Potensi Lahan Kering Nusa Tenggara Barat Untuk Produksi Benih.docx

  • Uploaded by: deddy
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Potensi Lahan Kering Nusa Tenggara Barat Untuk Produksi Benih.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,062
  • Pages: 13
Potensi Lahan Kering Nusa Tenggara Barat untuk Produksi Benih Kedelai 16 JUNI 2015/PERMONOKUKUH

Sebagian besar lahan di propinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB. Pengertian lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Topografi wilayah lahan kering di Propinsi NTB cukup beragam, mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit dan bergunung dengan kemiringan antara 0% sampai lebih dari 40%. Luas lahan kering dengan kemiringan 0-2% mencapai 16,57%; kemiringan 3-15% seluas 26,55%; kemiringan 16-40% seluas 35,06%; dan kemiringan lebih dari 40% seluas 21,83%. Jadi sebagian besar lahan kering di propinsi NTB memiliki kemiringan di atas 15%. Jenis tanah yang terdapat di lahan kering didominasi oleh tiga ordo yaitu entisol, iseptisol dan vertisol. Lahan kering propinsi NTB ditemukan 17 jenis sub ordo tanah. Kesuburan tanah sangat rendah yang dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik, agregat tanah yang kurang mantap, peka terhadap erosi, dan kandungan hara utama (N, P, K) yang relatif rendah. Sebagian besar kondisi lahan kering di NTB dicirikan dengan iklim semi-arid-tropik yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan Desember–Maret atau 4 bulan sedang musim kemarau berlangsung dari bulan April–Nopember atau 8 bulan. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, et al., 1980 daerah-daerah yang memiliki bulan basah kurang dari 3 bulan dan antara 3-4 bulan dengan bulan kering 4–6 bulan dan di atas 6 bulan digolongkan ke dalam iklim D3, D4, E3 dan E4 atau daerah dengan tipe iklim kering.

Dari luas lahan kering tersebut di atas yang riil dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan status lahan adalah sekitar 626.034,60 hektar atau sekitar 31% luas wilayah NTB. Sebagian besar penggunaan lahan kering di Propinsi NTB untuk hutan negara (931.737 ha) atau 51,5%; hutan rakyat (241.253 ha) atau 13,3%; tegalan (173.774 ha) atau 9,6%; ladang (49 330 ha) atau 2,70%; padang rumput (38.132 ha) atau 2,1%; kebun (36.663 ha) atau 2,00%; pekarangan (32.667 ha) atau 1,8%; dan penggunaan lainnya seluas (303.898 ha) atau 16,9%. Lahan kering yang banyak digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian di wilayah lahan kering Propinsi NTB meliputi: sawah tadah hujan, tegalan, ladang, perkebunan dan kebun campuran.

Mempelajari karakteristik biofisik lahan kering di NTB di atas yakni lahan kering cukup luas, kesuburan sedang dan dapat di pelihara, dan kondisi iklim yang kering yakni bulan basah hanya 3 bulan, maka tipe lahan kering ini sesuai untuk pertumbuhan tanaman kedelai yang tidak menghendaki lahan yang basah. Penanaman kedelai justru dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan bintil-bintil akar kedelai yang tertinggal di lahan kering tersebut.

Seperti kita ketahui bahwa konsumsi kedelai di Negara kita cukup besar dan baru bisa kita cukupi sekitar 35 – 45%, selebihnya dari impor. Kecukupan kedelai dalam rangka pogram pencapaian swasembada kedelai 2014, dilakukan upaya peningkatan produktivitas dan perluasan areal. Salah satu kendala dalam peningkatan produksi kedelai adalah masalah ketersediaan benih dan kualitas benih. Keluhan bantuan benih selama ini, antara lain karena keterlambatan penyediaan benih, kualitas benih yang kurang baik dan varietas kedelai yang tidak sesuai dengan preferensi petani. Upaya untuk memenuhi kebutuhan benih dapat dilakukan dengan menghidupkan dan melaksanakan system jalur benih antar musim dan antar lokasi (JABALSIM). Keuntungan dengan system JABALSIM, a) ketersediaan benih dapat di cukupi di sentra produksi sendiri, b) kualitas benih terjaga dengan tidak terlalu lama menyimpan benih, c) varietas sesuai dengan preferensi petani, karena diproduksi di lingkungan sendiri, d) potensi penangkar lokal cukup memadai sebagai penyangga kebutuhan benih. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk salah satu sentra produksi kedelai di Indonesia dengan luas panen rata-rata (5 th terakhir) 78.589 ha tiap tahun dan rata-rata produktivitas 1,15 t/ha dengan produksi rata-rata 90.288 ton /th. Dengan luas tanam 78.587 ha, maka diperlukan benih 3.144 ton. Penyediaan benih sumber sebesar 3.144 ton bagi NTB sebenarnya tidak sulit, karena NTB mempunyai lahan kering yang cukup luas 626.034,60 hektar. Provinsi NTB yang mempunyai potensi lahan kering yang cukup luas dan kondisi iklim yang mendukung untuk pertumbuhan tanaman kedelai, maka kondisi ini sangat mendukung proses produksi benih kedelai melalui system JABALSIM. Produksi benih pada musim hujan dapat dapat di tanam di lahan kering/pegunungan, hasilnya dipersiapkan untuk benih sumber pada MK I di lahan sawah tadah hujan, hasil benih dari sawah tadah hujan dipersiapkan untuk di tanam pada lahan sawah irigasi pada MK II, hasil benih dari sawah irigasi di persiapkan kembali untuk perbenihan di lahan kering/pegunungan pada musim hujan berikutnya. Dengan system ini kualitas benih dapat terjaga tanpa melalui penyimpanan yang lama. Sistem ini juga mampu menyediakan benih sendiri di daerah sendiri dan varietas yang di tanam sesuai dengan permintaan petani. Provinsi NTB mempunyai 3 tipe lahan untuk produksi benih kedelai, melalui system JABALSIM yakni : a) Lahan kering/pegunungan, b) lahan sawah tadah hujan dan c) lahan sawah irigasi. Budidaya tanaman kedelai di NTB biasa di tanam di 3 tipe lahan tersebut, lahan kering sangat potensial untuk produksi kedelai maupun benih kedelai. Display varietas Anjasmoro dan Grobogan dengan klas benih dasar (BD/FS) dari Badan Litbang Pertanian di Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa, di kemas dalam satu areal seluas 10 ha,

dengan tujuan hasilnya dapat di pakai sebagai benih sumber dapat berjalan dengan baik. Pertanaman display varietas pada awal Oktober 2012 telah di panen dan hasilnya telah diproses menjadi benih baru 6 ton dan diperkirakan total hasil benih antara 11 – 12 ton, menurut laporan Bapak Saharudin Kepala Dinas Pertanian Kecamatan Empang yang di dampingi Bapak Makmum Kepala BPP Kecamatan Empang. Benih ini sementara di tampung di gudang UD Damai sebanyak 10 ton, yang nantinya akan di tanam dilahan gunung/lahan kering pada musim hujan ini pada luasan kurang lebih 200 ha. Dukungan kebijakan pemerintah daerah sangat di butuhkan, pembinaan penangkar lokal terus di berikan , fasilitas dan kemudahan memperoleh modal, bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dengan system JABALSIM ketersediaan benih di lokasi di harapkan selalu terjaga dan kualitas benih sesuai dengan preferensi petani. TEKNOLOGI AGROFORESTRY PADA LAHAN KERING (Propinsi Nusa Tenggara Barat) REVANDY ISKANDAR M DAMANIK Fakultas Pertanian Program Studi Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN Potensi sumberdaya lahan kering di Indonesia sangat besar dan penyebarannya hampir merata di seluruh wilayah Indonesia terutama di luar pulau Jawa. Dari 162 juta hektar luas daratan di luar Pulau Jawa (81 % dari luas daratan Indonesia), 124 juta hektar (76,5 %) merupakan lahan kering dan sisanya 38 juta hektar (23,5 %) lahan basah. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) luas lahan kering mencapai 1,798,008 ha (90,33 % dari luas lahan pertanian) yang tersebar di dua pulau besar yaitu Pulau Sumbawa 1,465,270 ha (81,49) dan Pulau Lombok 332,738 ha (18,51 %) (Satari, sadjad, dan Sastrosoedardjo, 1977 ; NTB Dalam Angka, 1992). Kondisi lahan kering dicirikan oleh: (1) peka terhadap erosi bila tanahnya tak tertutup vegetasi, (2) tingkat kesuburan tanahnya rendah, (3) air merupakan faktor pembatas (tadah hujan), dan (4) lapisan olah dan lapisan tanah dibawahnya memiliki kelebaban yang sangat rendah. Di samping itu, masyarakat petani di daerah lahan kering umumnya berpendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah, adopsi teknologi juga rendah, dan ketersediaan modal kecil. Infra struktur di daerah lahan kering umumnya jelek, sedangkan penduduk terpencar di daerah terpencil sehingga integrasi sosial dan penyuluhan menjadi lebih sulit.

Oleh karena kondisi lingkungan seperti tersebut, maka isu pokok yang harus dikembangkan dalam pengelolaan sumber daya lahan kering adalah peningkatan pendapatan dan taraf hidup petani sekaligus mampu mempertahankan kelanjutan (sustainability) sumberdaya lahan. Hal inimemerlukan pengelolaan yang berhati-hati dengan penerapan teknologi pertanian yang sesuai. Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering adalah penerapan agroforestry, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (King and Chandler, 1978 dalam Kartasubrata, 1991b). Ada dua teknologi agroforestry yang dikembangkan di NTB yaitu pola Alley Cropping (Budidaya Lorong) dan pola Multipurpose Tree Species (MPTS) dalam Program Rutan Kemasyarakatan (RKm). Dalam makalah ini diuraikan secara ringkas pelaksanaan kedua teknologi tersebut pada lahan kering dan hasil-hasil yang telah dicapai selama ini.

©2003 Digitized by USU digital library II. KONDISI AGROEKOSISTEM DAERAH NUSA TENGGARA BARAT Biofisik Ketinggian wilayah NTB bervariasi dari 0 m sampai dengan 3,726 m dpl untuk Pulau Lombok, sedangkan Pulau Sumbawa dari 0 m sampai dengan 2,755 m dpl. Sebagian besar wilayah Pulau Lombok berada antara ketinggian 0-500 m dpl yaitu sekitar 334,212 ha (73.6 %), sedangkan Pulau Sumbawa sebagian besar wilayahnya terletak pacta ketinggian 0-1000 m dpl yaitu seluas 1,450.50 ha (94,1 %). Wilayah Pulau Lombok sebagian besar terdiri atas tanah regosol (40,5 %), sedangkan Pulau Sumbawa sebagian besar terdiri atas jenis tanah yang berasal dari bahan induk batuan intrusi dan batuan glinting berapi seperti jenis tanah komplek litosol, mediteran coklat kemerahan, dan mediteran coklat (47,2 %). Sebagian besar tanah di NTB sangat peka terhadap erosi yaitu seluas 1,144,125 ha (57,3 ha). Di Pulau Lombok sekitar 186,620 ha (41,1 %) tanah termasuk dalam kategori sangat peka terhadap erosi, sedangkan di Pulau Sumbawa seluas 957,505 ha (62,1 %). Sebagian besar tanahnya berada pada kemiringan 1540 % dan > 40 % yaitu masing-masing seluas 703,317 ha (35,2 %) dan 460,426 ha (23,1 %). Sebagian dari tanah-tanah tersebut merupakan tanah kritis (296,753 ha) yang terdiri atas 92,930 berada dalam kawasan hutan dan 203,822 ha di luar kawasan hutan.

Dilihat dari penggunaan tanah paling luas adalah hutan lebat (41,8 %) kemudian disusul oleh hutan belukar (19,0 %), sawah (11,4 %), tegalan (7,0 %), dan semak (6,1 %). Sedangkan sisanya adalah untuk penggunaan yang lain. Berdasarkan fungsi hutannya, paling luas merupakan hutan lindung yaitu 383,250 ha (40,3 %) disusul oleh hutan produksi terbatas 224,625 ha (23,6 %) dan hutan produksi biasa 189,734 ha (20,0 %). Sedangkan sisanya merupakan hutan cagar alam, hutan suaka margasatwa, hutan taman wisata, hutan taman buru, dan hutan payau. Menurut Schmid dan Ferguson, iklim di NTB didominasi oleh tipe iklim C dan D. Sedangkan di Pulau Sumbawa dipengaruhi oleh tipe iklim D dan E. Curah hujan rata-rata dalam lima tahun (1989 -1993) di Pulau Lombok adalah 123,8 rom dengan rata-rata hari hujan 96,48 hari pertahun. Sedangkan di Pulau Sumbawa dalam kurun waktu yang sarna rata-rata curah hujan 85,54 rom dengan rata-rata hari hujan 78,48 hari pertahun. Sosial Ekonomi Berdasarkan basil registrasi penduduk tahun 1993, jumlah penduduk NTB mencapai 3,504,006 jiwa (784,940 KK) yang tersebar di Pulau Lombok sebanyak 2,494,588 jiwa (573,437 KK) dan di Pulau Sumbawa 1,009,418 jiwa (211,503 KK). Dengan luas wilayah 4,739 km2, maka kepadatan penduduk di Pulau Lombok adalah 526 jiwa/km2 lebih padat dibandingkan dengan di Pulau Sumbawa yang 65 jiwakm2 dan rata-rata NTB sebesar 173 jiwa/km2. Sampai tahun 1994 sebagian besar penduduk yang berusia 5 tahun ke atas tidak/belum tamat SD (49,3%) dan tamat SD (28,1%). Sedangkan sisanya (22,6%) adalah SMTP ke atas. Mata pencaharian utama penduduk NTB adalah di sektor pertanian baik sebagai petani pemilik, penyakap, buruhtani, maupun peladang berpindah. ©2003 Digitized by USU digital library III. TEKNOLOGI AGROFORESTRY DI NTB Dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya lahan kering, berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya di NTB. Salah satu terobosan penting yang telah dilakukan adalah penerapan dan pengembangan teknologi agroforestry. Menurut Nair (1987) dalam Kartasubrata (1991b), yang dimaksud dengan teknologi agroforestry adalah menunjuk kepada adanya perbaikan atau inovasi yang berasal dari hasil penelitian, yang digunakan dengan berhasil baik untuk mengelola sistem-sistem agroforestry yang diselenggarakan. Beberapa teknologi agroforestry yang cukup terkenal menurut Nair (1987) antara lain: improved fallow, integrated taungya, alley cropping, multipurpose tree on farm lands. Alley Cropping (Budidaya Lorong)

Konsep Alley Cropping Konsep alley cropping pertama kali dirintis oleh B.T Kang, G.F. Wilson, dan T.L. Lawson, yaitu para ahli dari IITA (International Institute of Tropical Agriculture) atau Lembaga Internasional Pertanian Lahan Kering, melalui penelitian-penelitian yang cermat di pusat IITA di Ibadan Nigeria. Alley cropping pada dasarnya adalah suatu sistem hutan pertanian dengan penanaman tanaman pangan di ladang, dibentuk oleh pagar tanaman pohon atau semak/rumput pagar (Kang et aI, 1981). Pagar tanamandipotong kembali dan dipangkas pada saat penanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi persaingan dengan tanaman pangallo Apabila tidak ada tanaman pangan, pagar tanaman boleh ditanam dengan bebas di kebun untuk melindungi tanah. Menurut Karama dan Wahid (1990) alley cropping (budidaya lorong) adalah menanam tanaman menurut baris-baris sehingga terbentuk lorong-lorong yang dapat dimanfaatkan untuk menanam tanaman lain yang lebih kecil seperti tanaman semusim palawija dan hortikultura. Tanaman yang ditanam disesuaikan dengan kondisi agrolimat setempat. Tanaman pokok dalam baris terdiri atas beberapa macam tanaman tahunan membentuk suatu tumpang tangga (multi storeyed cropping). Tanaman tahunan pembentuk lorongnya, selain berfungsi sebagai tanaman konservasi juga membentuk iklim mikro dan sekaligus diharapkan dapat memperbaiki fungsi hidrologis tanah. Dengan demikian maka keunggulan dan keuntungan penerapan teknik budidaya lorong adalah : (1) mengurangi resiko kekeringan di musim kemarau, (2) mencegah eosi di musim hujan, (3) mewujudkan konservasi air dan tanah, (4) meningkatkan nilai yambah atau pendapatan petani, dan (5) menyediakan pakan ternak. Menurut Kang, Wilson, dan Lawson (?), pohon-pohon dan belukar dalam pola alley cropping berperanan dalam : 1. menyediakan pupuk hijau atau daun-daun lapuk untuk menyuburkan tanaman pangan. Dengan cara ini, bahan makanan tumbuhan/tanaman dikembalikan dari lapisan tanah yang lebih dalam, 2. menggunakan pemangkasan sebagai pupuk dan naungan selama masa pemberoan untuk menekan rumput, ©2003 Digitized by USU digital library 3. menyediakan kondisi yang lebih baik untuk tanah dan mikroorganisme, 4. apabila ditanam di sepanjang batas kebun yang miring, maka akan bermanfaat sebagai penahan, dalam menghindari erosi, 5. mengadakan pemangkasan untuk makanan ternak, bahan bangunan kayu api, dan 6. menyediakan nitrogen biologis untuk tanaman pangan. Pelaksanaan Alley Cropping Pola Alley Cropping dikembangkan untuk pertama kalinya di NTB pada tahun

1983 dalam program usahatani lahan kering oleh beberapa organisasi pembangunan pemerintah (NGO), diantaranya CARE Indonesia bekerjasama dengan pemerintah setempat. Nama resmi yang digunakan oleh CARE Indonesia untuk pola ini adalah Lamtoro Farming Sistem (LFS). Tetapi setelah terjadi serangan kutu loncat (Heteropsylla cubana) terhadap tanaman lamtoro dalam pola tersebut, kemudian namanya diganti menjadi Dryland Farming System (DFS) (Kartasubrata, 1991b). Teknologi LFS bermula dari pembentukan garis-garis kontur atau lajur dengan penanaman lamtoro gung (Leucaena leucocephala) yang tumbuh cepat pada lahan pertanian miring di Lombok Barat dan Sumbawa Timur. Kombinasi antara garis-garis kontur dengan penanaman berlajur lamtoro gung dianggap dapat mengurangi erosi tanah dan memperbaiki kesuburan tanah. Kemudian pada lorong-lorong di antara larikan/lajur tanaman lamtoro gung ditanam tanaman semusim maupun tanaman keras seperti : padi gogo, jagung, lombok, kopi, dan coklat. Oleh karena itu pola ini disebut teknologi agroforestry tanaman lorong atau budidaya lorong (alley cropping). Sampai pada tahun III (1986) pelaksanaan proyeK LFS berjalan dengan cepat dan telah mampu menggalang petani peserta sebanyak 1300 orang dengan penanaman lamtoro seluas 470 ha. Bahkan kepada petani peserta yang telah mengalami kemajuan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknologi dasar konservasi tanah dan air, mulai diperkenalkan teknik-teknik pertanian baru seperti pemupukan kompos dan penanaman sayur-sayuran. Pada tahun yang sama (1986), terjadi serangan kutu loncat (Heteropsylla cubana) terhadap tanaman lamtoro yang telah menyebabkan hampir seluruh tanaman lamtoro rusak. Setelah terjadi musibah tersebut pihak CARE memperkenalkan jenis tanaman jalur baru sebagai lamtoro seperti kaliandra (Calliandra caolhyrsus), gamal (Glericidia sp) dan juga beberapa jenis rumput produksi tinggi. Dari sinilah teknologi LFS berubah menjadi teknologi DFS. Menyusul terjadinya bencana alam kutu loncat yang menyerang tanaman lamtoro gung, proyek Pembangunan Penelitian pertanian Nusa Tenggara (P3NT) juga mulai melakukan penelitian-penelitian untuk mencari jenis-jenis tanaman yang digunakan dalam pola alley cropping yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi serta budaya masyarakat setempat. Salah satu alternatif bentuk alley cropping yang dikembangkan oleh P3NT di NTB seperti terlihat pada gambar 1.

©2003 Digitized by USU digital library

***** x ***** x ***** x ***** x ***** x

3m0 # 0 # 0 # !!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!! vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv Tanaman semusim 20 m vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv Tanaman semusim vvvv vvvv vvvv vvvv vvvv

vvvv vvvv vvvv

***** x ***** x ***** x ***** x ***** x 3m0 # 0 # 0 # !!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!!!!!!!!!o!!

Keterangan: ** = vetiver; # = pisang; vv = tanaman semusim 0 = mangga; 0 = nangka; x = melinjo; !! = turi Gambar 1. Pola Tata ruang tanaman budidaya lorong Jenis tanaman yang diusahakan adalah sebagai berikut: 1. Tanaman pohon bertajuk besar seperti: mangga, nangka,kelapa, jambu mete, melinjo, dan kemiri, 2. Tanaman pohon bertajuk sedang seperti: pisang san sri kaya, 3. Tanaman pakan meliputi : turi, gamal, vertiver, dan lamtoro, 4. Tanaman semusim meliputi: kacang tanah, kacang hijau, jagung, tembakau, kedelai, bawang merah, dan ubi kayu. Pemilihan varietas dari masing-masing jenis tanaman dengan memperhatikan: teknis (agroekosistem, hama, penyakit); ekonomi (harga dan pemasaran); dan sosial budaya masyarakat setempat. Hasil yang dicapai dalam Pelaksanaan Alley Cropping Berdasarkan laporan tim evaluasi (Kartasubrata dkk., 1988) terhadap pelaksanaan proyek LFS/DFS di NTB dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Teknologi DFS telah terbukti mampu menahan laju erosi tanah ke tingkat yang minimum, sehingga dapat memperbaiki kesuburan tanah, 2. Mampu merangsang petani mengerjakan lahan dengan lebih baik dengan penerapan pemupukan, sehingga dapat meningkatkan hasil dan produktivitas lahan, 3. Mengurangi jumlah peladang berpindah, 4. Mengurangi terjadinya penggembalaan ternak secara liar dengan jalan menyediakan pakan,

5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berusahatani petani melalui strategi penyuluhan yang tepat. ©2003 Digitized by USU digital library Sementara itu telah dilakukan juga penelitian oleh staf peneliti pada proyek P3NT terhadap penerapan pola alley cropping di NTB pada lahan kering yang menggunakan pengairan dari sumur pompa P2AT. Jenis tanaman yang digunakan meliputi: tanaman tahunan (mangga, nangka, melinjo, pisang); dan tanaman pakan (turi, gamal, dan vetiver). Untuk tanaman semusim diteliti dua pola tanam yaitu: pola A (kacang tanah//jagung - tembakau – bawang merah) dan pola B (kacang hijau//jagung - bawang merah - kacang tanah + jagung. Analisis usaha tani menunjukkan bahwa pola A memberikan pendapatan bersih Rp 1,868,133,- lebih besar daripada pola B sebesar Rp 1,489,764,-. Sedangkan penampilan tanaman tahunan sangat baik kecuali tanaman melinjo yang menunjukkan pertumbuhan yang kurang sesuai di lahan alley cropping (Cholid dkk., 1993). Multipurpose Tree Species (MPTS) dalam Program Rutan Kemasyarakatan (HKm) Konsep RKm dan MPTS Hutan Kemasyarakatan (Community forestry) adalah suatu sistem pengelolaan hutan yang ditujukan untuk mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat tanpa mengurangi fungsi pokok hutannya akibat adanya pemanfaatan timbal balik antara hutan dan masyarakat tersebut (perum Perhutani, 1996). Multipurpose Tree Species (MPTS) adalah sistem pengelolaan lahan dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu, akan tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan ataupun pakan ternak (Kartasubrata, 1991a) . Jadi dalam Program HKm, MPTS merupakan salah satu teknologi agroforestry yang diterapkan. Tanaman-tanaman yang digunakan dalam MPTS adalah jenis tanaman buah-buahan yang mempunyai fungsi ganda dan mempunyai persyaratan tertentu antara lain: cocok dengan tempat tumbuh dan mempunyai nilai ekonomi/pasar yang tinggi, serta dapat dipungut hasil/buahnya tanpa menebang pohonnya. Pelaksanaan MPTS dalam Program HKm Penerapan teknologi agroforestry MPTS di NTB telah dimulai sejak pengembangan program HKm tahun 1994/1995. Dalam program HKm di samping dikembangkan tanaman jenis kayu-kayuan sebagai tanaman pokok ditanam juga jenis-jenis tanaman MPTS. Jenis tanaman kayu-kayuan yang ditanam adalah jati, mahoni, johar, dan lain-lain. Sedangkan jenis tanaman MPTS meliputi: jambu mete, srikaya, dan nangka. Komposisi antara tanaman kayu-kayuan dengan tanaman MPTS adalah 70:30. Jarak tanam dari tanaman tersebut 4 x 2 meter, sehingga dalam satu hektar terdapat 1250 pohon tanaman dengan rincian sebanyak 875 pohon jati dan 375 pohon tanaman jambu mete atau srikaya. Pada lahan sela di antara tanaman

kayu-kayuan dan MPTS ditanam juga jenis tanaman pangan antara lain: padi, kedelai, jagung, dan kacang tanah. Pemanfaatan lahan sela umumnya dilakukan sampai tanaman pokok dan MPTS berumur dua sampai tiga tahun.

©2003 Digitized by USU digital library

M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T 2 m vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv M vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T vvvvvvv T Keterangan : M = Tanaman MPTS (jambu mete/sri kaya) T = Tanaman Jati V = Tanaman Pangan (padi, jagung, kedelai, dan kacang tanah) Gambar 2. Pola tata ruang tanaman hutan kemasyarakatan Pola pemanfaatan tata ruang pacta Program HKm di Kabupaten Sumbawa dilukiskan pacta gambar 2. Hasil yang Dicapai dalam Program HKm Tahun pertama (1994/1995) pelaksanaan Program HKm di NTB dilakukan pada tiga lokasi di Kabupaten Sumbawa yaitu Kanar, Semawung, dan Ngali. Luas HKm mencapai 700 ha yang melibatkan 338 petani peserta (pesanggem) dengan rata-rata luas lahan garapan 2,07 ha/KK. Pada tahun 1995/1996 telah dikembangkan ke beberapa lokasi termasuk di Kabupaten Bima dan Dompu. Berdasarkan hasil evaluasi keberhasilan tumbuh dari tanaman jati dan MPTS (pada umur satu tahun) yang dilakukan oleh Syaihuddin (1996) di tiga lokasi HKm di Kabupaten Sumbawa, menunjukkan bahwa tanaman jati mencapai 92 %; jambu mete 93 %; dan srikaya 90 %. Keberhasilan tumbuh dari tanaman jati dan MPTS yang tergolong baik tersebut, memberikan gambaran bahwa teknologi agroforestry MPTS khususnya dan program HKm pada umumnya, telah berhasil mencapai tujuan yaitu melestarikan sumberdaya tanah dan air.

Dari segi sosial dan ekonomi meskipun sampai saat ini tanaman-tanaman MPTS belum berproduksi, tetapi secara tidak langsung telah mampu memberi peluang kerja bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mendapatkan upah baik pada saat penanaman maupun pemeliharaan. Untuk memperoleh gambaran besarnya kontribusi dari kegiatan HKm terhadap pendapatan pesanggem dapat dilihat pada Tabel 1.

©2003 Digitized by USU digital library Tabel 1. Pendapatan pesanggem dari berbagai sumber No. Sumber pendapatan Per luas Per ha (Rp) % dari total lahan pendapatan garapan (2.21 ha) (Rp) 1. Program HKm 1,231,557 557,266 71 a. kegiatan penanaman/pemeliharaan 368,248 166,628 21 b. Usahatani tumpangsari 50 2. Di luar program HKm 863,309 390,637 29 Total 1,732,084 783,749 100 Sumber : Syamsuddin, Amry Rakhman, dan Chandra Ayu (1996) Di samping mampu memberikan kontribusi pada pendapatan pesanggem, penerapan teknologi agroforestry MPTS khususnya dan Program HKm umumnya, juga telah menekan/merubah budaya pesanggem dari perladangan berpindah menjadi sistem pertanian menetap dan intensif.

IV. PENUTUP Upaya untuk memanfaatkan potensi sumberdaya lahan kering di NTB melalui penerapan teknologi agroforestry terus dikembangkan. Dua pola teknologi agroforestry yang menonjol di daerah ini adalah pola alley cropping (budidaya lorong) dan pola multipurpose tree species (MPTS). Tujuan dari kedua pola ini pacta prinsipnya sama, yaitu dalam upaya perlindungan dan rehabilitasi lingkungan yang

rusak, sehingga dapat meningkatkandan mempertahankan produktivitas lahan, yang pada gilirannya dapat memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat. Perbedaan antara kedua pola agroforestry ini adalah pacta sisi pelaksananya. Pola alley cropping ditangani kegiatannya oleh Departemen pertanian yaitu melalui proyek P3NT dan LSm yaitu CARE Indonesia. Sedangkan pola MPTS dalam HKm merupakan tanggungjawab Departemen Kehutanan yaitu melalui Perum perhutani Unit I Jawa Tengah. Berbagai evaluasi dan penelitian yang telah dilakukan terhadap kedua pola ini mengungkapkan, bahwa pertumbuhan tanaman baik tanaman kehutanan, tanaman perkebunan (MPTS), maupun tanaman pangan memperlihatkan perumbuhan yang baik. Di samping itu, penerapan kedua teknology agroforestry ini juga telah memberikan dampak positif terhadap sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat khususnya petani/pesanggem. Oleh. sebab itu kedua pola ini perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain di Nusa Tenggara Barat.

©2003 Digitized by USU digital library DAFTAR PUSTAKA Bappeda dan BPN NTB. 1994/1995. Data pokok Pembangunan Propinsi NTB. Mataram. Biro Pusat Statistik dan Bappeda NTB. 1992. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Mataram. Cholid, M., Bagus Rari Adi, Amrullah Dahlan, dan Sridodo. 1993. Sistem usaha tani tanaman lorong sebagai usaha untuk meningkatkan pendapatan petani di lahan kering. Publikasi Wilayah Kering no.4 tahun 1993. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, proyek P3NT. Kang, B.T., G.F. Wilson, dan T.L. Lawson. ? Alley cropping a stable alternative to shifting cultivation. IITA. Ibadah-Nigeria. Karama A.S. dan Wahid. 1990. Penelitian pengembangan sistem usaha tani di Nusa Tenggara. proyek P3NT. Badan Litbang Pertanian. Kartasubrata, J., Abdullah MT, dan Achmad Rifai. 1988. Report on evaluation of CARE dry land farming system project in the Province of Nusa Tenggara Barat Indonesia. Bogor.

Kartasubrata, J. 1991a. Kehutanan masyarakat dalam menunjang penyediaan dan penganekaragaman pangan. Makalah. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. _____________.1991b. Agroforestry. Pusat Studi Pembangunan, Lembaga Penelitian Institut pertanian Bogor. Perum perhutani. 1996. Pembangunan Rutan Kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Satuan Rutan Kemasyarakatan Perum perhutani Sumbawa. Sumbawa. Satari, A.M, Sadjad, dan Sastrosoedardjo. 1977. Pendayagunaan tanah kering untuk budidaya tanaman pangan menjawab tantangan tahun 2000. Kertas kerja pada Simposium I Pendayagunaan Tanah Kering. Kongres Agronomi. Jakarta.

Related Documents


More Documents from "Ilyn Kerans"