Politik Taktis di Era Konvergensi Media Hubungan media dan politik di Indonesia telah lama terjadi relasi. Bak penyakit yang membawa virus nan mengerikan dan menjalar di pelbagai tubuh pemerintahan. Saat ini demokrasi Indonesia digerogoti oleh dua macam penyakit yang sangat akut. Penyakit itu adalah politisi korupsi dan politik taktis yang menopang pemerintahan. Praktek korupsi yang merajalela telah menggerogoti moral para pejabat negara yang telah mati-matian diusung dapat menjadi wakil rakyat. Faktanya, jabatan dan uang melimpah telah menyilaukan mata hati dan menghianati rakyat yang memilihnya. Kemudian politik taktis yang dipraktekan partai politik melalui bagi-bagi kursi kekuasaan telah menjadi politik oportunistik yang meruntuhkan sistem meritokrasi. Peran lembaga politik yang semestinya mewujudkan kesejahteraan rakyat, tersandera oleh kepentingan-kepentingan terselubung para aktor politik di dalamnya. Pada situasi ini, media melalui pemberitaannya diharapkan dapat menyadarkan masyarakat. Sehingga mampu mengevaluasi jalannya pemerintahan dan menuntut perubahan sesuai dengan cita-cita demokrasi yang telah disepakati bersama sebagai satu bangsa. namun, media sebagai lembaga politik dengan perannya sebagai watchdog yang dipercayai oleh masyarakat untuk membongkar praktek kekuasaan yang menyimpang, nyatanya tak mampu berbicara banyak. Terlebih, dewasa ini globalisasi tidak bisa dijauhkan dari perkembangan teknologi yang semakin mutakhir. Perkembangan teknologi dalam kehidupan masyarakat berkembang sangat pesat. Berbagai informasi dari berbagai belahan dunia bisa diakses secara cepat dan ringan. Perkembangan teknologi kini sudah tidak bisa dihindari lagi, salah satu buktinya adalah dengan adanya konvergensi media. Konvergensi media sendiri secara definisi adalah penyatuan atau penggabungan berbagai media dan teknologi komunikasi. Konvergensi media merupakan integrasi dari fungsi-fungsi beberapa media ke dalam satu media. Adanya konvergensi membuat tembok pemisah antara teknologi dan aplikasi komunikasi informasi menjadi runtuh. Sehingga di antara teknologi dan aplikasi
informasi dan komunikasi semua menjadi satu dan tidak dapat dibedakan lagi. Konvergensipun muncul sebab didorong oleh adanya berbagai kebutuhan akan beberapa fungsi teknologi. Beberapa fungsi tersebut awalnya ada pada media yang berbeda-beda karena adanya dorongan ini. Maka dihasilkanlah perpaduan dari beberapa fungsi ini ke dalam satu media saja. Di sinilah konvergensi terjadi. Konvergensi media memiliki dampak yang positif dan negatif. Adapun dampak positifnya adalah konvergensi media memperkaya informasi secara meluas tentang seluruh dunia. Sebab adanya akses internet, memberikan banyak pilihan kepada masyarakat pengguna untuk dapat memilih informasi yang diinginkan sesuai selera. Lebih mudah, praktis dan efisien, timbulnya demokratisasi informasi di mana semua orang bisa mengakses informasi secara bebas dan luas dengan berbagai cara dan bentuk. Dan dilihat dari aspek ekonomi, konvergensi berpengaruh terhadap perusahaan dan industri teknologi komunikasi karena mengubah perilaku bisins. Mudahnya akses informasi membuat industri. Perusahaan pun semakin mudah dan cepat mengantisipasi tantangan, kebutuhan baru konsumen serta persaingan yang mengetat. Masyarakat mendapatkan informasi lebih cepat. Selain itu, masyarakat bisa berinteraksi terhadap informasi-informasi yang disampaikan. Media konvergen memunculkan karakter baru yang makin interaktif, di mana penggunanya mampu berkomunikasi secara langsung. Adapun dilihat dari sisi negatifnya, konvergensi media juga berdampak pada; perubahan media cetak yang mulai kalah bersaing dengan media online, berkurangnya interaksi sosial secara langsung menyebabkan komunikasi yang tidak efektif. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar disebabkan oleh perbedaan kelas sosial yang semakin jelas terlihat karena dipengaruhi oleh kemampuan akses informasi seseorang. Ya, politisasi dan eksploitasi frekuensi publik oleh pemilik media untuk melindungi kepentingan dan asetnya telah lama berlangsung. Publik telah mengetahuinya, tapi negara seolah abai. Di era yang sarat kemajuan teknologi ini, banyak sekali terjadi kapitalisme media dan pararelisme media politik yang disokong oleh aktor-aktor politik demi kepentingan partainya. Untuk dapat mengidentifikasi sejauh mana praktek paralelisme politik media, ada lima indikator yang bisa dicermati, yaitu pertama isi
media tersebut. Sejauh mana ideologi politik yang berbeda tercermin juga dalam orientasi politik yang berbeda dalam pemberitaan maupun segmen hiburan media; kedua koneksi keorganisasian media tersebut. Koneksi yang dimaksud di sini tidak harus dengan partai politik, tetapi termasuk dengan perusahaan dagang, korporasi, bahkan agama, yang mana bisa jadi terkait dengan partai politik tertentu; ketiga kecenderungan personil media untuk terlibat dalam dunia politik. Personil media yang terlibat dalam politik serta-merta akan membawa wacana yang sama antara di politik dan di media di mana dia bekerja; keempat partisipasi dari pembaca atau pemirsa media; dan kelima orientasi peran dan praktek jurnalistik media. Hal lain yang perlu ditegaskan dalam hal ini adalah bahwa sistem media dengan paralelisme politik yang sangat kuat, budaya dan gaya jurnaslimenya akan sangat mirip dengan budaya dan gaya dalam struktur politik. Jika disederhanakan, hipotesisnya adalah media yang memiliki pararelisme politik kuat, budaya dan gaya pemberitaan media tersebut akan sangat paralel dengan budaya dan gaya wacana yang terjadi dalam struktur politik. Media menjadi instrumen untuk dinamika dalam struktur politik. Untuk itu, sebagai konsumen media, masyarakat haruslah cerdas untuk menganalisa media yang memiliki pararelisme kuat dengan politik. Masyarakat haruslah melek media, sebab saat ini media hanya menjadi kancah kepentingan pemodal. Kebebasan pers saat ini adalah reformasi, pemerintah tidak mempunyai wewenang untuk melakukan pembredelan seperti saat Orba di mana kebebasan pers benar-benar dikebiri. Masyarakat sendirilah yang harusnya mampu mengontrol dan mengawasi pemberitaan-pemberitaan media dan tayangan-tayangan yang disiarkan di pertelevisian. Karena kebebasan media itu sendiri bukanlah milik siapa-siapa. Bukan milik instansinya, pemerintah ataupun para pekerjanya, melainkan masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang mempunyai wewenang untuk mengadukan hal-hal yang dianggap tidak layak untuk dikonsumsi.