PROFIL
Prof. Dr. Srisupar Yati Soenarto, PhD., SpA(K):
Zink Sebagai Terapi Baru pada Tata Laksana Diare
B
erbincang dengan profil MEDIKA kali ini, yaitu Prof. Dr. Srisupar Yati Soenarto, PhD., SpA(K), sungguh menyenangkan. Di sela kegiatannya yang padat, baik sebagai juri maupun mediator acara Kongres Ilmu Kesehatan Anak di Surabaya beberapa waktu lalu, beliau masih menyempatkan waktu berbagi ilmu dan pengalamannya sebagai pakar di bidang gastroenterohepatologi anak di Indonesia. Klinisi sekaligus akademisi ini menjabat sebagai Ketua Program Studi Magister Sains Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak (MS-PPDS IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Empat dekade bergelut di bidang ilmu kesehatan anak dan mendalami gastroenterohepatologi, membuat Srisupar Yati memahami benar mengenai masalah kesehatan anak di Indonesia, khususnya tentang diare. Diare dengan segala permasalahannya telah ditelusuri oleh istri dari Prof. DR. Dr. Soenarto Sastrowijoto, SpTHT, ini sejak tahun 1970-an. Sebagai penyebab kematian nomor 2 setelah radang paru-paru pada anak usia 6 bulan hingga 2 tahun, diare masih merupakan penyakit anak dengan beban kesakitan, kematian, dan biaya yang tinggi. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dengan judul ≈Penelitian Translasional dan Kebijakan Berbasis Bukti: Diare pada Anak sebagai Studi KasusΔ, beliau menekankan bahwa dalam penyelesaian masalah diare perlu memanfaatkan penelitian translasional secara sistematik dan terintegrasi. Penelitian translasional merupakan penelitian integratif yang menghubungkan antara ilmu dasar kedokteran dengan ilmu klinik untuk mengembangkan strategi baru dalam pengembangan terapi di bidang kedokteran. Penelitian translasional yang efektif tidak hanya berhenti pada hasil, namun juga harus mempertimbangkan implementasinya pada tingkat komunitas dalam bentuk suatu kebijakan. Tingkat keparahan diare di negara berkembang dipengaruhi oleh malnutrisi dan defisiensi imunitas. Determinan kedua faktor ini adalah defisiensi zink. Defisiensi zink dapat mengganggu absorpsi air dan natrium dalam usus. ≈Penggunaan zink bersama oralit secara luas pertama kali dilakukan saat bencana tsunami di Aceh pada 2004,Δ jelas Srisupar Yati. Di daerah bencana tersebut, zink
706
SUPLEMEN MEDIKA
diberikan selama 10ƒ14 hari, agar efek profilaksis diare hingga 2ƒ3 bulan ke depan dapat diaplikasikan. Pengobatannya sendiri minimum harus dilakukan selama 10 hari. Jika tidak, rekurensi diare sangat mungkin terjadi. Secara sederhana namun informatif, beliau membagi pengalamannya saat pemberian zink untuk kasus diare di daerah bencana tsunami. ΔKami tidak mendapatkan kesulitan dalam mengimplementasikan pemberian zink. Para orangtua merasa lebih senang, karena penyembuhan diare menjadi lebih cepat. Bahkan, beberapa orangtua protes ketika pemberian zink dihentikan,≈ lanjut wanita yang sangat ramah ini. Efektivitas zink telah teruji pada berbagai penelitian, termasuk yang dilakukan oleh Baqui dkk, di Bangladesh pada 2004. Penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan zink mampu meningkatkan penggunaan oralit dan menurunkan penggunaan antibiotik, keparahan diare akut, serta risiko kekambuhan. Untuk mendukung sosialisasi penggunaan zink oleh Depkes sebagai bagian dari kebijakan nasional penanganan diare di Indonesia, sejak 2 tahun lalu Prof. Srisupar Yati aktif bergerak dalam Indonesian Zink Task Force yang terdiri dari BKGAI (Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia), UKK (Unit Koordinasi Kerja) terkait IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), dan Depkes. Semua elemen ini bekerjasama dalam bebe-
rapa kegiatan, seperti menyebarluaskan informasi mengenai manfaat zink, baik kepada dokter, petugas kesehatan, maupun masyarakat luas. Selain itu, juga mendukung perusahaan-perusahaan farmasi untuk membuat sediaan zink sebagai obat diare anak. Sebagai dokter anak senior di Indonesia, tidak jarang wanita yang telah dikarunia empat cucu ini menjumpai pengobatan diare akut yang tidak rasional, yang justru banyak dilakukan oleh sejawat dokter. Dalam penelitiannya pada 2007 diketahui bahwa penggunaan antibiotik yang irasional pada diare akut di rumah sakit non-pendidikan hampir mencapai 100%, sedangkan di rumah sakit pendidikan hanya 18%. Hal ini juga terjadi pada beberapa sejawat yang sudah mendalami beberapa pelatihan dan telah mengerti pemberian antibiotik yang irasional tersebut. Tentu saja hal ini menimbulkan keprihatinan tersendiri. Ketika disinggung mengenai hal tersebut, biasanya beberapa sejawat berdalih bahwa mereka terdesak oleh permintaan para orangtua pasien yang menginginkan agar anaknya diberi obat untuk menghentikan diare, karena sebagian besar orangtua tidak yakin dengan efektivitas oralit dalam penanganan diare. Seperti diketahui bahwa oralit tidak menurunkan volume feses, frekuensi, dan durasi diare, melainkan hanya dianggap sebagai pengganti cairan yang hilang selama diare. Oleh karena itu, diperlukan suatu obat yang dapat menurunkan keparahan diare. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada kasus diare (kecuali pada kasus diare berdarah seperti kolera dan disentri) akan menyebabkan Antibiotic Associate Diarrhea (AAD). Berdasarkan penelitian WHO ( World Health Organization) yang dilakukan di berbagai negara, ditemukan manfaat zink sebagai obat diare untuk anak yang perlu untuk dikonsumsi selama 10 hari berturut√turut, agar dapat mengurangi lama dan keparahan diare, juga dapat mencegah berulangnya diare selama 2√3 bulan ke depan. ≈Penelitian mengenai penggunaan zink pada diare juga memberikan hasil yang memuaskan, karena para orangtua merasa anaknya telah diberi obat, seperti pengalaman saya di Aceh,Δ jelas wanita yang sangat aktif ini. Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah kemampuan komunikasi yang baik antara dokter dengan orangtua pasien diare, terutama edukasi mengenai cara pemakaian obat dan kegunaannya, serta kapan harus kembali ke petugas kesehatan jika diare menjadi lebih parah. Dengan demikian, kompetensi dokter tidak hanya terbatas pada kemampuan pengetahuan dan keahlian (knowledge and skill), tetapi juga kompetensi untuk mengomunikasikan ilmu tersebut kepada pasien. n (Tiara)
NO. 10 TAHUN KE XXXIV, OKTOBER 2008