produk), sesuatu yang mempunyai nilai, dapat berupa fisik nyata, yang dapat dilihat dan diraba maupun tidak nyata berupa jasa. Indikator : - Produk memiliki Merk - Harga terjangkau - Bervariasi barang b. Fasilitas, faktor pendukung yang dibutuhkan oleh konsumen, seperti ATM, Musholla, penerangan, toilet yang bersih, AC, dan lift/escalator. - Fasilitas pendukung yang tersedia - Banyaknya jumlah tempat makan c. Aksesibilitas, berkaitan dengan kemudahan pencapaian suatu lokasi melalui kendaraan umum dan pribadi serta pedestrian. Indikator : - Kemudahan untuk parkir Variabel Pembentuk
Indikator
A. Daya Tarik Pusat Perbelanjaan - Harga - Produk memiliki Barang merk - Pilihan Barang
Fasilitas
- Kelengkapan fasilitas pendukung
Aksesibilitas
-
Parkir
Parameter
- Menawarkan harga terendah - Kualitas barang yang ditawarkan bermerk - Banyak pilihan barang/ produk - Kelengkapan fasilitas pendukung sebagai daya tarik (Bioskop, tempat makan, tempat bermain anak , ATM, Musholla, Toilet, AC, dan penerangan) - Jumlah tempat makan - Kemudahan untuk parkir
Referensi
Erniwati,1989
Diana, 2003 Utami, 2006
Diana, 2003