POLITICAL MARKETING DAN KUALITAS DEMOKRASI Oleh: Oman Heryaman, S.IP, M.Si. (Staf Pengajar FISIP Universitas Pasundan)
Political Marketing (selanjutnya disebut Marketing Politik) adalah ilmu baru yang mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, marketing politik memang bisa dikatakan masih bayi, tetapi kehadirannya telah menjadi trend dalam ranah politik di negara maju yang menganut demokrasi.1 Partai politik dan kandidat perseorangan berlomba memanfaatkan ilmu ini untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu) maupun untuk memelihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu. Kajian marketing politik berkembang pesat di negara-negara benua Amerika, Eropa dan Australia. Marketing politik yang awalnya dipelajari oleh bidang marketing, kini telah juga dipelajari oleh bidang ilmu politik dan ilmu komunikasi di beberapa perguruan tinggi terkemuka di dunia dan melahirkan para pakar dibidangnya.2 Bahkan secara rutin diselenggarakan forum ilmiah internasional mengenai marketing politik.3 Sementara di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan Afrika, marketing politik belum banyak dikenal luas baik dalam ranah praktek politik maupun kajian keilmuan. Walaupun sebagian besar negara di kedua benua ini telah menjalankan praktek demokrasi dan pemilu sistem multipartai yang kompetitif. Termasuk di negara Indonesia dan Malaysia, dua negara berkembang di kawasan Asia Tenggara, secara kajian akademik marketing politik belum dikenal luas.4 Namun demikian, meskipun sampai saat ini penyelidikan dan publikasi yang membahas tentang marketing politik di kedua negara masih tergolong minim, bukan berarti selama ini aktivitas partai politik di masa lalu tidak melakukan aktivitas marketing politik. Disadari atau tidak partai politik di kedua negara telah melakukan serangkaian aktivitas ini. Di Indonesia misalnya, pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi), pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, majalah, radio) atas aktivitas sebuah partai politik sampai ke kunjungan wakil-wakil partai politik ke komunitas konstituen maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan.5 Hal yang sama juga juga dilakukan oleh partaipartai politik di Malaysia.
1
Hanya saja kalau dilihat dari intensitasnya, pelaksanaan marketing politik di kedua negara lebih bersifat sporadis pada saat pelaksanaan kampanye Pemilu saja. Padahal menurut Butler & Collins marketing politik tidak hanya dilihat selama periode kampanye Pemilu saja.6 Partai politik harus terus menerus memperhatikan, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat setiap saat bukan hanya pada Kampanye Pemilu saja. Sebab model kampanye itu ada dua jenis. Pertama, kampanye pemilu yang bersifat jangka pendek dan biasanya dilakukan menjelang Pemilu. Kedua, kampanye politik yang bersifat jangka panjang dan dilakukan secara terus menerus. Pendapat ini didukung Fritzs Plasser dan Gunda Plasser,7 yang menyatakan telah terjadi pergeseran dalam bentuk kampanye dewasa ini, dari model kampanye modern ke mode kampanye pasca modern. Kampanye modern menggunakan ”logika media” dan menempatkan pemilih sebagai audiens, sedangkan kampanye pasca modern menerapkan logika ”pemasaran” yang menempatkan masyarakat sebagai konsumen. Dengan demikian marketing politik tepat diterapkan dalam model kampanye politik. Melalui logika pemasaran, kedekatan partai politik dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek politik. Bukan sekedar sebagai obyek politik yang terjadi pada saat hingar bingar kampanye Pemilu saja, dimana setelah itu terputus hubungan antara masyarakat dan partai politik yang dapat menyebabkan antipati dan apolitis masyarakat terhadap politik. Di negara-negara berkembang, seperti Malaysia yang sedang meniti jalan ke arah demokrasi dan Indonesia yang sedang menjalani transisi dari otoriter menuju demokrasi, implementasi marketing politik oleh partai politik merupakan fenomena baru dan masih dilaksanakan secara parsial, --bahkan seringkali tanpa disadari partai-partai politik telah melaksanakan praktek-praktek marketing politik dalam berkomunikasi dengan komunitas konstituen dan masyarakat umum. Hal ini antara lain disebabkan oleh dua hal. Pertama, intensitas interaksi partai politik dan masyarakat seringkali hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui pelaksanaan kampanye. Pada masa ini partai-partai berlomba menawarkan produk-produk politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekam jejak. Masyarakat dijadikan ’pasar sesaat (pasar kaget)’ untuk mendengar, melihat dan memilih dari produk-produk mereka. Di luar masa ini, komunikasi partai politik dengan masyarakat seperti terputus dengan kesibukannya masing-masing. Disatu sisi partai politik sibuk dengan agendanya masing-masing yang kerapkali tidak bersentuhan dengan masyarakat, dan disisi lain masyarakat seringkali lupa dan apatis, apakah program-program 2
yang dikampanyekan telah dilaksanakan atau belum. Masyarakat kehilangan daya kritisnya untuk mengontrol partai politik dan pemerintahan. Dengan demikian partai politik menempatkan marketing politik hanya pada kampanye Pemilu saja. Kedua, dunia politik di negara berkembang seringkali salah memaknai kata marketing. Marketing secara sempit diartikan sebatas memasarkan atau menjual. Dengan demikian marketing politik berarti menjual atau memasarkan produk-produk politik saja. Bagi partai politik waktu yang tepat untuk menjual dan memasarkan produk politik hanyalah waktu kampanye Pemilu. Padahal makna marketing jauh lebih kompleks ketimbang menjual atau memasarkan. Dalam marketing juga mengandung makna product inovation, new product research, pengambilan keputusan, dan resources yang dilakukan setiap saat.8 Apabila hal tersebut dimaknai dengan benar maka seharusnya partai politik melakukan kampanye sepanjang masa (kampanye politik) dengan mengolah ide, gagasan dan program baru yang inovatif, riset aspirasi, kebijakan rasional yang menguntungkan masyarakat, dan melahirkan SDM dan leadership yang unggul untuk menjalankan roda pemerintahan dan kebijakan negara yang berpihak pada kemajuan dan kepentingan masyarakat. Selama ini konsep marketing lebih banyak dikenal dan diterapkan di dalam lembagalembaga ekonomi dengan pendekatan bisnis. Tetapi dalam beberapa hal marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis.9 Konsep marketing juga diterapkan dalam bidang-bidang lain non bisnis, misalnya bidang sosial dan politik, sehingga lahirlah kemudian konsep marketing sosial (social marketing) dan marketing politik (political marketing). Dalam bidang sosial, marketing digunakan oleh LSM, perpustakaan, rumah sakit pemerintah, sekolah negeri, museum dan organisasi sosial non-profit lain dalam mentransformasikan produk, service, norma, simbol dan ide ke masyarakat luas. Dalam bidang politik konsep marketing digunakan oleh pemerintah demokratis ataupun rezim, oposisi pemerintah, dan partai politik atau kandidat. Bagi pemerintahan demokratis marketing politik digunakan untuk memasarkan kebijakan-kebijakan politik yang dianggap berhasil sebagai investasi politik untuk merebut kekuasaan kembali sebagai incumbent. Bagi rezim otoriter marketing digunakan sebagai alat pembenaran bagi kebijakan-kebijakannya dalam rangka legitimasi dan mobilisasi dukungan kekuasaan. Bagi oposisi marketing digunakan sebagai alat untuk mentransformasikan kebijakan, program, dan gagasan alternatif oposisi sebagai alternatif pemerintahan baru yang layak dipilih. Serta bagi partai politik atau kandidat, marketing digunakan sebagai alat strategi politik untuk mempengaruhi dan merebut pemilih.
3
Adapun pokok kajian marketing politik dalam penyelidikan ini, secara konseptual sebagai ”Political marketing in simple terms is a marriage between two social science disciplines – political science and marketing”10 atau ”It is referred to as the ‘adaptation’ of commercial marketing concepts and techniques by political actors to organise, implement and manage political activities to realise political goals.11 Sebagai kajian keilmuan baru yang masih dalam tataran embrionik, marketing politik yang pertama kali dimulai di Amerika Serikat terus mengalami perkembangan definisi yang beragam dan berubah.12 Baines et.al antara lain mengutip definisi-definisi sebagai berikut:
- Shama (1975) & Kotler (1982) memberikan penekanan pada proses transaksi yang terjadi antara pemilih dan kandidat.
- O’Leay & Iradela (1976) menekankan penggunaan marketing-mix untuk mempromosikan partai-partai politik.
- Lock & Harris (1996) mengusulkan agar political marketing memperhatikan proses positioning.
- Wring (1997) menggunakan riset opini dan analisis lingkungan. Sedangkan menurut Nursal yang pertama kali menerbitkan buku mengenai marketing politik di Indonesia, mendefinisikan sebagai serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada pemilih. Sehingga political marketing bertujuan membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi dan perilaku pemilih. Perilaku pemilih yang diharapkan adalah secara umum mendukung dengan berbagai dimenasinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada partai atau kandidat tertentu.13 Bagi partai-partai politik maupun kandidat, sekurang-kurangnya konsep marketing politik dapat dilakukan melalui beberapa metode:14
- Mengkomunikasikan pesan dan gagasan. - Mengembangkan identitas jati diri, kredibilitas dan tranparansi. - Interaksi dan respons dengan komunitas internal dan eksternal dengan melakukan pencitraan partai politik.
- Menyediakan pelatihan, mengolah dan menganalisis data untuk kepentingan kampanye.
- Secara terus menerus mempengaruhi dan mendorong komunitas untuk mendukung partai politik.
4
Ada empat hal utama yang melandasi pentingnya penggunaan marketing politik bagi partai-partai politik.15 Pertama, terjadinya pergeseran paradigma pemilih dari ideologi ke program kerja. Adanya de-idiologisasi pasca berakhirnya Perang Dingin secara global telah merubah pula cara pandang dan preferensi para pemilih partai politik. Masyarakat cenderung menggantikan ikatan-ikatan ideologis (tradisional) dengan hal-hal yang lebih pragmatis, yaitu program kerja yang ditawarkan oleh konstestan. Masyarakat cenderung melihat apa yang bisa dan apa yang ditawarkan oleh partai politik maupun kontestan dibandingkan dengan alasanalasan ideologis yang ada dibalik satu partai politik atau kontestan. Hal ini terlihat nyata sekali dengan semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan, yaitu para pemilih yang menunggu partai politik mana yang kiranya menwarakan solusi paling baik ketimbang yang lainnya. Partai politik macam inilah yang akan mereka pilih dalam Pemilu. Kedua, meningkatnya pemilih non-partisan. Terdapat trend di sejumlah negara yang memperlihatkan semakin meningkatnya proporsi non-partisan dalam Pemilu. Non-partisan adalah sekelompok masyarakat yang tidak menjadi anggota atau mengikatkan diri secara ideologis dengan partai politik tertentu. Kaum non-partisan melihat pentingnya kemampuan dan kapasitas orang atau program kerja partai politik mana yang dapat memberikan solusi atas permasalahan bangsa dan negara ketika program-program itu dikomunikasikan selama periode menjelang Pemilu. Ketiga, meningkatnya massa mengambang (floating mass). Dengan meningkatnya jumlah pemilih non partisan maka jumlah massa mengambang semakin besar. Massa mengambang ini seringkali sangat menentukan menang tidaknya suatu partai politik dalam Pemilu. Massa mengambang adalah kelompok masyarakat yang diperebutkan oleh partaipartai dan kandidat yang bersaing dalam Pemilu. Massa mengambang ini semakin besar seiring semakin kritisnya masyarakat. Keempat, adanya persaingan politik. Sistem multipartai yang kini banyak dianut oleh negara yang sedang meniti ke arah demokrasi ataupun baru saja melaksanakan transisi dari otoriter menuju demokrasi, ditambah dengan semakin kritisnya masyarakat dalam memilih partai politik telah menempatkan partai politik pada iklim kompetisi yang ketat untuk memperebutkan pemilih. Dengan demikian partai politik atau kandidat semain dituntut untuk menjadil lebih kreatif dalam melihat dan menganalisis permasalahan bangsa dan negara. Konsekuensinya, partai politik yang paling bagus dalam menyusun program kerjanyalah yang mempunyai peluang lebih besar untuk memenangkan Pemilu. Melalui pertimbangan diatas, marketing politik menjadi penting dan strategis untuk dijalankan oleh partai politik, mengingat marketing politik bertujuan untuk: 5
- Menjadikan pemilih sebagai subyek dan bukan sebagai obyek politik. Dalam hal ini pemilih tidak hanya sekedar suara yang diperebutkan partai dengan berbagai tawaran produknya, tetapi pemilih ikut menentukan program dan produk-produk politik apa yang seharus dilakukan partai politik
- Menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih adalah langkah awal dalam menyusun program kerja yang ditawarkan dalam kerangka masing-masing ideologi partai politik.16 Program kerja yang bersentuhan langsung dengan kepentingan para pemilih akan membangkitkan simpati pemilih kepada partai politik.
- Marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools bagaimana menjaga hubungan dengan pemilih untuk membangun kepercayaan dan selanjutnya memperoleh dukungan suara.17 Perihal program kerja, dalam marketing politik adalah merupakan poin penting yang dapat dilakukan dalam kampanye. Lebih penting lagi apabila program kerja atau produk politik merupakan rekam jejak kinerja partai politik. Menurut Oman Heryaman, tipe demikian disebut dengan marketing politik berbasis kinerja.18 Gagasan atau program politik yang telah dikampanyekan, kemudian diperjuangkan dalam perumusan kebijakan serta dapat diiplementasikan dalam kehidupan masyarakat, merupakan nilai bagi para pemilih bagi pencitraan terhadap partai politik sebagai partai politik aspiratif, menepati janji, bekerja keras dan memperjuangkan nasib masyarakat. Namun tidak mudah bagi partai politik melakukan marketing berbasis kinerja ini. Diperlukan pusat dokumentasi dan analisis data di tiap jenjang partai politik (nasional, regional dan lokal) yang dapat mengamati, mencatat dan mendokumentasikan setiap langkah kinerja politik partai politik yang secara terus menerus di up date. Setelah itu juga diperlukan media (website, bulletin, dan lainnya) yang bisa diakses secara luas oleh konstituen dan masyarakat umum untuk mempublikasikan keberhasilan kinerja partai politik secara terus menerus sebagai pencitraan sepanjang masa. Untuk hal ini banyak partai politik di beberapa negara memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai media kampanye digital/online19 Dengan demikian partai politik melakukan Totally Political Marketing (marketing politik secara total),20 yaitu partai politik memasarkan semua yang bisa dijual, baik potensi, kelebihan dan performa partai politik. Semua unit dalam sistem kinerja partai politik layak dan harus dijual. Antara lain yang sering dilupakan orang misalnya kinerja institusi partai politik rapi tidak konflik negatif, anggota dan perilakunya, kinerja kandidat terpilih dalam Pemilu sebelumnya, dan lainnya yang memiliki citra positif. Jadi praktisi political marketing
6
yang canggih tidak hanya memfokuskan diri pada penggarapan isu dan program kerja saja, meskipun program kerja itu penting dan harus menarik. Pengertian Totally Political Marketing juga diartikan apabila partai politik mampu melaksanakan dua model kampanye sekaligus secara konsisten dan berkesinambungan (continuity), yaitu kampanye Pemilu dan Kampanye Politik. Karakteristik perbedaan dua model ini dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
Tabel Perbedaan Kampanye Pemilu dan Kampanye Politik
Baik dalam kampanye pemilu maupun kampanye politik, marketing politik adalah sebuah proses. Proses tersebut harus ditempuh melalui dua hal utama, yaitu marketing program dan voters segmentation. Marketing program adalah penyampai produk politik yang disebut dengan 4P (Product, Price, Promotion dan Place), dan voters segmentation adalah menentukan para pemilih pada beberapa level kategori, sehingga pengemasan produk politik dapat dilakukan sesuai kategori tersebut. Proses marketing tersebut tampak dalam diagram dibawah ini:
7
Diagram Proses Marketing Politik
Sumber: Niffenegger (1989) dikutip oleh Firmanzah (2007).
Baik bentuk kampanye maupun proses marketing dalam marketing politik dilaksanakan untuk mencapai output marketing politik yang disebut makna politis. Sebab pada dasarnya marketing politik adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih menjadi orientasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih partai politik atau konstestan tertentu. Makna inilah yang menjadi output penting marketing politik yang menentukan pihak, pihak mana yang akan dicoblos para pemilih.21 Pembentukan makna-makna politis tersebut dapat dilaksanakan melalui metode 9P (Positioning, policy, person, party, presentation, push marketing, pull marketing, pass marketing dan polling). Positioning adalah strategi komunikasi untuk memasuki jendela otak pemilih agar konstestan mengandung arti tertentu yang mencerminkan keunggulannya terhadap konstestan pesaing dalam bentuk hubungan asosiatif. Positioning efektif harus dilakukan berdasarkan analaisis terhadap faktor eksternal dan internal organisasi, serta preferensi segmen pemilih yang menjadi sasaran utama yang diketahui dari hasil segmentasi. Positioning –agar kreatif dan kredibel- harus dijabarkan dalam bauran produk politik yang meliputi 4P (policy, person, party, presentation). Policy adalah tawaran program kerja jika terpilih kelak. Policy merupakan solusi yang ditawarkan kontestan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan berdasarkan isu-isu yang dianggap penting oleh para pemilih. Policy
8
yang efektif harus memenuhi tiga syarat, yakni meraik perhatian, mudah terserap pemilih, attributable. Person adalah kandidat legislatif atau eksekutif yang akan dipilih melalui Pemilu. Kualitas person dapat dilihat nelalui tiga dimensi, yakni kualitas instrumental, dimensi simbolis, dan fenotipe optis. Ketiga dimenasi kualitas tersebut harus dikelola agar kandidat attributable. Party juga dilihat sebagai substansi produk politik. Partai politik mempunyai identitas utama, asset reputasi, dan identitas estetis. Ketiga hal tersebut akan dioertimbangkan oleh para pemilih dalam menetapkan pilihannya. Oleh karena itu, dalam political marketing, unsurunsur tersebut harus dikelola dengan baik. Presentation adalah bagaimana ketiga substansi produk politik disajikan. Presentasi sangat penting karena dapat mempengaruhi makna pemilih. Presentasi dasajikan dangan medium presentasi. Produk politik disampaikan kepada pasar politik (political market) melalui push marketing (penyampaian produk langsung kepada masyarakat), pull marketing (penyampaian produk melalui pemanfaatan media massa), dan pass marketing (penyampaian produk kepada influencer group). Agar produk politik disampaikan tepat pada sasaran dilakukan polling dan berbagai aktivitas riset lainnya. Riset ini merupakan kebutuhan penting untuk pemetaan isu, pemetaan segmentasi dan pemetaan program. Pada akhirnya implementasi marketing politik yang dilaksanakan sesuai metode dan proses yang benar diharapkan mampu meningkatkan kualitas demokrasi, khususnya di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia dan Malaysia) yang secara terus-menerus berusaha meningkatkan kulitas pelaksanaan demokrasi. Secara teoritis marketing politik memiliki peran yang ikut menentukan dalam proses demokratisasi.22 Marketing politik dilihat sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan daya kristis masyarakat dalam berpolitik. Agar masyarakat tidak selalu menjadi korban dan obyek manipulasi para elit politik mayarakat perlu diberdayakan dan perlu ada kondisi yang memungkinkan proses pembelajaran politik. Ciri-ciri politik demokratis antara lain ditunjukkan dari beberapa indikator berikut: 1) adanya distribusi informasi politik yang luas dan mudah diakses masyarakat; 2) adanya pendidikan poltik bagi masyarakat, termasuk dari partai politik; 3) adanya kesadaran (hak dan kewajiban) masyarakat dalam berolitik; dan 4) partisipasi dan keterlibatan politik dari masyarakat. 1
Firmanzah, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007. Hal. 6; 21
9
2
Perguruan tinggi terkemuka yang mempelajari marketing politik antara lain: (a) Bagian dari Ilmu Politik adalah: Department of Political Science, University of Nebraska at Omaha; Graduate School of Political Management, George Washington University; Department of Political Science, Miami University; Department of Political Science, Boise State University; Department of Political Science, University of Arkansas; Department of Political Science, University of Bradford, United Kingdom; Department of Political Science, Louisiana State University; Department of Political Science, University of Wisconsin, Madison; Department of Political Science, University of Georgia; Department of Political Science, Florida State University; dan Department of Politics, New York University; (b) Bagian dari Ilmu Marketing/Manajemen adalah: The Department of Management, Marketing and Political Science University of Tennessee at Martin and of the College of Business and Public Affairs; University of Bath, Bath UK; School of Management, Cranfield University, UK; Ross School of Business, University of Michigan; Department of Marketing, University of Michigan; Birmingham Business School, The University of Birmingham, UK; Department of Marketing, Middlesex University, UK; Manchester Business School, The University of Manchester,UK; Department of Marketing, Budapest University, Hungary; Departemen Marketing Universitas Indonesia, Jakarta; dan (c) Bagian dari Ilmu Komunikasi adalah: School of Journalism, Media and Cultural Studies, Cardiff University, Wales; School of Politics and Communications Studies, The University of Liverpool, UK; Department of Communication, Cleveland State University; Department of Communication, Libvera Universita de Lingue e Communicazione, Milano, Italy; dan College of Communication, Boston University. 3 International Political Marketing Conference yang dimotori oleh Political Studies Association (PSA) Political Marketing Specialist Group, dan telah diselenggarakan sebanyak 5 kali di berbagai perguruan tinggi di dunia (terakhir Maret 2008 di Manchester Business School, The University of Manchester, UK). Lihat juga Annual Political Marketing Conference yang telah diselenggarakan sebanyak 7 kali (terakhir tahun 2007). 4 Dari penelusuran literatur ilmiah, baik manual maupun berbasis internet, masih sedikit ditemukan kajian mengenai marketing politik yang dipublikasikan. Di Malaysia yang terlacak adalah (1) Masalina Ujang (2004), Political Marketing: Is Market Orientation & Market Capabilities The Winning Formula? A Study on The 2004 General Election for The State of Pulau Pinang. Pulau Pinang: MBA Dissertation Universiti Sains Malaysia, 2004; (2) Lim Hong Hai dan Ong Kian Ming (2006), ”Electoral Campaigning in Malaysia” sebagai chapter dari buku Christian Schafferer, Election Campaigning in East And Southeast Asia: Globalization of Political Marketing. Ashgate Publishing, Ltd, 2006. Hal. 55-79;; dan Che Supian Mohamad Nor et al (2006). “Political Marketing vs. Commercial Marketing: Something in Common for Gains” yang dipresentasikan dalam 6th Global Conference on Business & Economics pada 15-17 Oktober 2006 di Gutman Conference Center, USA. Di Indonesia yang terlacak adalah (1) Adman Nursal (2004), Political Marketing: Startegi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia.; (2) Firmanzah (2004), “Peran Ilmu Marketing dalam Dunia Politik: Menuju Marketing Politik di Indonesia”, Management Usahawan Indonesia. No. 33 (1). Hal. 1-15; (3) Firmanzah (2005), “Menyoal Rasionalitas Pemilih: Antara Orientasi Ideologi dan ‘Policy Problem Solving’ “,Management Usahawan Indonesia. No. 34 (7). Hal. 8-16.; (4) Oman Heryaman (2007), “Memenangkan Pemilu dengan Political Marketing”, Makalah Presentasi dalam Rapat Kerja Badan Pemenangan Pemilu PKS Kabupaten Bandung, 17 Februari 2007 dalam http://digilib.unpas.ac.id.; (5) Firmanzah (2007), Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia; dan (6) Beberapa tulisan opini di media massa. 5 Firmansyah, op.cit. Hal. 18-19. 6 P. Butler & N. Collin, “Payment on Delivery: Recognising Constituency Service as Political Marketing. European Journal of Marketing. (35), 9-10, 2001. Hal. 1026-1037. 7 Fritzs Plasser dan Gunda Plasser, Global Political Campaigning: A Worldwide Analysis of Campaign Professionals and Their Practices. Greenwood Pub Group, 2002. 8 “Firmanzah: Menyuguhkan Marketing Politik,” dalam Majalah Adil, Edisi 22, dalam http://www.adilnews.com/?q=id/firmanzah-menyuguhkan-marketing-politik 9 Istilah ini pertama kali dikemukakan Philip Kotler & S.J. Levy. ”Broadening the Concept of Marketing”. Journal of Marketing. 1969 (33) 1. Hal. 10-15. 10 J. Lees-Marshment, Political Marketing and British Political Parties: The Party’s Just Begun, Manchester University Press, 2001. 11 Lihat dalam Patrick Butler & Neil Collins. (1999). “A Conceptual Framework for Political Marketing”. In B. I. Newman (Ed.), Handbook of Political Marketing. 55-72. Thousand Oaks, California: Sage.; M. Scammell, “Political Marketing: Lessons for Political Science”. Political Studies, XLVII (1999), Hal. 718-739; dan J. LeesMarshment, ibid. 12 Paul Baines, Fritz Plasser & Christian Scheucher, “Operationalising Political Marketing: A Comparison of US and Western European Consultants and Managers”. Middlesex University Discussion Paper Series, No. 7, July 1999.
10
13 Adman Nursal, Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu Sebuah Pendekatan Baru Kampanye Pemilihan DPR, DPD, Presiden . Jakarta: Gramedia Pusataka Utama, 2004. Hal. 23-24. 14 Baines et al, loc.cit. 15 Firmansyah, op.cit. Hal. 57-58 16 J. Dermody & R. Scullion. “Delusión or Grander? Marketing’s Contribution to ‘meaningfull” Western Political Consumption.” European Journal of Marketing. 35 Tahun 2001 (9-10). Hal. 1085-1098. 17 J. O’Shaughnessy, “The Marketing of Political Marketing”. European Journal of Marketing. 35 Tahun 2001 (9-10). Hal. 1047-1067. 18 Oman Heryaman, “Memenangkan Pemilu dengan Political Marketing”, makalah Orientasi Pemenangan Pemilu DPD PKS Kabupaten Bandung, 2007 dalam http://digilib.unpas.ac.id. 19 Lihat contoh pemanfaatan TIK yang ditulis oleh Claus Leggewie dan Christoph Bieber, “Demokrasi Interaktif: Komunikasi Politik Melalui Online dan Proses-Proses Politik Digital”, dalam situs www.forumpolitisi.org 20 Oman Heryaman, loc.cit. 21 Nursal, op.cit. Hal. 295-298. 22 Firmanzah, op.cit. 313-325.
11